Anda di halaman 1dari 6

Nama:Ronaldo Stevanus

NIM :1824090227

1. Jelaskan pengertian akulturasi dalam konteks masyarakat plural dan majemuk!

Jawaban :
Mode akulturasi adalah penerimaan suatu kebudayaan yang lain yang bisa berarti dalam bentuk
mengadopsi sistem nilai, adat, kebiasaan, gaya hidup dan bahasa yang selalu digunakan oleh
kelompok kebudayaan yang dominan, sehingga mengakibatkan terbentuknya budaya baru
namun unsur dan sifat budaya yang asli masih tetap ada.

Akulturasi pada masyarakat majemuk merupakan tahap awal untuk terjadinya integrasi sosial.
Akulturasi dapat menyebabkan terjadinya persatuan masyarakat karena akulturasi berarti
masyarakat lebih terbuka dan menerima perbedaan. Mutual akulturasi juga dapat mempercepat
proses terjadinya modernisasi.

Menurut Furnival, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri dari beberapa
kelompok sosial yang melakukan pembauran budaya dan menjalani kehidupan bersama. Dalam
masyarakat multikultural terdapat beberapa konsekuensi yang dihadapi. Konsekuensi dari
hubungan masyarakat multikultural salah satu diantaranya adalah mutual akulturasi.

2. Jelaskan keterkaitan antara stres akulturasi dengan culture school

Teori Akulturasi dikemukakan oleh Berry (1987) dan Teori Culture Shock dikemukakan
oleh Oberg (1960). Akulturasi adalah suatu proses dimana kita mengadopsi budaya baru
dengan mengadopsi nilai-nilainya, sikap, dan kebiasaannya. Akulturasi adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi disaat orang yang berasal
dari suatu budaya masuk ke dalam budaya yang berbeda. Akulturasi selalu ditandai
dengan perubahan secara fisik dan psikologi yang terjadi sebagai hasil dari adaptasi yang
dipersyaratkan untuk memfungsikan dalam konteks budaya yang baru atau budaya yang
berbeda. Dalam akulturasi terdapat teori Stres Akulturatif. Stres Akulturatif adalah
tingkat stres yang dihubungkan dengan perubahan, yang ditandai dengan penurunan
dalam kesehatan fisik dan mental. Miranda dan Matheny menggariskan bahwa stres
akulturatif berhubungan dengan penurunan harapan kemujaraban diri, mengurangi cita-
cita dalam berkarir, depresi, dan ideasi dengan bunuh diri (terutama pada Hispanic diusia
remaja). Hovey menemukan bahwa disfungsi keluarga, terpisah dari keluarga, harapan-
harapan negatif untuk masa depan, dan tingkat pendapatan yang rendah secara signifikan
berhubungan pada level akulturatif stres yang lebih tinggi. Nwadiora dan McAdoo
melaporkan bahwa gender dan ras tidak mempunyai dampak yang signifikan pada stres
akulturatif. Berry berpendapat bahwa tingkat pengalaman stres akulturatif oleh orang
yang beradaptasi dengan variasi budaya baru berdasarkan pada persamaan dan
ketidaksamaan diantara “host cultura” dan imigran native cultural

Interaksi dengan masyarakat setempat juga menambah tingkat proses adaptasi pendatang.
Misalnya saja, semakin sering peserta dari Indonesia berinteraksi dengan penduduk lokal
semakin mereka terbiasa dengan budaya yang berbeda tersebut. Sebagai contohnya, terdapat
peserta yang hanya mengerti sedikit dari bahasa Korea, semakin sering peserta tersebut
berinteraksi dengan penduduk lokal (terutama yang kurang bisa berbahasa Inggris), peserta
tersebut semakin memahami yang mereka katakan meskipun hanya dapat menangkap sedikit dari
kata-kata yang diucapkan penduduk lokal tersebut Sumber dukungan sosial yang diperoleh
dari keluarga (Gunandar & Utami,

2019) dan pihak universitas (Bai, 2016) dapat membantu mahasiswa menurunkan stres
akulturasinya. Di sisi lain, semakin tinggi ketangguhan pribadi yang dimiliki individu,
maka akan

semakin membantu dalam mengatasi masalah

stres akulturasi. Penelitian sebelumnya telah membuktikan peran ketangguhan pribadi


dalam menurunkan distres psikologis (Mak et

al., 2005). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kanekar et al.
(2010) yang mengungkapkan bahwa individu dengan ketangguhan pribadi tinggi
memiliki

komitmen dan kontrol diri yang baik serta melihat perubahan dalam hidup sebagai
sebuah tantangan dan peluang. Hal ini berarti mahasiswa dengan ketangguhan pribadi
yang

baik cenderung fokus pada “pikiran yang


membahagiakan” dari situasi apapun, bahkan

ketika dihadapkan dengan lingkungan asing yang tidak menguntungkan. Jadi, stres
akulturasi yang dialami mahasiswa asal NTT

di Salatiga dapat diminimalkan jika mahasiswa memiliki ketangguhan pribadi yang baik

3.Jelaskan kasus2 stres akulturasi!

Jawaban :
Orang yang tersosialisasi dalam budaya yang secara eksklusif kolektif akan lebih menderita
ketika berada dalam kultur lain daripada mereka yang disosialisasikan pada budaya yang
cenderung mengarahkan pada pengembangan diri (self-direction) dan luwes interaksinya. Studi
akhir-akhir ini oleh Carden dan Feicht (1991) menemukan mahasiswi Turki lebih mengalami
“homesickness” daripada mahasiswi Amerika ketika mereka harus tinggal di Asrama yang jauh
dari kota asalnya. Prediksi lain menyatakan bahwa orangorang yang melakukan perjalanan ke
suatu negara/bangsa lain yang memiliki perbedaan budaya yang sangat banyak akan lebih
banyak mengalami kesulitan.

Kasus stress akulturasi lainnya adalah, terdapat beberapa permasalahan yang ditemui oleh para
tenaga kerja Indonesia saat di luar negeri seperti yang disampaikan oleh L. Hastuti (komunikasi
pribadi, 27 Januari 2017) bahwa para tenaga kerja Indonesia akan melalui tiga tahap, yaitu pra-
penempatan, penempatan, dan pasca penempatan. Terdapat permasalahanpermasalahan yang
sering muncul pada tiap tahap dan stress akulturasi sering menjadi wacana ketika memasuki
tahap penempatan. Pada tahap penempatan, para tenaga kerja Indonesia harus melakukan
adaptasi terhadap budaya, bahasa, dan lingkungan yang baru. Proses penyesuaian diri tersebut
juga meliputi pekerjaan. Penelitian di bidang Psikologi mengungkapkan bahwa self-esteem
merupakan faktor penting yang membantu individu dalam melakukan adaptasi di lingkungan
baru. Kepercayaan individu atas kemampuannya dalam menghadapi situasi dengan tuntutan
tertentu mampu mereduksi stres dan memberikan dampak positif. Individu yang memiliki self-
esteem dan optimisme tinggi memiliki kemampuan penyesuaian diri terhadap situasi penuh
stres yang lebih baik. Sebaliknya, self-esteem rendah memiliki hubungan dengan stres
akulturasi, kecemasan, depresi, ketidakberdayaan, serta kecenderungan bunuh diri baik pada
anak-anak dan orang dewasa yang melakukan migrasi. Para tenaga kerja migran akan
mengalami serangkaian proses dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan, budaya, dan
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang baru. Proses adaptasi tersebut dapat mengarah
kepada stres akulturasi yang dapat terjadi ketika para tenaga kerja menemui kesulitan dalam
menjalani hidup dengan tingkat ekonomi sangat rendah, kesulitan dalam berbahasa, perbedaan
cara pandang, status keimigrasian yang bermasalah, adanya penolakan dari lingkungan sekitar,
dan hal-hal baru yang asing berkaitan dengan nilai-nilai dan hukum di negara tersebut. Contoh
culture shock lain, misalnya seseorang religius yang berasal dari kota kecil atau desa di Jawa
mendapat beasiswa studi di Swedia sehingga dia tinggal disana selama setahun. Saat disana, ia
mengalami guncangan budaya karena dia akan lebih sering makan roti dan masakan dengan
bumbu yang jauh berbeda dengan daerah asalnya. Ia juga harus bergaul dengan masyarakat
Swedia yang sangat liberal dan terbuka dalam pergaulan bahkan menganut netralitas gender
sehingga banyak ditemukan pasangan yang sering berciuman di tempat umum, orang-orang
yang berpakaian minim atau bahkan sangat terbuka, pasangan sesama jenis dan lain-lain.

4.Jelaskan sikap terhadap lingkungan yang berkaitan dengan perilaku lintas budaya!
Jawaban :

Psikologi lingkungan adalah ilmu tentang saling hubungan antara tingkah laku dengan
lingkungan buatan maupun alamiah. Menurut Altman (1975) interaksi yang terjadi antara
manusia dengan lingkungan sejajar dengan orientasi sosial yang menghasilkan perilakuperilaku
sosial dalam setting lingkungan dimana perilaku tersebut bisa terwujud dalam bentuk
“egosentris” dimana manusia hanya bergantung pada sumber-sumber yang ada di sekitar
lingkungan. Dan perilaku tersebut bisa pula dalam wujud “holosentris” dimana perilaku ini
mengacu pada konsesi timbal balik (reciprocal). Dalam orientasi sosial tersebut (orientasi
spatial) terdapat pemaknaan ruang yang terdiri atas empat unsur, yaitu:
1. Privacy: Keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu
kesendiriannya. Menurut Altman (1975) secara alami kebudayaan berpengaruh pada perilaku
untuk mewujudkan privacy. Hasil penelitian Robert dan Gregor (1971) mengenai kebudayaan
masyarakat Mechinacu yaitu kelompok suku kecil yang hidup terisolasi di kawasan tropis bagian
tengah Brasil. Mereka bertempat tinggal di perkampungan, dan ditemukan bahwa pada
masyarakat ini privacy amat tipis. Rumah mereka didiami secara bersama oleh beberapa
keluarga yang dindingnya terbuat dari jerami yang tidak bisa meredam suara dengan baik
sehingga orang dapat mendengar apa saja yang dibicarakan orang lain di sebelah. Menurut
Robert dan Gregory tiap kebudayaan memberikan suatu sarana yang mengijinkan orang-orang
untuk mengontrol kontak mereka dengan orang lain. Misalnya, walaupun beberapa keluarga
hampir selalu tinggal dalam satu rumah, tetapi suatu keluarga tak boleh memasuki area
keluarga lain. Dengan demikian, masyarakat Mehinacu memiliki bentuk multilevel dalam
pengaturan privacy, yang melibatkan manipulasi lingkungan fisik, perilaku verbal dan bahasa
tubuh.
2. Personal Space: Daerah sekeliling individu dan kelompok, dibatasi oleh jarak dan orientasi
pandangan dari orang-orang lain. Untuk orang Cina, ruang dianggap suci/keramat dan memiliki
tingkat privacy yang tinggi adalah ruang tidur karena ruang inilah berlangsungnya aktivitas yang
amat pribadi. Dari menerima kehadiran bayi sampai peristiwa kematian pun mengambil ruang
tempat di tempat tidur. Begitu pula kebudayaan Barat (Amerika) melihat kamar mandi sebagai
ruang yang dikeramatkan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Schwartz (1968)
dan Kira (1970), serta Altman, dkk. (1972). Di kamar mandilah berlangsungnya peristiwa-
peristiwa yang amat pribadi dan intim bagi orangorang Amerika. Sehingga seseorang akan
merasa terjamin berada dalam kamar mandi jika pintu tertutup. Dalam beberapa kasus, seperti
masyarakat Puerto Rico sebagaimana dikaji oleh Zeisel (1973), ruang duduk dianggap sebagai
ruang keramat.
3. Territory Space: Suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak
seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau suatu lokasi geografis. Suatu pola
kehidupan komunal, seperti kehidupan suku Mehinacu di Brasil, memiliki teritori primer
sebagaimana pernah ditelaah oleh Robert dan Gregor (1971). Selain itu dapat pula dilihat
bagaimana pola teritori suku Dayak Ngaju di Kalimantan yang hidup di perkampungan dan
dusun-dusun tani kecil yang memanjang mengikuti alur sungai (Miles, 1970). Kadang-kadang
keluarga-keluarga suku Ngaju ini tinggal di rumah panjang yang mampu menampung dua puluh,
tiga puluh keluarga bahkan lebih. Mereka bertempat tinggal di tempat yang amat kecil. Sebagai
contoh, pada masyarakat Ngaju ini setiap orang mempunyai kesempatan untuk bercumbu
memiliki area untuk tidur. Keluarga-keluarga yang berada dalam rumah panjang itu memelihara
area mereka masing-masing dan waktu makan siang yang tidak serentak. Apabila terjadi
pertengkaran antara suami istri, orang-orang lain akan pergi keluar, dan orang lain tidak turut
campur dalam hal pengasuhan anak keluarga yang lainnya meskipun mereka bertempat tinggal
seatap.
4. Crowding: Suatu keadaan ketika mekanisme pengatur hubungan sosial telah gagal untuk
berfungsi secara efektif sehingga mengakibatkan seorang mengalami lebih banyak interaksi
sosial daripada yang diinginkannya. Dan orang-orang dalam keadaan seperti ini diprediksikan
akan mengalami stress dan berusaha melakukan upaya-upaya tertentu untuk mencapai
hubungan dengan orang lain sebagaimana yang dikehendakinya.

Draper (1973) meneliti pengaruh kepadatan pada masyarakat Kung di sebelah Barat daya Afrika.
Nampak bahwa orang-orang Kung menyukai sentuhan, kontak fisik yang dekat, dan interaksi
sosial yang ekstensif. Sehingga mereka tak merasa menderita secara fisik ataupun psikologis
karena hidup dalam situasi yang sangat padat. Draper menemukan ada norma yang berkaitan
dengan hal ini, yakni individu-individu atau keluarga-keluarga dapat meninggalkan kelompok
sukunya pada beberapa waktu untuk bergabung ke kelompok lain atau mendirikan suatu
kelompok baru. Eksistensi dari jaringan-jaringan sosial dan keluarga dengan kelompokkelompok
jauh menjadikan penarikan diri dengan mudah sehingga kedatangan dan kepergian adalah tak
menyakitkan. Afiliasi kelompok tidak harus permanen; norma-norma ini menjadikan
penanganan konflik sosial menjadi persoalan yang mudah dan memberikan sense of control
dalam interaksi kapan saja diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai