Anda di halaman 1dari 5

Teknik reportase atau teknik peliputan berita merupakan hal mendasar yang perlu

dikuasai para jurnalis. Namun, membahas teknik reportase, berarti juga membahas
bagaimana cara media bekerja, sebelum mereka memutuskan untuk meliput suatu acara,
kegiatan atau peristiwa.

Setiap media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Selain itu, mereka juga
memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy). Kriteria kelayakan
berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda antara satu media dengan
media yang lain. Sedangkan kebijakan redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung
visi dan misi atau ideologi yang dianutnya.

Perbedaan visi, misi dan ideologi ini akan berpengaruh pada sudut pandang atau angle
peliputan. Dua media yang berbeda bisa mengambil sudut pandang yang berbeda
terhadap suatu peristiwa yang sama. Bandingkan, misalnya, cara pandang redaktur harian
Kompas dan Republika terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, yang telah
memancing kontroversi sengit di sejumlah kalangan belum lama ini.

Terakhir, tentu saja segmen khalayak yang dilayani tiap media juga berbeda-beda.
Keinginan media untuk memuaskan kebutuhan segmen khalayak tersebut secara tak
langsung juga berarti melakukan seleksi terhadap apa yang layak dan tidak layak diliput.
Trans TV, misalnya, memilih khalayak dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas.
Majalah Femina membidik pasar kaum perempuan berusia menengah ke atas, yang
tinggal atau bekerja di perkotaan. Sedangkan Radio Hardrock FM mengejar pasar kaum
muda di Jakarta.

Kelayakan Berita

Berikut ini adalah sejumlah kriteria kelayakan berita, yang bersifat umum untuk semua
media:

Penting. Suatu peristiwa diliput jika dianggap punya arti penting bagi mayoritas
khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Tentu saja, media tidak akan rela
memberikan space atau durasinya untuk materi liputan yang remeh. Kenaikan harga
bahan bakar minyak, pemberlakuan undang-undang perpajakan yang baru, kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM), dan sebagainya, jelas penting karena punya dampak
langsung pada kehidupan khalayak.

Aktual. Suatu peristiwa dianggap layak diliput jika baru terjadi. Maka, ada ungkapan
tentang berita "hangat," artinya belum lama terjadi dan masih jadi bahan pembicaraan di
masyarakat. Kalau peristiwa itu sudah lama terjadi, tentu tak bisa disebut berita "hangat,"
tetapi lebih pas disebut berita "basi." Namun, pengertian "baru terjadi" di sini bisa
berbeda, tergantung jenis medianya. Untuk majalah mingguan, peristiwa yang terjadi
minggu lalu masih bisa dikemas dan dimuat. Untuk suratkabar harian, istilah "baru"
berarti peristiwa kemarin. Untuk media radio dan televisi, berkat kemajuan teknologi
telekomunikasi, makna "baru" adalah beberapa jam sebelumnya atau "seketika" (real
time). Contohnya, siaran langsung pertandingan sepakbola Piala Dunia.
Unik. Suatu peristiwa diliput karena punya unsur keunikan, kekhasan, atau tidak biasa.
Orang digigit anjing, itu biasa. Tetapi, orang mengigit anjing, itu unik dan luar biasa.
Contoh lain: Seorang mahasiswa yang berangkat kuliah setiap hari, itu kejadian rutin dan
biasa. Tetapi, jika seorang mahasiswa menembak dosennya, karena bertahun-tahun tidak
pernah diluluskan, itu unik dan luar biasa. Di sekitar kita, selalu ada peristiwa yang unik
dan tidak biasa.

Asas Kedekatan (proximity). Suatu peristiwa yang terjadi dekat dengan kita (khalayak
media), lebih layak diliput ketimbang peristiwa yang terjadi jauh dari kita. Kebakaran
yang menimpa sebuah pasar swalayan di Jakarta tentu lebih perlu diberitakan ketimbang
peristiwa yang sama tetapi terjadi di Ghana, Afrika. Perlu dijelaskan di sini bahwa
"kedekatan" itu tidak harus berarti kedekatan fisik atau kedekatan geografis. Ada juga
kedekatan yang bersifat emosional. Agresi Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat
dan Jalur Gaza, misalnya, secara geografis jauh dari kita, tetapi secara emosional
tampaknya cukup dekat bagi khalayak media di Indonesia.

Asas Keterkenalan (prominence). Nama terkenal bisa menjadikan berita. Sejumlah


media pada Juni-Juli 2006 ini ramai memberitakan kasus perceraian artis Tamara
Bleszynski dan suaminya Teuku Rafli Pasha, serta perebutan hak asuh atas anak antara
keduanya. Padahal di Indonesia ada ratusan atau bahkan ribuan pasangan lain, yang
bercerai dan terlibat sengketa rumah tangga. Namun, mengapa mereka tidak diliput? Ya,
karena sebagai bintang sinetron dan bintang iklan sabun Lux, Tamara adalah figur
selebritas terkenal.

Magnitude. Mendengar istilah magnitude, mungkin mengingatkan Anda pada gempa


bumi. Benar. Magnitude ini berarti "kekuatan" dari suatu peristiwa. Gempa berkekuatan
6,9 skala Richter pasti jauh lebih besar dampak kerusakannya, dibandingkan gempa
berkekuatan 3,1 skala Richter. Dalam konteks peristiwa untuk diliput, sebuah aksi
demonstrasi yang dilakukan 10.000 buruh, tentu lebih besar magnitude-nya ketimbang
demonstrasi yang cuma diikuti 100 buruh. Kecelakaan kereta api yang menewaskan 200
orang pasti lebih besar magnitude-nya daripada serempetan antara becak dan angkot,
yang hanya membuat penumpang becak menderita lecet-lecet. Semakin besar magnitude-
nya, semakin layak peristiwa itu diliput.

Human Interest. Suatu peristiwa yang menyangkut manusia, selalu menarik diliput.
Mungkin sudah menjadi bawaan kita untuk selalu ingin tahu tentang orang lain. Apalagi
yang melibatkan drama, seperti: penderitaan, kesedihan, kebahagiaan, harapan,
perjuangan, dan lain-lain. Topik-topik kemanusiaan semacam ini biasanya disajikan
dalam bentuk feature.

Unsur konflik. Konflik, seperti juga berbagai hal lain yang menyangkut hubungan antar-
manusia, juga menarik untuk diliput. Ketika ppahlawan sepakbola Perancis, Zinedine
Zidane, "menanduk" pemain Italia, Marco Materrazzi, dalam pertandingan final Piala
Dunia, Juli 2006 lalu, ini menarik diliput. Mengapa? Ya, karena sangat menonjol unsur
konflik dan kontroversinya. Bahkan, kontroversi kasus Zidane ini lebih menarik daripada
pertandingan antara kesebelasan Perancis dan Italia itu sendiri.
Trend. Sesuatu yang sedang menjadi trend atau menggejala di kalangan masyarakat,
patut mendapat perhatian untuk diliput media. Pengertian trend adalah sesuatu yang
diikuti oleh orang banyak, bukan satu-dua orang saja. Misalnya, suatu gaya mode tertentu
yang unik, perilaku kekerasan antar warga masyarakat yang sering terjadi, tawuran
antarpelajar, dan sebagainya.

Dalam memilih topik liputan, bisa saja tergabung beberapa kriteria kelayakan. Misalnya,
kasus mantan anggota The Beatles, John Lennon, yang pada 1980 tewas ditembak di
depan apartemennya di New York oleh Mark Chapman. Padahal beberapa jam
sebelumnya, Chapman sempat meminta tanda tangan Lennon. Chapman mengatakan, ia
mendengar "suara-suara" di telinganya yang menyuruhnya membunuh Lennon.

Mari kita lihat kriteria kelayakan berita ini. Pertama, Lennon adalah seorang selebritas
yang terkenal di seluruh dunia (unsur keterkenalan). Kedua, penembakan terhadap
seorang bintang oleh penggemarnya sendiri, jelas peristiwa luar biasa dan jarang terjadi
(unsur keunikan). Ketiga, meskipun peristiwa itu terjadi di lokasi yang jauh dari
Indonesia, para penggemar The Beatles di Indonesia pasti merasakan kesedihan
mendalam akibat tewasnya Lennon tersebut (unsur kedekatan emosional). Dan
seterusnya.

Proses pembuatan berita

Proses pembuatan berita pada prinsipnya tak banyak berbeda di semua media. Di media
yang sudah mapan, biasanya telah dibuat semacam prosedur operasional standar (SOP)
dalam pembuatan berita, untuk menjaga kualitas berita yang dihasilkan.

Proses pembuatan berita biasanya dimulai dari rapat redaksi, yang juga merupakan
jantung operasional media pemberitaan. Rapat redaksi merupakan kegiatan rutin, yang
penting bagi pengembangan dan peningkatan kualitas berita yang dihasilkan.

Dalam rapat redaksi ini, para reporter, juru kamera, redaktur, bisa mengajukan usulan-
usulan topik liputan. Usulan itu sendiri bisa berasal dari berbagai sumber. Misalnya:
Undangan liputan dari pihak luar, konferensi pers, siaran pers, berita yang sudah dimuat
atau ditayangkan di media lain, hasil pengamatan pribadi si jurnalis, masukan dari
narasumber/informan, dan sebagainya.

Sasaran Rapat Redaksi:

1. Untuk mengkoordinasikan kebijakan redaksi dan liputan.


2. Untuk menjaga kelancaran komunikasi antar staf redaksi (komunikasi antara
reporter, juru kamera, staf riset, redaktur, dan sebagainya).
3. Untuk memecahkan masalah yang timbul sedini mungkin (potensi hambatan
teknis dalam peliputan, keterbatasan sarana/alat untuk peliputan, keamanan dalam
peliputan, dan sebagainya)
4. Untuk menghasilkan hasil liputan yang berkualitas.
Dari rapat redaksi ini, ditentukan topik yang mau diliput, sekaligus ditunjuk reporter
(plusjuru kamera) yang harus meliputnya. Dalam pembahasan yang lebih rinci, bisa
dibahas juga angle (sudut pandang) yang dipilih dari topik liputan bersangkutan, serta
narasumber yang harus diwawancarai. Untuk kelengkapan data, staf riset bisa diminta
mencari data tambahan guna menyempurnakan hasil liputan nantinya.

Sesudah tugas dibagikan secara jelas dalam rapat redaksi, dan redaktur memberi brifing
pada reporter, berbekal informasi dan arahan tersebut, si reporter pun meluncur ke
lapangan. Dalam proses peliputan, bila ada masalah atau hambatan dalam liputan di
lapangan,si reporter dapat berkonsultasi langsung dengan redaktur yang menugaskannya.
Hambatan itu, misalnya, narasumber menolak diwawancarai, atau peristiwa yang diliput
ternyata tidak seperti yang dibayangkan.

Setelah selesai meliput, si reporter kembali ke kantor, dan melaporkan hasil liputannya
kepada redaktur yang memberi penugasan. Sang redaktur lalu membuat penilaian, apakah
hasil liputan itu sudah sesuai dengan rancangan awal, yang sebelumnya ditetapkan dalam
rapat redaksi. Apakah ada hal-hal yang baru, yang mungkin lebih menarik diangkat
dalam penulisan. Atau, sebaliknya, hasil liputan ternyata justru biasa saja, tidak sehebat
atau sedramatis yang diharapkan.

Redaktur juga melihat, apakah ada hal yang kurang terliput oleh si reporter. Apakah hasil
liputan sudah lengkap? Redaktur juga mempertimbangkan asas keberimbangan dan
proporsionalitas dalam isi pemberitaan. Misalnya, apakah jumlah narasumber yang
diwawancarai sudah cukup? Apakah narasumber yang diwawancarai itu sudah mewakili
berbagai kepentingan yang terlibat?

Berdasarkan berbagai pertimbangan itu, redaktur mengusulkan di mana berita itu akan
ditempatkan. Di sejumlah media, ada rapat khusus (kadang-kadang disebut rapat
budgeting, meski ini tidak ada hubungannya dengan uang) untuk membahas penempatan
berita. Namun, dalam rapat ini, reporter tidak ikut serta karena sudah diwakili oleh
redakturnya. Di rapat ini dibahas, apakah hasil liputan itu layak untuk berita utama di
halaman pertama, atau sekadar layak untuk dimuat pendek di halaman dalam, atau justru
tidak layak dimuat sama sekali.

Sesudah jelas, berita itu akan dimuat di halaman mana, seberapa panjangnya, serta
penekanan pada aspek yang mana, si reporter disuruh menuliskannya. Hasil tulisan
diserahkan kepada redaktur terkait, untuk disunting dari segi bahasa dan isinya. Sebelum
berita ini dimuat, kadang-kadang harus melalui proses penyuntingan bahasa oleh editor
atau penyunting yang khusus memeriksa gaya bahasa. Jika isi berita itu dianggap layak
jadi berita utama, biasanya redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi juga bisa ikut
terlibat.

Kemudian, berita pun dimuat. Demikianlah proses pembuatan berita pada umumnya di
media cetak. Khusus untuk media televisi (audio-visual), faktor ketersediaan gambar ikut
berpengaruh, bahkan sangat berpengaruh, mengenai apakah suatu item berita akan
ditayangkan atau tidak. Kalaupun ditayangkan, format penayangannya juga banyak
tergantung pada ketersediaan gambar.

Menggali Informasi

Tugas seorang reporter pada dasarnya adalah mengumpulkan informasi, yang membantu
publik untuk memahami peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Penggalian informasi ini membawa sang reporter untuk melalui tiga lapisan atau tahapan
peliputan:

Lapisan pertama, adalah fakta-fakta permukaan. Seperti: siaran pers, konferensi pers,
rekaman pidato, dan sebagainya. Lapisan pertama ini adalah sumber bagi fakta-fakta,
yang digunakan pada sebagian besar berita. Informasi ini digali dari bahan yang
disediakan dan dikontrol oleh narasumber. Oleh karena itu, isinya mungkin masih sangat
sepihak. Jika reporter hanya mengandalkan informasi lapisan pertama, perbedaan antara
jurnalisme dan siaran pers humas menjadi sangat tipis.

Lapisan kedua, adalah upaya pelaporan yang dilakukan sendiri oleh si reporter. Di sini,
sang reporter melakukan verifikasi, pelaporan investigatif, liputan atas peristiwa-
peristiwa spontan, dan sebagainya. Di sini, peristiwa sudah bergerak di luar kontrol
narasumber awal. Misalnya, ketika si reporter tidak mentah-mentah menelan begitu saja
keterangan Humas PT. Lapindo Brantas, tetapi si reporter datang ke lokasi meluapnya
lumpur, dan mewawancarai langsung para warga korban lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.

Lapisan ketiga, adalah interpretasi (penafsiran) dan analisis. Di sini si reporter


menguraikan signifikansi atau arti penting suatu peristiwa, penyebab-penyebabnya, dan
konsekuensinya. Publik tidak sekadar ingin tahu apa yang terjadi, tetapi mereka juga
ingin tahu bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi. Apa makna peristiwa itu bagi
mereka, dan apa yang mungkin terjadi sesudahnya (dampak susulan dari peristiwa
tersebut).

Seorang reporter harus selalu berusaha mengamati peristiwa secara langsung, ketimbang
hanya mengandalkan pada sumber-sumber lain, yang kadang-kadang berusaha
memanipulasi atau memanfaatkan pers. Salah satu taktik yang dilakukan narasumber
adalah mengadakan media event, yakni suatu tindakan yang sengaja dilakukan untuk
menarik perhatian media.

Verifikasi, pengecekan latar belakang, observasi langsung, dan langkah peliputan yang
serius bisa memperkuat, dan kadang-kadang membenarkan bahan-bahan awal yang
disediakan narasumber.

Anda mungkin juga menyukai