NIM : 11190510000267
MATA KULIAH :AKHLAK TASAWUF
DOSEN PEMBIMBING : DRS. S. HAMDANI, M.A
JUDUL :AKHLAK TASAWUF (Prof. Dr. H. Abuddin Nata,M.A)
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PEMBUAT LAPORAN
Akhlak Tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual muslim, khazanah pemikiran dan
pandangan di bidang Akhlak dan Tasawuf itu kemudian menemukan momentum
pengembangannya dalam sejarah, yang antara lain ditandai oleh munculnya sejumlah besar
Hasil penelitian para ulama Islam terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa
hakikat agama Islam adalah akhlak. Melihat demikian pentingnya akhlak tasawuf, tidaklah
heran jika Akhlak tasawuf diterapkan sebagai mata kuliah. Dan mahasiswa diberikan tugas
untuk membaca salah satu buku akhlak tasawuf yang hasil bacaannya ditunjukan dalam
bentuk laporan.
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan
linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologik (peristilahan)
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif)
dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah
(kelakuan,tabiat, watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah(peradaban yang
baik), dan al-din (agama).
Sedangkan pengertian akhlak dari sudut kebahasaan ini dapat membantu kita dalam
menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, yaitu
Sebagaimana menurut Ibnu Miskawaih (w.421 H/1030 M) yaitu :“Sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan”.
Sementara Imam Al- Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah “Sifat yang tertanam
dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
Dalam Mu’jam al-Wasith, Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah: “Sifat
yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik
atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”
Dalam kitab Dairatul Ma’arif secara singkat akhlak diartikan sebagai “Sifat- sifat
manusia yang terdidik”
1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini
tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam
keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.
3. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjaknannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
5. Sejalan dengan ciri ke empat perbuatan akhlak (khusus perbuatan baik) adalah perbuatan
yang dilakuakna karena ikhlas semata-mata karena Alloh SWT.
Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri,
yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan,tujuan, rujukan, aliran dan para tokoh
yang mengembangkannya kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan
membentuk suatu ilmu.
Adapun pengertian ilmu akhlak adalah “Ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-
nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau
buruk.” Atau ilmu akhlak dapat pula disebut “Ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya
mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan
tersebut, yaitu apakah perbautan tersebut tergolong baik atau buruk.”
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan
manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk.
Dalam hubungan ini Ahmad Ain mengatakan “ Bahwa Obyek ilmu akhlak adalah membahas
perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan tersebut ditentukan baik atau buruk”.
Muhammad al-Ghazali mengemukakan bahwa kawasan pembahasan Ilmu Akhlak adalah
seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun
kelompok.Dalam masyarakat Barat kata akhlak sering diidentikkkan dengan etika, walaupun
pengidentikkan ini tidak sepenuhnya tepat. Mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika
mengatakan bahwa etika adalah penyelidikkan tentang tingkah laku dan sifat manusia.
Namun perlu ditegaskan kembali di sini bahwa yang dijadikan obyek kajian Ilmu Akhlak di
sini adalah perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan, sebenarnya, mendarah
daging dan telah dilakukan secara kontinyu atau terus menerus sehingga mentradisi dalam
kehidupannya. Dan dapat kita pahami bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dalam keadaan sadar, kemauan sendiri, tidak
terpaksa dan sungguh-sungguh atau sebenarnya, bukan perbuatan yang pura-pura.
Selain itu Ilmu Akhlak juga berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia
dari perbuatan dosa dan maksiat, Ilmu Akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam
mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Demikian
juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan
darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya darinya, menyebabkan orang
enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya
akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.
Dengan demikian dapat dikatakan secara ringkas bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk
memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia terhadap perbuatan yang baik agar ia
berusaha melakukannya, dan terhadap perbuatan yang buruk agar ia berusaha untuk
menghindarinya.
BAB 2
HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU LAINNYA
Para ahli Ilmu Tasawuf pada Umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian, yaitu :
1. Tasawuf Falsafi, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal
pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran
yang terdapat pada kalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia,
hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya.
2. Tasawuf akhlaki, Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang
tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli
(menghiasinya dengan akhlak yang terpuji) dan tajalli (terbukanya dinding
penghalang(hijab)) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Illahi
tampak jelas padanya.
3. Tasawuf Amalli, Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliyah atau wirid,
yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang
diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa Al-
Qur’an dan Al-Hadis mementingkan akhlak. Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf
masalah ibadah amat menonjol. karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan
serangkaian ibadah yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertawasuf itu ternyata erat hubungannya dengan
akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam
Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-Qur’an dikaitklan
dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya,
yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik, Inilah yang dimaksud ajaran
amar ma’ruf nahi munkar. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama
yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.
Ilmu Tauhid sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu
yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu sifat yang
terpenting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga disebut sebagai Ilmu
Ushul al-Din. Dan oleh karena itu buku yang mebahas soal-soal teologi dalam islam selalu
diberi nama Kitab Ushul al-Din. Disebut juga ilmu al-A’qaid, credo atau keyakinan-
keyakinan, dan buku-buku yang mengupas keyakinan-keyakinan itu diberi judul al-A’qaid,
Selanjutnya ilmu Tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti ilmu tentang
kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan. maka yang dimaksud
adalah kalam Tuhan yang ada di dalam Al- Qur’an. Selanjutnya kalau yang dimaksud kalam
adalah kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah ilmu yang
membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan
pendirian masing-masing.
Dari berbagai istilah yang berkaitan dnegna Ilmu Tauhid dapat kita peroleh kesan yang
mendalam bahwa Ilmu Tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan
meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid ini sekurang-kurangnya dapat kita lihat melalui
analisis sebagai berikut:
Berdasarkan analisis yang sederhana ini, tampak jelas bahwa rukun iman yang enam ternyata
erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dengan demikian dalam rangka
pengembangan Ilmu Akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran Tauhid atau keimanan
tersebut.
Ilmu Tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap Ilmu Akhlak, dan Ilmu Akhlak
tampil memberikan penjabaran dan pengamalan dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak yang
mulia tidak akan ada artinya, dan akhlak yang mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh. Selain itu,
tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut.
Disinilah letaknya hubungan yang erat dan dekat antara tauhid dan akhlak.
Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku .
Melalui ilmu jiwa dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang
bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan
sikap yang tenang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari
Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
Dengan demikian Ilmu Jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin manusia dengan
cara menginterpretasikan perilakunya yang tampak. Quraish Shihab berpendapat bahwa
walaupun kedua potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan
isyarat-isyarat dalam Al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dulu menghias diri manusia daripada
kejahatan.
Ilmu Jiwa dapat dijumpai dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai berbagai aspek
yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Semua aspek pendidikan
ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan islam
banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak.
Maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang hamba
Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya
serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia.
BAB 3
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama,
yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari
perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil yaitu
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat
dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang
berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. inti akhlak
pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam empergunakan potensi rohaniah yang dimiliki
manusia.
Dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji
lainnya. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori
pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Sebaliknya
akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan dari ketiga
potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan
sikap pintar busuk atau penipu dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan
sikap dungu atau idiot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu
lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.
BAB 4
Sejarah mencatat bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran
di bidang akhlak adalah Socrates. Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak,
karena ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan
antar manusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa keutamaan itu
adalah ilmu. Namun dengan demikian para peneliti terhadap pemikiran Socrates ada
yang mengatakan bahwa Socrates tidak menunjukkan dengan jelas tujuan akhir dari
akhlak. Akibatnya maka timbullah beberapa golongan yang mengemukakan teori
tentang akhlak yang dihubungkan pada Socrates. Keseluruhan ajaran akhlak yang
dikemukakan para pemikir Yunani tersebut tampak bersifat rasionalistik. Penentuan
baik buruk manusia didasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia.
Menurut agama ini bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan
bentuk patikan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut agama ini bahwa yang disebut baik ialah
perbuatan yang disukai Tuhan sertaMenurut agama ini bahwa Tuhan adalah sumber
akhlak. Tuhanlah yang menentukan bentuk patikan-patokan akhlak yang harus
dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut agama
ini bahwa yang disebut baik ialah perbuatan yang disukai Tuhan serta berusaha
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
Ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak
yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nasrani. Corak ajaran
akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu
nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam.
Pada masa itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah dan ahli syair.
Didalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dijumpai ajaran yang memerintahkan
agar berbuat baik dan menjauhi keburukan, mendorong pada perbuatan yang utama
dan menjauhi dari perbuatan yang tercela dan hina.
Ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama islam dengan titik
pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Semua ini terkandung dalam ajaran al-Qur’an yang
diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang didatangkan dari Nabi Muhammad SAW. Hukum-
hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok
akhlak dan perbuatan yang dapat dijumpai sumber yang aslinya didalam al-Qur’an.
Pada akhir abad kelima belas Masehi, Eropa mulai mengalami kebangkitan dalam bidang
filsafat,ilmu pengetahuan dan teknologi. Segala sesuatu yang dianggap mapan mulai
diteliti,dikritik, dan diperbaharui, hingga akhirnya mereka menerapkan pola bertindak dan
berpikir secara liberal. Diantara masalah yang dikritik dan dilakukan pembaharuan adalah
masalah akhlak. Penentuan baik buruk yang semula didasarkan pada dogma gereja diganti
dengan berdasarkan pandangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pengalam empirik.
BAB 5
A. Etika
Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Dalam KBBI, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak(moral). Dari
pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan
tingkah laku manusia. Adapun etika dari segi istilah Ahmad Amin misalnya, mengartikan
etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan manusia,menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
B. Moral
Dari segi bahasa berasal dari bahasa Latin mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat
kebiasaan. Di dalam KBBI dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap
perbuatan dan kelakuan. Dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menetukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
C. Susila
Susila atau kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Kata
tersebut berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu su da sila. Su berarti baik, bagus dan sila berati
dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Orang yang susila adalah orang yang kelakuan
baik, sedangkan orang yang a susila adalah orang yang berkelakuan buruk.
Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika,moral,susila dan akhlak
sama,yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk
ditentukan baik-buruk nya. Perbedaan antara etika,moral dan susila dengan akhlak adalah
terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik buruk. Jika dalam etika
penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila
berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang
digunakan untuk menetukan baik dan buruk adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis.
BAB 6
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam
bahasa Inggris. Louis ma’luf dalam kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa yang disebut baik
adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu
dikenal dengan istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik . Dengan demikian
yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak
disukai kehadirannya oleh manusia.
Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan
orang dalam menentukan baik dan buruk. Asmaran As, menyebutkan sebanyak empat aliran
filsafat, yaitu adat kebiasaan, hedonisme, intuisi dan evolusi. Pembagian yang dikemukakan
Asmaran As ini tampak sejalan dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat
yang mempengaruhi penentuan baik dan buruk itu ada empat yaitu, adat-istiadat, hedonisme,
utilitarianisme dan evolusi.
Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa diantara aliran-aliran filsafat yang
mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk ini adalah aliran adat-istiadat (sosialisme),
hedonisme, intuisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, dan evolusisme.
Sifat dan corak baik-buruk yang didasarkan pada pandangan filsafat adalah sesuai dengan
sifat dari filsafat itu sendiri, yakni berubah, relatif nisbi dan tidak universal. Dengan demikian
sifat baik atau buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif
dan nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik-buruk yang
dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya subyektif, lokal dan temporal. Dan
oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.
Menurut ajaran islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an
dan al- Hadis. Jika kita perhatikan al-Qur’an dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu
kepada baik, dan ada pula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang
mengacu kepada yang baik misalnya, al-hasanah. thayyibah, khairah, karimah, mahmudah,
azizah dan al-birr. Selain itu perbuatan yang dianggap baik dalam islam juga adalah perbuatan
yang sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah
perbuatan yang bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah itu.
BAB 7
A. Pengertian Kebebasan
Dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
B. Tanggung Jawab
Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk
menentukan dirinya sendiri, (2) Kemampuan untuk bertanggung jawab, (3) Kedewasaan
manusia dan (4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan
hidupnya.
C. Hati Nurani
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham
dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada
keburukan. Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu
dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu
kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang
demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.
Masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang
menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Disinilah letak
hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani dengan akhlak.
Karenanya dalam membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan
mengenai kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.
BAB 8
A. Hak
1. Pengertian Hak
Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan,
memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Poedjawijatna mengatakan
bahwa yang di maksud dengan akhlak ialah semacam milik, kepunyaan, yang tidak hanya
berupa benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pikiran itu. Di dalam al-Qur’an
kita jumpai juga kata al-haqq, sebagaimana dikemukakan oleh al-Raghib al-Ashafani adalah
al-muthabaqah wa al-muwafaqah artinya kecocokan, kesesuaian dan kesepakatan seperti
cocoknya kaki pintu sebagai penyangganya.
Memang ada bermacam-macam hak, tidak sama luas dan kuatnya. Dalam pada itu selalu ada
dua faktor yang menyertainya. Pertama faktor yang merupakan hal (obyek) yang di hakiki
(dimiliki) yang selanjutnya disebut hak obyektif. Hak ini baik bersifat fisik maupun non fisik.
Kedua, faktor orang (subyek) yang berhak, yang berwenang untuk bertindak menurut sifat-
sifat itu, yang selanjutnya disebut hak subyektif.
Dilihat dari segi obyek dan hubungannya dengan akhlak, hak itu secara garis besar dapat
dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu hak hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum, hak
mengembangkan keturunan (hak kawin), hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak
kebebasan berpikir dan hak mendapatkan kebenaran.
B. Kewajiban
Selanjutnya karena hak itu merupakan wewenang dan bukan kekuatan, maka ia merupakan
tuntutan, dan terhadap orang hak itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati
terlaksananya hak-hak orang lain. Dengan demikian masalah kewajiban memegang peranan
penting dalam pelaksanaan hak. Namunn perlu ditegaskan di sini bahwa kewajiban di sinipun
bukan merupakan keharusan fisik, tetapi tetap berwajib, yaitu wajib yang berdasarkan
kemanusiaan.
Di dalam ajaran islam, kewajiban ditempatkan sebagai salah satu hukum syara’, yaitu suatu
perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan
mendapatkan siksa.
C. Keadilan
Poedjawijatna mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak
(yang sah). Sedangkan dalam literatur Islam,keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan
untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara. Keadilan
ini terjadi berdasarkan keputusan akal yang dikonsultasikan dengan agama. Masalah keadilan
ini secara panjang lebar telah dibahas dan ditempatkan dalam teori pertengahan sebagai teori
yang menjadi induk timbulnya akhlak yang mulia.
BAB 9
AKHLAK ISLAMI
Akhlak islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging
dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran islam. Dengan kata lain akhlak islami adalah
akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak,
juga mengakui nilai-nilai yang bersifat lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai
yang universal itu.
Berbagai bentuk dan ruang lingkup akhlak islami dapat dipaparkan sebagai berikut:
BAB 10
PEMBENTUKAN AKHLAK
Pendapat para ahli mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan
akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan islam. Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak
perlu dibentuk, karena akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir.
Selanjutnya ada pula yang berpendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari
pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh.
Pembinaan akhlak dapat dilihat dari perhatian islam terhadap pembinaan jiwa yang harus
dilakukan daripada pembinaan fisik, Pembinaan akhlak dalam islam juga terintegrasi dengan
pelaksanaan rukun iman, dan selanjutnya rukun islam. Cara lain yang dapat ditempuh untuk
pembinaan akhlak ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara
kontinyu. Dalam tahap-tahap tertentu pembinaan akhlak khususnya akhlak lahiriah dapat pula
dilakukan dengan cara paksaan yang lama-kelamaan tidak lagi terasa dipaksa. Cara lain yang
tak kalah ampuhnya dari cara-cara diatas dalam hal pembinaan akhlak adalah melalui
keteladanan, selain itu pembinaan akhlak dapat pula ditempuh dengan cara senantiasa
menganggap diri ini sebagai yang banyak kekurangannya daripada kelebihannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khusunya dan pendidikan pada
umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer, yaitu:
1. Aliran Nativisme
Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa
kecenderungan, bakat, akal, dll.
2. Aliran Empirisme
Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial yang termasuk pembinaan
dan pendidikan yang diberikan.
3. Aliran Konvergensi
Berpendapat bahwa pembentukan akhlak yang dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu
pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat
secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial.
D. Manfaat Akhlak yang Mulia
Banyak dijumpai keterangan dalam hadis tentang datangnya keberuntungan dari
akhlak. Keberuntungan tersebut diantaranya adalah:
1. Memperkuat dan menyempurnakan agama
2. Mempermudah hitungan amal di akhirat
3. Menghilangkan kesulitan
4. Selamat hidup di dunia dan di akhirat
BAB 11
A. Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk
menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang
berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang ikut pindah dengan
Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani:nikmat), dan
suf (kain wol). Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dihubungkan dengan tasawuf.
Dari segi linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap
mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban
untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya
adalah akhlak yang mulia.
B. Sumber Tasawuf
1. Unsur Islam
Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber
ajaran islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para
sahabatnya.
2. Unsur Luar Islam
Dalam berbagai literatur yanng ditulis para orientalis barat sering dijumpai uraian
yang menjelaskan bahwa tasawuf islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama
masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia.
Ajaran islam sebagaimana diketahui bersumber pada wahyu al-Qur’an dan Sunnah al-Rasul.
Kedua sumber ini jelas bukan produk pemikiran manusia. Bagian dari ajaran islam ada yang
bersifat ajaran normatif, yaitu yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang tidak akan
mengalami perubahan dan ada yang bersifat non-normatif, yaitu yang bersumber pada akal
pikiran yang dapat dikembangkan bahkan diubah dan dibuang.
BAB 12
A. Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau
pangkal mulia. Istilah ini selanjtunya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat
dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
1. Al-Zuhud, Secara harfiah berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian.
2. Al-Taubah, berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali.
3. Al-Wara’, Secara harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
4. Kefakiran, Secara harfiah fakir biasanaya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh
atau orang miskin
5. Sabar, Secara harfiah sabar berarti tabah hati
6. Tawakal, Secara harfiah berarti menyerahkan diri
7. Kerelaan, Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang
B. Hal
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adlah takut (al-
Khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns),
gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-syukr).
BAB 13
MAHABBAH
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.Selain itu al-mahabbah
dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang
yang kasmaran pada sesuatu yang di cintainya. Dari sekian banyak arti mahabbah yang
dikemukakan di atas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang
dikehendaki dlam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara
ruhian pada Tuhan.
Para ahli tasawuf menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya
potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri
manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama,
al-qalb yaitu hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh
sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk mencintai Tuhan. Sir lebih
halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qalb.
Hmapir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan
ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang
tauhid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Menurut riwayatnya ia adalah
seorang hamba yang kemudia dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat,
bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala
bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya
ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam
keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
BAB 14
MA’RIFAH
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya
pengetahuan taau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat
agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada
umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hak ini
didasarkan pada pandagan bahwa kaal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan
hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Dengan demikian, tujuan
yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang tersapat dalam
diri Tuhan. Dengan demikian, kelihatannya yang lebih dapat dipahami bahwa ma’rifah
menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara seoramg sufi dengan Tuhan.
Alat yang dapat digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati),
namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris, karena qalb selain alat untuk
merasa adalah juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa
memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedang qalb bisa mengetahui
hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahay aTuhan, bisa mengetahui rahasia-
rahasia Tuhan.
Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini,
yaitu al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Al- Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid
Muhammad al-Ghazali, ia pernah belajar pada imam al-Haramain al-Juwaini, setelah
mempelajari ilmu agama ia mempelajari ilmu teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat, dan
lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupya. Adapun Zun al-Misri berasal
dari Naubah suatu negri yang terletak di Sudan dan Mesir. Beliaulah yang banyak sekali
menambahkan jalan buat menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit,
menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut terpaling dari jalan yang benar.
Selanjutnya dalam hadis kita jumpai Sabda Rasulullah yang berarti “ Aku (Allah) adalah
perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku
ciptakanlah mahluk. Olehkarena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka
mereka itu mengenal Aku.” (Hadis Qudsi).
BAB 15
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-Fasad
(rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain. Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti
kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan
sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan
al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah denggan Tuhan, karena tujuan dari fana dan
baqa itu sendiri adalah ittihad itu.
Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al-Baidawi,
yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari
yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa
terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau
tegasnya antara sufi dengan Tuhan.
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan paham fana dan baqa ini. Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa
maka dari mulutnya yang keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati –hati
memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan,
padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman
batin bersatu dengan Tuhan.
Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dnegan
firman Allah yang berarti “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya
maka hendaklah ia mengerjakan aal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepadanya. (QS. al-Kahfi, 18:110)
Paham ittihad juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa
berkata “ Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman:
Tinggallah dirimu (lenyapkan dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
BAB 16
AL-HULUL
Secara harfiah hulul berati Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Jika sifat
ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri
Tuhan maka terjadilah Hulul. Al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia
dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari Hulul adalah mencapai persatuan secara
batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa al-Hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma
kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci
bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-
Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Dia tinggal sampai dewasa di
Wasith, dekat dengan Baghdad dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang
sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri Ahwaz.
Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki,
dan pada tahun 264 H. Ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang
sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan
riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf
yang cukup kuat dan mendalam.
BAB 17
WAHDAT AL-WUJUD
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud.
Wahdat artinnya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan
demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk
arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai
sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-
wahdah digunakan pula oleh para filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi
dengan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang
batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di
tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan disana ia
masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. Ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun
1240 M.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak
wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan
filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-
belit dengan tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.
BAB 18
INSAN KAMIL
Insan Kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah,
Insan berarti manusia, dan kamil berati yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti
manusia yang sempurna. Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan
menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi
sifatnya, bukan fisiknya. Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna,
dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui
terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik
lainnya.
Dengan demikian, insan kamil lebih ditunjukkan kepada manusia yang sempurna dari segi
pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan yang
bersifat batin lainnya dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya.
TARIKAT
Dari segi bahasa tarikat berasal dari bahasa Arab thariqat yang artinya jalan, keadaan, aliran
dalam garis sesuatu. Jamil Shaliba mengatakan secara harfiah tarikat berarti jalan yang terang,
lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat. Selanjutnya pengertian tarikat
berbeda-beda menurut tinjauan masing-masing. Dapat diketahui bahwa yang dimaksud
dengan tarikat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang didalamnya berisi
amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai
penghayatan yang mendalam. Amalan dalam tarikat ini ditujukan untuk memperoleh
hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan.
1. Tarikat Qadiriah, didirikan oleh Syaikh Abdul Qodir Jaelani dan ia sering pula disebut
al-jilli. Tarekat ini banyak menyebar di dunia Timur, tiongkok sampai ke pulau Jawa.
Pengaruh tarikat ini cukup banyak meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat
bacaan manaqib pada acara-acara tertentu.
2. Tarikat Rifa’iyah, didirikan oleh Syaikh Rifa’i. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin
Ali bin Abbas. Tarikat ini banyak tersebar di daerah Aceh, Jwa, Sumatera Barat,
Sulawesi dan daerah-daerah lainnya. Ciri tarikat ini adalah penggunaan tabuhan
rabana dalam wiridnya yang diikuti dengan tarian dan permainan debus.
3. Tarikat Naqsyabandi, didirikan oleh Muhammad bin Bhauddin al-Uwaisi al-Bukhari.
Tarikat ini banyak tersebar di Sumatra, Jawa, maupun Sulawesi. Amalan tarikat ini
tidak banyak dijelaskan ciri-cirinya.
4. Tarikat Samaniyah, didirikan oleh Syaikh Saman yang meninggal pada tahun 1720 di
Madinah. Tarikat ini banyak tersebar luas di Aceh, Palembang dan Jakarta. Ciri tarikat
ini zikirnya dnegan suara keras melengking khususnya ketika mengucapkan lafadz
lailaha illa Allah.
5. Tarikat Khalwatiyah, didirikan oleh Zahiruddin di Khurasan dan merupakan cabang
dari Tarikat Suhrawardi yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Suhrawardi. Tarikat
khalwatiyah ini mula-mula tersiar di Banten oleh Syaikh Yusuf al-Khalwati al-
Makasari pada pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Tarikat Al-Hadad, didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Hadad.
Tarikat Haddad banyak dikenal di Hadramaut, Indonesia, India, Hijaz, Afrika Timur,
dan lain-lain.
7. Tarikat Khalidiyah, didirikan oleh Syaikh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi. Tarikat ini
banyak berkembang di Indonesia dan mempunyai Syaikh Khalifah dan Mursyid yang
diiketahui berasal dari Banjarmasin dan daerah-daerah lain.
BAB 20
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwardaminta mengartikan masyarakat sebagai pergaulan hidup
manusia. Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian
secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu
tempat dengan ikatan-ikatan tertentu yang bersifat mutakhir.
Bagi umat islam yang selalu diajarkan bersikap adil terhadap berbagai masalah, tampaknya
sikap pertengahan yang perlu diambil, yaitu sikap yang dari satu sisi mau menerima dan
memenfaatkan kemajuan di bidang iptek, sedangkan pada sisi lain kita berusaha menjaga agar
iptek tidak disalah gunakan.
BAB 21
PENUTUP
Sebagai sebuah ilmu hasil ijtihad manusia, akhlak tasawuf sama dengan ilmu lainnya. Disana
ada kekurangan, kelemahan, dan keganjilan dan disana pula ada kelebihan, kekuatan, dan
keistimewaan. Kiranya cara yang bijaksana yang perlu kita tempuh adalah apabila kita
mengambil kelebihan, kekuatan dan keistimewaan dari tasawuf itu untuk memandu hidup
kita, dan meluruskan paham-paham yang kurang proporsional. Sikap adil ini tampaknya
belum banyak berkembang dikalangan masyarakat.