Anda di halaman 1dari 15

Marketing Organisasi Nirlaba

31 July 2009 by Ir. Nana Mintarti, MP | 13 views

Seni membangun dukungan komprehensif bagi sebuah organisasi nirlaba, adalah aktivitas
penyadaran berbasis kesadaran akan multi-benefit dari adanya suatu dukungan
terhadapnya. Dengan ini, keberlanjutan organisasi bisa terus terpelihara

Pengabaian paradigma marketing dalam pengelolaan organisasi nirlaba, sering


menjadi kendala sukses. Para fungsionarisnya kurang tajam (atau malah tidak) berhitung
perspektif strategik, analisis potensi, dan “pasar yang dibidik”. Item pemikiran mengenai
stakeholder, brand image, core competence, kurang (atau malah tidak) menjadi perhatian
penting dalam mengelola organisasi.

Padahal, organisasi nirlaba memiliki sumberdaya yang harus diolah dan


dikembangkan, baik berupa dana program maupun sumberdaya manusia. Saatnya,
fungsionaris organisasi nirlaba berparadigma marketing. Ia harus meningkatkan kapasitas
semua sumberdaya manusia di dalamnya, agar piawai menjalankan organisasinya, solid
dalam mengkoordinasi operasi, serta menguasai teknologi pengembangan produk.

Agar sumberdaya organisasi nirlaba “bernilai jual”, mereka benar-benar dipoles


sehingga sanggup memberi value kepada stakeholder-nya. Wajah organisasi nirlaba,
terlihat dari program yang “dijual” dan “seni menjual” yang diekspresikan oleh para
pengelolanya. Organisasi nirlaba pun, perlu menjalankan prinsip marketing. Berikut ini,
sembilan prinsipnya – tertinspirasi dari pandangan Hermawan Kartajaya.

Prinsip (1) Segmentation : view your market creatively. Segmentasi adalah view
your market creatively, artinya organisasi nirlaba harus melihat “pasar”nya secara kreatif,
jangan hanya menjadi follower. Siapa sesungguhnya pasar organisasi nirlaba? Pasar
organisasi nirlaba secara garis besar adalah konstituennya, salah satunya adalah pihak-
pihak donor.

Organisasi nirlaba harus melihat pasarnya secara kreatif, karena tiap donor,
berbeda karakter. Karakter individual donor beragam, begitu juga karakter donor
perusahaan. Cermati lebih detail pasar besar donor Anda, jangan melihatnya sebagai
hutan, tetapi masukilah hutan, maka Anda akan melihat di dalamnya ada berbagai jenis
pohon.

Lakukan segmentasi, yaitu pengelompokan berdasarkan kesamaan karakter.


Fahamilah karakteristik kelompok dan ambillah sikap dan perilaku yang khas terhadap
tiap segmen donor yang mirip tadi sehingga bisa meraih manfaat maksimal.

Prinsip (2) Targetting: allocate your resources effectively. Alokasikan


sumberdaya yang ada pada “target pasar” donor yang sesuai dengan karakteristik
lembaga. Jangan mati-matian menyasar donor yang kurang pas dengan karakteristik
organisasi. Luangkan waktu dan penyasaran sumberdaya seefektif mungkin, karena
sumberdaya kita terbatas (waktu, tenaga, atau pikiran). Sesuaikan, organisasi Anda paling
pas menyasar pasar donor yang mana. Pusatkanlah perhatian Anda ke sana, agar tidak
perlu ada sumberdaya yang tersia-sia. Jangan ibarat Rambo yang mengobral banyak
peluru, tetapi jadilah sniper yang fokus dan hanya menyasar peluru pada sasaran yang
jelas, memilih sasaran target pasar utama. Pilih sasaran dengan possibility yang besar
untuk menerima proposal Anda.

Prinsip (3) Positioning: lead your customer credibly. Bahwa organisasi nirlaba harus
sanggup meyakinkan stake holder. Ini terkait pada positioning apa yang dipilih sebuah
organisasi nirlaba. Ia harus mampu menunjukkan positioning-nya. Pimpinlah
konstituen/stake holder sampai mereka percaya pada organisasi Anda. Untuk unggul,
organisasi nirlaba tidak perlu sama dengan lainnya. Justru ia harus mampu menunjukkan
keunikannya, pada hal yang sudah menjadi pilihan positioning-nya sampai hal ini
merasuki benak stakeholder. Siapapun stakeholder/konstituen organisasi nirlaba itu,
tunjukkan bahwa organisasi Anda punya positioning berbeda dibanding yang lain.

Untuk meraih kredibilitas, sebuah organisasi nirlaba perlu: (1) sadar kemampuan dan
potensi diri; (2) membuat stakeholder percaya oprganisasi Anda unik dan buktikan
keunikan itu sampai mereka percaya; (3) tunjanglah itu dengan bukti track record selama
ini

Prinsip (4) Differentiation: integrate your content and context. Content, adalah apa
yang menjadi isi (aktivitas) organisasi; sedangkan context adalah bungkusnya. Content
adalah about what to offer, program apa yang ditawarkan sebuah organisasi nirlaba;
sedangkan context, how to offer, bagaimana cara menyampaikan isi kepada khalayak. Tak
ada organisasi nirlaba yang bermaksud jelak. Semua mengusung nilai-nilai luhur untuk
kebaikan, tapi hanya karena salah menyampaikan, buruknya cara mengkomunikasikan
gagasan, memberi kesan sangar, arogan, emosional, maka maksud baik tadi akan gagal
memperoleh dukungan konkret. Malah, cenderung dihindari orang. Orang menjadi
enggan berhubungan dengan organisasi yang cara berkomunikasinya buruk.

Tips mengintegrasikan content dan context: (1) tentukan kekuatan lembaga Anda,
diferensiasi pada content ataukah context. Kalau belum mampu melakukan differensiasi
content, minimal lakukan differensiasi context, misalnya pada gaya penyampaiannya,
meski lebih baik jika diferensiasi itu bisa dilakukan pada keduanya (baik content maupun
context).

(2) Cocokkan diferensiasi yang Anda pilih dengan positioning organisasi yang telah
Anda tetapkan. Positining, sejatinya adalah strategi. Segmentation, targeting dan
positioning (prinsip pertama-kedua, ketiga), adalah strategi marketing (sosial), sedangkan
diferensiasi adalah unsur taktik.

(3) Yakinkan bahwa content dan context telah terintegrasi dengan baik. Kalau sebuah
organisasi memutuskan menjadi organisasi community development, jangan sampai
pencitraannya lebih menonjolkan kesan karitatifnya.
Prinsip (5) Marketing Mixed: integrate your offer and access. Marketing mix
meliputi 4P, product, price, place and promotion. Produk pada organisasi nirlaba, adalah
program dan layanannya pada stakeholder/konstituen. Produk ini harus konkret. Jika
sebuah organisasi nirlaba menyatakan, ia menempatkan diri pada posisi tertentu, ini
belum konkret. Tetapi kalau ia mampu mengkomunikasikan kemampuannya
(programnya), dan berapa dana yang diperlukan untuk mewujudkan itu, dan apa indikator
keberhasilannya (apa yang mau diraih), itu baru konkret. Gabungan antara product dan
price disebut “offer” (apa yang ditawarkan organisasi nrilaba kepada
konstituen/stakeholder). Ia harus menawarkan diri dalam arti apa service yang
dimilkikinya dan untuk itu ia harus menatapkan berapa dana dibutuhkan (price).

Organisasi nrilaba, juga harus diakses melalui place and promotion. Bagaimana
publik bisa mengakses, melalui jalur apa untuk mengakses organisasi Anda? Apa jasa
yang ditawarkan organisasi Anda? Apakah ditawarkan langsung/direct channel semisal
permintaan sumbangan langsung: (direct mail) ataukah menggunakan channel, misalnya
melalui media massa, social marketer, iklan layanan sosial di televisi, atau website.

Dalam merancang marketing mix, organisasi nirlaba harus kembali pada differensiasi; ia
mau different di bidang apa. Lakukanlah sesuatu secara berkesinambungan, agar sanggup
membuat khalayak mengingat differensiasi organisasi nirlaba Anda. Jangan lupa, lakukan
marketing mix organisasi nirlaba anda sedemikian rupa sehingga mudah diterima
khalayak.

Prinsip (6) Selling: build long-term relationship with your customer.


Lakukanlah hubungan jangka panjang dengan customer atau konstituen organisasi anda.
Prinsip ini, how to sell. Orang kerap menyamakan selling dengan marketing. Padahal,
selling adalah bagaimana mengintegrasikan antara organisasi anda, pelanggan
(konstituen) dan hubungan yang terbangun tersebut. Kalau mau menjual organisasi
nirlaba, bangun dulu relationship antara Anda dan customer (konstituen), integrasikanlah
lebih dulu baru melakukan penawaran. Jangan lakukan hard selling! Gaya “tembak
langsung“ biasanya gagal. Menjual barang di supermarket, memang bisa dengan hard
selling, mencantumkan harga dan membiarkan orang datang mengambil barang. Berbeda
dengan menjual organisasi nirlaba. Organisasi nirlaba memerlukan soft selling,
Mantapkanlah interaksi anda dengan market Anda, sehingga dari interaksi itu muncul
kesempatan melakukan penjualan. Kalau segmentation, targeting dan positioning
termasuk strategi marketing, selling, termasuk taktik (selain differentiation dan
marketing mix).

Hal yang perlu diwaspadai: (1) Diferensiasinya yang oke bukan jaminan sukses
organisasi nirlaba. Biasanya karena gagal dalam selling, program organisasi Anda sepi
dukungan. (2) Kalaupun bisa meyakinkan orang sehingga mendonasikan dananya untuk
program Anda, tetapi jika organisasi Anda gagal merawat relationship, program Anda
menjadi short-term, tak bakal ada sokongan lanjutan. Relationship harus berlangsung
terus-menerus, sampai tercipta customer bonding, ikatan dengan pelanggan. Maka
akhirnya ikatan ini bukan lagi sekadar merupakan financial bonding berparadigma
untung-rugi, melainkan emotional bonding, bahkan pada saatnya mencapai spiritual
bonding. Artinya, seluruh rangkaian hubungan itu, membuat organisasi Anda masuk
dalam batin stakeholder. Ini secara nyata menguatkan organisasi.

Selling sendiri ada beberapa jenis. Pertama, feature selling. Di sini, sebuah
organisasi menawarkan layanan-layanan lebih dibanding organisasi lainnya. Pada contoh
kasus Dompet Dhuafa, misalnya, bagi donatur, organisasi memberi kemudahan berdonasi
(melalui counter/gerai di pusat-2 keramaian, perbelanjaan; SMS Charity, Phone-
banking/ATM, penjemputan donasi). Bagi lembaga mitra, organisasi membuka
kesempatan magang atau serangkaian pelatihan.

Kedua, benefit selling, yaitu apa yang akan didapatkan stakeholder ketika
mempercayakan amanahnya pada organisasi kita. Bagi donatur, mereka mendapat kartu
diskon, kiriman bahan-bahan informasi, ID Number, laporan “rekening koran” per-
triwulan, atau kesempatan melakukan wisata sosial, dan sebagainya. Bagi lembaga mitra
atau jejaring, bisa melakukan co-branding dan penguatan citra. Bagi beneficiaries,
mereka tentu mendapatkan layanan sosial lewat berbagai program, misalnya untuk isu
kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, relief ataupun layanan karitatif.

Ketiga, solution selling, yang menawarkan diri untuk mengatasi problem yang dialami
oleh “customer”. Misalnya, donatur lembaga zakat memperoleh layanan konsultasi zakat,
konsultasi keagamaan dan penghitungan zakat. Bagi lembaga mitra/jejaring, ada
kesempatan memperoleh technical assistance untuk manajemen organisasi, fundraising,
dll.

Prinsip (7) Brand: Avoid the Commodity-Like Trap. Branding, adalah langkah
menghindarkan organisasi nirlaba yang Anda kelola dari pencitraan seperti kebanyakan
organisasi nirlaba. Untuk itu, mulailah mengatur langkah untuk dikenal, khususnya di
tengah sasaran utama Anda. Setelah dikenal, upayakan orang mengasosiasikan organisasi
Anda sebagaimana yang Anda maksudkan. Jangan sampai stakeholder/konstituen keliru
mempersepsikan organisasi Anda. Segenap aktivitas membangun brand, lakukan
sekomunikatif mungkin, hindari cara-cara yang menyulitkan orang memahami organisasi
Anda. Jika organisasi Anda belum seberapa dikenal, salah satu taktiknya, Anda bisa
melakukan co-branding, bergandengan dengan organisasi yang lebih kuat dalam
sejumlah event secara intensif.

Tips membangun merk (branding): Pertama, jangan pandang remeh nama organisasi
Anda. Jadikan nama organisasi nirlaba Anda diketahui orang banyak, sekaligus bangun
asosiasi apa yang diharapkan akan lekat dengan nama organisasi nirlaba tempat anda
berkiprah. Kedua, setiap orang dalam organisasi nirlaba, wajib membangun brand
organisasi. Walau awalnya dari lingkungan kecil, secara bertahap perluas itu, misalnya
dnegan rajin memuat organisasi Anda di media massa. Publikasi, adalah salah satu usaha
branding. Ketiga, jaga nama baik organisasi, sekalipun dalam usaha menjaga nama baik,
kadang memerlukan biaya. Rugi materi sejenak, tidak apa-apa, asal jangan kehilangan
nama baik. Tercemarnya nama baik organisasi, bisa lebih besar kerugiannya daripada
yang Anda duga.
Prinsip (8). Service: make service as your way of life. Jadikan servis sebagai
way of life setiap aktivitas organisasi nirlaba. Servis, bukan layanan biasa, ia ada tiga
tingkat: intelektual, emosional, dan spiritual. Servis intelektual, bagaimana Anda
belajar memberi servis yang baik, bisa mengacu pada service quality (ServQual). Bagi
sebuah organisasi, aktivisnya hadir sebagai pribadi yang bisa diandalkan (reliable);
buatlah orang yang Anda layani merasa diprioritaskan; yakinkan stakeholder, mereka
dilayani sebaik-baiknya. Buatlah sedemikian rupa, sehingga apapun yang dilakukan
organisasi Anda, itu dilakukan karena organisasi faham benar pekerjaannya. Jangan lupa,
setiap personal organisasi menjalankan prinsip terakhir servis: selalu tampil rapi sebagai
sesuatu yang kasat mata/tangible.

Tingkatan servis yang emosional: layanan dilakukan dengan penghayatan. Setiap


personalnya sanggup bekerja dengan suka hati, they like to do it. Tanpa itu layanan akan
hambar. Selamatkan personal organisasi nirlaba dari perasaan minder karena harus
melayani. Perasaan rendah saat melayani, sulit menghasilkan layanan yang baik.
Pesankan dalam diri setiap personal organisasi nirlaba, dalam pelayanan, selalu feel good.
Setiap orang dilatih good mood, selalu. Jika layanan dilakukan dalam mood jelek, yang
dihadapi juga sedang jelek, hasilnya: kerap salah faham, salah mengerti, memicu hal
yang tak diinginkan.

Tingkatan servis tertinggi, servis yang bersifat spiritual. Setiap servis yang
dijalankan personal organisasi diyakini sebagai ibadah. Setiap personal yang bekerja di
dalam organisasi nirlaba, melihat apa yang dikerjakannya sudah menjadi permintaan
Tuhan. Kalau risih dipandang setinggi itu, minimal, tugas personil organisasi nirlaba di
dunia ini untuk melayani orang lain dalam wujud yang berbeda-beda. Dalam level
spiritual, manajer marketing organisasi nirlaba melakukan pekerjaannya bukan sekadar
karena tugas intelektual atau karena ia menyukai pekerjaannya, tetapi juga karena ia
merasa harus melakukan itu, I have to do something. Karena kehadirannya di dunia ini,
untuk berbuat sesuatu. Jika dalam diri personal organisasi nirlaba ada spirit yang bersih,
bahwa itu adalah kekuatan yang diridhoi Tuhan, output berupa layanan biasanya
merupakan layanan terbaik yang bisa dilakukan organisasi Anda.

Tips Melayani Stakeholder sebagai Way Of Life: Pertama, kuasai teknik servis.
Itu baru pada intelektual level; Kedua, personal organisasi nirlaba wajib berkesanggupan
mengontrol mood maupun mengidentifikasi mood orang lain. Ini berguna dalam memberi
empati secara benar terhadap stakeholder yang dilayaninya. Ketiga, kemantapan layanan,
bisa diberikan dengan kesadaran bahwa servis organisasi nirlaba adalah tugasnya di
dunia. Sebagai manusia, aktivis organisasi nirlaba meyakini apa yang dilakukannya
adalah tugas, amanah Tuhan. Layanan yang tulus, insyaAllah mendongkrak value dan
brand organisasi nirlaba yang Anda kelola.

Prinsip (9). Process: improve your quality, cost, and delivery. Proses, tak lebih
dari QCD – quality, cost, delivery. Selalulah berpikir memberi layanan berkualitas, hemat
biaya, dan tepat waktu. Proses yang wajib dijalani: Pertama, delivery order regular, apa
yang dikerjakan sebuah organisasi nirlaba, lakukan dengan benar, dengan kualitas
layanan terbaik, efisien dan on time sehingga orang akan percaya pada organisasi Anda.
Kedua, memproses customer complaint atau customer handling sebaik-baiknya. Kritik,
saran, permintaan informasi, layani dengan baik, tempatkan personil yang benar-benar
sesuai untuk tugas ini. Ketiga, selalu memproses hal baru, ragam layanan baru, inovatif,
kreatif. Saat berinovasi, tetap dalam koridor kesadaran akan kualitas, efisiensi dan
delivery. Jangan selalu menjadi mengekor, siagalah untuk selalu menjadi pioner,
sehingga Anda akan selalu diingat stakeholder.

Penulis:

Ir. Nana Mintarti, MP

Direktur Utama IMZ

Mengentaskan Kemiskinan Melalui Filantropi Islam


Berbasis Pemberdayaan Komunitas
22 July 2009 by admin | 60 views

Khusus untuk filantropi Islam, lembaga-lembaga Filantropi Islam selama hampir tiga
dekade terakhir, hadir untuk menjawab masalah kemiskinan. Namun demikian, hanya
sedikit yang mencoba mengatasi masalah ini dari akarnya.

Diskursus mengenai peran filantropi Islam (kedermawanan dalam Islam) kian hari
semakin menarik untuk dikaji. Lebih lagi, di saat krisis ekonomi global yang terus
menghantui perekonomian nasional kita. Apalagi, stagnasi atau bahkan bertambahnya
jumlah angka kemiskinan dari tahun ketahun menunjukkan ketidakmampuan negara
mensejahterakan rakyatnya.

Lebih lagi, terpaan krisis ekonomi yang ditandai naiknya harga barang-barang
kebutuhan pokok, dan tidak berimbangnya jumlah pendapatan dengan pengeluaran yang
seharusnya, menjadikan masyarakat semakin sengsara dan terjepit. Akhirnya kadangkala
tak peduli nyawa sebagai taruhannya, mereka tetap berjuang demi sesuap nasi hari ini.
Pada kondisi seperti ini, seharusnya negaralah yang paling bertanggungjawab.

Namun kita memahami sepenuhnya dengan apa yang telah terjadi dengan
kemampuan negara ini. Belum lagi kompleksitas persoalan yang mengitarinya. Pada
intinya, negara telah gagal membawa warganya terbebas dari kemiskinan yang permanen.
Di titik inilah, negara sangat membutuhkan ”aktor” lain yang bisa membantunya.
Disinilah peran vital lembaga-lembaga filantropi Islam sangat dibutuhkan.

Beberapa pihak menilai bahwa krisis ekonomi Indonesia telah banyak


menjadikan warganya ”kaum pengemis” di negeri sendiri. Tudingan ini dilatarbelakangi
oleh semakin meningkatnya jumlah angka kemiskinan dan pengangguran sebagai akibat
ketidakmampuan pemerintah dalam menangani negeri gemah ripah loh jinawi ini. Jeritan
dan ratapan derita rakyat kecil tak pernah menyentuh hati nurani para pemimpin untuk
terus memperbaiki nasib mereka. Belum lagi, spiral krisis kini semakin tak berujung dan
belum ada titik terang untuk keluar darinya.

Keterpurukan ini dilengkapi lagi dengan keserakahan, dimana semakin banyak


orang-orang yang mendapatkan harta dari cara-cara tak halal dan menghalalkan segala
cara. Meluasnya tindak kejahatan korupsi tanpa mempertimbangkan dampak yang
ditimbulkannya juga menambah krisis ini menjadi semakin kompleks. Dalam situasi
inilah filantropi Islam, lagi-lagi bisa mengambil peran yang cukup signifikan.

Di Indonesia, praktek filantropi Islam telah berakar kuat dalam tradisi masyarakat
Indonesia yakni dalam bentuk zakat, infaq, dan sedekah. Apalagi dengan situasi krisis
moneter yang sampai kini masih terasa dan berbagai bencana alam yang datang silih
berganti telah menggairahkan dunia filantropi di Indonesia. Aktifitas lembaga-lembaga
sosial marak luar biasa, aliran bantuan uang dan barang pun tercatat mencapai triliunan
rupiah. Khusus untuk filantropi Islam, lembaga-lembaga Filantropi Islam selama hampir
tiga dekade terakhir, hadir untuk menjawab masalah kemiskinan. Namun demikian,
hanya sedikit yang mencoba mengatasi masalah ini dari akarnya.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh CSRC UIN Jakarta, dana filantropi
yang disumbangkan oleh masyarakat Muslim Indonesia mencapai angka 19,3
Trilyun/tahun. Namun, dana itu ternyata tidak mampu digunakan untuk mengentaskan
kemiskinan. Alih-alih, justru menciptakan ketergantungan dan melestarikan kemiskinan
itu sendiri. Bahkan asset wakaf yang bernilai 590 trilyun ternyata 80% hanya digunakan
untuk masjid dan pekuburan.

Akar masalahnya ada dua. Pertama, pemahaman masyarakat terhadap filantropi


islam masih tradisional dan berorientasi karitatif. Penelitian CSRC telah mengkonfirmasi
bahwa 90% lebih dana zakat dan sedekah dberikan secara langsung kepada penerima
(mustahik). Dimana sebagian besar diperuntukkan bagi tujuan-tujuan konsumtif dan
berjangka pendek.

Kedua, lembaga filantropi yang ada (Lembaga Amil Zakat atau LAZ/Badan Amil
Zakat atau BAZ) tidak bersinergi dengan baik dan kurang menekankan pemberdayaan
komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan. Kita bisa bayangkan jika seluruh lembaga
filantropi di tanah air ini bersatu dan bersinergi dalam bentuk program pengumpulan dan
penyaluran dengan menetapkan skala prioritas bersama. Sungguh akan prestisius dan
menakjubkan dampak yang akan diterima masyarakat.

Praktek filantropi islam seperti ini, selain karena faktor sosio-ekonomi, dimana
banyak masyarakat yang tidak mampu di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, juga
karena memiliki dasar dalam ajaran agama yang menekankan pentingnya memberi
sumbangan kepada kerabat dekat terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan upaya
mempromosikan lembaga-lembaga perantara seperti lembaga amil zakat permanen,
belum mendapat sambutan dan kepercayaan luas dari masyarakat.
Namun demikian, Dalam kurun waktu dua dekade belakangan ini, aktifitas
Filantropi islam di Indonesia patut dibanggakan karena mengalami perkembangan yang
signifikan. Perkembangan ini ditandai dengan beberapa hal:

Pertama, meningkatnya antusiasme ummat dalam berfilantropi. Indikator


utamanya adalah lahirnya sejumlah organisasi filantropi, bila dulu kita hanya mengenal
Badan Amil Zakat, kini aktivitas itu menajdi terstruktur dalam banyak lembaga
intermediari baru yang profesional. Misal Dompet Dhuafa (DD), Pos Keadilan peduli
Umat (PKPU), Rumah Zakat, Tabung Wakaf, dan sebagainya.

Kedua, indikasi filantropisasi juga tampak jelas dalam meningkatnya kualitas dan
kapasitas lembaga-lembaga yang mengelola dana ZIS. Dengan tenaga muda terampil dan
terdidik sebagai pengelola dana ZIS, disertai dengan pemanfaatan teknologi maka dapat
meningkatkan kemampuan penggalangan maupun distribusi dana kepada para penerima.
Belum lagi, belakangan ini pula, filantropi Islam juga disokong oleh dana sosial
perusahaan atau corporate social responsibility. Dimana perusahaan itu tidak hanya
bertanggung jawab pada pemegang saham perusahaan saja atau shareholder tetapi juga
bertanggungjawab juga pada masyarakat sekelilingnya melalui kegiatan-kegiatan sosial
yang dilakukannya.

Aktifitas filantropi ini secara perlahan namun pasti mulai menemui


momentumnya untuk bergerak menuju filantropi yang berkeadilan sosial. Yang dimaksud
dengan keadilan sosial disini adalah pemberian sumbangan kepada organisasi-organisasi
non profit yang bekerja untuk melakukan perubahan-perubahan struktural meningkatkan
peluang bagi semua orang, terutama bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi,
sosial dan politik (Brenda Hanzl dan John Hunsaker, Understanding Social Justice
Philanthropy).

Ke depan, seluruh aktivitas filantropi Islam harus lebih diarahkan kepada


pengarusutamaan filantropi untuk pemberdayaan komunitas yang integral dan
berkelanjutan dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan. Filantropi untuk karitas
seyogyanya mulai dikurangi porsinya, walau sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Hal ini
disebabkan karena manfaat yang dihasilkannya jauh lebih besar dan berorientasi jangka
panjang. Istilahnya Filantropi Islam harus memberikan kail dan bukan ikannya.

Sebagai modal dasar mencapai keadilan sosial, maka lembaga-lembaga filantropi harus
memiliki citra dan positioning yang tepat dan dapat dipertangungjwabkan kredibilitasnya.
Untuk itu diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:

Pertama, perlunya membangun community Awareness melalui berbagai media


komunikasi dengan memberikan beberapa contoh best practice filantropy yang telah
mengubah kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat dari kondisi yang
memprihatinkan kearah yang hidup lebih baik. Cara ini dipandang cukup efektif dalam
mengugah dan menyadarkan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berderma.
Kedua, membangun citra lembaga melalui peningkatan sumber daya manusia dan
pengelolaan dana yang dapat dipertanggunjawaban, transparan dan accountable serta
dana filantropi berdaya guna bagi penerima manfaat (beneficiaries). Masyarakat yang
sudah berderma akan merasa puas dan berkesan bahwa niat untuk membantu masyarakat
yang kurang beruntung sudah tercapai.

Ketiga, membangun Konsistensi sebagai lembaga yang indenpenden, objektif dan


netralitas serta profesional dalam menjalankan program-programnya. Biasanya si
penderma atau masyarakat akan melihat lembaga konsistensi dalam menjalankan visi dan
misi, lembaga dianggap opportunies akan ditingalkan.

Untuk merealisasikan seluruh agenda Filantropi untuk keadilan sosial di atas


maka perlu diambil langkah-langkah strategis, diantaranya: Pertama, menyatukan dan
memantapkan persepsi, visi, misi dan model pemberdayaan komunitas yang terintegrasi
dan berkelanjutan di antara stakeholder filantropi seperti pengurus LAZ/BAZ dan CSR
yang sudah memiliki kegiatan pemberdayaan.

Kedua, meningkatkan wawasan dan skill para pengurus LAZ/BAZ dan CSR dalam
menjalankan program pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Ketiga, membangun kemitraan antara LAZ/BAZ dan CSR dalam rangka


menjalankan program bersama pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan
berkelanjutan.

Keempat, mentransfer model pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan


berkelanjutan kepada LAZ/BAZ dan CSR yang belum memiliki kegiatan pemberdayaan.

Jika beberapa point diatas dapat direalisasikan dengan baik, diyakini betul
filantropi untuk keadilan sosial melalui pemberdayaan komunitas akan berjalan dengan
baik dan menghasilkan manfaat yang berlipat ganda bagi masyarakat. Akhirnya
kemiskinan dan keterpurukan akan mulai meninggalkan kita menuju kesejahteraan dan
kemakmuran. Amien.

—the end—

Data Penulis:

Nama : Sholehudin A. Aziz, MA

Lembaga : Peneliti CSRC UIN Jakarta

Alamat : JL. Kertamukti No. 5, Pisangan, Ciputat

Telp/Hp : 081310758534

Email : bkumbara@yahoo.com
Foto: Kampoeng Ternak- Dompet Dhuafa

PEMASARAN NIRLABA

Direct marketing nirlaba merupakan urusan yang sangat pelik, karena meminta
sumbangan benar-benar merupakan tindakan yang tidak alami. Surat permintaan
sumbangan harus mampu membujuk penerima surat agar mengambil tindakan yang oleh
kebanyakan umat manusia dianggap sebagai sesuatu yang aneh: memberikan uang
kepada orang lain.

Apa yang Memotivasi Orang Sehingga Mau Menyumbang?


Permohonan penggalangan dana perlu dibangun berdasarkan psikologi memberi.
Pusatkan perhatian pada kebutuhan, keinginan, dan urusan mereka yang kita kirimi surat.
Tugas kita adalah memotivasi mereka. Lima ”motivator besar” yang menjelaskan
timbulnya tanggapan: ketakutan, eksklusivitas, rasa bersalah, keserakahan, dan
kemarahan. Paling tidak ada terdapat belasan alasan mengapa orang mau menanggapi
surat permintaan sumbangan. Salah satu alasannya mungkin tema atau pancingan.
Sepertinya beberapa dari alasan ini bisa membantu dalam mendorong setiap pemberian:

Anda Meminta Mereka Menyumbang.


Penelitian menegaskan bahwa para pendonor ingin diminta untuk memberi sumbangan.
Ketika kita menulis suatu permintaan sumbangan, ingatlah realitas-realitas tersebut.
Jangan biarkan sikap malu-malu kita dalam meminta sumbangan membuat surat kita
terasa menyesal.

Mereka Mampu Menyumbang.


Sebagian besar sumbangan individu yang diberikan kepada lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi nirlaba merupakan sumbangan kecil yang dikeluarkan dari
pendapatan berlebih yang boleh dikeluarkan sesukanya. Bagi kebanyakan keluarga uang
yang bergantung pada pendapatan gaji atau upah sepanjang tahun, jumlah pendapatan
yang dikeluarkan bisa terisi lagi setiap bulan. Maka yang kita bidik adalah uang yang
tidak begitu besar ini. Jika permohonan kita bersifat persuasif, organisasi kita bisa masuk
dalam kelompok lembaga amal terpilih yang menerima sumbangan dari keluarga donor
dalam bulan tertentu.

Mereka Donor yang Teruji.


Derma adalah kebiasaan yang terbentuk karena kebiasaan. Direct Marketing Association
(DMA), sebuah asosiasi perdagangan industri terkemuka, secara periodik melakukan
survei pada masyarakat Amerika, dan 50 persen masyarakat Amerika ternyata adalah
masyarakat ”tanggap pos”. Survei-survei juga mencerminkan semakin pentingnya
permintaan sumbangan lewat pos langsung dalam proses penggalangan dana. Penelitian
menunjukkan kalau surat-surat permintaan sumbangan merupakan sumber pemberian
derma nomor satu di Amerika Serikat.

Mereka Mendukung Organisasi Seperti Organisasi Anda.


Pendonor kita bukanlah milik kita sendiri, karena para pendonor tersebut memiliki minat
khusus, hobi, atau keyakinan-keyakinan tersendiri. Misalnya, seorang yang memandang
dirinya sebagai pecinta lingkungan mungkin menjadi anggota di lima kelompok terkait
dengan ekologi: keanggotaan yang mencurahkan kegiatannya pada konservasi tanah,
melindungi satwa, hutan hujan, dsb. Ada banyak pola hidup dalam manusia. Surat
permintaan sumbangan kita sangat mungkin membuahkan hasil jika memang benar-benar
cocok dengan salah satu pola tersebut.

Mereka Ingin Membuat Perbedaan.


Para pendonor ingin diyakinkan apakah investasi mereka dalam organisasi kita akan
mencapai sebagian tujuan yang mulia. Seperti setiap orang lain yang ada di planet ini,
pendonor kita berusaha menjadi manusia yang efektif. Kita bisa membantu mereka
dengan cara memperlihatkan benar-benar betapa efektifnya mereka itu.

Mereka Ingin Melihat Hasil Segera.


Keadaan mendesak merupakan unsur penting dalam surat permintaan dana. Jika uang
yang diberikan pendonor kepada kita minggu ini tidak akan segera menghasilkan
perbedaan, maka para pendonor akan berpikir sebaiknya mengirimkan uangnya ke
beberapa yayasan lain yang telah meminta bantuan dan benar-benar memerlukannya.

Mereka Ingin Diakui Akan Perbuatan Baikanya.


Kita menyentuh ego para pendonor – atau keinginan mereka untuk meningkatkan citra
publik mereka – ketika kita menawarkan diri akan mengakui pemberian mereka dengan
cara kasatmata dan terbuka. Penyebutan nama donor dalam buletin, beri mereka piagam,
sertifikat, lencana, atau gelang lengan yang bisa mereka perlihatkan, cantumkan namanya
dalam video, sebuah rilis pers. Jika program penggalangan dana kita bisa memberi
pengakuan yang tepat dan penuh cita rasa, kita kemungkinan bisa meningkatkan
tanggapan atas permohonan sumbangan dengan cara menjelaskan peluang pencantuman
nama dalam surat atau buletin. Biarpun para pendonor memilih untuk tidak dimasukkan
dalam surat cetakan atau disebutkan secara umum, mereka mungkin sangat puas melihat
kita sangat menghargai kontribusi yang mereka berikan.

Mereka Menginginkan Hadiah yang Anda Tawarkan.


Alasan lain mengapa orang-orang mengirimkan uang adalah karena memberi mereka
sesuatu yang nyata sebagai imbalannya. Kadang, hadiah-hadiah disertakan dalam surat
permohonan sumbangan itu. Hadian di depan ini sering bisa mendongkrak tanggapan dan
sering bisa menghemat biaya, paling tidak dalam jangka pendek. Dalam kasus lain,
dijanjikan hadian yang akan diberikan kemudian pada suatu surat permohonan
sumbangan dana sebagai ”tanda penghargaan yang tulus dari kami” ketika pendonor
menanggapi dengan mengirim sumbangan dalam jumlah tertentu. Apa pun yang
digunakan, hadiah menggugah hati sanubari yang ada pada umat manusia.

Mereka Ingin Didengar.


Lembaga amal memberi kita cara untuk merespons semuanya itu dengan membantu
menyembuhkan si sakit atau jiwa-jiwa yang dirundung duka, mengajarkan cara-cara baru
kepada generasi muda atau memberi makan mereka yang kelaparan. Permintaan kita akan
memicu pemberian sumbangan jika memang bisa menghadirkan perasaan-perasaan yang
mampu menggerakkan kita untuk bertindak, kendati mengetahui tindakan itu saja tidak
pernah cukup. Jika kita memberikan harapan tertentu dalam dunia yang sedang dirundung
duka ini, para pendonor akan segera merengkuhnya seperti merengkuh pelampung
penyelamat yang dilemparkan ke depan mereka.

Tujuan Mulia Anda Didukung oleh Selebriti.


Banyak cara yang mungkin bisa ditempuh untuk menonjolkan identitas, kepribadian atau
prestasi-prestasi seseorang dalam permohonan dana. Jika prestasi atau sifat penanda
tangan surat itu menimbulkan kekaguman atau bahkan sekadar hubungan pribadi di masa
lalu, sebagai tanggapannya para pendonor mungkin tergerak hatinya untuk mengirimkan
sumbangan. Peluang untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang dikenal atau
dihormati bisa memberi pendonor cara untuk menguatkan kecenderungan-kecenderungan
mulia mereka, atau mengimbangi apa yang menurut keyakinan mereka merupakan
kekurangan mereka.

Anda Membantu Mereka dalam Memberi Perlawanan.


Bagi kebanyakan orang, memberi derma merupakan cara yang bisa diterima secara sosial
untuk melawan semuanya itu. Apakah organisasi kita adalah organisasi kepentingan
publik yang ditujukan untuk memerangi korupsi di pemerintahan atau lembaga amal yang
ditujukan untuk menyatakan keadilan tuhan, organisasi kita bisa membantu para
pendonor menyalurkan perasaan-perasaan kotor mereka ke dalam upaya memperlihatkan
naluri-naluri terbaik mereka.

Mereka Ingin Menjadi Bagian Lingkaran dalam Anda.


Tugas utama kita sebagai pengumpul dana adalah membangun hubungan dengan para
pendonor. Oleh karena itulah, mengapa begitu banyak organisasi yang menggunakan
program-program keanggotaan, klub-klub pemberi dan masyarakat-masyarakat penderma
bulanan.

Anda Memberi Mereka Forum untuk Menampung Opini Mereka.


Tindak mengirimkan amal ke beberapa organisasi nirlaba mungkin merupakan cara untuk
menyuarakan opini mereka. Tetapi kebanyakan pendonor mungkin mengabaikan
kesempatan untuk memberikan saran, mereka mungkin menganggap permintaan untuk
memberikan saran seperti itu sebagai tanda rasa hormat dan perhatian kita kepada
mereka.

Anda Memberi Mereka Akses Ke Informasi Dalam.


Setiap organisasi nirlaba mengolah informasi yang tidak banyak dikenal publik dan yang
oleh para pendonor mungkin dipandang sangat berharga. Pemberian informasi dalam
yang secara intrinsik sangat berharga dan dengan begitu berarti pemberian dari kita juga
membantu membangun hubungan penggalangan dana yang kuat dengan cara melibatkan
para pendonor kita dalam kegiatan yang terinci di organisasi kita.

Apa yang Membuat Penggalangan Dana Berbeda?


Anda Tidak Memiliki Produk Komersial.
Dalam pemasaran biasa, Anda memiliki produk atau jasa yang ingin Anda jual yang
sekiranya akan menguntukan calon prospek Anda. Anda tinggal membawa apa yang
Anda miliki, menjelaskan keunggulan, menguraikan ciri-cirinya kemudian langsung
menuliskan naskah surat pemasaran atau iklan yang menyentuh hati. Meskipun demikian,
pada penggalangan dana, anda tidak mempunyai produk atau jasa seperti itu, namun anda
memiliki tujuan. Kebutuhan yang muncul dari hati sanubari. Anda tidak merangsang
ketamakan seseorang, tapi meminta uang kepada mereka, menggugah ketulusan hati,
keyakinan dan martabat mereka dan kadang rasa haru mereka pada orang lain. Para
penggalang dana merupakan futuris yang menjual ide, peluang, prestise, dan bahkan
semacam keabadian.

Renungkan hal ini, jauh lebih mudah menerima uang dari seseorang untuk membayar
jasa atau produk yang mereka terima. Tapi berusahalah meminta – tanpa imbalan apa-
apa, dan anda akan tahu mengapa penggalan dana bukan bagi mereka yang malu-malu.

Anda Tidak Memberi Solusi bagi Calon Prospek Individu.


Pada pemasaran antarbisnis, umunya Anda menawarkan suatu produk atau jasa yang
sekiranya akan mampu memecahkan beberapa jenis persoalan yang dihadapi oleh
prospek Anda. Akan tetapi dalam penggalangan dana, Anda melibatkan prospek tapi
tujuan Anda adalah membujuknya agar mau membantu Anda dalam memecahkan
masalah orang lain. Idealnya orang lain tersebut adalah seseorang yang bisa berhubungan
dengan prospek Anda atau seseorang yang diperhatikan prospek Anda. Bukan
memberikan solusi bagi prospek Anda demi kebaikan mereka, Anda bisa merekrutnya
untuk menjadi solusi bagi orang lain.

Anda Memiliki Tujuan Tunggal – Bukan ”Lini Produk” Penuh.


Seperti pada direct marketers lainnya, kelompok nirlaba perlu “mengulangi bisnis”nya
yakni kontribusi dari para pendonor sebelumnya agar bisa bertahan hidup. Tapi, bila para
pemasar komersial bisa kembali ke para pelanggannya yang dahulu dengan membawa
produk-produk baru, kelompok-kelompok nirlaba tentu sering kembali ke orang-orang
yang sama dengan maksud tunggal yang sama.

Oleh karena itu, Anda tahu penggalangan dana tidaklah sama dengan menjual produk
dengan menjual produk atau jasa di mana Anda memiliki sesuatu yang lebih untuk
ditawarkan kepada prospek Anda. Memang benar, kalau pencari dana harus bersikap
kreatif untuk memberikan alasan “baru” dalam memberi, tapi pemberian itu pada
dasarnya ditujukan untuk maksud yang sama.

Anda Membidik Khalayak Ganda.


Pada direct marketing pelanggan, Anda mengirim surat ke pasar-pasar sasaran khusus.
Tapi pada penggalangan dana, Anda harus menentukan maksud tunggal dan membuat
agar maksud itu bisa menarik bagi berbagai prospek, yang meliputi individu ataupun
korporasi. Penggalang dana harus kreatif dan lincah, mampu menjangkau siapa pun yang
ada di satu tingkat – sesuai dengan kebutuhannya.

Pendekatan Anda Agak Terbatas.


Sekali lagi tergantung pada hakikat peristiwa atau tujuannya, tapi yang paling bagus
adalah mempertahankan nada kejujuran yang konsisten dalam komunikasi Anda. Hal
seperti itu terutama berlaku pada direct mail dimana prospek tidak bisa bertemu muka
dengan Anda.
Posted by Fiba Fitrisia at 20:37

1 dari 1 Kompasianer menilai Menarik.

Jumlah Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Indonesia dapatlah dijadikan indikator dari
tingkat perhatian masyarakat dalam menjadikan zakat sebagai salah satu instrument sosial
keagamaan dalam mengurai masalah kemiskinan di negeri ini. “Saat ini, terdapat 429
BAZ (Badan Amil Zakat) tingkat Kota/Kabupaten, 33 BAZ Tingkat Provinsi, 4771 BAZ
Tingkat Kecamatan serta 18 LAZ (Lembaga Amil Zakat) Tingkat Nasional” sebut Prof.
Dr. Didin Hafidhuddin, MSc pada Seminar Pengelolaan Zakat yang diselenggarakan di
gedung DPR, 4 Maret 2010 silam.

Namun jumlah yang begitu besar ternyata tidak diiringi dengan jumlah penghimpunan
dana zakat yang diperoleh. Salah satu penyebabnya ialah tidak meratanya tingkat
profesionalitas dalam menghimpun dana zakat oleh mereka. Fidhia Fitriani (23 tahun)
Mahasiswi SEBI Program Konsentrasi Studi Akuntansi dan Manajemen Zakat, merekam
dengan baik apa yang sebenarnya menjadi akar permasalahan hal di atas, bahwa “Telah
terjadi gap dalam tingkat pemahaman dan teknik bagaimana strategi menghimpun dana
zakat yang kerap dilakukan oleh BAZ dan LAZ”. Hal senada juga telah ia tuangkan
dalam Skripsinya yang berjudul “Analisis Strategi Pemasaran pada Penghimpunan Dana
Zakat di BAZ Kota Depok 2010”.

Sebagai lembaga publik yang bermodalkan kepercayaan masyarakat agar dalam


menjalankan aktivitas perannya, maka strategi yang sepatutnya dimainkan oleh OPZ
adalah mengelola dana zakat masyarakat secara professional seperti layaknya sebuah
perusahaan. Sebuah system dapat berjalan optimal, salah satunya pasti akan
membutuhkan asupan gagasan dari staff yang professional.Tapi sayangnya, masih banyak
OPZ yang belum menerapkan strategi pemasaran secara jitu, khususnya yang terjadi pada
OPZ berbasis pemerintah atau BAZ. Karena hingga saat ini terdapat banyak BAZ yang
justru melulu terjebak hanya pada permasalah SDMnya yang sebagian besar berasal dari
pensiunan PNS atau merangkap jabatan lain pada instansi pemerintahan yang ia pegang.
Akibatnya, potensi dana zakat yang tersedia ternyata hanya dikelola dengan cara paruh
waktu.
Fidhia menambahkan, pada tahun 2007 seperti yang ia telah baca pada laporan Indonesia
Zakat Development Report (IZDR) 2010 bahwa pengumpulan dana ZISWAF nasional
tercatat sedikitnya 340 milyar, dimana jumlah 200 milyarnya berasal dari jumlah yang
dihimpun oleh LAZ. “Seandainya saja BAZ-BAZ bisa mengikuti ‘irama’ LAZ yang ada,
pasti BAZ juga akan mampu memperoleh jumlah yang sama” tegasnya.
Menjadi bagian dalam barisan yang memajukan zakat di Indonesia adalah ‘bintang
terang’ yang kini ia ingin raih. Bermula dari kesempatan beasiswa untuk melanjutkan
perguruan tinggi yang Fidhia peroleh dari BAZNAS telah menjadi momentumnya untuk
terjun ke dunia zakat. “Pokoknya sekarang, saya itu kepingin sekali menjadi amil zakat
yang serius mendesain program pendayagunaan dana zakat, karena semakin bagus
program pendayagunaan sebuah lembaga zakat pasti akan berpengaruh juga pada jumlah
penghimpunan dana yang masuk”

Sejak tahun 2005, Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), sebagai lembaga yang fokus
dalam riset, advokasi dan peningkatan kapasitas pengelolaan zakat dan dana masyarakat
telah menggulirkan sebuah pendidikan formal zakat. Sebuah instrument pendidikan
formal yang khusus didekasikan demi mencetak lulusan yang ahli di bidang zakat.Dalam
perjalanannya, tidak sedikit lembaga zakat baik BAZ maupun LAZ telah memberikan
dukungan konkrit terhadap program ini melalui guliran dana beasiswa. Kini program ini
telah disinergikan bersama SEBI, menjadi salah satu pilihan program konsentrasi studi
untuk para mahasiswa/i nya.

Anda mungkin juga menyukai