Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH USHUL FIQH

PEMBAHASAN TENTANG TA’ARUD AL ‘ADALAH DAN METODE


PENYELESAIAN : AL JAM’U WA AT-TAUFIQ
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Ushul Fiqh II yang di am
puh oleh :
Dr.Arijulmanan, S.S., M.H.I

Disusun oleh :
Fitri Raya Sari 202031011
Ulfa Muallifah 202031029

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIDAYAH BOGOR
Jl. Raya Dramaga No.29 RT.03/RW.02 Margajaya Kec.Bogor Barat Kota Bogor
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahilladzy bi ni’matihii tatimmus ash-shalihaat. Segala puji
hanyalah milik Allah Tabaraka Wa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah pada mata
kuliah Fiqh Muamalah yang bertemakan “Pembahasan Mengenai Ta’arud
Al’Adalah dan Metode Penyelesaian : Al-Jam’u Wa At-Taufiq (Markudi dan
Purwanto)” dengan lancar dan tepat pada waktu yang sudah ditentukan.
Pada kesempatan materi kali ini, kami akan mencoba memaparkan
mengenai “Ta’arud Al’Adalah dan Metode Penyelesaian : Al-Jam’u Wa At-
Taufiq (Markudi dan Purwanto)”. Harapan kami, semoga makalah ini bermanfaat
bagi para pembaca khususnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Walaupun hanya
setetes tinta yang kmai goreskan dan mungkin jauh dari kesempurnaan dalam
penulisan makalah ini.
Terlepas dari semua hal diatas, tentunya kami banyak menyadari bahwa
tulisan kami belumlah sempurna tentu masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu kami memberikan kelapangan hati kepada para pembaca tulisan ini untuk
sekiranya memberikan masukan atau tambahan guna menjadikan karya tulis kami
menjadi lebih baik lagi.

Terakhir, kami mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah


memberikan motivasi dalam penulisan makalah ini, semoga mendapatkan balasan
dari Allah Ta’ala dan semoga kita semua selalu dilimpahkan taufik dan hidayah-
Nya. Aamiin Yaa Rabbal ‘alamiin.

Bogor, 4 Rabi’ul Akhir 1443 H

Raya dan Ulfa


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap metodologi Istinbath hukum islam, baik aliran madzhab Ushul
Fiqh dan pakar hukum Islam mengistilahkan dengan ta’arud al-’adillaah, ta’adul
al-’adillah atau taqobul al-’adillah. Dalam menyikapi ta’arud al-’adillah ini,
aliran Mutakallimin dan Ahnaf menempuh langkah dan metode yang tidak sama;
Pertama, tahapan dan metode yang ditempuh Mutakallimin dalam menyelesaikan
pertentangan dalil diawali dengan metode al-jam’u wa at-taufiq, at-tarjih, nasakh
dan terakhir dengan tasaqut ad-dalilain. Sementara aliran Ahnaf, tahapan dan
metode penyelesaian dalil yang bertentengan menggunakan langkah; pertama
nasikh, tarjih, al-jam’u wa at-taufiq dan tasaqut ad-dalalain. Kedua, kesamaan
aliran Mutakallimin dan Ahnaf ketika menjumpai pertentangan dalil, keduanya
menggunakan metode yang sama, yang justru berbeda pada tataran langkah atau
tahapan yang mereka gunakan. Tahapan dan metode yang ditempuh aliran
Mutakallimin pertama al-jam’u wa at-taufiq, sementara tahapan metode aliran
Ahnaf pertama adalah menggunakan nasakh. Aliran Mutakallimin lebih
mendahulukan al-jam’u wa at-taufiq daripada melakukan tarjih, sementara aliran
Ahnaf adalah mendahulukan tarjih daripada harus kompromi dalil atau al-jam’u
wa at-taufiq.
Bagi setiap muslim, tindak-tanduk yang dilakukan dalam kehidupannya ha
rus senantiasa selaras1 dengan perintah Allah, sebagai perwujudan dari keimanan
kepadaNya. Perintah Allah tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yan
g disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam2 melal
ui sang pembawa wahyu yang termaktub dalam al-Quran dan penjelasan-penjelasa
n yang diberikan oleh Nabi Muhammad sendiri mengenai wahyu Allah tersebut y

1
Untuk mencapai keselarasan aktivitas manusia dengan perintah Allah dibutuhkan k
etercapaian standar khusus sebagai seorang manusia yang layak diberikan beban d
ari perintah Allah yang melekat pada diri manusia (baca: mukallaf), di samping itu
dia harus memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami perintah Allah mengena
i ketentuan yang menyangkut tentang dirinya. Tentunya, mengetahui tentang
perintah Allah sangat berhubungan dengan sejauh mana setiap manusia dapat menjala
nkan akal yang sudah diberikan Allah.
2
Telah terjadi perbedaan pendapat bagi sebagian ahli sejarah hukum Islam seputa
r kurun waktu Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad, ini didasarkan atas per
bedaan pendapat mengenai berapa lama tinggalnya Nabi Muhammad di Makkah setelah
Nabi Muhammad resmi menjadi seorang rasul. Pendapat pertama, sepuluh tahun.Kedu
a, tiga belas tahun dan ketiga ada yang mengatakan lima belas tahun. Namun tela
h menjadi kesepakatan umum bagi ahli sejarah hukum Islam, bahwa Nabi Muhammad ti
nggal di kota Madinah dalam kurun waktu sepuluh tahun. Maka berdasar dari perbe
daan ini dapat disimpulkan bahwa Al-Quran diturunkan dalam kurun waktu dua pulu
h tahun atau dua puluh tiga tahun dan atau dua puluh lima tahun. Lihat Al-Zarqâ
nî,
Manâhil al-Irfân fî Ulûm al-Quran, Juz,. 1, (Isa al-Babi, tt),52.
ang termuat dalam Hadits3. Karena itu, seluruh perintah Allah tentang perbuatan
manusia pada dasarnya tertuang dalam dua sumber yaitu al-Quran dan Hadits yan
g
kemudian oleh ulama Ushul Fiqh disebut dengan dalil atau adillah al-syar’iyyah.
Setiap dalil hukum menghendaki adanya hukum yang berlaku terhadap sesuatu ya
ng menjadi objek hukum tersebut, namun terkadang dijumpai suatu dalil yang me
nghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus tertentu, tetapi di sisi lain terdapat
dalil hukum yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu, sehingga se
akan-akan dalil hukum tersebut menafikan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.
Dalam istilah hukum Islam, keadaan seperti ini diistilahkan dengan istilah
‫تقابل‬,‫تعادل‬,‫ تعارض‬. Pada dasarnya, ketiga istilah di atas memiliki perbedaan dalam h
al arti, namun mempunyai kesamaan dalam hal adanya perbedaan atau pertentang
an, sehingga lumrah oleh aliran madzhab Ushul Fiqh4 dan pakar hukum Islam jika
terdapat indikasi adanya pertentangan dalil hukum, mereka mengistilahkan denga
n ta’ârud al-adillah, ta’âdul al-adillah dan taqâbul al-adillah.
Sebagaimana yang sudah maklum, bahwa dalil hukum dapat diklasifiaksik
an pada beberapa bagian, melihat dari sudut pandang yang digunakan5, maka dala
m konteks adanya pertentangan dalil pun juga dapat terjadi pada beberapa dalil hu
kum sesuai dengan bentuk klasifikasinya, dalam hal ini meliputi dalil naqlî dan da
lil ‘aqlî, termasuk juga dalil qath’î dan dalil zhannî.
Walaupun pada substansinnya, tidak mungkin firman Allah yang

3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Juz,. 1, (Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup, 2
011), 235.

4
Semenjak kelahirannya, ilmu Ushul Fiqh telah memunculkan madzhab pemikiran bes
ar. Madzhab besar ini terbagi pada dua aliran. Pertama, madzhab Mutakalimîn dan
popoler disebut dengan aliran jumhur, karena diikuti oleh mayoritas ulama dan p
akar ushul fiqh dari berbagai madzhabnya, mereka antara lain madzhab Syafi’î,
Mâlikî, Hambalî, Syiah Imamiyah, Syiah Zaidiyah dan Syiah Ibadiyah. Kedua, madz
hab Ahnâf atau Hanafiyah, kelompok ini juga disebut dengan madzhab Fuqaha’ din
isbatkan pada pola dan cara membangun kaidah-kaidah ushuliyah-nya yang didasark
an pada apa yang diperoleh dari para imam mereka berupa hukum-hukum (fiqh) hasi
l istinbath mereka. Lihat Abu Yasid, Metodologi Penafsiran Teks, Memahami Ilmu
Ushul Fiqh Sebagai Epistemologi Hukum, (Jakarta: Erlangga, 2012), hal. 12-15. B
andingkan dengan Abd Wahhab Khalaf, Ilmu Ushûl al-Fiqh, (Dâr al Qalam,1978), ha
l
5
Ditinjau dari keberaan dalil dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, dalil hukum
yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash. Dalil hukum yang masuk
dalam katagori ini adalah Al-Quran dan Hadits. Menurut pakar ushul fiqh Khudlar
i Beik menyebut dengan dalil naqlî. Kedua, dalil hukum yang secara tekstual tid
ak disebutkan oleh nash Al-Quran dan Hadits, melainkan dirumnuskan melalui upay
a penelelusuran mendalam dan serius yaitu ijtihad. Dari aspek penujukan pada hu
kumnya bahwa, dalil naqli kemungkinan dua. Pertama dalil qath’î (pasti/kuat) d
an dalil zhannî (hipotetik). Baca Romli SA, Muqaranah Madzahib Fil Ushul, (Jaka
rta: Radar Jaya Pratama, 1999), hal. 45 dan bandingkan dengan Wahbah al-Zuhailî,
Ushûl al-Fiqh al-Islamî, Juz,. 1, (Syiria: Dar al-Fikr, 2001), 441.
kebenarannya mutlak tidak dapat disanggah, memiliki perbedaan bahkan kontradi
ksi antara satu ayat dengan ayat lain. Demikian juga Hadits yang shahîh tidak aka
n bertentangan dengan Hadits shahîh lainnya.
Sebagaimana yang ditegaskan sendiri oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya Qs. A
n-Nisa’ ayat 82 :

ْ ‫اَفَاَل يَتَ َدبَّرُوْ نَ ْالقُرْ ٰانَ ۗ َولَوْ َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر هّٰللا ِ لَ َو َج ُدوْ ا فِ ْي ِه‬
‫اختِاَل فًا َكثِ ْيرًا‬
“Tidakkah mereka menadaburi Al-Qur’an? Seandainya (Al-Qur’an) itu tidak
datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di
dalamnya.”6 (Qs. An-Nisa ayat 82)
Ayat di atas memberi isyarah, betapa al-Quran tidak ada celah untuk dipert
entangkan antara satu ayat dengan ayat yang lain, bahkan tidak akan dijumpai suat
u pertentangan di dalamnya, namun jika memang terdapat pertentangan, itu sebata
s pandangan atau penilaian seorang mujtahid secara lahiriyahnya, tidak mâhiyahn
ya. Karena itulah sulit diduga, bahkan tidak mungkin syâri’ mengundangkan dua
dalil yang saling kontradiksi pada satu kasus dalam satu waktu7. Sebagai contoh, p
ertentangan dua dalil menurut kalangan ulama ushul adalah firman Allah surat Al-
Baqarah ayat 234 :

‫َوالَّ ِذ ْينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُوْ نَ اَ ْز َوا ًجا~ يَّتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن اَرْ بَ َعةَ اَ ْشه ٍُر َّو َع ْشرًا ۚ فَاِ َذا بَلَ ْغنَ اَ َجلَه َُّن‬
‫ف َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِ ْي ٌر‬
ِ ~ۗ ْ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما فَ َع ْلنَ فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعرُو‬
َ ‫فَاَل ُجن‬
Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah “
mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali)
mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka) menurut cara yang
patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan8.” (Qs. Al-Baqarah ayat
234)
Lalu, firman Allah surat al-Baqarah ayat 240

ٍ ‫اج ِه ْم َّمتَاعًا اِلَى ْال َحوْ ِل َغي َْر اِ ْخ َر‬


‫اج ۚ فَاِ ْن‬ ِ ‫َوالَّ ِذ ْينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُوْ نَ اَ ْز َواجۖ~ًا َّو‬
ِ ‫صيَّةً اِّل َ ْز َو‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ‫خَ رجْ نَ فَاَل ُجنَاح َعلَ ْي ُكم في ما فَع ْلنَ ف ٓي اَ ْنفُسه َّن م ْن م ْعرُوْ ۗ ٍ هّٰللا‬
ِ ‫ف َو ُ ع‬ َّ ِ ِ ِ ْ ِ َ َ ْ ِ ْ َ َ

“Orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri


hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun
tanpa mengeluarkannya (dari rumah). Akan tetapi, jika mereka keluar (sendiri),
tidak ada dosa bagimu mengenai hal-hal yang patut yang mereka lakukan terhadap

6
Terjemah Kemenag 2019
7
Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, Juz,. 2, (Syiria: Dar al-Fikr,
2001), 1175
8
Terjemah Kemenag 2019
diri mereka sendiri. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana 9.” (Qs. Al-Baqarah
ayat 240)
Kedua ayat diatas menjelaskan tentang istri yang ditinggal mati oleh
suaminya. Secar lahiriyah Ulama Ushul berpedapat bahwa dua dalil dalam ayat
diatas bertentangan. Pada Qs. Al-Baqarah ayat 234 menjelaskan bahwa Iddah
perempuan yang ditinggal mati oleh uaminya adalah empat buln sepuluh hari.
Sementara, pa Qs. Al-Baqaah ayat 240 menyebutkan bahwa Iddah perempuan
yang ditinggal mati ole suaminya sampai satu tahun.
Menyikapi adanya ikhtilaf diantara dua dalil yang nampak bertentangan antara Qs.
Al-Baqarah ayat 34 dan Qs. Al-Baqarah ayat 240 sebetulnya tiaklah bertentangn,
menurut sebagian Ulama Ushul yang lain krea, dalam Qs. Al-baqarah ayat 234
menerangkan ktidakbolehan seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya
menikah lagi hingga menjalani Iddah empat bulan seuluh hari. Sedangkan, daam
Qs. Al-Baqarah ayat 240 menerangkan bahwa, kebolehan istri yang ditinggal mati
oleh suaminya mendiami rumh suaminy selaa satu tahun.
Dari pandangan yang kedua inilah sebenarnya yang dapat dipilih, dengan mengko
mpromikan dua dalil hukum tersebut, sehingga sama-sama diamalkan, karena yan
g demikian sejalan dengan spirit bahwa di dalam al-Quran itu tidaklah akan dijum
pai perbedaan dan pertentangan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Pola ini m
erupakan salah satu cara penyelesaian pertentangan dalil hukum yang ditempuh ol
eh aliran Mutakallimîn dan aliran Ahnâf dalam meniadakan adanya indikasi peten
tangan antara dua bahkan banyak dalil hukum. Dalam firman lain, Allah Ta’ala m
engemukakan dalam surat al-Thalâq ayat 4 yang berbunyi;

‫~ل‬
ٍ ~‫ت َح ْم‬ ِ ‫ول‬ ٰ ُ‫ض ~يِّقُوْ ا َعلَ ْي ِه ۗ َّن َواِ ْن ُك َّن ا‬ َ ُ‫ض ~ ۤارُّ وْ ه َُّن لِت‬ ُ ‫اَ ْس ~ ِكنُوْ ه َُّن ِم ْن َحي‬
َ ُ‫ْث َس ~ َك ْنتُ ْم ِّم ْن ُّوجْ ~ ِد ُك ْم َواَل ت‬
‫ف‬ٍ ۚ ْ‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَ ٰاتُوْ ه َُّن اُجُوْ َره ۚ َُّن َو ْأتَ ِمرُوْ ا~ بَ ْينَ ُك ْم بِ َمعْ~~ رُو‬
َ ْ‫ض ْعنَ َح ْملَه ۚ َُّن فَاِ ْن اَر‬ َ َ‫فَا َ ْنفِقُوْ ا َعلَ ْي ِه َّن َح ٰتّى ي‬
‫ض ُع لَهٗ ٓ اُ ْخ ٰر ۗى‬ِ ْ‫َواِ ْن تَ َعا َسرْ تُ ْم فَ َستُر‬
“Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (para istri yang dicerai) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya
kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan
baik; dan jika kamu sama-sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan), maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya10.” (Qs. At-Talaq ayat 6)
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa, perempuan yang dicerai suaminya dal
am keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan. Jika dalam Qs. Al-Baqarah ayat 2
43 menegaskan, bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya harus menjalani
9
Terjemah Kemenag 2019

10
Terjemah Kemenag 2019
masa iddah empat bulan sepuluh hari. Kandungan hukum dari ayat ini mencakup
pada perempuan hamil atau tidak, ini lagi-lagi tampak adanya pertentangan dalam
dua ayat di atas. Untuk meniadakan pertentangan ini dapat ditempuh pola lain sela
in mengkompromikan seperti pada Qs. Al-Baqarah ayat 234 dengan Qs. Al-
Baqarah ayat 240 adalah naskh yang dapat dilakukan untuk meniadakan pertentan
gan Qs. Al-Baqarah ayat 234 dengan Qs. At-Thalâq ayat 4 dengan melihat dan me
nelusuri terlebih dahulu turunnya kedua ayat dimaksud. Sebagaimana diketahui ba
hwa Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan Hadits11 tentang iddah wafat dan iddah h
amil. Menurut Hadits tersebut, Qs. Al-Baqarah ayat 234 di-naskh oleh Qs. At-Tha
lâq ayat 4, karena Qs. At-Thalâq ayat 4 ini turun setelah turunnya Qs. Al-Baqarah
ayat 23412. Dengan demikian iddah wanita hamil yang dicerai oleh suaminya baik
cerai biasa atau cerai mati, sampai ia melahirkan. Berpijak dari latar belakang ini,
di samping karena persoalan dalil hukum ini menjadi sesuatu yang sangat urgen d
alam kekokohan bangunan suatu hukum, peneliti memandang sangat perlu dilaku
kan penelitian secara mendalam tentang pola penyelesaian pertentangan dalil huku
m yang ditempuh oleh aliran Mutakallimîn dan Ahnâf.

11
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz,. 6, (Dar Th
uq al-Najah, 1422 H), 31
12
Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, Juz,. 2, (Syiria: Dar al-Fikr, 20
01), hal.1205. Cocokkan dengan Ibid. 31
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ta’âraud al-Adillah
Membincang masalah ta’ârudh al-adillah adalah sesuatu yang sangat urg
en dan menjadi keniscayaan bagi mujtahid dan pengkaji hukum Islam terlebi
h pada saat melakukan istinbâth hukum karena, pembahasan ini berada pada
wilayah analisis dalil kullî yang merupakan mashadir al-tasyrî’ al-‘âmmah. H
al ini penting agar supaya produk hukum yang dihasilkan memiliki kekuatan
dan dapat dipertanggung jawabkan. Sebab itulah, seorang cendikia ushul fiqh
(baca: mujtahid) sebelum menetapkan suatu hukum wajib hukumnya memah
ami, mengamati dan menelaah secara seksama dalil yang akan dijadikan sum
ber atau landasan hukumnya dari segi lemah dan kuatnya, perbedaan dan pert
entangannya sehingga tujuan yang hendak dicapai dari penetapan
hukumnya sampai pada kesimpulan yang benar.13
Sebelum paparan langkah atau tahapan dalam mendamaikan dan meniad
akan ta’ârudh al-adillah, penulis merasa perlu memaparkan terlebih dahulu e
ksistensi dan hakikat ta’ârudh al-adillah. Dari sisi kebahasaan, ta’ârudh al-adi
llah tersusun dari dua anasir lafazh yaitu, ta’ârudh dan al-adillah. Lafazh ta’
ârudh ini sama dengan al-taqâbul yang bermakna ‘berhadapan’14. Sementara
al-adillah adalah bentuk plural
dari lafazh al-dalîl yang bermakna petunjuk atau penunjuk 15. Secara istilah, t
13
Dalam kaitan paradigma pembahasan ta’ârudh al-adillah ini mayoritas aliran H
anafiyah, sebagian aliran Hanâbilah, al-Baidhawî dan sebagian aliran Syâfi’iya
h memilih menempatkan pembahasan ini sebelum membincang masalah ijtihad dan taq
lid. Kelompok ini memiliki alasan karena ta’ârudh al-adillah beserta tarjîh ya
ng merupakan salah satu penyelasain pertentangan dalil adalah perantara yang da
pat menjadi pertimbangan kuat ‘menyortir’ dalil yang lemah untuk kemudian men
gambil dalil yangkuat, sebab sangat tidak layak sebuah hukum didasarkan pada da
lil lemah yang masih debatable. Sementara, mayoritas aliran Syâfi’iyah, Mâliki
yah dan Hanâbilah bersikap berbeda dengan aliaran Hanafiyah, mereka justeru men
empatkan pemabahasan ta’ârudh al adillah setelah membahas soal ijtihad dan taql
id, mereka beralasan karena hal tersebut adalah bagian yang menyatu dari akivit
as seorang mujtahid. Dari perbedaan paradigma ini, yang dapat diambil benang me
rah adalah bahwa dua kubu tersebut memilki satu jalan soal urgensi telaah ta’â
rudh al-adillah. Lihat, Muhammad Musthafâ al-Zuhailî, al-Wajîz Fî Ushûl al-fiqh
al-Islamî, Juz, 2, (Bairut: Dâr al-Khair, 2006), 403.
14
Konsekuensi dari makna ‘berhadapan’ dapat menimbulkan duakemungkinan. Kemun
gkinan pertama; berhadapan dengan posisi sama atau sepadan dan kedua; berhadapa
n dengan posisi saling bertentangan dan bertolak belakang. Sementara yang relev
an dengan bahasan penelitian ini adalah berhadapan dengan posisi yang bertentan
gan atau bertolak belakan karena bahasan ini diproyeksikan untuk menelaah perte
ntangan dalil hukum
15
Secara kebahasaan, dua anasir lafazh tersebut jika disatukan (di-idlâfahkan))
menjadi ta’ârudh al-adillah yang bermkana berhadapannya beberapa petunjuk. A.W
Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progresif,1997),
1088
a’ârudh al-adillah terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ula
ma aliran Mutakallimîn, di antaranya al-Zarkasyi16, ia mengemukakan bahwa
ta’ârudh al-adillah adalah ”berhadapannya dua dalil dengan posisi saling bert
olak belakang”17. Ali Hasaballah mengemukakan definisi ta’ârudh al-adillah
“menghendakinya salah satu dua dalil yang memiliki kesamaan tingkat kekua
tnnya pada suatu hukum tertentu, sementara dalil satunya menghendaki pada
hukum yang berbeda”18.
Sebagai ilustrasi dari ta’rîf di atas, seperti adanya salah satu dua dalil me
nghendaki hukum kebolehan, sementara dalil lainnya mengarah pada hukum
keharaman atau sebaliknya. Pada kondisi seperti ini dapat dikatakan terjadi p
ertentangan dalil satu dengan dalil yang lain, hal ini disebabkan karena dua d
alil tersebut tidak dapat disatukan. Untuk mengurai adanya pertentangan dua
atau beberapa dalil hukum telah menjadi kewajiban bagi seorang mujtahid, se
hingga produk hukum yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan secara i
lmiah terlebih secara ketuhanan kepada Allah Ta’ala, karena pada hakikatnya
semua hukum bersumber dari pencipta hukum yaitu Allah Ta’ala.
Pada tataran ini, jika seorang mujtahid telah melakukan penelaahan secar
a cermat terhadap dalil suatu hukum dan dijumpai terdapat pertentangan antar
a satu dalil dengan dalil lainnya, maka harus berijtihad untuk meniadakan per
tentangan tersebut, karena secara hakikat tidak akan terjadi pertentangan dalil
yang sudah jelas datang dari syâri’ yang maha suci dari kelemahan dan kekur
angan. Oleh karenanya, ulama ushul aliran Mutakallimîn mengetengahkan be
berapa cara dan langkah untuk
meniadakan pertentangan dalil hukum, yaitu;
a) al-jam’u wa al-taufîq,
b) al-tarjîh
c) al-naskh
d) tasâqut al-dalîlain.

16
al-Zarkasyî, al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh, Juz, 8, (tt. Dar al-Kutubi,
1994), 120
17
Pengertian ini dikalim oleh Muhammad Musthafâ al-Zuhailî sebagai definisi yan
g paling mewakili dari sekian banyak definisi, karena memiliki unsur yang menca
kup (jâmi’) dan dapat membuang dan mengeluarkan unsur yang tidak masuk (mân
i’) dari pengertian ta’ârudh al-adillah Lihat, Musthafâ al-Zuhailî, al-Wajîz,
406
18
‘Alî Hasaballah, Ushûl al-Tasyrî’ al-Islamî, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, tt.),
hlm. 335.Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, Juz, 2, (Syiria: Dâr al-Fi
kr,2001),. 1201
Sementara aliran Ahnâf memiliki metode dan langkah penyelesaian perte
ntangan dalil yaitu;
a) al-naskh
b) al-tarjîh
c) al-jam’u wa al-taufîq
d) tasâqut al-dalîlain.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasaballah. Ushul al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Ma’arif.


Al-Zarkasyi. 1994. al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Juz 8. Dar al-Kutubi.
Al-Zuhaili, Wahbah. 2001. Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz 2. Syiria: Dar al-Fikr.
A.W. Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progresif.
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari. 1422 H. Shahih Bukhari, Juz 6,
(Dar Thuq al-Najah).
Musthafâ al-Zuhaili, Muhammad. 2006. al-Wajiz Fi Ushûl al-fiqh al-Islami, Juz 2,
Bairut: Dar al-Khair.
Romli SA, 1999. Muqaranah Madzahib Fil Ushul, Jakarta: Radar Jaya Pratama.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh, Juz 1, Jakarta: Kencana Prenada Media Gro
up.
Terjemah Kemenag 2019
https://ainunnajib1994.blogspot.com/2016/02/makalah-taarud-al-adillah.html
https://fathimatuzzuhria.blogspot.com/2013/12/pengertian-taarud-al-
adillah.html
https://lispedia.blogspot.com/2012/07/ushul-fiqh-taarudh-al-adillah.html

Anda mungkin juga menyukai