Bertasawuf pada hakikatnya adalah melakukan serangkaian ibadah dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah Swt dan ibadah itu sendiri kaitannya sangat erat dengan akhlak. Dalam hal ini
Harun Nasution mengatakan bahwa ketika mempelajari tasawuf ternyata di sana akan didapatkan al-
Qur’an dan al-Sunnah yang mementingkan akhlak,1 karenanya ibadah erat sekali kaitannya dengan
akhlak, dan kaum sufilah terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak
yang mulia terlebih dalam diri mereka sendiri, sehingga dikalangan mereka dikenal istilah al-
takhalluq bi akhlaq Allah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau juga istilah al-ittisaf
bi sifat Allah, yaitu mensifati diri mereka dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah Swt. 2
1 Harun Nasution. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran. (Bandung: Mizan. 1995). Cetakan III. hal. 57.
2 Ibid. hal. 59.
Kaum Khawarij dan Syi’ah meskipun mereka bermusuhan, namun mereka sama-sama menentang
kekuasaan Bani Umayyah. Kemudian apabila ada golongan Murji’ah, yang berkeinginan untuk
bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan sesama umat Islam, seperti
dilakukan oleh kaum Khawarij dan Syi’ah. Kaum Murji’ah berpendapat bahwa orang Islam yang
berbuat dosa besar, ia tetap mu’min, sebab masih tetap mengakui Tiada Tuhan selain Allah, dan
bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah.
Selanjutnya perlu diperhatikan sebagaimana orang muslim dapat menyembah Allah dengan
sebenarnya kalau didalam hatinya belum ada iman yang benar, kepercayaan yang dijiwai dengan
perasaan, pikiran dan kemauan. Mungkin saja seorang muslim mengenal Allah sesuai dengan hak
disertai hujjah atau dalil yang dinamakan “orang yang telah ma’rifat”. Ada pula seorang muslim
mengenal Allah sesuai dengan hak namun tanpa dalil, masih ikut-ikutan saja, yang dinamakan “taklid
sahih”.
Kedua macam akhlak ini diterima dalam Ilmu Kalam, dengan ketentuan bagi taklid shahih ini
harus berangsur-angsur mempelajari dalil-dalilnya baik ‘aqly maupun naqli.
Dalam soal iman dan akidah, kita perlu waspada dengan tumbuh suburnya aliran kepercayaan,
yaitu komunitas yang percaya kepada Tuhan tetapi menyimpang dari kebenaran dan tidak tahu dalil-
dalil. Kelompok semacam ini melakukan “taklid bathil” dan menyimpang dari ajaran Islam. tetapi,
ada yang lebih berbahaya lagi, yaitu komunitas yang menyimpang dari yang hak, namun dia tahu
beberapa dalil naqly dan ‘aqly. Kelompok semacam ini biasa dinamakan “jahil muraqab”.
Adapun mengenal Allah berarti kita mengetahui, memahami dan meyakini sifat-sifat Allah yang
wajib, yaitu: Allah itu ada, Maha Dahulu, kekal, Beda dengan yang baru, berdiri sendiri, Maha Esa,
Kuasa, Berkehendak, Ma-ha Mengetahui, Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Kalam. Dan
mustahil bagi Allah bersifat yang berlawanan dengan sifat-sifat tersebut. Dan mungkin bagi Allah
mengadakan atau tidak mengadakan sesuatu.
Sifat yang pertama dalam Ilmu Kalam dinamakan sifat nafsiyah, yaitu sifat yang dengan sifat ini
dapat membuktikan Dzat Allah Swt. Adapun sifat yang kedua sampai dengan sifat yang keenam,
disebut sifat salbiyah, yaitu sifat-sifat yang me-nafyi-kan sifat-sifat yang tidak mungkin dan tidak
layak bagi Allah Swt kemudian dari sifat yang ketujuh sampai dengan sifat yang ketiga belas disebut
sifat Ma’any, yaitu sifat-sifat yang memastikan yang disifati itu bersifat dengan sifat-sifat tersebut.
Selanjutnya penerapan akhlak dalam menanamkan keyakinan dalam Is-lam, tidak berjalan secara
drastis, namun berangsur-angsur, dengan penuh kebijaksanaan dan bimbingan yang baik dari pendidik
terhadap terdidik. Perhatikan dakwah Wali Songo, dan para ulama besar di negara kita pada masa
yang lalu. Perhatikan surat Ali Imran ayat 159 dan surat al-Nahl 125.
Sedangkan kaitan ilmu ini dengan ilmu akhlak adalah ilmu tauhid ini akan mengarahkan amal
perbuatan yang dilakukan manusia semata-mata karena dan untuk Allah Swt, ikhlas inilah akhlak
yang mulia, sebagaimana firman Allah Swt :
ِ َِو َما اُمـِرُوْ ا اِالَّ لِيَـ ْعبُ ُدوا هللاَ ُم ْخل
َصـ ْينَ لَـهُ ال ِّد ْيـنَ ُحنَـفَا ًء َّويُقِيْـ ُموا الصَّـلَوةَـ َوي ُْـؤتُوا ال َّز َكاةَ َو َذلِك
ْـن ْالقَيِّـ َم ِة
ُ ِدي
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”3
Selain itu kaitan ilmu tauhid dengan ilmu akhlak ini bisa dilihat dari segi fungsinya, dimana ilmu
tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman
saja tetapi yang terpenting adalah meniru dan mengamalkannya sesuai dengan contoh-contoh yang
ada di dalamnya.4 Karena memang rukun iman itu erat sekali kaitannya pembinaan akhlak yang mulia.
Selain itu memang sering dalam al-Qur’an5 maupun al-Sunnah antara iman dan amal salih selalu
dijelaskan secara bersamaan. Dalam hadis misalnya adalah :
seperti yang dikemukan oleh al-Ghazali (1059-1111 M.), tentang manusia sebagai makhluk
18
berpikir seperti yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun, dan konsepsi basyar, insan dan al-nas
19
sebagaimana dikemukakan oleh Musa Asy’arie. Yang ini akan memberikan masukan yang
20
amat berguna dalam pembinaan akhlak. Selain itu, filsafat juga membahas tentang Tuhan,
alam dan makhluk lainnya. Yang dari pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan
tentang cara-cara berhubungan dengan Tuhan dan memperlakukan makhluk serta alam
lainnya dengan mewujudkan akhlak yang luhur
13 Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1980). Cetakan IV. hal. 48-49.
14 Abdul Fatah Jalal. Azas-azas Pendidikan Islam. diterjemahkan oleh Herry Noer Ali. (Bandung: Diponegoro. 1990). hal. 119.
15 Syed Muhammad Nuqaib al-Attas. Konsep Pendidikan islam. diterjemahkan oleh Haidar Bagir. (Bandung: Mizan. 1984). hal. 1.
16 Mohd. Athiyah al-Abrasyi. Al-Tarbiyah al-Islamiyah. diterjemahkan oleh H. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry LIS. Dasar-
dasar Pokok Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1974). Cetakan II. hal. 15.
17 Untuk lebih lengkapnya lihat Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1983). Cetakan III.
hal. 38.
18 Untuk lebih lengkapnya lihat Ibid. hal. 45-46.
19 Untuk lebih lengkapnya lihat M. Sastrapratedja. Culture and Religion: A Study of Ibn Khaldun Philosophy of Culture as A
Framework for Critical Assesment of Contemporary Islamic Thought in Indonesia. (Roma: Universitaris Gregorianae. 1979). hal. 14;
lihat pula Fachry Ali. “Realitas Manusia: Pandangan Sosiologis Ibn Khaldun”. dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.). Insan Kamil:
Konsepsi Manusia menurut Islam. (Jakarta: Grafitri Pers. 1987). Cetakan II. hal. 151.
20 Musa Asy’arie. Manusia Pembentuk … hal. 34.