Anda di halaman 1dari 25

SEKULARISASI PSIKOLOGI

(Studi Kritis atas Paradigma Psikologi Modern)

Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas akhir pada mata kuliah
Psikologi Transpersonal: Psikologi dan Sufisme

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Prof. Dr. R. Mulyadhi Kartanegara
Prof. Dr. Achmad Mubarak
Dr. Bambang Suryadi

Oleh: Dadan Haryandi


NIM: 07.2.00.1.13.08.0038

SEKOLAH PASCASARJANA
(UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2009

1
SEKULARISASI PSIKOLOGI
(Studi Kritis atas Paradigma Psikologi Modern)
I. Pendahuluan
Pembahasan tentang jiwa dalam psokologi modern nampaknya merupakan
pembahasan yang tidak relevan, jika tidak dikatakan pembahasan yang mustahil.1
Sebab konsep jiwa dalam ruang lingkup psikologi modern merupakan entitas yang
sudah disingkirkan semenjak psikologi melepaskan diri dari induk filsafat dan
bergabung dalam ranah sain modern.2 Hal ini merupakan konsekuensi logis
sekaligus pengorbanan yang harus ditanggung psikologi ketika memasuki bidang
sain yang empiris itu.
Memang setelah psikologi bergabung dalam bidang sain, ilmu ini
mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penelitian yang dilakukan para
ilmuwan psikologi telah menghasilkan berbagai penemuan, metodologi dan teori
yang lengkap dan terperinci. Sehingga ilmu terapan psikologi dapat ditemukan
dalam berbagai bidang kehidupan manusia sebagai ilmu praktis yang berfungsi
untuk menjelaskan dan mengatasi berbagai penomena yang terjadi pada bidang-
bidang tersebut.
Sebagai contoh dalam bidang pendidikan, kita dapat menemukan psikologi
pendidikan yang mencakup psikologi belajar yang membahas tentang prilaku
siswa dalam proses belajar, perkembangan mental serta kesulitan-kesulitan yang
biasa terjadi dalam proses belajar. Psikologi pendidikan juga membahas tentang
psikologi mengajar yang membahas prilaku guru serta pembahasan berbagai
1
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, (Jakarta: CIPSI Publisher, 2007) h. 4. Lih. pula
Linn Wilcox, Psycosufi, penerjemah: Soffa Ihsan, (Jakarta: Pustaka Cendekiamuda, 2007) h. 3, lih.
pula Robert Frager, Hati, diri dan Jiwa, Penerjemah: Hasmiyah Rauf, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2005) h. 34.
2
Akhir abad ke-19 merupakan titik permulaan psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan
(sain) yang berdiri sendiri (otonom), yaitu semenjak Wilhelm Wundt (1832-1920) melepaskan
psikologi dari filsafat serta ilmu pengetahuan alam. Wundt merupakan salah satu pelopor usaha
tersebut dengan mendirikan laboratorium psikologi yang pertama kali yaitu pada tahun 1875,
kemudian laboratorium tersebut disahkan dan diakui oleh Universitas Leipzig tahun 1886. lih. E.
Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi (Bandung: Angkasa, 1993) h. 29-30.
Wundt mulai mengeluarkan pembahasan tentang ruh dari studi psikologi, ahli lain William James
(1842-1910) menganggap psikologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental,
namun John B. Watson (1878-1958) tokoh aliran behaviorisme yang radikal itu, tidak puas dengan
definisi James, maka ia mengubah definisi psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang tingkah
laku (behavior) organisme dan sekaligus menafikan eksistensi ruh dan kehidupan mental. Lih
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: Penerbit Remaja
Rosdakarya, 1995) lih. pula James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, penerjemah:
Nurmala Sari Fajar, ( Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006) h. 230-231.

2
strategi dan metodologi pengajaran yang disesuaikan dengan perkembangan
mental siswa.3 Begitu pula disiplin psikologi ini bercabang menjadi ilmu terapan
pada bidang komunikasi, politik, sosial, agama, bahasa dan lain-lain. Semua ilmu
terapan psikologi ini diarahkan untuk melayani dan menyelesaikan berbagai
kesulitan yang terjadi pada bidang-bidang tersebut sehingga sesuai dengan tujuan
sosial yang ditetapkan.4
Akan tetapi di atas semua itu psikologi telah kehilangan bahasan utamanya
yaitu jiwa. Sebagaimana diketahui bahwa psikologi pada pengertian asalnya
adalah ilmu jiwa, psyche berasal dari bahasa Yunani berarti jiwa dan logos berarti
ilmu. Namun setelah melewati berbagai tahap perkembangannya dan berintegrasi
dengan sain maka psikologi justru menjadi ilmu jiwa yang kehilangan jiwa.5

3
Salah satu psikologi belajar yang membahas tentang sistematika jenis-jenis belajar
adalah yang dikemukakan oleh A. De Block yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk belajar,
yaitu menurut fungsi fsikis, yaitu: belajar dinamik/konatif, belajar afektif , belajar kognitif dan
belajar senso-motorik, bentuk bentuk belajar menurut materi yang dipelajari, yaitu: belajar
teoritis, teknis, sosial, estetis. Serta bentuk-bentuk belajar menurut yang tidak sebegitu disadari
yaitu, belajar insidental, belajar dengan mencoba-coba dan belajar dengan tersembunyi. Tokoh lain
yang menjelaskan psikologi belajar ini adalah C. Van Parreren, Robert M. Gagne dan lain-lain.
Sementara itu ketika seorang guru atau pengajar menyusun tujuan intruksional pembelajaran,
maka sitematikanya didasarkan kepada Taksonomi Tujuan Intruksional (educational objektives)
menurut B.S. Bloom dan rekan-rekannya yang meliputi ranah kognitif, ranah afektif dan ranah
psikomotorik. B. S. Bloom dan kawan-kawannya yang sehaluan menjadi kelompok pelopor dalam
menyumbangkan suatu klasifikasi tujuan intruksional (educational objektives) dengan menerbitkan
Taxonomy of Educational Objektives, Cognitive Domain tahun 1956 dan Taxonomy of
Educational Objektives, Affective Domain, tahun 1964. Kelompok pelopor ini tidak berhasil
menerbitkan suatu taksonomi tujuan intruksional di bidang psikomotorik, akan tetapi yang
mengembangkan taksonomi ini adalah E. Simpson tahun 1967 dan A. Harrow tahun 1972. lih.
W.S. Wingkel, Psikologi Pengajaran, ( Jakarta: Grasindo, 1996) h. 61-105 dan 244-257.
Taksonomi ini begitu kuat berpengaruh dalam konsep pendidikan kita sehingga pengalaman
penulis ketika mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Pacet-Cianjur, diharuskan mengisi tiga daftar
hasil penilaian belajar siswa berdasarkan klasifikasi taksonomi ini termasuk pada raport belajar
siswa.
4
Psikologi sebagai ilmu pengetahuan (sains) dalam bentuk ilmu terapan atau ilmu praktis,
terutama di negara-negara Barat yang sekuler, diarahkan untuk berupaya melayani kepentingan
kesehatan prilaku warga negara (citizen) dalam berbagai bidang kehidupan sebagai bidang-bidang
produksi. Sebab konsep manusia dalam kerangka sekuler sering dinisbatkan sebagai warga
negara, oleh karena itu setiap ilmu (sains) termasuk psikologi bertujuan untuk memupuk dan
menjelmakan warga negara yang baik. Hal ini berbeda dengan Islam, bahwa tujuan ilmu itu tidak
lain untuk memupuk dan menjelmakan insan yang sempurna, baik sebagai hamba Allah ataupun
khalifah-Nya. Lih. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, penerjemah:
Saiful Muzani (Bandung: Mizan, 1995) h. 91. lih. pula Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, h.
30-31.
5
Lih. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru, h. 9 dan 110. lih.
pula Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 29-30. lih. pula Mulyadhi Kartanegara, Integrasi
Ilmu (Jakarta: UIN Jakarta Press dan Arasy PT Mizan Pustaka, 2005) h. 200. lih. pula Fritjof
Capra, Titik Balik Peradaban, penerjemah: M.Thoyibi (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
1997) h. 228.

3
Namun pada perkembangan selanjutnya seiring dengan kecenderungan
manusia modern yang mengalami krisis kemanusiaan akibat teralineasi pada
sistem dunia modern yang mereka ciptakan.6 Maka beberapa disiplin ilmu telah
melakukan kritik terhadap dirinya melalui para ilmuwan yang melihat
kemungkinan lain sebagai pembaharuan untuk mengatasi permasalahan yang
terjadi pada dunia modern. Sebab persoalan dunia modern tidak bisa lagi
ditampung dengan model disiplin-disiplin yang ada. Hal ini pun terjadi dalam
disiplin psikologi. Oleh karena itu banyak ilmuwan yang melirik pada kearifan
timur untuk mencari dasar-dasar pembaharuan dalam bidang psikologi yang
relatif lebih holistik dari pada Barat yang terlalu menekankan matrealisme.7 Maka
lahirlah tahap keempat perkembangan psikologi yaitu Psikologi Transpersonal.
Pada tahap keempat psikologi ini, ilmuwan muslim melihat kemungkinan
untuk menata ulang disiplin psikologi berdasarkan tradisi Islam sehingga lahirlah
Psikologi Islam. Pembahasan Psikologi ini pun kemudian bercabang menjadi
Psikologi Religius atau Psikologi Skriptural, Psikologi Sufistik dan Psikologi
Filosofis8 tergantung perspektif yang mana yang digunakan. Tetapi secara tegas
bahwa Psikologi Islam ini memiliki akar tradisi yang kuat melampaui
perkembangan psikologi modern.
Maka berdasarkan hal di atas, makalah ini berupaya membahas
sekularisasi pada tahap-tahap perkembangan psikologi modern dengan berupaya
menganalisa secara kritis masing-masing paradigmanya hingga fase kemunculan
gelombang psikologi Transpersonal dan Psikologi Islam sebagai kritik sekaligus
psikologi alternatif bagi psikologi modern yang sekuler itu. Hal ini dianggap
penting untuk dibahas karena dapat dijadikan dasar pandangan kritis untuk
melihat keutuhan pemahaman kita terhadap disiplin psokologi ini.

II. Sekularisasi Psikologi


6
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, penerjemah: M.Thoyibi (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1997) h. 3-11.
7
Linn Wilcox, Psycosufi, h. 15-18. lih Pula. Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 223.
8
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 33.

4
A. Sekularisasi
Istilah sekularisasi berasal dari bahasa Latin, seculum yang memiliki arti
temporal atau keduniawian (wordly) dapat pula di maknai tidak sakral atau tidak
religius. Oleh karena itu istilah sekularisai berarti proses penduniawian dari hal-
hal yang dipandang sakral menjadi profan, dari hal-hal yang bersifat religius
menjadi sekuler.9 Istilah ini sekularisasi ini menjadi penting ketika ditempatkan
pada spektrum kajian kritis terhadap sains Barat, karena proses pembentukan dan
bangunan sain ini tidak terlepas dari proses sekularisasi ini.
Ilmu pengetahuan (sains) Barat modern membatasi ruang lingkup
pembahasannya pada hal-hal yang bersifat indrawi (sensibles, mahsûsât) yaitu
dunia yang dapat diobservasi oleh panca indra.10 Maka ruang oprasi ilmu ini
dinamakan observable fact, suatu dunia pengalaman yang dibatasi oleh
pencerapan-pencerapan yang diterima secara langsung oleh indra, ditambah
dengan proses murni logika yang difungsikan untuk memilih, memutuskan dan
memberi penalaran. Oleh karena itu hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara
positif-empiris dinyatakan sebagai tidak nyata (unreal).
Pandangan sains ini didasarkan pada positivisme, sebuah aliran filsafat
yang hanya mengakui keberadan adalah hal-hal yang dapat diobservasi dan
dibuktikan secara positif-empiris.11 Oleh karena itu paradigma sains modern
dinamakan dengan paradigma positif. 12 Dengan demikian status objek-objek non-
empiris menjadi tertolak karena tidak nyata, dan ilmu-ilmu yang menjadikan
objek-objek tersebut sebagai objek formalnya maka status keilmiahanya
diragukan atau disebut sebagai pseudo-ilmiah.
Pembatasan lingkup sains Barat modern ini pada awalnya mungkin
merupakan pembagian kapling akal dan agama. Tetapi lambat laun pembatasan
ini ternyata telah menjadi batasan atau definisi realitas itu sendiri. Sehingga
banyak ilmuwan Barat yang memandang bahwa dunia indrawi sebagai satu-
satunya realitas yang ada, serta menolak terhadap realitas metafisik.
Dari kecenderungan ini terjadilah apa yang dinamakan sekularisasi ilmu
dengan sebagala konsekuensinya yang berbahaya. Sekularisasi merupakan usaha
9
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 12
10
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007) h. 4.
11
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar, h. 5.
12
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) h. 11

5
yang sistematis yang dilakukan dengan menolak secara programatik kategori-
kategori (sebab-sebab) formal dan final.13 Seperti diketahuai bahwa pada abad
pertengahan, atas pengaruh Aristoteles, penjelasan ilmiah memerlukan empat
kategori: efisien, material, formal dan final. Ilmu pengetahuan modern telah
berhenti melakukan pencarian "makna-makna" dalam pemjelasan ilmiah mereka.
Karena penjelasan makna-makna hanya bisa dilakukan dalam wilayah agama dari
pada ilmu pengetahuan.
Pemisahan ilmu dari agama ini pada akhirnya melahirkan problem teologis
yang krusial, karena lambat laun para ilmuan yang berkiblat kepada sains ini tidak
butuh lagi melibatkan Tuhan dalam penjelasan ilmiah mereka. Maka Tuhan
seolah-olah telah berhenti menjadi apa pun termasuk menjadi pencipta dan
pemelihara dunia. Inilah problem sekularisasi pada bidang sains yang diklaim
sebagai semen bagi tatanan peradaban kita.
B. Psikologi
Kata psikologi pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris pada tahun
1600-an untuk mengacu pada pembicaraan tentang jiwa.14 Psikologi pada awalnya
merupakan sebuah cabang metafisika yang berhubungan dengan konsep tentang
jiwa. Arti dasar dari kata psikologi berbeda dengan definisi yang dipahami saat
ini. Kata psikologi berasal dari bahasa Greek (Yunani), "psyche" dan "logos."
Psyche, artinya jiwa atau nafas, sebagai sumber mendasar dari aktifitas makhluk
hidup atau prinsip kehewanan dari dunia sebagai suatu keseluruhan, jiwa dunia.
Sementara logos, artinya suatu kata atau bentuk yang mengekspresikan suatu
prinsip, dapat diartikan pula sebagai ilmu atau dalam bidang teologi, logos
digunakan untuk menunjuk kata Tuhan.15 Jadi arti kata dasar psikologi adalah
ilmu jiwa atau kata atau bentuk yang mengungkapkan prinsip kehidupan, jiwa
atau ruh.
Psikologi sebagai sebuah ilmu biasanya diyakini lahir pada abad ke-19 dan
dianggap akar historisnya kembali kepada filsafat Yunani kuno. Sebagai sebuah
disiplin otonom psikologi memiliki banyak model gerakan, maka pengertian-
pengertian psikologi pun disesuaikan dengan jenis gerakannya. Psikologi juga
13
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar, h. 10.
14
Linn Wilcox, Psycosufi, h. 10.
15
Linn Wilcox, Psycosufi, h. 10. lih. pula Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan: Suatu
Pendekatan Baru, h. 7. E. Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, h. 1-3

6
mengalami tahapan dan perubahan sesuai dengan paradigma yang sedang
menjadi arus utama (mainstream) dalam sejarah peradaban manusia. Secara
mengejutkan, banyak hasil penelitian psikologi kontemporer yang tidak berusaha
mendefinisikan psikologi,16 tetapi definisi terminologis yang masih digunakan di
dunia akademis nampaknya masih menyelaraskan dengan paradigma ilmu
pengetahuan (sain) yang masih berkembang pada abad ini yaitu paradigma
positivis yang sedang menjadi mainstream paradigma sain sampai kini. Karena
psikologi diletakkan sebagai bagian dari sain itu sendiri, maka pembahasan
tentang jiwa dianggap tidak memenuhi ukuran empirik sehingga studi psikologi
diarahkan kepada objek-objek empirik dari manusia misalnya melalui perspektif
biologis, perspektif behavioristik, perspektif kognitif dan perspektif
psikoanalisis.17 Oleh karena itu definisi psikologi juga berdasarkan masing-masing
perspektif tadi memiliki perbedaan, disamping memiliki kesamaan yaitu
mengikuti alur metode sain.
C. Pengaruh science terhadap perkembangan psikologi
Dalam pembahasan tentang pengetahuan manusia, ternyata di antara
beberapa tokoh yang membahasnya terdapat perbedaan, tetapi mereka sepakat
ketika menjelaskan pengertian filsafat dan sain atau ilmu pengetahuan (science).
Science dalam bahasa Indonesia sering dipadankan dengan ilmu pengetahuan atau
sain atau sains.
Sain merupakan pengetahuan yang rasional-empiris atau dengan istilah
lain positivis,18 paradigma ini berkembang menurut pandangan Fritjof Capra19
dipengaruhi oleh bangunan ilmu fisika yang berkembang sejak abad ke-17.
Menurutnya, ilmu fisika ini telah berfungsi menjadi model bagi semua ilmu lain.
Selama dua setengah abad para ahli fisika telah menggunakan suatu pandangan

16
Linn Wilcox, Psycosufi, h. 11.
17
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 22-28
18
Menurut Ahmad Tafsir, sain merupakan pengetahuan manusia yang diarahkan untuk
menyelidiki objek empiris dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method), dengan
paradigma positivis dan kebenarannya ditentukan secara logis dan bukti empiris. Lih. Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) h. 11, lih. pula Jujun S.
Suriasumantri, Fisafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996).
Lih Pula Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu) h. 47-50.
19
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 43. Fritjof Capra adalah penulis buku The Tao
of Physics dan The Turning Point serta buku-buku lain yang banyak mengkritisi paradigma sain
modern. Salah satu buku yang dirujuk penulis untuk makalah ini adalah The Turning Point yang
dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi judul Titik Balik Preadaban.

7
dunia mekanistis untuk mengembangkan dan memperhalus kerangka konseptual
yang dikenal dengan dengan fisika klasik. Mereka mendasarkan konsep-konsep
mereka pada teori matematika Isaac Newton (1642-1727) filsafat Rene Descartes
(1596-1650) dan metodologi ilmiah yang dikembangkan Francis Bacon (1561-
1626).
Para ahli fisika itu kemudian mengembangkan pemikiran-pemikiran
tersebut sesuai dengan konsepsi umum tentang realitas hidup pada abad ketujuh
belas, delapan belas dan sembilan belas. Materi dianggap sebagai dasar dari
semua bentuk eksistensi, dan dunia materi dipandang sebagai suatu kumpulan dari
objek-objek terpisah yang dirakit menjadi sebuah mesin raksasa. Seperti halnya
mesin buatan manusia, mesin kosmik ini dianggap terdiri dari bagian-bagian
dasar. Oleh karena itu, dipercayai bahwa fenomena yang kompleks selalu bisa
dipahami dengan cara mereduksinya menjadi balok-balok terpisah sebagai
bangunan dasarnya dan mencari mekanisme interaksinya. Sikap ini dikenal
dengan reduksionisme.20 Sebagai sikap yang telah tertanam dalam tatanan
kebudayaan kita sehingga sering diidentifikasikan sebagai metode ilmiah.
Ilmu-ilmu lain pun menerima pandangan mekanistik dan reduksionis fisika
klasik ini sebagai gambaran realitas sejati dan kemudian menyusun teori-teorinya
sesuai dengan model itu. Penerimaan pandangan ini bukan hanya terjadi pada
ilmu-ilmu kealaman akan tetapi menyebar pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Termasuk yang sedang didiskusikan pada makalah ini, pandangan mekanistik dan
reduksionis mempengaruhi psikologi.
Sebagai buktinya, psikologi menggunakan metode-metode yang diadaptasi
dari fisika dengan menggunakan reduksionisme dan kalkulasi kuantitatif
sebagaimana yang akan dibahas dalam sub bahasan berikutnya. Reduksionisme
dalam psikologi adalah dengan memandang manusia diperkecil menjadi
potongan-potongan prilaku, kognisi, dan dorongan libido. Prof. Mulyadhi
menjelaskan fenomena ini sebagai sekularisasi psikologi.21 Sebab hal ini telah
menjauhkan psikologi untuk melihat manusia secara utuh.
Tetapi dalam studi psikologi terakhir nampaknya, pandangan mekanis
Cartesian dan Newtonian yang berada pada psikologi mulai mengalami
20
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 43.
21
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 18-19.

8
pergeseran seiring dengan pandangan relatifitas fisika modern yang menggantikan
fisika klasik. Perubahan ini juga disebabkan karena dunia modern yang dibangun
filsafat abad ketujuh belas itu telah dianggap kurang mampu mengatasi krisis
multidimensi dunia modern. Dalam pandangan Capra, bahwa kebudayaan
manusia sekarang ini tengah mengalami transformasi paradigma, hal ini ditandai
dengan krisis yang bisa diartikan sebagai pola transisi. Hal ini menjadi tantangan
sekaligus peluang, kearah mana kebudayaan manusia akan bertransformasi.

III. Analisa Sekularisasi dalam Perkembangan Psikologi


Pembahasan tentang tahapan perkembangan psikologi tidak lepas dari
pembahasan sejarah dan sistem psikologi sebagai sebuah disiplin yang otonom.
Menurut penjelasan James F. Brennan, psikologi yang lahir pada abad ke-19 dan
berkembang pada abad ke-20 terdiri dari beberapa gerakan yang bisa
diidentifikasi di antara satu sama lain yaitu, gerakan Fungsionalisme Amerika,
Gestalt, Psikoanalisis, Behaviorisme, gerakan madzhab ketiga (Psikologi
Eksistensial-Fenomenologis dan humanistik) serta Neofungsionalisme22 sebagai
tren psikologi masa kini.
Tetapi secara umum diketahuhi bahwa perkembangan psikologi sampai
yang terkini telah melalui empat gelombang perkembangan, yaitu: gelombang
pertama psikoanalisa, kedua behavioristik, ketiga humanistik dan gelombang
yang keempat adalah psikologi transpersonal.23 Bahkan ilmuwan muslim
menyatakan psikologi Islam sebagai tahapan gelombang selanjutnya. Masing-
masing gelombang memiliki karakteristik tersendiri dan tahapan sebelumnya
dikeritik oleh tahapan sesudahnya kemudian dikembangkan menjadi konsep yang
lebih komprehensif.
Untuk lebih jelas, maka akan dibahas masing-masing gelombang psikologi
tersebut, tetapi diupayakan pembahasannya bukan hanya menjelaskan temuan
para tokohnya, melainkan dibahas pula paradigma yang mendasarinya sebagai
pembahasan di tahapan mana saja sekularisasi psikologi terjadi serta upaya-upaya
kritik atas sekularisasi menurut tahapan lainnya.
22
Ia tidak menyebutkan istilah psikologi Transpersonal, akan tetapi ia merujuk kepada
tokoh-tokoh psikologi masa kini yang mencari sistem psikologinya ke Timur. Lih. James F.
Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h. XI-XII.
23
Linn Wilcox, Psycosufi, h. 17

9
1. Psikoanalisa
Tokoh penting aliran ini adalah Sigmund Freud (1856-1939), Carl Gustav
Jung (1875-1961) dan Alffred Adler (1870-1937). Gerakan psikoanalisa sebagian
terbesarnya adalah temuan Freud, dan pengaruhnya jauh melebihi pengaruh para
pengikutnya terdahulu, termasuk Jung dan Adler. Karena para pengikutnya ini
melakukan "pembelotan" terhadap konsepsi Freud.24
Metode yang digunakan Freud adalah asosiasi bebas untuk
mengembangkan psikoanalisa dengan bekerja lebih banyak di klinik dan ruang
konsultasi dari pada di laboratorium.25 Oleh karena itu aliran ini tidak berasal dari
psikologi akan tetapi lahir dari psikiatri, yang pada abad kesembilan belas
ditetapkan secara tegas sebagai cabang ilmu kedokteran.26 Terbitnya buku Studies
in Hysteria oleh Breur dan Freud tahun 1895 dianggap sebagai tahun kelahiran
psikoanalisa, karena buku itu mengambarkan metode asosiasi bebas baru yang
lebih bermanfaat daripada hipnosis. Maka penggunaan asosiasi bebas ini
kemudian menjadi landasan metode psikoanalisis.
Berdasarkan pandangan Freud, bahwa ranah mental manusia adalah
seperti gunung es (icenburg) yang sebagian besarnya tersembunyi, alam
kesadaran adalah bagian terkecil dari gunung es, yaitu bagian puncak yang dapat
dilihat, sementara alam tidak sadar menjadi bagian bawah yang tidak terlihat dari
gunung es tersebut. Maka semua tindakan manusia, secara tidak disadari,
merupakan dorongan-dorongan alam bawah sadar, termasuk tindakan manusia
dalam beragama merupakan tindakan tak sadar yang berasal dari libido yang
disublimasi.
Freud juga untuk mempertegas psikoanalis-nya, mengemukakan tiga
struktur spesifik kepribadian, id, ego dan superego. 27 Sebagaimana penjelasannya,

24
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 248.
25
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 218.
26
Pada waktu itu para psikiater benar-benar terikat pada model biomedis dan dibelokkan
untuk mencari sebab-sebab organik dari gangguan mental. Orientasi organik ini mula-mula sangat
menjanjikan akan tetapi gagal mengungkapkan dasar organik khusus dalam kasus neurosis dan
berbagai gangguan lainnya, sehingga sebagian psikiater mencari pendekatan psikologis lain bagi
penyakit mental termasuk Freud. Salah satu perkembangan usaha tersebut adalah yang dilakukan
Jean-Martin Charcot dengan menggunakan hipnosis pada kasus histeria. Maka Freud pun pergi ke
Paris tahun 1885 untuk mengikuti perkuliahan Charcot, dan ketika kembali ke Wina, Freud
bekerjasama dengan Breur mulai menggunakan teknik hipnosis untuk penderita neurosis. Lih.
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 236.
27
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h 322.

10
id merupakan libido murni atau energi psikis yang bersifat irasional dan
berkarakter seksual yang secara instingtual menentukan proses-proses tanpa sadar.
Id berusaha memuaskan kebutuhan libidinal instingtual baik secara langsung
dengan pengalaman seksual atau tidak langsung melalui mimpi atau fantasi. Id
tidak memiliki kontak langsung dengan lingkungan tetapi berhubungan dengan
struktur keperibadian lainnya yang memadiasi id dengan dunia luar.
Struktur lain adalah ego yang berhubungan dengan id. Ego seringkali
disebut pengatur (executive) keperibadian kerena perannya sebagai penyalur
energi-energi id ke ke saluran yang dapat diterima secara sosial. Ego berkembang
antara usia 1 dan 2 tahun, saat anak pertama kali menghadapi lingkungan.
Sementara superego adalah diferensiasi terakhir keperibadian yang berkembang
pada usia lima tahun. Superego merupakan tangggung jawab eksternal, berbeda
dengan id dan ego yang merupakan perkembangan internal. Superego merupakan
penanaman standar moral yang diterima ego dari suatu agen otoritas lingkungan,
misalnya pandangan-pandangan orang tua.
Secara paradigmatis pandangan Freud dipengaruhi pandangan sains yang
dominan abad ke-19, yaitu pandangan mekanis Descartes dan Newton dalam
menyelidiki pristiwa mental dan fisik manusia.28 Hal tersebut bisa dicirikan bahwa
terjadinya pemisahan pikiran (res cognitans) dengan materi, tubuh (res extensa),
terjadinya interaksi antara keduanya serta ruang berdasarkan hukum-hukum
mekanis dan hubungan tersebut bersifat kuantitatif.
Di antara pengikut-pengikutnya yang terkenal, Adler-lah yang pertama
kali meninggalkan psikoanalisa dan mengembangkan Psikologi Individu.29 Ia
menolak peran seksualitas yang dominan di dalam teori Freud serta penekanan
yang besar terhadap insting kemauan berkuasa manusia (will to pewer).
Berdasarkan penelitiannya, ia menekankan akar-akar sosial dari gangguan-
gangguan mental. Disamping itu, ia juga mengkritik pandangan Freud mengenai
psikologi wanita, ia menunjukkan bahwa yang disebut psikologi pria dan wanita
oleh Freud sebenarnya tidak berakar pada relitas perbedaan-perbedaan psikoligis
antara pria dan wanita, melainkan pandangnya merupakan konsekuensi tatanan

28
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 241. lih. pula James F. Brennan, Sejarah dan
Sistem Psikologi, h 320.
29
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 248

11
sosial dalam sistem patrirkhal pada jaman itu. Freud mengambil maskulin sebagai
norma budaya dan seksual, sehingga gagal mencapai pemahaman yang murni
mengenai jiwa wanita.
Pengikut-pengikutnya yang lain yang meninggalkan model Freud, karena
ketidakcocokan teori dasar, dan mendirikan aliran mereka sendiri dengan
melakukan modifikasi terhadap model tersebut adalah Jung, Reich dan Rank.
Tetapi Carl C. Jung-lah pengikutnya yang paling penting yang berbeda dengan
Freud yang menantang teori Freud pada pusat intinya.30 Pendekatan psikologi
Jung mempunyai pengaruh yang sangat besar pada perkembangan psikologi
berikutnya, dengan konsep dasar yang melebihi model psikologi klasik yang
mekanistik. Konsep dasarnya lebih dekat kepada kerangka konseptual fisika
modern, ia sadar bahwa pendekatan Freud harus dilampaui ingin menjelajahi
aspek-aspek jiwa manusia terutama yang berkaitan dengan pengalaman religius
dan mistik.
Baik Freud maupun Jung memiliki minat yang besar terhadap agama dan
spiritualitas, tapi Freud lebih membutuhkan penjelasan rasional dan ilmiah
terhadap kepercayaan dan prilaku keagamaan. Sementara pendekatan Jung lebih
banyak bersifat langsung. Pengalaman-pengalaman keagaman pribadinya yang
banyak membuat ia yakin akan realitas dimensi spiritual dalam kehidupan, serta
memandang spiritualitas murni sebagai bagian yang integral dari psyche
manusia.31
Oleh karena itu orientari spiritualitas Jung memberi perspektif yang luas
tentang psikologi, sains dan pengetahuan rasional. Ia memandang bahwa
pendekatan rasional merupakan salah satu pendekatan dari beberapa pendekatan,
yang semuanya menghasilkan gambaran tentang realitas yang berbeda dan sama-
sama sahih.32 Dalam teorinya tentang tipe-tipe psikologis, ia mengidentifikasi
empat fungsi psyche yang khas, yakni penginderaan, pemikiran, perasan dan
intuisi, dalam individu yang berbeda dengan tingkat yang berbeda pula.
Para ilmuwan bekerja dari fungsi berpikir, tetapi Jung sadar bahwa
pencariannya terhadap psyche manusia mengharuskan ia keluar dari pemahaman

30
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 250.
31
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 518.
32
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 519.

12
rasional.33 Ia menekankan bahwa alam bawah sadar kolektif dan pola-polanya
(arketip) tidak dapat didefinisikan secara pasti. Oleh karena itu gagasannya yang
esoteris, penekanan pada spiritualitas, minatnya pada mistisisme, membuat ia
tidak diperhitungkan pada psikoanalisa. Akan tetapi gagasannya tersebut justru
diakui dan berpengaruh pada psikologi yang berkembang akhir-akhir ini.
2. Psikologi Behavioristik
Karakteristik psikologi behavioristik adalah penekanan studinya terhadap
prilaku manusia (behavior). Tokoh utamanya adalah John B. Waston (1878-
1958). Pada tahun 1913, ia menerbitkan sebuah artikel dalam Psychological
review yang mengusulkan psikologi behavioristik dan mengubah arah psikologi
modern. Ia menyatakan bahwa prilaku subyek sendiri pantas untuk dipelajari,
bukan karena prilaku tersebut mencerminkan kondisi kesadaran yang
mendasarinya.34 Maka ia memperluas dan memperkuat logika argumen yang
memilih studi tentang prilaku dari pada kesadaran. Dengan kata lain, ia
menghendaki untuk menjadikan status psikologi menjadi sebuah sain yang
objektif, untuk itu ia berusaha untuk menggunakan metodologi dan prinsip-prinsip
mekanika newtonian.35
Untuk membuat eksperimen psikologi yang sesuai dengan kriteria-kriteria
yang digunakan dalam fisika, menurutnya para psikolog dituntut untuk
memusatkan perhatian mereka sepenuhnya kepada fenomena yang dapat didaftar
dan digambarkan secara objektif oleh para pengamat bebas. Watson mengkritik
metode introspeksi, karena dianggap tidak sesuai dengan kriteria objektifitas.
Seluruh konsep kesadaran yang menghasilkan introspeksi tidak dimasukkan ke
dalam psikologi, semua istilah yang terkait dengannya, seperti akal pikiran,
pemikiran, perasaan harus dieliminasi dari terminologi psikologi.36 Maka melalui
pernyataan ini ia menyingkirkan konsep mind dan mendudukan psikologi pada
study tentang behavior.

33
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 521.
34
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h. 354.
35
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 230.
36
Watson pernah menulis, "psikologi menurut pandangan behavioris, adalah suatu
cabang ilmu alam eksperimental yang benar-benar objektif, yang hampir tidak memerlukan
kesadaran sebagaimana ilmu kimia dan fisika. Lih. Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 231.
lih pula. James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h. 357.

13
Oleh karena itu, pandangan-pandangan Watson berpusat pada premis
bahwa wilayah psikologi adalah prilaku, yang diukur sebagai stumulus dan
respon. Setiap respon ditentukan stimulus, sehingga prilaku dapat dianalisis
secara lengkap melalui hubungan kausal antara elemen-elemen stimulus dan
respon, yang bergantung kepada prinsip frekuensi atau latihan.37 Pandangan-
pandangannya ini, jika ditelusuri sangat dipengaruhi oleh refleksilogi
pengondisian Pavlov dan metode kotak teka-teki dari Thorndike.
Sebelumnya Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) pernah melahirkan teori
refleksologi pengondisian yang berlaku dalam psikologi pembelajaran, sebagai
hasil dari penelitiannya atas air liur anjing sebagai tanggapannya atas rangsang
yang berbarengan dengan penyajian makanan. Ia menemukan bahwa ia dapat
menggunakan suatu stimulus netral, seperti sebuah ketukan metronom, nada atau
sinar dan setelah memasangkannnya dengan hadiah utama, seperti makanan,
seekor anjing yang termotivasi (anjing yang lapar) akan merespon dengan berliur
terhadapn stimulus netral tanpa makanan.38 Ia menyebut stimulus netral yang
memiliki kememampuan hadiah utama (penyajian makanan) untuk menghasilkan
respon sebagai stimulus kondisional atau stimulus terkondisi.
Semantara E.L. Thorndike (1874-1949), merupakan tokoh yang
menemukan teori trial and error. Ia menemukan hukum tersebut sebagai hasil
penelitian pemecahan masalah pada berbagai spesies yang diujinya melalui kotak
teka-teki, dengan berbagai macam ruang yang dirancang untuk memberikan
hadiah respon-respon respon-respon spesifik. Ia terkesan oleh akuisisi bertahap
respon-respon yang berhasil pada subyek melalui pembelajaran mencoba-coba
dan keberhasilan yang dicapai secara tidak sengaja. Pengamatan-pengamatan itu
menuntunnya untuk menyimpulkan bahwa terdapat dua prinsip pembelajaran:
latihan dan hasil.39 Hukum latihan menyatakan, bahwa asosiasi diperkuat melalui
pengulangan dan terhapus jika tidak digunakan. Semantara hukum efek
menyatakan, bahwa respon-respon yang menghasilkan hadiah atau kepuasan
cenderung untuk diulang dan respon-respon yang menghasilkan hukuman atau
gangguan cenderung dihilangkan.

37
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h. 356.
38
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h. 349.
39
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h. 353.

14
Demikianlah pandangan behavioristik Watson dalam psikologi, sehingga
menghasilkan model psikologi yang membatasi studinya kepada wilayah prilaku
pada peristiwa periferal elemen-elemen stimulus-respon, oleh karena itu ia
melakukan reduksi psikologi menjadi psikologi tanpa "pikiran". Melalui hal ini
kita dapat melihat bahwa psikologi behavioristik sangat dipengaruhi oleh hukum
mekanis newtonian dalam hukum prilaku yang dikemukannya.
3. Psikologi Humanistik
Pada pertengahan abad ke-20, berkembang rantai psikologi lain yang
dikenal dengan gelombang ketiga, yaitu psikologi humanistik yang berusaha
mempelajari nilai-nilai yang dapat dianggap positif, sehat dan berhubungan
dengan aspek yang memproduksi pertumbuhan dalam tingkah laku manusia.40
Istilah "humanistik" mencerminkan fokus pada penggambaran psikologi manusia
dengan penekanan pada eksistensi dan variabilitas individual, yang sangat berbeda
dengan dasar biologis behaviorisme.41 Wujud gerakan pasikologi madzhab ketiga
ini adalah kelompok eklektik psikolog Amerika yang mendukung beragam
kepribadian manusia. Abraham Maslaw dan Carl Rogers mungkin adalah di
antara tokoh yang paling banyak dikenal.
Abraham Maslow (1908-1970) mengembangkan pandangan tentang
kepribadian yang sangat dipengaruhi eksistensialisme Eropa.42 Pandangan
Maslow didasarkan pada kerangka motivasional, yang berisi hierarki kebutuhan
dari tingkat kebutuhan biologis primitif hingga ke pengalaman kesejatian
manusia.43 Misalnya kebutuhan fisiologis rasa haus dan lapar harus dipenuhi
sebelum memikirkan kebutuhan rasa aman, bila kebutuhan tersebut telah
terpenuhi maka individu melanjutkan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan
rasa cinta dan kepemilikan, kemudian kebutuhan akan harga diri, kebutuhan akan

40
Linn Wilcox, Psycosufi, h. 17.
41
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h. 418.
42
Inti filsafat eksistensial menyatakan bahwa individu memiliki kebebasan untuk
menentukan arah hidupnya melalui pilihan-pilihan, yang saling berganti dan berkesinambuingan,
namun kebebasan tersebut juga memberikan tanggung jawab kepada individu atas hasil-hasil
keputusan pribadinya sehingga kebebasan merupakan sumber penderitaan dan kecemasan. Di
antara tokoh-tokoh eksistensialisme Eropa abad ke-19 adalah: Fyodor Dostoyevsky (1821-1881),
Friedrich Nietzshe (1844-1900), Soren Kierkigaard (1813-1855), Wilhelm Dilthey (1833-1911).
Sedangkan eksistensialisme modern tokohnya adalah: Jean Paul Sartre (1905-1980), Albert Camus
(1913-1960), dan Carl Jaspers (1883-1969) lih. James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi,
h. 401-409.
43
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h. 420.

15
pengetahuan, dan akhirnya kebutuhan akan keindahan. Proses pertumbuhan
pribadi sepanjang rentang kehidupan melalui pemuasan kebutuhan progresif
disebut oleh Maslow sebagai "aktualisasi diri." Maka hasil semestinya dari
aktualisasi diri adalah kepribadian harmonis, talenta individu yang termanfaatkan
sepenuhnya, kemampuan intelektual dan kesaadaran diri.
Dengan pandangannya, Maslow menolak pandangan kemanusiaan Freud
yang didominasi oleh instink-instink yang lebih rendah, serta mengkritiknya
karena mengambil teori-teori tentang manusia dari studi individu-individu
neurotis dan psikotis.44 Psikoanalisis Freud dianggap oleh Maslow sebagai hasil
kesimpulan dari pengamatan terhadap individu yang sakit, bukan dari manusia
yang sehat dan terbaik.
Maslow juga mengkritik behaviorisme karena model psikologi ini
memandang manusia sekedar sebagai binatang kompleks yang menanggapi
rangsangan-rangsangan lingkungan. Ia mengakui manfaat pendekatan
bahavioristik yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang, tetapi ia sangat
percaya bahwa pendekatan semacam itu tidak ada gunanya bila digunakan untuk
memahami kemampuan-kemampuan semacam nurani, rasa berdosa, idealisme,
humor dan sebagainya yang manjadi kekhasan manusia.45 Oleh karena itu
pandangan Maslow ini, sebagai pandangan umumnya tokoh-tokoh psikologi
humanistik, merupakan kritik dan pengembangan ruang psikologi yang direduksi
oleh pandangan gerakan sebelumnya.
Adapun Carl Rogers (1902-1987) merupakan tokoh psikologi humanistik
yang memperkenalkan "terapi client centered" sebagai terapi yang terpusat pada
klien yang sangat berbeda dengan metode studi kasus dalam psikoanalisa Freud.
Ia menyatakan bahwa seorang terapis harus membangun hubungan yang sangat
pribadi dan subyektif dengan klien dan bertindak bukan sebagai ilmuwan atau
dokter, melainkan sebagai seseorang yang berinteraksi dengan orang lain yang
sederajat dan bukan didominasi dan dimanipulasi oleh terapis.46 Oleh karena itu
seorang terapis harus berupaya merasakan apa yang dirasakan klien seiring

44
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 522.
45
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 522.
46
James F. Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, h. 421. lih. pula Fritjof Capra, Titik
Balik Peradaban, h. 523.

16
perkembangan pribadinya dalam penerimaan dan aktualisasi diri serta proses
mengenali potensi-potensi yang inheren di dalam dirinya.
Dengan demikian pandangan psikologi humanistik merupakan pandangan
psikologi yang mengkritik dua gelombang psikologi sebelumnya dan melakukan
pengembangan dengan menggunakan paradigma yang berbeda. Suatu paradigma
yang melihat manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan hewan. Akan tetapi
gelombang psikologi ini menurut Prof. Mulyadhi belum beranjak dari brain base
psychology karena sistemnya masih sebangun dengan psikologi sebelumnya, oleh
karena itu psikologi ini mendapatkan penyempurnaan kembali oleh gerakan
psikologi lainnya, yaitu gelombang psikologi transpersonal sebagai gerakan
psikologi keempat
4. Psikologi Transpersonal
Psikologi transpersonal adalah suatu gerakan baru psikologi yang sedang
berkembang dalam orientasi humanistik yang secara khusus berhubungan dengan
aspek-aspek aktualisasi diri yang bersifat spiritual, transendental dan mistik.47
Psikologi transpersonal merupakan istilah yang diciptakan oleh Abraham Maslow
dan Stanislav Grof, sebagai hasil serangkaian diskusi para tokoh psikologi
humanistik ini. Gerakan ini secara langsung atau tidak, berhubungan dengan
pengenalan, pemahaman dan penyadaran terhadap kondisi-kondisi kesadaran yang
luar biasa, mistik atau transpersonal. Dengan demikian perhatian psikologi
transpersonal erat kaitannya dengan perhatian yang diberikan oleh tradisi-tradisi
mistik, dan memang sejumlah psikolog transpersonal sedang bekerja dengan
sistem-sistem konseptual yang dimaksudkan untuk menjembatani dan
mengintegrasikan psikolog dengan pencarian spiritual.
Secara paradigmatik, psikologi transpersonal ditempatkan pada suatu
posisi yang secara radikal berbeda dengan posisi sebagian besar aliran utama
psikologi Barat, yang cenderung menganggap agama atau spiritualitas didasarkan
atas takhayul primitif, penyimpangan patologis yang sama-sama ditanamkan oleh
sistem keluarga dan kebudayaan.48 Perkembangan-perkembangan psikologi ini
sebagian besar terjadi di luar lembaga akademik, karena lembaga tersebut

47
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 526.
48
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h.

17
kebanyakan masih terikat kuat dengan pada paradigma Cartesian dalam melihat
semesta realitas.
Pendekatan sistem dalam psikologi ini mempunyai perspektif yang
holistik dan dinamis. Pandangan holistik psikologi transpersonal merupakan
pengembangan dari psikologi sebelumnya sering dikaitkan dengan prinsip gestalt,
yang berpendapat bahwa sifat dan fungsi psyche tidak dipahami dengan
mereduksinya menjadi unsur-unsur yang terpisah. Pandangan yang terpecah-
pecah mengenai realitas ini tidak hanya menjadi hambatan bagi pemahaman jiwa,
tetapi juga menjadi aspek yang khas dari penyakit mental. Pengalaman yang sehat
dari sebuah individu merupakan sebuah pengalaman seluruh organisme, jiwa dan
tubuh, dan penyakit mental sering muncul dari kegagalan untuk mengintegrasikan
berbagai komponen dalam organisme ini. Oleh karena itu paradigma pemilahan
Cartsian yang memisahkan antara jiwa atau pikiran (res cognitans) dan tubuh (res
extensa) dan pemisahan konseptual individu dari lingkungannya merupakan
gejala-gejala penyakit mental kolektif yang sama-sama dimiliki oleh sebagaian
kebudayaan Barat.49 Maka psikologi ini memandang organisme manusia sebagai
suatu kesatuan utuh yang melibatkan pola-pola fisik dan psikologis yang saling
bergantung.
Sementara itu perpektif dinamis dalam psikologi ini merupakan
pengembangan dari pandangan C.G Jung yang telah sampai pada pemikiran
dinamika mental dalam alur energi, maka para psikolog transpersonal
mempercayai bahwa dinamika-dinamika tersebut mencerminkan suatu intelegensi
intrinsik yang memungkinkan psyche tidak hanya menghasilkan penyakit mental
melainkan pula menyembuhkan dirinya sendiri.50 Maka pertumbuhan batin dan
aktualisasi diri dipandang sebagai hal-hal yang esensial bagi dinamika psyche
manusia, yang sepenuhnya cocok dengan transendensi diri dalam pandangan
hidup sistem.
Selain pandangan-pandangan di atas psikologi transpersonal mempercayai
bahwa situasi psikologis individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungan
emosional, sosial dan kultural. Para psikoterapis semakin sadar bahwa tekanan
mental seringkali berasal dari retaknya hubungan sosial. Dengan demikian telah
49
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 527.
50
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. 528.

18
ada suatu kecenderungan peralihan dari terapi individu dan ke terapi kelompok
atau terapi keluarga.
Menurut Linn Wilcox, area pembahasan psikologi transpersonal ini
mendapat perlawanan dari dunia psikologi secara umum. Hal ini disebabkan
karena subyek pembahasannya yang berkenaan dengan topik-topik metafisik
seperti jiwa, spirit, mistisisme, cinta, meditasi, persepsi ekstrasensorik dan
kehidupan setelah mati.51 Bagaimanapun psikologi modern yang berada dalam
ranah sain tidak dapat menerima ide-ide yang tidak dapat diukur, dan oleh
karenanya tidak dapat memberikan legitimasi atas pandangan psikologi
transpersonal.
Maka menurut penulis makalah, berdasarkan pendapat-pendapat yang
dikutip sebelumnya, persoalan pihak yang setuju dan tidak setuju terhadap
psikologi transpersonal adalah bemula pada paradigma keilmuan untuk melihat
psikologi ini. Pihak yang setuju dengan jelas mengatakan bahwa psikologi
modern yang bergabung dengan ranah sain modern yang mengikuti paradigma
Cartesian dan Newtonian telah mendistorsi psikologi itu sendiri, sehingga
diperlukan pandangan baru untuk melihat manusia secara utuh yang tidak
dipisahkan baik jiwa dan tubuhnya, ataupun individu dengan lingkuangan
emosional, sosial dan kulturalnya.
Adapun pihak yang tidak setuju terhadap psikologi ini terletak pada
paradigma serta ontologi psikologi ini, bahwa psikologi transpersonal telah
melenceng dari kaidah-kaidah ilmiah dalam pengertian positivis. Sehingga secara
ontologis, ide dan pandangannya tidak dapat diukur secara pasti karena area
pembahasannya merupakan area yang telah dianggap non empiris.
Telah dijelaskan di muka, bahwa menurut kritikus sain modern,
pandangan mekanis Cartesian dan Newtonian yang mempengaruhi psikologi
mulai mengalami pergeseran seiring dengan pandangan relatifitas fisika modern
yang menggantikan fisika klasik. Perubahan ini juga disebabkan karena dunia
modern yang dibangun filsafat abad ketujuh belas itu telah dianggap kurang
mampu mengatasi krisis multidimensi dunia modern. Dalam pandangan Capra,
bahwa kebudayaan manusia sekarang ini tengah mengalami transformasi

51
Linn Wilcox, Psycosufi, h. 17.

19
paradigma, hal ini ditandai dengan krisis yang bisa diartikan sebagai pola
transisi.52 Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang, kearah mana kebudayaan
manusia akan bertransformasi.
Oleh karena itu tradisi Islam memiliki peluang untuk menangkap situasi
perubahan ini. Pada wilayah sain tengah diupayakan proyek islamisasi sain yang
merupakan bentuk tanggapan atas krisis dunia modern yang dianggap sebagai
efek dari paradigma posotivis yang sudah berada pada posisi ekstrem, dimana
kesadaran manusia telah diarahkan pada saintisme, yang menganggap satu
satunya pencapaian kebenaran hanya melalui sain, sehingga mengabaikan ranah-
ranah lain selain sain.
Termasuk pada wilayah psikologi, para ilmuwan psikologi Muslim banyak
yang berupaya mengadakan perubahan dan membangun konsep psikologi Islam.
Disamping itu banyak pula ilmuwan, psikolog Barat yang mengalihkan
pandangannya sebagai bentuk pencarian mereka ke tradisi Islam, salah satunya
adalah mengembangkan psikologi sufistik sebagai mana Robert Frager, Sachiko
Murata, Linn Wilcox dan lain-lain.
5. Psikologi Islam
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Prof. Mulyadhi Kartanegara, bahwa
psikologi modern telah mengalami kemajuan yang pesat. Berbagai penemuan,
riset, dan metode telah dihasilkan dan dikembangkan sedemikian rupa. Akan
tetapi perkembangan tersebut belum bisa menyelesaikan persoalan serius dalam
psikologi itu sendiri, yaitu akibat sekularisasi yang dilakukan para ilmuwan
psikologi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.53 Persoalan serius ini
adalah akibat pengaruh fisafat Barat abad ke-16 dan ke-17 sebagaimana terutama
yang dikembangkan Rene Desartes, Isaac Newton dan Francis Bacon.
Prof. Mulyadhi menjelaskan bahwa psikologi modern tersebut belum bisa
beranjak dari fisik-neurologis, sehingga ia merupakan“brain-based psychology”
yakni psikologi berbasis otak, oleh karena itu area psikologi ini terbatas hanya
membahas tentang hal-hal yang empiris saja. Bahkan psikologi yang sangat maju
sekalipun seperti psikologi humanistik dan psikologi transpersonal masih belum
beranjak dari batas-batas sekulernya, sehingga nampak sulit sekali para psikolog
52
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, h. xx.
53
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 1.

20
modern untuk mengakui status ontologis dari realitas non fisik seperti
pembahasan jiwa ini.54 Masalah serius selanjutnya, dari perspektif religius adalah
psikologi ini tidak dapat dijadikan sebagai dukungan bagi kepercayaan orang-
orang beragama terhadap hari akhir. Sebab psikologi berbasis otak akan
mengatakan bahwa, karena jiwa tidak lain daripada sekedar fungsi neurologis
otak, maka ketika otaknya mati atau hancur dalam peristiwa kematian, seluruh
eksistensi manusia tersebut akan berakhir. 55 Oleh karena itu dikalangan ilmuwan
muslim berkembang gagasan Psikologi Islam, yaitu psikologi yang berbasis pada
tradisi Islam, untuk memberikan alternatif terhadap pandangan-pandangan
psikologi yang berkembang di Barat.
Dalam penjelasannya Prof. Mulyadhi membagi Psikologi Islam ini
berdasarkan tiga perspektif yaitu psikologi religius atau skriptural, sufistik dan
filosofis.56 Adapun yang dimaksud dengan psikologi religius adalah teori-teori
psikologi yang dikaji para sarjana muslim dari sudut pandang agama, khususnya
al-Qur’an dan Hadits, sehingga biasa juga disebut perspektif skriptural. Dalam
perspektif ini para sarjana, dalam pembahasan daya-daya jiwa manusia hampir
secara eksplisit memanfaatkan kedua sumber tadi, khususnya istilah-istilah yang
terdapat di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Hazm, Ibn
Taymiyyah dan Ibn Qayyim Jawziyyah.57
Sedangkan psikologi sufistik adalah psikologi sebagaimana yang
dikembangkan oleh para sufi seperti al-Ghazali, Rumi, al-Kasyani, dll,
sebagaimana yang telah disajikan dengan indah pada masa modern ini oleh Robert
Frazer, Sachiko Murata dan Kebir Helminski. Akan tetapi psikologi di dunia
tasawuf tidaklah dikembangkan terutama untuk tujuan teoritis, melainkan untuk
transformasi jiwa. Sebab di mata para sufi ilmu yang tidak menghasilkan sebuah
transformasi jiwa dipandang kurang bermakna, betapapun canggihnya secara
teoritis.58 Maka secara khusus psikologi sufistik ini akan dibahas pada makalah
ini, terutama bahasan yang berkaitan dengan daya-daya jiwa manusia.

54
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, 200.
55
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 1.
56
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 6.
57
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 33.
58
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 6 dan 38.

21
Adapun psikologi filosofis adalah psikologi sebagaimana yang berkembang
di kalangan para filosof muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd,
Ibn Sab’in, Mulla Shadra dll.59 Psikologi ini nampaknya merupakan istilah yang
diberikan Prof. Mulyadhi, karena pembahasannya terutama di Indonesia jarang
diuraikan secara sistematis dalam sebuah karya. Menurut penulis makalah,
psikologi ini, disamping psikologi sufistik yang mulai banyak diperkenalkan,
pembahasannya langsung menuju jantung psikologi itu sendiri, yaitu mengenai
tema-tema jiwa manusia yang dikaitkan dengan ranah metafisik sebagai
pembahasan daya akal manusia terhadap tiga tema utama, yaitu manusia, alam
dan Tuhan. Sehingga psikologi ini merupakan wilayah teori dan doktrin yang
dimiliki khasanah Islam.

III. Penutup
Sekularisasi dalam pengertian proses penduniawian dari hal-hal yang
bersifat sakral, religius menjadi profan dan tidak religius terjadi dalam ranah ilmu
pengetahuan (sains) yang mendasarkan pandangannya pada paradigma
positivistik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari pandangan yang hanya
mengakui satu-satunya realitas keberadaan adalah dunia indrawi. Sehingga
kemaujudan realitas metafisik yang non empiris tertolak dan disingkirkan.
Proses ini terjadi mula-mula pada ranah sain alam, astrofisika tetapi
akhirnya menyebar pada bidang-bidang bukan hanya sain alam misalnya ilmu
sosoial dan humaniora, termasuk psikologi. Psikologi pada awalnya merupakan
suatu cabang metafisika yang berhubungan dengan konsep tentang jiwa (soul)
direduksi pemaknaannya menjadi pikiran (mind) dan kemudian dipersempit lagi
menjadi otak (brain) bahkan dalam madzhab Behaviorisme pemaknaannya
berubah menjadi prilaku (behavior). Hal ini dilakukan terutama untuk
menyesuaikan pandangan psikologi supaya menjadi sebuah disiplin yang ilmiah
dalam pengertian dapat diobservasi dan diukur secara empiris.
Paradigma positivistik ini berakar pada dasar filsafat Rene Descartes
(1596-1650) teori matematika Isaac Newton (1642-1727) dan metodologi ilmiah
yang dikembangkan Francis Bacon (1561-1626), yang merupakan pandangan
59
Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam,h. 6.

22
yang berkembang abad ke-16 dan ke-17 sebagai abad yang diklaim sebagai abad
revolusi ilmiah.
Adapun psikologi sebagai disiplin yang memisahkan diri dari filsafat dan
mulai bergabung dengan ranah sains terjadi pada abad ke 19 serta kemudian
berkembang pada abad ke-20. Pada masa-masa inilah psikologi mengalami tahap
perkembangan menjadi beberapa madzhab aliran. Sehingga dapat dijumpai dalam
literatur psikologi, perkembangan tersebut sampai hari ini menjadi empat fase
gelombang yaitu, psikoanalisa, behavioristik, humanistik dan psikologi
transpersonal.
Dari tahapan-tahapan tersebut, nampaknya yang paling ekstrim mengalami
sekularisasi adalah psikoanalisa dan behavioristik. Sementara psikologi
humanistik merupakan fase transisi yang sebenarnya masih mendasarkan
pandangannya pada brain base psychology tetapi mulai mengadakan kritik
terhadap madzhab sebelumnya. Adapun psikologi Transpersonal merupakan fase
psikologi yang masih dalam tahap perkembangan yang sudah mulai melepaskan
diri paradigma positivistik karena pembahasannya mengarah pada orientasi
humanistik yang secara khusus berhubungan dengan aspek-aspek aktualisasi diri
yang bersifat spiritual, transendental dan mistik, tetapi belum beranjak dari batas-
batas sekulernya.
Adapun kemunculan psikologi Transpersonal ini dilatarbelakangi
kebutuhan pada pandangan hidup sistemik. Karena pandangan dunia modern yang
didasarkan pada pandangan mekanis Cartesian dan Newtonian yang dibangun
filsafat abad ketujuh belas itu telah melahirkan pandangan hidup yang terpotong-
potong sehingga melahirkan pula krisis miltidimensi yang semakin akut.
Pandangan ini mengalami pergeseran seiring dengan pandangan relatifitas fisika
modern yang menggantikan fisika klasik. Dalam pandangan kritikus sain modern,
bahwa kebudayaan manusia sekarang ini tengah mengalami transformasi
paradigma, hal ini ditandai dengan krisis yang bisa diartikan sebagai pola transisi.
Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang, kearah mana kebudayaan manusia
akan bertransformasi.
Oleh karena itu Islam sebagai pandangan hidup yang sistemik sebenarnya
berada pada momentum yang tepat untuk menghadirkan pandangan alternatif

23
dalam setiap ranah kebudayaan manusia termasuk pada disiplin psikologi sebagai
bagian dari khasanah tradisi ilmu keislaman yang telah berakar melampaui
psikologi modern
Wallahu A'lam

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Filsafat Sains, penerjemah: Saiful
Muzani Bandung: Mizan, 1995.
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu Filsafat dan Agama Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1987.
Brennan, James F., Sejarah dan Sistem Psikologi, penerjemah: Nurmala Sari
Fajar, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006.

24
Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban, penerjemah: M.Thoyibi Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1997.
Effendi, Usman dan Praja, Juhaya S., Pengantar Psikologi Bandung: Angkasa,
1993.
Frager, Robert, Hati, diri dan Jiwa, Penerjemah: Hasmiyah Rauf, Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Kartanegara, Mulyadhi, Psikologi Islam, Jakarta: CIPSI Publisher, 2007.
Kartanegara, Mulyadhi, Mengislamkan Nalar, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu, Jakarta: UIN Jakarta Press dan Arasy PT
Mizan Pustaka, 2005.
Suriasumantri, Jujun S., Fisafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1995.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Wilcox, Linn, Psycosufi, penerjemah: Soffa Ihsan, Jakarta: Pustaka
Cendekiamuda, 2007
Wingkel, W.S., Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1996

25

Anda mungkin juga menyukai