Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TA’ARUDH AL-ADILAH, TARJIH, NASIKH DAN MANSUKH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ushul Fiqh

Dosen Pengampu:

Muhammad Sulthon Aziz, Lc., M.H.

Disusun Oleh:

Kelompok 11 PAI 3C

1. Fika Rohmatuzzidah (1860201222177)


2. Hanik Khoirul Mazidah (1860201222131)
3. Khoirun Nisa (1860201221095)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

NOVEMBER 2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kami haturkan kepada Allah SWT


karena atassegala limpahan rahmat dan karunia-Nya tugas makalah kami dengan
judul “Ta’arudh Al-Adilah, Tarjih, Nasikh Dan Mansukh” ini dapat terselesaikan
dengan baik. Sholawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’at beliau di hari akhir nanti.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:
1. Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Prof. Dr.H. Abdul Aziz,
M.Pd.I. yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menempuh
pendidikan di kampus ini.

2. Dr. Sutopo M.Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

3. Indah Komsiyah, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Tarbiyah.


4. H. Imam Junaris, S.Ag., M.H.I. selaku Koordinator Prodi Pendidikan Agama
Islam.

5. M. Sulthon Aziz, Lc., M.H selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ushul Fiqh.
6. Seluruh Civitas Akademika UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
7. Semua teman-teman yang membantu terselesainya makalah ini.
Kami berupaya membuat makalah ini sesempurna mungkin, namun kami
juga menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Kami berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tulungagung, 25 September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arudh al-Adillah.................................................................................. 3


B. Metode Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah................................................................. 4
C. Pengertian Tarjih ....................................................................................................... 7
D. Teori-Teori dalam Tarjih ........................................................................................... 8
E. Pengertian Nasikh dan Mansukh .............................................................................. 10
F. Ketentuan Nasikh dan Mansukh ............................................................................... 12
G. Problematika Nasikh dan Mansukh .......................................................................... 12
H. Klasifikasi dan Cara Mengetahui Naskh dan Mansukh ............................................ 14
I. Perbedaan Naskh dan Takhsis .................................................................................. 16
J. Kehujjahan Nasikh dan Mansukh ............................................................................. 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 19
B. Saran ......................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam sebagai agama yang aturannya mencakup berbagai aspek, tentunya
mempunyai dasar-dasar pijakan dalam menentukan hukum yang lazim dikenal dengan
masadhir al- ahkam al-syar'iyah (sumber-sumber hukum syara'). Tidak satupun yang
ter-alpakan dalam agama ini. Termasuk dalam permasalahan hukum dimana hukum
Islam mempunyai karakteristik syumuliyah atau kamaliyah.
Tingkat intelektualitas seseorang dalam memahami dalil- dalil syara' terkadang
menimbulkan adanya sebuah pertentangan antara satu dalil dengan dalil lain dalam
benaknya. Pertentangan ini menjadi fakta yang sulit untuk dihindari oleh seorang
mujtahid, yang kemudian dari kalangan ushuliyin merumuskan metode untuk
mencarikan solusi apabila terdapat ta'arudh al adillah.
Para ahli ushul membuat metode dalam menyelesaikan ta'arudh al adillah,
masing-masing dari metode yang mereka tawarkan mencakup berbagai teori bahasan
dalam ushul fiqh yang membutuhkan kejelihan dalam memahaminya. Sehingga, perlu
adanya pembahasan khusus pada teori-teori tersebut sebelum memahami ta'arudh al
adillah itu sendiri. Tulisan ini berbentuk deskriptif, yaitu mendeskripsikan pengertian
ta'arudh serta cara penyeleseiannya, dah juga hal-hal yang berhubungan dalam tarjih
dan teori-teorinya, nasikh mansukh dan ketentuannya serta problematika, klasifikasi,
cara mengetahui, perbedaan serta kehujanan nasikh dan mansukh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ta’arudh al-adillah?
2. Bagaimana metode penyelesaian ta’arudh al-adillah?
3. Apa pengertian tarjih?
4. Apa saja teori-teori dalam tarjih?
5. Apa pengertian nasikh dan mansukh?
6. Bagaimana ketentuan nasikh dan mansukh?
7. Bagaimana problematika nasikh dan mansukh?
8. Apa saja klasifikasi dan cara mengetahui naskh dan mansukh?
9. Apa perbedaan naskh dan takhsis?
10. Bagaimana kehujjahan nasikh dan mansukh
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian ta’arudh al-adillah.
2. Untuk mendeskripsikan metode penyelesaian ta’arudh al-adillah.
3. Untuk mendeskripsikan pengertian tarjih.
4. Untuk mendeskripsikan teori-teori dalam tarjih.
5. Untuk mendeskripsikan pengertian nasikh dan mansukh.
6. Untuk mendeskripsikan ketentuan nasikh dan mansukh.
7. Untuk mendeskripsikan problematika nasikh dan mansukh.
8. Untuk mendeskripsikan klasifikasi dan cara mengetahui naskh dan mansukh.
9. Untuk mendeskripsikan perbedaan naskh dan takhsis.
10. Untuk mendeskripsikan kehujjahan nasikh dan Mansukh

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arudh Al Adillah

Menurut bahasa arudh berarti taqabul dan tamanu’ atau bertentangan dan
sulitnya pertemuan. Ulama ushul mengartikan ta’arud ini sebagai dalil yang masing-
masing menghendaki hukum diwaktu yang sama terhadap satu kejadian yang menyalahi
hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Misalnya ada ayat yang mewajibkan kita
membuat wasiat untuk orang tua dan kerabat (al Baqarah: 178). Namun di lain pihak
hadis melarang wasiat itu kepada ahli waris.

Contoh lain adalah membasuh atau menyapu kedua kaki ketika berwudhu. Hal ini
terdapat dalam firman Allah surat al Maidah ayat 6:

‫س ُح ْوا ِب ُر ُء ْو ِس ُك ْم َوا َ ْر ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْع َبي ِْن‬


َ ‫َوا ْم‬

Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.

Dalam satu qiraat dibaca wa arjulakum sehingga ada ulama yang berpendapat
bahwa kaki itu wajib dibasuh ketika berwudhu. Namun, dalam qiraat lain dibaca wa
arjulikum sehingga ada ulama yang mengatakan bahwa kaki itu cukup disapu saja ketika
berwudhu.

Begitu juga status mani yang menempel di kain. Dalam sebuah hadis nabi
berkata bahwa mani itu sama hukumnya dengan lendir hidung dan air liur. Namun, di
pihak lain ada lagi hadis yang menyatakan bahwa kain perlu dicuci dari lima hal:
kencing, berak, darah, muntah, dan mani.

Banyak lagi contoh yang mengungkapkan ta’arud dalam Lafad nash, sehingga
berbeda pendapat dan sikap ulama dalam Memahaminya. Namun, perlu dicatat bahwa
ta’arud yang Sebenarnya tidak mungkin terjadi dalam diri nash itu sendiri, Sebab
pertentangan seperti itu berarti pertentangan dalam diri Syari’, terutama Allah sendiri.
Hal ini tentu mustahil adanya karena Allah bersih dari segala macam konflik batin
sebagaimana Terdapat dalam diri manusia. Oleh karena itu, ta’arud disini perlu
Dipahami sebagai pertentangan dalam nash menurut tanggapan Manusia ketika mereka
memahami nash itu sendiri. Oleh karena Manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran
hakiki dan mutlak Sebagaimana adanya dalam konsep Allah, pertentangan tersebut
3
Hanyalah semata-mata keterbatasan manusia dalam menangkap pesan-pesan syar’i
yang sedang mereka pelajari. Dan menyadari Keadaan semua ini, para ulama berusaha
melepaskan diri dari Pertentangan itu dengan menempuh dua jalan, yaitu jalan
Hanafiyah dan jalan jumhur ulama.1

Macam-macam ta’arudh yaitu:

(1) Ta’arudh antara al Quran Dengan al-Quran,

(2) Ta’arudh antara Sunnah dengan Sunnah,

(3) Ta'arudh antara Sunnah dengan Qiyas,

(4) Ta'arudh antara Qiyas dengan Qiyas.2

B. Penyelesaian Ta'arud Al Adillah


➢ Menurut Hanafiah

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa ta'arud bisa terjadi antara nash-nash


syara' ataupun ta'arud antara dalil-dalil selain nash. Ta'arud yang terjadi pada dalil-
dalil selain nash, semisal ta'arud antara dua qiyas, maka waijb bagi seorang mujtahid
untuk mentarjih kedua qiyas tersebut dengan mengutamakan salah satunya.

Apabila pertentangan terjadi antara dua nash, para ulama Hanafiyah


berpendapat bahwa metode-metode yang digunakan dalam menyelesaikannya
secara sistematis adalah sebagai berikut:

1. Nasakh

Dari metode ini, seorang mujtahid harus melacak sejarah dari kedua
nash, dan ketika sudah diketahui mana yang lebih dahulu datang dan mana yang
datang kemudian, maka nash yang datang kemudian hukumnya menasakh yang
terdahulu. Contohnya seperti pertentangan yang terjadi dalam dua ayat 'iddah
dalam QS. Al-Baqarah (2): 234 dengan QS. Al-Thalaq (65): 4.

Sahabat Ibnu Mas'ud, kaitannya dengan permasalan dua ayat 'iddah


tersebut menjelaskan bahwa ayat kedua (QS. Al-Thalaq (65) 4) yang datang

1
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2006), 142.
2
Mu’in Umar, Ushul Fiqh jilid 1 (Jakarta: Depag RI 1985), 169.

4
kemudian me-nasakh hukum yang terkandung dalam ayat pertama (QS. Al-
Baqarah (2): 234).

Menjelaskan pendapat Ibnu Mas’ud dalam masalah ini, Dedi Supriyadi


menguraikan sebagai berikut:

QS. Al-Baqarah (2) ayat 234 mencakup perempuan yang ditinggal mati
oleh suaminya dalam keadaan hamil maupun tidak, sedangkan QS. Ath-Thalaq
(65) ayat 4 hanya mengenai perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya
dalam keadaan hamil. Menurut Ibnu Mas’ud, QS. Al-Baqarah (2) ayat 234 turun
lebih dahulu dan QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 turun kemudian. Oleh karena itu,
Ibnu mas’ud berpendapat bahwa ayat terdahulu mansukh oleh ayat yang turun
kemudian, yang lebih tepat adalah QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 membatasi
(takhsis) keumuman makna QS. Al-Baqarah (2) ayat 234.

2. Tarjih

Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang
bertentangan berdasarkan beberapa qorinah yang mendukung ketetapan
tersebut. Apabila dua dalil yang bertentangan sulit dilacak sejarahnya oleh
seorang mujtahid, maka mujtahid tersebut harus me-rajih-kan salah satu dalil
ketika memungkinkan. Pen-tarjih-an bisa menggunakan beberapa metode tarjih.
Semisal menguatkan nash yang muhkam dari pada nash yang mufassar,
menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung
hukum boleh, dan dari segi ‘adalah, dhabit, faqih dan sebagainya seorang perawi
hadits.3

3. Al-Jam wa al-Taufiq

Al-jam’u wa al-taufiq yaitu mengompromikan dalil-dalil yang


bertentangan setelah mengumpulkan keduanya, hal ini berdasarkan kaidah
“mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan
dalil yang lain”. 4 Misalnya firman Allah swt., dalam surat al-Maidah (5): 3:

ِ ‫علَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوالدَّ ُم َولَ ْح ُم ْالخِ ْن ِزي ِْر َو َما ٓ ا ُ ِه َّل ِلغَي ِْر ه‬
‫ّٰللا ِب ٖه‬ ْ ‫ُح ِر َم‬
َ ‫ت‬

3
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia (Bandung: Pustaka
setia, 2007), 83.
4
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 227.
5
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah...

Ayat diatas tidak menjelaskan tentang jenis darah dan tidak membedakan
antara darah yang mengalir dengan darah yang sudah beku. Kemudian ada ayat
lain dalam surat al-An’am (6): 145: kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir. Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah
yang dilarang adalah darah yang mengalir.

4. Tasaqut al-Dalilain

Tasaqut al-dalilain adalah langkah terakhir mujtahid yang berarti


menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah.
Hal ini ditempuh apabila tidak bisa menggunakan ketiga cara diatas. Misalnya
ada pertentangan antara dua ayat, sedang tata cara sebelumnya sangat sulit
dipakai, maka langkah yang harus ditempuh adalah mengambil keterangan yang
lebih rendah dari al-Quran, yaitu Sunah. Apabila ada dua sunah yang
bertentangan maka beralih pada istidlal dengan qoul al-sahabah bagi yang
menggunakannya sebagai hujjah dan beralih pada qiyas bagi yang tidak
menggunakan istidlal qoul al-Sahabat.

➢ Menurut Syafi’iyyah

Menurut Syafi’iyah, apabila terjadi pertentangan antara dua qiyas maka yang
dilakukan seorang mujtahid adalah men-tarjih salah satu qiyas. Kemudian apabila
terjadi pertentangan atau ta’arud antara dua nash dalam pandangan seorang mujtahid
menurut madzhab Syafi’iyah, malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah wajib bagi
mujtahid untuk melakukan pembahasan dan berijtihad sesuai dengan tahapan-
tahapan berikut ini secara tertib.

1. Al-Jam’u wa al-Taufiq

Menurut aliran Syafi’iyah cara pertama untuk menyelesaikan dua dalil


yang bertentangan adalah dengan mengompromikan kedua dalil tersebut. Ketika
memungkinkan untuk mengompromikan, maka sudah seharusnya keduanya
diamalkan dan tidak boleh men-tarjih salah satu antara keduanya. Argumentasi
mereka adalah bahwa mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih utama

6
daripada mendisfungsikan salah satu dalil secara keseluruhan. Cara yang
digunakan untuk mengompromikan kedua dalil tersebut ada tiga:

(1) Membagi kedua hukum yang bertentangan.

(2) Memilih salah satu hukum.

(3) Mengambil dalil yang lebih khusus, misalnya tentang masa ‘iddah wanita
hamil. Yang menurut Hanafiyah menggunakan metode nasakh.

2. Tarjih

Apabila tidak bisa menggunakan metode al jam’u wa taufiq, seorang


mujtahid beranjak pada tahapan selanjutnya, yaitu tarjih, yakni menguatkan
salah satu dalil.

3. Nasakh

Ketika cara tarjih tidak dapat memberikan jawaban atas ta’arud baina al-
adillah, maka melangkah pada nasakh. Yakni membatalkan hukum yang
terkandung dalam dalil yang terdahulu dan mengamalkan hukum pada dalil yang
turun kemudian.

4. Tatsaqut al-Dalilain

Langkah terakhir yang ditempuh apabila seorang mujtahid merasa


kesulitan menyelesaikan pertentangan antar dalil ialah Tatsaqut al-dalilain.
Yakni meninggalkan dalil-dalil yang bertentangan dan beralih pada dalil yang
lebih rendah derajatnya.

C. Pengertian Tarjih
Secara etimologis kata at-tarjih (‫ )الترجيح‬kata dari masdar bentuk adalah rajjaha
(‫)ر َجح‬
َ yang artinya mengunggulkan sesuatu dengan lebih condong padanya dan
memenang-kannya, memberi pertimbangan lebih dari pada yang lain.5 Definisi tarjih
secara terminologis (istilah) para ahli fiqh berbeda pendapat dalam memberikan
pengertian tarjih.

5
Asjmuni Abdurrahman, “Manhaj Tarjih Muhammadiyah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal. 3. Lihat
juga Abdul Qadir Hassan, Ushul Fiqh, Bangil: Yayasan al-Muslimun. 1992, hlm. 95.
7
Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan pendapat mereka mengenai
eksistensi tarjih, yaitu :
1. Ar- Razi mendefinisikan tarjih adalah "Menguatkan salah satu dalil atas lainnya agar
dapat diketahui mana dalil yang lebih kuat diamalkanuntuk dan menggugurkan dalil
lainnya".6
2. Al-Baidhawi mendefinisikan tarjih adalah: "Menguatkan salah satu tanda (dalil)
untuk dapat diamalkan".7
3. An-Nasafi mendefinisikan tarjih dalam kitab "Kasy al-Asrar" sebagai berikut:
"Menampakkan nilai lebih salah satu dari dua dalil yang sama (kekuatannya) dari
segi sifat (karakter)nya, bukan asalnya".8
Dari penjelasan-penjelasan di atas, jelaslah bahwa tarjih merupakan hasil perbuatan
atau pemikiran para mujtahid saja, bukan karena sifat yang terkandung pada suatu dalil.
Seorang mujtahid mengkaji dalil-dalil yang saling bertentangan, kemudian ia
menjelaskan dalil yang lebih unggul karena adanya sesuatu yang mengunggulkannya
berdasarkan alasan tarjih yang benar. Tarjih tidak hanya dapat dilakukan pada dalil-dalil
yang bersifat dzanni saja. melainkan juga dapat dilakukan pada dalil-dalil yang bersifat
qath'i, tujuan. Tarjih adalah agar seseorang dapat mengamalkan dalil yang dipandangnya
lebih unggul. Berdasarkan penjelasan-penjelasan ini, maka dapat didefinisikan bahwa
tarjih adalah: "Pengutamaan (mendahulukannya) seorang mujtahid terhadap salah satu
dari dua dalil yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang dapat
mengunggulkannya agar dapat dalil tersebut diamalkan".9
D. Teori-Teori dalam Tarjih
Teori tarjih secara etimologis menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjāni
mendefinisikan tarjih secara etimologis sebagai:
َ‫ظ َر َما تَقَلَهُ َوأ ُ َر ِج ُح ْالمِ يزَ انَ أَي أَن ِقلُهُ َحت َّى َما َل َوالتَّ ْر ِجي ُح هللا بدبُ بَيْن‬ َّ ‫اج ُح ْال َو ِازنُ َو َربَّ َح ال‬
َ َ‫ش ْيءِ بِيَ ِد ِه َو َرزَ نَهُ َون‬ ِ ‫الر‬
َّ
ُ‫عا ُم فِي ُك ِل َما يُ ْشبِ ُهه‬
َ ‫ش ْيئ َ ْي ِن‬
َ
Al-Rajih Al-Wazin (Penimbang), menarjih sesuatu dengan tangannya.
menimbangnya, melihat bobotnya, dan merajihkan timbangan yaitu memberatkannya

6
Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Husein ar-Razi, “Al-Mahshul fi ilmi al-Ushul”, Juz 2, hlm. 529.
7
Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan al-Asnawi, “Syarh al-Asnawi Nihayatu as-Saul Syarh Minhaju al-
Wushul ila ilmi al-Ushul al-Baidhawi”, Juz 3, (Kairo: Maktabah Ali Shabih, tt), hlm. 155.
8
Syaikh Ahmad Mulajibun bin Abi Said bin Ubadillah, “Kasyfu al-Asrar Syarh alMushannif ‘ala al-Manar li
an-Nasafi”, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1986), hlm. 365.
9
Muhammad Wafaa, “Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’”, (Jatim: AlIzzah. 2001), hlm. 186.
8
sampai condong (ke salah satu sisi). Tarjih adalah osilasi antara dua hal secara umum di
semua hal yang semisal". 10
Sedangkan secara terminologis, Al-Amidî mendefinisikan tarjih adalah:
"Membandingkan salah satu dari dua dalil yang patut dijadikan dasar hukum yang saling
bertentangan berdasarkan sesuatu yang mengharuskannya untuk diamalkan dan
menggugurkan dalil lainnya.11 Macam-macam teori tarjih ada lima, yaitu tarjih
menggunakan nash Al-Qur'an, Sunah, Akwal Sahabat, Qarain, dan Lughah.
1. Nash Al-Quran

Tarjih menggunakan Al-Qur'an, dinukilkan oleh Imam Al-Razi dalam


kitabnya Al-Mahshûl: Pertama, ijma para sahabat dengan mengamalkan tarjih.
Kedua, wajib mengamalkan dalil yang lebih råjih telah ditetapkan secara masyhur.
Ketiga, sesungguhnya jika yang rajih tidak diamalkan, maka dalil yang marjûh yang
akan diamalkan, dan menarjihkan hal yang marjûh di atas yang råjih bertentangan
dengan akal sehat.12

2. Sunnah
Para ulama seperti Ibnu Jarîr Al-Thabari (w 310 H), Ibnu Abî Hätim (w. 327
H), dan Ibnu Katsir (w 774 H) memiliki beberapa metode dalam penarjihan
menggunakan sunah:13
a. Menafsirkan Al-Qur'an dengan sunah yang bersanad,
b. Menukil seluruh riwayat hadis dengan sanad beragam dan terbaik.
c. Mengutamakan sanad dalam setiap periwayatan hadis dalam penafsiran.
d. Mengeluarkan riwayat hadis yang terkuat sanadnya.
e. Mendebat sanad dan matan hadis.
f. Menarjih makna tafsir yang sesuai dengan riwayat hadis yang kuat.
g. Mengutamakan penafsiran dengan hadis dibandingkan dengan metode lainnya.
h. Meninggalkan tafsir yang bertentangan dengan hadis Nabi.
3. Akwal Sahabat

10
Jamaluddin Abul Fadhl Muhammad bin Makrom bin ‘Ali, “Lisanul ‘Arab, Tahqiq: Abdullah ‘Ali al Kabir,
dan lainnya”, (Kairo: Darul Ma’arif), hlm. 1586.
11
Syaikh Saifuddîn Al-Âmidi, “Al-Ihkam fî Ushul Al-Ahkam”, Juz 4, (Beirut: Dar AlKutub Al-Ilmiyah.
1980), hlm. 320.
12
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Abdullah Al-Syaukâni, “Irsyad Al-Fuhul ila Tahqiq Al-Haqqi min
‘Ilmi Al-Ushul”, (Muassasatur Rayyan, 2000), hlm. 273-274.
13
Nâsir bin Muhammad bin Shâlih Al-Shâigh, “Al-Tarjîh Bi Al-Sunnah ‘Inda AlMufassirîn (Jam’an Wa
Dirâsatan)”, 1st ed. (Riyadh: Dâr Al-Tadmîriyyah, 2010), hal. 95 – 99.
9
Ucapan atau perbuatan para sahabat (akwal sahabat) adalah salah satu
rujukan utama setelah Al-Qur'an dan sunah, karena para sahabat lebih memahami
Al-Qur'an dan hadis dari siapa pun di bumi ini setelah Rasulullah saw., melihat
langsung kejadian ketika turunnya Al-Qur'an serta pemahaman mereka yang
sempurna baik dari segi ilmu, bahasa arab dan pengamalan sunah secara sempurna,
terutama para ulama dan senior dari para sahabat seperti khulafaurasyidin, 'Abdullah
bin Mas'ûd (w 32 H), 'Abdullah bin 'Abbas (w 68 H), dan lainnya.14
4. Qarain
Menggunakan petunjuk atau indikator lainnya selain nash al-Quran dan
sunnah, seperti dalil-dalil yang bersifat umum, untuk memberikan keutamaan pada
satu hukum. Qarâin dalam penarjihan adalah wasilah untuk membuka ilat (dalam
hadis atau akwal sahabat) ketika terdapat pertentangan antara riwayatnya akan tetapi
dibutuhkan perhatian yang mendalam dan pengetahuan yang banyak, kecerdasan,
kepintaran serta hal-hal yang luput dari pandangan orang pada umumnya.
5. Lughah
Menggunakan pemahaman bahasa Arab untuk menafsirkan dan memberikan
keutamaan pada suatu hukum. Ini melibatkan analisis makna kata-kata dalam teks
hukum.
E. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara etimologis, kata naskh yang bentuk isim failnya “nasikh” dan isim
maf’ulnya “mansukh”, mempunyai arti yang beragam, antara lain : menghilangkan,
menghapuskan, membatalkan. Yang berarti membatalkan atau memindah dari satu
wadah ke wadah yang lain. Atau juga berarti penukilan dan penyalinan.15

Kata “nasakh” (‫ )نسخ‬dalam bahasa Arab digunakan dengan arti al-izalah (‫)اإلزالة‬
yang artinya menghilangkan atau meniadakan. Terkadang kata tersebut juga digunakan
dengan arti al Naql (‫ )النقل‬yang artinya memindahkan atau mengalihkan sesuatu,
menghubungkan dari suatu keadaan kepada bentuk lain di samping masih tetapnya
bentuk semula. Selain itu nasakh juga bisa bermakna “At-Taghyir wal Ibtal Wal Iqamah
ash-Shai’ Maqamahu” yang artinya ialah mengganti atau menukar. Makna diatas
mempunyai dasar Kalamullah pada ayat 106 Q.S Al-Baqarah :

14
Ibn Katsîr, “Tafsîr Al-Qur’ân Al-Adzîm”, (Riyadh: Dâr Taiba, 1999). hlm. 10-11
15
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994), hal. 143 5
10
َ ‫ع ٰلى ُك ِل‬
‫ش ْيءٍ قَ ِديْر‬ َ ‫ّٰللا‬ ِ ْ ‫س ْخ مِ ْن ٰايَ ٍة ا َ ْو نُ ْن ِس َها نَأ‬
َ ‫ت بِ َخي ٍْر ِم ْن َها ٓ ا َ ْو مِ ثْ ِل َها اَلَ ْم ت َ ْعلَ ْم ا َ َّن ه‬ َ ‫َما نَ ْن‬

Artinya : Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti
dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Sedangkan pengertian nasakh menurut istilah usul fikih adalah khithab (titah)
yang menunjukkan penghapusan hukum yang ditetapkan oleh khithab (titah) terdahulu,
dengan jalan yang seandainya khithab penujuk tersebut tidak ada maka khithab
terdahulu masih berlaku, dengan lebih akhirnya khitab yang menghapus.
Menurut ‘Abd al-Wahhâb Khallaf memberikan definisi bahwa naskh menurut
para ushûliyyûn adalah “membatalkan pengamalan satu hukum syar’i dengan
menggunakan dalil yang datang kemudian”. Pembatalan tersebut bisa terjadi secara
eksplisit (sharâhatan) atau implisit (dhimnan); pembatalan secara global (ijmal) atau
parsial (juz’iy) sesuai dengan maslahat yang ada. Atau, naskh itu adalah pemunculan
dalil yang datang kemudian, yang secara implisit membatalkan operasi atas satu hukum
yang berlaku dengan menggunakan dalil yang lebih dulu (dalil sabiq).
Menurut al-Zarqāni (w. 1122 H), naskh secara terminologi memiliki banyak
pengertian. Tetapi pengertian yang paling populer dan mendekati kebenaran definisi
nasakh adalah :

َّ ‫َر ْف ُع ال ُح ْك ِم ال‬
ٍ ‫ش ْرعِي ِ بِدَلِي ٍل ش َْرعِي‬
“mengangkat (menghapus) hukum syar’i dengan dalil syar’i.” 16

Dari pengertian-pengertian diatas, selanjutnya kita perlu memahami kata


Nasakh. Yang dimaksud Nasakh adalah suatu perbuatan pembatalan atau penghapusan
pada hukum syara’ dari hukum lama menuju hukum baru yang bersumber dalil syara’
yang datang kemudian. Maka dalam menasakhkan diperlukan dua unsur penting yaitu
Nasikh dan Mansukh. Dimana Nasikh merupakan hukum/dalil syara’ yang sifatnya
menghapus suatu hukum atau merupakan subjek penghapus, sedangkan Mansukh
merupakan hukum/dalil syara’ yang nantinya dihapus atau diganti atau juga merupakan
objek penghapusannya.

16
Aziz, Muhammad. Ushul Fikih Kelas XII MA Peminatan Keagamaan. Jakarta : Kementerian Agama RI.
2020.hlm 55-56
11
Dengan demikian ada beberapa unsur dan istilah yang berkaitan degan nasakh ini, yaitu:
1. Nasakh, yaitu pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh, adalah dalil yang datangnya kemudian, yang menghapus hukum yang telah
ada.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dihapuskan, atau digantikan.
4. Mansyukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum yakni orang mukallaf.
F. Ketentuan Nasikh dan Mansukh
a. Hukum yang mansukh (dihapus) adalah hukum syari’at bukan hukum yang berlaku
abadi, seperti hukum Aqidah.
b. Dalil yang menasakh ( menghapus ) adalah dalil syar’i bukan dalil aqli (akal).
c. Dalil yang menasakh ( menghapus ) datang setelah dalil hukum yang dihapus (tidak
datang secara bersamaan).
d. Antara dalil yang menasakh ( menghapus ) dan yang mansukh (dihapus) terdapat
pertentangan yang tidak dapat dikompromikan.17

Disamping itu perlu diketahui bahwa ada nash-nash yang sudah pasti yang tidak
mungkin dibatalkan, yaitu :

1. Nash yang berisi pokok ajaran, baik berupa aqidah atau pokok-pokok ibadah dan
pokok-pokok akhlaq, seperti keadilan, kejujuran, larangan syirik, membunuh,
mencuri dan lain sebagainya.
2. Nash yang berisi hukum abadi atau selamanya berdasarkan pernyataan Nash itu
sendiri
3. Nash yang berisi pemberitaan satu kejadian baik yang sudah lewat atau yang
akan datang. 18
G. Problematika Nasikh dan Mansukh
Pada garis besarnya, para Ulama’ dalam menyikapi problem nasikh mansukh
ada dua golongan, yakni golongan yang menerima adanya nasikh mansukh dengan
berbagai variannya dan golongan ulama’ yang menolak adanya nasikh mansukh dengan
berbagai argumentasinya. Para ulama’ yang menerima adanya nasikh mansukh dalam
Islam mempunyai argumentasi rasioal maupun nash (naqli), diantaranya adalah:

17
Maimun Ahmad. Ushul Fikih Kelas XII MA Peminatan Keagamaan. Jakarta : Kementerian Agama RI.
2020. Hlm.20
18
Subaidi, UNISNU Jepara Jawa Tengah. "HISTORISITAS NASIKH MANSUKH DAN
PROBLEMATIKANYA DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN." Hlm.60
12
1. Kehendak Allah SWT bersifat mutlak, absolut, sehingga Allah SWT bebas
menyuruh hambanya untuk melakukan sesuatu atau melarangnya. Demikian juga
Allah SWT bebas menetapkan sebagian hukum-Nya atau menghapus (menasakh),
karena Allah SWT Maha Tahu kemaslahatan terhadap hamba-Nya dibalik
pembatalan tersebut.
2. Syariat Islam ternyata memerintahkan sesuatu perbuatan yang dibatasi dengan
waktu tertentu, seperti puasa Ramadlan, sehingga dengan datangnya bulan syawal
berarti perintah puasa terhapus.
3. Risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW diperuntukkan kepada umat manusia
secara keseluruhan (kafah). Sedang sebelumnya telah ada syariat para Rasul yang
terdahulu. Dengan datangnya Islam syariat agama terdahulu terhapus (mansukh).
Logikanya, jika tidak ada naskh terhadap hukum syariat, berarti hukum syariat
agama yang terdahulu masih berlaku. Jika demikian berarti risalah Islamiyah tidak
kafah.
4. Tidak ada dalil naqli (Nash) yang jelas melarang. Oleh sebab itu logis
dimungkinkannya adanya nasakh dan mansukh. Mengenai argumentasi ulama’ yang
menolak adanya nasikh - mansukh dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dapat
diringkaskan sebagai berikut:
a. Syariah adalah bersifat kekal abadi sampai hari qiyamat, hal ini menghendaki
hukumnya herlaku sepanjang masa, tidak ada yang di nasakhkan.
b. Kebanyakan bentuk hukum dalam al-Qur’an bersifat kulli dan ijmal (global),
bukan juz’i (parsial) dan tafsil (terperinci). Hal ini agar supaya bisa fleksibel,
sehingga tidak perlu naskh.
c. Tidak ada ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah yang jelas tentang adanya naskh.
d. Pendapat ulama’ tidak sama tentang jumlah ayat-ayat yang mansukh.
e. Ayat-ayat yang kelihatannya berlawanan ternyata dapat dikompromikan, baik
dengan teknik `am dan takhsis maupun ijmal dan tafshil.
f. Tidak ada hikmah yang didapat dari fenomena naskh.

Para ulama’ yang menolak nasikh - mansukh dalam al-Qur’an melakukan berbagai
upaya untuk mengkompromikan dan mempersesuaikan ayat-ayat yang diduga mansukh
dari berbagai aspek, seperti yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Asfahani dengan
memakai teknik ‘am dan takhsis. Khudhori Bek dalam kitab Ushul Fiqhnya melakukan
13
reasoning terhadap 22 buah ayat al-Qur’an yang diduga nasikh - mansukh menjadi
sesuai dan kompromis, sehingga jelas tidak ada ayat yang mansukh dalam al-Qur’an.

Untuk menyikapi dua kelompok ulama’ di atas. Muhammad Abduh membuatsuatu


usaha rekonsiliasi, yakni dengan memaknai kata “naskh” bukan dengan pembatalan
tetapi dengan arti tabdil (pergantian. pengalihan. pemindahan ayat hukum di tempat ayat
hukum yang lain). Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada
kontradiksi, hanya saja karena perbedaan kondisi umat atau perseorangan maka berlaku
hukum yang berbeda.19

H. Klasifikasi dan Cara Mengetahui Naskh dan Maansukh


Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalil syar’i terdiri dari Al-Qur`an dan
Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian nasakh ada empat macam:
a. Nasakh Al-Qur`an dengan Al-Qur`an (‫)نسخ القران بالقران‬
Syeikh Muhammad Khudhari Beik mengatakan bahwa ulama bersepakat
tentang adanya nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an sendiri
terdapat banyak ayat hukum syar’i yang dinasakh dengan ayat lain. Seperti contoh
QS. Al – Mujadilah (58):12:
Artinya: “hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang
miskin).” Ayat di atas memerintahkan orang-orang beriman agar memberi sedekah
kepada fakir miskin manakala hendak menemui Rasululla Saw. Hukum perintah
memberikan sedekah tersebut dinasakh dengan QS. Al-Mujadilah (58);13:
Artinya: “apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”

b. Naskh Al-Qur`an dengan Sunnah (‫)نسخ القران بالسنة‬


Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan nasakh Al-Qur’an dengan
Sunnah. Sebagian ulama mengatakan Al-Qur’an tidak boleh dinasakh dengan
Sunnah. Sebab mereka menganggap bahwa kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber

19
Ibid,hlm.65-69
14
pokok ajaran agama Islam lebih tinggi dari Sunnah. Sedangkan Sunnah merupakan
sumber ajaran agama Islam kedua yang berfungsi sebagai penjelas (al-bayān) Al-
Qur’an. Semetnara kelompok ulama yang lainnya mengatakan bahwa nasakh Al-
Qur’an dengan Sunnah hukumnya boleh. Argumentasi mereka didasarkan kepada
pemahaman bahwa Sunnah sama seperti Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt.
meski redaski Hadis bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Kelompok kedua ini
meyakini bahwa praktek nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah terjadi pada QS. Al-
Baqarah [2]: 180 tentang kewajiban wasiat kepada orang tua dan kerabat. Menurut
pendapat kedua ini ayat tersebut dinasakh dengan hadis:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan seseorang sesuai dengan haknya, dan
tidak ada wasiah bagi ahli waris” (HR. al-Turmudzi)
c. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur`an (‫)نسخ السنة بالقران‬

Hukum yang ditetapkan dengan dalil Sunnah kemudian dinaskh (dihapus)


dengan dalil Al-Qur`an. Contoh: Nabi Muhammad Saw. pernah melakukan salat
dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan. Kemudian Sunnah ini
dinasakh dengan QS. Al-Baqarah [2]: 144:

Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,


Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram...”

d. Naskh sunnah dengan sunnah (‫)نسخ السنة بالسنة‬


Hukum yang ditetapkan dengan Sunnah kemudian dinasakh dengan Sunnah
juga. Contohnya: Nabi Muhammad Saw. pernah melarang ziarah kubur. Kemudian
hukum larangan tersebut dinasakh menjadi boleh : (HR. Muslim) Saya pernah
melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang ziarahlah kalian.”
Bentuk-bentuk Nasakh dalam Al-Qur’an
a. Dari segi bacaan dan hukumnya, ulama mengklasifikasikan nasakh ke dalam tiga
bentuk:
1. Menghapus bacaan dan hukumnya secara bersamaan
2. Mengapus hukum saja sedangkan bacaannya tetap
3. Mengapus bacaan sedangkan hukumnya tetap

b. Dilihat dari segi hukum syara’ yang terdapat dalam dalil syar’i, bentuk nasakh
dalam Al-Qur’an terbagi menjadi :
15
1. Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang lebih

2. Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang sebanding

3. Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang lebih berat

4. Mengapus (nasakh) hukum tanpa diganti dengan hukum lain

Untuk mengetahui nasikh dan mansyukh, al-Zarqāni menjelaskan beberapa cara

sebagai berikut:

a. Harus ada keterangan di antara dua dalil yang menunjukkan ketentuan dalil yang
datang .
b. Harus ada ijma' ulama yang menentukan mana dalil yang datang lebih dahulu
dan dalil yang datang kemudian.
c. Harus ada keterangan yang sah yang menjelaskan dalil mana yang datang lebih
dahulu dan yang datang kemudian. Keterangan ini harus bersumber dari data
yang valid, seperti riwayat sahabat yang mengatakan “ayat ini diturunkan
sebelum ayat ini” atau “ayat ini diturunkan setelah ayat itu,” atau dengan redaksi
lain yang menjelaskan waktu turun ayat.20
I. Perbedaan Naskh dan Takhsis
Naskh dan takhsis memiliki perbedaan yaitu takhsis merupakan penjelasan
mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan
lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan
semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelumnya telah
berlaku. Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di
antara keduanya:
1. Takhsis bisa dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula terhadap
lafadz yang datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan nasakh mutlaq
hanya bisa dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian.
2. Takhsis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil aqli, sedangkan
nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.
3. Takhsis tidak berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah saja,
seperti “Berilah si fulan”, sedangkan nasakh bisa dilakukan pada kasus seperti itu.

20
Ibid,Hlm.20-26
16
Lafadz yang umum tetap ada sesuai keumumanya walaupun setelah ditakhsis,
sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku lagi.
4. Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad dan dalil-dalil
syara’ lainya (pendapat ini masih diperselisihkan dikalangan para ulama).
Sedangkan dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang qath’i, kecuali
dengan lafadz yang qath’i pula.21
J. Kehujjahan Nasikh Mansukh
➢ Kelompok Ulama yang Menolak
Kelompok ini, seperti Imam Syafi’i dan sebagian besar madzhab dhahiriy dan
kelompok Khawarij, berpendapat bahwa terjadinya nasakh itu lantaran adanya dalil
syara’ yang mengubah ketentuan, sekalipun sudah jelas bahwa berlakunya hukum
tersebut telah habis atau tidak bisa diamalkan lagi atau syara’ sudah menurunkan
ayat tentang tidak berlakunya lagi untuk selama-lamanya atau temporal. Oleh sebab
itu, semua ketentuan yang datangnya kemudian, dapat menghapuskan ketentuan
yang datangnya terdahulu lantaran yang kemudian dipandang lebih luas dan lebih
cocok dengan masyarakat, sehingga ketidakberlakuannya hukum dalam nāsikh
mansūkh harus memiliki kriteria yang telah ditentukan.
➢ Kelompok yang Menerima

Kelompok yang menerima nasikh mansukh ialah kelompok Mu’tazilah,


Hanafiyah, Madzhab Ibn Hazm al-Dlahiri, sekalipun Mu’tazilah membatasinya
hanya pada wilayah hadits mutawatir. Kelompok Hanafiyah bersikap lebih terbuka
tanpa mensyaratkan harus mutawatir, sehingga hadits masyhur tidak jadi masalah,
bahkan Ibn Hazm memposisikan nāsikh mansūkh termasuk kelompok bayan al-
Qur’an. Demikian perbedaan pendapat terkait kehujjahan nāsikh mansūkh, sehingga
bisa dapat disimpulkan teks yang lahir dan tertuang dalam literatur hadits tidak serta
merta langsung dikaji dengan teori nāsikh mansūkh. Perdebatan ulama tak sekedar
di wilayah nāsikh mansūkh, tentang status hadits sebagai nasakh terhadap sebagian
hukum yang telah ditetapkan al Qur’an, bahkan perdebatan muncul di wilayah
sangat penting yaitu, bagaimana status nāsikh mansūkh apakah bersifat qot’i
ataukah dzani, perdebatan ini mengundang respon ulama di kalangan ahli hadits dan
dikalangan ulama ushul fiqh, ada yang memposisikan nāsikh mansūkh sebagai ijma’

21
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 233
17
sehingga secara otomatis setatusnya qot’i, ada pula pendapat yangsangat menarik,
memposisikan nāsikh mansūkh bersifat dzani oleh karena itu konsep nāsikh
mansūkh lahir atas dasar ijtihad oleh para ulama.22

22
Ali Nayyif Biqa’I, al-Ijtihad Fi Ilm Hadist Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar alBsya’ir al-Islamiyyah,
1997), hlm. 328.
18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
➢ Taarudh Al adillah adalah sebuah konsep ushul fikh yang menggambarkan adanya
beberapa dalil syariah yang merujuk kepada satu masalah yang sama dengan
ketentuan hukum yang berbeda bahkan berlawanan. Istilah sederhananya yakni
konflik dalil atau pertentangan dalil. Contoh status mani yang menempel di kain.
Dalam sebuah hadis nabi berkata bahwa mani itu sama hukumnya dengan lendir
hidung dan air liur. Namun, di pihak lain ada lagi hadis yang menyatakan bahwa
kain perlu dicuci dari lima hal: kencing, berak, darah, muntah, dan mani.
➢ Macam-macam ta’arudh yaitu:
1. Ta’arudh antara al Quran Dengan al-Quran
2. Ta’arudh antara Sunnah dengan Sunnah
3. Ta'arudh antara Sunnah dengan Qiyas
4. Ta'arudh antara Qiyas dengan Qiyas.
Cara penyelesaian:
1. Menerapkan teori nasakh, yakni membatalkan hukum yang datang lebih dahulu
dengan dalil yang datang kemudian, setelah melalui usaha penelitian eksistensi
dalil dari sudut kesejarahan.
2. Menerapkan teori tarjih, yaitu berusaha menguatkan salah satu dari dalil-dalil
yang bertentangan tersebut berdasarkan petunjuk-petunjuk yang mendukungnya
dengan memperhatikan segi petunjuk kandungan nash dan segi keadilan para
periwayat.
3. Mengumpulkan dan mengompromikan dua dalil yang tampaknya bertentangan
berdasarkan prinsip pengamalan dua dalil lebih utama dan pengabaiannya.
4. Tasaqut ad-dalilain, yaitu menggugurkan dua dalil yang tampak bertentangan
dan mencari dalil lain sekalipun derajatnya lebih rendah.
➢ Tarjih adalah pengutamaan (mendahulukannya) seorang mujtahid terhadap salah
satu dari dua dalil yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang dapat
mengunggulkannya agar dalil tersebut dapat diamalkan
➢ Macam-macam teori tarjih ada lima, yaitu tarjih menggunakan nash Al Qur’an,
Sunah, Akwal Sahabat, Qarâin, dan Lughah.

19
➢ Nasikh merupakan hukum/dalil syara’ yang sifatnya menghapus suatu hukum atau
merupakan subjek penghapus, sedangkan Mansukh merupakan hukum/dalil syara’
yang nantinya dihapus atau diganti atau juga merupakan objek penghapusannya.
➢ Ada syarat-syarat yang harus terpenuhi sehingga bisa dikatakan sebagai hukum
nasikh Mansukh
➢ Dalam penetapannya ada ulama’ yang menolak nasikh Mansukh ini dengan
melakukan upaya untuk mengkompromikan dan mempersesuaikan ayat-ayat yang
diduga mansukh dari berbagai aspek, seperti yang dilakukan oleh Abu Muslim al-
Asfahani dengan memakai teknik ‘am dan takhsis.
➢ Klasifikasi Nasikh Mansukh ada 4 macam yakni, Al qur’an dengan Al qur’an, Al
qur’an dengan sunnah, sunnah dengan Al qur’an dan sunnah dengan sunnah.
Adapun cara untuk mengetahui nasikh Mansukh ini menurut imam az zarqani ada
3.
➢ Perbedaan Naskh dan Takhsis yaitu Takhsis merupakan penjelasan mengenai
kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz
yang dikhususkan tersebut. Sedangkan naskh menghapus atau membatalkan semua
kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelumnya telah berlaku.
➢ Kehujjahan Nasikh dan Mansukh: Kelompok ulama yang menolak yaitu Imam
Syafi’i dan sebagian besar madzhab dhahiriy dan kelompok Khawarij. Sedangkan
kelompok ulama yang menerima yaitu Mu’tazilah, Hanafiyah, dan Madzhab Ibn
Hazm al-Dlahiri.
B. Saran
Demikian makalah ini kami susun tentunya belum sempurna dan tentunya tidak
ada kesalahan baik dalam penyusunan maupun penyajian. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki dan mengevaluasi
dari apa yang kami usahakan dalam penyusunan makalah ini. Harapan kami semoga
makalah ini bermanfaat khususnya untuk menambah pengetahuan bagi pembaca.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan al-Asnawi, “Syarh al-Asnawi Nihayatu as-Saul Syarh
Minhaju al-Wushul ila ilmi al-Ushul al-Baidhawi”, Juz 3, (Kairo: Maktabah Ali Shabih,
tt)

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2006).

Ali Nayyif Biqa’I, al-Ijtihad Fi Ilm Hadist Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar alBsya’ir
al-Islamiyyah, 1997).

Asjmuni Abdurrahman, “Manhaj Tarjih Muhammadiyah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Aziz, Muhammad. Ushul Fikih Kelas XII MA Peminatan Keagamaan. Jakarta : Kementerian
Agama RI. 2020.

Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia (Bandung:
Pustaka setia, 2007).

Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Husein ar-Razi, “Al-Mahshul fi ilmi al-Ushul”, Juz 2.
Ibn Katsîr, “Tafsîr Al-Qur’ân Al-Adzîm”, (Riyadh: Dâr Taiba, 1999).

Jamaluddin Abul Fadhl Muhammad bin Makrom bin ‘Ali, “Lisanul ‘Arab, Tahqiq: Abdullah
‘Ali al Kabir, dan lainnya”, (Kairo: Darul Ma’arif).

Maimun Ahmad. Ushul Fikih Kelas XII MA Peminatan Keagamaan. Jakarta : Kementerian
Agama RI. 2020.
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Abdullah Al-Syaukâni, “Irsyad Al-Fuhul ila Tahqiq
Al-Haqqi min ‘Ilmi Al-Ushul”, (Muassasatur Rayyan, 2000)

Muhammad Wafaa, “Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’”, (Jatim: AlIzzah.
2001).

Mu’in Umar, Ushul Fiqh jilid 1 (Jakarta: Depag RI 1985).

Nâsir bin Muhammad bin Shâlih Al-Shâigh, “Al-Tarjîh Bi Al-Sunnah ‘Inda AlMufassirîn
(Jam’an Wa Dirâsatan)”, 1st ed. (Riyadh: Dâr Al-Tadmîriyyah, 2010)

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994)

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),

Subaidi, UNISNU Jepara Jawa Tengah. "HISTORISITAS NASIKH MANSUKH DAN


PROBLEMATIKANYA DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN."

21
Syaikh Ahmad Mulajibun bin Abi Said bin Ubadillah, “Kasyfu al-Asrar Syarh alMushannif ‘ala
al-Manar li an-Nasafi”, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1986).

Syaikh Saifuddîn Al-Âmidi, “Al-Ihkam fî Ushul Al-Ahkam”, Juz 4, (Beirut: Dar AlKutub Al-
Ilmiyah. 1980).

22

Anda mungkin juga menyukai