Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/357335854

Psikologi Islam Ibnu Sina (Studi Analisis Kritis Tentang Konsep Jiwa
Perspektif Ibnu Sina)

Conference Paper · March 2020

CITATIONS READS

0 4,686

2 authors:

Jarman Arroisi Rahmat Ardi Nur Rifa Da'i


University of Darussalam Gontor University of Darussalam Gontor
37 PUBLICATIONS   73 CITATIONS    15 PUBLICATIONS   9 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Islamic Worldview View project

Reading al-Attas’ Ta’dib as Purpose of Islamic University View project

All content following this page was uploaded by Rahmat Ardi Nur Rifa Da'i on 26 December 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ISSN 2622-9439; E-ISSN 2622-9447
Volume 2, Maret 2020
Halaman: 199-206

Psikologi Islam Ibnu Sina


(Studi Analisis Kritis Tentang Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina)
Jarman Arroisi*, Rahmat Ardi Nur Rifa Da’i
Program Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor. Jl. Raya Siman Km. 06, Demangan, Siman, Ponorogo, 63471, Jawa Timur.
Phone: (+62352) 3574562, Fax: (+62352) 488182 - Indonesia
Email*: Jargon221169@gmail.com, Masday1387@gmail.com

Abstrak. Jiwa merupakan salah satu topik yang sangat menarik perhatian para ilmuwan barat. Tidak sedikit dari mereka yang
menghabiskan waktunya untuk mengkaji masalah ini. namun, kajian mereka tidak dilandasi dengan agama. Berbeda dengan ilmuwan
muslim yang menjadikan agama sebagai pijakannya. Makalah ini bermaksud membahas konsep jiwa yang ditekankan oleh salah satu
ilmuwan muslim yaitu Ibnu Sina. Dengan menggunakan metode diskriptif-analisis kajian ini menghasilkan, Pertama jiwa merupakan
kesempurnaan awal menjadikan manusia nyata. Kedua, jiwa itu bersifat kekal dan tidak ikut hancur bersama hancurnya badan.
Ketiga, ketika jiwa berpisah dengan badan dan kekal, ia memiliki tingkatan kebahagiaan dan kesengsaraan. Untuk mengungkap lebih
dalam mengenai hakikat jiwa dan keberadaannya, maka makalah berikut sangat menarik untuk didiskusikan.

Kata Kunci: Jiwa; eksistensi; kekekalan; kebahagiaan; kesengsaraan

PENDAHULUAN manusia seperti mesin. Padahal dalam worldview islam


manusia diciptakan dengan badan dan jiwa. Yang
Salah satu topik yang menarik perhatian para ilmuwan keduanya merupakan satu kesatuan yang membentuk
barat yaitu tentang jiwa. Banyak para tokoh dan pribadi manusia. Manusia tidak disebut manusia kalau
ilmuwan barat mengadakan penelitian/research guna tidak memiliki jiwa (Tumanggur dan Sudaryanto, 2017).
mengetahui hubungan jiwa dan tingkah laku dengan Dengan demikian pemahaman akan keberadaan jiwa
berbagai teori dan metodologi. Ironisnya, masih banyak dan hubungannya dengan badan perlu digali ulang
dari mereka dalam mengkaji jiwa tidak berlandaskan khususnya dalama khazanah islam.
dengan agama. Dan tidak sedikit dari manusia Berkenaan dengan jiwa dan badan dalam worldview
mengkonsultasikan permasalahan kejiwaan kepada para islam, para ulama’, filsuf dan kaum sufi muslim telah
psikolog dan psikiater berpaham worldview barat. membahasnya secara detail dalam karya-karyanya dan
Mereka berasumsi masalah kejiwaan berasal dari menjadikan pembahasan tersebut sangatlah penting.
eksternal (kesehatan dan tubuh saja) bukan internal Karena dimensi jiwa dalam islam lebih tinggi dari pada
(jiwa) karena problem kemanusiaan harus bisa fisik atau badan (Najjati, 1993). Meskipun kendatinya
diselesaikan secara empirik. Wajar saja, masih banyak hubungan jiwa dan badan saling membutuhkan dan
manusia yang belum mengalami puncak kebahagiaan tidak bisa dipisahkan, namun peran jiwa lebih banyak
setelah berkonsultasi dengan para psikolog dan psikiater, mempengaruhi badan (Rahman, 1952). Maka perlunya
meraka hanya memberikan arahan dan pelatihan yang penggalian kembali khazanah islam tentang masalah
sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan yang jiwa dan hubungannya dengan badan.
diinginkan oleh manusia. Pada akhirnya para psikolog Salah satu tokoh terkemuka yang membahas
dan psikiater menyatakan cara mereka bukan sebagai mengenai kejiwaan atau psikologi islam (ilmu jiwa)
solusi pasti, namun masih banyak mengalami kegagalan adalah Ibnu Sina. Ia telah banyak menguraikan secara
(Mubarok, 2003). Dan membutuhkan penelitian- jelas hubungan jiwa dan badan serta kekekalan jiwa
penelitian yang berkelanjutan. setelah terpisahnya dengan badan. Maka dalam kajian
Sebenarnya, jika dilacak lebih dalam letak titik ini akan membahas tentang biografi, karya-karyanya,
permasalahannya adalah pemahaman keberadaan jiwa dan konsep jiwa dalam prespektif Ibnu Sina.
dalam tubuh manusia. Banyak sekali para ilmuwan barat
atau penelitian ilmiah modern hanya mampu
mengetahui unsur-unsur fisik dan mengabaikan unsur- METODE PENELITIAN
unsur non fisik (metafisik). Mereka masih beranggapan
berkenaan jiwa bersifat abstrak, sesuatu hal yang ghoib Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan
dan sulit untuk diterima. Bahkan salah satu tokoh barat menggukan metode diskriptif-analisis. Dimana
Julien Offroy De Lamettrie (1709-1751) berasumsi, penelitian ini dimaksud untuk membahas konsep jiwa
jiwa adalah produk dari pertumbuhan badan dan yang ditekankan oleh salah satu ilmuwan muslim yaitu
200 2: 199-206, 2020

Ibnu Sina dari pemikirannya yang ditulis dalam buku- Perhatiannya terhadap Jiwa
buku dan karya-karyanya. Ibnu Sina, salah satu tokoh yang sangat memperhatikan
ilmu kejiwaan dan filsafat. Ia dapat menggabungkan
pemikiran filsuf terdahulu (plato, aristoteles) dan
HASIL DAN PEMBAHASAN mampu menjelaskan karangan-karangannya (Madkur,
1976). Maka ia dianggap sebagai filsuf muslim yang
Riwayat Hidup Singkat Ibnu Sina paling populer dan banyak juga mengarang buku-buku
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Hussein bin tentang ilmu kejiwaan. Pendapat-pendapat Ibnu Sina
Abdullah Ibnu Sina. Dilahirkan pada tahun 370 H/980 tentang hal kejiwaaan banyak dipengaruhi oleh
M di Afshana, suatu tempat dekat Bukhara. Ia memiliki pendapat al-Farabi, namun pembahasan Ibnu Sina lebih
banyak sebutan Avicenna, pangeran filsafat dan dokter, mendalam, padat dan terinci daripadanya (Najjati, 2002).
serta As-Syekh Al-Rais. Ibunya, bernama Setareh, Berkenaan dengan masalah ilmu kejiwaan, Ibnu Sina
berasal dari Bukhara, Ayahnya adalah Abdullah seorang telah mempelajarinya semenjak masih muda. Buktinya
Ismaili yang dihormati, sarjana dari Balkh, sebuah kota ia menulis karya berkenaan hal ilmu kejiwaan, seperti
penting dari Kekaisaran Samanid. Dan kedudukan al-Qanun fi al-Thibb yang isinya menerangkan tentang
ayahnya sebagai pegawai tinggi pada pemerintahan berbagai kekuatan jiwa menurut metode kedokteran. Ia
Dinasti Saman. Kedua orang tuannya sangat juga menunjukkan hubungan jiwa dan badan. As-syifa’,
memperhatikan pendidikan anaknya, sehingga sebelum didalam karangan ini ia menyusun uraian yang luas
umur 10 tahun, Ibnu Sina telah menguasai Al-Qur’an mengenai pandangan-pandangannya tentang jiwa dan
dan sastra. Hal ini membangkitkan kekaguman oleh merupakan uraian terbanyak dalam masalah jiwa dari
filosof ‘Ali Abu ‘Abdullah An-Natli yang mengajarinya sekian tulisannya. Kemudian uraian tentang jiwa
ilmu matematika dan ilmu logika. Ketika mulai tertarik tersebut diringkas dalam an-Najah, disusun secara
pada ilmu kedokteran, Ibnu Sina belajar pada Isa bin akademis dan menyakinkan. al-Isyarat wa al-Tanbihat
Yahya. Pada umur ke 14 tahun kemudian ia menekuni ia menulis sekitar 20 halaman, untuk menerangkan
ilmu syariat, dan geometri (Syarafa, 2002). masalah-masalah Ilmu kejiwaan dengan segala
Pada usia 16 tahun, ia telah menjadi seorang dokter perbedaan dan pendapat dari filsuf sebelumnya. Ia juga
dan mampu memecahkan masalah pengobatan dengan menulis komentar atas De Anima Aristoteles yang
melalui metode eksperimen yang dilakukannya, hingga kini masih merupakan tulisan tangan. Selain itu,
termasuk mengobati Sultan Bukhara Nuh Bin Manshur. ia juga menulis tentang risalah tentang kekuatan jiwa
Dengan kecakapannya, Ibnu Sina berhasil yang dipersembahkan kepada Gubernur Nuh bin
menyembuhkan penyakit tersebut. Setelah peristiwa Mashur al-Samani dan Risalah lain tentang pengetahuan
tersebut, Raja Nuh bin Mansyur menawari Ibnu Sina jiwa rasional dan hal ihwalnya. Dan masih banyak
sebagai dokter istana dan dijamin hidup mewah, namun sekali karangannya yang lainnya namun paling utama
ia menolaknya. Ia hanya meminta diperbolehkan untuk masalah ilmu kejiwaan lima hal diatas.
masuk dan membaca buku diperpustakaan istana. Dengan berbagai karangan dan tulisan risalahnya
Sebagai penghormatan, raja membuka gudang Ibnu Sina memilik kharisma yang besar dikalangan
perpustakaannya untuk Ibnu Sina. Ia pun menghabiskan kaum muslim pada masanya dan masa sesudahnya. Dia
waktunya di sana dan dengan daya ingat yang juga sangat mempengaruhi pemikiran kaum filosof
dimilikinya ia dapat menguasai sebagian besar isi buku- bangsa latin selama abad pertengahan, baik secara
buku tersebut walaupun usianya ketika itu baru 18 tahun. langsung maupun melalui al-Ghazali seperti
Kemudian perpustakaan itu terbakar, Ibnu Sina Gundissalinus, Albert Le Grand, Saint Thomas d’Aquin,
mendapat tuduhan sebagai pelakunya, sehingga ia pun Guillaume d’Auvergne, Roger Bacon, dan Duns Scott.
menjadi tidak tertandingi oleh orang lain karena Dan pengaruh Ibnu Sina juga sampai ke Rene
pengetahuan luas yang dimilikinya dari bacaan Descartes pada masa Modern (Najjati, 2002).
perpustakaan tersebut.
Pada usianya yang 22 tahun, ayahnya wafat Ibnu Definisi Jiwa
Sina meninggalkan Bukhara menuju Jurjan, kemudian Istilah jiwa berasal dari bahasa arab adalah “Nafs (‫”(النفس‬
ke Khawarizm, akibat kekacauan politik ia berpindah dalam bahasa Inggris: soul/spirit (Munawwir dan Fairus,
dari suatu daerah ke daerah lainnya akhirnya sampai ke 2007). Menurut Ibnu Sina jiwa sama dengan Roh.
Hamazan. Oleh Syamsuddaulah,penguasa daerah ini, ia Menurutnya jiwa adalah kesempurnaan awal, karena
diangkat menjadi menteri beberapa kali, danakhirnya ia dengannya organisme menjadi sempurna sehingga
pindah ke Isfahan dan mendapatkan sambutan yang menjadi manusia yang nyata. Artinya jiwa merupakan
istimewa dari penguasa daerah ini. Memang pada fase kesempurnaan awal bagi tubuh biologis. Sebab, tubuh
ini dari perjalanan hidup Ibnu Sina digunakan untuk sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran
mengabdi, berpetualang dan bekerja. Ia mengunjungi ia bisa dinamakan jiwa jika aktual didalam tubuh
beberapa negara dan menjabat di beberapa kementrian, dengan satu perilaku dari berbagai perilaku dengan
akan tetapi tak sedikitpun waktunya yang ia lalui tanpa mediasi organ-organ tertentu yang berarti berbagai
belajar dan membaca kembali. Ia meninggal di anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi
Hamadzan tahun 428 H/1037 M pada usia ke 85 tahun. psikologis (Leksono, 2012). Namun menurut aspek
ARROISI & DA’I – Psikologi Islam Ibnu Sina … 201

ilahiahnya, yakni secara hakiki, ia berada diatas atau tidak mempunyai tempat yang dapat ditunjukkan
terpisah dari tubuh (Daulay, 2014). baginya, sehinga ia tidak mungkin ada pada badan
Selain itu menurutnya jiwa juga sebagai (Ambiya, 2016). Kedua, Jiwa dapat mengetahui hal-
“ Kesempurnaan awal bagi badan alami yang organis”. hal abstrak (kully) dan juga dzatnya tanpa alat,
Dalam hal ini lebih mudah untuk menjelaskannya sedangkan indera dan khayal hanya dapat mengetahui
dengan tiga hal yaitu jiwa nabati, hewani dan manusia. hal-hal diluarnya, tidak darinya. Jadi, jiwa memiliki
Dalam jiwa nabati kesempurnaan awal dilihat dari segi hakikat yang berbeda dengan hakikat indera dan khayal.
melahirkan, tumbuh dan makan. Dalam jiwa hewani, Ketiga, Badan atau anggotanya yang melakukan
kesempurnaan awal dilihat dari segi mengetahui hal-hal kerja berat berulang kali dapat menjadikannya letih,
parsial (Juz’iy) dan bergerak dengan iradah. Dan dalam malah dapat menjadikannya rusak. Cahaya yang sangat
manusia, kesempurnaan awal dari segi mengetahui hal- terang dapat merusak mata, begitu pula petir yang
hal yang menyeluruh (kully) (Daudy, 1986). dasyat dapat merusak pendengaran. Setelah melihat
Namun berkenaan dengan penjelasan kesempurnaan cahaya keras atau mendengar suara dasyat, mata tidak
penafsiran Ibnu Sina berbeda dengan Aristoteles. Ibnu dapat melihat cahaya yang lemah dan telinga tidak dapat
Sina menafsirkan “Kesempurnaan” tidak dalam arti mendengar suara sayup-sayup. Hal ini berbeda dengan
“Shurah” seperti asumsi Aristoteles sebagai unsur yang apa yang terjadi pada daya akal. Terus menerus berfikir
tidak dapat dipisahkan dari materi. Sebab jika jiwa tentang masalah besar tidak dapat membuatnya lemah
diartikan sebagai shurah, maka badan akan hancur memikirkan hal-hal kecil, malah akan lebih
dengan kematian. Menurut Ibnu Sina bisa disepakati memudahkannya dalam penyelesaian (Amien, 2006).
semua kesempurnaan itu adalah shurah namun bukan Keempat, Badan dan bagiannya akan mengalami
berarti semua kesempurnaan bisa dianggap sebagai kelemahanpada waktu orang melewati usia dewasa atau
shurah. Ia beralasan tidak semua jiwa merupakan tua, misalnya pada usia empat puluh tahun. Sedangkan
bentuk (shurah) bagi badan, sebab jiwa rasional terpisah jiwa atau daya jiwa akan menjadi lebih kuat pada usia
dari badan dan wujudnya tidak selalu terpatri dalam tersebut, kecuali jika ada halangan, seperti sakit
materi badan. Dalam hal ini, Ia menganalogikan bahwa misalnya. Jadi, jiwa bukan bagian dari badan yang
raja adalah kesempurnaan atau kelengkapan negara, keduanya merupakan dua jauhar yang berbeda.
tetapi jelas bukan merupakan shurah dari negara. Jadi Demikianlah dalil-dalil yang dikemukakan Ibnu Sina
jiwa sebagai kesempurnaan badan menurut Ibnu Sina, tentang hakikat jiwa sebagai suatu jauhar rohani yang
berbeda dengan jiwa sebagai shurah (form) menurut berdiri sendiri dan akan kekal setelah berpisah dengan
Aristoteles. badan. Konsepsi ini telah mempengaruhi para filosof
Dengan demikian, jiwa bukanlah seperti (berbentuk) yang sesudahnya, baik filosof islam maupun para filosof
badan. Akan tetapi ia adalah substansi yang berdiri Yahudi dan Kristen, seperti Albert The Great, Thomas
sendiri (jauhar qaimun bi dzatih) yang tidak memiliki Aquins, Roger, Bacon, Dun Scoat, dan Rene Descartes.
bentuk.
Bukti Keberadaan Jiwa
Hakikat Jiwa Dalam membuktikan eksistensi jiwa yang merupakan
Setelah mengetahui definisi jiwa sebagai jauhar (substansi) rohaniah yang suci dan terpisah
“Kesempurnaan awal bagi badan” belum dapat dengan badan. Ibnu sina memberikan beberapa alasan
memberikan kepada kita suatu pengertian tentang untuk mendukungnya. Dalam hal ini dibagi menjadi
hakikat jiwa. Dalam hal ini, menurut Ibnu Sina hakikat empat, yakni dalil natural psychology (dalil alam
jiwa esensinya berbeda dengan badan dan wujudnya tak kejiwaan), dalil continuity (istimrar), manusia terbang
berbentuk (Daudy, 1986). Wujudnya yang tak berbentuk dan dalil ke-akuan dan penyatuan gegela kejiwaan
itu tidak berada didalam badan atau tidak langsung (Rayyan, 1967).
mengendalikan badan disebut dengan akal. Namun, jika Pertama, dalil naturally-psychology; dalil ini
ia berada didalam badan dan mengendalikan badan didasarkan pada fenomena gerak dan pengenalan.
secara langsung disebut dengan jiwa (Glasses, 1999). Dalam hal ini Ibnu Sina membagi menjadi dua: gerak-
Jika akal beraktifitas diluar badan, maka tetap menjadi paksaan (qasriyyah) dan gerak kehendak (iradiyyah).
akal, sedangkan jika akal beraktifitas didalam badan, Kedua jenis ini tidak bersumber pada badan. Gerak
maka itu menjadi jiwa. Dengan demikian bisa diambil paksaan dari sebab luar yang menggerakkannya,
kesimpulan bahwa jiwa menurut Ibnu Sina adalah akal sedangkan gerak kehendak ada yang terjadi karena
yang beraktifitas didalam badan (Amien, 2006). Yang hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas kebawah
sebenarnya hal ini sudah didahului oleh Plato dan dan ada juga terjadi karena bertentangan dengan hukum
Plotinus dan juga Al-Farabi dalam kalangan filsuf islam. alam, seperti orang yang berjalan diatas bumi yang
Selanjutnya selain dari pada itu, untuk membuktikan seharusnya ia tidak bisa bergerak karena berat tubuhnya.
hakikat jiwa Ibnu Sina juga mengemukakan dalil-dalil Demikian pula halnya burung yang terbang di udara
sebagai berikut. Pertama, Bahwa jiwa dapat mengetahui yang seharusnya ia jatuh kebawah, namun tidak.
objek pemikiran (Ma’qulat), dan ini tidak dapat Adanya gerak yang demikian mengharuskan adanya
dilakukan oleh badan. Sebab, jika bentuk-bentuk yang “penggerak khusus” yang berbeda dengan unsur-unsur
merupakan objek pemikiran terdapat dalam akal, ia jism yang bergerak, penggerak ini disebut jiwa.
202 2: 199-206, 2020

Sedangkan pengenalan merupakan keistimewaan satu penyatuan gejala kejiwaan menyatakan bahwa perasaan
makhluk yang dapat mengenal harus memiliki kekuatan dan aktivitas manusia sangat beragam, bahkan juga
yang tidak dipunyai oleh makhluk yang tidak dapat saling bertentangan misalnya sedih, cinta dan senang,
mengenal. tetapi semua itu dapat terjadi pada satu diri. Ini hanya
Kedua, dalil continuity (berkelanjutan); dalil ini dapat terjadi jika dalam diri tersebut terdapat suatu
menurut Ibnu Sina didasari atas perbandingan badan pengikat yang menyatukan keseluruhannya (ribaat
dengan jiwa. Badan selalu mengalami perubahan, yajma’ baynahakullaha). Pengikat tersebutialah jiwa.
pergantian dan sebagainya karena ia terdiri dari bagian- Jika tidak ada kekuatan ini, tentunya peristiwa-peristiwa
bagian yang juga mengalami hal-hal serupa. Adapun kejiwaan saling berlawanan dan mengalami kekacauan.
jiwa, ia tetap tidak mengalami pergantian atau Dengan bukti-bukti seperti diuraikan di atas, bahwa
perubahan seperti itu. Tentang hal ini Ibnu Sina menurut Ibnu Sina jiwa manusia memiliki eksistensi
mengungkapkan sebagai berikut: sendiri, suatu eksistensi yang bersifat immateri yang
Wahai orang yang berakal, renungkanlah! Bahwa dalam memberikan kesempurnaan terhadap badan yang
jiwamu yang sekarang, anda adalah yang telah berada di bersifat materi. Dalil-dalil ini mendapat jangkauan
seluruh umur anda, sehingga anda mengingat banyak pengaruh luas, terutama dalam kalangan filosof Islam
sekali apa yang terjadi di sekitar anda. Jadi, (diri) anda yang datang sesudahnya.
tetap berlangsung dengan pasti. Badan anda tidak tetap
berlangsung, tapi selalu menggerut dan mengurang. Dan Daya-daya Jiwa
karenanya orang perlu makan untuk mengganti apa yang Dalam bukunya an-Najah (Keselamatan), Ibnu Sina
menghilang dari badan. Sehingga anda tahu bahwa dirimu dalam menjelaskan daya-daya jiwa, ia membaginya
dalam masa dua puluh tahun tidak akan ada sedikit pun
menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian saling
bagian badanmu yang tinggal, sedangkan Anda tahu diri
anda tetap kekal dalam masa itu, bahkan di sepanjang mengikuti, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan
umur anda. Jadi, diri atau dzat anda berbeda dengan badan dan jiwa insan.
dan bagian-bagiannya yang lahir dan yang batin. Inilah Pertama, jiwa Tumbuh-tumbuhan. Menurutnya jiwa
dalil yang kuat yang menyingkap pintu ghaib bagi kita. tumbuh-tumbuhan mencakup daya-daya yang ada pada
Hakikat jiwa adalah ghaib tidak terjangkau oleh cita-rasa manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ibnu Sina
dan waham. mendefinisikan jiwa tumbuh-tumbuhan sebagai
Oleh karena itu, dari pernyataan diatas bisa diambil kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah
kesimpulan bahwa badan mengalami perubahan dan dan mekanistik. Dari aspek melahirkan, tumbuh dan
jiwa tidak pernah mengalami perubahan dan pergantian makan. Jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya,
seperti itu. yaitu: a) Daya Nutrisi/makanan (al-ghodziyyah), yaitu
Ketiga, dalil manusia terbang; dalil ini adalah dalil daya yang mengubah makanan menjadi bentuk tubuh,
yang sangat menarik dari Ibnu Sina dan yang paling dimana daya itu ada di dalamnya. Makanan mengganti
jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil unsur yang rusak dari tubuh. b) Daya penumbuh (al-
tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, hal ini munammiyah), yaitu daya yang menambah kesesuaian
tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan pada seluruh bagian tubuh yang diubah karena
keyakinan. Kesimpulan dalil ini adalah sebagai berikut; makanan, baik dari sisi panjang, lebar maupunn volume.
Tujuannya agar tubuh dapat mendacapai kesempurnaan
Seandainya ada orang yang diciptakan sekaligus dalam pertumbuhan. c) Daya reproduksi/berkembang biak (al-
bentuk dan wujud yang lengkap sempurna, dan ia
diletakkan di awang-awang (udara kosong), tidak ada
muwallidah), yaitu daya yang mengambil dari tubuh
suatu apa pun yang menyentuhnya, sehingga ia tidak suatu bagian yang secara potensial sama, sehingga
merasakan apa-apa. Anggota badannya dipisahkan, tidak terjadi proses penciptaan dan percampuran yang
saling menyentuh. Dalam keadaan demikiaan, ia tetap membuatnya sama secara nyata.
yakin wujud diri atau dzatnya, sedangkan ia tidak dapat Kedua, jiwa hewan. Berkenaan denagn ini jiwa
mengetahui adanya bagian anggota badannya dan juga hewan mencakup semua daya ada pada manusia dan
yang lain diluar dirinya. Dan jika dalam keadaan ini, ia hewan, sedangkan pada tumbuhan-tumbuhan tidak ada
dapat mengkhayalkan ada tangannya atau anggota badan sama sekali. Ibnu Sina mendefinisikan jiwa hewan
lainnya, maka ia tidak mengkhayalkannya sebagian dari sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah
dirinya dan syarat bagi wujud dirinya. Ini berarti, bahwa
yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap
wujud jiwa adalah berbeda dengan wujud badan, bahkan
bukan badan, dan yang bersangkutan mengetahui dan berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan. Jiwa
merasakannya. hewan memiliki dua kekuatan, yaitu daya penggerak
(muhrikah) dan daya mengetahui (mudrikah).
Keempat, dalil ke-akuan dan penyatuan gegela Dalam daya penggerak terdiri dari dua bagian, yaitu
kejiwaan; Dalil ini menyatakan bahwa kepemilikan penggerak karena sebagai pemicu dan penggerak
dengan bentuk “saya, aku, pribadi” ketikasuatu aktivitas sebagai pelaku. Penggerak sebagai pemicu adalah
terjadi misalnya saya keluar, saya tidur, mengambil hasrat, yaitu daya yang jika terbentuk di dalam khayalan
dengan tanganku ini menunjukkan bahwa bukanlah suatu bentuk yang diinginkan atau yang tidak
kadaratau peristiwa-peristiwanya yang dimaksudkan, diinginkan, maka hal itu akan mendorongnya untuk
melainkan jiwa dan kekuatannya. Sedang dalil menggerakkan. Daya ini terbagi menjadi dua sub-
ARROISI & DA’I – Psikologi Islam Ibnu Sina … 203

bagian, yaitu daya syahwat dan daya egois. Daya karena jiwa adalah sumber kehidupannya, yang
penggerak dalam kedudukannya sebagai pelaku adalah mengatur baik urusan maupun potensi-potensinya. Jika
daya yang muncul di dalam urat dan syarat untuk tubuh tidak ada maka jiwa tidak ada. Karena untuk
melaksanakan penggerakan yang sesuai demi menerima jiwa, tubuh adalah syarat bagi adanya jiwa itu
mewujudkan tujuannya yang diinginkan. sendiri. Kekhususan tubuh terhadap jiwa adalah prinsip
Daya mengetahui terbagi menjadi dua bagian. kesatuan dan kemerdekaannya. Karena itu tidak
Pertama, daya mengetahui dari luar, yaitu panca indera mungkin ada jiwa kecuali materi tubuh yang
eksternal seperti mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. mempersiapkannya pun harus ada, karena sejak
Kedua, daya yang mengetahui dari dalam, yaitu indera permulaannya jiwa butuh kepada tubuh, dan diciptakan
batin seperti indera kolektif (bersama)/alhiss al- untuk tubuh. Jiwa dalam melaksanakan banyak
musytarakah, imajinasi retentif/khayal, imajinasi fungsinya, menggunakan dan memerlukan tubuh.
kompositif/mutakhayyilah, daya etimasi/waham dan Dengan demikian bisa diketahui bahwa berfikir adalah
memori (hafalan). fungsi khas jiwa karena ia tidak akan sempurna kecuali
Ketiga, jiwa manusia. Semua daya nabati dan jika ia ditolong oleh indera melalui pengaruh-
hewani yang tersebut diatas juga terdapat pada manusia. pengaruhnya.
Kecuali itu, manusia mempunyai daya-daya lain yang Di sisi lain, Ibnu Sina sepakat dengan pendapat
khas yaitu “daya berfikir” (quwa nathiqah). Daya ini Aristoteles dalam hal jiwa. Ia beranggapan bahwa jiwa
ada dua bagian: daya praktis (‘amaliyyah) dan daya adalah substansi dan bentuk, dan jiwa memiliki
teoritis (nazhariyyah ‘amaliyyah). Masing-masing daya hubungan erat dengan badan. Namun Ibnu Sina tidak
ini disebut “akal” daya praktis adalah dasar penggerak sepenuhnya menerimanya, ia sejalan dengan filosof
bagi badan manusia untuk berbuat. Jika akal praktis bisa muslim lainnya yang menolak pendapat Aristoteles,
mengatur dan mengusai daya-daya atau nafsu-nafsu dari bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang
jiwa-jiwa yang lebih rendah maka akan menghasilkan esensial, karena ini akan berimplikasi pada kefanaan
tingkah laku etis yang baik dan begitu pun sebaliknya. jiwa. Jika jasad hancur maka jiwa akan hancur, sebab
Dari hal ini Ibnu sina menyimpulkan daya ini itu para filosof muslim kemudian lebih kecenderung
menghasilkan etika “akhlak”. Sedangkan daya teoritis kepada pendapat Plato, yang mengatakan bahwa
adalah daya mengetahui yang didominasi oleh hubungan tersebut tidak bersifat esensial. Sehingga jiwa
pengertian-pengertian yang abstrak misalnya konsep bersifat kekal (Leksono, 2012).
manusia yang dikontraskan dengan diri manusia atau Selanjutnya dalam pandangannya yang lain kekuatan
konsep keadilan dengan perbuatan-perbuatan yang baik pikiran–yang merupakan bagian jiwa-mempunyai
kemudian daya ini menghasilkan pengetahuan pengaruh yang luar biasa terhadap fisik. Berdasarkan
“makrifah/ulum” (Assegaf, 2013). pengalaman medisnya, Ibnu Sina menyatakan bahwa
Ada beberapa tingkatan akal teoritis, yaitu: 1) Akal sebenarnya secara fisik orang-orang sakit, hanya dengan
potensial/praktis atau aqlhayyulan; 2) Akal kekuatan kemauannyalah dapat menjadi sembuh. Begitu
bakat/kepemilikan/perolehan (al-‘aql bilmalakah); 3) juga orang yang sehat, dapat benar-benar menjadi sakit
Akal actual (al-‘aql bilfi’li); 4) Akal rasional (al-‘aql al- bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit.
mustafad). Demikian pula, jika sepotong kayu diletakkan melintang
Dari sini terlihat jelas bahwa pembagian daya jiwa di atas jalan sejengkal, orang dapat berjalan di atas kayu
yang disusun oleh Ibnu Sina mirip dengan susunan tersebut dengan baik. Akan tetapi jika kayu diletakkan
Aristoteles hanya berbeda pada jumlah indera batin. sebagai jembatan yang di bawahnya terdapat jurang
Aristoteles berpendapat ada tiga indera batin, yaitu yang dalam, orang hampir tidak dapat melintas di
kolektif, fantasi dan memori. Sedangkan Ibnu Sina ada atasnya, tanpa benar-benar jatuh. Hal ini disebabkan ia
penambahan jumlah indera batin yaitu waham dan menggambarkan kepada dirinya sendiri tentang
khayalan. Dan juga dalam tingkatan akal teoritis Ibnu kemungkinan jatuh sedemikian rupa, sehingga kekuatan
Sina menambah akal bakat dan akal aktual dari pada alamiah jasadnya menjadi benar-benar seperti yang
pembagian daya jiwa menurut al-Farabi keduanya sama. digambarkan itu (Rahman, 1952).
Berkenaan dengan permisalan diatas, menurut Ibnu
Hubungan Jiwa dan Badan Sina hubungan antara jiwa dan badan tidak terdapat
Setelah pembahasan definisi, hakikat dan keberadaan pada satu individu saja. Jiwa yang cukup kuat dapat
jiwa. Sekarang akan dibahas berkenaaan dengan menyembuhkan dan menyakitkan badan lain tanpa
hubungan antara jiwa dan badan. Menurut Ibnu Sina mempergunakan sarana apapun. Dalam hal ini ia
antara badan dan jiwa memiliki hubungan erat dan menunjukkan bukti fenomena hipnotis dan sugesti (al-
saling bekerjasama secara terus menerus. Jiwa tidak wahm al-‘amil) serta sihir. Mengenai masalah ini,
akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya Hellenisme memandang sebagai benar-benar gaib,
badan. Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber sementara Ibnu Sina mampu mengkaji secara ilmiah
hidup, pengatur, dan potensi badan. Ibnu Sina dengan cara mendeskripsikan betapa jiwa yang kuat itu
mengibaratkan Nahkoda begitu memasuki memasuki mampu mempengaruhi fenomena yang bersifat fisik.
kapal menjadi penggerak, pengatur, dan potensi bagi Dengan demikian ia telah berlepas diri dari
kapal. Jika jiwa tidak ada, maka tubuh pun tidak ada, kecendurungan, Yunan yang menganggap hal-hal
204 2: 199-206, 2020

tersebut sebagai gejala paranatural, pada campur tangan Hai jiwa yang tenang, kembalillah kepada tuhanmu
dewa-dewa (Syarif, 1952). dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya.Maka masuklah
Oleh karena itu, hubungan jiwa dan badan dalam ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke
pandangan Ibnu Sina diatas bukanlan hubungan yang dalam surga-Ku. (Q.S Al-Fajr (89): 27-30.
terpisah antar dua substansi yang berbeda, namun ia
merupakan hubungan saling keterikatan yang Tingkatan Kebahagiaan dan Kesengsaraan
membutuhkan antara satu dengan lainnya. Maksud Setelah jiwa terpisah dari badan., menurut Ibnu Sina
kebutuhan tersebut integral dalam diri manusia, dimana jiwa akan mendapatkan kenikmatan dan kesengsaran di
jiwa tidak mungkin terwujud tanpa adanya badan. hari akhir. Dalam hal ini Ibnu Sina membaginya
Begitupun sebaliknya, badan tidak akan bekerja kalau menjadi tiga kategori. Pertama, jiwa sempurna karena
tidaka ada jiwa. ilmu dan amal. Kedua, jiwa tidak sempurna dalam
keduanya. Ketiga, jiwa sempurna dalam salah satunya
Kekekalan Jiwa dan tidak sempurna dalam yang lain. Namun kategori
Menurut Ibnu Sina mengenai hal kekalan jiwa, ia ketiga ini terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu
meyakini bahwa jiwa akan tetap ada (kekal) setelah adakalanya jiwa sempurna dalam ilmu tapi tidak
badan hancur. Ia tidak akan mati dengan matinya badan. sempurna dalam amal atau sebaliknya.
Bahkan ia kekal karena kekekalan Penciptanya Yang Berkenaan hal kebahagiaan Ibnu Sina hanya
Maha Tinggi. Hal itu karena substansi jiwa manusia membahas kategorisasi pertama saja. Menurutnya, jiwa
lebih kuat daripada substansi badannya dan karena itu ia dikelompokan kedalam tiga bagian seperti yang
merupakan penggerak, pengatur dan pengendali badan. disebutkan dalam alquran.
Meskipun jiwa akan tetap kekal abadi, namun keabadian “Dan kamu menjadi tiga golongan yaitu golongan kanan,
dan kekekalan hanya milik Yang Maha Kekal. Menurut alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan
Ibnu Sina kebadian jiwa sebagai sesuatu yang kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Lalu,
mempunyai awal tetapi tidak memiliki akhir. Ini berarti lanjutan firman-Nya. Dan orang-orang yang paling
kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan terdahulu beriman. Merekalah yang paling dahulu (masuk
oleh Allah Swt pada akhirnya yang tidak berujung, surga). Mereka itulah orang-orang yang didekatkan.”
sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Artinya Menurut Ibnu Sina, orang-orang yang beriman
jiwa punya akhir tidak punya awal. dalam ilmu dan amal adalah orang-orang lebih dahulu
Badan yang terpisah dari jiwa tunduk kepada jiwa. beriman. Mereka memiliki tingkatan tertinggi di dalam
Dengan demikian, perpisahan jiwa dari badan tidak surga kenikmatan. Mereka juga berhasil
merusak eksistensinya. Seandainya eksistensi badan itu menghubungkan ketiga alam dengan alam akal,
kekal setelah kematian, maka hal itu pun tidak akan membersihkan diri dari kotorangan fisik dan jiwa-jiwa
merusak eksistensi jiwa. Namun, kekekalan substansi angkasa bersama kebesaran dayanya. Selain itu, mereka
jiwa adalah lebih utama. Dan mengingat jiwa adalah orang-orang yang lebih dahulu dalam beriman
merupakan bagian dari kategori substansi, maka dan berada pada tingkatan tinggi.
keterkaitannya dengan badan merupakan bagian dari Sedangkan, golongan kanan berada pada tingkatan
kategori yang ditambahkan. Sementara itu, tambahan menengah. Mereka lebih tinggi daripada alam
merupakan aksiden yang paling lemah yang kemustahilan, berhubungan dengan jiwa-jiwa langit dan
eksistensinya tidak dapat sempurna dengan sendirinya membersihkan diri dari kotoran alam. Golongan ini
tetapi membutuhkan sesuatu yang lain yang merasa kenikmatan surga Allah ciptakan, antara lain
ditambahkan padanya. Dengan demikian jelas bahwa adalah bidadari, berbagai makanan yang nikmat dan
walau badan kekal setelah kematian namun ini hanya kicauan burung yang sulit di ungkapkan atau dijelaskan,
sementara suatu saat akan binasa berbeda dengan sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW. dalam hadist
kekekalan yang lebih utama yaitu jiwa. Qudsi, “Telah Aku persiapkan bagi hamba-hamba-Ku
Contohnya adalah orang yang menjadi pemilik atau segala yang belum pernah dilihat mata, didengar
pengelola atas sesuatu. Jika sesuatu itu hancur, maka telinga, atau terlintas di dalam hati manusia.” Dan ini
kedudukan orang itu sebagai pemilikinya tidak serta adalah golongan manusia yang berada pada tingkatan
merta menjadi hancur pula. Ini salah satu bukti kuat menengah.
bahwa substansi jiwa tidak membutuhkan badanm, Berkenaan dengan golongan orang-orang yang
bahkan substansi jiwa bisa melemah ketika berkait berada dalam golongan kiri, mereka gagal untuk
dengan badan dan menguat dengan kerenggangannua mempersiakan diri menuju derajat tertinggi untuk
dari badan. Jika badan mati dan hancur, maka substansi merasakan kenikmatan hakiki atau mencapai tingkatan
jiwa akan terbebas dari subyek badan. Jika ia sempurna orang-orang yang paling dahulu dalam iman. Mereka
karena ilmu, hikmah dan amal soleh, tentu itu akan ialah orang-orang yang turun ke dalam tingkatan paling
menuju kepada cahaya ilahi, cahaya malaikat dan rendah, dan berada dalam lautan kegelapan alam fisik,
golongan (manusia) tertinggi seperti tertariknya jarum terjerumus dalam kehinaan materi serta berkubang
ke kumparan magnet yang besar. Ketika itu, dalam negeri yang fana. Merekalah orang-orang yang…
tercurahkanlah ketenangan dan ketentraman dalam jiwa, “Di sana didalam nereka mengharapkan kebinasaan.
lalu ia dipanggi dari arah yang paling tinggi. (Akan dikatakan kepada mereka), “ Janganlah kamu
ARROISI & DA’I – Psikologi Islam Ibnu Sina … 205

sekalian mengharapkan satu kebinasaan, melainkan Anonim. 2009. Akhwal An-Nafs Risalah fi an-Nafs Baqoiha
harapkanlah kebinasaan yang banyak.” Inilah wa Ma’adiha, terj. Psikologi Ibnu Sina, Bandung: Pustaka
penjelasan mengenai keadaan ruh manusia setelah Hidayah
berpisah dari raga dan menuju ke negara akhirat. Arifin, Muhammad Zaenal. 2011. Tawanan Benteng Lapis
Penjelasan kami ini sesuai dengan wahyu Ilahi dan Tujuh. Terj. Sjjin Qol’ah al-Aswar as-sab’ah, cet. 2,
padangan para filosof. Jakarta: Zaman
Aristoteles. 1906. De Anima III, 1,2,3, Beare, J: Greek
Theories of Elementary Cagnition Oxford.
KESIMPULAN Assegaf, Abd. Rachman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan
Islam, Cet. 2, Jakarta: Rajagrafindo Persada
Masalah pembuktian keberadaan jiwa oleh ilmuwan Daudy, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam, Cet. 1, Jakarta:
modern tidak akan pernah bisa ditemukan, mereka Bulan Bintang.
dalam kegiatan penelitiaannya tidak berlandaskan Daulay, Nurussakinah. 2014. Psikologi dan Pandangan Al-
agama. Berbeda dengan ilmuwan muslim dengan cara Qur’an tentang Psikologi, Cet. 1, Jakarta: Kencana
pandang islam mereka dapat membuktikannya dan Echols, John M. 1997. Kamus IndonesiaInggris, Jakarta:
berlandaskan agama yang mengacu kepada para filsuf Gramedia, Cet. III
muslim yang telah membahas akan keberadaan jiwa Fairuz, A.W. Munawwir dan Muhammad. 2007. Kamus Al-
dengan konsep-konsepnya secara detail, salah satunya Munawwir versi IndonesiaArab. Surabaya: Pustaka
Ibnu Sina. Progressif, Cet. I,
Menurutnya jiwa adalah roh kesempurnaan awal dan Ghallab, Muhammad. Al-Ma’rifat ‘Inda Mufakkir al-Muslimin,
menjadikan manusia nyata. Hakikat dan keberadaan Mesir: Dar al-Jail, T. Th
jiwa berbeda dengan Aristoteles yang menganggap itu Glasses, Cyril. 1999. Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. Raja
shurah menyatu dengan badan yang akhirnya akan Grafindo Persada
hancur. Selain itu, esensi jiwa berbeda denga badan dan H. De Vos. 1968. Antropologi Fisafat, Stensilan, Terjemahan
wujudnya tak berbentuk. Dalam kekekalannya, Ibnu Endang Soekarian, Yogyakarta.
sian meyakini bahwa jiwa akan tetap ada (kekal) setelah Hussein, Umar Amin. 1964. Filsafat Islam (Sejarah dan
badan hancur. Kemudian jiwa akan mengalami Perkembangannya dalam dunia Internasional), Cet. Ke 2,
kebahagiaan dan kesengsaraan di hari sesuai dengan Jakarta: Bulan Bintang.
penggunaannya seperti Iman, Ilmu dan Amal dalam Ibrahim, Ahmad Syauqi. 2011. Misteri Potensi Goib Manusia.
kehidupan sehari-hari. Jakarta: Qisthi Press
Leksono, Amin Setyo. 2012. Sejarah Kehidupan: Perspektif
Evolusi dan Kreasi, Cet. 1, Malang: UB Press
DAFTAR PUSTAKA Madkour, Ibrahim. 1988. Filsafat Islam metode dan
penerapan, Judul asli (Fi al-Falsafah al-Islamiyyah
Al-Jar, Al-Fakhruri, Hana, dan Khalil. 1958. Tarikh al- Manhaj wa Tathbiquh), Jakarta: CV Rajawali
Falsafah Al-‘Arabiyyah, (Beirut: Daru’l-Ma’arif,
Mubarok, Achmad. 2003. Sunnatullah dalam Jiwa Manusia:
Ambiya, Muksal. 2016. Filsafat Jiwa Menurut Ibnu Sina, Sebuah Pendekaan Psikologi Islam, Cet. 1. Jakarta: HIT
makalah Program Studi Ilmu Aqidah (Fakultas Indonesia.
Ushuluddin dan Filsafat Islam) Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh. Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah
Pendekatan Psikologis, Cet. 1. Jakarta: Darul Falah
Amien, Miska Muhammad. 2006. Epistemologi Islam:
Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: Murtuningsih, Wahyu. 2013. Para Filsuf dari Plato sampai
Universitas Indonesia (UI-Press), Ibnu Bajjah, Cet. 2, Yogyakarta: IRCiSoD
Anonim. 1983. al-Isyarat wa al-Tanbihat. Kairo: Dar al- Najichah. 2012. Biografi Tokoh Ilmuwan Dunia, Cet. 1.
Ma’arif. Jakarta: Balai Pustaka
Anonim. al-Qanun fi al-Thibb, Juz. 1, roma, 1653. Najjati, Muhammad Ustman. 1993. Ad-Dirasat al-Nafsaniyah
‘inda al-‘Ulama al-Muslimin, Kairo, Darul Asy-Syuruq
Anonim. Risalah fi al-Quwa al-Nafaniyyah, diterbitkan oleh
Fandik, Kairo, 1315 H. Noor, Fauz. 2009. Berpikir seperti Nabi, Cet. 1, Yogyakarta:
LKiS
Anonim. 1952.Risalah fi Ma’rifah an-Nafsi’n-Nathiqah wa
Ahwalilah, Kairo: Dar al-Ma’arif Nur, Abdullah. Ibnu Sina: Pemikiran Filsafatnya tentang Al-
Fayd, Al-Anfs, Al-Nubuwah dan Al-Wujud, Jurnal Hunafa,
Anonim. 1982. Kitab al-Najah fi al-Hikmah al-Manfiqiyyah Vol. 6, No.1, April 2009
wa al-Tabi’yyah wa al-Illahiyyah. Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah. Rahman, Fazlur. 1952. Avecenna’s Psychology, London,
Oxford University
Anonim. 1952. Ahwal An-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fu’ad
Al-Ahwani, kairo: Dar Ihya Al-kutub Al-‘Arabiyah. Rahmatiah, Pemikiran Tentang Jiwa (An-Nafs) dalam Filsafat
Islam, Sulesana Volume 11 Nomor 2 Tahun 2017
Anonim. Ahwal an-Nafs an-Nathiqah, ditahkik oleh Fu’ad al-
Ahwani, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1952; Rayyan, Muhammad ‘Ali Abu. 1967. Al-Falsafah al-
Islamiyyah, Iskandariyah: Dar al-Qaumiyyah
Anonim. 2002. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim,
Cet. 1, Bandung: Pustaka Hidayah,
206 2: 199-206, 2020

Reza, Syah. Konsep Nafs Menurut Ibnu Sina, Jurnal Sudaryanto, Raja Oloan Tumanggur dan Carolus. 2017.
KALIMAH, Vol. 12, No. 2, September 2014. Pengantar Filsafat untuk Psikologi, Yogyokarata: PT
Runes, Ralph B. Winn dalam Dagobert D. 1963. Dictionary Kanisius
of Philosophy, New Jersey. Syarif, M. M. 1963. A History of Muslim Philosophy, Jerman:
Sholikhin, Muhammad. 2008. FIlsafat dan Metafisika dalam Wiesbadan
Islam, Yogyakarta: NARASI Tp, Ensiklopedia untuk anak-anak Muslim. Yogyakarta: Oasis,
Sina, Ibnu. 1975. Asy-Syifa’; ath-Thabi’iyyat, an-Nafs, Kairo, Tp thn
Haiah Mishriyah al-‘Ammah lil Kitabah

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai