Dalam pembukaan risalah ini, (mushonnif = orang yg mengarang kitab ini) mendahulukan membaca basmalah, hamdalah dan seterusnya
sampai akhir.
Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita mulai pembahasannya dari salah satu pesan ulama yang begini ungkapannya:
◄Satu keharusan kepada setiap orang yang akan tampil dalam satu (fan) membahas basmalah dengan ilmu jurasannya itu (fan)►
(Fan) itu ialah seni atau uraian yang isinya sebuah kajian ilmu.
Nah disini membahas (fan) tauhid, maka membahas basmalah dengan fan tauhid. bismillah. niat saya berharap dengan meminta
pertolongan kepada dzat yang memiliki nama Alloh, bismillah niat saya berharap mencari berkah dengan menyebut nama Alloh.
Kalimat Alloh ialah (asma') yang dikatagorikan (taufiqiyyah) artinya perkara yang menunggu akan turunnya wahyu dari Alloh, oleh
karenanya dengan menyebut-nyebut asma'Nya adalah satu tanda akan turunnya taufiq dari Alloh, dan ia-pun datangnya bukan hasil dari
akal.
Di awal permulaan risalah ini, ungkapan yang keluar dari lapad basmalah, yang pertama diniati mencontoh pada alqur’an, dan yang
keduanya karena ada hadits yang berbunyi:
◄Setiap perkara (pekerjaan) yang dipandang baik oleh hukum syara’, akan tetapi tidak diawali dengan membaca
bismillahirrohmanirrohim, maka kurang berkah►
Penjelasan : bismillah
Dalam pembukaan risalah ini mushonnif memulai dengan membaca basmalah, tiada lain hanya mengharap keberkahan serta pertolongan
Alloh semata.
Penjelasan : arrohman
Yaitu salasatu sipat Alloh yang memberi limpahan kurnia serta nikmat yang besar atas semua makhluk di dunia dan di akhirat.
Penjelasan : arrohim
Yaitu salasatu sipat Alloh yang memberi limpahan kurnia serta nikmat yang besar khusus bagi orang-orang yang merasakan nikmat ar-
rohman.
Penjelasan : alhamdulillah
Kalimat (alhamdu lillah), memberitahukan bahwa semua yang namanya puji hanyalah milik Alloh, bukan hanya memberitahukan saja,
akan tetapi maksudnya memanjatkan pujian kepada Alloh. hal ini termasuk dalam qo’idah, dan juga kalau dibawa pada 'fan' ilmu 'ma’ani
bilaghoh', ungkapan kalimah alhamdu lillah itu begini:
Perbedaan antara lapad basmalah dengan hamdalah, yakni basmalah sebagai (ibtida haqiqi: pembuka yg sesunggunya), sedangkan lapad
hamdalah sebagai (ibtida idhofi: pembuka yg disandarkan pada kalimah basmalah).
● 1. Qodimun liqodimin: yaitu puji Alloh terhadap dzatnya sendiri, seperti firman Alloh dalam Al-Qur’an:
● 2. Qodimun lihaditsin: yaitu puji Alloh terhadap makhlukNya, seperti firman Alloh dalam Al-Qur’an:
◄Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga `Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-
masing)►
● 3. Haditsun liqodimin: yaitu puji makhluk terhadap Alloh, seperti makhluk membaca hamdalah.
● 4. Haditsun lihaditsin: yaitu puji makhluk terhadap sesama makhluk, seperti Rosululloh memberi gelar atau titel (ash shidqu: orang
yg benar) kepada sohabatNya Abu Bakar dengan titel Abu Bakar as-Sidqu.
● Pertama, ittiba (mengikuti jejak) rosul, yang terlahir dari sebuah hadits:
◄Setiap perkataan yang tidak dimulai dengan membaca hamdalah, maka perkataan tersebut cacar/corob (penyakit kulit)►
Jadi hikmahnya si hamba memuji kepada Alloh, yakni bahwa Alloh akan memberi pahala kepada orang yang memuji terhadapNya,
serta dengan pujian tersebut menjadikan penglihatanNya kepada si hamba dengan penglihatan rohmat, serta menjadikan pahala
simpanan bagi si hamba diakhirat nanti.
◄Adapun memuji Alloh akan menjadikan keselamatan nikmat dari hilangnya nikmat►
Ungkapan kalimah (Robbi) maknanya lebih luas dibandingkan dengan kalimat (Milku) atau (Maula), karena kalimat Robbi maknanya
mencakup penciptaan, memiliki, menguasai, mengurus dan juga mengatur.
Sedangkan kalimat (Al-Alamin), menunjukan pada setiap yg namanya alam, seperti alam sadar, alam bawah sadar, alam rahim, alam
mulki, alam malakut, alam jabarut, alam hissi alam maknawi, alam dunia, alam akhirat dst.
◄Ya Alloh semoga kesejahteraan dan keselamatan senantiasa selamanya tercurah kepada penghulu kami, ya’ni Nabi Muhammad saw►
Kalimat Sholawat dan Salam adalah:
◄Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya►
Setiap makhluk Alloh, pasti membutuhkan rohmatNya, dan tingkatan orang yg membutuhkan rohmatNya diantaranya ialah:
● 1. Orang yg tidak percaya dirinya membutuhkan rohmatnya Alloh, malahan merasa dirinya kaya, Alloh-lah yg butuh, firman Alloh
dalam Al-Qur’an:
◄Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang mengatakan: "Sesunguhnya Allah miskin dan kami kaya.►
● 2. Orang yg percaya dirinya membutuhkan rohmatnya Alloh, akan tetapi tidak merasakan atas kebutuhannya. mereka adalah tingkatan
orang beriman.
● 3. Orang yg percaya dirinya membutuhkan rohmatnya Alloh serta merasakan dirinya sangat membutuhkanya, inilah tingkatan orang
mukmin haqqul yaqin. Nah nomor dua dan tiga sejalan dengan firman Alloh dalam Al-Qur’an:
◄Maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam►
Yang menyusun kitab ini dalam ungkapan (faqiru rohmata robbihi) termasuk golongan yg ketiga. Dan juga dalam ungkapan (faqiru
rohmata robbihi) diakuinya oleh mushonnif robb dirinya saja tidak disebut robb alam (memisahkan diri), dengan kata lain hanya sekedar
antara dirinya dengan Alloh, serta sedang merasakan haq rububuyyah yang ada dalam dirinya, dan merasakan haq ubudiyyahnya, yakni
haq pribadi diri yang ada dalam dirinya.
● Haq Rububiyyah:
Setiap keberadaan selain seluruh anggota badan seperti ilmu, wibawa, harta-benda, pamili dll.
● Haq Ubudiyyah:
Seluruh anggota badan yang keluar dari rahim Ibu, yg membentang bagaikan mayit, atau pribadi yang wajib dibuktikan kepada Alloh.
Penjelasan : al khobiru
Yakni yang mencakup semua perkara yang (dhohir), yang (wujud aqli), atau yang (wujud hissi) (yang belum dhohir)
(Al khobiru) yaitu salah satu sipat Aloh yang tidak dijadikan sipat 20 oleh ahli aqo’id iman, karena sudah terliputi oleh sipat ilmu serta
bashor-nya Alloh, setiap yg diwaspadai oleh Alloh pasti kelihatan dan diketahui oleh Alloh, cuma perbedaannya hanya untuk perkara
yang (mumkinul wujud), yakni perkara yang akan ada tapi belum ada. Dan kontaknya sipat (al khobiru)-nya Alloh (tanjizi hadits),
sedangkan kontaknya sipat ilmu-nya Alloh (tanjizi qodim).
Penjelasan : albashiru
(Albashiru) adalah salah satu sipat Alloh, yang melihat dengan sipat bashor-nya Alloh terhadap perkara yang maujud walaupun belum
ter-(idrok = diketemukan).
Adapun ta’aluq-nya sipat bashor-nya Alloh pada perkara yang maujudat, yaitu wajibul wujud, atau mumkinul wujud.
Penjelasan : dzu taqtsiri = merasa gegabah
Kalau berkata (dzu taqtsiri) ingin disebut tawadlu, itu namanya riya', tapi kalau berkata (dzu taqtsiri) karena benar-benar merasa gegabah
dalam ibadah kepada Alloh, dialah (khosyi'an mutawadi'an rofi'a darojatihi indalloh) orang khusu’ serta tawadlu yang terangkat
derajatnya disisi Alloh.
Disini mushonnif menerangkan asal mulanya mengarang kitab tijan ini, yang diawali oleh sebuah permohonan sebagian saudara muslim,
yang meminta dirinya untuk menuliskan sebuah kitab kecil yang mencakup sipat Alloh dan sipat Rosul.
Oleh karenanya hasil ilmu dengan cara diminta akan lebih intim dan lebih penting serta lebih bermanfaat. Ada keterangan begini
bunyinya:
◄Adapun yang namanya ilmu itu bagaikan gudang yang dikunci, adapun alat untuk membukanya ialah permintaan dan pertanyan►
Kalimat (ba’dlul ikhwani jama') dari lapad (akhun) maksudnya ialah saudara seagama, seperti firman Alloh dalam alqur’an:
◄Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu►
(Surat 49 Al-Hujuraat:10)
Dalam istilah kitab, kalau saudara satu turunan, biasanya memakai kata (jama’ ikhwatun) untuk laki-laki, sedangkan kalau untuk
perempuan biasanya menggunakan kata (akhwatun), kalau untuk saudara seagama biasa menggunakan kata (ikhwanun).**********
◄Semoga Alloh memberi kemaslahatan kepadaku dan kepada saudaraku pada tingkah dan kelakuan, agar supaya saya menuliskan
untuk sebagian saudaraku itu, satu risalah (lembaran buku) yang kecil yang meliputi sipat-sipat ketuhanan serta sipat-sipat
berlawanannya, dan perkara yang wenang dalam haqnya Alloh ta’ala. Dan juga pada perkara yang wajib dalam haqnya para rosul serta
pada perkara yang mustahil didalam haqnya para rosul semua, dan juga pada perkara yang wenang di para rosul. Oleh karenanya, maka
aku penuhi permintaan ba’dul ikhwan untuk mengarang kitab kecil ini. Selanjutnya aku memohon taufiq kepada Alloh.
Wajib kepada setiap mukallaf, ialah mengenal pada perkara yang wajib didalam haqnya Alloh ta’ala, dan perkara yang mustahil, serta
perkara yang wenang►
Penjelasan : ashlahallohu
Kalimat yang diatas merupakan jumlah (mu’taridhoh) artinya pembatas antara (fi’il) dan (maf’ul), antara (tholaba) dan (an aktuba), Nah
inilah yang disebut jumlah (du’a'iyyah), karena mushonnif sengaja menyelipkan dengan du’a (ashlahallohu li walahum) secara minimal
satu kali memenuhi dari ayat (fa'ashlihu baina akhwaikum), karenanya, paling sedikit menjalin persaudaraan itu dengan du’a.
Perkara yang diminta oleh (ba’dlul ikhwan), tiada lain agar aku (kata syeh Ibrohim) menulis kitab kecil yang meliputi sipat-sipat
ketuhanan, semuanya ada 20 sipat:
4. Mumatsalatu lil hawaditsi arti secara harfiyyah: serupa dengan yang baru
Sedangkan perkara yang wenang dalam haqnya Alloh ta’ala jumlahnya cuma ada satu, yaitu:
Adapun perkara yang wajib didalam haqnya para rosul, semuanya ada empat, diantaranya:
Adapun jumlahnya sipat yang mustahil didalam haqnya para rosul ada empat, yaitu:
Adapun perkara yang wenang didalam haqnya para rosul, jumlahnya hanya satu, yaitu:
Penjelasan.
◄Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Alloh yang maha tinggi dan maha agung►
Penjelasan : yajibu
Nah dalam kalimat (wajib) disini, yaitu wajib menurut hukum syara’ (bagian fiqih).
◄Suatu perkara yang mana Alloh telah menjanjikan kepada orang yang mengerjakannya dengan pahala, dan Alloh telah menjanjikan
kepada orang yang meninggalkannya dengan siksaan►
Dikarenakan ma’rifat diwajibkan menurut hukum syara’, maka pasti akan dapat pahala serta terpenuhi syarat sahnya syahadat bagi orang
yang ma’rifat, sebaliknya pasti akan dikenakan siksaan dan tidak akan sah syahadatnya bagi orang yang tidak ma’rifat.
Yang keduanya ada yang namanya (wajib) menurut ushul fiqih, namanya (Ijab)
Adapun yang mewajibkan ma’rifat, karena ada perintah didalam alqur’an, yang begini bunyinya:
◄Hai manusia, bertauhidlah kamu sekalian kepada robb kalian, Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertakwa►
● Lapad (u’budu), ialah mencari i’tiqod yang pasti, hal ini sebagai bukti dan petunjuk pada perkara yang wajib.
● Lapad (u’budu), maksudnya ialah menunjukan suatu perintah kepada setiap yang namanya manusia, untuk bertauhid serta ma’rifat
kepada robb, karena dalam ayat tersebut diatas yang (di-khithoban) diajak dialog adalah yang namanya (annas) manusia. Maka tidak
sah kalau di-khithoban (ibadah) kalau belum bertauhid dulu. Tapi kalau andai kata ayat yang diatas tersebut menggunakan kalimat (ya
ayyuhal ladzina amanu), maka sah kalau di-khithoban untuk (ibadah), karena sudah berada dalam keadaan iman.
● Lapad (robbakum) disipati dengan kalimat (alladzi kholaqokum), kalimat ini menunjukan bahwa ma’rifat itu diharuskan dengan
menggunakan dalil.
Yang ketiga wajib menurut hukum (aqli=akal) dan hukum (adi=adat), nah wajib inilah yang ada hubungannya dengan ilmu aqo’id iman,
atau yang ada hubungannya dengan bahasan yang ada dalam kitab ini.
Pertama, dalam bahasanya menggunakan kata (ala) bukan dengan kata ( li ), menunjukan (wujub) bukan (hasan), Oleh karena itu maka
wajib yang tidak bisa ditawar lagi, berbeda dengan haq, ini masih bisa ditawar, gugur karena ridlo, gugur karena bodoh.
Yang kedua, ditambah lagi dengan kata (kulli), ini menunjukan pada:
Maksudnya ialah, setiap bagian dari jenisnya mukallaf wajib ma’rifat, lelaki, perempuan, bangsa dan suku apa saja, dimana saja berada,
baik tahapan rendah, pinpinan, awam atau ulama, wajib mengenal Alloh.
Yang ketiga, ditambahan lagi dengan kalimat (mukallafin), artinya yaitu orang yang telah dibebani oleh perintah hukum syara’.
Tandanya, yaitu sudah balig serta punya akal, iman atau tidak iman, tetap dikenakan wajib ma’rifat. Kalimat (mukallafin) lapadnya
(am=umum), nah oleh karena umum, maka orang kafir disiksa kalau tidak ma’rifat.
Penjelasan : an ya’rifa
Bilamana (fi’il mudlore) kemasukan / disisipi (an masdariyyah) kedudukan makna dan (tarkiban)-nya sama seperti (masdar), disini
kedudukan (an ya'rifa) jadi (fa’il) maknanya sama dengan (alma’rifat).
Kata (ma’rifat) dalam tauhid sebagaimana definisi dalam ilmu tashowwuf, kata ma’rifat dalam ilmu tashowwuf yaitu iman tingkatan
(arifin ilmul yaqin), (ainul yaqin), (haqqul yaqin).
Kata ma’rifat dalam aqo’id iman bukan sekedar mengetahui, bukan sekedar percaya, yang tahu namanya ilmu, yang percaya namanya
iman, tetapi yang nama ma’rifat melebihi tahu serta melebihi percaya, nah itu mutlaknya iman.
Pertama.
Apabila, umpamanya kemarin (jazim), sekarang tidak (jazim), maka dimualai dari sekarang hingga sebelum (jazim) tidak sah imannya,
hukumnya murtad.
Kedua.
Selanjutnya mesti (muwafiqun lilwaqi'i), maksudnya ialah perkara yang ditekadkannya mesti sesuai dengan buktinya. Seumpama
tekadnya (idrokun jazimun). Imannya kepada Alloh, tapi perkara yang ditekadinya tidak sesuai dengan buktinya, atau tidak sesuai
dengan sipat-sipat ketuhanan, menurut ahli sunnah, bukan ma’rifat tapi kupur hukumnya, seperti tekadnya kafir (mujassimah) dengan
nekadkan (jazim) atas adanya Alloh, tapi Alloh yang ia tekadkan yang bersemayan dalam dirinya sendiri. Atau seperti tekadnya kafir
(fulasifah) yang menekadkan akan adanya Alloh dengan (jazim), tapi yang ia tekadkan bahwa Alloh yang bersemayan didalam alam.
Atau menekadkan dengan (jazim) bahwa Muhammad itu rosululloh (utusan Alloh), sedangkan muhammad yang ia akui bukan
muhammad bin abdulloh, tapi misalnya (mim ~ ha ~ mim ~ dal) misalkan, (Mim)-nya kepala, (Ha)-nya tangan, (Mim)-nya perut, (Dal)-
nya kaki.
Ketiga.
Selanjutnya harus (nasyi’un an dalilin), artinya harus timbul dari dalil, dalil itu terbagi atas dua bagian:
1. Dalil tafshili, yaitu dalil yang mendalam serta mendetil, dalil yang ini bisa untuk menyerang atau menghancurkan aqidah yang
batal. Pandangan hukum syara’ terhadap dalil tafshili, para ulama berpendapat bahwa hukumnya fardlu kifayah.
2. Dalil ijmali, ulama ittifaq bahwa hukumnya adalah fardlu ain terhadap dalil ijmali. serta dimasukan kedalam syarat ma’rifat.
• Qoul yang pertama, golongan Imam Sanusi dan Imam Ibnul Arobi berpendapat bahwa ma’rifat tidak dengan dalil, maka
hukumnya tidak sah imannya, baik orang pintar atau orang bodoh, kapir hukumnya.
• Qoul anu kedua, ma’rifat tidak dengan menggunakan dalil, sah imannya, baik cerdas ataupun bodoh, Cuma maksiat.
• Qoul yang ketiga, ma’rifat tidak disertai dengan dalil untuk orang yang bodoh, sah imannya serta tidak maksiat, untuk orang
yang cerdas sah imannya tapi dosa, qoul yang ketiga ini dibuat sandaran oleh ahli aqo’id, serta sah disebarkannya.
• Qoul yang keempat, ma’rifat tidak disertai dalil, tidak berdosa seumpamanya taqlid pada qur’an dan hadits yang mutawatir.
• Qoul yang kelima, ma’rifat tidak disertai dalil, sah imannya serta tidak berdosa, malah haram memikirkannya dalil, seumpama
dalilnya tercampuri (fulasifah).
Penjelasan : ma yajibu
Maksudnya kata (ma) disini, yaitu perkara yang menunjukan pada macam-macam sipat yang dua puluh yang wajib adanya di Alloh
yang wajib dima’rifatkannya, penjelasannya insya alloh yang akan datang.
Kata wajib disini maksudnya wajib aqli bukan wajib syar’i bukan wajib ‘adi.
Yang dimaksud oleh wajib menurut hukum aqli, bukan dari pertama adanya akal, atau bukan dimana akal tidak ada terus wajibnya
hilang, tapi maksudnya pasti selalu ada selamanya, cuma akal yang menemukannya.
Aqli:
Adapun hukum aqal, yaitu menetapkan perkara yang lain, atau meniadakan perkara yang lain, serta bukan pengaturan Alloh, serta bukan
karena ukuran penemuan. Seperti menetapkan adanya suatu pekerjaan, menandakan bahwa pasti adanya (orang) yang punya pekerjaan.
1. Wajib.
2. Mustahil.
3. Wenang.
Yang namanya hukum, yaitu menetapkan satu perkara pada perkara yang lain, atau meniadakan perkara yang lain, seperti meniadakan
perkara yang baru dari Alloh.
Adat.
Hukum adat, yaitu menetapkan perkara yang lain, atau meniadakan perkara dari yang lain, dikarenakan sudah biasa kerap terjadi seperti
itu, tetapi sah menyalahinya serta tidak ada bekasnya, seperti menetapkan mesti adanya hangus dalam perkara yang bertemu kena api.
• Menyambungkan.
• Wajib.
• Mustahil.
• Wenang.
Wajib.
Adapun yang namanya wajib menurut adat, yaitu yang mesti adanya, tak mengerti oleh adat dalam tiadanya, dikarenakan sudah biasa
kerap terjadi seperti itu, tapi sah menyalahinya serta tidak ada bekasnya, seperti menetapkan mesti adanya hangus dalam perkara yang
bertemu kena api.
Mustahil.
Adapun yang namanya mustahil menurut adat, yaitu yang mesti tiadanya, tidak mengerti oleh adat dalam tiadanya, dikarenakan sudah
biasa kerap terjadi seperti itu, tapi sah menyalahinya serta tidak ada bekasnya, seperti mesti tidak ada hangus dalam perkara yang bertemu
api-tidak kena.
Wenang.
Adapun yang namanya wenang menurut adat, yaitu mengerti ada dan tiadanya itu terpikirkan, dikarenakan sudah biasa kerap terjadi
seperti itu, tapi sah menyalahinya serta tidak ada bekasnya, seperti berjualan, ada rugi ada untung.
Alloh berfirman:
◄Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya►
◄Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik►
Adapun yang memperkuat bahwa adat tidak membawa bekas, yaitu firman Alloh dalam alqur’an:
◄Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami►
(Yakni seperti makan tak membuat kenyang, kenyang bukan karena hasil makan, tapi Alloh yang mengadakan makan serta membuat
kenyang, makan dan kenyang adalah suatu ketentuan Alloh)
◄Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu►
Persambungan adat.
• Tidak ada ke tidak ada, contohnya : tidak ada makan, maka kenyang tidak ada.
• Tidak ada ke ada, contohnya : tidak adanya makan, maka lapar ada.
Adapun yang namanya adat ketika bertemu dengan sabab dan musabab, maka sah menyalahinya serta tidak ada bekasnya. Karena
terjadinya semua keadaan, bukan karena “sebab”, tetapi terjadinya semua itu oleh Alloh ta’ala, Insya Alloh penjelasannya ada dalam
sipat wahdaniyyat.
Sipat dua puluh haq Alloh bukan sesuatu yang ditangguhkan terhadap keputusan para mujtahidin, serta bukan haq yang ditangguhkan
terhadap perkataannya para rosul, serta bukan haq yang ditangguhkan terhadap adanya alam. Walaupun sama sekali ia Alloh tidak
menciptakan makhluk, akan tetapi ia Alloh tetap tersipati oleh sipat dua puluh.
Adanya sipat dua puluh yang ada di Alloh, ia tidak tergantung atas ditetapkannya atau dipercaya oleh makhluk, andaikata semua makhluk
tidak ada yang iman terhadap sipat yang dua puluh yang ada di Alloh, maka tetap ia Alloh tersipati oleh sipat dua puluh, sebagaimana
firmanNya dalam alqur’an:
◄Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu
adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana►
Ayat yang diatas memberitahukan bahwasannya dzat Alloh tidak membutuhkan apa-apa. dikarenakan sipat dua puluh haq Alloh, Yakni
tidak ada yang mempunyai sipat dua puluh kecuali Alloh, maka mustahil makluk tersipati oleh sipat dua puluh, seumpamanya ada
makhluk menyerupai sipat dua puluh, kesamaannya cuma sekedar dalam sebutan saja (tasybih tasmiyyah), karena pada hakikatnya
(mukholafah = berbeda), contohnya Alloh kuasa, raja-pun kuasa, kekuasaan Alloh tidak akan sama dengan kekuasaan raja.
Penjelasan : wa ma yastahilu
Maksud kata (ma) disini, yaitu perkara yang wajib dima’rifatkan bagian kedua, yaitu berbagai waranaan sipat yang mustahil di Alloh,
tidaklah cukup ma’rifat terhadap perkara yang wajib di Alloh saja, kalau tidak mema’rifatkan terhadap rincian sipat yang mustahil di
Alloh.Adapun penjelasannya Insya Alloh yang akan datang.
Penjelasan : wa ma yajuzu
Maksudnya kata (ma) disini, yaitu perkara yang wajib dima’rifatkan bagian yang ketiga, yaitu pada sipat yang (wenang) di Alloh,
tidaklah cukup ma’rifat dengan ma’rifat yang wajib di Alloh dan yang mustahil di Alloh saja seumpama tidak ma’rifat terhadap sipat
yang (wenang) di Alloh.
(Mumkin) disini bukan (Mumkin) menurut hukum syara’, juga bukan menurut hukum adat, tapi (Mumkin) menurut hukum akal. Kalau
mumkin menurut hukum syara’, yaitu menceritakan pada perkara yang dikerjakan dan tidak dikerjakan, atau tidak diberi pahala dan
tidak disiksa.
(Mumkin) menurut hukum adat, yaitu kadangkala ada, kadangkala tiada, seperti nyalanya lampu dan matinya lampu.
◄Perkara yang tergambarkan oleh akal ghorizi adanya dan tidak adanya►
Maksudnya, (Mumkin) adanya dan (Mumkin) tiadanya, walaupun hal tersebut yang dilarang oleh hukum syara’, seperti adanya kufur,
atau yang lainnya seperti dibakar tidak hangus. Nah ini semuanya hal yang (Mumkin) di Alloh. Insya Alloh penjelasannya yang akan
datang.
◄◄●═════════◄●►════════●►►
Wujud
Wujud
◄Maka wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat wujud, adapun perlawanannya sipat wujud ialah Al’adamu (tidak ada Alloh).
Sedangkan dalilnya yang menunjukan terhadap sipat wujudnya Alloh adalah adanya beraneka ragam jenisnya makhluk►
Penjelasan : fayajibu
Adapun kata wajib disini, yaitu wajib menurut hukum aqli, arti harfiyyahnya, pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi, bahwasannya
sipat wujud ada buktinya, serta yang dimaksud oleh wajib menurut akal, bukan semenjak adanya akal, atau bukan dimana akal tidak ada
terus wajibnya pun tidak ada, tapi maksudnya pasti serta dapat dipahami bahwa sipat wujud menetap selamanya, hanya akal yang
menemukannya.
Wajib sipat wujud itu haq Alloh ta’ala, bukan haq orang yang menyebut, karena wujud haq Alloh, maka pasti wujudnya Alloh tidak
tergantung akan dipercaya oleh makhluk, walaupun makhluk tidak ada yang iman, walaupun rosul tidak diutus, walaupun alam tidak
diciptakan, maka tetap Alloh itu wujud.
• Wujud idlofi. Adanya satu perkara bersandar atas perkara yang lainnya, seperti adanya bapak menyandar atas adanya anak,
atau adanya anak bersandar atas adanya bapak, dan yang serupa dengan itu.
• Wujud ‘aridli. Adanya satu perkara didahului oleh tidak ada dulu, seperti adanya langit, bumi, surga, neraka, dan yang serupa
dengan itu.
• Wujud dzati / haqiqiq. Adanya satu perkara tidak bersandar atas perkara lain, juga tidak didahului oleh tidak ada dulu serta
tidak diujungi oleh tiada. Yaitu adanya dzat Alloh.
Karena wujudnya Alloh wujud haqiqi/dzati, maka adanya Alloh tidak bersandar atas adanya alam, walaupun alam tidak ada, tetap Alloh
tersipati oleh sipat wujud, begitu pula bahwa wujudnya Alloh buka wujud (‘aridli), dalam arti wujudnya Alloh tidak didahului dan tidak
diujungi oleh tiada.
Adapun perkara yang wujud bisa ditemukan oleh dua perkara:
• Hissi
• Aqli
Perkara yang wujud bisa ditemukan oleh (hissi), yaitu oleh panca-indra:
Perkara yang wujud bisa ditemukan oleh aqli, yaitu oleh akal, seperti :
• Adanya ilmu
• Adanya bodoh.
• Adanya pintar.
• Adanya bahagia.
Setiap wujudnya yang diciptakan, pasti akal menemukan wujudnya yang menciptakan, oleh wujudnya alam atau makhluk, akal
menemukan pada wujud yang menciptakan, kemampuhan akal cuma sebatas menemukan adanya dzat yang menciptakan (robb), adapun
menemukan robb yang dinamai Alloh, itu bukan hasil dari akal, tapi pemberian wahyu / ilham.
Adapun sipat wujud namanya sipat (nafsiyyah), artinya sipat yang menetap yang menunjukan akan adanya dzat Alloh dari (zaman
ajalli), bukan sipat yang bangsa tiada, bukan sipat yang menunjukan pada yang menetap (ngancik:sunda) didalam dzat, bukan sipat yang
bangsa anggapan (rekenan:sunda). Isinya sipat (nafsiyyah) cuma satu yaitu wujud.
Sipat yang bangsa tiada, namanya sipat (salbiyyah), seperti sipat qidam artinya (tidak ada) permulaannya.
Sipat yang bangsa menetap didalam dzat, namanya sipat (ma’ani), seperti qudrot (hinggap) di dzat Alloh.
Sipat yang bangsa anggapan yaitu sipat (ma’nawiyyah), seperti Alloh (qodiron = kuasa jadi (yang) kuasa.
Dan cukup untuk orang mukallaf ialah mengetahui sesungguhnya Alloh ta’ala yang maujud serta tingkahnya ada tur pasti, serta tidak
diwajibkan bagi orang mukallaf untuk mengetahui atas wujudnya Alloh itu, apa (ainushshifat) atau (ainudzdzat), karena termasuk:
Sorotan hukum syara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat wujud.
• Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib wujudnya Alloh dengan
resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib wujudnya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa orang
yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib wujudnya di Alloh, serta di cap orang kafir dengan perintah syara’:
◄Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah►
• Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil ‘adamnya di Alloh, karena tidak sah
menekadkan atas wajib wujudnya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahil ‘adamnya di Alloh.
• Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
Penjelasan : dlid
Maksud perlawanannya sipat wujud ialah (al’adamu), artinya tidak ada Alloh, karena wujudnya Alloh wajib, maka tidak adanya Alloh
pasti (mustahil)nya.
Kata (dlid) menurut (istilah) yaitu, dua perkara yang tidak bisa kumpul dua-duanya, juga bisa hilang dua-duanya, seperti putih dan hitam
tidak akan ada dalam satu titik saja, putih dan hitam bisa hilang dua-duanya digilir oleh merah.
Kata (dlid) menurut (lughot) yaitu, dua perkara yang tidak bisa kumpul kedua-duanya, dan tidak bisa hilang dua-duanya, seperti kata
wujud dengan ‘adam, dua kata yang tidak akan bisa berkumpul dalam satu dzat, serta tidak akan hilang dua-duanya, karena tidak akan
ada satu perkara didalamnya satu sebutan, ia ada ia juga tiada, dan tidak bisa keberadaanya hilang dua-duanya. Nah itulah arti dhid
menurut lughot ia (naqidh = kurang) menurut (istilah). Karena wujud dengan (‘adam) (wajibul wujud) dan (muhal wujud) maka tidak
akan kumpul dua-duanya, serta tidak akan hilang dua-duanya. Oleh karena itu maka dhid dalam ilmu aqo’id ialah dhid menurut (lughot)
(naqidh) menurut (istilah), karena tidak ada pihak ketiga.
Dan, yang namanya (dlid) disini, ialah perlawanan (wujud dzati) yang dikatagorikan mustahil di Alloh, yaitu:
• Wujud idlofi, yaitu adanya perkara karena bersandar terhadap perkara yang lainnya.
• Wujud hissi, yaitu adanya perkara karena diketahui oleh panca indra.
• Adam bainal wujudaini, yaitu tidak adanya, ditengah-tengah yang dua kali wujud. Nah ini semuanya perkara yang mustahil
di Alloh, karena hakikatnya ‘adamun ma’dumun dari tidak ada bakal tidak ada.
Maksudnya (waddalilu ala dzalika) yaitu dalil yang menunjukan terhadap wujudnya Alloh.
• Dalil ijmali, yaitu dalil garis besar. Mengetahuinya terhadap dalil ijmali menurut hukum syara’ termasuk (fardhu ‘ain).
• Dalil tafshili, yaitu dalil yang mendetail. Mengetahuinya terhadap dalil tafsili menurut hukum syara’ termasuk (fardhu
kifayah). Adapun dalil dalam kitab tijan termasuk dalil ijmali.
• Dalil aqli yaitu, yang perjalanannya menggunakan dari hukum akal, serta akal yang digunakannya, yaitu akal ghorizi bukan
akal thobi’i.
• Dalili naqli yaitu, perjalanannya yang bersumber dari alqur’an dan alhadits, yang menggunakan dalil naqli khusus orang
mukmin, adapun orang kafir tidak bisa diberi keterangan alqur’an dan alhadits, karena terhadap alqur’an dan alhaditsnya juga
belum percaya. Berbeda dengan dalil aqli, yaitu dalil yang ada dalam kitab tijan, supaya bisa mengerti terhadap hatinya orang
kafir.
Adapun yang namanya dalil yaitu alamat atau tanda, definisinya yaitu:
◄Tatkala diketemukan yang memberi tanda, pasti diketemukan yang ditandai, tidak usah ada tandanya►
Dikarenakan dalil jadi alamat, maka adanya makhluk jadi tanda terhadap adanya Alloh, setiap ada yang menciptakan pasti ada yang
diciptakan, tetapi bagi Alloh mumkin untuk tidak menciptakan makhluk. Berbeda dengan yang namanya ta’rif, kalau ta’rif itu ialah:
Seperti (dzakar) ta’rifnya (rojul), ada dzakar ada rojul, ada rojul pasti ada dzakarnya. Adapun makhluk adalah alamat terhadap adanya
Alloh bukan ta’rif atas adanya Alloh.
Kesimpulannya, wujudnya Alloh tidak memerlukan dalil, Cuma imannya orang mu’min memerlukan dengan memakai dalil supaya
yakin.
Kenapa dalam setiap sipat yang wajib di Alloh selalu menggunakan dalil, yaitu untuk menyempurnakan ma’rifat, karena diantara
syaratnya ma’rifat mesti mengetahui terhadap dalil.
Penjelasan : dalil
• Dalil dari aqli, yakni dalil aqli-nya bahwa Alloh tersipati oleh sipat wujud, yaitu:
◄Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya►
(Surat 32 As-Sajdah: 4)
◄◄●═════════◄►════════●►►
Qidam
Qidam
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat qidam (tidak ada permulaannya), adapun maknanya sipat qidam "sesungguhnya
(Alloh) tidak ada permulaannya terhadap Alloh ta’ala. Sedangkan perlawanannya sipat qidam yaitu huduts (baru). Adapun dalilnya
terhadap sipat qidam (yaitu) "Sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh) halnya yang baru pasti membutuhkan (Alloh) terhadap sesuatu
yang memperbaru, sedangkan kalau Alloh membutuhkan atas sesuatu yang memperbaru pasti mustahil"►
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut (salbiyah)-nya yaitu pasti serta dapat
dipahami oleh akal ghorizi bahwa keberadaannya Alloh tidak ada permulaannya.
• Qidam idlofi, yaitu permulaanya satu perkara karena disandarkan terhadap perkara lainnya, seperti permulaannya bapak
disandarkan terhadap anak.
• Qidam zamani, yaitu permulaannya satu perkara yang terliputi oleh zaman, seperti permulaannya langit dan bumi karena
sudah lama pada zaman adanya.
• Qidam haqiqi, yaitu permulaannya satu perkara bukan disandarkan terhadap perkara yang lainnya, serta bukan permulaannya
terliputi oleh zaman, tapi permulaannya bukan asalnya tidak ada dulu, dalam arti tidak ada permulaannya. Yakni qidamnya
dzat Alloh.
Karena qidam-nya Alloh, qidam haqiqi, maka qidamnya Alloh tidak membutuhkan pada sesuatu yang memperbaru, karena
seumpamanya Alloh membutuhkan pada sesuatu yang memperbaru, maka akan menimbulkan (daur) atau (tasalsul), yang keduanya
mustahil bagi Alloh.
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh
tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada
berhentinya.
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (terhadap
perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan
yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung / estafet tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang
tiada berujung.
Sorotan hukum syara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qidam:
• Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib qidamnya di Alloh dengan
resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib qidamnya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa orang
yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib qidamnya di Alloh, serta di cap orang kafir.
• Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil hudutsnya di Alloh dan barunya
semua makhluk, karena tidak sah menekadkan atas wajib qidamnya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas
mustahilnya hudutsnya di Alloh, serta barunya semua makhluk.
• Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
◄Dialah yang Awal dan yang Akhir, dan yang Zhahir dan yang Bathin►
(Surat 57 Al-Hadid: 3)
Penjelasan : wama’nahu
Maksud kata (wama’nahu) disini ialah, mengungkapkan bahwa sipat qidam itu (‘adamiyyah) dalam arti, ia yang menjadi sipat oleh tidak
adanya, contoh sipat qidam, artinya "tidak ada" permulaannya. Juga sipat qidam itu bukan (tsubutiyyah) ungkapan yang menetap ada
buktinya, serta ungkapan (tsubutiyyah) menunjukan untuk selain qidam haqiqi, maka tidak sah diungkapkan kepada Alloh dengan
ungkapan dari dulu (keberadaannya) Alloh, karena ungkapan seperti itu namanya ,(tsubutiyyah) Dalam kata "alqidam" memakai huruf
(Alif & Lam), menunjukan bahwa qidam di Alloh itu ialah qidam haqiqi, yakni hakikatnya qidam.
Adapun sipat qidam di Alloh termasuk sipat (salbiyyah), yaitu sipat yang tercabut, ia jadi sipat oleh tidak adanya, jadi hakikat qidam di
Alloh tidak ada permulaan. Dari mulai sipat qidam sampai sipat wahdaniyyat semuanya disebut sipat (salbiyyah).
Oleh karena itu dalam qidamnya Alloh bukan karena disandarkan atas adanya alam, serta bukan karena tidak ada yang mengetahui
permulaan adanya, tapi qidamnya Alloh karena tidak didahului oleh tidak ada dulu, kalau qidam idlofi dan qidam zamani semuanya itu
pada hakikatnya tetap dinamakan baru.
Penjelasan : wa dlidduhu
Kata (dlid) disini, maksudnya sama seperti yang telah disampaikan dalam bab perlawanan sipat wujud, ialah (dlid) menurut (lughot)
(naqidl) menurut (istilah), yang artinya yaitu, dua perkara yang tidak akan bisa kumpul bersamaan adanya, serta tidak akan hilang
bersamaan tidak adanya, pasti kalau "qidam" wajib wujudnya, (huduts) mustahil tidak adanya.
Penjelasan : alhudutsu
Maksudnya ialah perlawanannya sipat qidam, yaitu (alhudutsu) artinya baru. Karena qidamnya Alloh wajib maka (alhudutsu)-nya juga
pasti mustahil, oleh karena itu tidak sah menekadkan qidamnya Alloh saja kalau tidak disertai menekadkan terhadap barunya makhluk.
• Huduts zamani, yaitu, baru waktu adanya, yang terliputi oleh zaman.
• Huduts idlofi, yaitu barunya satu perkara karena disandarkan atas perkara lainnya.
• Huduts haqiqi, yaitu barunya satu perkara karena keberadaannya tidak ada dulu.
Pejelasan : wa dalilu
Yang dimaksud dalil disini, yaitu dalil aqli yang bangsa ijmali, bukan dalil aqli tafshili, juga bukan dalil naqli dari alqur’an atau alhadits.
◄Sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh) halnya yang baru pasti membutuhkan (Alloh) terhadap sesuatu yang memperbaru, sedangkan
kalau Alloh membutuhkan pada sesuatu yang memperbaru pasti mustahil►
◄◄●═════════◄►════════●►►
Baqo'
Baqo'
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat baqo’ (kekal :tidak ada ujungnya), adapun maknanya sipat sipat baqo’ "sesungguhnya
bahwa Alloh ta’ala tidak ada ujungnya bagi Alloh". Sedangkan dalil yang menunjukan atas sipat baqo’nya Alloh, ialah "Sesungguhnya
kalau terbukti (Alloh) hal keberadaanNya ruksak pasti bukti (Alloh itu) hal-nya baru, sedangkan kalau keberadaanNya baru tentunya
mustahil"►
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut salbiyyahnya yaitu pasti serta dapat
dipahami oleh akal ghorizi bahwa keberadaannya Alloh tidak ada ujungnya.
• Baqo’ zamani yaitu, kekalnya satu perkara yang terliputi oleh zaman, seperti kekalnya surga dan neraka.
• Baqo’ nisbi yaitu, kekalnya satu perkara dibandingkan dengan perkara lainnya, seperti kekalnya waja dibandingkan dengan
kayu, kekalnya bumi dibandingkan dengan yang mendiaminya.
• Baqo’ haqiqi yaitu, kekalnya satu perkara bukan karena lama zamannya, juga bukan karena dibandingkan atas perkara lainnya,
tapi kekalnya tidak ada ujungnya, juga tidak terkena oleh ruksak, yakni kekalnya dzat Alloh.
Dikarenakan baqo’nya Alloh baqo’ haqiqi, maka baqo’nya Alloh tidak akan terkena oleh ruksak serta tidak diujungi oleh tiada. Dan
seumpamanya Alloh terkena oleh ruksak dan diujungi oleh tiada, pasti wujudnya Alloh (mumkin), kalau wujudnya Alloh (mumkin)
pasti keberadaannya Alloh tidak ada dulu, kalau keberadaannya tidak ada dulu pasti menimbulkan (daur) atau (tasalsul), yang keduanya
mustahil bagi Alloh.
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh
tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada
berhentinya.
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (akan perkara
tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan
yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada
berujung.
Sorotan hukum syara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qidam:
• Pertama, hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh
dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa
bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib baqo’nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
• Kedua, hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil fana’nya di Alloh, dan atas
ruksaknya semua makhluk, karena tidak sah menekadkan atas baqo’nya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas mustahil
fana’nya di Alloh, dan ruksaknya semua makhluk. Firman Alloh dalam alqur’an:
◄Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan►
Terkecuali ada delapan perkara yang tidak akan ruksak, oleh (tahshish)-nya hadits:
1. Qolam.
2. Lauhul mahfudh.
3. Arasy.
4. Kursi.
5. Ruhani.
6. Neraka.
7. Surga,
Nah itu semua tidak akan terkena oleh ruksak tapi sipatnya (baqo’ zamani = kekalnya karena terliputi oleh zaman), dan keberadaannya
juga (ba’dal ‘adam = adanya sesudah tidak ada dulu).
• Ketiga, hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal, dengan firman Alloh dalam alqur’an:
Maksud dari (wa ma’nahu) disini ialah, mengungkapkan bahwa sipat baqo’ itu (‘adamiyyah) dalam arti, yang menjadi sipat oleh tidak
adanya, contohnya seperti sipat (baqo’ = tidak ada ujungnya). Juga sipat baqo’ itu bukan (tsubutiyyah = ungkapan yang menetap ada
buktinya), serta ungkapan (tsubutiyyah) ini menunjukan untuk bukannya baqo’ haqiqi, maka tidak sah diungkapkan kepada Alloh
dengan ungkapan kata (kekal), karena ungkapan seperti itu adalah ungkapan (tsubutiyyah).
Dalam kalimah (albaqo’) memakai hurup (Alif & Lam) (lilhaqiqot), menunjukan bahwa baqo’ di Alloh itu ialah baqo’ haqiqi, yakni
hakikatnya baqo’, Dan sipat baqo’ di Alloh termasuk jadi sipat (salbiyyah = sipat yang tercabut), ia jadi sipat oleh tidak adanya. Jadi
bahwa hakikatnya sipat baqo’ di Alloh adalah (tidak ada ujungnya).
Dalam bahasan sipat baqo’ mushonnif tidak menyebutkan dengan kalimat (wadlidduhul fana’u = dan perlawanannya sipat baqo’, yaitu
ruksak), karena sudah menjadi kepastian apabila Alloh baru, sudah pasti terkena oleh ruksaknya, dan bakal diujungi oleh tidak adanya,
serta pasti keberadaannya Alloh jadi hal yang (mumkin), kalau wujudnya (mumkin), pasti keberadaanya jadi baru, alias tidak ada dulu.
Seumpama barunya sudah ter(mustahil)kan, maka sudah jadi kepastian (fana’)-nya juga sudah ter(mustahil)kan, karena (fana’) sudah
ter-indiroj (terjepit) dalam muqoddam dalil = pembukaan dalil) yaitu (lau kana faniyan).
◄Sesungguhnya kalau terbukti (Alloh) hal keberadaanNya ruksak pasti bukti (Alloh itu) hal-nya baru, sedangkan kalau keberadaanNya
baru tentunya mustahil►
Yang dimaksud dalil diatas tadi, yaitu dalil aqli yang bangsa (ijmali), bukan dalil (aqli tafshili), juga bukan dalil naqli dari alqur’an atau
alhadits.
◄◄●═════════◄►════════●►►
Mukholafatu lilhawaditsi
Mukholafatu lilhawaditsi
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut (salbiyyah)-nya yaitu pasti serta dapat
dipahami oleh akal (ghorizi) bahwa keberadaannya Alloh tidak ada titik persamaan antara Alloh dengan makhluknya, kalau seandainya
Alloh ada titik persamaan, pasti Alloh itu baru.
Sebelum keadaan yang (hawadits) ada, Alloh sudah tersipati oleh mukholafatu lilhawaditsi, yang sudah ada dalam ilmunya Alloh, ialah
setiap makhluk yang ter-(ta’aluq) oleh (shuluhi qodim) qudrotnya Alloh. Jadi sipat mukholafat lilhawaditsi di Alloh tetap qodim tidak
ter-(hawadits)-kan oleh (hawadits).
Adapun sipat (mukholafatu lilhawaditsi) di Alloh termasuk sipat (salbiyyah), yaitu sipat yang tercabut atas perkara yang tidak pantas
ada di Alloh, juga jadi sipat oleh tiadanya. Jadi artian dari sipat (mukholafatu lilhawaditsi) yaitu, tidak ada tandingannya terhadap Alloh,
ia adalah (adamu mumatsalah : tidak ada yang menyerupai).
Sorotan hukum sara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat mukholafatu lilhawaditsi:
• Pertama hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib (mukholafatu
lilhawaditsi)nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib (mukholafatu lilhawaditsi)nya di Alloh
serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib (mukholafatu
lilhawaditsi)nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
• Kedua hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil (mumatsalah)nya di Alloh,
karena tidak sah menekadkan atas mukholafatu lilhawaditsinya di Alloh saja kalau tidak menekadkan atas (mumatsalah)nya di
Alloh.
• Ketiga hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil terhadap benarnya hukum akal dengan firmannya:
◄Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat►
Penjelasan : wa ma'nahu
Disini mushonnif memberi contoh bahwa terhadap Alloh tidak ada tangan, tidak ada mata, tidak ada telinga dan tidak ada perkara yang
sejenisnya.
Apabila ada (nash) dalam alqur’an atau dalam alhadits yang "cenderung" atau "hampir", bahwa Alloh menyerupai makhluk, hal tersebut
ada dua sorotan:
• Pertama. Menurut ulama kholaf, (nash) alqur’an dan alhadits mesti di(ta’wil), dengan kata lain mesti disalurkan dengan makna
yang layak terhadap Alloh.
• Kedua. Menurut ulama salaf, (nash) alqur’an dan alhadits mesti di-(tawidl), dengan kata lain nash ini mesti dibekukan serta
diserahkan kepada Alloh maknanya, karena khawatir menyalahi makna serta tujuannya (nash) tersebut.
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, Yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh
tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada
berhentinya.
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (akan perkara
tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan
yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada
berujung.
◄Sedangkan dalilnya terhadap sipat mukholafatu lilhawaditsi "sesungguhnya jika terbukti (Alloh) halnya yang menyerupai akan
perkara yang baru maka terbukti (Alloh) hal yang baru, sedangkan kalau Alloh baru pasti mustahil"►
◄◄●═════════◄►════════●►►
Qiyamuhu Binafsihi
Qiyamuhu Binafsihi
(Yaitu sipat yang kelima yang wajib dalam haqnya Alloh ta'ala)
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat alqiyamu binnafsi, adapun maknanya alqiyamu binnafsi, yaitu sesungguhnya Alloh
ta'ala tidak membutuhkan terhadap tempat dan tidak membutuhkan siapapun yang menentukannya, adapun perlawanannya sipat
alqiyamu binnafsi yaitu al-ihtiyaju (butuh) terhadap tempat serta butuh terhadap yang menentukan. Sedangkan dalilnya yang
memperkuat atas sipat alqiyamu binnafsi "sesungguhnya (Alloh) seandainya kalau membutuhkan tempat maka terbukti bahwasannya
Alloh hal-nya jadi sipat, kalau seandainya keberadaan Alloh hal-nya jadi sipat pasti mustahil. Selanjutnya kalau Alloh butuh terhadap
sesuatu yang menentukanNya maka terbukti (Alloh) halnya baru, dan jikalau keberadaannya (Alloh) halnya yang baru pasti mustahil"►
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut salbiyahnya yaitu pasti serta dapat
dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak membutuhkan dzat atau orang yang menciptakanNya, serta adanya Alloh tidak
membutuhkan terhadap sesuatu untuk "bertempat" (mendiami = menetap).
Yang dimaksud oleh kata (alqiyamu binnafsi) disini, bukannya Alloh berdiri yang asalnya tidak ada lalu dengan sendirinya menjelma.
Tapi yang dimaksud oleh (alqiyamu binnafsi) yaitu Alloh berdiri sendiri oleh dzatNya sendiri, serta yang dimaksud dengan berdiri
sendiri disini, yaitu:
• Adanya tidak membutuhkan suatu tempat untuk berdiam diri atau menetap.
Sipat (alqiyamu binnafsi) termasuk salah satu sipat salbiyah yakni adamiyah yang menjadi sipat oleh "tiada"nya, oleh karena itu hakikat
wujudnya dzat Alloh tidak membutuhkan tempat untuk besemayan atau berdiam diri atau menetap, serta tidak membutuhkan siapapun
yang menentukanNya.
Pejelasan : wa ma'nahu
Seumpamanya Alloh membutuhkan terhadap dzat atau seseorang yang menciptakan, atau membutuhkan suatu tempat untuk
bersemayan, maka akan menimbulkan daur atau tasalsul yang keduanya mustahil terhadap Alloh.
Definisi Daur:
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh
tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada
berhentinya.
Definisi Tasalsul:
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (akan perkara
tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan
yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada
berujung.
Karena makna (alqiyamu binnafsi) tidak butuh tempat untuk bersemayan, maka tercabut dari Alloh semua perkara yang meliputi
pertanyaan "DIMANA", serta semua jawabannya dari jihat yang 10 (sepuluh):
1. Depan
2. Belakang
3. Kiri
4. Kanan
5. Atas
6. Bawah
7. Luar
8. Dalam
9. Nempel
10. Pisah
Oleh karena Alloh tersipati oleh sipat (alqiyamu binnafsi), maka batal i'tiqod yang menekadkan bahwa Alloh bersemayan di arasy,
karena:
1. Seumpama Alloh bersemayan di arasy, tentunya Alloh butuh dengan arasy untuk berdiam diri, arasy-nya juga harus qodim serta serba
maha karena akan ditempati serta dipakai untuk berdiam oleh dzat yang qodim yang serba maha, sedangkan mustahil ada mekhluk yang
melebihi dari dzat yang serba maha.
◄Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi►
◄Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat►
◄Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak
mengantuk dan tidak tidur►
(Qs 57 Al-Hadiid: 4)
Adapun firman Alloh yang dimaksud dalam surat (20 Thaahaa ayat 5), begini:
◄Adapun Arrahman (Tuhan Yang Maha Pemurah), menata (miyara=sunda) terhadap `Arasy►
Makna tersebut adalah makna hakiki bukan makna majazi, karena makna istawa mempunyai 2 (dua) makna hakiki:
1. Makna qorib (dekat), makna yang sering dipakai, makna yang qorib ini dimustahilkan oleh ayat-ayat yang telah disebutkan
tadi (dari 2 sampai 8).
2. Makna ba'id (jauh), makna yang jarang dipakainya, makna yang ini sesuai dan pas tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang
disebutkan tadi (dari 2 sampai 8)
Oleh karena itu, kalau seandainya menemukan satu lapad yang mempunyai dua makna (qorib&ba'id) terus dipakai dengan makna ba'id,
maka kalam tersebut termasuk (kalamun badi'un tauriyyah) artinya suatu ungkapan yang indah.
Bilamana dipakai dengan makna qorib, maka makna tersebut akan lahir dengan artian "di langit"
Bilamana dipakai dengan makna ba'id, maka makna tersebut akan lahir dengan artian "di atas"
Oleh sebab itu, apabila kalimat "fissama'" seandainya dimaknaan dengan makna qorib akan menimbulkan pertentangan dengan ayat-
ayat yang lainnya (seperti yg telah disebutkan diatas), maka kalimat "fissama'" dipakai dalam makna ba'id (dengan artian-diatas). Oleh
karena makna "diatas" masih mengandung makna ikhtimal (adanya kemungkinan yang lain), maka makna "diatas" harus
dita'wil/disalurkan.
Jadi artian __*Ainalloh? qola fissama'*__ begini arti keseluruhannya "Dimana Alloh itu? Rosul menjawab, ada diatas dalam
martabatnya, dalam kekuasaanya" . tegasnya _fauqo kulli syai'in = diatas segala perkara_ Seperti firman Alloh dalam alqur'an:
◄Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya►
Jadi yg dimaksud dengan kalimat __di-ATAS itu__ bukan menunjukan terhadap tempat, sebab Alloh tidak bertempat, tapi menunjukan
diatas martabat kedudukan N kekuasaan Alloh.
Sorotan hukum syara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qiyamuhu binafsihi:
• Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di
Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya
iman. Dan disiksa orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh, serta di cap
orang kafir.
• Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil ihtiaju-nya di Alloh, karena tidak
sah menekadkan atas wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahilnya ihtiaju-nya
di Alloh.
• Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
◄Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup serta Yang Berdiri sendiri►
Dalam dalil aqli ini, ada kalimat (Alloh halnya jadi sipat), maksudnya yaitu:
Jadi yang benar, adalah sipat yang berdiri didalam dzat, contohnya ada sebuah tembok yang warnanya hijau, tembok itu adalah dzat
yang disipati oleh sipat hijau, warna hijau jadi sipat dari sebuah tembok tersebut.
Andaikata Alloh itu bangsa sipat tentunya Alloh tidak akan tersipati oleh sipat ma'ani, serta tidak akan tersipati oleh sipat ma'nawiyah,
karena sipat tidak akan berdiri didalam sipat.
◄◄●═════════◄►════════●►►
Wahdaniyat
Wahdaniyat
(Yaitu sipat yang keenam yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
◄Dan, wajib dalam haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat wahdaniyat (tunggal), didalam dzatnya dan sipatnya serta perbuatannya
(penciptaanya), adapun maknanya wahdaniyat dalam dzatNya "sesungguhnya bahwa dzatnya Alloh tidak tersusun dari berbagai juz
yang berbilang". Adapun maknanya wahdaniyat dalam sipatNya "sesungguhnya Alloh tidak ada terhadapNya dua sipat atau lebih banyak
dari jenis yang satu seperti ada dua qudrot (dalam dzat / diri Alloh) dan begitu juga seperti dua qudrot tadi dan tidak ada tuk selain Alloh
satu sipat saja yang menyerupainya terhadap sipat Alloh ta'ala". Adapun makna wahdaniyat dalam pekerjaanNya "sesungguhnya tidak
ada untuk selain Alloh satu pekerjaan saja dari berbagai jenisnya pekerjaan Alloh. Dan perlawanannya sipat wahdaniyat ialah ta’addud
(berbilang), sedangkan dalilnya terhadap sipat wahdaniyat "sesungguhnya Alloh jikalau terbukti keberadaanNya yang berbilang maka
tidak akan pernah ada satu perkara-pun dari semua jenis yang namanya makhluk"►
Penjelasan.
Wajib disini wajib menurut hukum akal, yang artinya pasti buktinya sehingga dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa Alloh tersipati
oleh sipat wahdaniyat, arti salbiyahnya pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak ada bilangannya.
Kata wahdaniyat menurut ahli bahasa yaitu "satu Alloh", tapi yang dimaksud disini satu dalam artian tidak ada bilangannya, ia tidak
terliputi oleh bilangan, satu bukan bagian dari yang banyak, seperti ada satu, ada dua, ada tiga dan seterusnya.
Serta satunya itu bukan hasil merangkaikan dari bilangan juz-juz, seperti ada kata trimurtri, ia bisa disebut satu tapi satunya itu hasil
rangkaian sepertiga dari hitungan tiga bagian atau tiga juz.
Mushonnif yang mengarang kitab ini diatas tadi telah memberi contoh bahwa yg dimaksud dengan sipat Wahdaniyat tersebut, yaitu satu
dalam dzatnya, satu dalam sipatnya dan satu dalam perbuatannya.
Kesimpulannya.
Dalam maknanya sipat wahdaniyat yang telah disebutkan tadi, dapat disimpulkan bahwa dinafikan (dicabut) dari Alloh atas 5 (lima)
kam (bilangan):
1. Kam munfashil fidz dzati: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam dzatnya, dari jumlahan bagian yang banyak, dalam
arti satunya bukan dua, bukan tiga, bukan empat dan seterusnya. contohnya katakan saja "ada SATU ruko" didalam satu pasar,
tapi SATU-nya itu bukan cuma satu-satunya dari jumlahan yang banyak. Jadi yang namanya SATU seperti ini bukan SATU
yang dimaksud dengan wahdaniyat di Alloh.
2. Kam muttashil fidz dzat: dicabut dari Alloh bilangan yang merangkap atau rangkaian dalam datnya, yang tersusun dari
berbagai juz, seperti satunya lain seperdua dari dua, sepertiga dari tiga, seperempat dari empat dan seterusnya, contohnya "ada
SATU bangunan" ia boleh disebut SATU, tapi satunya itu tersusun dari jenisnya bata merah, semen, pasir, air, kusen, cat
tembok, ruang tamu, kamar, dapur dan lain-lain. Ini juga bukan SATU yang dimaksud dengan wahdaniyat di Alloh.
3. Kam munfashil fish shifat: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam sipatnya, dari jumlahan yang banyak, dalam arti
tidak ada sama sekali apapun dan siapapun yang mempunyai dan menyerupai sipatNya di luar Alloh, yang sama dalam
bahasanya, bentuknya serta isinya. Tapi tidaklah mengapa kalau ada persamaan dalam sebutannya saja, seperti sebutan yang
dilontarkan kepada makhluk bahwa ia kuasa, ia punya ilmu dan lain-lain, kenapa ? karena kuasanya Alloh berbeda dengan
kuasanya yang ada di makhluk, begitupun ilmu yang ada di Alloh, berbeda dengan ilmu yang ada di makhluk.
4. Kam muttashil fish shifat: dicabut dari Alloh bilangan yang merangkap dalam sipatnya dari jumlahan bagian juz sipat yang
satu, seperti ia Alloh tersipati oleh sipat qudrot, sipat qudrot di Alloh hanya satu, lain dua, lain tiga, lain empat dan seterusnya.
Begitu juga irodatnya Alloh, ilmunya Alloh, hayatnya Alloh, sama', bashor, juga kalamnya Alloh, bukan dua bukan tiga tapi
hanya satu.
5. Kam munfasil fil af'al: dicabut dari Alloh bilangan yang pisah dalam penciptaanya, atau dalam pekerjaannya, atau dalam
perbuatannya, dari berbagai jenis jumlahan perbuatan Alloh, dalam arti tidak ada sama sekali yang mempunyai atsar
(kesan=bekas) pekerjaan diluar perbuatan Alloh.
Oleh kerana wahdaniyat di Alloh melepas dari lima KAM (hitungan), maka tidak akan pernah ada tuhan selain Alloh, kalau ada tuhan
selain Alloh dapat dipastikan bahwa semua jenis yang namanya makluk tidak akan pernah ada, dan buktinya hingga sekarang yang
namanya makhuk itu ada, ternyata bahwa adanya Alloh tidak ada bilangannya dalam dzat, sipat serta af'alnya, seperti yang telah
difirmankan oleh Alloh dalam alqur'an:
◄Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang
mempunyai `Arsy daripada apa yang mereka sifatkan►
1. Mukhtar: yaitu perbuatan Alloh yang disambungkan dengan daya pilihannya makhluk, atau daya ikhtiarnya makhluk, seperti
Alloh menciptakan kaya disambungkan dengan daya semangat usahanya seseorang, Alloh menciptakan kenyang dalam diri
seseorang disambungkan dengan masuknya nasi kedalam perut, Alloh menciptakan keruksakan dimuka bumi disambungkan
dengan ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab, dan seterusnya.
2. Mudlthor: yaitu perbuatan Alloh secara langsung tampa disambungkan dengan daya pilihannya makhluk, seperti Alloh
menciptakan langit dan bumi, Alloh menciptakan siang dan malam, Alloh menciptakan lelaki dan perempuan dan seterusnya.
Terkadang mudlthor dan mukhtar masuk saling bergantian disela-sela adat, yang sedang berjalan dalam kehidupan sehari-hari.
contohnya, seperti dalam keadaan kita sedang "bernafas" adakalanya sinafas tersebut sengaja ditarik, ditahan dan dikeluarkan oleh daya
upaya kita sendiri, tapi terkadang dalam keluar masuknya nafas bukan kita yang mengaturnya seperti dalam keadaan sesak nafas atau
dalam keadaan tidur, hal ini bagian yg mudlthor. Contoh yang kedua, dalam keadaan kita sedang "mengedipkan" mata, adakalanya mata
itu sengaja dikedipkan oleh kita, selebihnya mudlthor.
Ada pula perbuatannya Alloh, adakalanya suatu kejadian biasanya mukhtar berubah menjadi mudlthor, contoh, seperti orang yang tekun
serta giat dalam mencari uang, tapi sengsara dalam hidupnya. Sebaliknya orang yang malas dalam mencari uang, tetapi ia diberi
kelapangan dalam hidupnya. Contoh lagi, seperti Alloh telah menakdirkan seseorang menjadi seorang lelaki, hal ini bisa diikhtiyari
berubah jadi jenisnya seorang perempuan, sebaliknya seorang perempuan bisa berubah menjadi lelaki dengan melalui jalan
diikhtiyarinya dan lain sebagainya
Dalil yang menunjukan atas perbuatan Alloh yang Mudlthor, yaitu dalam surat yang ke 9 At-Taubah ayat 51
Artinya ◄Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami"►
Contoh, seperti makan tidak bisa menghasilkan kenyang, minum tidak menghasilkan segar, tapi dalam keadaan makan dan minum,
kenyang dan segar disitu ada ketentuan qodlo dan qodarNya Alloh yang sedang berjalan.
Sorotan hukum syara' terhadap wajib aqli-nya bahwa Alloh tersipati oleh sipat wahdaniyyat:
• 1. Hukum syara mewajibkan kepada semua orang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib wahdaniyat-nya di Alloh, dengan
resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib wahdaniyatnya di Alloh serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa
bagi orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib wahdaniyat-nya di Alloh serta di cap orang kafir.
• 2. Hukum Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil ta'addud-nya di Alloh,
karena tidak sah menekadkan terhadap wajib wahdaniyyatnya di Alloh, kalau tidak menekadkan mustahil ta'addudnya di Alloh.
• 3. Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
• 4. Hukum syara' mewajib syar'ikan kepada semua orang mukallaf harus bertauhid dengan mewahdaniyatkan terhadap wujudnya
Alloh ta'ala, bukan hanya sekedar diwajibkan percaya terhadap wahdaniyatnya Alloh, tapi wajib selama-lamanya bertauhid
dengan mewahdaniyatkan terhadap wujudnya Alloh, serta:
· Mewahdaniyatkan Mathlub, yaitu mengkhususkan mencari dan patuh terhadap semua perintah Alloh serta menjauhi segala
larangan Alloh.
· Mewahdaniyatkan Maqsud, yaitu mengkhususkan tujuan hanya untuk mencari ridhonya Alloh semata.
• 5. Hukum syara' melarang kepada setiap orang mukallaf hidup di dunia, dengan tidak yakin iman kepada Alloh, atau iman yang
disertai musyrik, atau bertauhid tapi tidak ma'rifat, atau ma'rifat tapi tidak tashdiq, tashdiq (membenarkan) tidak iddi'an (meng-
iyah-kan), iddi'an tidak qobul (menerima).
◄Sesungguhnya Alloh jikalau terbukti keberadaanNya yang berbilang maka tidak akan pernah ada satu perkara-pun dari semua jenis
yang namanya makhluk►
◄◄●═════════◄●►════════●►►
Qudrot
Qudrot
◄Dan wajib dalam haqnya Alloh ta'ala yaitu sipat qudrot, adapun sipat qudrot ialah salah satu sipat yang qodim yang menetap dalam
dzatnya Alloh ta'ala yang mengadakan (Alloh) oleh sipat qudrot serta meniadakannya. Sedangkan dalil yang memperkuat ata sipat
Qudrot "sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh) keberadaannya lemah (tak berdaya) maka tidak akan diketemukan satu perkara-pun dari
adanya beraneka ragam jenisnya makhluk"►
Penjelasan.
Wajib aqli dalam haqnya Alloh bahwa Alloh dihinggapi oleh sipat qudrot (bisa & kuasa), dalam arti pasti dan dapat dipahami oleh akal
bahwa Alloh tersipati oleh sipat qudrot dengan adanya bebagai tanda kesan dari perbuantannya Alloh, dengan kata lain bisa dan kuasa
temen dzat Alloh mengadakan atau menghilangkan terhadap makhluknya.
• Sipat qudrotnya Alloh termasuk salahsatu sipat ma'ani.
• Sipat ma'ani yaitu sipat yang bukti wujudnya, andai saja makhluk dibukakan hijab maka bakal tampak kelihatan dengan jelas
bagaimana sipat qudrotnya Alloh.
• Sipat qudrot adalah salahsatu sipat yang menetap dalam dzat yang maha qodim, maka keadaan sipat tentunya sama dengan
keadaan dzat, kalau dzatnya qodim tentu sipatnya juga ikut qodim, oleh karena itu sipat qudrotnya Alloh tidak didahului oleh
lemah (tak mampuh), dan tidak pernah diselingi oleh lemah, dan tidak akan diujungi dengan lemah.
• Sipat qudrot termasuk sipat (iftiqor), maksudnya bahwa makluk membutuhkan atas sipat qudrot.
• Sipat qudrot termasuk sipat (jalal), maksudnya ia adalah salah satu sipat yang memperlihatkan kemaha perkasaanya Alloh.
Penjelasan.
◄Sifatun ~ wujudiyatun ~ qodimatun ~ qo'imatun ~ bidzatihi ta'ala ~ tu'ats-tsirul mumkinat ~ ijadan ~ wa i'daman►
• Wujudiyatun: yang ada buktinya, sehingga kalau dibukakan hijab maka akan melihatnya. karena yang namanya wujud sah
dapat diketemukannya, dengan kata lain bahwa sipat qudrot (ma'ani) bisa diketemukan.
• Qo'imatun: menetap selamanya, sesaat-pun tidak didahului, diselingi atau diujungi oleh tidak "mampu".
• Tu'ats-tsirul mumkinat: yang memberi kesan / bekas terhadap setiap perkara yang mungkin adanya. Tidak nyambung
terhadap perkara yang wajib mutlak, seperti wajib wujudnya Alloh. Tidak nyambung terhadap perkara yang mustahil wujud,
seperti Alloh tuli, hal itu bukannya Alloh tidak mampuh tapi bukan sambungannya / sasarannya.
• Ijadan: adalah, hal dari sipat qudrot ialah tingkahnya untuk "mengadakan" dari asalnya tidak ada menjadi ada.
• Wa i'daman: adalah, hal dari sipat qudrot ialah tingkahnya untuk "meniadakan" dari asal ada menjadi tidak ada.
Pertama: Bahwa sipat ma'ani (termasuk sipat qudrot) selamanya menetap tak pernah pisah dengan dzat (Alloh). oleh karena itu apabila
mendengar kata-kata seperti contoh ini:
Hal seperti tadi jangan sampai ada anggapan bahwa peran sipat berpisah dengan dzat, atau sebaliknya.
Kedua: Oleh karena sipat dan dzatnya tidak (pernah) berpisah, jangan sampai ada anggapan bahwa MENGADAKAN atau
MENIADAKAN munkinat diliputi oleh ruang dan waktu, karena (dzat & sipat) dalam berperan menciptakan sesuatu tidak diliputi oleh
ruang dan waktu, serta tidak akan sama dalam semua penciptaannya dengan pekerjaan yang dilakukan oleh makhluk , karena ia
(muklolafatu lilhawaditsi).
Sasaran sipat qurot adalah perkara yang (mumkinul wujud) dan (wajibul wujud muqoyyad).
• Wajib wujud mutlaq, yakni wajib adanya sesuatu yang tidak boleh tidak (mesti adanya) seperti wajib wujudnya sipat qudrot,
irodat, ilmu dst
• Wajib wujud muqoyyad. yakni adanya sesuatu dikarenakan hal itu sudah difirmankan seperti wajib wujudnya sipat Rosul,
wajib wujudnya hari qiyamat, wajib wujudnya surga, neraka dst. Itu semua walaupun wajib wujudnya tapi dalam hakikatnya
mumkinul wujud.
Adapun sipat qudrot mempunyai persambungan antara sipat qudrot dengan mumkinat:
• Ta'aluq ifadah (untuk apa), yakni untuk mengadakan atau meniadakan mumkinat.
• Ta'aluq ta'diyah (sasarannya apa), yakni sasarannya ialah terhadap semua jenisnya mumkinat yang akan diadakan atau
ditiadakan.
• Ta'aluq marotib (tingkatan), yakni dari kapan sampai kapan mumkinat diadakan dan ditiadakannya.
Adapun tingkatannya antara sipat qudrot dengan mumkinat, ada delapan tingkatan:
1. Shuluhi Qodim.
2. Qobdloh Awwal.
4. Qobdloh Tsani.
6. Qobdloh Tsalits.
8. Qobdloh Robi'.
1. Shuluhi Qodim.
Lulus dari zaman dahulu kala, bahwa sipat Qodrot terhadap MUMKINAT telah berkaitan untuk meluluskan perkara yang akan ADA-
nya, serta meluluskan perkara yang akan TIDAK ADA-nya dalam kondisi semua makhluk belum diciptakan, baik yang akan lulus atau
tidaknya. Yakni sipat Qudrot telah mampuh dipakai untuk mengadakan perkara yang bakal ada, atau meniadakan perkara yang akan
tiada, firman Alloh dalam alQur'an:
2 Qobdloh Awwal.
◄Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab
(Lauh mahfuzh).►
◄Apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.►
4. Qobdloh Tsani.
◄dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."►
◄Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun
dan tidak dapat (pula) memajukannya.►
6. Qobdloh Tsalits.
◄Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan
mengeluarkan kamu pada kali yang lain,►
(Qs 22 Al-Hajj: 7)
(Qs 11 Huud: 7)
8. Qobdloh Robi'.
◄Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya►
◄Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi
mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gelita.
Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.►
Penjelasan : wa didduhu
2. Allah tidak ikut serta didalam perbuatan yang diristis oleh daya dan upayanya makhluk
5. Allah tidak ikut serta didalam perbuatan adat yang telah diberikan kepada makhluk.
6. Allah tidak ikut serta didalam kejadian alam, seperti terciptanya matahari, bulan, bintang, gunung dll.
◄Sesungguhnya jikalau terbukti (Alloh) keberadaannya lemah maka tidak akan diketemukan satu perkara-pun dari adanya beraneka
ragam jenisnya makhluk►
Maksudnya.
Sesuatu yang menunjukan atas kekuasaan Allah adalah adanya beraneka ragam jenisnya makhluk. Oleh karenanya apabila terbukti
adanya Allah tidak ada KUASA maka sama sekali tidak akan diketemukan semua jenisnya makhluk, selain dari itu tidak akan ada istilah
atau sebutan MENCIPTAKAN alam serta susunannya dan juga isinya, sedangkan tiada seorang makhluk-pun yang mampuh
menciptakan sesuatu, firmaNya dalam alQur'an:
Kalimat yang dimaksud oleh KULLI SYAI'IN dalam ayat tersebut adalah menunjukan atas semua perkara yang MUMKINUL WUJUD
atau WAJIBUL WUJUD MUQOYYAD, tidak meliputi atas perkara yang WAJIBUL WUJUD atau MUSTAHILUL WUJUD. Adapun
perkara yang WAJIBUL WUJUD MUQOYYAD pada hakikatnya masih dalam katagori MUMKINUL WUJUD, masih terliputi oleh
KULLI SYAI'IN, serta ter-IDROK oleh sipat Qudrotnya Alloh.
◄◄●═════════◄►════════●►►
Kalam
◄Kalam►
( Sipat yang ke tiga belas yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala )
◄Fayajibu fi haqqihi ta’alal kalamu, wa huwa shifatun qodimatun qo-imatun bidzatihi ta’ala wa laisat biharfin wa la shoutin,
wa dlidduhal bukmu wa huwal khorsu, wad dalilu ‘ala dzalika qouluhu wa kallamallohu musa takliman = Dan wajib dalam haq-
nya Alloh ta’ala yaitu sipat kalam (berkata-kata), adapun sipat kalam ialah salah satu sipat yang qodim yang menetap dengan dzatnya
Alloh ta'ala, dan (sipat kalam tersebut padanya) tiada hurup dan juga tiada suara, adapun perlawanan sipat kalam ialah bisu, yakni gagu.
Sedangkan dalilnya yang menunjukan terhadap sipat kalamnya Allah yakni firmanNya "Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
lamgsung (bicara yang sebenar-benarnya)" (Qs 4 An-Nisa': 164)►
Penjelasan.
Wajib aqli dalam haqnya Alloh bahwa Alloh dihinggapi oleh sipat kalam (berkata-kata), dalam arti pasti serta dapat dipahami oleh aqal
bahwa Alloh tersipati oleh sipat kalam dengan adanya mu'jizat turunnya kalamulloh.
1. Kalan Dal, yaitu kalam yang ada hurupnya, ada suaranya, ada mulanya, dan juga ada akhirnya.
2. Kalam Madlul, yaitu kalam yang berada didalam dzatnya Allah ta'ala, yang tiada hurupnya, suaranya, tiada mulanya, dan juga
tiada akhirnya...., Jadi yang dimaksud oleh wajib dalam haqnya Allah ta'ala adalah kalam Madlul bukan kalam Dal.
• Mula-mula adanya kalam Dal semenjak Allah menciptakan qolam terus memerintah kepada qolam agar supaya menuliskan
atas sebagian kalam madlul.
• Apabila ada pertanyaan "Bagaimana Allah memberi perintah pada qolam? atau memerintah kepada Jibril ketika diperintahkan
menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad? atau bagaimana qolam ataukah malaikat Jibril dapat memahami perkataan
Allah, sedangkan perkataan Allah tiada hurup dan suara?.. Jawabannya simple saja, yakni dapat diibaratkan seperti sang qolbu
memerintah tangan untuk meraba, atau mengusap, atau memegang, atau menulis, atau bersalaman dst. Nah perintah tersebut
tiada hurup atau suara tapi si tangan dengan sendirinya memahami apa yang diperintahkan atau diinginkan oleh sang qolbu
(maaf, jangan sampai diartikan bahwa Allah atau perkataan Allah seperti qolbu, ini mah sekedar sebagai contoh bahwa
dimakhluk-pun ada yang memahami perkataan yang tiada hurup dan suaranya). Sedangkan hakikat perkataan Allah "laisa
kamitslihi syai-un = tiada satupun yang serupa denganNya"
• Isinya kalam Dal juga kalam Madlul "musawin = sama dalam isinya tapi tiada serupa dalam bentuknya"
• Adapun kalimah "iqro' bismi robbikal ladzi kholaq... ileh" yang berada dalam firman Allah (Qs 96 Al'Alaq) adalah pertama
kalam (ayat atau kalimah) yang turun kepada Nabi Muhammad, bukan mulanya kalam yang ada dalam dzatnya Allah ta'ala.
Begitu juga kalam "alyauma akmaltu lakum dinakum... ileh" yang berada dalam firman Allah (Qs Al-Maaidah ayat 3) adalah
akhir kalam yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW, bukan akhir kalam yang ada dalam dzatnya Allah ta'ala.
• Adapun kalam Dal, andai saja bertambah terus-terusan didalam isinya tentu masih bisa dituliskan, sedangkan kalam Madlul
sampai kapanpun tidak akan mampun untuk dituliskan, sebagaimana firmanNya "Qul lau kanal bahru midadan likalimati
robbi lanafidal bahru qobla an tanfada kalimatu robbi wa lau ji'na bimitslihi madadan = Katakanlah: Sekiranya lautan
menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)" (Qs 18 Al-Kahfi: 109)
• Kalam Dal dengan Alqur'an isi dan kandungannya sama, sedangkan yang membedakannya hanya susunan atau bentuknya saja.
Kalam Dal dimulai dengan kalimat "iqro' bismi robbikal ladzi kholaq... ileh" dan diakhiri dengan kalimat "alyauma akmaltu
lakum dinakum... ileh". Sedangkan Alqur'an dimulai demgan surat Alfatihah dan diakhiri dengan surat Annas.
• Hubungannya antara kalam Dal dengan Alqur'an Insya Allah penjelasannya yang akan datang dalam bab riwayat Alqur'an.
• Bila ada pertanyaan: "Allah tiada hentinya berkata-kata, kiranya apa yang sedang Allah bicarakan?" Jawabannya "Dirimu tidak
ditaklif mesti mengetahui apa-apa yang sedang dikatakan oleh Allah", tapi andai saja ingin mengetahui apa-apa yang sedang
Allah katakan, yakni kalam Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya, maka pahamilah !!... Semata-mata
Allah berkehendak atas Tanjizi Qudrot, yakni pelaksanaan yang kontan oleh sipat QudrotNya, Allah telah berkata-kata pada
setiap kejadian oleh isinya makna "KUN FAYAKUN" sehingga bukti dan terjadi perkara tersebut dalam kondisi di-Tanjizi
Hadits. Selanjutnya silahkan pahamilah surat ke 18 ayat 109 (Qul lau kanal bahru midadan LIKALIMATI robbi lanafidal
bahru qobla an tanfada kalimatu robbi wa lau ji'na bimitslihi madadan = Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta
untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)) disana dikatakan "likalimati robbi" kalimat tersebut menunjukan
atas kalam Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya. Selanjutnya dalam surat ke 7 ayat ke 54 (Dia
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha
Suci Allah, Tuhan semesta alam) disana dikatakan "bi-amrihi = kepada perintah-Nya" kalimat tersebut menunjukan atas
kalamnya Allah yang qodimatun qoimatun yang tiada hurup dan suaranya.
Sepintas riwayat Kalam Dal dan Alqur'an (yang ada hubungannya dengan bab ini).
Dengan dirinya sendiri Qolam diperintah oleh Allah untuk menuliskan dipapan Lauhul mahfudh, yakni menuliskan isinya kalam
Madlulnya Allah ta'ala secara sekaligus tampa ayat tampa surat sebagaimana firman Allah didalam Alqur'an surat 85 Alburuuj ayat 21
- 22 (Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia - yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh), dalam tafsir Jalalain-
nya ((Yang dalam Lauh) berada di atas langit yang ketujuh (terpelihara) dari ulah setan-setan dan dari sesuatu perubahan. Panjang
Lohmahfuz itu sama dengan panjangnya langit dan bumi, sedangkan lebarnya ialah sama dengan jarak antara timur dan barat; terbuat
dari intan yang putih bersih. Demikianlah menurut pendapat yang telah dikemukakan oleh Ibnu Abbas r.a.). Nah secara sekaligus dari
sana lalu diturunkan oleh malaikat Jibril ke Baitul Izzah yang berada di langit keempat bertepatan dengan malam Lailatul Qodar
sebagaimana yang telah difirmankan dalam Alqur'an surat yang ke 97 ayat 1 (tafsir Jalalainnya: Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya) yaitu menurunkan Alquran seluruhnya secara sekali turun dari lohmahfuz hingga ke langit yang paling bawah (pada
malam kemuliaan) yaitu malam Lailatulkadar, malam yang penuh dengan kemuliaan dan kebesaran). Lalu dari Baitul Izzah disusun
ayatnya, suratnya, saat-saat turunnya, dan juga diturunkannya kepada Nabi secara berangsur dalam kurun waktu 23 tahun serta
disesuaikan dengan proses turunnya taqdir - yang biasa disebut dengan Asbabun Nuzul.
Yang mula-mula diturunkannya adalah surat Al'alaq (lima ayat), lalu ayat demi ayat diwahyukan oleh malaikat Jibril disesuaikan dengan
kebutuhan serta kejadiannya, yang mana kejadian tersebut berangsur-angsur diciptakan melalui Tanjizi Hadits QudrotNya Allah agar
supaya dijadikan suri tauladan, cermin serta pedoman bagi umat hingga hari qiyamat. Kalam tersebut dari malaikat Jibril diterima oleh
Nabi, lalu di-ijazahkan kepada para SahabatNya, setelah itu lalu oleh para Sahabat ditulis bersurat-surat & ber-ayat-ayat hingga akhirnya
terbentuklah kitab (suci) Alqur'an.
• 1000 (seribu) ayat yang menerangkan Pahala Surga dan Siksa Neraka.
• 1000 (seribu) ayat yang menerangkan isi Larangan.
• 66 (enam puluh enam) ayat yang menerangkan Du'a dan Dzikir. Jadi jumlahnya ada 6666 ayat.
• Adapun Hurupnya ada 1270000 (sejuta dua ratus tujuh puluh ribu) hurup.
1. Al-Kariimu.
2. Al-Kitaabu.
3. Al-Mubiinu.
4. Al-Qur'aanu.
5. Al-Kalaamu.
6. An-Nuuru.
7. Al-Huday.
8. Ar-Rohmatu.
9. Al-Furqoonu.
10. Ats-Tsanaa-u.
11. Al-Mau'idhotu.
12. Adz-Dzikru.
13. Al-Mubaaroku.
14. Al'Aliyyu.
15. Al-Hakiimu.
16. Al-Hikmatu.
17. Al-Mushoddiqu.
18. Al-Muhaiminu.
19. Hablullooh.
22. Al-Fashlu.
23. Al'Adhiimu.
24. Al-Matsaaniy.
26. Al-Mutasyaabihu.
27. At-Tanziilu.
28. Ar-Ruuhu.
29. Al-Wahyu.
30. Al'Arobiy.
31. Al-Bashoo-iru.
32. Al'Ilmu.
33. Al-Bayaanu.
34. Al-Qoshoshu.
35. Al-Haadiy.
36. Al'Ajbu.
37. At-Tadzkirotu.
38. Al'Adlu.
39. Ash-Shidqu.
41. Al-imlaa-u.
42. Al-Munaadiy.
43. Al-Busyroy.
44. Al-Majiidu.
45. Az-Zabuuru.
46. An-Nabaa-u.
47. Al-Balaaghu.
48. Al'Aziizu.
49. Al-Haqqu.
50. Ahsanul Qoshoshu.
51. Ash-Shuhufu.
52. Al-Mukarommatu.
53. Al-Marfuu'atu.
54. Al-Muthohharotu.
Penjelasan.
● Azaliyyatun: yang azali (sebelum ada sebutan zaman atau waktu) yang tiada permulaan.
● Qo'imatun: menetap selamanya, sesaat-pun tidak didahului, diselingi atau diujungi oleh "bisu".
Adapun sipat Kalam mempunyai ta'alluq (persambungan) antara sipat Kalam dengan sesuatu yang ditunjukinya:
● Ta'aluq ifadah (untuk apa), yakni untuk menunjukkan atas ISI yang difirmankan.
● Ta'aluq ta'diyah (sasarannya apa), yakni sasarannya ialah terhadap Wajibul Wujud ~ Mustahilul Wujud ~ Mumkinul Wujud,
semuanya dapat diungkapkan / diceritakan / difirmankan oleh Kalamnya Allah.
● Ta'aluq marotib (tingkatan), yakni dari kapan sampai kapan persambungannya sipat Kalam.
Adapun tingkatannya antara sipat Kalam dengan perkara yang difirmankan, ada dua tingkatan:
● Terhadap selain AMAR (perintah) atau NAHI (larangan) kedududkannya berada di Tanjizi Qodim, yakni pelaksanaan yang kontan
dari zaman dahulu kala bahwa Allah telah berkata-kata.
1. Sebelum wujud apa-apa yang diperintah atau apa-apa yang dilarang, ta'alluq sipat kalam disebut Shuluhi Qodim, yakni telah
lulus dari dahulu kala.
2. Setelah wujud apa-apa yang diperintah atau apa-apa yang dilarang, ta'alluq sipat Kalam disebut Tanjizi Hadits, yakni baru
persentuhannya / kontaknya.
Yang dimaksud oleh Bukmun atau Khorsun oleh sebab sama sekali tiada dapat berkata-kata, atau terhalang, seperti:
• Berkata-kata ada mulanya serta ada akhirnya. nah ini semua mustahil bagi Allah.
Penjelasan : Waddalilu
◄Wad dalilu ‘ala dzalika qouluhu wa kallamallohu musa takliman = Sedangkan dalilnya yang menunjukan terhadap sipat
kalamnya Allah yakni firmanNya "Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan lamgsung (bicara yang sebenar-benarnya)" (Qs 4
An-Nisa': 164)►
Yang dimaksud "Allah telah berbicara kepada Musa dengan lamgsung" (Qs 4 An-Nisa': 164):
• Hal ini bukan menunjukan bahwa Allah berkata-kata yang isinya ada suara atau tulisannya, akan tetapi telinga Nabi Musa
dibukakan hijabnya sehingga dapat mendengarkan Kalam Madlulnya Allah yang tiada hurup atau suara.
• Dan juga, hal ini bukan menunjukan bahwa Allah berkata-kata kepada Nabi Musa ada permulaannya lalu ada akhirnya, akan
tetapi dibukakan hijab telinganya Nabi Musa ada mulanya lalu ditutup kembali oleh Allah sehingga ada akhirnya.
• Isi daripada Kalam Madlulnya Allah yang dapat didengar oleh telinganya Nabi Musa disaat itu, yakni (Innani anallohu la
ilaha illa ana fa'buduni wa aqimish sholata lidikri = Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku) (Qs 20 Thaahaa: 14)
Tambahan:
• Menurut Syekh Imam Asy'ari, mengenai hitungan aqo'id iman - cukuplah sampai sipat Kalam saja, tidak usah ada sipat
ma'nawiyah karena sudah lazim oleh adanya sipat ma'ani.
• Menurut Syekh Imam Mansur Ma'turidi, katanya wajib disebutkan serta disusun satu persatu ma'nawiyahnya sipat ma'ani yang
tujuh sehingga aqo'id iman jumlahannya ada 20 (dua puluh) sipat.
• Sedangkan Syekh Imam Ibrohim al-Bajuri yang mengarang kitab Tijan sepedapat dengan pendapatnya Syeh Imam Mansur al-
Maturidi, yakni aqo'id iman disempurnakan menjadi 20 (dua puluh) sipat yang wajib di Allah.
Wallohu 'a'lam.