Anda di halaman 1dari 23

NAMA : PUTRI SALSABILA

NIM : 11190510000267
MATA KULIAH :AKHLAK TASAWUF
DOSEN PEMBIMBING : DRS. S. HAMDANI, M.A
JUDUL :AKHLAK TASAWUF (Prof. Dr. H. Abuddin Nata,M.A)

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PEMBUAT LAPORAN

Akhlak Tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual muslim, khazanah pemikiran dan
pandangan di bidang Akhlak dan Tasawuf itu kemudian menemukan momentum
pengembangannya dalam sejarah, yang antara lain ditandai oleh munculnya sejumlah besar
Hasil penelitian para ulama Islam terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa
hakikat agama Islam adalah akhlak. Melihat demikian pentingnya akhlak tasawuf, tidaklah
heran jika Akhlak tasawuf diterapkan sebagai mata kuliah. Dan mahasiswa diberikan tugas
untuk membaca salah satu buku akhlak tasawuf yang hasil bacaannya ditunjukan dalam
bentuk laporan.

TUJUAN MEMBUAT LAPORAN MEMBACA:

 Memenuhi tugas individu mata kuliah Ilmu tasawuf


 Mahasiswa dapat menuangkan hasil bacaan dalam bentuk laporan
 Mahasiswa dapat mengkritisi Isi buku yang dibaca.
 Mahasiswa dapat mengetahui sejauh mana kualitas sebuah buku.

PENTINGNYA MEMBUAT LAPORAN

1. Bisa melihat sejauh mana kita memahami sebuah buku


2. Dapat melatih diri dalam membuat resensi hasil bacaan.

MANFAAT DAN MENARIKNYA LAPORAN

1. Mahasiswa biasa mengenal kaidah-kaidah ajaran Islam semakin mendalam


2. Mahasiswa dapat belajar bertanggung jawab
3. Mahasiswa dapat terlatih dalam membuat resensi buku
4. Mahasiswa dapat mengambil hal-hal yang penting dari sebuah buku
5. Menemukan hal-hal baru yang menurut kita remeh
BAB 1
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN MANFAAT MEMPELAJARI
AKHLAK
A. Pengertian Ilmu Akhak

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan
linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologik (peristilahan)

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif)
dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah
(kelakuan,tabiat, watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah(peradaban yang
baik), dan al-din (agama).

Sedangkan pengertian akhlak dari sudut kebahasaan ini dapat membantu kita dalam
menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, yaitu
 Sebagaimana menurut Ibnu Miskawaih (w.421 H/1030 M) yaitu :“Sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan”.
 Sementara Imam Al- Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah “Sifat yang tertanam
dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
 Dalam Mu’jam al-Wasith, Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah: “Sifat
yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik
atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”
 Dalam kitab Dairatul Ma’arif secara singkat akhlak diartikan sebagai “Sifat- sifat
manusia yang terdidik”

Ciri-ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak:

1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadiannya.

2. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini
tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam
keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.

3. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjaknannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

4. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dikalakukan dengan sesungguhnya, bukan


bermain-main atau bersandiwara.

5. Sejalan dengan ciri ke empat perbuatan akhlak (khusus perbuatan baik) adalah perbuatan
yang dilakuakna karena ikhlas semata-mata karena Alloh SWT.

Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri,
yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan,tujuan, rujukan, aliran dan para tokoh
yang mengembangkannya kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan
membentuk suatu ilmu.
Adapun pengertian ilmu akhlak adalah “Ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-
nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau
buruk.” Atau ilmu akhlak dapat pula disebut “Ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya
mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan
tersebut, yaitu apakah perbautan tersebut tergolong baik atau buruk.”

B. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Akhlak

Ruang lingkup pembahasan Ilmu Akhlak adalah membahas tentang perbuatan-perbuatan


manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik
atau perbuatan yang buruk. Obyek pembahasan Ilmu Akhlak berkaitan dengan norma atau
penilaian terhadap suatu pperbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Sebagai suatu ilmu yang
berdiri sendiri antara lain ditandai oleh adanya berbagai ahli yang membidangi dirinya untuk
mengkaji akhlak. Dengan mengemukakan beberapa literatur tentang akhlak tersebut
menunjukkan bahwa keberadaan Ilmu Akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah
sejajar dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah islam, dan
lain-lain.

Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan
manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk.
Dalam hubungan ini Ahmad Ain mengatakan “ Bahwa Obyek ilmu akhlak adalah membahas
perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan tersebut ditentukan baik atau buruk”.
Muhammad al-Ghazali mengemukakan bahwa kawasan pembahasan Ilmu Akhlak adalah
seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun
kelompok.Dalam masyarakat Barat kata akhlak sering diidentikkkan dengan etika, walaupun
pengidentikkan ini tidak sepenuhnya tepat. Mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika
mengatakan bahwa etika adalah penyelidikkan tentang tingkah laku dan sifat manusia.

Namun perlu ditegaskan kembali di sini bahwa yang dijadikan obyek kajian Ilmu Akhlak di
sini adalah perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan, sebenarnya, mendarah
daging dan telah dilakukan secara kontinyu atau terus menerus sehingga mentradisi dalam
kehidupannya. Dan dapat kita pahami bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dalam keadaan sadar, kemauan sendiri, tidak
terpaksa dan sungguh-sungguh atau sebenarnya, bukan perbuatan yang pura-pura.

C. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak

Ahmad Amin mengatakan : “Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya


menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan
sebagian yang lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat
zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemiliknya termasuk perbuatan
baik sedangkan mengingkari uang termasuk perbuatan buruk.”
Menurut Mustafa Zahri :”untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan
amarah sehingga hati menjadi suci bersih bagaikan cermin yang dapat menerima Nur Cahaya
Tuhan.”
Keterangan tersebut memberi petunjuk bahwa Ilmu Akhlak berfungsi memberikan panduan
kepada manusia agar mampu menilai dan menetukan suatu perbuatan untuk selanjutnya
menetapka bahwa tersebut termasuk perbuatan yang baik atau buruk.

Selain itu Ilmu Akhlak juga berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia
dari perbuatan dosa dan maksiat, Ilmu Akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam
mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Demikian
juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan
darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya darinya, menyebabkan orang
enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya
akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.

Dengan demikian dapat dikatakan secara ringkas bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk
memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia terhadap perbuatan yang baik agar ia
berusaha melakukannya, dan terhadap perbuatan yang buruk agar ia berusaha untuk
menghindarinya.

BAB 2
HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU LAINNYA

A. Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tasawuf.

Para ahli Ilmu Tasawuf pada Umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian, yaitu :

1. Tasawuf Falsafi, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal
pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran
yang terdapat pada kalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia,
hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya.
2. Tasawuf akhlaki, Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang
tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli
(menghiasinya dengan akhlak yang terpuji) dan tajalli (terbukanya dinding
penghalang(hijab)) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Illahi
tampak jelas padanya.
3. Tasawuf Amalli, Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliyah atau wirid,
yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat.

Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang
diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa Al-
Qur’an dan Al-Hadis mementingkan akhlak. Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf
masalah ibadah amat menonjol. karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan
serangkaian ibadah yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertawasuf itu ternyata erat hubungannya dengan
akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam
Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-Qur’an dikaitklan
dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya,
yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik, Inilah yang dimaksud ajaran
amar ma’ruf nahi munkar. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama
yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.

B. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid.

Ilmu Tauhid sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu
yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu sifat yang
terpenting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga disebut sebagai Ilmu
Ushul al-Din. Dan oleh karena itu buku yang mebahas soal-soal teologi dalam islam selalu
diberi nama Kitab Ushul al-Din. Disebut juga ilmu al-A’qaid, credo atau keyakinan-
keyakinan, dan buku-buku yang mengupas keyakinan-keyakinan itu diberi judul al-A’qaid,
Selanjutnya ilmu Tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti ilmu tentang
kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan. maka yang dimaksud
adalah kalam Tuhan yang ada di dalam Al- Qur’an. Selanjutnya kalau yang dimaksud kalam
adalah kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah ilmu yang
membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan
pendirian masing-masing.

Dari berbagai istilah yang berkaitan dnegna Ilmu Tauhid dapat kita peroleh kesan yang
mendalam bahwa Ilmu Tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan
meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.

Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid ini sekurang-kurangnya dapat kita lihat melalui
analisis sebagai berikut:

1. Dilihat dari segi obyek pembahasannya, Ilmu Tauhid sebagaimana diuraikan


membahas masalah Tuhan baik dari segi zat,sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan
yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan untuk
mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia, sehingga perbuatan yang
dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dengan
demikian Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan
keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia.
2. Dilihat dari segi fungsinya Ilmu Tauhid menghendaki seseorang yang bertauhid
tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalinya
saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan
mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. manusia yang
bertauhid meniru sifat-sifat Tuhan itu, maka sebaiknya manusia meniru sifat
tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang dimuka bumi.Demikian juga
jika seseorang beriman kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain
adalah agar manusia meniru sifat-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat
jujur,amanah, tidak pernah durhaka, dan patuh melaksanakan segala yang
diperintahkan Tuhan. Demikian pula beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan
Tuhan, Khususnya Al-Qur’an, maka secara akhlaki harus diikuti dengan
menjadikan Al-Qur’an sebagai wasit,hakim serta iman dalam kehidupan.
Selanjutnya diikuti pula dengan mengamalkan segala perintah yang ada dalam Al-
Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya. Selanjutnya beriman kepada rasul,
khususnya pada Nabi Muhammad SAW. juga harus disertai dengan upaya
mencontoh akhlak rasulullah dan mencintainya. dengan cara demikian akan
menimulkan akhlak yang mulia. Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari
sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan
yang di lakukan selama didunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya di
akhirat nanti.

Berdasarkan analisis yang sederhana ini, tampak jelas bahwa rukun iman yang enam ternyata
erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dengan demikian dalam rangka
pengembangan Ilmu Akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran Tauhid atau keimanan
tersebut.

Ilmu Tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap Ilmu Akhlak, dan Ilmu Akhlak
tampil memberikan penjabaran dan pengamalan dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak yang
mulia tidak akan ada artinya, dan akhlak yang mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh. Selain itu,
tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut.
Disinilah letaknya hubungan yang erat dan dekat antara tauhid dan akhlak.

C. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Jiwa

Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku .
Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang
bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan
sikap yang tenang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari
Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.

Dengan demikian Ilmu Jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin manusia dengan
cara menginterpretasikan perilakunya yang tampak. Quraish Shihab berpendapat bahwa
walaupun kedua potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan
isyarat-isyarat dalam Al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dulu menghias diri manusia daripada
kejahatan.

D. Hubungan Ilmu Jiwa dengan Ilmu Pendidikan

Ilmu Jiwa dapat dijumpai dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai berbagai aspek
yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Semua aspek pendidikan
ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan islam
banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak.

Maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang hamba
Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya
serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia.

E. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Filsafat


Filasafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke
akar-akarnya, universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai
segala sesuatu. Dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya. Diantara
obyek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan Ilmu Akhlak adalah tentang manusia.
Para filosof muslim seperti Ibn Sina dan Al Ghazali memiliki pemikiran tentang manusia
sebagaimana pemikirannya terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa. Ibn Sina misalnya
mengatakan bahwa jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan.

BAB 3

INDUK AKHLAK ISLAMI

Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama,
yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari
perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil yaitu
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat
dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang
berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. inti akhlak
pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam empergunakan potensi rohaniah yang dimiliki
manusia.

Dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji
lainnya. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori
pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Sebaliknya
akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan dari ketiga
potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan
sikap pintar busuk atau penipu dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan
sikap dungu atau idiot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu
lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.

BAB 4

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU AKHLAK

A. Ilmu Akhlak Diluar Agama Islam


1. Akhlak Pada Bangsa Yunani

Sejarah mencatat bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran
di bidang akhlak adalah Socrates. Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak,
karena ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan
antar manusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa keutamaan itu
adalah ilmu. Namun dengan demikian para peneliti terhadap pemikiran Socrates ada
yang mengatakan bahwa Socrates tidak menunjukkan dengan jelas tujuan akhir dari
akhlak. Akibatnya maka timbullah beberapa golongan yang mengemukakan teori
tentang akhlak yang dihubungkan pada Socrates. Keseluruhan ajaran akhlak yang
dikemukakan para pemikir Yunani tersebut tampak bersifat rasionalistik. Penentuan
baik buruk manusia didasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia.

2. Akhlak pada Agama Nasrani

Menurut agama ini bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan
bentuk patikan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut agama ini bahwa yang disebut baik ialah
perbuatan yang disukai Tuhan sertaMenurut agama ini bahwa Tuhan adalah sumber
akhlak. Tuhanlah yang menentukan bentuk patikan-patokan akhlak yang harus
dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut agama
ini bahwa yang disebut baik ialah perbuatan yang disukai Tuhan serta berusaha
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.

3. Akhlak pada Bangsa Romawi

Ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak
yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nasrani. Corak ajaran
akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu
nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam.

4. Akhlak pada Bangsa Arab

Pada masa itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah dan ahli syair.
Didalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dijumpai ajaran yang memerintahkan
agar berbuat baik dan menjauhi keburukan, mendorong pada perbuatan yang utama
dan menjauhi dari perbuatan yang tercela dan hina.

B. Akhlak Pada Agama Islam

Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama islam dengan titik
pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Semua ini terkandung dalam ajaran al-Qur’an yang
diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang didatangkan dari Nabi Muhammad SAW. Hukum-
hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok
akhlak dan perbuatan yang dapat dijumpai sumber yang aslinya didalam al-Qur’an.

C. Akhlak pada Zaman Baru

Pada akhir abad kelima belas Masehi, Eropa mulai mengalami kebangkitan dalam bidang
filsafat,ilmu pengetahuan dan teknologi. Segala sesuatu yang dianggap mapan mulai
diteliti,dikritik, dan diperbaharui, hingga akhirnya mereka menerapkan pola bertindak dan
berpikir secara liberal. Diantara masalah yang dikritik dan dilakukan pembaharuan adalah
masalah akhlak. Penentuan baik buruk yang semula didasarkan pada dogma gereja diganti
dengan berdasarkan pandangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pengalam empirik.
BAB 5

ETIKA,MORAL DAN SUSILA

A. Etika

Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Dalam KBBI, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak(moral). Dari
pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan
tingkah laku manusia. Adapun etika dari segi istilah Ahmad Amin misalnya, mengartikan
etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan manusia,menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

B. Moral

Dari segi bahasa berasal dari bahasa Latin mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat
kebiasaan. Di dalam KBBI dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap
perbuatan dan kelakuan. Dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menetukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.

C. Susila

Susila atau kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Kata
tersebut berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu su da sila. Su berarti baik, bagus dan sila berati
dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Orang yang susila adalah orang yang kelakuan
baik, sedangkan orang yang a susila adalah orang yang berkelakuan buruk.

D. Hubungan Etika, Moral, dan Susila dengan Akhlak

Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika,moral,susila dan akhlak
sama,yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk
ditentukan baik-buruk nya. Perbedaan antara etika,moral dan susila dengan akhlak adalah
terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik buruk. Jika dalam etika
penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila
berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang
digunakan untuk menetukan baik dan buruk adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis.

BAB 6

BAIK DAN BURUK

A. Pengertian Baik dan Buruk

Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam
bahasa Inggris. Louis ma’luf dalam kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa yang disebut baik
adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu
dikenal dengan istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik . Dengan demikian
yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak
disukai kehadirannya oleh manusia.

B. Penentuan Baik Buruk

Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan
orang dalam menentukan baik dan buruk. Asmaran As, menyebutkan sebanyak empat aliran
filsafat, yaitu adat kebiasaan, hedonisme, intuisi dan evolusi. Pembagian yang dikemukakan
Asmaran As ini tampak sejalan dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat
yang mempengaruhi penentuan baik dan buruk itu ada empat yaitu, adat-istiadat, hedonisme,
utilitarianisme dan evolusi.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa diantara aliran-aliran filsafat yang
mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk ini adalah aliran adat-istiadat (sosialisme),
hedonisme, intuisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, dan evolusisme.

C. Sifat dari Baik dan Buruk

Sifat dan corak baik-buruk yang didasarkan pada pandangan filsafat adalah sesuai dengan
sifat dari filsafat itu sendiri, yakni berubah, relatif nisbi dan tidak universal. Dengan demikian
sifat baik atau buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif
dan nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik-buruk yang
dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya subyektif, lokal dan temporal. Dan
oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.

D. Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam

Menurut ajaran islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an
dan al- Hadis. Jika kita perhatikan al-Qur’an dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu
kepada baik, dan ada pula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang
mengacu kepada yang baik misalnya, al-hasanah. thayyibah, khairah, karimah, mahmudah,
azizah dan al-birr. Selain itu perbuatan yang dianggap baik dalam islam juga adalah perbuatan
yang sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah
perbuatan yang bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah itu.

BAB 7

KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI

A. Pengertian Kebebasan

Kebebasan sebagaimana dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi apabila


kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau
keterikatan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas
dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa.

Dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakan dan mempergunakan


anggota badan yang kita miliki.
2. Kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu.
3. Kebebasan moral yang dalam arti luas berarti ttidak adanya macam-macam ancaman,
tekanan, larangan dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik.

B. Tanggung Jawab

Selajutnya kebebasan sebagaimana disebutkan itu ditantang jika berhadapan dengan


kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin
ada tanggung jawab tanda ada kebebasan. Di sinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung
jawab.

Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk
menentukan dirinya sendiri, (2) Kemampuan untuk bertanggung jawab, (3) Kedewasaan
manusia dan (4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan
hidupnya.

C. Hati Nurani

Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham
dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada
keburukan. Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu
dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu
kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang
demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.

D. Hubungan Kebebasan, Tanggung jawab, dan Hati Nurani dengan Akhlak

Masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang
menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Disinilah letak
hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani dengan akhlak.
Karenanya dalam membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan
mengenai kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.

BAB 8

HAK, KEWAJIBAN DAN KEADILAN

A. Hak
1. Pengertian Hak
Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan,
memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Poedjawijatna mengatakan
bahwa yang di maksud dengan akhlak ialah semacam milik, kepunyaan, yang tidak hanya
berupa benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pikiran itu. Di dalam al-Qur’an
kita jumpai juga kata al-haqq, sebagaimana dikemukakan oleh al-Raghib al-Ashafani adalah
al-muthabaqah wa al-muwafaqah artinya kecocokan, kesesuaian dan kesepakatan seperti
cocoknya kaki pintu sebagai penyangganya.

2. Macam-macam dan Sumber Hak

Memang ada bermacam-macam hak, tidak sama luas dan kuatnya. Dalam pada itu selalu ada
dua faktor yang menyertainya. Pertama faktor yang merupakan hal (obyek) yang di hakiki
(dimiliki) yang selanjutnya disebut hak obyektif. Hak ini baik bersifat fisik maupun non fisik.
Kedua, faktor orang (subyek) yang berhak, yang berwenang untuk bertindak menurut sifat-
sifat itu, yang selanjutnya disebut hak subyektif.

Dilihat dari segi obyek dan hubungannya dengan akhlak, hak itu secara garis besar dapat
dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu hak hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum, hak
mengembangkan keturunan (hak kawin), hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak
kebebasan berpikir dan hak mendapatkan kebenaran.

B. Kewajiban

Selanjutnya karena hak itu merupakan wewenang dan bukan kekuatan, maka ia merupakan
tuntutan, dan terhadap orang hak itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati
terlaksananya hak-hak orang lain. Dengan demikian masalah kewajiban memegang peranan
penting dalam pelaksanaan hak. Namunn perlu ditegaskan di sini bahwa kewajiban di sinipun
bukan merupakan keharusan fisik, tetapi tetap berwajib, yaitu wajib yang berdasarkan
kemanusiaan.

Di dalam ajaran islam, kewajiban ditempatkan sebagai salah satu hukum syara’, yaitu suatu
perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan
mendapatkan siksa.

C. Keadilan

Poedjawijatna mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak
(yang sah). Sedangkan dalam literatur Islam,keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan
untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara. Keadilan
ini terjadi berdasarkan keputusan akal yang dikonsultasikan dengan agama. Masalah keadilan
ini secara panjang lebar telah dibahas dan ditempatkan dalam teori pertengahan sebagai teori
yang menjadi induk timbulnya akhlak yang mulia.

D. Hubungan Hak, Kewajiban dan Keadilan dengan Akhlak


Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadilan, maka dengan sendirinya akan
mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara
hak, kewajiban dan keadilan dengan akhlak.

BAB 9

AKHLAK ISLAMI

A. Pengertian Akhlak Islami

Akhlak islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging
dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran islam. Dengan kata lain akhlak islami adalah
akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak,
juga mengakui nilai-nilai yang bersifat lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai
yang universal itu.

B. Ruang Lingkup Akhlak Islami

Berbagai bentuk dan ruang lingkup akhlak islami dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Akhlak terhadap Allah


Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai mahluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Sikap atau
perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan akhlaki.
2. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan
terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk
larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau
mengambil harta tanpa lasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti
hati dengan jalan menceritaka aib seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar
atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
3. Akhlak Terhadap Lingkungan
Pada dasarnya akhlak yang diajarkan al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari
fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara
manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung
arti pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan agar ssetiap mahluk mencapai tujuan
penciptanya.

BAB 10

PEMBENTUKAN AKHLAK

A. Arti Pembentukan Akhlak

Pendapat para ahli mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan
akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan islam. Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak
perlu dibentuk, karena akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir.
Selanjutnya ada pula yang berpendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari
pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh.

B. Metode Pembinaan Akhlak

Pembinaan akhlak dapat dilihat dari perhatian islam terhadap pembinaan jiwa yang harus
dilakukan daripada pembinaan fisik, Pembinaan akhlak dalam islam juga terintegrasi dengan
pelaksanaan rukun iman, dan selanjutnya rukun islam. Cara lain yang dapat ditempuh untuk
pembinaan akhlak ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara
kontinyu. Dalam tahap-tahap tertentu pembinaan akhlak khususnya akhlak lahiriah dapat pula
dilakukan dengan cara paksaan yang lama-kelamaan tidak lagi terasa dipaksa. Cara lain yang
tak kalah ampuhnya dari cara-cara diatas dalam hal pembinaan akhlak adalah melalui
keteladanan, selain itu pembinaan akhlak dapat pula ditempuh dengan cara senantiasa
menganggap diri ini sebagai yang banyak kekurangannya daripada kelebihannya.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khusunya dan pendidikan pada
umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer, yaitu:

1. Aliran Nativisme
Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa
kecenderungan, bakat, akal, dll.
2. Aliran Empirisme
Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial yang termasuk pembinaan
dan pendidikan yang diberikan.
3. Aliran Konvergensi
Berpendapat bahwa pembentukan akhlak yang dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu
pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat
secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial.
D. Manfaat Akhlak yang Mulia
Banyak dijumpai keterangan dalam hadis tentang datangnya keberuntungan dari
akhlak. Keberuntungan tersebut diantaranya adalah:
1. Memperkuat dan menyempurnakan agama
2. Mempermudah hitungan amal di akhirat
3. Menghilangkan kesulitan
4. Selamat hidup di dunia dan di akhirat

BAB 11

ARTI, ASAL-USUL DAN MANFAAT TASAWUF DALAM ISLAM

A. Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk
menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang
berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang ikut pindah dengan
Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani:nikmat), dan
suf (kain wol). Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dihubungkan dengan tasawuf.

Dari segi linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap
mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban
untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya
adalah akhlak yang mulia.

B. Sumber Tasawuf
1. Unsur Islam
Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber
ajaran islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para
sahabatnya.
2. Unsur Luar Islam
Dalam berbagai literatur yanng ditulis para orientalis barat sering dijumpai uraian
yang menjelaskan bahwa tasawuf islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama
masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia.

Ajaran islam sebagaimana diketahui bersumber pada wahyu al-Qur’an dan Sunnah al-Rasul.
Kedua sumber ini jelas bukan produk pemikiran manusia. Bagian dari ajaran islam ada yang
bersifat ajaran normatif, yaitu yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang tidak akan
mengalami perubahan dan ada yang bersifat non-normatif, yaitu yang bersumber pada akal
pikiran yang dapat dikembangkan bahkan diubah dan dibuang.

BAB 12

MAQAMAT DAN HAL

A. Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau
pangkal mulia. Istilah ini selanjtunya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat
dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.

Maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut:

1. Al-Zuhud, Secara harfiah berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian.
2. Al-Taubah, berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali.
3. Al-Wara’, Secara harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
4. Kefakiran, Secara harfiah fakir biasanaya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh
atau orang miskin
5. Sabar, Secara harfiah sabar berarti tabah hati
6. Tawakal, Secara harfiah berarti menyerahkan diri
7. Kerelaan, Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang

B. Hal

Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adlah takut (al-
Khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns),
gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-syukr).

BAB 13

MAHABBAH

A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.Selain itu al-mahabbah
dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang
yang kasmaran pada sesuatu yang di cintainya. Dari sekian banyak arti mahabbah yang
dikemukakan di atas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang
dikehendaki dlam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara
ruhian pada Tuhan.

B. Alat Untuk Mencapai Mahabbah

Para ahli tasawuf menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya
potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri
manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama,
al-qalb yaitu hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh
sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk mencintai Tuhan. Sir lebih
halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qalb.

C. Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah

Hmapir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan
ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang
tauhid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Menurut riwayatnya ia adalah
seorang hamba yang kemudia dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat,
bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala
bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya
ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam
keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.

D. Mahabbah dalam al-Qur’an dan al- Hadis


Paham mahabbah sebagaimana disebtkan diatas mendapatkan tempat di dalam al-Qur’an.
Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan
Tuhann dapat saling bercinta. Misalnya seperti ayat dari QS. Ali Imran, 3:30 yang berarti
“Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah alkan mencintai kamu.” dan QS.
al-Maidah, 5:54 yang berarti “ Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan
yang mencintai-Nya.” dan juga hadis yang berarti “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri
kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai
menjadi telinga, mata dan tangan-Ku.”

BAB 14

MA’RIFAH

A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifah

Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya
pengetahuan taau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat
agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada
umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hak ini
didasarkan pada pandagan bahwa kaal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan
hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Dengan demikian, tujuan
yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang tersapat dalam
diri Tuhan. Dengan demikian, kelihatannya yang lebih dapat dipahami bahwa ma’rifah
menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara seoramg sufi dengan Tuhan.

B. Alat untuk Ma’rifah

Alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati),
namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris, karena qalb selain alat untuk
merasa adalah juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa
memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedang qalb bisa mengetahui
hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahay aTuhan, bisa mengetahui rahasia-
rahasia Tuhan.

C. Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah

Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini,
yaitu al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Al- Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid
Muhammad al-Ghazali, ia pernah belajar pada imam al-Haramain al-Juwaini, setelah
mempelajari ilmu agama ia mempelajari ilmu teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat, dan
lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupya. Adapun Zun al-Misri berasal
dari Naubah suatu negri yang terletak di Sudan dan Mesir. Beliaulah yang banyak sekali
menambahkan jalan buat menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit,
menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut terpaling dari jalan yang benar.

D. Ma’rifah Dalam Pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadis


Didalam al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur di ulang dan sebagian besar
dihubungkan dengan Tuhan. Misalnya ayat yang berarti “ Dan barangsiapa yang tiada diberi
cahaya (petunjuk) oleh Allah adalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS.al-Nur, 24:40)

Selanjutnya dalam hadis kita jumpai Sabda Rasulullah yang berarti “ Aku (Allah) adalah
perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku
ciptakanlah mahluk. Olehkarena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka
mereka itu mengenal Aku.” (Hadis Qudsi).

BAB 15

AL-FANA, AL-BAQA DAN ITTIHAD

A. Pengertian Al-Fana, Al-Baqa dan Ittihad

Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-Fasad
(rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain. Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti
kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan
sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan
al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah denggan Tuhan, karena tujuan dari fana dan
baqa itu sendiri adalah ittihad itu.

Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al-Baidawi,
yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari
yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa
terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau
tegasnya antara sufi dengan Tuhan.

B. Tokoh yang Mengembangkan Fana

Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan paham fana dan baqa ini. Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa
maka dari mulutnya yang keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati –hati
memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan,
padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman
batin bersatu dengan Tuhan.

C. Fana, Baqa dan Ittihad dalam Pandangan Al-Qur’an.

Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dnegan
firman Allah yang berarti “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya
maka hendaklah ia mengerjakan aal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepadanya. (QS. al-Kahfi, 18:110)

Paham ittihad juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa
berkata “ Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman:
Tinggallah dirimu (lenyapkan dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
BAB 16

AL-HULUL

A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Hulul

Secara harfiah hulul berati Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Jika sifat
ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri
Tuhan maka terjadilah Hulul. Al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia
dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari Hulul adalah mencapai persatuan secara
batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa al-Hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma
kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci
bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

B. Tokoh yang Mengembangkan Paham Al-Hulul

Sebagaimana telah disebutkan bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-
Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Dia tinggal sampai dewasa di
Wasith, dekat dengan Baghdad dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang
sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri Ahwaz.
Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki,
dan pada tahun 264 H. Ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang
sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan
riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf
yang cukup kuat dan mendalam.

BAB 17

WAHDAT AL-WUJUD

A. Pengertian dan Tujuan Wahdat Al-Wujud

Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud.
Wahdat artinnya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan
demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk
arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai
sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-
wahdah digunakan pula oleh para filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi
dengan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang
batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.

B. Tokoh yang Membawa Paham Wahdatul Wujud

Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di
tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan disana ia
masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. Ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun
1240 M.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak
wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan
filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-
belit dengan tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.

BAB 18

INSAN KAMIL

A. Pengertian Insan Kamil

Insan Kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah,
Insan berarti manusia, dan kamil berati yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti
manusia yang sempurna. Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan
menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi
sifatnya, bukan fisiknya. Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna,
dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui
terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik
lainnya.

Dengan demikian, insan kamil lebih ditunjukkan kepada manusia yang sempurna dari segi
pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan yang
bersifat batin lainnya dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya.

B. Ciri-Ciri Insan Kamil

1. Berfungsi akalnya secara optimal


Manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala
perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib
melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.
2. Berfungsi intuisinya
Insan kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya.
Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul).
3. Mampu menciptakan budaya
Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai
insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh
potensi rohaniahnya secara optimal.
4. Menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan
Pada uraian tentang arti insan tersebut diatas telah disebutkan bahwa manusi
atermasuk mahluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah).
5. Berakhlak mulia
Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang
sempurna memilik tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan, dan keindahan.
6. Berjiwa seimbang
Perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan
kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah.
BAB 19

TARIKAT

A. Pengertian dan Tujuan Tarikat

Dari segi bahasa tarikat berasal dari bahasa Arab thariqat yang artinya jalan, keadaan, aliran
dalam garis sesuatu. Jamil Shaliba mengatakan secara harfiah tarikat berarti jalan yang terang,
lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat. Selanjutnya pengertian tarikat
berbeda-beda menurut tinjauan masing-masing. Dapat diketahui bahwa yang dimaksud
dengan tarikat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang didalamnya berisi
amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai
penghayatan yang mendalam. Amalan dalam tarikat ini ditujukan untuk memperoleh
hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan.

B. Tarikat yang Berkembang di Indonesia

1. Tarikat Qadiriah, didirikan oleh Syaikh Abdul Qodir Jaelani dan ia sering pula disebut
al-jilli. Tarekat ini banyak menyebar di dunia Timur, tiongkok sampai ke pulau Jawa.
Pengaruh tarikat ini cukup banyak meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat
bacaan manaqib pada acara-acara tertentu.
2. Tarikat Rifa’iyah, didirikan oleh Syaikh Rifa’i. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin
Ali bin Abbas. Tarikat ini banyak tersebar di daerah Aceh, Jwa, Sumatera Barat,
Sulawesi dan daerah-daerah lainnya. Ciri tarikat ini adalah penggunaan tabuhan
rabana dalam wiridnya yang diikuti dengan tarian dan permainan debus.
3. Tarikat Naqsyabandi, didirikan oleh Muhammad bin Bhauddin al-Uwaisi al-Bukhari.
Tarikat ini banyak tersebar di Sumatra, Jawa, maupun Sulawesi. Amalan tarikat ini
tidak banyak dijelaskan ciri-cirinya.
4. Tarikat Samaniyah, didirikan oleh Syaikh Saman yang meninggal pada tahun 1720 di
Madinah. Tarikat ini banyak tersebar luas di Aceh, Palembang dan Jakarta. Ciri tarikat
ini zikirnya dnegan suara keras melengking khususnya ketika mengucapkan lafadz
lailaha illa Allah.
5. Tarikat Khalwatiyah, didirikan oleh Zahiruddin di Khurasan dan merupakan cabang
dari Tarikat Suhrawardi yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Suhrawardi. Tarikat
khalwatiyah ini mula-mula tersiar di Banten oleh Syaikh Yusuf al-Khalwati al-
Makasari pada pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Tarikat Al-Hadad, didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Hadad.
Tarikat Haddad banyak dikenal di Hadramaut, Indonesia, India, Hijaz, Afrika Timur,
dan lain-lain.
7. Tarikat Khalidiyah, didirikan oleh Syaikh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi. Tarikat ini
banyak berkembang di Indonesia dan mempunyai Syaikh Khalifah dan Mursyid yang
diiketahui berasal dari Banjarmasin dan daerah-daerah lain.

C. Tata Cara Pelaksanaan Tarikat


1. Zikir, yaitu ingat yang terus menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan
namanya dengan lisan.
2. Ratib, yaitu mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama
tertentu.
3. Muzik, yaitu dalam membaca wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan
bunyi-bunyian seperti memukul rebana.
4. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan tertentu
untuk menimbulkan kekhidmatan.
5. Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.

BAB 20

PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN DAN PERLUNYA AKHLAK


TASAWUF

A. Pengertian Masyarakat Modern

Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwardaminta mengartikan masyarakat sebagai pergaulan hidup
manusia. Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian
secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu
tempat dengan ikatan-ikatan tertentu yang bersifat mutakhir.

B. Problematika Masyarakat Modern

Bagi umat islam yang selalu diajarkan bersikap adil terhadap berbagai masalah, tampaknya
sikap pertengahan yang perlu diambil, yaitu sikap yang dari satu sisi mau menerima dan
memenfaatkan kemajuan di bidang iptek, sedangkan pada sisi lain kita berusaha menjaga agar
iptek tidak disalah gunakan.

Kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika


masyarakat modern sebagai berikut:

1. Disintegrasi Ilmu Pengetahuan


2. Kepribadian yang terpecah (split personality)
3. Penyalahgunaan Iptek
4. Pendangkalan iman
5. Pola hubungan materialistik
6. Menghalalkan segala cara
7. Stres dan frustasi
8. Kehilangan harga diri dan masa depannya
C. Perlunya Pengembangan Akhlak Tasawuf
a. Tasawuf melatih melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan
budi pekerti. Dengan cara demikian ia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan
tercela menurut agama.
b. Tarikat yang terdapat dalam tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa
istiqamah, jiwa yang selalu diisi dengan nilai-nilai ketuhanan. Ia selalu
mempunyai pegangan dalam hidupnya. Dengan demikian stres, putus asa dan
lainnya akan dapat dihindari.
c. Ajaran tawakal pada Tuhan menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh,
karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan.
d. Sikap frustasi bahkan hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sikap ridla
yang diaarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala
keputusan Tuhan.
e. Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini
dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang
tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh duniawi yang sementara itu.
f. Ajaran uzlah dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkat tipu
daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar
tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupan.
g. Pemikiran yang mengandung keunggulan dan kelemahan, maka masalah etika pun
masih mengandung masalah. Untuk itu yang diperlukan adalah akhlak yang
bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadis
h. Adanya sejumlah manusia yang kehilangan masa depannya, merasa kesunyian dan
kehampaan jiwa ditengah tengah derunya laju kehidupan. Untuk ini ajaran tasawuf
yang berkenaan dengan ibadah, zikir, taubat dan berdoa menjadi penting adanya.

BAB 21

PENUTUP

Sebagai sebuah ilmu hasil ijtihad manusia, akhlak tasawuf sama dengan ilmu lainnya. Disana
ada kekurangan, kelemahan, dan keganjilan dan disana pula ada kelebihan, kekuatan, dan
keistimewaan. Kiranya cara yang bijaksana yang perlu kita tempuh adalah apabila kita
mengambil kelebihan, kekuatan dan keistimewaan dari tasawuf itu untuk memandu hidup
kita, dan meluruskan paham-paham yang kurang proporsional. Sikap adil ini tampaknya
belum banyak berkembang dikalangan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai