Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Umuru bi maqasidiha merupakan salah satu daripada kaedah yang
digunakan oleh para Fukaha’dalam Qawa’id Fiqhiyyah. Dengan menguasai
kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui dan menguasai kaidah fiqh, karena
kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di
dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,
adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di
dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih
mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan
berkembang dalam masyarakat.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih yang
pertama, yaitu al-Umurubi Maqasidiha. Kaidah ini membahas tentang
kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu
dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi
larangannya. Ataukah dia tidak niat karena Alah tetapi agar disanjung orang
lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan Al-Umuru bi maqasidiha dalam qowaid fiqiyah?

C. Tujuan
1. Mengetahui kedudukan Al-Umuru bi maqasidiha qowaid fiqiyah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Al-Umuru Bi Maqashidiha


Maksud kata umuur. Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha
terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid. Secara
etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti
keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-
umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota.
Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik
ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hokum syara’ sesuai dengan maksud
dari pekerjaan yang dilakukan.1
Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan
maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-
qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti
alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi
sesuatu dan menuju.
Makna Niat, Kata niat (‫ )النيّة‬dengan tasydid pada huruf ya adalah bentuk
mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli
bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi
(niyah). Dapat diambil benang merah bahwa makna niat tidak keluar dari
makna literar linguistiknya, yaitu maksud atau kesengajaan. Sementara Ibnu
Abidin menyatakan niat secara bahasa berarti, kemantapan hati terhadap
sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti mengorientasikan ketaatan dan
pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan.

1
http://fikihilmiah.blogspot.com/2012/01/bab-ii-pembahasan-al-umuru-bi.html, diakses pada
15 Mei 2019, Jam 5:06

2
Dalam pengertian yang lebih khas, qa’idah dapat juga bermakna ajaran,
garis panduan, formula, pola atau metode. Qa’idah memiliki makna yang
sama dengan ‘asas’ atau ‘prinsip’ yang mendasari suatu bangunan, agama atau
yang semisalnya (al-Nadwi, 1991).
Kaidah pertama menegaskan bahwa semua urusan sesuai dengan maksud
pelakunya kaidah itu berbunyi: ‫“( األمور بمقـاصدها‬segala perkara tergantung
kepada niatnya”). Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu
dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi
laranganNya. Atau dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang
lain. 2
Niat itu diperlukan karena Untuk membedakan amalan yang bernilai
ibadah dengan yang hanya bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan,
minum, tidur dan lain-lain. hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi kita
sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang
seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam
aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih
konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa
memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Jika seseorang
mencaburkan diri ke dalam sungai apabila tidak berniat maka berarti ia mandi
biasa, tetapi jika ia berniat untuk berwudhu maka ia dihukumkan berwudhu.
Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan
amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti
halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur’an. Dan juga termasuk amalan yang

2
Abu Damid Muhammad bin Muhammad al-Ghazal, ihya Ulumi ad-diin, (Jakarta:Hidayah,
1996)Jilid 4,5I2

3
tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh
agama.
Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Dengan niat
itu kita bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan yang
berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’, mandi
besar, shalat dan puasa.
Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga syarat yang harus
dipenuhi. Pertama, adalah dengan adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah
perbuatan atau pekerjaan tersebut harus sesuai dengan yang disyariatkan oleh
Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Ketiga, adalah meng-istishhab-kan
niat sampai akhir pekerjaan ibadah.3

B. Asal Dalil Kaedah


1. QS. AL-Bayyina ayat 5
  
  
  
 
  
   
Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan
zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. AL-Bayyina
ayat 5).
2. QS. Ali Imron ayat 145
    
   

3
http://qawaid-fil-iqthishad.blogspot.com/2014/06/kaedah-asasi-1-al-umuur-
bimaqashidha_21.html, diakses pada 15 Mei 2019, Jam 5:29

4
    
  
   
   
 
Artinya:
sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan
(pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan
kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imron ayat 145).
3. ‫العمل لمن نية له‬
Artinya:
“Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat”(HR.Anas
Ibn Malik ra.)
4. Hadist NAbi SAW yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah
‫انمااالعمالبالنيات‬
Artinya:
“keabsahan amal-amal tergantung pada niat”.4

C. Cabang Kaidah Al Umuru Bimaqashidiha.


Dari qaidah tersebut terdapat beberapa qaidah lain dibawahnya antara
lain sebagai berikut:
1. ‫العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني لأللفاظ والمباني‬
Artinya:
“pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata
kata-kata dan ungkapannya”

4
Ma’shum Zainv Al-Hasim, Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah, ( Jombang : Darul
Hikmah, 2010), hal.26.

5
Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud
si pembuat dengan lafadz yang diucapkannya, maka harus dianggap sebagai
suatu akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama yang demikian itu masih
dapat diketahui.
Contoh: apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu
selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah
hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi
merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.5
2. ‫ﻜُلﱡ مَا ﻜَانَ لهُ ﺃصْلٌ فَﻼَ يَنْﺗَقِلُ عَنْ ﺃَصْلِهِ بِمُﺠَرﱠدِ النﱢيَة‬
Artinya:
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang
asal karena semata-mata niat”
Contoh : kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum
selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba
kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan
ingin hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak
diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.
3. ِ‫الَ ﺜَوَاﺐَ ﺇِالﱠ بِالنﱢيَة‬
Artinya:
“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.
Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan
perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu
ibadah yang mahdah maupun ibadah yang ‘ammah. Bahkan An-Nawawi
mengatakan bahwa untuk membedakan antara ibadah dengan adat, hanya
dengan niat. Sesuatu perbuatan adat, tetapi kemudian diniatkan mengikuti

5
Firdaus., Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah., (Padang: IAIN PRESS, 2010), hal. 53-58.

6
tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Maka ia berubah menjadi ibadah yang
berpahala
Contoh : seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia
mengajari orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana
mengoperasikan komputer, dalam hal ini ia mengajari orang tersebut dengan
niat karena Allah dan berniat untuk membagi ilmunya kepada orang lain.
Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan pahala. Sedangkan yang
kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya karena ingin mendapat imbalan
saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah orang yang diajarinya itu
sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan imbalan yang akan ia
peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam hal ini ia tidak
berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.6
4. ‫اللفظ عَلَى نِيَةِ الﻼَفِﻇ‬
ِ ُ‫مَقَاصِد‬
Artinya:
“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.
Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang
itu dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu
apa maksud dari perkataannya tersebut.
Contoh : kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut
dengan sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya
dengan sebutan yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan
kata-kata yang tidak baik, maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik
atau tidak tergantung maksud orang yang mengucapkannya. Apakah hal itu
dilakukan dengan sengaja ataukah hanya sekedar bercanda.

6
8uyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal.
234.

7
5. ِ‫واﺨْﺗَلَﻑَ اللِﺳَانُ وَالﻗَلْﺏُ فَالمُعْﺗَبَرُ مَا فِي الﻗَلْﺏ‬
Artinya:
“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang
dijadikan pegangan adalah yang didalam hati”.
Contoh : dari kaidah di atas yaitu sebagai berikut, apabila di dalam hati
kita bermaksud memberi hadiah kepada Ibu berupa tas kerja, tetapi pada saat
diucapkan kepada Ibu ketika mengajak ibu ke pasar bahwa kita hanya ingin
jalan-jalan saja. Maka yang dijadikan pegangan itu adalah yang ada di dalam
hati.

6. ‫ومايشترط فيه التعرض فالﺨطأ فيه مبطل‬


Artinya:
“Sesuatu yang (dalam niat) harus dipastikan, maka kesalahan dalam
pemastiannya akan membatalkan perbuatan.”
Contoh : orang menjalankan shalat duhur dengan niat shalat Ashar, puasa
arafah dengan niat puasa asyura, membayar kafarat pembunuhan dengan niat
kafarat Dhihar, kesemuanya tidak sah.
7. ‫ومايﺠﺐ التعرض له جملة وال يشترط ﺗعيينه ﺗفصيﻼاذاعينه وﺃخطأ ضر‬
Artinya:
“Seseuatu yang (dalam niatnya) harus disebutkan secara garis besar,
tidak harus terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci dan
nyatanya salah, maka membahayakan perbuatan”
Contoh : Orang shalat berjamaah dengan niat makmum pada Umar,
kemudian ternyata yang menjadi makmum adalah Zaid, maka tidak sah
makmumnya.
Orang shalat jenazah dengan niat menyembayangkan mayit laki-laki,
kemudian ternayata mayitnya perempuan, shalatnya tidak sah. Demikian
pula kalau dalam niatnya disebutkan jumlah mayit, dan ternyata jumlahnya
tidak cocok, maka shalatnya harus diulang.

8
D. Penerapan Qaidah Dalam Bidang Muamalah
Contoh penerapannya:
Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau
menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan
tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan
menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi
sejumlah uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan
kepada pemiliknya, maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu hilang
tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk
memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang
merampas harta orang). Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya
secara mutlak.
Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat
untuk mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya,
maka ia dibolehkan karena dharurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang
di Bank konvensional itu dengan tujuan/niat memperoleh bunga dari bank
itu, maka hukumnya haram.7

7
http://idr.uin-antasari.ac.id/6804/1/QAWAID%20FIQHIYYAH.%20revisidocx. pdf, diakses
pada 15 Mei 2019, Jam16 :24

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaedah al-Umur Bi Maqasidiha merupakan salah satu kaedah
Fiqhiyyah yang boleh digunakan oleh ahli fuqaha’ pada hal-hal dalam
menyelesaikan masalah ummat yang tidak terdapat didalam nas al-Quran dan
al-hadith, sama ada menggunakan kedah ijtihad, qiyas dan sebagainya,
ulamak pada hari ini juga perlu bijak menggunakan fikiran mereka dalam
mengeluarkan hukum, dimana hukum yang dikeluarkan mestilah
bersumberkan al-Quran, al-Hadith, Qiyas dan ijmak Ulamak kerana setiap
masalah yang berlaku berbeza mengikut peredaran zaman, dan agar hukum
yang dikeluarkan bersesuaian dan bertepatan dengan keadaan zaman tersebut.
Dapat disimpulkan juga disini, bahawa setiap sesuatu perbuatan
Mukallaf itu akan dikira berdasarkan niatnya, jika niatnya kearah kebaikkan
maka dia akan mendapat pahala, namun jika sebaliknya ia akan mendapat
kemurkaan daripada Allah swt. Niat juga merupakan salah satu alat pengukur
bagi perbuatan seseorang mukallaf sama ada dari segi
ibadah,muamat,muanakahat mahupun jenayah. Sesuatu aidabat itu akan
sempurna jika sesuatu perbuatan itu disertakan dengan niat.

Daftar Pustaka

10
http://fikihilmiah.blogspot.com/2012/01/bab-ii-pembahasan-al-umuru-
bi.html, diakses pada 15 Mei 2019, Jam 5:06
Abu Damid Muhammad bin Muhammad al-Ghazal, ihya Ulumi ad-diin,
Jakarta:Hidayah, 1996, Jilid 4,5I2
http://qawaid-fil-iqthishad.blogspot.com/2014/06/kaedah-asasi-1-al-
umuur-bimaqashidha_21.html, diakses pada 15 Mei 2019, Jam 5:29
Ma’shum Zainv Al-Hasim, Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah,
Jombang : Darul Hikmah, 2010.
Firdaus., Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah., Padang: IAIN PRESS,2010.
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011.
http://idr.uinantasari.ac.id/6804/1/QAWAID%20FIQHIYYAH.%20revisi
docx.pdf, diakses pada 15 Mei 2019, Jam 6 :24

11

Anda mungkin juga menyukai