Oleh:
drasellalinoralinora@gmail.com
Abstract: Islam comprehensively stated that purification spawned many traits, attitudes,
values and messages that would affect a person's behavior. Many hadiths that explain the
virtues thaharah, which if carried out could remove sin and human error. In addition
thaharah implicated in a variety of dimensions, such as the dimensions of Muamalat,
morals, faith and so forth. Therefore, if thaharah or purification is always practiced as
Sunnah, then it will be able to bring physical and spiritual purity.
Abstrak
Islam secara komprehensif menyatakan bahwa bersuci melahirkan banyak sifat, sikap,
nilai serta pesan yang akan berdampak kepada perilaku seseorang. Banyak hadits-hadits
yang menerangkan keutamaan thaharah, yang apabila dilakukan dapat membersihkan
dosa dan kesalahan manusia. Selain itu thaharah berimplikasi pada beragam dimensi,
seperti pada dimensi muamalat, akhlak, akidah dan lain sebagainya. Oleh karenanya,
apabila thaharah atau bersuci selalu diamalkan sebagaimana sunnahnya, maka akan
mampu menghadirkan kesucian lahir dan batin.
B. Pembahasan
a. Thaharah
Secara bahasa, thaharah berarti nazhafah (kebersihan). Sedangkan
dalam istilah fuqaha, thaharah ber-arti kerbersihan dari sesuatu yang
khusus yang didalamnya terkandung makna ta’abbud (menhambakan diri)
kepada allah. Ia merupakan salah satu perbuatan yang allah cintai. Lawan
dari thaharah adalah najasah (najis). Najasah ini juga ada dua hisiyah
(yang bisa dihilangkan dengan air) dan alat-alat yang dapat mensucikan,
ataupun maknawiyyah yang tidak akan hilang kecuali dengan iman dan
taubat. Sedangkan yang dimaksud thaharah dalam pembahaan kali ini
adalh thaharah hissiyah yang menggunakan air dan alat-alat penyuci untuk
menghilangkan bekasnya. Thaharah diutamakan atau dikedepankan
daripada shalat dan menjadi kunci dari pintunya. Kunci surga adalah dan
kunci shalat adalah bersuci
Thaharah terbagi menjadi dua, yang dimana bersuci dari sesuatu
dari kotor juga bersuci dari hadast. Bersuci dari kotoran adalah bersuci
dari najis yang bisa dilihat dan dirasa yang mengenai tubuh, pakain atau
tempat. Memiliki rasa, warna, serta bau. Bersuci dari hadast merupakan
bersuci dari najis-najis yang bersifat ukhniyah yang tidak ada sesuatu
dirasakan, dilihat mata, diraba tangan, dicium hidung serta dirasakan lidah.
Namun merupakan suatu perkara yang telah ditetepkan syariat untuk
mewajibkan berwudhu adalah hadast kecil dan mewajibkan mandi jika ia
merupakan hadast besar.1
b. Nilai-nilai Thaharah
1
Yusuf Al-Qaradhawi. Fikih thaharah. Pustaka Al-Kautsar: (Jakarta timur, desember).
Hal.9-11
berlaku jika orang yang mengerjakan shalat dalam keadaan berhadats tidak
mempunyai alasan yang 157 Akhbarul Karim tepat.
kedua, dilarang mengeijakan shalat pada saat itu, akan tetapi ia hams
mengqadhanya;
c. Tujuan Thaharah
Dalam agama islam, setiap amalan yang dianjurkan, bahkan
diwajibkan, memiliki tujuan yang sangat penting, terutama bagi
pelakunya. Nah, islam sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan dan kesucian itu disyariatkan dengan
tujuan-tujuan berikut:
1. Menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.
2. Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba, sebagaimana
sabda Rosulullah Saw., “Allah Swt, tidak menerima shalat seseorang
diantara kalian jika ia berhadats, sampai ia berwudhu,”
2
Akhbarul K.arim, Tauhid dan Thaharah, (Banda Aceh: Badan Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh, 2009). Hlm 155-157
3. Mendapatkan pahala dan rahmat dari Allah Swt. Sebab dia menyukai
kebersihan (kesucian) dan mencintai orang-orang yang selalu menjaga
kebersihan.3
d. Dasar hukum Thaharah
Thaharah (bersuci) hukumnya ialah wajib berdasarkan penjelasan
al Quran ataupun as-Sunnah. Firman Allah dalam Q.S. al-Maidah/5: 6,
ِ Jِ ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َرافJم َواَ ْيJْ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك
قJ
JىJض ٓ ٰ ْاطَّهَّرُوْ ۗا َواِ ْن ُك ْنتُ ْم َّمرJJَا فJJًم اِلَى ْال َك ْعبَ ْي ۗ ِن َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبJْ َوا ْم َسحُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك
وْ اJJا ًء فَتَيَ َّم ُمJۤ J َمJ ُدوْ اJ ۤا َء فَلَ ْم تَ ِجJتُ ُم النِّ َسJ ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمنَ ْالغ َۤا ِٕى ِط اَوْ ٰل َم ْسJا َء اَ َحJۤ Jفَ ٍر اَوْ َجJاَوْ ع َٰلى َس
ج َّو ٰل ِك ْن هّٰللا
ٍ بِ ُوجُوْ ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْي ُد ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َرJص ِع ْيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوْ ا َ
َم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ نJْ ي ُِّر ْي ُد لِيُطَه َِّر ُك
Terjemahnya:
3
Ahmad Reza, Buku Pintar Thaharah, (Saufa, Yogyakarta 2015). Hlm 10
dipahami bahwa bersuci adalah wajib dilakukan bagi seorang
muslim/muslimah apabila ingin melaksanakan ibadah seperti salat atau
yang lainnya, sedangkan ia dalam keadaan terkena hadas atau najis.4
Ulama lain berpendapat bahwa debu tidak bisa diganti formula lain.
Alasannya, Rasulullah Saw. Telah menentukan debu, apalagi debu dan air
adalah dua benda yang bisa tersebut tetap suci. Dalilnya adalah tatkala air
najis berpisah maka tidak najis lagi. Ini menunjukkan bahwa njis sudah
hilang, warna bekas darah bukan najis.7
Tidak semua air dapat digunakan sebagai alat bersuci, karena nya
air dapat dibedakan menjadi empat:8
a) Air mutlak
yakni air suci yang mensucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya
dan dan menyucikan bagi yang lainnya, yaitu air yang jatuh dari langit
atau keluar dari bumi masih tetap (belum berubah) keadaannya
7
Adil Sa’di, iqhun-Nisa Thaharah-Shalat, (Dar-Dzahabiyah,2006). Hlm 83-84
8
Syekh Muhammad Djamaluddin al-Qasimy al-Dimsyaqi, Tarjamah Mauidhotul
Mukminin Bimbingan Orang-orang Mukmin, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993), hlm. 22.
seperti: air hujan, air laut, air sumur, air embun, salju es, dan air yang
keluar dari mata air.
b) Air Musta’mal, yakni air suci tetapi tidak dapat menyucikan artinya
zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk menyuci sesuatu. Ada tiga
macam air yang termasuk dalam bagian ini:
- Air yang telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab bercampur
dengan sesuatu benda yang suci selain dari pada perubahan yang
tersebut di atas, seperti air kopi, teh dan lain sebagainya.
- Air yang sudah terpakai untuk mengangkat hadats atau
menghilangkan hukum najis, walaupun air itu tidak berubah
sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
c) Air yang Berubah karna Benda Suci
Adalah air yang tercampur benda yang suci, misalnya tercampur
sabun, minyak za’faran, dan air bunga mawar. Status air tersebut tetap
suci lagi mensucikan (thahur), selama masih terjaga kemutlakannya.
Namun, jikalau air tersebut sudah dikalahkan oleh benda suci yang
mencampurinya, sehingga mengakibatkan kemutlakan air itu tidak
mampu mencakupinya. Dalam kondisi tersebut satus air menurut
pendapat tiga imam pendiri mazhab (Imam Malik, Asy-Syafi’I. dan
Ahmad) tetap suci tapi tidak mensucikan.
d) Air yang Bertemu dengan Najis
Air yang demikian mempunyai dua kondisi, yaitu sebagai berikut.
Pertama, benda najis itu mengubah rasa, warna, dan bau air. Dalam
kondisi ini air tersebut sudah tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci
menurut ijma’ulama.
Kedua, air tetap dalam kemutlakannya, dalam artian air itu tidak
merubah sama sekali dari segi rasa, warna, dan baunya. Dalam kondisi
demikian, statusnya tetap suci lagi mensucikan, baik air itu sedikit
maupun banyak. 9
9
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, FIqh Ibadah,
(Amzah PT Kalola Printing, Jakarta 2015) hlm. 3-9
e) Air yang makruh dipakai, yaitu yang terjemur pada matahari dalam
bejana selain bejana emas atau perak, air ini makruh dipakai untuk
badan, tidak untuk pakaian, terkecuali air yang terjemur di tanah
seperti air sawah, air kolam dan tempat-tempat yang bukan bejana
yang mungkin berkarat. Selain itu, air yang terlalu panas atau terlalu
dingin juga tergolong air yang makruh dipakai untuk bersuci.
2) Hadas Besar
Hadas besar adalah keadaan tidak suci pada diri seorang
muslim yang dapat disucikan dengan mandi junub atau mandi besar.
Akan tetapi, jika tidak ada air atau sebab tertentu dapat diganti
tayamum. Keadaan yang dapat menyebabkan seseorang berhadas
besar yaitu.
a) Keluar mani baik karena mimpi atau hal yang lain bagi laki-laki
b) Haid (menstruasi) bagi perempuan
c) Melahirkan (wiladah) yaitu darah yang keluar saat seorang
perempuan melahirkan
d) Nifas yaitu darah yang keluar setelah seorang perempuan
melahirkan
e) Melakukan hubungan suami istri
f) Meninggal dunia kecuali bagi orang yang syahid.10
ِ ث ْال َحي
ْض ِهللِ تَ َعالَى ِ ْت ْال ُغ ْس َل لِ َر ْف ِع َح َد
ُ نَ َوي
Artinya: Aku niat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari
haid karena Allah Ta'ala
i. Wudhu
1. Syarat sah wudhu
11
Saleh bin Al-Fauzan, Fiqih Islam (ibadah dan muamalah), penerbit Muezza,
(Yogyakarta, November 2020). Hlm 39-45
Syarat-syarat wudhu adalah niat Dari Amirul Mu’minin, ‘Umar
bin Al Khattab, dia berkata, saya mendengar Rasulullah bersabda;
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia
niatkan.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 1 dan Muslim : 1907)
2. Rukun-rukun wudhu
Rukun-rukun wudhu antara lain:
1. Membasuh wajah Batasan-batasan wajah adalah mulai dari
tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot
yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang
(atas ke bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri
melebar.
2. Berkumur dan menghirup air melalui hidung Imam Ahmad
berpendapat akan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq,
dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Diriwayatkan
dari Humran -mantan budak Utsman - ia mengatakan;
“Bahwa Utsman meminta air wudhu. Ia membasuh kedua
telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan menghisap air
dengan hidung dan menghembuskannya keluar” (Muttafaq
’alaihi)
Dalam riwayat Abu Dawud; “Jika engkau berwudhu, maka
berkumurlah!”
3. Membasuh kedua tangan hingga siku-siku Dibasuh dari ujung-
ujung jari hingga ke siku, dan siku masuk dalam daerah
basuhan.
4. Mengusap kepala termasuk telinga Cara mengusap kepala
adalah dengan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya
dari muka ke belakang sampai tengkuk dan dikembalikan dari
belakang ke muka, kemudian mengusap telinga. Mengusap
kepala sekaligus telinga tersebut dengan satu kali usapan. Hal
ini berdasarkan hadits dari Abdullah Ibnu Zain Ibnu Ashim
tentang cara berwudhu dia berkata;
”Rasulullah mengusap kepalanya dengan kedua tangannya dari
muka ke belakang dan dari belakang ke muka.” (Muttafaq
’alaihi)
Dan hadits dari Ali tentang cara berwudhu Nabi dia berkata;
”Beliau mengusap kepalanya satu kali.” (HR. Abu Dawud.
Tirmidzi dan Nasa'i) Adapun cara mengusap telinga adalah
dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam kedua telinga
dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan ibu jari. Hal
ini sebagaimana hadits dari Abdullah Ibnu Amr tentang cara
berwudhu ia berkata;
”Kemudian beliau mengusap kepalanya dan memasukkan kedua
jari telunjuknya ke dalam kedua telinganya dan mengusap
bagian luar kedua telinganya dengan ibu jarinya.” (HR. Abu
Dawud dan Nasa'i) Dalil tentang mengusap kepala sekaligus
telinga adalah hadits dari Abdullah ibnu Zaid ;
”Bahwa dia pernah melihat Nabi mengambil air untuk
mengusap kedua telinganya selain air yang beliau ambil untuk
mengusap kepalanya.” (HR. Baihaqi)
Menurut riwayat Muslim disebutkan: ”Beliau mengusap
kepalanya dengan air yang bukan sisa dari yang digunakan
untuk mengusap kedua tangannya.” yaikh Al-Albani dalam
Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah: 995 mengatakan; “Tidak
terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits Nabi ) yang mewajibkan
mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya
diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits
Rubayyi’; ”Bahwasanya Nabi mengusap kepalanya dengan air
sisa yang ada di tangannya.” (HR. Abu Dawud dan lainnya
dengan sanad hasan)”.
5. Membasuh kedua kaki Allah berfirman; “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki…” (QS. Al-Maidah : 6).
6. Tertib (berurutan) Tertib merupakan rukun, karena Allah
menuturkan rukun-rukun wudhu didalam firmanNya secara
tertib. Dan sebagiamana hadits dari Jabir Ibnu Abdillah bahwa
Rasulullah bersabda; ”Mulailah dengan apa yang telah dimulai
oleh Allah.” (HR. Nasa'i dan Muslim)
7. Muwalah (terus-menerus) Yang dimaksud dengan muwalah
adalah bersambungan. Yaitu wudhu harus dilakukan
bersambung dan tidak terpisah hingga anggota tubuh yang
sebelumnya kering. Menurut Malikiyah dan Hanabilah hukum
muwalah adalah fardhu (wajib). Anas berkata; “Nabi melihat
seorang laki-laki sedangkan pada telapak kakinya ada bagian
sebesar kuku yang belum terkena air, maka beliau bersabda,
“Kembalilah lalu sempurnakan wudhumu.” (HR. Abu Dawud
dan Nasa'i) Seandainya muwalah tidak rukun tentu Nabi tidak
memerintahkan laki-laki tersebut untuk mengulangi wudhunya,
tetapi cukup disempurnakan saja.12
j. Tayamum
Tayamum adalah taharah pengganti wudhu atau mandi ketika tidak
ada air, dilakukan dengan mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan.
(Fath al-Qorib:12)
1. Syarat Tayamum
12
Abu Hafizhah, Kitab Thaharah, (Ponorogo, 31 Desember 2010). Hlm 17-20
1) Adanya udzur yaitu tidak adanya air karena berpergian; adanya
penyakit yang tidak boleh terkena air; da nada air yang hanya cukup
untuk minum.
2) Sudah masuk waktu shalat
3) Sudah berusaha mencari air ketika masuknya waktu shalat
4) Adanya ketakutan menggunakan air akan hilangnya nyawa atau
cacatnya anggota badan.
5) Adanya debu yang suci (Fath al-Qorib:12).13
2. Rukun Tayamum
1) Niat bertayamum
2) Mengusap muka dengan debu
3) Mengusap kedua tangan sampai siku-siku dengan debu, dan
4) Tertib.
3. Hal-hal yang membatalkan Tayamum
Tayamum hanya dapat dilakukan untuk satu kali shalat fardhu. Jadi,
satu kali tayamum untuk satu waktu shalat fardhu. Sedangkan untuk shalat
Sunah bisa untuk beberapa kali shalat.14
1) Membaca bismillah
13
Imaduddin Utsman al-Bantanie, Buku Induk Fikih Islam Nusantara, (Deepublish CV
Budi Utama, Yogyakarta, 2012). Hlm 102
14
Muhammad Syukron Maksum, Buku Pintar Lengkap Ibadah Muslimah, ( Tim
Medpress). Hlm 19-20
2) Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
3) Muwalat yaitu tanpa jeda antara anggota yang satu dengan yang
lainnya. (Fath al-Qorib: 13)
5. Tata cara melaksanakan Tayamum
15
Abu Aunillah Al-Baijury, Buku Pintar Agama Islam, (DIVA Press, September 2015).
Hlm 47-49
pengertian lahiriahnya, hukum tayamum sama dengan hukum wudhu,
mengingat tayamum pun merupakan cara bersuci.16
k. Mandi
16
Imam Nmawi, Doa dan Adab Berpakaian serta Doa Mandi Tayamum: seri Doa dan
Zikir, (Hikam Pustaka, 2021). Hlm 44
17
Aisyah Maawiyah, Thaharah sebagai kunci ibadah, (diakses pada 18 desember 2020,
file:///C:/Users/HP/Downloads/18-Article%20Text-33-1-10-20171127%20(1).p)
18
Azizah Rumaisha, Ibadah Bersuci (Thaharah) dan gaya hidup sehat, ( diakses pada 18
desember, 15:37, http://digilib.uinsgd.ac.id/10488/1/paper%20taharah%20kedua%20pdf%202.pdf)
Mandi sunah ialah mandi yang dianjurkan ketika akan
melaksanakan ibadah-ibadah tertentu dan karena mengalami keadaan
khusus. Adapun yang termasuk mandi sunah adalah:
1) Mandi jum’at
4) Mandi Ihram
Jumhur ulama berpendapat, dusunahkan mandi ihram, khususnya bagi
orang yang hendak mengerjakan haji dan umrah.
5) Mandi Ketika Hendak Masuk Kota Mekah
Orang yang akan memasuki kota Mekah, dusunahkan mandi.
6) Mandi Ketika Hendak Wukuf di Arafah
Bagi orang yang akan wukuf di Arafah sebagai pelaksanaan rukun haji,
disunahkan mandi.
7) Mandi Ketika Sembuh dari Sakit Gila dan Sadar dari Pingsan
Seseorang yang sembuh dari sakit gila dan sadar dari pingsan,
disunahkan atasnya mandi.19
b. Istinja
a. Pengertian istinja
Istinja secara bahasa berarti terlepas atau selamat, sedangkan
menurut pengertian syariat adalah bersuci setelah buang air besar atau
buang air kecil. Secara legkapnya, istinja adalah menghilangkan sesuatu
yang keluar dari kubul atau dubur dengan menggunakan air suci lagi
mensucikan atau batu yang suci atau benda-benda lain yang memiliki
fungsi sama dengan air dan batu. Selain istinja, ada lagi istilah istijmar,
yaitu menghilangkan najis dengan batu atau sejenisnya. Istinja dan
istijmar, adalah cara bersuci yang diajarkan syariat Islam kepada orang
yang telah buang hajat. Dan hukum istinja adalah wajib bagi setiap orang
yang baru buang air besar ataupun buang air kecil, dengan air atau media
lainnya. Istinja yang baik adalah dengan air, bilas pula dengan batu.
(istijmar).
Untuk ber istijmar, batu dapat diganti dengan benda keras apapun
asal tidak haram dan punya sifat bisa menghilangkan najis. Pada zaman
sekarang, kamar-kamar kecil biasanya menyediakan fasilitas tisu khusus
untuk menghilangkan najis. Dengan menggunakannya, kita dapat
menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan tangan. Sebab, tisu
memiliki kesamaan fungsi dengan batu dalam konteks sebagai alat
istinja.20
C. Penutup
19
Nasri Hamang Najed, Fikih Islam dan Metode Pembelajarannya, ( diakses pada 18
desember 16:50, http://repository.iainpare.ac.id/278/1/Fikih%20Islam.pdf )
20
R Soemedani, Bab II pngertian fiqih thaharah, (diakses pada 18 Desember 16:26,
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/8632/5/BAB%20II.pdf)
Thaharah merupakan salah satu syarat sah dalam pelaksanaan
ibadah baik Shalat, puasa maupun haji juga ibadah –ibadah -ibadah
sunat lainnya. maka ibadah yang paling sering dilaksanakan terutama
shalat wajib lima waktu, jika dalam pelaksanaannya shalat tersebut tidak
sah kecuali seluruh keadaan, pakaian, badan, tempat dan sebagainya
dalam keadaan bersih dan suci, baik suci dari hadas besar, maupun hadas
kecil, dan najis.
Untuk itu, thaharah tidak hanya cukup untuk diketahui, tetapi juga
harus dipraktekkan secara benar. Dalam kenyataannya, ada sebagian umat
Islam yang masih kurang tepat dalam melakukan praktek thaharah.
dikarenakan kurangnya pengetahuan atau semata-mata salah dalam
pelaksanaannya.
Daftar Pustaka
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, FIqh
Ibadah, (Amzah PT Kalola Printing, Jakarta 2015)
Abu Aunillah Al-Baijury, Buku Pintar Agama Islam, (DIVA Press, September
2015).
Akhbarul K.arim, Tauhid dan Thaharah, (Banda Aceh: Badan Pelestarian Sejarah
dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2009).
Nasri Hamang Najed, Fikih Islam dan Metode Pembelajarannya, ( diakses pada
18 desember 16:50, http://repository.iainpare.ac.id/278/1/Fikih
%20Islam.pdf