TUGAS AIK 5
DISUSUN OLEH :
Kebersihan merupakan sesuatu yang Allah senangi, maka dari itu, pantaslah kalau
agama-Nya(Islam) mengajarkan pada kebersihan. :
Rasulullah bersabda:
1. Dua kalimat syahadat, ucapan ini adalah membersihkan mulut dari kata-
kata kufur dan kata-kata syirik, karena mulut dan lisan kita bergerak
dengan mentauhidkan Allah. Yaitu dengan kalimat syahadat ( laa ilaaha
illallah ). Kalimat inilah yang pertama kali diucapkan oleh seseorang yang
pertama kali masuk pada agama islam.
Kemudian berkenaan dengan hati, kalimat syahadat ini juga memenuhi hati
dengan keimanan pada Allah. Sehingga hati menjadi bersih dan salim,
Sebagaimana firman Allah. “Pada hari itu tidak bermanfaat lagi harta dan anak,
kecuali orang yang datang pada Allah dengan hati yang selamat”.
Maksud dari hati yang selamat disini adalah. Selamat dari kekufuran,
kesyirikan, takabbur serta dari penyakit yang merusak hati.
Dalam sholat itu sendiri, sholat juga membersihkan badan dari dosa, sebagaimana
sabda rasulullah:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan, mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.(At-Taubah:103)
Allah berfirman: “Seluruh amal anak adam untuk dirinya, kecuali puasa.
Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan aku yang akan membalasnya. (HR.
Bukhari dan muslim)
6. Jihad dijalan Allah, jihad merupakan amalan yang agung, amalan ini bisa
dikatakan kebersihan yang besar bagi diri hamba yaitu membersihkan jiwa
dan nafsu dari cinta pada dunia.
Selain yang bersikap batin sebagaimana yang telah kami paparkan diatas,
ada juga perintah yang bersikap lahiriah yang telah disyareatkan, dari yang wajib
seperti: mandi janabah, mandi saatc terhentinya darah haid dan darah nifas, mandi
apabila ada orang kafir yang masuk islam, sampai menjelang kematianpun kita
wajib dimandikan, karena Rasulullah` memerinkahkan untuk memandikan
zainabx ketika meninggal dunia .
Cara berpikir (aqliyah) adalah salah satu di antara dua unsur pembentuk
kepribadian (Syakhshiyyah). Dalam buku "As Syakhshiyah Islamiyah",
Taqiyyudin An Nabhani mendefinisikan aqliyah, sebagai cara berpikir atau
memahami sesuatu. Ada dua hal yag perlu dijelaskan dari definisi tersebut.
Pertama, tentang makna berpikir tentang sesuatu (aqlus syai'). Kedua, tentang
cara-cara berpikir.
Berpikir dalam Bahasa Arab disebut dengan tiga lafadz yaitu al aqlu, al fikru
dan al idrak. Ketiganya, menunjuk pada satu pengertian: berpikir. Sedang proses
berpikir, tulis Muhammad Ismail dalam Al Fikrul Islami, adalah aktifitaas
pemindahan fakta melalui indera ke dalam otak, dengan informasi yang ada atau
sudah ada (ma'lumat tsaabiqah) akan menafsirkan untuk menafsirkan fakta
tersebut. Jadi, unsur berpikir ada 4 komponen yaitu: fakta, indera, otak, dan
informasi yang berkaitan dengan sesuatu yang diinderanya. Keempat unsur itulah
yang membentuk pemikiran. Bila salah satu tidak ada, mustahil terjadi proses
berpikir. Sementara, terjadinya proses berpikir itu sendiri, tidaklah diketahui
persis bagaimana dan dimana tempatnya. Menurut An Nabhani, tempatnya bukan
di otak, sebagaimana pendapat banyak orang. Sebab otak hanyalah pusat indera.
Tetapi, otak tetap berperan, yakni sebagai penyimpan informasi. Dengan
informasi itu, fakta yang terindera dapat dipahami.
Aqidah harus tertanam dalam diri seorang muslim, pertama kali. Seseorang
dikatakan mempunyai Aqliyah Islamiyah manakala menjadikan aqidah Islamiyah
sebagai asas bagi proses berpikirnya. Juga, disaat menangkap pemikiran-
pemikiran dan fenomena-fenomena yang terjadi, ia menilai dengan landasan
Aqidah Islamiyah. Ketika Aqidah Islamiyah memberikan nilai benar, ia
membenarkan dan mengikuti. Sebaliknya, jika Aqidah Islam menilai salah, ia
menolak dan menyalahkannya. Seseorang yang telah melakukan hal semacam ini
(membenarkan dan menyalahkan sesuatu berdasarkan Aqidah), berarti ia telah
memiliki Aqliyah Islamiyah.
Status pemilikan Aqliyah Islamiyah dalam diri seseorang tidak ditentukan apakah
ia seorang alim (cendekiawan ) atau awam. Yang penting disini adalah, kebulatan
tekad yang terpatri dalam hati untuk menjadikan Aqidah Islam sebagai
"penstandar" bagi setiap informasi dan fakta-fakta yang diterima atau di
jumpainya.Dalam soal ini tidakbeda antara Imam Syafi'i -- mujtahid terkemuka--
dengan Mang Pi'i yang hanya hafal beberapa ayat untuk keperluan shalatnya.
Begitu juga, tidak beda antara Prof. Dr.Ir. A. Baquini --jago nuklir itu-- dengan
bang Miing yang hanya tahu, air itu musti jatuhnya ke bawah, dan beli SDSB
hukumnya haram. Juga kata Mang Miing, korupsi dan kolusi itu dosa.
Prof. Baquini misalnya, mampu mengkritik teori-teori dasar ilmu Kimia seperti
Hukum Kekekalan Masa-sebagai tidak Islami.Soalnya ,temuan Lavoisier (1743-
1794), yang kemudian dikembangkan oleh Einstein sebagai hukum kekekalan
Energi, menganggap materi itu kekal, tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan.
Pemikiran semacam itu, kata Baiquni adalah dari paham komunus. Berarti, Prof.
Baiquini memiliki Aqliyah Islamiyah, sama dengan Mang Miing tadi.
Jadi, Islami tidaknya cara berpikir seseorang --sekali lagi-- bukan terletak
pada alim tidaknya seseorang. Tapi, yang prinsip, apakah ia menjadikan Islam
sebagai tolok ukur dalam proses berpikirnya atau tidak. Oleh karena itu, walaupun
pengetahuan Islamnya pas-pasan,ia tetap bisa dikatakan memiliki Aqliyah
Islamiyah. Asal ia gunakan fikrah Islamiyah sebagai tolok ukur dari proses
berpikirnya. Sementara para Orientalis, meskipun ia memiliki pengetahuan luas
tentang Islam --paham Ilmu Al Qur'an, Hadist, Siroh Rasul, Sejarah Umat Islam,
bahkan mungkin lebih ahli dari kebanyakan umat Islam-- tak dapat ia dikatakan
memiliki pemikiran Islami. Sebab ia tidak menjadikan Islam sebagai landasan
berpikir. Ia tetap bertahan dengan aqidah Kapitalismenya. Maka, pemikirannya
dikatakan sebagai pemikiran Kapitalis (Aqliyah Ra'sumaliyah).
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.
Islam adalah agama yang memiliki karakteristik yang khusus dan sempurna,
karena ia diturunkan dari yang Maha Sempurna. Dan Allah SWT menurunkan
Islam semata-mata untuk mengangkat, meninggikan, memuliakan dan
menyempurnakan hamba2-Nya, karena ia tidak memiliki kepentingan sedikit pun
atas manusia.
Oleh karena itu maka seorang yang berinteraksi dengan Islam secara benar
maka secara logika ia pastilah akan terbentuk, tercelup dan tersempurnakan (QS
2/138) oleh sistem yang paling sempurna (QS 5/3) yang diturunkan oleh yang
Maha Sempurna melalui hambanya yang paling sempurna (QS 68/3-4).