PEMBAHASAN
,): (
) : (
Al-umuru dalam kaidah adalah, secara universal tidak terbatas
memiliki
: :
) (
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilan
kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.
(HR. Muslim No. 2564, dari Abu Hurairah)
Hujjatul Islam, Al Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:
Artinya: Ibnu Ajlan berkata bahwa tidak bernilai baik suatu amal
yang dikerjakan kecuali memenuhi 3 (syarat): Taqwa kepada Allah swt.,
niat yang baik, dan bersungguh-sungguh. Fudhail bin Iyadh berkata:
bahwasanya yang Allah inginkan dari kalian adalah niat dan kehendak
(baik) kalian.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
: :
:
) (
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya dalam agama dengan lurus.
) (
d. (Hadits kedua)
: :
) " (
" :
Disampaikan dari Yazid dari Ibrahim bin Saad berkata : ayah saya
(Ibrahim bin Abdurrrahman bin Auf) memberitahu dari Qasim dari
Aisyah R.a, berkata : Rasulullah Saw bersabda : Barang siapa yang
mengada-adakan dalam urusan agamaku ini dengan sesuatu yang tidak
berasal dari agama maka tertolak. (Muttafaq Alaih)
a. ( tidak ada pahala, kecuali disertai dengan niat)
Selama perbuatan-perbuatan itu tidak dianggap baik atau buruk jika
tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala
selama tidak diniati dengan baik, sebagaimana pendapat yang disepakati
oleh seluruh ulama. Sementara itu, tentang sahnya amalan, ada yang telah
disepakati oleh para ulama, bahwa niat itu sebagai syaratnya, seperti shalat
dan tayammum dan juga yang masih diperselisihkan, seperti niat dalam
wudlu. Dalam hal ini, Shifiiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa niat
itu termasuk fardhu (wajib). Sedangkan, Hanabilah berpendapat bahwa
niat itu sebagai syarat sahnya dan Hanafiyyah berpendapat bahwa niat itu
sunnah muakkad. Artinya, jika dengan niat, maka wudhunya merupakan
ibadah yang diberi pahala. Sedangkan, jika tidak diniati, maka tidak diberi
pahala walaupun shalatnya sah juga.
b.
c.
(perbuatan yang harus dijelaskan atau diterangkan secara garis besar, tidak
harus ditentukan secara rinci jika ditentukan dan ternyata keliru, maka
berbahaya).
Contoh kaidah ini sebagai berikut :
1) Seorang shalat jamaah dengan niat makmum kepada Ahmad, ternyata
yang menjadi imam bukan Ahmad, tetapi Muhammad, maka shalat
jamaah orang tersebut tidak sah. Hal tersebut didasarkan bahwa
keimamannya telah digugurkan oleh Ahmad, lantaran bermakmumnya
dengan Muhammad dengan tanpa diniati. Dalam hal ini, menentukan
imam dalam shalat berjamaah tidak disyaratkan, tetapi yang
syaratkannya ialah niat berjamaah.
2) Seorang shalat zuhur dengan menyatakan 3 (tiga) atau 5 (lima) rakaat,
maka shalatnya tidak sah, sebab menyatakan bilangan rakaat shalat itu
tidak merupakan syarat mutlak shalat.
d.
( perbuatan
yang tidak disyaratkan dijelaskan, baik secara garis besar maupun rinci,
jika ditentukan dan ternyata keliru, maka tidak berbahaya).
Contoh kaidah ini sebagai berikut:
1) Seseorang shalat asar dengan menyatakan niatnya shalat di masjid
Ulul Albab IAIN Sunan Ampel Surabaya, padahal dia shalat di masjid
Ngampel Surabaya, maka shalatnya tidak batal. Hal ini, karena niat
shalatnya sudah terpenuhi dan benar. Sedangkan, yang keliru adalah
pernyataan tntang tempatnya. Dalam hal ini, kekeliruan tentang
perrnyataan tempat shalat yang tidak ada hubungannya dengan niat
shalat, baik secara garis besar maupun secara rinci.
2) Seorang melakukan shalat dengan menyatakan dalam niat shalatnya
pada hari kamis, padahal harinya adalah hari jumat, maka shalatnya
tidak batal sama sekali, karena menentukan hari dan tanggal dia shalat
tidak disyariatkan.
e.
( tujuan lafal itu bergantung
membaca
alQuran,
maka
yang demikian
itu
jelas
10
f.
( yang dimaksud dalam
akad adalah maksud atau makna, bukan lafal atau bentuk perkataan).
Kaidah ini bermakna bahwa dalam suatu akad jika terjadi perbedaan antara
maksud (niat) orang yang melafalkan dengan apa yang diucapkan maka
yang dianggap akad adalah niat atau maksudnya, selama yang demikian
itu masih diketahui. Misalnya, ada dua orang yang mengadakan transaksi
dengan lafal membeli barang dengan syarat adanya pembayaran harga
barang itu, maka transaksi ini dianggap sebagai transaksi jual beli, karena
transaksi inilah yang dimaksud atas makna dari pembuatan transaksi,
bukan transaksi pemberian sebagaimana dikehendaki oleh lafal.