Anda di halaman 1dari 53

penjelasan kitab tijan ad-daruri

Muqoddimah

Dengan menyebut nama Alloh yang maha pengasih lagi penyayang. Adapun segala puji
hanyalah bagi Alloh yang mengatur semua alam. Selanjutnya rohmat Alloh semoga selamanya
tercurahkan atas penghulu kita, yakni Nabi Muhammad beserta keluarganya, para sahabatnya,
dan begitu juga semoga keselamatan (Alloh) tercurah kepadanya. Dan selanjutnya sesudah
membaca basmalah, hamdalah sholawat serta salam, maka berkata orang yang sangat butuh akan
rohmatnya Dzat yang mengatur dirinya yang maha waspada (Alloh) serta yang maha melihat
(Alloh), yakni dialah Ibrohim orang negri bajuri yang sangat merasa (dirinya) gegabah. Telah
meminta dariku sebagian saudara-saudaraku

Dalam pembukaan risalah ini, (mushonnif = orang yg mengarang kitab ini) mendahulukan
membaca basmalah, hamdalah dan seterusnya sampai akhir.

Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita mulai pembahasannya dari salahsatu pesan ulama
yang begini ungkapannya:

Satu keharusan kepada setiap orang yang akan tampil dalam satu (fan) membahas basmalah
dengan ilmu jurasannya itu (fan)
(Fan) itu ialah seni atau uraian yang isinya sebuah kajian ilmu.
Nah disini membahas (fan) tauhid, maka membahas basmalah dengan fan tauhid. bismillah. niat
saya berharap dengan meminta pertolongan kepada dzat yang memiliki nama Alloh, bismillah
niat saya berharap mencari berkah dengan menyebut nama Alloh.

Kalimat Alloh ialah (asma') yang dikatagorikan (taufiqiyyah) artinya perkara yang menunggu
akan turunnya wahyu dari Alloh, oleh karenanya dengan menyebut-nyebut asma'Nya adalah satu
tanda akan turunnya taufiq dari Alloh, dan ia-pun datangnya bukan hasil dari akal.
Lapad Alloh, namanya:
Ismun jalalah, nama keagungan.
Ismun a'dhom, nama kebesaran.
Ismun min asma'ul husna, nama-nama dari (asma'ul husna).

Di awal permulaan risalah ini, ungkapan yang keluar dari lapad basmalah, yang pertama diniati
mencontoh pada alquran, dan yang keduanya karena ada hadits yang berbunyi:

Setiap perkara (pekerjaan) yang dipandang baik oleh hukum syara, akan tetapi tidak diawali
dengan membaca bismillahirrohmanirrohim, maka kurang berkah

Penjelasan : bismillah
Dalam pembukaan risalah ini mushonnif memulai dengan membaca basmalah, tiada lain hanya
mengharap keberkahan serta pertolongan Alloh semata.

Penjelasan : arrohman
Yaitu salasatu sipat Alloh yang memberi limpahan kurnia serta nikmat yang besar atas semua
makhluk di dunia dan di akhirat.

Penjelasan : arrohim
Yaitu salasatu sipat Alloh yang memberi limpahan kurnia serta nikmat yang besar khusus bagi
orang-orang yang merasakan nikmat ar-rohman.

Penjelasan : alhamdulillah
Kalimat (alhamdu lillah), memberitahukan bahwa semua yang namanya puji hanyalah milik
Alloh, bukan hanya memberitahukan saja, akan tetapi maksudnya memanjatkan pujian kepada
Alloh. hal ini termasuk dalam qoidah, dan juga kalau dibawa pada 'fan' ilmu 'maani bilaghoh',
ungkapan kalimah alhamdu lillah itu begini:

Ungkapan pemberitahuan puji, akan tetapi isinya memanjatkan puji

Perbedaan antara lapad basmalah dengan hamdalah, yakni basmalah sebagai (ibtida haqiqi:
pembuka yg sesunggunya), sedangkan lapad hamdalah sebagai (ibtida idhofi: pembuka yg
disandarkan pada kalimah basmalah).
Adapun yang namanya puji terbagi atas 4 bagian, yaitu:
1. Qodimun liqodimin: yaitu puji Alloh terhadap dzatnya sendiri, seperti firman Alloh dalam
Al-Quran:

Dan Dialah Dzat yang maha tinggi lagi maha agung

2. Qodimun lihaditsin: yaitu puji Alloh terhadap makhlukNya, seperti firman Alloh dalam
Al-Quran:

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga `Imran
melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)
(Qs 3 Ali Imran: 33)

3. Haditsun liqodimin: yaitu puji makhluk terhadap Alloh, seperti makhluk membaca
hamdalah.

4. Haditsun lihaditsin: yaitu puji makhluk terhadap sesama makhluk, seperti Rosululloh
memberi gelar atau titel (ash shidqu: orang yg benar) kepada sohabatNya Abu Bakar dengan titel
Abu Bakar as-Sidqu.

Alasan mushonnif membaca hamdalah.


Pertama, ittiba (mengikuti jejak) rosul, yang terlahir dari sebuah hadits:

Ber-akhlaklah seperti akhlak Alloh

Kedua, amalan bilhadits,

Setiap perkataan yang tidak dimulai dengan membaca hamdalah, maka perkataan tersebut
cacar/corob (penyakit kulit)

dikatakan pula dalam hadits:


Sesungguhnya Alloh itu menyenangi pujian, pujian kepada Alloh adalah arah-arah diberinya
pahala pada orang yang memuji kepada Alloh

Jadi hikmahnya si hamba memuji kepada Alloh, yakni bahwa Alloh akan memberi pahala
kepada orang yang memuji terhadapNya, serta dengan pujian tersebut menjadikan
penglihatanNya kepada si hamba dengan penglihatan rohmat, serta menjadikan pahala simpanan
bagi si hamba diakhirat nanti.

dikatakan pula dalam hadits:

Adapun memuji Alloh akan menjadikan keselamatan nikmat dari hilangnya nikmat

Penjelasan : robbil alamin


Ungkapan kalimah (Robbi) maknanya lebih luas dibandingkan dengan kalimat (Milku) atau
(Maula), karena kalimat Robbi maknanya mencakup penciptaan, memiliki, menguasai, mengurus
dan juga mengatur.

Sedangkan kalimat (Al-Alamin), menunjukan pada setiap yg namanya alam, seperti alam sadar,
alam bawah sadar, alam rahim, alam mulki, alam malakut, alam jabarut, alam hissi alam
maknawi, alam dunia, alam akhirat dst.

Penjelasan : washsholatu wassalamu


Ungkapan kalimat Sholawat dan Salam apabila dihubungkan:
Dari Alloh, kedudukannya menjadi rohmat (kesejahteraan) untuk Nabi.
Dari Malaikat, kedudukannya menjadi istighfar (permintaan ampunan) untuk Nabi.
Dari orang Mukmin, kedudukannya menjadi dua (permintaan harapan yg tulus), agar
senantiasa rohmat dan keselamatan Alloh selamanya tercurah kan untuk Nabi. Contoh ungkapan
dua:

Ya Alloh semoga kesejahteraan dan keselamatan senantiasa selamanya tercurah kepada


penghulu kami, yani Nabi Muhammad saw

Kalimat Sholawat dan Salam adalah:

Ungkapan pemberitahuan (sholawat), akan tetapi isinya memanjatkan sholawat


Firman Alloh dalam Al-Quran:

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang


yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya
(Qs 33 Al-Ahzab: 56)

Penjelasan : faqiru rohmata robbihi


Setiap makhluk Alloh, pasti membutuhkan rohmatNya, dan tingkatan orang yg membutuhkan
rohmatNya diantaranya ialah:
1. Orang yg tidak percaya dirinya membutuhkan rohmatnya Alloh, malahan merasa dirinya
kaya, Alloh-lah yg butuh, firman Alloh dalam Al-Quran:

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang mengatakan: "Sesunguhnya


Allah miskin dan kami kaya.
(Qs 3 Ali Imron: 181)

2. Orang yg percaya dirinya membutuhkan rohmatnya Alloh, akan tetapi tidak merasakan atas
kebutuhannya. mereka adalah tingkatan orang beriman.

3. Orang yg percaya dirinya membutuhkan rohmatnya Alloh serta merasakan dirinya sangat
membutuhkanya, inilah tingkatan orang mukmin haqqul yaqin. Nah nomor dua dan tiga sejalan
dengan firman Alloh dalam Al-Quran:

Maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam
(Qs 3 Ali Imron: 97)

Yang menyusun kitab ini dalam ungkapan (faqiru rohmata robbihi) termasuk golongan yg ketiga.
Dan juga dalam ungkapan (faqiru rohmata robbihi) diakuinya oleh mushonnif robb dirinya saja
tidak disebut robb alam (memisahkan diri), dengan kata lain hanya sekedar antara dirinya dengan
Alloh, serta sedang merasakan haq rububuyyah yang ada dalam dirinya, dan merasakan haq
ubudiyyahnya, yakni haq pribadi diri yang ada dalam dirinya.
Haq Rububiyyah:
Setiap keberadaan selain seluruh anggota badan seperti ilmu, wibawa, harta-benda, pamili dll.
Haq Ubudiyyah:
Seluruh anggota badan yang keluar dari rahim Ibu, yg membentang bagaikan mayit, atau pribadi
yang wajib dibuktikan kepada Alloh.

Penjelasan : al khobiru

Ialah sipat yang mengetahi terhadap dalam-dalamnya segala perkara


Yakni yang mencakup semua perkara yang (dhohir), yang (wujud aqli), atau yang (wujud hissi)
(yang belum dhohir)

(Al khobiru) yaitu salah satu sipat Aloh yang tidak dijadikan sipat 20 oleh ahli aqoid iman,
karena sudah terliputi oleh sipat ilmu serta bashor-nya Alloh, setiap yg diwaspadai oleh Alloh
pasti kelihatan dan diketahui oleh Alloh, cuma perbedaannya hanya untuk perkara yang
(mumkinul wujud), yakni perkara yang akan ada tapi belum ada. Dan kontaknya sipat (al
khobiru)-nya Alloh (tanjizi hadits), sedangkan kontaknya sipat ilmu-nya Alloh (tanjizi qodim).

Penjelasan : albashiru
(Albashiru) adalah salah satu sipat Alloh, yang melihat dengan sipat bashor-nya Alloh terhadap
perkara yang maujud walaupun belum ter-(idrok = diketemukan).

Adapun taaluq-nya sipat bashor-nya Alloh pada perkara yang maujudat, yaitu wajibul wujud,
atau mumkinul wujud.

Penjelasan : dzu taqtsiri = merasa gegabah


Kalau berkata (dzu taqtsiri) ingin disebut tawadlu, itu namanya riya', tapi kalau berkata (dzu
taqtsiri) karena benar-benar merasa gegabah dalam ibadah kepada Alloh, dialah (khosyi'an
mutawadi'an rofi'a darojatihi indalloh) orang khusu serta tawadlu yang terangkat derajatnya
disisi Alloh.

Penjelasan : tholaba minni


Disini mushonnif menerangkan asal mulanya mengarang kitab tijan ini, yang diawali oleh
sebuah permohonan sebagian saudara muslim, yang meminta dirinya untuk menuliskan sebuah
kitab kecil yang mencakup sipat Alloh dan sipat Rosul.

Oleh karenanya hasil ilmu dengan cara diminta akan lebih intim dan lebih penting serta lebih
bermanfaat. Ada keterangan begini bunyinya:

Adapun yang namanya ilmu itu bagaikan gudang yang dikunci, adapun alat untuk
membukanya ialah permintaan dan pertanyan

Penjelasan : badlul ikhwani


Kalimat (badlul ikhwani jama') dari lapad (akhun) maksudnya ialah saudara seagama, seperti
firman Alloh dalam alquran:

Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu
(Surat 49 Al-Hujuraat:10)

Dalam istilah kitab, kalau saudara satu turunan, biasanya memakai kata (jama ikhwatun) untuk
laki-laki, sedangkan kalau untuk perempuan biasanya menggunakan kata (akhwatun), kalau
untuk saudara seagama biasa menggunakan kata (ikhwanun).**********

Semoga Alloh memberi kemaslahatan kepadaku dan kepada saudaraku pada tingkah dan
kelakuan, agar supaya saya menuliskan untuk sebagian saudaraku itu, satu risalah (lembaran
buku) yang kecil yang meliputi sipat-sipat ketuhanan serta sipat-sipat berlawanannya, dan
perkara yang wenang dalam haqnya Alloh taala. Dan juga pada perkara yang wajib dalam
haqnya para rosul serta pada perkara yang mustahil didalam haqnya para rosul semua, dan juga
pada perkara yang wenang di para rosul. Oleh karenanya, maka aku penuhi permintaan badul
ikhwan untuk mengarang kitab kecil ini. Selanjutnya aku memohon taufiq kepada Alloh.
Wajib kepada setiap mukallaf, ialah mengenal pada perkara yang wajib didalam haqnya Alloh
taala, dan perkara yang mustahil, serta perkara yang wenang

Penjelasan : ashlahallohu
Kalimat yang diatas merupakan jumlah (mutaridhoh) artinya pembatas antara (fiil) dan
(maful), antara (tholaba) dan (an aktuba), Nah inilah yang disebut jumlah (dua'iyyah), karena
mushonnif sengaja menyelipkan dengan dua (ashlahallohu li walahum) secara minimal satu kali
memenuhi dari ayat (fa'ashlihu baina akhwaikum), karenanya, paling sedikit menjalin
persaudaraan itu dengan dua.

Perkara yang diminta oleh (badlul ikhwan), tiada lain agar aku (kata syeh Ibrohim) menulis
kitab kecil yang meliputi sipat-sipat ketuhanan, semuanya ada 20 sipat:

1. Wujud arti secara harfiyyah: ada


2. Qidam arti secara harfiyyah: pemula, hal yg dahulu kala
3. Baqo arti secara harfiyyah: kekal
4. Mukholafatu lilhawaditsi arti secara harfiyyah: berbeda dengan yang baru
5. Qiyamuhu binafsihi arti secara harfiyyah: berdiri sendiri
6. Wahdaniyyat arti secara harfiyyah: tunggal
7. Qudrot arti secara harfiyyah: kuasa
8. Irodat arti secara harfiyyah: berkehendak
9. Ilmu arti secara harfiyyah: mengetahui
10. Hayyat arti secara harfiyyah: hidup
11. Sama' arti secara harfiyyah: mendengar
12. Bashor arti secara harfiyyah: melihat
13. Kalam arti secara harfiyyah: berkata
14. Qodiron arti secara harfiyyah: yang kuasa
15. Muridan arti secara harfiyyah: yang berkehendak
16. Aliman arti secara harfiyyah: yang mengetahui
17. Hayyan arti secara harfiyyah: yang hidup
18. Samian arti secara harfiyyah: yang mendengar
19. Bashiron arti secara harfiyyah: yang melihat
20. Mutakalliman arti secara harfiyyah: yang berkata

Adapun sipat-sipat yang belawanannya ada 20 sipat:

1. Adam arti secara harfiyyah: tiada


2. Huduts arti secara harfiyyah: baru
3. Fana arti secara harfiyyah: ruksak
4. Mumatsalatu lil hawaditsi arti secara harfiyyah: serupa dengan yang baru
5. Ihtiyaju arti secara harfiyyah: butuh
6. Taaddud arti secara harfiyyah: berbilang (lebih bilangannya)
7. Ajzu arti secara harfiyyah: lemah (tak berdaya)
8. Karohah arti secara harfiyyah: terpaksa
9. Jahlu arti secara harfiyyah: bodoh
10. Mautu arti secara harfiyyah: mati
11. Shomam arti secara harfiyyah: tuli
12. Umyun arti secara harfiyyah: lolong / buta
13. Bukmun arti secara harfiyyah: bisu
14. Ajizan arti secara harfiyyah: yang lemah (tak berdaya)
15. Karihan arti secara harfiyyah: yang terpaksa
16. Jahilan arti secara harfiyyah: yang bodoh
17. Mayyitan arti secara harfiyyah: yang mati
18. Ashomma arti secara harfiyyah: yang tuli
19. Ama arti secara harfiyyah: yang lolong
20. Abkama arti secara harfiyyah: yang bisu

Sedangkan perkara yang wenang dalam haqnya Alloh taala jumlahnya cuma ada satu, yaitu:

Mengerjakan atau meninggalkannya, pada setiap perkara yang MUMKIN adanya

Penjelasan : ma yajibu fi haqqir rusuli


Adapun perkara yang wajib didalam haqnya para rosul, semuanya ada empat, diantaranya:

1. Sidiq arti secara harfiyyah: benar


2. Amamnah arti secara harfiyyah: terpercaya
3. Fathonah arti secara harfiyyah: pintar = mahir (cepat mengerti)
4. Tabligh arti secara harfiyyah: menyampaikan

Adapun jumlahnya sipat yang mustahil didalam haqnya para rosul ada empat, yaitu:

1. Kidbu arti secara harfiyyah: dusta = bohong


2. Khiyanat arti secara harfiyyah: khiyanat (tidak jujur)
3. Biladah arti secara harfiyyah: dungu = bodoh
4. Kitmani arti secara harfiyyah: menyembunyikan

Adapun perkara yang wenang didalam haqnya para rosul, jumlahnya hanya satu, yaitu:

Yaitu sipat kamanusaan

Nah itulah yang diminta oleh (badul ikhwan), didalam risalah ini. Sehubungan dengan adanya
permintaan untuk menulis susunan tentang ilmu yang berkaitan dengan ketuhanan dan kerosulan,
baik perkara yang wajib, mustahil ataupun yang wenang, maka syekh imam Albajuri memenuhi
permintaannya.
Penjelasan.
Dalam kalimat (wabillahi taufiq), adalah merupakan suatu pernyataan:

Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Alloh yang maha tinggi dan maha agung

Penjelasan : yajibu
Yang namanya wajib disini ada beberapa bagian, diantaranya yaitu :
Wajib menurut hukum syara
Wajib menurut hukum ushul fiqih
Wajib menurut hukum aqli
Wajib menurut hukum adi (adat)

Nah dalam kalimat (wajib) disini, yaitu wajib menurut hukum syara (bagian fiqih).
Definisi wajib menurut hukum syara, yaitu:

Suatu perkara yang mana Alloh telah menjanjikan kepada orang yang mengerjakannya dengan
pahala, dan Alloh telah menjanjikan kepada orang yang meninggalkannya dengan siksaan

Dikarenakan marifat diwajibkan menurut hukum syara, maka pasti akan dapat pahala serta
terpenuhi syarat sahnya syahadat bagi orang yang marifat, sebaliknya pasti akan dikenakan
siksaan dan tidak akan sah syahadatnya bagi orang yang tidak marifat.

Yang keduanya ada yang namanya (wajib) menurut ushul fiqih, namanya (Ijab)
Definisi wajib menurut ushul fiqih, yaitu:

Mencari pekerjaan yang pasti

Adapun yang mewajibkan marifat, karena ada perintah didalam alquran, yang begini bunyinya:

Hai manusia, bertauhidlah kamu sekalian kepada robb kalian, Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa
(Surat 2 Al-Baqarah: 21)

Lapad (ubudu), ialah mencari itiqod yang pasti, hal ini sebagai bukti dan petunjuk pada
perkara yang wajib.
Lapad (ubudu), maksudnya ialah menunjukan suatu perintah kepada setiap yang namanya
manusia, untuk bertauhid serta marifat kepada robb, karena dalam ayat tersebut diatas yang (di-
khithoban) diajak dialog adalah yang namanya (annas) manusia. Maka tidak sah kalau di-
khithoban (ibadah) kalau belum bertauhid dulu. Tapi kalau andai kata ayat yang diatas tersebut
menggunakan kalimat (ya ayyuhal ladzina amanu), maka sah kalau di-khithoban untuk (ibadah),
karena sudah berada dalam keadaan iman.
Lapad (robbakum) disipati dengan kalimat (alladzi kholaqokum), kalimat ini menunjukan
bahwa marifat itu diharuskan dengan menggunakan dalil.
Yang ketiga wajib menurut hukum (aqli=akal) dan hukum (adi=adat), nah wajib inilah yang ada
hubungannya dengan ilmu aqoid iman, atau yang ada hubungannya dengan bahasan yang ada
dalam kitab ini.
Penjelasan : ala kulli mukallafin
Pertama, dalam bahasanya menggunakan kata (ala) bukan dengan kata ( li ), menunjukan
(wujub) bukan (hasan), Oleh karena itu maka wajib yang tidak bisa ditawar lagi, berbeda dengan
haq, ini masih bisa ditawar, gugur karena ridlo, gugur karena bodoh.

Yang kedua, ditambah lagi dengan kata (kulli), ini menunjukan pada:

Maksudnya ialah, setiap bagian dari jenisnya mukallaf wajib marifat, lelaki, perempuan, bangsa
dan suku apa saja, dimana saja berada, baik tahapan rendah, pinpinan, awam atau ulama, wajib
mengenal Alloh.

Yang ketiga, ditambahan lagi dengan kalimat (mukallafin), artinya yaitu orang yang telah
dibebani oleh perintah hukum syara. Tandanya, yaitu sudah balig serta punya akal, iman atau
tidak iman, tetap dikenakan wajib marifat. Kalimat (mukallafin) lapadnya (am=umum), nah oleh
karena umum, maka orang kafir disiksa kalau tidak marifat.

Penjelasan : an yarifa
Bilamana (fiil mudlore) kemasukan / disisipi (an masdariyyah) kedudukan makna dan
(tarkiban)-nya sama seperti (masdar), disini kedudukan (an ya'rifa) jadi (fail) maknanya sama
dengan (almarifat).

Kata (marifat) dalam tauhid sebagaimana definisi dalam ilmu tashowwuf, kata marifat dalam
ilmu tashowwuf yaitu iman tingkatan (arifin ilmul yaqin), (ainul yaqin), (haqqul yaqin).

Kata marifat dalam aqoid iman bukan sekedar mengetahui, bukan sekedar percaya, yang tahu
namanya ilmu, yang percaya namanya iman, tetapi yang nama marifat melebihi tahu serta
melebihi percaya, nah itu mutlaknya iman.

Pertama.
Adapun definisi marifat dalam aqoid iman, ialah:

Penemuan tekad yang pasti, sekira-kira tidak disertai keraguan

Kalimat yang ada hubungannya dengan kata (idrokun), dintaranya yaitu:


Khoyali, yaitu bayangan jiwa yang belum sampai pada tingkah kepercayaan.
Wahmun, yaitu sekilas bayangan kepercayaan yang kurang dari lima puluh persen.
Syak, yaitu iman, kepercayaan lima puluh persen.
Dhon, nyaitu iman, kepercayaan yang disertai sangkaan yang kuat yang melebihi dari lima
puluh persen, tapi kurang dari seratus persen.
Yaqin, yaitu termasuk dalam idrokun jazimun. ini yakin yang seratus persen.

Apabila, umpamanya kemarin (jazim), sekarang tidak (jazim), maka dimualai dari sekarang
hingga sebelum (jazim) tidak sah imannya, hukumnya murtad.

Kedua.
Selanjutnya mesti (muwafiqun lilwaqi'i), maksudnya ialah perkara yang ditekadkannya mesti
sesuai dengan buktinya. Seumpama tekadnya (idrokun jazimun). Imannya kepada Alloh, tapi
perkara yang ditekadinya tidak sesuai dengan buktinya, atau tidak sesuai dengan sipat-sipat
ketuhanan, menurut ahli sunnah, bukan marifat tapi kupur hukumnya, seperti tekadnya kafir
(mujassimah) dengan nekadkan (jazim) atas adanya Alloh, tapi Alloh yang ia tekadkan yang
bersemayan dalam dirinya sendiri. Atau seperti tekadnya kafir (fulasifah) yang menekadkan akan
adanya Alloh dengan (jazim), tapi yang ia tekadkan bahwa Alloh yang bersemayan didalam
alam.

Atau menekadkan dengan (jazim) bahwa Muhammad itu rosululloh (utusan Alloh), sedangkan
muhammad yang ia akui bukan muhammad bin abdulloh, tapi misalnya (mim ~ ha ~ mim ~ dal)
misalkan, (Mim)-nya kepala, (Ha)-nya tangan, (Mim)-nya perut, (Dal)-nya kaki.

Ketiga.
Selanjutnya harus (nasyiun an dalilin), artinya harus timbul dari dalil, dalil itu terbagi atas dua
bagian:

1. Dalil tafshili, yaitu dalil yang mendalam serta mendetil, dalil yang ini bisa untuk
menyerang atau menghancurkan aqidah yang batal. Pandangan hukum syara terhadap
dalil tafshili, para ulama berpendapat bahwa hukumnya fardlu kifayah.
2. Dalil ijmali, ulama ittifaq bahwa hukumnya adalah fardlu ain terhadap dalil ijmali. serta
dimasukan kedalam syarat marifat.

Ulama mujtahidin terhadap hukum syaranya terbagi menjadi lima pendapat:

Qoul yang pertama, golongan Imam Sanusi dan Imam Ibnul Arobi berpendapat bahwa
marifat tidak dengan dalil, maka hukumnya tidak sah imannya, baik orang pintar atau
orang bodoh, kapir hukumnya.
Qoul anu kedua, marifat tidak dengan menggunakan dalil, sah imannya, baik cerdas
ataupun bodoh, Cuma maksiat.
Qoul yang ketiga, marifat tidak disertai dengan dalil untuk orang yang bodoh, sah
imannya serta tidak maksiat, untuk orang yang cerdas sah imannya tapi dosa, qoul yang
ketiga ini dibuat sandaran oleh ahli aqoid, serta sah disebarkannya.
Qoul yang keempat, marifat tidak disertai dalil, tidak berdosa seumpamanya taqlid pada
quran dan hadits yang mutawatir.
Qoul yang kelima, marifat tidak disertai dalil, sah imannya serta tidak berdosa, malah
haram memikirkannya dalil, seumpama dalilnya tercampuri (fulasifah).

Penjelasan : ma yajibu
Maksudnya kata (ma) disini, yaitu perkara yang menunjukan pada macam-macam sipat yang dua
puluh yang wajib adanya di Alloh yang wajib dimarifatkannya, penjelasannya insya alloh yang
akan datang.

Kata wajib disini maksudnya wajib aqli bukan wajib syari bukan wajib adi.
Adapun definisinya wajib menurut akal, yaitu:

Perkara yang tergambarkan oleh akal ghorizi adanya perkara tersebut. Dan tidak tergambarkan
oleh akal ghorizi tidak adanya itu perkara
(Yakni perkara yang pasti adanya mustahil tidak adanya)

Adapun yang namanya aqal terbagi tiga bagian:


Aqal thobii, yaitu akalnya binatang yang tidak tahu tentang robb.
Aqal ghorizi, yaitu akalnya manusia yang bisa memisahkan antara haq dan batil, Dan
mengetahui serta paham atas keagungan Robb.
Aqal ruhani, yaitu akal yang bisa menyaksi terhadap (afal), (asma), (sipat) dan (dzat) Alloh.

Yang dimaksud oleh wajib menurut hukum aqli, bukan dari pertama adanya akal, atau bukan
dimana akal tidak ada terus wajibnya hilang, tapi maksudnya pasti selalu ada selamanya, cuma
akal yang menemukannya.

Aqli:
Adapun hukum aqal, yaitu menetapkan perkara yang lain, atau meniadakan perkara yang lain,
serta bukan pengaturan Alloh, serta bukan karena ukuran penemuan. Seperti menetapkan adanya
suatu pekerjaan, menandakan bahwa pasti adanya (orang) yang punya pekerjaan.

Hukum aqal itu ada tiga:

1. Wajib.
2. Mustahil.
3. Wenang.

Yang namanya hukum, yaitu menetapkan satu perkara pada perkara yang lain, atau meniadakan
perkara yang lain, seperti meniadakan perkara yang baru dari Alloh.

Adat.
Hukum adat, yaitu menetapkan perkara yang lain, atau meniadakan perkara dari yang lain,
dikarenakan sudah biasa kerap terjadi seperti itu, tetapi sah menyalahinya serta tidak ada
bekasnya, seperti menetapkan mesti adanya hangus dalam perkara yang bertemu kena api.

Pekerjaan Alloh didalam adat ada tiga rupa, yaitu:

Mewujudkan yang disambung.


Mewujudkan yang nyambung.
Menyambungkan.

Hukum adat tiga bagian, yaitu:

Wajib.
Mustahil.
Wenang.

Wajib.
Adapun yang namanya wajib menurut adat, yaitu yang mesti adanya, tak mengerti oleh adat
dalam tiadanya, dikarenakan sudah biasa kerap terjadi seperti itu, tapi sah menyalahinya serta
tidak ada bekasnya, seperti menetapkan mesti adanya hangus dalam perkara yang bertemu kena
api.

Mustahil.
Adapun yang namanya mustahil menurut adat, yaitu yang mesti tiadanya, tidak mengerti oleh
adat dalam tiadanya, dikarenakan sudah biasa kerap terjadi seperti itu, tapi sah menyalahinya
serta tidak ada bekasnya, seperti mesti tidak ada hangus dalam perkara yang bertemu api-tidak
kena.

Wenang.
Adapun yang namanya wenang menurut adat, yaitu mengerti ada dan tiadanya itu terpikirkan,
dikarenakan sudah biasa kerap terjadi seperti itu, tapi sah menyalahinya serta tidak ada bekasnya,
seperti berjualan, ada rugi ada untung.

Hukum adat wajib syari untuk dijaga dan dihormat.


Alloh berfirman:

Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya
(Surat 2 Al-Baqarah: 286)

Menurut ushul fiqih:

Hukum adat dipakai sebagai landasan hukum syara

Serta Alloh memperkuat dengan firmannya:


Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik
(Surat 2 Al-Baqarah: 195)

Adapun yang memperkuat bahwa adat tidak membawa bekas, yaitu firman Alloh dalam
alquran:

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi kami
(Surat 9 At-Taubat: 51)
(Yakni seperti makan tak membuat kenyang, kenyang bukan karena hasil makan, tapi Alloh yang
mengadakan makan serta membuat kenyang, makan dan kenyang adalah suatu ketentuan Alloh)

Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu
(Surat 37 Ash-Shaaffaat: 96)

Persambungan adat.
Nyambungnya adat itu ada empat, yaitu:

Ada ke ada, contohnya : adanya makan, maka kenyang ada.


Ada ke tidak ada, contohnya : adanya makan, maka lapar tidak ada.
Tidak ada ke tidak ada, contohnya : tidak ada makan, maka kenyang tidak ada.
Tidak ada ke ada, contohnya : tidak adanya makan, maka lapar ada.

Adapun yang namanya adat ketika bertemu dengan sabab dan musabab, maka sah menyalahinya
serta tidak ada bekasnya. Karena terjadinya semua keadaan, bukan karena sebab, tetapi
terjadinya semua itu oleh Alloh taala, Insya Alloh penjelasannya ada dalam sipat wahdaniyyat.

Penjelasan : fi haqqihi taala


Sipat dua puluh haq Alloh bukan sesuatu yang ditangguhkan terhadap keputusan para
mujtahidin, serta bukan haq yang ditangguhkan terhadap perkataannya para rosul, serta bukan
haq yang ditangguhkan terhadap adanya alam. Walaupun sama sekali ia Alloh tidak menciptakan
makhluk, akan tetapi ia Alloh tetap tersipati oleh sipat dua puluh.

Adanya sipat dua puluh yang ada di Alloh, ia tidak tergantung atas ditetapkannya atau dipercaya
oleh makhluk, andaikata semua makhluk tidak ada yang iman terhadap sipat yang dua puluh
yang ada di Alloh, maka tetap ia Alloh tersipati oleh sipat dua puluh, sebagaimana firmanNya
dalam alquran:
Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena
sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
(Surat 4 An-An-Nisaa: 170)

Ayat yang diatas memberitahukan bahwasannya dzat Alloh tidak membutuhkan apa-apa.
dikarenakan sipat dua puluh haq Alloh, Yakni tidak ada yang mempunyai sipat dua puluh kecuali
Alloh, maka mustahil makluk tersipati oleh sipat dua puluh, seumpamanya ada makhluk
menyerupai sipat dua puluh, kesamaannya cuma sekedar dalam sebutan saja (tasybih tasmiyyah),
karena pada hakikatnya (mukholafah = berbeda), contohnya Alloh kuasa, raja-pun kuasa,
kekuasaan Alloh tidak akan sama dengan kekuasaan raja.

Penjelasan : wa ma yastahilu
Maksud kata (ma) disini, yaitu perkara yang wajib dimarifatkan bagian kedua, yaitu berbagai
waranaan sipat yang mustahil di Alloh, tidaklah cukup marifat terhadap perkara yang wajib di
Alloh saja, kalau tidak memarifatkan terhadap rincian sipat yang mustahil di Alloh.Adapun
penjelasannya Insya Alloh yang akan datang.

Adapun definisinya Mustahil menurut aqli, yaitu:

Perkara yang tidak tergambarkan oleh akal ghorizi akan adanya, dan tergambarkan oleh akal
ghorizi akan tidak adanya

Penjelasan : wa ma yajuzu
Maksudnya kata (ma) disini, yaitu perkara yang wajib dimarifatkan bagian yang ketiga, yaitu
pada sipat yang (wenang) di Alloh, tidaklah cukup marifat dengan marifat yang wajib di Alloh
dan yang mustahil di Alloh saja seumpama tidak marifat terhadap sipat yang (wenang) di Alloh.

Adapun jumlahnya sipat wenang di Alloh cuma satu yaitu:

Berbuat pada setiap perkara yang mumkin/mungkin, atau meninggalkanya

(Mumkin) disini bukan (Mumkin) menurut hukum syara, juga bukan menurut hukum adat, tapi
(Mumkin) menurut hukum akal. Kalau mumkin menurut hukum syara, yaitu menceritakan pada
perkara yang dikerjakan dan tidak dikerjakan, atau tidak diberi pahala dan tidak disiksa.

(Mumkin) menurut hukum adat, yaitu kadangkala ada, kadangkala tiada, seperti nyalanya lampu
dan matinya lampu.
Definisinya (Mumkin) menurut hukum akal, yaitu:

Perkara yang tergambarkan oleh akal ghorizi adanya dan tidak adanya

Maksudnya, (Mumkin) adanya dan (Mumkin) tiadanya, walaupun hal tersebut yang dilarang
oleh hukum syara, seperti adanya kufur, atau yang lainnya seperti dibakar tidak hangus. Nah ini
semuanya hal yang (Mumkin) di Alloh. Insya Alloh penjelasannya yang akan datang.

Wujud

Wujud
( Sipat yang pertama yang wajib dalam haqnya Alloh taala )

Maka wajib dalam haqnya Alloh taala yaitu sipat wujud, adapun perlawanannya sipat wujud
ialah Aladamu (tidak ada Alloh). Sedangkan dalilnya yang menunjukan terhadap sipat
wujudnya Alloh adalah adanya beraneka ragam jenisnya makhluk

Penjelasan : fayajibu
Adapun kata wajib disini, yaitu wajib menurut hukum aqli, arti harfiyyahnya, pasti serta dapat
dipahami oleh akal ghorizi, bahwasannya sipat wujud ada buktinya, serta yang dimaksud oleh
wajib menurut akal, bukan semenjak adanya akal, atau bukan dimana akal tidak ada terus
wajibnya pun tidak ada, tapi maksudnya pasti serta dapat dipahami bahwa sipat wujud menetap
selamanya, hanya akal yang menemukannya.

Penjelasan : fi haqqihi taala


Wajib sipat wujud itu haq Alloh taala, bukan haq orang yang menyebut, karena wujud haq
Alloh, maka pasti wujudnya Alloh tidak tergantung akan dipercaya oleh makhluk, walaupun
makhluk tidak ada yang iman, walaupun rosul tidak diutus, walaupun alam tidak diciptakan,
maka tetap Alloh itu wujud.

Adapun yang namanya wujud terbagi atas tiga bagian, yaitu:

Wujud idlofi. Adanya satu perkara bersandar atas perkara yang lainnya, seperti adanya
bapak menyandar atas adanya anak, atau adanya anak bersandar atas adanya bapak, dan
yang serupa dengan itu.
Wujud aridli. Adanya satu perkara didahului oleh tidak ada dulu, seperti adanya langit,
bumi, surga, neraka, dan yang serupa dengan itu.
Wujud dzati / haqiqiq. Adanya satu perkara tidak bersandar atas perkara lain, juga tidak
didahului oleh tidak ada dulu serta tidak diujungi oleh tiada. Yaitu adanya dzat Alloh.

Karena wujudnya Alloh wujud haqiqi/dzati, maka adanya Alloh tidak bersandar atas adanya
alam, walaupun alam tidak ada, tetap Alloh tersipati oleh sipat wujud, begitu pula bahwa
wujudnya Alloh buka wujud (aridli), dalam arti wujudnya Alloh tidak didahului dan tidak
diujungi oleh tiada.

Adapun perkara yang wujud bisa ditemukan oleh dua perkara:

Hissi
Aqli

Pertama oleh hissi.


Perkara yang wujud bisa ditemukan oleh (hissi), yaitu oleh panca-indra:

Ditemukan oleh mata, seperti adanya terang.


Ditemukan oleh telinga, seperti adanya suara.
Ditemukan oleh hidung, seperti adanya bau.
Ditemukan oleh lidah, seperti adanya rasa.
Ditemukan oleh telapak tangan, seperti adanya kasar atau lembut.

Kedua oleh aqli.


Perkara yang wujud bisa ditemukan oleh aqli, yaitu oleh akal, seperti :

Adanya ilmu
Adanya bodoh.
Adanya pintar.
Adanya bahagia.
Adanya susah dan perkara seperti itu.

Setiap wujudnya yang diciptakan, pasti akal menemukan wujudnya yang menciptakan, oleh
wujudnya alam atau makhluk, akal menemukan pada wujud yang menciptakan, kemampuhan
akal cuma sebatas menemukan adanya dzat yang menciptakan (robb), adapun menemukan robb
yang dinamai Alloh, itu bukan hasil dari akal, tapi pemberian wahyu / ilham.

Adapun sipat wujud namanya sipat (nafsiyyah), artinya sipat yang menetap yang menunjukan
akan adanya dzat Alloh dari (zaman ajalli), bukan sipat yang bangsa tiada, bukan sipat yang
menunjukan pada yang menetap (ngancik:sunda) didalam dzat, bukan sipat yang bangsa
anggapan (rekenan:sunda). Isinya sipat (nafsiyyah) cuma satu yaitu wujud.

Sipat yang bangsa tiada, namanya sipat (salbiyyah), seperti sipat qidam artinya (tidak ada)
permulaannya.
Sipat yang bangsa menetap didalam dzat, namanya sipat (maani), seperti qudrot (hinggap) di
dzat Alloh.
Sipat yang bangsa anggapan yaitu sipat (manawiyyah), seperti Alloh (qodiron = kuasa jadi
(yang) kuasa.

Dan cukup untuk orang mukallaf ialah mengetahui sesungguhnya Alloh taala yang maujud serta
tingkahnya ada tur pasti, serta tidak diwajibkan bagi orang mukallaf untuk mengetahui atas
wujudnya Alloh itu, apa (ainushshifat) atau (ainudzdzat), karena termasuk:

Dari dalam-dalamnya ilmu kalam/tauhid

Sorotan hukum syara terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat wujud.

Hukum syara mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan
terhadap wajib wujudnya Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap
wajib wujudnya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa orang yang
mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib wujudnya di Alloh, serta di cap orang
kafir dengan perintah syara:

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah
(Surat 47 Muhammad: 19)

Hukum syara mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas
mustahil adamnya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas wajib wujudnya di Alloh
saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahil adamnya di Alloh.
Hukum syara memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan
firman Alloh didalam alquran:

Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah."


(Surat 13 Ar-Rad: 16)

Penjelasan : dlid
Maksud perlawanannya sipat wujud ialah (aladamu), artinya tidak ada Alloh, karena wujudnya
Alloh wajib, maka tidak adanya Alloh pasti (mustahil)nya.

Kata (dlid) menurut (istilah) yaitu, dua perkara yang tidak bisa kumpul dua-duanya, juga bisa
hilang dua-duanya, seperti putih dan hitam tidak akan ada dalam satu titik saja, putih dan hitam
bisa hilang dua-duanya digilir oleh merah.
Kata (dlid) menurut (lughot) yaitu, dua perkara yang tidak bisa kumpul kedua-duanya, dan tidak
bisa hilang dua-duanya, seperti kata wujud dengan adam, dua kata yang tidak akan bisa
berkumpul dalam satu dzat, serta tidak akan hilang dua-duanya, karena tidak akan ada satu
perkara didalamnya satu sebutan, ia ada ia juga tiada, dan tidak bisa keberadaanya hilang dua-
duanya. Nah itulah arti dhid menurut lughot ia (naqidh = kurang) menurut (istilah). Karena
wujud dengan (adam) (wajibul wujud) dan (muhal wujud) maka tidak akan kumpul dua-duanya,
serta tidak akan hilang dua-duanya. Oleh karena itu maka dhid dalam ilmu aqoid ialah dhid
menurut (lughot) (naqidh) menurut (istilah), karena tidak ada pihak ketiga.

Dan, yang namanya (dlid) disini, ialah perlawanan (wujud dzati) yang dikatagorikan mustahil di
Alloh, yaitu:

Wujud 'aridli, yaitu perkara yang baru adanya.


Wujud idlofi, yaitu adanya perkara karena bersandar terhadap perkara yang lainnya.
Wujud zamani, yaitu adanya perkara karena terkurung oleh waktu.
Wujud hissi, yaitu adanya perkara karena diketahui oleh panca indra.
Wujud aqli, yaitu adanya perkara karena diketahui oleh akal.
Wujud mumatsalah, yaitu adanya perkara karena menyeruapainya.
Wujud muthlaq, yaitu tidak adanya, hal yang mutlak/murni.
Adam qoblal wujud, yaitu tidak adanya, sebelum ada.
Adam ba'dal wujud, yaitu tidak adanya, sesudah ada.
Adam bainal wujudaini, yaitu tidak adanya, ditengah-tengah yang dua kali wujud. Nah
ini semuanya perkara yang mustahil di Alloh, karena hakikatnya adamun madumun dari
tidak ada bakal tidak ada.

Penjelasan : waddalilu ala dzalika


Maksudnya (waddalilu ala dzalika) yaitu dalil yang menunjukan terhadap wujudnya Alloh.

Dalil dilihat dari isi terbagi atas dua bagian:

Dalil ijmali, yaitu dalil garis besar. Mengetahuinya terhadap dalil ijmali menurut hukum
syara termasuk (fardhu ain).
Dalil tafshili, yaitu dalil yang mendetail. Mengetahuinya terhadap dalil tafsili menurut
hukum syara termasuk (fardhu kifayah). Adapun dalil dalam kitab tijan termasuk dalil
ijmali.

Dalil dibagi lagi dilihat dari perjalanannya, dibagi dua bagian:

Dalil aqli yaitu, yang perjalanannya menggunakan dari hukum akal, serta akal yang
digunakannya, yaitu akal ghorizi bukan akal thobii.
Dalili naqli yaitu, perjalanannya yang bersumber dari alquran dan alhadits, yang
menggunakan dalil naqli khusus orang mukmin, adapun orang kafir tidak bisa diberi
keterangan alquran dan alhadits, karena terhadap alquran dan alhaditsnya juga belum
percaya. Berbeda dengan dalil aqli, yaitu dalil yang ada dalam kitab tijan, supaya bisa
mengerti terhadap hatinya orang kafir.
Adapun yang namanya dalil yaitu alamat atau tanda, definisinya yaitu:

Tatkala diketemukan yang memberi tanda, pasti diketemukan yang ditandai, tidak usah ada
tandanya

Dikarenakan dalil jadi alamat, maka adanya makhluk jadi tanda terhadap adanya Alloh, setiap
ada yang menciptakan pasti ada yang diciptakan, tetapi bagi Alloh mumkin untuk tidak
menciptakan makhluk. Berbeda dengan yang namanya tarif, kalau tarif itu ialah:

Tatkala diketemukan tarif, pasti ada yang ditarifan


Seperti (dzakar) tarifnya (rojul), ada dzakar ada rojul, ada rojul pasti ada dzakarnya. Adapun
makhluk adalah alamat terhadap adanya Alloh bukan tarif atas adanya Alloh.

Kesimpulannya, wujudnya Alloh tidak memerlukan dalil, Cuma imannya orang mumin
memerlukan dengan memakai dalil supaya yakin.

Kenapa dalam setiap sipat yang wajib di Alloh selalu menggunakan dalil, yaitu untuk
menyempurnakan marifat, karena diantara syaratnya marifat mesti mengetahui terhadap dalil.

Penjelasan : dalil
Adapun dalilnya sipat wujud yaitu:

Dalil dari aqli, yakni dalil aqli-nya bahwa Alloh tersipati oleh sipat wujud, yaitu:

Adanya beraneka ragam jenisnya makhluk

Dalil dari naqli-nya.

Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
(Surat 32 As-Sajdah: 4)

Qidam
Qidam
(Sipat yang kedua yang wajib dalam haqnya Alloh taala)

Dan wajib dalam haqnya Alloh taala yaitu sipat qidam (tidak ada permulaannya), adapun
maknanya sipat qidam "sesungguhnya (Alloh) tidak ada permulaannya terhadap Alloh taala.
Sedangkan perlawanannya sipat qidam yaitu huduts (baru). Adapun dalilnya terhadap sipat
qidam (yaitu) "Sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh) halnya yang baru pasti membutuhkan
(Alloh) terhadap sesuatu yang memperbaru, sedangkan kalau Alloh membutuhkan atas sesuatu
yang memperbaru pasti mustahil"

Penjelasan.

Qidam : dahulu kala / pemula.

Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut
(salbiyah)-nya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa keberadaannya Alloh
tidak ada permulaannya.

Adapun yang namanya qidam terbagi atas tiga bagian, yaitu:

Qidam idlofi, yaitu permulaanya satu perkara karena disandarkan terhadap perkara
lainnya, seperti permulaannya bapak disandarkan terhadap anak.
Qidam zamani, yaitu permulaannya satu perkara yang terliputi oleh zaman, seperti
permulaannya langit dan bumi karena sudah lama pada zaman adanya.
Qidam haqiqi, yaitu permulaannya satu perkara bukan disandarkan terhadap perkara
yang lainnya, serta bukan permulaannya terliputi oleh zaman, tapi permulaannya bukan
asalnya tidak ada dulu, dalam arti tidak ada permulaannya. Yakni qidamnya dzat Alloh.

Karena qidam-nya Alloh, qidam haqiqi, maka qidamnya Alloh tidak membutuhkan pada sesuatu
yang memperbaru, karena seumpamanya Alloh membutuhkan pada sesuatu yang memperbaru,
maka akan menimbulkan (daur) atau (tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.

Adapun definisi daur dan tasalsul:

1. Definisi daur, yaitu:


Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, yang mana perkara yang lainnya itu
menunggu atas adanya itu perkara
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua
menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas
adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.

2. Definisi tasalsul, yaitu:

Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara
yang tidak ada ujungnya (terhadap perkara tersebut)
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua
diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-
terusan menyambung / estafet tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.

Sorotan hukum syara terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qidam:

Hukum syara mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan
terhadap wajib qidamnya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan
terhadap wajib qidamnya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa orang
yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib qidamnya di Alloh, serta di cap
orang kafir.
Hukum syara mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas
mustahil hudutsnya di Alloh dan barunya semua makhluk, karena tidak sah menekadkan
atas wajib qidamnya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahilnya
hudutsnya di Alloh, serta barunya semua makhluk.
Hukum syara memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan
firman Alloh didalam alquran:

Dialah yang Awal dan yang Akhir, dan yang Zhahir dan yang Bathin
(Surat 57 Al-Hadid: 3)

Penjelasan : wamanahu
Maksud kata (wamanahu) disini ialah, mengungkapkan bahwa sipat qidam itu (adamiyyah)
dalam arti, ia yang menjadi sipat oleh tidak adanya, contoh sipat qidam, artinya "tidak ada"
permulaannya. Juga sipat qidam itu bukan (tsubutiyyah) ungkapan yang menetap ada buktinya,
serta ungkapan (tsubutiyyah) menunjukan untuk selain qidam haqiqi, maka tidak sah
diungkapkan kepada Alloh dengan ungkapan dari dulu (keberadaannya) Alloh, karena ungkapan
seperti itu namanya ,(tsubutiyyah) Dalam kata "alqidam" memakai huruf (Alif & Lam),
menunjukan bahwa qidam di Alloh itu ialah qidam haqiqi, yakni hakikatnya qidam.

Adapun sipat qidam di Alloh termasuk sipat (salbiyyah), yaitu sipat yang tercabut, ia jadi sipat
oleh tidak adanya, jadi hakikat qidam di Alloh tidak ada permulaan. Dari mulai sipat qidam
sampai sipat wahdaniyyat semuanya disebut sipat (salbiyyah).

Oleh karena itu dalam qidamnya Alloh bukan karena disandarkan atas adanya alam, serta bukan
karena tidak ada yang mengetahui permulaan adanya, tapi qidamnya Alloh karena tidak
didahului oleh tidak ada dulu, kalau qidam idlofi dan qidam zamani semuanya itu pada
hakikatnya tetap dinamakan baru.

Penjelasan : wa dlidduhu
Kata (dlid) disini, maksudnya sama seperti yang telah disampaikan dalam bab perlawanan sipat
wujud, ialah (dlid) menurut (lughot) (naqidl) menurut (istilah), yang artinya yaitu, dua perkara
yang tidak akan bisa kumpul bersamaan adanya, serta tidak akan hilang bersamaan tidak adanya,
pasti kalau "qidam" wajib wujudnya, (huduts) mustahil tidak adanya.

Penjelasan : alhudutsu
Maksudnya ialah perlawanannya sipat qidam, yaitu (alhudutsu) artinya baru. Karena qidamnya
Alloh wajib maka (alhudutsu)-nya juga pasti mustahil, oleh karena itu tidak sah menekadkan
qidamnya Alloh saja kalau tidak disertai menekadkan terhadap barunya makhluk.

Adapun yang namanya (alhudutsu) terbagi atas tiga bagian:

Huduts zamani, yaitu, baru waktu adanya, yang terliputi oleh zaman.
Huduts idlofi, yaitu barunya satu perkara karena disandarkan atas perkara lainnya.
Huduts haqiqi, yaitu barunya satu perkara karena keberadaannya tidak ada dulu.

Pejelasan : wa dalilu
Yang dimaksud dalil disini, yaitu dalil aqli yang bangsa ijmali, bukan dalil aqli tafshili, juga
bukan dalil naqli dari alquran atau alhadits.

Kata mushonnif begini:

Sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh) halnya yang baru pasti membutuhkan (Alloh) terhadap
sesuatu yang memperbaru, sedangkan kalau Alloh membutuhkan pada sesuatu yang memperbaru
pasti mustahil

Baqo'

Baqo'
(Sipat yang ketiga yang wajib dalam haqnya Alloh taala)

Dan wajib dalam haqnya Alloh taala yaitu sipat baqo (kekal :tidak ada ujungnya), adapun
maknanya sipat sipat baqo "sesungguhnya bahwa Alloh taala tidak ada ujungnya bagi Alloh".
Sedangkan dalil yang menunjukan atas sipat baqonya Alloh, ialah "Sesungguhnya kalau terbukti
(Alloh) hal keberadaanNya ruksak pasti bukti (Alloh itu) hal-nya baru, sedangkan kalau
keberadaanNya baru tentunya mustahil"
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut
salbiyyahnya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa keberadaannya Alloh
tidak ada ujungnya.

Adapun yang namanya baqo terbagi atas tiga bagian, yaitu:

Baqo zamani yaitu, kekalnya satu perkara yang terliputi oleh zaman, seperti kekalnya
surga dan neraka.
Baqo nisbi yaitu, kekalnya satu perkara dibandingkan dengan perkara lainnya, seperti
kekalnya waja dibandingkan dengan kayu, kekalnya bumi dibandingkan dengan yang
mendiaminya.
Baqo haqiqi yaitu, kekalnya satu perkara bukan karena lama zamannya, juga bukan
karena dibandingkan atas perkara lainnya, tapi kekalnya tidak ada ujungnya, juga tidak
terkena oleh ruksak, yakni kekalnya dzat Alloh.

Dikarenakan baqonya Alloh baqo haqiqi, maka baqonya Alloh tidak akan terkena oleh ruksak
serta tidak diujungi oleh tiada. Dan seumpamanya Alloh terkena oleh ruksak dan diujungi oleh
tiada, pasti wujudnya Alloh (mumkin), kalau wujudnya Alloh (mumkin) pasti keberadaannya
Alloh tidak ada dulu, kalau keberadaannya tidak ada dulu pasti menimbulkan (daur) atau
(tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.

Adapun definisi daur dan tasalsul:


1. Definisi daur, yaitu:

Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu
menunggu atas adanya itu perkara
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua
menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas
adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.

2. Definisi tasalsul, yaitu:

Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara
yang tidak ada ujungnya (akan perkara tersebut)
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua
diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-
terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.

Sorotan hukum syara terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qidam:

Pertama, hukum syara mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti
menekadkan terhadap wajib baqonya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau
menekadkan terhadap wajib baqonya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan
disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib baqonya di
Alloh, serta di cap orang kafir.
Kedua, hukum syara mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas
mustahil fananya di Alloh, dan atas ruksaknya semua makhluk, karena tidak sah
menekadkan atas baqonya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas mustahil fananya
di Alloh, dan ruksaknya semua makhluk. Firman Alloh dalam alquran:

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan
(Qs 55 Arrahman: 26 - 27)

Terkecuali ada delapan perkara yang tidak akan ruksak, oleh (tahshish)-nya hadits:

1. Qolam.
2. Lauhul mahfudh.
3. Arasy.
4. Kursi.
5. Ruhani.
6. Neraka.
7. Surga,
8. Tulang ekor manusia.
Nah itu semua tidak akan terkena oleh ruksak tapi sipatnya (baqo zamani = kekalnya karena
terliputi oleh zaman), dan keberadaannya juga (badal adam = adanya sesudah tidak ada dulu).

Ketiga, hukum syara memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal,
dengan firman Alloh dalam alquran:

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah


(Qs 28 Al-Qashash: 88)

Penjelasan : wa manahu
Maksud dari (wa manahu) disini ialah, mengungkapkan bahwa sipat baqo itu (adamiyyah)
dalam arti, yang menjadi sipat oleh tidak adanya, contohnya seperti sipat (baqo = tidak ada
ujungnya). Juga sipat baqo itu bukan (tsubutiyyah = ungkapan yang menetap ada buktinya),
serta ungkapan (tsubutiyyah) ini menunjukan untuk bukannya baqo haqiqi, maka tidak sah
diungkapkan kepada Alloh dengan ungkapan kata (kekal), karena ungkapan seperti itu adalah
ungkapan (tsubutiyyah).

Dalam kalimah (albaqo) memakai hurup (Alif & Lam) (lilhaqiqot), menunjukan bahwa baqo di
Alloh itu ialah baqo haqiqi, yakni hakikatnya baqo, Dan sipat baqo di Alloh termasuk jadi
sipat (salbiyyah = sipat yang tercabut), ia jadi sipat oleh tidak adanya. Jadi bahwa hakikatnya
sipat baqo di Alloh adalah (tidak ada ujungnya).

Dalam bahasan sipat baqo mushonnif tidak menyebutkan dengan kalimat (wadlidduhul fanau =
dan perlawanannya sipat baqo, yaitu ruksak), karena sudah menjadi kepastian apabila Alloh
baru, sudah pasti terkena oleh ruksaknya, dan bakal diujungi oleh tidak adanya, serta pasti
keberadaannya Alloh jadi hal yang (mumkin), kalau wujudnya (mumkin), pasti keberadaanya
jadi baru, alias tidak ada dulu. Seumpama barunya sudah ter(mustahil)kan, maka sudah jadi
kepastian (fana)-nya juga sudah ter(mustahil)kan, karena (fana) sudah ter-indiroj (terjepit)
dalam muqoddam dalil = pembukaan dalil) yaitu (lau kana faniyan).

Dalilnya sipat Baqo':

Sesungguhnya kalau terbukti (Alloh) hal keberadaanNya ruksak pasti bukti (Alloh itu) hal-nya
baru, sedangkan kalau keberadaanNya baru tentunya mustahil

Yang dimaksud dalil diatas tadi, yaitu dalil aqli yang bangsa (ijmali), bukan dalil (aqli tafshili),
juga bukan dalil naqli dari alquran atau alhadits.

Mukholafatu lilhawaditsi
Mukholafatu lilhawaditsi
(Sipat yang keempat yang wajib dalam haqnya Alloh taala)

Dan wajib dalam haqnya Alloh taala yaitu sipat Mukholafatu lilhawaditsi, adapun maknanya
sipat mukholafatu lilhawaditsi yaitu "sesungguhnya Alloh taala tidak ada keberadaanNya
menyerupai atas perkara yang baru". Maka dari itu tidak ada (dinafikan) terhadap Alloh seperti
tangan, serta tidak ada mata dan tidak ada telinga dan juga tidak ada perkara yang seperti
diceritakan tadi dari berbagai sipat yang baru. Adapun perlawanannya sipat mukholafatu
lilhawaditsi, yaitu sipat mumatsalah (menyerupai yang baru). Sedangkan dalilnya terhadap sipat
mukholafatu lilhawaditsi "sesungguhnya jika terbukti (Alloh) halnya yang menyerupai akan
perkara yang baru maka terbukti (Alloh) hal yang baru, sedangkan kalau Alloh baru pasti
mustahil"

Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut
(salbiyyah)-nya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal (ghorizi) bahwa keberadaannya Alloh
tidak ada titik persamaan antara Alloh dengan makhluknya, kalau seandainya Alloh ada titik
persamaan, pasti Alloh itu baru.

Sebelum keadaan yang (hawadits) ada, Alloh sudah tersipati oleh mukholafatu lilhawaditsi, yang
sudah ada dalam ilmunya Alloh, ialah setiap makhluk yang ter-(taaluq) oleh (shuluhi qodim)
qudrotnya Alloh. Jadi sipat mukholafat lilhawaditsi di Alloh tetap qodim tidak ter-(hawadits)-kan
oleh (hawadits).

Adapun sipat (mukholafatu lilhawaditsi) di Alloh termasuk sipat (salbiyyah), yaitu sipat yang
tercabut atas perkara yang tidak pantas ada di Alloh, juga jadi sipat oleh tiadanya. Jadi artian dari
sipat (mukholafatu lilhawaditsi) yaitu, tidak ada tandingannya terhadap Alloh, ia adalah (adamu
mumatsalah : tidak ada yang menyerupai).

Sorotan hukum sara terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat mukholafatu
lilhawaditsi:
Pertama hukum syara mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti
menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh dengan resiko diberi
pahala kalau menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh serta
terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan
terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
Kedua hukum syara mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas
mustahil (mumatsalah)nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas mukholafatu
lilhawaditsinya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas (mumatsalah)nya di Alloh.
Ketiga hukum syara memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal
dengan firmannya:

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat
(Qs 42 Asy-Syura: 11)

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia


(Qs 112 Al-Ikhlash: 4)

Penjelasan : wa ma'nahu
Disini mushonnif memberi contoh bahwa terhadap Alloh tidak ada tangan, tidak ada mata, tidak
ada telinga dan tidak ada perkara yang sejenisnya.

Apabila ada (nash) dalam alquran atau dalam alhadits yang "cenderung" atau "hampir", bahwa
Alloh menyerupai makhluk, hal tersebut ada dua sorotan:

Pertama. Menurut ulama kholaf, (nash) alquran dan alhadits mesti di(tawil), dengan
kata lain mesti disalurkan dengan makna yang layak terhadap Alloh.
Kedua. Menurut ulama salaf, (nash) alquran dan alhadits mesti di-(tawidl), dengan kata
lain nash ini mesti dibekukan serta diserahkan kepada Alloh maknanya, karena khawatir
menyalahi makna serta tujuannya (nash) tersebut.

Contoh nash yang menyerupai terhadap Alloh.

yadulloh, asal arti tangan Alloh.


ainulloh, asal arti mata Alloh.
wajhulloh, asal arti wajah Alloh.

Kalau seandainya Alloh menyerupai pada perkara yang baru, pasti Alloh itu (jauhar), kalau
Alloh (jauhar) pasti akan terkena oleh (arodh = baru), kalau seandainya Alloh itu baru, (talazum)
dengan barunya. Kalau keberadaanya Alloh seperti itu pasti akan menimbulkan (daur) atau
(tasalsul), yang keduanya mustahil bagi Alloh.

Adapun definisi daur dan tasalsul:


1. Definisi daur, yaitu:

Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu
menunggu atas adanya itu perkara
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua
menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas
adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.

2. Definisi tasalsul, yaitu:

Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara
yang tidak ada ujungnya (akan perkara tersebut)
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua
diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-
terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.

Dalil aqlinya sipat Mukholafatu lilhawaditsi:

Sedangkan dalilnya terhadap sipat mukholafatu lilhawaditsi "sesungguhnya jika terbukti


(Alloh) halnya yang menyerupai akan perkara yang baru maka terbukti (Alloh) hal yang baru,
sedangkan kalau Alloh baru pasti mustahil"

Qiyamuhu Binafsihi

Qiyamuhu Binafsihi
(Yaitu sipat yang kelima yang wajib dalam haqnya Alloh ta'ala)
Dan wajib dalam haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat alqiyamu binnafsi, adapun maknanya
alqiyamu binnafsi, yaitu sesungguhnya Alloh ta'ala tidak membutuhkan terhadap tempat dan
tidak membutuhkan siapapun yang menentukannya, adapun perlawanannya sipat alqiyamu
binnafsi yaitu al-ihtiyaju (butuh) terhadap tempat serta butuh terhadap yang menentukan.
Sedangkan dalilnya yang memperkuat atas sipat alqiyamu binnafsi "sesungguhnya (Alloh)
seandainya kalau membutuhkan tempat maka terbukti bahwasannya Alloh hal-nya jadi sipat,
kalau seandainya keberadaan Alloh hal-nya jadi sipat pasti mustahil. Selanjutnya kalau Alloh
butuh terhadap sesuatu yang menentukanNya maka terbukti (Alloh) halnya baru, dan jikalau
keberadaannya (Alloh) halnya yang baru pasti mustahil"
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut
salbiyahnya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak
membutuhkan dzat atau orang yang menciptakanNya, serta adanya Alloh tidak membutuhkan
terhadap sesuatu untuk "bertempat" (mendiami = menetap).

Yang dimaksud oleh kata (alqiyamu binnafsi) disini, bukannya Alloh berdiri yang asalnya tidak
ada lalu dengan sendirinya menjelma. Tapi yang dimaksud oleh (alqiyamu binnafsi) yaitu Alloh
berdiri sendiri oleh dzatNya sendiri, serta yang dimaksud dengan berdiri sendiri disini, yaitu:

Adanya tidak membutuhkan dzat atau orang yang menciptakan.


Adanya tidak membutuhkan dzat atau orang yang menentukan.
Adanya tidak membutuhkan suatu tempat untuk berdiam diri atau menetap.

Sipat (alqiyamu binnafsi) termasuk salah satu sipat salbiyah yakni adamiyah yang menjadi sipat
oleh "tiada"nya, oleh karena itu hakikat wujudnya dzat Alloh tidak membutuhkan tempat untuk
besemayan atau berdiam diri atau menetap, serta tidak membutuhkan siapapun yang
menentukanNya.

Pejelasan : wa ma'nahu
Seumpamanya Alloh membutuhkan terhadap dzat atau seseorang yang menciptakan, atau
membutuhkan suatu tempat untuk bersemayan, maka akan menimbulkan daur atau tasalsul yang
keduanya mustahil terhadap Alloh.

Adapun definisi daur dan tasalsul:


Definisi Daur:

Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, yang mana perkara yang lainnya itu
menunggu atas adanya itu perkara

Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua
menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas
adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.

Definisi Tasalsul:

Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara
yang tidak ada ujungnya (akan perkara tersebut)

Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua
diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-
terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.

Karena makna (alqiyamu binnafsi) tidak butuh tempat untuk bersemayan, maka tercabut dari
Alloh semua perkara yang meliputi pertanyaan "DIMANA", serta semua jawabannya dari jihat
yang 10 (sepuluh):

1. Depan
2. Belakang
3. Kiri
4. Kanan
5. Atas
6. Bawah
7. Luar
8. Dalam
9. Nempel
10. Pisah

Oleh karena Alloh tersipati oleh sipat (alqiyamu binnafsi), maka batal i'tiqod yang menekadkan
bahwa Alloh bersemayan di arasy, karena:
1. Seumpama Alloh bersemayan di arasy, tentunya Alloh butuh dengan arasy untuk berdiam diri,
arasy-nya juga harus qodim serta serba maha karena akan ditempati serta dipakai untuk berdiam
oleh dzat yang qodim yang serba maha, sedangkan mustahil ada mekhluk yang melebihi dari
dzat yang serba maha.

2. Bertentangan dengan ayat:

Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi
(Qs 43 Az-Zukhruf: 84)

3. Bertentangan dengan ayat:

Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah


(Qs 2 Al-Baqarah: 115)

4. Bertentangan dengan ayat:

padahal Allah mengepung dari belakang mereka yang meliputi


(Qs 85 Al-Buruuj: 20)

5. Bertentangan dengan ayat:

Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,


(Qs 50 Qaaf: 16)

6. Bertentangan dengan ayat:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),


bahwasanya Aku adalah dekat
(Qs 2 Al-Baqarah: 186)

7. Bertentangan dengan ayat:


Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan tidak tidur
(Qs 2 Al-Baqarah: 255)

8. Bertentangan dengan ayat:

Dan, Dia bersama kamu di mana saja kamu berada


(Qs 57 Al-Hadiid: 4)

Adapun firman Alloh yang dimaksud dalam surat (20 Thaahaa ayat 5), begini:

Adapun Arrahman (Tuhan Yang Maha Pemurah), menata (miyara=sunda) terhadap `Arasy
Makna tersebut adalah makna hakiki bukan makna majazi, karena makna istawa mempunyai 2
(dua) makna hakiki:

1. Makna qorib (dekat), makna yang sering dipakai, makna yang qorib ini dimustahilkan
oleh ayat-ayat yang telah disebutkan tadi (dari 2 sampai 8).
2. Makna ba'id (jauh), makna yang jarang dipakainya, makna yang ini sesuai dan pas tidak
bertentangan dengan ayat-ayat yang disebutkan tadi (dari 2 sampai 8)

Oleh karena itu, kalau seandainya menemukan satu lapad yang mempunyai dua makna
(qorib&ba'id) terus dipakai dengan makna ba'id, maka kalam tersebut termasuk (kalamun badi'un
tauriyyah) artinya suatu ungkapan yang indah.

Adapun jawaban Rosul ketika ditanya oleh seorang nenek-nenek, katanya:

Dimana Alloh itu ? Rosul menjawab - diatas

Jadi kalimat _fissama'_ itu,


Bilamana dipakai dengan makna qorib, maka makna tersebut akan lahir dengan artian "di langit"
Bilamana dipakai dengan makna ba'id, maka makna tersebut akan lahir dengan artian "di atas"

Oleh sebab itu, apabila kalimat "fissama'" seandainya dimaknaan dengan makna qorib akan
menimbulkan pertentangan dengan ayat-ayat yang lainnya (seperti yg telah disebutkan diatas),
maka kalimat "fissama'" dipakai dalam makna ba'id (dengan artian-diatas). Oleh karena makna
"diatas" masih mengandung makna ikhtimal (adanya kemungkinan yang lain), maka makna
"diatas" harus dita'wil/disalurkan.

Jadi artian __*Ainalloh? qola fissama'*__ begini arti keseluruhannya "Dimana Alloh itu? Rosul
menjawab, ada diatas dalam martabatnya, dalam kekuasaanya" . tegasnya _fauqo kulli syai'in =
diatas segala perkara_ Seperti firman Alloh dalam alqur'an:

Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya


(Qs 6 Al-Anam: 18 & 61 )

Jadi yg dimaksud dengan kalimat __di-ATAS itu__ bukan menunjukan terhadap tempat, sebab
Alloh tidak bertempat, tapi menunjukan diatas martabat kedudukan N kekuasaan Alloh.

Sorotan hukum syara terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qiyamuhu binafsihi:

Hukum syara mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan
terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau
menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya
iman. Dan disiksa orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib qiyamuhu
binafsihi-nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
Hukum syara mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas
mustahil ihtiaju-nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas wajib qiyamuhu
binafsihi-nya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahilnya ihtiaju-nya
di Alloh.
Hukum syara memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan
firman Alloh didalam alquran:

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup serta Yang Berdiri
sendiri
(Qs 2 Al-Baqarah: 255)

Dalil aqli-nya sipat alqiyamu binnafsi:


Sedangkan dalilnya yang memperkuat atas sipat alqiyamu binnafsi "sesungguhnya (Alloh)
seandainya kalau membutuhkan tempat maka terbukti bahwasannya Alloh hal-nya jadi sipat,
kalau seandainya keberadaan Alloh hal-nya jadi sipat pasti mustahil. Selanjutnya kalau Alloh
butuh terhadap sesuatu yang menentukanNya maka terbukti (Alloh) halnya baru, dan jikalau
keberadaannya (Alloh) halnya yang baru pasti mustahil"

Dalam dalil aqli ini, ada kalimat (Alloh halnya jadi sipat), maksudnya yaitu:

Alloh adalah Dzat bukan sipat.


Dzat tidak akan berdiri didalam dzat.
Dzat tidak akan berdiri didalam sipat.
Sipat tidak akan berdiri didalam sipat.

Jadi yang benar, adalah sipat yang berdiri didalam dzat, contohnya ada sebuah tembok yang
warnanya hijau, tembok itu adalah dzat yang disipati oleh sipat hijau, warna hijau jadi sipat dari
sebuah tembok tersebut.

Andaikata Alloh itu bangsa sipat tentunya Alloh tidak akan tersipati oleh sipat ma'ani, serta tidak
akan tersipati oleh sipat ma'nawiyah, karena sipat tidak akan berdiri didalam sipat.

Wahdaniyat

Wahdaniyat
(Yaitu sipat yang keenam yang wajib dalam haqnya Alloh taala)
Dan, wajib dalam haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat wahdaniyat (tunggal), didalam dzatnya dan
sipatnya serta perbuatannya (penciptaanya), adapun maknanya wahdaniyat dalam dzatNya
"sesungguhnya bahwa dzatnya Alloh tidak tersusun dari berbagai juz yang berbilang". Adapun
maknanya wahdaniyat dalam sipatNya "sesungguhnya Alloh tidak ada terhadapNya dua sipat
atau lebih banyak dari jenis yang satu seperti ada dua qudrot (dalam dzat / diri Alloh) dan begitu
juga seperti dua qudrot tadi dan tidak ada tuk selain Alloh satu sipat saja yang menyerupainya
terhadap sipat Alloh ta'ala". Adapun makna wahdaniyat dalam pekerjaanNya "sesungguhnya
tidak ada untuk selain Alloh satu pekerjaan saja dari berbagai jenisnya pekerjaan Alloh. Dan
perlawanannya sipat wahdaniyat ialah taaddud (berbilang), sedangkan dalilnya terhadap sipat
wahdaniyat "sesungguhnya Alloh jikalau terbukti keberadaanNya yang berbilang maka tidak
akan pernah ada satu perkara-pun dari semua jenis yang namanya makhluk"
Penjelasan.
Wajib disini wajib menurut hukum akal, yang artinya pasti buktinya sehingga dapat dipahami
oleh akal ghorizi bahwa Alloh tersipati oleh sipat wahdaniyat, arti salbiyahnya pasti serta dapat
dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak ada bilangannya.

Kata wahdaniyat menurut ahli bahasa yaitu "satu Alloh", tapi yang dimaksud disini satu dalam
artian tidak ada bilangannya, ia tidak terliputi oleh bilangan, satu bukan bagian dari yang banyak,
seperti ada satu, ada dua, ada tiga dan seterusnya.

Serta satunya itu bukan hasil merangkaikan dari bilangan juz-juz, seperti ada kata trimurtri, ia
bisa disebut satu tapi satunya itu hasil rangkaian sepertiga dari hitungan tiga bagian atau tiga juz.
Mushonnif yang mengarang kitab ini diatas tadi telah memberi contoh bahwa yg dimaksud
dengan sipat Wahdaniyat tersebut, yaitu satu dalam dzatnya, satu dalam sipatnya dan satu dalam
perbuatannya.

Kesimpulannya.
Dalam maknanya sipat wahdaniyat yang telah disebutkan tadi, dapat disimpulkan bahwa
dinafikan (dicabut) dari Alloh atas 5 (lima) kam (bilangan):

1. Kam munfashil fidz dzati: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam dzatnya, dari
jumlahan bagian yang banyak, dalam arti satunya bukan dua, bukan tiga, bukan empat
dan seterusnya. contohnya katakan saja "ada SATU ruko" didalam satu pasar, tapi
SATU-nya itu bukan cuma satu-satunya dari jumlahan yang banyak. Jadi yang namanya
SATU seperti ini bukan SATU yang dimaksud dengan wahdaniyat di Alloh.
2. Kam muttashil fidz dzat: dicabut dari Alloh bilangan yang merangkap atau rangkaian
dalam datnya, yang tersusun dari berbagai juz, seperti satunya lain seperdua dari dua,
sepertiga dari tiga, seperempat dari empat dan seterusnya, contohnya "ada SATU
bangunan" ia boleh disebut SATU, tapi satunya itu tersusun dari jenisnya bata merah,
semen, pasir, air, kusen, cat tembok, ruang tamu, kamar, dapur dan lain-lain. Ini juga
bukan SATU yang dimaksud dengan wahdaniyat di Alloh.
3. Kam munfashil fish shifat: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam sipatnya, dari
jumlahan yang banyak, dalam arti tidak ada sama sekali apapun dan siapapun yang
mempunyai dan menyerupai sipatNya di luar Alloh, yang sama dalam bahasanya,
bentuknya serta isinya. Tapi tidaklah mengapa kalau ada persamaan dalam sebutannya
saja, seperti sebutan yang dilontarkan kepada makhluk bahwa ia kuasa, ia punya ilmu dan
lain-lain, kenapa ? karena kuasanya Alloh berbeda dengan kuasanya yang ada di
makhluk, begitupun ilmu yang ada di Alloh, berbeda dengan ilmu yang ada di makhluk.
4. Kam muttashil fish shifat: dicabut dari Alloh bilangan yang merangkap dalam sipatnya
dari jumlahan bagian juz sipat yang satu, seperti ia Alloh tersipati oleh sipat qudrot, sipat
qudrot di Alloh hanya satu, lain dua, lain tiga, lain empat dan seterusnya. Begitu juga
irodatnya Alloh, ilmunya Alloh, hayatnya Alloh, sama', bashor, juga kalamnya Alloh,
bukan dua bukan tiga tapi hanya satu.
5. Kam munfasil fil af'al: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam penciptaanya, atau
dalam pekerjaannya, atau dalam perbuatannya, dari berbagai jenis jumlahan perbuatan
Alloh, dalam arti tidak ada sama sekali yang mempunyai atsar (kesan=bekas) pekerjaan
diluar perbuatan Alloh.

Oleh kerana wahdaniyat di Alloh melepas dari lima KAM (hitungan), maka tidak akan pernah
ada tuhan selain Alloh, kalau ada tuhan selain Alloh dapat dipastikan bahwa semua jenis yang
namanya makluk tidak akan pernah ada, dan buktinya hingga sekarang yang namanya makhuk
itu ada, ternyata bahwa adanya Alloh tidak ada bilangannya dalam dzat, sipat serta af'alnya,
seperti yang telah difirmankan oleh Alloh dalam alqur'an:
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai `Arsy daripada apa yang mereka
sifatkan
(Qs 21 Al-Anbiyaa' : 22)

Adapun Af'alnya Alloh itu terbagi atas 2 (dua) bagian:

1. Mukhtar: yaitu perbuatan Alloh yang disambungkan dengan daya pilihannya makhluk,
atau daya ikhtiarnya makhluk, seperti Alloh menciptakan kaya disambungkan dengan
daya semangat usahanya seseorang, Alloh menciptakan kenyang dalam diri seseorang
disambungkan dengan masuknya nasi kedalam perut, Alloh menciptakan keruksakan
dimuka bumi disambungkan dengan ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab,
dan seterusnya.
2. Mudlthor: yaitu perbuatan Alloh secara langsung tampa disambungkan dengan daya
pilihannya makhluk, seperti Alloh menciptakan langit dan bumi, Alloh menciptakan
siang dan malam, Alloh menciptakan lelaki dan perempuan dan seterusnya.

Terkadang mudlthor dan mukhtar masuk saling bergantian disela-sela adat, yang sedang berjalan
dalam kehidupan sehari-hari. contohnya, seperti dalam keadaan kita sedang "bernafas"
adakalanya sinafas tersebut sengaja ditarik, ditahan dan dikeluarkan oleh daya upaya kita sendiri,
tapi terkadang dalam keluar masuknya nafas bukan kita yang mengaturnya seperti dalam
keadaan sesak nafas atau dalam keadaan tidur, hal ini bagian yg mudlthor. Contoh yang kedua,
dalam keadaan kita sedang "mengedipkan" mata, adakalanya mata itu sengaja dikedipkan oleh
kita, selebihnya mudlthor.

Ada pula perbuatannya Alloh, adakalanya suatu kejadian biasanya mukhtar berubah menjadi
mudlthor, contoh, seperti orang yang tekun serta giat dalam mencari uang, tapi sengsara dalam
hidupnya. Sebaliknya orang yang malas dalam mencari uang, tetapi ia diberi kelapangan dalam
hidupnya. Contoh lagi, seperti Alloh telah menakdirkan seseorang menjadi seorang lelaki, hal ini
bisa diikhtiyari berubah jadi jenisnya seorang perempuan, sebaliknya seorang perempuan bisa
berubah menjadi lelaki dengan melalui jalan diikhtiyarinya dan lain sebagainya

Dalil yang menunjukan atas perbuatan Alloh yang Mukhtar, diantaranya:


1. Dalam surat yang ke 2 Al-Baqarah ayat 286

Artinya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya

2. Dalam surat yang ke 30 Ar-Ruum ayat 41


Artinya Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia

Dalil yang menunjukan atas perbuatan Alloh yang Mudlthor, yaitu dalam surat yang ke 9 At-
Taubah ayat 51

Artinya Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah bagi kami"
Contoh, seperti makan tidak bisa menghasilkan kenyang, minum tidak menghasilkan segar, tapi
dalam keadaan makan dan minum, kenyang dan segar disitu ada ketentuan qodlo dan qodarNya
Alloh yang sedang berjalan.

Untuk penjelasan I'tiqod, ada disini

Sorotan hukum syara' terhadap wajib aqli-nya bahwa Alloh tersipati oleh sipat wahdaniyyat:

1. Hukum syara mewajibkan kepada semua orang mukallaf mesti menekadkan terhadap
wajib wahdaniyat-nya di Alloh, dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap
wajib wahdaniyatnya di Alloh serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang
yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib wahdaniyat-nya di Alloh serta di
cap orang kafir.
2. Hukum Hukum syara mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan
atas mustahil ta'addud-nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan terhadap wajib
wahdaniyyatnya di Alloh, kalau tidak menekadkan mustahil ta'addudnya di Alloh.
3. Hukum syara memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan
firman Alloh didalam alquran:

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa"


(Surat 114 Al-ikhlas: 1)

4. Hukum syara' mewajib syar'ikan kepada semua orang mukallaf harus bertauhid dengan
mewahdaniyatkan terhadap wujudnya Alloh ta'ala, bukan hanya sekedar diwajibkan
percaya terhadap wahdaniyatnya Alloh, tapi wajib selama-lamanya bertauhid dengan
mewahdaniyatkan terhadap wujudnya Alloh, serta:

Mewahdaniatkan ma'bud, yaitu mengkhususkan ibadah kepada Alloh.


Mewahdaniyatkan Mathlub, yaitu mengkhususkan mencari dan patuh terhadap semua perintah
Alloh serta menjauhi segala larangan Alloh.
Mewahdaniyatkan Maqsud, yaitu mengkhususkan tujuan hanya untuk mencari ridhonya Alloh
semata.
Kalau tidak mewahdaniyatkan Mabud, musyrik hukumnya.
Kalau tidak Mewahdaniyatkan Mathlub. fasiq hukumnya.
Kalau tidak Mewahdaniyatkan Maqsud, maksiat hati hukumnya.

5. Hukum syara' melarang kepada setiap orang mukallaf hidup di dunia, dengan tidak
yakin iman kepada Alloh, atau iman yang disertai musyrik, atau bertauhid tapi tidak
ma'rifat, atau ma'rifat tapi tidak tashdiq, tashdiq (membenarkan) tidak iddi'an (meng-
iyah-kan), iddi'an tidak qobul (menerima).

Dalilnya sipat Wahdaniyat.

Sesungguhnya Alloh jikalau terbukti keberadaanNya yang berbilang maka tidak akan pernah
ada satu perkara-pun dari semua jenis yang namanya makhluk

Qudrot

Qudrot
(Yaitu sipat yang ketujuh dalam haqnya Alloh ta'ala)

Dan wajib dalam haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat qudrot, adapun sipat qudrot ialah salah satu
sipat yang qodim yang menetap dalam dzatnya Alloh ta'ala yang mengadakan (Alloh) oleh sipat
qudrot serta meniadakannya. Sedangkan dalil yang memperkuat ata sipat Qudrot "sesungguhnya
jikalau terbukti (Alloh) keberadaannya lemah (tak berdaya) maka tidak akan diketemukan satu
perkara-pun dari adanya beraneka ragam jenisnya makhluk"
Penjelasan.
Wajib aqli dalam haqnya Alloh bahwa Alloh dihinggapi oleh sipat qudrot (bisa & kuasa), dalam
arti pasti dan dapat dipahami oleh akal bahwa Alloh tersipati oleh sipat qudrot dengan adanya
bebagai tanda kesan dari perbuantannya Alloh, dengan kata lain bisa dan kuasa temen dzat Alloh
mengadakan atau menghilangkan terhadap makhluknya.

Sipat qudrotnya Alloh termasuk salahsatu sipat ma'ani.


Sipat ma'ani yaitu sipat yang bukti wujudnya, andai saja makhluk dibukakan hijab maka
bakal tampak kelihatan dengan jelas bagaimana sipat qudrotnya Alloh.
Sipat qudrot adalah salahsatu sipat yang menetap dalam dzat yang maha qodim, maka
keadaan sipat tentunya sama dengan keadaan dzat, kalau dzatnya qodim tentu sipatnya
juga ikut qodim, oleh karena itu sipat qudrotnya Alloh tidak didahului oleh lemah (tak
mampuh), dan tidak pernah diselingi oleh lemah, dan tidak akan diujungi dengan lemah.
Sipat qudrot termasuk sipat (iftiqor), maksudnya bahwa makluk membutuhkan atas sipat
qudrot.
Sipat qudrot termasuk sipat (jalal), maksudnya ia adalah salah satu sipat yang
memperlihatkan kemaha perkasaanya Alloh.

Penjelasan.
Adapun sipat qudrot di Alloh terkadang disebut juga:

Sifatun ~ wujudiyatun ~ qodimatun ~ qo'imatun ~ bidzatihi ta'ala ~ tu'ats-tsirul mumkinat ~


ijadan ~ wa i'daman

Sifatun: yaitu SATU sipat yang tidak terliputi oleh bilangan.


Wujudiyatun: yang ada buktinya, sehingga kalau dibukakan hijab maka akan
melihatnya. karena yang namanya wujud sah dapat diketemukannya, dengan kata lain
bahwa sipat qudrot (ma'ani) bisa diketemukan.
Qodimatun: yang tidak ada permulaanya.
Qo'imatun: menetap selamanya, sesaat-pun tidak didahului, diselingi atau diujungi oleh
tidak "mampu".
Bidzatihi ta'ala: yakni melekat keberadaanya, selama-lamanya ada didalam dzatNya
Tu'ats-tsirul mumkinat: yang memberi kesan / bekas terhadap setiap perkara yang
mungkin adanya. Tidak nyambung terhadap perkara yang wajib mutlak, seperti wajib
wujudnya Alloh. Tidak nyambung terhadap perkara yang mustahil wujud, seperti Alloh
tuli, hal itu bukannya Alloh tidak mampuh tapi bukan sambungannya / sasarannya.
Ijadan: adalah, hal dari sipat qudrot ialah tingkahnya untuk "mengadakan" dari asalnya
tidak ada menjadi ada.
Wa i'daman: adalah, hal dari sipat qudrot ialah tingkahnya untuk "meniadakan" dari asal
ada menjadi tidak ada.

Untuk menghindari kekeliruan pemahaman yang sering terjadi.


Pertama: Bahwa sipat ma'ani (termasuk sipat qudrot) selamanya menetap tak pernah pisah
dengan dzat (Alloh). oleh karena itu apabila mendengar kata-kata seperti contoh ini:

"dengan QUDROT dan IRODAT-Nya kita dapat berkumpul...dst.


Atau seperti ungkapan kata-kata "dengan FADLOL-Nya kita...dst".
Atau seperti firman Alloh dalam alqur'an surat ke 65 Ath-Thalaaq ayat 12 disebutkan
disitu dengan ILMU-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.

Hal seperti tadi jangan sampai ada anggapan bahwa peran sipat berpisah dengan dzat, atau
sebaliknya.

Kedua: Oleh karena sipat dan dzatnya tidak (pernah) berpisah, jangan sampai ada anggapan
bahwa MENGADAKAN atau MENIADAKAN munkinat diliputi oleh ruang dan waktu, karena
(dzat & sipat) dalam berperan menciptakan sesuatu tidak diliputi oleh ruang dan waktu, serta
tidak akan sama dalam semua penciptaannya dengan pekerjaan yang dilakukan oleh makhluk ,
karena ia (muklolafatu lilhawaditsi).

Sasaran sipat qurot adalah perkara yang (mumkinul wujud) dan (wajibul wujud muqoyyad).
Perlu diketahui bahwa istilah WAJIBUL WUJUD ada dua bagian:

Wajib wujud mutlaq, yakni wajib adanya sesuatu yang tidak boleh tidak (mesti adanya)
seperti wajib wujudnya sipat qudrot, irodat, ilmu dst
Wajib wujud muqoyyad. yakni adanya sesuatu dikarenakan hal itu sudah difirmankan
seperti wajib wujudnya sipat Rosul, wajib wujudnya hari qiyamat, wajib wujudnya surga,
neraka dst. Itu semua walaupun wajib wujudnya tapi dalam hakikatnya mumkinul wujud.

Adapun sipat qudrot mempunyai persambungan antara sipat qudrot dengan mumkinat:

Ta'aluq ifadah (untuk apa), yakni untuk mengadakan atau meniadakan mumkinat.
Ta'aluq ta'diyah (sasarannya apa), yakni sasarannya ialah terhadap semua jenisnya
mumkinat yang akan diadakan atau ditiadakan.
Ta'aluq marotib (tingkatan), yakni dari kapan sampai kapan mumkinat diadakan dan
ditiadakannya.

Adapun tingkatannya antara sipat qudrot dengan mumkinat, ada delapan tingkatan:

1. Shuluhi Qodim.
2. Qobdloh Awwal.
3. Tanjizi Hadits Awwal.
4. Qobdloh Tsani.
5. Tanjizi Hadits Tsani.
6. Qobdloh Tsalits.
7. Tanjizi Hadits Tsalits
8. Qobdloh Robi'.

1. Shuluhi Qodim.
Lulus dari zaman dahulu kala, bahwa sipat Qodrot terhadap MUMKINAT telah berkaitan untuk
meluluskan perkara yang akan ADA-nya, serta meluluskan perkara yang akan TIDAK ADA-nya
dalam kondisi semua makhluk belum diciptakan, baik yang akan lulus atau tidaknya. Yakni sipat
Qudrot telah mampuh dipakai untuk mengadakan perkara yang bakal ada, atau meniadakan
perkara yang akan tiada, firman Alloh dalam alQur'an:

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu


(Qs 2 Al-Baqarah: 109)

2 Qobdloh Awwal.

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan
di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).
(Qs 13 Ar-Ra'd: 39)

3. Tanjizi Hadits Awwal.

Apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah
ia.
(Qs 36 Yaa siin: 82)

4. Qobdloh Tsani.

dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang
ditentukan."
(Qs 2 Al-Baqarah: 36)

5. Tanjizi Hadits Tsani.


Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati
(Qs 3 Ali 'Imran: 185)

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
(Qs 7 Al-A'raaf: 34)

6. Qobdloh Tsalits.

Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan
kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain,
(Qs 20 Thaahaa: 55)

7. Tanjizi Hadits Tsalits

dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.


(Qs 22 Al-Hajj: 7)

Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati


(Qs 11 Huud: 7)

8. Qobdloh Robi'.
Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal
di dalamnya
(Qs 2 Al-Baqarah: 82)

(Bukan demikian), yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya,
mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
(Qs 2 Al-Baqarah: 81)

Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka
ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah, seakan-akan
muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gelita. Mereka itulah
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
(Qs 10 Yunus: 27)

Penjelasan : wa didduhu
Perlawanan sipat Qudrot ada tujuh gambaran:

1. Alloh sama sekali lemah.


2. Allah tidak ikut serta didalam perbuatan yang diristis oleh daya dan upayanya makhluk
3. Allah tidak ikut serta didalam kejadian sambungan adat.
4. Allah tidak ikut serta didalam tabi'atnya makhluk.
5. Allah tidak ikut serta didalam perbuatan adat yang telah diberikan kepada makhluk.
6. Allah tidak ikut serta didalam kejadian alam, seperti terciptanya matahari, bulan, bintang,
gunung dll.
7. Allah tidak ikut serta didalam perbuatan hasil tawasul.
Dalilnya sipat Qudrot.

Sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh) keberadaannya lemah maka tidak akan diketemukan
satu perkara-pun dari adanya beraneka ragam jenisnya makhluk

Maksudnya.
Sesuatu yang menunjukan atas kekuasaan Allah adalah adanya beraneka ragam jenisnya
makhluk. Oleh karenanya apabila terbukti adanya Allah tidak ada KUASA maka sama sekali
tidak akan diketemukan semua jenisnya makhluk, selain dari itu tidak akan ada istilah atau
sebutan MENCIPTAKAN alam serta susunannya dan juga isinya, sedangkan tiada seorang
makhluk-pun yang mampuh menciptakan sesuatu, firmaNya dalam alQur'an:

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu


(Qs 2 Al-Baqarah: 109)

Kalimat yang dimaksud oleh KULLI SYAI'IN dalam ayat tersebut adalah menunjukan atas
semua perkara yang MUMKINUL WUJUD atau WAJIBUL WUJUD MUQOYYAD, tidak
meliputi atas perkara yang WAJIBUL WUJUD atau MUSTAHILUL WUJUD. Adapun perkara
yang WAJIBUL WUJUD MUQOYYAD pada hakikatnya masih dalam katagori MUMKINUL
WUJUD, masih terliputi oleh KULLI SYAI'IN, serta ter-IDROK oleh sipat Qudrotnya Alloh.

Kalam

Kalam
( Sipat yang ke tiga belas yang wajib dalam haqnya Alloh taala )

Fayajibu fi haqqihi taalal kalamu, wa huwa shifatun qodimatun qo-imatun bidzatihi


taala wa laisat biharfin wa la shoutin, wa dlidduhal bukmu wa huwal khorsu, wad dalilu
ala dzalika qouluhu wa kallamallohu musa takliman = Dan wajib dalam haq-nya Alloh
taala yaitu sipat kalam (berkata-kata), adapun sipat kalam ialah salah satu sipat yang qodim
yang menetap dengan dzatnya Alloh ta'ala, dan (sipat kalam tersebut padanya) tiada hurup dan
juga tiada suara, adapun perlawanan sipat kalam ialah bisu, yakni gagu. Sedangkan dalilnya yang
menunjukan terhadap sipat kalamnya Allah yakni firmanNya "Dan Allah telah berbicara kepada
Musa dengan lamgsung (bicara yang sebenar-benarnya)" (Qs 4 An-Nisa': 164)

Penjelasan.
Wajib aqli dalam haqnya Alloh bahwa Alloh dihinggapi oleh sipat kalam (berkata-kata), dalam
arti pasti serta dapat dipahami oleh aqal bahwa Alloh tersipati oleh sipat kalam dengan adanya
mu'jizat turunnya kalamulloh.
Adapun kalam Allah terdiri dari dua bagian:

1. Kalan Dal, yaitu kalam yang ada hurupnya, ada suaranya, ada mulanya, dan juga ada
akhirnya.
2. Kalam Madlul, yaitu kalam yang berada didalam dzatnya Allah ta'ala, yang tiada
hurupnya, suaranya, tiada mulanya, dan juga tiada akhirnya...., Jadi yang dimaksud oleh
wajib dalam haqnya Allah ta'ala adalah kalam Madlul bukan kalam Dal.

Hubungannya Kalam Dal dengan Kalam Madlul.

Mula-mula adanya kalam Dal semenjak Allah menciptakan qolam terus memerintah
kepada qolam agar supaya menuliskan atas sebagian kalam madlul.
Apabila ada pertanyaan "Bagaimana Allah memberi perintah pada qolam? atau
memerintah kepada Jibril ketika diperintahkan menyampaikan wahyu kepada Nabi
Muhammad? atau bagaimana qolam ataukah malaikat Jibril dapat memahami perkataan
Allah, sedangkan perkataan Allah tiada hurup dan suara?.. Jawabannya simple saja, yakni
dapat diibaratkan seperti sang qolbu memerintah tangan untuk meraba, atau mengusap,
atau memegang, atau menulis, atau bersalaman dst. Nah perintah tersebut tiada hurup
atau suara tapi si tangan dengan sendirinya memahami apa yang diperintahkan atau
diinginkan oleh sang qolbu (maaf, jangan sampai diartikan bahwa Allah atau perkataan
Allah seperti qolbu, ini mah sekedar sebagai contoh bahwa dimakhluk-pun ada yang
memahami perkataan yang tiada hurup dan suaranya). Sedangkan hakikat perkataan
Allah "laisa kamitslihi syai-un = tiada satupun yang serupa denganNya"
Isinya kalam Dal juga kalam Madlul "musawin = sama dalam isinya tapi tiada serupa
dalam bentuknya"
Adapun kalimah "iqro' bismi robbikal ladzi kholaq... ileh" yang berada dalam firman
Allah (Qs 96 Al'Alaq) adalah pertama kalam (ayat atau kalimah) yang turun kepada Nabi
Muhammad, bukan mulanya kalam yang ada dalam dzatnya Allah ta'ala. Begitu juga
kalam "alyauma akmaltu lakum dinakum... ileh" yang berada dalam firman Allah (Qs Al-
Maaidah ayat 3) adalah akhir kalam yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW,
bukan akhir kalam yang ada dalam dzatnya Allah ta'ala.
Adapun kalam Dal, andai saja bertambah terus-terusan didalam isinya tentu masih bisa
dituliskan, sedangkan kalam Madlul sampai kapanpun tidak akan mampun untuk
dituliskan, sebagaimana firmanNya "Qul lau kanal bahru midadan likalimati robbi
lanafidal bahru qobla an tanfada kalimatu robbi wa lau ji'na bimitslihi madadan =
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)" (Qs 18 Al-Kahfi: 109)
Kalam Dal dengan Alqur'an isi dan kandungannya sama, sedangkan yang
membedakannya hanya susunan atau bentuknya saja. Kalam Dal dimulai dengan
kalimat "iqro' bismi robbikal ladzi kholaq... ileh" dan diakhiri dengan kalimat "alyauma
akmaltu lakum dinakum... ileh". Sedangkan Alqur'an dimulai demgan surat Alfatihah dan
diakhiri dengan surat Annas.
Hubungannya antara kalam Dal dengan Alqur'an Insya Allah penjelasannya yang akan
datang dalam bab riwayat Alqur'an.
Bila ada pertanyaan: "Allah tiada hentinya berkata-kata, kiranya apa yang sedang Allah
bicarakan?" Jawabannya "Dirimu tidak ditaklif mesti mengetahui apa-apa yang sedang
dikatakan oleh Allah", tapi andai saja ingin mengetahui apa-apa yang sedang Allah
katakan, yakni kalam Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya,
maka pahamilah !!... Semata-mata Allah berkehendak atas Tanjizi Qudrot, yakni
pelaksanaan yang kontan oleh sipat QudrotNya, Allah telah berkata-kata pada setiap
kejadian oleh isinya makna "KUN FAYAKUN" sehingga bukti dan terjadi perkara
tersebut dalam kondisi di-Tanjizi Hadits. Selanjutnya silahkan pahamilah surat ke 18 ayat
109 (Qul lau kanal bahru midadan LIKALIMATI robbi lanafidal bahru qobla an
tanfada kalimatu robbi wa lau ji'na bimitslihi madadan = Katakanlah: Sekiranya
lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan
itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula)) disana dikatakan "likalimati robbi" kalimat tersebut
menunjukan atas kalam Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya.
Selanjutnya dalam surat ke 7 ayat ke 54 (Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam) disana
dikatakan "bi-amrihi = kepada perintah-Nya" kalimat tersebut menunjukan atas
kalamnya Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya.

Sepintas riwayat Kalam Dal dan Alqur'an (yang ada hubungannya dengan bab ini).
Dengan dirinya sendiri Qolam diperintah oleh Allah untuk menuliskan dipapan Lauhul mahfudh,
yakni menuliskan isinya kalam Madlulnya Allah ta'ala secara sekaligus tampa ayat tampa surat
sebagaimana firman Allah didalam Alqur'an surat 85 Alburuuj ayat 21 - 22 (Bahkan yang
didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia - yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh),
dalam tafsir Jalalain-nya ((Yang dalam Lauh) berada di atas langit yang ketujuh (terpelihara) dari
ulah setan-setan dan dari sesuatu perubahan. Panjang Lohmahfuz itu sama dengan panjangnya
langit dan bumi, sedangkan lebarnya ialah sama dengan jarak antara timur dan barat; terbuat dari
intan yang putih bersih. Demikianlah menurut pendapat yang telah dikemukakan oleh Ibnu
Abbas r.a.). Nah secara sekaligus dari sana lalu diturunkan oleh malaikat Jibril ke Baitul Izzah
yang berada di langit keempat bertepatan dengan malam Lailatul Qodar sebagaimana yang telah
difirmankan dalam Alqur'an surat yang ke 97 ayat 1 (tafsir Jalalainnya: Sesungguhnya Kami
telah menurunkannya) yaitu menurunkan Alquran seluruhnya secara sekali turun dari lohmahfuz
hingga ke langit yang paling bawah (pada malam kemuliaan) yaitu malam Lailatulkadar, malam
yang penuh dengan kemuliaan dan kebesaran). Lalu dari Baitul Izzah disusun ayatnya, suratnya,
saat-saat turunnya, dan juga diturunkannya kepada Nabi secara berangsur dalam kurun waktu 23
tahun serta disesuaikan dengan proses turunnya taqdir - yang biasa disebut dengan Asbabun
Nuzul.

Yang mula-mula diturunkannya adalah surat Al'alaq (lima ayat), lalu ayat demi ayat diwahyukan
oleh malaikat Jibril disesuaikan dengan kebutuhan serta kejadiannya, yang mana kejadian
tersebut berangsur-angsur diciptakan melalui Tanjizi Hadits QudrotNya Allah agar supaya
dijadikan suri tauladan, cermin serta pedoman bagi umat hingga hari qiyamat. Kalam tersebut
dari malaikat Jibril diterima oleh Nabi, lalu di-ijazahkan kepada para SahabatNya, setelah itu lalu
oleh para Sahabat ditulis bersurat-surat & ber-ayat-ayat hingga akhirnya terbentuklah kitab (suci)
Alqur'an.

Isinya Kalam Allah yang dituliskan didalam Alqur'an:

2000 (dua ribu) ayat yang menerangkan Janji dan Ancaman.


1000 (seribu) ayat yang menerangkan Pahala Surga dan Siksa Neraka.
1000 (seribu) ayat yang menerangkan isi Larangan.
1000 (seribu) ayat yang menerangkan Kisah.
1000 (seribu) ayat yang menerangkan Ibarat, Contoh dan Tauhid.
500 (lima ratus) ayat yang menerangkan Halal dan Haram.
100 (seratus) ayat yang menerangkan Nasikh dan Mansukh.
66 (enam puluh enam) ayat yang menerangkan Du'a dan Dzikir. Jadi jumlahnya ada 6666
ayat.
Adapun Hurupnya ada 1270000 (sejuta dua ratus tujuh puluh ribu) hurup.

Adapun Nama-nama Alqur'an yang disebutkan didalamnya, yaitu:

1. Al-Kariimu.
2. Al-Kitaabu.
3. Al-Mubiinu.
4. Al-Qur'aanu.
5. Al-Kalaamu.
6. An-Nuuru.
7. Al-Huday.
8. Ar-Rohmatu.
9. Al-Furqoonu.
10. Ats-Tsanaa-u.
11. Al-Mau'idhotu.
12. Adz-Dzikru.
13. Al-Mubaaroku.
14. Al'Aliyyu.
15. Al-Hakiimu.
16. Al-Hikmatu.
17. Al-Mushoddiqu.
18. Al-Muhaiminu.
19. Hablullooh.
20. Shiroothol Mustaqiim.
21. Al-Qoyyimu.
22. Al-Fashlu.
23. Al'Adhiimu.
24. Al-Matsaaniy.
25. Ahsanul Hadiitsu.
26. Al-Mutasyaabihu.
27. At-Tanziilu.
28. Ar-Ruuhu.
29. Al-Wahyu.
30. Al'Arobiy.
31. Al-Bashoo-iru.
32. Al'Ilmu.
33. Al-Bayaanu.
34. Al-Qoshoshu.
35. Al-Haadiy.
36. Al'Ajbu.
37. At-Tadzkirotu.
38. Al'Adlu.
39. Ash-Shidqu.
40. 'Urwatul Wutsqoy.
41. Al-imlaa-u.
42. Al-Munaadiy.
43. Al-Busyroy.
44. Al-Majiidu.
45. Az-Zabuuru.
46. An-Nabaa-u.
47. Al-Balaaghu.
48. Al'Aziizu.
49. Al-Haqqu.
50. Ahsanul Qoshoshu.
51. Ash-Shuhufu.
52. Al-Mukarommatu.
53. Al-Marfuu'atu.
54. Al-Muthohharotu.

Penjelasan.
Adapun sipat Kalam terkadang disebut juga:
Shifatun ~ azaliyyatun ~ qo-imatun ~ bidzatihi ta'ala ~ laisat biharfin ~ wa la shoutin

Sifatun: yaitu SATU sipat yang tidak terliputi oleh bilangan.

Azaliyyatun: yang azali (sebelum ada sebutan zaman atau waktu) yang tiada permulaan.

Qo'imatun: menetap selamanya, sesaat-pun tidak didahului, diselingi atau diujungi oleh
"bisu".

Bidzatihi ta'ala: yakni melekat keberadaanya, selama-lamanya ada didalam dzatNya.

Laisat biharfin: tiada baginya SATU hurup-pun.

Wa la shoutin: dan tiada pula SATU kata / bunyi-pun.

Adapun sipat Kalam mempunyai ta'alluq (persambungan) antara sipat Kalam dengan sesuatu
yang ditunjukinya:
Ta'aluq ifadah (untuk apa), yakni untuk menunjukkan atas ISI yang difirmankan.

Ta'aluq ta'diyah (sasarannya apa), yakni sasarannya ialah terhadap Wajibul Wujud ~
Mustahilul Wujud ~ Mumkinul Wujud, semuanya dapat diungkapkan / diceritakan / difirmankan
oleh Kalamnya Allah.

Ta'aluq marotib (tingkatan), yakni dari kapan sampai kapan persambungannya sipat Kalam.

Adapun tingkatannya antara sipat Kalam dengan perkara yang difirmankan, ada dua tingkatan:

Terhadap selain AMAR (perintah) atau NAHI (larangan) kedududkannya berada di Tanjizi
Qodim, yakni pelaksanaan yang kontan dari zaman dahulu kala bahwa Allah telah berkata-kata.

Adapun terhadap AMAR atau NAHI, terdiri dari dua bagian:

1. Sebelum wujud apa-apa yang diperintah atau apa-apa yang dilarang, ta'alluq sipat kalam
disebut Shuluhi Qodim, yakni telah lulus dari dahulu kala.
2. Setelah wujud apa-apa yang diperintah atau apa-apa yang dilarang, ta'alluq sipat Kalam
disebut Tanjizi Hadits, yakni baru persentuhannya / kontaknya.

Penjelasan : Wa dlidduhal bukmu wa huwal khorsu.


Yang dimaksud oleh Bukmun atau Khorsun oleh sebab sama sekali tiada dapat berkata-kata, atau
terhalang, seperti:

Batu ~ bata ~ tembok ~ tiang ~ tiada berkata-kata ia dinamakan Bukmun.


Binatang ~ manusia ~ jin ~ tiada berkata-kata ia dinamakan Khorsun.

Nah yang dimaksud Bukmun disini, yaitu:

Sama sekali tidak dapat berkata-kata.


Tiada berkata-kata oleh sebab ada halangan.
Berkata-kata ada hurup atau suara.
Berkata-kata ada mulanya serta ada akhirnya. nah ini semua mustahil bagi Allah.

Penjelasan : Waddalilu
Wad dalilu ala dzalika qouluhu wa kallamallohu musa takliman = Sedangkan dalilnya
yang menunjukan terhadap sipat kalamnya Allah yakni firmanNya "Dan Allah telah berbicara
kepada Musa dengan lamgsung (bicara yang sebenar-benarnya)" (Qs 4 An-Nisa': 164)

Yang dimaksud "Allah telah berbicara kepada Musa dengan lamgsung" (Qs 4 An-Nisa': 164):

Hal ini bukan menunjukan bahwa Allah berkata-kata yang isinya ada suara atau
tulisannya, akan tetapi telinga Nabi Musa dibukakan hijabnya sehingga dapat
mendengarkan Kalam Madlulnya Allah yang tiada hurup atau suara.
Dan juga, hal ini bukan menunjukan bahwa Allah berkata-kata kepada Nabi Musa ada
permulaannya lalu ada akhirnya, akan tetapi dibukakan hijab telinganya Nabi Musa ada
mulanya lalu ditutup kembali oleh Allah sehingga ada akhirnya.
Isi daripada Kalam Madlulnya Allah yang dapat didengar oleh telinganya Nabi Musa
disaat itu, yakni (Innani anallohu la ilaha illa ana fa'buduni wa aqimish sholata
lidikri = Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku) (Qs 20 Thaahaa: 14)

Tambahan:

Menurut Syekh Imam Asy'ari, mengenai hitungan aqo'id iman - cukuplah sampai sipat
Kalam saja, tidak usah ada sipat ma'nawiyah karena sudah lazim oleh adanya sipat
ma'ani.
Menurut Syekh Imam Mansur Ma'turidi, katanya wajib disebutkan serta disusun satu
persatu ma'nawiyahnya sipat ma'ani yang tujuh sehingga aqo'id iman jumlahannya ada 20
(dua puluh) sipat.
Sedangkan Syekh Imam Ibrohim al-Bajuri yang mengarang kitab Tijan sepedapat dengan
pendapatnya Syeh Imam Mansur al-Maturidi, yakni aqo'id iman disempurnakan menjadi
20 (dua puluh) sipat yang wajib di Allah.

Wallohu 'a'lam.

Anda mungkin juga menyukai