Anda di halaman 1dari 21

Makalah Kaidah Ushulliyah

“TA’ARUDH AL-ADHILLAH’’

Dosen Pengampu; Masrokhin, M.HI

Disusun oleh :
1. Lala Allifiyah (2091014067)
2. Ahmad syarif hidayatulloh (2091014062)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARY
TEBUIRENG JOMBANG
2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya serta
menanugerahkan tetesan ilmu, kesehatan dan kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan masalah ini dengan
judul “kaidah ushulliyah
Dalam makalah ini, penulis mengalami kesulitan
dalam mendapatkan sumber-sumber materi penunjuang
yang dapat menunjang terselesainya makalah ini. Akan
tetapi hal itu bukanlah penghalang bagi kami untuk
menyelesaikan makalah ini, justru bagi kami itu adalah
tantangan yang harus bisa dituntaskan dengan cepat dan
tepat. Tak lupa pula ucapan terima kasih kami kepada Ibu
Masrokhin, M.HI selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan makalah ini.
Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa
makalh ini masih jauh dari kata sempurna, baik ditinjau dari
segi isi, metodologi penulisan, maupun analisanya. Oleh
karena itu, saran dan kritik penulis harapkan sebagai
perbaikan dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................2
BAB I.......................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG...........................................................4
1.2         RUMUSAN MASALAH......................................................5
1.3         TUJUAN MASALAH..........................................................6
BAB II......................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................6
2.1         PENGERTIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH.................6
2.2         UNSUR-UNSUR TA’ARUDH AL-ADHILLAH...............7
2.3         JENIS-JENIS TA’ARUDH AL-ADHILLAH...................9
a.      Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an................9
b.      Ta’arudh antara sunah dangan sunah...............................9
c.       Ta’arudh antara sunah dangan qiyas..............................10
d.      Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas................................11
2.4         CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH
............................................................................................................12
2.5         CONTOH PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-
ADHILLAH......................................................................................15
1. Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-jam’u
wa al-taufiq (menggabungkan dan mengkompromikan)........15
2.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-
nasakh...........................................................................................17
3.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih
.......................................................................................................18
4.      Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode tasaquth
al-dalilain......................................................................................19
Bab III....................................................................................................20
PENUTUP.............................................................................................20
3.1         KESIMPULAN...................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas,


meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang
menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan
hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama
makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan
dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan
hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan
hukum tersebut sangatlah penting.

Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah


agama yang tanpa dasar dalam menentukan suatu hukum,
ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh umat
muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-
aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang
sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh
umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan
Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang
baru maka dibutuhkan ijtihad dalam penetuan suatu hukum,
maka muncul produk hukum qiyas dan ijma’.

Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-


roda kehidupan dengan syari’at yang telah terlandaskan.
Namun ketika seorang mujtahid itu menentukan suatu
hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas
dari kelemahan dalam pemahaman. Maka di sini dikenal
dengan ta’arudl al-adillah (pertentangan dalil), meskipun
kemampuan seseorang terbatas dalam memahami sesuatu
namun di sana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang baru
untuk menentukan suatu hukum yang mashlahah.

1.2         RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah


sebagai berikut:

1. Apa pengertian ta’arudh al-adhillah?


2. Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah?
3. Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah?
4. Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah?
1.3         TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui pengertian ta’arudh al-adhillah


2. Untuk mengetahui Apa saja jenis-jenis ta’arudh
aladhillah
3. Untuk mengetahui Apa saja unsur-unsur ta’arudh
al-adhillah
4. Untuk mengetahui Bagaimana cara mengatasi
ta’arudh al-adhillah

BAB II

PEMBAHASAN

2.1         PENGERTIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH

Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan,


sedangkan secara terminologis, ta’arudh yaitu:.

“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil


berdeba/bertentangan dengan dalil lainnya.”

Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah


pertentangan antara beberapa dalil tentang suatu masalah
tertentu, misalnya dalil yang satu menyatakan bahwa
perbuatan tersebut wajib dilakukan, sedangkan dalil lainnya
menetapkan sunnah.
Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak ada
dalil nash yang saling bertentangan, adanya pertentangan
dalil syara’ itu hanya menurut pandangan mujtahid, bukan
pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka
ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’i
maupun zanni.1

Dalil- dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah


adalah dalil-dalil yang derajat atau kualitasnya sama,
keduanya merupakan hadits-hadits yang shahih, sehingga
apabila terdapat pertentangan harus di cari solusinya.

Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan


fuqoha merupakan bagian dari kajian ilmu ushul fiqih. Oleh
karena itu, apabila ada perbedaan pandangan karena adanya
pertentangan antar dua dalil, hal tersebut adalah wajar. Yang
paling utama adalah mencari cara penyelesaian yang ilmiah
dan masuk akal.

Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :

2.2         UNSUR-UNSUR TA’ARUDH AL-ADHILLAH

Pertentangan hanya dapat terjadi, jika terpenuhi unsur-unsur


sebagai berikut.
1 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 391
1. Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan
kekuatan yang sama, dalam arti yang satu tidak lebih
kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-qur’an,
sama-sama hadits mutawatir, atau sama-sama hadits
ahad.
2. Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling
bertentangan, misalnya dalil yang satu menunjuk
haram, dalil yang satu menunjuk halal.
3. Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran yang
sama.
4. Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi
waktu munculnya. Dengan demikian, pertentangan
tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu datangnya
dalil.
5. Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada
segi materinya maupun pada segi sifatnya. Misalnya,
tingkat kejelasan makna kedua dalil tersebut sama-sama
pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat
zahir.2

2 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 392
2.3         JENIS-JENIS TA’ARUDH AL-ADHILLAH

a.      Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.


Sebagaimana firman Allah SWT :

ُ ُ‫ َو ِز ْينَةً َويَ ْخل‬U‫َال َو ْال َح ِمي َْر لِتَرْ َكبُوْ هَا‬


َ‫ق َما اَل تَ ْعلَ ُموْ ن‬ َ ‫َو ْال َخ ْي َل َو ْالبِغ‬

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk


kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya ... (QS.
An-Nahl (16): 8 )

Dalam  ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa


kuda, begal, dan keledai haya diperuntukkan untuk
kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna berbeda :

َ‫هللاُ الَّ ِذيْ َج َع َل لَ ُك ُم األَ ْن َعا َم لِتَرْ َكبُوْ ا ِم ْنهَا تَأْ ُكلُوْ ن‬

Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu,


sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk
kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)

b.      Ta’arudh antara sunah dangan sunah.

‫لَّ َم‬UU‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬


َ ‫ى هللُ َع ْنهَا اَ َّن النَّبِ ِّي‬ ِ ‫ع َْن عَاىِي َشةَ وأ ِّم َساَل َمةَ َر‬
Uَ ‫ض‬
)‫اع ثُ َّم يَ ْغت َِس ُل َويَصُوْ ُم (متفق عليه‬ ٍ ‫َكانَ يُصْ بِ ُح ُجنُبًا ِم ْن ِج َم‬
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika
masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan
jima kemudian mandi dan menjalankan puasa.

Hadits ini bertentangan dengan hadits lainyang berbunyi :

ُ‫م ُجنُبًا فَاَل يَصُوْ ُم يَوْ َمه‬Uْ ‫ْح َواَ َح َد ُك‬


ِ ‫صاَل ِة الصُّ ب‬
َ ‫صاَل ِة‬ َ ‫اِ َذا نُوْ ِد‬
َّ ‫ى لِل‬

Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu


diantaramu dalam keadaan junub maka jangan puasa di hari
itu. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Hibban)

c.       Ta’arudh antara sunah dangan qiyas

Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam


contoh tentang ukuran hewan untuk aqiqah berdasarkan
sunah, satu kambing untuk putri dan dua kambing untuk
putra, berdasarkan hadits :

ِ ‫َان َو َع ِن ْال َج‬


ٌ‫اريَ ِة َشاة‬ ِ ‫ق ع َِن ْال ُغاَل ِم َشات‬
ِ ‫َان ُم َكا فَىَت‬ ٌّ ‫اَ ْل َعقِ ْيقَةُ َح‬

"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-


laki dua kambing dan untuk anak perempuan seekor
kambing". (HR. Asma binti Zayid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka
untuk aqiqah ini boleh hewanyang lebih besar, unta lebih
dari sapi dan sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat
sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi
hadits di atas adalah Imam Malik, bahwa aqiqah itu
dilakukan dengan meyambelih kambing.

d.      Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas

Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah


perkawinan Nabi Muhammad saw. terhadap Siti Aisyah,
sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim :

ِّ U‫لَّ َم لِ َس‬U‫ ِه َو َس‬Uْ‫لَّى هللاُ َعلَي‬U‫ص‬


‫ت‬ ْ َ‫َوع َْن عَاىِ َسةَ قَال‬
َ ِ‫وْ ُل هللا‬U‫ى َر ُس‬Uْ ِ‫ تَزَ َّو َجن‬: ‫ت‬
)‫ْع ِسنِ ْينَ (رواه مسلم وعن عاىسة‬ ُ ‫ِسنِ ْينَ َوبَنِ َى بِى َواَنَابِ ْن‬
ِ ‫ت تِس‬
Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya
ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika
saya sebagai gadis yang telah berumur sembila tahun. (HR.
Muslim dari Aisyah)

Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah


hukum kebolehan mengawinkan orang tua terhadap anaknya
yang belum dewasa tanpa izin yangbersangkutan yang
masih di bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah.
Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap karena
kegadisannya.3

2.4         CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-


ADHILLAH

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama


Hanafiyah dan Syafiiyah dalam menyelesaikan ta’arudh al-
adhillah. Menurut ulama hanafiyah jika terjadi ta’arudh al-
adillah maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:

a. Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid


dapat meneliti dalil itu dari aspek waktu
turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang
datang lebih dahulu dapat dinasakh oleh
dalil yang datang kemudian.
b. Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak
diketahui sejarah turunnya, maka dapat
digunakan cara tarjih dengan meneliti
mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu
yang lebih kuat atau (rajih).

3 Drs. Totok Jumantoro, M.A., dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
2009. Hlm 313-314
c. Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini
ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak
mungkin untuk di lakukan. Caranya
dengan mengkompromikan 2 dalil yang
bertentangan.
d. Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di
kompromikan maka jalan keluarnya adalah
tidak menggunakan kedua dalil itu
( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat
menggunakan dalil lain yang lebih rendah
urutannya. Jika yang bertentangan itu
adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan
sunnah.jika yang bertentangan itu adalah
hadits maka mujtahid bisa menggunakan
qaul sahabi begitu selanjutnya.

Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh


wahbah zuhaili, cara yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah sebagai berikut:

1. Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan


jika memungkinkan. Alasannya karena
mengamalkan kedua dalil itu lebih utama
dibandingkan membiarkan salah satunya.
Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234
surat Al-Baqarah dengan ayat 4 surat At-Talaq
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang
masing-masing berbicara tentang masa iddah
wanita yang dicerai oleh suaminya.
2. Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk
dilakukan, maka cara selanjutnya yang ditempuh
adalah dengan tarjih.
3. Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga
mungkin untuk dilakukan maka caranya meneliti
dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut.
Maka dalil yang datang terdahulu dapat di nasakh,
oleh dalil yang datang kemudian.
4. Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat
dilakukan, maka jalan keluarnya adalah tidak
menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat
mengguanakan dalil yang lebih rendah kualitasnya.

Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh


hanafiyah dan syafi’iyah sebagaimana telah dijelaskan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya
terletak pada urutannya.
1. Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-
taufiq, dan tasaqut
2. Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih,
nasakh, dan tasaqut.4

2.5         CONTOH PENYELESAIAN TA’ARUDH


AL-ADHILLAH

1. Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-


jam’u wa al-taufiq (menggabungkan dan
mengkompromikan)

Surah Al-Baqarah (2): 234 menyebutkan:

‫ه ٍُر‬U‫ ةَ أَ ْش‬U‫أَرْ بَ َع‬ ‫بِأَنفُ ِس ِه َّن‬  َ‫أَ ْز َواجًا يَت ََربَّصْ ن‬ ‫ُون‬


Uَ ‫ ِم ْن ُك ْم َويَ َذر‬  َ‫َوالَّ ِذ ْينَ يُت ََوفَّوْ ن‬
‫ا فَ َع ْلنَ فِى‬UUUUUU‫فِي َم‬ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم‬UUUUUUَ
َ ‫فَالَ ُجن‬ ‫إِ َذا بَلَ ْغنَ أَ َجلَه َُّن‬UUUUUUَ‫ف‬ ‫رًا‬UUUUUU‫َش‬ ْ ‫َوع‬
Uِ ْ‫بِ ْال َم ْعرُو‬ ‫أَنفُ ِس ِه َّن‬
‫ َوهللا بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬ ‫ف‬

Sedangkan dalam ayat 4 surah At-Thalaq (65): 4


menyebutkan:

‫ ِم ْن‬, ُ‫ق هللاَ يَجْ َعلْ لَّه‬ َ َ‫ال أَ َجلُه َُّن أَن ي‬
ِ َّ‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّن َو َم ْن يَت‬ ُ َ‫َوأُوْ ل‬
ِ ‫ت آأْل َحْ َم‬
‫أَ ْم ِر ِه يُ ْسرًا‬

4 Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011. Hlm 234-236
Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu
setiap perempuan yang ditinggal mati suami baik hamil
maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat bulan
sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum,
yaitu setiap wanita hamil baik ditinggal mati suami atau
bercerai hidup wajib ber-iddah sampai melahirkan
kandungannya.

Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila


dilihat sepintas lalu terdapat pertentangan mengenai iddah
wanita hamil yang ditinggal mati suami. Namun perbedaan
itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan,
dapat dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat
difungsikan. Kedua ayat tersebut bila dikompromikan, maka
kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah perempuan
hamil yang kematian suami adalah masa terpanjang dari dua
bentuk iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat
bulan sepuluh hari. Artinya, jika perempuan itu melahirkan
sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak suaminya
meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh
hari, dan jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan
itu belum juga melahirkan, maka iddahnya sampai ia
melahirkan kandungannya.5

2.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode


al-nasakh

Surah Al-Baqarah (2): 180 menegaskan:

‫ َدي ِْن‬Uِ‫يَّةُ لِ ْل َوال‬U‫ص‬


ِ ‫رًا ْال َو‬U‫ت إِن ت ََركَ خَ ْي‬ ُ ْ‫ر أَ َح َد ُك ُم ْال َمو‬Uَ ‫ض‬
َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
َ‫ف َحقّا ً َعلَى ْال ُمتَّقِ ْين‬ ِ ْ‫َواأْل َ ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertakwa.”

Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.:

‫م‬Uَ َّ‫ل‬U‫ ِه َو َس‬U‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬U‫ص‬


َ ِ‫ْت َرسُوْ ُل هللا‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ال‬ َ َ‫ع َْن أَبِي أُ َما َمةَ ْالبَا ِهلِ ِّي ق‬
ٍّ U‫لِّ ِذي َح‬UU‫َاع إِنَ هللاَ قَ ْد أَ ْعطَى لِ ُك‬ ْ
ُ‫ق َحقَّه‬ ِ ‫يَقُوْ ُل فِي ُخطبَتِ ِه عَا َم َح َّج ِة ْال َود‬
‫ث‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬
ٍ ‫ار‬ ِ ‫فَاَل َو‬

“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar


Rasulullah saw. bersabda ketika khutbah haji wada’

5 Satria Efendi M. Zein, op. Cit., hlm. 240


“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap
orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli
waris.” (HR. Tirmidzi)

3.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode


tarjih

Hadits Rasulullah saw. berikut:

ْ َ‫وْ ُل َم ْن أ‬Uُ‫رةَ يَق‬Uْ


‫بَ َح‬U‫ص‬ َ ‫و ه َُري‬Uُ‫انَ أَب‬U‫ َك‬: ‫ال‬U ٍ ‫رَّحْ َم ِن ب ِْن َعتَّا‬U‫ع َْن َع ْب ِد ال‬
َ َ‫ب ق‬
ُ‫صوْ َم لَه‬
َ ‫ُجنُبًا فَاَل‬

 “Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu


Hurairah berkata “Barangsiapa yang junub sapai tiba waktu
subuh, maka tidaklah ada puasa baginya,”(HR. Ahmad)

Sementara Aisyah meriwayatkan hadits:

َ ‫ع َْن عَاىِ َشةَ َوأُ ِّم َسلَ َمةَ َزوْ َج ِى النَّبِ ِّى‬
‫ا‬UUَ‫ا قَالَت‬UU‫لَّ َم أَنَّهُ َم‬U‫ ِه َو َس‬U‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬U‫ص‬
ِ U‫اع َغ ْي‬U
‫ر‬U ْ ‫م ي‬Uَ َّ‫ل‬U‫ ِه َو َس‬U‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬U‫ص‬
ٍ U‫ا ِم ْن ِج َم‬UUً‫بِ ُح ُجنُب‬U‫ُص‬ َ ِ‫وْ ُل هللا‬U‫انَ َر ُس‬UU‫َك‬
‫ضانَ ثُ َّم يَصُوْ ُم‬
َ ‫احْ تِاَل ٍم فِى َر َم‬.

“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa


keduanya berkata “Rasulullah Saw. masih dalam keadaan
junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan,
kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik)
4.      Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode
tasaquth al-dalilain

Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20

‫ َما تَيَس ََّر ِمنَ ْالقُرْ َءا ِن‬U‫فَآ ْق َر ُءوا‬

“Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an

Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt.


berfirman:

ْ ُ‫صت‬
َ‫والَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬ ِ ‫ َوأَ ْن‬,ُ‫ءالقُرْ َءانُ فَآ ْستَ ِمعُوْ الَه‬
ْ ‫ى‬ َ ‫َوإِ َذا قُ ِر‬

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah


baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat.”

Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang


shalat, termasuk makmum untuk membaca ayat-ayat Al-
Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut
berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua
menegaskan kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang
diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan
bacaan imam dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat
tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik.
Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan
memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan secara
bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut
mengandung makna umum yang saling bertentangan. Oleh
karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf (tidak
mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang
menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan
penjelasannya pada hadits yang menjelaskan:

‫من صلى خلف اإلمام فإن قراءة اإلمام له قراءة‬

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka


sesungguhnya bacaan imam menjadi baginya”. (HR.
Jama’ah).6

Bab III

PENUTUP

3.1         KESIMPULAN

Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai


perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang
sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain yang
mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan
hukum yang ditunjuk oleh dalil yang lainnya. Ta’arudhul
6 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396
Adillah terjadi hika terdapat unsur-unsur. Adapun cara
penyelesaian yang dapat dilakukan terdapat dua pendapat,
yakni, menurut Hanafiyah yaitu nasakh, tarjih, al-jam’u wa
al-taufiq, dan tasaqut. Sedangkan menurut Syafiiyah yaitu
al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut

Anda mungkin juga menyukai