Anda di halaman 1dari 4

TUGAS IV

PENDIDIKAN AGAMA
SUNNAH/HADIS

DOSEN PEMBIMBING
Dra. Murniyetti, M.Ag

OLEH:
Alfissa Indah Putri
NIM:20061048

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
Bagaimana posisi sunnah/hadis dalam islam?
Al-Qur’an adalah sumber ajaran pokok umat agama islam , sedangkan sunnah/hadis merupakan
sumber kedua setelah Al-Quran. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena hakekatnya sama-sama
bersumberkan wahyu. Keharusan menggunakan Al-Quran dan sunnah/hadis diungkap dalam Al-
Quran, Serta hadits berfungsi sebagai penegas dan penguat segala hukum yang ada dalam Al-Quran
seperti perintah shalat, puasa, zakat dan haji dan hadits juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir
segala hukum yang bersifat global dalam Al-Quran, seperti menjelaskan tatacara shalat, puasa, zakat
dan haji.Abdul Wahab Khallaf mengatakan,
‫إما أن تكون سنة مقررة ومؤكدة حكما جاء في القرآن‬
Artinya, “Adakalanya hadits berfungsi sebagai penegas dan penguat terhadap hukum yang ada dalam
Al-Quran.”
Dengan demikian, karena begitu pentingnya posisi hadits dalam konsepsi hukum Islam, maka
seseorang yang akan berkecimpung di dalamnya diharuskan untuk mengenal istilah dasar dalam ilmu
hadits, menguasai kaidah-kaidah takhrij dan kajian sanadnya, serta mengetahui seluk beluk dan
tatacara memahami redaksinya.

Bagaimana pendapat anda tentang pengamalan hadis dha’if dalam kehidupan sehari-hari?
Kata ‫ الضغيف‬berasal dari ‫ الضعف‬yang berarti ”lemah” ‫ الضعف‬ada 2 macam (menurut bahasa), hissiy
(‫ي‬
ّ ‫س‬
ّ ‫ )ح‬yakni bersifat konkret atau dapat dijangkau oleh panca indra dan maknawi cabstrak, adapun
‫ الضعف‬dalam hadits termasuk jenis maknawi[2].
Menurut istilah, yang dimaksud hadits dha’if adalah hadits yang belum mengumpulkan sifat-sifat
hadits shohih dan tidak pula sifat-sifat hadits hasan. Sifat-sifat hadits hasan dan shohih adalah :
sanadnya bersambung, perawinya adil dan kuat hafalannya, tidak menyelisihi hadits yang lebih kuat,
dan tidak bercatat[3]. Hadits dha’if menempati posisi terendah dari macam-macam hadits.
Apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang
membolehkan memakai hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal ini merupakan satu kekeliruan yang
nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadits dha’if untuk fadhaa-
ilul a’maal. Ada beberapa pakar hadits dan ulama-ulama ahli tahqiq yang berpendapat bahwa hadits
dha’if tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkam (hukum-hukum) maupun
fadha-il.
Menurut para ulama, hadits dha’if tidak boleh diamalkan, karena:
1. Pertama. Hadits dha’if hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan
sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini
2. Kedua. Kata-kata fadhaa-ilul a’maal menunjukkan bahwa amal-amal tersebut harus sudah ada
nashnya yang shahih.
3. Ketiga. Hadits dha’if itu masih meragukan, apakah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
bukan.
Sunnah atau hadis merupakan pegangan hidup yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan sunnah atau
hadislah manusia bisa memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dengan sunnah atau hadis jugalah manusia
bisa menjalani kehidupan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Saw.
Jadi pendapat saya tentang hadis dah’if di kehidupan sehari hari,bahwa masih banyak dari orang
islam tidak mengetahui tentang mana hadis yang shohih dan mana yang dah’if tersebut,maksud nya
ialah masih sedikit ilmu tentang mana hadis yang bisa dijadikan pedoman dan mana yang lemah
seperti hadis dah’if dan mana bisa dijadikan prioritas dan mana yang mempunyai syarat syarat agar
bisa dijadikan pedoman.

1
Kenapa terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai pemahaman suatu hadis?
a. Kedudukan hadis
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya.
Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin
berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. Sebagian
berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat
orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang
mengatakan tujuh puluh orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin,
h. 195).
Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka
berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis
yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang
lain.Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu
dinyatakan shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama
berbeda dalam mendefenisikan adil itu.
Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim
memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur al-
Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim,
memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.
Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan shahih adalah
bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan syarat-
syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil oleh satu
ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun), tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain (karena
tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).
Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat) diantara
dua hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu telah
menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi hadis
yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain bersifat mengecualikan keumuman itu.
b. makna suatu hadis
Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun
mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya
namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh
syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah
sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu
menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.
Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama
mengatakan iya, karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang
sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga terjadilah status mahram antara
keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini hanya khusus berlaku untuk Salim
saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari
Aisyah yang menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia kecil
(karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini
karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru
berpegang pada hadis Salim.

2
Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia
sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak shahih ataukah
hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa hadis itu
langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya
saja yang bersalah karena tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.
Jadi,yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat yaitu ada factor factor seperti berbeda dalam
menyusun metode ijtihad mereka serta perbedaan sosio-kultural dan geografis
Kenapa sunnah/hadis menjadi pegangan penting bagi umat Islam
Sebab Sunnah atau hadis merupakan pegangan hidup yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan sunnah
atau hadis kita manusia bisa memahami ayat-ayat al-Qur’an,dengan menjadikan referensi atau
penguat dan Dengan sunnah atau hadis jugalah manusia bisa menjalani kehidupan sesuai dengan
yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.Serta menjadikan kita semangatb dalam menjalani
kehidupan dengan berpedoaman kepada hadist atau sunnah dan yang utama alquran.

Referensi:

Modul yang diberikan ibu Dra. Murniyetti, M.Ag


https://almanhaj.or.id/1333-pendapat-beberapa-ulama-tentang-hadits-hadits-dhaif-untuk-fadhaailul-
amaal.html
https://islam.nu.or.id/post/read/84178/posisi-hadits-dalam-hukum-islam

https://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/Beda.html

Anda mungkin juga menyukai