Anda di halaman 1dari 33

MEMBANGUN SUPREMASI HUKUM

TAFSIR TEMATIK QS. AN NAHL 90 - 93

Imam Surahman, Karim Daulay


(Institut PTIQ, Pascasarjana, Manajemen Pendidikan Islam)
imam.surahman@gmail.com ;daulaykarim046@gmail.com

Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Hariyadi, M.A

Abstrak
Tulisan ini membahas tentang pengertian pentingnya membangun supremasi hukum

yang berlandaskan pada Al Qur’an khusus nya QS An Nahl 90-93. Tema membangun

supremasi hukum di beberapa tahun terakhir semakin ramai menjadi perbincangan hangat baik

di berbagai media baik media cetak, elektronik maupun di media sosial. Bertambahnya

Intensitas percakapan ini dapat dipahami karena hukum penegakan hukum dan peraturan

dalam dunia pendidikan saat ini dianggap lebih mendesak dari sebelumnya. Tafsir Surah An

Nahl 90 berbicara bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil,

yakni pertengahan dan seimbang. Dan Allah memerintahkan untuk berbuat kebajikan, seperti

yang disebutkan oleh Allah Swt. Tafsir Surah An-Nahl Ayat 91-93 berbicara mengenai tiga hal.

Pertama mengenai perintah Allah agar menepati sebuah janji yang sudah terikat. Kedua

berbicara mengenai perumpamaan orang-orang yang telah mengingkari sebuah janji. Ketiga

mengenai kuasa Allah untuk mempersatukan manusia dalam satu agama. Namun Allah punya

kehendak lain.

Kata Kunci: Al-Quran, Tafsir, Supremasi, Hukum


Abstract

This paper discusses the understanding of the importance of building the rule of law

based on the Qur'an, specifically QS An Nahl 90-93. The theme of building the rule of law in

recent years has increasingly become a hot topic of conversation in various media, both print,

electronic and social media. The increasing intensity of this conversation is understandable

because law enforcement and regulations in the world of education are currently considered

more urgent than ever. Tafsir Surah An Nahl 90 says that Allah commands His servants to act

justly, that is, to be fair and balanced. And Allah commands to do good, as mentioned by Allah.

Tafsir Surah An-Nahl Verses 91-93 talks about three things. The first is about God's

commandment to keep a promise that has been bound. The second talks about the parable of

those who have broken a promise. The third concerns the power of God to unite people in one

religion. But God had another will.

Keywords: Al-Quran, Tafsir, Supremacy, Law

A. Pendahuluan

Fungsi utama pewahyuan Al‐Qur’an yang sakral ke dunia ini adalah sebagai

hidayah bagi manusia untuk merespon kehidupan dunia secara universal dalam

pola‐pola aplikasi pada ruang dan waktu. Sehingga manusia menemukan jalan

yang benar dalam memandang dunia (world of view atau weltanschaung) sebagai titik

tolak dalam membangun kebudayaan dan peradabannya. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa Al‐Qur’an terkait dengan sisi historicality (historikalitas)

dan transhistoricality (transhistorika litas)1 , jika sisi historikalitas nya

mengandaikan pola‐pola aplikasi ruang dan waktu ketika Rasulullah masih hidup

maka sisi transhistoricalitas Al‐Qur’an adalah sebagai aturan yang bersifat

universal (shalih li kulli zaman wa makan). Al‐Qur’an adalah sumber utama dari

sumber syari’ah selain sunnah, ijma’ dan qiyas (serta sumber‐sumber hukum lain

1
Taufiq Adnan Amal dan Syamsurizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al‐ Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 11
dan 125
yang masing‐masing ulama madzhab berbeda pendapat tentang kehujjahannya).

Seluruh teks Al‐Qur’an yang diyakini ummat Islam secara literal dan final sebagai

firman Allah dikumpulkan sangat dini dalam sejarah Islam. Teks Al‐Qur’an

dianggap sangat akurat dan tidak perlu diperdebatkan lagi 2 . Namun yang lebih

perlu ditelaah lagi adalah penggunaan Al‐Qur’an sebagai dasar hukum positif .

Sebagai sumber utama syari’ah, dalam pembicaraan mengenai hukum, Al‐Qur’an

memposisikan ajaran hukum dalam bagian teramat penting dari sekian ajaran yang

disampaikannya. Sehingga dengan sendirinya upaya penegakan hukum diletakkan

sebagai upaya dinamis. Kunci untuk memahami peranan Al‐Qur’an dalam

perumusan syari’ah adalah dengan mengapresiasi bahwa Al‐Qur’an terutama lebih

berupaya membangun standar dasar perilaku ummat Islam ketimbang

mengapresiasikan standar‐standar itu sebagai hak dan kewajiban. Al‐Qur’an berisi

gagasan yang mendasari tingkah laku masyarakat beradab, seperti sikap toleran,

kejujuran, integritas serta bagaimana mengaplikasikannya sebagai etika keagamaan

dalam Islam Maka dari itu, kita bisa mengatakan bahwa Al‐Qur’an lebih dari

sekedar hukum. Jadi Al‐Qur’an bukanlah kumpulan hukum melainkan sesuatu

yang memiliki daya tarik bagi ummat manusia untuk menaati hukum Tuhan.

Berbicara masalah hukum, terutama tentang penegakan supremasi hukum, akhir‐

akhir ini kian ramai dan menarik. Meningkatnya intensitas pembicaraan ini dapat

dipahami bahwa penegakan supremasi hukum saat ini dirasakan lebih mendesak

dari sebelumnya. Desakan untuk mengupayakan penegakan supremasi hukum ini

muncul antara lain didorong oleh3 :

2
Hal ini adalah keyakinan kaum muslimin. Beberapa sarjana Barat memperselisihkan hal ini dan mencoba
menunjukkan bahwa Al‐Qur’an yang dimiliki sekarang ini adalah satu versi dari teks yang asli, jelasnya lihat
misalnya dalam Jhon Burton, The Collecitonof Al‐Qur’an (Cambridge: Cambridge University Press, 1977) seperti
dikutip oleh Abdullah Ahmed An‐Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil HAM dan Hubungan
Internasional dalam Islam terj. Ahmad Suaedy (Yogyakarta : LkiS, 2001), Hlm. 39
3
Said Aqil Al‐Munawar dkk. Islam Humanis,Islam dan Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan hidup,
Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, (Jakarta: PT Moyo Segoro Agung, 2001), hlm. 91
1. Pelanggaran terhadap aturan hukum yang kini merajalela tanpa batas.

2. Diskriminasi hukum yang sangat memprihatinkan.

Dalam upaya penegakan supremasi Hukum setidaknya ada tiga hal yang menjadi

sorotan utama; yaitu pertama, prinsip‐prinsip yang ada dan harus dikandung oleh

materi hukum (content of law), atau dengan kata lain sejauh mana isi/materi

hukum sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai‐nilai moral. Kedua, struktur

hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law) yang mengandung nilai‐

nilai keadilan dan prinsip amanah.

Islam adalah agama Allah yang bersifat universal, untuk segala waktu dan tempat.

Ia diturunkan sebagai rahmat dan petunjuk bagi umat manusia dalam kehidupan

ini. Dalam perbuatan manusia yang bersifat praktis, petunjuk ini berbentuk

hukum‐hukum agama yang secara ideal merupakan perwujudan dari dasar

keimanan kepada Allah SWT. dan dasar‐dasar etika dalam masyarakat.

Hukum (Islam) adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur prilaku

kehidupan kaum Muslim dalam keseluruhan aspeknya, baik yang bersifat

individual ataupun kolektif. Karena Secara etimologi hukum berarti menolak 4. Kata

hukum dan bentukan kata yang dihasilkan tersebar pada 88 tempat dalam ayat‐

ayat Al‐Qur’an. Sedangkan secara terminologis, menurut ulama’ ushul, hukum

merupakan putusan Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang‐orang mukallaf

berupa tuntutan (iqtidla’), pilihan (takhyir) atau ketentuan‐ketentuan (al‐Wadh’i) 5.

Definisi di atas oleh abu Zahrah dipahami sebagai khitab (doktrin atau pesan)

Syar’i (Allah) yang memiliki hubungan dengan perbuatan orang‐orang mukallaf,

baik dalam bentuk thalab (tuntutan), Takhyîr (pilihan), ataupun berupa wad’i

4
Ibnu Manzhur, Lisan al‐Arab, Juz 15, (Kairo: Dar al‐Mishriyyah, tt), hlm.31
5
Definisi ini pertama kali diperkenalkan oleh Ibnul Hajib, dan kemudian digunakan pula oleh ulama ushul yang lain
semisal Abdul Wahhab Khallaf, Imam Abu Zahroh, dan Wahbah al‐Zuhaili. Lihat dalam Jalaluddin al‐Mahalli, Syarh
‘ala Matanil Jam’il Jawami’, Juz 1, (Beirut: Darul Fikr, tt), hlm. 52‐53.
(ketetapan yang mempengaruhi hukum).6 Yang dimaksud dengan khitab syariʹ

menurut ahli ushul bukan hanya nash al‐Quran dan al‐Sunnah, akan tetapi

termasuk pula dalil‐dalil syarʹi yang lainnya, seperti ijmaʹ, qiyas dan lain‐lain. Hal

ini karena dalil‐dalil syarʹi di luar nash, pada hakekatnya bersumber dari nash.

Karena itu dapat digolongkan sebagai khitab syar’i secara tidak langsung. 7 Definisi

hukum sebagai putusan Allah atau syar’i ini tidak lantas menegasikan sumber‐

sumber hukum lainnya seperti sunnah, ijma’ qiyas dan sebagainya, karena dalil‐

dalil ini pada dasarnya bertumpu pada Al‐Qur’an karena Al‐Qur’an merupakan

sumber utama hukum Islam. Hal ini berarti, bahwa sumber‐sumber hukum

tersebut tidak boleh kontradiktif dengan Al‐Qur’an. Al‐Qur’an mempunyai otoritas

istimewa dalam menunjukkan hukum dibandingkan dengan sumber‐sumber

hukum yang lain. Menurut Muhammad Syahrur 8 , peran otoritatif Al‐Qur’an ini

tidak tergantikan, bahkan oleh sunnah sekalipun. Hal ini berarti bahwa interpretasi

sunnah bukan cermin dari interpretasi tunggal yang tidak bisa berubah karena

selalu terkait dengan nuansa lokalitas dimana nabi Muhammad SAW berada.

Penafsiran ini selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Pendapat kontroversial ini jika dihubungkan dengan pernyataan ulama mayoritas

mengenai peran sunnah yang cukup luas dapat men-desakralisasi fungsi sunnah

sebagai penafsir Al‐ Qur’an yang otoritatif. Padahal dalam penyajian hukumnya,

Al‐ Qur’an seringkali menggunakan petunjuk global bahkan samar sehingga

membutuhkan penjelasan lebih detail. Hal ini juga dapat menimbulkan relatifitas

penafsiran yang berakibat pada terbukanya ruang penafsiran sehingga tidak ada

penafsiran yang sepenuhnya benar. Namun demikian langkah ini juga dianggap

urgen karena dapat membuka kreatifitas memecahkan persoalan‐persoalan yang

6
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Darul Fikr, t.t), hlm. 27
7
Hasanuddin AF, Anatomi al‐Quran Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Instinbath Hukum Dalam al‐
Quran, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. 183.
8
Muhammad Syahrur, Al‐Kitab wal Qur’an, (Beirut: Syirkah al‐Maudhu’ah lit Tauzi’, 2000), hlm. 60.
baru muncul di panggug peradaban modern. Karena seringkali persoalan yang

sejatinya sudah ada penafsirannya pada masa klasik harus ditelisik ulang seiring

situasi dan kondisi yang berubah untuk menjamin sifat ajaran yang shalih li kulli

zaman wa makan.

B. QS An Nahl 90-93 Dalam Penafsiran Umum dihubungkan dengan Perjanjian

Madinah

‫اء ِذي ْالقُ ْربَى َويَ ْن َهى‬ ِ َ ‫ان َوإِيت‬ِ ‫س‬ َ ‫َّللاَ يَأ ْ ُم ُر بِ ْالعَ ْد ِل َواإل ْح‬
َّ ‫إِ َّن‬
‫ظكُ ْم لَعَلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُرو َن‬ُ ‫َاء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغي ِ يَ ِع‬
ِ ‫ع ِن ْالفَ ْحش‬ َ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran. . (An-Nahl: 90)

َ‫ضوا األ ْي َمانَ بَ ْعد‬ ُ ُ‫عا َه ْدت ُ ْم َوال ت َ ْنق‬ َ ‫َّللاِ إِذَا‬ َّ ‫َوأ َ ْوفُوا بِعَ ْه ِد‬
‫َّللاَ يَ ْعلَ ُم َما ت َ ْفعَلُو َن‬
َّ ‫علَ ْيكُ ْم َك ِفيال إِ َّن‬ َّ ‫ت َ ْو ِكي ِد َها َوقَ ْد َجعَ ْلت ُ ُم‬
َ َ ‫َّللا‬
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji, dan janganlah kalian

membatalkan sumpah-sumpah (kalian) itu sesudah meneguhkannya, sedangkan kalian telah

menjadikan Allah sebagai saksi kalian (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah

mengetahui apa yang kalian perbuat. (QS An Nahl : 91)

‫ت غ َْزلَ َها ِم ْن بَ ْع ِد قُ َّوةٍ أ َ ْن َكاثًا‬ ْ ‫ض‬ َ َ‫َوال تَكُونُوا َكالَّتِي نَق‬


‫ي أ َ ْربَى ِم ْن‬ ُ
َ ‫تَت َّ ِخذُونَ أ َ ْي َمانَ ُك ْم دَخَال بَ ْينَ ُك ْم أ َ ْن ت َ ُكونَ أ َّمةٌ ِه‬
َّ ‫أ ُ َّم ٍة إِنَّ َما يَ ْبلُوكُ ُم‬
‫َّللا ُ بِ ِه َولَيُبَيِن ََّن لَ ُك ْم يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َما كُ ْنت ُ ْم فِي ِه‬
َ‫ت َ ْخت َ ِلفُون‬
Dan janganlah kalian seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah

dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali, kalian menjadikan sumpah (perjanjian) kalian

sebagai alat penipu di antara kalian, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak

jumlahnya daripada golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kalian dengan hal

itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepada kalian apa yang dahulu

kalian perselisihkan itu. (QS An Nahl : 92)

ِ ُ‫احدَة ً َولَ ِك ْن ي‬
‫ض ُّل َم ْن يَشَا ُء‬ ِ ‫َّللا ُ لَ َجعَلَ ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
َّ ‫َولَ ْو شَا َء‬
‫ع َّما ُك ْنت ُ ْم ت َ ْع َملُو َن‬َ ‫َويَ ْه ِدي َم ْن يَشَا ُء َولَت ُ ْسأَلُ َّن‬
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu umat (saja), tetapi Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-
Nya. Dan sesungguhnya kalian akan ditanya tentang apa yang telah kalian kerjakan. (QS An
Nahl : 93)

 Tafsir An Nahl Ayat 90 :

Dalam Islam semua manusia sama di hadapan Tuhan, tidak ada perbedaan orang kulit
putih dan kulit hitam, antara anak raja dengan anak rakyat, semua sama dalam
perlakuan hukum. Melaksanakan keadilan hukum dipandang oleh Islam sebagai
melaksanakan amanat.

Firman Allah swt:

‫ت اِ ٰلٰٓى ا َ ْه ِل َه ۙا َواِذَا َح َك ْمت ُ ْم‬


ِ ‫َّللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم ا َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاالَمٰ ٰن‬
ٰ ‫۞ اِ َّن‬
‫اس ا َ ْن ت َ ْحكُ ُم ْوا بِ ْالعَ ْد ِل‬ ِ َّ‫ۗ بَيْنَ الن‬
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan

apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan

adil…. (an-Nisa’/4: 58)


Hadis Nabi saw:

‫ْف‬
ُ ‫ش ِري‬َّ ‫س َرقَ فِ ْي ِه ُم ال‬ َ َ ‫إِنَّ َما َهلَ َك الَّ ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم َكانُ ْوا إِذا‬
ِ‫ َو هللا‬.‫علَ ْي ِه ُم ْال َحد‬
َ ‫ْف اَقَا ُم ْوا‬ُ ‫ض ِعي‬ َّ ‫س َرقَ فِ ْي ِه ُم ال‬ َ ‫ت َ َر ُك ْوهُ َوإِذَا‬
َ َ‫ت فَا ِط َمةُ بِ ْنتُ ُم َح َّم ٍد لَق‬
‫ط ْعتُ يَدَ َها‬ ْ َ‫س َرق‬َ ‫لَ ْو‬
(‫)رواه مسلم‬
Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu karena jika orang terpandang yang

mencuri mereka tidak menghukumnya, namun jika orang lemah yang mencuri, mereka

menghukumnya. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti

kupotong tangannya. (Riwayat Muslim)

Di samping berlaku adil, Allah swt memerintahkan pula berbuat ihsan seperti

membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan yang lebih baik/besar atau memaafkan

orang lain.

Firman Allah:

َ ‫َواِذَا ُحيِ ْيت ُ ْم بِت َ ِحيَّ ٍة فَ َحي ُّْوا بِا َ ْح‬


ٰ ‫سنَ ِم ْن َها ٰٓ ا َ ْو ُردُّ ْو َها ۗ اِ َّن‬
َ‫َّللا‬
‫ش ْيءٍ َح ِس ْيبًا‬ َ ‫ع ٰلى ُك ِل‬ َ َ‫َكان‬
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan

itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (peng-hormatan itu, yang sepadan) dengannya.

Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu. (an-Nisa’/4: 86)

Al-Ihsan terbagi dalam tiga kategori:

1. Al-Ihsan dalam ibadah: engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya.

Jika tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.

Hadis Nabi Muhammad saw:


ُ‫ان أ َ ْن ت َ ْعبُدَ هللاَ َكأَنَّ َك ت َ َراهُ فَإ ِ ْن لَّ ْم ت َ ُك ْن ت َ َراهُ فَإِنَّه‬
ُ ‫س‬َ ‫ا َ ِال ْح‬
‫اك‬
َ ‫يَ َر‬
(‫) رواه البخاري عن أبي هريرة‬
Ihsan itu ialah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, apabila kamu

tidak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)

2. Al-Ihsan dalam balasan dan sanksi dengan seimbang, dan menyempurna-kan hak

dalam pembunuhan dan luka dengan qisas.

3. Al-Ihsan dalam menepati hak atau hutang dengan membayarnya tanpa mengulur

waktu, atau disertai tambahan yang tidak bersyarat.

Tingkat al-ihsan yang tertinggi ialah berbuat kebaikan terhadap orang yang bersalah.

Diriwayatkan bahwa Isa a.s. pernah berkata, “Sesungguhnya al-ihsan itu ialah kamu

berbuat baik kepada orang yang bersalah terhadapmu. Bukanlah al-ihsan bila kamu

berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik kepadamu.”

Allah swt memerintahkan pula dalam ayat ini untuk memberikan sedekah kepada

kerabat untuk kebutuhan mereka. Bersedekah kepada kerabat sebenarnya sudah

termasuk dalam pengakuan berbuat adil dan al-ihsan. Namun disebutkan secara

khusus untuk memberikan pengertian bahwa urusan memberikan bantuan kepada

kerabat hendaklah diperhatikan dan diutamakan.

Sesudah menerangkan ketiga perkara yang diperintahkan kepada umat manusia, Allah

swt meneruskan dengan menerangkan tiga perkara lagi yang harus ditinggalkan.

1. Melarang berbuat keji (fahisyah), yaitu perbuatan-perbuatan yang didasarkan

pada pemuasan hawa nafsu seperti zina, minuman-minuman yang

memabukkan, dan mencuri.

2. Melarang berbuat mungkar yaitu perbuatan yang buruk yang berlawanan

dengan pikiran yang waras, seperti membunuh dan merampok hak orang lain.
3. Melarang permusuhan yang sewenang-wenang terhadap orang lain.

Demikianlah dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan tiga perkara yang harus

dikerjakan, yaitu berbuat adil, al-ihsan, dan mempererat persaudaraan. Allah juga

melarang tiga perkara, yaitu berbuat keji, mungkar, dan permusuhan.

Semua itu merupakan pengajaran kepada manusia yang akan membawa mereka

kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, maka sewajarnya mereka mengamalkannya.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nahl Ayat 91-93 berbicara mengenai tiga hal.

Pertama mengenai perintah Allah agar menepati sebuah janji yang sudah terikat.

Kedua berbicara mengenai perumpamaan orang-orang yang telah mengingkari sebuah

janji. Ketiga mengenai kuasa Allah untuk mempersatukan manusia dalam satu agama.

Namun Allah punya kehendak lain.

 Tafsir An Nahl Ayat 91 :

Dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan kaum Muslimin untuk menepati janji mereka

dengan Allah jika mereka sudah mengikat janji itu. Menurut Ibnu Jarir, ayat-ayat ini

diturunkan dengan bai’at (janji setia) kepada Nabi Muhammad saw yang dilakukan

oleh orang-orang yang baru masuk Islam.

Mereka diperintahkan untuk menepati janji setia yang telah mereka teguhkan dengan

sumpah, dan mencegah mereka membatalkannya. Jumlah kaum Muslimin yang sedikit

janganlah mendorong mereka untuk membatalkan bai’at itu setelah melihat jumlah

kaum musyrikin yang besar.

Menurut ayat ini, semua ikatan perjanjian yang dibuat dengan kehendak sendiri, wajib

dipenuhi baik perjanjian itu sesama kaum Muslimin ataupun terhadap orang di luar

Islam. Allah swt melarang kaum Muslimin melanggar sumpah yang diucapkan dengan

mempergunakan nama Allah, karena dalam sumpah seperti itu, Allah telah

ditempatkan sebagai saksi.

Tiada kontradiksi antara apa yang disebutkan oleh ayat ini dan apa yang disebutkan
dalam firman-Nya:
‫ضةً أل ْي َمانِ ُك ْم أ َ ْن تَبَ ُّروا َوتَتَّقُوا‬
َ ‫ع ْر‬ َّ ‫و ََال ت َ ْجعَلُوا‬
ُ َ ‫َّللا‬
Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian sebagai penghalang. (Al-Baqarah:
224), hingga akhir ayat.

‫ظوا أ َ ْي َمانَ ُك ْم‬


ُ َ‫ارة ُ أ َ ْي َمانِ ُك ْم إِذَا َحلَ ْفت ُ ْم َوا ْحف‬
َ َّ‫ذَ ِل َك َكف‬
Yang demikian itu adalah kifarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kalian
langgar). Dan jagalah sumpah kalian. (Al-Maidah: 89)

Allah akan memberi pahala bagi mereka yang memenuhi apa yang diucapkannya

dengan sumpah atau membalas dengan azab bagi mereka yang mengkhianati sumpah

itu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala amal perbuatan manusia. Dialah yang

mengetahui segala perjanjian yang mereka kuatkan dengan sumpah, dan mengetahui

pula bagaimana mereka memenuhi janji dan sumpah itu.

 Tafsir An Nahl Ayat 92 :

Dalam ayat ini, Allah mengumpamakan orang yang melanggar perjanjian dan sumpah

itu sebagai seorang wanita yang mengurai benang yang sudah dipintal dengan kuat,

menjadi cerai berai kembali. Demikian itu adalah gambaran tingkah laku orang gila dan

orang bodoh.

Pelanggaran terhadap bai’at perjanjian atau sumpah berarti menjadikan sumpah

sebagai alat penipuan sesama manusia.

Sebab jika satu golongan atau seseorang membuat perjanjian dengan golongan lain

yang lebih besar dan kuat daripadanya untuk menenteramkan hati mereka, kemudian

jika ada kesempatan, dia mengkhianati perjanjian itu, maka tingkah laku seperti

demikian itu dipandang sebagai suatu penipuan.

Allah swt melarang tingkah laku demikian karena termasuk perbuatan bodoh dan gila,

walaupun dia dari golongan yang kecil berhadapan dengan golongan yang besar. Lebih
terlarang lagi jika golongan besar membatalkan perjanjian terhadap golongan yang

lebih kecil.

Diriwayatkan bahwa Mu’awiyah, khalifah pertama Dinasti Bani Umaiyyah, pernah

mengadakan perjanjian damai dengan Kaisar Romawi dalam jangka tertentu.

Menjelang akhir perjanjian damai tersebut, Mu’awiyah membawa pasukannya ke

perbatasan dengan rencana bila saat perjanjian itu berakhir dia langsung akan

menyerang. Lalu seorang sahabat bernama Amr bin Anbasah berkata kepadanya,

“Allahu Akbar, wahai Mu’awiyah, tepatilah janji, jangan khianat, aku pernah

mendengar Rasul saw bersabda:

‫ي‬
َ ‫ض‬ ُ ‫َم ْن َكانَ بَ ْينَهُ َو بَيْنَ قَ ْو ٍم أ َ َج ٌل فَالَ يَ ُحلَّ َّن‬
ِ َ‫ع ْقدَة ً َحت َّى يَ ْنق‬
‫أ َ َمد ُ َها‬.
(‫)رواه أحمد‬
Barang siapa ada perjanjian waktu antara dia dengan golongan lain, maka sekali-kali janganlah

dia membatalkan perjanjian itu sampai habis waktunya. (Riwayat Imam Ahmad)

Setelah Mu’awiyah mendengarkan peringatan temannya itu, dia pun pulang membawa

kembali pasukannya.

Demikianlah Islam menetapkan ketentuan-ketentuan dalam tata pergaulan antara

manusia untuk menguji di antara mereka siapakah yang paling kuat berpegang kepada

perjanjian yang mereka adakan sendiri, baik perjanjian itu kepada Allah dan rasul-Nya

seperti bai’at, ataupun kepada sesama manusia.

Pada hari kiamat kelak akan kelihatan: mana yang hak dan mana yang batil serta mana

yang jujur dan mana yang khianat. Segala perselisihan akan dijelaskan, masing-masing

akan mendapat ganjaran dari Allah swt.


 Tafsir An Nahl Ayat 93 :

Usai mengisyaratkan adanya perselisihan di antara umat manusia dalam beberapa

persoalan kehidupan, pada ayat ini Allah menyatakan kekuasaannya untuk

menghilangkan perselisihan itu seandainya dia berkehendak. Allah swt dalam ayat ini

mengemukakan bahwa sekiranya Dia berkehendak, tentu Dia mampu mempersatukan

manusia ke dalam satu agama sesuai dengan tabiat manusia itu, dan meniadakan

kemampuan ikhtiar dan pertimbangan terhadap apa yang dikerjakan.

Dengan demikian, manusia hidup seperti halnya semut atau lebah, atau hidup seperti

malaikat yang diciptakan bagaikan robot yang penuh ketaatan kepada Allah, sedikit

pun tidak akan menyimpang dari ketentuan yang benar, atau tersesat ke jalan yang

salah. Akan tetapi, Allah swt tidak berkehendak demikian dalam menciptakan

manusia. Allah menciptakan manusia dengan menganugerah-kan kemampuan

berikhtiar dan berusaha dengan penuh pertimbangan. Daya pertimbangan itu

sejak azali diberikan kepada manusia. Pahala dan siksa berkaitan erat dengan pilihan

dan pertimbangan manusia itu. Masing-masing diminta pertanggungjawaban terhadap

segala perbuatan yang dihasilkan oleh pertimbangan dan pilihan mereka itu.

Sebagaimana firman Allah:

٤٠ ‫ف يُ ٰرى‬ َ ‫ َوا َ َّن‬٣٩ ‫ٰى‬


َ ‫س ْعيَ ٗه‬
َ ‫س ْو‬ َ ‫ان ا َِّال َما‬
ۙ ‫سع‬ ِ ‫س‬َ ‫ال ْن‬ َ ‫َوا َ ْن لَّي‬
ِ ْ ‫ْس ِل‬
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya

usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (an-Najm/53: 39-40)

(Tafsir Kemenag)

Perjanjian Madinah

Prinsip-prinsip negara hukum yang didengungkan-dengungkan oleh negara-negara

barat sebenarnya sudah lama dlkenal dalam Islam dan bahkan sudah dilaksanakan

dengan baik.
Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan

pengertian konstitusi dalam arti modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat

atas dasar persetujuan bersama antara Nabi Muhammad saw. dengan wakil-wakil

penduduk kota Madinah tak lama setelah ia hijrah dari Mekkah ke Yatsrib, nama kota

Madinah sebelumnya, pada tahun 622 M. Banyak buku yang menggambarkan

mengenai Piagam Madinah, kadang-kadang disebut juga Konstitusi Madinah 9.

Kekaguman akan bertambah apabila dikaitkan dengan masa pembentukannya. Piagam

Madinah dibuat pada awal masa klasik Islam, di permulaan dasawarsa ketiga abad ke-

7 Masehi, 15 abad yang lalu. Dibanding dengan para penulis Muslim, para saqana Barat

di abad modern yang memberikan perhatian terhadap naskah politik tersebut, agaknya

lebih dulu dan lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa Piagam Madinah

mempunyai kedudukan penting dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. dan

kaum muslimim, khususnya dalam masalah ketatanegaraan dalam Islam, yang

kemudian mengalami perkembangan 10.

Para pihak yang diikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian ini ada 13, yaitu

komunitas-komunitas yang secara eksplisit disebut dalam Piagam Madinah. Ketiga

belas komunitas itu adalah: (i) Kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku

Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi

dari Banu 'Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa'adah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-

Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi

dari Banu "Amr ibn 'Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-'Aws, (xi) Kaum Yahudi dari

Banu Sa'labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa'labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah 11.

Kalimat-kalimat shahifah (piagam), seperti tercantum dalam kitab Shirah al-Nabawiy

Ibnu Hisyam, tersusun secara bersambung, tidak terbagi atas pasal-pasal dan bukan

9
Asshiddiqie, 2004:13
10
Sukardja, 1995:3
11
Jimly Asshiddiqie, 2004:14
berbentuk syair. Bismillah al-Rahman al-Rahim tertulis pada awal naskah, disusun

dengan rangkaian kalimat berbentuk prosa, jumlah pasal pada Piagam Madinah ini

seluruhnya ada 47 pasal.

Piagam Madinah lahir di Jazirah Arab yang sebelumnya diliputi kemusyrikan,

pertentangan antarsuku, permusuhan kaum kafir Quraisy dengan umat Islam, batas

yang jelas antara satu negara deng an negara lain belum ada, dan hukum internasional

belum dikenal. Pada saat itu semangat Nabi Muhammad saw. dan para pengikutnya

untuk menegakkan tauhid menyala-nyala. Kemusyrikan harus diganti dengan

ketauhidan. Hukum-hukum Tuhan perlu ditegakkan di muka bumi. Keinginan bersatu

di kalangan orang-orang Arab yang telah masuk Islam begitu kuat. Tekad Nabi

Muhammad saw. untuk membangun tatanan hidup bersama sangat mantap dan

realistis, dengan mengikutsertakan semua golongan, sekalipun berbeda ras, keturunan,

golongan, danagama (Sukardja, 1995:44). Adapun prinsip-prinsip negara hukum yang

terdapat pada Piagam Madinah adalah sebagai berikut: Prinsip Musyawarah, Prinsip

Keadilan, Prinsip Persamaan, Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap HAM,

Prinsip Peradilan Bebas .

1. Prinsip Musyawarah

Prinsip ini tidak disebutkan secara tegas pada Piagam Madinah. Tetapi bila dipahami

salah satu pasalnya, yakni pasal 17 yaitu : "Sesungguhnya perdamaian orangorang

mukmin itu satu, tidak dibenarkan seorang mukmin membuat peijanjian damai sendiri

tanpa mukmin yang lain dalam keadaan perang dijalan Allah, kecuali atas dasar

persamaan dan adil di antara mereka". Pada pasal 17 di atas ada kata bila orang

mukmin handak mengadakan perdamaian hams ada da sar persamaan dan adil di

antara mereka, mengandung konotasi bahwa untuk mengadakan perda maian itu hams

disepakati dan diterima bersama. Hal ini tentu saja hanya bisa dicapai melalui suatu
prosedur yaitu musyawarah di antara mereka 12. Musyawarah dapat diartikan sebagai

suatu fomm tukar menukar pikiran, gagasan ataupun ide. termasuk saran-saran yang

diajukan dalam memecahkan sesuatu masalah sebelum tiba pada suatu pengambilan

keputusan. Dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip

konstitusional dalam nomokrasi Islam yang wajib dilaksanakan da lam suatu

pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah lahimya keputusan yang merugikan

kepentingan umum atau rakyat. Sebagai suatu prinsip konstitusional, maka dalam

nomokrasi Islam musyawarah berfungsi sebagai "rem" atau pencegah kekuasaan yang

absolut dari seorang penguasa atau kepala negara 13 . Prinsip musyawarah ini sesuai

dengan al-Qur'an surah Ali Imran, ayat 159 yang artinya: "... dan bermuyawarahlah

engkau hai Muhammad dengan mereka dalam setiap urusan kemasyarakatan" (Q.S. Ali

Imran:159). Nabi tidak pernah memecah kan masalah yang menyangkut kepentingan

umum seorang diri. la adalah orang yang paling banyak melakukan musyawarah

apabila menghadapi suatu masalah umat Islam. Pada masa Nabi, musyawa rah cukup

dilakukan di mesjid, karena mesjid pada hakikatnya merupakan pusat seluruh

kegiatan, baik ibadat maupun muamalat da lam makna hal-hal yang berkaitan dengan

kemasyarakatan. Tradisi ini dilanjutkan oleh keempat Khalifah yang menggantikan

Rasulullah, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Misalnya, masalah suksesi jabatan

khalifah dipecahkan melalui musyawarah di antara tokoh-tokoh Madinah ketika itu

yang pada umumnya ada lah pula para saliabat Rasul. Kemudian dalam sejarah Islam

di zaman Pemerintahan Abbasiah ada suatu lembaga musyawarah yang disebut

Dewan Syura sebagaimana dicatat oleh Abdul Malik al-Sayed. Anggota-anggota

Dewan Syura ini adalah pilihan rakyat dan dewan ini pula yang memilih ke pala

pemerintahan propinsi14 . Pada masa kini musyawarah dapat dilaksanakan melalui

12
Pulungan, 1996: 208
13
Azhary, 1995:83
14
Azhary, 1995:85
suatu lembaga pemerintahan yang dise but dewan perwakilan atau apapun namanya

yang sesuai dengan kebutuhan pada suatu waktu dan tempat. Aplikasi musyawarah

ter masuk dalam bidang atau lingkup wilayah ijtihad manusia.

2. Prinsip Keadilan

Prinsip ini mendapat posisi dalam Piagam Madinah yang dinyatakan secara tegas

sebagai sistem perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat Negara Madi nah.

Dalam pasal 2-10 dinyatakan bahwa orang-orang mukmin hams berlaku adil dalam

membayar diat dan menebus tawanan. Tidak boleh ada pihak yang dimgikan. Esensi

ketetapan pasal-pasal tersebut agar permusuhan dan dendam tidak berkelanjutan di

antara pihak-pihak yang bersengketa, sehingga hubungan sosial dan silaturrahmi

mereka tetap harmonis. Ini hanya bisa terwujud bila semua pihak merasakan adanya

keadilan 15. Pada al-Qufan ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk berbuat adil,

diantaranya yaitu su rah al-Maidah ayat 8, yang artinya: "Hai orang-orang yang

beriman, hendaknya kamu menjadimanusia yang lurus karena AUah^ menjadi saksi

yang adil dan Janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menyebabkan kamu tidak

adil. Bersikap adij karena adilitu lebih dekatkepada takwa dan bertakwalah kepada

Allah, karena sesungguhnya Allah sangat mengetahui se mua yangkamu lakukan. "

Dari ayat tersebut dapat dibentuk sekurangnya lima garis hukum yang berisi perintah

dan larangan Allah kepada manusia, yaitu: Pertama, perintah kepada orang-orang yang

beriman supaya menjadi manusia yang adil (dari perkataan al-qist) karena Allah. Garis

hukum ini mengandung makna bahwa setiap perbuatan yang adil dilakukan oleh

manusia karena keikhlasannya semata-mata kepada Allah, bukan karena halhallain.

Kedua, Perintah kepada orangorang beriman supaya menjadi saksi adil. Artinya, dalam

kesaksiannya itu, ia tidak memihak kepada siapapun, kecuali kepada kebenaran.

Ketiga, larangan kepada ora ng-orang yang beriman untuk bersikap tidak adil, karena

15
Pulungan, 1996:223
motivasi imosional atau sentimen yang negatif (bend) kepada suatu kelompok

manusia. Secara a contrario ayat ini dapat ditafsirkan pula, ma nusia dilarang bersikap

tidak adil karena motivasi emosional yang positif, misalnya rasa sayang atau belas

kasihan kepada suatu kelompok atau seorang tertentu. Ringkasnya, setiap orang

beriman wajib menjadi saksi yang adil tanpa dipengamhi oleh sesuatu perasaan

apapun, kecuali kebenaran. Keempat, perintah kepada orang-orang yang beriman

supaya bersikap adil, karena adil lebih dekat kepada takwa. Garis hukum ini

mempakan penegasan dari garis hukum yang pertama dalam ayat ini. Disini

digambarkan bahwa sikap adil itu lebih dekat kepada tak wa. Artinya, orang yang

bersikap adil sudah menempatkan dirinya pada suatu posisi yang mendekati derajat

takwa. Sedangkan derajat takwa dalam doktrin Islam sebagaimana telah dijelaskan

merupakan suatu tolok ukur bagi kemuliaan manusia dalam pandangan Allah, karena

itu dalam garis hu kum. Kelima, manusia diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah,

artinya selalu melaksanakan perintah-perintahNya dan menghindari larangan-

laranganNya. Prinsip keadilan dalam Islam mengandung konsep yang bernilai tinggi.

la tidak identik dengan ke adilan yang diciptakan manusia. Keadilan buatan manusia

dengan doktrin humanisme telah menghasilkan nilai-nilai transendental dan terlalu

mengangungkan manusia sebagai individu, sehingga manu sia menjadi titik sentral.

Sebaliknya, konsep keadilan dalam nomokrasi Islam menempatkan ma nusia pada

kedudukannya yang wajar baik sebagai individu maupun sebagai suatu "hamba Allah"

yang nilainya ditentukan oleh hubungannya dengan Allah dengan sesama manusia

sendiri (Q.S. Ali Imran:112). Dalam doktrin Islam hanya Allah yang menempati posisi

yang sentral. Karena itu keadilan dalam humanisme Islam selalu bersifat teosentrik,

artinya bertumpu dan berpusat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.

Deng an demikian konsep keadilan da lam Islam memiliki kelebihan yang tidak

dijumpai dalam konsep-konsep keadilan menurut versi manu sia.


3. Prinsip Persamaan

Prinsip persamaan pada Piagam Madinah dapat dilihat pada pasal 16 yaitu : "Dan

bahwa orang yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan dan

hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada yang membantu musuh

mereka". Sedangkan pada pasal 46 Piagam Madinah berbunyi: "Dan bahwa Yahudi al-

Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memper oleh hak seperti apa yang terdapat

bagi pemilik shahifah ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifah

ini. Prinsip persamaan dalam Is lam mengandung aspek luas. la mencakup persamaan

dalam segala bidang kehidupan. Persamaan itu meliputi bidang hukum, politik,

ekonomi, sosial dan Iain-lain. Per samaan dalam bidang hukum memberikan jaminan

akan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama terhadap semua orang tanpa

memandang kedudukannya. apakah ia dari kalangan rakyat biasa atau dari kelompok

elit. Prinsip ini telah ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw. Sebagai Kepala Negara

Madinah, ketika ada sementara pihak yang menghindari dispensasi karena tersangka

berasal dari kelompok elit. Prinsip persamaan ini dalam Islam didasarkan pada al-

Qur'an surah al-Hujarat ayat 13, yang artinya: "Hai manusia, sesungguhnya kami

menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan

kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang orang yang paling

takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal."

Nabi Muhammad saw. telah menerapkan prinsip persamaan hukum walaupun

terhadap seorang Yahudi dalam kedudukannya sebagai kreditur. Ia menagih hutang

kepada Nabi dengan mengeluarkan perkataan yang tidak pantas di hadapan Kepala

Negara Madinah. Para sahabat sudah tidak dapat menahan perasaan mereka. Tetapi

Nabi bersabda: "Biarkanlah ia bicara, karena ia berhak untuk itu". Peristiwa ini

menunjukkan bahwa Nabi sebagai Kepala Negara Madinah memberikan persamaan

hak kepada orang Yahudi itu. Masih ada contoh-contoh lain dari kalangan bukan elit
menduduki jabatan-jabatan umum. Beberapa nama yang tadinya dikenal sebagai

sahaya, dalam masa Pemerintahan Islam mereka menduduki jabatan penting, misalnya

Zaid bin Haritsah pernah menjabat sebagai Panglima, dan Usamah, puteranya pemah

menjabat sebagai Gubernur. Pengalaman dalam sejarah Is lam ini dapat dikatakan

merupakan fakta atau kenyataan yang memperkuat pendirian bahwa dalam Islam

manusia memiliki posisi sama.

4. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap HAM

Dalam Nomokrasi Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga

dilindungi sepenuhnya. Karena itu, dalam hubungan ini ada dua prinsip yang sangat

penting yaitu prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan

terhadap hak-hak tersebut16. Prinsip pengakuan dan perlin dungan terhadap HAM ini

terdapat dalam al-Qur'an antara lain dalam surah al-Isra ayat 70, yang artinya: Dan

sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam Kami tebarkan mereka di

darat dan di laut serta Kami anugerahi mereka rezeki yang baik-baik dan Kami

lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma dan pada kebanyakan makhluk

yang telah Kami ciptakan." Tentang martabat manusia berkaitan erat dengan karamah

atau kemuliaan yang dikaruniakan Allah kepadanya. Manusia diciptakan Allah dengan

suatu martabat yang sangat berbeda dengan makhluk-makhluk lain ciptaanNya.

Manusia memiliki atribut atau perlengkapan fisik dan rohani tersendiri yang tidak

terdapat pada makhluk-makhluk lainnya. Salah satu ciri yang memberikan marta bat

dan kemuliaan kepada manu sia itu ialah kemampuan manusia untuk berpikir dan

menggunakan akalnya sebagai suatu atribut yang hanya dimiliki manusia. Dengan

struktur fisik dan rohani yang seperti itu, manusia secara fitrah atau naluri memiliki

martabat dan kemuliaan yang hams diakui dan dilindungi. Salah satu prinsip

pengakuan dan perlindungan yang berkaitan dengan martabat manusia itu telah

16
(Azhary, 1995: 94)
digariskan dalam al-Qur'an, yang artinya : "Dan janganlah kamu membunuh nyawa

yang diharamkan Allah kecuali dengan suatu alasan yang benar Q-S. al-Isra : 33).

5. Prinsip Peradilan Bebas

Dalam nomokrasi Islam, hakim memiliki kedudukan yang bebas dari pengaruh

siapapun. Hakim bebas pula menentukan dan menetapkan putusannya. Bahkan ia

memiliki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihad dalam menegakkan hukum.

Ketika Mu'adz bin Jabal diangkat oleh Nabi sebagai hakim di Yaman, Nabi sebagai

kepala Negara Madinah bertanya ke pada Mu'adz sebelum ia menempatiposnyaitu.

"Dengan apa kau akan mengadili sesuatu perkara?" Jawab Mu'adz: "Dengan alQur'an".

Tanya Nabi: "Kalau di dalamnya tidak engkau jumpai sesuatu ketentuan hukum?".

Jawab Mu'adz: "Dengan Sunnah Rasulullah". Tanya Nabi lagi: "Kalau didalamnya juga

tiada sesuatu keten tuan hukum?" Jawab Mu'adz: "Saya akan berijtihad dengan

menggunakan akal pikiransaya". Nabi membenarkan pendirian Mu'adz bin Jabal itu.

Dengan demikian, suatu putusan hakim yang didasarkan pada ijtihadnya dapat

merupakan sumber ketiga dalam hukum Islam. Prinsip peradilan bebas dalam

nomokrasi Islam tidak boleh bertentangan dengan tujuan hukum Islam, jiwa al-Qur'an

dan Sunnah. Dalam melaksanakan prinsip per adilan bebas hakim wajib

memperhatikan pula prinsip amanah, karena kekuasaan kehakiman yang berada

ditangannya adalah pula suatu amanah dari rakyat kepadanya yang wajib ia pelOiara

dengan sebaik-baiknya, sebelum ia menetapkan putusannya hakim wajib

bermusyawarah dengan para koleganya agar dapat dicapai suatu putusanyang seadil-

adilnya. Putusan yang adil merupakan tujuan utama dari kekuasaan kehakiman yang

bebas.

Dapat disimpulkan bahwa tafsir QS An Nahl 90-93 dengan Perjanjian Madinah

tentunya sangat berhubungan, dikarenakan Piagam Madinah mempunyai kedudukan

penting dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. dan kaum muslimim,

khususnya dalam masalah penegakan supremasi hukum dan ketatanegaraan dalam


Islam, yang kemudian mengalami perkembangan hingga kini. Salah satu prinsip dalam

Islam adalah hukum bersifat devine (Illahiyyah ) artinya telah ada sebelum manusia

dan ditentukan oleh Allah sebagai pedoman kehidupan manusia 17. Prinsip ini berbeda

dengan hukum sekuler18 yang menegaskan bahwa hukum itu dibuat oleh dan berasal

dari masyarakat yang bersangkutan19. Dalam Islam hukum menempati posisi penting

bahkan amat sentral, begitu sentralnya sehingga seringkali dikatakan bahwa Islam

identic dengan hukum (Islam is The Law)20. Pentingnya posisi hukum ini diperkuat

dengan kandungan Piagam Madinah yang sarat dengan aturan aturan yang harus

dipatuhi oleh penduduk yang kemudian dikenal dengan konstitusi resmi Negeri

Madinah dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.

C. Perbandingan Tafsir Umum dengan Kerangka Berpikir Tafsir Tarbawi QS An

Nahl 90-93

QS An Nahl ayat 90, dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan Tafsir Surah An-Nahl Ayat 90

Allah swt memerintahkan kaum Muslimin untuk berbuat adil dalam semua aspek

kehidupan serta melaksanakan perintah Al-Qur’an, dan berbuat ihsan (keutamaan).

Adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di antara hak dan kewajiban.

Hak asasi tidak boleh dikurangi disebabkan adanya kewajiban. Ayat ini termasuk ayat

yang sangat luas dalam pengertiannya. Ibnu Mas’µd berkata: “Dan ayat paling luas

lingkupnya dalam Al-Qur’an tentang kebaikan dan kejahatan ialah ayat dalam Surah

An-Nahl (yang artinya): “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan

17
Seyyed Hossein Nasr “The Shariah Devine Law – Social and Human Norm” dalam Ideals and Realities of Islam
(London : Allen & Unwin, 1985)
18
Untuk perbandingan itu baca antara lain Amin Ahsan Islahi, Islamic Law : Concept and Codification (Lahore:
Islamic Publications, 1989) terutama Bab1, 11-12, JND.
19
Untuk gambaran masyarakat sekuler , baca Harvey Cox, The Secular City(New York: The Macmillan Company,
1965) dan diskusi atas materi buku tersebut dapat dibaca pada Daniel Callahan, ed. The Secular City Debate (New
York: The Macmillan Company, 1966)
20
Hicks, “Fuqaha and Islamic Law.” 2
berbuat kebajikan”. (Riwayat Bukhari dari Ibnu Mas’ud dalam kitab al-Adab al-

Mufrad).

Dalam Tafsir Al Lubab Quraish Shihab juga dikemukakan sekelumit yang dapat

menggambarkan kesimpulan petunjuk al-Qur'an Ayat tersebut menyatakan bahwa

sungguh Allah secara terus-menerus memerintahkan siapa pun di antara hamba-

hamba-Nya untuk berlaku adil dalam sikap, ucapan, dan tindakan, walau terhadap diri

sendiri. Juga menganjurkan berbuat ihsan, yakni yang lebih utama dari pada keadilan

dan juga pemberian apa pun yang dibutuhkan dan sepanjang kemampuan, lagi dengan

tulus kepada kaum kerabat. Di sisi lain. Allah melarang segala macam dosa, lebih-lebih

perbuatan keji yang amat dicela oleh agama dan akal sehat, seperti zina dan

homoseksual atau sekarang yang sedang viral yaitu kasus LGBT di Indonesia yang mau

dilegalkan. Demikian juga kemungkaran, yakni hal-hal yang bertentangan dengan adat

istiadat yang sesuai dengan nilai-nilal agama, dan melarang Juga penganiayaan, yakni

segala sesuatu yang melampaui batas. kewajaran. Demikian Allah memberi pengajaran

dan bimbingan. menyangkut segala aspek kebajikan agar manusia selalu ingat dan

mengambil pelajaran yang berharga21. Di era modern ini, akhlak yang seharusnya

dimiliki oleh seseorang dan diaplikasikan dalam kehidupannya sekarang tidak

diperhatikan lagi, karena kebanyakan masyarakat memiliki karakter budaya kota yang

cenderung serba cepat, tergesa-gesa, materialistis dan penuh dengan persaingan yang

tidak sehat. Dalam surat An-Nahl ayat 90 terdapat beberapa akhlak yang perlu bahkan

harus diaplikasikan dalam kehidupan serta akhlak yang harus ditinggalkan dan dapat

dijadikan sebagai pelajaran, yakni:

a. Akhlak Terpuji : Sikap adil, ihsan, memberi bantuan kepada kerabat dan menepati

janji merupakan perintah Allah yang harus diterapkan dalam kehidupan.

Penerapannya dapat dimulai dari diri sendiri baru diterapkan kepada orang lain

21
Tafsir al-Lubab, M Quraish Shihab, Makna Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al Qur’an. Lentera Hati, Jilid 2
Hlmn, 187-190
dengan cara membiasakan sikap-sikap tersebut dalam aktivitas sehari-hari, selalu

berhati-hati dalam mengucapkan janji dan dapat dilakukan dengan memberikan

contoh sikap tersebut di hadapan orang lain. Ketika seseorang sudah terbiasa

dengan sikap terpuji di atas, sudah pasti sikap tersebut akan menjadi bagian dari

hidupnya atau menjadi kepribadian dalam dirinya. Jika seseorang sudah mampu

menjadikan sikap-sikap tersebut sebagai kepribadian dalam dirinya maka

kehidupannya akan terasa tenang, tenteram dan bermanfaat bagi diri sendiri

maupun orang lain.

b. Akhlak Tercela : Dalam surat An-Nahl ayat 90 terdapat beberapa larangan bagi

manusia yaitu larangan berbuat keji, mungkar, permusuhan dan larangan

membatalkan sumpah. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan larangan yang

harus dihindari oleh manusia karena dapat menimbulkan keburukan bagi dirinya

dan juga orang lain. Cara menghindari perilaku keji, mungkar dan permusuhan

dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan dengan menyadari bahwa perilaku

buruk yang dilakukan akan berdampak pada pelakunya itu sendiri baik di dunia

maupun di akhirat, menyadari bahwa perbuatan buruk yang dilakukan akan

menimbulkan hati tidak tenang, menyadari bahwa setiap perbuatan baik dan buruk

kita di dunia akan dicatat dan dipertanggungjawabkan di akhirat, serta ketika ingin

mengucapkan sesuatu kita harus menyadari apakah perkataan yang kita ucapkan

baik dan benar atau tidak, apalagi kalau itu menyangkut sumpah atas nama Allah

SWT.

Tafsir Tarbawi QS An Nahl 90-93 :

1) Konsep pendidikan akhlak dalam tujuan pendidikan mengarahkan peserta didik

pada pembentukkan akhlak mulia pada diri sendiri untuk mewujudkan habluminallah,

habluminannas, habluminal ‘aalamiin demi tercapainya kebahagiaan di dunia dan

akhirat.
2) Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S An-Nahl ayat 90

berdasarkan pendapat para Mufassir diantaranya; berlaku adil dalam semua aspek

kehidupan, berbuat baik, memberi bantuan pada kerabat dengan memperkokoh

silaturrahim, menjauhi perbuatan keji dan munkar serta menjauhi permusuhan.

3) Implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Q.S An-Nahl ayat 90 dengan

berlaku adil, berbuat baik, silaturrahim, menjauhi perbuatan keji dan munkar serta

menjauhi permusuhan untuk mencapai tujuan Pendidikan Islam yang tertinggi yakni

berakhlak mulia.

4) QS An Nahl ini Allah memerintahkan umat Islam berlaku adil dan ihsan serta memberi hak
kepada kerabat. Allah SWT juga melarang perilaku keji, mungkar dan permusuhan.

5) Penyandingan perintah dan larangan mengandung pesan bahwa perbuatan baik

juga diikuti tindakan pencegahan. Berlaku adil, berbuat baik diiringi dengan menjauhi

perbuatan keji dan buruk.

6) Allah juga memerintahkan umat Islam untuk memenuhi janji. Sumpah atau janji

kepada Allah SWT adalah selalu mengesakan-Nya, tidak menyekutukanNya,

sebagaimana telah diteguhkan ketika ruh ditiupkan di jasad calon manusia. Janji

kepada sesama berarti janji apapun kepada sesama manusia harus ditepati. Apalagi

sumpah dan janji itu diteguhkan atas nama Allah swt. Allah swt memberi

perumpamaan kain yang sudah bagus, dipintal dalam waktu yang lama dan kerja

keras, lalu kain itu diurai lagi hingga cerai berai. Hal ini

tentu menyusahkan diri jika dipintal kembali. Begitulah janji yang tidak ditepati. Allah

swt juga melarang janji sebagai alat tipu dan alat perusak. Banyak orang bersumpah

untuk meyakinkan pihak lain, namun sering dilanggar sendiri, sehingga merusak

hubungan. Demikianlah sumpah dan janji mempunyai potensi sebagai alat penipu
daya. Dan karenanya Allah swt menjadikannya sebagai ujian bagi manusia. Kelak Allah

swt akan menjelaskan di hari kiamat.

D. Pendekatan Interdisipliner dan Multidisipliner QS An Nahl 90-93 dalam Penegakan

Hukum dan Peraturan di Dunia Pendidikan

Sebagai kitab suci yang menjadi pilar utama bangunan hukum, Al‐Qur’an merupakan

kitab suci universal dan berlaku sepanjang zaman dan tidak terbatas lokus tertentu. Inilah

yang dimaksudkan dengan universalitas Al‐Qur’an. Universalitas ini terletak pada

cakupan pesannya yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat 22 . Memang harus diakui

bahwa Al‐Qur’an hanya sedikit menyajikan tentang hukum sehingga sangat naif untuk

menyatakan bahwa setiap persoalan telah terpecahkan dalam Al‐Qur’an, sementara

persoalan yang dihadapi manusia terus berkembang seiring bergulirnya waktu.

Argumentasi universalitas Al‐Qur’an ini dapat dibenarkan apabila diiringi dengan

kesadaran bahwa Al‐Qur’an dalam merespon berbagai problem, hanya menyajikan kaidah‐

kaidah universal yang harus terus diaktualisasikan oleh para pembacanya. Hikmah yang

terkandung dibalik respon Al‐Qur’an secara global ini adalah keistimewaan syariat Islam

yang sangat fleksibel dan mencakup seluruh lapisan masyarakat yang melintasi setiap

generasi sesuai dengan tingkat kebutuhan, kapasitas intelektual serta momentum

psikologis yang dihadapi manusia. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk merenungkan

segala persoalan yang menimpa masyarakatnya. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap Al‐

Qur’an harus sesuai dengan prinsip‐prinsip, metode‐metode dan penerapan hukum dalam

masyarakat.23

Penegakan Hukum dan Peraturan di Dunia Pendidikan

Berkaitan dengan penegakan hukum yang berjalan saat ini, membuat perasaan

resah dan gelisah dengan adanya asas praduga tidak bersalah. Orang yang

memiliki kecenderungan dalam melakukan suatu kesalahan, sekarang ini langsung

22
Umar Shihab, Kontekstualitas Al‐Qur’an: kajian Tematik atas Ayat‐Ayat Hukum dalam Al‐Qur’an (Jakarta:
Penamadani, 2005), hlm. 4.
23
Ibid., hlm: 206.
ditahan, sebelum seseorang itu terbukti salah atau tidaknya. Dengan begitu, adanya

kejadian salah tangkap dalam penegakan hukum masih sering terjadi di tingkat

aparat Kepolisian.

Kesadaran hukum di masyarakat saat ini dinilai sangat kurang. Ketika seseorang

melakukan tindakan kejahatan dan melaporkan kepada Polisi atas segala perbuatan

yang dilakukannya, tindakan ini sudah jarang kita temui.

Penyebab dari kurangnya kesadaran di masyarakat adalah peraturan perundang-

undangan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, dirasa masih belum

memperlihatkan perlindungan terhadap masyarakat. Kemudian, masyarakat

merasa hukum di Indonesia belum bisa memberikan jaminan terhadap keadilan

dalam penerapan hukum di masyarakat. Aparat penegak hukum sebagai pelaksana

hukum itu sendiri, masih belum bisa benar-benar menerapkan peraturan yang

sudah ditetapkan. Bahkan, masih sering dijumpai oknum aparat penegak hukum

yang seharusnya sebagai pelaksana, malah melanggar hukum.

E. Kesimpulan

Pada pembahasan makalah ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut

1. Berbicara masalah hukum, terutama tentang penegakan supremasi hukum,

akhir‐akhir ini kian ramai dan menarik. Meningkatnya intensitas pembicaraan

ini dapat dipahami bahwa penegakan supremasi hukum saat ini

dirasakan lebih mendesak dari sebelumnya. Desakan untuk mengupayakan

penegakan supremasi hukum ini muncul antara lain didorong oleh :

1) Pelanggaran terhadap aturan hukum yang kini merajalela tanpa batas.

2) Diskriminasi hukum yang sangat memprihatinkan.

2. Prinsip-prinsip negara hukum yang didengungkan-dengungkan oleh negara-

negara barat sebenarnya sudah lama dlkenal dalam Islam dan bahkan sudah

dilaksanakan dengan baik. Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat


manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti

modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas dasar persetujuan

bersama antara Nabi Muhammad saw. dengan wakil-wakil penduduk kota

Madinah tak lama setelah ia hijrah dari Mekkah ke Yatsrib, nama kota Madinah

sebelumnya, pada tahun 622 M.

3. Prinsip-prinsip negara hukum yang terdapat pada Piagam Madinah adalah

sebagai berikut: Prinsip Musyawarah, Prinsip Keadilan, Prinsip Persamaan,

Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap HAM, Prinsip Peradilan

Bebas

4. Konsep pendidikan akhlak dalam tujuan pendidikan mengarahkan peserta

didik pada pembentukkan akhlak mulia pada diri sendiri untuk mewujudkan

habluminallah, habluminannas, habluminal ‘aalamiin demi tercapainya

kebahagiaan di dunia dan akhirat.

5. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S An-Nahl ayat 90

berdasarkan pendapat para Mufassir diantaranya; berlaku adil dalam semua

aspek kehidupan, berbuat baik, memberi bantuan pada kerabat dengan

memperkokoh silaturrahim, menjauhi perbuatan keji dan munkar serta

menjauhi permusuhan.

6. Implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Q.S An-Nahl ayat 90 dengan

berlaku adil, berbuat baik, silaturrahim, menjauhi perbuatan keji dan munkar

serta menjauhi permusuhan untuk mencapai tujuan Pendidikan Islam yang

tertinggi yakni berakhlak mulia.

7. QS An Nahl 90-93 ini Allah memerintahkan umat Islam berlaku adil dan ihsan serta

memberi hak kepada kerabat. Allah SWT juga melarang perilaku keji, mungkar dan

permusuhan.
8. Penyandingan perintah dan larangan mengandung pesan bahwa perbuatan

baik juga diikuti tindakan pencegahan. Berlaku adil, berbuat baik diiringi

dengan menjauhi perbuatan keji dan buruk.

9. Allah juga memerintahkan umat Islam untuk memenuhi janji. Sumpah atau

janji kepada Allah SWT adalah selalu mengesakan-Nya, tidak

menyekutukanNya, sebagaimana telah diteguhkan ketika ruh ditiupkan di

jasad calon manusia. Janji kepada sesama berarti janji apapun kepada sesama

manusia harus ditepati. Apalagi sumpah dan janji itu diteguhkan atas nama

Allah swt. Allah swt memberi perumpamaan kain yang sudah bagus, dipintal

dalam waktu yang lama dan kerja keras, lalu kain itu diurai lagi hingga cerai

berai. Hal ini tentu menyusahkan diri jika dipintal kembali. Begitulah janji yang

tidak ditepati. Allah swt juga melarang janji sebagai alat tipu dan alat perusak.

Banyak orang bersumpah untuk meyakinkan pihak lain, namun sering

dilanggar sendiri, sehingga merusak hubungan. Demikianlah sumpah dan janji

mempunyai potensi sebagai alat penipu daya. Dan karenanya Allah swt

menjadikannya sebagai ujian bagi manusia. Kelak Allah swt akan menjelaskan

di hari kiamat.

10. Kesadaran hukum di masyarakat saat ini dinilai sangat kurang. Ketika

seseorang melakukan tindakan kejahatan dan melaporkan kepada Polisi atas

segala perbuatan yang dilakukannya, tindakan ini sudah jarang kita temui.

11. Penyebab dari kurangnya kesadaran di masyarakat adalah peraturan

perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, dirasa masih

belum memperlihatkan perlindungan terhadap masyarakat. Kemudian,

masyarakat merasa hukum di Indonesia belum bisa memberikan jaminan

terhadap keadilan dalam penerapan hukum di masyarakat. Aparat penegak

hukum sebagai pelaksana hukum itu sendiri, masih belum bisa benar-benar

menerapkan peraturan yang sudah ditetapkan. Bahkan, masih sering dijumpai


oknum aparat penegak hukum yang seharusnya sebagai pelaksana, malah

melanggar hukum.

Daftar Pustaka
 Taufiq Adnan Amal dan Syamsurizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al‐ Qur’an,
(Bandung: Mizan, 1989),
 Hal ini adalah keyakinan kaum muslimin. Beberapa sarjana Barat memperselisihkan hal
ini dan mencoba menunjukkan bahwa Al‐Qur’an yang dimiliki sekarang ini adalah satu
versi dari teks yang asli, jelasnya lihat misalnya dalam Jhon Burton, The Collecitonof Al‐
Qur’an (Cambridge: Cambridge University Press, 1977) seperti dikutip oleh Abdullah
Ahmed An‐Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil HAM dan
Hubungan Internasional dalam Islam terj. Ahmad Suaedy (Yogyakarta : LkiS, 2001),
 Said Aqil Al‐Munawar dkk. Islam Humanis,Islam dan Persoalan Kepemimpinan,
Pluralitas, Lingkungan hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, (Jakarta:
PT Moyo Segoro Agung, 2001),
 Ibnu Manzhur, Lisan al‐Arab, Juz 15, (Kairo: Dar al‐Mishriyyah, tt)
 Jalaluddin al‐Mahalli, Syarh ‘ala Matanil Jam’il Jawami’, Juz 1, (Beirut: Darul Fikr, tt)
 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Darul Fikr, t.t),
 Hasanuddin AF, Anatomi al‐Quran Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap
Instinbath Hukum Dalam al‐Quran, (Jakarta: Rajawali Press, 1995)
 Muhammad Syahrur, Al‐Kitab wal Qur’an, (Beirut: Syirkah al‐Maudhu’ah lit Tauzi’,
2000)
 Umar Shihab, Kontekstualitas Al‐Qur’an: kajian Tematik atas Ayat‐Ayat Hukum dalam
Al‐Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2005)
 Ibid.
 Tafsir al-Lubab, M Quraish Shihab, Makna Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al
Qur’an. Lentera Hati, Jilid 2
 Pulungan, 1996: 208
 Azhary, 1995
 Seyyed Hossein Nasr “The Shariah Devine Law – Social and Human Norm” dalam
Ideals and Realities of Islam (London : Allen & Unwin, 1985)
 Untuk perbandingan itu baca antara lain Amin Ahsan Islahi, Islamic Law : Concept and
Codification (Lahore: Islamic Publications, 1989) terutama Bab1, 11-12, JND.
 Untuk gambaran masyarakat sekuler , baca Harvey Cox, The Secular City(New York:
The Macmillan Company, 1965) dan diskusi atas materi buku tersebut dapat dibaca
pada Daniel Callahan, ed. The Secular City Debate (New York: The Macmillan
Company, 1966)
 Hicks, “Fuqaha and Islamic Law.” 2
Daftar Pustaka
‘Abdul Fattah al-Khâlidî, Dr. Shalâh (pentahqiq). 2017, Tafsir Ibnu Katsir: Tahdzib wa Tartib (jilid 6). terj.
Dr. Engkos Kosasi, Lc., M.Ag (dkk). Jakarta: Maghfirah Pustaka

Anda mungkin juga menyukai