Anda di halaman 1dari 9

REVIEW

MATA KULIAH IBADAH DAN AKHLAK

“Thaharah”

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ibadah dan Akhlak


Dosen Pengampu: Dra. Marissa, MA

Disusun Oleh:
Teddy Hardiansyah
NPM. 71200517003
Program Studi Pendidikan Kimia

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
TA. 2021/2022
A. Pengertian Thaharah

Thaharah adalah salah satu bagian dalam ilmu Fiqh dan merupakan kajian utama
kitab-kitab para ahli hukum Islam, karena thaharah merupakan faktor penentu diterima atau
tidaknya ibadah seseorang di hadapan Allah SWT. Thaharah adalah hal yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Karena orang yang ingin beribadah kepada Allah SWT, tanpa
kehadiran Thaharah tidak diterima oleh kekuasaan, dan Thaharah juga mempengaruhi
kesehatannya. Oleh karena itu, hal terpenting yang perlu kita pelajari dalam mempelajari ilmu
fiqih adalah maslah Thaharah.
Kata thaharah sendiri berasal dari bahasa Arab, artinya suci, tidak kotor (hadaś
Adakalanya suci menurut hakikat yang sebenarnya seperti bersuci dengan air, atau menurut
hukum seperti bersuci dengan tanah ketika bertayamum. Demikian pula, kesucian tidak
hanya berarti suci dari haid, tetapi juga suci dari hadas dan najis, suci dari lahir dan suci dari
batin.
Menurut Syariat Islam, Thaharah adalah kegiatan yang disucikan dari Hadath dan
Najis, memungkinkan seseorang untuk melakukan ibadah yang harus dalam keadaan suci,
seperti shalat. Kegiatan bersuci dari najis (thaharah) meliputi bersih dan suci dari pakaian dan
tempat.
Hukum bersuci ini wajib dan didasarkan pada firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 222
yang berbunyi:

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-
orang yang mensucikan diri.
Dan juga sabda Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:

Artinya: “Bersuci adalah separuh dari iman.”(HR. Muslim)


Dengan melihat landasan hukum Thaharah di atas, kita dapat memahami bahwa
Thaharah adalah suatu kondisi yang diakibatkan oleh hilangnya hadash atau kotoran. Dan
Hadath adalah keadaan yang menghalangi shalat (ibadah). Thaharah menurut syara dibagi
menjadi dua bagian. Artinya, "Thaharah minal hadas " (bersih dari najis) dan "Thaharah
minal khubus" (bersih dari kotoran).
Thaharah sendiri menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Thaharah
menentukan boleh dan sah atau tidak boleh dan tidak sah pelaksanaan Ibadah Mahdah dan
kegiatan lainnya. Misalnya, seseorang yang tubuhnya terkena najis ia tidak boleh melakukan
shalat sebelum bersuci , dan seorang wanita selama menstruasi ia tidak boleh melakukan
shalat dan hubungan seksual (jima’) dengan suaminya sebelum bersuci (mandi wajib).
B. Sarana Thaharah
Sarana ataupun perlengkapan untuk Thaharahh ialah dengan air serta tanah( debu)
sebagai pengganti daripada air, baik air dapat digunakan untuk berwudhu’ serta mandi,
sebaliknya tanah bisa digunakan untuk tayamum( pengganti wudhu’ apabila tidak ada air).
Berwudhu’ digunakan buat bersuci dari hadas kecil, serta mandi digunakan buat bersuci dari
hadas besar, air sebagai sarana Thaharahh bisa dipecah sebagai berikut:

1. Air Multaq
Air mutlaq ialah air yang suci serta bisa digunakan untuk bersuci dari hadas serta
najis. Yang tercantum golongan air mutlaq ini, seperti air hujan, air sumur( air zam-zam), air
salju( termasuk pula es, embun), air mata air, air sungai, serta air laut. Sebagaimana firman
Allah SWT dlam surah Al-Anfal ayat 11, yang berbunyi:

Artinya: Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dari
hujan itu.
Dan juga hadis Nabi Muhammad SAW:

Artinya: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, dengan katanya: wahai Rasulullah,
kami berkendaraan dilaut dan kami hanya membawa sedikit air, apabila kami wuḑu‟
dengan air itu, kami akan kehausan, apakah boleh berwuḑu‟ dengan air laut? Maka
Rasulullah
menjawab: laut itu airnya suci, bangkainyapun halal.

2. Air Musta’mal
Air musta’mal ialah air sisa yang mengenai tubuh manusia sebab sudah digunakan
untuk wudhu’' serta mandi, disebut air mustamal. Sayid Sabiq mengutarakan kalau air
mustamal merupakan, air yang terpisah dari anggota- anggota tubuh orang yang berwuḑu
ataupun mandi. Hukum air mustamal sebagaimana air mutlaq, suci serta mensucikan tanpa
perbandingan sedikit juga perihal ini mengingat asalnya yang suci, serta tiada ditemukan
sesuatu alasanpun yang mengeluarkannya dari kesucian itu.
Hadiś nabi yang menerangkan hal ini; diantaranya hadiś dari Ruba’iyi’ binti Mu’awiz
dalam menerangkan wudhu’’ Rasulullah, ia berkata: Nabi mengusap kepalanya dengan sisa
air wudhu’ yang terdapat pada kedua tangannya, hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Tarmizi dan Abu Daud, yang dalam lafaz Abu Daud dikatakan:

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w mengusap kepalanya dengan sisa air wuḑu‟ yang
ada pada kedua tangannya”.
Hadis lain dari Abu Hurairah:

Artinya: “Bahwa nabi s.a.w menjumpai (Abu Hurairah) disalah satu jalan di Madinah,
sedang ia dalam keadaan junub, maka ia sembunyisembunyi dari nabi, dan pergi kemudian
mandi, barulah datang pada Nabi maka berkata Nabi: kemana engkau hai Abu Hurairah?
Abu Hurairah berkata: aku sedang junub maka aku tidak senang bersama engkau sedang
saya tidak berbadan suci, maka Nabi bersabda: Maha suci Allah sesungguhnya orang
mu‟min itu tidak najis.”
Menyimak hadis di atas, akan diketahui kalau air yang sudah digunakan buat wudhu’
ataupun mandi boleh( sah) untuk bersuci, sebagaimana air mutlaq, sepanjang tidak bercampur
ataupun terserang najis. Serta sekalian membuktikan kalau tubuh manusia muslim yang
berwudhu’' ataupun mandi bukanlah najis, apalagi hukumnya suci.

3. Air Makruh
Air makruh ialah air yang suci serta bisa mensucikan namun makruh buat digunakan,
semacam air musyammas( air yang dipanaskan dngan panas matahari) dalam tempat logam
yang terbuat bukan dari emas ataupun perak.

4. Air Suci Namun Tidak Bisa Mensucikan


Air Suci namun tidak bisa mensucikan ialah air yang bisa diminum, namun tidah sah
untuk digunakan bersuci. misalnya air teh, air kopi, air soda, air kelapa dan sebagainya.

5. Air Mutannajis
Air mutannajis ialah air yang terserang najis, air muttannajis apabila kurang dari dua
kullah tidak legal buat bersuci, namun apabila lebih dari dua kullah serta tidak berganti
sifatnya( bau, rupa serta rasanya) hingga sah buat digunakan untuk bersuci.

6. Debu ataupun Tanah Yang Suci


Tanah yang suci ialah bagian permukaan tanah yang suci berupa debu, pasir, batu
ataupun tanah tandus, Tanah ini jadi sah digunakan untuk bersuci pada saat tidak terdapat air
ataupun pada saat tidak dapat memakainya sebab sakit maupun semisalnya.

C. Macam-Macam Taharah
Ajaran kebersihan serta kesucian dalam Islam antara lain kelihatan dari
disyariatkannya ibadah salat yang dilakukan lima waktu dalam setiap harinya. Untuk
melakukan salat, dimulai dengan berwudhu’ serta ataupun mandi janab yang merupakan
ketentuan saat sebelum melaksanakan salat; serta bisa pula dilakukan dengan mensucikan
bathiniyah melalui pengesaan Allah swt, semacam menghindarkan diri dari menyekutukan-
Nya( syirik, kufur), serta menghindarkan diri dari sifat- sifat tercela semacam dengki, iri hati,
riya serta lain sebagainya. Kesucian secara lahiriyah merupakan menghindarkan diri dari
terserang najis hakiki( semacam kotoran manusia yang menimpa tubuh, baju maupun tempat
dimana hendak melakukan salat), ataupun najis hukmi ( semacam mengenai tubuh ataupun
dengan kata lain dalam kondisi junub) jadi, secara universal kesucian lahiriyah serta
batiniyah merupakan hakikat Thaharah, sehingga dengan demikian orang yang dalam kondisi
suci, bisa melaksanakan ibadah kepada Allah sesuai dengan perintah serta ajarannya,
sementara itu peranan Thaharah ialah ketentuan untuk sah atau tidaknya dari suatu ibadah.
Ulama (fuqaha) memperkenalkan dalam kitab karangan mereka akan beberapa
macam Thaharah, sebagai berikut:
1. Wudhu’
Wudhu’ menurut bahasa: berarti kebersihan. Sedangkan menurut istilah adalah: sifat
yang nyata yang dilakukan dengan anggota badan tertentu, yang dapat menghilangkan hadas
kecil yang ada hubungannya dengan salat. Wahbah Zuhayli dalam bukunya Al-Fiqhu Al-
Islami
Waadillatuhu, mendefinisikan wudhu’ adalah: air yang suci pada anggota badan (muka,
tangan, sebagian kepala dan kaki) berdasarkan sifat yang telah ditetapkan oleh syara’
Sedangkan menurut istilah syara’ wudhu’ adalah: membasuh muka, kedua tangan sampai
siku, mengusap sebagian kepala dan membasuh kaki didahului dengan niat dan dilakukan
dengan tertib.
Perintah wudhu diberikan kepada orang yang akan mengerjakan shalat, dan menjadi
salah satu dari syarat sahnya halatalat. Firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah: 6

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu hendak mengerjakan şalat, maka
basuhlah mukamu, dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kakimu
sampai mata kaki
2. Tayammum.
Secara bahasa artinya adalah menyengaja, sedangkan menurut syara’ ialah
menyengaja tanah untuk menghapus muka dan kedua tangan dengan maksud dapat
melakukan shalat dan lain-lain. Dibolehkan bertayammum bagi orang berhadats kecil
maupun berhadats besar, baik di waktu muqim maupun dalam perjalanan, jika dijumpai salah
satu sebabsebab berikut:
 Jika seseorang tidak memperoleh air, atau ada tetapi tidak cukup untuk bersuci. Tetapi
sebelum bertayammum itu, hendaklah ia mencari air dari bekal perjalanan atau dari
teman-temannya, atau dari tempat ia yang menurut adat tidak jauh, atau bila
tempatnya jauh, maka tidaklah wajib ia mencari.
 Jika seseorang mempunyai luka atau sakit, dan ia khawatir dengan memakai air itu
penyakitnya jadi bertambah atau lama sembuhnya, baik hal itu diketahuinya sebagai
hasil pengalamannya atau atas nasehat dokter yang dapat dipercaya.
 Jika air amat dingin dan keras dugaannya akan timbul bahaya disebabkan
menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut walaupun
hanya dengan jalan diupahkan.
 Jika air berada dekat seseorang tetapi ia khawatir terhadap keselamatan dirinya,
kehormatan dan hartanya atau ia khawatir akan kehilangan teman, atau di antaranya
dengan air terhalang oleh musuh yang ditakutinya baik itu berupa manusia atau
lainnya, atau bila ia terpenjara atau tidak mampu mengeluarkan air disebabkan tidak
punya alat-alat seperti tali dan timba karena adanya air dalam keadaan seperti ini juga
dengan tiada.
 Jika seseorang membutuhkan air, baik di waktu sekarang maupun belakangan untuk
keperluan minumnya atau minum lainnya.
 Jika seseorang sanggup menggunakan air, tetapi ia khawatir akan habis waktu bila
memakainya untuk berwudhu atau mandi
3. Mandi
Dimaksud dengan mandi ialah meratakan air yang suci pada seluruh badan dengan
disertai niat; sedangkan menurut istilah, AlJaziri dalam bukunya Al-Fiqhu Ala Mazahib Al-
Arba’ah mengemukakan bahwa mandi adalah: menggunakan (mengalirkan) air yang suci
untuk seluruh badan dengan cara yang telah ditentukan oleh syara’
Mandi artinya meratakan air keseluruh tubuh. Sebab-sebab diwajibkan mandi itu ada
lima, di antaranya karena keluar mani, bersetubuh (meskipun tidak keluar mani), haid dan
nifas, mati serta orang kafir bila masuk Islam. Mandi selain itu adalah sunat, seperti mandi
jum’at, dua hari raya, Ihram, Wukuf di Arafah dan Muzdalifah, memasuki kota Makkah, dan
tiga kali mandi pada hari-hari tasyrik, dan thawaf wada’.
4. Istinja’
Istinja ialah bersuci setelah buang hajat, apakah hajat berupa air besar atau air kecil. Istinja
dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan cebok. Islam telah menetapkan alat-alat untuk
istinja dan adab-adab ketika buang hajat. Alat yang digunakan istinja ialah air atau batu. Alat
ini didasarkan pada hadis-hadis berikut:

Dari Anas bin Malik r. a., ia berkata: Adalah Nabi saw. masuk ke kakus (WC), sementara aku
dan anak muda sebayaku membawakan seember air dan sebuah tongkat, lalu Nabi
Muhammad SAW. bersuci dengan air itu - (H. R. Bukhari dan Muslim).
Dari Ibn Mas’ud r. a., ia berkata: Ketika Nabi saw. mendatangi hajatnya (buang air besar),
maka beliau menyuruhku untuk membawa tiga batu - (H. R. Bukhari).
Daftar Referensi

BIBLIOGRAPHY Dr. H. Khoirul Abror, M. ( 2019). FIQH IBADAH. Yogyakarta: PHOENIX PUBLISHER.

DR. M. NASRI HAMANG NAJED, S. M. (2018). FIKIH ISLAM dan METODE


PEMBELAJARANNYA. Parepare: Universitas Muhammadiyah Parepare Press (Umpar
Press).
Lembaga Pengembangan Pendidikan Agama Islam (LEPPAI) UISU. (2016). Pendidikan
Agama Islam (Ibadah/Akhlak) Untuk Semeester III. Medan: CV. Manhaji.

Zainal Abidin, M. (2020). FIQH IBADAH. Yogyakarta: Penerbit DEEPUBLISH.

Anda mungkin juga menyukai