Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

USHUL FIQH
“TA’ARUDH DAN TARJIH SERTA QAWAIDUL FIQIYAH”

Dosen Pengampu: Alias, S.H.I.

OLEH:
RASNI
NIM: 20.26.0101.1333
SRI WULAN NINGSIH
NIM: 20.26.0101.1337

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT )IBNU KHALDUN NUNUKAN

2021 M / 1443 H

i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan segala sesuatu, dan semoga shalawat dan salam-
Nya tercurah kepada Nabi kita, Muhammad SAW demikian juga keluarga dan para
sahabatnya. Atas rahmat dan Hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
dengan judul (Ta’arudh, Tarjih, Qawaidul Fiqiyah) guna memenuhi mata kuliah ushul
fiqh dengan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karenanya diharapkan saran dan kritik yang membangun agar penulis mejadi
lebih baik lagi dimasa mendatang.

Semoga tugas makalah ini dapat menambah wawasan dan memberi manfaat
bagi si pembaca.

Nunukan, 23 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Hal
Halaman Judul .................................................................................................. i

Kata Pengantar.................................................................................................. ii

Daftar Isi ........................................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1

C. Tujuan ........................................................................................... 4

BAB II Pembahasan ....................................................................................... 2

A. Pengertian Ta’arudh Al-Adillah .................................................... 2

B. Pengertian Tarjih .......................................................................... 5

C. Pengertian Qawaidul Fiqiyah ....................................................... 8

BAB III Penutup .............................................................................................. 12

A. Kesimpulan ................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

iii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mempelajari ilmu ushul fiqh sangat penting bagi kita,karena hal itu
untuk memahami syari’at Islam,para ulama ushul fiqh mengemukakan dua
pendekatan,yaitu selain melalui pendekatan maqashid syari’at (tujuan syara’
dalam menetapkan hukum) juga melalui kaidah-kaidah kebahasaan. Diantara
kaidah kebahasaan yang digunakan untuk menetapkan dan menerangkan
hukum-hukum syari’at adalah amr dan nahi.Sebab kebanyakan hukum-hukum
syari’at yang taklif ditetapkan atas adanya tututan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan atau tuntutan untuk meninggalkannya.
Mengetahui adanya ta‟arudh al-adillah merupakan salah satu cara untuk
memahami hukum Islam dan mengeluarkan hukum dari sumber aslinya, dalam
usul fikih dikenal istilah turuq al-istinbath (metode menetapkan hukum).
Memahami ta‟arudh al-adillah, fuqaha dapat menetapkan hukum,
melaksanakan hukum dan menyelesaikan hukum pada suatu permasalahan.
Menemukan hukum dari sumbernya sangat penting, karena realitas
permasalahan kehidupan manusia mengalami perkembangan dari masa ke
masa, begitu pula pada era modern ini banyak permasalahan yang muncul
membutuhkan penyelesaian dari aspek hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ta’arudh
2. Apa pengertian Tarjih
3. Apa pengertian Qawaidul Fiqiyah
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Ta’arudh
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Tarjih
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Qawaidul Fiqiyah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arudh Al-Adillah


Secara bahasa, kata ta’arud berarti pertentangan antara satu dengan
yang lain. Sementara kata al-adillah adalah bentuk plural dari kata dalil,
yang berarti argument, alasan dan dalil. Kajian tentang ta’arudh al-
adillah ini khusus dibahas ahli ushul ketiga terjadi pertentangan secara lahir
antara dua dalil yang sama kuatnya dalam menunjukkan suatu hukum.1
Wahbah az-Zuhaili, secara etimologi berarti salah satu dari dua dalil
menghendaki hukum yang berbeda dari hukum yang dikehendaki dalil lain
Asy-Syaukani dalam karya monumentalnya Irsyad al-Fuhul
menjelaskan berarti salah satu dari dua dalil menunjukkan pada hukum
suatu peristiwa tertentu, sedangkan dalil yang lain menunjukkan hukum
yang berbeda dengan itu.
Muhlish Usman (1997: 77), ta’arudh adilah adalah pertentangan dua
dalil atau lebih dalam satu masalah di mana pertentangan itu satu sama
lainnya tidak bersesuaian hukumnya
1. Jenis-Jenis Ta’arudh Al-Adillah2
a) Ta’arudh anatara Al Quran dengan Al Quran
Sebagaimana firman Allah:
َ‫ِ لَ غب‬ ‫َ ْ ب‬ٛ‫ُ ْ ٱن مَ ْخ‬ٛٛ َٛ ‫َ يبَ قُ ٱن‬َٛ‫ل‬ ‫َ خهْ ُ ؼ ْهَ َح‬َٛٛٛ ۚ ِ‫ت‬َٛ ُٛ‫ِ حَ ص‬ٛٛ َ‫ش‬
‫َ بَ شْ نِ َخ‬ْٛٛ ُ‫ ٱن ْ كب‬Artinya : Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan
keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.(QS. An-Nahl (16): 8).

1
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif). Jakarta: Zikrul Hakim.hal 188.
2
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 313-
314.

2
Ayat di atas, dapat diambil sebuah pengertian bahwa kuda, baghal, dan
keledai hanya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayat berikut
bermakna berbeda

ْ ْ ُ ْ
ٌٌ ُٕ ُٕ‫بُٕ ُْٕ ُٕ كه‬
ِ ٌٌٌ‫ش ُِٕ نخُٕ حأ ي‬
ْ ُٕ‫بُٕ كبا‬
ِ ٌٌٌ‫ُٕ زُٕ ُٕ ؼبوُٕ ُٕ ي‬
ِ ‫كُٕ نُٕ مُٕ ؼُٕ ج‬
ُٕ ٌ ُٕ ‫هُٕ ه األ‬
Artinya: Allah lah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu,
sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan.
(QS. Al-Mu‟min (40): 79).
b) Ta’arudh antara Sunnah dan Sunnah
Hadist riwayat Bukhari-Muslim dari Aisyah dan Ummi Salamah
menyatakan bahwa Nabi SAW: masuk waktu subuh dalam keadaan
junub karena jimak sedangkan beliau menjalankan puasa. Kemudian
hadist riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban dinyatakan bahwa Nabi SAW.
Melarang berpuasa bagi orang yang junub setelah subuh tiba.
c) Ta’arudh Sunnah dengan Qiyas
Misalnya hadist yang menyatakan ketidakbolehan jual beli unta
atau kambing perah atau diikat putingnya agar kelihatan besar, sedang
jika dibeli dan diperah air susunya terbukti sedikit (adanya penipuan),
(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah). Semua hadits itu dua
alternative, yaitu boleh diteruskan akadnya dengan mengganti kurma
satu sha’ itu lebih tepat diartikan dengan penggantian air susu
perahannya yang masih ada, atau mengganti harga air susu yang
diperah.
Sedangkan contoh ta’arudh antara qiyas dengan sunnah adalah
bahwa aqiqah anak laki-laki lebih besar dari pada aqiqah anak wanita,
namun dalam hadist dinyatakan 2 kambing untuk laki-laki dan 1

3
kambing untuk wanita. Jika dianalogikan (qiyas) maka dua kambing
sama dengan satu sapi3

2. Cara penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah


Ketika mujtahid menilai terjadinya pertentangan antara dua dalil
secara zahir, ia perlu berupaya menghilangkan pertentanggan tersebut.
Dalam hal ini, ada dua metode penyelesaian digunakan para mujtahid,
yaitu metode ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah4
Salah satu metode penyelesaian Ta’arud Al-Adillah yaitu:
a. Metode Hanafiyah
Ulama Hanafiyyah mengemukakan beberapa langkah yang ditempuh
untuk menyelesaikan pertentangan antara dua nash atau dalil.
a) Naskh Untuk menerapkan metode ini, para mujtahid harus meneliti
waktu turunya nash atau dalil yang bertentangan tersebut. Apabila
mujtahid mengetahui mana dalil atau nash yang dahulu turun dan
yang kemudian turun, maka ketika itu ditetapkan dengan metose
naskh. Yang digunakan adalah dalil yang kemudian datang.
b) Tarjih, yaitu menguatkan satu dalil dari dua dalil yang bertentangan
dengan pertimbangan indicator yang mendukung.
c) Al-Jamu wa al-Taufiq, yaitu menghimpun kedua dalil yang
bertentangan untuk kemudian dikompromikan. Metode ini sejalan
dengan prinsip yang ditetapkan dalam kaidah fiqh “Mengamalkan
dua dalil yang bertentangan lebih baik dari pada meniggalkan atau
mengabaikan dalil yang lain.”

3
Muklis Usman. 1997. Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah (Pedoman Dasar Dalam
Istinbayh Hukum Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo, hal 78
4
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif). Jakarta: Zikrul Hakim, hal 193-200

4
d) Tasaqut al-Dalalain, yaitu mengugurkan kedua dalil yang
bertentangan. Metode ini digunakan ketika metode sebelumnya
tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil tersebut.
B. Pengertian Tarjih
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:
1. Menurut ulama Hanafiyah:
ُ‫األخربِ َما الَيَ ْستَ ِقد‬
ِ ‫لى‬ َ ‫اِ ْف َها ْ ِرزيَادَةٍ أل َح ِد ْال ُمت َ َما ثِلَي ِْن َع‬

Artinya: “Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari


dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri
sendiri.”
Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat
dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil
tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah
satu dalil yang didukungnya.
2. Menurut ulama Jumhur :
‫ت َ ِقو يَةُ ِإحْ دَى اْ ِإلمارتين على ا أل َ ْخرى ِليَ ْع َما ِب َها‬

Artinya: “Meniatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya
untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”
Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada
permasalahan yang zhanni. Menurut mereka, tarjih tidak termasuk
persoalan yang qath’i.
Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni
memilih dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil yang tampaknya
berlawanan. Sebelum melakukan tarjih perlu diketahui syarat-
syaratnya:
1) Yang menjadi soal itu satu masalah tidak boleh berlainan.
Misalnya soal haji, maka semua riwayatnya urusan haji.

5
2) Dalil-dalil yang berlawanan harus sama kekuatanya, seperti al-
Quran dengan al-Quran, dan hadis mutawatir dengan hadis-
hadis mutawatir pula.
3) Harus ada persesuaian hukum antara keduanya baik waktunya,
tempatnya, dan keadaannya. Misalnya larangan jual beli
sesudah ada azan Jumat, di waktu yang lain jual beli dibolehkan.
1. Cara Pentarjihan
Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu dapat ditinjau dari segi sanad,
matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal diluar tiga tersebut, yaitu:
1) Tarjih ditinjau dari segi sanad:
 Hendaklah dipilih sanadnya yang banyak rawinya dari pada yang
sedikit.
 Hendaklah dipilih rawi-raw inya yang ahli fiqih dari pada yang
bukan karena mereka lebih mengetahui maksud yang diriwayatkan.
 Hendaklah dipilih yang rawi-rawinya lebih banyak hapalannya dari
pada yang lainnya
 Hendaklah dipilih rawinya 6yang ikut serta dalam suatu kejadian
yang diceritakannya karena biasanya ia lebih mengetahuinya.
 Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan, dan
 Hendaklah dipilih rawi-rawi yang banyak bergaul dengan Nabi
Saw.
2) Tarjih ditinjau dai segi matan hadits:
 Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks
yang mengandung perintah, karena menolak segala kemudharatan
lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
 Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang
menunjukan kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah,
hukum bolehnya telah terbawa sekaligus.

6
 Makna hakikat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna
majaznya, karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan
indikasi lain untuk menguatkannya.
 Dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum.
 Teks umum yang belum dikhususkan (di-takhsis) lebih didahulukan
daripada teks umum yang telah dikhususkan (takhsis).
 Teks yang sifatnya perkataan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
 Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang yang
mufassar, karena teks yang muhkam lebih pasti dibanding teks
mufassar.
 Teks yang syarih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat
sindiran (kinayah).
3) Tarjih ditinjau dari segi hadits/madlul:
 Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
 Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang
meniadakannya (al-mutsbit ‘alan nafi).
 Mendahulukan yang mengandung pembatalan hukuman had (yang
tertentu) dari pada yang menetapkannya.
 Mendahulukan yang hukumannya ringan dari pada yang berat, dan
 Mendahulukan yang menetapkan hukum ashalatau Bara’ah
ashliyah.
4) Tarjih ditinjau dari segi-segi yang diluar hadits:
 Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil-dalil lain.
 Didahulukan hadis qauliyah dari pada fi’liyah, dan
 Didahulukan hadits (riwayat) yang lebih menyerupai dhahir al-
Qur’an.

7
C. Pengertian Qawaidul Fiqiyah
Secara etimologis Qawaidul Fiqhiyyah terbentuk dari dua suku kata,
yaitu Qawa’id dan Fiqhiyyah. Qawaid merupakan bentuk jamak (plural)
dari qaidah yang berarti dasar-dasar atau pondasi tertentu, baik dalam arti
konkrit ataupun abstrak. Sedangkan kata Fiqhiyyah diambil dari kata fiqh
(‫ )الفقه‬yang ditambah ya nisbat yang berfungsi sebagai penjenisan atau
pembangsaan. Secara etimologi (bahasa) makna fiqh lebih dekat dengan
ilmu. Dengan demikian secara etimologis Qawaidul Fiqhiyyah dapat
diartikan sebagai dasar-dasar/asas yang dapat digunakan untuk
mengistinbat suatu hukum syara (fiqh).
Secara epistimologis terdapat banyak pendapat ulama dalam
mendefinisikan arti Qawaidul Fiqhiyyah, di antaranya:
· Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa, “Qawaidul fiqhiyyah adalah
dasar-dasar fiqh yang bersifat universal, menggunakan redaksi-redaksi
singkat yang bersifat undang-undang, serta mencakup hukum-hukum
syara’ umum tentang peristiwa-peristiwa yang masuk ke dalam ruang
lingkupnya.
· Al-Jurani mendefinisikan Qawaidul Fiqhiyyah dengan “ketetapan yang
kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.”
Qawaidul fiqhiyyah disebut juga kaidah syari’iyah yang berfungsi
untuk memudahkan mujtahid mengistimbathkan hukum yang bersesuaian
dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.
1. Tujuan dan Manfaat Qawaidul Fiqiyah
Para ulama menyusun qawaidul fiqhiyyah dengan beberapa tujuan, antara
lain:
a) Untuk memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga
sebagai barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang masuk
ruang lingkupnya.

8
b) Untuk menunjukan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun
berbeda-beda merupakan satu jenis illat dan maslahat.
c) Untuk mempermudah fuqaha’ dalam menetapkan hukum perbuatan
seorang mukallaf.
2. Al-Qawa’id Al-Khamsah (Lima kaidah pokok)
Al-Qawa’id al-Khamsah adalah lima buah kaidah yang oleh para ulama
fiqih dijadikan sebagai induk (dasar) untuk menetapkan kaidah-kaidah fiqih
lainnya. Kelima kaidah ini mencakup ruang lingkup yang sangat luas terhadap
hukum-hukum fiqh, sehingga kalau digabung dapat mencakup seluruh kaidah-
kaidah fikih yang ada. Mengingat pentingnya al-Qawa’id al-Khamsah ini
maka dalam setiap buku/kitab tentang kaidah fiqih pasti di dalamnya terdapat
“kelima kaidah” ini.

Kelima kaidah tersebut ialah:

1) “Segala perbuatan tergantung niatnya”


Para ulama telah sepakat bahwa suatu perbuatan ibadah tidak
sah tanpa disertai niat (kecuali dalam beberapa hal saja yang termasuk
pengecualian). Itu artinya dalam setiap perbuatan mukallaf (baik dalam
ibadah mahdah ataupun ghairu mahdah) perlu disertai dengan niat.
Terhadap pentingnya niat ini, Imam al-Suyuthi menyatakan:
“Apabila kau hitung masalah-masalah fikih yang berhubungan dengan
niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya”.
2) “Kemudharatan (harus) dihilangkan”
Menurut Ahmad al-Nadwi, penerapan kaidah “al-dhararu
yuzaalu” ini meliputi lapangan yang sangat luas di dalam fikih bahkan
bisa jadi meliputi seluruh dari materi fikih yang ada.Hal ini karena
dalam setiap hukum yang ditetapkan oleh syariat Islam selalu bertujuan
untuk menarik manfaat atau menolak mudharat. Adapun kaidah tersebut
bertujuan mewujudkan salah hal tersebut (yaitu menolak mudharat).

9
3) “Adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum”
Yang dimaksud dengan adat adalah membiasakan sesuatu yang
dapat diterima oleh tabi’at yang sehat dan mengulang-ulangnya. Dalam
hal ini Adat identik dengan ‘urf ‘amali (tradisi/kebiasaan).

Adapun adat yang bisa dipertimbangkan dalam menetapkan


hukum adalah al-adah al-shahihah (adat yang sahih, benar, dan baik).
Yaitu apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum dan
dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Hal yang harus dipehatikan dalam memutuskan hukum/perkara dengan adat
adalah:

 Mempertimbangkan keadaan kasus itu sendiri (seperti apa kasusnya,


waktu, tempat, pelaku, sebab, dan bagaimana proses kejadiannya).
 Mempertimbangkan hukum. Dalam mempertimbangkan hukum ini
terutama terutama hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam
nash, maka adat dapat dijadikan pertimbangan
4) “Kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna kaidah tersebut adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf,
maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu
melaksanakannnya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dasar dari kaidah ini adalah bahwa ajaran Islam tidak
menghendaki sesuatu yang memberatkan/membebani umatnya. Dimana
Allah tidak akan membebani seseorang dengan sesuatu di luar
kemampuannya. Demikian pula dengan segala yang diperintahkan
Rasulullah SAW kepada umatnya, semata-mata untuk kemudahan
menjalankan ajaran agama.

10
5) “keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan.”
Kaidah ini sangat penting dalam hukum Islam. Tujuannya
adalah untuk memudahkan penerapan hukum Islam, dengan cara
menghilangkan keragu-raguan. Karena keragu-raguan yang timbul
dapat mempersulit mukallaf dalam menjalankan kewajiban. Contohnya
seseorang yang ragu-ragu apakah ia berhadats atau tidak, maka ia boleh
meninggalkan keragu-raguan (bahwa ia berhadats) dan meyakini
kondisi asal dirinya (yaitu suci).

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bila ada suatu dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu
kasus, tetapi disamping itu ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya
hukum lain atas kasus itu, maka kedua dalil itu disebut berbentur atau
bertentangan. Ini dalam istilah hukum islam disebut ta’arudh.
Cara menyelesaikan ta’arudh al-adillah yaitu: Nasakh (membatalkan
dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang
mengandung hukum yang berbeda); Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil
dari dua dalil yang bertentangan; Al-Jam’u wal al-Taufiq, yaitu
mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan
keduanya; dan Tasaquth al-Dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang
bertentangan.
Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni
memilih dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil yang tampaknya
berlawanan.
Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu dapat ditinjau dari segi
sanad, matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal diluar tiga tersebut, yaitu:
Tarjih ditinjau dari segi sanad, Tarjih ditinjau dari segi matan hadits, Tarjih
ditinjau dari segi isi hadits /madlul, Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar
hadits.
Qawaidul Fiqhiyyah dapat diartikan sebagai dasar-dasar/asas yang
dapat digunakan untuk mengistinbat suatu hukum syara (fiqh).
Al-Qawa’id al-Khamsah adalah lima buah kaidah yang oleh para ulama
fiqih dijadikan sebagai induk (dasar) untuk menetapkan kaidah-kaidah fiqih
lainnya. Kelima kaidah ini mencakup ruang lingkup yang sangat luas terhadap
hukum-hukum fiqh, sehingga kalau digabung dapat mencakup seluruh kaidah-
kaidah fikih yang ada.

12
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif). Jakarta: Zikrul Hakim.hal 188.
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,
2005), hlm. 313-314.
Muklis Usman. 1997. Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah (Pedoman Dasar
Dalam Istinbayh Hukum Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo, hal 78
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif). Jakarta: Zikrul Hakim, hal 193-200

13

Anda mungkin juga menyukai