Anda di halaman 1dari 16

3 TINGKAT

KEYAKINAN
3 TINGKAT KEYAKINAN
Seberapa yakinkah kita dengan agama yang kita anut. Apakah kita beragama cuma
ikutan/taklid saja kepada keluarga atau ulama? Dan ibadah yang selama ini kita
kerjakan apakah itu sekedar memenuhi kewajiban (gugur kewajiban) ataukah
dilandasi ketulusan dan kecintaan kepada Allah? Nah, pada umumnya seseorang
yang beragama didasarkan atas salah satu dari 3 keyakinan berikut ini :
1. Ilmul Yaqin
2. Ainul Yaqin
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)
1. Ilmul Yaqin
Ini adalah tingkatan terendah dari suatu keyakinan beragama. Misal seseorang
mendapat pengetahuan dari si A yang mengatakan bahwa di negeri Cina terdapat
tembok raksasa, padahal si A tidak pernah ke negeri Cina. Jadi pengetahuan yang
didapat dari si A hanyalah pada tataran teori belaka.
Seseorang yang beragama pada tingkat ini hanyalah yakin karena kata orang. Maka
ia pun akhirnya menerima saja apa yang dikatakan oleh orang orang tanpa
melakukan penyelidikan atau mendalami secara sungguh-sungguh agamanya
sendiri.
Jika agamanya sendiri tidak pernah dikaji lalu bagaimana mau mempelajari agama
orang lain? Yang terjadi kemudian adalah sikap memusuhi agama diluar dirinya.
Merasa diri paling benar sehingga mengkafirkan yang lain.
Menyalah-nyalahkan ajaran agama orang lain seakan-akan dirinya adalah orang
yang paling benar.
Orang pada tataran ilmu yaqin ini biasanya mudah diprovokasi dan dihasut
contohnya ya teroris seperti Noordin M Top, Dr.Azhari dan para pelaku bom bunuh
diri yang membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Teroris seperti mereka selalu
memahami jihad dengan berperang. Kalo tidak berperang serasa kurang afdhol.
Lebih suka mati medan berperang ketimbang mati di meja belajar. Padahal ketika
meledakkan diri, mereka tidak sedang diserang malah justru menyerang orang yang
tidak bersalah. Orang yang seperti inilah yang menghancurkan nama baik Islam
sebagai agama yang mengajarkan kedamaian. Mereka jelas bukan orang Islam
melainkan orang kafir karena melakukan kerusakan di muka bumi.
Nah, bagi mereka yang masih pada tahap ilmul yaqin, sholat lima waktu yang
dikerjakan masih sulit untuk khusyu karena hanya gerak fisik belaka (sholat raga).
Ibarat orang yang sedang menghormat dan berbicara kepada raja tapi rajanya tidak
ada di depannya. Ini yang disebut menyembah adam sarpin (kekosongan). Ibarat

menyumpit burung tapi burungnya tidak ada, yang disumpit adalah kekosongan.
Sholat seperti ini sia-sia karena tidak mampu menghadirkan zikir didalamnya.
Padahal sholat itu haruslah dapat menghadirkan zikir sebagaimana yang
diperintahkan Allah :
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, Maka sembahlah
Aku dan dirikanlah sholat untuk berzikir kepadaKu. (Q.S Thaahaa (20) : 14)
Mengapa sholatnya seseorang harus mampu menghadirkan zikir? Sebab dengan
zikir akan hadir ketenangan, kedamaian dalam batin dan pikiran kita. Kalau batin
dan pikiran sudah tenang maka hawa nafsu bisa dikendalikan. Dirinya akan mampu
melihat mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Sholat yang mampu
menghadirikan zikir inilah yang akan mampu mencegah manusia dari berbuat keji
dan mungkar :
Dan sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Q.S Al
Ankabuut (29) : 45)
Bagi mereka yang tidak mampu menghadirkan zikir ketika sholatnya maka sholatnya
tidak akan mampu mencegah diri mereka dari berbuat keji dan mungkar. Sholatnya
tidak salah! Tapi orang yang mengerjakannya yang lalai.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya (Q.S Al Maaun (107) : 4-5)
Tidaklah heran jika kita sering melihat orang rajin sholat, punya pengetahuan agama
yang luas tapi malah jadi tersangka kasus korupsi. Kerjanya sih di Departemen
Agama tapi malah tempat kerjanya dijadikan lahan korupsi. Inilah tandanya orang
yang melalaikan sholat. Rajin ibadah ritual tapi masih suka KKN, dengki, suka
bergunjing, memfitnah, dan melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Inilah
ibadah yang sia-sia karena cuma berolahraga saja dan tidak menghujam ke dalam
batin.

2. Ainul Yaqin
Tahapan ini lebih tinggi dari yang ainul yaqin. Misal seseorang diberitahu oleh si A
bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa. Dan ternyata si A pernah ke Cina
melihat tembok raksasa. Jadi pada tahapan ini seseorang mendapat pengajaran dari
si A yang pernah mengalami atau praktek. Si A bukan hanya tahu secara teori tapi ia
telah membuktikannya dengan pergi ke negeri Cina.
Dalam kaitannya dengan agama, orang yang berada pada tingkatan ini adalah orang
yang sedang mencari Tuhan. Pencariannya meliputi penelitian melalui buku-buku,
bertanya kepada orang-orang mengenai masalah Ketuhanan/spiritual dan orang
yang ditanya pun tidak hanya pandai berteori namun sudah mempraktekannya juga.
Sholatnya orang yang telah mencapai tahap ini tentu akan lebih baik lagi karena
akan mampu menghadirkan zikir dalam sholatnya sehingga dapat mencegahnya dari
berbuat keji dan mungkar.
Namun demikian bagi kita yang telah mencapai tahap ainul yaqin jangan puas dulu.
Perjalanan belum selesai bung! kita harus terus meningkatkan keyakinan kita
sampai kita tahapan yang nyata dan terbukti. Kita harus pergi ke negeri Cina untuk

menyaksikan tembok raksasa tersebut agar haqqul yaqin.


Mereka yang telah mencapai tahap ainul yaqin seringkali terjebak berpuas diri
dengan keyakinan atau pengetahuan yang dimilikinya. Mereka merasa cukup puas
mengerjakan rukun iman dan rukun Islam tanpa berusaha mencapai makrifat
kepada Allah. Sebagian dari mereka sering berceramah tentang keutamaan
mendapat lailatul qadr tapi mereka sendiri tidak pernah mendapat atau mengalami
pengalaman lailatul qadr. Sering juga berceramah Isra Mikraj tapi tidak pernah
mengalami Isra Mikraj. Kita ternyata cuma bisa kebanyakan berceramah (teori)
tanpa bisa membuktikan ceramahnya. Padahal di Al Quran kita telah di ingatkan
agar jangan cepat berpuas diri :
Katakanlah : Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang
amat rugi perbuatannya? Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya ketika hidup di
dunia sedang mereka mengira bahwa mereka melakukan perbuatan yang baik (Q.S
Al Kahfi (18) : 103-104)
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)
Inilah tahapan keyakinan yang tertinggi. Dalam hal ini kita bukan hanya mendengar
cerita saja bahwa di negeri Cina ada tembok raksasa, namun kita mengalaminya
sendiri dengan pergi ke negeri Cina. Kalau sudah ke negeri Cina dan melihat sendiri
tembok tersebut tentu keyakinannya sangat kuat sekali. Inilah kebenaran yang haq
(nyata) dan terbukti (isbat).
Dalam kaitannya dengan keyakinan beragama, orang yang telah mendapat haqqul
yaqin adalah orang yang telah mencapai makrifat kepada Allah. Orang yang telah
bermakrifat berarti ia mengenal Afal-Nya, Asma-Nya, Sifat-Nya dan Dzat-Nya. Ia
akan mendapat ilmu langsung dari sisi-Nya (ladunni).
Perihal ilmu laduni ini telah disampaikan juga melalui Al Quran :
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S Al Kahfi (18) : 65)
Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Dia akan mengajarimu. (Q.S Al Baqarah (2) :
282)
Manusia yang telah mendapat ilmu laduni berarti telah mendapatkan kebenaran
yang Haq. Tidak ada keraguan sama sekali. Mereka pun telah mencapai Mikraj,
bertemu dengan Allah. Bagi mereka, Isra Mikraj adalah peristiwa spiritual yang
langsung dialaminya sendiri bukan teori belaka.
Lho bukankah Isra Mikraj itu hanya untuk Nabi Muhammad saja? Nah doktrin
seperti inilah yang telah banyak memasung pemikiran umat Islam. Pendapat ulama
dijadikan taklid, harga mati yang tidak bisa dirubah. Padahal pendapat ulama itu
hanya untuk dijadikan referensi saja. Ibarat makanan, jangan ditelan mentahmentah. Kunyahlah dulu. Untuk itu, carilah guru atau
ulama sebanyak-banyaknya. Jangan hanya cari ulama yang levelnya SD tapi cari
juga ulama yang levelnya SMP , SMA, S1 dan seterusnya. Jangan hanya belajar
dari ulama yang sering muncul di televisi saja tapi belajarlah juga ulama lain yang
lebih tinggi ilmunya. Ulama ini tidak muncul kepermukaan karena tidak mau

menjadi selebritis. Mereka harus dicari!. Kalau


kita hanya belajar dari ulama level SD ya pengetahuan kita tidak akan pernah
berkembang. Bagai katak dalam tempurung. Merasa cukup dengan ilmu yang
dimiliki dan yang ditingkatkan pun hanya ibadah ritual saja. Padahal ilmu Allah itu
teramat sangat luas dan ini justru menjadi tantangan umat Islam abad modern
untuk terus mengkaji Al Quran sesuai perkembangan jaman.
Kalau kita taklid kepada pendapat seorang ulama, memangnya ketika kita mati,
ulama tersebut mau bertanggung jawab kepada kita? Nah karena tiap manusia itu
sendirian ketika meninggal maka manusia itu sendiri yang harus menentukan jalan
hidupnya. Segala pendapat atau tafsiran hendaknya hanya dijadikan referensi saja.
Termasuk postingan yang anda baca inipun hanya bersifat referensi untuk
mendekati kebenaran.
Kitalah nantinya yang akan menemukan kebenaran itu sendiri setelah diberi
petunjuk Tuhan tentu kita juga harus meminta petunjuk-Nya terlebih dahulu. Saya
tidak mengatakan pendapat saya di postingan ini adalah yang paling benar. Sekali
lagi tidak! Karena kebenaran hanyalah milik Allah semata. Dan saya tidak mau ikutikutan sebagian orang Islam yang mengatasnamakan kebenaran dari Tuhan lalu
dengan seenaknya mengatakan orang lain sesat, kafir bahkan melakukan tindak
kekerasaan kepada orang lain yang tidak sependapat/sealiran dengan mereka. Sesat
adalah menyimpang dari kebenaran dan yang empunya kebenaran adalah Allah. Jadi
Allah-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan sesat atau tidaknya
seseorang. Simak ayat berikut ini :
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui
tentang orang yang bertaqwa. (Q.S An Najm (53) : 32)
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat
petunjuk (Q.S Al Anaam (6) : 117)
Isra Mikraj. Peristiwa ini seringkali hanya dipahami sebagai turunnya perintah
sholat lima waktu. Banyak orang yang hanya mengambil hikmahnya saja dari
peristiwa Isra Mikraj tapi sedikit sekali yang mau meneladaninya atau
mengalaminya langsung bertemu dengan-Nya. Hal ini disebabkan terpengaruh oleh
pendapat ulama yang mengatakan bahwa Isra Mikraj cuma bisa dilakukan oleh Nabi
Muhammad. Seharusnya ulama tersebut jujur kepada diri sendiri kalau memang
belum mampu melakukan atau mengalami Isra Mikraj. Nah, kalau belum mengalami
seharusnya introspeksi diri jangan lantas kemudian mengatakan sesat jika ada orang
lain yang mampu melakukan Isra Mikraj. Peristiwa Isra Mikraj sama sekali bukan
untuk dikagumi belaka! bukan pula untuk dimitoskan! tapi untuk diteladani. Sekali
lagi, diteladani!. Peristiwa Isra Mikraj dapat kita baca dalam Al Quran, sebagaimana
dibawah ini:
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S Al Israa (17) : 1)

Para ulama berbeda pendapat tentang perjalanan Nabi dalam Isra Mikraj ini.
Sebagian ulama mengatakan bahwa perjalanan Isra Mikraj Nabi Muhammad adalah
secara fisik dan ruh, dan sebagian lagi mengatakan hanya ruh saja yang melakukan
perjalanan. Perbedaan pendapat ini bukanlah hal yang harus dipersoalkan karena
yang terpenting adalah memahami hakekat Isra Mikraj itu sendiri. Saya tetap
menghargai pendapat ulama lain meski saya sendiri berpendapat bahwa Nabi
melakukan perjalanan secara ruhani bukan fisik. Tuhan adalah Maha Roh dan
untuk menemui-Nya adalah melalui ruh juga.
Fisik hendaknya ditanggalkan atau dimatikan dahulu. Istilah jawanya adalah mati
sakjroning urip (mati selagi hidup). Nabi juga bersabda muutuu qobla an tamuutu
(matikan dirimu sebelum mati yang sesungguhnya).
Bagi sebagian ulama, perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha sering ditafsirkan secara harfiah yakni Nabi benar-benar melakukan
perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Padahal ketika ayat diatas turun,
Masjidil Aqsha belum ada sama sekali. Tempat sebelum Masjidil Aqsha didirikan
adalah reruntuhan candi Sulaiman. Masjidil Aqsha baru didirikan pada kekhalifahan
Umar bin Khattab dan baru selesai pembangunannya pada kekhalifahaan Abdul
Malik bin Marwan pada 68 H yakni lima puluh tahun setelah Nabi Muhammad
wafat. Jadi masjid tersebut adalah simbol yang harus dikaji maknanya lebih
mendalam. Oleh karena sulit menjelaskan hal gaib maka simbol diperlukan untuk
memudahkan pemahaman. Nah, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha adalah simbol
dari bayt Allah (rumah Allah). Tentu makna rumah Allah disini tidak diartikan
secara harfiah sebagaimana rumah manusia karena sesungguhnya Allah tidak
membutuhkan rumah. Peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa dimana Rasulullah
berkunjung ke bayt Allah. Dimana letaknya bayt Allah? Ya di dalam diri tiap
manusia.
Beliau melakukan perjalanan ruhani ke dalam diri. Dalam sebuah Hadistnya Nabi
mengatakan : Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.
Dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa tempat nabi melakukan Mikraj
masih hangat. Ini artinya nabi tidak melakukan perjalanan spiritual secara fisik
melainkan perjalanan secara ruhani yakni melalui zikir dan tafakur. Manusia tidak
perlu melakukan perjalanan secara fisik untuk menemui Allah karena sesungguhnya
Allah tidak berada disuatu tempat yang terikat oleh ruang dan waktu layaknya
manusia. Allah itu meliputi segala sesuatu.
Sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu. (Q.S Fushshilat (41) : 54)
Dan Allah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Q.S Qaaf (50) : 16)
Dan Allah bersama kamu dimana saja kamu berada. (Q.S Al Hadiid (57) : 4)
Dari ayat diatas, kita akan menyadari bahwa Allah itu tidaklah berjauhan dengan
hamba-Nya dan untuk mengenal Allah cukup dengan mengkaji ke dalam diri
pribadi. Usaha untuk mengkaji ke dalam diri dimulai dengan Isra. Isra adalah usaha
atau pencarian yang dilakukan manusia untuk mencari lalu menemui Tuhannya.
Hal ini disimbolkan melalui perjalanan malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha. Disebut perjalanan malam karena kebanyakan manusia ini hidup dalam
kegelapan karena tidak tahu akan kemana tujuan hidupnya.

Orang yang tidak tahu tujuan hidup disebut orang yang buta mata batinnya.
Dan barang siapa yang buta (mata batinnya) di dunia ini, niscaya di akherat nanti
akan lebih buta lagi dan lebih tersesat dari jalan yang benar. (Q.S Al Israa (17) : 72)
Nah, kalau di dunia saja buta kita tidak tahu arah yang dituju apalagi di kehidupan
yang akan datang? Ibarat mau ke Surabaya tapi tidak punya petunjuk jalan untuk
mencapai daerah tersebut. Di perjalanan ya tentu akan nyasar. Tersesat ke arah yang
makin kita tidak tahu dan tentu akan membuat kita makin menderita karena berada
ditempat yang asing.
Lalu apa tujuan hidup kita sebenarnya? Ini telah saya jelaskan di post terdahulu
yaitu kembali kepada Allah (Ilayhi Rojiun). Nah agar manusia tidak tersesat (buta
mata batinnya) dan selamat sampai kepada-Nya maka manusia harus mampu
melakukan Isra Mikraj. Dan Isra Mikrajnya tidak perlu pergi ke Mekkah atau
Yerusalem. Tidak perlu menjual tanah. Orang miskin harta pun bisa melakukan Isra
Mikraj asalkan ia bersungguh-sungguh ingin menemui-Nya.
Hai Manusia, bersungguh-sungguhlah kamu dengan setekun-tekunnya sehingga
sampai kepada Tuhanmu lalu kamu menemui-Nya. (Q.S Al Insyiqaaq (84) : 6)
Dalam Isra atau pencarian ini manusia harus melakukan jihad ke dalam diri yakni
melakukan takhalli dan tahalli agar kemudian bisa melakukan Mikraj yakni
berkunjung ke bayt Allah untuk menemui-Nya. Apa itu takhalli dan tahalli ?
TAKHALLI
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S As Syams (91) : 9-10)
Takhalli adalah mensucikan diri. Dalam hal ini disimbolkan dengan kisah
pembedahan hati Nabi oleh Malaikat Jibril dengan air zam-zam. Harap dipahami
bahwa pembedahan hati tersebut hanya simbol!. Maksud dari simbol itu adalah
untuk menemui Allah harus bersih/suci dari penyakit hati. Artinya adalah manusia
harus berusaha mensucikan dirinya. Kenapa? Karena Allah itu Maha Suci. Dia hanya
akan menerima hamba-Nya yang suci. Mereka yang belum suci ya belum bisa
kembali kepada-Nya. Ini berarti mereka masih
berada di alam surga dan neraka-Nya. Sebagian dari mereka masih melakukan
kejahatan. Sebagian dari mereka beribadah karena takut neraka (mental budak) dan
sebagian mereka lagi beribadah karena berharap surga (mental pedagang). Jadi
masih harus dilatih! Masih harus disempurnakan!
Bertakhalli adalah jihad yang paling besar karena harus mengalahkan diri sendiri.
Harus mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Sifat-sifat iri, dengki, munafik, tamak,
dan perbuatan lain yang merugikan orang haruslah dibuang jauh-jauh. Jelas bahwa
musuh terbesar manusia bukanlah siapa-siapamelainkan dirinya sendiri. Ada sebuah
ungkapan bijak dari Walt kelly yang mengatakan :
Kita telah menemukan sang musuh, dan ternyata dia adalah diri kita sendiri.

Dalam suatu Hadistnya, Nabi juga mengatakan bahwa orang mukmin yang kuat
bukanlah yang kuat fisiknya melainkan yang mampu mengalahkan hawa nafsunya.
TAHALLI
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. (Q.S An Nahl(16) : 90)
Tahallli adalah mengisi hidup kita dengan kebajikan atau perbuatan yang baik
seperti jujur, kasih sayang, sabar, ikhlas, mudah memberi maaf, menegakan
perdamaian dan menebar salam kepada sesama manusia. Nah, sekarang ini sebagian
umat Islam memposisikan dirinya ekslusif. Paling benar. Merasa paling masuk surga
sendirian sehingga mengharamkan menjawab salam dari umat non muslim.
Padahal fatwa tersebut jelas menyalahi perintah Allah. Bahkan di Al Quran surah An
Nisaa (4):94, pada saat berperang orang mukmin itu dilarang mengatakan kamu
bukan mukmin terhadap orang yang mengucapkan salam. Dalam situasi perang
saja kita diperintahkan demikian apalagi dalam situasi damai!. Ayat lain di Al Quran
juga memerintahkan hal yang sama :
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah ialah mereka yang berjalan dimuka
bumi ini dengan rendah hati. Apabila orang jahil menyapa mereka, maka mereka
berkata Salam (kata-kata yang baik). (Q.S Al Furqan (25) : 63)
Coba kita baca kembali ayat diatas. Sangat jelas bahwa orang mukmin yang rendah
hati pun akan membalas salam bahkan dari orang jahil atau iseng sekalipun. Inilah
mukmin yang mampu mengajak orang lain ke sorga dengan menebar salam. Ayat
diatas adalah ayat Quran, jadi tidak perlu ditanya lagi keshahihannya. Sayangnya
oleh para ulama, ayat diatas dibatalkan oleh Hadist yang melarang menjawab
salamnya orang non muslim. Tidaklah mengherankan jika kemudian Islam
dipandang sebagian orang non muslim sebagai agama yang tidak bersahabat.
Sungguh aneh jika Al Quran dihapus oleh Hadist. Seharusnya kita hanya mengambil
Hadist yang tidak bertentangan dengan Quran. Kalau ada Hadist yang bertentangan
dengan Quran sebaiknya tidak masuk hitungan meski diriwayatkan oleh perawi yang
terkenal sekalipun. Perbuatan dan perkataan Rasul tentu disesuaikan dengan
kondisinya pada saat itu. Kita harus melihat kemungkinannya bahwa Hadist itu
sifatnya kasus per kasus () dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua keadaan.
Dalam hal perintah Nabi untuk membunuh cecak misalnya, Hadist ini tidak bisa
digeneralisasi bahwa semua cecak harus dibunuh sebab Nabi mengatakan perintah
demikian karena pada saat itu Nabi terkena kotoran cecak. Malah dalam Hadist
lainnya, Nabi justru
memerintahkan kita untuk tidak membunuh binatang yang tidak mengganggu.

Begitu juga dengan Hadist yang melarang menjawab salam dari kalangan non
muslim harusnya jangan kita telan bulat-bulat. Jadi dalam hal ini kita harus berhatihati dengan Hadist. Bukan berarti kita ingkar Hadist. Bukan!! Tapi berhati-hati
dalam berfatwa menggunakan Hadist. Jangan kita terjebak mengagung-agungkan
(taklid) kepada perawinya. Tidak ada jaminan dari Allah atau Nabi Muhammad yang
menyatakan bahwa perawi A atau B adalah perawi yang harus ditaati, dipercaya
karena bebas dari kesalahan.
Sejarah Hadist sendiri dimulai pada tahun 100 H dimana Khalifah Umar bin Abdul
Aziz mendorong penulisan Hadist. Jika Al Qurannya pada masa itu sudah baku dan
hanya ada satu yakni versi Ustman bin Affan -versi lainnya dibakar agar tidak terjadi
perbedaan-, tidaklah demikian dengan Hadist. Di masa Umar bin. Abdul Aziz -yang
wafat 101 H- riwayat, dongeng, sabda Yesus, dan doktrin di luar Al Quran menjamur
dan tak terkontrol sehingga pemalsuan Hadist sulit untuk bisa di edit kembali. Lebih
dari 125 tahun kemudian, Bukhari baru muncul di permukaan bumi. Tak alang
kepalang jumlah Hadist, lebih dari sejuta Hadist. Bukhari sendiri menyeleksi sekitar
600.000 Hadis. Dan dari yang terseleksi pun banyak yang miring kepada daulat
Abbasiyah.
Coba bayangkan, menguji validitas Hadist setelah 200 tahun Nabi wafat, tentunya
merupakan pekerjaan yang hampir mustahil dikerjakan manusia. Karena itu,
tumbuhlah ilmu-ilmu untuk menyaring Hadist, misalnya uji isnad/rijal, cara
periwayatan, dan juga matan. Jika Alquran yang ribuan ayat saja perlu kejelian
untuk menjadikannya kitab di masa Umar bin Khatthab, bagaimana membakukan
Hadist yang jumlahnya lebih dari sejuta? Secara logis, Pesan berantai dari Nabi
Muhammad hingga ratusan tahun ke depan tentu akan sulit ditelusuri keasliannya.
Tidak heran jika ada kelompok yang saling berbeda pendapat akhirnya saling
menuduh bahwa kelompok itu menggunakan Hadist palsu. Pertengkaran dalil
seperti ini jelas akan mengorbankan ukhuwah Islam demi ego kelompoknya masingmasing.
Setelah pembakuan Hadist secara besar-besaran, terbukti umat Islam malah kian
tertinggal dibandingkan umat agama lain karena patokan mereka cukup dengan
Hadist saja, bahkan sebagian lagi malah ada yang menuhankan Hadist dan
melupakan Quran. Dengan demikian, dalam menyikapi Hadist, harusnya kita sangat
berhati-hati karena walau bagaimanapun ada Hadist yang sifatnya kasuistis (per
kasus) dan ini bisa berbahaya bila digeneralisasi dan dijadikan hukum.
Hanya Al Quranlah yang dijamin keasliannya oleh Allah. Yang terbaik adalah
menafsirkan Quran dengan Quran. Boleh saja kita menafsirkan Quran dengan
Hadist asal Hadistnya tidak bertentangan dengan Quran. Kalau semua Quran
ditafsirkan dengan Hadist ya umat Islam bakalan mandeg. Al Quran akhirnya cuma
dikeramatkan. Orang malah lebih sering ngaji Quran ketimbang mengkaji Quran.

Umat Islam jadi malas berpikir untuk mengkaji kembali Quran karena merasa sudah
cukup ditafsirkan oleh Hadist. Al Quran jadinya
malah tertutup untuk bisa ditafsirkan kembali sesuai perubahan jaman. Jadilah kita
umat Islam abad ke-21 dengan produk pemikiran di abad silam. Islam akhirnya tidak
bisa menjadi rahmatan lil alamin yang mampu menjadi solusi di segala jaman.
Sungguh kita membutuhkan ulama-ulama reformis yang mampu membenahi citra
Islam sebagai agama yang terbuka terhadap perkembangan jaman.
TAJALLI
Maka Kami bukakan tirai yang menutupi engkau, oleh sebab itu pandangan engkau
amatlah terangnya. (Q.S. Qaaf (50) : 22)
Pada proses takhalli dan tahalli, seseorang berarti telah makrifat kepada Afal, Asma
dan Sifat-Nya. Puncak dari segala makrifat adalah makrifat Dzat. Inilah yang disebut
tajalli. Dalam istilah lain disebut juga Musyahadah atau Mukhasafah. Manusia yang
sudah mencapai tajalli berarti ia telah bermikraj.
Dalam peristiwa Isra Mikraj, Nabi diceritakan telah sampai ke Pohon Sidrah
(Pohon Lotus) yang biasa dikenal dengan sebutan Sidratul Muntaha. Dengan Mikraj
berarti beliau telah sampai kepada bayt Allah lalu menemui-Nya. Nabi mengatakan :
Raaitu Robbii fii ahsani suuura (Aku telah melihat Tuhanku yang seelok-eloknya
rupa yang tiada umpamanya). Dengan demikian, tidak ada hijab lagi antara diri dan
Tuhannya. Yang ditemui adalah Cahaya diatas cahaya!
Allah adalah cahaya semua langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu
didalam kaca (dan) kaca itu bak bintang yang memancarkan sinar gemerlapan yang
dinyalakan (dengan minyak) dari pohon yang diberkati yaitu pohon zaitun yang
tidak tumbuh di timur maupun barat. Minyaknya pun bercahaya meski tidak
disentuh api. Cahaya diatas cahaya. Allah memberikan cahaya pada orang yang
menghendaki cahaya-Nya. (Q.S An Nuur (24):35)
Nah, sholatnya orang-orang beriman (makrifat) sangatlah khusyu karena ketika
mereka sholat, tidak ada hijab antara ia dan Tuhannya. Nabi bersabda :
Sholat adalah mikrajnya orang-orang yang beriman. Ya! Hanya orangorang
berimanlah yang mengalami Mikraj ketika sholatnya Ini artinya mereka tidak
menyembah adam sarpin (kekosongan). Mereka bashar (melihat) Allah ketika sholat
dan Allah pun bashar kepada mereka. Sunan Bonang salah satu walisongo,
penyebar agama Islam di nusantara- pernah bertutur, seperti yang tertulis dalam
Suluk Wujil sebagai berikut :

Endi ingaran sembah sejati


Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing dunya iki
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adam sarpin
Sembahe siya-siya
Artinya : manakah yang disebut sholat yang sesungguhnya? Janganlah menyembah
bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat
hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah didunia ini, engkau
seperti menyumpit burung. Pelurunya disebar tetapi tak ada satupun yang mengenai
burungnya. Akhirnya cuma menyembah adam sarpin, penyembahan yang tiada
berguna
Dalam beragama, ada golongan orang alim dan ada golongan orang arif (telah
makrifat). Perbedaannya adalah, kalau orang alim mengenal Tuhan hanyalah
sebatas percaya saja. Syahdatnya pun hanya diucapkan di bibir. Sedangkan orang
arif mengenal Tuhannya adalah melalui (penyaksian). Syahadatnya bukan hanya
diucapkan belaka melainkan telah dibuktikannya. Jika seseorang sudah mencapai
tahap alim maka seyogyanya ia meningkatkan kualitas dirinya menjadi seorang yang
arif. Orang yang telah mengenal Tuhannya akan mampu sholat terus menerus dalam
keadaan berdiri, duduk, bahkan tidur nyenyak Intinya adalah segala perbuatannya
adalah sholat. Inilah yang disebut sholat daim. Aladzina hum ala sholaatihim
daaimuun. Yaitu mereka yang terus menerus melakukan sholat (Q.S Al-Maaarij :
70:23)
Mereka yang mampu sholat daim adalah mereka yang tidak akan berkeluh kesah
dalam hidupnya dan senantiasa mendapat kebaikan sebagaimana disampaikan Q.S
70 : 19-22. Nah, sholat daim ini modelnya seperti apa? Ah.. tentu saja tidak bisa
dibeberkan disini karena sholat daim adalah oleh-oleh dari hasil pencarian
spiritual manusia. Tidak bisa diceritakan ke semua orang kecuali mereka yang telah
memiliki kematangan spiritual. Ibarat pelajaran fisika S3, ya tentu tidak bisa
diajarkan kepada anak SMP. Harus lulus dulu S2- nya agar menerima ilmu tersebut
lebih mudah.
Sholat daim adalah sholatnya orang arif yang telah mengenal Allah. Ini adalah
sholatnya para Nabi, Rasul, dan orang-orang arif. Ilmu ini memang tidak banyak
diketahui orang awam. Lantas bagaimana dengan sholat lima waktu? Nah sholat
lima waktu sebenarnya adalah jumlah minimal saja yang harus dikerjakan manusia

untuk mengingat Allah. Pada hakekatnya kita malah harus terus menerus untuk
mengingat Allah sebagaimana firman-Nya :
Dan ingatlah kepada Allah diwaktu petang dan pagi (Q.S Ar-Ruum (30) : 17)
Dan sebutlah nama Tuhanmu pada pagi dan petang. (Q.S Al-Insaan (76) : 25)
Ayat diatas bukan berarti mengingat Allah hanya dua kali saja yaitu waktu pagi dan
petang sebab makna ayat diatas justru sehari-semalam! Yakni pagi dimulai dari jam
12 AM-12 PM, sampai dengan petang jam 12 PM-12 AM, begitu seterusnya. Nah,
karena tidak semua orang sanggup untuk mengingat Allah dalam sehari-semalam
maka sholat lima waktu itu adalah merupakan event khusus untuk mengingat-Nya.
Jika orang awam tidak ada perintah sholat lima waktu maka tentu saja Allah akan
mudah terlupakan. Kalau Allah
terlupakan maka bumi ini bisa rusak oleh berbagai kejahatan yang dilakukan
manusia. Orang awam perlu dilatih disiplin melalui sholat lima waktu ini untuk
mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, kontrol diri akan lebih kuat.
Namun demikian, janganlah merasa cukup puas hanya dengan sholat lima waktu.
Tingkatkanlah agar kita mampu melakukan sholat daim. Mari kita simak kembali
ungkapan Sunan Bonang yang tertulis dalam Suluk Wujil :
Utaming sarira puniki
Angawruhana jatining salat
Sembah lawan pujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange puniku
Lamun aranana salat
Pan minangka kekembaning salat daim
Ingaran tata krama
Artinya : Unggulnya diri itu mengetahui hakekat sholat, sembah dan pujian. Sholat
yang sebenarnya bukan mengerjakan isya atau magrib. Itu namanya sembahyang,
apabila disebut sholat maka itu hanya hiasan dari sholat daim. Hanyalah tata krama
Dari ajaran Sunan Bonang diatas, maka kita bisa memahami bahwa sholat lima
waktu adalah sholat hiasan dari sholat daim. Sholat lima waktu ganjarannya adalah
masuk surga dan terhindar neraka. Tentu yang mendapat surga pun adalah mereka
yang mampu menegakan sholat yaitu dengan sholat tersebut, ia mampu mencegah
dirinya dari berbuat keji dan mungkar.

Sayangnya, saat ini banyak orang yang hanya meributkan sholat fisiknya saja dan
melupakan hakekat sholat itu sendiri. Seringkali jika terdapat perbedaan pada
gerakan ataupun bacaan sholat, mereka saling ribut mengatakan sholatnya paling
benar dengan menyebut sejumlah Hadist yang diyakininya benar.
Harap diingat! Perbedaan gerak maupun bacaan adalah hal yang wajar karena Nabi
sendiri tidak mengajarkan sholat secara khusus melainkan hanyamengatakan
Sholatlah sebagaimana aku sholat. Nah karena banyak orang yang menyaksikan
sholatnya Nabi, maka penglihatan masing-masing orang bisa berbeda sehingga
tidaklah aneh jika ada perbedaan dikemudian hari.
Mengapa Nabi tidak mengajarkan sholat secara khusus? karena gerakan sholat yang
dicontohkan Nabi sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Arab. Gerakan sholat yang
dicontoh Nabi berasal dari agama Kristen Ortodoks Syiria yang telah muncul satu
abad sebelum Nabi lahir. Ritual sholat mereka dikerjakan dalam tujuh waktu.
Gerakannya ada berdiri, ruku dan sujudnya mirip sekali dengan sholat lima waktu
umat Islam. Cara sholat umat Kristen Ortodoks Syiria sampai hari ini pun masih bisa
kita saksikan. Bagi umat Islam yang tidak mengerti sejarah, pasti akan sewot dan
mengatakan mereka telah mencontek sholatnya orang Islam atau menuduh mereka
melakukan kristenisasi gaya baru. Padahal, justru kitalah yang mengadopsi sholat
dari mereka.
Dengan demikian, Nabi ternyata tidak membawa syariat baru. Nabi hanya
memodifikasi berbagai syariat yang telah ada sebelumnya. Contoh lainnya adalah
Ibadah Haji dan Umroh. Ibadah ini sudah menjadi kelaziman pada jaman pra Islam.
Hampir seluruh ritualnya sama dengan yang dilakukan umat Islam pada saat
sekarang, yakni memakai pakaian ihram, wukuf, melempar jumrah, sai dll. Nabi
hanya mewarisi saja dengan menyingkirkan ibadah ini dari kesyirikan dan diganti
dengan kalimah thoyibah. Begitu juga dengan
pengagungan bulan Ramadhan, perkumpulan di hari jumat, telah ada sebelumnya
pada jaman pra Islam. Aturan pra Islam lainnya yang diadopsi dari tradisi hanifiyyah
antara lain : pengharaman minum arak, riba, zina, memakan babi, kemudian ada
juga pemotongan hukum tangan pelaku pencuri dlsb. Dengan demikian, Nabi hanya
melakukan modifikasi saja pada beberapa syariat dan aturan. Termasuk dalam hal
poligami yang tadinya dilakukan orang Arab pra Islam tanpa batas kemudian oleh
Nabi dibatas menjadi empat
istri sesuai perintah dari Allah.
Nah, fakta-fakta diatas dapat Anda baca secara lebih luas melalui buku-buku yang
mengulas sejarah dan peradaban pra Islam, misalnya karangan Khalil Abdul Karim
dengan judulnya Al-Judzurat at-Tarikhiyyah la asy-syariah al Islamiyyah. Nah,
pertanyaannya sekarang adalah, mengapa Nabi tidak membawa syariat yang sama
sekali baru? Jawabannya mudah saja, karena jika membawa syariat baru maka
hampir bisa dipastikan dakwah Nabi gagal. Sama halnya jika Nabi mengenalkan

kesenian wayang di tanah Arab tentulah akan gagal karena ketidakcocokan budaya.
Meski Islam itu untuk seluruh umat manusia, namun dalam konteks mengenalkan
agama tersebut haruslah tetap mengacu dan berkompromi pada ritual dan budaya
lokal Arab agar tetap bisa diterima masyarakat pada saat itu. Perhatikan firman
Allah berikut ini :
Dan jikalau Kami jadikan Al Quraan itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab,
tentulah mereka mengatakan: Mengapa tidak dijelaskan ayat ayatnya? Apakah
(patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? (Q.S
Fushishilat (41) : 44)
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya
ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (Q.S Ibrahim (14) : 4)
Kalau Nabi membawa syariat baru maka sudah pasti akan ditolak oleh orang Arab
karena syariat itu akan menjadi sangat asing bagi mereka. Coba kita ingat kembali
misi utama Nabi yaitu memperbaiki ahlak dan mengajarkan tauhid. Bayangkan jika
Nabi harus mengenalkan syariat baru, maka tentunya dakwah Nabi malah akan
dipenuhi oleh pengajaran ritual-ritual ibadah yang baru. Bisa jadi nantinya fokus
pada pembinaan ahlak akan terbengkalai karena umat lebih sibuk belajar ibadah
ritual tanpa memahami hakekat ritual itu sendiri. Padahal semua ritual tersebut,
tujuannya adalah untuk membentuk ahlak yang baik.
Hal yang sama juga telah dilakukan oleh para wali songo. Contohnya Sunan Kudus
membuat Masjid dengan atapnya sama seperti pura (rumah ibadah umat Hindu).
Syekh Siti Jenar tidak mengajarkan sholat ala Arab kepada orang jawa. Sujud bagi
orang Arab adalah penghormatan yang tertinggi, sedangkan bagi orang jawa,
penghormatan tertinggi adalah duduk dengan tangan ditangkupkan diatas kepala.
Wali lain seperti Sunan Kalijaga juga mengenalkan Islam melalui sekatenan,
muludan, selametan, wayang dll.
Sampai saat ini, kita masih mendapati Islam jawa yang diajarkan oleh Siti Jenar dan
Sunan Kalijaga yang kemudian lebih dikenal dengan nama Islam abangan atau
kejawen. Dengan demikian, para wali ini sebenarnya telah mengikuti sunnah Nabi
yakni tidak merubah kebiasaan masyarakat setempat melainkan memodifikasi
sedemikian rupa agar dakwahnya bisa diterima. Bagi para wali, yang terpenting dari
ibadah itu adalah tujuannya sedangkan wadahnya bisa fleksibel sesuai dengan
tradisi setempat.
Sekarang, sudah saatnya bagi kita tidak lagi perang syariat antar aliran agama. Yang
terpenting dari syariat adalah isinya bukan kulitnya!. Syariat tanpa hakekat adalah
sia-sia. Hakekat tanpa syariat? Nah ini yang sebenarnya tidak ada!, orang yang
sudah mencapai hakekat, sudah pasti syariatnya ikut meski penerapannya berbeda
antar tiap kelompok, aliran dan agama. Adanya perbedaan haruslah dihargai, bukan

diperangi! Sebab cuma Allah-lah yang mengetahui sesat atau tidaknya seseorang
(Q.S 53 : 32, 6 : 117).
Kita harus mampu melampaui batasan yang sifatnya lahiriah. Jangan melulu
meributkan ritual fisik sholat! Tapi lihatlah tujuan dari sholat itu sendiri. Jangan
pula hanya berhenti pada tataran sholat lima waktu saja. Sholat yang sejati adalah
sholat yang terus menerus selama 24 jam (sholat daim) karena sholat inilah yang
mampu melampui alam surga sehingga dapat kembali kepada-Nya. Disanalah nanti
orang-orang arif akan mendapatkan kebahagiaan yang kekal, manunggal bersamaNya!
Bagi mereka yang ingin mendalami sholat daim maka silahkan mencari ulama
tauhid (guru mursyid). Ulama ini cukup banyak hanya saja mereka tidak muncul ke
permukaan. Mereka hanya mau mengajari orang-orang yang mau mencapai maqam
makrifat saja. Sama halnya Nabi Muhammad pun hanya mengajari orang-orang
tertentu saja misalnya para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dll. Nah
karena tidak mengajarkan secara terang-terangan inilah maka kemudian sebagian
umat Islam menghakimi bahwa tasawuf yang
bermunculan adalah sesat. Padahal ajaran tasawuf yang bermunculan semuanya
bermuara ke para sahabat Nabi seperti Ali, Abu Bakar dll. Bahkan ada kelompok
tasawuf yang mewajibkan murid-muridnya harus hafal silsilah dari guru mursyidnya
hingga ke Rasulullah. Ini menandakan bahwa Rasulullah memang mengajarkan
tasawuf atau cara mencapai makrifat kepada sahabatnya
lalu diwariskan kembali oleh sahabat tersebut kepada generasi selanjutnya. Para
imam mazhab sendiri mengakui tasawuf sebagai ajaran yang sangat penting. Imam
Syafii Ra mengatakan : Aku diberi rasa cinta melebihi dunia kalian semua.
Meninggalkan hal-hal yang memaksa, bergaul dengan sesama penuh kelembutan
dan mengikuti ahli tasawuf.
Imam Ahmad bin Hambal Ra sebelum bertasawuf mengatakan Hai anakku,
hendaknya engkau berpijak kepada Hadist. Kamu harus berhati-hati bersama orang
yang menamakan dirinya kaum sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh
dengan agama. Kemudian setelah berguru tasawuf kepada Abu Hamzah Al
Baghdady, beliau meralat ucapannya : Hai anakku, hendaknya engkau bermajlis
kepada para sufi karena mereka bisa memberikan tambahan bekal kepada kita
melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah
yang luhur. Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum
sufi.
Jadi, cara, usaha atau wasilah apapun sepanjang itu bisa mendekatkan diri kepada
Allah tidaklah dilarang. Malah di Al Quran, kita dianjurkan mencari jalan yang
mampu mendekatkan diri kepada-Nya :

Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan bersungguh-sungguh lah pada jalan- Nya, supaya
kamu mendapat keberuntungan (Q.S Al Maaidah (5) : 35)
Belajar tasawuf dengan berguru kepada ulama tauhid merupakan usaha atau jalan
untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Mengapa berguru itu penting? Keutamaan
seorang guru mursyid adalah mampu membimbing kita lebih terarah ketimbang kita
melakukan pencarian seorang diri. Dari sisi efisiensi waktu, jelas belajar kepada
seorang guru akan lebih cepat ketimbang belajar tanpa guru. Meski demikian guru
mursyid hendaknya tidak dikultuskan sedemikian rupa. Kita menimba pelajaran dari
beliau dan kita sendirilah yang
akan menjalankannya. Kita tetap menjaga hubungan yang baik dengan dengan guru
mursyid sebagai sesama orang yang beriman.
Diluar sana, banyak juga orang yang melakukan perjalanan spiritual seorang diri.
Tentunya ia akan membutuhkan waktu
. yang panjang dan hasilnya pun belum pasti bahkan bisa terperosok kepada jalan
yang keliru. Imam Ghozali adalah salah seorang filsuf yang melakukan perjalanan
panjang (salik) dalam menemui Tuhannya. Ia bahkan harus mengasingkan diri dari
keramaian orang banyak (uzlah) agar tidak terganggu tirakatnya.
Tentu hidup di jaman sekarang sangat sulit mengasingkan diri dari keramaian orang.
Uzlah yang harus dilakukan manusia modern hendaknya tidak harus menyendiri
dari keramaian dan tidak harus melepas tanggung jawab dunia dengan
meninggalkan anak, istri. Seorang sufi bernama Abu Said Al Khudri bahkan
mengatakan :
Manusia sempurna adalah orang yang duduk diantara semua mahluk, berdagang
bersama mereka, menikah serta bercampur dengan sesama manusia. Namun mereka
tidak lengah sedetikpun dari mengingat Allah.
Dengan uraian diatas, jelaslah bahwa usaha untuk menemui Allah tidak mesti harus
memutus hubungan bermasyarakat. Allah bisa ditemui siapapun, ditempat apapun.
Untuk menemui Allah ternyata ada jalan terpendek (mazhud) yakni dengan
mendapat bimbingan dari guru mursyid. Rasullullah sendiri telah mencontohkan
dalam hal menemui Allah yaitu dengan mikraj yang dilakukan cukup semalaman
saja. Bandingkan dengan Sidharta Gautama yang membutuhkan waktu 6 tahun
untuk mencapai mikraj. Guru mursyid inilah yang mampu mengajarkan mikraj
dengan cepat sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad. Carilah guru
mursyid yang mampu memberikan jalan tercepat dan paling efektif dalam usaha
menemui-Nya sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Quran :
Aku dapat membawa singgasana-Nya dalam sekejab mata (Q.S An Naml (27) : 40)

Jalan pendek ini pun akhirnya diakui jauh lebih efektif oleh Imam Ghozali dalam
bukunya yang berjudul misykat cahaya. Sebab Allah selalu memberi kemudahan
kepada umat-Nya khususnya bagi mereka yang memiliki keinginan kuat untuk
menemui-Nya. Nabi Muhammad, dalam Hadistnya mengatakan :
Barang siapa ingin menjumpai Allah, maka Allah pun ingin menjumpainya
Barang siapa yang tidak ingin menjumpai Allah, maka Allah pun tidak ada
keinginan untuk menjumpainya
berjalan kamu menuju Allah, maka berlari Allah menghampirimu. Sejengkal
kamu mendatangi Allah, maka sedepa Allah mendatangimu.

Anda mungkin juga menyukai