Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Rumusan Permasalahan

Di era globalisasi ini, pendidikan tauhid sangatlah penting bagi setiap orang. Mengingat banyak sekali tindakan-tindakan yang telah melenggar aturan-aturan hukum Islam. Ilmu tauhid memiliki ruang lingkup yang sama dengan rukun iman. Dan iman sendiri sangat mempengaruhi ibadah dan akhlak seseorang. Jika seseorang mempelajari tauhid, tentu keimanannya akan bertambah. Dengan keimanan seseorang akan lebih tunduk dan patuh kepada aturanaturan Allah. Mempelajari ilmu tauhid merupakan salah satu cara untuk mempertebal keyakinan kepada Allah SWT Karena dengan mempelajarinya kita bisa mengetahui tentang ke-Esaan Allah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, misalnya; ketetapan Allah (qadha dan qadar), sifat-sifat-Nya, ataupun yang berkaitan dengan rukun iman, dan aliran-aliran yang ada dalam Islam. Selain itu, dengan mempelajari ilmu tauhid maka kita bisa mengetahui bagaimana kondisi tauhid itu dari zaman ke zaman ataupun perkembangan ilmu tauhid dari masa Rasulullah SAW hingga sekarang. Dengan mempelajari hal-hal di atas, diharapkan kita bisa lebih meyakini tentang adanya Allah dan lebih bisa menjalankan perintahnya tanpa keraguan apapun. Dan kita dapat belajar dari peristiwa apa yang telah terjadi pada zaman Rasulullah, Khulafaurrasyidin, dan seterusnya hingga sekarang. Dari uraian di atas, maka kami memfokuskan pembahasan pada beberapa hal yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. 2. Bagaimana sejarah lahirnya tauhid? Bagaimana kondisi tauhid dari masa ke masa?

Dari beberapa rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui sejarah lahirnya ilmu tauhid dan pahampahamnya. 2. Untuk mendeskripsikan kondisi tauhid dari masa ke masa. B. Metode yang Digunakan Penyusunan makalah ini dibuat berdasarkan data yang telah kami kumpulkan dalam jangka waktu kurang lebih satu minggu dan beberapa metode penelitian yang kami pakai untuk mengumpulkan data tersebut, yaitu: 1. Metode Kepustakaan (Library Research) Yaitu metode pengumpulan data dengan cara melihat dan mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan ruang lingkup permasalahan. Metode Dokumenter Pengumpulan data berdasarkan catatan-catatan dokumentasi yang berhubungan dengan kondisi masa lalu atau masa sekarang dari objek penelitian, yang diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi dan perkembangan dari objek penelitian.

2.

C.

Sistematika Uraian

Sistematika penulisan makalah ini secara keseluruhan terdiri dari 3 (tiga) Bab. Pembagian tersebut dimaksudkan untuk mempermudah dalam pemikiran dan pemahaman isi makalah ini. Untuk itu penulis menguraikan masalahnya sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Dalam Bab ini menjelaskan tentang dasar-dasar penyusunan penulisan yang berisi tentang latar belakang, tujuan, metode yang digunakan, dan sistematika uraian. BAB II: PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ILMU TAUHID Dalam Bab ini menjelaskan bagaimana lahirnya ilmu tauhid dan bagaimana perkembangannya dari zaman ke zaman.

BAB III: PENUTUP Dalam Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan-kesimpulan penulis dari pembuatan makalah ini serta saran-saran pembaca makalah ini.

BAB II PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ILMU TAUHID


A. Lahirnya Ilmu Tauhid

Ilmu tauhid bersumber dari Al-Quran dan hadits yang dikembangkan dengan dalil-dalil akal dan disuburkan dengan olah pikir filsafat dan unsur-unsur lainnya. Perkembangan tersebut terjadi sekitar 2 abad setelah Rasulullah SAW wafat. Filsafat dan unsur-unsur lain yang masuk ke dunia Islam banyak memberikan sumbangan positif bagi perkembangan ilmu tauhid, tetapi tidak sedikit pula yang membawa pengaruh negatif, bahkan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Munculnya bermacam-macam aliran dan sekte dalam teologi Islam yang saling mengkafirkan di antara sesamanya tidak terlepas dari dampak filsafat dan unsur-unsur di luar Islam tersebut. Persentuhan kaum muslimin dengan budaya dan peradaban asing, terutama yang berhubungan dengan filsafat ketuhanan mendorong umat Islam untuk mempelajari dan menguasai filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan begitu mereka dapat meningkatkan kualitas keilmuan dan mampu memberikan argumentasi rasional tentang kebenaran ajaran Islam. Persentuhan ini melahirkan asimilasi antar budaya dan peradaban Islam dan asing. Hal inilah yang memperkaya khazanah ilmu tauhid.

Sebenarnya banyak sekali faktor yang mendorong kehadiran tauhid sebagai ilmu. Namun jika dikaji secara keseluruhan ilmu tauhid dikelompokan kepada 2 faktor yaitu faktor intern dan ekstern. Berikut ini ringkasan dan uraian Ahmad Amin dalam bukunya dhuha al Islam mengenai 2 faktor tersebut: 1. Faktor intern Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor yang berasal dari Islam sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Al-Quran, disamping masalah ketauhidan, kenabian, dan lain-lain, berisi pula semacam apologi dan polemik terutama terhadap agama-agama yang ada pada waktu itu. Misalnya: 1. Surat Al-Anam ayat 76-78 berisi penolakan terhadap kemusyrikan 2. Surat Al-Maidah ayat 116 berisi penolakan penuhanan nabi Isa. 3. Surat An-Nahl ayat 125 berisi perintah kepada umat Muslim untuk melaksanakan dakwah dengan penuh kebijaksanaan dan melakukan bantahan dengan cara yang baik. b. Pada periode pertama, masalah keimanan tidak di persoalkan secara mendalam. Setelah nabi wafat dan umat Islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai mengenal filsafat. Meskipun memfilsafati ayat-ayat al-quran, terutama ayat-ayat yang secara lahir. Nampak satu sama lain tidak sejalan, bahkan kelihatan bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin dan untuk memecahkannya diperlukan suatu ilmu tersendiri. c. Masalah politik, terutama yang berkenaan dengan khalifah menjadi faktor pula dalam kelahiran ilmu tauhid. Persoalan tersebut bermula dari terbunuhnya khalifah Usman Bin Affan yang melahirkan perdebatan teologis dikalangan umat Islam, apakah pembunuh Usman itu berdosa atau tidak. Selanjutnya, masalah khalifah termasuk masalah agama atau hanya sekedar masalah keduniaan. Golongan syiah secara tegas menyatakan bahwa khalifah adalah bagian tak terpisahkan dari agama.

2. Faktor Ekstern Yang dimaksud dengan faktor ekstern adalah faktor yang datang dari luar Islam. Faktor tersebut antara lain ialah pola pikir ajaran agama lain yang dibawa oleh orang-orang tertentu termasuk umat Islam yang dahulunya menganut agama lain ke dalam ajaran Islam. Disamping itu, sebagian umat Islam juga ada yang mempelajari filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan lainnya untuk kepentingan dakwah Islam kepada kaum intelektual dan kelompok terpelajar. Persentuhan tersebut sengaja atau tidak melahirkan asimilasi dan akulturasi antara pola pikir Islam dan non-muslim. Hal ini memberikan andil yang besar terhadap kelahiran ilmu tauhid.

B.

Ketauhidan dari Masa Masa

Ilmu yang digunakan untuk menetapkan akidah-akidah yang di dalamnya diterangkan segala yang disampaikan rasul dari Allah tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya agama di dunia ini. Para ulama di setiap umat berusaha memelihara agama dan meneguhkannya dengan aneka macam dalil yang dapat mereka kemukakan. Tegasnya, ilmu tauhid ini dimiliki oleh semua umat hanya saja dalam kenyataannyalah yang berbeda-beda. Ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang sempit, ada yang luas, menurut keadaan masa dan hal-hal yang mempengaruhi perkembangan umat, seperti tumbuhnya bermacam-macam rupa pembahasan. Adapun ilmu yang menetapkan akidah-akidah Islamiyah dengan jalan mengemukakan dalil dan mempertahankan dalil- dalil itu, tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya Islam, dan dipengaruhi oleh perkembangan jalan pikiran dan keadaan umat Islam. Ilmu tauhid ini telah melalui beberapa masa, yaitu:

1.

Perkembangan Ilmu Tauhid di masa Rasulullah saw.

Masa Rasulullah SAW merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam.

Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya. Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat alAnfal ayat 46,

Artinya: Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat An-Nahl ayat 125,

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya. 2. Perkembangan Ilmu Tauhid di Masa Khulafaurrasyidin

Setelah Rasulullah SAW wafat, umat Islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena mereka sibuk menghadapi musuh dan berusaha mempertahankan kesatuan dan kesatuan umat. Tidak pernah terjadi perbedan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan memahamkan Al-Quran tanpa mencari tawil dari ayat yang mereka baca. Mereka mengikuti perintah Al-Quran dan mereka menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan Allah SWT dengan apa yang Allah SWT sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan Allah SWT dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah SWT Pada zaman khalifah Abu Bakar (632 - 634 M) dan Umar Bin Khatab (634 - 644 M) problema keagamaan juga relatif kecil, termasuk masalah aqidah. Umat Islam disibukan oleh penyelesaian masalah dalam negeri (di zaman Abu Bakar) dan ekspansi perluasan wilayah (di zaman Umar). Tapi setalah Umar wafat dan Usman naik tahta (644 656 M) fitnah pun timbul. Abdullah Bin Saba seorang yahudi asal Yuman yang mengaku Muslim, ialah salah seorang penyulut pergolakan. Abdullah Bin Saba menyebarkan isu bahwa yang berhak menduduki jabatan Khalifah adalah Ali Bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Rasulullah SAW sebab ada wasiat rasul untuk itu. Abu Bakar, Umar, Usman mengambil hak ahli secara illegal. Isu ini tersebar luas dikalangan kaum muslimin dan berpengaruh besar bagi perkembangan kehidupan umat muslimin selanjutnya. Meskipun itu sudah ditiupkan Abdullah Bin Saba pada masa Usman, namun kemelut serius yang terjadi dikalangan umat Islam timbul setelah Usman mati terbunuh (656 M) oleh kaum muslimin sendiri. Pembunuhan Usman menyebabkan umat Islam terpecah, ada yang pro dan ada yang kontra dengan pembunuhan itu. Pihak yang pro beralasan bahwa pembunuhan itu memang wajar karena Usman memerintah tidak dengan sebenarnya dan ia dituduh nepotisme. Perselisihan dikalangan umat Islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib (656 661 M) dengan terjadinya perang saudara. Pertama, perang antara Ali Bin Abi Thalib dengan Zubair, Thalhah, dan Aisyah yang dikenal dengan perang Jamal. Kedua, perang antara Ali dengan Muawiyah, gubernur Syam (Syiria) yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan berhasil dimenangkan oleh Ali. Sedangkan pertempuran dengan Muawiyah berakhir dengan Tahkim (arbitrase). Tahkim ternyata tidak menyelesaikan

sengketa seluruhnya bahkan menyebabkan umat Islam makin terpecah. Sebagian pendukung Ali berbalik memusuhinya sehigga Ali menghadapi dua musuh yaitu Muawiyah dan bekas pengikutnya sendiri yang dikenal dengan nama Khawarij. Pendukung Ali (Syiah), pendukung Muawiyah, Khawarij, dan sahabat nabi yang tidak mau memihak kepada siapapun (netral). Dalam kondisi politik sebagaimana digambarkan diatas, sebagian orang dari masing-masing kelompok memperkuat pendapat dan pendiriannya dengan ayat-ayat Al-Quran. Sejak saat itu mereka melakukan takwil terhadap ayat-ayat tertentu (ayat mutasyabihat). Hal ini berpengaruh kepada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran teologi dalam Islam.

3.

Perkembangan Ilmu Tauhid di Masa Bani Umayyah

Pada zaman Bani Ummayah (661-750 M) masalah aqidah menjadi perdebatan yang hangat dikalangan umat Islam. Di zaman inilah lahir sekelompok umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Kelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab mutazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka menamakan dirinya dengan ahlu aladli), dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa (karena itu mereka juga menamakan dirinya dengan Ahlu At-Tauhid). Kemunculan berbagai aliran tersebut disamping merupakan implikasi politik yang merembes ke masalah teologi, juga karena pemikiran-pemikiran keagamaan sudah muncul dikalangan umat Islam, termasuk pemikiran tentang aqidah. Mereka mempermasalahkan tentang Muslim yang membuat dosa besar, perbuatan manusia dalam hubunganya dengan kehendak dan kekuasaaan mutlak tuhan, sifat-sifat tuhan dan sebagainya. Masalah-masalah teologi yang dulu di zaman nabi dan khulafaurrasyidin tidak dibicarakan, dimasa ini dipersoalkan. Masalah Muslim yang melakukan dosa besar dimunculkan oleh Khawarij dengan mengutamakan bahwa Muslim tersebut kafir. Pendapat ini mendapat reaksi dari Murjiah yang muncul kemudian, dengan pendapatnya, Muslim

tersebut tidak mukmin dan tidak kafir tapi berada diantara keduanya (almanzilah bainal man zilatin). 4. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Bani Abbasyiah

Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar Arab yang mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penerjemahan besar-besaran segala buku Filsafat. Pada zaman Bani Abbas (750-1258 M) filsafat Yunani dan sains banyak dipelajari umat Islam. Masalah tauhid mendapat tantangan cukup berat, karena kaum muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mengunakan senjata filsafat dan rasional pula. Dalam masa ini muncul polemik-polemik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya yang dilakukan oleh Amar bin Ubaid AlMutazili dengan bukunya Ar-Raddu ala Al-Qadariyah untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin Al-Hakam As-Syafii dengan bukunya AlImamah, Al-Qadar, Al-Raddu ala Az-Zanadiqah untuk menolak paham Mutazilah. Abu Hanifah dengan bukunya Al-Amin wa Al-Mutaallim dan Fiqhu Al-Akbar untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah. Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mutazilah Washil bin Atha, golongan Mutazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah Al-Makmun, Al-Mutasim dan Al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak menerima Mutazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan Al-Asyary, salah seorang murid tokoh Mutazilah Al-Jubbai menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jamaah. Dia berpandangan jalan tengah antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mutazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam Haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan ArRazi yang datang sesudahnya. Usaha para mutakallimin khususnya Al-Asyary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya Fushush Al-Maqal fii ma baina Al-Hikmah Wa Asy-Syarizati min Al-Ittishal dan Al-Kasyfu An Manahiji Al-Adillah. Beliau

mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mutazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah tentu tidak akan mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat. Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disinilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat hanya akan menambah kesukaran dan membingungkan.

5.

Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Pasca Bani Abbasyiah

Sesudah masa Bani Abbasiyah datanglah pengikut Al Asyari yang terlalu jauh menceburkan dirinya ke dalam falsafah, mencampurkan mantiq dan lain-lain, kemudian mencampurkan semuanya itu dengan ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Badlawi dalam kitabnya Ath Thawawi dan Abuddin Al-Ijy dalam kitab Al-Mawaqif. Madzhab AlAsyari berkembang pesat ke seluruh pelosok hingga tidak ada lagi madzhab yang menyalahinya selain madzhab hambaliyah yang tetap bertahan dalam madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran dan Al-Hadits tanpa mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits itu. Pada permulaan abad kedelapan hijriyah lahirlah di Damaskus seorang ulama besar yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menentang urusan yang berlebih-lebihan dari pihak-pihak yang mencampuradukkan falsafah dengan kalam, atau menentang usaha-usaha yang memasukkan prinsipprinsip falsafah ke dalam akidah Islamiyah. Ibnu Taimiyah membela madzab salaf (sahabat, tabiin dan imam-imam mujahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan al asyariyah dan lain-lain, baik dari golongan rafidhah, maupun dari golongan sufiyah. Maka karenanya masyarakat Islam pada masa itu menjadi dua golongan, pro dan kontra, ada yang menerima pandapat-pendapat ibnu taimiyah dengan sejujur hati, karena itulah akidah ulama salaf dan ada pula yang mengatakan bahwa ibnu taimiyah itu orang yang sesat. Jalan yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini diteruskan oleh muridnya yang terkemuka yaitu Ibnu Qayyimil Jauziyah. Maka sesudah

10

berlalu masa ini, lumpullah kemauan, lenyaplah daya kreatif untuk mempelajari ilmu kalam dengan seksama dan tinggallah penulis-penulis yang hanya memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama. Kemudian diantara gerakan ilmiah yang mendapat keberkahan dari Allah, ialah gerakan al iman Muhammad abdu dan gurunya jamaluddin Al-Afghani yang kemudian dilanjutkan oleh AsSaid Rosyid Ridla. Usaha-usaha beliau inilah, yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung untuk mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya. Anggota-anggota gerakan ini dinamakan salafiyyin.

11

BAB III PENUTUP

A.

Kesimpulan

Ilmu tauhid adalah dasar dr ilmu agama yang mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas dan kuantitas keimanan seseorang kepada tuhanNya. Munculnya ilmu tauhid disebabkan leh dua faktor yaitu faktor internyakni, Nash al-Qur'an dan masalah politik dan faktor ekstern yakni, pola pikir ajaran agama lain yang dibawa oleh orang-orang terdahulu sebelum beragama Islam. Perkembangan ilmu tauhid dimulai dari masa Rasulullah SAW hingga tabi'in tabi'in tabi'in. Namun perkembangan yang pesat dari ilmu tauhid terjadi pada periode Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini semua ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat termasuk ilmu tauhid, hal itu disebabkan karena pada masa ini segala macam buku tentang ilmu pengetahuan di terjemahkan ke dalam berbagai bahasa diantaranya bahasa Arab, yunani, dan persia yang pada saat itu menjadi kiblat dari perkemangan ilmu pengetahuan dunia. Dan untuk selanjutnya perkembangan ilmu tauhid dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyah dan muridmuridnya. B. Saran Dalam karya tulis ini, ada beberapa saran yang ingin kami sampaikan dan semoga dapat menjadi masukan untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang, diantaranya: 1. 2. 3. Dalam mengambil kepetusan hendaknya didasarkan oleh olah piker manusia dan tanpa meninggalkan apa yang telah di ajarkan dalam Al-Quran dan Hadits. Seluruh umat Islam di dunia adalah saudara. Janganlah menjadikan perbedaan pendapat sebagai tembok yang memisahkan satu sama lain yang dapat memecahbelahkan umat Islam. Bagi para pembaca, tetaplah tegakan Islam dalam hati. Satukan tujuan dan kita bangun bangsa dan agama kita untuk menyongsong hari dimana persatuanlah yang penting.

12

DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Hanafi. Teologi Islam. Jakarta: Bintang Terang.1993. Muhammad, Teungku Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2001. Taib, M. Thahir Abdul Muin. Ilmu Kalam. Jakarta: Widjaya Jakarta. 1986. http://ilmutauhid.wordpress.com/2009/04/12/sejarah-perkembangan-ilmutauhid/. Di akses tanggal 17 April 2010.

13

Anda mungkin juga menyukai