Anda di halaman 1dari 64

1

Fiqhul Ma’
Fiqih air

AIR

Ibadah dan bersuci


Dalam Riwayat Mu’adz bin Jabal disebutkan, ia berkata : Rasulullah Saw bersabda kepadanya : wahai
Mu’adz, apakah engkau tahu apa hak Allah Swt atas hambanya dan apa hak hamba atas Allah Swt.?

Aku menjawab : Allah Swt dan Rasulnya Saw lebih mengetahuinya.

Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya hak Allah Swt atas hambanya ialah mereka beribadah
kepada Allah Swt dan tidak menyekutukannya, sedangkan hak hamba atas Allah Swt ialah Allah Swt
tidak akan menyiksa mereka yang tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. 1

Ibadah merupakan sebuah ritual yang dibutuhkan oleh seorang hamba. Ibadah juga merupakan
bagian bentuk pengabdian seorang hamba kepada tuhannya. Allah Swt berfirman “ tidaklah aku
ciptakan jin dan manusia terkecuali agar mereka bisa beribadah kepadaku”

Dalam beribadah, seorang hamba dituntut agar senantiasa berada dalam kondisi bersih dan suci,
suci dari Hadats dan suci dari najis. Tuntutan suci dalam beribadah itu sendiri beragam, adakalanya
tuntutan dengan berdasarkan perintah tegas dari Syri’at ( Jazim / wajib ) dan ada pula yang
berdasarkan perintah yang tidak tegas ( Ghairu Jazim / Sunnat ).

Bersuci dan alatnya


Bersuci adalah upaya pembersihan diri dari perkara yang dianggap kotor dalam Syari’at Islam. Baik
perkara tersebut bersifat nyata seperti najis, atau bersifat Abstrak seperti Hadats.

Ada empat macam bersuci yang diajarkan agama Islam, keempat macam bersuci itu ialah Wudlu’,
Mandi, Tayammum dan menghilangkan najis.

Mengekor pada empat macam bersuci tersebut, maka benda yang bisa digunakan sebagai alat di
dalam bersuci hanya ada empat. Keempat benda itu masing – masing memiliki porsi penggunaan
yang berbeda dengan yang lain. Keempat benda itu adalah : Air, debu, batu dan benda - benda yang
bisa digunakan untuk menyamak kulit bangkai / benda yang memiliki rasa kelat atau sepat. 2

Pertama : Air, Air bisa digunakan untuk menghilangkan najis dan Hadats.

Kedua : Debu, debu bisa digunakan untuk ber-Tayammum dan sebagai campuran air pada salah satu
basuhan di dalam menyucikan najis Mughalladhoh ( berat ).

1
Hr : al Bukhari, 2856. Muslim, 30.
2
Sebagian ulama’ tidak menyebutkan batu sebagai alat bersuci, tetapi mereka menyebutkan Takhallul
( perubahan Khamer / bir menjadi cuka )
2

Ketiga : Batu, batu bisa digunakan sebagai alat untuk ber-Istinjak ( cebok ).

Keempat : benda yang memiliki rasa kelat, benda yang memiliki rasa kelat bisa digunakan untuk
membersihkan kulit bangkai sebelum disucikan dengan air.

Benda yang bisa menyucikan


Ada empat benda yang bisa digunakan sebagai alat di dalam bersuci, sebagaimana penjelasan
sebelumnya. Namun perlu diketahui, diantara keempat benda tersebut sebenarnya yang bisa
menyucikan hanyalah air, dan tiga benda yang lain hanyalah sebagai alat bantu di dalam bersuci
yang juga harus dipenuhi.

Debu yang digunakan di dalam ber-Tayammum sebenarnya tidak menghilangkan Hadats pada orang
yang ber-Tayammum. Diperbolehkannya melakukan ritual ibadah semisal Shalat bagi orang yang
sudah ber-Tayammum hanyalah sebagai bentuk kemurahan saja. Tayammum itu sendiri dilakukan
karena agar mendatangkan hukum boleh melakukan ibadah, bukan untuk menghilangkan Hadats.
Orang yang ber-Tayammum - meskipun Hadatsnya belum hilang - diperbolehkan melakukan ritual
ibadah yang mengharuskan suci dikarenakan ada unsur Dharurat berupa tidak bisa menggunakan
air.

Sedangkan Debu yang digunkan dalam menyucikan najis Mughalladhoh ( berat ), sebenarnya yang
dapat menyucikan disini adalah air, bukan debu. Debu disini hanyalah sebagai Syarat bagi air agar
bisa menyucikan najis berat, yaitu dengan mencampur keduanya pada salah satu dari tujuh basuhan
yang dilakukan.

Batu yang digunakan untuk cebok ( Istinjak ) sebenarnya tidak dapat membersihkan benda najis
berupa kotoran yang berada pada kemaluan depan maupun belakang. Cebok dengan menggunakan
batu masih menyisakan najis pada kemaluan yang diceboi. Hanya saja, meskipun demikian orang
yang cebok dengan menggunakan batu mendapat keringanan dalam melakukan ritual ibadah yang
mengharuskan suci dari najis, meskipun ia belum suci dari najis. Batu tidak dapat menyucikan.

Benda kelat atau sepat yang digunakan dalam menyamak kulit bangkai ( najis ) sebenarnya tidak
dapat menyucikaan kulit bangkai, sebab benda najis yang berupa kulit bangkai tidak bisa disucikan,
sebagaimana kotoran juga tidak bisa disucikan. Benda kelat ( menyamak ) berfungsi sebagai sarana
untuk meng –Ihalah / mengalihkan setatus kulit bangkai yang asalnya berupa benda najis menjadi
benda suci.

Mengapa hanya air


Kekhususan air sebagai satu – satunya alat bersuci merupakan keistimewaan yang diberikan Allah
Swt kepada Umat Nabi Muhammad Saw. Umat – umat terdahulu, di dalam menyucikan benda yang
terkena najis, mereka harus membuang atau merobek bagian yang di kenai najis, bukan dengan
menyucinya dengan air.
3

Namun mengapa hanya air saja yang bisa dijadikan alat bersuci.? Mengapa benda yang lain tidak
bisa.?

Al imam Abu al Ma’ali, al Juwainy, atau yang dikenal dengan sebutan al Imam al Haramain
menyatakan bahwa ketentuan bersuci dengan menggunakan air merupakan sebuah Ta’abbudiy
( perkara yang bersifat Ibadah atau pengabdian ) sehingga tidak perlu mencari atau menetapkan
sebuah alasan yang logis dan dapat dicerna oleh akal, sebab memang begitulah ketentuan yang
diberikan oleh Allah Swt kepada umat manusia.

Sedangkan ulama’ lain selain Imam al Haramain menyatakan sebaliknya. Dalam hal ini mereka
menampilkan sebuah alasan logis yang dapat dicerna oleh akal manusia. Mengapa bersuci hanya
bisa dengan air.?

Menurut mereka, alasan tepat mengapa dalam bersuci hanya bisa menggunakan air ialah
disebabkan air merupakan benda yang amat kecil dan lembut serta dapat menjamah bagian - bagian
yang tidak bisa terjamah oleh benda lain selain air, sehingga dengan sebab inilah Allah Swt
menjadikan air sebagai alat bersuci. Alasan ini merupakan alasan logis yang ditampilkan mereka
melalui penggalian serius dengan berfikir yang positif.

Dalil air sebagai alat bersuci


Air merupakan benda yang dapat digunakan sebagai alat bersuci dari najis3 dan Hadats.4

Dalil yang menyatakan air bisa menjadi alat bersuci dari Hadats ialah Firman Allah Swt dalam surat
an Nisa’ ayat ke 43 atau surat al Ma’idah ayat ke 6. Allah Swt berfirman :

‫ِإنْ َل ْم َت ِج ُدوا َما ًء َف َت َي َّممُوا‬

Jika kalian tidak menemukan air maka bertayammumlah ( Qs. an Nisa’, 43 )

‫َفلَ ْم َت ِج ُدوا َما ًء َف َت َي َّممُوا‬

Dan kalian tidak menemukan air maka bertayammumlah ( Qs. al Ma’idah, 6 )

Ayat ini merupakan ayat perintah bagi orang yang berhadats agar bertayammum tatkala tidak
menemukan air. ayat ini juga menunjukkan bahwa alat yang bisa digunakan untuk menghilangkan
hadats adalah air, dan selain air tidak bisa, sebab seandainya ada benda lain selain air yang bisa
digunakan sebagai alat bersuci / menghilangkan Hadats maka niscaya Allah Swt akan menyuruh
orang yang berhadats yang tidak menemukan air agar menggunakan benda tersebut. Tapi ternyata
tidak, Allah Swt memerintahkan mereka agar bertayammum demi mendapatkan kemurahan
bolehnya melakukan Shalat atau lainnya.

Sedangkan dalil yang menyatakan air bisa digunakan sebagai alat bersuci dari najis ialah sabda
Rasulullah dalam Hadits yang Shahih, yaitu tatkala ada seorang A’rabi / Sahabat Rasulullah Saw yang

3
Najis adalah setiap benda yang menjijikkan dan dapat mencegah hukum Sah di dalam Shalat.
4
Hadats adalah perkara abstrak yang berada pada tubuh dan dapat mencegah hukum Sah di dalam Shalat.
4

bernama Dzul Khuwaishirah al Yamany kencing di masjid. Setelah ‘A’rabi itu selesai dari kencingnya,
Rasulullah Saw bersabda kepada para Sahabat :

‫صبُّوا َعلَ ْي ِه َذ ُن ْوبًا مِنْ َما ٍء‬


َ

Tuangkanlah pada kencing tersebut setimba air.5

Perintah Rasulullah Saw berupa agar para Sahabat menuangkan air pada lantai yang dikencingi
sebagaimana dalam Hadits diatas - merupakan perintah wajib. Dalam Hadits diatas beliau
menyebutkan air sebagai alat untuk menyucikan lantai najis. Seandainya terdapat benda lain yang
bisa digunakan sebagai alat bersuci dari najis niscaya beliau akan menyebutnya.

Apakah air itu.?


Al Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar as Syatiri menuturkan di dalam kitabnya yang berjudul
Syarh al Yaqut an Nafis, ada beberapa ulama’ kontemporer yang berpendapat bahwa air adalah
cairan yang di dalamnya mengandung Hidrogen dan Oksigen ( H 2O ). Kedua kandungan ini harus
terdapat di dalam benda yang disebut dengan air.

Sedangkan Kebanyakan para ulama’ klasik mendifinisikan air dengan “ setiap sesuatu yang
bersumber dari bumi dan menetes dari langit, meskipun sesuatu tersebut memilki bentuk sifat yang
berbeda – beda ”, baik air tersebut memiliki warna jernih atau tidak, air tersebut memiliki rasa tawar
atau tidak, dls. Definisi ini merupakan definisi yang memudahkan, sebab untuk menetapkan sebuah
cairan sebagai air atau bukan tidak perlu meneliti terlebih dulu keberadaan Oksigen dan Hydrogen di
dalamnya.

Air yang termasuk dalam katagori sesuatu yang bersumber dari tanah dan menetes dari langit ialah
tujuh macam air berikut. Air yang bersuber dari bumi meliputi : air laut, air sungai, air sumber dan
air sumur. Sedangkan air yang menetes dari langit meliputi : air Hujan, air es atau salju dan air
embun.

Warna air
Imam al baijuri berkata : air adalah butiran yang amat kecil, lembut, jernih, menyegarkan dan akan
memancarkan warna sesuai dengan warna wadah yang di tempatinya. Dengan definisi ini muncul
sebuah pendapat ulama’ yang mengatagorikan air sebagai benda yang tidak memilki warna, warna
yang ditampilkan air merupakan warna yang tanpak dari wadah yang ditempaatinya, bukan warna
air itu sendiri. Pendapat ini merupakan pendapat yang Masyhur.

Sebagian ulama’ mengatagorikan air sebagai benda yang memiliki warna putih dengan alasan
seandainya air tersebut dituangkan maka akan tanpak padanya warna putih menyerupai busa, dan
tatkala air tersebut dibekukan atau dijadikan es maka akan lebih tanpak warna putih yang melekat
padanya.

5
Hr. Al Bukhari 1 / 323 ( 220 ). Imam Muslim dari Sahabat Anas Ra 1 / 237 ( 100 / 285 )
5

Air dan benda cair lain


Sebaimana yang telah diketahui, benda – benda cair yang dikeluarkan bumi tidak semuanya berupa
air. Bahkan benda cair selain air juga banyak yang dikeluarkan oleh bumi, misalnya saja bensin, gas,
minyak tanah dls. Oleh karenanya kita perlu mengetahui hukum – hukum yang terkait dengan
keduanya.

Air dan benda cair selain air ( cairan semisal bensin ), keduanya sama – sama merupakan benda cair
yang dikeluarkan bumi. Namun meski demikian keduanya memilki beberapa perbedaan di dalam
hukum dan penggunaannya. Keduanya juga memilki beberapa ciri atau sifat yang membedakan
antara keduanya, sebagaimana yang telah diketahui oleh manusia secara umum.

Mengenai hukum benda cair, al Habib Muhammad bin Ahmad as Syatiri menyebutkan ada sebagian
ulama’ kontemporer yang berpendapat boleh – boleh saja bersuci dengan menggunakan bensin, gas
dan minyak tanah, sebab benda – benda cair tersebut merupakan benda yang dikeluarkan bumi –
sama seprti air. Namun pendapat ini merupakan pendapat yang lemah dan telah mendapat
penolakan keras dari beberapa ulama’ ahli yang lain.

Menurut mereka ( ulama’ yang menolak ), bensin, gas dan minyak tanah tidak dapat digunakan
sebagai alat bersuci sebab benda – benda tersebut bukan termasuk air, tetapi cairan atau benda cair
( Ma’i’ ).

Macam – macam air

Tujuh macam air


As Syaikh Abi Syuja’ al Ashfihani menyebutkan, air yang bisa digunakan sebagai alat bersuci
jumlahnya hanya ada tujuh, yaitu air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air es / salju
dan air embun. Ketujuh air ini bisa diringkas dengan hanya menyebutkan “ air – air yang bersumber
dari bumi dan yang menetes dari langit ”.

Perlu diperhatikan, ketujuh air tersebut tetap dapat digunakan sebagai alat bersuci meskipun
memiliki sifat yang berlainan dengan sifat air pada umumnya. Misalnya air sumber yang keluar
dengan warna agak kemerah – merahan atau kekuning – kuningan dan atau memiliki rasa agak
busuk dls. Air sumber tersebut sekalipun berbeda dengan air sumber pada umumnya tetap bisa
digunakan sebagai alat bersuci, baik untuk menghilangkan Hadats atau najis.

I. Air hujan
Air hujan atau air yang menetes dari langit merupakan air mulia yang kemuliaannya melebihi air
yang bersumber dari bumi. Pendapat ini merupakan pendapat yang dianggap Mu’tamad oleh Imam
ar Ramli dan Imam Muhammad as Syarbini. Pendapat ini juga merupakan pendapat yang Ashah
6

menurut pernyataan yang tertera dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhaddab, karya Imam an
Nawawi. Pendapat ini tentunya merupakan pendapat yang berbeda dengan pendapat ulama’ lain
yang menyatakan air dari bumi lebih mulia dibandingkan air yang turun dari langit.

Para ulama’ masih memperselisihkan mengenai tempat yang menurunkan air hujan, apakah berasal
dari langit ataukah dari awan / mendung. sebagaimana Imam an Nawawi menyebutkan perselisihan
ini di dalam Daqa’iq al Minhaj.

Diantara para ulama’ ada juga yang mengompromikan kedua pendapat yang berselisih dalam
menetapkan tempat munculnya air hujan. Mereka mengatakan bahwa sebenarnya, pada mulanya
air hujan turun dari langit tetapi bukan dengan bentuk butiran kecil, kemudian air tersebut
tertangkap awan / mendung yang kemudian air tersebut turun ke bumi dengan bentuk butiran kecil
yang sudah disaring.

Sedangkan Dalil yang menyatakan air hujan bisa digunakan untuk bersuci adalah firman Allah Swt
dalam surat al Anfal ayat ke 11 atau surat al Furqon ayat ke 48.

‫َو ُي ُن ِّز ُل َعلَ ْي ُك ْم م َِن ال َّس َما ِء َما ًء لِ ُي َطه َِّر ُك ْم ِب ِه‬

Allah Swt menurunkan atas kalian air dari langit supaya kalian bisa bersuci dengannya ( Qs. al Anfal :
11 )

‫َواَ ْن َز ْل َنا م َِن ال َّس َما ِء َما ًء َطه ُْورً ا‬

Aku turunkan dari langit air yang menyucikan ( Qs. al Furqon : 48 )

II. Air laut


Kata air laut identik dengan rasanya yang asin. Para ulama masih berselisih pendapat mengenai rasa
air laut pada waktu awal penciptaannya. Sebagian ulama’ mengatakan air laut diciptakan Allah Swt
dengan rasa asin. Sedangkan menurut pendapat sebagian ulama’ yang lain air laut diciptakan Allah
Swt dengan rasa tawar yang kemudian rasa tawar itu diubah menjadi asin dengan tujuan agar air
laut tidak mejadi busuk ( awet ). Al Imam al Bujairami lebih memilih pendapat yang kedua, yang
menyatakan air laut asalnya adalah tawar, sebab menurut beliau air laut itu sebenarnya berasal dari
langit, dan semua air yang turun dari langit memilki rasa yang tawar sebagaimana Firman Allah Swt
dalam surat az Zumar ayat ke 21

‫ض َزرْ ًعا م ُْخ َتلِ ًفا ْأل َوا ُن ُه ُث َّم َي ِه ْي ُج َف َت َراهُ مُصْ َف ًّرا ُث َّم َيجْ َعلُ ُه حُ َطامًا‬
ِ ْ‫فسلَ َك ُه َي َن ِابي َْع فِيْ األر‬ َ ‫هللا ا ْن َز َل‬
َ ‫من ال َّس َما ِء‬ َ َّ‫الَ ْم َت َر اَن‬
Apakah engkau tidak memperhatikan bahwa Allah Swt menurunkan air dari langit, lalu diaturnya
menjadi sumber – sumber air di bumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkannya tanam – tanaman
yang bermacam – macam warnanya, kemudian menjadi kering. ( Qs. Az Zumar, 21 )

Al Allamah, Imam an Najm al Ghithi pernah ditanya mengenai rasa air banjir topan yang
menenggelamkan kaumnya nabi Nuh As. Beliau menjawab bahwa air banjir Topan pada wakatu
menenggelamkan kaum nabi Nuh memilki rasa tawar, kemudian setelah kejadian itu air topan
7

berubah menjadi asin. dan air laut yang ada pada saat ini merupakan sisa dari air banjir topan pada
zaman nabi Nuh as.

Al Imam, al Auhad, Abu al Hasan as Siddiqi juga berkomentar di dalam Tafsirnya yang berjudul “
Tashilus-Sabiil ”, beliau mengatakan bahwa air banjir topan memiliki rasa tawar.

Dikatakan oleh seorang ulama’ bahwa air banjir Topan itu berasal dari langit, dan tatkala banjir
sudah selesai, air tersebut menginginkan untuk kembali ke tempat asalnya yaitu langit, kemudian
Allah Swt berfirman kepadanya “ engkau kotor ” maka kemudian air tersebut berubah menjadi asin.

Sedangkan dalil yang menyatakan air laut bisa digunakan untuk bersuci adalah sebuah Hadits yang
telah di-Tashih oleh Imam at Tirmidzi.

‫ الحِل م ْي َت ُت ُه‬،ُ‫ه َُو ال َطه ُْو ُر َماُؤ ه‬

Laut itu airnya menyucikan dan bangkainya halal ( dikonsumsi ).6

III. Air sumur


Air yang terdapat di dalam semua sumur yang ada di muka bumi bisa digunakan sebagai alat untuk
bersuci, baik sumur itu berupa sumur yang dimuliyakan seperti sumur Zamzam, maupun berupa
sumur yang dihina atau yang dimurkai seperti sumur Barhut yang terletak di Hadramaut, Yaman dls.

Imam al Baijuri menyebutkan, keistimewaan air sumur ialah : biasanya air sumur pada musim dingin
terasa hangat dan pada musim panas terasa dingin dan segar. Demikian ini dikarenakan pada setiap
harinya ketika waktu malam akan tiba, Matahari pasti akan terbenam dan berdiam dibawah bumi
hingga munculnya fajar. Waktu malam - pada saat musim dingin - sangat panjang sehingga waktu
matahari berdiam di bawah bumi juga lama, dengan demikian maka air sumur pada musim dingin
terasa hangat. sedangkan waktu malam pada musim panas masanya tidak seperti lamanya ketika
musim dingin, sehingga waktu berdiamnya matahari di bawah bumi hanya sebentar, dengan
demikian maka air sumur pada waktu musim panas terasa dingin dan menyegarkan.

Sedangkan Dalil yang menyatakan air sumur bisa digunakan untuk bersuci ialah beberap Hadits yang
menyebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah berwudlu menggunakan air sumur Zamzam, sumur ar
Rumah, dan sumur Budlo’ah.

Ada sebuah Hadits riwayat Sahal Ra. Yang menyebutkan bahwa para Sahabat pernah bertanya
kepada Rasulullah Saw pada saat beliau berwudlu’ di sumur Budlo’ah. Beliau kemudian bersabda :

‫ال َما ُء َطه ُْو ٌر اَل ُي َنج ُس ُه َشيٌْئ‬

Air ( sumur ) itu menyucikan dan tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu. 7

6
Hr : Imam Malik 1 / 22. Imam as Syafi’i dalam al Umm, 1 /3. Imam Ahmad dalam al Musnad, 2 / 361. Ad
Darami, 1 / 185. Abu Dawud, 1 / 64 ( 83 ). At Tirmidzi, 1 / 100 ( 69 ). An Nasa’i, 1 / 50. Ibnu Majah, 1 / 136
( 386 )
7
Hadits ini dianggap Hasan oleh imam at Tirmidzi dan dianggap Shahih oleh imam Ahmad bin Hanbal
( Kifayatul Akhyar, 1, 6 )
8

IV. Air sungai


Pada umumnya air sungai memiliki rasa yang tawar. Air sungai tidak selamanya jernih sehingga pada
saat air sungai memiliki warna keruh hukumnya tetap bisa digunakan sebagai alat untuk bersuci.

As Syaikh Ibnu Zaulaq meriwayatkan dari Ka’ab bin Akhbar Ra, bahwasannya di dunia ini terdapat
emapat sungai yang yang berasal dari surga.

1. Sungai Nil ( di Mesir ), sungai ini merupakan telaga madu di dalam Surga. Sungai Nil adalah
sungai yang membentang di benua Afrika, panjang alirannya mencapai 6.650 km. Dan
membelah tak kurang dari sembilan negara, yaitu Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda, Tanzania,
Rwanda, Burundi, Sudan dan Mesir. Sungai Nil bersumber dari mata air di pegunungan
Kilimanjaro, Afrika timur. Sungai ini mengalir dari arah selatan ke utara dan bermuara di laut
tengah.
2. Sungai Furat, sungai ini merupakan telaga Khomer di dalam Surga. Sungai Furat atau Eufrat
bermata air di Anatolia, Turki, dan bermuara di teluk persia. Sungai ini membentang
sepanjang kurang lebih 2.781 km. Dan melewati tiga negara, yaitu Turki, Suriyah dan Irak.
3. Sungai Sihan ( di Mushoishoh, Syam ), sungai ini merupakan telaga air di dalam Surga. Sungai
Sihan mengalir dari anak bukit Anadolu di pegunungan ante toros, melewati Adana dan
bermuara di laut tengah, di timur laut teluk Iskandarun. Ada yang mengatakan sungai Sihan
adalah sungai Sihun di Turki.
4. Sunga Jihan, sungai ini merupakan telaga susu di dalam Surga. Sungai Jihan adalah sungai
yang terletak di daerah Mushoishoh, sama dengan sungai sihan.8

adapun Dalil yang memperbolehkan air sungai bisa digunakan untuk bersuci adalah kesepakatan
para Ulama’ ( Ijmak ), air sungai sama dengan air sumur.

V. Air sumber
Air sumber juga bisa digunakan sebagai alat bersuci dari Hadats atau najis. Termasuk katagori air
sumber adalah semua air yang dikeluarkan tanah, pegunungan serta air yang bersumber dari jari –
jari Rasulullah Saw pada saat beliau menampilkan Mukjizat-nya.

Adapun Dalil yang memperbolehkan air sumber sebagai alat bersuci ialah karena air sumber searti
atau sama dengan air sumur.

VI dan VI. Air es / salju dan air embun


Air Es atau air salju juga bisa digunakan untuk bersuci dari najis dan Hadats. Banyak komentar para
ulama’ mengenai eksistensi air es / Salju dan air embun. Pendapat mereka beraneka dalam
menyebutkan wujud asli dari air es dan air embun.

8
Keterangan mengenai empat sungai diambil dari hilyatul-auliya.blogspot.com
9

Imam al Baijuri berkomentar bahwa air es atau salju adalah air yang turun dari langit dengan bentuk
cair yang kemudian mengeras tatkala berada diatas bumi sebab terlalu dingin. Sedangkan air embun
adalah air yang turun dari langit dengan bentuk yang keras dan kemudian mencair diatas bumi.

Sebagian ulama’ juga berkomentar bahwa air es atau salju dan air embun sama – sama merupakan
air yang turun dari langit dengan bentuk cair, keduanya kemudian mengeras di udara. Dan kemudian
air salju turun ke bumi dengan bentuk yang masih mengeras, sedangkan air embun turun ke bumi
setelah mencair.

Sedangkan Dalil yang menyatakan air es / salju dan air embun bisa digunakan untuk bersuci ialah
Hadits riwayat Abu Hurairah Ra. Yang menjelaskan doa yang dibaca Rasulullah Saw saat Shalat
( sebelum membaca surat al Fatihah ). Diantara doa yang dibaca beliau adalah :

ْ ‫اغسِ ْلنِيْ منْ َخ َطايا َ ِب َما ِء‬


‫الثل ِج َوال َب َر ِد‬ ْ ‫اللهُم‬

Ya Allah, basuhlah kami dari kotoran / kejelekan dengan air salju dan air embun. 9

Setrata keutamaan air

Setrata air
Keberadaan macam air yang begitu banyak dapat menyebabkan timbulnya urutan keutamaan bagi
air itu sendiri. Ada beberapa air yang diutamakan di dalam agama Islam, dan keutamaan masing –
masing air tersebut berbeda – beda dalam tingkatannya.

Imam Tajuddin as Subky menyebutkan :

‫اص ِاب ِع النبي المُت َبع‬ ِ ‫منْ َبي‬


َ ‫ْن‬ َ ‫َواَ ْف‬
ْ‫ض ُل ال ِم َيا ِه َما ٌء َق ْد َن َبع‬

‫َف ِن ْي ُل مِصـ ْـ َر ُثم باقٍي األ ْنهر‬ ‫زم َفال َك ْوثــَ ُر‬
ٍ ‫َيلِيْـــ ِه َما ُء ز ْم‬
Paling utamanya air adalah air yang telah memancar

Dari sela – sela jari – jari Nabi Saw yang dianut

Air Zamzam mengiringinya kemudian air telaga Kautsar

Kemudian sungai Nil di mesir kemudian sungai – sungai lainnya.

Urutan air yang diutamakan adalah sebagaimana berikut : pertama : air yang memancar dari jari –
jari nabi Muhammad Saw. Kedua :air Zamzam. Ketiga : air telaga Kautsar. Keempat : air sungai Nil.

Pertama : Air yang memancar dari jari Rasulullah.

9
Hr : imam al Bukhari dan Imam Muslim ( Kifayatul- Akhyar, 1, 6 )
10

Semua Nabi as pasti dibekali oleh Allah Swt dengan Mukjizah, begitu Nabi Muhammad Saw. Diantara
Mu’jizat yang ditampilkan Rasulullah Saw ialah beliau memancarkan air dari jari – jari beliau atau
memperbanyak air yang sedikit.

Pada tragedi Hudaibiyyah, tatkala para Sahabat kehausan dan persediaan air tinggal sedikit,
Rasulullah Saw meminta kepada para Sahabatnya agar diberikan Rikwah ( semacam bejana yang
terbuat dari kulit dan digunakan wadah untuk minum ), maka para sahabat memberikan kepada
beliau Rikwah yang didalamnya hanya berisi air sedikit.

Kemudian Rasulullah Saw meletakkan tangan beliau di dalam Rikwah tersebut, dan dari jari – jari
beliau menyumberkan air sehingga air dalam Rikwah tersebut dapat diminum oleh semua Sahabat
Rasulullah Saw hingga puas.

Menurut Imam al Baijuri, Mu’jizat Rasulullah Saw diatas adalah Mu’jizat berupa mewujudkan
sesuatu yang tidak ada, bukan mempebanyak sesuatu yang sudah ada. Dengan demikian maka air
tersebut merupakan air yang muncul dari jasad suci Rasulullah Saw. Oleh karena itulah para ulama’
menyatakan bahwa air yang bersumbar dari jari – jari Rasulullah Saw merupakan air termulia di atas
semua air.

Bersuci dengan air yang mengalir dari diri Rasulullah Saw

Hukum menggunakan air yang mengalir dari tubuh Rasulullah Saw untuk bersuci adalah boleh dan
Sah, baik bersuci dari Hadats maupun dari najis. Hanya saja para Ulama’ menghimbau – seandainya
air itu masih ada saat ini – hendaknya tidak digunakan untuk bersuci, lebih – lebih bersuci dari najis.

Diantara para ulama ada yang berpendapat Haram menggunakan air tersebut untuk menghilangkan
najis, sebab air tersebut terlalu mulia jika hanya digunakan seperti itu. Pendapat ini merupakan
pendapat yang sangat lemah bahkan Syad. Sebagian ulama’ juga ada yang berpendapat Makruh, dan
pendapat ini dianggap kuat ( Mu’tamad ) oleh Imam as Syarbini. Sebagian ulama’ yang lain ada yang
berpendapat Khilaful-aula ( menyalahi yang utama ), dan pendapat ini dianggap kuat ( Mu’tamad )
oleh Imam al Bujairami dan al Baijuri.

Kedua :Air Zamzam


Ibnu Abbas berkata : Sholatlah kalian di Musholla ( tempat sholat ) nya orang – orang yang baik dan
minumlah kalian dari minuman orang – orang yang baik. Kemudian ada seseorang yang bertanya :
apakah minuman orang – orang yang baik itu.? Beliau menjawab : air Zamzam.

Al Bulqini bependapat bahwa air Zamzam merupakan air yang lebih utama dibandingkan dengan air
telaga Al Kautar, demikian ini sebab air Zamzam pernah digunakan untuk membasuh dada
Rasulullah Saw tatkala dibelah oleh Malaikat Jibril as. Tidaklah dada Rasulullah Saw dibasuh
terkecuali dengan menggunakan air yang paling Mulia. 10

10
Mughni al Muhtaj, 1, 49
11

Sumur Zamzam terletak di Masjidil haram, dekat dengan Ka’bah. Imam as Suyuti mengatakan
bahwa sumur Zamzam adalah tempat berkumpulnya arwah orang – orang yang Shaleh, sedangkan
arwah orang – orang Mukmin yang tidak Saleh berkumpul di sumur Ma’unah.

Imam al Bujairami berkata : sumur Zamzam diberi nama Zamzam ialah karena pada saat air Zamzam
keluar, air itu memancar ke kanan dan ke kiri ( kemana – mana ), sehingga dibuatlah tumpukan
tanah yang melingkari guna untuk mencegah air agar tidak kemana – mana. Zamzam artinya
mencegah, yaitu mencegah air agar tidak kemana – mana.

Asal muasal sumur Zamzam

Asal wujudnya sumur Zamzam ialah bermula ketika Nabi Ibrahim As menempatkan istrinya yang
bernama Hajar beserta dengan putranya yang masih bayi yang bernama Isma’il di tempat air
Zamzam saat ini. Disaat Hajar menyusui Nabi Isma’il dan meletakkan Jirab ( wadah dari kulit ) berisi
kurma serta Girbah ( wadah ) kecil yang berisi air, nabi Ibrahim pergi meninggalkan keduanya, maka
Hajar mengikutinya dan berkata “ mau kemanakah engkau.? Apakah engkau akan meninggalkan
kami di lembah yang sama sekali tidak terdapat orang yang bisa dipintai tolong.? ”. Nabi Ibrahim
tidak menjawab. Hajar mengulangi pertanyaannya berulang kali, dan nabi Ibrahim tetap tidak
menjawabnya.

Kemudian Hajar berkata “ apakah Allah Swt yang memerintahkanmu berbuat seperti ini.? ”.

Nabi Ibrahim menjawab : ya.

Hajar kemudian berkata : kalau begitu, Allah Swt tidak akan menyia – nyiakan kami.

Kemudian Nabi Ibrahim pergi, dan kemudian beliau menghadap kepada Allah Swt, mengangkat
kedua tangannya seraya berdoa “ yaa tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam – tanaman di dekat rumah engkau ( Baitullah )
yang dihormati. Yaa Tuhan, - demikian itu – agar mereka melaksanakan Shalat. Jadikanlah hati
sebagian orang cendrung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah – buahan. Mudah –
mudahan mereka bersyukur “ . ( Qs : Ibrahim, 37 ).

Tatkala persediaan air sudah habis, dan Hajar mulai merasa kehausan serta air susunya tidak
menyumber, maka Isma’il menangis dengan suara keras dikarenakan kehausan. Maka Hajar
kemudian pergi dari tempat itu guna mencari sesuatu yang bisa diminum. Ia tidak rela melihat
anaknya berda dalam kondisi seperti itu.

Hajar mendaki sebuah gunung Shafa dan kemudian memandang ke kanan dan ke kiri, tapi ia tidak
melihat seorangpun disana. Kemudian ia turun melewati lembah dan mendaki gunung Marwah, ia
berdiri disana, melihat ke kanan dan ke kiri tapi tetap tidak mendapai seorangpun disana. Hajar
melakukan seperti ini sebanyak tujuh kali, dan setiap sekali melakukan, ia mendatangi Isma’il,
memandangi dan mencari tahu apa yang terjadi padanya.

Pada kali yang ketujuh disaat Hajar mulai mendekati Marwah, ia mendengar sebuah suara, maka ia
berkata “ tolonglah kami ”. suara itu adalah suara Malaikat Jibril As. Jibril berkata “ siapakah
engkau.? ”. hajar menjawab “ akau adalah Hajar, ibu dari putra ibrahim yang bernama Isma’il ”. jibril
12

as bertanya lagi “ kepada siapakah Ibrahim memasrahkan kalian.? ”. hajar menjawab “ Allah Swt ”.
Jibril As berkata : “ dia telah memasrahkan kalian kepada Dzat yang mencukupi ”.

Kemudian Malaikat Jibril as berjalan dan diikiti oleh Hajar. Tatkala sampai di tempat air Zamzan saat
ini, Jibril memukulkan tongkatnya ke bumi sehingga muncullah air pada permukaan bumi. Dan ketika
aliran air itu hampir mendekati Isma’il maka Hajar membuat tumpukan tanah yang mengelilingi
sumber air tersebut untuk menyatukan air yang mengalir. Kemudian ia berkata : Zami zami,
( berkumpullah ) aku akan minum dan akan menyusui anakku. Sebagian ulama’ menyebutkan bahwa
penetapan nama Zamzam pada sumber tersebut diambil dari perkataan Hajar yang berupa : Zami
Zami.

Bersuci dengan air Zamzam

Dalam kitab al Majmuk, Imam an Nawawi menyebutkan adanya Ijmak atau kesepakatan para ulama’
atas Sah-nya bersuci dengan menggunakan air Zamzam. Namun para ulama’ menganjurkan agar
tidak menggunakan air Zamzam sebagai alat untuk menghilangkan najis, lebih lebih alat untuk
bercebok, sebab jika air zamzam digunakan untuk bercebok maka akan menyebabkan timbulnya
penyakit Bawasir bagi Mustanji ( orang yang bercebok ). Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam
Ibnu al Mulqin.

Imam ad Damairi dan at Thayyib, an Nasyiri menyebutkan, para ulama memang berbeda pendapat
mengenai hukum menggunakan air Zamzam untuk menghilangkan najis. Diantara mereka ada yang
mengatakan Haram, Makruh, Khilaful-Aula dan Mubah. Menurut Imam as Syarbini, pendapat yang
Mu’tamad adalah pendapat yang mengatakan Makruh. Pendapat ini dinukil dari Imam al
Mawardi.11. Sedangkan menurut Imam al Bujairami dan al Baijuri, pendapat yang mengatakan
Makruh merupakan pendapat yang Dlo’if / lemah, dan pendapat yang Mu’tamad adalah pendapat
yang mengatakan Khilaful Aula ( menyelahi yang lebih utama ).

Menggunakan air Zamzam dalam menyucikan najis tidak bisa dihukumi dengan haram, sebab
Sahabat Rasulullah Saw yang bernama Abu Dzar ra. pernah membersihkan darah pada dirinya -
ketika ia ditombak orang Quraisy dalam suatu peperangan - dengan menggunakan air Zamzam.
Asma’ binti Abu Bakar juga pernah menggunakan air Zamzam untuk memandikan mayat putranya
yang bernama Abdullah bin Zubair. Abdullah bin Zubair dibunuh oleh Hajjaj bin Yusuf dan kemudian
disalibnya beberapa hari. Pemandian mayat Abdullah bin Zubair dengan menggunakan air Zamzam
ini disaksikan beberapa Sahabat serta Tabiin, dan mereka tidak mengingkarinya.

Ketiga : air telaga Kautsar


Al Kautsar adalah telaga surga yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Telaga ini
kelak akan didatangi oleh setiap Umat Nabi Muhammad Saw. As Sayyid al Jurdani menyebutkan di
dalam kitabnya yang berjudul Fath al ‘Allam, telaga al Kautsar bukanlah Haudl ( telaga ) yang juga

11
Al Iqna’ dan Mughni al Muhtaj, 1, 49.
13

diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Al Kautsar terletak di dalam surga sedangkan al Haudl
terletek sebelum surga. Menurut sebegian ulama’, al Haud terletak sebelum Syirat ( jembatan ).

Al Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menyebutkan banyak sekali riwayat mengenai bentuk telaga
al Kautsar. Wal-hasil, dua tebing al Kautsar bertaburan permata, dan pasirnya berupa Misik, serta
kerikilnya berupa berlian.

Keempat : Sungai Nil


Sayyidina Abdullah bin Amr Ra. mengatakan bahwa sungai Nil adalah pemimpin sungai – sungai yang
ada di muka bumi ( Sayyidul anhar ).

Ada kisah menarik mengenai sungai Nil yang berada di Mesir. Sungai Nil, pada setiap tahun sekali
harus diberi tumbal seorang gadis jelita yang dihiasi dengan secantik mungkin, dengan dilengkapi
pakaian bagus dan perhiasan, kemudian gadis jelita itu diceburkan ke dalam sungai. Jika hal seperti
tidak dilakukan maka sungai Nil tidak akan mengalirkan airnya. Tradisi seperti ini merupakan tradisi
yang berlaku sebelum Islam masuk ke Mesir ( zaman Jahiliyyah ).

Setelah Islam masuk ke Mesir, dan Amr bin Ash menjabat sebagai gubernur disana , tradisi seperti ini
ditentang dan dihentikannya. Konsekwensi yang terjadi, Singai Nil tidak mengalirkan air selama tiga
bulan, dan hal ini tentu meresahkan warga mesir saat itu.

Maka kemudian Amr bin Ash menulis surat kepada Umar bin Khattab ra yang menjadi Khalifah saat
itu mengenai permasalahan yang dihadapinya. Setelah surat itu sampai kepada Umar bin Khattab,
beliau segera membalasnya dengan surat yang isi tulisannya sebagaimana berikut :

‫هللا فا ْف َع ْل‬ َ ‫ َوإنْ ُك ْن‬،‫فيك‬


ِ ‫ت تم َتدـ ِبأمْ ر‬ َ ‫اج َة لَ َنا‬ ٍ ‫ت ايها الن ْي ُل ال َت ْم َتد إال ِب َق ْتل َن ْف‬
َ ‫س م َُحرم ٍة فالَ َح‬ َ ‫ فإنْ ُك ْن‬: ‫أما بعد‬

Amma Ba’du, wahai Nil, jika engkau tidak mau mengalirkan air kecuali ( setelah ) membunuh jiwa
yang diharamkan maka kami tidak membutuhkanmu, tapi jika engkau mengalir dengan sebab
perintah Allah Swt maka mengalirlah.

Sayyidina umar bin Khattab ra memerintahkan agar suratnya itu dilemparkan ke sungai Nil. Setelah
surat itu dilemparkan, maka sungai Nil mengalirkan airnya kembali seperti sedia kala dan tidak lagi
meminta tumbal hingga saat ini.

Pembagian air
Sebagian ulama’ membagi air menjadi tiga bagian, yaitu

1). Air yang suci dan dapat menyucikan.

2). Air yang suci dan tidak dapat menyucikan.


14

3). Air yang tidak suci ( najis ).

As Syaikh Abi Suja’ al Asfihani serta sebagian ulama’ yang lain membagi air menjadi empat bagian,
yaitu dengan menjadikan bagian yang pertama ( Air yang suci dan dapat menyucikan ) menjadi dua
bagian, 1). Air yang tidak Makruh digunakan. 2). Air yang Makruh digunakan.

Sebagian ulama’ yang lain juga ada yang membagi air menjadi lima bagian, yaitu dengan menambah
bagian yang kelima yang berupa “ air yang suci dan bisa menyucikan serta haram digunakan ”.

Air yang suci dan menyucikan tapi Haram digunakan ialah air yang membahayakan badan, air Wakaf
yang khusus untuk diminum saja, air yang dihasilkan dari mencuri dan Ghasab dls.

I. Air yang suci dan menyucikan


Air yang suci dan dapat menyucikan benda lain yang terkena najis disebut dengan air Mutlak. Air
Mutlak adalah setiap air yang tidak memiliki pengikat baku. Atau setiap sesuatu yang disebut “Air”
begitu saja, tanpa ada predikat baku yang menyertainya.

Dengan definisi seperti ini, maka dapat disimpulkan bahwa air yang bisa digunakan bersuci ada dua,
yaitu air yang tidak memiliki pengikat sama sekali dan air yang memilki pengikat, tapi tidak baku.
Sedangkan air yang memiliki pengikat yang baku tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Air Mutlak tidak memiliki nama tertentu yang mengikatnya, sehingga apabila air Mutlak diletakkan
di dalam sebuah wadah maka air tersebut akan disebut dengan nama yang sesuai dengan nama
wadah yang ditempatinya. Jika air Mutlak diletakka di dalam timba maka disebut dengan air timba,
dan jika diletakkan di dalam bak mandi maka disebut dengan air bak mandi. Dls.

Berbeda dengan air yang memiliki nama yang mengikat, misalnya air kelapa atau air mawar. Kata
kelapa atau mawar yang terletak setelah kata air merupakan nama yang mengikat dan melekat
pada air, kapanpun dan dimanapun. Sehingga kapan dan dimanapun air tersebut diletakkan maka
nama kelapa dan mawar tidak bisa dipisahkan dari air, sebab kata kelapa dan mawar yang
menyertai kata air merupakan predikat baku yang tidak bisa terlepas. Air ini tidak Mutlak dan tidak
bisa digunakan untuk bersuci.

Sedangkan air yang memiliki pengikat tidak baku ialah seperti air sumur, air sumber, air sungai dls.
Kata sumur dan sungai yang terletak setelah kata Air merupakan pengikat yang tidak baku atau
pengikat sementara ( hanya untuk menyesuaikan dengan tempat saja ), sehingga apabila air sumur
atau air sungai tersebut diletakkan di dalam sebuah wadah maka nama air akan berubah mengikuti
nama wadah yang ditempati, bukan dikatakan air sumur atau air sumber lagi. Kata sumur dan sungai
yang terletak setelah kata air bukan kata yang melekat selamanya pada air ( tidak baku ).

Yang mengikat pada air


Ada tiga hal yang bisa mengikat pada air yang dengan sebab pengikat ini air tidak dapat lagi
dikatagorikan sebagai air yang Mutlak. Tiga hal tersebut adalah :
15

1) Idhafah : kata lain yang disandarkan pada kata air yang terletak setelahnya. Kata ini tidak
bisa dilepas dari air kapanpun dan dimanapun ( baku ). Seperti kata kopi, teh atau kelapa
yang terletak setelah air ( air kopi, air teh dan air kelapa ).
2) Sifat : kata lain yang terletak setelah kata air yang berfungsi sebagai Sifatnya. Seperti kata
Najis, Musta’mal12 dls. ( air yang najis atau air yang Musta’mal ).
3) Hurul Al ( alif dan lam ) yang menyertai kata air ( Ma’ ) dalam bahasa Arab ( kata Ma’
menjadi al Ma’). Yang dimaksud dengan huruf Al disini adalah huruf Al yang berfungsi untuk
Lil Ahdi, atau untuk menjelaskan bahwa arti Al Ma’ ( lafal yang disertai Al ) tersebut adalah
bukan air, tetapi benda lain yang sudah diketahui melalui penyebutan lafal sebelumnya (
Dzikri ) atau pengertian dari lafal sebelumnya ( Dzihni ).

Misalnya dalam sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Ummu Salamah pernah bertanya
kepada Rasulullah Saw “ apakah seorang wanita wajib mandi tatkala ia bermimpi basah ”.
Rasulullah Saw menjawab : ya, ketika dia melihat al Ma’ / air. Arti dari Al Ma’ disini bukanlah
air tetapi seperma.

Air yang terikat


Air yang memilki pengikat baku terbagi menjadi dua; yaitu

1). air yang memiliki predikat baku dari asal ( air yang memang diciptakan Allah Swt dengan disertai
predikat baku ), misalnya air kelapa, air seperma dls. Dalam bahasa Fiqih, air seperti ini sebenarnya
tidak disebut dengan air, tetapi disebut dengan cairan. Oleh karenanya air seperti ini tidak akan bisa
dan tidak mungkin pernah berubah menjadi air yang menyucikan.

2). Air yang aslinya tidak memiliki predikat baku. Dengan kata lain, air ini adalah air Mutlak yang
kemudian berubah menjadi air tidak Mutlak ( terikat ) disebabkan penyebab baru. Yaitu Air Mutlak
yang bercampur dengan sabun, teh, kopi atau air Mutlak yang menjadi Musta’mal atau najis.

Air seperti ini terkadang bisa berubah kembali menjadi air Mutlak ( air yang menyucikan ) tatkala air
yang bercampur sabun tersebut berubah kembali pada sifat semula ( menjadi bening ) dengan
sendirinya. Atau tatkala air Musta’mal ditambah dengan air Mutlak hingga mencapai lebih dari 2
Qullah ( 190 liter ). Atau tatkala air yang terkena najis ditambah dengan air Mutlak hingga mencapai
2 Qullah dan perubahan sifatnya kembali hilang ( kembali ke sedia kala ).

Termasuk air Mutlak


Diantara air – air yang juga tergolong air Mutlak ialah

a. Air Mutlak yang direbus serta uap dari air rebusan yang sudah meleleh menjadi air. Menurut
Imam ar Rafi’i uap tersebut tidak disebut air Mutlak.
b. Air yang memilki pengikat sementara atau pengikat yang hanya untuk menyesuaikan dengan
tempat, seperti air sumur, air laut dls.
12
Air Musta’mal adalah air sedikit yang sudah digunakan di dalam bersuci
16

c. Air yang mengalami perubahan sifat ( warna, bau dan rasa ) yang mencolok akibat sesuatu
yang berada di tempat mengalirnya air ( Mamarrihi ) dan tempat bermuaraya air ( Maqarrihi
)
d. Air yang mengalami perubahan sifat yang mencolok dengan sebab sesuatu yang sulit
dihindarkan dari air ( Mustagnan minhu ), seperti air yang berubah dengan sebab lumut dan
lumpur.
e. Air yang mengalami perubahan sifat yang mencolok akibat sesuatu yang berdampingan atau
yang tidak bisa lebur dengan air, seperti air yang berubah dengan sebab kayu atau dengan
sebab wewangian yang berada di sampingnya.

Pembagian air Mutlak


Secara umum, air Mutlak terbagi menjadi dua :

1). Air Mutlak yang tidak Makruh digunakan untuk bersuci.

2). Air Mutlak yang Makruh digunakan untuk bersuci.

Air Mutlak yang tidak di-Makruhkan untuk digunakan di dalam bersuci ialah air Mutlak selain yang
di-Makruhkan digunakan dalam bersuci.

Air yang Makruh digunakan di dalam bersuci ada delapan macam, yaitu 1). air yang sangat dingin. 2).
air yang sangat panas. 3). Air sumur yang berada di tempat tinggal kaum Tsamud ( umat nabi Shloleh
as ) terkecuali sumur tempat minumnya onta Nabi Sholeh As. 4). Air sumur yang berada di tempat
tinggal kaumnya Nabi Lut as. 5). Air sumur Barhut. 6). Air yang berada di daerah babil / babel. 7). Air
sumur Dzarwan. 8). Air yang dipanaskan dengan perantara sinar matahari ( Musyammas ).

I & II : Air yang sangat dingin dan sangat panas

Hukum menggunakan air yang sangat dingin dan yang sangat panas adalah Makruh. Sedangkan
menurut Ibnu Qasim hukum menggunakan kedua air tersebut adalah Haram.

Menurut Imam Muhammad as Syarbini serta para ulama’ yang lain yang sependapat dengannya,
alasan dimakruhkan menggunakan air yang sangat dingin dan sangat panas ialah karena si pengguna
air tersebut tidak mungkin bisa menyempurnakan ( Isbagh ) bersucinya.

Sedangkan menurut Imam an Nawawi di dalam al Majmuk Syar al Muhaddab, alasan dimakruhkan
menggunakan air yang sangat dingin dan sangat panas ialah kerena kedua air tersebut bisa
membahayakan tatkala digunakan. Karena alasan inilah Imam al Ajhuri berpendapat bahwa air yang
sangat dingin dan sangat panas tidak hanya dimakruhkan digunakan dalam bersuci saja, tapi juga
dimakruhkan digunakan dalam selainnya, misalnya untuk diminum, membersihkan pakaian dls.

III : air yang berada di sumur Kaum Tsamud


17

Termasuk air yang Makruh digunakan ialah air yang berada di sumur – sumur daerah yang pernah
dihuni oleh kaum Nabi Sholeh as atau kaum yang dikenal dengan kaum Tsamud. Semua air yang
berada di perkampungan kaum Tsamud hukumnya Makruh digunakan, terkecuali sumur yang
menjadi tempat minum ontanya nabi Sholeh as.

Alasan dimakruhkan menggunaka air sumur Tsamud ialah karena air atau sumur tersebut terletak di
tempat yang dilaknat dan dimurkai Allah Swt, yaitu tempat tinggal kaum nabi Shaleh yang di Adzab
Allah Swt setelah mereka membangkang pada Nabinya.

Al Qur’an tidak menyebutkan tempat tinggal kaum Tsamud dengan detail. Tetapi Allah Swt
menyebutkan “ dan kaum Tsamud yang memotong batu – batu besar di lembah ”. Qr : 89 : 9.

Dengan firman Allah Swt ini ditengarai bahwa tempat tinggal kaum Tsamud terletak di sebuah
pegunungan batu. Sedangkan yang dimaksud dengan lembah di dalam firman Allah Swt di atas ialah
lembah “ al Qura ”. di lembah inilah mereka tinggal dan bermukim. Kebanyakan Ahli sejarah
menentukan desa “ al Hijr ” sebagai perkampungan kaum Tsamud.

Menurut pendapat yang diungkapkan Imam Ibnu hajar al Haitami, yang dimakruhkan dari
peninggalan kaum Tsamud tidak hanya tertentu pada penggunaan air sumurnya saja, bahkan
menggunakan debu perkampungan kaum Tsamud hukumnya juga di-Makruhkan, baik untuk
bertayammum maupun untuk bahan campuran dalam menyucikan najis anjing. Menggunakan kayu
– kayu yang berada di perkampungan kaum Tsamud untuk dibuat Siwak juga di-Makruhkan. Begitu
pula memakan buah – buahan yang berada disana.

IV : Air sumur yang berada di tempat tinggal Kaum Luth as.

Diantara air yang Makruh digunakan ialah air sumur peninggalan kaum nabi Luth as yang berada di
kota Sodom. Alasan dimakruhkan menggunakan air peninggalan kaum nabi Luth ialah karena mereka
termasuk kaum yang dimurkai oleh Allah Swt, beserta tempat tinggal dan peninggalan mereka.
Sehingga air dari sumur – sumur mereka sebaiknya tidak digunakan.

Kaum nabi Luth dewasa ini disebut dengan kaum homo atau kaum sodomi. Kaum ini ditimpai Adzab
dan dimurkai Allah Swt setelah mereka menyimpang dan mendustakan ajaran nabinya, serta mereka
berhubungan badan dengan sesama jenis.

V: Air sumur Barhut

Termasuk air yang Makruh digunakan ialah air sumur Barhut, yaitu sumur peninggalan kaum ‘Ad,
umat nabi Hud as. Alasan dimakruhkan menggunakan air sumur Barhut ialah karena sumur Barhut
merupakan sumur yang dimurka Allah Swt dan termasuk sumur yang buruk. Dalam Jami’ al Hadits
disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa sumur barhut merupakan sumur yang paling
buruk yang berada di muka bumi ini, dan sumur Barhut itu sendiri merupakan tempat berkumpulnya
arwah orang – orang yang Kafir.
18

Sumur barhut atau Beir Barhut adalah sumur yang berbentuk goa di sekitar makam nabi Hud as,
Hadramaut, Yaman. Dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa sumur Barhut ialah sebuah goa
yang besar, dalam dan gelap. Tekstur dalamnya naik turun dan terputus – putus.

VI : Air sumur di daerah Babil / Babel

Termasuk air yang Makruh digunakan ialah air sumur di kota babil. Alasan dimakruhkan
menggunakan Sumur Babil ialah karna Babil merupakan bagian dari tempat yang pernah dimurkahi (
Maghdub ) Allah Swt.

Imam al Bujairami menyebutkan bahwa Babil / babel merupakan sebuah kota sihir yang terletak di
negara Irak.

VII : Air sumur Dzarwan

Termasuk air yang Makruh digunakan ialah air sumur Dzarwan. Alasan dimakruhkan menggunakan
air sumur Dzarwan ialah karena sumur Dzarwan juga termasuk sumur yang dimurkahi Allah Swt.

Sumur Dzarwan merupakan sumur tempat meletakkan Sihir yang ditujukan kepada Rasulullah Saw.
Orang yang meletakkan Sihir di dalam sumur tersebut adalah seorang Yahudi bernama Labid bin
A’sham.

Al Bujairami menyebutkan bahwasanya ada 11 sihir yang mengikat pada diri ( rambut ) Rasullah Saw,
yang kemudian Allah Swt memerintahkan Malaikat Jibril as agar Rasulullah Saw membaca Surat Al
Mu’awwidzatain ( al Falak dan an Nas ) untuk melepas Sihir tersebut.

VIII : Air Musyammas

Termasuk air yang Makruh digunakan ialah air Musyammas. Air Musyammas artinya adalah air yang
dipanaskan dengan menggunakan sinar matahari.

Kemakruhan dalam menggunaka air Musyammas berlaku pada air yang sengaja dipanaskan dan air
yang tidak sengaja dipanaskan, air yang sedikit dan air yang banyak, air yang tertutupi dan air yang
terbuka. Kemakruhan ini juga berlaku bagi pengguna yang terus menerus dan pengguna saat itu saja.

Mayoritas para Ulama’ berpendapat Makruh menggunakan air Musyammas. Sedangkan menurut
Imam an Nawawi, hukum menggunakannya tidak dihukumi Makruh secara Mutlak, sebab Hadits
yang menjelaskan kemakruhan air Musyammas merupakan Hadits yang lemah.

Syarat air Musyammas dimakruhkan


19

Ada beberapa Syarat yang disebutkaan para ulama’ mengenai air Musyammas yang Makruh
digunakan. Syarat –Syarat ini harus terpenuhi secara keseluruhan, sebab jika ada satu Syarat saja
yang tidak terpenuhui maka hukum menggunakan air Musyammas tidak dapat dihukumi Makruh.
Syarat – Syarat tersebut sebagaimana berikut :

Syarat Pertama : air tersebut panas disebabkan pengaruh sinar matahari.


Adapun air yang panas tapi tidak dengan sebab sinar matahari, maka hukum penggunaannya tidak
dimakruhkan, terkecuali jika terlalu panas.

Syarat kedua : air tersebut digunakan pada saat panas.


Air Musyammas yang sudah menjadi dingin tidak Makruh untuk digunakan, meskipun setelah dingin,
air itu dipanaskan kembali dengan mengggunakan api. tetapi apabila air Musyammas itu di panaskan
dengan api sebelum menjadi dingin ( saat masih panas ) maka hukum menggunakan air tersebut
tetap dimakruhkan, seperti halnya menggunakan air Musyammas yang masih panas sebagai kopi,
teh dls.

Syarat ketiga : air tersebut digunakan pada orang yang masih hidup.
Menurut Imam Ibnu Hajar, air Musyammas tidak Makruh apabila digunakan untuk ( memandikan )
orang mati. Sedangkan menurut Imam ar Ramli menggunakan air Musyammas hukumnya Makruh
baik digunakan untuk orang yang masih hidup atau orang yang sudah mati.

Syarat keempat : air yang dipanaskan tersebut berada di dalam wadah yang ditempa dari selain
emas dan perak.
Air Musyammas yang terdapat di dalam wadah yang terbuat dari emas dan perak tidak Makruh
digunakan, sebab keduanya merupakan benda bersih yang tidak akan mengeluarkan bau busuk
semacam bakteri ( Zuhumah ).

Tidak Makruh pula menggunakan air Musyammas yang terdapat di dalam wadah yang terbuat dari
tembaga atau logam yang disepuh dengan emas atau perak, beda halnya dengan wadah emas atau
perak yang disepuh dengan tembaga ( Makruh ), sebagaimana Imam al Ajhuri juga berpendapat
seperti ini.

Sedangkan air Musyammas yang terdapat di dalam wadah yang terbuat dari bahan selain emas dan
perak yang bercampur dengan emas atau perak, maka hukum memakai air tersebut di-Tafsil, apabila
campuran emas atau peraknya lebih banyak dan dapat mencegah keluarnya Zuhumah dari wadah
maka tidak dimakruhkan menggunakan air Musyammas tersebut. Tapi apabila campuran emas atau
peraknya lebih sedikit, atau emas dan peraknya tidak dapat mencegah keluarnya Zuhumah dari
wadah maka hukum menggunakan air Musyammas tersebut di-Makruhkan.

Syarat kelima : air tersebut dipanaskan pada waktu sinar matahari sudah memanas.
Tidak Makruh menggunakan air yang dipanaskan dengan matahari yang proses pemanasannya
dilakukan pada saat tidak terlalu panas atau mendung, sebab dalam kondisi seperti ini tidak mungkin
akan ada Zuhumah yang keluar dari wadah.

Syarat keenam : air tersebut digunakan pada badan.


Air Musyammas Makruh digunakan pada badan yang masih dimungkinkan terkena penyakit belang,
baik menusia atau binatang, baik orang yang sudah mengidap penyakit belang atau yang belum, baik
20

pemakaiannya dengan cara disiramkan / diusapkan pada badan bagian luar atau dengan cara
diminum.

Air Musyammas tidak Makruh digunakan pada selain badan, misalnya untuk menyiram tanaman,
membersihkan lantai, menyucikan baju dls.

Seseorang yang menyuci baju dengan menggunakan air Musyammas dan kemudian memakainya
pada saat masih basah dan panas maka hukumnya makruh, kecuali apabila baju itu sudah kering
atau air pada baju tersebut sudah tidak panas.

Syarat ketujuh : air tersebut dipanaskan pada daerah yang sangat panas seperti Hijaz dan
Hadramaut,
Tidak Makruh menggunakan air yang dipanaskan dengan matahari di daerah – daerah yang memiliki
cuaca panas rendah ( seperti Syiria ) atau normal ( seperti Mesir ). Air yang dipanaskan di indonesia
juga tidak Makruh digunakan.

Syarat kedelapan : masih ada air lain selain air Musyammas.


Apabila seseorang tidak mendapati air untuk bersuci terkecuali air Musyammas maka tidak
dimakruhkan baginya menggunakan air Musyammas. Bahkan wajib baginya menggunakan air
Musyammas tersebut apabila waktu Shalat yang akan ia dirikan hampir habis dan ia tidak bisa
mendapatkan air lain.

Syarat Kesembilan : si pengguna air Musyammas tidak memilki kehawatiran akan timbulnya
penyakit pada dirinya.
Kemakruhan menggunakan air Musyammas ini berlaku bagi orang yang tidak memiliki kehawatiran
akan terjadi sesuatu ( penyakit ) pada dirinya, apabila ia memiliki kehawatiran akan terjadi sesuatu
pada dirinya maka Haram baginya menggunakan air Musyammas. begitu pula Haram apabila
seorang dokter ahli telah menyatakan akan terjadi sesuatu pada dirinya tatkala ia menggunakan air
Musyammas.

Alasan kemakruhan air Musyammas

Alasan dimakruhkan menggunakan air Musyammas ialah karena setiap wadah yang berisi air apabila
dipanaskan dengan menggunakan matahari akan mengeluarkan Zuhumah ( semacam bakteri ) yang
akan menyebabkan timbulnya penyakit belang ( Baros ) pada pengguna atau kulit yang dikenainya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Sayyidatina A’isyah ra pernah memanaskan air dengan
matahari untuk dipakai Rasulullah Saw, kemudian beliau bersabda :

َ ‫ث ْال َب َر‬
‫ص‬ ُ ‫يور‬
ِ ‫ال َت ْف َعلي يا ُح َميْراء فإنه‬
Jangan engkau melakukan itu wahai Humaira’, karena hal itu menyebabkan penyakit Baros
( belang )

Hadits ini merupakan Hadits yang lemah ( Dhoif ), namun kelemahan Hadits ini di sokong dan
dikuatkan dengan perkataan Sayyidina Umar ra yang berupa “ air Musyammas menyebabkan
penyakit beros ”.
21

Para ulama’ juga’ menganggap ungkapan Sayyidina Umar ra ini lemah ( sanadnya ), tapi meskipun
lemah, perkataan ini Masyhur dikalangan para Sahabat dan mereka tidak ada yang menentang
terhadap pernyataan ini. Oleh karena itulah imam al Bujairami berpendapat bahwa ketetapan
hukum Makruh ini merupakan kesepakatan para Sahabat yang tidak disampaikan ( Ijmak sukuti ).
Dan pendapat yang Makruh ini merupakan pendapat yang lebih berhati – hati.

Kemakruhan menggunakan air Musyammas

Perlu diketahui disini bahwa Makruh itu terbagi menjadi dua. Yaitu Makruh versi Syara’ dan Makruh
versi kedokteran / tidak baik menurut kedokteran.

Makruh versi Syara’ ialah setiap sesuatu apabila ditinggalkan oleh seseorang, maka ia akan
mendapat pahala. Sedangkan apabila ia mengerjakan maka ia tidak mendapat apa – apa ( pahala
maupun dosa ) .

Para ulama’ menyebutkan bahwa kemakruhan yang terdapat di dalam menggunakan air
Musyammas merupakan kemakruhan secara Syara’ dan kedokteran. Oleh karenanya Imam as Subky
menyebutkan bahwa sesorang yang tidak menggunakan air Musyammas dengan alasan takut
tertimpa penyakit tidak akan mendapat pahala, sebab ia hanya menjalankan anjuran dokter /
kesehatan. Sedangkan seseorang yang tidak menggunakan air Musyammas dengan alasan karena
mengikuti perintah Syara’ maka ia berhak mendapat pahala. Sedangkan sesorang meninggalkan
menggunakan air Musyammas dengan alasan keduanya ( Syara’ dan kedokteran ) maka ia juga
berhak mendapat pahala, tetapi di bawah pahala orang yang berniat murni mengikuti Syara’.

Menurut Imam as Suyuti bentuk kemakruhan yang terdapat di dalam menggunakan air Musyammas
merupakan kemakruhan secara Syara’ saja, tanpa disertai kemakruhan versi Dokter / anjuran dokter.

Sebenarnya tujuan penyebutan definisi Makruh dua versi disini hanyalah untuk mengetahui apakah
orang yang meninggalkan / tidak menggunakan air Musyammas itu mendapat pahala atau tidak.
Sebab jika ternyata kemakruhan disini berupa kemakruhan Syara’ maka ia akan mendapat pahala,
dan jika ternyata kemakruhan disini berupa Makruh versi kedokteran maka ia tidak mendapat
pahala.

Sedangkan Makruh versi kedokteran ialah setiap sesuatu yang apabila ditinggalkan atau dikerjakan
oleh seseorang, maka ia tidak mendapat apa – apa.

Batasan air Musyammas

Menurut Imam ar Ramli air Musammas bisa dikatakan Musyammas apabila panasnya air tersebut
dapat berpengaruh, yaitu sekiranya terdapat butiran – butiran kecil ( ajza’ ) yang terkelupas dari
wadah air, dan butiran kecil tersebut bisa berpengaruh negatif pada badan. Air tidak bisa dihukumi
Musyammas dengan hanya mengalami perubahan dari satu sifat ke sifat yang lain ( dari dingin ke
panas ).
22

Al Qalyubi menyebutkan, Air tidak bisa dikatakan Musyammas sehingga air tersebut mengeluarkan
bau busuk / bakteri ( Zuhumah ) dengan jelas. Pernyataan serupa juga ditulis imam al bujairami di
dalam kitabnya.

II. Air yang suci dan tidak dapat menyucikan.


Syaikul Islam, Zakaria al Anshari menyebutkan di dalam Tuhfah at Thullab Syarh at Tahrir, air yang
yang tergolong suci dan tidak dapat menyucikan ada tiga macam, yaitu

1). Air sedikit yang sudah digunakan dalam kewajiban ( bersuci ), dan air tersebut tidak najis. ( Air
Musta’mal ).

2). Air Mutlak yang mengalami perubahan sifat yang mencolok dengan sebab benda suci yang
mencampurinya, dan benda suci yang mencampuri tersebut merupakan benda yang bisa
dihindarkan dari air.

3). Air yang dikeluarkan atau diperas dari benda – benda suci seperti air Mawar, air semangka
dls.13

1. Air Musta’mal dan pembagiannya


Air yang dikatagorikan suci tapi tidak dapat menyucikan yang pertama adalah air Musta’mal. Air
Musta’mal adalah air sedikit ( kurang 2 Qullah ) yang sudah dipakai dalam kewjiban bersuci, baik
bersuci dari Hadats atau bersuci dari najis.14

Ada dua macam air yang termasuk katagori air Musta’mal, yaitu 1). Air yang pernah dipakai
menghilangkan Hadats. 2). Air yang pernah dipakai menghilangkan Najis.

Air sedikit yang pernah dipakai bersuci dari Hadats hukumnya suci saja, tidak bisa menyucikan. Baik
Hadats yang dihilangkan berupa Hadats kecil atau Hadats besar. Begitu pula dihukumi suci saja, air
sedikit yang sudah terpakai bersuci dari najis, mekipun najis yang disucikan hanya berupa najis
Makfu ( yang dimaafkan ) atau najis Mukhaffafah ( ringan ).15

Suci tapi tidak menyucikan


Imam an Nawawi menyebutkan, menurut Qaul Jadid status air Musta’mal itu sendiri ialah suci tetapi
tidak bisa dipakai untuk bersuci.16

Jika muncul sebuah pertanyaan, Mengapa air Musta’mal masih dihukumi suci padahal air tersebut
sudah terpakai dalam bersuci / kewajiban.?
13
Hamisy Hasyiah as Syarqawi, 1, 24.
14
Tuhfah at Thullab, 1, 24.
15
Hasyiah as Syarqawi, 1, 34.
16
Tuhfah al Muhtaj, 1, 35.
23

Dalam permasalahan ini imam as Syarbini telah menyebutkan bahwa para Salaf terdahulu ( Sahabat
dan Tabiin ) tidak pernah menjaga diri mereka dari percikan air tatkala mereka bersuci. Mereka
membiarkan diri mereka terperciki air yang mereka gunakan bersuci saat prosesi penyucian. Dengan
bertendensi pada amaliah Salaf ini maka para Ulama’ menetapkan air Musta’mal tetap suci
meskipun sudah dipakai menghilangkan Hadats atau najis.

Disamping itu juga terdapat sebuah riwaya Shahihain yang menyebutkan Bahwasannya Rasulullah
Saw pernah mengunjungi Sahabat Jabir Ra yang sedang sakit. Disana, beliau berwudlu’ dan
kemudian menyiramkan air Wudlu’nya kepada sahabat Jabir yang sedang sakit.17

Air Musta’mal adalah air yang berasal dari air Mutlak ( suci menyucikan ) yang belum tersentuh najis
yang dapat merusak kesucian air, oleh karena itu para ulama’ menetapkan air Musta’mal sebagai air
yang suci, meskipun tidak lagi bisa digunakan bersuci.

Jika demikian, mengapa air Musta’mal tidak dapat menyucikan.?

Ar Ramli dan as Syarbini di dalam kitabnya menyebutkan dengan jelas mengenai alasan mengapa air
Musta’mal tidak dapat menyucikan. Ialah karena Rasulullah Saw serta para Sahabatnya dalam
banyak kejadiaan, ketika mereka berada dalam perjalanan dan mereka sangat membutuhkan air,
mereka sedikitpun tidak menadahi dan tidak mengambil air yang sudah mereka pakai dalam bersuci,
mereka membiarkan air yang sudah mereka pakai terbuang begitu saja. Dengan sebab kejadian
inilah maka para ulama’ menetapkan air Musta’mal merupakan air yang tidak bisa digunakan untuk
bersuci. Seandainya air tersebut masih bisa digunakan untuk bersuci niscaya mereka akan
mengumpulkan air tersebut dan menggunakan kembali untuk kemudian digunakan dalam bersuci,
sebab saat itu mereka sangat membutuhkan air untuk bersuci. 18

Air Musta’mal tidak bisa dipakai bersuci


Para Ulama’ sebenarnya masih memperselisihkan alasan mengapa air Musta’mal tidak bisa
menyucikan.

Menurut sebagian Ulama’, alasan mengapa air Musta’mal tidak bisa menyucikan ialah dikarenakan
air Musta’mal bukan lagi termasuk air Mutlak, sedangkan air yang bisa menyucikan hanyalah air
Mutlak.

Menurut sebagian Ulama’ yang lain, sebenarnya air Musta’mal masih tergolong air Mutlak yang suci,
hanya saja air tersebut tidak bisa dipakai dalam bersuci disebabkan karena adanya unsur Ta’abbudi19
atau ketentuan Syari’at yang menetapkan air Musta’mal tidak dapat dipakai bersuci. Pendapat ini
ditetapkan oleh Imam ar Rafii.20

Imam al Bujairami menyebutkan, pendapat yang pertama merupakan pendapat yang Ashah dan bisa
dibuat pegangan ( Mu’tamad ). Sedangkan pendapat yang kedua merupakan pendapat yang lemah. 21
17
Al Iqna’ 1, 23.
18
Nihayah al Muhta, 1, 72. Iqna’ 1, 23.
19
Sebuah alasan yang tidak bisa dinalar dengan akal.
20
Mughni al Muhtaj, 1, 50. Hasyiah al Bujairami ala al Khatib, 1, 116.
21
Hasyiah al Bujairami ala al Khatib, 1, 116.
24

Air bekas yang dihukumi Musta’mal


Dalam beberapa keterangan disebutkan bahwa air yang dikatorikan Musta’mal tidak hanya terbatas
pada air yang sudah dipakai di dalam kewajiban saja, bahkan air yang pernah terpakai dalam
kesunnahan juga termasuk air Musta’mal. pendapat ini disampaikan oleh Qaul Qadim / pendapat
lama dalam Madzhab Syafi’i. Qaul Qadim adalah Pendapat yang disampaikan Imam as Syai’I ketika
beliau berada di Iraq.

Namun pendat Qaul Qadim tersebut bertolak belakang dengan pendapat Imam Syafi’I yang baru,
tatkala beliau sudah berada di Mesir ( Qaul Jadid ). Qaul jadid menyatakan air yang bisa
dikatagorikan air Musta’mal hanyalah air yang pernah terpakai dalam praktik Wajib, bukan Sunnat.

Para Ulama’ menyebutkan, jika terjadi perbedaan pendapat antara Qaul Qadim dan Qaul Jadid maka
pendapat yang boleh diamalkan adalah pendapat yang disampaikan Qaul Jadid, terkecuali dalam
beberapa permasalahan yang terhitung hanya 17 masalah. Namun setelah dilakukannya penelitian
lebih lanjut oleh beberapa Ulama’, ternyata ke 17 masalah tersebut telah tercantum dalam Nash –
Nash Qaul Jadid.

Imam al Haramain berkata : tidak halal menganggap Qaul Qadim sebagai Madzhab Syafii.22

Memfungsikan air Musta’mal


Air Musta’mal tidak bisa difungsikan untuk bersuci, baik bersuci dari Hadats maupun dari najis, baik
bersuci yang wajib atau bersuci yang sunnat seperti Wudlu’ yang diulangi ( Tajdidul Wudu’ ) dls.
Demikian ini sebagaimana disampaikan As Syaikh Sa’id bin Muhammad al Hadramy di dalam
kitabnya yang berjudul Busyra al Karim bisyarh Masa’il at Ta’lim.23

Fungsi Air Musta’mal sama seperti benda cair yang suci. Air Musta’mal bisa digunakan untuk
memasak, membersihkan kotoran, diminum dls. Hanya saja para Ulama’ menghukumi Makruh
memfungsikan air Musta’mal sebagai makanan atau minuman, demikian ini disebabkan karena air
Musta’mal merupakan air yang kotor secara Batin setelah terpakai bersuci sebelumnya. Sebagian
ulama’ ada yang menghukumi Haram meminum air Musta’mal.

Hukum meminum air Musta’mal tidaklah Makruh secara Mutlak. Tetapi ketetapan hukum Makruh
ini berlaku jika memang di dalam meminum air Musta’mal tersebut tidak terdapat tujuan yang
dibenarkan Syari’at. Dengan ini maka seseorang yang meminum air Musta’mal bekas orang yang
Saleh dengan tujuan Tabarruk / ngalap berkah tidak dihukumi Makruh, sebab tujuan Tabarruk
termasuk tujuan yang dibenarkan di dalam agama Islam.24

22
Mughni al Muhtaj, 1, 41.
23
Syarh Muqaddimah al Hadramiyyah, 1, 76.
24
Iqna’ 1, 23. / Hasyiah al Bujairami, 1, 115. Taqrir al auhad, al Fadil, as Syaikh ‘Aud, I, 23
25

Air Musta’mal apabila mencampuri air yang Mutlak ( air suci dan menyucikan ) maka hendaknya
dipetimbangkan keberadaannya. Jika menurut perkiraan air Musta’mal tersebut dapat mengubah
sifat air yang dicampurinya maka setatus air Mutlak tersebut tidak lagi Mutlak. 25

Air Musta’mal yang tercapuri najis hukumnya adalah najis, baik air itu mengalami perubahan sifat
atau tidak. Demikian ini disebabkan karena keberadaan air Musta’mal itu sama dengan cairan yang
suci, sehingga bisa menjadi najis secara otomatis dengan hanya tercampuri najis, meskipun air itu
tidak mengalami perubahan sifat.

Air Musta’mal dan Syaratnya


Air Musta’mal adalah air sedikit yang sudah dipakai di dalam bersuci yang Wajib, dan air ini masih
bersetatus suci.

Air Mutlak bisa menjadi air Musta’mal setelah memenuhi 5 Syarat, yaitu,

1). Air tersebut sedikit.

2). Air tersebut digunakan di dalam kewajiban.

3). Air tersebut tidak najis setelah digunakan.

4). Air tersebut sudah terlepas dari anggota badan atau benda yang disucikan.

5). Tidak ada niatan menggayung dari orang yang bersuci / orang yang menggunakan air Mutlak.26

Syarat Pertama

Air tersebut hanya sedikit. Air yang sudah digunakan bersuci bisa dihukumi Musta’mal ialah apabila
kadarnya hanya sedikit. Yang dimaksud sedikit disini ialah air tersebut kadarnya kurang dari 2 Qullah
( 190 liter ).

Air yang kurang dari dua Qullah apabila sudah digunakan dalam bersuci maka hukumnya menjadi
Musta’mal. Sebaliknya, air yang memilki kadar 2 Qullah atau lebih tidak bisa ditetapkan sebagai air
Musta’mal meskipun sudah digunakan menyucikan Hadats atau najis.27

Air Musta’mal yang kadarnya hanya sedikit apabila dicampur dengan air Musta’mal yang lain hingga
mencapai 2 Qullah atau lebih maka setatus air Musta’mal yang sudah dicampur tersebut berubah
menjadi air yang bisa menyucikan kembali / Mutlak, sebab air tidak bisa dihukumi Musta’mal
terkecuali apabila sedikit.

Syarat kedua
25
Memperkirakan air musta’mal sebagai cairan yang memiliki warna, bau dan rasa yang berbeda dengan air.
26
At Taqrirat as Sadidat, 59 – 60.
27
Hasyiah as Syarqawi, 1, 114
26

Air tersebut digunakan di dalam kewajiban. Air yang sedikit bisa dihukumi Musta’mal apabila sudah
digunakan dalam perkara yang diwajibkan, misalnya digunakan mandi wajib, membasuh wajah atau
tangan yang pertama kali dalam Wudlu’ dls. Sedangkan air yang digunakan tapi bukan dalam perkara
yang diwajibkan hukumnya tidak dapat menjadi Musta’mal, tetapi tetap menyucikan / Mutlak.
Misalnya air yang digunakan dalam mandi Sunnat ( mandi Jum’at, hari raya dls ), pembasuhan wajah
atau tangan yang kedua dan ketiga kalinya dalam Wudlu’ dls.

Yang dimaksud dengan perkara Wajib disini ialah setiap sesuatu yang harus dikerjakan, baik orang
yang meninggalkannya dikenai dosa seperti Mandi Wajib dan Wudlu’, atau orang yang
meninggalkannya tidak dikenai dosa seperti Wudlu’nya anak kecil yang hendak melakukan Thawaf.
air yang sudah digunakan Wudlu’ oleh anak kecil28 yang hendak melakukan Tawaf hukmnya
Musta’mal meskipun seandainya ia tidak berwudlu ia tidak akan dikenai dosa.

Syarat ketiga

Air tersebut tidak najis ( suci ). Air sedikit yang dipakai dalam bersuci dapat dihukumi Musta’mal
apabila keberadaan air tersebut - setelah dipakai - tetap berada dalam kondisinya yang suci, tidak
najis.

Air yang sedikit apabila dipakai dalam menghilangkan najis, apabila kemudian kadar air tersebut
menjadi bertambah maka status air tersebut tidak lagi suci, tetapi air tersebut berubah status
menjadi najis, sebab bertambahnya kadar air tersebut menunjukkan adanya najis yang berada di
dalamnya.

Air sedikit yang sudah digunakan menyucikan najis ada yang dihukumi suci dan ada yang dihukumi
najis. Air sedikit yang digunakan menyucikan najis ( benda yang terkena najis ) dihukumi suci apabila
air tersebut terlepas dari benda tersebut dalam kondisi tidak mengalami perubahan dari sifat
aslinya, dan tidak bertambah ukurannya ( setelah memperkirakan air yang masih melekat pada
benda ) serta benda yang dicuci sudah dihukumi suci. Jika satu dari ketentuan ini tidak terpenuhi
maka hukum air yang sudah digunakan tersebut tidak dihukumi suci ( Musta’mal ), tetapi najis29

Syarat keempat

Air tersebut harus sudah terlepas dari badan atau benda yang disucikan. Air yang dipakai dalam
menghilangkan Hadats atau najis, selagi air tersebut belum terlepas dari badan atau benda yang
disucikan tidak bisa dikatagorikan sebagai air Musta’mal.

Sebaliknya, air yang sudah dipakai menghingkan Hadats atau najis bisa dihukumi Musta’mal ialah
jika sudah terlepas dari badan atau benda yang disucikan. Baik terlepasnya tersebut secara nyata
atau tidak ( secara Hukum saja ), seperti air pembasuhan tangan dalam Wudlu’ yang sudah melewati
pundak, atau air pembasuhan kaki dalam Wudlu’ yang sudah melewati lutut, atau air dari kepala
dalam mandi yang metetes ke betis.

28
Di-Wudlu’i walinya.
29
Hasyiah as Syarqawi, 1, 34.
27

Air yang terpakai dalam bersuci, apabila sudah terlepas dari satu organ dan kemudian berpindah
serta menempel pada organ yang lain, maka air tersebut bisa tetap dikatagorikan sebagai air yang
Mutlak ( bukan Musta’mal ), dengan catatan perpindahan tersebut termasuk perkara yang biasa
terjadi, seperti halnya air yang terlepas dari kepala yang kemudian menetes dan menempel pada
dada, atau air yang terlepas dari telapak tangan yang kemudian menempel pada lengan. 30

Permasalahan :

1). Seseorang yang berwudlu’, apabila saat membasuh tangan ia memasukkan tangannya kedalam
wadah yang berisi air sedikit, maka ia tetap diperbolehkan menggerak – gerakkan tangannya di
dalam wadah tersebut sebanyak tiga kali dan ia mendapat kesunnatan membasuh tangan tiga kali (
Tatslis ). air tersebut tetap dihukumi Mutlak selama tangan tersebut belum dikeluarkan dari wadah.

Jika orang tersebut hanya memasukkan separuh tangannya, maka ia juga masih bisa
menyempurnakan pembasuhan bagian tangan yang belum terbasuh dengan cara menenggelamkan
ke dalam wadah, bukan dengan cara menyirami dengan air dalam wadah tersebut. 31

2). Seseorang yang berhadats besar, apabila ia memasukkan sebagian badannya ke dalam wadah
yang berisi air sedikit dengan berniat mandi menghilangkan Hadats besar, maka Hadats pada badan
yang menyentuh air dapat terangkat dan ia boleh – boleh saja meneruskan membasuh bagian badan
yang belum tersentuh air dengan cara menyelam tanpa mengangkat bagian badan yang tersentuh
air, bukan dengan cara menyiramkan air dalam wadah ke badan. Jika ia sudah menyelamkan semua
badannya maka ia masih diperbolehkan menggerak – gerakkan badan di dalamnya sebanyak tiga kali
agar mendapat kesunnatan Tatslis. Air tersebut tetap suci menyucikan selagi belum terpisah dari
badannya.32

Apabila ia meneruskan pembasuhan pada badan yang belum tersentuh air tadi dengan
menyiramkan air dari wadah, maka Hadats pada badan yang disirami tidak bisa terangkat sebab air
yang dibasuhkan tersebut menjadi Musta’mal setelah terpisah dari badan yang terendam.
Sebagaimana pendapat imam al Mutawalli dan Imam rl Rauyany yang dikutip imam as Syarbini di
dalam al Mughni.33

3). Seseorang yang berhadats besar, apabila ia menyelam kedalam wadah yang berisi air sedikit dan
ia berniat menghilangkan Hadats besar, baik ia berniat setelah menyelam atau sebelum sempurna
menyelam, maka hadatsnya terangkat. Dan air yang berada di dalam Wadah tersebut masih bisa
menyucikan / bukan Musta’mal selagi ia belum keluar darinya.

Apabila saat itu ia berhadats lagi – misalnya ia memegang kemaluannya – maka ia boleh – boleh saja
menghilangkan Hadats yang baru tersebut dengan cara menyelam kembali, bukan dengan cara
menyiramkan air dalam wadah ke badan. Baik Hadats yang baru tersebut berupa Hadats kecil atau
berupa Hadats besar.34

30
Syarh Muqaddimah al Hadramiyyah, 1, 76.
31
Syarh Muqaddimah al Hadramiyyah, 1, 77.
32
Syarh Muqaddimah al Hadramiyyah, 1, 77.
33
Mughni al Muhtaj, 1, 50.
34
Syarh Muqaddimah al Hadramiyyah, 1, 77.
28

4). Seseorang yang berhadats kecil, apabila ia berwudlu’ dengan cara menyelamkankan dirinya ke
dalam wadah yang berisi air sedikit maka hadatsnya terangkat 35. Dan apabila ia berhadats lagi
sebelum keluar dari air maka ia masih diperbolehkan menyelam kembali untuk Wudlu’.

Seseorang yang menyelam kedalam air sedikit dengan berniat menghilangkan Hadats besar, apabila
kemudian ia berhadats lagi – misalnya menyentuh kemaluannya - sebelum mengeluarkan sebagian
anggota tubuhnya dari air maka ia boleh berniat lagi menghilangkan Hadats yang baru dengan
menggunakan air tersebut. Orang lain tidak bisa menggunakan air tersebut untuk menghilangkan
Hadats sebab air tersebut baginya adalah Musta’mal.36

5). Seseorang yang pada badannya terdapat najis di dua tempat, apabila ia menuangkan air pada
najis yang berada di badan sebelah atas dan air tersebut mengalir hingga mengenai najis yang
berada di badan sebelah bawah maka kedua tempat tersebut sama – sama dihukumi suci,
sebagaimana Imam al Baghawi menjelaskan dan di-nukil oleh imam as Syarbini di dalam al
Mughni37. Demikian ini dengan Syarat air tersebut belum terlepas sama sekali dari badan atau
terlepas tapi tempat najis yang kedua yang teraliri air merupakan tempat yang memang biasa
tertetesi air dari tempat yang pertama, seperti dada yang tertetesi air dari kepala. 38

6). Dua orang yang berhadats besar, apabila keduanya menyelam kedalam air yang kurang dari dua
Qullah, dan keduanya sama – sama berniat menghilaangkan Hadats pada dirinya, maka dalam
permasalahan ini terperinci menjadi tiga bagian.

A. Keduanya berniat menghilangkan Hadats secara bersamaan. Apabila niat tersebut


dilakukan setelah keduanya sempurnra menyelam ke dalam air maka Hadats pada diri
keduanya hilang dan air tersebut menjadi Musta’mal setelah keduanya keluar dari air.

Tapi apabila keduanya berniat sebelum sempurna menyelam maka Hadats yang terangkat
hanyalah bagian badan yang berada di dalam air dari keduanya dan air tersebut secara
otomatis menjadi Musta’mal, sehingga keduanya tidak bisa melanjutkan mandinya baik
dengan cara menyelam atau dengan cara menyiramkan air pada badan.

B. Keduanya berniat menghilangkan Hadats dengan berurutan ( tidak bersamaan ). Apabila


niat tersebut dilakukan setelah keduanya sempurnra menyelam maka Hadats yang terangkat
hanyalah Hadats dari orang yang berniat pertama kali. dan air tersebut menjadI Musta’mal
bagi orang yang kedua sehingga ia tidak bisa menghilangkan Hadatsnya dengan
menggunakan air itu.

Tapi apabila keduanya berniat sebelum sempurna menyelam maka Hadats yang terangkat
hanyalah bagian badan yang berada di dalam air dari orang yang berniat pertamakali, bukan
orang yang berniat setelahnya. Dan orang yang berniat pertama kali tadi masih bisa
meneruskan mandinya dengan menggunakan air tersebut ( selagi ia belum keluar dari air ),
yaitu dengan menyelam bukan dengan cara menyiramkan air tersebut pada badannya.

35
Orang yang berwudlu’ dengan cara menyelam diharuskan berniat ketika semua badannya berada di dalam
air ( Tartib Hukmi ), jika tidak maka wudlu’nya tidak dianggap sempurna dan hadats yang terangkat hanya
hadats pada wajahnya.
36
Syarh Muqaddimah al Hadramiyyah, 1, 77.
37
Mughni al Muhtaj, 1, 50
38
Syarh Muqaddimah al Hadramiyyah, 1, 76.
29

Air itu tetap menyucikan baginya dan Musta’mal bagi orang lain ( yang berniat kedua ).

C. Keduanya berniat menghilangkan Hadats, tapi keduanya ragu apakah niatnya bersamaan
atau berurutan. Apabila keduanya ragu seperti ini maka hukumnya sama dengan orang yang
berniat secara bersamaan, baik berniat sebelum sempurna menyelam atau tidak. Air
tersebut tidak dihukumi Musta’mal bagi salah satunya, sebab kergu – raguan tidak dapat
merusak status air.39

7). Imam as Syarbini berkata : air bersuci yang masih melekat pada anggota Wudlu’, badan orang
yang Junub dan benda yang terkena najis, selagi sifat air tersebut tidak berubah, maka air tersebut
masih dihukumi suci dan menyucikan.

Syarat kelima

Tidak ada niatan menggayung. Syarat ini berlaku bagi orang yang memasukkan tangan atau anggota
badan lainnya kedalam air / bak mandi yang berisi air sedikit setelah ia berniat mandi wajib, atau
setelah ia membasuh wajah saat berwudlu’ - Baik setelah ia membasuh wajah sebanyak tiga kali
( jika ia menginginkan mebasuh wajah sebanyak tiga kali ) atau setelah ia membasuh wajah sekali
( jika ia menginginkan membasuh wajah hanya sekali ).

Dalam permasalahan ini, apabila orang tersebut tidak berniat menggayung atau tidak berniat
mengambil air untuk disiramkan ke badannya - tatkala memasukkan tangan ke dalam bak air - maka
air sedikit yang berada di dalam bak mandi tersebut hukumnya Musta’mal ( suci tapi tidak bisa
menyucikan ), sebab air tersebut sudah terpakai menghilangkan Hadats pada tangan yang
dimasukkan.

Niat menggayung.

Seseorang yang berhadats besar ( setelah berniat mandi Jinabah ) atau seseorang yang berhadats
kecil ( setelah sempurna membasuh wajah saat Wudlu’ ) apabila ia memasukkan tangannya kedalam
wadah yang berisi air sedikit, maka untuk menentukan status air tersebut tergantung pada niat dari
orang yang memasukkan tangan tersebut.

Jika ia memasukkan tangan dengan tanpa berniat apa – apa atau dengan berniat membasuh tangan
tersebut dari Hadats, maka Hadats pada tangan tersebut terangkat ( hilang ) dan air dalam wadah
tersebut menjadi Musta’mal – yaitu setelah tangan tersebut dikeluarkan dari wadah / terlepas dari
air.

Tapi, jika ia memasukkan tangan ke dalam wadah tersebut dengan niat menggayung atau niat
mengambil air untuk disiramkan ke tangan atau tubuhnya, maka Hadats pada tangan orang tersebut
belum terangkat dan air dalam bak tersebut tidak dikatagorikan air Musta’mal. Air tersebut belum
terpakai menghilangkan najis, meskipun tangan orang yang berhadats tersebut masuk kedalamnya..

39
Nihayah al Muhtaj, 1, 73. Mughni, 1, 50. Al Iqna’ / Hasyiah Bujairami ala al Khatib, 1, 119.
30

Namun perlu diketahui, keberadaan niat menggayung atau semacamnya ini bisa berfungsi
menjadikan air tidak Musta’mal jika memang dilakukan ketika awal menyentuh air, bukan dilakukan
setalah tangan sudah berada di dalam air. Niat menggayung atau semacamnya tidak lagi berfungsi
apabila dilakukan ketika tangan sudah berada di dalam air. Begitu pula niat menggayung yang
dilakukan sebelum memasukkan tangan kedalam air yang kemudian niat tersebut tidak dihadirkan di
waktu menggayung ( awal tersentuhnya tangan dengan air ). 40

Niat menggayung bagi orang yang berhadats besar bisa dianggap dengan melakukannya setelah ia
berniat mandi wajib, tetapi niat ini harus ada tatkala ia memasukkan tangan atau anggota badan
lainnya ke dalam air.41

Niat mandi ketika air di tangan.

Seseorang yang berhadats besar, apabila ia menggayungkan tangan ke dalam wadah yang berisi air
sedikit dengan disertai niat menggayung, maka air yang berada di dalam wadah serta air yang
digayung yang sudah berada di tangannya tidak dikatagorikan sebagai air Musta’mal sebab ia belum
menggunakan air tersebut dalam bersuci dari Hadatsnya.

Apabila setelah itu ia berniat menghilangkan Hadats yang ada pada dirinya, maka Hadats yang
terangkat hanyalah Hadats yang berada pada telapak tangan yang menggenggam air, serta ia masih
boleh melanjutkan mandi dengan menggunakan air yang berada di dalam wadah. 42

Memasukkan tangan ke dalam air sedikit.

Seseorang yang bersuci dari Hadats kecil ( berwudlu’ ) dengan memakai air sedikit hendaknya
memperhatikan kedua tangannya tatkala menyentuh air – setelah pembasuhan wajah. Sebab
persentuhan tersebut dapat mempengaruhi keberadaan status air selanjutnya, apakah air tersebut
tetap suci menyucikan atau sudah berubah menjadi Musta’mal.

Air sedikit yang tersentuh tangan tetap dikatakan suci menyucikan apabila

a. Air tersebut tersentuh tangan pada saat sebelum pembasuhan wajah.


b. Air tersebut tersentuh tangan pada saat sebelum sempurnanya pembasuhan wajah
pertama.
c. Air tersebut tersentuh tangan pada saat sebelum sempurnanya pembasuhan wajah
sebanyak tiga kali, jika memang ia bermaksud membasuh wajahnya sebanyak tiga kali.
d. Air tersebut tersentuh tangan pada saat setelah pembasuhan tangan.
e. Air tersebut tersentuh tangan pada saat setelah sempurnanya pembasuhan wajah atau
setelah pembasuhan wajah sebanyak tiga kali - bagi yang menginginkan membasuh
sebanyak tiga kali - tetapi keduanya itu disertai dengan niat menggayung air atau
semacamnya.

40
Hasyiah al Bujairami, 1, 121.
41
Hasyiah al Bujairami, 1, 120.
42
Hasyiah al Bujairami, 1, 121.
31

Air sedikit yang tersentuh tangan dikatagorikan Musta’mal apabila

a. Air tersebut tersentuh tangan pada saat setelah sempurnanya pembasuhan wajah yang
pertama, jika memang ia menginginkan membasuh wajah hanya sekali dan ia tidak berniat
menggayung. Baik saat itu ada niatan menghilangkan Hadats pada tangan atau tidak.
Sebagaimana Imam az Zarkasyi menyampaikan seperti ini.
b. Air tersebut tersentuh tangan pada saat setelah sempurnanya pembasuhan wajah tiga kali,
jika memang ia tidak berniat menggayung. Baik saat itu ada niatan menghilangkan Hadats
pada tangan atau tidak. Sebagaimana Imam Izzuddin Ibnu Abdis-Salam menyampaikan
seperti ini.43

seseorang yang berwudlu’ apabila memasukkan tangannya kedalam bak mandi yang berisi air sedikit
sebelum ia membasuh muka atau sebelum ia sempurna membasuh muka yang pertama, maka air
tersebut tidak dihukumi Musta’mal, baik ia memasukkan tangannya tersebut dengan niat
menggayung atau tidak. Demikian ini karena air dalam bak mandi tersebut belum digunakan
menghilangkan Hadats pada tangan. Saat itu bukan waktu untuk membasuh tangan.

Begitu pula tidak dihukumi Musta’mal apabila ia memasukkan tangannya kedalam bak mandi
sebelum ia sempurna membasuh muka sebanyak tiga kali, demikian ini apabila ia di dalam
Wudlu’nya bermaksud membasuh muka sebanyak tiga kali atau ia memiliki kebiasaan membasuh
muka sebanyak tiga kali.

Dan tidak dihukumi Musta’mal pula secara mutlak, apabila ia memasukkan tangannya kedalam
wadah dengan niat44 menggayung atau niat mengambil air untuk disiramkan, baik ia memasukkan
tangan tersebut setelah membasuh wajah sebanyak tiga kali atau satu kali dengan maksud
membasuh wajah hanya sekali.45

Air bekas yang Musta’mal & yang bukan Musta’mal.


Apabila ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya air bekas atau air yang pernah terpakai itu sendiri terbagi
menjadi dua macam, pertama : air bekas yang dihukumi Musta’mal. kedua : air bekas yang tidak
dihukumi Musta’mal.

Macam - macam air bekas yang dihukumi Musta’mal sangat banyak, begitu pula air bekas yang tidak
dihukumi Musta’mal. dalam menetapkan air bekas apakah termasuk Musta’mal atau bukan, perlu
mengembalikan pada definisi air Musta’mal itu sendiri. Jika air tersebut sesuai dengan devinisi maka
dihukumi Musta’mal, dan jika tidak sesuai maka tidak dihukumi Musta’mal.

Air Musta’mal adalah setiap air sedikit yang pernah terpakai di dalam kewajiban. Sebagian ulama’
ada yang mengartikan dengan setiap air sedikit yang pernah terpakai di dalam Ibadah. Pendapat
yang benar ( Shahih ) adalah pendapat yang pertama.

43
Mughni al Muhtaj 1, 51.
44
Menurut as Syabramallisi, niat ini harus dilakukan sebelum meletakkan tangan ke dalam air, jika niat ini
dilakukan setelah memasukkan tangan ke dalam air maka niat tersebut tidak dianggap ( sama dengan orang
yang tidak berniat ). Hasyiah as Syabramallisi, 1, 74.
45
Nihayah al Muhtaj, 1, 73 – 74. Hasyiah al Bujairami, , 118.
32

Agar lebih mudah dalam mnentukan air yang dikatagorikan Musta’mal maka perhatikan label – label
berikut :

1. Diantara air bekas yang dihukumi Musta’mal adalah :

A). air bekas pembasuhan muka, tangan, kaki dls yang pertama kali di dalam Wudlu’.

B). air bekas Wudlu’nya anak kecil yang belum Mumayyiz ( yang di-Wudlu’I oleh walinya ) yang
hendak melakukan Ibadah semacam Thawaf.

C). air bekas Wudlu’nya anak kecil yang sudah pinter / Mumayyiz ( berwudlu’ sendiri ).

D). air bekas Wudlu’nya orang yang bermadzhab Hanafi, Madzhab yang tidak mewajibkan niat di
dalam Wudlu’.

E). air bekas pembasuhan sebagian anggota Wudlu’ ( sebelum sempurnanya pembasuhan ).

F). air sedikit yang digunakan membasuh sebagian anggota Wudlu’ yang sebagian anggota lainnya
disempurnakan dengan Tayammum.

G). air bekas pembasuhan kepala / rambut di dalam Wudlu’ sebagai ganti dari pengusapan.

H). air bekas pembasuhan Khuff ( sepatu atau kaos kaki dari kulit ) di dalam Wudlu’ sebagai ganti dari
pengusapan.

I). air bekas pembasuhan Jabirah ( semacam perban ) dalam bersuci sebagai ganti dari pengusapan.

J). air bekas Wudlu’nya orang yang selalu Hadats / bekas Wudlu’ Dlarurat.

K). air bekas pembasuhan anggota Wudlu’ dari orang yang sudah bertayammum dan Tayammumnya
belum batal. Seperti orang yang bertayammum dengan alasan Dlarurat, kemudian ia berwudlu’
sebelum batalnya Tayammum.

L ). Air bekas mandi wajib

M). air bekas memandikan Mayyit.

N). air bekas mandinya wanita kafir Kitabi ( wanita kafir yang boleh dinikahi Muslim ) setelah selesai
Haidl agar boleh disetubuhi suaminya. Wanita Kitabi tersebut tidak boleh disetubuhi suaminya
terkecuali setelah mandi.

O). air bekas mandinya Istri gila setelah suci dari Haidl-nya ( dengan dimandikan ).

P). air bekas mandinya orang yang baru masuk Islam yang pernah berhadats besar pada saat
kafirnya.

Q). air bekas mandinya orang gila setelah sembuh yang pernah berhadats besar pada waktu gilanya.

R). air bekas pembasuhan najis yang pertama, meskipun hanya najis Makfu ( ringan ) atau najis
Hukmiyyah ( tak berbenda ).
33

S). air bekas pembasuhan yang ke 7 dalam menyucikan najis berat.

Beberapa contoh ini merupakan sebagian kecil dari contoh – contoh air Musta’mal. selain yang telah
disebutkan ini, masih banyak lagi contoh – contoh air Musta’mal yang tidak mungkin ditulis dalam
buku ini secara rinci.

2. Diantara air bekas yang tidak dihukumi Musta’mal adalah :

A). air bekas Wudlu’ sunnat seperti Tajdidul Wudlu’ ( wudlu’ yang diperbarui )

B). air bekas pembasuhan yang kedua dan ketiga ( selain yang pertama ) di dalam Wudlu’ wajib.

C). air bekas pembasuhan kaki di dalam Wudlu’ setelah melakukan pengusapan terhadap Khuff. Pada
kaki tersebut tedapat Khuff.

D). air bekas Madlmadloh ( berkumur ) dan Istintsaq ( menghirup air ).

E). air bekas Wudlu’nya orang yang ragu apakah ia ber-Hadats atau tidak.

F). air bekas mandi – mandi Sunnat : mandi Jum’at, hari raya dls.

G). air bekas mandinya orang gila setelah sembuh. Mandi ini wajib berniat sebab ada kemungkinan
ia junub ketika gila.

H). air bekas mandinya orang kafir setelah masuk Islam. Mandi ini wajib berniat sebab ada
kemungkinan ia junub ketika kafir.

I). air bekas mandinya orang yang mati Syahid Akhirat.

J). air bekas Wudlu atau mandi Sunnat yang menjadi Wajib setelah di Nadzari.

K). air yang lebih 2 Qullah bekas dipakai menghilangkan Hadats dan najis – jika air tersebut tidak
mengalami perubahan Sifat. Demikian ini karena air tersebut kadarnya tidak sedikit.

L). air sedikit yang sudah dipakai dalam men-cuci pakaian kotor yang suci.

M).). air sedikit yang sudah dipakai dalam Wudlu’ wajib atau mandi wajib dan air tersebut masih
melekat pada anggota tubuh.

N). air yang masih melekat pada organ tubuh, hasil perpindahan dari organ lain dengan perpindahan
yang normal. Seperti halnya air yang menempel pada pundak sebab ditetesi air yang melekat pada
kepala.

P). air sedikit yang tersentuh tangan setelah berniat mandi wajib atau setelah membasuh wajah
dalam Wudlu’ wajib, tapi denagn niat menggayung.

Q). air sedikit yang tersentuh tangan saat Wudlu’, setelah melakukan basuhan yang pertama pada
wajah. Demikian ini jika orang yang berwudlu’ terbiasa membasuh wajah sebanyak tiga kali.
34

Setiap air yang sudah terpakai ( tetapi bukan di dalam kewajiban ) tetap dihukumi suci dan
menyucikan.

2. Air yang mengalami perubahan dengan benda suci


Air yang dikatagorikan suci tapi tidak dapat menyucikan yang kedua ialah air yang mengalami
perubahan sifat akibat bercampur dengan benda suci. seperti air yang telah mengalami perubahan
sifat dari yang semula setelah air tersebut bercampur dengan kopi, teh, gamping, sabun dls.

Perlu diperhatikan, di dalam Hasyiah al Baijuri disebutkan, yang dimaksud dengan kata- kata air tidak
bisa menyucikan dalam bab ini ialah air tersebut tidak bisa menyucikan benda lain selain benda yang
mengubah sifat air. ( air tersebut masih bisa menyucikan bagian benda yang mencampuri ).

Contoh : seseorang yang berkeinginan menyucikan bagian adonan yang terkena najis, apabila ia
kemudian menuangkan air sedikit terhadap adonan tersebut dan air tersebut mengalami perubahan
sifat sebelum mengenai bagian yang najis, maka semua bagian adonan tersebut dihukumi suci
setelah keseluruhannya terjamah oleh air dan air tersebut sudah dipisah / dibuang dari adonan.
Demikian ini sebagaimana keterangan yang dinukul oleh Imam as Syabramallisi dari Imam at
Thablawi.46

Syarat air yang sifatnya berubah


Air Mutlak yang bercampur dengan benda suci tidak serta – merta langsung dikatagorikan sebagai
air yang tidak dapat menyucikan. Tetapi, air Mutlak yang sudah tercampuri benda suci dapat
dikatagorikan sebagai air yang tidak menyucikan ialah apabila telah memenuhi beberapa kreteria
berikut :

I). Sifat air tersebut berubah disebabkan benda suci yang mencampuri.

II). Perubahan sifat air tersebut mencolok.

III). Perubahan air tersebut sudah diyakini ( perubahan secara yakin ).

IV). Benda suci yang mencampuri berupa benda Mujawir / larut dalam air.

V). Benda suci yang mencampuri air bukan berupa benda yang sulit dihindarkan dari air. 47

Syarat pertama

Sifat air tersebut berubah disebabkan benda suci yang mencampuri. Setiap air, baik sedikit atau
banyak, apabila salah satu sifatnya ( warna, rasa dan warna ) telah mengalami perubahan dari sifat

46
Hasyiah al Baijuri, 1, 59.
47
Hasyiah al Bujairami, 1, 121.
35

yang semula dan perubahan ini disebabkan bercampur dengan benda suci maka hukumnya adalah
suci saja. Tidak dapat menyucikan.

Perubahan yang bisa mempengaruhi terhadap status air hanyalah perubahan yang terjadi pada sifat
– sifat air yang tiga saja, yaitu warna, bau dan rasa, bukan yang lain.

Perubahan yang terjadi pada air setelah kecampuran benda suci – tapi pada selain tiga sifat tersebut
- tidak berpengaruh menjadikannya sebagai air yang suci saja. Seperti halnya air yang berubah
menjadi dingin atau panas setelah tercampuri benda suci dls. 48

Sedangkan air yang apabila salah satu sifatnya mengalami perubahan tetapi bukan disebabkan
tercampuri benda, maka air tersebut tetap dihukumi suci dan menyucikan.

Menurut Imam al Qalyuby, Rawa’ih ( bau wangi atau busuk ) yang tercium dari air bukan termasuk
benda. Air Mutlak apabila menghembuskan bau wangi atau busuk dengan sebab tercemari bau dari
benda yang berada disampinya tetap suci dan menyucikan meskipun bau air tersebut sudah berubah
dari asalnya, sebab air tersebut tidak tercampuri oleh benda apapun ( hanya bau ). Menurut Imam ar
Ramli, bau tersebut merupakan sesuatu yang menyatu / larut dengan air ( Mukhalith ), sedangkan
menurut Imam Ibnu Hajar, bau tersebut merupakan sesuatu yang berdampingan dengan air
( Mujawir ), tidak sampai menyatu dan larut. 49

Air apabila salah satu sifatnya mengalami perubahan setelah tercampuri benda najis - bukan
disebabkan tercampuri benda suci - maka air tersebut dihukumi najis.

Perubahan dengan benda suci


Benda suci yang bercampur dan mengubah sifat air terbagi menjadi dua macam.

Pertama : benda yang memilki sifat yang berbeda dengan air, baik dalam warna, rasa dan bau

Kedua : benda yang memiliki persamaan sifat dengan air, baik dalam warna, rasa dan bau.
Seperti air Musta’mal, air Mawar yang tidak memeilki bau dls.

Air yang bercampur dengan benda suci yang memilki sifat berbeda dengan air, untuk mengetahui
apakah sifat air itu berubah atau tidak, ialah cukup dengan melihat warnanya, menyicipi rasanya
atau mencium baunya.

Sedangkan air yang bercampur dengan benda suci yang memilki persamaan sifat dengan air, seperti
air Musta’mal atau air mawar yang tidak memiliki bau, maka untuk mengetahui perubahan sifat
pada air ialah dengan menggunakan perkiraan :

a. Menurut Imam ar Rauyani, benda yang mencampuri air tersebut harus di perkirakan dan
diumpamakan sebagai benda yang serupa atau benda yang sejenis yang memiliki sifat
berbeda dengan air.

48
Hasyiah as Syarqawi, 1, 35.
49
Hasyiah al Bujairami, 1, 121.
36

Apabila benda yang mencampuri air tersebut berupa air mawar yang tidak memilki bau
misalnya, maka untuk mengetahui apakah air tersebut mengalami perubahan sifat atau
tidak, caranya ialah dengan memperkirakan seandainya benda yang mencampuri air
tersebut berupa air mawar yang memiliki bau, apakah air tersebut akan mengalami
perubahan atau tidak. Jika menurut perkiraan air tersebut mengalami perubahan ( mencolok
) maka hukum air tidak lagi menyucikan, begitu pula sebaliknya.
b. Menurut Imam Ibnu Ishrun, benda yang mencampuri air tersebut harus diperkirakan dan
diumpamakan sebagai benda yang memilki sifat sedang yang berbeda dengan sifat yang
dimilki air ( bukan benda yang memilki sifat yang terlalu mirip dengan sifat air dan bukan
pula benda yang memilki sifat yang terlalu berbeda dengan sifat air / mudah mengubah sifat
air semacam tinta ). Pendapat ini merupakan pendapat Mu’tamad yang banyak diikuti oleh
para ulama’.
Para ulama’ menetapkan benda yang memilki sifat sedang ialah, perasan dari buah dalam
hal warna, buah delima dalam hal rasa dan kemenyan dalam hal bau.

Menurut Imam al Bujairami, perbedaan antara Imam ar Rauyani dan Imam Ibnu Ishrun ini berlaku
apabila benda yang mencampuri air berupa benda suci yang memilki persamaan sifat tidak asli
( benda tersebut aslinya memilki sifat berbeda dengan air ) seperti air mawar yang tidak memilki bau
atau semacamnya.

Sedangkan benda yang pada asalnya memang meiliki sifat yang sama dengan air seperti air
Musta’mal, maka cara memperkirakan perubahannya dengan mengikuti pendapat Imam bnu
Ishrun.50

Imam as Syarqawi dan Imam al Baijuri menyebutkan : memperkirakan perubahan air yang
tercampuri benda suci yang memilki persamaan sifat dengan air hukumnya tidak Wajib, tetapi
Sunnat. Maka apabila seseorang yang hendak bersuci dari Hadats langsung menggunakan air yang
tercampuri benda suci - tanpa memperkirakan perubahannya terlebih dulu - maka bersucinya
dihukumi Sah, sebab saat itu ia dihukumi sama dengan orang yang meragukan prubahan sifat pada
air. Keraguan itu sendiri tidak dapat merusak hukum asal air. Asal air tersebut suci dan menyucikan. 51

Memperkirakan perubahan air


Benda suci yang terjatuh kedalam air, apabila benda tersebut memiliki sifat yang sama dengan air
secara kesuluruhan ( warna, rasa dan bau ) seperti air Musta’mal, maka perubahan air tersebut
hendaknya diperhatikan secara keseluruhan dengan memperkirakan benda lain yang memilki sifat
sedang yang berbeda dengan air.

Apakah sifat air akan berubah jika seandainya benda yang terjatuh ke dalam air berupa benda yang
memiliki sifat yang berbeda dengan air.

Pertama : memperkirakan warna. Apakah warna air tersebut berubah atau tidak jika seandainya
benda yang masuk ke dalam air berupa benda yang berwarna sedang. jika berubah maka air

50
Hasyiah al Bujairami, 1, 123.
51
Hasyiah as Syarqawi, 1, 35. Hasyiah al Baijuri, 1, 61.
37

tersebut tidak lagi menyucikan. dan jika tidak berubah maka perkirakan kembali dengan benda yang
berbau sedang.

Kedua, memperkirakan bau. Apakah bau air tersebut berubah atau tidak jika seandainya benda
yang masuk ke dalam air berupa benda yang berbau sedang. jika berubah maka air tersebut tidak
lagi menyucikan, dan jika tidak berubah maka harus diperkirakan kembali dengan benda yang
memiliki rasa sedang.

Ketiga : memperkirakan rasa. Apakah rasa air tersebut berubah atau tidak jika seandainya benda
yang masuk ke dalam air berupa benda yang memilki rasa sedang. jika berubah maka air tersebut
tidak lagi menyucikan, dan jika tidak berubah maka air tersebut dapat menyucikan.

Dalam permasalahan ini, mencolok dan tidaknya perubahan air juga perlu diperhatikan sebab
apabila diperkirakan perubahan air tersebut mencolok maka air tidak lagi dapat menyucikan, tatapi
sebaliknya apabila perubahannya diperkirakan tidak mencolok maka air tetap menyucikan.

Apabila benda yang mencampuri air memilki sifat yang sama dengan sifat air tapi tidak
keseluruhannya, seperti air mawar yang memiliki bau yang tidak sama dengan bau air dan memilki
warna serta rasa yang sama dengan air, maka disini yang perlu diperkirakan perubahannya adalah
hanya warna dan rasanya saja.52

Syarat kedua

Perubahan air tersebut harus mencolok. Air Mutlak yang megalami perubahan dengan sebab
dicampuri benda suci tidak lagi dapat menyucikan, demikian ini jika memang perubahan air tersebut
mencolok. Yang dimaksud dengan perubahan mencolok disini ialah perubahan air tersebut dapat
menghilangkan kemutlakan nama air yang dimilkinya, sehingg seseorang yang melihatnya tidak lagi
menyebutnya dengan sebutan air begitu saja, tetapi masih mengembel – embeli dengan kata lain
yang terletak setelahnya atau perubahan sifat tersebut dapat mengubah nama air menjadi nama
lain, misalnya seperti air teh, air sabun dls. Sedangkan apabila perubahan sifat yang terjadi pada air
tersebut tidak mencolok ( tidak sampai memunculkan nama baru bagi air ) maka air tersebut
statusnya tidak berubah, tetap suci dan menyucikan. 53

Dalam permasalahan ini para Ulama’ tidak membedakan antara air sedikit dan air yang banyak.
Menurut mereka, setiap air yang sudah mengalami perubahan mencolok dengan sebab bercampur
benda suci tidak bisa dipakai untuk menyucikan secara pasti sebab air tersebut statusnya bukan lagi
“Air” tetapi benda cair.

Benda suci yang mencampuri air

52
Hasyiah al Bujairami, 1, 123.
53
Nihayah al Muhtaj, 1, 63.
38

Air yang mengalami perubahan sifat dengan sebab bercampur dengan benda suci terbagi menjadi
dua bagian. Pertama, air yang mengalami perubahan secara nyata. Kedua air yang mengalami
perubahan sifat secara perkiraan saja.

Air yang mengalami perubahan sifat secara nyata ialah air yang mengalami perubahan sifat dan
perubahannya tersebut dapat diketahui dengan cara melihat pada warnanya, mencium pada baunya
dan menyicipi rasanya. Demikian ini jika memang benda yang mencampuri air berupa benda yang
sifatnya berlainan dengan air, seperti semen, tepung, kopi, gula dls.

Air yang mengalami perubahan sifat secara perkiraan ialah air yang tercampuri benda suci yang
memiliki sifat yang sama dengan sifat air. Dalam hal ini, untuk mengetahui perubahan air tersebut
ialah dengan memperkirakan benda suci yang mencampuri air sebagai benda yang memilki sifat
sedang yang berbeda dengan air. Perasan anggur dalam masalah warna, buah delima dalam
masalah rasa dan kemenyan dalam masalah bau.

Syarat ketiga

Perubahan air tersebut sudah diyakini ( perubahan secara yakin ). Air yang mengalami perubahan
dengan sebab bercampur benda suci dapat dihukumi sebagai air yang tidak menyucikan apabila
perubahan air tersebut sudah diyakini mencolok.

Air Mutlak yang mengalami perubahan sifat karena tercampuri benda suci, apabila perubahan
tersebut masih diragukan ( apakah perubahan air tersebut mencolok atau tidak ) maka air tersebut
tetap dihukumi suci. Sebuah hukum tidak bisa ditetapkan dengan berdasarkan keragu- raguan. 54

Air Mutlak yang sebelumnya sudah diyakini mengalami perubahan mencolok pada sifatnya dengan
sebab tercampuri benda suci, apabila perubahan air tersebut kemudian diragukan ( apakah
perubahannya masih tetap banyak / mencolok atau tidak ), maka menurut Imam al Adzra’I air
tersebut dihukumi sebagai air yang mengalami perubahan sifat yang mencolok, air tersebut tidak
bisa digunakan untuk menyucikan. Tetapi menurut Imam ar Ramli air tersebut tetap dihukumi bisa
menyucikan. Beliau menyamakan permasalahan ini dengan permasalan ragu yang terjadi di awal
perubahan.55

Syarat keempat

Benda suci yang mencampuri harus berupa benda yang Mukhalit. Sebelumnya perlu diketahui
bahwa benda suci yang mencampuri air terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mujawir dan Mukhalit.

Mujawir adalah benda suci yang bisa dipisahkan dari air tatkala bercampur atau benda yang bisa
dibedakan dari air dengan pandangan mata. Seperti batu, kayu, kramik, daun yang belum hancur dls.

Mukhalith adalah benda suci yang tidak bisa dipisahkan dari air tatkala bercampur atau benda yang
tidak bisa dibedakan dari air dengan pandangan mata. Seperti semen, tepung, gula, kopi dls.
54
Syarh Muqaddimah al Hadraniyyah.
55
Hasyiah al Bujairami, 1, 124.
39

Apabila benda suci yang mencampuri air Mutlak berupa benda Mukhalit maka status air tersebut
tidak lagi menyucikan.

Mukhalith dan Mujawir


Mukhalith adalah kebalikan dari Mujawir. Mengetahui pengertian Mukhalith berarti juga
mengetahui pengertian Mujawir.

Ada tiga devinisi mengenai Mukhalit yang diberikan para Ulama’.

Pertama : benda suci yang tidak dapat dibedakan dari air dengan menggunakan pengelihatan tatkala
benda tersebut bercampur dengan air. Dari pendapat ini bisa ditetapkan bahwa Turab / debu
termasuk benda yang Mukhalit, sebab tatkala air sudah bercampur dengan debu maka mata tidak
akan bisa membedakan mana yang air dan mana yang debu. Demikian ini adalah pendapat yang
Ashah.

Kedua : benda suci yang tidak bisa dipisahkan dari air jika sudah bercampur. Dari pendapat ini dapat
ditetapkan bahwa Turab / debu bukan termasuk benda Mukhalit, sebab debu yang bercampur
dengan air masih bisa dipisahkan setelah air itu tenang dan debu yang mencampuri sudah turun ke
bagian bawah. Debu termasuk benda Mujawir.

Ketiga : ketetepan Mukhalit dan Mujawir hanya dapat ditentukan oleh Uruf ( kebiasaan ).56

Thurab ( debu )
Menurut Qaul Ashah, Debu termasuk benda yang Mukhalith dengan air. Menurut Qaul Adhar, Air
yang mengalami perubahan dengan sebab tercampuri debu tetap dihukumi suci dan dapat
menyucikan, bahkan meskipun debu tersebut sengaja dilemparkan ke dalam air.

Ada dua alasan mengapa para ulama’ menganggap debu yang mencampuri air tidak dapat
mempengaruhi status air. Pertama, karena adanya persamaan antara debu dan air dalam hal sama-
sama bisa dipakai bersuci. Debu juga merupakan salah satu alat ( bantu ) yang bisa digunakan dalam
bersuci, seperti halnya di dalam Tayammum dan salah satu pembasuhan najis anjing. Kedua, karena
sebenarnya debu tidak mengubah sifat yang ada pada air, tetapi debu tersebut hanya mengeruhkan
warna air saja. Jika air yang tercampuri debu sudah tenang dan debu sudah turun berada di bagian
bawah maka air tersebut menjadi jernih kembali. 57

Buah atau biji yang direbus


As Syaikh Zainuddin al Malibari menyebutkan : termasuk Mujawir adalah sejenis jagung atau kurma
yang direbus di dalam air.
56
Nihayah al Muhtaj, 1, 69. Mughni al Muhtaj, 1, 48.
57
Nihayah al Muhtaj, 1, 67.
40

Air yang dipakai dalam merebus biji – bijian atau buah – buahan yang kemudian mengalami
perubahan sifat ( warna, bau dan rasa ) tetap dihukumi suci dan dapat menyucikan, meskipun
perubahan sifat air itu mencolok, sebab biji – bijian dan buah – buahan tersebut termasuk benda
Mujawir bukan Mukhalith.

Demikian ini jika memang tidak diketahui adanya bagian biji atau buah yang terkelupas dan
kemudian hancur di dalam air / menyatu dengan air, atau jika air rebusan tersebut tidak sampai
mendapat nama baru atau sebutan baru seperti halnya sebuatan Kuah dan semacamnya. 58

Di dalam Syarh al Ubab disebutkan : biji - bijian, gandum serta buah – buahan yang berada di dalam
air ( mengubah sifat air ) tergolong benda Mujawir. Jika memang ketiganya masih tetap utuh dalam
bentuknya yang semula. Sedangkan apabila dari ketiganya terdapat bagian yang terkelupas maka
ketiganya disebut dengan benda yang Mukhalith dengan air.

Apabila ketiga benda tersebut direbus di dalam air dan air rebusannya mengalami perubahan sifat
yang mencolok, tetapi dari ketiga benda tersebut tidak ada bagian yang terkelupas, maka dalam hal
ini terdapat dua pendapat dari para Ulama’. Menurut pendapat yang lebih kuat, perubahan tersebut
tidak berpengaruh apa – apa terhadap air. Bahkan meskipun air tersebut mendapat sebutan nama
baru.59

Al Bukhur
As Syaikh Zainuddin al Malibari menyebutkan : termasuk benda Mujawir adalah al Bukhur ( dupa /
kemenyan ) meskipun baunya tanpak dan jelas pada air.

Imam ar Ramli as Shaghir menyebutkan di dalam Nihayah-nya : sudah jelas, dalam permasalahan air
yang diharumkan dengan dupa / kemenyan sehingga rasa, warna dan bau air mengalami perubahan
tidak dapat menghilangkan status Thuhuriyyah bagi air ( air tersebut tetap menyucikan ) disebabkan
tidak adanya kenyataan yang jelas mengenai terlepasnya benda dari dupa yang kemudian
mencampuri air.

Dalam permaslahan ini Ba’dluhum menyimpulkan setidaknya terdapat dua pendapat berbeda dari
para ulama’ mengenai air yang harumkan dengan kemenyan, yaitu dengan menyamakan
permasalahan ini dengan permasalahan asap najis. Jika asap najis dapat menajiskan air tentunya
dupa juga dapat mempengaruhi status air, begitu pula sebaliknya.

Namun, as Syaikh Abu Bakar as Syatha’ menegaskan bahwa permasalahan asap najis berbeda
dengan permasalahan dupa yang digunakan dalam mengharumkan air. Menurut beliau, asap najis /
asap dari benda najis merupakan bagian benda najis yang terlepas dengan perantara api, sehingga
asap tersebut dapat menajiskan air tatkala menyentuh air - meskipun asap itu sendiri benda
Mujawir. Sedangkan dupa ( aroma yang di keluarkan dupa ) merupakan perkara suci yang tidak
dapat menghilangkan status Thuhuriyyah / menyucikan bagi air, sebab belum ada kejelasan
mengenai apakah aroma dupa tersebut Mukhalith dengan air atau tidak.60
58
Fath al Mu’in / Hamisy I’anah at Thalibin, 1, 61.
59
I’anah at Thalibin, 1, 61 – 62.
60
I’anah at Thalibin, 1, 61.
41

Antara Mukhalith dan Mujawir


Terdapat perbedaan hukum antara air yang tercampuri benda Mukhalith dengan air yang tercampuri
benda Mujawir.

Mukhalit : air yang bercampur dengan benda Mukhalit tetap dihukumi menyucikan apabila tidak
mengalami perubahan atau meskipun mengalami perubahan tetapi hanya sedikit / tidak menccolok.
Dan air tidak dihukumi menyucikan apabila perubahannya banyak / mencolok.

Mujawir : air yang benrcampur dengan benda Mujawir tetap dihukumi suci dan menyucikn, baik air
tersebut mengalami perubahan atau tidak, baik perubahan air tersebut mencolok / banyak atau
sedikit.61

Mujawir atau Mukhalit


Apabila seseorang meragukan benda yang mencampuri air ( apakah benda tersebut Mukhalith atau
Mujawir ) maka yang dimenangkan dan yang dianggap adalah Mujawir / benda tersebut dihukumi
Mujawir. Orang tersebut bisa menggunakan air tersebut untuk bersuci. Permasalahan ini sama
dengan permasalahan orang yang ragu terhadap perubahan air dengan benda Mukhalith ( apakah
perubahan tersebut banyak / mencolok atau tidak ). Disini yang dianggap adalah asal dari air ( suci
menyucikan ), sebagaimana yang dikatakan oleh Imam as Syaubary.62

Imam al Bujairami dan Imam al Baijuri menyebutkan, apabila terdapat dua benda berbeda yang
bercampur dengan air ( Mukhalith dan Mujawir ) dan air tersebut mengalami perubahan sifat yang
mencolok, tetapi belum jelas mengenai benda yang menyebabkan berubahnya sifat air / masih
diragukan - apakah benda yang Mukhalith ataukah Benda yang Mujawir, maka dalam permasalahan
seperti ini air tersebut statusnya tetap suci dan menyucikan. Status menyucikan tidak bisa
dihilangkan dengan keragu – raguan.63

Mujawir yang berpengaruh


Air yang mengalami perubahan dengan sebab benda Mujawir tetap dihukumi suci dan menyucikan,
meskipun perubahan tersebut mencolok dan terjadi pada warna, rasa dan bau, bahkan meskipun air
tersebut setelah itu memilki nama / sebutan baru ( selain nama air ).

Namun Imam al Abbadi menyebutkan, jika air tersebut memunculkan nama / sebutan baru setelah
tercampuri benda Mujawir – seperti halnya daging yang dimasukkan kedalam air dan kemudian air
tersebut berubah nama menjadi kuah - maka hukum air tersebut tidak lagi menyucikan. 64

61
Fath al Qarib,
62
Hasyiah al Bujairami, 1, 122.
63
Hasyiah al Bujairami, 1, 120. Hasyiah al Baijuri, 1, 61.
64
Hasyiah al Baijuri, 1, 61.
42

Syarat kelima
Benda yang mencampuri air bukan berupa benda yang sulit dihindarkan dari air. Menurut Qaul
Adhar, Air Mutlak yang tercampuri benda suci, apabila benda suci yang mencampuri tersebut berupa
benda yang sulit dihindarkan dari air maka hukum air tetap Mutlak ( bisa digunakan bersuci ), baik
air tersebut mengalami perubahan sifat yang banyak ( mencolok ) atau tidak.

Tapi apabila benda yang mencampuri air tersebut berupa benda yang tidak sulit dihidarkan dari air –
seperti tepung, semen, gula dls. - maka hukum air tidak lagi berstatus Mutlak ( tidak bisa digunakan
bersuci ). Demikian ini apabila air tersebut mengalami perubahan yang mencolok. 65

Diantara benda suci yang sulit dihindarkan dari air adalah lumpur, lumut, tanah dls.

Thiin / lumpur.
Lumpur merupakan benda suci yang sulit dihidarkan dari air. Air Mutlak yang tercampuri lumpur
hingga mengalami perubahan sifat tetap dihukumi Mutlak, air tersebut masih bisa dipakai bersuci
meskipun perubahannya banyak ( mencolok ), bahkan meskipun lumpur tersebut dilemparkan
dengan sengaja ke dalam air setelah dihaluskan. 66

Tetapi apabila perubahan air yang kecampuran lumpur tersebut terlalu parah, sekiranya air tersebut
tidak layak disebut air, tetapi disebut dengan lumpur maka dalam hal ini air tersebut tidak bisa
digunakan dalam bersuci sebab pada hakekatnya air tersebut sudah menjadi lumpur, bukan air. 67

Thuhlab / Thuhlub ( Lumut )


Lumut merupakan benda suci yang sulit dihidarkan dari air. Air Mutlak yang mengalami perubahan
sifat dengan sebab lumut yang berada di dalamnya tetap dihukumi Mutlak meskipun perubahan
yang terjadi sangat banyak ( mencolok ).

Lumut yang tidak mempengaruhi ke-Mutlakan air ialah lumut yang berada di air, artinya lumut
tersebut bukan lumut yang diambil dari air yang kemudian dihaluskan dan dilemparkan kembali ke
dalam air, sebab lumut seperti ini termasuk benda yang larut dengan air ( Mukhalit ) dan bukan
termasuk benda yang sulit dihindarkan dari air. Sehingga apabila air yang tercampuri lumut itu
kemudian mengalami perubahan sifat yang mencolok maka air tersebut tidak bisa digunakan untuk
bersuci ( tidak Mutlak ).68

65
Nihayah al Muhtaj, 1, 69.
66
Hasyiah al Baijuri, 1, 61.
67
Nihayah al Muhtaj, 1, 69.
68
Hasyiah al Bajuri, 1, 61.
43

Imam ar Ramli berkata : apabila lumut tersebut diambil dari air, kemudian lumut tersebut
dihaluskan dan dilempar kembali ke dalam air maka dapat membahayakan status air. Maksudnya, air
tersebut tidak bisa menyucikan jika terjadi perubahan sifat yang mencolok. 69

Imam as Syabramallasi berkata : apabila lumut tersebut diambil dari air dan dilempar kembali ke
dalam air ( sebelum dihancurkan ), baik air tersebut adalah air yang ditempati lumut itu sebelumnya
atau air lain, dan lumut tersebut hancur dengan sendirinya di dalam air - maka lumut tersebut tidak
membahayakan status air. Maksudnya, air tersebut tetap suci dan menyucikan meskipun mengalami
perubahan sifat.70

Daun dan buah


Daun yang berjatuhan dari pohon merupakan benda suci yang sulit dihidarkan dari air. Air Mutlak –
seperti air sungai, kolam dls. - yang terjatuhi daun pohon dan mengalami perubahan sifat yang
mencolok tetap dihukumi Mutlak meskipun posisi pohon tersebut letaknya jauh dari air, bahkan
meskipun daun tersebut kemudian hancur di dalam air dan menyatu dengan air. Demikian ini
dengan catatan apabila daun tersebut masuk ke dalam air dengan sendirinya.

Apabila daun tersebut jatuh dengan sendirinya ke dalam air serta tidak hancur di dalamnya maka
menurut Qaul Adhar air tersebut tetap suci menyucikan. sebab daun tersebut dalam permasalahan
ini termasuk benda yang Mujawir / tidak larut dengan air.

Tapi apabila kemudian daun tersebut hancur di dalam air, dan dapat mengubah sifat air dengan
perubahan yang mencolok maka menurut pendapat yang Ashah air tersebut tetap suci menyucikan.
Sebab dalam masalah ini terdapat kesulitan menjaga perubahan air dari daun tersebut.

Apabila daun tersebut dilemparkan dengan sengaja ke dalam air, kemudian hancur dan mengubah
sifat air dengan perubahan yang mencolok, maka menurut pendapat dalam Madzhab menetapkan
bahwa air tersebut tidak lagi menyucikan, baik daun tersebut dilempar dalam kondisi baik atau
dalam kondisi sudah dihancurkan terlebih dulu. sebab daun tersebut dalam permasalahan ini sudah
menjadi benda Mukhalith yang mencampuri air.71

Buah – buahan yang jatuh ke dalam air dapat mempengaruhi status air menjadi tidak menyucikan,
baik buah – buahan tersebut jatuh ke dalam air dengan sendirinya atau ada orang yang sengaja
menjatuhkannya, baik buah – buahan tersebut menyerupai daunya atau tidak. Demikian ini apabila
air tersebut mengalami perubahan dengan sebab sesuatu yang terlepas dari buah yang jatuh
kedalam air.

Buah – buahan merupakan benda suci yang mudah dihindarkan agar tidak terkena air atau agar tidak
terjatuh ke air. Sehingga keberadaannya dapat mempengaruhi status air yang dijatuhinya, 72

69
Nihayah al Muhtaj, 1, 67.
70
Hasyiah as Syabramallisi, 1, 67.
71
Kifayah al Akhyar, 1, 10 – 12. Hasyiah al Baijuri, 1, 61.
72
Nihayah al Muhtaj, 1, 67 – 68. Hasyiah Syabramallisi, 1, 68.
44

Sesuatu yang berada di tempat mengalirnya air


Sesuatu yang berada ditempat yang dilewati air yang mengalir merupakan benda yang sulit
dihidarkan dari air. Air Mutlak yang mengalir apabila mengalami perubahan dengan sebab sesuatu
yang berada di temapat yang dilewatinya – seperti lumut, blerang dls. - tetap dihukumi Mutlak dan
bisa menyucikan. Sebab disini terdapat kesulitan di dalam menjaga air agar tidak bercampur dengan
sesuatu tersebut.

Diambil dari kalam para Ulama’ : yang dimaksud dengan tempat yang dilewati air mengalir disini
adalah tempat yang alami ( bukan buatan manusia ) atau buatan manusia akan tetapi menyerupahi
alami.73

Sesuatu yang berada di tempat berkumpulnya air yang mengalir ( muara )


Sesuatu berada ditempat berkumpulnya air merupakan benda yang sulit dihidarkan dari air. Air
Mutlak yang mengalir dan bermuara di tempat yang disitu terdapat sesuatu yang dapat mengubah
sifat air – seperti lumut, blerang dls. - tetap dihukumi Mutlak dan bisa menyucikan. Sebab disini
terdapat kesulitan di dalam menjaga air agar tidak bercampur dengan sesuatu tersebut.

Diambil dari kalam para Ulama’ : yang dimaksud dengan tempat yang menjadi tempat berkumpulnya
air disini adalah tempat yang alami ( bukan buatan manusia ) atau buatan manusia akan tetapi
menyerupahi alami.74

Air lama tidak terpakai


Air Mutlak yang mengalami perubahan sifat ( warna, bau dan rasa ) dengan disebabkan karena lama
tidak terpakai - hukumnya tetap suci dan menyucikan.

Para Ulama’ berbeda pendapat mengenai alasan yang menyebabkan air ini tetap suci dan
menyucikan. Menurut Imam Ibnu ‘Athiyyah, alasan yang tepat ialah karena dalam masalah ini
terdapat kesulitan di dalam menjaga air yang lama tidak terpakai dari perubahan. Sedangkan
menurut Qaul Adhar, alasan yang benar ialah karena air tersebut tidak tercampuri dengan sesuatu
apapun. Berubah dengan sendirinya tanpa ada sesuatu yang mencampurinya. 75

Kotak air pembasuhan kaki


Kotak air ( semacam kolam kecil yang tidak dalam ) yang biasanya berada diantara pintu masuk
masjid dan pintu kamar mandi / tempat Wudlu’. Kotak yang berisi air ini biasanya dilewati oleh
orang yang handak memasuki Masjid atau yang hendak keluar dari kamar mandi. Air ini jika
dibiayarkan beberapa hari pasti akan mengalami perubahan sifat, baik baunya yang mulai
73
Nihayah al Muhtaj, 1, 76.
74
Nihayah al Muhtaj, 1, 76.
75
Hasyiah al Baijuri, 1, 62.
45

membusuk atau warnanya yang agak menghitam. Lalu bagaimanakah pandangan fiqih mengenai air
tersebut.?

Dalam permaslahan ini terdapat pemilahan ( Tafsil ) :

Pertama : apabila perubahan air tersebut hanya sedikit, sekiranya perubahan tersebut tidak
memunculkan nama baru bagi air atau perubahan tersebut tidak sampai menghilangkan kemutlakan
nama air baginya maka hukumnya tetap suci dan menyucikan.

Kedua : apabila perubahan air tersebut mencolok / banyak dan disebabkan terlepasnya kotoran
pada kaki maka hukum air tersebut tidak menyucikan ( hanya suci saja ), sebab air tersebut
mengalami perubahan sifat dengan disebabkan benda suci. Namun menurut Imam ar Ramli al Kabir,
perubahan pada air seperti itu merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan serta termasuk kejadian
yang umum terjadi, oleh karenanya menurut beliau perubahan pada air tersebut dimaafkan (
Makfu ) dan air tersebut tetap suci menyucikan. Pendapat yang Dhahir adalah pendapat yang
pertama ( suci saja ).

Tetapi apabila perubahan air tersebut bukan disebabkan terlepasnya kotoran kaki, tetapi disebabkan
karena lama tidak diganti ( dibiyarkan terlalu lama ) maka hukum air tetap suci dan menyucikan.

Dalam fatwa Imam ar Ramli disebutkan kupasan mengenai tempat yang digunakan merendam diri
yang air di dalamnya mengalami perubahan mencolok dengan sebab sering dipakai.

Menurut beliau, air tersebut tetap dihukumi suci dan menyucikan meskipun sudah mengalami
perubahan yang parah / mencolok. Perubahan tersebut tidak diketahui penyebab pastinya, bahkan
kemungkinan besar perubahan tersebut terjadi disebabkan karena Thulu al Muksi / lama tidak
diganti. Dan seandainya penyebab perubahan air tersebut berupa kotoran badan yang terlepas dari
orang yang berendam di dalamnya, maka hal ini juga tidak dapat menjadikan status air tersebut
sebagai air yang suci saja, sebab perubahan air dengan kotoran badan ini merupakan sesuatu yang
sulit dihindarkan. Imam ar Ramli menyamakan permasalahan air pada tempat pembasuhan kaki
dengan permasalahan ini.76

3. Air yang keluar dari benda suci


Air suci yang tidak bisa digunakan di dalam bersuci yang ketiga ialah air yang dikeluarkan dari benda
suci atau air yang diperas dari benda suci. Seperti air kelapa, air perasan anggur, air yang keluar dari
batang atau ranting kayu, air mawar dls.

Air bagian ketiga ini sebenarnya bukan termasuk katagori air, tetapi benda cair. Hanya saja as Syaikh
Zakaria al Anshari memasukkan benda cair seperti ini ke dalam bagian ketiga dari pembagian air
yang tidak dapat menyucikan.77

III. Air najis


76
Hasyiah as Syabramallisi, 1, 67. Hasyiah Ahmad bin Abd Razzaq al Maghribi ar Rasyidi, 1, 67 -77.
77
Tuhfa at Thullab / Hasyiah as Syarqawy, 1, 25.
46

Air najis
Yang dimaksud air najis pada bab ini adalah air Mutlak yang terkena najis, bukan air yang memang
tercipta dengan setatus najis, seperti air kencing dan semacamnya.

Air najis adalah air Mutlak yang berubah status menjadi air najis setelah tersentuh benda najis. Air
najis bisa diungkapkan dengan air Mutlak yang tercampuri benda najis.

para ulama’ membagi air najis ini menjadi dua bagian, yaitu air sedikit yang najis dan air banyak yang
najis. Masing – masing keduanya memiliki hukum yang berlainan. 78

Najis yang tersentuh air


Sebelumnya kita perlu mengetahui perbedaan antara air yang tersentuh benda najis dengan benda
yang tersentuh air / air yang menyentuh benda najis ( pada benda suci yang disucikan ).

Air yang tersentuh benda najis berarti benda najis mendatangi air / masuk kedalam air, sedangkan
air yang menyentuh najis berarti air yang mendatangi benda najis.

Air yang tersentuh najis akan berubah menjadi najis sesuai dengan pembagiannya dan hukum –
hukum yang tekandung di dalamnya.

Sedangkan air yang menyentuh benda najis - seperti halnya air yang dipakai di dalam menyucikan
benda suci yang terkena najis - status airini di-Tafsil :

Pertama : apabila air tersebut banyak maka hukumnya tetap suci menyucikan, dengan catatan air
tersebut tidak mengalami perubahan sifat. Jika air tersebut mengalami perubahan sifat maka
hukumnya adalah najis.

Kedua : apabila air tersebut hanya sedikit maka hukumnya tetap suci tapi tidak menyucikan,
demikian ini apabila memenuhi tiga Syarat berikut ini:

1. Benda yang disucikan sudah dihukumi suci.


2. Air tersebut tidak mengalami perubahan sifat dengan najis yang berada di benda yang
disucikan.
3. Air tersebut tidak bertambah banyak ukurannya ( setelah memperkirakan air yang masih
melekat pada benda ).

Apabila salah satu dari tiga Syarat di atas tidak terpenuhi maka hukum yang dimilki air adalah najis.
Seperti halnya :

1. Benda yang disucikan belum dihukumi suci.


2. Benda yang sucikan sudah dihukumi suci tetapi air yang digunakan mengalami perubahan
sifat.
3. Air tersebut tidak mengalami perubahan sifat, tetapi ukurannya bertambah.

78
Tuhfa at Thullab / Hasyiah as Syarqawy, 1, 25.
47

Apabila air tersebut hanya sedikit dan di dalamnya terdapat benda najis maka hukumnya air adalah
najis.

Air banyak dan air sedikit


Sebelumnya kita perlu mengetahui apa itu air sedikit dan air banyak. Sebab dalam ilmu Fiqih –
terutama pada bab – bab yang menerangkan permasalahan air / bersuci - banyak sekali tercantum
redaksi yang menyebutkan air sedikit dan air banyak.

Air sedikit adalah air yang ukurannya kurang dari 2 Qullah, sedangkan air banyak adalah air yang
ukurannya mencapai 2 Qullah atau lebih.

Qullah adalah nama sebuah wadah air yang mirip guci besar. Yang dimaksud Qullah disni adalah
Qullah desa Hajar.

Menurut pendat yang Ashah, air 2 Qullah adalah air yang berukuran 50 Rithl / kati negara Baghdad –
menurut perkiraan saja, bukan batasan pasti, sehingga air yang kurang dari 2 Qullah, tetapi
kurangnya hanya sedikit ( tidak lebih 2 Rithl / kati79 ) tetap disebut air banyak ( Hukumnya sama
dengan air dua Qullah ).

Jika diukur dalam bentuk wadah maka air 2 Qullah sama dengan sepenuh wadah kotak / segi empat
yang berukuran 60 cm ( lebar, panjang dan dalam ).

Dua Qullah
Jika diperkirakan dengan ukuran Modern, ukuran 2 Qullah sama dengan :

Menurut Syaikh ‘Adil ahmad ‘Abd al Maujud dan dan as Syaikh Ali Muhammad Mu’awwadh di dalam
Ta’liq kitab Raudhoh at Thalibin : 2 Qullah = 190 liter.

Menurut as Syaikh Majid al Hawi dalam Ta’liq at Taqrib : 2 Qullah = + 216 ( sepenuh bejana segi
empat ukuran 60 cm ).

Menurut as Syaikh Dibul Bugha dalam at Tahdhib fii Adillati al Ghayah wa at Taqrib ( Takhrij kitab
Taqrib ) : 2 Qullah = 190 liter ( sepenuh bejana segi empat ukuran 58 cm )

Menurut as Syaikh ‘Adib al Kalal : 2 Qullah = 192 liter atau 75, 23 kati Hamawi.

Menurut as Syaikh ‘abdul ‘Aziz ‘Uyunus Sud : 2 Qullah = 162 kg.

Menurut as Syaikh Muhammad Ma’shum bin Ali Jombang di dalam Risalah al Qadir fi ‘Aja’ibi al
Maqadir : 2 Qullah dengan versi kati Imam an Nawawi adalah 174,580 liter atau seukuran wadah
79
Rithl adalah nama ukuran untuk menakar yang berarti kati. Yang dimaksud kati disini adalah kati negara
Baghdad.
Menurut Shubhi as Shalih, 1 kati = 480 gram. Pendapat ini diikuti oleh az Zuhaily.
Menurut Qasim an Nury, 1 kati = 406, 25 gram. Sebagaimana disebutkan dalam Tahqiq al Bayan karay al Imrani
Menurut abdul ‘Aziz ‘Uyunus Sud, 1 kati = 324 gram ( santri salaf menjawab. Hal. 1057 ).
48

segi empat 55,9 cm. sedangkan 2 Qullah dengan versi kati Imam ar Rafi’I adalah 176,245 liter atau
seukuran wadah segi empat 56,1 cm. adapun 2 Qullah versi kati Iraqi adalah 245,325 liter atau
seukuran wadah segi empat 53,4 cm

Menurut as Sayyid alwi bin Abu Bakar as Seggaf di dalam Ta’liq I’anah at Thalbin : 2 Qullah adalah
160,5 liter.80

Pembagian air yang tercampuri najis


Air Mutlak yang menjadi najis setelah tersentuh najis terbagi menjadi dua, yaitu air yang ukurannya
sedikit dan air yang ukurannya banyak.

Air sedikit :

Air Mutlak yang sedikit bisa berubah status menjadi air najis setelah air tersebut tersentuh benda
najis, meskipun benda najis tersebut tidak bercampur dengan air ( hanya menyentuh saja). Baik yang
air tersentuh najis mengalami perubahan pada salah satu sifatnya atau tidak.

Air banyak :

Air Mutlak yang banyak bisa berubah status menjadi air najis setelah air tersebut tersentuh benda
najis dan mengalami perubahan sifat dengan sebab benda najis yang menyentuhnya.

Jika air tersebut tidak mengalami perubahan sifat - setelah tersentuh benda najis – maka setatusnya
tidak berubah menjadi air najis ( tetap suci ), sebab syarat air banyak yang tersentuh najis dihukumi
dengan najis ialah apabila air tersebut mengalami perubahan sifat.

Dalam sebuah Riwayat disebutkan Rasulullah Saw bersabda :

َ ‫ْن لَ ْم َيحْ ِم ْل ْال ُخب‬


‫ُث‬ ِ ‫ِإ َذا َبلَ َغ ال َما ُء قُلَّ َتي‬
Jika air sudah mencapai dua Qullah maka maka tidak bisa menerima najis.81

Al Hakim berkata : Hadits ini sesuai dengan Syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim ( sanadnya
sama ).

Di dalam Riwayat Imam Abu Dawud disebutkan dengan sanad yang Shahih :

ُ‫َفإ َّن ُه اَل َي ْنجُس‬

Air tersebut tidak bisa najis.82

Dalam sebuah riwayat disebutkan :

َ َ‫ْالما ُء اَل ُي َنجِّ ُس ُه َشيٌْئ إاَّل َما َغل‬


‫ب َعلَى ْلو ِن ِه اَو َطعْ ِم ِه اَ ْو ِر ْي ِح ِه‬

80
santri salaf menjawab. Hal. 1058 – 1059. I’anah at Thalibin, 1, 63.
81
Hr. as Syafi’I dalam al Umm. 1/4. Ahmad dalam al Musnad, 2/27. Ad Darami, 1/187. Abu Dawud, 1/5i ( 50 ).
At Tirmidzi, 1/97 (67 ). an Nasa’I, 1/46. Ibnu Majah, 1/172 ( 517 ).
82
Al Iqna’ Fi Hilli alfadz Matan Ibni Syuja’
49

Air tidak bisa dinaiskan sesuatu apapun terkecuali apabila sesuatu tersebut mengalahkan /
mengubah warna atau rasa atau baunya. 83

Perubahan secara perkiraan


Perubahan secara perkiraan adalah perubahan yang terjadi pada air Mutlak yang tercampuri benda
najis yang memilki sifat sama dengan air, baik dalam warna, bau dan rasa. Seperti halnya air kencing
yang tidak memilki warna dan bau.

Air Mutlak yang tercampuri benda najis yang memiliki sifat sama dengan air hendaknya perubahan
pada sifat air diperkirakan. Jika setelah diperkirakan ternyata air tersebut mengalami perubahan
sifat maka status air juga berubah menjadi najis, dan jika tidak mengalami perubahan sifat maka
status air tidak najis / tetap suci.

Air Mutlak yang tercampuri benda najis seperti ini, untuk mengetahui apakah sifatnya mengalami
perubahan atau tidak ialah dengan cara memperkirakan benda najis yang mencampuri air tersebut
dengan benda yang memilki sifat berbeda dengan air. Namun benda yang digunakan sebagai rujukan
perkiraan dalam permasalahan ini adalah benda yang memiliki perbedaan sifat yang sangat atau
berat dengan air. Seperti halnya warna tinta, rasa cuka dan bau Misik.84

Jika dari perkiraan yang dilakukan ini memunculkan ketetapan bahwasannya air tersebut mengalami
perubahan sifat maka status air adalah najis. Jika tidak mengalami perubahan maka status air adalah
suci dan tetap menyucikan.

Meragukan ukuran air


Air sedikit dapat menjadi najis dengan hanya tersentuh najis, sedangkan air banyak dapat dihukumi
najis apabila sudah mengalami perubahan sifat dengan sebab najis yang menyentuhnya.

Apabila seseorang meragukan ukuran air yang tersentuh najis yang tidak mengubah sifat air –
apakah ukuranya banyak atau sedikit.? maka dalam hal ini air tersebut tetap dihukumi suci dan
menyucikan. Menurut Imam as Syabramallisi, keraguan seperti ini sebenarnya berupa “ apakah najis
yang mencampuri air tersebut menajiskan ataukah tidak ”. sebab ukuran air itu sendiri juga
diragukan. Oleh karenanya dalam hal ini yang dimenangkan adalah hukum asal. Asal air tersebut
tetap suci.85

Di dalam Ziyadah ar Raudloh disebutkan : apabila terdapat benda najis padat yang masuk ke dalam
air, dan keberadaan air tersebut diragukan apakah kadarnya sampai 2 Qullah atau tidak, maka
menurut pendapat yang ditegaskan oleh Imam al Mawardi air tersebut najis. Sebab keberadaan
benda najis sudah nyata dan ukuran air masih diragukan. Sedangkan menurut Imam al Haramain, air
tersebut masih terdapat kemungkinan – kemungkinan ( Ihtimal ).
83
Hr. al Bukhari dalam bab Wudlu’, 1/263 (162 ). Muslim dalam bab Thaharah, 1/233 ( 87/ 278 ). An Nasa’I
dalam bab Thaharah, 1/99.
84
Al Iqna’ Fi Hilli alfadz matan Ibni Syuja’.
85
Nihayah al Muhtaj, 1, 74.
50

Menurut pendapat yang Mukhtar ( terpilih ), bahkan ini adalah pendapat yang benar, air tersebut
dipastikan dengan suci sebab pada asalnya air tersebut memang suci, dan benda najis yang masuk
kedalamnya tidak pasti menajiskan.86

Perubahan separuh
Air yang banyak yang tersentuh benda najis tidak dapat dihukumi najis terkecuali apabila mengalami
perubahan sifat. Lalu bagaimanakah jika perubahan sifat tersebut hanya terjadi pada sebagian air
saja sedangkan sebagian yang lain tidak.?

Imam ar Ramli as Shaghir di dalam kitabnya menyebutkan : apabila yang mengalami perubahan sifat
hanya sebagian air saja maka air yang mengalami perubahan sifat dihukumi najis. Sedangkan sisa air
yang tidak mengalami perubahan hukumnya Khilaf :

Pertama : Menurut Imam ar Rafi’I air tersebut najis secara keseluruhan meskipun kadarnya banyak.
Kedua : menurut pendapat yang Ashah di Tafsil :

1. Apabila sisa air tersebut masih banyak ( 2 Qullah lebih ) maka hukumnya adalah suci dan
masih bisa digunakan bersuci.
2. Apabila sisa air tersebut hanya sedikit maka hukumnya adalah najis, sebab sisa air itu hanya
sedikit dan bersentuhan dengan najis. Sisa air itu dihukumi najis meskipun tidak mengalami
perubahan sifat.87

Najis padat di dalam air


Imam Taqiyuddin, Abu Bakar, Muhammad ad Dimasyqiy menyebutkan : apabila ada benda najis
yang keras atau padat masuk ke dalam air yang banyak, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat :

Pertama : Menurut Qaul yang Adhar, seseorang diperbolehkan menggayung dan mengambil air
tersebut dari bagian mana saja. Ia tidak harus menjauh dari najis saat mengambil air sebab air
tersebut keseluruhannya adalah suci.

Kedua : Munurut Muqabilul Adhar ( pendapat yang menyalahi Qaul Adhar ), seseorang yang
mengambil air atau menimba air tersebut harus menjauh dari najis dengan jarak perkiran 2 Qullah
air.88

Air sedikit menjadi banyak


Air sedikit atau air yang kurang dari 2 Qullah yang menjadi banyak ( lebih 2 Qullah ) setelah
tercampuri benda suci hukumnya tetap seperti air sedikit. Air tersebut bisa digunakan dalam
86
Kifayah al Akhyar, 1, 12.
87
Nihayah al Muhtaj, 1, 74. Hasyiah as Syabramallisi, 1, 74.
88
Kifayah al Akhyar, 1, 12.
51

menyucikan – tatkala tidak terjadi perubahan sifat mencolok. Dan air tersebut akan menjadi najis
secara otomatis apabila tersentuh benda najis, tanpa meninjau terlebih dulu apakah air tersebut
mengalami perubahan sifat atau tidak.

Imam as Syarbini dan Imam as Syabramallisi menyebutkan : air tersebut tetap berstatus air sedikit
tetapi masih bisa digunakan dalam bersuci. Sebab seandainya benda cair yang mencampuri air
tersebut dipisahkan dari air maka niscaya ukuran air tersebut akan kembali berkurang dari 2
Qullah.89

Air sedikit dalam wadah yang nyambung


Sebuah wadah air yang kecil / bak air yang berisi air sedikit yang bersambung dengan wadah air yang
lain, seperti wadah air yang berkotak – kotak yang air di dalamnya saling bersambung dengan air
yang berada di dalam wadah sampingnya ( air dalam masing – masing kotak ukurannya kurang dari 2
Qullah, tetapi secara keseluruhan ukuran air dalam beberapa kotak tersebut lebih dari 2 Qullah ).
Maka dipilah / Tafsil :

Pertama : apabila tatkala air dalam satu wadah tersebut digerakkan dengan keras, dan gerakan ini
diikuti oleh air yang berada dalam wadah sampingnya ( air dalam wadah yang berada di sampingnya
ikut bergerak dengan keras pula ) maka semua air yang berada di dalam beberapa wadah tersebut
hukumnya seperti air yang berada di dalam satu wadah ( air tersebut dihukumi lebih dari 2 Qullah ).

Menurut as Syaikh Umairah, gerakan kuat pada air harus terjadi pada air berada disampingnya.
Sedangkan menurut Imam al Hifni, air berada disampingnya tidak harus bergerak dengan kuat.

Jika pada salah satu wadah tersebut termasuki benda najis yang tidak mengubah sifat air
maka air tersebut tidak najis.

Tetapi jika benda najis yang masuk ke dalam wadah tersebut dapat mengubah sifat air
yang berada di dalamnya maka status air dalam wadah tersebut najis.

Sedangkan status air yang lain, yang berada di dalam wadah lainnya hukumnya adalah :

Suci : jika ukurannya masih lebih dari 2 Qullah serta tidak mengalami perubahan sifat sebab air /
najis dalam wadah yang terjatuhi najis.

Najis : jika ukurannya sudah berkurang dari 2 Qullah atau air tersebut mengalami perubahan sifat
sebab air / najis dalam wadah yang terjatuhi najis.

Air sedikit yang besambung dengan najis akan menjadi najis pula. Air banyak yang bersambung
dengan najis menjadi najis bila mengalami perubahan sifat.

Kedua : apabila tatkala air dalam satu wadah tersebut digerakkan dengan keras dan gerakan ini tidak
diikuti oleh air yang berada di wadah sampingnya ( air dalam wadah yang berada di sampingnya
tidak ikut bergerak dengan keras pula ) maka masing – masing air yang berada di dalam wadah
memilki hukum sendiri – sendiri ( bukan dihukumi air yang berada di dalam satu wadah ).
89
Mughni al Muhtaj, 1, 51. Hasyiah as Syibramallisi, 1, 74.
52

Jika salah satu wadah air tersebut termasuki najis maka status air di dalamnya menjadi najis, baik
mengalami perubahan sifat atau tidak, sebab air tersebut kurang dari 2 Qullah.

Jika air yang tercampuri najis sudah dihukumi najis, maka secara otomatis air yang berada
disampingnya juga dihukumi najis, sebab air itu bersambung dengan air najis. Semua air yang berada
dalam beberapa wadah hukumnya najis, sebab ukuran semua air dalam setiap wadah hanya sedikit
serta saling bersambung dengan najis.90

Air yang mengalir


Para Ulama’ menyamakan permasalaahan air mengalir dengan permaslahan air yang tidak mengalir
di dalam semua hukumnya. Yaitu, air mengalir apabila sedikit dapat menjadi najis dengan hanya
tersentuh oleh benda najis. Sedangkan air mengalir yang banyak tidak bisa dihukumi najis dengan
hanya bersentuhan dengan benda najis, tetapi setelah air tersebut mengalami perubahan sifat
dengan sebab najis yang menyentuhnya.

Dalam menentukan air yang diam ( tidak mengalir ) apakah mencapai 2 Qullah atau tidak ialah
dengan mengukur semua air. Sedangkan air yang mengalir, untuk menetapkannya ialah dengan
melihat pada setiap aliran / gerakan ombak air tersebut ( sepanjang dan selebar tiap aliran / ombak
air tersebut tatakala digerakkan ), bukan mengukur semua air dari ujung depan hingga ujung
belakang.

Jika terdapat najis yang masuk kedalam air mengalir maka dilihat, apabila aliran air tersebut
ukurannya lebih dari 2 Qullah maka air tidak dihukumi najis terkecuali jika air tersebut mengalami
perubahan sifat. Tetapi jika ukuran aliran air tersebut tidak mencapai 2 Qullah maka hukumnya najis.
Aliran sebelumnya dan sesudahnya tidak dihukumi najis, sebab aliran yang berada di depan dan
belakangnya dihukumi air yang terpisah darinya. Dihukumi terpisah karena aliran air yang berada di
depannya ditarik / tertarik mundur oleh aliran tersebut, sedangkan aliran yang dibelakangnya
menjauh dari aliran tersebut, sehingga tidak bisa disebut menyatu..

Jika aliran air tersebut dihukumi najis, maka tempat yang didiaminya juga dihukumi najis, begitu pula
tempat yang dilewatinya. Aliran air najis tersebut tidak bisa menjadi suci terkecuali setelah
berkumpul dan bermuara disebuah tempat yang mampu meanampung air sebanyak 2 Qullah atau
lebih. Sedangkan tempat aliran air yang najis tersebut serta tempat yang dilewatinya akan menjadi
suci dengan disucikan aliran air yang didepannya. Dan status air yang melewatinya ( didepannya )
sama seperti status air sedikit yang digunakan dalam menyucikan najis ( suci / Musta’mal jika tidak
mengalami perubahan dls. )91

Apabila benda najis yang masuk kedalam air tersebut tertahan di suatu tempat ( tidak mengikuti
aliran air ), maka setiap aliran air yang melewatinya dihukumi najis sehingga aliran tersebut
terkumpul disebuah tempat ( muara ) yang membendung air hingga 2 Qullah atau lebih.

90
Hasyiah as Syabramallisi, 1, 74 – 75. Hasyiah Ahmad Abd ar Razzaq al Maghriby ar Rasyidi, 1, 74 – 75.
91
Busyra al Karim, 1, 82.
53

Benda cair yang tercampuri najis


Benda cair yang tercampuri najis hukumnya sama dengan air sedikit. Artinya, benda cair yang
tercampuri najis - meskipun hanya setetes - secara otomatis dihukumi najis, Meskipun jumlah air
tersebut ber Qullah – Qullah / sangat banyak.

Setidaknya terdapat dua alasan mengapa benda cair yang banyak tidak disamakan dengan air yang
banyak. Air banyak tidak bisa dinajiskan terkecuali setelah mengalami perubahan sifat, sedangkan
benda cair -meskipun banyak - dapat dihukumi najis dengan hanya tercampuri najis, meskipun tidak
mengalami perubahan.

Pertama : air yang banyak memiliki kekuatan yang bisa menolak dari najis, sebagaimana Sabda
Rasulullah Saw dalam riwayat Imam al Hakim menyebutkan “ tatkala air sudah mencapai dua Qullah
tidak bisa menerima najis ”. Benda cair meskipun banyak tidak memilki kekuatan seperti air.

Kedua : menjaga air banyak agar tidak tercampuri benda najis merupakan pekerjaan yang berat dan
sulit. Sedangkan menjaga benda cair dari najis merupakan hal yang mudah. jiwa manusi juga
cendrung berhati – hati dan menjaga benda cair miliknya agar tidak tercampuri sesuatu yang kotor
dan najis. Oleh karenanya benda cair yang tercampuri najis lebih berat dibandingkan dengan air yang
tercampuri najis.92

Dalam permasalahan ini, air Musta’mal dan air yang mengalami perubahan sifat yang mencolok
dengan benda suci hukumnya sama seperti hukum benda cair. Keduanya akan menjadi najis secara
otomatis tatkala tercampuri benda najis.93

Percikan najis
Dalam Fatwa al Walid atau Imam ar Ramli al Kabir disebutkan : apabila seseorang kencing di laut
( atau air yang banyak ), dan dari pertemuan antara air kencing dengan air tersebut memantulkan
percikan buih atau busa yang terpental dan mengenai tubuh atau pakaian, maka buih tersebut
hukumnya adalah suci, sebab buih tersebut merupakan bagian dari air laut yang lebih dari dua
Qullah, bukan bagian dari air kencing. Fatwa ini bertentangan dengan keterangan yang tertera di
dalam kitab al Ubab.

Namun apabila buih tersebut diyakini bagian dari air kencing maka hukumnya adalah najis. Misalnya
buih itu berbau pesing dls.

Permasalahan ini sama dengan permasalahan kotoran ( benda najis ) yang dilemparkan ke laut atau
air yang banyak. Jika dari lemparan ini tersebut menyebabkan terjadinya banyak percikan yang
menyebar, maka percikan tersebut tidak dihukumi najis serta tidak menajiskan benda suci yang
dikenainya, terkecuali jika percikan tersebut diyakini berupa bagian dari benda najis yang di
lempar.94

92
Mughni al Muhtaj, 1, 51.
93
Nihayah al Muhtaj, 1,78.
94
Nihayah al Muhtaj, 1, 75. Hasyiah as Syabramallisi, 1, 75.
54

Tangan yang diragukan


Apabila tangan kiri seseorang dinyatakan najis ( tersentuh najis ) misalnya, kemudian ia membasuh
salah satu dari kedua tangannya dan setelah itu ia ragu atas tangan yang sudah dibasuhnya, apakah
tangan yang kanan ataukah yang kiri. Maka menurut Fatwa al Walid – Imam ar Ramli al Kabir :

apabila ia memasukkan tangan kirinya ke dalam wadah yang berisi air sedikit atau benda cair, maka
tangan tersebut tidak dapat menajiskan air dan benda cair yang berada di dalam wadah. Demikian
ini karena di dalam permasalahan ini masih terdapat kemungkinan suci pada tangan kiri tersebut,
serta asal dari kiri itu sendiri adalah suci.

Perlu diperhatikan, sebenarnya tangan kiri orang tersebut masih dihukumi najis, sehingga Shalat
yang didirikannya tidak dianggap Sah - sebelum ia menyucikan tangan kirinya terlebih dulu. Hanya
saja, tangan kiri tersebut tidak dapat menajiskan air atau benda cair yang disentuhnya sebab status
najisnya masih diragukan.

Permasalahan ini sama dengan permasalahan lidah seekor kucing yang najis, yang kemudian pergi
hingga tidak terlihat mata dalam kurun waktu yang memungkinkan kucing tersebut telah
menyucikan lidahnya dengan dijilatkan pada air yang lebih 2 Qullah. Jika setelah itu kucing itu datang
kembali dan menjilatkan lidahnya pada air sedikit atau benda cair maka keduanya tidak bisa menjadi
najis, sebab status najis lidah kucing tersebut saat ini masih diragukan keberadaannya. 95

Sisa air campuran


Air yang berukuran 2 Qulla ( tidak kurang & tidak lebih ) apabila dicampur dengan benda cair
hukumnya tetap suci dan menyucikan selagi air tersebut tidak mengalami perubahan sifat ( warana,
bau dan rasa ), baik secara nyata atau hanya perkiraan saja.

Apabila kemudian kita mengurangi air tersebut dengan mengambilnya sebanyak ukuran benda cair
yang mencampurnya, maka :

a. apakah air tersebut dihukumi suci tatkala tersentuh najis - sebab diperkirakan air yang
diambil adalah benda cair yang mencampuri sedangkankan sisanya adalah air murni
b. Atau apakah air tersebut dihukumi najis tatkala tersentuh najis – sebab diperkirakan air yang
diambil adalah air murni sehingga air yang tersisa adalah air yang kurang dari 2 Qullah.

Menurut Ibnu Qasim al Ghazi pemasalahan ini masih memerlukan pertimbangan – pertimbangan
korelasi / Qias terhadap permasalahan lain. Sedangkan menurut Imam al Halabi, air tersebut
dihukumi dengan najis.96

Najis Makfu
95
Nihayah al Muhtaj, 1, 79. Hasyiah as Syabramallisi, 1, 79.
96
Hasyiah as Syabramallisi, 1, 79 – 80.
55

Ada beberap benda najis yang tidak dapat menajiskan terhadap semua benda cair, termasuk air
sedikit tatkala bersentuhan dan bercampur dengannya. Benda – benda najis ini biasa disebut dengan
najis Makfu di dalam air.

Benda – benda najis yang tergolong najis Makfu sangat banyak, contoh seperti najis yang tidak
terlihat mata normal, najis bangkai binatang kecil yang tidak mengalirkan darah tatkala tubuhnya
disobek dls.

As Syaikh Sa’id bin Muhammad al Hadrami di dalam Busra al Karim menyebutkan : setiap benda
najis yang sulit dihindarkan agar tidak tersentuh air hukumnya adalah Makfu – meskipun benda najis
tersebut tidak tertera di dalam kitab – kitab para Ulama’. Demikian ini jika memang memenuhi tiga
Syarat berikut :

1. Benda najis tersebut bukan berupa najis Mughalladhoh ( najis berat ) seperti anjing dan
semacamnya.
2. Najis tersebut tidak sengaja disentuhka pada air.
3. Najis tersebut tidak mengubah sifat air.

Apabila salah satu dari tiga Syarat ini tidak terpenuhi, maka benda najis tersebut tidak bisa tergolong
najis Makfu ( tetap menajiskan air tatkala bersentuhan ). 97

Menyucikan air yang najis

Menyucikan air sedikit


Air sedikit yang najis setelah tercampuri najis terbagi menjadi dua :

1. Air sedikit yang tidak mengalami perubahan sifat.


2. Air sedikit yang mengalami perubahan sifat.

Air sedikit yang terkenana najis tanpa mengalami perubahan sifat dapat disucikan dengan cara
ditambah dengan air lain hingga mencapai 2 Qullah atau lebih, baik air yang ditambahkan berupa air
Mutlak atau berupa air yang terkena najis pula.

Air sedikit yang najis apabila dicampur dengan air najis yang lain bisa dihukumi suci dengan Syarat
kadar air yang dicampur tersebut mencapai 2 Qullah atau lebih serta tidak terdapat perubahan sifat
padanya.

Sedangkan air sedikit yang najis setelah tercampuri benda najis yang mengubah sifat air dapat
disucikan dengan cara menambahkan air lain kedalamnya hingga mencapai 2 Qullah atau lebih
disertai dengan hilangnya perubahan sifat pada air tersebut. Air yang ditambahkan kedalam air najis
tersebut bisa berupa air Mutlak, juga bisa berupa air yang najis pula.

Air sedikit yang mengalami perubahan sifat karena tercampuri benda najis tidak bisa menjadi suci
dengan hanya hilangnya perubahan sifat yang terjadi padanya dengan sendirinya, tanpa

97
Busyra al Karim, 1, 80.
56

menambahkan air lain terlebih dulu ke dalamnya hingga mencapai 2 Qullah. Terkecuali di dalam
permasalahan air sedikit yang termasuki najis Makfu.

Najis Makfu ( yang dimaafkan ) tidak dapat menajiskan air sedikit yang dihinggapinya, terkecuali
apabila benda najis tersebut bisa mengubah sifat air. Diantara najis yang dimakfu ialah bangkai
binatang kecil yang tidak memiliki darah mengalir seperti lalat, cicak dls.

Air sedikit yang mengalami perubahan sifat dengan sebab tercampuri najis Makfu dihukumi najis.
Apabila kemudian perubahan sifat pada air menghilang dengan sendirinya maka air tersebut
dihukumi suci, meskipun tanpa menambahkan air terlebih dulu kedalamnya. 98

Ditambah tapi belum 2 Qullah


Air sedikit yang najis apabila sudah ditambahkan air kedalamnya tetapi belum mencapai 2 Qullah
maka hukumnya di Tafsil :

Pertama : Apabila benda najis yang mencampuri air berupa benda padat dan masih berada di dalam
air maka hukum air tersebut tetap najis

Kedua : Apabila benda najis yang mencampuri air tersebut berupa benda cair maka Khilaf : menurut
pendapat yang kuat air tersebut tetap najis, sebab air tersebut sedikit dan benda najisnya masih
terdapat di dalamnya. Sedangkan menurut pendapat yang lain ( lemah ) air tersebut dihukumi suci
sebab air tersebut telah disucikan dengan air yang dituangkan ke dalamnya, sama seperti halnya
baju yang disiram dengan air. Dan menurut pendapat yang lain ( lemah ) air tersebut menjadi suci
dan menyucikan, kembali ke statusnya yang awal. 99

Menyucikan air banyak yang tercampuri najis


Air banyak yang najis setelah tercampuri najis bisa disucikan dengan :

A. Hilangnya perubahan sifat pada air tersebut dengan sendirinya


B. Hilangnya perubahan sifat pada air tersebut setelah ditambahkan air kedalamnya

Pertama : air tersebut bisa suci dengan sebab hilangnya perubahan sifat padanya secara alami /
hilang dengan sendirinya / dengan dibiyarkan begitu saja atau karena terkena tiupan angin, atau
terkena sinar matahari dls.

Kedua : air tersebut juga bisa suci dengan sebab hilangnya perubahan sifat padanya setelah
ditambahkan air kedalamnya. Penambahan air ini bisa terjadi dengan sebab sumber yang berada di
tempat air tersebut ( jika tempat air tersebut berupa sumur / tanah ), atau dengan sebab di tambah
air dari luar, baik air yang menambah itu berupa air suci atau air najis.

98
Nihayah al Muhtaj, 1, 76. Mughni.
99
Nihayah al Muhtaj, 1, 79 - 80
57

Menurut Imam as Syairazi di dalam al Muhaddab, air tersebut juga bisa suci dengan cara dikurangi
ukurannya, dengan syarat : A). setelah dikurangi air tersebut ukurannya tetap banyak ( 2 Qullah
atau lebih ). B). dan perubahan sifat pada air tersebut sudah hilang.100

Hilangnya perubahan dengan sebab benda


Hilangnya perubahan sifat air yang tercampuri najis dengan sebab benda suci terbagi menjadi dua :

1. Hilangnya perubahan air najis dengan sebab benda yang dapat menutupi sifat air, seperti
debu, gaping, Za’faran, Misik dls.
2. Hilangnya perubahan air najis dengan sebab benda yang tidak dapat menutupi sifat air,
seperti batu, kayu, daun dls.

Pertama, Apabila perubahan sifat pada air yang tercampuri najis sudah tidak ada, tetapi setelah air
tersebut dicampuri sesuatu yang dapat menutupi keberadaan perubahan air, maka air tersebut tidak
bisa dihukumi suci, sebab meskipun sekilas perubahan sifat air saat itu tidak ada, tetapi sebenarnya
perubahan itu masih ada. Perubahannya hanya tertutupi saja

Misalnya air najis yang dicampuri Misik sehingga perubahan bau air tidak ada. Atau air yang
dicampuri debu sehingga perubahan warna air tidak ada.

apabila kemudian air yang tercampuri debu atau Misik itu jernih dan bersih dari warna debu atau
bau Misik yang menutupinya, serta keadaan air saat itu tidak seperti keadaan sebelumnya ketika
mengalami perubahan benda najis ( sifat – sifat benda najis juga sudah hilang ) maka hukum air
tersebut menjadi suci dan menyucikan kembali. Dan debu yang berada di dalam air juga dihukumi
suci.

Kedua, Apabila perubahan air najis menjadi hilang dengan sebab benda yang tidak mungkin dapat
menutupi sifat air yang berubah, maka hukum air najis tersebut menjadi suci menyucikan kembali.
Misalnya seperti air najis yang perubahannya hilang setelah termasuki kayu, misik yang tak berbau
serta benda lain yang tidak memilki bau, warna dan rasa yang dapat menutupi sifat ( perubahan )
pada air.101

Hilangnya perubahan air dengan benda najis


Air suci yang banyak bisa menjadi najis dengan sebab mengalami perubahan sifat setelah
tercampuri benda najis. Apabila perubahan sifat pada air tersebut hilang setelah dicampuri benda
najis lain maka hukum air tersebut di-Tafsil sebagaimana penafsilan dalam air najis yang sifat – sifat
najisnya hilang setelah tercampuri benda suci. Yaitu dengan meninjau pada benda najis yang kedua,
apakah termasuk benda yang dapat menutupi perubahan air sebelumnya atau tidak.

Air tersebut bisa dihukumi suci apabila perubahan sifat dari najis yang pertama dan yang kedua
sudah hilang. Meskipun benda najisnya masih berada di dalam air.
100
Nihayah al Muhtaj, 1, 76 – 77. Mughni al Muhtaj, 1, 53. Hasyiah as Syabramallisi, 1, 77.
101
Nihayah al Muhtaj, 1, 76 – 77. Hasyiah as Syabramallisi, 1, 77.
58

Benda najis yang berada di dalam air tidak dapat dihukumi suci meskipun setelah air dihukumi suci.
Benda najis tidak bisa menjadi suci dengan dibasuh air atau direndam di dalam air.

Apabila benda najis tersebut masih berada di dalam air dan ukuran air kemudian berkurang dari 2
Qullah, maka air tersebut menjadi najis kembali. 102

Kembalinya perubahan setelah hilang


Air banyak yang najis yang sudah ditetapkan suci dengan sebab hilangnya perubahan sifat padanya,
apabila kemudian perubahan tersebut kembaali lagi maka di-Tafsil :

Pertama: apabila benda najis yang mencampuri air berupa benda padat serta masih berada di dalam
air maka status air tersebut menjadi najis kembali, sebab perubahan yang kedua pada air tersebut
tersebut pasti disebabkan benda najis yang masih berada di dalam air.

Kedua : apabila benda najis yang mencampuri air berupa benda cair, atau berupa benda padat tetapi
sudah dibuang dari air sebelum terjadinya perubahan yang kedua pada air, maka status air dihukumi
suci.

Hukum air ketika perubahannya hilang - yaitu waktu diantara terjadinya perubahan yang pertama
dengan terjadinya perubahan yang kedua - tetap dihukumi suci. Sehingga orang yang mendirikan
Shalat dengan berwudlu’ menggunakan air tersebut tidak perlu mengulangi Shalatnya kembali.
Pakaian dan badan yang cuci dengan menggunakan air tersebut tidak dihukumi najis. Perubahan
sifat air yang pertama tidaklah bersambung dengan perubahan yang kedua, tetapi terpisah dengan
hukum sucinya air pada waktu hilangnya perubahan. 103

Air dalam selang


Sebuah wadah kecil seperti timba yang berisi air najis, apabila kita memasukkan selang saluran air
kedalam wadah tersebut maka ujung selang yang menyentuh air di dalam timba hukumnya adalah
najis. Air didalam timba tetap dihukumi najis meskipun keberadaan air sudah melober dan tumpah
dari wadah dengan sebab bertambahnya air dari dalam selang, sebab air dalam timba tersebut
belum mencapai 2 Qullah ( belum mencapai 2 Qullah sudah tumpah duluan )

Sedangkan air yang masih berada di dalam selang hukumnya adalah suci selagi air tersebut terus
mengalir. Tetapi apabila aliran air tersebut sudah berhenti dan diperkirakan air yang berada di dalam
selang masih bersambung dengan air najis yang berada di dalam timba, maka hukum air di dalam
selang adalah najis, sebab air tersebut sedikit dan bersentuhan dengan benda najis.

Dalam Syarh Raudlut Thalib disebutkan sebuah Ibarat : apabila sebuah kendi yang berisi air
diletakkan di dalam najis ( benda cair yang najis ), sedangkan air di dalam kendi tersebut mengalir

102
Nihayah al Muhtaj, 1, 76 – 77. Hasyiah as Syabramallisi, 1, 77.
103
Nihayah al Muhtaj, 1, 76. Hasyiah as Syabramallisi, 1, 76.
59

keluar, maka air yang berada di dalam kendi tidak dihukumi najis – selagi air di dalamnya masih
mengalir.104

Hilang dengan sabun


Benda suci yang terkena najis bisa disucikan dengan cara membasuhnya dengan air. Jika air saja
belum bisa menghilangkan sifat najis maka perlu menggunakan benda semisal sabun untuk
membantu menghilangkannya.

Imam Ibnu Hajar di dalam Tuhfah-nya menetapkan bahwa sabun dan semacamnya merupakan
benda yang bisa dibantukan di dalam menghilangkan najis serta sifat – sifatnya. benda semisal sabun
bukan merupakan benda yang menututupi keberadaan sifat najis dengan aromanya. Sehingga benda
yang terkena najis dapat dihukumi suci setelah dicuci dengan menggunakan sabun, sebab benda
najis pada benda tersebut sudah hilang. Berbeda dengan sangkaan salah dari orang – orang yang
mengatakan bahwa sabun tersebut tidak menghilangkan najis, melainkan hanya menutupi
keberadaan naajis dengan aroma wanginya. 105

Bersumpah tidak minum air


Imam Ibnu Hajar berkata : apabila seseorang bersumpah tidak akan meminum air maka kata air
tersebut tertentu pada air Mutlak saja.106

Pernyataan ini senada dengan pernyataan para ulama, termasuk Imam al Khatib as Syarbini di dalam
Mughni al Muhtaj. Air yang mengalami perubahan sifat yang mencolok dengan sebab benda suci
tidak disebut dengan air, begitu pula air Musta’mal dan air najis. sehingga seseorang yang
bersumpah tidak akan meminum air, tidak dianggap melanggar sumpah apabila ia meminu air
tersebut.

Begitu pula seorang Wakil yang diperintah agar membeli air. Dengan perwakilan seperti ini ia
berkeharusan membeli air Mutlak, bukan air yang lain. Jika ia membeli selain air Mutlak maka
pembeliannya tidak Sah.107

Imam al Bujairami juga menyebutka, jika seseorang bersumpah “ demi Allah Swt saya tidak akan
meminum ini ” sambil menunjuk pada air Mutlak yang berada di depannya, maka ia tergolong orang
yang menerjang sumpah apabila ia meminum air tersebut, meskipun air tersebut kemudian
dicampuri sesuatu hingga mengalami perubahan sifat yang mencolok.

Berbeda dengan orang yang bersumpah “demi Allah Swt saya tidak akan meminum air ini ”. orang
tersebut tergolong orang yang menerjang sumpah apabila ia telah meminum air itu dalam kondisi

104
Hasyiah as Syabramallisi, 1, 79.
105
Tuhfah al Muhtaj, 1, 37.
106
Tuhfah al Muhtaj, 1, 37.
107
Mughni al Muhtaj, 1, 47.
60

seperti itu. Tetapi apabila air tersebut sudah dicampur dengan sesuatu hingga mengalami perubahan
sifat, maka ia tidak tergolong orang yang menerjang sumpah dengan meminumnya. 108

Menyucikan sumur
 Jika air di dalamnya hanya sedikit ( kurang 2 Qullah ).

Sumur yang berisi air sedikit – apabila najis - tidak bisa disucikan dengan cara mengeluarkan semua
air dari dalam sumur hingga bersih.

Sumur tersebut belum dianggap suci meskipun sudah dikosongkan dari air yang sudah menjadi najis,
sebab dasar sumur serta tepi sumur bagian dalam masih najis dan belum disucikan. Sehingga apabila
kemudian sumber sumur tersebut mengeluarkan air maka air yang keluar menjadi najis karena
bersentuhan dengan dasar sumur dan tepi sumur yang najis. Dengan demikian maka bagian dalam
sumur serta airnya tetap dihukumi najis.

Adapun cara menyucikan sumur yang airnya hanya sedikit ialah dengan membiarkan air sumur
tersebut hingga bertambah mencapai 2 Qullah dari sumbernya atau dengan menambahkan air lain
kedalamnya hingga mencapai 2 Qullah. Dengan demikian maka air dan bagian sumur di dalamnya
dihukumi suci. Asalkan perubahan air tersebut sudah hilang – jika memang air tersebut sebelumnya
mengalami perubahan dengan najis.

Jika najis yang masuk kedalam sumur berupa najis padat maka hendaknya membuang benda najis
tersebut terlebih dulu.

 Jika air di dalamnya banyak ( 2 Qullah lebih ).

Cara menyucikannya sumur yang air didalamnya banyak ialah dengan membiyarkannya begitu saja
hingga perubahan sifat padanya lenyap, atau dengan menambahkan air hingga perubahan sifat
padanya lenyap. Namun, sebelumnya hendaknya membuang benda najis yang berada di dalam
sumur – jika ada.

Apabila benda najis yang masuk ke dalam sumur tersebut remuk / pecah berkeping sehingga sulit
untuk mengeluarkan pecahannya yang kecil - seperti bulu bangkai tikus yang masih terdapat di
dalam air setelah bangkainya dibuang – maka air tersebut tetap dihukumi suci dan menyucikan.

Namun air seperti sulit untuk digunakan dalam bersuci sebab setiap kali menimba air dari sumur
tersebut dipastikan ada bagian bulu bangkai yang ikut terambil, sehingga air yang berada di dalam
timba menjadi najis ( air yang berada di dalam timba hanya sedikit dan bercampur dengan najis ).

Oleh karenanya para ulama’ menganjurkan agar air dalam sumur tersebut dibersihkan total atau
dibuang sebagian saja hingga diperkirakan bulu – bulu bangkai di dalamnya sudah terbuang semua.

108
Hasyiah al Bujairami, 1, 121 – 122.
61

Apabila seseorang menimba air dari sumur sebelum membersihkannya dari bulu – bulu bangkai yang
terlepas, dan ia meyakini tidak ada satupun bulu yang ikut tertimba, maka air dalam timba
hukumnya suci dan menyucikan.109

Keserupaan

Antara air suci dengan air yang terkena najis


Imam an Nawawi berkata : apabila terjadi keserupaan antara air yang menyucikan dengan air yang
najis maka seseorang yang hendak bersuci dengannya harus berijtihad ( berusaha ) menentukan air
yang suci kemudian bersuci dengan menggunakan air yang sudah diduga sebagai air suci.

Hukum berijtihad disini terbagi menjadi dua :

Pertama : Wajib. Jika memang ia tidak bisa bersuci dengan menggunakan air lain yang diyakini suci.

Kedua : Boleh. Jika ia masih bisa bersuci dengan menggunakan air yang nyata suci. Misalnya saat itu
ia berada di tepi sungai, atau kedua air tersebut bila dicampur akan mencapai 2 Qullah tanpa
mengalami perubahan.

Menurut al Wali, al Iraqi, dalam masalah seperti ini tidak perlu adanya pemilahan hukum Wajib dan
Sunnat. Berusaha menentukan air yang suci ( Ijtihad ) hukumnya adalah wajib, tidak ada hukum
Sunnat. Dan tidak perlu melihat apakah disitu terdapat air yang nyata suci atau tidak.

Menurut Imam as Syarbini, apabila disitu masih terdapat air yang nyata suci ( selain air – air yang
ikut andil dalam keserupaan ) maka yang lebih utama melakukan bersuci dengan menggunakan air
tersebut, bukan dengan air hasil dari Ijtihad-nya, meskipun ia saat itu wajib berijtihad dalam
menentukan air yang suci.

Ba’dluhum / sebagian ulama’ berpendapat : apabila ia masih bisa bersuci dengan menggunakan air
yang nyata suci maka ia tidak diperkenankan berijtihad, bahkan ia wajib menggunakan air yang nyata
suci tersebut.

Menurut Qaul Adhar : hukum berijtihad disini juga berlaku bagi orang buta, sebab ia masih bisa
berijtihad dengan merasakan, mencium dan memegang. 110

Antara air suci dengan cairan najis


Apabila terjadi keserupaan antara air yang menyucikan dengan cairan najis seperti air Mutlak yang
serupa dengan air kencing, maka seseorang yang hendak bersuci tidak perlu berijtihad ( berusaha )
menentukan mana air yang suci dan mana cairan yang najis. Baik ia bisa melihat atau buta. Demikian
ini meenurut pendapat yang Shahih.

109
Mughni al Muhtaj, 1, 53. Fath al Mu’in.
110
Mughni al Muhtaj, 1, 57 – 58.
62

Menurut Imam al Bulqini, ia harus mencampur air dan cairan najis tersebut sehingga keduanya sama
– sama najis. Kemudian ia melakukan bersuci dengan cara ber-Tayammum, sebab saat itu air tidak
bisa digunakan lagi untuk bersuci ( sudah menjadi najis ).

Apabila ia bertayammum sebelum mencampur air dengan cairan najis maka Tayammumnya tidak
Sah, sebab saat itu disana masih terdapat air suci yang menyucikan. Adanya air suci menyucikan
dapat mencegah hukum Sah bagi Tayammum, meskipun saat itu air suci tersebut tidak dapat
ditentukan.111

Antara air suci dengan cairan suci


Apabila terjadi keserupaan antara air yang menyucikan dengan cairan yang suci seperti, air Mutlak
yang serupa dengan air mawar yang tidak berbau atau semacamnya, maka untuk bersuci seseorang
diharuskan menggunakan keduanya satu persatu ( bersuci dua kali ), sebab dengan demikian dapat
dipastikan ia melakukan bersuci dengan menggunakan air yang suci menyucikan pada salah satunya.
Keraguan / bingung pada niat di dalam berwudlu’ seperti ini diperbolehkankan karena adanya
kebutuhan atau Dhrurat.

Dalam permasalahan seperti ini seseorang tidak diperkenankan untuk berijtihad untuk menentukan
air yang suci dari cairan, sebab cairan tersebut ( air mawar ) tidak berasal dari air yang dapat
menyucikan, berbeda dengan air Musta’mal dan air najis / Mutanajjis.

Menurut pendapat yang lemah ( Qiil ) : dalam permasalahan seperti ini seseorang tetap
diperkenankan berijtihad dalam menentukan air yang suci.

Imam al Mawardi berpendapat, dalam permasalahan seperti ini ( serupanya air menyucikan dengan
cairan suci / air mawar ), seseorang diperbolehkan melakukan Ijtihad dalam menentukan salah
satunya karena untuk diminum ( bukan untuk bersuci ). 112

Syarat bolehnya berijtihad


As Syaikh Sa’id al Hadrami menetapkan ada 6 syarat yang harus dipenuhi agar seseorang
diperbolehkan berijtidat dalam menentukan dua perkara yang serupa ( air dengan yang lain )

Pertama : kedua benda tersebut harus berupa benda yang asalnya dapat menyucikan, seperti air
suci menyucikan yang mengalami keserupaan dengan air Musta’mal, atau air najis. Orang yang
hendak bersuci diperkenankan ber-Ijtihad dalam menetukan air yang menyucikan dari keduanya.

Tetapi apabila keserupaan disini terjadi antara air menyucikan dengan air kencing atau air mawar,
maka seseorang yang hendak bersuci tidak diperkenankan ber-Ijtihad dalam menentukan air yang
akan digunakannya dalam bersuci dari keduanya.

111
Mughni al Muhtaj, 1, 58.
112
Mughni al Muhtaj, 1, 58 – 59.
63

Atau kedua benda tersebut berupa benda yang sama – sama halal, seperti air suci menyucikan
yang mengalami keserupaan dengan air mawar. Dalam permasalahan ini seseorang hanya
diperbolehkan ber-Ijtihad dalam menetukan mana yang hendak diminum, bukan mana yang hendak
digunakan dalam bersuci, sebab air mawar memilki asal tidak bisa menyucikan.

Apabila orang yang hendak meminum sudah melakukan Ijtihad dan dari Ijtihadnya menetapkan
salah satunya sebagai air mawar atau air suci menyucikan, maka menurut Imam ar Ramli ia
diperbolehkan menggunakan air yang disangka suci sebagai alat dalam bersuci.

Kedua : harus ada jalan dalam menentukan air yang suci diantara kedua air / beberapa air yang
serupa dengan adanya beberapa tanda. jika tidak terdapat jalan dalam menentukan air yang suci
maka orang yang hendak bersuci tidak diperkenankan ber- Ijtihad.

Ketiga : air yang terjadi keserupaan berjumlah lebih dari satu. Seseorang yang mengalami
keserupaan pada dua air, apabila ia kemudian membuang salah – satunya sebelum melakukan
Ijtihad maka ia tidak diperkenankan melakukan Ijtihad pada air yang masih tersisa, sebab saat itu
hanya terdapat satu air.

Keempat : sebelumnya harus diketahui dengan nyata bahwa salah satu dari beberapa air tersebut
tercemari najis. Jika sebelumnya tidak diketahui adanya najis yang mencemari air maka semua air
dihukumi suci. Tanpa Ijtihad.

Kelima : air yang terjadi keserupaan tidak dalam jumlah yang sangat banyak ( Ghairu Mahsurah /
tidak terhitung ). Jika terdapat air kencing yang serupa dengan air yang suci dalam jumlah banyak,
maka orang yang hendak bersuci tidak perlu melakukan Ijtihad, bahkan ia boleh menggunakan air
yang suci hingga tersisa satu air.

Keenam : waktu Shalat masih luas, sehingga bisa melakukan Ijtihad, bersuci dan Shalat di dalam
waktu itu. Apabila waktu Shalat saat itu sudah sempit sekiranya tidak memungkinkan ia Ber-ijtihad,
bersuci dan Shalat di dalam waktu yang ada, maka ia tidak boleh ber-Ijtihad dalam menetukan untuk
bersuci, tetapi ia harus bertayammum kemudian mendirikan Shalat.

Shalat yang dilakukan seperti ini harus diulangi tatkala ia sudah menemukan air yang nyata suci.
Sebagaimana Imam Ibnu Hajar menjelaskan demikian.113

Nb: Imam ar Ramli berpendapat, Ijtihad dalam menentukan air suci yang akan digunakan bersuci
seperti ini Wajib dilakukan setiap kali akan melakukan Shalat.

Apabila hasil Ijtihad yang kedua berbeda dengan hasil Ijtihad yang pertama maka kedua air harus
dibuang dan ia melakukan bersuci dengan ber-Tayammum. Ia tidak boleh bersuci dengan
menggunakan air hasil Ijtihad yang kedua karena berbeda dengan air hasil Ijtihad yang pertama.114

Pemberitaan najis
113
Busyra al Karim, 83 – 84.
114
Busyra al Karim, 84.
64

Setiap air yang asalnya suci menyucikan, apabila air tersebut kemudian diduga najis karena adanya
kemungkinan air tersebut tercemari benda najis maka menurut pendapat yang unggul ( Arjah ) air
tersebut tetap dihukumi suci.

Apabila kemungkinan najis pada air tersebut sangat kuat maka hukum menggunakannya adalah
Makruh.

Apabila ada seorang yang Tsiqah ( orang yang dapat dipercaya meskipun perempuan atau Budak )
memberitakan bahwasannya air tersebut najis serta ia menyebutkan penyebab terjadinya najis pada
air maka pemberitahuannya ini wajib diterima dan diikuti.

Begitu pulah harus diikuti jika yang memberitahu adalah seorang Ahli Fiqih yang bermadzhab sama
dengan orang diberitahu, atau berbeda Madzhab tetapi ia mengetahui hukum – hukum dalam
Madzhab yang dianut orang yang diberitahu. Demikian ini meskipun yang diberitahu tidak
mempercayai pemberitahuan dari Ahli Fiqih tersebut.

Sedangkan apabila yang memberitahu tentang najisnya air adalah seorang yang masih kecil ( Shobi ),
orang Fasiq dan orang gila, maka permberitahuan mereka tidak boleh diterima. Terkecuali apabila
jumlah mereka yang memberitahukan sangat banyak yang sekiranya tidak mungkin ada kebohongan
dalam pemberitaan mereka. Atau mereka memberitahu bahwa pelaku yang menajiskan air adalah
diri mereka sendiri, maka semua pemberitaan ini harus diterima dan diikuti. 115

115
Busyra al Karim, 85.

Anda mungkin juga menyukai