Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH AGAMA ISLAM

KHILAFYAH DALAM ISLAM

Disusun Oleh:
Alfan Kazio Utama (11000122130419)
Riswulan Dewi (11000122130421)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, dengan menyebut nama Allah yang


Maha Pengasih lagi Maha penyayang, puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Khilafiyah Dalam Islam” untuk
memenuhi mata kuliah Agama Islam.
Yang terhormat, Bapak Mas’ut, S.Ag., M.SI, selaku dosen pengampu mata kuliah Agama
Islam. Kami selaku mahasiswa ingin menguncapkan terima kasih atas kesempatan yang
diberikan bagi kami untuk menyampaikan materi tentang “Khilafiyah dalam Islam”. Makalah ini
kami susun dengan usaha maksimal dengan saling membantu satu sama lain.
Akan tetapi, kami sebagai manusia menyadari akan adanya kekurangan dalam diri kami
sehingga dengan ini kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata maupun tata bahasa.
Akhir kata, kami berharap bahwa makalah ini dapat memberikan manfaat dan memperluas
wawasan bagi para pembaca.

Semarang, 4 Oktober 2022

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia merupakan makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah SWT dengan dikaruniai
akal dan pikiran. Dengan adanya akal dan pikiran, maka suatu pendapat pun akan timbul.
Akal dan pikiran yang dimiliki setiap umat manusia pun memiliki potensi dan cara dalam
berpikir yang berbeda. Dari perbedaan cara berpikir tersebut, maka timbullah adanya
perbedaan pendapat maupun pandangan dalam kehidupan umat beragama.
Perbedaan pendapat maupun pandangan yang sudah terjadi sejak zaman pun terus berlanjut
hingga saat ini. Hal itu pun merupakan suatu hal yang wajar karena sangat tidak memungkinkan
bahwa semua orang memiliki cara berpikir ataupun melihat suatu hal dengan cara dan sudut
pandang yang sama, dan merupakan sesuatu yang tidak mungkin pula apabila seluruh umat islam
di dunia ini sepakat hanya pada satu pendapat, pandangan, madzhab, dan sikap dalam masalah
agama.
Perbedaan pandangan/pendapat adalah hal yang sangat lumrah terjadi karena semua
orang mempunyai perspektif masing-masing dalam melihat suatu hal. Perbedaan haruslah
menjadi hal yang mengacu manusia untuk berpikir lebih luas, dan bukan justru menimbulkan
kericuhan. Sesungguhnya perbedaan merupakan rahmat bagi umat, kelapangan bagi mereka,
sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama dalam banyak karya mereka. Khalifah Umar
bin Abdul Aziz berkata: “Aku tidak menyukai melainkan ada khilafiyah di kalangan para
sahabat Rasulullah, karena jika semua mereka memiliki satu pendapat, sungguh akan
menyulitkan umat Islam yang datang setelah mereka.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu khilafyah?
2. Apa saja faktor yang menjadi penyebab terjadinya khilafyah?
3. Bagaimana khilafiyah pada zaman Rasulullah SAW?
4. Bagaimana etika dalam menyikapi khilafiyah adalam Islam?
5. Bagaimana cara menghadapi khilafyah?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi mata kuliah Agama Islam dan juga
untuk lebih mengetahui lebih dalam ap aitu Khilafiyah dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pegertian Khilafiyah


Dalam bahasa, Khilafiyah berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khilafan yang berarti
perbedaan paham, padangan, ataupun sikap. Sedangkan menurut istilah, khilafiyah diartikan
sebagai perbedaan pendapat antara dua orang atau lebih terhadap suatu objek atau masalah dalam
urusan agama. Khilafiyah juga sering disebut dengan ikhtilaf yang merupakan lawan kata dari
ittiqaf yang berarti kesepakatan.
Khilafiyah umumnya terjadi pada saat adanya perbedaan pendapat antara para ulama atau
ahli hukum islam dalam menetapkan perkara yang bersifat furu’iyah (perbedaan). Perbedaan
pendapat/ padangan ini bukan hanya mengenai fiqih, melainkan juga hal-hal lainnya.
Ketidaksepahaman pandangan atas suatu hal biasanya terjadi pada persoalan sederhana, seperti
penggunaan istilah. Namun, tidak jarang pula perbedaan pandangan terjadi dalam persoalan yang
besar, seperti antara yang halal dan yang haram.

2.2 Faktor Penyebab Khilafiyah


Khilafiyah dilatarbelakangi oleh beberapa faktor penyebab, Menurut al-Dahlawi, factor yang
melatarbelakangi khilafiyah, yaitu :
1. Teks agama yang tidak Qath’ï
Seringkali ditemukan ayat alquran atau hadist yang bersifat Dhanny Al-Dalalah, yaitu ayat yang
memiliki berbagai kemungkinan makna.
Contohnya adalah QS Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut :

‫ ما خلق هللا في‬L‫والمطلقات یتربصن بانفسھن ثالثة قروء وال یحل لھن ان یكتمن‬

‫ارحامھن ان كن یؤمن بللھ والیوم االخر وبعولتھن احق بردھن في ذلك ان ارد وا‬

‫اصالحا ولھن مثل الذي علیھن بالمعروف وللرجال علیھن درجة وهللا عزیز حكیم‬

“Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’, Mereka
tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai
satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam Bahasa Arab, Al-Raghib Al-Isfahani kata alqar’u memiliki dua makna, yaitu al-thuhru (suci)
dan al-haidah (haid atau menstruasi), karena kata ini memiliki dua makna, maka terjadi khilafiyah di
antara para ulama. Ada yang memaknai Al-qar’u dengan al-haidhah dengan argumentasi bahwa alqarú
pada dasarnya berkumpul.

Haid dikatakan Al-Qar’u karena haid adalah berkumpulnya darah dalam Rahim. Sedangkan
kelompok ulama lain yang memaknai Al-Quru dengan makna Al-Thuhru memberikan argumentasi bahwa
jika kata bilangan ditambah huruf yang menunjukan muannas seperti ta”, maka yang dihitung adalah
muzakkar. Waktu iddah di sini adalah waktu suci, sebab talak pada waktu haid jelas dilarang.

2. Teks agama yang kontradiksi


Banyaknya teks hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, baik yang shahih maupun sunan,
menyebabkan banyak terjadi kontradisksi antara makna matan antara satu hadis dengan hadis lainnya,
dengan masalah-masalah tertentu.
Di antara teks hadis yang saling kontradiksi makna matan tersebut. Contohnya terdapat pada Al-
Tirmizi:2003:80), yang berbunyi :

‫ال صالة لمن لم یقرأ بفاتحة الكتاب‬

“Tidak sah shalat, bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah.”

Menurut hadis ini, orang yang melaksanakan shalat harus membaca surat al-fatihah sehingga
tanpa membaca surat al-fatihah maka shalatnya dianggap tidak sah. Makna hadis ini terbilang umum,
mencakup shalat sendiri dan shalat berjamaah. Menurut hadis ini pula, dalam shalat berjamaah baik imam
dan makmum wajib membaca al-fatihah. Sedangkan hadis lain (Ibnu majah 2004;272) bertentangan
dengan makna hadis sebelumnya. Bunyi hadis tersebut yaitu sebagai berikut :

‫من صلي خلف االمام فقراءة االمام لھ قراءة‬

“Orang shalat menjadi makmum, maka bacaan imamnya sudah cukup

mewakili bacaan makmum.”

Menurut hadis di atas, makmum tidak perlu membaca surat Al-fatihah. Dengan demikian, terjadi
khilafiyah diantara para ulama dan umat islam. Sebagian umat islam mengikuti hadis pertama dan
Sebagian lain mengikuti hadis yang kedua.

3. Perbedaan dalam memahami hakikat sumber agama


Perbedaan dalam masalan ini adalah perbedaan ulama mujtahid dalam menetapkan apa
saja yang menjadi sumber hukum islam. Beberapa ulama mengatakan bahwa sumber hukum
islam hanya al quran dan hadis, yang lainnya mengatakan bahwa sumber hukum islam adlaah al
quran, hadis, ijma`, dan qiyas. Bahkan ada juga ulama yang menganggap bahwa praktek
penduduk Madinah sebagai sumber hukum islam dan sebagainya.
Argumentasi kelompok yang menganggap ada sumber hukum lain selain al quran dan
hadis didasari bahwa al quran dan hadis masih bersifat dhanniy al dalalah. Dalam kondisi ini,
ijma`para sahabat, qiyas, dan sebagainya seperti disebut di atas dapat dijadikan rujukan sumber
hukum.

Contoh ajaran agama yang tidak secara tegas (qath`i) disebut dalam al qur`an atau hadis
adalah zakat binatang berupa ayam atau kuda. Jika yang dijadikan dalil adalah al quran dan hadis
maka kuda dan ayam tidak termasuk kelompook binatang yang wajib dizakatkan, karena tidak
ada dalil yang menyatakan bahwa kaum muslim harus mengeluarkan zakat ayam dan kuda.
Padahal keuntungan yang diperoleh dari hasil memelihara ayam dan kuda tidak kalah dari
pemeliharaan kambing, kerbau, atau sapi.

Kemudian muncullah sebuah hasil ijtihad berupa qiyas, yang mewajibkan zakat ayam
atau kuda. Hasil qiyas inilah yang dijadikam sumber hukum, bukan bersumber dari al quran dan
hadis. Untuk mengambil jalan tengah, maka ada yang mengelompokkan sumber hukum menjadi
dua yakni sumber hukum primer dan sekunder. Sumber hukum primer adalah al quran dan hadis,
selain al quran dan hadis disebut sebagai hukum sekunder.

4. Perselisihan mengenai shahih atau tidaknya hadis


Beberapa perawi hadis ada yang diterima dan ditolak oleh ahli hadis. Misal perawi hadis
A, hadisnya diterima oleh Sebagian ahli hadis ini dan ditolak oleh ahli hadis lain. Dampak dari
perbedaan ini adalah tidak selamanya menjadi sahih, tergantung siapa yang menilai hadis
tersebut.

Solusi terhadap masalah khilafiyah


Menurut ulama hadis,aoabila terdapat perselisihan pendapat mengenai suatu persoalan, maka
dapat ditempuh melalui beberapa cara sebagai berikut :
a. Al tarjih
Secara Bahasa berarti menguatkan, artinya melakukan penelitian pada semua hadis yang
bertentangan untuk menilai kesahihan hadis tersebut.
b. Al jam`u
Secara Bahasa berarti mengumpulkan, artinya mengkompromikan makna hadis yang
bertentangan sehimgga hadis tersebut tiddaklagi dipertentangkan
c. Nasikh Mansukh
Nasikh secara Bahasa berarti menghapus atau membatalkan, sedangkan Mansukh adalah
yang dihapuskan atau dibatalkan. Menurut ulama hadis, nasikh Mansukh berarti
membatalkan hukum yang berlaku terlebuh dahulu karena ada hukum yang muncul
setelahnya. Cara ketiga ini dapat dipakai jika cara pertama dan kedua tidak menemukan
solusi.

2.3 Khilafyah Pada Zaman Rasullah SAW


Pada zaman nabi, para sahabat meniru apapun yang dilakukan nabi tanpa penjelasan apakah itu
sunnah atau wajib. Ketika nabi berwudhu, para sahabat mengikutinya. Begitu juga Ketika nabi shalat dan
beribadah haji. Keadaan ini berlangsung sampai Ketika nabi wafat. Setelah nabi wafat, para sahabat
terpencar ke daerah-daerah dan menjadi panutan di tempat tinggal mereka.
Selama menjadi panutan, mereka banyak ditanyai oleh masyarakat mengenai banyak hal tentang
islam. Jawaban yang mereka berikan berdasarkan hadist dan alquran yang mereka hapal, serta sesuai
kemampuan istinbath (kemampuan dalam mengambil keputusan hukum) mereka dari dalil-dalil tersebut.
Dengan demikian terjadi perbedaan pendapat antara para sahabat. Inilah yang menjadi awal mulai
khilafiyah.

2.4 Cara Menghadapi Khilafyah


1. Meminta Petunjuk kepada Allah

Ini adalah poin pertama dan poin yang paling utama. Karena tanpa taufik dan hidayah
dari Allah, meskipun kita telah membaca banyak kitab dan mendengar beberapa penjelasan para
ulama dengan mengabaikan pertolongan dan petunjuk dari Allah, maka kemungkinan besar kita
bisa jadi condong dan terjerumus kepada pendapat yang sesuai hawa nafsu kita sendiri.

Di dalam surah pertama, surah Al-Fatihah yang merupakan ummul kitab (induknya surah)


di ayat ke enam disebutkan:
٦ ‫ص ٰ َرطَ ۡٱل ُم ۡستَقِي َم‬ ۡ
ِّ ‫ٱه ِدنَا ٱل‬
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah: 6)

2. Meneladani Akhlak Para Ulama dalam Menyikapi Khilafiyah

Di masa terdahulu sering sekali terjadi khilafiyah di antara para ulama. Bahkan imamnya
para ulama seperti ulama empat mazhab yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-
Syafi’i dan Imam Ahmad pun sering terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu
hukum.

Walaupun mereka memiliki banyak perbedaan pendapat, akan tetapi mereka tetap
sepakat untuk saling menghargai, merasa diri bukan yang paling benar, tidak merendahkan yang
tidak sependapat dengannya, memberikan ruang bagi orang lain untuk menyanggah
hukum fiqh mereka dan yang paling penting adalah sepakat dalam hal akidah dan mentolerir hal-
hal furu’ fiqhiyah.

Terdapat hadis yang menjadi peringatan bagi penuntut ilmu agar tidak meremehkan
orang lain dan mendebat para ulama:

ْ َ‫سفَ َها َء َأ ْو لِيُبَا ِه َي بِ ِه ا ْل ُعلَ َما َء َأ ْو لِي‬


َ‫ص ِرفَ ُو ُجوه‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل َمنْ طَلَ َب ا ْل ِع ْل َم لِيُ َما ِر‬
ُّ ‫ي بِ ِه ال‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫عَنْ ا ْب ِن ُع َم َر عَنْ النَّبِ ِّي‬
‫س ِإلَ ْي ِه فَ ُه َو فِي النَّا ِر‬
ِ ‫النَّا‬

Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa
menuntut ilmu untuk meremehkan orang-orang bodoh, atau untuk mendebat para ulama, atau
untuk menarik perhatian manusia, maka ia akan masuk ke dalam neraka.” (HR. At-Tirmidzi)

Di dalam hadis lain, Rasulullah memberi jaminan berupa bonus bagi siapa saja yang
meninggalkan debat:
ٍ ‫ض ا ْل َجنَّ ِة لِ َمنْ تَ َر َك ا ْل ِم َرا َء َوِإنْ َكانَ ُم ِحقًّا َوبِبَ ْي‬
‫ت‬ ٍ ‫سلَّ َم َأنَا َز ِعي ٌم بِبَ ْي‬
ِ َ‫ت فِي َرب‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫عَنْ َأبِي ُأ َما َمةَ قَا َل قَا َل َر‬
ُ ُ َّ ْ َ
ُ‫ت فِي ْعلى ال َجن ِة لِ َمنْ َحسَّنَ خلقَه‬ ‫َأ‬ ٍ ‫س ِط ا ْل َجنَّ ِة لِ َمنْ تَ َر َك ال َك ِذ َب َوِإنْ َكانَ َما ِز ًحا َوبِبَ ْي‬
ْ َ ‫فِي َو‬

Dari Abu Umamah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku
akan menjamin rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan meskipun
benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi seseorang yang meninggalkan kedustaan
meskipun bersifat gurau, dan aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi
seseorang yang berakhlak baik.” (HR. Abu Dawud)

3. Memahami Prinsip Dasar dalam Fiqih dan Ushul Fiqih


Setelah kita mengetahui bahwa hal terpenting dalam menyikapi khilafiyah adalah dengan
memohon petunjuk dari Allah dan tetap memperlihatkan akhlakul karimah. Maka selanjutnya
adalah dengan kita mendalami ilmu agama, terkhusus dalam ilmu fiqh.
Sebelum itu, perlu untuk diketahui bahwa ada dua masalah pokok yang terlebih dahulu harus kita
bedakan:

Pertama, Masalah menyimpang dan sesat. Cirinya keluar dari prinsip pokok agama
seperti meyakini bahwa zina itu halal dengan nama lain entah itu disebut mut’ah dan sebagainya
atau mengatakan bahwa sahabat-sahabat terdekat Nabi Muhammad dikatakan kafir dan
sebagainya, maka ini jelas menyimpang dan tidak bisa ditolerir.

Kedua, Khilafiyah atau perbedaan pendapat adalah yang terjadi antara ulama, bukan antar
orang awam. Dikatakan khilafiyah karena masing-masing ulama dalam menyikapi suatu
persoalan yang mereka bahas sama-sama mempunyai dalil. Khilafiyah ini hanya terjadi dalam
wilayah furu’ (cabang), bukan ushul (pokok), maka ini bisa ditolerir dan harus ditolerir.

Adapun furu’ dalam hal ini ada dua macam:

1. Furu’ itiqdiyah ( cabang dalam wilayah akidah seperti pembahasan mengenai ayat-ayat
sifat, ayat tentang tangan Allah, ayat tentang semayam Allah di atas Arsy, dsb).

2. Furu’ fiqhiyah (cabang dalam masalah fiqh seperti bacaan bismillah dalam salat
dibaca jahr (suara keras) atau sirr (suara pelan) , qunut subuh dan tidak qunut subuh,
salat tarawih 11 atau 23 rakaat, dsb). Istilah lain dari furu’ fiqhiyah adalah khilaf
mu’tabar.

Dalam beragama, perkara ushul (pokok) tidak boleh berbeda sedangkan


perkara furu’ (rincian) agama boleh saja berbeda sesuai dengan argumen masing-masing yang
dilandasi oleh dalil-dalil yang kuat. Menyikapi furu’ fiqhiyah atau khilaf mu’tabar ini perlu
bijaksana, saling berlapang dada dan tidak kaku serta tidak mencela orang lain yang
bersebrangan dengan pendapat dirinya.

4. Membahas Khilafiyah, Namun dengan Koridor yang Benar


Di dalam hadis disebutkan bahwa perumpamaan orang mukmin seperti bangunan yang yang
saling mengokohkan:

‫ضا‬
ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ َ‫سلَّ َم ا ْل ُمْؤ ِمنُ لِ ْل ُمْؤ ِم ِن َكا ْلبُ ْنيَا ِن ي‬
ُ ‫ش ُّد بَ ْع‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ َ ‫عَنْ َأبِي ُمو‬
ُ ‫سى قَا َل قَا َل َر‬ .5

Dari Abu Musa dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang
mukmin yang satu dengan mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya
saling mengokohkan.'” (HR. Muslim)

Dalam perumpamaan lain juga disebutkan bahwa orang mukim bagaikan lebah yang
memberi manfaat dan tidak merusak, bagaikan pohon yang kuat, bagaikan satu kesatuan tubuh,
dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP

Secara keseluruhan, khilafyah merupakan perbedaan pendapat maupun pandangan yang


lumrah terjadi di antara umat Islam yang bahkan sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW.
Khilafyah haruslah disikapi dengan bijak dengan memerhatikan etika dengan baik. Demikian
makalah ini kami susun dengan mengumpulkan informasi di atas dari berbagai sumber.
Mohon maaf apabila terdapat kesalahan yang terdapat, untuk keritik dan saran, kami
menerimanya dengan terbuka. Sekian, Wassalamu’alaikum wr.wb.

Anda mungkin juga menyukai