Anda di halaman 1dari 6

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER

AL ISLAM II

Mohammad Ya’isy Ghifari


20200110400088

1. A.

Kata ibadah adalah bentuk dasar (isim masdar) dari kata ‘abada – ya’budu [ُ‫] َعبَ َد – يَ ْعبُد‬,
yang secara bahasa artinya merendahkan diri dan ketundukan (al-khudhu’ wa tadzallul).

Secara istilah ibadah merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai


perintah-Nya, merendahkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan yang sangat tinggi
dan mencakup atas segala apa yang Allah ridhai baik yang berupa ucapan atau perkataan
maupun perbuatan yang dhahir ataupun bathin

B.

Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetapkan
Allah baik tata cara dan perincian-perinciannya (sifat, waktu, tempat dll). Dengan
prinsip : Harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari Al-Quran maupun Hadits.
Tata caranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini ukurannya
bukan logika. Azaznya kepatuhan dan ketaatan (ta’abbudi). Dalam Ibadah Mahdhah ini
berlaku kaidah ushul fiqih :

ْ َ‫اََأْلصْ ُل فِى ْال ِعبَا َد ِة اَلتَّحْ ِر ْي ُم َو ْالب‬


‫ط ُل ِإالَّ َما َجا َء بِ ِه ال َّد لِ ْي ِل عَل َى اَ َوا ِم ِر ِه‬

Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang
memerintahkan

Ibadah-ibadah yang termasuk ibadah mahdhah antara lain: wudhu, tayammum, puasa,


shalat, mandi hadast, haji, umrah. 
C.

Pertama, suci badan dari hadas kecil dan besar. Bersuci bisa dilakukan dengan cara
mandi, dan sebelum sholat diwajibkan untuk berwudhu.
Kedua, suci anggota badannya, pakaiannya, dan tempatnya dari najis-najis yang nampak
terlihat rupa maupun baunya.
Ketiga, menutup aurat. Batasan-batasan menutup aurat dalam mengerjakan sholat antara
laki-laki dengan perempuan berbeda, yang mana hal ini cukup lumrah dimengerti umat
Islam di dunia.
Keempat, menghadap kiblat. Kelima, telah masuk waktu sholat. Keenam, mengetahui
cara melakukan sholat. Setelah syarat sahnya sholat ini terpenuhi, maka selanjutnya
seorang Muslim yang hendak mendirikan ibadah sholat pun harus mendirikan rukun-
rukun sholat.  

sholat akan menjadi batal atau tidak sah apabila ketinggalan atau kekurang salah satu
syarat atau rukunnya. Antara lain sebagai berikut:
Pertama, berbicara dengan sengaja yang mana hal ini bukan bacaan sholat. Kedua,
bergerak banyak (tiga kali atau lebih) berturut-turut. Seperti berjalan atau
memukul. Ketiga, makan. Keempat, minum. Kelima, tertawa terbahak-bahak.
Keenam, berhadas kecil atau besar. Ketujuh, tebukanya aurat dengan
sengaja. Kedelapan, terkena najis yang tidak dapat dimaafkan. Kesembilan, berubah
niat yakni seumpama berniat keluar dari sholat. Kesepuluh, membelakangi kiblat.
Dan kesebelas, murtad atau keluar dari Islam

2. A.

Thaharah berasal dari bahasa Arab yang berarti bersih atau suci dan ini sudah disarikan
ke dalam bahasa Indonesia. Pengertian thaharah secara bahasa adalah an-Nadafatu yang
artinya bersih atau suci.

Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah membersihkan diri, pakaian, dan tempat dari
najis dan hadas, sehingga seseorang diperbolehkan beribadah yang ditentukan harus
dalam keadaan suci.

Bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan berwudu, (untuk hadas kecil), atau mandi
(untuk hadas besar) dan tayamum bila dalam keadaan terpaksa.

Bersuci dari najis meliputi suci badan, pakaian, tempat, dan lingkungan yang menjadi
tempat beraktivitas bagi kita semua
B.

Dalam Islam, ada macam-macam najis yang telah diurutkan berdasarkan


tingkatan najis yaitu ringan, sedang, dan berat. Sementara, pengertian umum najis itu
sendiri adalah sesuatu hal yang kotor menurut syara' (peraturan Allah) di antaranya:

 Bangkai, kecuali manusia, ikan, dan belalang


 Darah
 Nanah
 Segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur
 Anjing
 Babi
 Minuman keras
 Bagian anggota badan binatang yang terpisah karena dipotong selagi hidup

Secara fiqih, najis terbagi menjadi 3 (tiga) golongan seperti penjelasan berikut:

1. Najis Mukhaffafah (Ringan)


Najis mukhaffafah adalah najis dari air kencingnya bayi laki-laki yang belum berumur 2
tahun, serta belum pernah makan sesuatu apa pun kecuali air susu ibunya.

2. Najis Mutawassitah (Sedang)


Najis mutawassithah merupakan najis yang keluar dari kubul atau dubur manusia atau
binatang, kecuali air mani, barang cair memabukkan, dan susu hewan yang tidak halal
dikonsumsi.
Selain itu ada juga bangkai tulang maupun bulunya, dikecualikan bangkai-bangkai
manusia beserta ikan dan belalang. Najis sedang seperti mutawassithah terbagi menjadi
dua, yaitu:

 Najis 'Ainiyah adalahnajis yang berwujud yakni tampak dilihat. Semisal memiliki warna,
bau dan rasa.

 Najis Hukmiyah adalah najis yang tidak kelihatan wujudnya, seperti bekas kencing, arak
yang sudah mengering dan sebagainya.

3. Najis Mughalladah (Berat)


Najis mughalladhah yaitu najis yang berasal dari hewan anjing dan babi.

C.
Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, perintah bersuci ini mengandung hikmah atau
kebijaksanaan. Setidaknya ada empat hikmah tentang disyariatkannya thahârah
sebagaimana disarikan dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘ala Madzhabil Imâm asy-Syâfi‘î
karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji.

Pertama, bersuci merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap fitrah manusia. Manusia
memiliki kecenderungan alamiah untuk hidup bersih dan menghindari sesuatu yang kotor
dan jorok. Karena Islam adalah agama fitrah maka ia pun memerintahkan hal-hal yang
selaras dengan fitrah manusia.

Kedua, menjaga kemuliaan dan wibawa umat Islam. Orang Islam mencintai kehidupan
bermasyarakat yang aman dan nyaman. Islam tidak menginginkan umatnya tersingkir
atau dijauhi dari pergaulan lantaran persoalan kebersihan. Seriusnya Islam soal perintah
bersuci ini menunjukkan komitmennya yang tinggi akan kemuliaan para pemeluknya.

Ketiga, menjaga kesehatan. Kebersihan merupakan bagian paling penting yang


memelihara seseorang dari terserang penyakit. Ragam penyakit yang tersebar umumnya
disebabkan oleh lingkungan yang kotor. Karena itu tidak salah pepatah mengungkapkan,
"kebersihan adalah pangkal kesehatan". Anjuran untuk membersihkan badan, membasuh
wajah, kedua tangan, hidung, dan kedua kaki, berkali-kali saban hari relevan dengan
kondisi dan aktivitas manusia. Sebab, anggota-anggota tubuh itu termasuk yang paling
sering terpapar kotoran.

Keempat, menyiapkan diri dengan kondisi terbaik saat menghadap Allah: tidak hanya
bersih tapi juga suci. Dalam shalat, doa, dan munajatnya, seorang hamba memang
seyogianya suci secara lahir dan batin, bersih jasmani dan rohani, karena Allah yuhhibbut
tawwâbîna yayuhibbul mutathahhirîna (mencintai orang-orang yang bertobat dan
menyucikan diri).

3. A.
perbedaan-perbedaan gerakan shalat memang sering sekali muncul di masyarakat. Mulai
dari hal-hal kecil seperti saat meletakkan tangan atau lutut terlebih dahulu ketika sujud.
Majelis Tarjih Muhammadiyah sebenarnya telah melakukan kajian dan memfatwakan
shalat yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw. Namun, pada pengaplikasiannya
masih banyak yang tidak sesuai.
Perbedaan terjadi kemungkinan terbesar ialah pada madzhab yang di pegang berbeda
beda.
B.

Tidak masalah kalau masih ada dasar Quran dan hadis yang maqbul, masih bisa ditolerir.
Tapi kalau didasarkan pada hadis lemah bahkan tidak memiliki dasar, hal ini harus
diperbaiki.
4. Jamak dan qashar shalat merupakan salah satu perbuatan yang sudah lumrah dilakukan
oleh masyarakat. Ibnu Taimiyah menetapkan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh
safar (bepergian) dan tidak diperbolehkan qashar shalat bagi orang yang tidak safar.

Adapun jamak shalat disebabkan karena adanya keperluan dan ‘uzur, baik perjalanan
jarak jauh maupun dekat. Sedangkan Ibnu Hazm menyatakan bahwa qashar shalat bagi
musafir berlaku dalam segala keadaan dan bagi siapa saja, selama dia melakukan safar.
Shalat dalam keadaan safar yang dikerjakan dua rakaat, hukumnya wajib, baik safar
untuk ketaatan, atau untuk maksiat, atau bukan untuk ketaatan dan bukan pula untuk
maksiat. Sehingga jamak dan qashar shalat ini sangat penting untuk dikaji.

pendapat Ibnu Taimiyah, tentang jamak dan qashar shalat itu berlaku kepada orang yang
safar (bepergian) sesuai dengan analisa dalam surah an-Nisa ayat 101.

Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa jamak dan qashar shalat boleh dilakukan
apabila jarak perjalanan sudah mencapai tiga mil jauhnya.

Sebagai landasannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah. Ibnu Taimiyah
dalam mengistinbātkan hukum adalah dengan menggunakan metode bayani, dikarenakan
memakai surah an-Nisa ayat 101 dari segi zahir dan juga dari segi zahir hadis. Dan juga
menggunakan istinbāth ta’lili, dikarenakan tidak memberi batasan bagi dibolehkannya
jamak qashar shalat. Sedangkan Ibnu Hazm dalam mengistinbāthkan hukum yaitu dengan
menggunakan metode bayani, dikarenakan melihat dari segi zahir ayat 101 surah an-Nisa
dan zahir hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dengan sanad yang shahih dari Ibnu
Umar.

Jadi kita harusnya melihat dulu jarak tempuh nya bukan hanya waktu tempuh nya.

Anda mungkin juga menyukai