Anda di halaman 1dari 3

Yasfi Firmansyah (16081210)

Tugas Mata Kuliah: Pengembangan Diri dan Karir


Dosen Pengampu: Noviar Rahmad R.Z, M.Psi., Psikolog
13F2 (Jumat, 13.00)

Bismillahi rahamani rahim.


Yasfi Firmansyah, atau biasa dipanggil “Yasfi”, sebuah nama yang cukup
asing di telinga orang indonesia. Ketika saya bertanya kepada orangtua saya mengapa
memberikan nama tersebut, jawaban mereka mengenai arti nama Yasfi, entah
mengapa, tidak pernah membuat saya puas. Sehingga suatu waktu saya mencoba
mencari tahu arti nama Yasfi melalui mbah google, dan hingga detik ini (selagi tugas
ini dibuat) usaha tersebut sama sekali tidak membuahkan hasil apapun. Bahkan
seorang guru BK (Bimbingan Konseling) di SMP saya ketika itu pernah mengganti
nama saya menjadi “Yosi”, saking emosinya beliau karena selalu kesulitan mengeja
nama saya, selain emosi karena saya adalah salah satu murid langgananya.
Tak berhenti sampai di situ, panggilan Yosi untuk diri saya juga populer dikalangan
mbak-mbak penjaga laundri, bapak-bapak penjual ayam geprek, serta mas-mas
tukang permak jeans. Penjual batagor cilok, aa’ burjo, dan beberapa teman saya yang
sebagian besar berasal dari Jawa Barat sedikit lebih baik ketika mencoba mengeja
nama saya, “Yaspi” (orang-orang Jawa Barat umumnya sulit melafakan huruf “F”).
Meskipun begitu, nama ini merupakan hadiah pemberian kedua orang tua saya
tercinta (dan katanya sudah benar-benar melalui berbagai macam riset). Tidak
seperti nama Agus atau Supri, nama “Yasfi” menciptakan kesan unik/spesial dalam
diri saya, karena sampai saat ini belum pernah saya bertemu dengan seseorang yang
memiliki nama serupa. Ya, at least inilah kelebihan pertama saya, tanpa bermaksud
menyinggung pemilik nama agus ataupun supri.
Berasal dari keturunan petani yang cukup sederhana, kedua orangtua saya
memutuskan bertindak sedikit melenceng dari tradisi keluarga, yakni mereka
memilih bekerja sebagai guru matematika dan mantri gigi. Sehingga sejak kecil saya
justru tidak pandai menanam cabai atau semangka, tetapi cukup akrab dengan kedua
bidang pekerjaan orangtua saya tersebut. Jika diambil suatu benang merah, bisa
dikatakan terdapat kesamaan antara dunia pendidikan dan kesehatan, yakni sama-
sama memiliki unsur “mengukur dan melayani”. Dan sifat inilah yang sepertinya juga
diturunkan kepada diri saya, sehingga hasil perjodohan antara kromosom
“mengukur” dan kromosom “melayani” yang dinamai “psikologi” ini akhirnya
menjadi bidang yang saya geluti sampai hari ini, tentunya setelah menempuh sebuah
proses lika-liku laki-laki yang panjang.
Usia saya saat menulis narasi ini yakni hampir mencapai angka 27, sedangkan saya
masih menempuh semester lima di program studi sarjana psikologi. Jika anda
bertanya “kok umur segitu masih kuliah S1 sih ?”, maka tentu saja pertanyaan anda
merupakan pertanyaan sejuta umat yang mungkin saja terlintas di benak setiap orang
ketika bertemu dan melihat jenggot lebat saya. Jika saya menceritakan kisahnya di
sini, naratif deskriptif ini berpotensi berubah menjadi naratif biografis dengan
belasan bahkan berpuluh-puluh halaman. Lagi pula bukan untuk itu tujuan tugas ini
dimaksudkan. Tugas ini dimaksudkan untuk memaparkan potensi-potensi yang ada
dalam diri masing-masing.
Anda sang pembaca budiman pasti sudah bertemu dengan kelebihan pertama saya,
yaitu nama Yasfi. Sebetulnya pada bagian ini saya ingin sekali cepat-cepat
merampungkannya. Karena saya bukan tipikal orang yang pandai menceritakan
tentang diri sendiri, apalagi mendeskripsikan kelebihan yang saya miliki. Lagipula
potensi atau kelebihan sejatinya sering dianggap sangat subjektif, artinya bisa saja
saya menganggap trait introversi saya merupakan suatu kelebihan, tetapi orang lain
menganggap sebaliknya. Sehingga saya menyusun tiga kriteria terkait bagaimana
sesuatu dalam diri seseorang dapat dikategorikan menjadi suatu potensi
positif/kelebihan, diantaranya.
a. Keunikan. Jika anda menyebutkan “makan” sebagai suatu kelebihan yang
anda miliki, artinya anda adalah salah satu dari segelintir orang yang dapat
melakukannya. Maka mulai saat ini cobalah berhenti memasukkan kata
“makan” dalam daftar kelebihan anda, karena hampir setiap spesies dapat
melakukannya!
b. Menguntungkan secara pribadi. Saya rasa bagian ini tidak perlu banyak
dijelaskan, kelebihan yang merugikan diri Anda sendiri tidak dapat disebut
memiliki nilai lebih. Contoh: Kelebihan Anda adalah Anda sanggup selama tiga
hari tidak mandi. Meskipun saya sediri tidak sanggup, namun apakah dengan
Anda melakukan hal tersebut akan menguntungkan bagi Anda?
c. Menguntungkan untuk orang lain pada umumnya. Nilai “lebih” namun
tanpa memiliki manfaat bagi sesama ibarat seorang wanita tinggi cantik
semampai yang sedang berada di kerumunan pria homoseksual, kecantikan
anda menjadi bukan sebagai kelebihan yang berarti bagi si pria homoseksual
kecuali anda adalah seorang lelaki cucok. Potensi yang tidak ada manfaatnya
bagi orang lain umumnya tidak akan dihargai. Jadi sesuatu dikatakan sebagai
kelebihan atau tidak juga ditentukan oleh bagaimana orang-orang pada
umumnya menilai sesuatu itu adalah sebagai sebuah kelebihan atau bukan.
Berdasarkan ketiga kriteria di atas, saya berharap Anda dan saya dapat sedikit lebih
terbantu untuk menentukan potensi-potensi apa yang ada dalam diri masing-masing.
Untuk itu saya akan memulai menjabarkan beberapa potensi yang ada dalam diri
saya. Insya Allah.
1. Intorversi. Ya, saya sangat bersyukur dan bangga menjadi pribadi introvert.
Berpikir analitis dan mendalam, tenang, kreatif, penuh persiapan, dan
pendengar yang baik merupakan segelintir dari banyak keunggulan sosok
introvert. Bahkan menurut penelitian, orang-orang berpengaruh yang pernah
tercatat dalam sejarah sebagaian besarnya adalah seorang introvert. Sebut
saja Albert Einstein, mantan presiden US Barrack Obama, Bill Gates sang
pendiri Microsoft, dan sang sutrada kondang Steven Spielberg, mereka semua
adalah sosok-sosok introvert yang sukses mengejar mimpinya.
2. Hobi Membaca. Jika anda sempat mengunjungi rumah atau kost saya, anda
akan menemukan cukup banyak buku dari mulai buku ber-genre nonfiksi
bertema psikologi, sejarah, biografi, filsafat, agama, sains, hingga novel-novel
baik fiksi maupun non-fiksi. Selain itu dalam waktu satu minggu, saya dapat
menghabiskan setidaknya tiga buku dengan ketebalan sedang. Hal ini
menurut saya merupakan sebuah kelebihan, mengingat minat baca
masyarakat kita yang cukup rendah yakni hanya lima hingga sembilan buku,
per “tahun”.
3. Open-minded. Saya jarang sekali merasa ragu untuk mendengarkan gagasan
maupun saran dari seseorang, bahkan untuk melakukannya sekalipun.
Pernah pada suatu waktu di jam makan siang saya sangat kebingungan
menentukan akan makan apa dan di mana. Yang saya lakukan adalah
berkenalan dengan salah satu orang asing yang ada di sana dan meminta
rekomendasi tempat makan beserta menu favoritnya, dan pada siang itu juga
saya langsung menuruti sarannya. Dalam hal ini saya dan orang asing tersebut
sama-sama diuntungkan (setidaknya ia mendapatkan kepuasan tersendiri
karena sarannya didengarkan.) Sebagaimana sifat ilmu, ilmu bisa datang dari
siapa saja, bahkan dari anak berumur 5 tahun sekalipun.
4. Menyukai seni dan keindahan. “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai
keindahan.” (HR. Thabrani). Hadits singkat ini memaparkan bahwa Sang
Pencipta kita saja menyukai hal-hal yang indah, menciptakan yang serba
indah, termasuk salah satu spesies ciptaanya yang bernama “wanita”, yang
sudah tidak diragukan lagi keindahannya di planet ini. Jadi bagi kaum Hawa,
mengapa anda masih tidak bersyukur dengan keindahan yang sudah
diberikan Tuhan kepada anda, yakni dengan memakai yang palsu-palsu
seperti bulu mata palsu, alis palsu, dan status palsu? Bagi kaum Adam,
mengapa Anda masih saja suka menyia-nyiakan keindahan yang telah
dianugerahkan Sang Pencipta, malas mandi, menyisir rambut, memakai
wewangian, bahkan sekedar berpenampilan rapi untuk belajar?
5. “Minat menjadi psikolog”. Nah, yang terakhir ini mungkin terdengar ambigu
di telinga Anda pembaca budiman. Namun kita coba melirik lagi problematika
yang sering terjadi di sekitar kita. Kecemasan, demotivasi, agresivitas,
bulllying, depresi, salah jurusan, perceraian bahkan bunuh diri adalah kasus-
kasus yang umum namun tampaknya jarang sekali menjadi perhatian
masyrakat kita. Maka muncul pertanyaan, “Lantas sebenarnya siapa yang
bertanggung jawab atas masalah-masalah tersebut? Ya, salah satunya saya
dan Anda, para psikolog dan calon psikolog. Ketika psikolog dipandang
sebelah mata oleh sebagian orang, saya pribadi sangat bersyukur menjadi
salah satu aktor yang dapat terlibat menangani problematika tersebut. Seperti
kata pepatah, “setiap orang dilahirkan untuk suatu tujuan”, maka
berbahagialah seseorang yang telah menemukan tujuannya, yakni yang
dilahirkan dengan tujuan mulia, membantu diri sendiri dan sesamanya.

Anda mungkin juga menyukai