Disusun Oleh:
Teddy Hardiansyah
NPM. 71200517003
Program Studi Pendidikan Kimia
Perkembangan keilmuan dalam islam melaju dengan cepat dan pasti. Dalam hal ini
Nabi Muhammad sebagai tokoh penyebar agama islam, telah memberikan penegasan
tentang fungsi dan peran ilmu dalam islam.
Ilmu-ilmu agama islam muncul pada masa-masa awal Dinasti Abasiyah (137-766
H/750- 1258), tepatnya setelah kaum muslimin dapat menciptakan stabilitas keamanan
diseluruh wilayah islam. Kaum muslimin yang tingkat kehidupannya semakin baik,
tidak lagi berorientasi untuk memperluas wilayah, melainkan berupaya untuk
membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu, tidak hanya ilmu-ilmu agama islam.
Ilmu- ilmu keduniaan yang memang tidak bisa dipisahkan dari ilmu-ilmu agama juga
turut berkembang, sehingga pada masa ini muncul ahli-ahli ilmu bahasa arab, ahli ilmu
alam, dan para filsuf.
Ajaran akhlak dan moral biasanya mengacu pada ajaran yang disampaikan melalui
khutbah-khutbah, kumpulan peraturan dan ketetapan, tentang bagaimana manusia hidup
dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Akhlak sebagai ilmu pengetahuan
yang berdiri sendiri, dalam menjalankan fungsinya memiliki keterkaitan dengan ilmu-
ilmu lain. Berikut akan dijelaskan hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu-ilmu
lainnya.
1) Hubungan Antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Jiwa (Psikologi)
Ilmu jiwa menyelidiki dan membicarakan kekuatan perasaan, paham,
mengenal ingatan, kehendak dan kemerdekaannya, khayal, rasa kasih, kelezatan dan
rasa sakit, sedang pelajaran akhlak sangat menginginkan apa yang dibicarakan oleh
ilmu, bahkan ilmu jiwa adalah pendahuluan yang tertentu bagi akhlak. Pada masa
akhir-akhir ini terdapat dalam ilmu jiwa suatu cabang yang disebut ilmu jiwa
masyarakat. Ilmu ini menyelidiki akal manusia dari jurusan masyarakat. Yakni
menyelidiki soal bahasa dan bagaimana bekasnya terhadap akal, adat kebiasaan suatu
bangsa yang mundur dan bagaimana perkembangan susunan masyarakat. Dan
bagaimana cabang ini memberi bekas yang langsung pada etika, melebihi dari ilmu
jiwa perseorangan. Menurut para sufi, akhlak seseorang bergantung pada jenis jiwa
yang berkuasa dalam dirinya
Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam
tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui psikologis yang dimiliki seseorang.
Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan, misalnya akan
melahirkan perbuatan sikap yang senang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak
berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat
dan menyesatkan orang lain.
Dengan demikian ilmu jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin
manusia dengan cara penginterpretasikan perilakunya yang tampak. Melalui bantuan
informasi yang diberikan ilmu jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan al-Qur’an,
maka secara teoritis ilmu Akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Hal ini lebih lanjut
dapat kita jumpai dalam uraian mengenai akhlak yang diberikan Quraish Shihab,
dalam buku terbarunnya, Wawasan al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa: “Kita dapat
berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia
yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu jiwa dan ilmu akhlak bertemu karena pada
dasarnya sasaran keduanya adalah manusia. Ilmu akhlak melihat dari apa yang
sepatutnya dikerjakan manusia, sedangkan ilmu jiwa (psikologi) melihat tentang apa
yang menyebabkan terjadinya suatu perilaku.
Jadi ilmu tasawuf adalah ilmu yang membahas tentang cara-cara seseorang
mendekatkan dirinya kepada Allah. Definisi lain tentang tasawuf adalah mengambil
jalan hidup secara zuhud (al-zuhd), yakni menjauhkan diri dari gemerlapnya dunia
dengan segala bentuknya, disertai dengan pelaksanaan berbagai bentuk ibadah kepada
Allah.
Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah
dalam islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-
qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik.
Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahimunkar, mengajakan orang
pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang
bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut
mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada
pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam
filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian filsafat karena ilmu
tersebut kian meluas dan berkembang dan akhir membentuk rumah tangganya sediri
dan terlepas dari filsafat. Demikian juga dalam etika dalam proses perkembangannya,
sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah
merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
Etika dianggap sebagai bagian dari filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran dan pandangan moral. Di dalamnya etika mau mengerti mengapa kita
harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap
yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Melalui filsafat
ini, etika berusaha untuk mengerti mengapa, atau dasar apa kita harus hidup menurut
norma-norma tertentu.
Adapun hubungan antara ilmu akhlak dengan ibadah, tercermin dari tujuan
akhir, yaitu keluhuran akhlak. Misalnya pada ibadah shalat. Shalat merupakan ibadah
terpenting dan yang paling pertama dihisab pada hari kiamat. Dalam hal ini, hikmah