Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling
berhubungan. Namun, hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang
pertengahan, dan ada pula yang agak jauh.
Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan ilmu akhlak dapat dikategorikan berdekatan
antara lain ilmu tasawuf, ilmu tauhid, ilmu jiwa, ilmu pendidikan dan filsafat.
Sedangkan ilmu-ilmu yang hubungannya dengan ilmu akhlak dapat dikategorikan
pertengahan adalah ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu sejarah, dan ilmu antropologi.
Dan ilmu-ilmu yang agak jauh hubungannya dengan ilmu akhlak adalah ilmu
fisika, biologi, dan ilmu politik.
Dalam makalah ini hubungan ilmu tasawuf, ilmu tauhid, ilmu jiwa, ilmu
pendidikan dan filsafat dengan ilmu akhlak adalah ilmu pengetahuan yang akan
dibahas secara rinci.

B. Rumusan Masalah
1. Apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf?
2. Apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid?
3. Apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa?
4. Apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu pendidikan?
5. Apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu filsafat?
6. Apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu sosiologi?
7. Apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu hukum?

C. Tujuan
1. Mengetahui hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
2. Mengetahui hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid
3. Mengetahui hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa
4. Mengetahui hubungan ilmu akhlak dengan ilmu pendidikan
5. Mengetahui hubungan ilmu akhlak dengan ilmu filsafat
6. Mengetahui hubungan ilmu akhlak dengan ilmu sosiologi
7. Mengetahui hubungan ilmu akhlak dengan ilmu hukum

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf


Para ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga
bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali.
Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah
dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri
dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan
bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam
tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi
pendekatan yang digunakan adalah pendekaan rasio atau akal pikiran, karena
dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat
1
di kalangan para filosof, seperti filsafat tentang tuhan, manusia, hungan manusia
dengan tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri
dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya
dengan akhlak terpuji), dan tajalli(terbukanya dinding penghalang (hijab)) yang
membatasi manusia dengan tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya .
sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan
mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang
dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan
sengaja, sadar, pilihan sendiri dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antar ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita
ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari
tasawuf ternyata pula bahwa Alquran dan Alhadist mementingkan akhlak.
Alquran dan alhadist menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan,
persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka
memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih
hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan
berpikiran lurus. Nilai-nilai serupa inilah yang harus dimiliki oleh seorang
Muslim, dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil. 1
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat
menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah
seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu
dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan
dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Ibadah
dalam Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah
Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari
yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar,
mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik.
Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun
Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan
ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu,
dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti
dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri denan
sifat-sifat yang dimiliki Allah.

B. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid

Ilmu Tauhid sebagai mana di kemukakan Harun Nasution mengandung arti


sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara meng-esakan Tuhan,sebagai salah
satu sifat yang terpenting di antara sifat-sifat tuhan lainnya.
Selain itu ilmu ini juga di sebut sebagai ilmu ushul al-din dan oleh karena itu
buku yang membahas soal-soal teologi dalam islam selalu di beri nama kitab
ushul al-din.dinamakan demikian, karena masalah tauhid termasuk masalah yang
pokok dalam ajaran agama islam.selain itu ilmu ini juga di sebut sebagai ilmu
aqa’id,credo atau keyakinan-keyakinan,dan buku-buku yang mengupas
keyakinan-keyakinan itu di beri judul al-aqaid.Ilmu ini di namai ilmu aqaid
(ikatan yang kokoh),karena keyakinan kepada tuhan harus merupakan ikatan yang
kokoh yang tidak boleh di buka atau di lepaskan begitu saja, karena bahayanya
sangat besar bagi kehidupan manusia. Orang yang tidak memiliki ikatan yang
kokoh dengan Tuhan,menyebabkan dengan mudah ia tergoda pada ikatan-ikatan
2
lainnya yang membahayakan dirinya.Dan Ilmu Tauhid juga di sebut pula ilmu
kalam.
Dari berbagai istitah yang berkaitan dengan Ilmu Tauhid itu kita dapat
memperoleh kesan yang mendalam bahwa Ilmu Tauhid itu pada intinya berkaitan
dengan upaya memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan
perbuatannya.Termasuk pula pembahasan dalam Ilmu Tauhid ini adalah mengenai
rukun iman yang enam,yaitu iman kepada Allah,para malaikat, kitab-kitab yang
diturunkan-Nya.Selain itu ilmu ini di bahas pula tentang keimanan terhadap hal-
hal yang akan terjadi di akhirat nanti.
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid ini sekurang-kurangnnya dapat di
lihat melalui tiga analisis sebagai berikut;
Pertama,dilihat dari segi obyek pembahasannya,Ilmu Tauhid sebagaimana
diuraikan di atas membahas masalah Tuhan baik dari segi zat,sifat dan perbuatan-
Nya.Kepercayaan yang mantap terhadap Tuhan yang demikian itu,akan menjadi
landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang di lakukan,sehingga semua
perbuatan yang di lakukan oleh manusia semata-mata hanayalah untuk Allah
SWT. Dengan demikian Ilmu Tauhid mengarahkan perbuatan manusia untuk
menjadi ikhlas,dan keikhlasan ini merupakan akhlak yang mulia. Allah SWT
berfirman yang Artinya ; “padahal mereka hanya di perintahkan menyembah
kepada allah,dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena
(menjalankan)agama,dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan
zakat,dan demikian itulah agama yang lurus. ( al-bayinah 5)
Kedua,dilihat dari segi fungsinya,Ilmu Tauhid memerintahkan kepada seseorang
bahwasannya seseorang yang baeratuhid tidak hanya cukup dengan menghafal
rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting dalm
Tauhid agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek
yang terdapat dalam rukun iman itu.
Pertama, Jika kita percaya bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang
mulia,maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Tuhan itu.Allah
SWT.Misalnya bersifat al-rahman dan al-rahim (Maha pengasih Dan Maha
penyayang),maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan
mengembangkan rasa kasih sayang di muka bumi ini.Dengan demikian jika Allah
mempunyai sifat asmaul husna yang terdapat 99 sifat mak sebaiknya manusia
juga bisa mengamalkan sifat-sifat itu dalam kehidpan sehari-hari.Dengan cara
demikain beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap akhlak yang
mulia.
Kedua, jika kita beriman kepada malaikat yang di maksudkan adalah agar
manusia meniru sifat-sifat yang terdapat dalam diri malaikat di anta-sifat tuhan
lainnya ranya, jujur ,amanah,tidak pernah durhaka, dan patuh melaksanakan
segala perintah Allah.Peracaya kepada malaikat di maksudkan agar manusia
merasa di perhatikan oleh para malaikat sehinggan manusia pun tidak berani
melanggar larangan Tuhan. Dengan cara demikain percaya kepada malaikat akan
memberi pengaruh terhadap akhlak yang mulia.Allah SWT.Berfirman:

(malaikat-malaikat) itu tidak mendurhakai Allah terhadapa apa yang di


perintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang di perintahkan.
(QR.al-Tahrim,66;6).
Ketiga, beriman kepada kitab-kitab yang di turnukan Allah khususnya Al-
quran,maka secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan al-quran
sebagai wasit, hakim serta iman dalam kehidupan. Selanjutnya di ikuti pula

3
dengan mengamalkan segala perintah yang ada dalam al-quran dan menjauhi apa
yang di larangnya.Denagn kata lain beriman kepada kitab-kitab,khususnya al-
quran, harus di sertai dengan berakhlak dengan akhlak al-quran sebagaiman ha ini
di lakukan oleh Nabi muhammad SAW.
Dengan cara demikaian beriman kepada kitab erat kaitannya dengan akhlak.
Keempat, beriman keada rosul khususnya kepada Nabi Muhammad
S.A.W. juga harus di sertai denagn upaya mencontoh akhlak rosulullah dan
mencintainya. Di dalam al-quran dinyatakan oleh Allah bahwa Nabi Muhammad
S.A/W.itu berakhlak mulia di dalam al-quran dinyatakan;
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat Dan dia banyak menyebut Allah. (QS.al-ahzab,33:21)
Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada manusia bahwa sesungguhnya di
dalam diri Rosulullah itu terdapat contoh akhlak yang mulia.Jika hal tersebut di
nyatakan dalam al-quran maka sesungguhnya maksud hal tersebut adalah untuk di
amalkan. Caranya antara lain mengikuti perintahnya dan mencintainya dalam
salah satu haditsnya,beliau menyatakan
“tidak sempurna iman salah seorang kamu sekalian,sehingga aku (Nabi
Muhammad) lebih di cintai dari pada harta bendanya,orang tuanya,anak-anaknya
dan manusia lainnya” (HR. Muslim)
Dengan cara demikian beriman kepada rosul akan menimbulkan akhlak
yang mulia.Hal ini dapat diprkuat lagi dengan cara meniru sifat-sifat yang wajib
pada rosul,yaitu sifat shidik (jujur), amanah (terpercaya),tabligh (menyampaikan
ajaran sesuai dengan perintah Allah),dan fathanah (cerdas). Jika semua ini telah
kita lakukan maka akan dapat menimbulkan kepada diri kita akhlak yang
mulia,dan di sinilah hubungannya ilmu akhlak dengan dengan ilmu tauhid.
Kelima, beriman kepada hari akhir. Dari sisi akhlaki kita hasrus menyadari
bahwa segala amal perbuatan manusia yang kita lakukan selama hidup di dunia ini
akan di minata pertanggung jawabannya di akhirat nanti..Amal perbuatan yang di
lakukan selama di dunia akan di timbang dan di hitung serta di putuskan dengan
seadilnya.Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Allah
S.W.T.Akan di masukan kedalam neraka jahanam,sedangkan yang amalnya lebih
banyak yang baik dan menaati tuhanNYA maka akan di masukan kedalam surga
.keimanan kepada hari akhir yang demikian itu di harapkan dapat memotivasi
seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak melakukan amal yang
baik,menjauhi perbuatan dosa atau ingkar kepada Tuhan. Rang yang demikian
akan menjadi orang yang selalu taqwa kepad Allah.
Karena sesungguhnya kebahagian hidup di akhirat di tentukan oleh amaal
perbuatan kita selama hidup di dunia ini jika amal baik kita lebih banyak dari pada
amal buruk maka amal baik pun akan mendorong seseorang memiliki etos kerja
untuk selalu melakukan amal perbuatan yang baik selama hidupnya di dunia
ini.disinilah letaknya anatar hubungan iman dengan hari akhir dengan akhlak yang
mulia.Allah S.W.T .berfirman
“” Orang-orang kafir di bawa ke neraka jahanam berombong-rombongan .(QR.al-
zumar,39;71)
“”Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan di bawa kedalam surga
berombong-rmbongan (pula). (QR.al-zumar.39;73)
Keenam, beriman kepada qada dan qadar. Beriman kepada qada dan qadar
Tuhan juga erat kaitannya dengan akhlak,yaitu agar orang yang percaya kepada
qada dan qadar Tuhan itu senantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan

4
dan rela menerima segala keputusan-NYA.Perbuatan yang demikian
termasukkedalam akhlak yang mulia.Hal ini termasuk salah satu perbuatan yang
berat,karena pada umumnya manusia merasa sukar menerima keadaan-keadaan
yang biasa menimpa dirinya,seperti kemiskinan,kerugian,kehilangan
barang,pangkat,kedudukan,kematian dan lain-lain yang dapat mengurangi
kesenangannya.
Yang dapat bertahan dalam menerima keputusan-keputusan Tuhan seperti
itu hanyalah orang-orang yang telah mempunyai sifat ridla artinya rela dengan apa
yang telah di tentukan dan ditakdirkan Tuhannya.Rela berjuan atas jalan
Allah,rela menghadapi kesukaran,rela membela kebenaran,rela berkorban
harta,pikiran,jiwa sekalipun
Orang-orang yang telah memiliki sifat ridla itu tidak akan mudah bimbang
atau kecewa atas pengorbanan yang dialaminya,tiddak menyesal dalam hidup
kekurangan,tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang telah dapat orang
lain,karena mereka kuat berpegang kepada akidah iman kepada qada dan qadar
yang semuanya itu datang dari Tuhan.Dalam salah satu hadits
qudsinya,Rosulullah S.A.W.mengatakan
Allah berfirman; sesengguhnya ini Aku adalah Allah,tidak ada Tuhan yang
sebenarnya selain Aku,maka barang siapa tidak sabar atas cobaan-KU, tidak
bersyukur terhadap nikmat-KU dan tidak rela terhadap keputusan-KU,maka
hendaklah ia keluar dari klong langit-KU dan carilah Tuahn selain
Aku.(HR.Muslim).
Berdasarkan analisis yang sedrhana ini,tampak jelas bahwa rukun iman
ysng enam ternyata erta kaitannya dengan hubungan akhlak yang mulia.Dengan
demikian dalam rangka pengembangan ilmu akhlak,bahan-bahannya dapat di gali
dari ajaran tauhid atau keimanan tersebut.
Ketiga hubungan ilmu tauhid denagn Ilmu Akhlak dapat pula di lihat dari
ertanya kaitan anatar iman dan amal salih.Baik di dalam al-quran maupun hadits
banyak sekali disebutkan secara beriringan anatar iman dan amal salih.misalnya
kita baca ayat;
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang beriman
kepada Allah dan Rosul-NYA,kemudian itu mereka tidak ragu-ragu dan
senantiasa berjuang dengan harta dan dirinya di jalan Allah.itulah irang-orang
yang benar(keimannnya).(QR.al-hujurat 49;15)
Jika kita perhatikan ayat-ayat tersebut secara seksama akan tampak bahwa ayat-
ayat tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlak mulia.
Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk dengan jelas bahwa keimanan harus
dimanifestasikan dalam bentuk kerelaan dalam menerima keputusan dari nabi terhadap
perkara yang diperselisihkan, patuh dan tunduk terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya,
bergetar hatinya ketika mendengar ayat-ayat Allah, bertawakkal, shalat dengan khusyu’,
berinfak di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak berguna, menjaga farji, dan tidak
ragu-ragu dalam berjuang di jalan Allah. di sinilah letak hubungan anraea keimanan
dengan pembentukan ilmu akhlak.
Hubungan antara keimanan yang dibahas dalam ilmu tauhid dengan ilmu akhlak
banyak pula ditemukan dalam hadist. Misalnya kita membaca hadist yang berikut ini:
Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mau mencintai saudaranya,
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari dan Muslim).
Seseorang belum dianggap total (sempurna) keimanannya, kecuali ia mau
meninggalkan kedustaan dari senda gurau (percakapan)nya dan meninggalkan
pertengkaran walaupun ia termasuk orang yang benar. (HR. Ahmad).

5
Bukan termasuk mukmin (yang baik)yaitu yang merasa kenyang (sendiri)
sementara tetangganya yang dekat menderita kelaparan, (HR. Ahmad).
Bukanlah termasuk akhlak dari seorang mukmin, yaitu orang yang tidak pernah
merasa cukup dan bersikap iri, kecuali dalam hal mencari ilmu. (HR. Baihaqi dari
Mu’az).
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik
kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir hendaklah ia berkata baik atau sebaiknya diam saja. (HR. Bukhari
Muslim)
Hadist-hadist di atas bertemakan iman dalam hubungan dengan akhlak yang baik.
Menurut hadist-hadist tersebut bahwa keimanan yang dimiliki seseorang hendaknya
disertai dengan akhlak mulia seperti mencintai sesama manusia, berkata baik dan benar
serta menjauhi ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat.
Gambaran kuatnya hubungan iman dengan akhlak atau perbuatan yang baik lebih
lanjut dapat dilihat pada pemikiran kalam golongan khawarij dan muktazilah. Orang yang
berbuat dosa besar menurut golongan khawarij dapat menyebabkan hilangnya iman.
Sementara menurut golongan muktazilah oeang beriman yang berbuat dosa besar
kemudian meninggal sebelum bertaubat menyebabkan ia tidak dapat masuk surga karena
dosanya dan tidak pula dimasukkan ke dalam neraka karena di hatinnya masih ada iman.
Bagi Muktazilah digambarkan bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga
oleh perbuatan-perbuatan.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa keimanan dalam islam sebagaimana
dijelaskan oleh Maulana Muhammad Ali bukanlah bersifat dogmatis, yakni bukan hanya
dengan mengakui adanya rukun iman lantas yang bersangkutan masuk surga dan
dihapuskan segala dosanya. Iman dalam islam itu sebenarnya menerima suatu ajaran
sebagai landasan untuk melakukan perbuatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya
hubungan yang erat antar keimana yang dibahas dalam ilmu tauhid dengan perbuatan
baik yang dibahas dalam ilmu akhlak. Ilmu tauhid tampil memberikan landasan bagi ilmu
akhlak dan ilmu akhlak tampil memberikan penjabaran dan pengamalan dari ilmu tauhid.
Tauhid tanpa akhlak mulia tidak akan ada artinya, dan akhlak mulia tanpa tauhid tidak
akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi
terhadap arahan tersebut. Di sinilah letak hubungan yang erat antara tauhid dan akhlak.

C. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Jiwa


Ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang
tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang
dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan
misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang tenang pula, sebaliknya jiwa yang
kotor banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang
jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
Dengan demikian ilmu jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin
manusia dengan cara menginterpretasikan perilakunya yang tampak. Di dalam Alquran,
aspek batin yang dimiliki manusia ini diungkap dalam istilah al-insan. Hasil studi Musa
Asy’arie terhadap ayat-ayat Alquran menginformasikan bahwa kata insan dipakai
Alquran dalam kaitannya dengan berbagai kegiatan manusia yakni kegiatan belajar (QS.
96-15; 55:1-3), tentang musuhnya (QS. 12:5; 17:53), penggunaan waktunya (QS. 103:1-
3), beban amanat yang dipikulnya (QS 33:72), konsekuensi usaha perbuatannya (QS.
53:39; 79:35), keterkaitannya dengan moralitas dan akhlak (QS. 29:8; 31:14; 46:15),

6
kepemimpinannya (QS. 2:124), ibadahnya (QS. 2:21), dan kehidupannya di akhirat (QS.
17:71).
Hasil studi tersebut menggambarkan adanya hubungan yang erat antara potensi
psikologis manusia dengan ilmu akhlak. Melalui informasi dari ilmu jiwa atau potensi
kejiwaan yang diberikan Alquran maka secara teoritis ilmu akhlak dapat dibangun dengan
kokoh. Hal ini lebih lanjut dapat kita jumpai dalam uraian mengenai akhlak yang
diberikan Quraish Shihab, dalam buku barunya yakni Wawasan Alquran. Di situ antara
lain mengatakan: “kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui
bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa
manusia memiliki kedua potensi tersebut”. Ia lebih lanjut mengutip ayat yang berbunyi:
Maka kami telah memberi petunjuk (kepada)nya (manusia) dia jalan mendaki
(baik dan buruk. (QS. Al-Balad, 90:10)
...dan (demi) jiwa serta perumpamaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa
manusia) kedurhakaan dan ketakwaan. (QS. As-Syams 91:7-8)
Dalam kesimpulannya, Quraish Shihab berpendapat bahwa walaupun kedua
potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-
isyarat dalam Alquran bahwa kebajikan lebih dulu menghiasi diri seseorang daripada
kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
Kecenderungan ini terbukti dari adanya persamaan konsep-konsep pokok moral
pada setiap peradaban dan zaman. Jika perbedaan itu terletak pada bentuk, penerapa atau
pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral yang disebut ma’ruf
dalam bahasa Alquran. Tidak ada peradaban yang menganggap baik sebuah kebohongan
penipuan dan keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan
kepada orangtua adalah buruk. Tetapi bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu?
Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat
pada generasi tertentu dengan masyarakat pada ngerasa yang lain. Perbedaan-perbedaan
itu selama dinilai baik oleh masyaeakat dalm masih dalam kerangka prinsip umum, maka
ia tetap dinilai baik (ma’ruf).
Uraian tersebut memiliki kesan bahwa manusia dengan sendirinya dapat menjadi
baik atau buruk, atau mengetahui yang baik danb buruk. Kesan ini ada benarnya dan ada
pula tidak benarnya. Benarnya adalah memang ada sejumlah perbuatan moral yang dapat
diketahui manusia bahwa itu baik dan bahwa itu buruk. Namun, pengetahuan manusia
terhadap perbuatan moral yang baik dan buruk itu terbatas. Manusia masih memerlukan
informasi perbuatan moral dalam ajaran akhlak islami berasal dari akal pikiran dan
potensi yang dimiliki manusia, yang selanjutnya disempurnakan oleh petunjuk wahyu.
Bukti bahwa akal dan potensi rohaniah yang dimiliki manusia dapat mempengaruhi
sebagian perbuatan baik dan buruk dapat dijumpai dalam pemikiran teologi muktazilah.
Menurut aliran teologi ini, tanpa wahyu manusia sudah dapat mengatakan bahwa mencuri
itu perbuatan buruk karena merugikan orang lain dan berbuat baik kepada orangtua
adalah baik karena orangtua itulah yang paling besar jasanya dalam kelangsungan hidup
seorang anak. Namun muktazilah pun menunjukan sejumlah perbuatan baik dan buruk
tidak diketahui dengan sendirinya oleh manusia. Misalnya manusia tidak tahu kalau
perbuatan zina itu buruk dan tidak pula tahu bahwa mengimani adanya kehidupan akhirat
sebagai perbuatan baik. Untuk masalah yang demikian itu datanglah wahyu. Berdasarkan
uraian di atas maka Quraish Shihab lebih lanjut mengatakan bahwa tolak ukur kelakuan
baik dan buruk mestilah merujuk pada ketentuan Allah SWT. Apa yang dinilai baik oleh
Allah SWT pasti baik dalam esensinya.
Uraian tersebut memberi informasi bahwa dalam diri manusia terdapat potensi
rohaniah yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Potensi rohaniah ini dibahas
lebih jauh dalam ilmu jiwa. Dalam ilmu jiwa terdapat informasi tentang perbedaan

7
psikologis yang dialami seseorang pada setiap jenjang usianya. Gejala psikologis yang
dialami anak usia di bawah lima tahun (balita), kanak-kanak (5-6 tahun), anak-anak (7-12
tahun), remaja (13-19 tahun), dewasa (20-40 tahun), orangtua (41-60 tahun), lanjut usia
(61-seterusnya) ternyata berbeda. Pada usia balita cenderung emosional dan manja
sedangkan pada usia kanak-kanak cenderung mengikuti orangtuanya dan reakreatif.
Gejala psikologis seperti ini akan memberikan informasi tentang perlunya menyampaikan
ajaran akhlak sesuai perkembangan jiwanya. Dalam kaitan ini dapat dirumuskan sejumlah
metode dalam menananmkan akhlak yang mulia. Dengan demikian ilmu jiwa juga dapat
memberikan masukan dalam rangka merumuskan tentang metode dan pendekatan dalam
pembinaan akhlak.

D. Hubungan Ilmu Jiwa dengan Ilmu Pendidikan


Ilmu pendidikan ditemui dalam literatur banyak berbicara mengenai aspek yang
berhubungan dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam ilmu ini antara lain dibahas
tentang rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran (kurikulum), guru, metode, sarana
dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar-mengajar dan lain sebagainya.
Semua aspek pendidikan tersebut ditunjukan pada tercapainya tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan ini dalam pandangan islam banyak berhubungan dengan kualitas
manusia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa tujuan pendidikan
identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang
mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu
Mohd. Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari
pendidikan islam dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan
akhlak adalah jiwa pendidikan islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah
tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya Al-Attas mengatakan bahwa tujuan
pendidikan islam adalah manusia yang baik. Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa tujuan
umum pendidikan islam adalah terjuwudnya manusia sebagai hamba Allah.
Jika rumusan dari keempat tujuan islam dihubungan antara satu dengan lainnnya,
maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya seorang
hamba Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusan ini dengan jelas
telah menggambarkan hubungan yang erat antara ilmu akhlak dengan ilmu pendidikan.
Pendidikan islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik agar menjadi orang
yang berakhlak.
Pendidikan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan orangtua di rumah,
guru di sekolah dan pimpinan sera tokoh masyarakat di lingkungan. Semua lingkugan ini
merupakan bagian integral dari pelaksanan pendidikan yang berarti tempat
pelaksanaannya pendidikan akhlak.

E. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Filsafat


Filsafat sebagaimana yang kita ketahui adalah upaya berfikir yang mendalam,
radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti
atau hakikat segala sesuatu. Dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan
hakikatnya. Misalnya kita melihat berbagai merek kendaraan lalu kita memikirkannya.
Membandingkan antara satu dan lainnya kemudian kita menemukan inti atau hakikat
kendaraan yaitu sebagai sarana transportasi. Dengan menyebut sarana transportasi maka
seluruh jenis dan merek kendaraan apapun sudah tercakup di dalamnya.
Di antara obyek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah
tentang manusia. Para filosof muslim seperti Ibnu Sina (9980-1037 M.) dan Al-Ghazally
(1059-1111 M) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam
pemikirannya tentang jiwa. Misalnya Ibnu Sina mengatakan bahwa jiwa manusia
8
merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunya wujud terlepas dari tubuh. Jiwa
manusia timbul dan tercipta setiap ada tubuh yang sesuai dan dapat menerima jiwa dan
lahir ke dunia ini. Jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik dan dengan demikian
tak berhajat pada badan namum untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yag berpikir,
jiwa masih berhajat pada tubuh. Karena pada awalnya tubuhlah yang menolong jiwa
manusia untuk dapat berpikir. Lima panca indera dan daya-daya batin dari jiwa
binatanglah seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia
untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekitarnya. Jika jiwa manusia
telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan tubuh maka ia selamanya akan
berada dalam kesenangan, dan jika ia berpisah dengan tubuh dalam keadaan tidak
sempurna karena semasa bersatu dengan tubuh ia selalu dipengaruhi oleh hawa nafsu
tubuh maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya
di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut memberi
petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat
dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu akhlak.
Imam Al-Ghazally membagi umat manusia ke dalam tiga golongan. Pertama,
kaum awam yang berpikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum pilihan yang akalnya tajam
dan berpikir secara mendalam. Ketiga, kaum penengkar. Kaum awal dengan akalnya
yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat
lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap menjelaskan
hikmat-hikmat. Sedangkan kaum penengkar dengan sikap mematahkan argumen-
argumen. Pemikiran Al-Ghazally ini memberi petunjuk adanya perbedaan cara dan
pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya.
Pemikiran yang demikian membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang
tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran tentang manusia juga dapat kita jumpai pada Ibn Khaldun. Dalam
melihat manusia Ibn Khaldun mendasarkan diri pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang
sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dari ajaran islam. Ia melihat manusia
sebagai makhluk berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berpikirnya, manusia tidak hanya membuat kehidupannya tetapi juga
menaruh perhatian terhdap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses
semacam ini dapat melahirkan peradaban.
Namun, dalam pandangan Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaam
manusia tidak lahir begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut
dewas ini dikenal dengan nama evolusi. Berbeda dengan Charles Darwin (1809-1882 M)
yang melihat proses kejadian manusia sebagai hasil evolusi makhluk-makhluk organik.
Ibn Khaldun menghubungkan kejadian manusia (sempurna) dalam perkembangan dan
pertumbuhan alam semesta.
Dalam pemikiran Ibn Khaldun tersebut tampak bahwa manusia adalah makhluk
budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakala ia berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Hal ini menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia
termasuk dalam pembinaan akhlaknya.
Jauh sebelum itu Alquran telah menggambarkan manusia dalam sosoknya yang
sempurna melalui istilah basyar, insan dan al-nas. Musa Asy’arie melalui penelitiannya
yang mendalam terhadap Alquran berkesimpulan bahwa melalui aktivitas basyariahnya
manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriahnya yang
diperngaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya seperti makan, minum, bersosial dan mati
akhirnya mengakhiri kehidupannya.

9
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri
sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal. Sementara kata al-nas mengacu pada
manusia sebagai makhluk sosial.
Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis akan
memberikan masukan yang berguna dalam merancang perencanaan tentang cara-cara
membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dsb. Dengan cara
demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakuan dalam menciptakan kehidupan
yang aman dan damai.
Selain itu, filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk lainnya. Dari
pembahasan ini akan dapat diketahui dan dirumuskan tentang cara-cara berhubungan
dengan Tuhan dan memperlakukan makhluk serta alam lainnya. Dengan demikian akan
dapat diwujudkan akhlak yang baik terhadap Tuhan, manusia, alam dan makhluk Tuhan
lainnya.
Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak
tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam ilmu akhlak perlu pula melengkapi
dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu uraian
tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang sangat akrab
dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada diekitar kehidupan manusia.

F. Hubungan Akhlak Dengan Sosiologi


Secara etimologis sosiologi berasal dari kata socius yang bararti ilmu
penegtahuan.jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang berkawan atau di
dalam arti luas,adalah “Ilmu Pengetahuanyang berobjek pada hidup
bermasyarakat.
Hidup bermasyatrakat dapat di pahami dalam pengertian yang luas,bisa di
pahami dalam dimensi yang sempit.Masyarakat dalam arti luas ialah kebulatan
dari semua perhubungan di dalam hidup bermasyarakat.Sedangkan dalam arti
sempit,masyarakat ialah suatu kelompok manusia yang menjadi tempat hidup
bermasyarakat,tidak semua aspeknya,tetapi dalam berbagai aspek yang bentuknya
tidak tertentu.Masyarakat dalam arti sempit ini tidak mempunyai arti yang
tertentu, misalnya masyarakat mahasiswa,masyarakat pedagang,masyarakat
tani,dan lain-ain.
Mempersoalkan antara ilmu akhlak dengan ilmu sosiologi agaknya sangat
signifikan karena ilmu akhlak membahas tentang berbagai perilaku manusia yang
di timbulkan oleh kehendak, yang tidak dapt terlepas dari kajian kehidupan
kemasyarakatan yang menjadi kajian ilmu sosiologi.
Manusia tidak mungkin memisahkan dirinya dari lingkungan masyarakat
di mana dia berada walaupun kadar pengaruh itu relatif sifatnya.Kesempurnaan
hidup manusia tidak akan dapat di capai dengan hidup menyendiri karena segala
sesuatu kebutuhan dan keperluan hidupnya hanya dapat dicapai dengan hidup
bersama dan terpeliharanya kasih sayang.
Intinya manusia adalah mahkluk sosial yang harus barmasyarakat,saling
membutuhkan diantara sesamanya.Hal ini jelas sekali bila kta perhatikan firman
Allah surat (Al-hujurat: 13)
"Hai manusia,sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseoramg laki-
laki,seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal mengenal.Sesungguhnya orang yang paling taqwa
diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling taqwa diantara
kamu .Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
G. Hubungaan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Hukum

10
Pokok pembicaraan mengenai hubungan akhlak denagn ilmu hukum
adalah perbuatan manusia. Tujuannya mengatur perbuatan manusia untuk
kebahagiannya.Akhlak memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang
berbuat apa yang mudharat, sedang ilmu hukum tidak, kerana banyak perbuatan
yang baik dan berguna dan tidak di perintahkan leh ilmu hukum, seperti berbuat
baik kepada fakir miskin dan perlakuan baik anatara suami istri.Demikian juga
beberapa perbuatan yang mendatangkan kemudaratan tidak di cegah oleh ilmu
hukum, umpamanya dusta dan dengki.Ilmu hukum tidak mencampuri urusan ini
karena ilmu hukum tidak memerintahkan dan tidak melarang kecuali dalam hal
menjatuhkan hukuman kepda orang yang menyalahi perintah dan laranganya.
Kadang-kadang untuk melaksanakan undang-undang hukum
mempergunakan cara-cara yang lebih membahayakan umat, ketimbang melalui
perintah-perintah atau larangan undang-undang.Ada beberapa keburukan-
keburukan yang samar-samar,seperti mengingkari nikmat dan berkhianat, undang-
undang ini tidak sampai untuk menjatuhkan siksaan kepada pelakunya.Persoalan
itu tidak dapat ditangani dibawah kekuasaan undang-undang,karena keadaannya
bukan seperti pencurian dan pembunuhan.
Perbedaan lain bahwa ilmu hukum melihat segala perbuatan dari sisi
akibatnya yang muncul,sedang akhlak mendalami gerak jiwa manusia yang batin
(walaupun tidak menimbulkan perbuatan lahir) dan juga menyelidiki perbuatan
yang lahir.

Imu hukum itu dapat berkata:”jangan mencuri,membunuh”,tetapi tidak


dapat berkata sesuatu tentang kelanjutannya,sedang kahlak,bersmaan dengan ilmu
hukum mencegah pencurian dan pembunuhan.Akhlak dapat mendorong manusia
untuk”jangan berpikir dalam keburukan”, ”jangan mengkhayalkan yang tidak
berguna”.Ilmu hukum dapat menjaga hak milik manusia dan mencegah rang untuk
melanggarnya,tetapi tidak dapat memerintahkan kepada si pemilik agar
mempergunakan miliknya untuk kebaikan.Adapun yang dapat memerintahk
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Nata, Abuddin M. A. Akhlak tasawuf. Rajawali press. 2012. Jakarta.
Drs. Zahrudin AR. M. M. G. Hasanudin Sinaga sAg. Pengantar Studi
Akhlak. Rajawali press. 2004. Jakarta.an untuk berbuat kebaikan ialah akhlak.

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak
Perkataan akhlak berasal dari bahasa arab jama’ dari khuluqun, yang menurut
bahasa diartikan budi pekerti, perangai, tindak laku atau tabi’at, adab, atau tingkah
laku.[2] Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan
perkataan khalqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang
berarti pencipta dan makhluk, yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak
11
timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan
makhluk dan antara makhluk dengan makhluk. [3]
Sedangkan pengertian akhlak menurut istilah, terdapat pengertian menurut para
ahli:[4]
1. Menurut Ibnu Maskawih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui
pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Keadaan ini dibagi dua, ada yang berasal
dari tabiat aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang.
Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan,
kemudia dilakukan terus-menerus maka jadilah suatu bakat dan akhlak.
2. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa akhlak adalah
daya kekuatan (sifat) yang tertanam dalam jiwa yang mendorong perbuatan-
perbuatan yang sontan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran. Jadi, akhlak
merupakan sikap yang melekat pada diri seseorang dan secara spontan
diwujudkan dalam tingkah laku dan perbuatan.
3. Menurut Prof Dr. Ahmad Amin dalam bukunya al akhlak merumuskan
pengertian akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada
lainnya menyetakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[5]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang
menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela tentang
perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
Ilmu akhlak bisa juga diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan tentang baik dan
buruk, mempelajari tentang sifat-sifat terpuji dan cara-cara untuk memilikinya, serta
mempelajari tentang sifat-sifat tercela dan cara-cara untuk menghindarinya.[6]
Dalam bahasa Indonesia selain menerima perkataan akhlak, etika dan moral
yang masing-masing berasal dari bahasa arab, yunani, dan latin, juga dipergunakan
beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama dengan perkataan
akhlak ialah, susila, kesusilaan, tata susila, budi pekerti, kesopanan, sopan santun, adab,
perangai, tingkah laku, perilaku dan kelakuan.

B. Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf


Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol,
karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat,
puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka
mendekatkatkan diri kepada Allah, ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu
ternyata erat hubungannya dengan akhlak.
Jadi ilmu tasawuf adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara seseorang
mendekatkan dirinya kepada Allah. Definisi lain tentang tasawuf adalah mengambil jalan
12
hidup secara zuhud (al-zuhd), yakni menjauhkan diri dari gemerlapnya dunia dengan
segala bentuknya, disertai dengan pelaksanaan berbagai bentuk ibadah kepada Allah.[7]
Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah
dalam islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-qur’an
dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi
larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang
dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahimunkar, mengajakan orang pada kebaikan dan
mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah
orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah,
terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam
diri mereka.
C. Hubungan Ilmu akhlak dengan ilmu tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu usuluddin , ilmu pokok-pokok agama, yakni
menyangkut aqidah dan keimanan, sedangkan akhlaq yang baik menurut pandangan
Islam, harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup sekedar disimpan dalam hati,
melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal saleh
atau tingkah laku yang baik.[8]
Ilmu Tauhid merupakan ilmu yang mambahas tentang bagaimana cara
mengesakan Tuhan. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid ini sekurang-kurangnya
dapat dilihat melalui empat analisa sebagai berikut:[9]
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya, Ilmu Tauhid sebagaimana
diuraikan di atas membahas masalah Tuhan baik dari segi dzat, sifat dan perbuatan-Nya.
2. Dilihat dari segi fungsinya, Ilmu Tauhid menghendaki agar seseorang yang
bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman dengan dalil-dalilnya, tetapi
yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid meneladani terhadap subyek yang ada
dalam rukun iman.
3. Dilihat dari erat kaitannya antara iman dan amal shalih. Dapat diuraikan
kalau suatu keimanan dalam Ilmu Tauhid sangat erat dengan perbuatan baik dalam Ilmu
Akhlak. Dimana Ilmu Tauhid sebagai landasannya, sedangkan Ilmu Akhlak memberikan
penjabaran dan pengalaman dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak mulia tidak akan ada
artinya, dan sebaliknya pula akhlak mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh.
Hubungan antara tauhid dan akhlaq tercermin dalam hadits Rasulullah saw. yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah:[10]
)‫اكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا (رواه الترمذى‬
“Orang mu’min yang sempurna imannya ialah yang terbaik budi
pekertinya.” (H.R Tirmidzi)
Jelaslah bahwa akhlaqul karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu
(berbuat kejahatan) adalah salah satu dari pada akhlaqul mahmudah. Nabi dalam salah
satu haditsnya menegaskan bahwa “malu itu adalah cabang dari pada iman.”
D. Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu Jiwa
Ilmu jiwa menyelidiki dan membicarakan kekuatan perasaan, paham, mengenal
ingatan, kehendak dan kemerdekaannya, khayal, rasa kasih, kelezatan dan rasa sakit,
sedang pelajaran akhlak sangat menginginkan apa yang dibicarakan oleh ilmu, bahkan
13
ilmu jiwa adalah pendahuluan yang tertentu bagi akhlak. Pada masa akhir-akhir ini
terdapat dalam ilmu jiwa suatu cabang yang disebut ilmu jiwa masyarakat. Ilmu ini
menyelidiki akal manusia dari jurusan masyarakat. Yakni menyelidiki soal bahasa dan
bagaimana bekasnya terhadap akal, adat kebiasaan suatu bangsa yang mundur dan
bagaimana perkembangan susunan masyarakat. Dan bagaimana cabang ini memberi
bekas yang langsung pada etika, melebihi dari ilmu jiwa perseorangan.[11] Menurut para
sufi, akhlak seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa dalam dirinya.[12]
Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah
laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang
bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan, misalnya akan melahirkan
perbuatan sikap yang senang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan
dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang
lain.
Dengan demikian ilmu jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin
manusia dengan cara penginterpretasikan perilakunya yang tampak. Melalui bantuan
informasi yang diberikan ilmu jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan al-Qur’an,
maka secara teoritis ilmu Akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Hal ini lebih lanjut dapat
kita jumpai dalam uraian mengenai akhlak yang diberikan Quraish Shihab, dalam buku
terbarunnya, Wawasan al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa: “Kita dapat berkata bahwa
secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan
baik, dan juga sebaliknya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu jiwa dan ilmu akhlak bertemu karena pada
dasarnya sasaran keduanya adalah manusia. Ilmu akhlak melihat dari apa yang sepatutnya
dikerjakan manusia, sedangkan ilmu jiwa (psikologi) melihat tentang apa yang
menyebabkan terjadinya suatu perilaku.
E. Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu pendidikan
Ilmu pendidikan dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai berbagai
aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Ahmad D.Marimba
mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang
muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan
penyerahan diri kepada-Nya. Pendidikan dalam pelaksanaanya memerlukan dukungan
orang tua dirumah, guru di sekolah serta pimpinan tokoh masyarakat di lingkungan.
Semua lingkungan ini merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan, yang
berarti pula tempat dilaksanakannya pendidikan akhlak untuk meciptakan akhlak yang
baik bagi generasi bangsa[13]
Ilmu pendidikan sering dijumpai dalam berbagai literatur dan banyak berbicara
mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia
yang berakhlak. Sementara itu, Muhammad Athiyah al-abrasyi mengatakan bahwa
pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpilkan
bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.
Hakikat pendidikan adalah menyiapkan dan mendapingi seseorang agar
memperoleh kemajuan dalam menjalani kesempurnaan. Kebutuhan manusia terhadap
14
pendidikan beragama seiring dengan beragamnya kebutuhan manusia.[14] Ia
membutuhkan pendidikan fisik untuk menjaga keseharan fisiknya, ia membutuhkan
pendidikan akal agar jalan pikirnya sehat, ia membutuhkan pendidikan sosial agar
membawanya mampu bersosialisasi, ia membutuhkan pendidikan agama untuk
membimbing rohnya menuju Allah, ia membutuhkan pula pendidikan akhlak agar
perilakunya seirama dengan akhlak yang baik.
Pendidikan akhlak merupakan benang perekat yang merajut semua jenis
pendidikan di atas dengan kata lain, semua jenis pendidikan di atas harus tunduk pada
kaidah-kaidah akhlak.
F. Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Filsafat melakukan
penyelidikan segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal
sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena,
tetapi yang dicari adalah hakikat dari fenomena.[15] Bagian-bagiannya meliputi:[16]
a. Metafisika: penyelidikan di balik alam yang nyata
b. Kosmologia: penyelidikan tentang alam(filsafat alam)
c. Logika: pembahasan tentang cara berfikir cepat dan tepat
d. Etika: pembahasan tentang tingkah laku manusia
e. Theodicea: ketuhanan tentang ketuhanan
f. Antropologia: pembahasan tentang manusia
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam
filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian filsafat karena ilmu
tersebut kian meluas dan berkembang dan akhir membentuk rumah tangganya sediri dan
terlepas dari filsafat. Demikian juga dalam etika dalam proses perkembangannya,
sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan
ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
Etika dianggap sebagai bagian dari filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran dan pandangan moral. Di dalamnya etika mau mengerti mengapa kita
harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Melalui filsafat ini, etika
berusaha untuk mengerti mengapa, atau dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma
tertentu.[17]

IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Dari banyaknya ilmu yang berkembang saat ini, hampir semuanya menjadikan
akhlak sebagai landasannya. Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf itu saling
berkaitan satu sama lain. Dalam hal ini tampak pada nilai-nilai yang sama dalam
hal takwa kepada sang pencipta.

15
2. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid yaitu Ilmu Tauhid sebagai
landasannya, sedangkan Ilmu Akhlak sebagai media penjabaran dan peneladanan
dari Ilmu Tauhid. Keterkaitan ilmu akhlak dengan Ilmu Jiwa tampak pada
pentingnya memberikan pengajaran akhlak pada perkembangan jiwa seseorang
sesuai tingkat usia mereka.
3. Ilmu Akhlak dan Ilmu pendidikan sangat erat hubungannya, dimana ilmu
pendidikan dijadikan sebagai media transfer ilmu akhlak, sehingga terciptanya
akhlak yang baik bagi generasi penerus bangsa.
4. Ilmu akhlak dengan filsafat juga saling berkaitan. Dengan adanya filsafat yang
mengkaji sesuatu secara mendalam akan memudahkan dalam mendalami ilmu
akhlak. Dengan kata lain akhlak dapat dijadikan sebagai objek kajian dalam
filsafat.
B. SARAN
Demikian makalah ini disusun sebagai tugas makalah mata kuliah akhlak tasawuf
tentang hubungan ilmu akhlak denga ilmu-ilmu lainnya Karya ini merupakan hasil
maksimal dari kami, dan kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari harapan dan
sempurna. Karena itu, saran dan masukan,dari pembaca sangat kami harapkan dalam
penyempuranaan makalah ini.
Semarang, 7 September 2015
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:

Amin, Ahmad. 2013. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: PT Bulan Bintang.


Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf,. Bandung: CV Pustaka Setia
Jamil, Akhlak Tasawuf. 2013. Ciputat: Referensi
Nasution , Ahmad Bangun dan Royani Hanum Siregar,. 2013. Akhlak
Tasawuf. Depok:PT Raja Grafindo Persada
Nata, Abuddin dkk.. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Nata, Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf . Jakarta: Rajawali Pers.
Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ya’qub, Hamzah. 1988. Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkarimah (suatu
pengantar),. Bandung: CV. Diponegoro

PEMBAHASAN
1. Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
Pada ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf menjadi tiga bagian.
Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga tasawuf
ini tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri
dari perbuatan tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Ketiga macam
tasawuf ini memiliki perbedaan dalam hal pendekatan yang digunakan.[4]
16
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf yaitu ketika mempelajari Tasawuf
ternyata pula bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan
Hadits menekankan kejujuran, persaudaraan, keadilan, tolong menolong, murah hati,
pemaaaf, sabar, baik sangka, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berfikiran
lurus, nila-nilai ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim dan dimasukkan kedalam
dirinya sejak kecil.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol,
karena tasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa,
haji, dzikir, dan lain sebagainya. Yang semuanya itu dilakukan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu
ternyata erat hubungannya dengan Akhlak.
2. Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu ushuluddin, ilmu pokok-pokok agama, yakni menyangkut
aqidah dan keimanan, ilmu tauhid dapat disebut juga dengan Ilmu kalam, yang
merupakan disiplin ilmu ke Islaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang
persoalan-persoalan kalam Tuhan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan
definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan
batasannya.[5] sedangkan ahlak yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak
pada keimanan. Iman tidak sekedar cukup disimpan dalam hati. Melainkan harus
dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shaleh, barulah dikatakan
iman itu sempurna, karena telah dapat direalisir.[6]
Jelaslah bahwa akhlaqul karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu
(berbuat kejahatan) adalah salah satu dari akhlakul mahmudah. Nabi dalam salah satu
hadits menegaskan bahwa “malu adalah salah satu cabang dari keimanan”.[7]
Sebaliknya akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-
prinsip iman. Seterusnya sekalipun manusia perbuatan pada lahirnya baik, tetapi titik
tolaknya bukan karena iman maka hal itu tidak mendapatkan penilaian disisi Allah.
Demikianlah adanya perbedaan nilai amal-amal baiknya orang beriman denganamal
baiknya orang yang tidak beriman.[8]
Hubungan antara Aqidah dan Akhlak tercermin dalam pernyataan Rosulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah r.a :
‫سنُ ُه ْم ُخلُقًا‬
َ ْ‫اَ ْك َم ُل اْال ٌمؤْ ِمنِيْنَ اِ ْي َمانًاا َح‬
“orang mu’min yang sempurna imannya adalah yang terbaik budi pekertinya”[9]
3. Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa (psikologi)
Berbicara dalam hal relevansi dan hubungan ilmu akhlak dengan ilmu psikologi
sebenarnya merupakan bahasan yang sangat strategis. Karena antara akhlak dengan ilmu
psikologi memiliki hubungan yang sangat kuat dimana, objek sasaran penyidikan
psikologi adalah terletak pada domain perasaan, khayal, paham, kamauan, ingatan, cinta
dan kenikmatan.[10] Sedangkan akhlak sangat menghajatkan apa yang dibicarakan oleh
ilmu jiwa, bahkan ilmu jiwa adalah pendahuluan tertentu bagi akhlak.[11]
Dengan lain perkataan, ilmu jiwa sasarannya meneliti paranan yang dimainkan
dalam perilaku manusia, karenanya dia meneliti suara hati (dhamir), kamauan (iradah),
daya ingatan, hafalan dan pengertian, sangkaan yang ringan (waham) dan kecenderungan-
kecenderungan (wathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa, yang
menggerakan manusia untuk berbuat dan berkata. Oleh karena itu ilmu jiwa merupakan
muqaddimah yang pokok sebelum mengdakan kajian ilmu ahlak.[12]
Akhlak akan mempersoalkan apakah jiwa mereka tersebut termasuk jiwa yang
baik atau buruk. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa ahlak mempunyai hubungan
dengan ilmu jiwa. Dimana ilmu ahlak melihat dari segi apa yang sepatutnya dikerjakan

17
manusia, sedangkan ilmu jiwa meneropong dri segia apakah yang menyebabkan terjadi
perbuatan itu.[13]
Pada masa akhir-akhir ini, terdapat dalam ilmu jiwa suatu cabang yang disebut
“ilmu jiwa masyarakat” (social psychology). Ilmu ini menyelidiki akal manusia dari
jurusan masyarakat. Yakni menyelidiki soal bahasa dan bagaimana bekasnya terhadap
akal, adat kebiasaan suatu bangsa yang mudur dan bagaimana bekasnya terhadap akal,
adat kebiasaan suatu bangsa yang mundur dan bagaimana susunan masyarakat. Dan bagi
cabang ini memberi bekas yang langsung pada akhlak, melebihi dari ilmu jiwa
perseorangan.[14]
4. Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu sosiologi (kemasyarakatan)
Secara etimologis sosiologi berasal dari kata socius yang berarti ilmu
pengetahuan. Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang berkawan atau di dalam arti
luas adalah “ilmu pengetahuan yang berobjek pada masalah hidup
bermasyarakat”.[15] Mempelajari masyarakat manusia yang pertama, dan bagaimana
meningkat keatas, juga menyelidiki tentang bahasa, agama, dan keluarga, dan bagaimana
membentuk undang-undang dan pemerintahan dan sebagainya. Mempelajari semua ini
menolong untuk memberi pengertian akan perbuatan manusia dan cara menentukan
hukum baik dan buruk.[16]
Hidup memasyarakat dapat dipahami dalam pengertian yang luas, bisa dipahami
dalam dimensi sempit. Masyarakat dalam arti luas ialah kebulatan dari semua
perhubungan didalam hidup masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit ialah suatu
kelompok manusia yang menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak semua aspeknya
tetapi dalam berbagai aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam arti sempit
ini tidak mempunyai arti tertentu, misalnya masyarakat mahasiswa, masyarakat
pedagang, masyarakat tani, dan lain-lain.[17]
Mempersoalkan hubungan antara ahlak dengan ilmu sosiologi agaknya sangat
signifikan karena ilmu ahlak membahas tentang berbagai perilaku manusia yang
ditimbulkan oleh kehendak, yang tidak dapat terlepas dari kajian kehidupan
kemasyarakatan yang menjadi kajian ilmu sosiologi.[18] Demikianlah karena manusia
tidak dapat hidup kecuali bermasyarakat dan ia tetap menjadi anggota masyarakat. Bukan
menjadi kekuasaan kita untuk mengetahui keutamaan seseorang dengan tidak mengetahui
masyarakatnya, masyarakat mana yang dapat membantu keutamaan atau
merintanginya.[19]
5. Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu pendidikan
Antara ahlak dengan ilmu pendidikan mempunyai hubungan yang sangat
mendasar dalam hal teoritik dan pada tatanan praktisnya. sebab, dunia pendidikan sangat
besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, ahlak seseorang. Berbagai ilmu
diperkenalkan, agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada
dirinya. Apabila siswa diberi pelajaran “Ahlak”, pendidikan mengajarkan bagaimana
seharusnya manusia itu bertingkah laku, bersikap terhadap sesamanya dan penciptanya
(Tuhan).
Dengan demikian, posisi ilmu pendidikan strategis sekali jika dijadikan pusat
perubahan perilaku yang kurang baik untuk diarahkan menuju perilaku yang baik. oleh
karena itu, dibutuhkan beberapa unsur dalam pendidikan untuk bisa dijadikan agen
perubahan sikap dan perilaku manusia. Dari tenaga pendidik (pengajar) misalnya, perlu
memiliki kemampuan profesionalitas dalam bidangnya. Unsur lain yang perlu
diperhatikan adalah materi pengajaran. Apabila materi pengajaran yang disampaikan oleh
pendidik menyimpang dan mengarah keperubahan perilaku yang menyimpang, inilah
suatu keburukan dalam pendidikan dan begitu pula sebaliknya.[20]

18
Lingkungan sekolah dalam dunia pendidikan merupakan tempat bertemunya
semua watak. Perilaku dari masing-masing anak yang berlainan. Kondisi anak yang
sedemikian rupa dalam interaksi antara anak satu dengan yang lainnya akan saling
mempengaruhi juga pada kepribadian anak.[21] Dengan demikian lingkungan pendidikan
mempengaruhi jiwa anak didik. Dan akan diarahkan kemana anak didik dan
perkembangan kepribadian.[22]
6. Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Filsafat memiliki bidang-bidng
kajiannya mencakup berbagai diiplin ilmu antara lain :
a. Metafisika : penyelidikan dibalik alam yang nyata
b. Kosmologi : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c. Logika : pembahasan tentang cara berfikir cepat dan tepat
d. Etika : pembahsan tentang tingah laku manusia
e. Theodica : pembahasan tentang ke-Tuhanan
f. Antropologia : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen
dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian filsafat
karena ilmu tersebut kian meluas dan berkembang dan akhirnya membentuk
disiplin ilmu itu sendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika, dalam
proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam
pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai identitas
sendiri.[23]
7. Hubungan ilmu ahlak dengan ilmu hukum
Pokok pembicaraan mengenai hubungan akhlak dengan ilmu hukum adalah
perbuatan manusia. Tujuannya mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaanya.
Akhlak memerintahkan untuk berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat segala apa
yang mudlarat, sedang ilmu hukum tidak, karena banyak perbuatan yang baik dan
berguna tudak diperintahkan oleh hukum, seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan
perlakuan baik antara suami istri. Demikian juga beberapa perbuatan yang mendatangkan
kemadlaratan tidak dicegah oleh hukum, umpamanya dusta dan dengki. Ilmu hukum tidak
mencampuri urusan ini karena ilmu hukum tidak memerintahkan dan tidak melarang
kecuali dalam hal menjatuhkan hukuman kepada orang yang menyalahi perintah dan
larangannya.[24]
Terkadang untuk melaksanakan undang-undang itu hajat mempergunakan cara-
cara yang lebih membahayakan kepada ummat, dari apa yang diperintahkan atau dicegah
olh undang-undang. Demikian pula ada keburukan-keburukan yang samar-samar, seperti
mengingkari nikmat dan berkhianat, dan ini undang-undang tidak sampai untuk
menjatuhkan siksaan kepada pelakunya. Maka itu tidak dapat jatuh dibawah kekerasan
undang-undang, dan keadaanya dalam hal itu bukan seperti pencurian dan pembunuhan.
Perbedaan lainnya adalah bahwa ilmu hukum melihat segala perbuatan dari jurusan buah
dan akibatnya yang lahir, sedang akhlak menyelami gerak jiwa manusia yang atin
(walaupun tidak menimbulkan perbuatan yang lahir) dan juga menelidiki perbuatan yang
lahir.[25]
Ilmu hukum dapat berkata : “jangan mencuri, membunuh”, tetapi tidak dapat
berkata sesuatu tentang kelanjutannya. Sedangkan ahlak, bersamaan dengan hukum
mencegah pencurian dan pembunuhan. Akhlak dapat mendorong manusia untuk “jangan
berfikir dalam keburukan”,”jangan mengkhayalkan yang tidak berguna”. Ilmu hukum
dpat menjaga hak milik manusia dan mencegah orang untuk melanggarnya, tetapi tidak

19
dapat memerintahkan kepada sipemilik agar mempergunakan miliknya untuk kebaikan.
Adapun yang memerintahkan untuk berbuat kebaikan adalah akhlak

HUBUNGAN TASAWUF
DENGAN ILMU TAUHID, FIQIH, FILSAFAT,
DAN PSIKOLOGI

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Pada Nabi saw dan khulafaur rasyidin ra., sebutan atau istilah tasawuf
tidak pernah dikenal. Para pengikut Nabi saw diberi panggilan shahabat, dan
pada masa berikutnya, yaitu pada masa shahabat, orang-orang yang tidak
berjumpa dengan Nabi disebut tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in.
Istilah tasawuf baru dipakai pada pertengahan abad II Hijriah, dan pertama
kali oleh Abu Hasyim al-Kufy (W 250 H.) dengan meletakkan ash-shufi di
belakang namanya, meskipun sebelum itu telah ada ahli yang mendahuluinya
dalam zuhud, wara’, tawakkal, dan dalam mahabbah.1
Tasawuf merupakan suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadhah-
mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam
kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga
dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Tasawuf merupakan bagian dari ajaran Islam, karena ia membina akhlak
manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak
umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan
hidup lahir dan batin, dunia dan akherat. Oleh karena itu siapapun boleh
menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup
menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam
hatinya, dan begitu seterusnya, yang pada pokok-pokoknya sifat-sifat mulia
dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal inilah yang dikehendaki dalam
tasawuf yang sebenarnya.
20
Di dalam peradaban Islam, selain tasawuf terdapat tiga disiplin keilmuan
yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian agama; tauhid, fiq h,

1
R.A Nicholson, Fi al-Tasawuf al-Islam wa Tarikhuh, terj. Abu al-„Ala Afifi (Kairo:
Lajnah al-Ta‟lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1969), hlm. 112.

21
dan falsafah. Jika ilmu tasawuf membidangi segi penghayatan dan
pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan
orientasinya sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, maka ilmu tauhid,
dalam pembahasannya biasa diarahkan kepada segi-segi mengenai Tuhan dan
berbagai derivasinya, Sedangkan Ilmu Fiqih biasanya membidangi segi-segi
formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya pun sangat
eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah. Adapun Ilmu Falsafah membidangi
hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya
seluas-luasnya.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-
hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi
tujuan, konsep dan konstribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan
begitu sebaliknya bagaimana konstribusi ilmu keislaman yang lain terhadap
ilmu tasawuf.
Bahkan diera sekarang ini tasawuf sering dihubung-hubungkan dengan
psikologi, yang mana psikologi merupakan disiplin ilmu yang membahas
tentang gejala-gejala dan aktifitas kejiwaan manusia.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis akan berusaha menjelaskan
hubungan tasawuf dengan keempat disiplin keilmuan lainnya; tauhid, fiqih,
filsafat, dan psikologi.
2. Rumusan Masalah
Dengan melihat uraian di atas, maka studi ini berusaha untuk menfokuskan
perhatian pada beberapa hal berikut:
a. Bagaimana hubungan tasawuf dengan ilmu tauhid?
b. Bagaimana hubungan tasawuf dengan ilmu fiqih?
c. Bagaimana hubungan tasawuf dengan ilmu filsafat?
d. Bagaimana hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa (psikologi)?
3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka studi ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui hubungan tasawuf dengan ilmu tauhid
b. Mengetahui hubungan tasawuf dengan ilmu fiqih

22
c. Mengetahui hubungan tasawuf dengan ilmu filsafat
d. Dan mengetahui hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa (psikologi)

B. Hubungan Tasawuf dengan Tauhid, Fiqih, Filsafat, dan Psikologi


1. Konsep Dasar Tasawuf
a) Pengertian Tasawuf
Secara lughat, “tasawuf” berasal dari bermacam-macam kata.
Menurut Hamka sebagaimana dikutip oleh M. Solihin dalam buku
Akhlak Tasawuf, tasawuf berasal dari berbagai kata seperti shifa berarti
suci bersih, shuf berarti “bulu binatang”, dan shufah yang berarti
“golongan sahabat Nabi yang memisahkan diri di suatu tempat terpencil
di samping masjid Nabi”. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata
shufanah yang berarti “sebangsa kayu mersik yang tumbuh di padang
pasir tanah Arab”, atau juga kata shaf yang berarti “barisan jamaah
ketika menunaikan shalat bersama-sama”. Kesemua pengertian tadi
tampaknya mempunyai arti yang dekat kepada tasawuf.
Apabil kita perhatikan dari bahasa Arab, maka kata tasawuf berasal
dari tasrif: tasawwaf-yatasawwafu-tasawwufan. Misalnya, tasawwafar-
rajulu, artinya “seorang laki-laki sedang bertasawuf”.2
Dilihat dari aspek bahasa, tasawuf adalah sikap mental yang selalu
berusaha memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap dan
jiwa yang demikian itu pada hakikatnya merupakan akhlak yang mulia.
Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli
tentang tasawuf, Asmaran dalam buku Pengantar Studi Tasawuf
mencoba untuk memaparkan beberapa pengertian yang berasal dari para
pemikir dan cendekiawan muslim3:

2
M. Solihin dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna Hidup
(Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), cet. 1, hlm. 150.
3
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2002 ), hlm. 52-
53.

23
1) Ma‟ruf al-Karkhi mengatakan, tasawuf ialah mengambil hakikat
dan putus atas terhadap apa yang ada di tangan makhluk. Maka
siapa yang tidak benar-benar fakir, dia tidak benar-benar
bertasawuf.
2) Abu al-Husain al-Nuri mengatakan, tasawuf bukanlah wawasan
atau ilmu, tetapi akhlak. Karena seandainya wawasan, maka ia
dapat dicapai hanya dengan kesungguhan; dan seandainya ilmu ia
akan dapat dicapai dengan belajar. Akan tetapi tasawuf hanya
dapat dicapai dengan berakhlak dengan akhlak Allah. Dan engkau
tidak mampu menerima akhlak ke-Tuhanan hanya dengan
wawasan dan ilmu.
3) Abu Muhammad Ruwain mengatakan, tasawuf ialah membiarkan
diri dengan Allah menurut kehendak-Nya.
4) Muhammad Ali al-Qassab memberi ulasan, tasawuf ialah akhlak
yang mulia timbul pada masa yang mulia dari seseorang yang
mulia di tengah-tengah kaumnya yang mulia.
5) Al-Junaedi menyimpulkan, tasawuf ialah membersihkan hati dari
apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang
menanggalkan pengaruh budi yang asal (instink) kita,
memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi
segala seruan hawa nafsu mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan
bergantung pada ilmu hakikat, memakai barang terpenting dan
terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada semua umat manusia,
memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan
mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari‟ah.
Melihat beberapa definisi di atas, dapatlah dipahami bahwa
“tasawuf adalah takwa” dengan segala tingkatannya, baik yang
berbentuk kasat mata (al-Hissiyah) ataupun maknawi. Takwa adalah
akidah sekaligus akhlak, takwa adalah menyerahkan seluruh sikap
penghambaan dan penyembahan hanya kepada Allah Swt., dan bergaul
dengan manusia dengan dasar akhlak yang terpuji.

24
b) Orientasi ajaran Tasawuf
Tasawuf merupakan pengejawantahan lebih lanjut dari ajaran
ihsan, salah satu dari tiga serangkai ajaran agama, yaitu islam, iman
dan ihsan. Jadi, apa yang diajarkan oleh tasawuf adalah tidak lain
bagaimana menyembah Tuhan dalam suatu kesadaran penuh bahwa
kita berada di dekat-Nya sehingga kita melihat-Nya atau bahwa Ia
senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya.4
Dalam hubungan ini Harun Nasution mengatakan, Tasawuf atau
sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan. Sehingga disadari benar bahwa seseorang
berada di hadirat Tuhan. Intisari dari tasawuf ialah kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan
mengasingkan diri dan berkontemplasi.5
c) Isi Pokok Ajaran Tasawuf
Ada tiga macam ajaran tasawuf, yaitu 6:
 Tasawuf Akhlaqi (tasawuf akhlak) adalah laku tasawuf yang
dihiasi dengan akhlak yang baik, sehat dan terpuji. Di sini, seorang
pelaku tasawuf menghindari watak yang tidak sehat seperti riya’
(pamer), sum’ah (ingin didengar), ujub (membanggakan diri),
sombong, egois, dan sebagainya. Setelah menyingkirkan watak
yang tidak sehat, seseorang lalu menghiasi diri dengan takwa dan
ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Pelaku
tasawuf akhlaqi selalu bersikap adil dan menjauhi sikap pendusta
dan zalim. Dia merasa selalu disaksikan oleh Yang Maha
Mengetahui.
 Tasawuf ‘Amali (tasawuf amal). Ada beberapa istilah yang perlu
diketahui yang terdapat dalam ajaran tasawuf ‘amali. Pertama

4
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, hlm. 66.
5
Harun Nasution, Filsafat & Mistisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang,
56 1973), hlm.
.
6
M. Solihin dan M. Rosyid Anawar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna
Hidup,
hlm. 164.
25
adalah Murid yang terdiri atas; Mubtadi’ (seseorang yang baru
mempelajari syariat), Mutawassith (seseorang yang sudah
mengetahui pengetahuan yang cukup tentang syariat Islam), dan
Muntahi (seseorang yang ilmu syariatnya telah matang. Selain itu,
dia telah menjalani tharikat dan mendalami ilmu batiniah sehingga
jiwanya bersih dan tidak melakukan maksiat.
Tampak disini, syariat Islam berperan bagi orang-orang
yang ingin memasuki lapangan tasawuf. Untuk itu, melaksanakan
syariat Islam merupakan kriteria utama bagi seorang murid.
Istilah kedua yang perlu diketahui dalam tasawuf ‘amali
adalah Syaikh, yaitu seorang pemimpin kelompok keruhanian.
Syaikh adalah pengawas para murid dalam segala kehidupan.
Syaikh ini disebut juga dengan Mursyid. Seorang murid harus
tunduk, setia, dan rela dengan perlakuan apa saja yang ia terima
dari syaikh-nya.
 Tasawuf Falsafi, adalah laku tasawuf yang menggunakan
terminologi filsafat dalam pengungkapan ajarannya. Berdasarkan
tasawuf falsafi, maka konsepsi Tuhan merupakan perkembangan
lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam (teolog) dan filosof.
Secara garis besar, tasawuf falsafi memiliki tiga konsepsi tentang
Tuhan yang berakar dari Al-Qur‟an dan hadis. Berikut penulis akan
menguraikannya satu persatu.
Pertama, konsepsi etika yang dipelopori dan berkembang
di kalangan zuhud sebagai bibit permulaan timbulnya tasawuf.
Dzat Tuhan dianggap sebagai kekuasaan, daya, dan iradat yang
mutlak. Tuhan adalah pencipta yang tertinggi dari segala sesuatu,
termasuk tingkah laku manusia.
Kedua, konsepsi etika, yaitu tentang Tuhan dalam estetika.
Tasawuf bersumber dari anggapan bahwa Tuhan dan manusia
berkomunikasi timbal balik. Rasa cinta yang luar biasa kepada
Tuhan adalah karakteristik konsepsi estetika ini yang pertama kali

26
dimunculkan oleh Rabi‟ah al-„Adawiyah. Jika seorang sufi
menyembah Tuhan, maka sebenarnya dia ingin mendapat
sambutan cinta dari-Nya.
Ketiga, konsepsi kesatuan wujud, yaitu bahwa dalam diri
manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan, karena dia merupakan
pancaran dari Nur Ilahi. Oleh karena itu, jiwa manusia selalu
berusaha kembali bersatu dengan sumber asalnya. Jadi alam
semesta dan berbagai fenomena di dunia ini hanyalah bayangan
dari realita sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang
hakiki adalah wujud Tuhan yang menjadi dasar bagi adanya segala
sesuatu.
2. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Tauhid
a) Pengertian Ilmu Tauhid
Menurut Syeh M. Abduh, ilmu tauhid (ilmu kalam) ialah ilmu yang
membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-
Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya; membicarakan tentang
Rasul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh
dipertautkan kepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin
terdapat pada mereka.7
Ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus
yang terpenting dan paling utama. Allah SWT berfirman:
‫للَا ل هلإ ل هنأ ملعاف‬
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq)
melainkan Allah.” (Q.S. Muhammad: 19)
Seandainya ada orang yang tidak mempercayai keesaan Allah atau
mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka
orang itu dikategorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula
halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari

7
M. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003), hlm.
2.

27
mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah
kafir.
Ilmu Tauhid juga disebut;
 Ilmu „Aqa‟id: ‘Aqdun artinya tali atau pengikat. ‘Aqa’id adalah
bentuk jama‟ dari ‘Aqdun. Disebut ‘Aqa’id, karena di dalamnya
mempelajari tentang keimanan yang mengikat hati seseorang
dengan Allah, baik meyakini wujud-Nya, ke-Esaan-Nya atau
kekuasaan-Nya.
 Ilmu Kalam: Kalam artinya pembicaraan. Disebut ilmu kalam,
karena dalam ilmu ini banyak membutuhkan diskusi,
pembahasan, keterangan-keterangan dan hujjah (alasan) yang
lebih banyak dari ilmu lain.
 Ilmu Ushuluddin: Ushuluddin artinya pokok-pokok agama.
Disebut Ilmu Ushuluddin, karena di dalamnya membahas
prinsip-prinsip ajaran agama, sedang ilmu yang lainnya disebut
furu’al-Din (cabang-cabang agama), yang harus berpijak di
atas ushuluddin.
 Ilmu Ma‟rifat: Ma‟rifat artinya pengetahuan. Disebut ilmu
ma‟rifat, karena di dalamnya mengandung bimbingan dan
arahan kepada umat manusia untuk mengenal Khaliqnya. 8
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bisa dipahami bahwa
Ilmu Tauhid adalah ilmu tentang ketuhanan yang didasarkan atas
prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya persoalan-
persoalan gaib.
b) Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid
Tauhid mempunyai beberapa bidang pembahasan, diantaranya ada 6
yaitu :
 Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah
hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.

8
Zakaria, A, Pokok-pokok Ilmu Tauhid. (Garut: IBN AZKA Press, 2008), hlm. 11.

28
 Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk Ilahi,
mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti
jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada
mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mu‟jizat dan bukti-
bukti kerasulan mereka, khususnya mu‟jizat dan bukti-bukti
kerasulan Nabi Muhammad saw.
 Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para Nabi
dan Rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang
sejarah manusia yang panjang.
 Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan
hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.
 Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai
balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang
kafir (neraka).
 Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur
dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.
Dari penjelasan di atas, maka bisa dipahami bahwa ilmu tauhid
mengandung ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui rasul-rasul-
Nya kepada masyarakat manusia, dan penjelasan para pemuka atau
pakar agama yang membentuk ajaran agama. Ajaran dasar agama
bersifat absolut, sedangkan penjelasan ahli agama bersifat relatif, nisbi,
bisa berubah dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
c) Hubungan dengan Tasawuf
Dalam kaitannya dengan ilmu tauhid, ilmu tasawuf berfungsi
sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman ketuhanan.
Penghayatan yang mendalam melalui hati terhadap ilmu tauhid atau
ilmu kalam menjadikan ilmu tasawuf lebih terhayati atau
teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf
merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang
bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran

29
rohaniah dalam perdebatan ilmu kalam. Sebagaimana disebutkan
bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu
yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliah. Jika tidak
diimbangi oleh kesadaran rohaniah ilmu kalam dapat bergerak ke arah
yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi
memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai
dialektika keislaman belaka yang kering dari kesadaran penghayatan
atau sentuhan secara qalbiyah (hati).9
Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada tauhid, tegasnya
tiada guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam yang
sebenarnya adalah hasil dari ‘aqidah yang murni dan kuat yang sesuai
dengan kehendak Allah dan Rasul-nya. Perlu diingat bahwa lapangan
tasawuf itu adalah hati.10
Beberapa hal yang dapat menjelaskan bagaimana sebenarnya
hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu kalam menurut Tiswani dalam
bukunya Buku Daras Akhlak Tasawuf :
1) Dilihat dari materi, ilmu kalam terkesan tidak menyentuh rasa
rohaniah sedangkan ilmu tasawuf dapat menyentuh rasa rohaniah
seorang hamba.
2) Dalam ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan defenisinya,
kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.
Sementara itu pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau
metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, serta
upaya untuk menyelamatkan diri dari kemunafikan.
3) Selain itu, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi kesadaran
rohaniah dalam perdebatan kalam.11

9
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf (Pustaka Setia: Bandung, 2007), hlm. 88.
10
Yunasril Ali, Pengantar Ilmu Tasawuf (Jakarta : Pedoman ilmu jaya,1987), hlm. 35-36.
11
Tiswani, Akhlak Tasawuf (Bina Pratama: Jakarta,2007), hlm. 95-96.

30
3. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fiqih
a) Pengertian Ilmu Fiqih
Kata fiqih (‫ )هقف‬secara bahasa memiliki dua makna. Makna pertama
adalah al-Fahmu al-Mujarrad, yang artinya adalah mengerti secara
langsung atau sekedar mengerti saja.12 Makna yang kedua adalah al-
Fahmu al-Daqiq, yang artinya adalah mengerti atau memahami secara
mendalam dan lebih luas.
Dalam prakteknya, istilah fiqih ini lebih banyak digunakan untuk
ilmu agama secara umum, dimana seorang yang ahli di bidang ilmu-
ilmu agama sering disebut sebagai faqih, sedangkan seorang yang ahli
di bidang ilmu yang lain, kedokteran atau arsitektur misalnya, tidak
disebut sebagai faqih atau ahli fiqih.13
Sedangkan secara istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama
dengan berbagai definisi yang berbeda-beda. Al Imam Abu Hanifah
mempunyai definisi yang unik tentang fiqih, yaitu: Mengenal jiwa
manusia terkait apa yang menjadi hak dan kewajibannya. 14 Sebenarnya
definisi ini masih terlalu umum, bahkan masih juga mencakup wilayah
akidah dan keimanan bahkan juga termasuk wilayah akhlaq. Sehingga
fiqih yang dimaksud oleh beliau ini disebut juga dengan istilah Al Fiqh
al Akbar.
Adapun definisi yang lebih mencakup ruang lingkup istilah fiqih
yang dikenal para ulama adalah:15
‫ةيليصفتلا اهتلدأ نه بستكولا ةيلوعلا ةيعرشلا م اكحأل اب نلعلا‬
"Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah
(perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci."

12
Muhammad bin Mandhur, Lisanul Arab, madah: fiqih Al Mishbah Al Munir
13
Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir Ar Razi, Mukhtar Ash Shihah, jilid
213. 1, hlm.

14
Ubaidillah bin Mas‟ud Al Mahbubi Al Bukhari Al Hanafi, At Taudhih ‘ala At
Tanqih,
jilid 1, hlm. 10.
15
Adz Dzarkasyi, Al Bahrul Muhith, jilid 1, hlm.21.
31
Dalam artian ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum
Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang
wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil
yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan
kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya
dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.

b) Bidang Pembahasan Ilmu Fiqih


Ilmu Fiqh merupakan kumpulan aturan yang meliputi segala
sesuatu, memberi ketentuan hukum terhadap semua perbuatan
manusia, baik dalam urusan pribadinya sendiri maupun dalam
hubungannya dengan manusia lain dan dalam hubungannya dengan
umat yang lain.
Pembahasan Ilmu Fiqh pada dasarnya dibagi menjadi dua bidang,
yaitu bidang Ibadah dan bidang Mu’amalah. Bidang mu’amalah ini
bisa disebut juga bidang adat (al-„adat) yaitu aturan-aturan yang
dimaksudkan untuk mengatur hubungan manusia sebagai perorangan
maupun sebagai golongan, atau dengan perkataan lain, aturan-aturan
untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan duniawi.16
Apabila pembidangan itu hanya dua, maka pengertian mu’amalah
disini adalah mu’amalah dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk
bidang–bidang hukum keluarga, pidana, perdata, acara, hukum
internasional dan lain sebagainya. Sebab, ada pula pengertian
mu’amalah dalam arti yang sempit, yaitu hanya menyangkut hukum
perdata saja.17
Berdasarkan penjelasan di atas, bisa diambil sebuah pemahaman
bahwa pembidangan ilmu fiqh menjadi dua bagian besar, yaitu Bidang
Fiqh Ibadah Mahdhah adalah aturan yang mengatur hubungan muslim

16
A. Hanafi M.A., Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
hlm. 32. 1970),

17
Syahru Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.
60.
32
dengan Allah SWT. dan bidang Fiqh Mu‟amalah dalam arti yang luas,
yakni interaksi keseharian seorang muslim dalam bermasyarakat.
c) Hubungan dengan Tasawuf
Sebagaimana yang kita ketahui, pembahasan kitab-kitab fiqih
selalu dimulai dari thaharah (tata cara bersuci), lalu berlanjut pada
persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih
tentang thaharah dan lainnya tidak secara langsung terkait dengan
pembicaraan nilai-nilai ruhaniahnya. Padahal, thaharah akan terasa
lebih bermakna jika disertai pemahaman ruhaniah.
Untuk memberikan pemahaman keruhaniahan dalam fiqih, ilmu
tasawuf tampaknya merupakan pilihan yang paling tepat. Karena di
dalam tasawuf terdapat pembahasan yang mayoritas bersifat batiniyah.
Sehingga tasawuf dapat memberikan corak batiniyah terhadap fiqih.
Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusyu‟ berikut
jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu menumbuhkan
kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih.
Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa
perjalanan ruhaniah.18
Ma’rifat secara rasa (al-Ma’rifat al-Dzauqiyah) terhadap Allah
melahirkan pelaksanaan terhadap hukum-hukum-Nya secara
sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang
menuduh perjalanan menuju Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan
melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Hal ini sangat menegaskan bahwa Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fiqih
adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus
menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan
terhadap kedua disiplin ilmu sangat beragam sesuai dengan kadar
kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fiqih, yang
terkesan sangat formalistic-lahiriah, menjadi sangat kering atau kaku
dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak
18
Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 90.

33
diisi dengan muatan kesadaran rohaniah yang dimiliki oleh tasawuf.
Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap merasa
suci sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang
diatur dalam fiqih.19
Keterkaitan antara Ilmu Fiqih dengan Ilmu Tasawuf :
1) Ilmu Tasawuf mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk
melaksanakan hukum-hukum fiqih.
2) Ilmu Fiqih merupakan jembatan yang harus dilalui oleh seseorang
yang ingin mendalami ajaran tasawuf.
3) Tasawuf dan Fiqih merupakan dua disiplin ilmu yang saling
menyempurnakan.20
4. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Filsafat
a) Pengertian Ilmu Filsafat
Filsafat adalah kata majmuk yang berasal dari bahasa yunani
philosophia dan philoshopos. Philo, berarti cinta (loving), sedangkan
Sophia atau sophos, berarti pengetahuan atau kebijaksanaan
(wisdom).21 Jadi, filsafat secara sederhana berarti cinta terhadap
pengetahuan atau kebijaksanaan. Pengertian cinta yang dimaksudkan
disini adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan
rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang
diinginkan. Demikian juga yang dimaksud dengan pengetahuan, yaitu
mengetahui dengan mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai ke
dasar segala dasar.
Filsafat mempunyai banyak definisi dari para pemikir atau filosof.
Antara lain:
1) Plato mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang
segala yang ada.

19
Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf , hlm. 91-92.
20
Tiswani, Akhlak Tasawuf , hlm. 98-99.
21
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1984),
hlm. 13. Cet. IV,

34
2) Aristoteles berpendapat bahwa filsafat merupakan metode atau
cara yang digunakan untuk menyelidiki sebab dan asal suatu
benda.
3) Al–Farabi menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan tentang alam yang ada dan bertujuan menyelidiki
hakikat yang sebenarnya.
4) Immanuel Kant mendefinisikan bahwa filsafat adalah ilmu
pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di
dalamnya empat persoalan, yaitu 1) apakah yang dapat kita
ketahui (metafisika), 2) apakah yang boleh kita kerjakan
(etika), 3) sampai dimanakah harapan – harapan kita (agama),
dan 4) apakah yang dinamakan manusia (antropologi).
5) Harun Nasution menyatakan pendapatnya bahwa filsafat
adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dan bebas (tidak
terikat tradisi, agama atau dogma) dan dengan sedalam–
dalamnya sehingga sampai ke dasar persoalan.22
Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
filsafat ialah suatu proses berfikir rasional dalam mencari hakikat
sesuatu secara sistematis, menyeluruh dan mendasar. Dikatakan
menyeluruh karena berfikir berdasarkan logika yang rasional untuk
memahami segala sesuatu termasuk diri sendiri yang hakikatnya
mencari kebenaran yang harus dinyatakan dalam bentuk komprehensif.
Dan dikatakan mendasar karena mampu memberikan penjelasan
pengalaman atau kenyataan empiris sampai ke dasar–dasarnya sehingga
tidak ada suatu yang tabu bagi kegiatan berfikir filsafat.
b) Bidang Pembahasan Filsafat
Adapun objek bahasan filsafat terbagi menjadi tiga bahasan pokok:
1) Ontologi (al-Wujud)

22
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Pengantar Filsafat (IAIN Sunan Ampel
press, Surabaya, 2012), hlm. 2.

35
Pembahasan ontologi mencakup hakekat segala yang ada (al-
Maujudat). Pada umumnya bahasan “yang ada” terbagi menjadi
dua bidang, yakni fisika dan metafisika. Bidang fisika mencakup
tentang manusia, alam semesta, dan segala sesuatu yang
terkandung di dalamnya, baik benda hidup maupun benda mati.
Sedangkan metafisika membahas ketuhanan dan masalah imateri.
2) Epistemologi (al-Ma’rifat)
Pembahasan epistemologi bersangkutan dengan hakikat
pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa
pengetahuan dapat diperoleh.
3) Aksiologi (al-Qoyyim)
Pembahasan aksiologi bersangkutan dengan hakikat nilai. Dalam
menentukan hakikat atau ukuran baik dan buruk dibahas dalam
filsafat etika atau akhlak. Dalam menentukan hakikat atau ukuran
benar dan salah dibahas dalam filsafat logika atau mantiq. Dalam
menentukan hakikat atau ukuran indah dan tidaknya dibahas dalam
filsafat estetika atau jamal.
c) Hubungan dengan Tasawuf
Dalam segi praktis, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir.
Berfilsafat artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti
berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-
sungguh.23 Filsafat adalah orang yang memikirkan hakikat segala
sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam.24 Jadi, ilmu filsafat
ditinjau dari segi praktis adalah ilmu yang mempelajari dengan
sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Adapun ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat
dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat
dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur

23
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya: 2003), hlm. 124
24
Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam (Yogyakarta: Narasi,
2008), hlm. 57

36
harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya
terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat.
Kajian-kajian tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata
telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi
kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Kajian-kajian
kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan
dalam tasawuf. Menurut sebagian ahli tasawuf, jiwa adalah roh setelah
bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dan jasad melahirkan pengaruh
yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini
akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun
roh.25
Oleh karena itu, Ilmu tasawuf sangat erat kaitannya dengan ilmu
filsafat. Menurut Tiswani dalam bukunya Buku Daras Akhlak Tasawuf
menyatakan :
1) Ilmu tasawuf dan ilmu filsafat sama-sama mempunyai tujuan
yakni mencari kebenaran sejati atau kebenaran tertinggi.
2) Ilmu filsafat lebih menitikberatkan pada teori, sedangkan ilmu
tasawuf pada aplikasi.
3) Tasawuf landasannya berpijak dan bertolak dari perasaan
sedangkan filsafat landasannya berpijak pada rasio dan
kepandaian menggunakan akal pikiran.
4) Filsafat turut mempengaruhi materi-materi dalam tasawuf.26
5. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa (Psikologi)
a) Pengertian Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang sudah mulai berkembang sejak abad
17 dan 18 serta nampak pesat kemajuannya pada abad 20. Pada
awalnya ilmu ini adalah bagian daripada filsafat sebagaimana pula
ilmu-ilmu yang lain seperti misalnya ilmu hukum tatanegara maupun

25
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 92.
26
Tiswani, Akhlak Tasawuf, hlm. 97.

37
ilmu ekonomi, namun kemudian memisahkan diri dan berdiri sebagai
ilmu tersendiri.27
“Psikologi“ berasal dari perkataan Yunani ”Psyche” yang artinya
jiwa, dan ”Logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Secara etimologi
psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai
macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. 28
Menurut Dr. Singgih Dirgagunarsa, psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia. Menurut Chaplin psikologi adalah
ilmu pengetahuan mengenai prilaku manusia dan hewan, juga
penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan
kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan
peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan. 29
Menurut Rosleny Marliany, psikologi dapat diartikan ilmu jiwa.
Makna ilmu jiwa bukan mempelajari jiwa dalam pengertian jiwa
sebagai soul atau roh, tetapi lebih mempelajari kepada gejala-gejala
yang tampak dari manusia yang ditafsirkan sebagai latar belakang
kejiwaan seseorang atau spirit dari manusia sebagai mahluk yang
berjiwa.30
Pengertian psikologi di atas menunjukkan beragamnya pendapat
para ahli psikologi. Perbedaan tersebut bermuasal pada adanya
perbedaan titik berangkat para ahli dalam mempelajari dan membahas
kehidupan jiwa yang kompleks ini. Dan dari pengertian tersebut paling
tidak dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan individu, dimana
individu tersebut tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya. Dalam
artian bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu

27
Sudarsono Ardhana, Pokok-Pokok Ilmu Jiwa Umum (Surabaya: Usaha Nasional,
hlm. 3. 1963),

28
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hlm. 1.
29
Abu Ahmadi, Psikologi Umum ( Semarang: Rineka Cipta, 1991), hlm. 4.
30
Rosleny Marliany, Psikologi Umum (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.
13.
38
maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Tingkah
laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang
meliputi perbuatan berbicara, duduk, berjalan dan lain sebgainya,
sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan,
berperasaan dan lain sebagainya.
b) Bidang Pembahasan Psikologi
1) Objek Material adalah sesuatu yang dibahas, dipelajari atau
diselidiki, atau suatu unsur yang ditentukan atau sesuatu yang
dijadikan sasaran pemikiran, objek material mencakup apa saja,
baik hal-hal konkret (kerohanian, nilai-nilai, ide-ide). Dan
Objeknya yaitu manusia.31
2) Objek Formal adalah cara memandang, cara meninjau yang
dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek materialnya serta
prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal juga digunakan
sebagai pembeda ilmu yang satu dengan ilmu yang lain
(antropologi, sosiologi, dan lain-lain). Objeknya yaitu dari segi
tingkah laku manusia, objek tersebut bersifat empiris atau nyata,
yang dapat diobservasi untuk memprediksi, menggambarkan
sesuatu yang dilihat. Caranya melihat gerak gerik seseorang,
bagaimana ia melakukan sesuatu dan melihat dari matanya. 32
c) Hubungan dengan Tasawuf
Pembahasan Tasawuf sangat erat kaitannya dengan pembahasan
penyucian diri atau jiwa manusia. Dalam hal ini akan terlihat adanya
hubungan antara jiwa dan raga manusia, dimana ketika seseorang
melakukan proses penyucian jiwa melalui riyadhah, maka akan terjadi
proses transformasi diri. Misalnya ketika seseorang sudah berhasil
menahan diri dari sifat amarah, maka akan terpancar pada dirinya sifat
penyabar. Karena orang lain akan tahu bahwa seseorang itu penyabar
dari penampilan dirinya. Adanya keterkaitan antara jiwa dan raga

31
Alex Sobur, Psikologi Umum ( Bandung : Pustaka Setia, 2003), hlm.41.
32
Alex Sobur, Psikologi Umum, hlm. 42.

39
dalam pembahasan tasawuf inilah yang menjadikan tasawuf erat
hubungannya dengan psikologi yang banyak membahas tentang jiwa.
Dan sekarang ini kajian tentang jiwa yang lebih ditekankan pada
personality (kepribadian) disebut dengan Transpersonal Psikologi.
Kalau dulu istilahnya kesehatan mental.
Problem kepribadian (mental) meliputi semua unsur jiwa termasuk
pikiran, emosi, sikap, dan perasaan; yang mana semua itu akan sangat
mempengaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi masalah. Dalam
hal inilah muncul dua kondisi manusia yaitu yang sehat mental dan
yang kurang sehat mental. Orang yang sehat mental adalah orang yang
mampu mengatasi persoalan-persoalan pribadinya sehingga
kebahagiaan dalam hidupnya. Misalnya ketika ada masalah dia tidak
mudah stres, tapi mencoba mencari solusi pemecahannya dengan cara
mencari sebab-sebab permasalahannya. Orang yang sehat mentalnya
tentulah tercermin dalam diri orang yang baik kepribadiannya yang
sangat tercermin dalam tingkah laku atau akhlaknya.33
Sebaliknya, golongan yang kurang sehat mentalnya sangatlah luas,
mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Dari orang
yang merasa terganggu kesehatan hatinya, sampai orang yang sakit
jiwa. Gejala-gejala umum yang terdapat pada mereka yang kurang
sehat dapat dilihat dalam beberapa segi, misalnya dalam segi perasaan;
yaitu perasaan terganggu, tidak tentram, rasa gelisah, rasa iri, rasa
sedih yang tidak beralasan, dan lain sebagainya. 34
Perhatian pakar ilmu jiwa kontemporer lebih banyak dicurahkan
untuk membahas persoalan “kesadaran” dan “ketidak-sadaran”,
dorongan-dorongan kejiwaan, kecenderungan, aktifitas kejiwaan dan
akal, pikiran individu dan kelompok serta membahas berbagai teori
ilmu jiwa yang berbeda-beda. Sekalipun pakar ilmu jiwa kontemporer
telah banyak membicarakan persoalan yang terkait dengan kejiwaan,

33
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 94.
34
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 95.

20
akan tetapi tidak pernah menyinggung permasalahan hakikat jiwa dan
hakikat penyakitnya. Mereka hanya berhenti pada tingkatan fenomena
lahirnya kejiwaan saja.35
Sesungguhnya kaum sufi adalah orang-orang yang telah
memberikan sumbangan studi kejiwaan dengan membahas tentang
siratan-siratan hati dan kendala-kendala jiwa, yang dinilai oleh para
sufi sebagai landasan dalam mengawali suatu perbuatan. Kaum sufi
berpendapat bahwa perilaku lahiriyah manusia sebenarnya bukanlah
merupakan kepribadian manusia, akan tetapi unsur yang paling utama
dalam kepribadiannya adalah “al-Khuluq”, yaitu perilaku batin. Al-
Khuluq merupakan lembaga yang solid di dalam jiwa manusia yang
dapat menampilkan segala bentuk perbuatan dengan mudah tanpa
memerlukan proses berpikir dan pandangan.36
Perlu diketahui, terapi jiwa sufistik ternyata bukan hanya
merupakan teori semata, akan tetapi juga merupakan terapan. Para sufi
telah membuat diagnosa bagaimana cara mereka memberikan
pengobatan kejiwaan bagi para pasiennya. Mereka kaum sufi
menjelaskan kepada pasiennya bagaimana cara untuk mencapai
kesempurnaan jiwa, melalui pengembangan ruh keimanan di dalam
jiwa-jiwa yang lemah serta menghimbau mereka agar menyucikan jiwa
dan niatnya, memperkuat azamnya dan menyerahkan segala persoalan
yang sedang dihadapi kepada Allah, mengajak mereka agar menjadi
pribadi tawakal, penuh dengan kejujuran dan keikhlasan, serta makan
dengan makanan yang halal. Kemudian para sufi beranjak kepada
pengobatan kejiwaan yang kacau, lemah, melalui dzikir yang benar
yang dapat memberikan ketenangan kepada jiwa dan hati.37

35
Amir an-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), hlm. 142.
36
Amir an-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, hlm. 142.
37
Amir an-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, hlm. 202

21
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa tasawuf dan
psikologi memiliki hubungan yang erat sekali, hal ini juga dapat kita
lihat dari uraian berikut:
1) Ilmu tasawuf dalam pembahasannya menekankan unsur jiwa
atau bathin manusia, begitu juga ilmu psikologi.
2) Ilmu psikologi membahas masalah kesehatan mental, dan hal
apa saja yang membuat kerusakan pada mental sedangkan ilmu
tasawuf memberikan langkah-langkah praktis agar orang
senantiasa dapat memiliki mental yang sehat dan bathin yang
suci.
3) Ilmu tasawuf memberikan obat bagi penyakit-penyakit mental
manusia. Mental menjadi sakit bila manusia tidak tenang
bathinnya dan jauh dari Allah. Ketidak-tenangan ini membuat
manusia menjadi sakit mental, dan akhirnya akan bermuara
pada prilaku yang tidak normal dan selalu melanggar norma-
norma akhlak yang berlaku.38
C. Kesimpulan
Pada pembahasan ini dapat penulis simpulkan, bahwa sebagai sebuah
disiplin ilmu keislaman, tasawuf tidak dapat terlepas dari keterkaitannya
dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya yakni ilmu, tauhid, fiqih, filsafat, dan
bahkan psikologi. Bisa dikatakan keseluruhannya memiliki hubungan yang
sangat erat. Adapun rincian hubungan tasawuf dengan keempat disiplin ilmu
tersebut, diantaranya sebagai berikut:
Hubungan tasawuf dengan Tauhid
1) Dilihat dari materi, ilmu kalam terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah
sedangkan ilmu tasawuf dapat menyentuh rasa rohaniah seorang hamba.
2) Dalam ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan defenisinya,
kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.
Sementara itu pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode

38
Tiswani, Akhlak Tasawuf, hlm. 101

22
praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, serta upaya untuk
menyelamatkan diri dari kemunafikan.
3) Selain itu, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah
dalam perdebatan kalam.
Hubungan tasawuf dengan Fiqih
1) Ilmu tasawuf mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk
melaksanakan hukum-hukum fiqih.
2) Ilmu fiqih merupakan jembatan yang harus dilalui oleh seseorang yang
ingin mendalami ajaran tasawuf.
3) Tasawuf dan fiqih merupakan dua disiplin ilmu yang saling
menyempurnakan.
Hubungan tasawuf dengan Filsafat
1) Ilmu tasawuf dan ilmu filsafat sama-sama mempunyai tujuan yakni
mencari kebenaran sejati atau kebenaran tertinggi.
2) Ilmu filsafat lebih menitikberatkan pada teori, sedangkan ilmu
tasawuf pada aplikasi.
3) Tasawuf landasannya berpijak dan bertolak dari perasaan sedangkan
filsafat landasannya berpijak pada rasio dan kepandaian menggunakan
akal pikiran.
4) Filsafat turut mempengaruhi materi-materi dalam tasawuf.
Hubungan tasawuf dengan Psikologi
1) Ilmu tasawuf dalam pembahasannya menekankan unsur jiwa atau bathin
manusia, begitu juga ilmu psikologi.
2) Ilmu psikologi membahas masalah kesehatan mental, dan hal-hal apa saja
yang membuat kerusakan pada mental sedangkan ilmu tasawuf
memberikan langkah-langkah praktis agar orang senantiasa dapat memiliki
mental yang sehat dan bathin yang suci.
3) Ilmu tasawuf memberikan obat bagi penyakit-penyakit mental manusia.
Mental menjadi sakit bila manusia tidak tenang bathinnya dan jauh dari
Allah. Ketidaktenangan ini membuat manusia menjadi sakit mental, dan

23
akhirnya akan bermuara pada prilaku yang tidak normal dan selalu
melanggar norma-norma akhlak yang berlaku.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adz Dzarkasyi, Al Bahrul Muhith, jilid 1

Ahmadi, Abu. 1991 Psikologi Umum. Semarang: Rineka Cipta

-----------------. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta

al-Hanif , Abu Jihaduddin Rifqi. 1990. Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang
Pelajar

ali,Yunasril.1987. pengantar ilmu tasawuf. Jakarta: Pedoman ilmu jaya

an-Najar, Amir. 2001. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf. Jakarta: Pustaka Azzam

Anwar, Rosihan. 2007. Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia: Bandung.

Anwar, Syahru. 2010. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Bogor: Ghalia Indonesia

Ardhana, Sudarsono. 1963. Pokok-Pokok Ilmu Jiwa Umum. Surabaya: Usaha


Nasional

Ar Razi, Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir .Mukhtar Ash Shihah, jilid 1

As, Asmaran. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Pustaka

Bertens, K. 1984. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, Cet.


IV

Hanafi, A. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hanafi, M. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru

Marliany, Rosleny. 2010. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia

Muhammad bin Mandhur, Lisanul Arab, madah: fiqih Al Mishbah Al Munir

Nasution, Harun. 1973. Filsafat agama. Jakarta: Bulan Bintang Cet.1

--------------------. 1973. Filsafat & Mistisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang

25
R.A Nicholson, Fi al-Tasawuf al-Islam wa Tarikhuh, terj. Abu al-„Ala Afifi, Kairo: Lajnah
al-Ta‟lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1969.

Sholikhin, Muhammad. 2008. Filsafat dan Metafisika dalam Islam. Yogyakarta : Narasi

Solihin, M. dan M. Rosyid Anawar. 2005. Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan
Makna Hidup. Bandung: Penerbit Nuansa

Sobur, Alex .2003. Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia

Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum. Rosda Karya

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2012. Pengantar Filsafat. Surabaya: IAIN
Sunan Ampel press

Tiswani. 2007. Akhlak Tasawuf. Jakarta : Bina Pratama

Ubaidillah bin Mas‟ud Al Mahbubi Al Bukhari Al Hanafi, At Taudhih ‘ala At Tanqih,


jilid 1 Zakaria, A. 2008. Pokok-pokok Ilmu Tauhid. Garut: IBN AZKA Press

Zar, Sirajuddin .2010. Filsafat Islam. Jakarta: Raja Group Persada

26

Anda mungkin juga menyukai