Anda di halaman 1dari 23

THAHARAH SEBAGAI KUNCI IBADAH

Oleh:

Drasella Linora (2111089)

Program Studi Pendidikan Agama Islam

IAIN SAS BABEL

drasellalinoralinora@gmail.com

Abstract: Islam comprehensively stated that purification spawned many traits, attitudes,
values and messages that would affect a person's behavior. Many hadiths that explain the
virtues thaharah, which if carried out could remove sin and human error. In addition
thaharah implicated in a variety of dimensions, such as the dimensions of Muamalat,
morals, faith and so forth. Therefore, if thaharah or purification is always practiced as
Sunnah, then it will be able to bring physical and spiritual purity.

Keywords: Thaharah, water,

Abstrak

Islam secara komprehensif menyatakan bahwa bersuci melahirkan banyak sifat, sikap,
nilai serta pesan yang akan berdampak kepada perilaku seseorang. Banyak hadits-hadits
yang menerangkan keutamaan thaharah, yang apabila dilakukan dapat membersihkan
dosa dan kesalahan manusia. Selain itu thaharah berimplikasi pada beragam dimensi,
seperti pada dimensi muamalat, akhlak, akidah dan lain sebagainya. Oleh karenanya,
apabila thaharah atau bersuci selalu diamalkan sebagaimana sunnahnya, maka akan
mampu menghadirkan kesucian lahir dan batin.

Kata Kunci: Thaharah, air


A. Pendahuluan

Ibadah merupakan latihan rohani (spiritual) yang diperlukan


manusia,. juga yang menjadi tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada
Allah SWT. Terkait dengan pelaksanaan ibadah, hal yang sangat mendasar
yang paling utama harus diperhatikan dan patut diketahui dan
dilaksanakan ialah kebersihan dan kesucian seseorang dalam
melaksanakan ibadah, terutama dalam melaksanakan ibadah shalat.
Anjuran tentang pentingnya pemeliharaan kebersihan dan kesucian banyak
terdapat dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Saw. yang diarahkan bagi
kebahagiaan hidup.

Usaha-usaha menjaga kebersihan dapat dilakukan dengan menjaga


kebersihan pekarangan rumah, termasuk bak mandi, bak wudhu, tempat
belajar, dan yang paling utama ialah menjaga kebersihan tempat ibadah.
Yang tidak kalah pentingnya ialah menjaga kebersihan badan dan pakaian
karena seseorang dapat dikatakan bersih apabila dapat menjaga kebersihan
badan dan pakaian. Maka umat Islam harus selalu menjaga kebersihan
karena kebersihan akan mewujudkan kesehatan jasmani dan rohani. Semua
usaha yang ditunjukkan kepada kebersihan akan mendapat imbalan dari
Allah SWT. Membersihkan pakaian menurut sebagian para ahli tafsir ialah
membersihkan rohani dari segala watak dan sifat-sifat tercela. Ringkasnya,
ayat itu memerintahkan agar diri, pakaian, dan lingkungan dibersihkan
dari segala najis, kotoran, dan sebagainya. Di samping itu, juga
diperintahkan agar kesucian selalu dijaga.

Demikian pula dengan menanamkan sikap hidup bersih terhadap


peserta didik dan masyarakat pada umumnya. Telah dijelaskan
sebelumnya bahwa Allah menyayangi orang-orang yang beribadah dan
bertaubat dari kesalahan serta kepada mereka yang selalu menjaga
kebersihan. Persoalan thaharah erat hubungannya dengan pelaksanaan
ibadah. Shalat adalah salah satu ibadah yang paling sering dilaksanakan
terutama shalat wajib lima waktu,puasa ramadhan. Juga ibadah – ibadah
yang lain thawaf, memegang mushaf dan lain-lainnya. Maka dalam
pelaksanaannya ibadah shalat tersebut tidak sah kecuali sebelumnya
seluruh keadaan, pakaian, badan, tempat dan sebagainya dalam keadaan
bersih dan suci, baik suci dari hadas besar, maupun hadas kecil, dan najis.
Hadas menghalangi shalat, maka berthaharahlah (bersuci) sebagai kunci
untuk dapat sesorang melaksanakan ibadah. Hal ini juga ditunjukkan oleh
ijtihad para fuqaha dalam tulisan-tulisan mereka yang selalu diawali
dengan pembahasan thaharah.

Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya masalah thaharah ini.


Untuk itu, thaharah tidak hanya cukup untuk diketahui, tetapi juga harus
dipraktekkan secara benar. Dalam kenyataannya, ada sebagian umat Islam
yang masih kurang tepat dalam melakukan praktek thaharah. dikarenakan
kurangnya pengetahuan atau semata-mata salah dalam pelaksanaannya.

B. Pembahasan
a. Thaharah
Secara bahasa, thaharah berarti nazhafah (kebersihan). Sedangkan
dalam istilah fuqaha, thaharah ber-arti kerbersihan dari sesuatu yang
khusus yang didalamnya terkandung makna ta’abbud (menhambakan diri)
kepada allah. Ia merupakan salah satu perbuatan yang allah cintai. Lawan
dari thaharah adalah najasah (najis). Najasah ini juga ada dua hisiyah
(yang bisa dihilangkan dengan air) dan alat-alat yang dapat mensucikan,
ataupun maknawiyyah yang tidak akan hilang kecuali dengan iman dan
taubat. Sedangkan yang dimaksud thaharah dalam pembahaan kali ini
adalh thaharah hissiyah yang menggunakan air dan alat-alat penyuci untuk
menghilangkan bekasnya. Thaharah diutamakan atau dikedepankan
daripada shalat dan menjadi kunci dari pintunya. Kunci surga adalah dan
kunci shalat adalah bersuci
Thaharah terbagi menjadi dua, yang dimana bersuci dari sesuatu
dari kotor juga bersuci dari hadast. Bersuci dari kotoran adalah bersuci
dari najis yang bisa dilihat dan dirasa yang mengenai tubuh, pakain atau
tempat. Memiliki rasa, warna, serta bau. Bersuci dari hadast merupakan
bersuci dari najis-najis yang bersifat ukhniyah yang tidak ada sesuatu
dirasakan, dilihat mata, diraba tangan, dicium hidung serta dirasakan lidah.
Namun merupakan suatu perkara yang telah ditetepkan syariat untuk
mewajibkan berwudhu adalah hadast kecil dan mewajibkan mandi jika ia
merupakan hadast besar.1

b. Nilai-nilai Thaharah

Thaharah sering kali dilalui dalam kaitan berwudhu', sehingga


berwudhu' memiliki arti bersuci, karena dapat membersihkan mutawadhu
(orang yang berwudhu') dari keadaan sebelumnya yang dianggap tidak
suci. Thaharah merupakan ciri terpenting dalam Islam, yang berarti bersih
atau sucinya seorang wanita Muslimah secara lahir maupun batin.
Kesucian merupakan syarat sahnya shalat, sehingga kesucian ini menjadi
seperti bahagian yang bemilai setengahnya. Di sini tidak berarti bahwa
setengah dalam arti sebenamya.

Ini merupakan sebuah ungkapan yang lebih mendekati pada


kebenaran di antara ungkapan-ungkapan yang ada. Ini berarti bahwa iman
yang dibenarkan dengan hati dan diwujudkan dalam kepatuhan secara
lahir, keduanya bemilai sebagian dari iman. Begitu pula dengan thaharah
(bersuci) yang termasuk bagian dalam shalat, di mana ia mempakan wujud
kepatuhan secara lahiriyah. Melaksanakan wudhu' pada setiap menunaikan
shalat merupakan hal yang disunnatkan.

Para ulama telah bersepakat mengharamkan shalat tanpa bersuci


terlebih dahulu, baik dengan menggunakan air maupun debu. Dalam
kaitan berwudhu' ini tidak ada perbedaan bersuci antara shalat fardhu,
shalat sunnat, sujud tilawah, sujud syukur dan shalat jenazah. Apabila
melakukan shalat dalam keadaan berhadats secara sengaja dan tanpa
adanya alasan, maka kita telah melakukan perbuatan dosa. Pemyataan ini

1
Yusuf Al-Qaradhawi. Fikih thaharah. Pustaka Al-Kautsar: (Jakarta timur, desember).
Hal.9-11
berlaku jika orang yang mengerjakan shalat dalam keadaan berhadats tidak
mempunyai alasan yang 157 Akhbarul Karim tepat.

Sedangkan bagi orang yang benar-benar mempunyai alasan pasti,


misalnya tidak adanya air maupun debu, maka dalam hal ini terdapat
empat pendapat yang dikemukan oleh Imam Asy-Syafi'i r.a, yang
sekaligus merupakan pendapat para ulama, yang masing-masing
mengatakan:

Pertama, orang tersebut wajib mengerjakan shalat dengan kondisi yang


dialaminya dan ia hams mengulangi shalatnya apabila telah
memungkinkan baginya untuk bersuci;

kedua, dilarang mengeijakan shalat pada saat itu, akan tetapi ia hams
mengqadhanya;

ketiga, disunnatkan baginya mengerjakan shalat dan tetap harus


mengqadhanya di lain waktu, keempat, ia harus mengerjakan shalat pada
saat itu dan tetap harus mengqadhanya pada waktu yang lain. Allah S.W.T
tidak akan menerima shalat hambanya apabila ia mengerjakannya dalam
keadaan berhadats, sehingga ia berwudhu' atau bertayamum.2

c. Tujuan Thaharah
Dalam agama islam, setiap amalan yang dianjurkan, bahkan
diwajibkan, memiliki tujuan yang sangat penting, terutama bagi
pelakunya. Nah, islam sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan dan kesucian itu disyariatkan dengan
tujuan-tujuan berikut:
1. Menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.
2. Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba, sebagaimana
sabda Rosulullah Saw., “Allah Swt, tidak menerima shalat seseorang
diantara kalian jika ia berhadats, sampai ia berwudhu,”

2
Akhbarul K.arim, Tauhid dan Thaharah, (Banda Aceh: Badan Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh, 2009). Hlm 155-157
3. Mendapatkan pahala dan rahmat dari Allah Swt. Sebab dia menyukai
kebersihan (kesucian) dan mencintai orang-orang yang selalu menjaga
kebersihan.3
d. Dasar hukum Thaharah
Thaharah (bersuci) hukumnya ialah wajib berdasarkan penjelasan
al Quran ataupun as-Sunnah. Firman Allah dalam Q.S. al-Maidah/5: 6,

ِ Jِ‫ ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬J‫م َواَ ْي‬Jْ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك‬
‫ق‬J
J‫ى‬J‫ض‬ ٓ ٰ ْ‫اطَّهَّرُوْ ۗا َواِ ْن ُك ْنتُ ْم َّمر‬JJَ‫ا ف‬JJً‫م اِلَى ْال َك ْعبَ ْي ۗ ِن َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُب‬Jْ ‫َوا ْم َسحُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك‬
‫وْ ا‬JJ‫ا ًء فَتَيَ َّم ُم‬Jۤ J‫ َم‬J‫ ُدوْ ا‬J‫ ۤا َء فَلَ ْم تَ ِج‬J‫تُ ُم النِّ َس‬J‫ ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمنَ ْالغ َۤا ِٕى ِط اَوْ ٰل َم ْس‬J‫ا َء اَ َح‬Jۤ J‫فَ ٍر اَوْ َج‬J‫اَوْ ع َٰلى َس‬
‫ج َّو ٰل ِك ْن‬ ‫هّٰللا‬
ٍ ‫ بِ ُوجُوْ ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْي ُد ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َر‬J‫ص ِع ْيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوْ ا‬ َ
َ‫م َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬Jْ ‫ي ُِّر ْي ُد لِيُطَه َِّر ُك‬
Terjemahnya:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak


mengerjakan salat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit4atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi
dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Berdasarkan bunyi ayat di atas, Allah swt. memerintahkan kepada


orang-orang yang beriman agar dalam melaksanakan ibadah kondisi tubuh
atau badan harus bersih dan suci dari segala kotoran baik yang terlihat
maupun yang tidak terlihat, tidak ada alasan bagi orang yang beriman
untuk tidak bersuci dalam melaksanakan ibadah terutama salat.

3
Ahmad Reza, Buku Pintar Thaharah, (Saufa, Yogyakarta 2015). Hlm 10
dipahami bahwa bersuci adalah wajib dilakukan bagi seorang
muslim/muslimah apabila ingin melaksanakan ibadah seperti salat atau
yang lainnya, sedangkan ia dalam keadaan terkena hadas atau najis.4

e. Thaharah dan Najis


Najis artinya kotor, yakni benda yang ditetapkan oleh hukum
agama sebagai sesuatu yang kotor, yang tidak suci, meskipun di dalam
anggapan sehari-hari dianggap kotor tetapi di dalam hukum agama tidak
ditetapkan sebagai sesuatu yang najis, umpamanya lumpur.5

Para Fuqaha mengelompokkan najis ke dalam tiga bagian:6

a) Najis mughalladhah, artinya najis berat, yaitu anjing, babi, dengan


segala bagian-bagiannya dan segala yang diperanakkan dari anjing
atau babi, meskipun mungkin dengan binatang lain.
b) Najis mukhaffafah, artinya najis ringan, yaitu air kencingnya bayi
yang berumur kurang dari dua tahun dan belum makan atau minum
kecuali air susu ibu.
c) Najis mutawassithah, artinya najis sedang, yaitu semua najis yang
tidak tergolong mughaladhah dan mukhafafah, antara lain:
- Darah (termasuk darah manusia), nanah dan sebagainya. –
- Kotoran atau air kencing manusia atau binatang, atau sesuatu yang
keluar dari perut melalui jalan manapun termasuk yang keluar
melalui mulut (muntah).
- Bangkai binatang yaitu binatang yang mati tidak dikarenakan
disembelih secara Islam, binatang yang tidak halal dimakan
meskipun disembelih, kecuali bangkai ikan dan belalang.
- Benda cair yang memabukkan.
4
Sirajuddin, pentingnya pengetahuan thaharah dan pengalamannya bagi masyarakat tani
dusun ma’lengu, (diakses pada tanggal 18 desember pukul 16:12, http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/6504/1/SIRAJUDDIN.pdf )
5
Maimunah Hasan, al-Qur’an dan Pengobatan Jiwa, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang,
2001), hlm. 107.
6
Hidayatullah, Fiqh, (Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad
Al-Banjari, 2019), hlm. 12.
- Air susu atau air mani binatang yang tidak halal dimakan.

f. Cara membersihkan Najis

Disyariatkan dalam membersihkan najis agar wujudnya hilang.


Tidak mungkin dikatakan bersih bila wujudnya tersebut masih ada. najis
mughalladhah harus dicuci tujuh kali, salah satunya dengan debu. Abu
Hurairah meriwayatkan Rosulullah Saw. “Apabila bejana kalian dijilat
anjing, cucilah tujuh kali dan salah satunya dengan debu,” (HR Bukhari-
Muslim).

Sebagian ulama berpendapapat bahwa penggunaan debu bisa


diganti sabun dan yang lainnya. Dalilnya, Rosulullah Saw, menentukna
debu karena debu lebih kuat untuk menhilangkan najis. Maka, apabila ada
formula yang kekuatannya seperti debu dalam menghilangkan najis,
berarti formula itu bisa digunakan. Disamping itu Rosulullah Saw.
Menentukan debu karena debu lebih mudah didapatkan.

Ulama lain berpendapat bahwa debu tidak bisa diganti formula lain.
Alasannya, Rasulullah Saw. Telah menentukan debu, apalagi debu dan air
adalah dua benda yang bisa tersebut tetap suci. Dalilnya adalah tatkala air
najis berpisah maka tidak najis lagi. Ini menunjukkan bahwa njis sudah
hilang, warna bekas darah bukan najis.7

Tidak semua air dapat digunakan sebagai alat bersuci, karena nya
air dapat dibedakan menjadi empat:8

a) Air mutlak
yakni air suci yang mensucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya
dan dan menyucikan bagi yang lainnya, yaitu air yang jatuh dari langit
atau keluar dari bumi masih tetap (belum berubah) keadaannya

7
Adil Sa’di, iqhun-Nisa Thaharah-Shalat, (Dar-Dzahabiyah,2006). Hlm 83-84
8
Syekh Muhammad Djamaluddin al-Qasimy al-Dimsyaqi, Tarjamah Mauidhotul
Mukminin Bimbingan Orang-orang Mukmin, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993), hlm. 22.
seperti: air hujan, air laut, air sumur, air embun, salju es, dan air yang
keluar dari mata air.
b) Air Musta’mal, yakni air suci tetapi tidak dapat menyucikan artinya
zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk menyuci sesuatu. Ada tiga
macam air yang termasuk dalam bagian ini:
- Air yang telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab bercampur
dengan sesuatu benda yang suci selain dari pada perubahan yang
tersebut di atas, seperti air kopi, teh dan lain sebagainya.
- Air yang sudah terpakai untuk mengangkat hadats atau
menghilangkan hukum najis, walaupun air itu tidak berubah
sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
c) Air yang Berubah karna Benda Suci
Adalah air yang tercampur benda yang suci, misalnya tercampur
sabun, minyak za’faran, dan air bunga mawar. Status air tersebut tetap
suci lagi mensucikan (thahur), selama masih terjaga kemutlakannya.
Namun, jikalau air tersebut sudah dikalahkan oleh benda suci yang
mencampurinya, sehingga mengakibatkan kemutlakan air itu tidak
mampu mencakupinya. Dalam kondisi tersebut satus air menurut
pendapat tiga imam pendiri mazhab (Imam Malik, Asy-Syafi’I. dan
Ahmad) tetap suci tapi tidak mensucikan.
d) Air yang Bertemu dengan Najis
Air yang demikian mempunyai dua kondisi, yaitu sebagai berikut.

Pertama, benda najis itu mengubah rasa, warna, dan bau air. Dalam
kondisi ini air tersebut sudah tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci
menurut ijma’ulama.

Kedua, air tetap dalam kemutlakannya, dalam artian air itu tidak
merubah sama sekali dari segi rasa, warna, dan baunya. Dalam kondisi
demikian, statusnya tetap suci lagi mensucikan, baik air itu sedikit
maupun banyak. 9
9
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, FIqh Ibadah,
(Amzah PT Kalola Printing, Jakarta 2015) hlm. 3-9
e) Air yang makruh dipakai, yaitu yang terjemur pada matahari dalam
bejana selain bejana emas atau perak, air ini makruh dipakai untuk
badan, tidak untuk pakaian, terkecuali air yang terjemur di tanah
seperti air sawah, air kolam dan tempat-tempat yang bukan bejana
yang mungkin berkarat. Selain itu, air yang terlalu panas atau terlalu
dingin juga tergolong air yang makruh dipakai untuk bersuci.

g. Thaharoh (bersuci) dari Hadas


Hadas secara bahasa berarti peristiwa. Secara istilah hadas yaitu
keadaan tidak suci pada diri seorang muslim yang menyebabkan ia tidak
diperbolehkan beribadah. Hadas juga terbagi menjadi dua macam, yaitu
hadas besar dan hadas kecil.
1) Hadas kecil
Hadas kecil adalah keadaan tidak suci pada diri seorang
muslim yang dapat disucikan dengan berwudhu atau tayamum pada
keadaan tertentu. Seseorang dapat mengalami hadas apabila
mengalami keadaan-keadaan berikut.
a) Keluar sesuatu dari dua jalan/lubang yaitu qubul dan dubur
seperti buang air kecil, buang air besar dan buang angin
b) Hilang akal seperti mabuk, gila, pingsan, dan tidur
c) Bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahrom
tanpa ada batas yang menghalanginya
d) Menyentuh kemaluan (qubul atau dubur) dengan telapak
tangan

Menurut jumhur ulama, seseorang yang dalam keadaan


berhadas kecil harus segera bersuci. Saat seseorang yang mempunyi
hadas kecil tidak boleh melakukan ibadah-ibadah tertentu. ibadah
yang tidak boleh dilakukan saat seseorang berhadas kecil yaitu
a) Memegang (menyentuh) mushaf Alquran dan membawanya
(kecuali yang disertai barang lain yang lebih banyak
mengandung huruf misalnya, tafsir atau terjemahan Alquran)
b) Melaksanakan sholat, baik sholat fardu maupun sunnah
c) Melaksanakan towafsaat sedang beribadah haji

2) Hadas Besar
Hadas besar adalah keadaan tidak suci pada diri seorang
muslim yang dapat disucikan dengan mandi junub atau mandi besar.
Akan tetapi, jika tidak ada air atau sebab tertentu dapat diganti
tayamum. Keadaan yang dapat menyebabkan seseorang berhadas
besar yaitu.
a) Keluar mani baik karena mimpi atau hal yang lain bagi laki-laki
b) Haid (menstruasi) bagi perempuan
c) Melahirkan (wiladah) yaitu darah yang keluar saat seorang
perempuan melahirkan
d) Nifas yaitu darah yang keluar setelah seorang perempuan
melahirkan
e) Melakukan hubungan suami istri
f) Meninggal dunia kecuali bagi orang yang syahid.10

h. Tata Cara Thaharah (Bersuci)

Bagaimana tatacara thaharah (bersuci) yang sesuai dengan


syariat Islam? Adapun tata cara thaharah (bersuci) sebagai berikut.

1. Bersuci dengan mandi wajib

Mandi dalam bahasa arab disebut dengan al-gusl yang artinya


mengalirkan air suci ke seluruh tubuh secara merata. Mandi besar
bertujuan menghilangkan hadas besar yang sering disebut mandi
junub atau janabah.
10
Muhammad Fauzil’ Adzim dan Sukiman, Fikih Materi Thaharah (bersuci): pendekatan
konstektual, (6 Oktober 2020, di Yogyakarta). Hlm 4
Rukun mandi wajib ada dua yaitu niat dan membasuh atau
meratakan air ke seluruh tubuh. Mandi besar dilakukan dengan cara
berikut.

a. Niat mandi untuk menghilangkan hadas besar. Niat dapat


dilafalkan atau dibaca dalam hati. Jika dilafalkan niat mandi wajib
sebagai berikut.

ِ ‫ث ْال َحي‬
‫ْض ِهللِ تَ َعالَى‬ ِ ‫ْت ْال ُغ ْس َل لِ َر ْف ِع َح َد‬
ُ ‫نَ َوي‬

Artinya: Aku niat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari
haid karena Allah Ta'ala

b. Menghilangkan najis dari badan


c. Mengalirkan air ke seluruh anggota tubuh mulai dari ujung rambut
hingga ujung kaki

Dalam melaksanakan mandi wajib terdapat sunnah agar mandi


wajib yang kita lakukan lebih sempurna. Adapun sunnah mandi wajib
sebagai berikut.

a. Membaca basmallah dan ber-wudhu sebelum memulai mandi


b. Mendahulukan anggota tubuh yang kanan daripada yang kiri
c. Menggosokkan anggota badan dengan sabun atau alat lain yang
dapat membersihkan tubuh.

Selain mandi wajib terdapat mandi sunnah. Kita menjadi seorang


muslim disunnahkan mandi dalam beberapa keadaan. Mandi sunnah
dilakukan sebelum sholat Jum'at, sebelum sholat Idul Fitri dan Idul
Adha, sebelum sholat gerhana dan istisqo', sesudah sadar dari pingsan
atau sembuh dari gila dan memandikan jenazah serta mau masuk kota
Mekkah.11

i. Wudhu
1. Syarat sah wudhu

11
Saleh bin Al-Fauzan, Fiqih Islam (ibadah dan muamalah), penerbit Muezza,
(Yogyakarta, November 2020). Hlm 39-45
Syarat-syarat wudhu adalah niat Dari Amirul Mu’minin, ‘Umar
bin Al Khattab, dia berkata, saya mendengar Rasulullah bersabda;
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia
niatkan.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 1 dan Muslim : 1907)
2. Rukun-rukun wudhu
Rukun-rukun wudhu antara lain:
1. Membasuh wajah Batasan-batasan wajah adalah mulai dari
tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot
yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang
(atas ke bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri
melebar.
2. Berkumur dan menghirup air melalui hidung Imam Ahmad
berpendapat akan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq,
dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Diriwayatkan
dari Humran -mantan budak Utsman - ia mengatakan;
“Bahwa Utsman meminta air wudhu. Ia membasuh kedua
telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan menghisap air
dengan hidung dan menghembuskannya keluar” (Muttafaq
’alaihi)
Dalam riwayat Abu Dawud; “Jika engkau berwudhu, maka
berkumurlah!”
3. Membasuh kedua tangan hingga siku-siku Dibasuh dari ujung-
ujung jari hingga ke siku, dan siku masuk dalam daerah
basuhan.
4. Mengusap kepala termasuk telinga Cara mengusap kepala
adalah dengan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya
dari muka ke belakang sampai tengkuk dan dikembalikan dari
belakang ke muka, kemudian mengusap telinga. Mengusap
kepala sekaligus telinga tersebut dengan satu kali usapan. Hal
ini berdasarkan hadits dari Abdullah Ibnu Zain Ibnu Ashim
tentang cara berwudhu dia berkata;
”Rasulullah mengusap kepalanya dengan kedua tangannya dari
muka ke belakang dan dari belakang ke muka.” (Muttafaq
’alaihi)
Dan hadits dari Ali tentang cara berwudhu Nabi dia berkata;
”Beliau mengusap kepalanya satu kali.” (HR. Abu Dawud.
Tirmidzi dan Nasa'i) Adapun cara mengusap telinga adalah
dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam kedua telinga
dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan ibu jari. Hal
ini sebagaimana hadits dari Abdullah Ibnu Amr tentang cara
berwudhu ia berkata;
”Kemudian beliau mengusap kepalanya dan memasukkan kedua
jari telunjuknya ke dalam kedua telinganya dan mengusap
bagian luar kedua telinganya dengan ibu jarinya.” (HR. Abu
Dawud dan Nasa'i) Dalil tentang mengusap kepala sekaligus
telinga adalah hadits dari Abdullah ibnu Zaid ;
”Bahwa dia pernah melihat Nabi mengambil air untuk
mengusap kedua telinganya selain air yang beliau ambil untuk
mengusap kepalanya.” (HR. Baihaqi)
Menurut riwayat Muslim disebutkan: ”Beliau mengusap
kepalanya dengan air yang bukan sisa dari yang digunakan
untuk mengusap kedua tangannya.” yaikh Al-Albani dalam
Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah: 995 mengatakan; “Tidak
terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits Nabi ) yang mewajibkan
mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya
diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits
Rubayyi’; ”Bahwasanya Nabi mengusap kepalanya dengan air
sisa yang ada di tangannya.” (HR. Abu Dawud dan lainnya
dengan sanad hasan)”.
5. Membasuh kedua kaki Allah berfirman; “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki…” (QS. Al-Maidah : 6).
6. Tertib (berurutan) Tertib merupakan rukun, karena Allah
menuturkan rukun-rukun wudhu didalam firmanNya secara
tertib. Dan sebagiamana hadits dari Jabir Ibnu Abdillah bahwa
Rasulullah bersabda; ”Mulailah dengan apa yang telah dimulai
oleh Allah.” (HR. Nasa'i dan Muslim)
7. Muwalah (terus-menerus) Yang dimaksud dengan muwalah
adalah bersambungan. Yaitu wudhu harus dilakukan
bersambung dan tidak terpisah hingga anggota tubuh yang
sebelumnya kering. Menurut Malikiyah dan Hanabilah hukum
muwalah adalah fardhu (wajib). Anas berkata; “Nabi melihat
seorang laki-laki sedangkan pada telapak kakinya ada bagian
sebesar kuku yang belum terkena air, maka beliau bersabda,
“Kembalilah lalu sempurnakan wudhumu.” (HR. Abu Dawud
dan Nasa'i) Seandainya muwalah tidak rukun tentu Nabi tidak
memerintahkan laki-laki tersebut untuk mengulangi wudhunya,
tetapi cukup disempurnakan saja.12
j. Tayamum
Tayamum adalah taharah pengganti wudhu atau mandi ketika tidak
ada air, dilakukan dengan mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan.
(Fath al-Qorib:12)

1. Syarat Tayamum

Syarat Tayamum ada lima perkara:

12
Abu Hafizhah, Kitab Thaharah, (Ponorogo, 31 Desember 2010). Hlm 17-20
1) Adanya udzur yaitu tidak adanya air karena berpergian; adanya
penyakit yang tidak boleh terkena air; da nada air yang hanya cukup
untuk minum.
2) Sudah masuk waktu shalat
3) Sudah berusaha mencari air ketika masuknya waktu shalat
4) Adanya ketakutan menggunakan air akan hilangnya nyawa atau
cacatnya anggota badan.
5) Adanya debu yang suci (Fath al-Qorib:12).13
2. Rukun Tayamum

Rukun Tayamum ada empat yaitu:

1) Niat bertayamum
2) Mengusap muka dengan debu
3) Mengusap kedua tangan sampai siku-siku dengan debu, dan
4) Tertib.
3. Hal-hal yang membatalkan Tayamum

Terdapaat beberapa hal yang dapat membatalkan Tayamum, yakni:

1) Hal-hal yang membatalkan wudhu


2) Melihat (menemukan) air sebelum shalat, kecuali bagi yang
bertayamum karena sakit.
3) Sebab murtad.

Tayamum hanya dapat dilakukan untuk satu kali shalat fardhu. Jadi,
satu kali tayamum untuk satu waktu shalat fardhu. Sedangkan untuk shalat
Sunah bisa untuk beberapa kali shalat.14

4. Sunah-sunah dalam Tayamum

Sunah tayamum ada tiga:

1) Membaca bismillah

13
Imaduddin Utsman al-Bantanie, Buku Induk Fikih Islam Nusantara, (Deepublish CV
Budi Utama, Yogyakarta, 2012). Hlm 102
14
Muhammad Syukron Maksum, Buku Pintar Lengkap Ibadah Muslimah, ( Tim
Medpress). Hlm 19-20
2) Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
3) Muwalat yaitu tanpa jeda antara anggota yang satu dengan yang
lainnya. (Fath al-Qorib: 13)
5. Tata cara melaksanakan Tayamum

Tahapan-tahapan yang harus dilakukan ketika bertayamum adalah


sebagai berikut:

1. Letakkan kedua telapak tangan di atas debu suci yang sudah


dipersiapkan.
2. Usap seluruh muka dengan debu tersebut sebanyak 2 kali,
3. Letakkan kembali kedua telapak tangan diatas debu.
4. Usap kedua tangan hingga siku. Caranya: tempelkan keenpat jari
(kecuali ibu jari) pada punggung jari tangan kanan (kecuali ibu jari).
Tarik ke belakang hingga siku. Kemudian balikkan ke sisi yang lain
dan tarik hingga ibu jari kiri menyapu ibu jari kanan. Lakukan hal
yang sama pada tangan kiri.
5. Bersihkan debu yang masih menempel pada anggota tubuh yang
diusap.
6. Tayamum dilakukan setiap kali mau melakukan shalat fardhu atau
hanya satu kali fardhu. Tidak boleh melakukan satu kali tayamum
untuk dua waktu kecuali hanya untuk shalat sunnah.15
6. Doa Tayamum

Orang yang hendak melakukan tayamum disunatkan mengucapkan


bismillah. Jika ia sedang jinabah atau haid, maka ketentuannya seperti
yang kami terangkan sebagaimana bila ia mandi. Adapaun membaca
syahadat sesudahnya dan zikir-zikir, serta doa yang diucapkan ketika
mengusap wajah dan kedua telapak tangan, tidak menemukan satu doa
yang dikemukakan para sahabat dan selain mereka. Tetapi menurut

15
Abu Aunillah Al-Baijury, Buku Pintar Agama Islam, (DIVA Press, September 2015).
Hlm 47-49
pengertian lahiriahnya, hukum tayamum sama dengan hukum wudhu,
mengingat tayamum pun merupakan cara bersuci.16

k. Mandi

Mandi ialah menuangkan air dengan meratakan ke seluruh tubuh.


Mandi itu ada dua yaitu mandi wajib dan mandi sunah.

1) Pengertian mandi wajib


Mandi secara umum dapat berarti meratakan air ke seluruh anngota
tubuh dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki. Sedangkan menurut
syariat Islam mandi berarti: “Bersuci dengan air sebagai alat bersuci
dengan cara meratakan air yang suci lagi menyucikan ke seluruh tubuh
dari ujung kepala sehingga ujung telapak kaki menurut tata cara tertentu
yang disertai niat yang ikhlas karena Allah untuk menyucikan diri.

Dengan demikian, mandi wajib atau janabat dapat diartikan sebagai


proses penyucian diri seseorang dari hadas besar yang menempel (baik
terlihat atau tidak terlihat) di badan, dengan cara menggunakan atau
menyiramkan air yang suci lagi menyucikan ke seluruh tubuh.17

a. Rukun mandi wajib

Ada beberapa hal yang menjadi rukun dalam melaksanakan mandi


wajib, diantaranya sebagai berikut:

a. Niat mandi wajib


b. Menyiramkan air keseluruh tubuh dengan merata
c. Membersihkan kotoran yang melekat atau mengganggu sampainya air
ke badan.18
2) Mandi sunah

16
Imam Nmawi, Doa dan Adab Berpakaian serta Doa Mandi Tayamum: seri Doa dan
Zikir, (Hikam Pustaka, 2021). Hlm 44
17
Aisyah Maawiyah, Thaharah sebagai kunci ibadah, (diakses pada 18 desember 2020,
file:///C:/Users/HP/Downloads/18-Article%20Text-33-1-10-20171127%20(1).p)
18
Azizah Rumaisha, Ibadah Bersuci (Thaharah) dan gaya hidup sehat, ( diakses pada 18
desember, 15:37, http://digilib.uinsgd.ac.id/10488/1/paper%20taharah%20kedua%20pdf%202.pdf)
Mandi sunah ialah mandi yang dianjurkan ketika akan
melaksanakan ibadah-ibadah tertentu dan karena mengalami keadaan
khusus. Adapun yang termasuk mandi sunah adalah:

1) Mandi jum’at

Seorang muslim disunahkan mandi pada hari Jumat, yaitu ketika


akan melaksanakan shalat Jumat. Sayyid Sabiq mengatakan, adapun
hikmah disunahkannya mandi ketika akan melaksanakan shalat Jumat,
karena shalat Jumat merupakan ibadah pertemuan sejumlah besar kaum
muslim, yang dengannya menuntut agar kaum muslim dalam keadaan
bersih dan suci.

2) Mandi pada Dua Hari Raya Islam

Para ulama berpendapat, bahwa mandi ketika akan melaksanakan


shalat dua hari raya Islam, yaitu Shalat Idul Fitri dan Shalat Idul Adha
adalah sunah.

3) Mandi Bagi yang Telah Memandikan Mayat

Sebagian besar ulama pula berpendapat, bahwa disunahkan mandi bagi


orang yang telah selesai memandikan mayat.

4) Mandi Ihram
Jumhur ulama berpendapat, dusunahkan mandi ihram, khususnya bagi
orang yang hendak mengerjakan haji dan umrah.
5) Mandi Ketika Hendak Masuk Kota Mekah
Orang yang akan memasuki kota Mekah, dusunahkan mandi.
6) Mandi Ketika Hendak Wukuf di Arafah
Bagi orang yang akan wukuf di Arafah sebagai pelaksanaan rukun haji,
disunahkan mandi.
7) Mandi Ketika Sembuh dari Sakit Gila dan Sadar dari Pingsan
Seseorang yang sembuh dari sakit gila dan sadar dari pingsan,
disunahkan atasnya mandi.19

b. Istinja
a. Pengertian istinja
Istinja secara bahasa berarti terlepas atau selamat, sedangkan
menurut pengertian syariat adalah bersuci setelah buang air besar atau
buang air kecil. Secara legkapnya, istinja adalah menghilangkan sesuatu
yang keluar dari kubul atau dubur dengan menggunakan air suci lagi
mensucikan atau batu yang suci atau benda-benda lain yang memiliki
fungsi sama dengan air dan batu. Selain istinja, ada lagi istilah istijmar,
yaitu menghilangkan najis dengan batu atau sejenisnya. Istinja dan
istijmar, adalah cara bersuci yang diajarkan syariat Islam kepada orang
yang telah buang hajat. Dan hukum istinja adalah wajib bagi setiap orang
yang baru buang air besar ataupun buang air kecil, dengan air atau media
lainnya. Istinja yang baik adalah dengan air, bilas pula dengan batu.
(istijmar).

Untuk ber istijmar, batu dapat diganti dengan benda keras apapun
asal tidak haram dan punya sifat bisa menghilangkan najis. Pada zaman
sekarang, kamar-kamar kecil biasanya menyediakan fasilitas tisu khusus
untuk menghilangkan najis. Dengan menggunakannya, kita dapat
menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan tangan. Sebab, tisu
memiliki kesamaan fungsi dengan batu dalam konteks sebagai alat
istinja.20

C. Penutup

19
Nasri Hamang Najed, Fikih Islam dan Metode Pembelajarannya, ( diakses pada 18
desember 16:50, http://repository.iainpare.ac.id/278/1/Fikih%20Islam.pdf )
20
R Soemedani, Bab II pngertian fiqih thaharah, (diakses pada 18 Desember 16:26,
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/8632/5/BAB%20II.pdf)
Thaharah merupakan salah satu syarat sah dalam pelaksanaan
ibadah baik Shalat, puasa maupun haji juga ibadah –ibadah -ibadah
sunat lainnya. maka ibadah yang paling sering dilaksanakan terutama
shalat wajib lima waktu, jika dalam pelaksanaannya shalat tersebut tidak
sah kecuali seluruh keadaan, pakaian, badan, tempat dan sebagainya
dalam keadaan bersih dan suci, baik suci dari hadas besar, maupun hadas
kecil, dan najis.

Hadas menghalangi salat, maka bersuci adalah seperti


kunci yang diletakkan kepada orang yang berhadas. Jika ia berwudhu,
otomatis kunci itu pun terbuka. Hal ini juga ditunjukkan oleh ijtihad
para fuqaha dalam tulisan-tulisan mereka yang selalu diawali
dengan pembahasan thaharah. Hal tersebut menunjukkan betapa
pentingnya masalah thaharah ini.

Untuk itu, thaharah tidak hanya cukup untuk diketahui, tetapi juga
harus dipraktekkan secara benar. Dalam kenyataannya, ada sebagian umat
Islam yang masih kurang tepat dalam melakukan praktek thaharah.
dikarenakan kurangnya pengetahuan atau semata-mata salah dalam
pelaksanaannya.

Daftar Pustaka
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, FIqh
Ibadah, (Amzah PT Kalola Printing, Jakarta 2015)

Abu Hafizhah, Kitab Thaharah, (Ponorogo, 31 Desember 2010).

Abu Aunillah Al-Baijury, Buku Pintar Agama Islam, (DIVA Press, September
2015).

Adil Sa’di, iqhun-Nisa Thaharah-Shalat, (Dar-Dzahabiyah,2006).

Ahmad Reza, Buku Pintar Thaharah, (Saufa, Yogyakarta 2015).

Akhbarul K.arim, Tauhid dan Thaharah, (Banda Aceh: Badan Pelestarian Sejarah
dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2009).

Hidayatullah, Fiqh, (Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan Muhammad


Arsyad Al-Banjari, 2019),
Imaduddin Utsman al-Bantanie, Buku Induk Fikih Islam Nusantara, (Deepublish
CV Budi Utama, Yogyakarta, 2012).
Imam Nmawi, Doa dan Adab Berpakaian serta Doa Mandi Tayamum: seri Doa
dan Zikir, (Hikam Pustaka, 2021).
Maimunah Hasan, al-Qur’an dan Pengobatan Jiwa, (Yogyakarta: Bintang
Cemerlang, 2001),
Muhammad Syukron Maksum, Buku Pintar Lengkap Ibadah Muslimah, ( Tim
Medpress).
Muhammad Fauzil’ Adzim dan Sukiman, Fikih Materi Thaharah (bersuci):
pendekatan konstektual, (6 Oktober 2020, di Yogyakarta).
Saleh bin Al-Fauzan, Fiqih Islam (ibadah dan muamalah), penerbit Muezza,
(Yogyakarta, November 2020).
Syekh Muhammad Djamaluddin al-Qasimy al-Dimsyaqi, Tarjamah Mauidhotul
Mukminin Bimbingan Orang-orang Mukmin, (Semarang: CV. Asy-Syifa,
1993),
Yusuf Al-Qaradhawi. Fikih thaharah. Pustaka Al-Kautsar: (Jakarta timur,
desember).

Artikel dan jurnal


Aisyah Maawiyah, Thaharah sebagai kunci ibadah, (diakses pada 18 desember
2020, file:///C:/Users/HP/Downloads/18-Article%20Text-33-1-10-
20171127%20(1).p)
Azizah Rumaisha, Ibadah Bersuci (Thaharah) dan gaya hidup sehat, ( diakses
pada 18 desember, 15:37, http://digilib.uinsgd.ac.id/10488/1/paper
%20taharah%20kedua%20pdf%202.pdf)

Nasri Hamang Najed, Fikih Islam dan Metode Pembelajarannya, ( diakses pada
18 desember 16:50, http://repository.iainpare.ac.id/278/1/Fikih
%20Islam.pdf

R Soemedani, Bab II pngertian fiqih thaharah, (diakses pada 18 Desember 16:26,


http://repo.iain-tulungagung.ac.id/8632/5/BAB%20II.pdf

Sirajuddin, pentingnya pengetahuan thaharah dan pengalamannya bagi


masyarakat tani dusun ma’lengu, (diakses pada tanggal 18 desember
pukul 16:12,
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/6504/1/SIRAJUDDIN.pdf )

Anda mungkin juga menyukai