Anda di halaman 1dari 5

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaruhatuh

Innal hamda lillaah, nahmaduhuu wanastaiinuhuu wanastaghfiruh, wanauudzu


billaahi min suruuri anfusinaa, wamin sayyiaati a’maalinaa, mayyahdillaahu falaa
mudlillalah,

waman yudlilhu falaa haadiyalah.

Asyhadu allaa Ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariikalah, waasyhadu anna


Muhammadan abduhuu warasuuluh.

Allaahumma sholli ‘alaa Muhammadin, wa ‘alaa aalihii waash haabiihii ajmaiin.

Innallooha wa malaaikatahuu yusholluuna ‘alan Nabi, yaa ayyuhalladziina


aamanuu sholluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.

Ya ayyuhaladzi naamanu, taqullooha haqqa tuqaatih, walaa tamuutunna illa


waantum muslimuun.

Hadirin Jamaah Shalat Jumat yang insya Allah selalu berada dalam naungan
rahmat dan hidayah Allah SWT

Tak henti-hentinya kita panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah SWT yang
telah memberikan kita nikmat iman dan Islam; karunia yang teramat besar yang
Allah karuniakan kepada hamba-hamba-Nya. Semoga kita selalu termasuk yang
mendapatkan hidayah-Nya serta berada dalam keadaan Iman dan Islam hingga
akhir hayat kita.

Dan tentunya kita bersyukur kepada Allah atas nikmat nyawa yang masih
diberikan

Dalam menyikapi bulan Ramadan, ada dua ciri kaum muslimin; yang
pertama, yang merasa senang ketika bulan suci Ramadan berlalu, yang
kedua, muslim yang berat hati dengan perginya bulan suci Ramadan.
Barangkali mayoritas muslim yang kita lihat sekarang ini masuk kategori
yang pertama. Dalam sebuah buku dijelaskan, langit dan bumi menangis
tatkala bulan Ramadan meninggalkan umat Islam, meninggal kan orang-
orang yang berpuasa. Betapa orang-orang mukmin, orang yang
melaksanakan puasa tidak akan lagi mendapatkan anugerah Ramadan.
Bahkan diceritakan dalam buku itu para malaikat menangis ketika bulan
Ramadan pergi meninggalkan umat Islam, meninggalkan kita. Orang yang
senang dengan kepergian bulan suci Ramadan, itu dikarenakan nilai-nilai
dan ketajaman rohaninya masih lemah. Sedangkan orang yang sedih
ketika berpisah dengan bulan Ramadan adalah orang yang hati, rohaninya
kuat, sehingga kebanyakan dari mereka melanjutkan dengan berpuasa
Syawal.

Nabi bersabda: “Barang siapa melaksanakan puasa Ramadan, dan


dilanjutkan dengan puasa Syawal selama nama Allah”. Allah SWT
memerintahkan setelah melaksanakan puasa, “Walitukabbiru allaha ‘ala
ma hadakum”, agar bertakbir, besarkan nama Allah SWT dalam hati,
pikiran dan seluruh bagian yang ada di dalam diri kita. Takbir adalah
ungkapan kemenangan yang ditentukan oleh Allah SWT dan dianjurkan
oleh Rasulullah SAW. Nabiyullah Ibrahim diperintahkan untuk
menyembelih anaknya, Ismail as.

Ketika Nabi Ismail diganti kedudukannya dengan domba: “Hai Ibrahim,


sungguh engkau telah melaksanakan apa yang ada dalam mimpimu itu
dan tidak layak anakmu ini disembelih Allah, kemudian ditukarlah Ismail
dengan domba dari surga– ada yang mengatakan bahwa domba tersebut
datang dari tempat asal Nabi Ibrahim as,–kemudian disembelih, “Allahu
akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, lailaha illa allahu wa-Allahu akbar, Allahu
akbar walillahi al-hamd”. Ungkapan ”Allahu akbar” merupakan tanda
kemenangan karena beliau adalah kekasih Allah SWT yang diberi ujian
cukup berat, menyembelih anaknya.

Ketika mendapat perintah saat itu, Nabi Ibrahim memanggil anaknya, “Hai
anakku, tadi malam aku bermimpi, dalam mimpi aku menyembelihmu,
bagaimana pendapatmu wahai anakku. Ketika itu iblis masuk ke dalam jiwa
Nabi Ibrahim, “Hai Ibrahim, apakah kamu mau menyembelih anakmu?”
Nabi Ibrahim tidak terpengaruh oleh provokasi iblis, setan itu keluar dan
dilempar oleh Nabi Ibrahim. Lemparan inilah yang kemu dian disebut
sebagai “Jumrah al-’aqabah” dalam haji. Merasa tidak berhasil, lalu setan
masuk ke dalam diri Siti Hajar, “Hai Hajar, ingatkan suamimu, apakah ia
mau menyembelih anak kandungnya sendiri? Ibrahim itu gila, tegur
suamimu agar jangan melakukan perbuatan yang bodoh”, Siti Hajar
menjawab, “Tidak, suamiku melaksanakan perintah Allah SWT yang
sesungguhnya!” Akhirnya iblis itu keluar dan dilempar dengan batu,
kemudian lari.
Lemparan inilah yang menerima pelaksanan kurban setelah melempar iblis
dengan batu. Dalam pelaksanaan haji, lemparan ini dinamakan “Jumrah al-
ula”, jumrah kecil. Sepulang dari Arafah, orang yang menunaikan ibadah
haji mengumandangkan kalimat “Allahu akbar” sampai tiga kali,
membesarkan nama Allah SWT selama dalam perjalanan, di dalam mobil,
bahkan di masjid. Agama kita adalah agama yang santun dan indah,
“rahmatan li al-‘alamin”. Gema takbir yang kita kumandangkan juga
diharapkan jangan sampai mengganggu orang lain, jangan takbir sambil
minum minuman keras, dan membunyikan petasan.

Kita dilarang merusak akhir Ramadan dan malam Syawal dengan


perbuatan-perbuatan yang tidak layak. Ajaran Islam menjadi tercela karena
perbuatan kita. “Walitukabbiru allah ‘ala ma hadakum”, (Besarkan nama
Allah SWT yang memberikan petunjuk kepadamu). Selama melaksanakan
puasa di bulan Ramadan kita di gembleng, dibentuk oleh Allah SWT
dengan kebersamaan.

Pertama, kebersamaan niat yang baik setiap malam, “Nawaitu shauma


ghadin an ada’i fardhi syahri ramadana hadzihi al sanati lillahi ta’ala”,
dibaca bersama-sama. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh lima
perawi disebutkan, “Barang siapa orang yang tidak berniat pada malam
harinya sampai dengan terbit fajar maka tidak ada puasa baginya.” Hal ini
tidak perlu diikhtilafkan, sebab makna niat juga berarti “muqtaranan bi al
fi’li”. Dalam agama Islam diajarkan bahwa niat adalah rukun, dan dibaca
secara bersama-sama, ditumbuhkan di dalam batin untuk niat berpuasa
karena Allah SWT.

Yang kedua adalah kebersamaan dalam berpuasa. Inilah yang


meringankan pelaksanaan puasa, nikmatnya berpuasa. Ketiga,
kebersamaan dalam merasakan lapar, bukan hanya orang miskin yang
merasakan laparnya puasa, tapi juga orang kaya–yang memiliki banyak
makanan dan minuman– kan masjid, rumah Allah SWT. Barang siapa
meramaikan rumah Allah SWT, memperhatikan rumah Allah SWT, Allah
pun akan memperhatikan kita “In tanshuru allaha yanshurkum wayutsabbid
aqdama kum” (Jika kita menolong agama Allah, niscaya Allah akan
menolong kita dan memantapkan keyakinan kita). Apa yang sudah dilatih
selama bulan puasa, kepribadian dalam bersabar, kepribadian disiplin,
kepribadian tahan miskin dan tahan lapar, kepribadian loman, mau
membantu orang lain, menjadi kepribadian kita seutuhnya. Itulah pesan
yang harus kita pegang.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an “Wala tufsidu fi al-ardhi ba’da
ishlahiha” (Jangan kalian berbuat ke rusakan setelah kalian menata
kehidupan ini dengan keinda han). Kita sudah menata selama 30 hari
berpuasa meninggalkan perbuatan-perbuatan yang fakhsya’, karenanya
kita menjaga agar sikap tersebut terus tumbuh setelah Ramadan.
Perbuatan yang buruk tidak menguntungkan kepada diri kita, masyarakat,
dan ajaran agama kita. Allah SWT berfirman, “Inna allaha la yuhibbu al-
mufsidin” (Allah tidak senang dengan orang yang berbuat kerusakan). Di
bulan puasa, sifat dengki dihilangkan, sifat dendam dihancurkan, hidup
semakin nikmat. Itulah tujuan bulan suci Ramadan yang sesungguhnya.
Setelah kita diperintah untuk menyempurnakan puasa kita, berikutnya kita
juga harus menunaikan zakat kita, zakat fitrah dan zakat mal.

Nabi SAW menyatakan dalam sebuah hadis “inna al-shiyama la tuqbalu


abadan illa bi ta’diyati al-zakat,” sesungguhnya puasa yang kalian lakukan
belum akan sampai ke hadirat Allah SWT kecuali kalian tunaikan zakat
fitrah. Di samping kita diperintahkan untuk menyempurnakan puasa kita,
dan juga menunaikan zakat kita, ketika datang hari raya Idulfitri atau hari
lebaran, kita juga harus melakukan satu hal lain, saling memaafkan. Dalam
sebuah hadis Nabi SAW bersabda “Tsalasatun min makarima al-akhlaq
inda allah” ada tiga sifat yang sangat-sangat terpuji di sisi Allah SWT. Sifat
terpuji yang pertama, memberi maaf pada orang yang melakukan
kesalahan kepada kita. Artinya, justru kita yang mendatangi orang yang
jelas-jelas telah melakukan kesalahan kepada kita, lalu kita
memaafkannya.

Tindakan memaafkan ini sangat sulit dilakukan, karena kebanyakan dari


kita terlalu memperhitungkan gengsi dan harga diri kita. Sifat terpuji yang
kedua, memberi sesuatu kepada seseorang yang pernah menyatakan tidak
mau menerima pemberian kita. Kita datangi orang seperti itu dan kita jalin
lagi silaturahmi. Yang ketiga kita datangi orang yang memutuskan
hubungan silaturahmi dengan kita. Kita sambung lagi silaturahmi yang
telah diputus olehnya.

Demikianlah tiga perbuatan yang sangat mulia. Jika kita melakukannya,


insya Allah, sesudah lebaran kita terus dibimbing Allah SWT, sesuai yang
disabdakan Nabi SAW dalam salah satu hadis sahih: “Barang siapa
berpuasa karena Allah SWT semata-mata, maka dosa-dosa dia akan
diampuni baik dosa yang lalu ataupun dosa yang akan datang. Artinya, dia
akan selalu dituntun dan dibimbing Allah SWT untuk menghindari dosa-
dosa berikutnya. Karena itu, menjelang berakhirnya bulan Ramadan, kita
sudah seharusnya meneteskan air mata, enggan berpisah dengan bulan
penuh rahmat tersebut. Kita harus memperbanyak tafakur, bersujud, dan
bermuhasabah. Insya Allah kita termasuk orang-orang yang menang dan
akan menjadi orang orang yang bahagia lahir, batin, di dunia dan di akhirat.

Anda mungkin juga menyukai