Anda di halaman 1dari 186

METODE FIQIH AGAR LEBIH

MUDAH DIPAHAMI UNTUK


ANAK-ANAK, REMAJA, DAN
UMUM

(Note: a punten yah kan akutuh super copas banget dari


internet dan belum di edit sama sekali dan hamper tiap
halaman tuh beda2 front dan ukurannya, punten dieditin yah a
sing rapih. Oh iya kalo ada yang arab2 gitu harus gede biar
keliatan sama si dosennya ukuran front buat yang tulisan arab
nya 20 yah a pokona si arabna kudu gede a meh nambah
halaman sugan jadi 200 lebih hehe. a ini sampul pokonya
apapun itu harus warna pink yah a. makasih a sebelumnya..
jangan lupa ini note nya dihapus a hehe)
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah membukakan hati


dan pikiran hamba-Nya sehingga naskah buku yang amat
sederhana ini bisa di manfaatkan oleh banyak orang. Usai
merampungkan naskah buku ini beberapa minggu yang lalu,
saya ragu bagaimana tanggapan pembaca atas buku ini nanti.
Buku ini dibuat untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Fiqh
yang dikembangan dari sub pembahasan yang berasal dari
RPS.

Tidak sangguplah rasanya saya melukiskan besar


penghargaan dan terimakasih saya kepada dosen mata kuliah
Fiqih semester dua, yaitu yang terhormat bapa Drs. Ucin
Muksin, M.Ag , yang telah banyak mendorong dan
memotivasi saya untuk terus semangat dan giat dalam upaya
menyelesaikan tugas ini. Pada mulanya hampir-hampir saya
berputus asa untuk membuat buku ini, karena kekurang
mampuan saya dalam menyusun bahasa yang baik dan benar
untuk mengumpulkan tugas dan saya merasa masih duduk di
bangku semester 2 namun sudah diberi tantangan yang cukup
mengasah otak saya.
Akan tetapi, tidak lama kemudian, harapan saya hidup
dan tumbuh kembali , berkat dorongan dan motivasi dari
bapak Ucin. Setiap pertemuan mata kuliah, beliau selalu
mengingatkan dan selalu memberi semangat dan
mencontohkan bagaimana cara berkomunikasi dengan baik.
Maka, dalam waktu yang tidak lama, saya telah dapat
menguasai apa yang telah beliau sampaikan untuk
mengaplikasikannya pada perampungan buku ini.

Alhamdulillah, apa yang beliau sampaikan pada diri


saya, telah tumbuh dan mulai berbuah, sehingga saya dapat
menyusun buku ini dengan mudah. Disamping mendapatkan
ilmu pengetahuan yang baru, setidaknya saya sudah
mempunyai gambaran bagaimana menyusun skripsi ketika
saya menginjak semester akhir nanti. Sungguh tidak
sangguplah saya memenuhi hak beliau itu akan syukur dan
terima kasih

Buku ini mulanya terinspirasi oleh berbagai liku


pikuk perilaku adik-adik saya yang bermula dari anak-anak
menginjak pada remaja, dan bagaimana orang tua saya
menghadapinya. Saya merasa wajib untuk menyampaikan
ukcapan terima kasih kepada semua orang yang telah
menginspirasi saya dalam menyelesaikan buku ini, khusunya
kepada orang tua saya yakni IPTU Usep Heryaman, S.IP,
S.PdI. dan ibu saya tercinta Ida Jubaedah S.P. yang selalu
mendoakan saya agar saya dalam keadaan sehat wal’afiat
sehingga bisa menyelesaikan buku ini. Tak lupa sayapun
berterimakasih kepada orang terdekat saya yang selalu
membantu dalam informasi sosial yang ia ketahui karena
seringkali melakukan penelitiannya, yang kemudian
penelitiannya itu dijadikan inspirasi oleh saya untuk lebih
menambah berbagai informasi dalam buku ini. Orang tersebut
adalah Ahmad Fauzi yang kini masih berstatus mahasiswa
Antropologi semester 6 di Universitas Padjadjaran.

Sebenarnya, buku ini dibuat dan terinspirasi bukan


hanya dari orang-orang terdekat saya, dan beberapa buku
lainnya yang sudah diterbitkan terlebih dahulu, namun buku
ini ditulis berdasarkan pengalaman yang saya lihat. Sebab
saya pun termasuk pada Komunitas Pemuda Peduli AIDS
Narkotika (KOMPAK) yang dimana komunitas tersebut
selalu terjun dalam berbagai permasalahan remaja massa kini.
Selain itu, saya pun tergabung pada organisasi Bimbingan
Konseling Agama Islam (BINGKAI) yang dimana organisasi
tersebut adalah oraganisasi jurusan perkuliahan saya yang
sudah sangat dipercaya oleh Dispora Kota Bandung dan BNN
Kota Bandung untuk ikut serta menolong para remaja yang
bermasalah dan bekerja sama dengan KOMPAK. Oleh karena
pengetahuan saya itu pula, saya rasa ingin membagikan ilmu
yang saya punyai kepada buku yang saya tulis ini.

Buku ini mungkin masih terdapat kekurangan dan


kelemahan. Oleh, karena itu, sara dan kritik sungguh saya
harapkan. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh pembaca
bagi peningkatan kualitas anak pada zaman sekarang yang
bisa dibilang perilakunya banyak yang menyimpang. Kepada
Allah SWT., saya memohon ampunan, jika terdapat
kekeliruan, dan kepada-Nya pula saya bermunajat maghfirah,
serta rida menganugerahkan jalan keluar dari kesesatan yang
menjadi kedaifan buku ini, Amin.

Bandung, November 2017

Penulis
PENDAHULUAN

Saya terkadang merasa teriris hati


melihat bagaimana respon seorang pelajar
untuk membaca. Banyak sekali potensi
dan wawasan yang bisa di gali dalam hal
membaca. Namun, tingkat minat
membaca untuk anak pada era ini
sangatlah minim. Berbagai alas an
dilontarkan. Misalnya, karena memang
tidak berniat untuk membaca, menebak-
nebak isi bacaan yang bukunya itu tidak
menarik, kata-kata yang sulit di pahami.
Ya itu semua memang benar adanya dan
hal wajar jika seorang anak ingin
membaca suatu buku akan tetapi kata-
kata dari buku itu kurang dipahami. Efek
yang ditimbulkan yaitu antara si anak
tidak meyukai membaca buku kembali
atau salah menafsirkan apa yang dia baca
dari buku tersebut. Dengan efek yang
seperti itu, membuat anak yang tertarik
untuk membaca langsung berfikir tidak
mau lagi membaca. Pada awalnya saya
bingung bagaimana untuk menghadapi
kondisi seperti ini. Akan tetapi, setelah
saya teliti dengan seksama, ternyata
anak-anak pada di era sekarang lebih
menyukai to the point bertanya apa yang
mereka lihat. Maksud saya, ketika satu
anak memiliki suatu pertanyaan, maka
dia selalu ingin langsung menemukan
jawaban dengan bertanya tanpa membaca
terlebih dahulu. Dengan kondisi seperti
ini, saya menemukan metode agar ketika
anak membaca buku, lalu memahami
isinya maka akan menarik minat
bacanya dengan tinggi. Sebenarnya
caranya cukup mudah, yaitu dengan
menyajikan bahasa yang mudah
dipahami dan memakai rangkaian kata
yang tidak rumit.

Bandung, Mei 2017


MATERI
Fiqh itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syari’at Islam yang diambil dari dalil-dalilnya yang
terperinci.
Fiqh artinya faham atau tahu. Menurut istilah yang
digunakan para ahli Fiqh (fuqaha). Fiqh itu ialah ilmu
yang menerangkan hukum-hukum syari’at Islam yang
diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Menurut
Hasan Ahmad Al-Khatib: Fiqhul Islami ialah
sekumpulan hukum syara’, yang sudah dibukukan
dalam berbagai madzhab, baik dari madzhab yang
empat atau dari madzhab lainnya, dan yang dinukilkan
dari fatwa-fatwa sahabat thabi’in, dari fuqaha yang
tujuh di Makkah, di Madinah, di Syam, di Mesir, di
Iraq, di Bashrah dan sebagainya. Fuqaha yang tujuh itu
ialah Sa’id Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman,
’Urwah bin Zubair, Sulaiman Yasar, Al-Qasim bin
Muhammad, Charijah bin Zaid, dan Ubaidillah
Abdillah.
Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yangg berkembang
dalam kalangan ulama Islam, fiqh itu ialah ilmu
pengetahuan yang membiacarakan/membahas/memuat
hukum-hukum Islam yang bersumber bersumber pada
Al-Qur’an, Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah
diformulasikan oleh para ulama dengan
mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Dengan
demikian berarti bahwa fiqh itu merupakan formulasi
dari Al-Qur’an dan Sunnah yang berbentuk hukum
amaliyah yang akan diamalkan oleh ummatnya. Hukum
itu berberntuk amaliyah yang akan diamalkan oleh
setiap mukallaf (Mukallaf artinya orang yang sudah
dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran
syari’at Islam dengan tanda-tanda seperti baligh,
berakal, sadar, sudah masuk Islam).
Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri dari
hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram;
disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain
seperti sah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan
sebagainya.
Disamping hukum itu ditunjukan pula alat dan cara
(melaksanakan suatu perbuatan dalam dalam
menempuh garis lintas hidup yang tak dapat dipastikan
oleh manusia liku dan panjangnya. Sebagai mahluk
sosial dan budaya manusia hidup memerlukan
hubungan, baik hubungan dengan dririnya sendiri
ataupun dengan sesuatu di luar dirinya. Ilmu fiqh
membicarakan hubungan itu yang meliputi
kedudukannya, hukumnya, caranya, alatnya dan
sebagainya. Hubungan-hubungan itu ialah:
a. Hubungan manusia dengan Allah, Tuhannya dan para
Rasulullah;
b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri;
c. Hubungan manusia dengan keluarga dan
tetangganya;
d. Hubungan manusia dengan orang lain yang seagama
dengan dia;
e. Hubungan manusia dengan orang lain vang tidak
seagama dengan dia;
f. Hubungan manusia dengan makhluk hidup yang lain
seperti binatang dan lainnya;
g. Hubungan manusia dengan benda mati dan alam
semesta;
h. Hubungan manusia dengan masyarakat dan
lingkungannya;
i. Hubungan manusia dengan akal fikiran dan ilmu
pengetahuan; dan
j. Hubungan manusia dengan alam gaib seperti syetan,
iblis, surga, neraka, alam barzakh, yaumil hisab dan
sebagainya.
Hubungan-hubungan ini dibicarakan dalam fiqh melalui
topik-topik bab permasalahan yang mencakup hampir
seluruh kegiatan hidup perseorangan, dan masyarakat,
baik masyarakat kecil seperti sepasang suami-isteri
(keluarga), maupun masyarakat besar seperti negara
dan hubungan internasional, sesuai dengan macam-
macam hubungan tadi. Meskipun ada perbedaan
pendapat para ulama dalam menyusun urutan
pembahasaan dalam membicarakan topik-topik
tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam
menjadikan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad sebagai
sumber hukum.Walaupun dalam pengelompokkan
materi pembicaraan mereka berbeda, namun mereka
sama-sama mengambil dari sumber yang sama.
Karena rumusan fiqh itu berbentuk hukum hasil
formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur’an,
Sunnah dan Ijtihad, maka urutan dan luas
pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan
ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam
madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada
mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan
penganutnya. Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran
madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan topik-topik
(bab-bab) pembahasan fiqh. Menurut yang umum
dikenal di kalangan ulama fiqh secara awam, topik
(bab) pembahasan fiqh itu adalah empat, yang sering
disebut Rubu’:
- Rubu’ ibadat;
- Rubu’ muamalat;
- Rubu’ munakahat; dan
- Rubu’ jinayat.
Ada lagi yang berpendapat tiga saja; yaitu: bab
ibadah, bab mu’amalat, bab ’uqubat. Menurut Prof.
T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut,
dapat dikembangkan menjadi 8 (delapan) topik (bab):
a. Ibadah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah
masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok
persoalan berikut ini:
1.Thaharah (bersuci);
2.Ibadah (sembahyang);
3.Shiyam (puasa);
4.Zakat;
5.Zakat Fithrah;
6.Haji;
7.Janazah (penyelenggaraan jenazah);
8.Jihad (perjuangan);
9.Nadzar;
10.Udhiyah (kurban);
11.Zabihah (penyembelihan);
12.Shayid (perburuan);
13.’Aqiqah;
14.Makanan dan minuman.
b. Ahwalusy Syakhshiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-
masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok
persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta
warisan, yang meliputi persoalan:
1. Nikah;
2. Khithbah (melamar);
3. Mu’asyarah (bergaul);
4. Nafaqah;
5. Talak;
6. Khulu’;
7. Fasakh;
8. Li’an;
9. Zhihar;
10. Ila’;
11. ’Iddah;
12. Rujuk;
13. Radla’ah;
14. Hadlanah;
15. Wasiat;
16. Warisan;
17. Hajru; dan
18. Perwalian.
c. Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja. Dalam bab ini
dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang
dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta
kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara
mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi
masalah:
1.Buyu’ (jual-beli);
2.Khiyar;
3.Riba (renten);
4.Sewa-menyewa;
5.Hutang-piutang;
6.Gadai;
7.Syuf’ah;
8.Tasharruf;
9.Salam (pesanan);
10.Jaminan (borg);
11.Mudlarabah dan Muzara’ah;
12.Pinjam-meminjam;
13.Hiwalah;
14.Syarikah;
15.Wadi’ah;
16.Luqathah;
17.Ghasab;
18.Qismah;
19.Hibah dan Hadiyah;
20.Kafalah;
21.Waqaf*;
22.Perwalian;
23.Kitabah; dan
24.Tadbir.
*Dari segi niat dan manfaat, waqaf ini kadang-kadang
dimasukkan dalam kelompok ibadah; tetapi dari segi
barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok
muamalah.
d. Muamalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini
dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat
dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta
kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau
besar seperti negara (perbendaharaan negara = baitul
mal). Pembahasan di sini meliputi:
1.Status milik bersama baitul mal;
2.Sumber baitul mal;
3.Cara pengelolaan baitul mal;
4.Macam-macam kekayaan atau materi baitul mal;
5.Obyek dan cara penggunaan kekayaan baitul mal;
6.Kepengurusan baitul maal; dan lain-lain.
e. Jinayah dan ’Uqubah (pelanggaran dan hukuman)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqh ada yang menyebut
jinayah saja. Dalam bab ini di bicarakan dan dibahas
masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam
kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan,
pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya.
Pembahasan ini meliputi:
1.Pelanggaran;
2.Kejahatan;
3.Qishash (pembalasan);
4.Diyat (denda);
5.Hukuman pelanggaran dan kejahatan;
6.Hukum melukai/mencederai;
7.Hukum pembunuhan;
8.Hukum murtad;
9.Hukum zina;
10.Hukuman Qazaf;
11.Hukuman pencuri;
12.Hukuman perampok;
13.Hukuman peminum arak;
14.Ta’zir;
15.Membela diri;
16.Peperangan;
17.Pemberontakan;
18.Harta rampasan perang;
19.Jizyah;
20.Berlomba dan melontar.
f. Murafa’ah atau Mukhashamah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-
masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok
persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada
bab ini meliputi:
1.Peradilan dan pendidikan;
2.Hakim dan Qadi;
3.Gugatan;
4.Pembuktian dakwaan;
5.Saksi;
6.Sumnpah dan lain-lain.
g. Ahkamud Dusturiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-
masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok
persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi:
1.Kepala negara dan Waliyul amri;
2.Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri;
3.Hak dan kewajiban Waliyul amri;
4.Hak dan kewajiban rakyat;
5.Musyawarah dan demokrasi;
6.Batas-batas toleransi dan persamaan; dan lain-lain
h. Ahkamud Dualiyah (hukum internasional)
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-
masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok
masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab
ini meliputi:
1.Hubungan antar negara, sama-sama Islam, atau
Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam
situasi perang;
2.Ketentuan untuk orang dan damai;
3.Penyerbuan;
4.Masalah tawanan;
5.Upeti, Pajak, rampasan;
6.Perjanjian dan pernyataan bersama;
7.Perlindungan;
8.Ahlul ’ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
9.Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
Setelah memperhatikan begitu luasnya ruang lingkup
pembahasan fiqh. dapatlah kita bayangkan seluas apa
pula ruang lingkup pengajaran agama.
Bab Tharah

Pertanyaan 1
Q : Bagaimana hukumnya apabila kita
kecipratan genangan air hujan?
Àpakah itu termasuk najis?
A: Intinya dia tetap suci, sekalipun warnanya coklat
pekat, bercampur tanah. Air yang berubah warna dinilai
najis, jika perubahan warna itu disebabkan benda najis.
Selama kita tidak tahu, apakah dalam genangan air tadi
ada najisnya ataukah tidak, maka status air itu suci.
Penjelasan lebih lanjut:

Dalam Alquran, Allah Taala menyebut hujan sebagai


air untuk alat bersuci.
 "Dialah yang menurunkan kepada kalian hujan dari
langit yang mensucikan kalian." (QS. al-Anfal: 11)

Allah juga berfirman, 

"Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa


kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya
(hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang bisa
digunakan untuk bersuci." (QS. al-Furqan: 48).

Ibnu Katsir mengatakan, "(Makna Maaan


Thahura), alat untuk bersuci." (Tafsir Ibnu Katsir,
6/114).
Karena itulah, diriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam apabila ada aliran air
hujan, beliau Shallallahu alaihi wa sallam berwudu
dengannya. Dari Yazid bin al-Had, bahwa apabila
ada air hujan mengalir di lembah, Nabi shallallahu
alaihi wa sallam mengatakan, "Keluarlah kalian
bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan
oleh Allah sebagai alat untuk bersuci". Kemudian
kami bersuci dengannya." (HR. Baihaqi 3/359 dan
dishahihkan dalam Irwa al-Ghalil no. 679)

Ibnu bi Hatim membawakan keterangan dari


Tsabit al-Bunani, "Saya masuk kota Bashrah
bersama Abul Aliyah di waktu cuaca hujan.
Ketika masuk bashrah, kami terkena kotoran.
Kemudian Abul Aliyah shalat. Sayapun
menegurnya. Lalu beliau membaca firman Allah,
(yang artinya), Kami turunkan dari langit air yang
bisa digunakan untuk bersuci. Lalu beliau
mengatakan, "Telah disucikan oleh air hujan."
(Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
6/115).

Ini semua menunjukkan bahwa air hujan adalah


air yang suci dan mensucikan, artinya bisa
digunakan alat bersuci, baik wudu maupun
mandi. Bagaimana bila genangan air coklat
karena terkena tanah? Air yang suci, jika
kemasukan benda suci, statusnya tetap suci.
Misalnya, air campur teh, tambah gula, dikasih
es, jadinya es Teh. Suci dan halal.

Permukaan tanah, statusnya suci. Dan bahkan,


bagian dari syariat Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam, permukaan tanah, bisa digunakan
sebagai alat bersuci, berupa tayamum. Dari Jabir
bin Abdillah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan lima
keistimewaan beliau, yang tidak dimiliki nabi-nabi
yang lain. Di antaranya, Bumi ini dijadikan
untukkan sebagai masjid (tempat salat) dan alat
bersuci. Karena itu, siapapun di antara umatku
yang menjumpai waktu salat, hendaknya dia segera
salat. (HR. Bukhari 335 & Muslim 1191).
Perubahan warna yang terjadi, tidak
mempengaruhi status kesucian air itu.

 
Pertanyaan 2
Q: Apa hukumnya air yang berubah
sifatnya dikarenakan oleh kondisi
tempatnya?
A: Pada intinya
Didalam fiqih selalunya ada pengecualian dari kaidah
umum yg berlaku, begitupun dalam permasalahan air
yg berubah salah satu sifatnya ini.
Berikut ini kami sebutkan beberapa air yg berubah
tapi masih suci mensucikan:
1. Air yg berubah karena lama tergenang
2. Air yg berubah karena sebab debu
3. Air yg berubah karena sebab garam laut
4. Air yg berubah karena sebab tanah, lumut, daun-
daun pepohonan dan segala sesuatu yg sulit dihindari
dari air termasuk halnya jika berubah karena cucian
kaki orang2 yg berwudhu didalam kolam wudhu
5. Air yg berubah karena disebabkan wadah tempat
air itu mengalir, seperti berbau besi atau berbau
paralon dll
6. Air yg berubah karena disebabkan wadah tempat
air itu menetap, seperti berbau semen karena
kolamnya yg baru dibuat
7. Air yg berubah karena sesuatu yg tdk bercampur
dg air yg disebut dg mujawir seperti minyak, kayu
gahru, kayu pohon dll.
Namun, ada penjelasan lebih lanjut

‫المياه التي يجوز بها التطهير سبع مياه ماء‬


‫السماء وماء البحر وماء النهر وماء البئر وماء‬
‫العين وماء الثلج وماء البرد‬
Artinya: Macam-macam Air Air yang dapat dibuat untuk
bersuci ada 7 (tujuh) yaitu air hujan (langit), air laut, air
sungai, air sumur, air sumber (mata air), air salju, air
dingin.

Dengan menjelaskan tentang bermacam-macam (jenis-


jenis) air yang bisa digunakan untuk bersuci.

(ٍ‫)ال ِم َياهُ الَّتِي َيج ُْو ُز ال َّت ْط ِه ْي ُر ِب َها َس ْب ُع ِم َياه‬


ْ

(Air yang diperbolehkan untuk digunakan dalam bersuci


ada 7 macam)

• PERTAMA
(‫) َما ُء السَّمآ ِء‬
(Air dari langit)

Yaitu hujan. Dalilnya adalah surat Al-Anfāl ayat 11. Allāh


Ta'āla berfirman:

‫َو ُي َن ِّز ُل َع َل ْي ُكم م َِّن ال َّس َما ِء َما ًء لِّي َُطه َِّر ُكم ِب ِه‬
"Dan Dia menurunkan kepada kalian air dari langit, agar
kalian bersuci dengannya."

• KEDUA

(‫)و َما ِء ْال َبحْ ِر‬


َ
(Air laut)

Atau ِ ‫ َما ُء ْال ِب َح‬dalam shahīh yang lain.


‫ار‬
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasūlullāh
shallallāhu 'alayhi wa sallam, yang diriwayatkan dalam
Ash-hābus Sunān, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa
sallam bersabda tatkala ditanya tentang air laut, Beliau
mengatakan:

َّ ‫َو‬
‫ ال ِح ُّل ميت ُت ُه‬، ُ‫الطهُو ُر ماُؤ ه‬
"Bahwasanya air laut tersebut adalah suci airnya dan
halal bangkainya."
Yaitu hewan air laut apabila menjadi bangkai, maka
halal.

• KETIGA

(‫)وماء النهر‬
(Air sungai)

Dan ini adalah ijma' para ulama bahwasanya air sungai


adalah yang suci.

Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

‫ار َغمْ ٍر‬ ِ ‫ت ْال َخ‬


ٍ ‫مْس َك َم َث ِل َن َه ٍر َج‬ َّ ‫َم َث ُل ال‬
ِ ‫ص َل َوا‬
َ ‫ب َأ َح ِد ُك ْم َي ْغ َتسِ ُل فيه ُك َّل َي ْو ٍم َخ‬
‫مْس‬ ِ ‫َع َلى َبا‬
‫س‬ qَ ‫ َو َما ُي ْبقِى َذل‬.» ‫ت‬
ِ ‫ِك م َِن ال ّد َن‬ ٍ ‫َمرَّ ا‬
"Permisalan shalat lima waktu adalah seperti sungai
yang mengalir yang melimpah ruah airnya di depan
pintu seseorang diantara kalian. Kemudian dia mandi
setiap hari 5 waktu, maka apakah tersisa sedikit pun
kotoran?."

(HR Muslim nomor 1072 versi Syarh Muslim nomor 668)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memisalkan


dengan air sungai yang digunakan untuk bersuci.
KEEMPAT

(‫)و َما ُء ْال ِبْئ ِر‬


َ
(Air sumur)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imām


Tirmidzi, dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa
sallam berwudhū' dari air sumur Budhā'ah. Dan tatkala
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ditanya, maka
Beliau mengatakan

‫ْال َما ُء اَل ُي َنجِّ ُس ُه َشيْ ٌء‬


"Bahwasanya air itu tidak menajiskan segala sesuatu
apapun."

• KELIMA

ِ ‫ ْال َعي‬ ‫) َو َما ُء‬


(‫ْن‬
(Mata air)

Yang maknanya sama dengan air laut dan air sungai,


maka hukumnya pun suci.

KEENAM

َّ ‫)و َما ُء‬


(‫الث ْل ِج‬ َ
(Air salju)

• KETUJUH

(ِ‫)و َما ُء ْال َب َرد‬


َ
(Air embun)

Dalilnya:
Hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang
do'a istiftah, ketika Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam
berdo'a:

َّ ‫اي ِب ْال َما ِء َو‬


‫ج‬qِ ‫الث ْل‬ َ ‫اغسِ ْل ِنيْ ِمنْ َخ َطا َي‬
ْ ‫اللهم‬
‫َو ْال َب َر ِد‬
"Ya Allāh, cucilah dosa-dosaku dengan air salju dan air
embun."
(HR Bukhari nomor 702 versi Fathul Bari nomor 744,
Muslim nomor 940 versi Syarh Muslim nomor 598)

 
Pertanyaan 3
Q : Apakah tetap dapat suci dan
menyucikan apabila air yang sudah
berubah warna dan rasanya namun
setelah diberi kaporit atau obat2an lain
sejenisnya, sifatnya menjadi asli.. spt
air PAM misalnya..?
A: Tetap suci dan mensucikan karena
kembali ke bentuk semula
Berikut ini keterangan para ulama mengenai ini, yakni sebagai
berikut :
1. Imam Syafi’i mengatakan :

‫َوِإ َذا َو َق َع فِي ْال َما ِء َشيْ ٌء َحالَ ٌل َف َغي ََّر َل ُه ِريحً ا‬
‫س‬َ ‫َأ ْو َطعْ مًا َو َل ْم َي ُك ِن ْال َما ُء مُسْ َت ْه َل ًكا فِي ِه َفالَ َبْأ‬
‫ضَأ ِب ِه َو َذل َِك َأنْ َي َق َع فِي ِه ْال َبانُ َأ ْو‬ َّ ‫َأنْ َي َت َو‬
‫ْال َقطِ َرانُ َف َي ْظ َه ُر ِري ُح ُه َأ ْو َما َأ ْش َب َه ُه َوِإنْ ُأخ َِذ‬
‫ار‬َ ‫ص‬ َ ‫ْق َأ ْو َع َس ٌل َف‬ ٌ ‫يب ِب ِه َل َبنٌ َأ ْو َس ِوي‬ َ ِ‫َما ٌء َفش‬
‫ضْأ ِب ِه ِالنَّ ْال َما َء‬ َّ ‫ْال َما ُء مُسْ َت ْه َل ًكا فِي ِه َل ْم ُي َت َو‬
ٍ ‫ك فِي ِه إ َّن َما ُي َقا ُل لِ َه َذا َما ُء َس ِوي‬
‫ْق َو َل َب ٍن‬ ٌ ‫مُسْ َت ْه َل‬
ٌ‫ش ْوب‬ ُ ‫َو َع َس ٍل َم‬
“Apabila jatuh dalam air sesuatu benda yang halal yang
dapat merubah air, bau atau rasanya. Sedangkan air itu
tidak larut dalam benda tersebut, maka tidak mengapa
berwudhu’ dengannya. Yang demikian adalah seperti
jatuh dalam air pohon kayu atau pelangkin, maka
muncullah baunya atau yang serupa dengan itu. Dan
seandainya diambil air dicampur dengan dengan susu,
tepung atau madu, maka air itu kemudian larut
dalamnya, maka tidak boleh berwudhu’ dengannya.
Karena air larut dalamnya, sehingga dikatakan bagi ini
air tepung, air susu atau air madu bercampur.”

        2.        Ibnu Qasim al-Ghazi mengatakan :

(‫أي ومن هذا القسم الما ُء المتغير )والمتغير‬


‫أح ُد أوصافه (بما) أي بشيء (خالطه من‬
‫الطاهرات) تغيُّرً ا يمنع إطالق اسم الماء‬
‫عليه؛ فإنه طاهر غير طهور‬،
“Dan air yang berubah : maksudnya termasuk dalam pembagian ini
adalah air yang berubah salah satu sifatnya dengan sebab sesuatu
benda yang suci yang bercampur (larut) dimana berubahnya
menghalangi nama air atasnya secara mutlaq. Maka air itu suci tidak
menyucikan.”

Pertanyaan 4
Q: Kalau mencuci baju dengan mesin
cuci itu bagaimana? apa termasuk suci
mensucikan? kalau engga baiknya
mencuci baju nya seperti apa?
A: Tetap suci mensucikan selama najis
ainiyahnya hilang kemudian kalau
disiram air lagi (dibilas) sebagai
penghilang najis hukmiyahnya.

Penjelasan lebih lanjut


Imam Ibnu Baz mengatakan,

‫إذا غسلت الثياب املختلطة مباء كثري يزيل آثار‬


‫ فإن الثياب كلها تطهر‬،‫ وال يتغري بالنجاسة‬,‫النجاسة‬
‫ ( إن املاء طهور ال‬:‫بذلك; لقوله صلى اهلل عليه وسلم‬
,‫ وأبو داود‬,‫ينجسه شيء ) أخرجه اإلمام أمحد‬
‫ بإسناد صحيح‬H‫ والرتمذي‬,‫والنسائي‬
Apabila pakaian dicuci dengan cara dicampur (yang najis),
dengan menggunakan air yang banyak, sehingga bisa
menghilangkan semua bekas najis, dan tidak mengalami
kontaminasi najis, maka semua pakaian dianggap suci.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Sesungguhnya air itu suci, dan tidak bisa berubah
menjadi najis karena benda lain.” Hadis riwayat Ahmad, Abu
Daud, Nasai, dan Turmudzi dengan sanad shahih.

Selanjutnya beliau mengingatkan,

‫ يف‬H‫والواجب على من يتوىل ذلك أن يتحرى وجيتهد‬


‫ وإذا‬.‫استعمال املاء الكايف لتطهري وتنظيف اجلميع‬
:‫علمت الثياب النجسة من الثياب الطاهرة فاألحوط‬
,‫أن تُغسل الثياب النجسة وحدها مبا يكفيها من املاء‬
‫ مع بقاء املاء على طهوريته مل‬,‫ويزيل أثر النجاسة‬
‫ واهلل ويل التوفيق‬.‫يتغري بالنجاسة‬
Dan wajib bagi yang mencuci, hendaknya berusaha
menggunakan air yang cukup, untuk mencuci dan
membersihkan semuanya. Jika anda bisa memilah antara
pakaian suci dan pakaian najis, maka yang lebih hati-hati, anda
cuci pakaian najis disendirikan, dengan air yang cukup, sampai
zat najisnya hilang, sehingga air untuk mencuci tetap suci,

tidak berubah dengan najis.

 
Pertanyaan 5
Q: Kalau untuk mengepel lantai agar
suci untuk tempat ibadah bagaimana
caranya yang benar?
A: Dihilangkan najis ainiyah nya dulu
sehingga hilang rasa, bau dan warna
lalu dibiarkan kering kemudian
disiram untuk menghilangkan najis
hukmiyah. Penejelasan lebih lanjut
Cara mengepel lantai yang benar adalah dengan melihat najis yang
ada pada lantai tersebut terlebih dahulu:

1. Apabila najisnya berupa najis hukumiyyah, yaitu najis yang tidak


berbenda dan sifat-sifatnya juga tidak ada, seperti Najis air kencing
yang sudah mengering dan tidak berbekas, maka disini cukup
dengan menggenangkan air mutlak padanya / memercikkan air
mutlak padanya sampai merata. Tidak cukup dengan hanya
mengusapnya.

2. Apabila najisnya berupa najis ainiyyah, yaitu najis yang berbenda


maka harus dibersihkan dengan cara mengalirkan air mutlak pada
lantai sampai bersih dari semua sifat-sifat nya najis.

Tapi yang lebih mudah, lebih baik kita menjadikan najis tersebut
sebagai najis hukumiyyah terlebih dahulu, yaitu dengan
membersihkan benda dan sifat-sifat najis dari lantai terlebih dahulu
dengan semisal kain kering, sampai lantai itu kering dan tidak ada
benda najis dan sifatnya, barulah kemudian kita menyucikan lantai
tersebut seperti cara menyucikan najis hukmiyyah, yaitu dengan
meratakan air mutlak padanya meskipun hanya sekali dan tidak
mengalir.

Sedangkan air untuk negepel yang sudah bercampur dengan cairan


pembersih, maka hukumnya adalah :
1. Apabila sudah mengalami perubahan yang parah pada salah satu
sifat air, yaitu bau, rasa dan warna, maka air tersebut tidak bisa
digunakan untuk menyucikan lantai yang najis, sebab hukumnya
sama dengan benda cair. Maka apabila air/ cairan tersebut tetap
dipakai ngepel [apalagi dengan cara diusapkan] maka akan
menyebabkan tersebarnya najis kemana-mana.

2. Apabila air tersebut tidak mengalami perubahan yang parah


[berubah sedikit atau tidak mengalami perubahan sama sekali],
maka air tersebut masih bisa dipakai untuk menyucikan lantai sesuai
dengan ara diatas / bukan diusapkan

Pertanyaan 6
Q: Mau nanya, tadon air kan ada yg
terbuat dr stainless steel, kl siang kan
kena matahari trus airnya jadi
hangat..apakah airnya masih suci
mensucikan?
A: Tetap suci mensucikn akn ttapi
makruh bila dpkai dl keadaan pnas
karna akan menimbulkan penyakit.
Jika pns hilang mk tdk makruh lgi.
Penjelasan lebih lanjut
Bentuk air suci, namun makruh untuk bersuci adalah air
musyammas. Musyammas [arab: ‫ ]الـمشمس‬dari kata
syamsun [arab: ‫ ]شمس‬yang artinya matahari. Disebut air
musyammas karena air ini terkena terik matahari.

Imam as-Syafii (w. 204 H) mengatakan,

‫وال أكره الماء المشمس إال من جهة الطب‬


“Saya tidak menilai makruh air musyammas, selain
karena alasan kesehatan.” (al-Umm, 1/16).

Dalam al-Fiqh al-Manhaji ’ala Madzhab as-Syafii


dinyatakan,

– ‫نقل الشافعي ـ رحمه هللا تعالى عن عمر‬


‫ أنه كان يكره االغتسال‬:- ‫رضي هللا عنه‬
‫ وال أكره الماء المشمس إال من‬:‫ وقال‬،‫به‬
‫ أنه يورث البرص‬:‫ ثم روى‬،‫جهة الطب‬
Imam as-Syafii mendapat riwayat dari Umar bin Khatab
radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau memakruhkan orang
yang mandi dengan air musyammas. Imam as-Syafii
mengatakan, ’Saya tidak menilai makruh air
musyammas, selain karena alasan kesehatan.’ Kemudian
diriwayatkan bahwa mandi dengan air musyammas bisa
menyebabkan kusta. (al-Fiqh al-Manhaji, Dr. Musthafa
Bagha, 1/32).

Kemudian Dr. Musthafa Bagha menyebutkan,


menyebutkan beberapa syarat di mana air musyammas
bisa dihukumi makruh,

    Air itu terkena terik matahari di daerah yang panas


    Air itu berada di wadah terbuat dari logam selain
emas dan perak
    Air itu digunakan untuk badan manudia, atau
binatang yang bisa terkena kusta, seperti kuda.

Q: Itu merujuk ke mazhab apa ya


hukumnya makruh? Soalnya kan
airnya berubah sifatnya bukannya
malah jd tidak mensucikan?
A: Madzhab syafi’i. Yang dimaksud
dengan sifatnya berubah itu adalah apa
jenis najisnya dan perubahannya
karena najis atau tidak
 
Pertanyaan 7
Q: Mau nanya, untuk bersuci di
bandara atau terminal yg pakai wc
kering itu seperti apa?
A: Bisa mensucikan asal kita yakin
atsyar najis yan keluar sudah hilang
Q: Kalo cipratannya? Biasanya
semprotannya susah
dikendalikan 
A: Maksud cipratan itu yg sudah
terkena kotoran terus nyiprat atau
cipratan dari air semprotannya td?
Q: Jd baiknya kita semprot -semprot
dulu ya sampe kira2 najisnya hilang,
baru abis itu wudhu?
A: Iya.kita siram dulu biar najisnya
hilang. Akan tetapi perlu diperhatikan
sisa najis yang menempel di tubuh
harus benar-benar bersih.
 
Pertanyaan 6
Q: Yang dikategorikan air suci itu apa
saja?
A: Semua yg keluar dari bumi dan
turun dari langit. Yaitu air hujan, air
salju, air embun, air sumber, air sumur,
air laut, air sungai.
 

Pertanyaan 7
Q: Jika bersuci dengan selain air,
misalnya debu maka debu suci seperti
apakah yg dimaksud?
A: Debu yg tidak terkena najis, tidak
tercampur pasir, tepung, kapur dan
bukan debu musta’mal (sudah
digunakan). Penjelasan lebih lanjut
Dalam buku terjemah Fathul Qarib , debu yang
digunakan untuk bertayamum adalah debu yang suci,
tidak basah, debu Yang didapat secara ghasab, dan debu
atau tanah kuburan yang belum digali. Dalam matan
kitab taqrib juga ditambahkan tentang syarat tayamum
yaitu tanah yang berdebu tanpa kapur atau pasir, kalau
debu itu bercampur dengan pasir maka tidak bisa
digunakan untuk tayamum, Sesuai dengan Fatwa Imam
Nawawi yang dimuat dalm KItab Al-Muhadzab dan At-
Tashih.  
Berbeda dengan syarat tayamum yang dimuat
dalm Ar-Raudhah dan Al-Fatawa, yang membolehkan
debu bercampur dengan kapur atau pasir untuk
bertayamum. Sah juga mengunkan pasir yang berdebu ,
penyusun menyebutkan:”At-Turab” mengecualikan
selain debu misalnya kapur dan batu merah (semen
merah).Juga menyebutkan suci (bith-Tahir),
mengecualikan debu yang najis, demikian pula
denganmenggunakn debu yang sudah dipakai
(musta’mal) maka itu tidak sah.
Tentang tayamum disebutkan dalam firman Allah
Surah Almaidah ayat 6:
‫ فلم‬.... ‫وان يأيها كنتم جنبا فاطهروا‬
‫تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا‬
“ (ketika berhadast besat atau kecil ) lalu kamu
tidak memperoleh air , maka bertayamumlah dengan
tanah (debu) yang bersih, sapulah muka dan tanganmu
dengan tanah tersebut… (QS. Al-Maidah: 6)

Pertanyaan 8
Q: Kalau misalnya terkena bencana
banjir, lalu sulit menemukan air bersih,
baiknya bertayamum saja atau
menggunakan air banjir tsb
A: Jika tidak membahayakan
pengguna dan jelas tidak ada najisnya
maka sebaiknya mengunakan air
tersebut. Penjelasan lebih lanjut
Air banjir masih bisa digunakan utuk bersuci, baik mandi atau
wudhu’. Maka dalam masalah ini ia tidak boleh bertayammum sebab
disini masih ada air.

Imam Al Khotib As Syarbini menyebutkan :

 (‫)وأن يغتسل أو يتوضأ في‬ ‫(السيل) ملا روى‬ ‫ماء‬


‫ لكن‬،‫الشافعي – رضي هللا تعالى عنه – في األم‬
– ‫ «أنه – صلى هللا عليه وسلم‬.‫بإسناد منقطع‬
‫ اخرجوا بنا إلى هذا‬:‫قال‬ ‫السيل‬ ‫كان إذا سال‬
‫ هللا‬J‫الذي جعله هللا طهورا فنتطهر به ونحمد‬
‫ »عليه‬.
Hendaknya mandi atau wudhu’ di air banjir, sebab terdapat sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam As Syafii di dalam kitab Al
Umm, tetapi Isnadnya Munqoti’ : sesungguhnya Rasulullah saw
ketika terjadi banjir bersabda : Keluarlah kalian bersama kami
menuju ini / banjir yang Allah swt jadikan sebagai alat bersuci, maka
kami bersuci dengannya dan memuji kepada-Nya.

 
Pertanyaan 9
Q: Apa itu najis ainiyah dan najis
hukmiyah?
A: Najis ainiyah adalah najis yang
masih terdapat warna, bau dan rasa.
Misalnya air kencing yang masih
basah di lantai
Najis hukmiyah adalah najis yang
sudah hilang bau rasa warna tapi
belum disucikan. Misal air kencing
yang telah kering di lantai
 
Pertanyaan 10
Q: Di tempat saya airnya itu suka mati
atau aliran airnya kecil sekali, maka
terkadang untuk wudhu/mandi besar
saya suka bingung. Karena air di bak
mandi belum 2 kolah. Apa sebaiknya
yg harus saya lakukan, apakah itu
termasuk keadaan darurat? Bisakah
saya mensucikan diri dengan memakai
air yg di bak mandi itu saja?
A: Bisa menggunakan air tersebut
dengan cara seperti ini:
Cara mengambil air: alat yg digunakan
harus dipastikan suci, sehingga air
dalam bak tidak mutanajis kemudian
baru dipakai mandi.
Intinya jangan sampai air tersebut
terkena najis dan bisa digunakan
mandi merata ke seluruh tubuh yang
menjadi syarat sah mandi. Cara
mandinya disiramkan ke tubuh, bukan
tubuhnya yang direndam kayak di
bathup.
 
Pertanyaan 11
Q: air yang di basahkan dalam tisu
apakah
bisa digunakan.untuk mensucikan….?
A: Bisa, jika airnya sekiranya masih
menetes. Kayak air dalam mangkuk
terus tisue nya dicelupin terus buat
sesuci. Penjelasan lebih lanjut :
Pertama, disyaratkan air untuk menghilangkan
najis. Tidak sah menghilangkannya dengan
selainnya, kecuali berdasarkan dalil. Hal
didasarkan pada sifat air yang telah Allah tetapkan
sebagai benda suci lagi menyucikan.
1.    Allah Ta'ala berfirman:

‫َويُنَ ِّز ُل َعلَ ْي ُك ْم ِم َن ال َّس َما ِء َما ًء لِيُطَهِّ َر ُك ْم بِ ِه‬


"Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit
untuk menyucikan kamu dengan hujan itu." (QS. Al-
Anfal: 11) dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan
kesucian air.
2.    Perintah Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam untuk menyiramkan air pada air seni
orang Arab Badui. Menurut mereka perintah ini
menunjukkan kewajiban, maka tidak sah
menghilangkan najis dengan selain air. (Muttafaq
'alaih)
3.    Perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu
Tsa’labah, untuk mencuci bejana-bejana ahli kitab
dengan air. (Muttaq ‘alaih)
4.    Al-Syaukani berkata, “Air adalah asal untuk
menyucikan najis. Karena syaari’ menyifatinya
sebagai benda yang suci. Tidak dapat dipindahkan
kepada selainya, kecuali ada ketetapan yang sah
darinya. Jika tidak ada, maka tidak boleh
menggantinya. Karena hal itu termasuk berpaling
dari sesuatu yang sudah dimaklumi kesuciannya
kepada sesuatu yang belum dimaklumi
kesuciannya. Hal itu berarti keluar dari jalur syariat.
Pendapat ini adalah yang masyhur dikalangan
madzhab Malik, Ahmad, dan al-syafi’i dalam qaul
jadidnya. Pendapat ini juga didukung oleh imam Al-
Syaukani dan orang-orang yang mengikutinya.
Kedua, sah menyucikan dengan segala benda
yang dapat menghilangkan najis dan tidak
disyaratkan air. Ini adalah madzhab Abu Hanifah,
satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Ahmad
serta Imam Al-Syafi’i dalam qaul qadimnya. Ibnu
Hazm, Ibnu Taimiyah, dan Syaikhul Utsaimin
berpendapat dengannya. Dan oleh Syaikh Abu
Malik Kamal bin al-Sayyid Salim dalam Shahih
Fiqih Sunnah merajihkan pendapat ini dengan
alasan sebagai berikut:
1.    Keberadaan air sebagai benda yang
menyucikan tidak menafikan benda lain yang bisa
menyucikan seperti air.
2.    Syariat hanya mmerintahkan untuk
membersihkan najis dengan air pada kasus tertentu
saja, dan tidaklah memerintah secara umum untuk
menghilangkan semua najis dengan air.
3.    Syariat telah mengizinkan untuk
membersihkan sebagian najis dengan sebagian air
seperti: beristinja’ dengan batu, mengosok sandal
dengan tanah, membersihkan ujung pakaian
dengan tanah, dan lainnya.
4.    Menghilangkan najis bukan termasuk bab
ma’mur (sesuatu yang diperintahkan) tetapi bab
ijtinab al-mahdzur (menjauhi sesuatu yang
dilarang). Pada saat seseorang terkena najis 
dengan sebab apapun, ketika itu berlakulah
hukumnya. Karenanya, untuk menghilangkan najis
tidak disyaratkan niat. Akan tetapi, jika najis
tersebut hilang dengan perbuatan seseorang
disertai dengan niat, maka ia mendapatkan pahala.
Jika najis hilang dengan sendirinya, tanpa sengaja
menghilangkannya, maka hilanglah mafsadah itu.
Tapi dalam hal ini ia tidak mendapatkan pahala dan
tidak pula mendapat dosa. Kemudian Syaikh Kamal
Sayyid salim menambahkan, “Jika najis hilang
dengan sesuatu, maka hukumnya juga hilang dan
benda kembali suci.” (Shahih Fiqih Sunnah: I/112-
113)

Q:  Kalau tisu kering diusapkan pada


dubur/qbul…apakah bisa
mensucikan…?
A: Itu td maksudnya tisue basah? kalau
tisue basah yang ada di toko-toko
menurut saya itu belum memenuhi
syarat untuk berSesuci sebab airnya
belum dikatakan mengalir

Q: Itu tadi tisu kering yang biasanya


ada disebelah wastafel/tempat cuci
tangan….biasanya dibasahin tisunya
sampai dari air yg mengalir pada kran,
kemudian tisunya basah, lalu
digunakan untuk.bersuci…
A: Tisue kering bisa dIgunakan dengan
syarat kotoran yg keluar dari dubur
tidak berpindah tempat / tidak menjalar
kemana-mana ato keluar sesuai
jalur. Tisue kering bisa digunakan
dengan syarat kotoran yg keluar dr
dubur tdk berpindah tempat / tdk
meanjlar kmn2 ato keluar sesuai
jalur. Jika menyalahi maka harus
dengan air. Tiga kali usapan tisu
kering.
Q: Kasyafahnya artinya apa cak? Jadi
tisu bisa sebagai gantinya batu ya cak?
A: Iya.benar. Kasyafah itu helm dari
kemaluan pria.
BAB SHALAT

1. Bagaimana riwayat perintah salat?

Perintah untuk melakukan salat terdapat di dalam Alquran,


antara lain, surah Al Baqarah (2):43

artinya "Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat". Di bagian lain,


Alquran juga menyebutkan kewajiban salat lima waktu seperti
kita pahami dari ayat berikut:

"Dirikanlah salat sejak sesudah matahari tergelincir sampai gelap


malam dan (dirikanlah juga salat) fajar (subuh). Sesungguhnya,
salat fajar (subuh) disaksikan (oleh malaikat) (QS al-Isra' (17):
78).

Terbaca di atas bahwa waktu yang disebutkan oleh ayat itu ada
tiga, yakni sesudah matahari tergelincir, gelapnya malam, dan
waktu fajar atau subuh. Yang dimaksudkan dengan "sesudah
matahari tergelincir" adalah waktu Zuhur dan waktu Asar;
"gelapnya malam" adalah waktu Maghrib dan Isya; "fajar" atau
subuh adalah waktu salat Subuh.

Terdapat puluhan hadis yang menguraikan penjelasan


Rasulullah SAW. tentang adanya lima waktu salat. Di antaranya
dalam Shahih Bukhari disebutkan, ada seseorang datang kepada
Rasulullah SAW dan bertanya tentang Islam. Rasulullah
menjawab, "Salat lima waktu sehari semalam." Di dalam hadis itu
Rasulullah juga menerangkan tentang puasa dan zakat. 

2. Apa itu makmum masbuk dan bagaimana hukum


makmum yang gerakannya mendahului imam?

Seorang makmum dikatakan masbuk apabila tertinggal satu


rakaat atau lebih.

Makmum tidak boleh mendahului atau membarengi gerakan


imam. Banyak hadis yang mencela makmum yang mendahului
atau menyamai gerakan imam, di antaranya yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam
takut kalau Allah akan mengganti kepalanya dengan kepala
keledai?" (HR Muslim). Adapun penjelasan lebih lanjut

‫أيها الناس إني إمامكم فال تسبقوني بالركوع‬


‫وال بالسجود وال بالقيام وال باالنصراف‬
‫فإني أراكم أمامي ومن خلفي‬
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah imam
kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dalah hal
rukuk, sujud, berdiri, atau salam, sesungguhnya aku dapat
melihat kalian dari depanku dan dari belakangku”.
(Shohih Muslim, 1/320).

Sedang dalam Al-Bukhori meriwayatkan di dalam


shohihnya, dari Abu Huroiroh r.a, dari Nabi
Muhammad SAW, beliau bersabda;
‫اما يخشى احدكم اذا رفع راسه قبل االمام ان‬
‫يحول هللا راسه راس حمار او يجعل هللا‬
‫صورته صورة حمار ؟‬
“Tidakkah salah seorang di antara kalian takut jika dia
mengangkat kepalanya sebelum imam, maka Allah akan
merubah kepalanya menjadi kepala keledai, atau Allah akan
menjadikan bentuknya seperti bentuk keledai?”. (Shohih Al-
Bukhori, 2/182-183).

3. Pentingkah meluruskan dan merapatkan saf, dan apa


hukumnya bagi yang melalaikan? 

Meluruskan dan merapatkan barisan (saf) salat merupakan


anjuran Nabi SAW untuk menyempurnakan salat jamaah. Salat
jamaah tetap sah meskipun barisan kurang lurus atau kurang
rapat, tapi ia menjadi kurang sempurna dalam arti nilainya
berkurang. Penjelasan lebih lanjut:
ِ ِ ُ ‫َكا َن رس‬
‫ص ُفو َفنَا‬ ُ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم يُ َس ِّوي‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ
Hَ ‫َحىَّت َكَأمَّنَا يُ َس ِّوي هِب َا الْ ِق َد‬
‫اح َحىَّت َرَأى َأنَّا قَ ْد َع َق ْلنَا‬
ُ‫َعْنه‬
‫مُثَّ َخَر َج َي ْو ًما َف َق َام َحىَّت َك َاد يُ َكِّب ُر َفَرَأى َر ُجاًل‬
‫ال ِعبَ َاد اللَّ ِه‬
َ ‫ف َف َق‬ َّ ‫ص ْد ُرهُ ِم ْن‬
ِّ ‫الص‬ ِ
َ ‫بَاديًا‬
ِ ‫لَتس ُّو َّن ص ُفوفَ ُكم َأو لَيخالَِف َّن اللَّه ب وج‬
‫وه ُك ْم‬ ُ ُ َ ‫ُ َنْي‬ َُ ْ ْ ُ َُ
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam selalu meluruskan shaf kami,
sehingga beliau seolah-oleh meratakan anak panah sehingga beliau melihat
bahwa kami telah memahaminya. Kemudian suatu hari beliau keluar (untuk
menunaikan sholat), lalu berdiri hingga ketika hampir mengucapkan takbir,
beliau melihat seorang lelaki dadanya keluar (menonjol) dari shaf, maka
beliau bersabda: “”Hai hamba-hamba Allah, kalian benar-benar
meluruskan shaf kalian (jika tidak) Allah akan (menimbulkan perselisihan)
di antara wajah-wajah kalian.” (HR Muslim dan Ahmad)

Berdasarkan hadits di atas, jelas Nabi shollallahu ’alaih wa


sallam memperingatkan kemungkinan terjadinya perselisihan antara
wajah-wajah para sahabat jika mereka mengabaikan lurusnya
shaf Perselisihan antara wajah dapat juga diartikan sebagai
munculnya perbedaan cara pandang dalam berbagai masalah
kehidupan. Secara jangka panjang hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya perpecahan di tengah tubuh ummat Islam. Saudaraku, jika
kita mau jujur, persoalan kerapihan shaf sholat berjamaah di banyak
masjid di negeri kita tampaknya sudah kronis. Mungkinkah ini yang
menyebabkan sulitnya kita ummat Islam dapat bersatu menghadapi
musuh-musuh Islam dewasa ini?
Perlu disadari juga bahwa lurusnya shaf sangat mempengaruhi ke-
afdhol-an sholat berjamaah yang kita lakukan dalam penilaian Allah.
Sehingga Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam sampai bersabda:

‫وف ِم ْن ِإقَ َام ِة الصَّاَل ِة‬


ِ ‫الص ُف‬
ُّ َ‫م فَِإ َّن تَ ْس ِويَة‬Hْ ‫ص ُفوفَ ُك‬
ُ ‫َس ُّووا‬
“Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk tegaknya
sholat.” (HR Bukhary)

‫وف ِم ْن مَتَ ِام الصَّاَل ِة‬


ِ ‫الص ُف‬
ُّ َ‫ص ُفوفَ ُك ْم فَِإ َّن تَ ْس ِويَة‬
ُ ‫َس ُّووا‬
“Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan
sholat.” (HR Ibnu Majah)

Konon menurut suatu riwayat Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu


’anhu sangat tegas dalam masalah ini sehingga beliau pernah
meluruskan shaf barisan sholat berjamaah dengan menggunakan
pedangnya…! Oleh karenanya Nabi shollallahu ’alaih wa
sallam pernah menyuruh para sahabat agar berbaris sebagaimana
berbarisnya para malaikat secara teratur di hadapan Allah. Sehingga
para sahabat heran dan bertanya seperti apakah barisan para
malaikat di hadapan Allah itu?

‫ف الْ َماَل ِئ َكةُ ِعْن َد َرهِّبِ ْم َج َّل َو َعَّز‬ ُّ ‫ص‬ُ َ‫ص ُّفو َن َك َما ت‬ُ َ‫َأاَل ت‬
‫ف الْ َماَل ِئ َكةُ ِعْن َد َرهِّبِ ْم‬
ُّ ‫ص‬ ُ َ‫ف ت‬َ ‫ُق ْلنَا َو َكْي‬
‫ف‬ َّ ‫اصو َن يِف‬
ِّ ‫الص‬ ُّ ‫َّمةَ َو َيَتَر‬
َ ‫وف الْ ُم َقد‬ ُّ ‫ال يُتِ ُّمو َن‬
َ ‫الص ُف‬ َ َ‫ق‬
“Tidakkah kalian berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat
(dengan rapih) di hadapan Rabb mereka?” Maka kami bertanya: ”Ya
Rasulullah, bagaimanakah berbarisnya para malaikat di hadapan Rabb
mereka?” Beliau bersabda: “Mereka menyempurnakan shaf-shaf pertama
dan merapatkan shaf.” (HR Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah dan
Ahmad)
Pada kesempatan lain Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam pernah
memperingatkan para sahabat agar menutup celah-celah di antara
shaf sholat berjamaah mereka dengan saling berdekatan satu sama
lain antara mereka. Sebab bilamana celah-celah tersebut dibiarkan
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dapat melihat –dengan izin
Allah- syetan menyelinap di dalam barisan orang-orang yang sholat
berjamaah laksana anak-anak kambing!

ِ َ‫اَأْلعن‬
‫اق‬ ْ ِ‫م َوقَا ِربُوا َبْيَن َها َو َحاذُوا ب‬Hْ ‫ص ُفوفَ ُك‬
ُ ‫صوا‬
ُّ ‫ُر‬
‫َأَلرى الشَّْيطَا َن‬ ‫ِ ِ ِ ِ ِإ‬ ِ َّ
َ ‫ َن ْفسي بيَده يِّن‬H‫َف َوالذي‬
‫ف‬ُ ‫ف َكَأنَّ َها احْلَ َذ‬ َّ ‫يَ ْد ُخ ُل ِم ْن َخلَ ِل‬
ِّ ‫الص‬
“Rapatkanlah shaf-shaf kalian, saling berdekatanlah, dan luruskanlah
dengan leher-leher (kalian), karena demi Dzat yang jiwaku berada di
dalam genggamannya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah-
celah shaf seakan-akan dia adalah kambing kecil.” (HR Abu Dawud)

‫َوَأقِ ِم الصَّاَل َة ِإ َّن الصَّاَل َة َتْن َهى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َوالْ ُمْن َك ِر‬
”… dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS Al-Ankabut ayat 45)
Kadang kita malah menjumpai kenyataan dimana saat kita
berkeinginan untuk merapatkan shaf dengan mendekatkan diri
kepada tetangga sholat kita, malah saudara kita itu malah
menjauhkan badannya dari kita. Sehingga shaf tidak kunjung rapat,
selalu saja ada celah-celah di antara orang-orang yang sholat.
Memang ini semua memerlukan edukasi ummat secara massif agar
kita semua dapat benar-benar meraih sholat yang berbuah akhlaqul
karimah. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa
sallam dalam salah satu hadits beliau. Bilamana seseorang
memutuskan shaf sholat, maka sama saja ia mengundang
diputusnya rahmat Allah atas dirinya.Sebaliknya bila seseorang
menyambung shaf sholat yang tadinya terputus justeru dia akan
memperoleh sambungan rahmat Allah atas dirinya.

‫ص ًّفا قَطَ َعهُ اللَّهُ َعَّز‬


َ ‫صلَهُ اللَّهُ َو َم ْن قَطَ َع‬
َ ‫ص ًّفا َو‬
َ ‫ص َل‬
َ ‫َم ْن َو‬
‫َو َج َّل‬
“Barangsiapa menyambung suatu shaf, niscaya Allah menyambungnya
(dengan rahmatNya). Dan barangsiapa yang memutuskan suatu shaf,
niscaya Allah memutuskannya (dari rahmatNya).” (HR An-Nasai)
4. Ketika imam membaca surat pendek, apa yang harus
dilakukan makmum, diam menyimak atau membaca Al
Fatihah?

Menyimak dan mendengarkan baik-baik bacaan imam.


Penjelasan lebih lanjut:
Kalau sekiranya imam tidak berhenti lama setelah bacaan Al-Fatihah, maka makmum tetap
harus membaca Al-Fatihah. Meskipun bersama bacaan surat imam. Karena ini yang
diperintahkan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam kepada para shahabatnya dalam shalat
fajar.
Diriwayatkan Abu Dawud, (823) dari Ubadah bin Shomit radhiallahu anhu berkata;

‫ه‬ِ --‫ه عَ لَ ْي‬ ُ َّ‫لَّى الل‬--‫ص‬ َ ‫ه‬ ِ َّ‫ول الل‬ ِ --‫س‬ ُ ‫ف َر‬-- َ ‫خ ْل‬ َ ‫ُك َّنا‬
ِ َّ‫ول الل‬
‫ه‬ ُ -‫س‬ ُ ‫ َرَأ َر‬-‫ق‬ َ ‫ف‬َ ،‫ر‬ ِ -‫َج‬ْ ‫اَل ِة ا ْلف‬- ‫ص‬ َ ‫م فِي‬ َ َّ‫ل‬- ‫س‬ َ ‫َو‬
‫ه ا ْل ِق َرا َء ُة‬ ِ ‫ت عَ لَ ْي‬ ْ َ‫ ف َث ُقل‬، ‫م‬َ َ َّ‫سل‬َ ‫ه َو‬ ِ ‫علَ ْي‬
َ ‫ه‬ ُ َّ‫صلَّى الل‬ َ
‫ف‬---
َ ‫خ ْل‬ َ َ‫ َر ُءون‬---ْ‫م تَق‬ ْ ‫ك‬ُ َّ‫عل‬َ َ‫ ( ل‬: ‫ل‬ َ ‫ا‬---‫ق‬ َ ‫غ‬َ ‫ َر‬---‫ف‬ َ ‫ما‬ َّ َ‫فل‬ َ ،
‫ اَل‬: ‫ل‬ َ ‫ا‬--‫ق‬ َ .‫ه‬ ِ َّ‫ل الل‬ َ ‫سو‬ ُ ‫ يَا َر‬، ‫َم‬ ْ ‫ نَع‬: ‫م ! ُق ْل َنا‬ ْ ‫ك‬ ُ ‫م‬ ِ ‫ما‬ َ ‫ِإ‬
‫ن‬ ْ ‫م‬ َ
َ ِ‫ ة ل‬- ‫ص‬ ‫اَل‬ َ ‫اَل‬ ‫َّه‬ َ
ُ ‫ فِإن‬، ِ‫اب‬--‫ة الكِ َت‬ ْ ِ ‫ح‬ ‫اَّل‬
َ ِ‫تَ ْفعلُوا ِإ بِفَات‬ َ
‫ها‬ َ ِ‫م يَ ْق َرْأ ب‬ ْ َ‫ل‬
“Dahulu kami shalat dibelakang Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dalam shalat fajar.
Maka Rasulullah sallalalhu alaihi wa sallam membacanya sehingga berat bagi beliau (ada)
bacaan (lain). Ketika selesai, beliau bersabda, “Kayaknya anda semua membaca di
belakang imam. Kami menjawab, “Ya wahai Rasulullah. Beliau bersabda, “Jangan lakukan
kecuali Fatihatul Kitab (surat Al-Fatihah) karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak
membacanya.

5. Apa yang harus makmum lakukan jika imam sudah


menyelesaikan bacaannya dan melanjutkan ke gerakan
berikutnya sedangkan makmum masih belum
menyelesaikan bacaan?

Mengikuti imam segera setelah gerakan imam, namun


disarankan agar imam tidak terlalu cepat dan tidak pula terlalu
lambat agar dapat diikuti oleh makmum yang bermacam-macam
kemampuan bacaannya. Penjelasan lebih lanjut:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َوِإ َذا‬، ‫ع فَ ْار َكعُوا‬Hَ ‫ فَِإ َذا َر َك‬، ‫ِإمَّنَا ُجعِ َل اِإل َم ُام لُِيْؤ مَتَّ بِِه‬
‫ع فَ ْار َفعُوا‬Hَ َ‫َرف‬
“Sesungguhnya imam ditunjuk untuk diikuti. Jika dia rukuk maka ikutlah rukuk, dan jika
dia bangkit maka ikutlah bangkit.” (Muttafaq ‘alaihi)

Karena itu, dalam posisi sebagai makmum, apapun keadaannya, seseorang harus
mengikuti semua gerakan imam, meskipun bisa jadi, dia belum menyelesaikan
bacaannya. Kecuali, jika imam melakukan pembatal shalat dan makmum mengetahuinya.
Misalnya: Imam kentut dan didengar makmum, atau imam tidak thumakninah
(gerakannya terlalu cepat), sehingga ruas-ruas tulang belum menempati posisi yang
sempurna untuk masing-masing rukun. Dalam kondisi semacam ini, makmum
disyariatkan untuk mufaraqah (memisahkan diri dari jamaah), kemudian shalat sendiri.

Sementara, untuk kasus yang dialami Penanya, hal tersebut bukan termasuk pembatal
shalat, karena bisa jadi, bacaan imam benar, hanya saja lebih cepat dibandingkan bacaan
makmumnya. Meskipun demikian, makmum wajib mengikuti imam dan makmum tidak
boleh menyelesaikan bacaannya, karena itu akan menyebabkan makmum tertinggal dari
gerakan imam, sehingga makmum tidak dianggap mengikuti imam

6. Bagaimana Rasulullah menjamak salatnya?

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim


dari sahabat Nabi, Anas bin Malik, dinyatakan bahwa Rasulullah
SAW —bila melakukan perjalanan sebelum masuknya waktu
Zuhur— menunda salat Zuhur ke waktu Asar, dan kemudian
melaksanakan keduanya dengan jamak.

Akan tetapi, bila telah masuk waktu Zuhur sebelum berangkat,


beliau mengerjakan salat Zuhur (saja) terlebih dahulu. Demikian
pengamalan Rasul SAW dalam menjamak salat Zuhur dan Asar.
Salat dapat dilakukan di atas kendaraan, tidak harus menunggu
sehingga mengakibatkan habisnya waktu.

7. Apa boleh salat Subuh setelah terbit Matahari karena


malamnya berhubungan dengan istri tapi malas mandi
waktu Subuh?
Batas akhir waktu salat Subuh adalah terbitnya matahari. Salat
Subuh tidak bisa dilakukan setelah terbit matahari, apalagi
'hanya' karena alasan malas mandi setelah berhubungan suami
istri. Demikian, wallahu a'lam. Penjelasan lebih lanjut:
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صالَ ِة‬ ُ ْ‫َبي َْن الرَّ ج ُِل َو َبي َْن ال ِّشرْ كِ َو ْال ُك ْف ِر َتر‬
َّ ‫ك ال‬
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim
no. 257) 
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ ‫ْال َع ْه ُد الَّذِى َب ْي َن َنا َو َب ْي َن ُه ُم ال‬


‫ َف َمنْ َت َر َك َها‬qُ‫صالَة‬
‫َف َق ْد َك َف َر‬
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah
kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul
Mashobih no. 574)
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صاَل ةُ َفِإ َذا‬ ِ ‫الع ْب ِد َو َبي َْن ال ُك ْف ِر َواِإل ْي َم‬


َّ ‫ان ال‬ َ ‫َبي َْن‬
َ ‫َت َر َك َها َف َق ْد َأ ْش َر‬
‫ك‬
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya,
maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits
ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566) 
Oleh karena itu, orang-orang yang meninggalkan shalat seperti yang kami contohkan di atas haruslah bertaubat
dengan penuh penyesalan, bertekad tidak akan mengulanginya lagi dan dia harus kembali menunaikan setiap
shalat pada waktunya. 

Namun, kalau bangun di pagi hari ketika matahari terbit tidak menjadi kebiasaan, maka dia harus
mengerjakan shalat tersebut ketika dia ingat atau ketika dia bangun dari tidurnya. 
Kita dapat melihat hal ini dalam hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ‫ار ُت َها َأن‬


َ ‫صالَ ًة َأ ْو َنا َم َع ْن َها َف َك َّف‬ َ ‫َمنْ َنسِ َى‬
‫ُصلِّ َي َها ِإ َذا َذ َك َر َها‬
َ ‫ي‬
“Barangsiapa yang lupa atau tertidur dari shalat, maka kafaroh (tebusannya) adalah dia shalat ketika dia ingat.”
(Muttafaqun’ alaih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Lihat Misykatul Mashobih yang ditahqiq oleh Syaikh Al
Albani) 
Dari Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ فإذا نسي أحدكم‬. ‫ليس في النوم تفريط إنما التفريط في اليقظة‬


q‫ ( وأقم‬: ‫ إذا ذكرها فإن هللا تعالى قال‬q‫صالة أو نام عنها فليصلها‬
) ‫الصالة لذكري‬
“Jika seseorang tertidur, itu bukanlah berarti lalai dari shalat. Yang disebut lalai adalah jika seseorang dalam
keadaan sadar (sudah terbangun). Jika seseorang itu lupa atau tertidur, maka segeralah dia shalat ketika dia
ingat. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tunaikanlah shalat ketika seseorang itu ingat.” (QS. Thaha :
14).” (HR. Muslim. Shohih. Lihat Misykatul Mashobih yang ditahqiq oleh Syaikh Al Albani)

Sumber : https://rumaysho.com/487-bagaimana-jika-telat-shalat-shubuh.html

8. Sah atau tidak salat orang bertato?

Memang, Islam melarang tato, bahkan mengutuk perbuatan ini


dengan kutukan yang amat besar, apalagi pada masa Nabi
Muhammad SAW di mana tato yang 'menghiasi' badan
sementara orang-orang musyrik berupa gambar-gambar yang
mengandung lambang mempersekutukan Allah.

Tato harus dihilangkan. Namun demikian, agama Islam tidak


membebani seseorang melebihi kemampuannya sehingga kalau
bekas tato itu telah diusahakan untuk dihapus tetapi tidak
berhasil, atau karena yang bersangkutan tidak mampu memikul
biaya menghapusnya, maka insya Allah, Tuhan akan
mengampuninya selama yang bersangkutan telah menyadari
kesalahannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, dan
memohon ampunan-Nya. Salatnya pun insya Allah akan diterima
oleh-Nya. Penjelasan lebih lanjut:

Pertama, menggunakan tato hukumya haram,


dan terdapat larangan khusus dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu
Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau
mengatakan:

‫مِش‬ ‫لَعن النَّيِب صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم مِش‬


َ‫الوا َةَ َوامل ْسَت ْو َة‬
َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُّ َ َ
ُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat
orang yang mentato dan yang minta diberi
tato.” (HR. Bukhari no. 5347).

Karena itu, kewajiban orang yang memiliki


tato di tubuhnya, dia harus bertaubat kepada
Allah, memohon ampunan dan menyesali
perbuatannya. Kemudian berusaha
menghilangkan tato yang menempel di
badannya, selama tidak memberatkan dirinya.
Namun jika upaya menghilangkan tato ini
membahayakan dirinya atau terlalu
memberatkan dirinya maka cukup bertaubat
dengan penuh penyesalan dan insya Allah
shalatnya sah.

An-Nawawi menukil keterangan Imam ar-


Rafi’i:

‫ىف تعليق الفرا َأنَّهُ يَُز ُال الْو ْشم بِالْعِاَل ِج فَِإ ْن مَلْ مُيْ ِك ْن إاَّل‬
ُ َ
‫بِاجْلُْر ِح اَل جُيَْر ُح َواَل إمْثَ َعلَْي ِه بعد التوبة‬

“Dalam Ta’liq al-Farra’ dinyatakan: tato harus


dihilangkan dengan diobati. Jika tidak mungkin
dihilangkan kecuali harus dilukai, maka tidak
perlu dilukai, dan tidak ada dosa setelah
bertaubat.” (al-Majmu’, 3:139).

Disadur dari Fatawa Syabakah Islamiyah, no.


28110

Dalam Fatawa yang lain, dinyatakan:

‫فال خيفى عليك أن وضع الوشم على اجلسد ذنب‬


‫ ومع ذلك ال تأثري له على صحة الصالة‬،‫عظيم‬

Tidak diragukan bahwa mentato badan adalah


dosa besar, meskipun demikian hal itu tidak
ada pengaruhnya dengan keabsahan shalat.

9. Batalkah wudu jika bersentuhan dengan wanita (istri atau


bukan istri) dan sebaliknya?

Ada satu hadis yang bersumber dari A'isyah RA yang


menyatakan bahwa Rasul SAW mencium istri beliau, kemudian
menuju ke masjid untuk salat tanpa berwudu. Hadis ini menjadi
pegangan sementara ulama untuk menilai bahwa ciuman
seorang suami kepada istrinya tidak membatalkan wudu.

Akan tetapi, ada juga ulama yang menilai, jangankan ciuman,


persentuhan pria dan wanita pun sudah membatalkan wudhu,
baik disertai syahwat maupun tidak.

Pandangan moderat mengatakan bahwa wudu baru batal jika


lahir rangsangan syahwat akibat persentuhan atau ciuman itu.
Perbedaan pendapat ini lahir dari perbedaan penilaian terhadap
hadis-hadis Nabi SAW. Penjelasan:

Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini


sehingga terpolar menjadi berbagai pendapat yang cukup
banyak. (Lihat Al-Majmu’ 2/34 Imam Nawawi). Di sini kami akan
sebutkan tiga pendapat saja:

Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu


secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada
pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu.
Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berhujjah
dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah
firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.

ْ ‫َأ ْو الَ َم‬


َ ِّ‫ستُم الن‬
‫سآ َء‬
Atau kamu telah berjima’ dengan istri. (QS. An-Nisa’: 43).
ْ ‫الَ َم‬ dalam ayat tersebut dengan
Mereka mengartikan kata ‫ستُ ُم‬
menyentuh. (Lihat Al-Umm 1/30 oleh Imam Syafi’i dan Al-Majmu’
2/35 oleh Imam Nawawi).
.

Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu


secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan
beberapa dalil berikut:
 Dalil Pertama:
Asal wudhu seorang adalah suci dan tidak batal sehingga ada
dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya, sedangkan hal itu
tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri
adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu
membatalkan wudhu, tentu Nabi n akan menjelaskan kepada
umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada
seorangpun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena
sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
21/235).

 Dalil Kedua:
Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak
berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali anda kan? Lalu
Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178,
Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan Al-Albani dalam Al-
Misykah: 323. Lihat pembelaan hadits ini secara luas dalam At-
Tamhid 8/504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1/135-138
Syaikh Ahmad Syakir).
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah
membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian
ditegaskan oleh Syaikh Al-Allamah As-Sindi dalam Hasyiyah
Sunan Nasa’i 1/104.

 Dalil Ketiga:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di
arah kiblatnya. Apabila beliau sujud maka beliau menyentuhku lalu
sayapun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku
membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: “Rumah-
rumah saat itu masih belum punya lampu”. (HR. Bukhari: 382 dan
Muslim: 512).
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah
membatalkan wudhu. Adapun takwil Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari 1/638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada
pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini
sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadits dan
takalluf (menyusahkan diri). (Periksa Nailul Authar Asy-Syaukani
1/187, Subulus Salam As-Shan’ani 1/136, Tuhfatul Ahwadzi Al-
Mubarakfuri 1/239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1/142).

 Dalil Keempat:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah
kehilangan Rasulullah n dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu
tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau
shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-
Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).
Hadits ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah
membatalkan wudhu. Adapun takwil Imam Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim 4/152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena
ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadits. (Lihat At-
Tamhid 8/501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir Al-Qurthubi 5/146).

 Dalil Kelima:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah


Rasulullah n melakukan shalat sedangkan saya tidur
terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila
beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku
dengan kakinya”.
(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya
shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi
dalam Al-Majmu’ 2/35).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah


membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis hal. 48: “Sanadnya
shahih, hadits ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum”
dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh
Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu
lagi 

10. Apakah salat Duha harus membaca as-Syam dan adh-


Dhuha?

Salat duha boleh membaca surat apa saja yang dikuasai, tidak
harus asy-Syams dan adh-Dhuha. Penjelasan lebih lanjut

H‫ل‬Hِ H‫َّْي‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ ِي‬Hَ‫ث‬Hُ‫ل‬Hُ‫ ث‬H‫ ْن‬H‫ ِم‬Hٰ‫ ىَن‬H‫ َأ ْد‬H‫ ُم‬H‫و‬H‫ ُق‬H‫ َت‬H‫ك‬ Hَ َّH‫ َأن‬H‫ ُم‬Hَ‫ل‬H‫ ْع‬H‫ َي‬H‫ك‬ Hَ َّH‫ب‬H‫ َر‬Hَّ‫ِإ ن‬ 
Hُ‫َّه‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ا‬H‫و‬Hَ yۚ H‫ك‬ Hَ H‫ َع‬H‫ َم‬H‫ َن‬H‫ي‬H‫َّ ِذ‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ َن‬H‫ ِم‬Hٌ‫ة‬H‫ِئ َف‬H‫ا‬Hَ‫ط‬H‫و‬Hَ Hُ‫ه‬Hَ‫ث‬Hُ‫ل‬Hُ‫ ث‬H‫و‬Hَ Hُ‫ ه‬H‫ َف‬H‫ص‬ ِ
ْ H‫ن‬H‫و‬Hَ
ِ
H‫ب‬Hَ H‫ا‬Hَ‫ ت‬H‫ َف‬Hُ‫ه‬H‫و‬H‫ص‬ ُ Hْ‫ حُت‬H‫ ْن‬Hَ‫ ل‬H‫ َأ ْن‬H‫ َم‬H‫ل‬H‫ َع‬yۚ H‫ َر‬H‫ا‬H‫نَّ َه‬H‫ل‬H‫ا‬H‫و‬Hَ H‫ َل‬H‫َّْي‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ ُر‬H‫ ِّد‬H‫ َق‬Hُ‫ي‬
H‫ َأ ْن‬H‫ َم‬Hِ‫ ل‬H‫ َع‬yۚ H‫ ِن‬H‫ آ‬H‫ر‬Hْ H‫ ُق‬Hْ‫ل‬H‫ ا‬H‫ َن‬H‫ ِم‬H‫ َر‬Hَّ‫س‬Hَ‫ ي‬H‫ َت‬H‫ا‬H‫ َم‬H‫ا‬H‫و‬Hُ‫ء‬H‫ق َر‬Hْ H‫ا‬Hَ‫ ف‬yۖ H‫ ْم‬H‫ ُك‬H‫ْي‬Hَ‫ ل‬H‫َع‬
‫ يِف‬H‫ َن‬H‫و‬Hُ‫ب‬H‫ ِر‬H‫ض‬ْ Hَ‫ ي‬H‫ َن‬H‫و‬H‫ ُر‬H‫ َخ‬H‫ آ‬H‫و‬Hَ yۙ H‫ى‬Hٰ H‫ض‬ ِ
َ H‫ر‬Hْ H‫ َم‬H‫ ْم‬H‫ ُك‬H‫ ْن‬H‫ م‬H‫ ُن‬H‫و‬H‫ ُك‬Hَ‫ي‬H‫َس‬
H‫ َن‬H‫و‬H‫ ُر‬H‫ َخ‬H‫ آ‬H‫و‬Hَ yۙ H‫َّ ِه‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ل‬Hِ H‫ض‬
ْ Hَ‫ ف‬H‫ ْن‬H‫ ِم‬H‫ َن‬H‫و‬Hُ‫ت غ‬HHَ H‫ ْب‬H‫ َي‬H‫ض‬ Hِ H‫ر‬Hْ ‫َأْل‬H‫ا‬
yۚ Hُ‫ ه‬H‫ ْن‬H‫ ِم‬H‫ َر‬Hَّ‫س‬Hَ‫ ي‬H‫ َت‬H‫ا‬H‫ َم‬H‫ا‬H‫و‬Hُ‫ء‬H‫ق َر‬Hْ H‫ا‬Hَ‫ ف‬yۖ H‫َّ ِه‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ل‬Hِ H‫ي‬Hِ‫ب‬H‫ يِف َس‬H‫ َن‬H‫و‬Hُ‫ل‬Hِ‫ت‬H‫ا‬H‫ َق‬Hُ‫ي‬
ِ
Hَ‫َّه‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ا‬H‫و‬H‫ض‬ُ H‫ ِر‬Hْ‫َأق‬H‫و‬Hَ H‫ َة‬H‫ا‬H‫ َك‬H‫َّز‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ا‬H‫و‬Hُ‫ت‬H‫ آ‬H‫و‬Hَ H‫َّ اَل َة‬H‫ص‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ا‬H‫و‬H‫ ُم‬H‫ي‬H‫َأق‬H‫و‬Hَ
Hٍ ‫ رْي‬H‫ َخ‬H‫ ْن‬H‫ ِم‬H‫ ْم‬H‫ ُك‬H‫س‬Hِ H‫ ُف‬H‫ َأِل ْن‬H‫ا‬H‫و‬H‫ ُم‬H‫ ِّد‬H‫ َق‬H‫ ُت‬H‫ا‬H‫ َم‬H‫و‬Hَ yۚ H‫ًا‬H‫ن‬H‫ َس‬H‫ َح‬H‫ا‬H‫ض‬ ً H‫ر‬Hْ H‫َق‬
yۚ H‫ا‬H‫ ًر‬H‫ َأ ْج‬H‫ َم‬Hَ‫ ظ‬H‫َأ ْع‬H‫و‬Hَ H‫ا‬H‫ي ًر‬HHْ H‫ َخ‬H‫ َو‬H‫ ُه‬H‫َّ ِه‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ َد‬H‫ ْن‬H‫ ِع‬Hُ‫ه‬H‫و‬H‫ ُد‬Hِ‫جَت‬
Hٌ‫م‬H‫ي‬H‫ح‬Hِ H‫ َر‬H‫ٌر‬H‫و‬H‫ ُف‬H‫ َغ‬Hَ‫َّه‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ ا‬Hَّ‫ ِإ ن‬yۖ Hَ‫َّه‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ ا‬H‫ا‬H‫و‬H‫ ُر‬H‫ ِف‬H‫ت ْغ‬Hَ H‫ ْس‬H‫ا‬H‫و‬Hَ

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri


(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang
bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa
akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang
yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat
dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan
apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang
paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

11. Berdoa baiknya menggunakan bahasa yang kita


mengerti atau Bahasa Arab?

Imam an-Nawawi dalam bukunya Al-Majmu' menjelaskan bahwa


doa di dalam salat tidak membatalkan salat. Hanya saja
dinyatakannya pula bahwa ada dua macam doa yang dapat
tergambar ketika seorang salat, yaitu doa dalam bahasa Arab
dan doa selain dari bahasa Arab.
Adapun doa dalam bahasa Arab yang pernah diajarkan Nabi,
maka para ulama sependapat tentang bolehnya, sedang doa
yang tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad SAW —walaupun
dalam bahasa Arab— maka ulama berbeda pendapat tentang
boleh tidaknya. Ini berkaitan dengan pemahaman tentang
larangan berbicara/mengucapkan kata-kata yang tidak pernah
diajarkan Nabi. Pejelasan lebih lanjut:

Seperti diketahui salat adalah ibadah murni yang cara dan


bacaannya telah diajarkan dan atas dasar itu Nabi bersabda
dalam hadisnya yang amat populer, "Salatlah sebagaimana
kamu melihat saya salat."

Saya cenderung membenarkan berdoa dengan doa apa pun—


baik yang pernah diajarkan Nabi maupun yang tidak pernah
diajarkannya- baik dalam bahasa Arab atau bahasa selainnya.
Bukankah Nabi SAW mengajarkan bahwa, "Sedekat-dekat
seseorang kepada Allah, adalah pada saat dia sujud dan karena
itu perbanyaklah berdoa ketika itu" (HR. Muslim, Abu Dawud,
dan an-Nasa'i, melalui Abu Hurairah).

Anjuran untuk memperbanyak doa tersebut bukan hanya dari


apa yang diajarkan Nabi SAW, tetapi mencakup segala yang
diharapkan seorang Muslim, yang tentu saja beraneka ragam
bahasa mereka, bahkan sebagian besar tidak dapat berbahasa
Arab. Penjelasan lebih lanjut:
Ulama berselisih pendapat tentang hukum berdoa ketika sujud
dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Mazhab
Hanafiyah menganggap bahwa berdoa dengan selain bahasa
Arab, baik ketika shalat maupun di luar shalat, adalah makruh,
karena Umar bin Khattab melarang “rathanatal a’ajim”
(berbicara dengan selain bahasa arab).

Sementara, dalam Mazhab Malikiyah diharamkan untuk berdoa


dengan selain bahasa Arab yang maknanya jelas. Allah
berfirman, yang artinya, “Tidaklah Kami mengutus seorang
rasul pun kecuali (mereka berdakwah) dengan bahasa
kaumnya.” (Q.S. Ibrahim:4)

Dalam Mazhab Syafi’iyah, masalah ini dirinci. Mereka


menjelaskan bahwa berdoa dalam shalat ada dua: doa
yang ma’tsur (terdapat dalam Alquran dan hadis) dan doa
yang tidak ma’tsur (tidak ada dalam Alquran dan hadis). Doa
yang ma’tsur tidak boleh diucapkan dengan bahasa lain, selain
bahasa Arab.

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini


adalah diperbolehkan berdoa dengan menggunanakan bahasa
selain bahasa Arab. Pendapat ini dikuatkan oleh Komite Tetap
untuk Penelitian Islam dan Fatwa Arab Saudi. Dalam suatu
kesempatan, mereka ditanya, “Bolehkah seseorang berdoa
dalam shalatnya dengan bahasa apa pun? Apakah ini
membatalkan shalat?”

Mereka menjawab, “… Seseorang diperbolehkan berdoa kepada


Allah di dalam shalatnya dan di luar shalatnya dengan
menggunakan bahasa Arab atau selain bahasa Arab, sesuai
dengan keadaan yang paling mudah menurut dia. Ini tidaklah
membatalkan shalatnya, ketika dia berdoa dengan selain
bahasa Arab. Namun, ketika dia hendak berdoa dalam shalat,
selayaknya dia memilih doa yang terdapat dalam hadis yang
sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam rangka
mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ….” (Fatwa Lajnah
Daimah, volume 24, nomor 5782)

Sementara itu, Syekh Abdul Karim Al-Hudhair menyatakan


bahwa seseorang boleh berdoa dengan selain bahasa Arab jika
dia tidak mampu berbicara dengan bahasa Arab. Setiap muslim
dituntut untuk mempelajari bahasa Arab, sekadar sebagai bekal
untuk beribadah dengan sempurna. (Fatwa Syekh Abdul Karim
Al-Hudhair, no. 4337)
12. Apakah mata kaki tidak boleh tertutup pada waktu salat?

Memang ada beberapa hadis yang menyebutkan ancaman keras


bagi orang yang melakukan isbal (menjulurkan atau
memanjangkan) pakaian hingga menutup mata kaki. Di
antaranya hadis dari Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, dan dari Abi Hurairah yang diriwayatkah oleh Imam
Bukhari.

Tetapi ada juga hadis-hadis lain, yang juga diriwayatkan oleh


Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang menyebutkan bahwa
larangan itu lebih didasarkan pada sikap sombong pelakunya
dengan menjulurkan pakaian hingga menutup mata kaki.
 
Abu Bakar RA pernah mengadu kepada Rasulullah bahwa salah
satu belahan sarungnya selalu menjulur kecuali kalau ia tarik
terus menerus. Rasulullah menanggapi hal itu dengan
mengatakan, "Anda tidak termasuk orang yang melakukannya
karena sombong."

Dari situ dapat disampaikan bahwa menjulurkan pakaian hingga


menutup mata kaki yang didorong sikap sombong termasuk dosa
besar. Tetapi kalau tidak didasari sikap sombong maka itu
adalah boleh. Demikian, wallahu a'lam. Penjelasan lebih lanjut:

Masalah isbal atau menurunkan ujung kain ke bawah mata kaki, baik di
dalam sholat maupun di luar sholat memang telah terjadi perbedaan dan
perdebatan. Menurut mayoritas ulama’, hukumnya makruh jika tidak
dengan maksud sombong (khuyala’) dan haram jika dengan maksud
sombong. Berikut beberapa hadits Nabi SAW mengenai isbal, yaitu antara
lain :

‫ْت‬ُ ‫ فََأتَي‬،‫ْت ثَ ْوبًا َج ِدي ًدا‬


ُ ‫ لَبِس‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫َع ِن اب ِْن ُع َم َر‬
‫صلَّى هللا َعلَيه و َسلَّم َوهُ َو‬ َ ‫ُول هللا‬ِ ‫َعلَى َرس‬
ْ ‫صةَ ِفي لَ ْيلَ ٍة ُم‬
‫ فَ َس ِم َع‬،‫ظلِ َم ٍة‬ َ ‫ِع ْن َد حُجْ َر ِة َح ْف‬
‫ َع ْب ُد هللا‬:‫ت‬ ُ ‫ َم ْن هَ َذا؟ فَقُ ْل‬:‫ال‬ َ َ‫ فَق‬،‫ب‬ِ ‫قَ ْعقَ َعةَ الثَّ ْو‬
ُّ‫ك فَِإ َّن الَّ ِذي يَجُر‬
َ ‫ار‬ َ ‫ ارْ فَ ْع ِإ َز‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫ب ُْن ُع َم َر‬
‫ الحديث‬،‫ثَ ْوبَهُ ُخيَالَ َء الَ يَ ْنظُ ُر هللا ِإلَ ْي ِه‬
Artinya : Dari Ibnu Umar, Dia berkata : Aku memakai pakaian baru lalu aku
mendatangi Rasulullah SAW. Pada saat itu beliau sedang berada di bilik
Hafshoh di malam yang gelap, beliau mendengar suara kresek-kresek
pakaian (yang aku pakai), maka beliau bersabda : Siapa? Aku menjawab
“Abdullah bin Umar”.

Beliau-pun bersabda : Naikkan pakaianmu karena sesungguhnya orang yang


menjulurkan pakaiannya (sampai di bawah mata kaki)  karena sombong.
Allah tidak akan melihat kepadanya.

‫ « َم ْن‬:‫ال َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم‬ َ َ‫ق‬


‫َج َّر ثَ ْوبَهُ ُخيَالَ َء لَ ْم يَ ْنظُ ِر هَّللا ُ ِإلَ ْي ِه يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة‬
ْ‫ َأى‬:ُ‫ض َى هَّللا ُ َع ْنه‬ ِ ‫يق َر‬ ِ ‫ال َأبُو بَ ْك ٍر الصِّ ِّد‬ َ َ‫ فَق‬.»
َّ‫ارى يَ ْستَرْ ِخى ِإال‬ ِ ‫ُول هَّللا ِ ِإ َّن َأ َح َد ِشقَّ ْى ِإ َز‬َ ‫َرس‬
‫ال َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا‬ َ َ‫ فَق‬.ُ‫ك ِم ْنه‬ yَ ِ‫َأ ْن َأتَ َعاهَ َد َذل‬
ُ‫ْت ِم َّم ْن يَصْ نَ ُعه‬ َ ‫ك لَس‬ َ َّ‫ْت َأ ْو ِإن‬
َ ‫ «لَس‬:‫عليه وسلم‬
‫يح َع ْن‬ ِ ‫َّح‬ِ ‫ارىُّ ِفى الص‬ ِ ‫ ْالب َُخ‬yُ‫ َر َواه‬.»‫ُخيَالَ َء‬
‫ السنن الكبرى ألبو بكر أحمد‬.‫س‬ َ ُ‫َأحْ َم َد ب َْن يُون‬
‫بن الحسين بن علي البيهقي‬
Artinya : Rasulullah SAW bersaba : Barang siapa yang menjulurkan
pakaiannya (sampai di bawah mata kaki)  karena sombong, maka Allah
tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu Abu Bakar berkara: “Wahai
Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-
benar menjaganya. Maka Rasulullah SAW bersabda :”Engkau tidak
melakukannya karena sombong”.(H.R. bukhari)

‫ سمعت رسول هَّللا ِ صلى‬:‫عن ابن مسعود قال‬


‫ من أسبل إزارة في‬:‫هللا عليه وسلم يقول‬
‫ فليس من هَّللا ِ عز وجل في‬،‫صالته خيالء‬
‫حل والحرام‬.
Artinya : Dari Ibnu Mas’ud, Dia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda : “Siapa yang shalat dalam keadaan isbal disertai kesombongan,
maka Allah tidak memberikan jaminan halal dan haram untuknya.”

ُ‫ال لَه‬ َ َ‫ارهُ ِإ ْذ ق‬


َ ‫ُصلِّى ُم ْسبِالً ِإ َز‬ َ ‫بَ ْينَ َما َرجُل ي‬
.‫ضْأ‬ َّ ‫َرسُو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم ْاذهَبْ فَتَ َو‬
.‫ضْأ‬َّ ‫ال ْاذهَبْ فَتَ َو‬ َ َ‫ضَأ ثُ َّم َجا َء ثُ َّم ق‬ َّ ‫ب فَتَ َو‬ َ َ‫فَ َذه‬
َ ‫ال لَهُ َر ُج ٌل يَا َرس‬
‫ُول‬ َ َ‫ضَأ ثُ َّم َجا َء فَق‬ َّ ‫ب فَتَ َو‬َ َ‫فَ َذه‬
‫ضَأ ثم سكت عنه ؟‬ َّ ‫ك َأ َمرْ تَهُ َأ َّن يَتَ َو‬ َ َ‫هَّللا ِ َما ل‬
َ ‫ارهُ َوِإ َّن هَّللا‬
َ ‫ُصلِّى َوهُ َو ُم ْسبِ ٌل ِإ َز‬ َ ‫ان ي‬ َ ‫ال ِإنَّهُ َك‬ َ َ‫َق‬
‫صالَةَ َرج ٍُل ُم ْسبِ ٍل‬ َ ‫الَ يَ ْقبَ ُل‬
Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan
ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu,
Rasulullah SAW berkata : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi
berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasulullah berkata
lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian
dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : “Ya
Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’, kemudian engkau
‫‪diam?, maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat,‬‬
‫‪padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah‬‬
‫‪tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki‬‬
‫]‪(isbal) (H.R. Abu Daud[18‬‬

‫وفي هذه األحاديث أن إسبال اإلزار للخيالء‬


‫كبيرة وأما اإلسبال لغير الخيالء فظاهر‬
‫األحاديث تحريمه أيضا لكن استدل بالتقييد‬
‫في هذه األحاديث بالخيالء على أن اإلطالق‬
‫في الزجر الوارد في ذم اإلسبال محمول على‬
‫المقيد هنا فال يحرم الجر واالسبال إذا سلم‬
‫من الخيالء قال بن عبد البر مفهومه أن الجر‬
‫لغير الخيالء ال يلحقه الوعيد‪ y‬إال أن جر‬
‫القميص وغيره من الثياب مذموم على كل‬
‫حال وقال النووي اإلسبال تحت الكعبين‬
‫للخيالء فإن كان لغيرها فهو مكروه وهكذا‬
‫نص الشافعي على الفرق بين الجر للخيالء‬
‫ولغير الخيالء قال والمستحب أن يكون‬
‫اإلزار إلى نصف الساق والجائز بال كراهة‬
‫ما تحته إلى الكعبين وما نزل عن الكعبين‬
‫ممنوع منع تحريم إن كان للخيالء وإال فمنع‬
‫تنزيه ألن األحاديث الواردة في الزجر عن‬
‫اإلسبال مطلقة فيجب تقييدها باإلسبال‬
‫للخيالء انتهى‬
Hadits-hadits di atas menjelaskan bahwa isbal karena sombong itu termasuk
dosa besar (haram), dan jika tidak karena sombong, kalau dilihat dari
dzohirnya hadits pun seperti itu pula hukumnya. Akan tetapi keharaman
yang ada di dalam hadits-hadits diatas disertai dengan qoyyid ‘khuyala’. Ini
menunjukkan bahwa teguran dan ancaman pada isbal itu tergantung kepada
ada dan tidaknya tujuan ‘khuyala’.

Karenanya hukum isbal kalau tidak di sertai dengan tujuan ‘khuyala’ itu
tidak harom, kalau disertai dengan tujuan ‘khuyala’ maka hukumnya harom.
Sebagaimana kata Ibnu Abdil Bar dan Imam Nawawi. Imam Nawawi
berkata, Isbal dibawah mata kaki dengan sombong ‘khuyala’ (hukumnya
haram), jika tidak dengan sombong maka makruh. Demikian itu merupakan
pendapat Asy-Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan
sombong dan tidak dengan sombong.

Dia berkata: Yang disukai (mustahab) adalah memakai kain sarung sampai
setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai
mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan
pelarangan haram jika karena sombong,  jika tidak karena sombong maka
itu larangan tanzih.

Karena hadits-hadits yang datang yang menegur (pelaku) isbal adalah hadits
yang mutlak (umum), maka wajib mengqoyidinya (membatasinya) dengan
hadits isbal  yang disertai dengan qoyyid/ batasan khuyala
(sombong). (Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Kitab Al
Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al-Khuyala).

Ibnu ’Alan, seorang ahli hadits terkemuka dari kalangan Syafi’iyah dalam
kitab beliau, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin 6/79, berpendapat
makruh kalau isbalnya tidak disertai dengan tujuan khuyala’. Tetapi kalau
karena udzur seperti yang terjadi pada Abu Bakar, atau karena dlorurot,
seperti menutupi luka dari keroyokan lalat maka hukumnya boleh.

Ibnu Muflih berkata: pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah


berkata,  diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah  memakai mantel
mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka
ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?”
Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang
berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu
Muflih, Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226.). Begitu juga dengan
Ibnu Taimiyah, beliau memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak
melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya. (Al-
Adab Asy-Syar’iyyah).

Ada juga ulama-ulama yang berpendapat bahwa isbal adalah haram baik
dengan sombong atau tidak, kalau dengan sombong keharamannya lebih
kuat dengan ancaman neraka, jika tidak sombong maka tetap haram dan
Allah Ta’ala tidak mau melihat di akhirat nanti kepada pelakunya (musbil).
Mereka memahami hadits-hadits di atas dari sisi zahirnya saja. Seperti Ibnul
‘Arabi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Ibnu Al
‘Utsaimin.

Kemudian, bagaimana hukumnya sholat memakai celana atau sarung yang


melebihi mata kaki (Isbal)?.

Hukumnya sebagaimana dijelaskan di atas, menurut kebanyakan ulama


adalah MAKRUH kalau tidak disertai dengan tujuaan khuyala’ dan
HARAM kalau disertai dengan tujuan khuyala’. Akan tetapi sholatnya tetap
sah. Seperti halnya wudlu’ dengan air curian dan jual beli pada waktu azhan
Jum’at. Wudlu’nya tetap sah, tetapi mencurinya ya haram. Jual belinya
haram karena ada larangan dalam Alqur’an, namun akad jual belinya tetap
sah.

Sedangkan mengenai dapat dan tidaknya pahala sholat yang dilakukan oleh
orang yang memakai celana atau sarung yang melebihi mata kaki (isbal).
Al-Imam al-Hafidz Zainuddin Abdur Rauf al-Munawi mengatakan; Tidak
diberi pahala seseorang yang melakukan sholat dengan memakai sarung
yang melebihi mata kaki (isbal) karena sombong dan ujub walaupun
sholatnya sah. (Attaisir bi Syarhil Jami’is Shoghir 1/535).

13. Bolehkan bergonta-ganti jumlah rakaat tarawih?

Sepanjang ikhlas mengerjakannnya, meskipun berganti jumlah


rakaat insya Allah tetap mendapat pahala dari Allah. Demikian,
wallahu a'lam.
14. Bolehkah menangis tersedu-sedu saat salat?

Jika menangis terjadi karena kekhusyukan menghayati ayat yang


dibaca atau didengar dari imam, itu tidak mengapa. Ingus yang
keluar mengenai mukena atau sajadah tidak membatalkan salat,
dan ingus bukan najis. Tetapi apabila menangis itu terjadi karena
hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan salat, itu dapat
membatalkan salat. Penjelasan lebih lanjut:

Perbuatan ini boleh dilakukan, baik disebabkan oleh perasaan yang


sangat kepada Allah maupun sebab-sebab lainnya, seperti mengeluh
pada saat turun bencana atau sakit yang menimpa dirinya, selama hal itu
tidak dibuat-buat dan tidak tertahankan. Hal ini berdasarkan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala,

‫ِّين ِمن‬ َ ‫ين َأ ْن َع َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِهم ِّم َن النَّبِي‬


َ ‫ك الَّ ِذ‬ yَ ‫ُأو ٰلَِئ‬
‫ُذرِّ يَّ ِة آ َد َم‬
ٍ ُ‫َو ِم َّم ْن َح َم ْلنَا َم َع ن‬
‫وح َو ِمن ُذرِّ يَّ ِة ِإب َْرا ِهي َم‬
‫يل َو ِم َّم ْن‬ َ ‫َوِإس َْراِئ‬
‫ات الرَّحْ ٰ َم ِن‬ُ َ‫ تُ ْتلَ ٰى َعلَ ْي ِه ْم آي‬y‫هَ َد ْينَا َواجْ تَبَ ْينَا ۚ ِإ َذا‬
‫َخرُّ وا ُس َّج ًدا‬
  ‫َوبُ ِكيًّا‬
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi
dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan
dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri
petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha
Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan
menangis.” (QS. Maryam : 58)
Ayat ini berlaku kepada seseorang yang sedang mengerjakan shalat
ataupun pada waktu lainnya. Abdullah bin Syikhir, ia berkata,
“Aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengerjakan shalat sambil
menangis terisak-isak seakan-akan pada dadanya terdapat bunyi air mendidih di
dalam ceret.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan ia
mensahihkannya)

Ali berkata,

“Pada waktu Perang Badar, tak seorangpun yang mengendarai kuda selain Miqdad
bin Aswad. Pada malam harinya, tak seorang pun yang bangun untuk mengerjakan
shalat selain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau berada di bawah
sebatang pohon dan mengerjakan sholat sambil menangis hingga pagi hari.” (HR.
Ibnu Hibban)
Aisyah r.a menceritakan bahwa sewaktu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam sakit menjelang kewafatannya, beliau bersabda,
“Suruhlah Abu Bakar agar ia mengerjakan shalat sebagai imam bagi kaum
muslimin.” Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, Abu Bakar itu adalah orang yang lembut
hati. Ketika membaca Al Qur’an, ia sering menangis.’ Sebenarnya aku mengatakan
demikian disebabkan kekhawatiranku bahwa kaum mulismin nantinya akan merasa
berdosa jika tidak memosisikan Abu Bakar sebagai pengganti pertama terhadap
kedudukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Akan tetapi, beliau tetap
berkeras dengan perintahnya. ‘Suruhlah Abu Bakar mengerjakan shalat sebagai
imam bagi kaum muslimin. Aku tahu bahwa kamu kaum wanita tak ada bedanya
dengan istri Nabi Yusuf a.s’” 1 (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan
Tirmidzi mensahihkannya)
Sikap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mempertahankan Abu
Bakar sebagai imam kaum muslimin, padahal beliau telah diberitahu
bahwa ia sering menangis dalam shalatnya merupakan dalil bahwa
menangis dalam shalat itu diperbolehkan.
Ketika Umar ibnu Khathab mengerjakan shalat subuh dan membaca
surah Yusuf, kemudian pada saat membaca ayat,

‘Aku mengadukan kerisauan serta kesusahan hatiku hanya kepada Allah,’ kemudian
terdengarlah bunyi isak tangisnya.” (Riwayat Bukhari, Sa’id bin Mansur, dan
Ibnu Mundzir)
Tangisan Umar seperti yang telah dikemukakan dalam riwayat tersebut
merupakan bantahan terhadap ulama yang mengatakan bahwa
menangis dapat membatalkan shalat (jika hanya mengeluarkan bunyi-
bunyian tak bermakna dari mulutnya), baik karena takut kepada Allah
maupun karena sebab-sebab lain. Sementara itu, dalil mereka bahwa
mengucapkan dua huruf dapat menyebabkan batalnya shalat karena
dianggap berbicara, alasan seperti ini tidak dapat diterima sama sekali
sebab menangis dan berbicara merupakan dua perkara yang sangat
berlainan. 
1
 Maksudnya, Aisyah sama halnya dengan istri Nabi Yusuf a.s yang senantiasa
menimbulkan pertentangan antara lahir dan batin. Karenanya, jika istri Nabi Yusuf
a.s pernah memanggil kaum wanita yang pada lahiriahnya adalah untuk menjamu
mereka, padahal tujuan sebenarnya adalah untuk memperlihatkan ketampanan Nabi
Yusuf agar mereka tidak menyalahkannya lagi jika jatuh cinta kepadanya, demikian
pula halnya dengan Aisyah. Pada lahiriahnya, Aisyah menolak Abu Bakar diangkat
sebagai imam karena khawatir makmum tidak mau mendengarkan bacaannya,
karena suara tangisnya, padahal maksud yang sebenarnya agar kaum muslimin tidak
menjauhi dan membencinya.

15. Apa yang dilakukan makmum  saat imam membaca


ayat/surat pendek?

Pada saat imam membaca surah lain setelah al-Fatihah,


makmum sebaiknya diam dan mendengarkan bacaan imam dan
tidak menyibukkan diri sendiri meskipun dengan membaca surat
pendek lain yang dia hafal.

16. Apa hukum salat Jumat bolong-bolong? 

Salat Jumat hukumnya wajib, meninggalkannya tanpa alasan


yang dibenarkan agama adalah dosa. Demikian, wallahu a'lam.

Bila seseorang tidak bisa melaksanakan salat Jumat karena uzur


(sakit, dll) ia bisa menggantinya dengan salat dzuhur. Penjelasan
lebih lanjut:
Sebagian orang memahami bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah tidak
mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Namun yang tepat dalam hal
ini, Imam Syafi’i adalah di antara ulama yang menyatakan kafirnya.
Sedangkan kesimpulan bahwa beliau tidak mengkafirkan, itu tidak secara
nash dari beliau. Dan sebenarnya hanya kesimpulan dari para ulama
madzhab Syafi’i karena melihat indikasi dari perkataan beliau, bukan dari
perkataan Imam Syafi’i secara tegas. (Lihat perkataan Syaikh Amru bin
‘Abdul Mun’im Salim dalam kitab Al Manhaj As Salafi ‘inda Asy Syaikh
Nashiruddin Al Albani)
Imam Ath Thohawi rahimahullah telah menyandarkan perkataan bahwa Imam
Asy Syafi’i menyatakan meninggalkan shalat itu kafir. Ath Thohawi berkata
dalam Musykilul Atsar (4: 228),
‫ فجعله‬, ‫و قد اختلف أهل العلم في تارك الصالة كما ذكرنا‬
‫ و جعل حكمه حكم ما يستتاب‬, ‫بعضهم بذلك مرتدا عن اإلسالم‬
‫ رحمة هللا تعالي‬q‫ منهم الشافعي‬, ‫ فإن تاب وإال قتل‬, ‫في ذلك‬
‫عليه‬
“Para ulama telah berselisih pendapat dalam masalah hukum meninggalkan
shalat sebagaimana yang pernah kami sebutkan. Sebagian ulama ada yang
menyatakan orang yang meninggalkan shalat berarti murtad dari Islam dan ia
pun harus dimintai taubat. Jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Di antara ulama
yang berpendapat seperti ini adalah Imam Asy Syafi’i rahimahullah.”
Setelah kami rujuk dan mendapat pelajaran dari saudara kami Abul Jauzaa’
akhirnya kami kurang setuju dengan pernytaaan Syaikh Amru di atas. Karena
ternyata Ath Thohawi keliru dalam hal ini. Yang benar mengenai pendapat
Imam Asy Syafi’i, beliau tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat
karena malas-malasan sebagaimana dinukilkan dalam Al Umm dan kami
copy dari tulisan saudara kami Abul Jauzaa’.
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata,
‫ لِ َم اَل‬:ُ‫دَخ َل فِي اِإْلسْ اَل ِم قِي َل لَه‬ َ ْ‫صاَل َة ْال َم ْك ُتو َب َة ِممَّن‬ َ ‫َمنْ َت َر‬
َّ ‫ك ال‬
‫ َوِإنْ َذ َك َر‬،‫ت‬ َ ْ‫ص ِّل ِإ َذا َذ َكر‬َ ‫ َف‬:‫ قُ ْل َنا‬،‫صلِّي؟ َفِإنْ َذ َك َر نِسْ َيا ًنا‬ َ ‫ُت‬
،‫ َأ ْو مُضْ َط ِجعً ا‬،‫ َأ ْو َقاعِ ًدا‬،‫ت ؛ َقاِئمًا‬ َ ‫ْف َأ َط ْق‬ َ ‫ص ِّل َكي‬ َ ‫ َف‬:‫ قُ ْل َنا‬،‫َم َرضً ا‬
،‫صلِّي‬ َ ‫ُأ‬ ‫ُأ‬
‫ َولَكِنْ اَل‬،‫صاَل َة َو حْ سِ ُن َها‬ َّ ‫يق ال‬ ‫ُأ‬
ُ ِ‫ َأ َنا ط‬:‫ َفِإنْ َقا َل‬،‫َأ ْو مُو ِميًا‬
َ ‫ْك َشيْ ٌء اَل َيعْ َملُ ُه َع ْن‬
‫ك‬ َ ‫صاَل ةُ َعلَي‬َّ ‫ ال‬:ُ‫ضا قِي َل لَه‬ ً ْ‫ت َعلَيَّ َفر‬ ْ ‫َوِإنْ َكا َن‬
ْ‫ َفِإن‬،‫اك‬ َ ‫ َوِإاَّل اسْ َت َت ْب َن‬،‫ْت‬
َ ‫صلَّي‬ َ ْ‫ َفِإن‬،‫ َواَل َت ُكونُ ِإاَّل ِب َع َمل َِك‬،‫ُك‬ َ ‫َغ ْير‬
‫الز َكا ِة‬ َّ ‫صاَل َة َأعْ َظ ُم م َِن‬ َّ ‫ َفِإنَّ ال‬،‫اك‬ َ ‫ُتبْت َوِإاَّل َق َت ْل َن‬
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib bagi orang yang telah masuk
Islam (muslim), dikatakan kepadanya : ‘Mengapa engkau tidak shalat ?’. Jika
ia mengatakan : ‘Kami lupa’, maka kita katakan : ‘Shalatlah jika engkau
mengingatnya’. Jika ia beralasan sakit, kita katakan kepadanya : ‘Shalatlah
semampumu. Apakah berdiri, duduk, berbaring, atau sekedar isyarat saja’.
Apabila ia berkata : ‘Aku mampu mengerjakan shalat dan membaguskannya,
akan tetapi aku tidak shalat meskipun aku mengakui kewajibannya’. Maka
dikatakan kepadanya : ‘Shalat adalah kewajiban bagimu yang tidak dapat
dikerjakan orang lain untuk dirimu. Ia mesti dikerjakan oleh dirimu sendiri.
Jika tidak, kami minta engkau untuk bertaubat. Jika engkau bertaubat (dan
kemudian mengerjakan shalat, maka diterima). Jika tidak, engkau akan kami
bunuh. Karena shalat itu lebih agung daripada zakat” [Al-Umm, 1/281.
Disebutkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar,
3/117].
َ َّ‫ان َق ْد َت َعر‬
‫ض‬ َ ‫ض َت َهاوُ ًنا َك‬ َ ْ‫ك ْال َفر‬ َ ‫ َف َمنْ َت َر‬، ٌ‫ُحضُو ُر ْال ُج ُم َع ِة َفرْ ض‬
‫صاَل ًة َح َّتى يَمْضِ َي‬ َ ‫ك‬ َ ‫ َك َما لَ ْو َأنَّ َر ُجاًل َت َر‬،ُ ‫ ِإاَّل َأنْ َيعْ فُ َو هَّللا‬،‫َشرًّ ا‬
.ُ ‫ ِإاَّل َأنْ َيعْ فُ َو هَّللا‬،‫ض َشرًّ ا‬ َ ‫ َك‬،‫َو ْق َت َها‬
َ َّ‫ان َق ْد َت َعر‬
“Menghadiri shalat Jum’at adalah wajib. Barangsiapa yang meninggalkan
kewajiban karena meremehkannya, maka ia akan mendapatkan akibat buruk,
kecuali Allah memaafkannya. Sebagaimana jika seseorang meninggalkan
shalat hingga lewat dari waktunya, maka ia pun akan mendapatkan akibat
yang buruk, kecuali jika Allah memaafkannya” [Al-Umm, 1/228. Disebutkan
juga oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar, 2/528].
Kalam terakhir dari Imam Syafi’i terlihat jelas bahwa beliau tidak
mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan.
Demikian pula pendapat ulama madzhab Syafi’i. Silakan pembaca merujuk
pembahasan Abul Jauzaa’ di sini. Semoga Allah membalas amalan beliau
dengan pahala melimpah yang telah berusaha untuk meluruskan saudaranya
yang keliru.
Namun sekali lagi, kami kurang setuju dengan pendapat terakhir dari Imam
Syafi’i yang kami nukil terakhir karena pendapat ini menyelisihi berbagai dalil
dari Al Qur’an, hadits dan ijma’ (kesepakatan) para sahabat.
Allah Ta’ala berfirman,

‫صاَل َة‬
َّ ‫ضاعُوا ال‬ َ ‫ف ِمنْ َبعْ ِد ِه ْم َخ ْلفٌ َأ‬ َ ‫َف َخ َل‬
ْ‫ف َي ْل َق ْو َن َغ ًّيا ِإاَّل َمن‬ ِ ‫َوا َّت َبعُوا ال َّش َه َوا‬
َ ‫ت َف َس ْو‬
َ ‫اب َوَآ َم َن َو َع ِم َل‬
‫صالِحً ا‬ َ ‫َت‬
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-
nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak
akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan
beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat


tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan,
yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam-
sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat
(hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang
yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas,
sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang
merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim,
namun tempat orang-orang kafir.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫صالَ ِة‬ ُ ْ‫َبي َْن الرَّ ج ُِل َو َبي َْن ال ِّشرْ كِ َو ْال ُك ْف ِر َتر‬
َّ ‫ك ال‬
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah
meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Umar bin Khottob mengatakan,

‫ة‬qَ َ‫صال‬ َ ‫الَ ِإسْ الَ َم لِ َمنْ َت َر‬


َّ ‫ك ال‬
“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut,


tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu,
hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’
(kesepakatan) sahabat.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan
shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang
tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ان َأصْ َحابُ م َُح َّم ٍد‬ َ ‫َك‬
ِ ‫الَ َي َر ْو َن َش ْيًئ ا م َِن اَألعْ َم‬
‫ال َترْ ُك ُه ُك ْف ٌر َغي َْر‬
‫ة‬qِ َ‫صال‬
َّ ‫ال‬
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah
menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir
kecuali shalat.”
Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy
seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan
menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah
shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan
mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir,
padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan
kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang memberi
taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)
Adapun orang yang kadang shalat, kadang tidak, ini dihukumi telah
melakukan dosa besar bahkan satu shalat saja yang ditinggalkan itu lebih
besar dari dosa zina, dosa membunuh, dosa meminum minuman keras dan
dosa besar lainnya. Rincian akan hal ini telah dibahas di rumaysho.com
dalam tulisan: Dosa Meninggalkan Shalat Limat Waktu Lebih Besar dari
Dosa Berzina
17. Apakah benar hari Jumat untuk wanita salat Zuhurnya
harus menunggu sampai pria selesai salat Jumat? 

Wanita boleh melakukan salat Zuhur pada hari Jumat tanpa


menunggu sampai jamaah selesai melakukan salat Jumat.
Demikian pendapat Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni-nya.
Penjelasan lebih lanjut:
Ulama sepakat berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak diwajibkan
atas wanita[1], hal ini berdasarkan hadits :

‫لِ ٍم يِف‬H H H‫ل ُم ْس‬HH H ‫ب َعلَى ُك‬ ِ ٌّ H H‫ ح‬Hُ‫ة‬H H H‫اجْل مع‬


ٌ ‫ق َواج‬H َ َ ُُ
‫يِب ٌّ َْأو‬H‫ص‬ ٌ Hُ‫ ٌد مَمْل‬H‫ َعْب‬:ً‫ة‬H‫ة ِإالَّ َْأر َب َع‬Hٍ H‫اع‬
َ ‫رَأةٌ َْأو‬Hَ ‫ام‬Hْ ‫وك َأ ِو‬H َ َ‫مَج‬
ٌ ‫َم ِر‬
‫يض‬
“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat
orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (HR. Abu Daud)

Kewajiban muslimah di hari Jum’at adalah shalat dzuhur. Namun


kemudian berkembang keyakinan disebagian masyarakat, bahwa wanita tidak
boleh shalat Dzuhur di hari Jum’at sehingga kegiatan shalat Jum’at di Masjid
selesai. Sehingga mereka mengakhirkan pelaksanaannya sehingga para bapak
dan laki-laki pulang dari shalat Jum’at.

            Hal ini tidak benar sama sekali, tidak ada satupun kami pernah
mendengar pendapat ulama dengan dalil yang lemah sekalipun yang menyatakan
hal tersebut.  Waktu shalat telah ditetapkan, maka ketetapan Allah- lah yang
berlaku, tanpa ada hak siapapun untuk merubahnya. Sebagaimana
firmanNya :  “Sesungguhnya shalat adalah kewajiban bagi kaum mukminin
yang telah ditetapkan waktunya.” (QS. An-Nisa: 103).
Dan waktu shalat Dzuhur waktunya adalah sebagaimana yang
ditetapkan dalam hadits :
‫ل‬Hِ H H ‫الر ُج‬ ُّ H H ‫ا َن ِظ‬HH H‫س َو َك‬
َّ ‫ل‬H ُ ‫م‬
ْ H H H‫ش‬َّ ‫ال‬ ‫ت‬ِ َ‫ ِر ِإ َذا َزال‬H H ‫ه‬H ُّ‫وقْت الظ‬
ْ ُ َ
ِِ
ْ ‫ض ِر الْ َع‬
‫ص ُر‬ ُ ْ‫َكطُوله َما مَلْ حَي‬
“Waktu Dzuhur dimulai saat matahari tergelincir ke barat (waktu zawal) hingga
bayangan seseorang sama dengan tingginya dan selama belum masuk waktu
‘Ashar.” (HR. Muslim)

18. Apakah berwudu saat ber-make up tebal sah?

Salah satu syarat sahnya wudu adalah tidak ada hal yang
menghalangi air untuk mengenai kulit, seperti dibahas dalam
buku Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karya Syaikh Wahbah az-
Zuhaili. Itu artinya bahwa bedak, lipstik, atau make-up yang
berlebihan atau terlalu tebal dan dapat menghalangi terkenanya
air ke kulit wajah, menjadikan wudu tidak sah. Penjelasan lebih
lanjut:
Ulama sepakat berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak diwajibkan
atas wanita, hal ini berdasarkan hadits :

‫ة‬Hٍ H ‫اع‬ ِ ِ ‫ق و‬H


َ َ‫ل ٍم يِف مَج‬H ‫ل ُم ْس‬HH‫ب َعلَى ُك‬ ٌ َ ٌّ H‫ةُ َح‬H ‫اجْلُ ُم َع‬
‫اج‬
ٌ ‫صيِب ٌّ َْأو َم ِر‬
‫يض‬ َ ‫وك َأ ِو ْامَرَأةٌ َْأو‬
ٌ ُ‫ َعْب ٌد مَمْل‬:ً‫ِإالَّ َْأر َب َعة‬
“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat
orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (HR. Abu Daud)

Kewajiban muslimah di hari Jum’at adalah shalat dzuhur. Namun


kemudian berkembang keyakinan disebagian masyarakat, bahwa wanita tidak
boleh shalat Dzuhur di hari Jum’at sehingga kegiatan shalat Jum’at di Masjid
selesai. Sehingga mereka mengakhirkan pelaksanaannya sehingga para bapak
dan laki-laki pulang dari shalat Jum’at.

            Hal ini tidak benar sama sekali, tidak ada satupun kami pernah
mendengar pendapat ulama dengan dalil yang lemah sekalipun yang menyatakan
hal tersebut.  Waktu shalat telah ditetapkan, maka ketetapan Allah- lah yang
berlaku, tanpa ada hak siapapun untuk merubahnya. Sebagaimana
firmanNya :  “Sesungguhnya shalat adalah kewajiban bagi kaum mukminin
yang telah ditetapkan waktunya.” (QS. An-Nisa: 103).
Dan waktu shalat Dzuhur waktunya adalah sebagaimana yang
ditetapkan dalam hadits :

‫ل‬Hِ H H ‫الر ُج‬ ُّ H H ‫ا َن ِظ‬HH H‫س َو َك‬


َّ ‫ل‬H ُ ‫م‬
ْ H H H‫ش‬َّ ‫ال‬ ‫ت‬ِ َ‫ ِر ِإ َذا َزال‬H H ‫ه‬H ُّ‫وقْت الظ‬
ْ ُ َ
ِِ
ْ ‫ض ِر الْ َع‬
‫ص ُر‬ ُ ْ‫َكطُوله َما مَلْ حَي‬
“Waktu Dzuhur dimulai saat matahari tergelincir ke barat (waktu zawal) hingga
bayangan seseorang sama dengan tingginya dan selama belum masuk waktu
‘Ashar.” (HR. Muslim)

19. Apa beda salat tarawih, tahajud dan salat lail?

Mayoritas ulama mengartikan tahajud sebagai salat malam


sesudah tidur malam. Tarawih dilaksanakan sesudah Isya, baik
sebelum maupun sesudah tidur. Oleh karena itu, mereka
membedakannya. Memang, keduanya dinamai salatullail, tetapi
tarawih khusus untuk bulan Ramadan, sedangkan tahajud
sepanjang tahun. Nabi SAW masih salat setelah tahajud dan
atau tarawih, paling tidak, salat witir. Demikian, wallahu a'lam.

20. Bolehkah salat tarawih sendirian?

Anda boleh mengerjakan salat tarawih di rumah dan boleh


sendirian. Nabi SAW pernah melakukan salat tarawih di rumah.
Waktunya setelah salat Isya sampai dengan menjelang fajar.
Demikian, wallahu a'lam.

21. Apakah salat Jumat sah jika datang saat khotib sudah
naik mimbar?

Setidaknya ada dua pendapat mengenai hal ini. Mazhab Hanafi


berpendapat bahwa makmum yang dapat mengikuti salat
bersama imam, walau pada sebagian salatnya, ia sudah dinilai
salat Jumat bersama imam, meskipun hanya mendapati imam
sedang bertasyahhud.

Pendapat lain, yaitu pendapat mayoritas mazhab fikih, jika


makmum dapat mengikuti imam salat Jumat pada rakaat kedua
ia dinilai mengikuti salat Jumat, tetapi jika ia tidak dapat
mengikuti imam pada rakaat kedua maka ia harus
menyempurnakannya dengan salat Zuhur. Dari situ, dapat
dipahami bahwa meski terlambat dan Anda datang ke masjid
pada saat khatib telah naik mimbar, salat Jumat Anda dinilai sah
karena masih dapat mengikuti salat bersama imam secara utuh
dua rakaat.

Meski demikian, menyegerakan datang ke masjid untuk salat


Jumat sangat dianjurkan. Dalam hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dan juga oleh Muslim, antara lain
disebutkan bahwa orang yang datang pada kesempatan pertama
seolah-olah berkurban dengan seekor unta, yang datang pada
kesempatan kedua seolah-olah berkurban dengan sapi, yang
datang pada kesempatan ketiga seolah-olah berkurban dengan
seekor kambing, yang datang pada kesempatan keempat
seolah-olah berkurban dengan seekor ayam, dan yang datang
pada kesempatan kelima seolah-olah berkurban dengan sebutir
telur. Demikian, wallahu a'lam.

22.  Bolehkah membaca surat pendek berulang-ulang


setelah al-Fatihah pada waktu salat tarawih di rakaat
berikutnya?

Boleh. Tidak ada ketentuan harus membaca surat yang berbeda


dalam rakaat yang berbeda.

23. Bagaimana hukum salat di kediaman keluarga yang non


muslim? Apakah salat sah? 

Tidak ada larangan salat di rumah non-Muslim, selama tempat


salat yang digunakan tidak najis, dan tidak ada juga di sekitar
tempat salat itu benda atau patung yang dijadikan simbol yang
mengandung kesan syirik/ mempersekutukan Tuhan. Salat Anda
tetap sah. Penjelasan lebih lanjut:
Dibolehkan shalat di rumah orang Kristen atau pemeluk agama lainnya,
berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

‫س جِ ًدا َوطَ ُه و ًرا‬ ْ ‫ض َم‬ ُ ‫ت لِي اَأْل ْر‬ ْ َ‫ج ِعل‬ُ ‫َو‬
‫الص اَل ُة‬
َّ ‫ن ُأ َّم ِتي َأ ْد َر َك ْت ُه‬ ْ ‫ل ِم‬ ٍ ‫ج‬ُ ‫م ا َر‬َ ُّ‫َفَأي‬
‫ رقم‬،‫ رواه البخاري‬....‫ل‬ ِّ ‫ص‬َ ‫َف ْل ُي‬
“Dan dijadikan untuku bumi sebagai masjid dan bersuci, dimana saja
seseorang dari umatku mendapatkan shalat, hendaknya dia menunaikan
shalat.” HR. Bukhori, 323.
As-Sindy rahimahulllah berkata, “Hadits ini bermakna bahwa bumi itu
seluruhnya adalah tempat shalat, kecuali ada petunjuk bahwa shalat di
sana dimakruhkan atau tidak sah, maka tempat itu dikhususkan makruh
atau tidak sah untuk shalat.” (Hasyiah As-Sindi Ala Shahih Al-Bukhari,
1/140)
Imam Bukhari telah membuat bab dalam kitab Shahihnya berjudul “Bab
Ash-Shalah Fil Bii’ah” (Bab shalat dalam gereja). Umar radhiallahu anhu
berkata, ‘Kami tidak masuk gereja-gereja kalian karena adanya patung-
patung di dalamnya. Ibnu Abbas dahulu shalat di dalam gereja, kecuali
gereja yang ada patungnya.”
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ucapannya, ‘Bab shalat di
bi’ah’ Bi’ah adalah tempat ibadah bagi seorang pendeta, ada juga yang
mengatakan bahwa dia adalah gereja orang Kristen. Pendapat kedua
yang lebih dijadikan patokan, maka termasuk makna bi’ah adalah gereja,
sekolah, kuil, rumah patung, rumah api dan semacamnya.” (Fathul Bari,
1/531. Lihat Al-Inshaf, Al-Mawardi, 1/496)
Jika shalat di gereja dianggap sah, maka lebih utama lagi sahnya jika
dilakukan di rumah seorang Nashrani atau non muslim lainnya.
Ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah (6/270) pernah ditanya,
“Kadang datang waktu shalat ketika saya berada di rumah seorang
Nashrani, maka saya ambil sejadah khusus milik saya lalu saya shalat di
depan mereka. Apakah shalat saya sah karena dilakukan di rumah
mereka?
Mereka menjawab, “Alhamdulillah. Benar, shalat anda sah, semoga Allah
semakin menambah ketaatan anda, khususnya dalam melakukan shalat
lima waktu pada waktunya. Anda wajib berusaha melakukannya secara
berjamaah dengan meramaikan masjid jika hal itu memungkinkan bagi
anda.”

24. Apakah sah salat jika pikiran melayang?

Salat tetap sah kalau ketika salat pikiran kita terganggu (secara
tidak sengaja terlintas hal-hal lain di luar salat, sementara hati
tetap berkeinginan keras untuk bisa khusyuk) sehingga tidak bisa
konsentrasi 100% tertuju kepada Allah.

Salat akan batal kalau dengan sengaja kita memikirkan hal-hal


lain di luar salat. Kekhusyukan bukan syarat sahnya salat, tapi
syarat sempurnanya salat. Salat yang tidak khusyuk tentu
kualitasnya berkurang. Penjelasan lebih lanjut;

‫ فكر في صالته في المعاصي والمظالم‬q‫إذا‬


‫ولم يحضر قلبه فيها وال تدبر قراءتها هل‬
:‫تبطل صالته أم ال؟ أجاب رضي هللا عنه‬
‫تصح صالته وتكره‬..
Artinya, “Bila seorang mengkhayal maksiat dan kezalimaan pada saat
shalat sehingga hatinya tidak fokus dan dia tidak meresapi bacaannya,
apakah shalatnya masih sah? ‘Shalatnya sah, namun makruh,’” jawab
Imam An-Nawawi.”

Orang yang mengkayal, pikirannya melayang ke mana-mana, bahkan


memikirkan sesuatu yang buruk, shalatnya masih dihukumi sah.
Meskipun sah, shalatnya dianggap makruh karena hatinya tidak hadir
dan dia tidak meresapi bacaan yang dilafalkannya.

Kekhusyukan memang tidak menjadi kewajiban di dalam shalat, namun


bukan berarti kita mengabaikannya. Kita mesti  mengupayakan dan
mengusahkannya. Minimal kita berusaha merenungi dan meresapi
setiap bacaan yang dilafalkan ketika shalat. Di sini kita mengerti betapa
kekhusyukan adalah barang mahal tiada tara

25. Bagaimana hukum mengqodho salat saat sakit?

Mengerjakan suatu kewajiban setelah berlalu waktunya disebut


meng-qadha’. Seorang Muslim seharusnya melaksanakan
kewajibannya, termasuk salat pada waktu yang ditetapkan. Dia
berdosa jika menangguhkannya sampai waktunya lewat, kecuali
jika ada uzur.

Dalam Perang Khandaq, Nabi Muhammad SAW berada dalam


situasi yang begitu mencekam, sehingga tidak sempat
mengerjakan empat salat sampai jauh malam. Akhirnya, beliau
melaksanakan salat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya secara
berturut-turut dengan diselingi iqamah. Demikian riwayat yang
berasal dari at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ahmad. Memang, setiap
orang yang mempunyai kewajiban harus menunaikannya,
"(Utang kepada) Allah lebih wajar untuk ditunaikan" (HR Bukhari
dan an-Nasa'i dari Ibnu 'Abbas).

Disepakati oleh para ulama bahwa wanita yang sedang haid dan
baru melahirkan (nifas), dan orang kafir yang belum pernah
memeluk Islam, atau orang gila, semuanya, tidak wajib meng-
qadha’ salatnya. Orang yang ketiduran, lupa, atau dalam situasi
yang tidak mengizinkan (takut menyangkut diri atau orang lain
seperti bidan atau dokter yang sedang menjaga pasien gawat)
dituntut meng-qadha' salatnya.

Ketika itu, mereka tidak dinilai berdosa. Qadha' harus


dilaksanakan segera begitu uzur atau halangan tadi
terselesaikan. Jika seseorang berkali-kali tidak mengerjakan
salat, baik karena uzur maupun tidak, maka dia harus
memperkirakan dan bahkan harus menduga keras atau meyakini
—berapa kali dia tidak mengerjakan salat dan kemudian meng-
qadha'-nya.

Adapun orang sakit yang telah wafat dan tidak dapat melaksana-
kan salat, walau dengan isyarat, ketika sakit, maka dalam
mazhab Abu Hanifah, dia tidak wajib memberi wasiat untuk
membayar kafarat atau fidyah. Adapun bagi yang mampu
mengerjakan salat —walau dengan isyarat— tetapi tidak
melaksanakannya, maka dalam kasus semacam ini dia harus
berwasiat agar keluarganya membayar kafarat, tentu saja, dari
harta yang ditinggalkannya. Keluarga boleh juga secara sukarela
—bila yang bersangkutan tidak berpesan atau tidak memiliki
harta— untuk membayarkan fidyah atau kafaratnya.
BAB MUNAKAHAT

Tanya: Bagaimana hukumnya menjatuhkan talak di saat sang istri sedang nifas?
Jawab: Hukumnya haram, tetapi cerainya sah (Taqrib, Ianah)

Tanya: Si A menjatuhkan talak pada si B (istrinya) 'talak satu' dalam keadaan suci,
kemudian belum sampai habis iddahnya, si A meninggal. Bagaimana iddahnya si B, apakah
berubah atau tetap?
Jawab: Jika seorang perempuan sedang menjalani idah tholaq roj'i kemudian suaminya
wafat, maka idahnya beralih pada idah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari, terhitung dari
saat wafat suaminya (Fiqih ala Madzahib Arba'ah, al Majmu Syarah Muhadzab)

Tanya: bagaimana hukumnya menikahi seorang wanita yang sedang dalam masa iddah?
Jawab: Haram dan tidak sah. Ulama ahli fiqih telah sepakat bahwa tidak sah bagi seorang
pria menikahi wanita yang masih menjalani masa idah.Baik idahnya idah tholaq atau idah
wafat atau idah fasakh dan idah wathi syubhat. Sama saja idah dari tholaq roj'i atau tholaq
bain (bain shughro atau bain kubro). Alasan atau ilatnya adalah karena melindungi nasab
dari tercampurnya air mani dan menjaga hak suami pertama. Jika terjadi pernikahan
seorang pria dan mu'tadah karena si pria tidak mengetahuinya karena umpama si wanita
menyembunyikan statusnya,maka ketika diketahui hakim wajib membatalkan status
pernikahannya. (Nihayatuz Zain)

Tanya: Bolehkah suami melarang sang istri untuk mengunjungi orang tuanya (istri)?
Jawab: Bagi suami, boleh melarang istrinya untuk sekedar menjenguk orang tuanya yang
dalam keadaan sakit, dan menyaksikan jenazah orang tuanya, Namun yang lebih utama
ialah mempersilahkan/ mengizinkan istri dalam dua hal tersebut (Asnal Mathalib- Madzhab
Syafi'i).

Tanya: Jika seorang orang tua memiliki banyak anak, diantara anak-anaknya tersebut, siapa
yang menanggung nafkah orang tua itu di masa tuanya?
Jawab: Menafkahi orang tua menjadi kewajiban anak-anaknya dengan dibagi rata
(bilamana anaknya lebih dari satu). Jika sama rata itu lebih bagus. Dalam Kitab Al Iqna,
Ibnul Mundzir berkata, "Ulama sepakat bahwasanya memberi nafkah untuk kedua orang
tua yang tidak mempunyai pekerjaan adalah wajib didalam harta anak". Namun yang perlu
diingat, pemberian nafkah terhadap kerabat memperhitungkan kondisi kerabat tersebut
dalam hal usia, kezuhudan, dan kesenangan.

Tanya: Siapakah yang berhak menjadi wali nikah seorang anak hasil hubungan gelap/
hubungan di luar nikah ?
Jawab: Muhakkam, dengan cara mempelai pria dan wanita menunjuk tokoh agama agar
menjadi muhakkam mereka. Hakim bisa mewakilkan untuk akad pernikahan seperti hal
nya wali khusus walaupun kepada laki-laki yang menzinai, sebab beda dengan istikhlaf
(mengangkat pengganti) maka itu harus ada persetujuan imamul a'dzom (pemerintah
pusat).nah sedangkan taukil tidak perlu minta idzin kepada imamul a'dzom. Tapi dalam
akadnya harus dijelaskan bahwa pria tersebut posisinya hanya wali dari hakim,dan kalau
memang dua saksi dan calon pengantin pria belum tahu bahwa dia bukan wali kaena wali
sesungguhnya adalah hakim. Namun, jika dua saksi dan calon pengantin pria sudah tau
bhw wanita yang akan dia nikahi adalah dulunya hasil dari zina dan walinya adalah hakim
maka tak perlu dijelaskan di dalam akad. (Misyakatul Misbah Sohifah, Fatkhul Mu'in,
Bughyatul Mustarsyidin, al Mughni) 

Tanya: Jika seorang istri mengetahui bahwa suaminya terjangkit penyakit HIV/AIDS
kemudian si suami meminta "berhubungan" kepada istri, berdosakah bila istri menolak,
atau bahkan meminta cerai?
Jawab: Bila betul-betul sudah terjangkit penyakit tersebut maka tidak mengapa menolak
berhubungan seksual, bahkan boleh meminta cerai / fasakh

Tanya: Suami tak menafkahi istri lahir batin selama 4 tahun. Bolehkah istri meminta cerai?
Apakah pernikahan mereka telah rusak?
Jawab: Istri boleh mengajukan cerai, karena sudah melewati batas tidak memberi nafkah
dzohir. Bila suami tidak menafkahi batin saja maka tidak boleh fasakh. Namun, bila suami
selama tiga hari saja tidak memberi nafkah zhohir maka istri boleh minta fasakh
(Bughyatul Mustarsyidin, Subulus Salam). Mengenai rusaknya nikah, sebenarnya
Nikahnya tetap utuh/ sah/ tidak rusak sebelum diyakini bahwa suaminya telah mentalaqnya
atau suaminya meninggal. Namun, menurut pendapat Qoul Qodim boleh menikah setelah
menunggu 4 tahun dan melakukan iddah wafat (4 tahun 4 bulan sepuluh hari). 

Tanya: Bagaimana tata cara sholat sunnah sebelum akad nikah?


Jawab: Sholat sunnah akad nikah termasuk sholat yang mempunyai sebab di akhir, boleh
dikerjakan asal bukan pada waktu yang dimakruhkan. Bacaannya apa saja terserah
musholli (orang yang sholat). Sholat ini disunahkan untuk mempelai pria atau wali
perempuan saja, bukan mempelai wanitanya. Sebaiknya dilakukan di majelis akad sebelum
akad dilakukan. (Tuhfatul Muhtaj syarah Alminhaj)

Tanya: Dosakah menolak perjodohan yang dilakukan oleh orang tua kita?
Jawab: Seorang anak (dengan syarat tertentu) berhak menolak namun tidak punya hak
melawan orang tua, jadi jika Anda (seorang perawan) menolak dijodohkan namun wali
Anda tetep menikahkan (dengan persyaratan tertentu), Akad nikah tetap bisa berlangsung,
dan sebaliknya jika Anda menerima pinangan namun wali anda menolaknya, Akad nikah
tidak akan bisa berlangsung dan Anda tidak jadi nikah. Jadi anak yang menolak perjodohan
orang tuanya tidak dikatakan durhaka pada orang tuanya (Adabul Syari'ah)

Tanya: Jatuhkah talak (cerai) lewat SMS?


Jawab: Hukum tulisan tolaq dengan kalimah shorih adalah kinayah, artinya jika tidak
diniati tholaq maka tidak jatuh tholaqnya, Jika tulisan tholak shorih diniati tholaq, maka
jatuh tholaq seketika itu juga, walaupun surat, sms atau email tersebut tidak terkirim dan
terbaca oleh isterinya (Hasiyah Jamal, Ianah Thalibin)

Tanya: Bolehkah menikahi anak tiri?


Jawab: Menikahi anak tiri (anaknya mantan istri) hukumya tidak boleh bila ibunya anak
tersebut sudah dijima', bila belum di-jima' hukumya boleh menikahinya (Fathul Mu'in)

Tanya: Bagaimana Nasib Nasab sang anak apabila terjadi pernikahan tak sengaja antara
kakak dan adik kandung?
Jawab: Klik pada tautan berikut ini Pernikahan Sedarah Tak Sengaja, Kakak Menikahi
Adiknya

Tanya: Berapa lama kah masa iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya?
Jawab: Jika keadaan hamil maka iddahnya khusus pakai iddah hamil yaitu sampai
melahirkan, karena tujuan dari 'iddah adalah kosongnya rahim dan kosongnya rahim itu
sudah terjawab dengan melahirkan (Madzhibul Arba'ah)

Tanya: Bolehkah seorang istri meminta cerai kepada suami yang ketahuan selingkuh/ zina?
Jawab: Boleh seorang wanita meminta khulu' apabila Agama sang suami yang buruk,
seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi,
berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka memukul dan tidak memberikan nafkah
(Raudlatuth Thalibin)

Tanya: Bagaimana hukum mengajak anak kita yang masih kecil ke masjid?
Jawab:Klik pada tautan berikut ini "Hukum Mengajak Anak Kecil Ke Masjid (1)"
dan "Hukum Mengajak Anak Kecil Ke Masjid (2)"

Tanya: Resepsi kadang dilaksanakan secara besar-besaran (mewah). Boleh gak sih?
Jawab: Klik pada tautan berikut ini "Batasan Kemewahan Dalam Acara Walimah"

Tanya: bagaimana hukumnya menikah di saat hamil?


Jawab: Klik pada tautan berikut ini "Hukum Menikah Saat Hamil"

Tanya: Bagaimana hukumnya suami mengatakan pada istrinya "pelacur", jatuhkah


talaknya?
Jawab: Klik pada tautan berikut ini "Hukum Suami Mengatakan Pada Istrinya “Pelacur”"

Tanya: Bolehkah istri menikah lagi jika suaminya gila?


Jawab: Klik pada tautan berikut ini "Bolehkah Istri Menikah Lagi Jika Suaminya Gila"

Tanya: Apakah pernikahan anak pertama dengan anak ketiga dari keluarga lain biasanya
menimbulkan kesialan?
Jawab: Klik pada tautan berikut ini "Pernikahan Anak Pertama Dengan Anak Ketiga"

Tanya: Bagaimana hukumnya melihat calon istri sebelu khitbah (melamarnya)?


Jawab: Klik pada tautan berikut ini "Melihat Calon Isteri Sebelum Khitbah (Melamar)"
Tanya: Ayah ingin menikah lagi setelah sang istri meninggal, tetapi anak tidak setuju.
Bagaimana sebaiknya?
Jawab: klik di tautan berikut ini "Ayah Menikah Lagi, Anak Tidak Setuju"

Tanya: Seputar mengadopsi anak


Jawab: klik di tautan berikut ini "Mengadopsi Anak"

Tanya: Bagaimana hukumnya menjual bulu ayam/ bebek?


Jawab: Kebolehan menjual bulu adalah lantaran bulu tersebut dikategorikan sebagai benda
yang suci. Bulu yang tidak diketahui terpisahnya apakah ia pisah pada saat binatang yang
boleh dimakan masih hidup atau sudah mati atau berasal dari binatang yang halal atau yang
lain, Maka bulu tersebut hukummya suci karena berpegang pada keasliannya
(Bujairomialal Khatib).

Tanya: Bagaimana Adab menyambut kelahiran bayi?


Jawab: klik di tautan berikut ini "Adab menyambut Kelahiran Bayi"

Tanya: Bolehkah mahar berupa makanan?


Jawab: Kesepakatan Madzhab empat, Malikiyah, Hanfilah, Hanbaliyah, ataupun Syafi'iyah
"Tidak ada ketentuan sedikit dan banyak-nya shodaq (mahar) dalam keabsahan nikah"
bahkan meskipun dengan perkara yang tidak ada nilainya seperti sebiji gandum, kecuali
dalam kesunahan shodaq (mahar), mereka para Ulama Madzhab berbeda pendapat
pendapat. Ulama Hanafiah berpendapat 10 dirham / yang sepadan qimah (harganya)
dengan 10 dirham, dan Ulama Madzhab Malikiyah berpendapat 3 dirham / yang sepadan
qiimah (harganya) (Fiqih Madzahibul Arba'ah). Dengan demikian, mahar berupa makanan
diperbolehkan apabila mendapat persetujuan sang istri tersebut

Tanya: Bagaimana sebaiknya jika anak perempuan kita dilamar oleh lelaki yang sholeh?
Jawab: Muhammad bin Amr As-Sawwaq Al Balkhi menceritakan kepada kami, Hatim bin
Ismail memberitahukan kepada kami dari Abdullah bin Muslim bin Hurmuz, dari
Muhammad dan Sa'id -keduanya anak Ubaid- dari Abu Hatim Al Muzani, dia berkata,
"Rasulullah SAW bersabda, 'Apabila datang kepadamu orang yang agama dan budi
pekertinya baik, maka nikahkanlah dia (dengan anak-anak perempuan kalian). Jika kalian
tidak melaksanakannya, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi'. Mereka
(para sahabat) bertanya, 'Wahai Rasulullah SAW, meskipun mereka tidak kaya?' Rasulullah
SAW bersabda, 'Apabila datang kepada kamu (melamar) orang yang baik agama dan budi
pekertinya, maka nikahkanlah dia'. Nabi SAW mengatakannya sampai tiga kali. (HR.
Tirmidzi No. 1085). Bisa dipahami bahwa hadits tersebut berkenaan dengan tuntunan untuk
tidak menempatkan harta dan kedudukan lebih unggul daripada kualitas agama dalam
proses pemilihan calon menantu. Bila sudah menemukan calon menantu yang memiliki
bekal keagamaan baik maka hendaknya segera dinikahkan saja. Adapun bila mendapati
banyak calon menantu yang shalih maka itu lain persoalan. Fungsi dan pengalaman orang
tua sebagai wali memegang peranannya disini dalam menjatuhkan pilihannya pada
menantu yang terbaik.Perintah untuk menikahkan dalam hadits Tirmidzi tersebut apakah
sunah atau wajib? Hal tersebut bertalian erat dengan hukum menikah dan hukum kafa’ah
itu sendiri. Hukum asal menikah bagi orang yang mampu dan butuh menikah adalah sunah.
Sayyid Muhammad az-Zabidi menyebutnya dengan ‘sangat disunahkan’ bila situasinya
sebagaimana hadits Tirmidzi tersebut. Wallahu subhanahu wata’ala a’lam.

Tanya:Bolehkah perempuan jalan-jalan sama tunangan ? (wanita yang sudah dilamar tapi
belum nikah)
Jawab: tidak diperbolehkan membawa tunangannya jalan-jalan walaupun aman dari fitnah
karena statusnya masih ajnabiyyah, sesuai dengan sabda Rosul SAW: Tidak boleh bagi
seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan yang mana syetan menjadi yang
ketiga (Al Mausuu'ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah)

Tanya: Wajibkah suami menafkahi istri dalam masa iddah perceraian?


Jawab: Selama istri masih menjalani 'iddah maka suami masih berkewajiban memberi
nafkah sandang pangan karena masih dalam kekuasaan suami dan masih bisa digauli ketika
suami rujuk, karena iddah roj'i hukumnya masih status istri (Mughni al-muhtaj ila ma'rifat
al-ma'ani al fadh al-Minhaj)

Tanya: Bagaimana masa iddah dan hak warisnya seorang istri yang belum dijimak (belum
kumpul)? Misalnya, setelah akad nikah dan resepsi tiba-tiba sang suami terkena serangan
jantung dan meninggal.
Jawab: Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum sempat dijimak ataupun setelah
jimak maka tetap ada iddahnya yaitu 4 bulan 10 hari. Hikmah iddah seperti ini yaitu 4
bulan 10 hari karena pada 4 bulan kandungan mulai berkembang dan waktu di tiupkanya
ruh, jadi pada saat itulah bisa di ketahui mengandung atau tidak, sedang di tambah 10 hari
lagi agar lebih jelas,dan karena wanita tidak sabar tanpa suami/menjanda terlalu lam lebih
dari 4 bulan tanpa adanya pendamping hidup/suami. (Assyarqawi 'Ala Tahriry) dan untuk
waris, istri mendapat 1/4 (karena tidak ada anak/cucu) walaupun belum dijimak (Bugyatul
Mustarsyidin)

Tanya: Bagi suami yang berpoligami, bolehkah mengumpulkan para istrinya dalam satu
kamar/ satu rumah?
Jawab: (1) Haram mengumpulkan beberapa istri dalam satu rumah, kecuali ada restu dari
istri-istri yang lain. (2) Makruh (Tanzih) menjima' istri di hadapan istri yang lain, kecuali
menurut kalangan ulama madzhab Maliki (haram). (3) Haram menjima' istri di hadapan
istri yang lain apabila bertujuan menyakitinya dan saling melihat aurat antar satu sama lain
dari beberapa istri. (4)Istri tidak wajib memenuhi permintaan atau ajakan suaminya untuk
melakukan hubungan intim di hadapan istri yang lain, dan penolakannya tidak dianggap
nusyuz (Al Mughni Ibnu Qudamah, Attanbih Imam Nawawi,  Al Umm Imam Syafi'i) 

Tanya: Ada seorang istri yang bekerja di luar kota, dan ternyata si suami yang di rumah itu
berselingkuh dan setelah istrinya tau ia meminta diceraikan, tapi si suami itu tidak mau
menceraikan, dan si istri tetap (ngeyel) untuk diceraikan dan pada akhirnya suami itu
mengiyakan, dan mengiyakannya itu lewat tulisan/SMA/ WA. Apakah sah perceraiannya?
Kapan dihitungnya masa iddah? 
Jawab:Perceraiannya sah dan iddahnya terhitung sejak ditulisnya SMS, sebab jatuhnya
thalaq terhitung mulai penulisan SMS (Hasyiyah Al-Jamal ‘Alaa Syarhil Manhaj)

Tanya: Bagaimana status harta lamaran ketika suami bercerai dari istrinya, apakah boleh
diminta lagi oleh mantan suaminya?
Jawab: (1) Tidak boleh diminta lagi atau sudah jadi milik istri sepenuhnya, apabila harta
yang dibawa tersebut diberikan kepada pihak wanita dengan tujuan hibah atau sebagai
mahar. (2) Boleh diminta lagi apabila harta yang dibawa tersebut diberikan kepada pihak
wanita bukan termasuk bagian dari mahar atau ada niat akan diminta lagi apabila tidak jadi
menikah dengannya atau tidak ada niat sama sekali. Kemudian apabila barang/harta
tersebut rusak atau hilang maka bagi si wanita harus bertanggung jawab dengan
menggantinya (Fatawy Fiqhiyyah Imam Ibunu Hajar)

Tanya: Bagaimana hukum apabila seorang wanita menolak dinikahkan oleh walinya (orang
tuanya). Dalam kata lain, wanita tersebut menolak dinikahkan oleh ayahnya karena tidak
dirawat waktu kecil?
Jawab:Sikap wanita yang menolak ayah kandungnya sebagai wali nikah termasuk uququl
walidain yang haram hukumnya, dan ayahnya lah yang berhak menjadi walinya kecuali si
ayah sudah mewakilkannya ke orang lain (Fathul Baari, Kifayatul Akhyar, Tafsir Al
Qurtuby)

Tanya: Bagaimana hukumnya menikahi perempuan gila?


Jawab:Hukum menikah dengan perempuan gila adalah sah nikahnya, bahkan wali mujbir
harus menikahkan anak perempuannya yang gila atau anak lelakinya yang gila ketika
terlihat jelas adanya hajat untuk menikah (Kitab Qaliuby)

Tanya: Bagaimana hukumnya menikahi sepupu?


Jawab: Hukumnya Makruh. Dalam Al Ianaa dijelaskan, Pilihlah untuk sperma kalian
wanita yang bukan kerabat dekat, wanita yang lain atau wanita kerabat yang jauh karena
lemahnya syahwat dalam wanita kerabat yang dekat maka anaknya kelak menjadi garing.
[ Al-Iqnaa II/65 ]

Tanya: Banyak yang melangsungkan akad pernikahan, sementara mempelai wanita


disembunyikan di kamar (tidak dihadirkan pada saat ijab qobul berlangsung) dan saksi dari
pihak pria belum pernah bertemu dengan mempelai wanitanya sehingga tidak tahu yang
mana dan seperti apa mempelai wanitanya. Sahkah akad nikah seperti itu?
Jawab:Akad nikah sebagaimana dipertanyakan di atas hukumnya SAH, karena yang
menjadi syarat sah akad nikah yaitu hadirnya empat orang sebagai berikut : wali, mempelai
pria dan dua orang saksi. (Kifayatul Akhyar) 

Tanya: Bagaimana hukum pernikahan bila mas kawinnya tak sesuai dengan yang disebut
saat ijab qabul?
Jawab: Dalam akad nikah, saat maskawin disebutkan (oleh si suami) ketika akad, maka
suami harus/wajib membayar maskawin sesuai dengan yang disebutkan saat akad.
Sehingga apabila pembayaran maskawin tidak sesuai dengan yang disebutkan ketika akad,
maka hukumnya haram. Walaupun maskawinnya tidak sah, nikahnya tetap Sah (referensi
diantaranya adalah majmu' Syarh Madzahib)

Tanya: Bagaimana hukum melihat aurat wanita lain?


Jawab: Haram bagi laki-laki melihat aurat wanita ajnabi (bukan mahram) secara mutlak,
baik khawatir terjadi fitnah ataupun tidak. Begitu juga haram melihat wajah dan telapak
tangan bila khawatir terjadi fitnah, tetapi jika tidak khawatir terjadi fitnah maka ada
perbedaan pendapat para ulama. namun, pendapat yang shahih tetap mengharamkan.
Pendapat ini dikemukakan oleh Al Ashthahary, Abu Ali Atthabiry dalam Kifaayah Al
Akhyar 

Tanya: Bagaimana hukum pernikahan suami istri bila salah satu darinya murtad?
Jawab:  Kalau salah satu murtad, maka nikahnya menjadi batal (Asnal Matholib)

Tanya: Ada sepasang suami istri yang kehidupan rumah tangganya sudah mulai retak.
Karena tidak tahan dengan kondisi tersebut, si istri meminta pada suaminya, "kalau kamu
terus menerus begini, saya ditalaq tiga saja..!" kemudian suaminya langsung menjawab,
"ayo.. mau talaq ke mana?" Apakah itu termasuk talaq (cerai)?
Jawab: Mengingat perkataan suami tersebut termasuk kinayah talaq maka apabila suami
berniat mentalaq maka perkataannya menyebabkann talaq (Bughyah al-Mustarsyidin) 

Tanya: Bagaimana hukumnya menjual kue natal? 


Jawab: Hukum Mengadakan Transaksi (Muamalah) dengan ahli kitab diperbolehkan,
karena dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa Nabi shallallaahu alaihi wasallam membeli
barang-barang dagangan pada Maysaroh, dan beliau juga membeli makanan dari orang
Yahudi, juga mengadakan gadai dengannya.Ini menunjukkan bolehnya menjalani
muamalah dengan mereka (Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah VII/147). Juga dalam keterangan
Dari Abdurrahman Bin Abu Bakar ra, ia berkata “Kemudian kami bersama baginda nabi
Shallallaahu alaihi wasallam kemudian datanglanglah lelaki musyrik dengan menuntun
kambing, Nabi bertanya : (Kambing ini engkau) jual atau berikan ? (atau Nabi bertanya,
atau kau hibahkan ?), lelaki tersebut menjawab, dijual.Kemudian nabi membeli darinya
seekor kambing.(Keterangan jual beli dengan orang-orang musyrik dan kafir harb (kafir
yang sedang berperang dengan orang-orang muslim), Ibn Batthaal berkata “Mengadakan
transaksi dengan orang-orang non muslim diperbolehkan kecuali menjual alat-alat yang
digunakan untuk memerangi orang-orang muslim” (Fath al-Baari IV/410). 
Namun, ada perbedaan di kalangan Hanafiyah dan Syafi'iyah dengan keterangan sebagai
berikut: 
1. Menurut Imam Abu Hanifah dalam Kitab Mabsuth diperbolehkan :
 ،‫ ال‬:‫ال‬yy‫ فق‬،‫افق‬yy‫ك من‬yy‫ إن‬:‫ه‬y‫ل ل‬y‫ فقي‬،ً‫داري رجال‬yy‫ه ي‬y‫ على ما روي أن‬،‫وقد كان حذيفة ـ رضي هللا عنه ـ ممن يستعمل التقية‬
‫ه‬yy‫لى هللا علي‬y‫ول هللا ـ ص‬y‫ك في زمن رس‬y‫د ابتلى «ببعض ذل‬yy‫ وق‬،‫ه‬yy‫ مخافة أن يذهب كل‬،‫ بعضه ببعض‬y‫ولكني أشتري ديني‬
‫اء إلى‬yy‫ا تخلص منهم ج‬yy‫ فلم‬،‫ واستحلفوه على أن ال ينصر رسول هللا في غزوة‬،‫وسلّم ـ على ما روي أن المشركين أخذوه‬
‫تعين باهلل‬y‫ ونحن نس‬،‫دهم‬y‫ «أوف لهم بعه‬:‫الم ـ‬y‫الة والس‬y‫ فقال ـ عليه الص‬،‫رسول هللا ـ صلى هللا عليه وسلّم ـ وأخبره بذلك‬
‫ر‬yy‫ فم‬،‫د‬yy‫ تباع بأرض الهن‬،‫ بعث معاوية ـ رضي هللا عنه ـ بتماثيل من صفر‬:‫وذكر عن مسروق ـ رحمه هللا ـ قال‬. »‫عليهم‬
‫ وهللا ال أدري‬،‫ني‬y‫ فيفتن‬،‫ذبني‬yy‫ ولكني أخاف أن يع‬،‫ وهللا لو أني أعلم أنه يقتلني لغرقتها‬:‫بها على مسروق ـ رحمه هللا ـ قال‬
‫ل‬yy‫ذه تماثي‬yy‫ ه‬:‫ل‬yy‫ وقي‬،‫دنيا‬yy‫ع في ال‬yy‫و يتمت‬yy‫ فه‬،‫ أو رجل قد يئس من اآلخرة‬،‫ معاوية رجل قد زين له سوء عمله‬،‫أي الرجلين‬
‫ون‬yy‫ فيك‬،‫ والكراع للغزاة‬،‫ فأمر معاوية ـ رضي هللا عنه ـ ببيعها بأرض الهند ليتخذ بها األسلحة‬،‫كانت أصيبت في الغنيمة‬
‫ك‬yy‫تعظم ذل‬yy‫د اس‬yy‫وق‬.‫اس‬yy‫ة القي‬yy‫و طريق‬yy‫ا ه‬yy‫ كم‬، ‫ده‬yy‫ليب ممن يعب‬yy‫ والص‬.‫نم‬yy‫دليالً لـأبي حنيفة ـ رحمه هللا ـ في جواز بيع الص‬
‫ فيكون‬.‫مسروق ـ رحمه هللا ـ كما هو طريق االستحسان الذي ذهب إليه أبو يوسف ومحمد ـ رحمهما هللا ـ في كراهة ذلك‬
‫ كما هو طريقة القياس‬، ‫ والصليب ممن يعبده‬.‫دليالً لـأبي حنيفة ـ رحمه هللا ـ في جواز بيع الصنم‬. 
Maka hal itu menjadi dalil bagi Abu Hanifah rohimahulloh pada bolehnya menjual patung
dan salib bagi orang yang menyembahnya, sebagaimana itu merupakan jalan analogi /
qiyas.  
2. Tidak boleh menurut Imam Ibnu Hajar (Syafi'iyyah) dalam kitab tuhfatul muhtaj syarh
minhaj :
 (‫ال عُرْ فًا فِي َحالَ ِة ) َوال‬ ٍ ‫ك ِمنْ ُكلِّ َما ال يُقَابَ ُل ِب َم‬ َ ِ‫ب َونَحْ ِو ِع ْش ِرينَ َحبَّةَ خَرْ د ٍَل َو َغي ِْر َذل‬ ِ ‫(ال ِح ْنطَ ِة) َأوْ ال َّز ِبي‬ ْ ‫بَ ْي ُع ( َحبَّت َْي) نَحْ ِو‬
ْ‫ض ُّمهُ ِل َغي ِْر ِه َأو‬ُ َ‫ َماال ي‬yُ‫ب َر ُّدهُ َو َكفَ َر ُم ْست َِحلُّهُ َو َع ُّده‬ َ ‫ َو َو َج‬yُ‫ وَِإنْ َح ُر َم غَصْ بُه‬, ْ‫ك ِل ِقلَّ ِت ِه َو ِمنْ ثَ َّم لَ ْم يُضْ َمن‬َ ‫ار ال ْن ِتفَا ِء النَّ ْف ِع ِب َذ ِل‬ ْ
ِ َ‫االخ ِتي‬
ٍ َ‫وْ ِمنْ َذه‬yَ‫ان َول‬
‫ب‬ ٍ ‫ َو‬yَ‫و َر ِة َحي‬y‫ص‬ ُ ‫ن ٍَم َو‬y‫ص‬ َ ‫ُور َو‬ ٍ ‫لِنَحْ ِو غَال ٍء ال َأثَ َر لَهُ كَاالصْ ِطيَا ِد بِ َحبَّ ٍة فِي فَ ٍّخ ( َوآلَ ِة اللَّه ِْو) ْال ُم َحر َِّم َك َشبَّابَ ٍة َوطُ ْنب‬
ْ ْ ‫ير ُك ْلفَ ٍة فِي َما ي‬ ِ َ‫ب ِع ْل ٍم ُم َحر ٍَّم ْإذ ال نَ ْف َع بِهَا شَرْ عًا نَ َع ْم ي‬
‫اريَ ِة ِغنَا ٍء‬ ِ ‫ج َك َج‬ ِ ‫ق لِل ِّشط َر ْن‬ َ ‫ُظ ِه ُر بَيَا ِد‬ ِ ِ‫صلَ َح ِمنْ َغي ِْر َكب‬ َ ‫صحُّ بَ ْي ُع نَرْ ٍد‬ ِ ُ‫َو ُكت‬
ُ‫صالَةً ْال َحيَ َوان‬ َ ‫ك ; َألنَّ ْال َم ْقصُو َد َأ‬ َ ِ‫ وَِإنْ ِزي َد فِي ثَ َمنِ ِه َما لِ َذل‬,‫اح‬ ٍ َّ‫ش نَط‬ ٍ ‫ُم َحر ٍَّم َو َك ْب‬

Tanya: Bolehkah seorang wanita meminta khulu' Apabila Agama sang suami yang buruk,
seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi,
berzina, atau sering meninggalkan sholat suka memukul dan tidak memberikan nafkah? 
Jawab: Boleh berdasarkan dalil yang dapat ditemukan di Kitab Raudhatuth Thalibin Juz 7
Halaman 374 : ‫الخلع هو الفرقة بعوض يأخذه الزوج وأصل الخلع مجمع على جوازه وسواء في جوازه خالع على‬
‫قاق ثم‬y‫ذر بالش‬y‫ه ابن المن‬y‫ في حالتي الشقاق والوفاق وخص‬y‫الصداق أو بعضه أو مال آخر أقل من الصداق أو أكثر ويصح‬
‫ه‬yy‫رجت من اإلخالل ببعض حقوق‬y‫ه أو تح‬yy‫ال كراهة فيه إن جرى في حال الشقاق أو كانت تكره صحبته لسوء خلقه أو دين‬
‫ره‬y‫زوج يك‬y‫ فافتدت وألحق الشيخ أبو حامد به ما إذا منعها نفقة أو غيرها فافتدت لتتخلص منه وإن كان ال‬y‫أو ضربها تأديبا‬
‫ه‬y‫ه وفي وج‬yy‫صحبتها فأساء عشرتها ومنعها بعض حقها حتى ضجرت وافتدت كره الخلع وإن كان نافذا ويأثم الزوج بفعل‬
‫العني على‬y‫ة خ‬y‫منعه حقها كاإلكراه على الخلع بالضرب وما في معناه وإذا أكرهها بالضرب ونحوه فاختلعت فقالت مبتدئ‬
‫ة‬y‫ارة وفي التتم‬y‫ل مخت‬y‫ا لم تقب‬y‫كذا ففعل لم يصح الخلع ويكون الطالق رجعيا إن لم يسم ماال وإن سماه لم يقع الطالق ألنه‬
‫ىء وإذا‬y‫ع ش‬y‫وجه أنه ال يقع الطالق وإن لم يسم المال ولو ابتدأ وقال طلقتك على كذا وأكرهها بالضرب على القبول لم يق‬
‫ فالمال مردود إليها والطالق واقع وله الرجعة نص عليه‬y‫ادعت أنه أكرهها على بذل مال عوضا عن الطالق وأقامت بينة‬

Tanya: Bagaimana bila di lingkungan kita ditemukan seorang anak yang tidak diketahui
siapa orangtua dan keluarganya (anak hilang misalnya)? Menjadi kewajiban siapa
mengurus dan mengasuh anak itu? 
Jawab: Di dalam kitab At-Tadzhib dikatakan, “Bila ditemukan seorang anak yang hilang di
tengah jalan, mengambil, mendidik, dan mengasuhnya adalah fardhu kifayah. Dan anak itu
tidak boleh dibiarkan tetap (tinggal) kecuali di tangan orang yang bisa dipercaya. Bila pada
anak itu terdapat harta, hakim memberi belanja kepadanya dari harta tersebut. Dan bila
tidak terdapat harta padanya, belanjanya diambil dari baitul mal. Apabila ada anak telantar
di jalan, tidak berayah, dan tidak bersaudara, lebih baik diambil untuk dipelihara dan
dididik menggunakan hartanya untuk pemeliharaannya. Apabila tidak ada, bisa dipelihara
dengan harta sosial. Allah Ta‘ala telah berfirman yang artinya, “Dan barang siapa
memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah ia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya.” (QS Al-Maidah: 32). 
Tanya: Bagaimana hukum suami istri yang pisah ranjang? 
Jawab: Kalau cuma pisah ranjang ya boleh saja, kalau memang itu sudah kehendak kedua
belah pihak suami dan istri, tapi yang ada hukumnya adalah apabila si istri menolak ajakan
ranjang suami (Ust. Ibnu Thoha) 

Tanya: Bagaimana hukum berhubungan suami istri di kamar mandi? 


Jawab: Adapun bersenggama di kamar mandi maka hal itu tiada larangan dan tidak
dikenakan kafaroh/denda tapi hal ini kurang sopan/ khilaful adab (FATAWI
ASSYABKAH AL-ISLAMIYYAH JUZ 5 HAL 4528) oleh Mbah Godek 
Tanya: Seorang wanita ditalak oleh suaminya tanpa dibuat surat talak, sedangkan suaminya
tersebut telah meninggal. Bolehkan ia menikah lagi dengan laki-laki lain? 
Jawab: Apabila seorang suami telah menjatuhkan talak pada istrinya, berlakunya talak ini
tidak tergantung kepada surat talak. Keabsahan talak tersebut cukup dengan diucapkannya
kata-kata talak. Adapun penerbitan lembar surat talak hanyalah aturan kemasyarakatan
yang tujuannya menjaga hak-hak manusia.
Surat talak itu diterbitkan sebagai tindakan preventif terhadap pelecehan ikatan perkawinan
dan terhadap hak-haknya. Apabila seorang wanita telah ditalak suaminya dan telah habis
masa iddahnya, dia berhak untuk menikah kembali dengan laki-laki lain. Tentu saja dengan
pernikahan yang sesuai hukum-hukum Islam. Masih hidup atau telah matinya sang mantan
suami bukan merupakan hal yang harus dipertimbangkan olehnya untuk menggunakan
haknya tersebut, yaitu menikah kembali dengan pria lain.
Adapun bila perceraiannya dengan suami bukan karena ditalak tetapi karena suaminya
meninggal dunia, ia wajib menunggu selesai iddahnya setelah kematian suaminya, yakni
selama empat bulan sepuluh hari, bila ia tidak hamil. Adapun bila dia dalam keadaan hamil
saat suaminya meninggal, iddahnya adalah sampai ia melahirkan anaknya. Setelah selesai
iddah itu, ia boleh segera menikah kembali, apabila ia menghendakinya. Tentu dengan
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan

Tanya: saya dan suami saya adalah pasangan muda yang baru saja menikah bulan yang
lalu. Dan sekarang ini, saya sering kali menginginkan hal-hal yang, menurut orang-orang di
sekitar saya, saya ini sedang mengidam. Alhamdulillah, dokter pun mengatakan, saat ini
saya positif hamil. Tapi, di sinilah kemudian masalahnya. Suami saya merasa, saya
mengidamnya terlalu mengada-ada. Menurut saya, sebaliknya, hal yang wajar bila ia,
sebagai suami yang mencintai saya, mewujudkan apa yang saya idamkan. Mungkin ini
hanya masalah biasa yang umum terjadi, dan kami pun melewati saat-saat ini dengan baik-
baik saja. Tapi kemudian terbersit di hati saya untuk menanyakan hal ini, bagaimana agama
memandang masalah mengidam? 
Selain itu, kehamilan pertama saya ini tentu merupakan kegembiraan, bukan bagi saya dan
suami saya saja, tapi bahkan untuk keluarga besar kami. Terus terang, ada rasa cemas kalau
saya mengalami keguguran dalam kehamilan pertama saya ini. Karena itu dalam
kesempatan ini saya berharap Ustadz berkenan memberikan doa agar saya tidak mengalami
keguguran. 
Jawab: apa yang Anda alami memang dialami oleh hampir setiap wanita yang sedang
hamil. Muntah-muntah, tidak suka pada bau tertentu, suka makanan tertentu, dan
sebagainya. Semua itu terjadi karena terdapat perubahan dalam diri setelah adanya janin di
dalam rahim. Di saat itu, pengertian suami amat diperlukan. Bahkan, perhatian dan kasih
sayangnya harus lebih dari biasanya. Itu adalah sebagai timbal balik dari apa yang
diberikan sang istri untuknya, dari karunia Allah SWT, berupa buah hati dan buah cinta
mereka berdua, yaitu seorang anak. Sebaliknya, seorang istri pun dituntut berusaha
semampunya untuk tetap membahagiakan suami dengan menghindari hal-hal yang tidak
disukai, walaupun hal-hal itu dianggap wajar dilakukan seorang wanita yang tengah mengi-
dam. Dan harus diingat, mengidam adalah tanda yang akan menjadikannya sebagai seorang
ibu. Sebagai ibu, hatinya tentu harus dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang. Masa-masa awal
kehamilan adalah masa-masa yang harus dilalui dengan saling pengertian dan kasing
sayang. Jika tidak, tak mustahil muncul gesekan-gesekan yang pada gilirannya dapat
membuahkan akibat yang sesungguhnya sama sekali tak diinginkan mereka semua,
keretakan rumah tangga, bahkan bisa sampai pada perceraian. Wal’iyadzu billah.
Doa bagi Wanita Hamil Adalah hal yang wajar bila seorang wanita hamil khawatir akan
keselamatan bayi yang dikandungnya. Kekhawatiran-kekhawatiran itu bisa berupa:
akankah anaknya nanti terlahir dengan selamat atau tidak, sempurna atau tidak, menjadi
anak yang shalih atau tidak, dan seterusnya. Karenanya, memang sudah sewajarnya pula
orangtua berdoa untuk keselamatan anaknya, karena Rasulullah SAW sendiri
mensabdakan, “Tidak mengubah suatu ketentuan Allah kecuali doa.” – HR At-Tirmidzi.
Walaupun tidak ada doa khusus yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW terkait masalah
kehamilan, tidak ada salahnya Anda membaca doa-doa dari para salafush shalih, seperti
doa dari Habib Husain Khirid, yang mengajarkan doa untuk wanita hamil, yang dapat Anda
simak pada salah satu buku karya kami, Bagaimana Anda Menikah? (cetakan I, halaman
121-122). Di antara faedah dari doa tersebut adalah agar seorang anak lahir dengan
selamat, sempurna, sehat jasmani dan ruhani, dan kelak menjadi anak yang shalih, insya
Allah.
Tanya: Bagaimana hukumnya bila dua orang laki-laki kakak-beradik, yang satu punya anak
laki-laki dan yang lainnya punya anak perempuan, kemudian anak mereka itu menikah
(menikah dengan sepupu). Apakah itu boleh menurut ajaran Islam, atau melanggar hukum
agama?
Jawab: Sepupu itu bukan mahram, walaupun dalam kondisi tertentu ia boleh menjadi wali
nikah. Oleh karenanya, batal wudhu antara mereka berdua, dan mereka boleh menikah satu
dengan lainnya.
Hanya saja, pernikahan dengan saudara sepupu itu khilaful-awla, artinya menyalahi yang
lebih utama, karena yang lebih utama adalah seseorang menikah dengan orang lain yang
tak ada hubungan kerabat, atau menikah dengan kerabat yang sudah jauh. Sedangkan se-
pupu termasuk kerabat dekat. Tetapi sah perkawinan sepupu dengan sepupunya asalkan
terpenuhi rukun-rukunnya. Hanya saja perkawinan dengan kerabat yang dekat, kurang
sempurna syahwat, sehingga dapat mengakibatkan kurang sempurna pula pertumbuhan
anak. Disebutkan di dalam Hasyiyah al-Bajuri juz ke-II sebagai berikut: Sunnah menikah
kepada selain kerabat yang dekat, yakni wanita (yang dinikahi) itu orang lain, atau kerabat
yang sudah jauh, karena syahwat lemah terhadap kerabat yang dekat, seperti anak perem-
puannya paman, sehingga anaknya itu (yang akan lahir) lemah.  

Tanya: Bagaimana hukumnya jika wanita meminang lelaki? 


Jawab: boleh perempuan meminang laki-laki, yakni menawarkan dirinya pada laki-laki
pilihannya baik karena dia alim, mulia, dsb. demikian tidaklah dipandang rendah menurut
syar'i, bahkan ini menunjukkan atas kemuliaan si wanita. sebagaimana dalam Hadits
disebutkan :
 ‫ا‬yَ‫ت ي‬ ْ َ‫ال‬yyَ‫هَا ق‬y‫ ِه نَ ْف َس‬yْ‫رضُ َعلَي‬y ِ y‫لم تَ ْع‬y‫ه وس‬yy‫لى هللا علي‬y‫ول هللاِ ص‬ ِ y‫ َرَأةٌ ِإلَى َر ُس‬y‫ت ا ْم‬ ِ ‫س َو ِع ْن َدهُ ا ْبنَةٌ لَهُ قَا َل َأنَسٌ َجا َء‬
ٍ َ‫د َأن‬yَ ‫ت ِع ْن‬
ُ ‫ُك ْن‬
‫لى هللا‬yy‫ت فِي النَّ ِب ِّي ص‬ ِ y‫ ٌر ِم ْن‬y‫ا َل ِه َي َخ ْي‬yyَ‫س َما َأقَ َّل َحيَا َءهَا َواسَوْ َأتَا ْه َواسَوْ َأتَا ْه ق‬
ْ َ‫ك َر ِغب‬y ٍ َ‫ت َأن‬ ْ َ‫ك ِبي َحا َجةٌ فَقَال‬
ُ ‫ت ِب ْن‬ َ َ‫َرسُو َل هللاِ َأل‬
‫ت َعلَ ْي ِه نَ ْف َسهَا‬
ْ ‫ض‬َ ‫عليه وسلم فَ َع َر‬. 
“Saya sedang bersama dengan Anas dan bersamanya anak perempuannya. Anas berkata,
‘Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menawarkan
dirinya. Dia (wanita tersebut –ed) berkata, ‘Apakah engkau menginginkanku?’ Anak
perempuan Anas kemudian berkata, ‘Betapa sedikit rasa malunya dan jelek perilakunya
dan jelek perilakunya.’ Lalu Anas menyangkal seraya berkata, ‘Dia lebih baik darimu dia
menginginkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menawarkan dirinya.” (HR. Al-
Bukhari : 5120)

Tanya: Dalam tingkah ikhtiar, adakah qoul yang memperbolehkan wanita menjadi saksi
menggantikan laki laki di dalam suatu aqad nikah ? misal wanitanya adalah seorang bu
nyai seorang ulama besar. 
Jawab: qaul yang membolehkan saksi nikah wanita (Jumhur ulama), kecuali dari Qaul
ulama hanafi, yang membolehkan saksi nikah 2 wanita+1 laki-laki....Berbeda dengan saksi
pada bidang-bidang yang lain (selain nikah)
 ‫دهن وال‬yy‫اء وح‬yy‫هادة النس‬yy‫زواج بش‬yy‫ح ال‬yy‫ فال يص‬،‫اهدان رجلين‬yy‫ون الش‬yy‫ بأن يك‬،‫ شرط عند الجمهور غير الحنفية‬:‫الذكورة‬
:‫ري‬y‫ال الزه‬yy‫ ق‬،‫ة‬yy‫امالت المالي‬yy‫وال والمع‬yy‫هادة في األم‬yy‫ بخالف الش‬،‫ه‬yy‫زواج وأهميت‬yy‫ورة ال‬yy‫ لخط‬،‫رأتين‬yy‫ل وام‬yy‫هادة رج‬yy‫بش‬
‫د‬yy‫ وال يقص‬،‫ال‬y‫د ليس بم‬yy‫ه عق‬yy‫) وألن‬2("‫ وال في الطالق‬،‫ وال في النكاح‬،‫"مضت السنة أال تجوز شهادة النساء في الحدود‬
‫ل‬yy‫هادة رج‬yy‫وز ش‬yy‫ تج‬:‫ة‬yy‫ الحنفي‬y‫ال‬yy‫وق‬.‫دود‬yy‫اء كالح‬yy‫هادة النس‬yy‫ فال يثبت بش‬،‫وال‬yy‫الب األح‬yy‫ ويحضره الرجال في غ‬،‫منه المال‬
‫هادتها في‬y‫ل ش‬y‫ا لم تقب‬y‫ وإنم‬،‫ا‬yy‫هادة وأدائه‬y‫ل الش‬yy‫ل لتحم‬y‫رأة أه‬y‫وال؛ ألن الم‬yy‫هادة في األم‬y‫ كالش‬،‫زواج‬y‫ في عقد ال‬y‫وامرأتين‬
‫ والحدود تدرأ بالشبهات‬،‫ التثبت‬y‫الحدود والقصاص فللشبهة فيها بسبب احتمال النسيان والغفلة وعدم‬ 
Bagi jumhur Ulama saksi Lak-laki adalah sarat tuk sahnya nikah, hal ini berbeda dengan
iamam Hanafi. Jumhur berpendapat Saksi itu harus dua orang laki-laki, maka tidak sah
nikah dengan saksi wanita atau dengan saksi satu laki-laki dan dua wanita..karena nikah
adalah perkara yang sangat sakral. Berbeda dengan saksi di dalam interaksi harta. Ibarot
diambil dari  al-Ghoyah 
syrah Hidayah (fiqih hanafi)
  ‫ َر‬y‫انُوا َأوْ َغ ْي‬yy‫ ُدواًل َك‬y‫ْن ُع‬yِ ‫ َرَأتَي‬y‫ ٌل َوا ْم‬y‫لِ َمي ِْن َأوْ َر ُج‬y‫الِ َغي ِْن ُم ْس‬yyَ‫اقِلَي ِْن ب‬yy‫ َّري ِْن َع‬y‫ُور شَا ِه َدي ِْن ُح‬
ِ ‫َواَل يَ ْن َعقِ ُد نِكَا ُح ْال ُم ْسلِمِينَ إاَّل بِ ُحض‬
ٍ ‫ ُعد‬ 
‫ُول‬
Nikah tidak sah kecuali dengan hadirnya dua saksi yang merdeka, balig, islam dan sah
dengan saksi seorang laki-laki dan dua wanita baik mereka adil/lurus atau tidak.menurut
kesepakatan 3 madzhab yakni madzhab Syafii, hambali dan maliki saksi dalam pernikahan
adalah harus laki-laki. Tetapi menurut madzhab Hanafi boleh dengan 2 orang wanita
dengan menambahkan 1 orang laki-laki. tidak diperkenankan dengan 2 wanita saja.
 ‫رط فى‬y‫ا ش‬y‫د و لكنه‬y‫ اما الحنفية فقالوا العدالة غير شرط فى صحة العق‬، ‫و اتفق الثالثة على اشترط الذكور فى الشاهدين‬
‫د من و‬yy‫ل ال ب‬yy‫ و ال تشترط الذكورة فيصح بشهادة رجل و امراتين و لكن ال يصح بالمراتين وحدهما ب‬،‫اثباته عند االنكار‬
٤/٢٨ ‫جوج رجل معهما الفقه على المذاهب االربعة‬

Tanya: Bagaimana hukumnya menjual ikan di dalam kolam? 


Jawab: Menurut qaul ashoh, menjual ikan dalam kolam kecil dan mudah untuk
mengambilnya hukumnya sah, tapi kalau tidak demikian apalagi cara pengambilannya
memerlukan waktu ekstra, hukumnya tidak boleh
 ‫انت‬yy‫إن ك‬yy‫ ف‬, ‫ح‬yy‫ح في األص‬yy‫ذه فيص‬yy‫هل أخ‬yy‫ه وس‬yy‫وال بيع السمك في الماء إال إذا كان في بركة صغيرة ال يمنع الماء رؤيت‬
‫اع ص‬yy‫( اقن‬. ‫ وبيع الحمام في البرج على هذا التفصيل‬. ‫البركة كبيرة ال يمكن أخذه إال بمشقة شديدة لم يصح على األصح‬
)275 (Mbah Jenggot). 

Tanya: Bagaimana hukum jual lelang degan harga yang lebih tinggi? 
Jawab: Jual beli dengan sistem lelang diperbolehkan, dengan dua qoyid yaitu selama tidak
ada unsur merugikan dan penipuan pada orang lain (qoshdul idlror). hasyiyah jamal 3/89, al
mausu'atul fiqhiyah 9/219 Jual beli dengan cara lelang dalam pengertian dengan ditawarkan
pada siapapun yang berani dengan harga paling mahal Hukumnya sah. Sulamuttaufiq hal.
54
  ‫ه‬yy‫ى ب‬yy‫تقرار الثمن) بالتراض‬yy‫د اس‬yy‫اكثر (بع‬yy‫ك ب‬yy‫تريه من‬yy‫بيع الش‬yy‫ترد الم‬yy‫ه اس‬y‫(أو البائع) بان يقول ل‬54 ‫عبارة سلم التوفيق‬
‫صريحا وال بد ايضا بعد التراضى به من المواعدة على ايقاع عقد به وقت كذا فلو اتفقا عليه ثم افترقا من غير مواعدة لم‬
‫رم ذلك‬y‫ه فال يح‬yy‫د في‬yy‫ه على من يزي‬y‫اف ب‬yy‫بيع يط‬y‫ان الم‬yy‫و ك‬yy‫ا ل‬yy‫تقرار الثمن م‬y‫رج باس‬yy‫ وخ‬y‫ذ‬y‫وم حنئي‬yy‫رم الس‬y‫يح‬. (Mbah
Jenggot dan Ust. Ilman) 

Tanya: Bila seorang wanita mempunyai penyakit yang bersifat menular pada anak yang
dikandungnya, kemudian dia tidak ingin hamil/ mungkin juga tidak menikah, apakah
dosa? 
Jawab: Asal penyakit tersebut di ketahui juga oleh pihak calon suami nantinya maka
baginya BOLEH menikah dan tidak boleh bagi suami setelah pernikahan terjadi
mengadakan FASAKH (merusak nikah) gara-gara penyakit tersebut, hal ini sesuai dengan
QOIDAH FIQHIYYAH
 ‫الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه‬ 
"Ridho atas sesuatu berarti juga ridho atas dampak yang ditimbulkannya" 
Namun bila di khawatirkan akan membuahkan keturunan yang juga mengidap penyakit
yang sama (bila memang sesuai petunjuk yang ahli di bidangnya -dokter red-) maka hukum
menikahnya menjadi MAKRUH berdasarkan keterangan yang di ambil dari Asna
AlMathoolib III/176:
َ ‫ص َو ْال ُج َذ ِام َغي ِْر ْال َحا ِدثَي ِْن َأِلنَّهُ ْم يُ َعيَّرُونَ بِ ُكلٍّ منها َوَأِلنَّ ْال َعي‬
 ‫ْب قد يَتَ َعدَّى إلَ ْيهَا وَِإلَى نَ ْسلِهَا‬ ِ ‫ َو َك َذا بِ ْالبَ َر‬ 
Hukum BOLEH tetapi MAKRUH ini sesuai dengan Hasil Keputusan Bahtsul Masaail
Nasional Di Pringgarata Lombok Tengah NTB 17-20 Nopember 1997 M. Saat
memutuskan masalah pernikahan bagi pengidap HIV/AIDS yang menghawatirkan
berdampak pada keturunan mereka di kemudian hari. 
Tanya: Haram/ tidakkah bila seseorang menikah dalam keadaan belum mendapatkan
pekerjaan/ belum mapan secara materi? 
Jawab: HARAM Bagi orang yang apabila ia menikah justru akan merugikan istrinya
karena ia tidak mampu memberi nafkah lahir dan bathin atau jika menikah ia akan cari
mata pencaharian yang di haramkan Allah SWT walaupun orang tersebut sudah berminat
menikah dan mampu menahan gejolak nafsunya dari berbagai zina. Hukum menikah
tersebut juga berlaku bagi kaum wanita. Ibnu Arafah menambahkan, bahwa bagi wanita
hukum menikah wajib apabila ia tidak mampu menafkahi dirinya sendiri sedangkan jalan
satu-satunya untuk menanggulangi nafkah tersebut adalah menikah. 
‫زواج‬yy‫ؤن ال‬yy‫درة على م‬yy‫ سواء من واحدة أو من أكثر إال بتوافر الق‬،‫ ال يحل شرعا ً اإلقدام على الزواج‬:‫القدرة على اإلنفاق‬
‫ من‬،‫باب‬y‫ر الش‬y‫ا معش‬y‫ «ي‬: ‫لم‬y‫ه وس‬y‫لّى هللا علي‬y‫ لقوله ص‬،‫ واالستمرار في أداء النفقة الواجبة للزوجة على الزوج‬،‫وتكاليفه‬
‫ مؤنة النكاح‬:‫» والباءة‬...‫استطاع منكم الباءة فليتزوج‬. 
Mampu memberikan NAFKAH pada istrinya. Syariat tidak menghalalkan seseorang
memasuki ranah pernikahan baik menikah hanya seorang istri atau lebih kecuali ia
berkemampuan memenuhi biaya dan tuntutan-tuntutan dalam sebuah rumah tangga,
mampu memenuhi hak-hak yang semestinya didapatkan seorang istri atas suaminya
berdasarkan sabda nabi,“Wahai kawula muda, barangsiapa yang mampu dari kalian atas
biaya maka menikahlah” yang dimaksud biaya adalah biaya yang dibutuhkan dalam
pernikahan dan rumah tangga. (Al-Fiqh al-Islaam IX/160) oleh ust. masaji Antoro 

Tanya: Marni adalah wanita yang sedang hamil, lalu ditinggal mati suaminya,karena marni
ingin iddahnya cepet selesai, maka marni mengambil jalan pintas dengan menggugurkan
kandungannya (aborsi). Pertanyaanku, Sejauh manakah iddahnya wanita yang keguguran
dan Bagaimana masa iddahny wanita yang menggugurkan kandungan ( aborsi ) ? 
Jawab: Sejauh manakah iddahnya wanita yang keguguran, yaitu minimal usia kandungan
sampai Mudghoh (hasyiyah al-jamal 4/446)
ِ y‫ ِع ْال َح ْم‬y ‫ض‬
 ‫ل‬y ْ ‫اصلَةٌ بِ َو‬ ِ ‫ َوَأِلنَّ ْالقَصْ َد ِمنْ ْال ِع َّد ِة بَ َرا َءةُ الر‬4 :‫ضعْنَ َح ْملَهُنَّ } [الطالق‬
ِ ‫َّح ِم َو ِه َي َح‬ َ َ‫ال َأ َجلُهُنَّ َأنْ ي‬
ِ ‫والت اَألحْ َم‬
ُ ‫َوُأ‬
َ َ‫( َولَوْ ) َكانَ ( َميِّتًا َأوْ ُمضْ َغةً تُت‬ 
)ُ‫ص َّور‬
dan Bagaimana masa iddahnya wanita yang menggugurkan kandungan(aborsi)? Tidak
habis masa 'iddah kecuali dengan melahirkan walaupun dengan melalui obat (albajuri
2/172)
 ‫والتنقضي العدة اال بوضعه ولو بدواء‬ 

Tanya: Apa sebenarnya Wathi Syubhat itu? 


Jawab: wathi' syubhat adalah wathi' yang tidak disifati dengan kebolehan dan keharoman.
Seperti ia menyangka bahwa wanita lain itu adalah istriya kemudian ia menjima'nya. tidak
ada had dalam wathi syubhat (kasyifatus saja 27).
 ‫م‬yy‫ة والقس‬yy‫ة أو الملكي‬y‫ل وهي كمن وطىء على ظن الزوجي‬yy‫بهة الفاع‬yy‫م األول ش‬yy‫ام القس‬y‫ة أقس‬yy‫م ثالث‬y‫واعلم أن الشبهة تنقس‬
‫ه‬yy‫د بخالف‬yy‫الم يعت‬yy‫الثاني شبهة المحل وهي كمن وطىء األمة المشتركة والقسم الثالث شبهة الطريق وهي التي يقول بها ع‬
‫ة وإال‬yy‫ل ال حرم‬yy‫ل بالح‬yy‫د القائ‬yy‫الث إن قل‬yy‫رام والث‬yy‫اني ح‬yy‫ف والث‬yy‫ل مكل‬yy‫ه غاف‬yy‫ة ألن فاعل‬yy‫ل وال حرم‬yy‫ف بح‬yy‫واألول ال يتص‬
)337 ‫ ص‬3 ‫حرم(اعانة الطالبين ج‬ 
Keterangan :wathi syubhat terbagi tiga: 
1. Syubhatul fail (pelaku), semisal orang yang menjima’ perempuan yang dianggap
isterinya, namun kenyataannya bukan. 
2. Syubhatul machal (perempuannya), semisal orang yang menjima’ budak perempuan
yang musytarokah (milik bersama). 
3. Syubhatut thoriq, semisal jima’ dari pernikahan tanpa wali (karena ada ulama yang
memperbolehkannya). I`anah Juz 3 Hal 337 (Mbah Jenggot) 

Tanya: Mohon dengan sangat pendapatnya, apakah sudah termasuk talak apabila dalam
satu pertengkaran ada ucapan atau kata-kata "beresan" atau "Loe Gue End", dsb. Sebagai
berikut ikhwal ceritanya "aku sudah gak tahan mas dengan sikapmu yang mudah jatuh
cinta, kalau masih begitu sikapmu lebih baik kita beresan" 
Jawab: Yang punya hak cerai adalah suami dan andai ucapan tersebut (beresan) di ucapkan
oleh suamipun masih butuh niat karena belum sorih/jelas (Mbah Jenggot). 

Tanya: Adakah doa agar mendekatkan kita pada jodoh kita? 


Jawab: Untuk laki-laki :
 ‫اجنَا َو ُذرِّ يَّاتِنَا قُ َّرةَ َأ ْعي ٍُن َواجْ َع ْلنَا لِ ْل ُمتَّقِينَ ِإ َما ًما‬
ِ ‫ َربَّنَا هَبْ لَنَا ِمنْ َأ ْز َو‬ 
Robbanaa Hab Lanaa Min Azwaajinaa Wa Dzurriyyaatinaa Qurrota A'yun, Waj'alnaa Lil
Muttaqiina Imaamaa 
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS;
Alfurqon ayat 74) 
Untuk perempuan :
 ‫اللهم ابعث بعال صالحا لخطبتى وعطف قلبه علي بحق كالمك القديم وبرسولك الكريم بالف الف الحوال وال قوة اال باهلل‬
‫العلي العظيم وصلى هللا على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم والحمد هلل رب العالمين‬ 
Allaahumma ib’ats ba’lan shoolihan likhitbaty wa ‘atthif qolbahuu ‘alayya bi haqqi
kalaamikal qodiimi wa rasuulikal kariimi bi alfi alfi Laa haula wa laa Quwwata illa
billaahil ‘aliyyil ‘adziimi, wa shollaa allahu ‘alaa sayyidinaa wa‘alaa aaalihii wa shohbihii,
walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin 
"Ya Allah kirimkan calon suami sholih untuk meminangku, lembuntukan hatinya untukku
dengan haq firmanMu yang dahulu dan utusanMu yang mulia dengan berkah sejuata Laa
haula wa laa Quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziimi, shalawat salam semoga tercurah pada
baginda Muhammad keluarga dan para sahabatnya, segala puji bagi Allah, Tuhan seru
sekalian alam". (Ust. Masaji Antoro dan mbah Jenggot) 

Tanya: Bagaimana sih sebenarnya syariat menyikapi pengantin wanita. Dia bersolek,
memakai pakaian mewah yang sering menjuntai-juntai ekor/ gaunnya menyapu lantai, dan
duduk di pelaminan yang dilihat banyak laki-laki dalam pesta pernikahannya? 
Jawab: Mengahdirkan pengantin wanita seperti dalam deskripsi pertanyaan di atas tidak
diperbolehkan dan haram, kecuali bila tidak menimbulkan fitnah. Referensi : Bujairamiy
alal Manhaj vol. III hal. 324, Hasyiyyah Al Jamal juz 4 hal. 124, I’anatuththolibin juz 1 hal.
313', I’anatuththolibin juz 3 hal. 305, Ihya’ Ulumiddin juz 2 hal. 160, Al Majmu’ juz 4 hal.
434. 

Tanya: Bagaimanakah urut-urutan wali nikah itu? 


Jawab: Urutan wali nikah adalah ayah, kakek (dari sisi ayah), saudara laki-laki sekandung,
saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari
saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah sekandung), paman (saudara ayah seayah),
anak laki-laki paman sekandung lalu anak laki-laki paman seayah dan seterusnya [1]
 ‫و‬yy‫د اب‬yy‫التزويج األب ثم الج‬yy‫(الولي في النكاح واحق األولياء بالتزويج)اولى الألولياء واحقهم ب‬17-16/ ‫المفتاح في النكاح‬
‫قيق ثم العم ألب‬y‫فل ثم العم الش‬y‫قيق ثم ابن األخ ألب وان س‬y‫قيق ثم ثم األخ ألب ثم ابن األخ الش‬y‫األب وان عال ثم األخ الش‬
‫د ثم‬yy‫ثم ابن العم الشقيق ثم ابن العم ألب وان سفل ثم عم األب ثم ابنه وان سفل ثم عم الجد ثم ابنه وان سفل ثم عم ابي الج‬
‫د من‬yy‫د اح‬y‫اذا لم يوج‬y‫ ف‬،‫ان ألب‬y‫قيق منهم على من ك‬y‫د الش‬yy‫ ويق‬،‫بات‬y‫ائر العص‬y‫ابنه وان سفلوهكذا على هذه الترتيب في س‬
‫عصبات النسب فالمعتق فعصبته ثم معتق المعتق ثم عصبته ثم الحاكم او نائبه‬ 
Jika seorang ayah telah meningal dunia, atau masih hidup tapi tidak memenuhi persyaratan
seperti : beragama lain (bukan muslim) atau gila maka perwalian
berpindah ke derajat dibawahnya yaitu kakek, tapi jika kakek juga tidak ada maka
berpindah ke saudara laki-laki sekandung dan seterusnya sesuai urutan di atas
 ‫يدا‬yy‫را رش‬y‫اقال ح‬y‫ا ع‬yy‫ه بالغ‬yy‫ وكون‬،‫لمة‬y‫ة مس‬yy‫انت الزوج‬yy‫لما ان ك‬y‫واما شروط الولي فمنها كونه مس‬18/ ‫المفتاح في النكاح‬
‫ة ان لم‬yy‫ه في الدرج‬yy‫اء اي لمن يلي‬yy‫ده من األولي‬yy‫ل لمن بع‬yy‫ة ب‬yy‫ه في الوالي‬yy‫ق ل‬yy‫ فان اختل شرط من هذه الشروط فال ح‬.‫عقال‬
‫يوجد من يساويه‬ 
Wallaahu A'lamu Bis showaab 

Tanya: Bagaimana hukum menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW)? 


Jawab: Pandangan Fiqih wanita berprofesi sebagai TKW hukumnya TIDAK BOLEH
kecuali: 
1.Aman dari fitnah yakni aman dari hal-hal yang membahayakan dirinya hartanya serta
aman dari maksiat. 
2.Suami miskin/ tidak mampu menafkahi keluarganya. 
3.Mendapat izin dari wali/suami jika suami masih mampu meberi nafkah. 
Refrensi: (1) Hasiah jamal Juz II hal 135 Cet darul Ihya` (2) Hasiah jamal Juz IV hal 509
Cet darul Ihya` (3) Is`adurrofiq Juz II hal 136 

Tanya: Kapan waktu terbaik untuk menikah? 


Jawab: Hendaknya akad nikah dilaksanakan di masjid, di hari jumat, di permulaan hari
(dini hari), di bulan syawal dan menjalani dukhul (belah duren) juga di dalamnya. 
(Keterangan di hari jumat) artinya hendaknya akad nikah diselenggarakan di hari jumat
karena ia adalah lebih utama dan pimpinan semua hari. 
(Keterangan di permulaan hari) artinya hendaknya akad nikah diselenggarakan di awal hari
berdasarkan hadits “Ya Allah berkahilah umatku dipagi harinya” (Dihasankan oleh at-
Tirmidzi) 
(Keterangan di bulan syawal) artinya disunahkan akad nikah diselenggarakan pada bulan
syawal. 
(Keterangan menjalani dukhul) artinya di sunahkan mendukhul (belah duren) terhadap
istrinya juga di bulan syawal, dasar adalah hadits riwayat ‘Aisyah ra.“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi dan mendukhul diriku di bulan syawal, dan mana
antara istri-istri beliau yang lebih utama ketimbang diriku ?” Hal ini sekaligus menepis
pendapat orang yang membenci pelaksanaan akad nikah pada masa-masa tersebut (I’aanah
at-Thoolibiin III/273 oleh Mbah Jenggot PISS KTB) 
Tanya: Ada seorang lelaki meminang wanita, kemudian ia pergi selama 3 tahun tak pulang-
pulang, padahal janjinya 2 tahun kembali. Kemudian ada seorang pria yang ingin
meminang wanita tersebut. Karena tak sabar, ia akhirnya menikah dengan lelaki kedua itu.
Bagaimana hukum meminang diatas pinangan orang lain? serta bagaimana hukum
pernikahannya? 
Jawab: "Tidak boleh salah seorang diantara kalian meminang pinangan saudaranya
"(muttafaq alaih). Sedangkan hukum nikahnya (dengan lelaki kedua) menurut pendapat
yang mu'tamad tetap sah, dengan sarat terpenuhi syarat rukun nikahnya, sedangkan khitbah
sendiri tidak termasuk syarat rukun nikah. Mungkin cara menyikapinya, harus dibicarakan
baik-baik antara kedua keluarga juga dengan melibatkan tokoh setempat (PISS KTB) 

Tanya: Sahkah menalak (cerai) istri via SMS? 


Jawab: Bila ada niat talak dari seorang suami yang mengirim SMS atau e-mail tersebut
maka jatuh talak, bila tidak ada niat talak tidak jatuh.
َ ‫س فَِإنْ نَ َوى بِ ِه الطَّاَل‬
. ‫ق َوقَ َع وَِإاَّل فَاَل‬ ِ ‫ص ِريحًا ِكنَايَةٌ َولَوْ من اَأْل ْخ َر‬ ِ ‫فَصْ ٌل َك ْتبُ الطَّاَل‬ 
َ ْ‫ق َولَو‬
(pasal) Menulis talak walau berupa kalimat talak yang shorih (jelas, seperti kata talak, cerai
dan pisah) hukumnya menjadi kinayah, berarti bila ada niat dari suami maka jatuh talak,
bila tidak ada niat tidak jatuh (Asna alMathoolib III/277)
 ‫ الطالق فهو كناية فلو كتب كناية من كناياته فكما لو كتب الصريح فهذا كناية عن الكناية‬: ‫و لو كتب‬ 
(Asybah aw annadhooir I/489) Oleh Ust. Masaji Antoro 

Tanya: Bagaimana hukum transaksi (akad) jual belinya orang buta? 


Jawab: Orang yang buta dihukumi tidah sah melakukan transaksi (jual beli) langsung, bila
materi jual belinya 'Ainun / barang nyata yang ada di majlis. kecuali sesuatu yang telah
diketahuinya sebelum yang bersangkutan buta. Menurut Imam Abu Hanifah, boleh,
merujuk kepada keumuman ayat wa ahallallohu albai'a.
. (‫ بيع معين لم يره العاقدان‬y‫ فال يصح‬:‫ان )قوله‬y‫و ك‬y‫ ول‬- ‫دهما‬y‫ أو أح‬y‫دين‬y‫ة المتعاق‬y‫ائب عن رؤي‬y‫أي ال يصح بيع معين غ‬
‫تى في‬yy‫ ح‬- ‫ك‬yy‫ل في ذل‬yy‫ فيوك‬- ‫رفاته‬yy‫ائر تص‬yy‫ كس‬- ‫ وعلم من ذلك امتناع بيع االعمى وشرائه للمعين‬- ‫حاضرا في المجلس‬
‫ بخالف ما في الذمة‬- ‫القبض واالقباض‬. (i'anah 3/14) ‫ فََأ َّما‬، ‫صفَ ٍة‬ ِ ‫ َوبَ ْي ُع‬، ‫ بَ ْي ُع َعي ٍْن‬: ‫ان‬
yِ َ‫ضرْ ب‬
َ ‫ع‬ ُ ‫ ْالبُيُو‬: ُّ‫قَا َل ْال َما َورْ ِدي‬
‫و‬yyُ‫ا َل َأب‬yyَ‫امس ; َوق‬yy‫زء الخ‬yy‫ الج‬. ُّ‫ح‬y‫ص‬ ِ َ‫ َل ْال َع َمى فَي‬y‫ هُ قَ ْب‬y‫صي ًرا قَ ْد شَاهَ َد َما ا ْبتَا َع‬
ِ َ‫صحُّ مِنَ اَأْل ْع َمى ِإاَّل َأنْ يَ ُكونَ ب‬ ِ َ‫بَ ْي ُع ْال َعي ِْن فَاَل ي‬
‫ َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع [ ْالبَقَ َر ِة‬: ‫وم قَوْ لِ ِه تَ َعالَى‬
ِ ‫ ا ْستِدْاَل اًل ِب ُع ُم‬: ُ‫ يَجُو ُز بَ ْي ُع اَأْل ْع َمى َو ِش َراُؤ ه‬: ‫ك‬ ٌ ِ‫ َحنِيفَةَ َو َمال‬:  (alhawy alkabir
5/756) ‫( وال يجوز بيع األعمى إال في السلم ويوكل بصيرا يقبض له ويقبض عنه‬aliqna' 1/51) 
Orang buta bisa melakukan transaksi jual beli dengan Cara Salmu/Bai'u Syai-In Maushufin
Fidz Dzimmah/Pemesanan 

Tanya: Bagaimana hukumnya orang yang menikah tanpa wali karena memang tidak ada
orang lain di daerah itu selain ia dan pasangannya? 
Jawab: Boleh nikah, tapi jika suatu saat kembali bersama dan ketemu manusia banyak,
wajib diulang nikahnya.
َ ‫ا‬yyَ‫ا فِيه‬yy‫ونُ َم‬yy‫ان َأنَّ اَأْلحْ سَنَ إلَ ْخ ) فِي ِه نَظَ ٌر َويَ ُك‬
  ٌ‫ا َرة‬y ‫إش‬ ِ َ‫ لِبَي‬: ُ‫) ( قَوْ لُه‬327 ‫ ص‬/ 38 ‫تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج‬
ْ‫ وَِإن‬، ‫ ْب ِك ُّي‬y‫الس‬
ُّ ‫ار ُح‬ َّ ُ‫ه‬yَ‫ا قَال‬yy‫ ِه َك َم‬yِ‫ص َّحتِ ِه بِاَل َولِ ٍّي َواَل ُشهُو ٍد بِنَا ًء َعلَى َأنَّ ااِل ْعتِدَا َد بِ ِخاَل ف‬
ِ y‫الش‬ ِ ِ‫ف دَاوُد ْالقَاِئ ِل ب‬
ِ ‫إلَى ُم َراعَا ِة ِخاَل‬
‫ار ُح‬ َّ ‫ف دَاوُد َو‬
ِ y ‫الش‬ ِ ‫ ِو ِخاَل‬y ْ‫ح ُم ْسلِ ٍم ِخاَل فُهُ َوقَ ْد َأ ْفتَى َش ْي ُخنَا ال ِّشهَابُ ال َّر ْملِ ُّي ِب َعد َِم ْال َح ِّد ُم َراعَاةً ِلنَح‬
ِ ْ‫اس ِمنْ شَر‬ ِ َ‫ب اللِّب‬
ِ ‫نَقَ َل َعنْ بَا‬
‫ب ْال َح ِّد َك َما تَ َرى‬ِ ‫ش َعلَى ُوجُو‬ ٍ ‫( َما‬Mbah Jenggot PISS KTB). 

Tanya: Anak perempuan itu boleh menolak jika dinikahkan dengan pria yang tidak kufu'
(nggak sebanding). Apa batasan kufu' itu? Apakah umur dan pekerjaan termasuk di
dalamnya? 
Jawab: Kafaah itu dibagi menjadi: 
1. Iffah (menjaga terhadap agama). Orang fasiq (terus menerus berbuat dosa kecil atau
pernah berbuat dosa besar) tidak sekufu’ dengan orang yang adil. 
2. Terbebas dari segala aib yang bisa menetapkan hak khiyar, seperti gila, lepra, atau
penyakit belang. 
3. Merdeka/budak. Seorang budak tidak sekufu’ dengan orang yang merdeka. 
4. Nasab (keturunan). Orang ‘ajam tidak sekufu’ dengan orang arab, orang arab yang bukan
kaum quraisy (golongan bani Hasyim dan Abdi Manaf) tidak sekufu’ dengan orang quraisy
dan selain keturunan dari sydt Fatimah (selain keturunan sayyidina Hasan dan Husein)
tidak sekufu’ dengan keturunan beliau. 
5. Hirfah (pekerjaan). Orang yang pekerjaannya rendahan seperti yang berkaitan dengan
najis (tukang bekam/cantuk, tukang sampah atau tukang jagal) tidak sekufu’ dengan
pedagang. Namun sebagian ulama’ tidaklah memandang pekerjaan sebagai salah satu
faktor penetapan kafaah. Sedangkan masalah umur tidak masuk dalam kafaah.
‫ْس ُك ْفًئا ‪ ‬‬ ‫ق لَي َ‬ ‫ب ْال ُم ْث ِبتَ‪ِ y‬ة لِ ْل ِخيَ‪ِ y‬‬
‫‪y‬ار َوحُرِّ يَّةٌ‪ ،‬فَ‪yy‬ال َّرقِي ُ‬ ‫ص‪y‬ا ُل ْال َكفَ‪yy‬ا َء ِة‪َ :‬س‪y‬اَل َمةٌ ِمنْ ْال ُعيُ‪yy‬و ِ‬ ‫المنهاج للن‪yy‬ووي – (ج ‪ / 1‬ص ‪َ (308‬و ِخ َ‬
‫ْس كُفْ َء َع َر ِبيَّةٍ‪َ ،‬واَل َغ ْي‪ُ y‬ر قُ َر ِش‪ٍّ y‬ي قُ َر ِش‪y‬يَّةً‪َ ،‬واَل َغ ْي‪ُ y‬ر ه ِ‬
‫َاش‪ِ y‬م ٍّي‬ ‫ْس ُك ْفًئا ِل ُح َّر ٍة َأصْ ِليَّةٍ‪َ ،‬ون ََس‪y‬بٌ ‪ ،‬فَ‪ْ y‬‬
‫‪y‬ال َع َج ِم ُّي لَي َ‬ ‫ق لَي َ‬ ‫ِل ُح َّرةٍ‪َ ،‬و ْال َع ِتي ُ‬
‫احبُ ِحرْ فَ‪ٍ y‬ة َدنِيَئةٍ‪،‬‬ ‫ص‪ِ y‬‬ ‫ق كُفْ َء َعفِيفَةٍ‪َ ،‬و ِحرْ فَ‪y‬ةٌ فَ َ‬ ‫اس ٌ‬‫ْس فَ ِ‬ ‫ب‪َ ،‬و ِعفَّةٌ فَلَي َ‬ ‫ب فِي ْال َع َج ِم ك َْال َع َر ِ‬ ‫صحُّ ا ْعتِبَا ُر النَّ َس ِ‬ ‫َو ُمطَّلِبِ ٍّي لَهُ َما‪َ ،‬واَأْل َ‬
‫از‪َ ،‬واَل‬ ‫َاج ٍر َأوْ بَ َّز ٍ‬
‫ت َخيَّاطٍ ‪َ ،‬واَل َخيَّاطٌ بِ ْنتَ ت ِ‬ ‫ْس كُفْ َء بِ ْن ِ‬ ‫اع َوقَيِّ ُم ْال َح َّم ِام لَي َ‬
‫ارسٌ َو َر ٍ‬ ‫ْس كُفْ َء َأرْ فَ َع ِم ْنهُ‪ ،‬فَ َكنَّاسٌ َو َحجَّا ٌم َو َح ِ‬ ‫لَي َ‬
‫ير‬
‫الص ‪ِ y‬غ ِ‬ ‫‪y‬ز ِوي ُ‪y‬ج ا ْبنِ ‪ِ y‬ه َّ‬ ‫ْس لَ‪y‬هُ تَ‪ْ y‬‬ ‫ْض‪َ ،‬ولَي َ‬
‫ال اَل يُقَابَ ُل بِبَع ٍ‬ ‫ص ِ‬ ‫ْض ْال ِخ َ‬ ‫صحُّ َأنَّ ْاليَ َسا َر اَل يُ ْعتَبَرُ‪َ ،‬وَأنَّ بَع َ‬ ‫اض‪َ ،‬واَأْل َ‬ ‫هُ َما بِ ْنتَ عَالِ ٍم َوقَ ٍ‬
‫ص‪y‬حِّ ‪ .‬إعان‪y‬ة الط‪y‬البين – (ج ‪ / 3‬ص ‪)377‬‬ ‫ال فِي اَأْل َ‬ ‫ص‪ِ y‬‬ ‫ب‪َ ،‬ويَجُ‪y‬و ُز َمنْ اَل تُكَافُِئهُ بِبَ‪yy‬اقِي ْال ِخ َ‬ ‫‪y‬ذهَ ِ‬ ‫َأ َمةً‪َ ،‬و َك َذا َم ِعيبَ‪y‬ةٌ َعلَى ْال َم ْ‬
‫فصل في الكفاءة أي في بيان خصال الكف‪y‬اءة المعت‪y‬برة في النك‪y‬اح ل‪y‬دفع الع‪y‬ار والض‪y‬رر ‪ .‬وهي لغ‪y‬ة‪ :‬التس‪y‬اوي والتع‪y‬ادل‪.‬‬
‫واصطالحا أمر يوجب عدمه عارا‪ .‬وضابطها مساواة الزوج للزوجة في كمال أو خسة ما عدا السالمة من عيوب النكاح‬
‫(قوله‪ :‬وهي) أي الكفاءة‪ .‬وقوله معتبرة في النكاح ال لصحته‪ :‬أي غالبا‪ ،‬فال ينافي أنها قد تعتبر للصحة‪ ،‬كم‪yy‬ا في ال‪y‬تزويج‬
‫باالجبار‪ ،‬وعبارة التحفة‪ :‬وهي معتبرة في النكاح ال لصحته مطلقا بل حيث ال رضا من الم‪yy‬رأة وح‪yy‬دها في جب وال عن‪yy‬ة‬
‫ومع وليها االقرب فقط فيما عداهما‪ .‬اه‪ .‬ومثله في النهاية وقوله بل حيث ال رضا‪ ،‬مقابل قوله ال لصحته مطلقا‪ ،‬فكأنه قيل‬
‫ال تعتبر للصحة على االطالق وإنما تعتبر حيث ال رضا‪ .‬اه‪ .‬ع ش‪( .‬والحاصل) الكفاءة تعت‪yy‬بر ش‪yy‬رط للص‪yy‬حة عن‪yy‬د ع‪yy‬دم‬
‫‪ ‬الرضا‪ ،‬وإال فليست شرطا لها‬
‫‪Tanya: Bagaimana hukumnya menjadi "tamu tak diundang" dalam resepsi pernikahan‬‬
‫‪seseorang untuk ikut menikmati hidangannya? ‬‬
‫‪Jawab: Hukumnya HARAM kecuali jika tuan rumah mempersilahkan maka hukumnya‬‬
‫‪menjadi makruh. ‬‬
‫وأما التطفل وهو حضور الدعوة بغير إذن فحرام إال أن يعلم رضا رب الطعام لصداقة أو مودة وصرح جماعة منهم ‪A.‬‬
‫الماوردي بتحريم الزيادة على قدر الشبع وال يضمن قال ابن عبد السالم وإنما حرمت ألنه‪y‬ا مؤذي‪yy‬ة للم‪y‬زاج قول‪y‬ه ( ألنه‪y‬ا‬
‫مؤذية للمزاج ) وحينئذ‪ y‬تحرم سواء كانت تلك الزيادة من ماله أو من مال غيره ومقتض‪yy‬اه‪ y‬أنه‪yy‬ا حيث لم ت‪yy‬ؤذ ال تح‪yy‬رم وال‬
‫ضمان وإن لم يعلم رضا المضيف وال يبعد الضمان والحرمة حيث لم يعلم رضاه بذلك وأنها تكره حيث علم رضاه ألنها‬
‫‪ ‬قد تؤذي ح ل‬
‫‪Sedangkan hukum menerombol (menghadiri undangan tanpa izin) maka haram hukumnya‬‬
‫‪kecuali bila diketahui kerelaan dari pemilik jamuan karena jamuannya disediakan untuk‬‬
‫‪sedekah atau ramah tamah.Segolongan ulama seperti al-Mawardi membatasinya tidak‬‬
‫‪melebihi kadar kenyang dan baginya tidak diwajibkan mengganti apa yang ia makan (bila‬‬
‫‪terdapat kerelaan pemilik jamuan), berkata Ibn Salam hal tersebut diharamkan karena‬‬
‫‪kebiasaannya dan umumnya hal yang demikian unsur menyakiti pemilik jamuan.‬‬
‫‪(BUJAIRIMI ALAL-MANHAJ III/343) ‬‬
‫يحرم التطفل واستثنى المتولي وغيره فقالوا إذا كان في الدار ضيافة جاز لمن بينه وبين صاحب الطع‪yy‬ام انبس‪yy‬اط أن ‪ B.‬‬
‫‪ ‬يدخل ويأكل إذا علم أنه ال يشق عليه‬
‫‪Haram hukumnya menerombol, al-Mutawally dan lainnya memberikan pengecualian bila‬‬
‫‪terjadi pada tempat jamuan yang antara dia dan pemiliknya diketahui tidak menyakiti dan‬‬
‫‪sukarela saat ia masuk dan turut serta makan. (Roudhoh lin NAWAWI VII/339) ‬‬
‫‪ ‬ويحرم التطفل وهو حضور الوليمة من غير دعوة‪ y‬إال إذا علم رضا المالك به لما بينهما من األنس واالنبساط‪C.‬‬
‫‪haram hukumnya menerombol (menghadiri undangan tanpa izin) kecuali bila diketahui‬‬
‫‪kerelaan dari pemilik jamuan karena diantara keduanya terjadi rasa saling suka dan‬‬
‫‪gembira. (Syarah Bahjah Oleh Zakariya Al_Ansorixv/221) PISS KTB ‬‬
BAB MUAMALAH

Pertanyaan 01
Apakah asuransi termasuk riba juga?

Jawaban:
Iya asuransi hukumnya haram karena didalamnya ada riba,
maysir, ghoror dan lainnya.

Pertanyaan 02
Bagaimana menerapkan fiqih mumalah secara online?

Jawaban:
Saya belum faham maksud pertanyaannya. Tetapi jika
maksudnya sistemnya maka yaitu belajar fiqih muamalah secara
online tanpa tatap muka

Pertanyaan 03
Apa hukum MLM?

Jawaban:
MLM hukumnya haram karena didalamnya ada samsaroh ala
samsaroh atau makelar diatas makelar

Pertanyaan 04
Kenapa pemerintah menghalalkan riba?

Jawaban:
Pemerintah indonesia tidak menerapkan hukum islam sebagai
dasar negara tetapi yg diterapkan adalah kapitalisme
sehingga riba dan segala jenis maksiat lainnya dibuat legal oleh
negara

Pertanyaan 05
Bagaimana cara mengenali yang syariah dan konvensional
karena banyak yang berlabel syariah?

Jawaban:
Lihat dari akad dan parakteknya. Untuk info detailnya bisa dilihat
dimateri ke 4 tentang perbedaan KPR Syariah dan KPR Bank

Pertanyaan 06
Apa itu samsaroh ala samsaroh?

Jawaban:
Akad samsaroh dalam islam hukumnya mubah. Akad ini dikenal
dalam dunia properti yaitu akad mediasi untuk mempertemukan
antara pemilik rumah dengan pembelinya dengan pemberian
komisi jika berhasil menjual.

Namun jika terjadi samsaroh ala samsaroh atau makelar diatas


makelar maka ini dilarang dalam islam.

Samsaroh ala samsaroh adalah transaksi dimana telah terjadi


akad samsaroh yang kedua kalinya. Dimana diantara kedua belah
pihak yang melakukan akad ini tidak ada salah satunya sebagai
pemilik barang.

Berikut gambaran tentang samsaroh ala samsaroh.


1. Developer
2. Agency
3. Marketing

Nomor 1 dan 2 boleh berakad samsaroh misal nomor 1


memberikan komisi 4% kepada nomor 2 jika berhasil menjualkan
setiap 1 unit rumah. Karena diantara 2 pihak ini salah satunya
adalah pemilik barang yaitu nomor 1.

Jika nomor 2 dan 3 melakukan akad samsaroh lagi maka ini


dilarang. Yaitu nomor 2 memberikan komisi kpd nomor 3 misal
2,5%. Ini dilarang karena nomor 2 bukanlah pemilik barang.

Jadi untuk mengetahui apakah akad samsaroh tersebut benar


boleh dilakukan adalah salah satu pihak adalah pemilik barang.

Agar nomor 2 dan 3 akadnya tidak bathil/menjadi syah maka bisa


menerapkan akad Al-Ijaroh atau Syikah 'Abdan

Pertanyaan 07
Apa yg harus dilakukan jika terlanjur mengambil KPR Ribawi?

Jawaban:
1. Taubat Nasuha
2. Jika baru masuk BookingFee atau DownPayment rendah maka
batalkan walaupun uang hangus

3. Jika sudah masuk banyak cicilan misal tahun ke 6 atau ke 7 dari


10 tahun maka percepat pelunasan atau dijual

4. Jika ingin melunasi maka bisa negosiasi untuk hanya


membayar pokoknya dan juga tanpa penalty
5. Berkumpul dgn komunitas anti riba sehingga mudah -
mudahan ada yang bisa membantu memberikan solusi

Pertanyaan 08
Apakah BPJS ada riba?

Jawaban:
BPJS ada asuransi dan hukumnya haram karena didalamnya ada
riba, maysir dan ghoror.

Untuk ribanya yaitu saat kita bayar premi misal 300ribu/bulan


kemudian setelah 1 tahun menjadi 3,6 juta. Tapi saat kita sakit
biaya yg di cover oleh BPJS misal 5 juta. Maka 1,4 juta adalah riba
karena ini adalah kelebihan dalam hutang piutang yaitu riba

Pertanyaan 9
Bagaimana cara menghindari riba

Jawaban:
1. Belajar fiqih muamalah sebelum kita beramal/praktik jual beli

2. Senantiasa bersabar dgn menahan keinginan dan


mendahulukan kebutuhan pokok

3. Berkumpul dengan orang - orang sholeh yang anti riba


sehingga saling mengingatkan

Pertanyaan 10
Apa bedanya KPR Syariah dgn pembiayaan konvensioanal

Jawaban:
Perbedaannya terletak di akad dan praktiknya yaitu tidak ada riba
dan akad - akad bathil lainnya. Untuk detail bisa dilihat dimateri
ke 4 ya yaitu perbedaan KPR Syariah dan KPR Bank

Pertanyaan 11
Apa yang menjadikan akad kerjasama menjadi bathil?

Jawaban:
Contoh sederhananya jika ada investor yang memberikan modal
usaha kepada pengelola tetapi keuntungan untuk investor adalah
nilai fix yaitu prosentase dari besaran modal usaha. Ini namanya
riba

Pertanyaan 12
Akad apa aja dalam jual beli yang diperbolehkan dan sesuai
syariat?

Jawaban:
Jual beli cash, jual beli kredit, murobahah, salam, istishna' dan
lain - lain

Pertanyaan 13
Apa saja hukum dasar syariat dalam properti syariah

Jawaban:
Saya belum faham maksud spesifik pertanyaannya. Mungkin
landasan hukumnya, yaitu dasar - dasar hukum jual beli pada
umumnya

Pertanyaan 14
Bagaimana sistem dalam property syariah agar sesuai syariat?

Jawaban:
Silahkan dilihat dimateri ke 4 ya tentang perbedaan KPR Syariah
dan KPR Bank

Pertanyaan 15
Jika pernah melakukan riba apakah cukup taubat nasuha?

Jawaban:
Iya, cukup taubat nasuha dengan menyesali, memohon ampun
dan berjanji tidak akan mengulangi

Pertanyaan 16
Bagaimana akad jual beli dengan non islam?

Jawaban:
Hukumnya mubah karena pernah dilakukan oleh rasul yaitu jual
beli kepada yahudi dgn menggadaikan baju besinya. Yang
penting jenis barang yang diperjualbelikan adalah barang yang
halal

Pertanyaan 17
Akad apa saja yang digunakan dalam properti syariah

Jawaban
Jika dalam masalah jula beli maka yang dipakai adalah akad ba'i
al-istishna' yaitu jual beli pesan bangun. Buyer memesan
kemudian developer yang membangunkan

Seperti halnya ketika pesan kue, pesan baju dan lain - lain

Pertanyaan 18
Apabila terjadi force major bagaimana sebaiknya menyelesaikan
hutang piutang
Jawaban
Jika rumah sudah terbangun dan buyer ditengah jalan tidak
mampu melanjutkan mencicil:

1. Tidak boleh ada denda


2. Diberi waktu misal 3 bulan
3. Jika benar2 buyer sudah menyerah maka tidak boleh disita.
Solusinya yaitu rumah dijual. Tetapi yg menetapkan harga adalah
buyer dan bukan developer. Jika rumah terjual maka uangnya
dipakai untuk melunasi hutang dan kelebihannya adalah hak
pembeli

Pertanyaan 19
Adakah rambu - rambu untuk membangun rumah yang syar'i
dalam islam

Jawaban
Jika maksudnya adalah membangun rumah pribadi maka dasar -
dasarnya adalah

1. Harta atau sumber dana untuk membangun rumah adalah


harta yg halal
2. Perhatikan akad - akad antara kita dgn kontraktor dan pihak -
pihak yang berhubungan

3. Tidak boleh percaya dengan tanggal - tanggal baik dan tanggal


- tanggal buruk saat ingin membangun rumah

4. Tidak boleh percaya dengan posisi hadap arah mata angin


5. Tidak boleh pakai benda - benda sesajen
Pertanyaan 20
Dalam pembiayaan KPR apakah Bank Syariah di Indonesia benar
- benar menjalani sistem syariah?

Jawaban:
Secara umum Bank Syariah untuk KPR masih belum sempurna.
Karena didalamnya masih ada jual beli murobahah yg tidak
sesuai dgn fakta, adanya denda, adanya asuransi dan
menjaminkan barang yang sedang diperjualbelikan.

Untuk detailnya bisa dilihat materi ke 4 yaitu tentang perbedaan


KPR Syariah dan KPR Bank

Pertanyaan 21
Jika pembeli tidak menyelesaikan cicilannya dan jika over kredit
terlalu lama misal lebih dari setahun maka bagaimana
penyelesaiannya dalam islam

Jawaban:
Jika rumah sudah terbangun dan buyer ditengah jalan tidak
mampu melanjutkan mencicil:

1. Tidak boleh ada denda


2. Diberi waktu misal 3 bulan
3. Jika benar - benar buyer sudah menyerah maka tidak boleh
disita. Solusinya yaitu rumah dijual. Tetapi yg menetapkan harga
adalah buyer dan bukan developer. Jika rumah terjual maka
uangnya dipakai untuk melunasi hutang dan kelebihannya
adalah hak pembeli

4. Jika misal over kredit atau penjualan rumah terlalu lama maka
tetap tidak boleh disita dan mengusir pembeli dari rumahnya.
Dalam hal ini developer harus bersabar seperti halnya bersabar
dalam menunggu orang lain untuk melunasi hutang

Pertanyaan 22
Bagaimana hukum perbedaan harga cash dan harga kredit

Jawaban:
Harga cash dan harga kredit berbeda ini dibolehkan. Karena saat
menawarkan harga - harga ini hanya sebatas penawaran 2 harga
dan bukan terjadinya 2 harga karena belum terjadi akad.

Hadistnya yaitu:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin


Amru bin Al ‘Ash untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan
kita tidak memiliki unta tunggangan, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkanku untuk membeli tunggangan dengan
pembayaran ditunda (tidak tunai) hingga datang saatnya penarikan
zakat. Maka Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash pun seperintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor unta dengan harga
dua ekor unta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya
penarikan zakat." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan
dihasankan oleh Al Albani)

Dalam hadist ini ada 2 penawaran harga yaitu jika membeli cash
maka seharga 1 ekor unta dan jika membeli kredit maka seharga
2 ekor unta

Pertanyaan 23
Apakah boleh akad syar'i dengan jangka waktu tertentu
Jawaban:
Jika maksudnya adalah jual beli kredit dalam jangka waktu
tertentu maka hukumnya boleh

Pertanyaan 24
Bagaimana hukum investasi jika resiko hanya ditanggung sepihak
namun kedua pihak sepakat

Jawaban:
Jika ada investor memberikan modal kepada pengelola dan
mendapatkan keuntungan dari nilai fix prosentase modal dan
bahkan yang menanggung kerugian hanyalah satu pihak maka
ini dilarang.

Jika ada 2 orang bersyirkah/kerjasama dan bersepakat terhadap


hal yang dilarang agama maka ini tidak menghilangkan hukum
larangan tersebut. Seperti halnya berzina, kedua pihak sepakat
atau rida tetap tetap hukum zina ada haram. Atau contoh lainnya
seperti riba. Yang meminjam dan memberikan pinjaman sama -
sama rida tapi tetap hukum riba adalah haram

Pertanyaan 25
Sejauh mana inisiasi kita terhadap pemerintah dalam masalah
riba

Jawaban:
Sudah banyak pihak dan sudah sering berdialog dengan
pemerintah. Namun karena indonesia tidak memakai hukum
islam sebagai landasannya tetapi memakai hukum kapitalisme
maka pemerintah tidak peduli bahkan melegalkan riba dgn
hadirnya bank. Tidak hanya itu bahkan perzinahanpun dilegalkan
dan segala jenis maksiat lainnya

Pertanyaan 26
Bagaimana hukum menjual rumah dan kavling perkebunan
sedangkan ada hadist yang melarang menjual sesuatu yang
belum dimiliki/belum ada bentuk

Jawaban:
Hadist yang berbunyi "Laa tabi' maa laysa indak" yaitu janganlah
kamu menjual apa yang belum kamu miliki tidak berlaku kepada
barang yang perlu proses pembuatan seperti halnya pesan kue,
pesan baju dan lain - lain. Kalau ini dilarang maka kalau kita
membeli nasi goreng maka dilarang dong? kan nasinya belum
ada dan belum terlihat bentuknya

Nah barang - barang yang butuh proses pembuatan seperti


rumah maka hukumnya boleh. Akad yang dipakai adalah akad
ba'i al-istishna' yaitu jual beli pesanan.

Kemudian untuk kavling perkebunan yang dijual adalah


kavlingnya bukan pohonnya. Pohonnya adalah bonus. Jadi
simulasi gambaran hitungan keuntungan bukanlah termasuk dari
sisi harga jual.

Kecuali jual beli buah yang


masih dipohon maka ini dilarang
karena ini adalah jual beli ijon
yang dilarang.
Pertanyaan 27
Fiqih muamalah apa saja yang di bahas dalam properti syariah
selain riba

Jawaban:
Secara umum selain riba membahas tentang jual beli baik cash
atau kredit, hukum syirkah/kerjasama pihak - pihak yang terjun di
properti syariah seperti developer, agency, marketing, investor
dan lain - lain

Pertanyaan 28
Apa hukum jika sesama marketing yang berbeda agency saling
bertukar objek jualan

Jawaban:
Jika sebatas hanya tukar menukar informasi baik buyer atau
objek jualan dan tanpa ada pembagian komisi maka dibolehkan.

Namun jika ada pembagian komisi maka ada caranya agar tidak
bathil yaitu bisa dengan akad syirkah/kerjasama misal akad
syirkah 'abdan.

Pertanyaan 29
Apa hukum DP dalam jual beli

Jawaban:
Dalam jual beli untuk DP atau panjer hukumnya adalah
dibolehkan. Istilah DP ini adalah al-'Urbuun yaitu pembeli
menyerahkan sebagian uang kepada penjual. Jika nanti lanjut
maka DP menjadi bagian harga dan jika tidak lanjut maka
menjadi milik penjual.
Namun jika uang tersebut di berikan kembali kepada pembeli
maka ini lebih baik. Atau ada potongan sebatas biaya - biaya yang
sudah di keluarkan oleh misal developer seperti komisi
marketing, administrasi dan lain - lain

Pertanyaan 30
Bila membeli tanah yang hanya dibooking misal 10 juta apakah
sudah halal untuk dijual lagi?

Jawaban:
Jika kasusnya kita membeli tanah misal 1.000 meter dengan
harga 100 juta kemudian kita baru membayar 10 juta dan
sebelum lunas kita jual kembali maka hukumnya boleh.

Jual beli baik cash atau kredit maka hak kepemilikan dan
tanggung jawab terhadap barang tersebut sudah pindah dari
penjual ke pembeli.

Oleh karena itu pembeli boleh menghibahkan, menyewakan dan


menjualnya kembali

Demikianlah Tanya jawab tentang Fiqih Muamalah Properti


Syariah.

Pertanyaan
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly ditanya : Sebelumnya anda
nyatakan bahwa dakwah salaf menyeru kepada Islam secara
menyeluruh, salaf menyeru kepada rukun Islam, jihad dan politik.
Pertanyaan kami, sejauh manakah diperbolehkan ikut serta dalam
pertarungan politik?
Jawaban
Islam adalah agama yang paripurna (syamil) dan diridhai Allah untuk
kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
‫ِإنَّ الدِّينَ ِع ْن َد هَّللا ِ اِإْل سْاَل ُم‬
“Sesungguhnya Agama yang diridhai Allah di sisiNya adalah Islam”.

ِ ‫َو َمنْ يَ ْبت َِغ َغ ْي َر اِإْل سْاَل ِم ِدينًا فَلَنْ يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو ِفي اآْل ِخ َر ِة مِنَ ْالخ‬
َ‫َاس ِرين‬
“Barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan
diterima darinya dan kelak hari kiamat dia termasuk orang-orang
yang merugi”.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru untuk masuk kedalam Islam


secara menyeluruh dengan firman-Nya:
ً‫يَا َأيُّهَا الَّذِينَ آ َمنُوا ا ْد ُخلُوا ِفي الس ِّْل ِم كَافَّة‬

“Hai orang-orang yang berfiman masuklah kedalam As-Silmi (Islam)


secara keseluruhan”.

Dalam menafsirkan kata As-Silmi, Ibnu Abbas berkata :” As-Silmi”


adalah Islam. Jadi Allah memerintahkan kita untuk masuk kedalam
agama ini secara menyeluruh, atau masuk secara total kedalamnya.

Adapun “As-Siyasah”(politik) dialah hakikat Islam, karena makna


siyasah sendiri adalah mengatur kemaslahatan umat dengan hal-hal
yang tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah RasulNya.
Dalam merealisasikannya dibutuhkan suatu manhaj, ilmu ataupun
orang-orang yang paham kemaslahatan umat. Para ulama Islam
telah mengarang berbagai macam literatur siyasah syar’iyyah (politik
dalam syariat Islam) diantaranya : Buku Al-Ahkam As-Sultaniyyah
karya Al-Imam Al-Mawardi, As-Siyasah As-Syar’iyyah karya Ibn
Taimiyyah dan Abu Ya’la al-Musili dan At-Turuq Al-Hukmiyyah karya
Ibn Al-Qayyim dan sebagainya yang keseluruhannya menerangkan
bahwa Islam memiliki manhaj da’wah, Islam merupakan agama
seluruh nabi-nabi, Rasululullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
َ َ‫َت بَنُو ِإ ْس َراِئي َل تَسُو ُسهُ ْم اَأْل ْن ِبيَا ُء ُكلَّ َما هَل‬
‫ك نَ ِب ٌّي َخلَفَهُ نَ ِب ٌّي‬ ْ ‫كَان‬

“Bani Israil dipimpin oleh para nabi, jika seorang nabi wafat maka
akan digantikan dengan nabi lainnya”.

Beliau juga bersabda (yang artinya) : Akan datang setelahku para


khulafa (pemimpin), yang mampu memahami kemaslahatan suatu
ummat setelah para nabi adalah para ulul amri yakni al-hukkam
(para pemimpin) dan ulama”.
Merekalah yang berhak untuk masuk kedalam kancah perpolitikan ini
untuk kemaslahatan umat. Para pemimipin bertugas menjalankan
syari’at Allah, sedangkan para ulama bertugas mengarahkan umat
dan menunjuki para umara, yang berkompeten dalam hal ini adalah
orang yang berilmu dan paham dengan hukum syari’at, karena
kemaslahatan umat memerlukan pemahaman agama yang
sempurna.

Adapun kata “politik ” yang dipahami pada zaman ini sebenarnya


tidak pernah dikenal oleh Islam, karena pengertian berpolitik di era
ini adalah sebatas kemampuan untuk berdebat, menggerakkan
massa, kemampuan berkelit, berubah-ubah warna, kemunafikan dan
selalu mengikuti kemana arah angin bertiup. Islam berlepas diri dari
“politik ” yang seperti ini, karena tidak akan mendatangkan
kemaslahatan kepada ummat.

Inilah perbedaan makna “politik” yang diinginkan Allah dengan


makna yang dipahami oleh orang-orang sekarang, yang tidak lain
target utamanya agar sampai ketampuk kekuasaan, karena itu
seorang politikus rela untuk bekerja sama dengan segala macam
kelompok dan segala macam mazhab. Demi ambisi ini dia rela untuk
ganti-ganti warna, bersikap plin-plan dan berbuat kemunafikan
dengan politikus lainnya, walaupun bertentangan dengan Allah
Tuhan alam semesta.

Adapun siyasah syar’iyyah akan selalu dibawah pimpinan seorang


alim yang rabbani, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

َ ‫َو ٰلَ ِكنْ ُكونُوا َربَّانِيِّينَ ِب َما ُك ْنتُ ْم تُ َعلِّ ُمونَ ْال ِكت‬
َ‫َاب َو ِب َما ُك ْنتُ ْم تَ ْد ُرسُون‬
“Tetapi jadilah kalian ulama yang Rabbani dengan apa-apa yang
kalian ajarkan dari alkitab dan dengan apa-apa yang kalian pelajari”.

Cir-ciri alim Rabbani adalah seorang yang mendidik umat dengan


masalah-masalah yang sederhana terlebih dahulu sebelum masuk
kepada masalah-masalah yang besar. Dia paham betul apa yang
dibutuhkan umat, karena itu, dengan cara perlahan da’i mendidik
ummat hingga sampai kepada kesempurnaan dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

WAJIBNYA TAAT KEPADA PENGUASA


Oleh
Syaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr
Pertanyaan
Syaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr ditanya : Ada sebuah hadis
yang memerintahkan taat kepada umara, pertanyaannya apakah
waliul amri (penguasa) yang berkuasa di Indonesia ini termasuk ulul
amri yang wajib ditaati oleh bangsa Indonesia ?
Jawaban
Mengenai pemimpin Indonesia adalah seorang wanita, ini adalah
masalah baru yang muncul sekarang, walaupun sebelumnya negara
ini di pimpin oleh kaum lelaki, dan masalah pemimpin wanita ini
sekarang menjadi musibah seantero dunia disebabkan lemahnya
kaum lelaki sehingga dikalahkan oleh wanita, dan hadis yang
menyatakan:
ً‫لَنْ يُ ْفلِ َح قَوْ ٌم َولَّوْ ا َأ ْم َرهُ ْم ا ْم َرَأة‬

“Tidak akan berjaya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita”.

Adalah hadis shahih, walaupun realita sekarang kita lihat banyak


wanita yang menjadi pemimpin, dalam hal ini kita diperintahkan
untuk melihat realita dan menyesuaikan dengan syariat.

Jika pemimpin wanita ini memerintahkan untuk taat kepada Allah


maka dia wajib dipatuhi, sebaliknya jika dia memerintahkan untuk
kemaksiatan maka kita tidak akan patuh kepadanya bahkan lelaki
sekalipun yang menjadi pemimpin tidak boleh dipatuhi (jika menyeru
kepada maksiat).

Kesimpulannya : Jika para penguasa itu berbuat kezaliman kita


dilarang untuk mematuhi mereka dalam kezaliman tersebut dan kita
dilarang untuk keluar dari barisan (membelot dan menentang
mereka). Kita diperintahkan untuk mendoakan mereka agar ditunjuki
kepada jalan kebenaran dan ketaqwaan.

Bukanlah manhaj salaf keluar menyusun kekuatan untuk menentang


penguasa, kecuali jika nampak pada para penguasa tersebut kufur
yang nyata. Dengan catatan bahwa kita memang telah benar-benar
mampu untuk menggulingkannya, telah terwujud ahlu al-hilli yang
memiliki kekuatan dan jamaah yang sanggup untuk mereformasi dan
merubah struktur kepemerintahan tanpa terjadi fitnah.
Sebab didalam kaedah dikatakan:

“Meninggalkan kerusakan lebih utama dari mengambil


kemanfaatan”.
Sebagian kaum Muslim beranggapan demokrasi tidak bertentangan
dengan Islam, karena substansi demokrasi adalah prinsip
kekuasaan rakyat, yaitu rakyatlah yang memilih pemimpin yang
memegang kekuasaan. Bagaimana pendapat Ustadz?
Memang ada yang berpendapat seperti itu, seperti Syaikh Yusuf
Qaradhawi dalam kitabnya Min Fiqh ad-Dawlah. Saya katakan, pendapat
ini ada benarnya pada satu segi. Namun, secara umum pendapat itu
tetap tidak benar. Ada benarnya, karena dari segi kekuasaan atau
pemerintahan, Islam memang memberikan kekuasaan itu menjadi milik
umat. Inilah yang disebut prinsip as-sulthan li al-ummah. Dalilnya
adalah hadis-hadis pembaiatan khalifah oleh umat. Jadi, memang ini
sekilas mirip dengan prinsip demokrasi rule from the people atau
pemerintahan dari rakyat. Namun, tetap ada bedanya, karena dalam
Islam rakyat memilih penguasa untuk  menjalankan syariah. Sebaliknya,
dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum
buatan rakyat, bukan hukum syariah.
Jadi, pendapat Syaikh Yusuf Qaradhawi itu ada benarnya dalam satu
sisi, namun pendapat beliau secara umum saya anggap tetap tidak
benar. Tampaknya beliau luput memperhatikan prinsip lainnya dalam
demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, yang justru amat bertolak belakang
dengan Islam. Kalau kedaulatan dikatakan ada di tangan rakyat, artinya
kewenangan tertinggi untuk menetapkan hukum ada di tangan manusia.
Ini jelas sekali bertentangan dengan Islam, karena dalam Islam yang
berhak menetapkan hukum bukan manusia, melainkan hanyalah Allah
saja. Ingat firman Allah: In al-hukmu illa lilLah (QS al-An’am [6]:
57). Jadi dalam Islam, kedaulatan bukan di tangan rakyat, tetapi di
tangan syariah, karena syariah itu adalah wujud konkret dari hak Allah
membuat hukum.
 
Ada juga yang berpendapat, demokrasi itu substansinya adalah
musyawarah, dan itu kan justru disyariatkan?
Banyak orang bicara seperti itu. Misalnya, Presiden RI pertama,
Soekarno. Dia pernah bilang demokrasi bagi umat Islam adalah
musyawarah. Saya menentang Soekarno, juga menentang pendapat
keliru seperti ini. Pertama, karena musyawarah dalam Islam itu tidak pas
kalau dikomparasikan dengan demokrasi. Musyawarah itu artinya adalah
pengambilan pendapat menurut ajaran Islam (akhzdur ra‘yi fi al-
Islam). Adapun demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dari Barat.
Jadi membandingkan atau menyamakan musyawarah dengan
demokrasi menurut saya nggak level, istilahnya tidak apple to apple.
Mestinya demokrasi itu dibandingkan dengan sistem pemerintahan
Islam, yaitu Khilafah, bukan dengan musyawarah. Ini yang
pertama. Kedua, kalau demokrasi dengan musyawarah tetap
dibandingkan, akan banyak perbedaannya. Dalam hal siapa yang
berperan serta musyawarah beda dengan demokrasi. Al-Quran
menegaskan, peserta musyawarah hanyalah Muslim, bukan non-Muslim.
Ayat wa syawirhum fi al-amri (bermusyawarahlah kamu dengan
mereka dalam segala urusan, QS Ali ‘Imran [3]: 159), juga ayat wa
amruhum syura baynahum (urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah di antara mereka, QS Syura’ []: 38), menunjukkan
sebenarnya kata “mereka” (hum), adalah kaum Muslim saja, tidak
mencakup kaum non-Muslim. Sebaliknya, dalam demokrasi, yang
berperan serta tidak ada batasannya, bisa siapa saja, Muslim atau non-
Muslim. Ketiga, dalam hal kriteria pendapat yang diambil juga berbeda.
Dalam demokrasi, kriterianya adalah suara mayoritas untuk semua
persoalan. Dalam Islam, kriterianya tidak selalu suara mayoritas. Untuk
persoalan-persoalan teknis sederhana yang hukumnya mubah,
kriterianya memang suara mayoritas. Namun, dalam persoalan-
persoalan normatif yang menyangkut hukum, kriterianya bukan suara
mayoritas, melainkan dalil syar’i, yakni mana dalil syar’i yang paling kuat.
Untuk persoalan-persoalan strategis yang memerlukan keahlian,
kriterianya juga bukan suara mayoritas, melainkan pendapat yang paling
benar, yang datang dari para ahlinya.
 
Namun, dengan demokrasi itu ada keterbukaan, terbuka
kesempatan mengoreksi, pemerataan kesempatan dan rakyat bisa
memperjuangkan haknya. Jadi, jatanya, demokrasi itu tetap
penting. Bagaimana komentar Ustadz?
Apa yang disebut sebagai keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, dan
sebagainya itu tidak dapat menjadi dalil untuk mengadopsi demokrasi
atau dalil atas kebolehan umat Islam berperan serta dalam sistem
demokrasi.  Mengapa? Karena hal-hal yang disebut tadi hanyalah
persoalan cabang dari persoalan pokoknya, yaitu demokrasi. Selama
demokrasi sebagai persoalan pokoknya bertentangan dengan Islam,
maka demokrasi tetap tak boleh diambil atau diamalkan umat Islam,
meski dalam persoalan cabangnya tidak bertentangan dengan Islam.
Analoginya begini. Agama Kristen konon mengajarkan kasih sayang
kepada sesama, mengajarkan kepedulian kepada manusia yang
menderita atau terkena musibah. Saya tanya, apakah lalu boleh seorang
Muslim memeluk agama Kristen dengan alasan toh Islam juga
mengajarkan kasih sayang dan kepedulian kepada sesama? Tetap tidak
boleh, bukan? Karena kasih sayang atau kepedulian itu kan cuma
persoalan atau ajaran cabang dalam Kristen, yang mungkin secara
lahiriah tak bertentangan dengan Islam. Jadi, yang perlu dilihat bukan
persoalan cabangnya itu, melainkan justru persoalan pokok dalam
akidah Kristen itu sendiri, semisal teologi Trinitas yang jelas-jelas kufur
dan bertentangan secara total dengan Tauhid (QS al-Maidah [5]: 72-73).
 
Lalu bagaimana mau melakukan perubahan kalau tidak melalui
sistem demokrasi?
Perubahan seperti apa dulu? Kalau yang dimaksud adalah perubahan
yang bersifat parsial, misalnya perubahan kebijakan atau kultur tertentu
pada departemen tertentu, semisal pada Departemen Pertanian atau
Departemen Sosial, mungkin ada benarnya masuk demokrasi itu
dikatakan penting. Namun, jika yang dimaksud adalah perubahan total,
yaitu mengganti sistem demokrasi menjadi sistem Khilafah demi
menerapkan syariah secara kaffah, dan inilah yang seharusnya
dilakukan oleh umat Islam kini, maka masuk sistem demokrasi itu bukan
saja tidak penting, tetapi justru akan mempertahankan demokrasi yang
seharusnya segera digantikan dengan sistem Khilafah.
 
Kalau kita tidak masuk dalam sistem demokrasi, katanya nanti
kondisi umat makin buruk dan umat makin terzalimi. Bagaimana,
Ustadz?
Siapa bilang? Mana buktinya? Itu kan cuma asumsi yang tidak berdasar
fakta sama sekali. Pendapat itu kalau di balik, artinya kondisi umat akan
lebih baik dan makin mendapat keadilan (tak dizalimi), jika umat Islam
masuk sistem demokrasi. Faktanya tidak demikian. Justru pada era
reformasi yang katanya lebih demokratis dibanding era Orde Baru,
rakyat Indonesia yang notebene mayoritasnya umat Islam, kondisinya
tidak lebih baik. Angka kemiskinan, utang pemerintah, korupsi,
dekadensi moral, dominasi asing dalam politik dan ekonomi, menjadi
makin gila-gilaan justru di era reformasi sekarang. Padahal banyak orang
Islam di parlemen dan kabinet. Jadi, apakah dengan jumlah partai politik
yang lebih banyak saat ini kondisi umat menjadi lebih baik? Apakah
dengan peran serta orang Islam dalam lembaga legislatif (DPR dan
MPR) yang dipilih langsung oleh rakyat, kondisi umat lebih baik? Apakah
dengan peran serta umat Islam memilih langsung presiden dan wakil
presiden, memilih langsung kepala daerahnya dalam Pilkada, membuat
kondisi umat lebih baik? Tidak bukan?
 
Namun, kalau tidak masuk demokrasi, nanti kekuasaan dikuasai
non-Muslim dan orang-orang yang rusak dan itu akan
mendatangkan dharar (bahaya) bagi umat. Padahal dharar kan
harus dihilangkan?
Memang benar ada kaidah fikih: izalah  dharar
fardh[un], menghilangkan bahaya adalah fardhu. Namun, tidak tepat
kalau kaidah ini diterapkan untuk mewajibkan masuk sistem demokrasi
demi mencegah bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak.
Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, karena walaupun benar dominasi
non-Muslim atau orang rusak adalah bahaya bagi umat Islam, perlu
diingat, bahaya itu tidak muncul dengan sendirinya, melainkan muncul
karena adanya sumber bahaya, yaitu sistem demokrasi itu sendiri.
Sistem demokrasilah yang memberikan kesempatan kepada mereka
untuk menimpakan bahaya kepada umat Islam. Jadi, sistem demokrasi
itulah yang mestinya lebih patut dan lebih utama untuk dihilangkan,
bukan bahaya-bahaya lainnya sebagai ekses sistem demokrasi. Jadi,
kaidah fikih tadi semestinya diterapkan untuk mewajibkan penghapusan
sistem demokrasi sebagai induk bahaya, bukan untuk mewajibkan peran
serta umat dalam sistem demokrasi untuk sekadar menghilangkan
bahaya-bahaya lain yang muncul sebagai ekses sistem
demokrasi. Kedua, jika sistem demokrasi berpotensi menimbulkan
bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak, ini berarti, sistem
demokrasi telah menjadi sarana (wasilah) pada sesuatu yang haram,
yaitu munculnya bahaya. Jadi, kaidah fikih yang relevan untuk
menghukumi sistem demokrasi adalah: al-wasilah ila al-haram
muharramah (segala sarana menuju yang haram hukumnya
diharamkan). Jadi, sistem demokrasi itu hukumnya haram, karena dapat
menimbulkan sesuatu yang haram, yaitu bahaya berupa dominasi non-
Muslim atau orang rusak.
 
Ada yang bilang kalau belum bisa diambil semuanya, ya jangan
ditinggalkan semuanya. Sebab, ada kaidah fikih: ma la yudraku
kulluhu la yutraku kulluhu. Bagaimana, Ustadz?
Begini. Penerapan kaidah itu ada syaratnya, yaitu hanya boleh
diterapkan untuk perbuatan-perbuatan halal yang sesuai syariah, bukan
untuk perbuatan yang diharamkan syariah. Jadi, tidak boleh diterapkan
dalam kasus, misalnya, kalau tidak mampu mencuri mobil, maka curilah
spionnya saja, jangan ditinggalkan semuanya. Apakah ini bisa
dibenarkan? Tidak bukan? Jadi, kaidah tadi tidak boleh diterapkan untuk
perbuatan yang diharamkan syariah. Maka dari itu, harus dijawab lebih
dulu, masuk ke dalam sistem demokrasi, misalnya dalam kasus seorang
Muslim menjadi anggota lembaga legislatif, apakah perbuatan yang
dihalalkan atau diharamkan? Menurut saya, hukumnya haram, karena
haram hukumnya melegislasikan hukum yang bukan syariah Islam.
Kecuali masuknya bukan untuk melegislasi hukum, tetapi sekadar
menjalankan fungsi pengawasan (muhasabah ) dan untuk berdakwah,
maka hukumnya boleh. Jadi, jika masuknya Muslim dalam lembaga
legislatif adalah perbuatan yang haram, tentu tidak boleh kita
menerapkan kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Kekeliruan
yang amat fatal kalau kita menerapkan kaidah ini untuk melegitimasi
perbuatan yang sudah diharamkan syariah.
 
Bukankah dalam demokrasi pun bisa lahir peraturan-peraturan
yang tidak bertentangan dengan Islam?
Yang wajib diamalkan umat Islam itu hanyalah hukum syariah. Apabila
ada peraturan atau hukum atau undang-undang yang tidak bertentangan
dengan Islam, tetapi peraturan itu tidak bersumber dari Al-Quran dan as-
Sunnah, maka bagaimana pun status peraturan itu adalah tetap bukan
hukum syariah. Contoh di Rusia dulu pernah ada undang-undang yang
melarang bunga bank. Apakah ini hukum syariah? Jelas bukan, karena
undang-undang itu tentu tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.
Jadi demokrasi tetap harus kita tolak walaupun dengan demokrasi bisa
lahir undang-undang yang diklaim tak bertentangan dengan Islam.
Karena peraturan yang diperlukan umat Islam adalah peraturan yang
lahir dari Islam itu sendiri, yaitu undang-undang yang secara materil
adalah hukum syariah semata.
 
Masuk ke sistem demokrasi itu hanya untuk alat perjuangan,
sedangkan secara sikap tetap menolak demokrasi. Bagaimana
dengan pendapat semacam ini?
Bagi umat Islam, alat perjuangan itu harus yang halal, bukan yang
haram. Menggunakan alat yang haram untuk mencapai tujuan yang
halal, hukumnya tetap haram dan berdosa, tidak halal. Kaidah fikih
menyebutkan: la yutawashshalu ila al-halal bi al-haram (tidak boleh
mencapai yang halal dengan menggunakan sarana yang haram). Ini
disebut dalam kitab Ad-Da’wah ila al-Islam karya Syaikh Ahmad
Mahmud halaman 101.
 
Jadi bagaimana kita bisa tetap memperjuangkan Islam,
memperjuangkan nasib umat dan merealisasi perubahan dan
perbaikan ke depan?
Perjuangan yang sahih bukanlah melalui demokrasi, melainkan
mencontoh Rasulullah saw., yaitu menekuni jalan dakwah
melalui aktivitas perjuangan politik (kifah siyasi ) dan perang
ideologi (shira’ fikri ), serta berupaya melakukan thalabun-
nushrah (mencari dukungan) dari pihak-pihak yang mampu
menyerahkan kekuasaan untuk menegakkan Khilafah demi tegaknya
syariah secara kaffah. Inilah satu-satunya cara yang wajib ditempuh
umat.
BAB WARIS

Bolehkah Memberi Harta Warisan Sekedarnya Kepada


Kerabat, Anak Yatim dan Orang Miskin?

Allah swt. berfirman, “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir


kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta
itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik .”
(Surat 4. AN-NISAA’ – Ayat 8).

Sebagaimana kita ketahui, yang berhak untuk


mendapatkan bagian waris hanya orang tertentu saja,
sedangkan kerabat lainnya terhalang untuk mendapatkan
waris. Namun, walaupun kerabat lainnya itu terhalang,
jika mereka hadir dalam acara pembagian harta warisan
itu, sangat dianjurkan agar merekapun diberi bagian
tertentu dari warisan yang ada, dengan jumlah
sekedarnya, yang telah disepakati dahulu oleh orang-
orang yang berhak mendapatkan warisan. Begitu pula,
jika dalam acara pembagian tersebut hadir anak yatim
dan orang miskin, hendaknya mereka diberi juga,
sekedar untuk menyenangkan hati dan meringankan
beban mereka. Apakah kita akan tega, jika mereka
semua melihat pembagian harta warisan itu, sedangkan
mereka tidak diberi sedikitpun dari harta warisan yang
ada?

Di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an nya Sayyid Quthb


disebutkan, “Mengenai ayat ini (ayat 8 surat an-Nisaa’) terdapat
beberapa riwayat yang berbeda-beda dari para salaf. Diantara mereka
ada yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat
kewarisan yang menentukan batas-batas bagian tertentu untuk ahli
waris (yakni ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisaa’). Ada pula yang
mengatakan bahwa ayat ini muhkamat (berlaku hukumnya, tidak
terhapus). Diantaranya lagi ada yang mengatakan bahwa petunjuk ayat
ini adalah wajib, dan sebagiannya lagi berpendapat mustahab, untuk
menyenangkan hati ahli waris. Akan tetapi, kami melihatnya muhkamat
dan menunjukan hukum wajib (memberi bagian kepada ulul-qurba,
kerabat yang bukan ahli waris), dalam kondisi-kondisi seperti yang
kami sebutkan. Karena, melihat kemutlakan nashnya dari satu sisi, dan
melihat pengarahan Islam yang bersifat umum tentang tanggung jawab
sosial dari sisi lain. Hal ini merupakan urusan lain diluar bagian-
bagian ahli waris yang sudah ditentukan besar kecilnya dalam ayat-
ayat berikut dalam kondisi apapun .”

Lalu bagaimanakah jika ada kerabat yang tidak hadir


dalam acara pembagian warisan itu, namun sebenarnya
kerabat tersebut adalah orang miskin yang memerlukan
pertolongan harta? Di dalam kitab Fatwa-fatwa
Mutakhir, halaman 637-642, dengan penerbit Yayasan
Al-Hamidiy, beberapa anak yang ditinggal mati ayah dan
kakeknya, menyampaikan isi hatinya kepada Dr.Yusuf
Al-Qardhawi yang kemudian dijawab oleh beliau.

Berikut ini adalah curahan hati anak-anak yang ditinggal


mati ayahnya dalam keadaan kakeknya masih hidup:
“Kepada Ustadz (Dr.Yusuf Al-Qardhawi) kami kemukakan suatu
kesulitan dengan harapan akan menemukan pemecahannya dari
Ustadz. Kami tiga orang bersaudara, yang terbesar berusia empat
belas tahun. Ayah kami meninggal dunia dalam keadaan ayahnya
(kakek) masih hidup. Beberapa lama kemudian kakek kami itupun
meninggal dunia. Para paman kami (saudara-saudara lelaki ayah
kami) melaksanakan pembagian harta waris peninggalan kakek.
Mereka sama sekali tidak memberikan bagian kepada kami. Mereka
mengatakan: Seorang anak lelaki jika ia meninggal dunia dalam
keadaan ayahnya masih hidup, anak-anaknya yang ditinggal mati itu
tidak berhak menerima bagian dari harta peninggalan kakek yang
meninggal kemudian. Ini merupakan hukum syara’. Atas dasar itulah
kami tidak memperoleh sedikitpun bagian dari harta yang ditinggal
oleh kakek kami, sedangkan paman-paman kami berbagi harta waris
demikian lahap. Padahal mereka itu orang-orang kaya, sedangkan
kami anak-anak yatim, lagi miskin. Ibu kami yang malang itu terpaksa
membanting tenaga dan memeras keringat mencari nafkah untuk
membiayai penghidupan kami hingga kami besar dan dapat bersekolah.
Tidak seorang pun dari paman-paman kami membantu dan turut
membiayai kami. Apakah yang mereka katakan itu benar? Yaitu bahwa
hukum syara’ tidak memberi hak kepada kami untuk mendapat dari
harta peninggalan kakek kami? Bukankah kami ini ini anak-anak
keturunan dan anak lelakinya (cucu-cucunya). Akibat dari ketentuan itu
hanya ibu kami sendiri yang memikul beban membiayai penghidupan
kami. Kami mengharap jawaban secukupnya disertai penjelasan untuk
memecahkan persoalannya menurut ketentuan hukum syara’ .”

Berikut ini akan saya kutip secara singkat jawaban dari Dr.Yusuf
Al-Qardhawi:
Itu merupakan problem bagi seorang anak lelaki yang
wafat dalam keadaan ayahnya masih hidup, dan
meninggalkan anak-anak keturunan. Pada waktu kakek
mereka meninggal dunia para paman dan para bibi
mereka berbagi waris, sedangkan anak-anak yang mati
ayahnya (kemanakan-kemanakan mereka atau cucu-cucu
kakeknya) tidak mendapat bagian sama sekali.

Menurut kenyataan, dipandang dari sudut hukum waris


itu memang benar, yaitu bahwa cucu tidak turut
mewarisi harta peninggalan kakeknya selagi anak-anak
lelaki kakeknya itu masih ada. Sebab hukum waris
ditetapkan atas dasar kaidah-kaidah tertentu, antara lain
adalah: Orang yang peringkat hubungan
kekeluargaannya terdekat dengan pihak yang meninggal
dunia, ia akan menyekat (meng-hijab) peringkat
hubungan kekeluargaannya yang lebih jauh dari orang
yang meninggal dunia. Dalam hal seorang ayah wafat
meninggalkan beberapa orang anak lelaki dan sejumlah
cucu, maka yang berhak mewarisi harta peninggalan
orang yang wafat itu adalah anak-anak lelakinya,
sedangkan cucunya tidak berhak turut mewarisinya.
Sebab, anak peringkat hubungan kekeluargaan dengan
ayah mereka lebih dekat daripada cucu. Antara ayah dan
anak hanya ada satu peringkat, sedangkan antara kakek
dan cucu terdapat dua peringkat, yakni ada perantara,
yaitu ayah. Dalam hal demikian itu, maka cucu tidak
mempunyai hak waris atas harta peninggalan kakeknya.

Akan tetapi apakah itu berarti cucu-cucu yang ditinggal


mati kakek mereka itu sudah terjauhkan sama sekali dari
hak waris, sehingga mereka tidak akan dapat menerima
bagian sedikit pun? Problem itulah yang diatasi oleh
hukum syara’ dengan beberapa cara:

Cara pertama:

Sebelum wafat, kakek wajib mewasiatkan sebagian


hartanya (yang tidak melebihi sepertiga harta miliknya)
untuk cucu-cucu yang ditinggal wafat ayah mereka.
Wasiat demikian, menurut sebagian ulama salaf,
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Mereka
berpendapat, bahwa wasiat merupakan suatu kewajiban
(fardhu) yang tidak boleh diabaikan, dan harus diberikan
kepada sejumlah kerabat, kepada pihak-pihak yang
mengamalkan kebajikan, khususnya jika mereka itu
tergolong kerabat dekat yang tidak mendapatkan hak
waris. Wasiat harus diberikan atas dasar syarat, bahwa
yang diberi wasiat bukan orang yang mempunyai hak
waris. Mengenai itu Rasulullah s.a.w. telah menjelaskan:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang
berhak apa yang menjadi haknya. Karenanya tiada wasiat untuk
seorang ahli waris.”

Cara kedua:

Sebagaimana telah disadari oleh hukum syara’, dirasa


masih perlu diberikan cara pemecahan lain untuk
mengatasi problem seperti yang ditanyakan. Yaitu pada
saat para paman anak-anak yatim itu sedang membagi
harta peninggalan ayah mereka yang telah wafat,
hendaknya memberikan sebagian, walau sedikit, harta
peninggalan itu kepada kemanakan-kemanakan mereka
yang tidak berayah lagi. Demikianlah yang ditentukan
dalam Al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam Al-
Qur’an: “Dan jika pada waktu pembagian itu hadir kerabat (yang
tidak mempunyai hak waris), anak-anak yatim dan orang-orang miskin;
berilah mereka sebagian dari harta (peninggalan) itu dan ucapkanlah
kata-kata yang baik kepada mereka .” (S. An-Nisa: 8).

Kita dapat membayangkan bagaimanakah kiranya jika


pada waktu pembagian harta peninggalan itu mereka
datang dan melihat sendiri berapa banyak masing-
masing menerima bagian, sedangkan mereka tidak diberi
sama sekali? Ayat suci tersebut mendahulukan kerabat,
sebab mereka itu memang berhak, apalagi anak-anak
yatim kemanakan sendiri, anak-anak keturunan saudara
mereka sendiri juga! Karena itu wajarlah jika paman-
paman mereka diwajibkan memberi kepada mereka
jumlah yang disetujui bersama yang kiranya dapat
memenuhi kebutuhan yang diperlukan, terutama sekali
jika harta peninggalan cukup besar dan banyak.

Jika kakek itu sendiri sebelum wafat lupa atau kurang


memperhatikan nasib cucu-cucunya yang malang, maka
paman-paman mereka lah yang seharusnya tidak sampai
melupakan kewajiban mengulurkan tangan mereka,
sebab mereka adalah kerabat terdekat.

Cara ketiga:

Sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum syara’,


yakni perundang-undangan tentang pemberian nafkah
menurut Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam
dari agama-agama yang lain ialah, Islam mewajibkan
orang yamg hidup berkecukupan menolong kerabatnya
yang hidup serba kekurangan, terutama sekali jika kedua
belah pihak itu berhak saling mewarisi (yakni: yang satu
merupakan ahli waris bagi yang lain secara timbal balik).
Demikianlah menurut madzhab Hambali. Begitu pula
jika yang satu merupakan muhrim bagi yang lain,
demikian menurut madzhab Hanafi, seperti kemanakan
misalnya.

Dalam hal-hal seperti itu maka memberi nafkah menjadi


kewajiban pihak yang berkecukupan, kepada pihak yang
serba kekurangan dan hidup menderita. Demikian yang
akan diputuskan oleh Makamah Islam apabila problem
seperti itu diajukan sebagai gugatan.

Islam tidak membiarkan seorang paman hidup


berkecukupan mempunyai harta kekayaan, sedangkan
kemanakan-kemanakan nya tidak mempunyai apa-apa
dan dibiarkan begitu saja tanpa bartuan. Ibu mereka yang
malang itu pun dibiarkan memeras keringat dan
membanting tulang, sedangkan ia sendiri (paman itu)
kaya dan hidup serba cukup. Itu tidak boleh terjadi
menurut syariat Islam. Itulah antara lain yang
membedakan Islam dari agama lain.

Bagaimanakah Cara Membagi Harta Bawaan dan Harta


Bersama Antara Suami Dan Istri?

Harta bawaan adalah harta benda yang diperoleh masing-


masing suami dan isteri sebelum menikah, termasuk
didalamnya hadiah, hibah serta warisan yang diterima
dari pihak kerabatnya. Sedangkan harta bersama adalah
harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan
isteri selama perkawinan, termasuk pula didalamnya
hadiah, hibah serta warisan yang diterima dari pihak
kerabatnya.

Islam sangat ketat dalam menentukan kepemilikan harta.


Haram hukumnya mengambil harta orang lain tanpa
seizinnya. Firman Allah, “Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.” (Surat 2. AL BAQARAH – Ayat 188)

Karena itu, dalam membagi harta bawaan maupun harta


bersama, harus diperhatikan agar batas-batas
kepemilikian harta tersebut diatur terlebih dahulu, bahwa
harta suami ada berapa dan harta istri ada berapa. Tidak
boleh digabungkan kemudian dibagi warisannya secara
sepihak.

Walaupun harta tersebut sudah didaftarkan atas nama


suami atau atas nama istri, namun secara hakikat harta
bersama memiliki kepemilikan yang terpisah. Jika dalam
membeli sebuah rumah senilai 100 juta rupiah atas nama
suami, dimana suami mengeluarkan 60 juta dan istri 40
juta, maka nilai kepemilikannya adalah, suami 60% dan
istri 40%. Sampai kapanpun akan tetap demikian,
walaupun kelak rumah tersebut akan bernilai tinggi,
misalnya menjadi 1 milyar rupiah. Maka dalam hal ini
suami menjadi memiliki saham 600 juta dan istri 400
juta. Dengan demikian, jika salah seorang dari suami
atau istri meninggal, ia hanya boleh mewariskan harta
miliknya saja. Jika ada hukum yang menetapkan bahwa
harta bersama harus dibagi secara seimbang/sama-rata
antara suami dan isteri (masing-masing 50%), walaupun
mereka berpisah sebagai akibat dari perceraian atau
kematian, maka hukum ini sangat bertentangan dengan
hukum syariat Islam yang sangat menjaga kepemilikan
harta antara suami dan istri, dan hukum ini tidak boleh
diikuti oleh kita yang beragama Islam.

Permasalahannya adalah, tidak semua suami dan istri


menghitung secara cermat harta miliknya sebelum dan
selama perkawinan. Untuk melihat slip gaji dari pertama
kali bekerja hingga sekarang pun tidak mudah, karena
bisa jadi ia sudah beberapa kali berpindah-pindah kerja,
dan bisa jadi slip gaji tersebut sudah tidak ada (hilang).
Selain itu, selama pernikahan pasti ada pengeluaran lain
yang tidak termasuk harta waris.

Penghasilan suami setiap bulan selalu dikurangi dengan


biaya nafkah kepada istri dan anak, sedangkan istri tidak
dikurangi dengan biaya nafkah, karena kewajiban
memberi nafkah hanya ada pada suami. Karena itu, perlu
ada sikap bijaksana antara suami dan istri.
Bermusyawarah, berdiskusi dengan hati saling jujur,
kemudian tentukan bagian harta suami dan istri saat ini
dengan sama-sama ridho antara kedua belah pihak.

Sebenarnya cara yang terbaik adalah dengan mencatat


setiap harta yang masuk dan keluar selama pernikahan,
jadi akan jelas harta suami saat ini ada berapa, dan harta
istri ada berapa. Namun jika tidak memungkinkan, kedua
belah pihak harus saling sama-sama jujur dalam
bermusyawarah dalam membagi harta masing-masing.
Kedua belah pihak diharapkan sama-sama ridho dalam
hal menerima hasil pembagian yang sudah disepakati
bersama.

Apakah Anak Susuan Berhak Mendapat Warisan?

Anak susuan tidak berhak mendapatkan warisan dari ibu


susuannya atau saudara sesusuan, kecuali jika ia
termasuk kerabatnya yang memang berhak untuk
mendapatkan warisan.

Apakah Ibu Tiri, Ayah Tiri dan Anak Tiri Berhak


Mendapat Warisan?

Salah satu faktor bahwa seseorang berhak mendapatkan


warisan adalah karena adanya ikatan pernikahan dan
ikatan darah (kekerabatan). Karena itu, ibu tiri, ayah tiri
dan anak tiri tidak mendapatkan warisan seandainya kita
meninggal. Mereka hanya bisa mendapatkan harta
melalui jual beli, hibah dan wasiat.

Apakah Istri yang Sudah Ditalak Mendapatkan Waris?

Sebelum membahas hal ini, harap diketahui dahulu


bahwa talak itu sendiri ada yang berstatus raj’i (sewaktu-
waktu bisa kembali) dan talak ba’in (tidak dapat kembali
lagi). Selain itu, ada juga kondisi talak dalam keadaan
sehat, dan talak dalam keadaan sakit keras.

Talak raj’i adalah suami yang mentalak istrinya dalam


suatu pernikahan yang sah, baik yang sudah digauli atau
belum, yang kurang dari tiga kali talak, dengan tanpa
membayar mas kawin baru. Masa penungguan tersebut
disebut juga masa ‘iddah raj’i. Talak raj’i tidak menjadi
penghalang bagi suami istri untuk saling mewarisi, baik
seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan sehat
maupun sakit. Dengan demikian, hak suami-istri untuk
saling mewarisi tidak hilang. Jadi, bila suami meninggal
dunia, dengan meninggalkan istrinya yang sedang dalam
masa ‘iddah raj’i, maka istrinya masih dapat mewarisi
harta peninggalan suaminya. Demikian pula sebaliknya,
suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang
meninggal dunia sebelum masa ‘iddah raj’i-nya berakhir.
Para ulama tidak ada yang menyelisihi pendapat ini.

Adapun jika talaknya adalah talak ba’in (tidak dapat


kembali) dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan
sehat, talak semacam ini dapat menghalangi hak waris-
mewarisi. Dengan demikian, istri yang ditalak oleh
suaminya, pada kondisi seperti ini, tidak dapat mewarisi
harta peninggalan suaminya, menurut kesepakatan para
ulama. Hak itu karena putusnya ikatan perkawinan sejak
talak dijatuhkan. Demikian pula suami, tidak dapat
mewarisi harta peninggalan istri, bila istri meninggal
dunia dalam kondisi seperti ini, karena sebab yang sama,
yakni putusnya tali perkawinan, sehingga hak waris-
mewarisi menjadi hilang.

Jika talaknya ba’in dan jatuh di saat penalaknya dalam


keadaan sakit keras, di mana dia tidak bermaksud
menghilangkan hak mewarisi istrinya, maka mereka juga
tidak dapat saling waris mewarisi. Misalnya jika istri
meminta khulu’, kemudian suaminya mengabulkan, atau
bila istri meminta talak tiga, kemudian suaminya
mengabulkan permintaan tersebut. Para ulama sepakat,
dalam kondisi yang demikian, tidak dapat saling
mewarisi karena suami tidak bermaksud menghilangkan
hak mewarisi istrinya.

Jika talaknya adalah ba’in dan jatuh di saat penalaknya


dalam keadaan sakit keras, di mana dia bermaksud
menghilangkan hak mewarisi istrinya terhadap harta
peninggalan, dalam hal ini terdapat empat pendapat
ulama, yaitu sebagai berikut:

1.      Istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan


suami secara mutlak karena sebelum kematian suami,
talaknya sudah ba’in, sehingga hak mewarisi menjadi
hilang, seperti halnya talak dalam keadaan sehat.
Pendapat ini adalah sahih menurut kalangan
Syafi’iyyah.

2.      Istri dapat mewarisi harta peninggalan ketika


mantan suaminya meninggal dunia selama ia masih
dalam masa ‘iddah-nya. Namun, jika mantan
suaminya meninggal dunia sedangkan masa ‘iddah-
nya sudah berakhir, istri tidak dapat mewarisi harta
peninggalan suami. Sebab, dalam masa ‘iddah, tali
perkawinan masih dianggap utuh. Hal inilah yang
disamakan dengan talak raj’i. Pendapat ini
dikemukakan oleh kalangan Hanafiyyah.

3.      Istri tetap dapat mewarisi harta peninggalan


suaminya, baik ketika suami meninggal dunia di saat
istri dalam masa ‘iddah-nya atau masa ‘iddah-nya
sudah selesai, maupun selama istri belum menikah
dengan lelaki lain atau murtad. Sebab, istri dapat
memperoleh warisan ketika suami dikeluarkan dari
kelompok orang-orang yang mewarisi harta
peninggalan istri. Makna ini tidak bisa hilang dengan
berakhirnya masa ‘iddah, sebagai interaksi untuk
suami dengan melawan maksudnya. Pendapat ini
dikemukakan oleh kalangan Hambaliyyah.

4.      Istri dapat mewarisi harta peninggalan suami


secara mutlak, baik ketika suami meninggal dunia
dia masih berada dalam masa ‘iddah-nya atau sudah
berakhir, maupun ketika dia sudah menikah dengan
lelaki lain atau belum. Pendapat ini dikemukakan
oleh kalangan Malikiyyah.

Pendapat yang diunggulkan atau yang paling kuat (rajih)


dari keempat pendapat ini adalah pendapat ulama
Hambali karena sahnya landasan yang mereka
kemukakan terhadap sebab hak mewarisi bagi istri yang
masih dalam masa ‘iddah dan setelah berakhirnya masa
itu.

Pembatasan hak mewarisi istri dalam masa ‘iddah,


sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Hanafiyyah,
adalah tidak beralasan, karena akibat talak ba’in itu dapat
terjadi pada masa ‘iddah dan setelahnya. Namun, mereka
memberikan hak mewarisi kepada istri sebagai imbalan
interaksinya dengan suami sebelum talak dijatuhkan dan
sebagai saddudz dzara-i(menghambat sesuatu yang menjadi
sebab kerusakan).

Adapun memberikan hak waris kepada istri setelah dia


menikah dengan lelaki lain, sebagaimana yang
diungkapkan oleh kalangan Malikiyyah, menyebabkan
seorang istri dapat mewarisi harta peninggalan dari dua
suami sekaligus. Hal ini bertentangan atau berbeda
dengan ijma ulama yang berpendapat bahwa seorang istri
tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami
sekaligus dalam satu waktu.

Sedangkan pendapat kalangan Syafi’iyyah yang


berbunyi bahwa secara mutlak istri tidak dapat mewarisi,
bertentangan dengan ijma para sahabat. Setidaknya
dengan Usman r.a. ketika dia memutuskan hak mewarisi
bagi Tamadhir binti al-Ashbagh al-Kalabiyyah dari
Abdurrahman bin Auf, yang telah mentalak ba’in
istrinya dalam keadaan sakit keras. Keputusan ini sudah
menyebar di kalangan sahabat, namun tidak ada satu pun
dari mereka yang mengingkarinya. Riwayat lain adalah
dari Urwah yang mengatakan, “Sesungguhnya, Utsman
berkata kepada Abdurrahman, ‘Jika Anda meninggal
dunia, aku akan mewariskan harta peninggalanmu
kepada istrimu.’ Abdurrahman menjawab, ‘Aku sudah
tahu hal itu.'”

Bolehkah Membagi Harta Warisan Saat Pewaris Masih


Hidup?

Seandainya calon pewaris masih hidup, atau bahkan


sudah sekarat, maka harta tersebut sepenuhnya masih
miliknya 100%, tidak boleh dibagikan tanpa seizinnya.
Jika ada pembagian harta dari orang yang hidup, maka
itu adalah pembagian harta biasa (hibah) yang besarnya
tidak ada ketetapannya di dalam Al-Qur’an dan Hadits,
jadi harta tersebut tidak bisa disebut sebagai harta
warisan.

Salah satu rukun waris adalah adanya ahli waris dan


adanya pewaris (orang yang meninggal). Jika belum ada
orang yang meninggal, maka tidak akan ada pembagian
harta warisan. Yang dikhawatirkan adalah, bagaimana
seandainya calon pewaris tersebut ternyata tidak jadi
meninggal dunia? Misalnya ia ternyata masih dikarunia
umur oleh Allah beberapa tahun lagi? Maka sungguh
kasihan nasib calon pewaris tersebut, seandainya
hartanya sudah habis dibagikan.

Hal ini seringkali terjadi di dalam masyarakat kita. Ini


hanyalah pemberian dari seseorang kepada kerabat-
kerabatnya, yang bisa jadi dimaksudkan agar tidak
terjadi keributan ketika ia wafat nanti. Maka agar tidak
terjadi keributan, hendaknya pewaris saat hidupnya
mengajarkan ilmu faraid kepada kerabat-kerabatnya,
minimal yang berkaitan dengan keadaannya, tidak perlu
membahas terlalu detail. Sebab keributan itu umumnya
karena mereka tidak mengetahui ilmunya, atau bisa juga
karena faktor keserakahan. Karena itu, pewaris
hendaknya memberikan pendidikan ilmu faraid ini
kepada pihak-pihak yang kelak akan mendapatkan harta
warisannya, semoga mereka akan menerima dengan
sepenuhnya segala ketentuan pembagian waris yang
telah ditetapkan syariat Islam.

Bolehkah Menunda Pembagian Harta Warisan?

Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan


setalah pewaris meninggal, tidak boleh ditunda-tunda,
kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak
memungkinkan, misal karena rumahnya belum laku
dijual, atau ada ahli waris yang masih bayi/kecil, atau
ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang
hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk
sementara hingga diketahui keadaannya. Harta warisan
adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, karena itu
tidak boleh mengambil/menahan harta milik mereka.
Segeralah ditunaikan jika mereka menginginkannya
disegerakan, jangan sampai karena lama tidak dibagikan,
akhirnya muncul kecurigaan dan kebencian dari para ahli
waris, karena sesungguhnya mereka bisa jadi sangat
membutuhkan harta tersebut.

Penundaan pembagian harta warisan seringkali terjadi


manakala sang pewaris wafat masih meninggalkan istri,
yakni ibu dari anak-anaknya. Maka anak-anak enggan
atau merasa tidak enak untuk menyampaikan kepada
ibunya tersebut, agar harta warisan segera dibagikan.
Atau bisa juga karena sebab-sebab lainnya, misalnya ada
salah satu rumah yang masih ditinggali oleh kerabatnya
yang lain. Untuk itu, perlu adanya sikap bijaksana juga
dari sang ibu, sesungguhnya harta warisan itu memang
milik dan hak para ahli warisnya, diantaranya anak-
anaknya. Orang yang paling dihormati tersebut
diharapkan memberi pengertian ilmu faraid kepada
mereka semua agar tidak terjadi perselisihan.

Bagaimana Membagi Harta Berjalan?

Harta berjalan, seperti rumah/kamar kontrakan yang


disewakan, kios/toko, asuransi, tunjangan pensiun,
perusahaan, saham, dan lain-lain milik pewaris adalah
termasuk harta warisan yang juga harus dibagikan
kepada ahli warisnya. Hanya saja caranya bisa berbeda-
beda. Bisa langsung dijual, kemudian dibagikan kepada
ahli warisnya sesuai syariat Islam. Atau bisa juga terus
dikelola, lalu keuntungannya dibagikan kepada ahli
warisnya sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Satu hal
yang harus dicatat, seluruh ahli waris tersebut harus
sepakat/menyetujuinya.

Dalam hal ini, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa


harta berjalan harus dijual terlebih dahulu, jadi boleh
para ahli warisnya mengelolanya hingga keturunannya
nanti turut melestarikannya, itupun jika mereka
sepakat/menyetujuinya. Di Indonesia ini cukup banyak
usaha/perusahaan milik keluarga, dan salah satunya yang
cukup besar adalah PT. Sinar Sosro.

Namun jika dikhawatirkan akan adanya khianat dan


penyia-nyiaan amanah dari salah seorang atau sebagian
ahli waris terhadap harta berjalan tersebut, maka
sebaiknya dijual saja, kemudian dibagikan kepada
seluruh ahli warisnya. Adapun mengenai harta diam,
seperti uang, emas, mobil, motor, rumah, dan lain-lain,
harus segera dibagikan kepada para ahli warisnya, dan
tidak boleh ditahan-tahan pembagiannya kecuali jika ada
alasan/sebab khusus.

Bolehkan Menetapkan Hukum Waris Berdasarkan


Undang-Undang Negara/Adat?
Bagi orang yang beragama Islam, haram hukumnya
menetapkan hukum waris secara negara/adat, jika
memang ia bertentangan dengan hukum waris
berdasarkan syariat Islam. Hanya Allah saja yang berhak
menetapkan pembagian harta warisan ini, tidak boleh
para raja, presiden, pemerintah, sesepuh, ataupun ketua
adat menetapkan hukum waris ini jika bertentangan
dengan syariat Islam.

Firman Allah, “(Hukum-hukum mengenai pembagian waris


tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam
surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal
di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa
yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan .”
(Surat 4. AN NISAA’ – Ayat 13,14)

Ayat ini disebutkan setelah membahas mengenai ayat-


ayat waris, dan jika dikaji dari ayat ini, maka dapat kita
pahami bahwa kita tidak boleh menetapkan tata cara
pembagian warisan tanpa berlandaskan kepada hukum-
hukum waris yang sudah Allah tetapkan tersebut.

Bagaimana Membagi Harta Waris Selain Uang?

Membagi harta selain uang, misalnya motor, akan terasa


sulit jika ia masih berupa motor. Mengapa? Karena tidak
mungkin kita memotong-motong fisik motor tersebut,
agar masing-masing ahli waris mendapat bagiannya
secara adil. Tentu saja hal seperti ini tidak mungkin.
Maka cara yang termudah adalah hendaknya motor
tersebut dijual terlebih dahulu, lalu uangnya dibagikan
sesuai dengan hukum waris Islam.

Jika kita memiliki harta selain uang, seperti emas, mobil,


motor, rumah, dan lain-lain, maka supaya harta tersebut
dapat dibagikan dengan adil dan mudah, ia harus dijual
terlebih dahulu, karena lebih mudah membagikan harta
berupa uang daripada harta diam seperti itu. Namun, jika
memang memungkinkan, misal harta tersebut berupa
tanah, dan para ahli waris pun sama sepakat untuk
mendiami/membangun di tanah tersebut, maka tidak
perlu dijual. Tanah tersebut dapat diukur terlebih dahulu,
lalu masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya
sesuai dengan ketetapan Islam.

Cara lainnya, jika ada sebagian atau salah seorang ahli


waris ada yang menginginkan harta selain uang tersebut,
maka ia dapat membayar nilainya (membelinya), lalu
uang hasil pembayaran tersebut dibagikan kepada ahli
waris yang ada. Dalam hal ini, tidak ada paksaan bahwa
harta tersebut harus dijual atau tidak, tergantung dengan
kesepakatan para ahli warisnya, dan harap diperhatikan
pula unsur keadilan dan kemudahannya, agar tidak
bertentangan dengan syariat Islam.

Bolehkah Mencantumkan Pembagian Warisan Pada


Surat Wasiat?

<

p style=”text-align: justify”>Boleh
mencantumkan pembagian
warisan pada surat wasiat, bahkan dianjurkan jika para
ahli waris belum memahami ilmu faraid. Misal, pada
surat wasiat kita tuliskan pada point tertentu pembagian
untuk istri 1/8, untuk ayah 1/6, untuk ibu 1/6, dan
sisanya untuk anak-anak kita, dengan ketentuan anak
laki-laki dua kali lipat anak perempuan. Jika kita tidak
menuliskannya, dikhawatirkan mereka akan
membagikan harta warisan bukan berdasarkan syariat
Islam. Namun jika para ahli waris sudah paham akan
ilmu faraid, dan mereka memang bersungguh-sungguh
hendak melaksanakannya, tidak dituliskan juga tidak
apa-apa.

Tanya:

Budhe (kakak perempuan ibu atau bapak) meninggal.


Dia tidak mempunyai anak dan suami. Hanya ibu
saya masih hidup sebagai ahli waris.

1. Hak waris kepada siapa?

2. Apakah keponakan (kami) mendapat bagian,


berapa jatahnya?

Dari:  08213XXXXXXX

Jawab:
Harta seluruhnya untuk saudara perempuan mayat
(ibu Anda).
Yang kami pahami dari pertanyaan, Budhe Anda
hanya meninggalkan saudara perempuannya
sekandung (ibu Anda). Jadi, dialah satu-satunya ahli
waris. Bagiannya adalah setengah harta, sisanya juga
diberikan kepadanya secara radd (pengembalian
harta waris yang tersisa kepada ahli waris yang ada
dari kalangan kerabat). Adapun Anda selaku
keponakannya, bukan ahli waris yang berhak,
istilahnya adalah dzawul arham. Adapun jika ada
keponakan lainnya, terangkan kepada kami
hubungan kekerabatannya dengan mayat secara
lengkap agar kami terangkan hukumnya.

Dijawab oleh al- Ustadz Muhammad as-Sarbini.

http://tanyajawab.asysyariah.com/hak-waris/
------------------------------------------------------------------------

WARISAN ORANG TUA NONMUSLIM

Tanya:
Jika orang tua murtad dan meninggal, kepada
siapakah harta warisan dibagikan?

Dari: 085266XXXXXX

Jawab:

Jika orang tua murtad, harta warisnya masuk baitul


mal. Ahli warisnya yang muslim tidak mendapat
bagian sedikit pun karena berbeda agama.

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin

http://tanyajawab.asysyariah.com/warisan-orang-tua-
nonmuslim/
-----------------------------------------------------------------------------
-----------------

WARISAN UNTUK ANAK ANGKAT

Tanya:
Apakah anak angkat berhak mendapatkan harta
warisan orang tua angkatnya?

Dari: 082136XXXXXX

Jawab:

Anak angkat tidak berhak mendapat warisan dari


orang tua angkatnya. Namun, ia bisa diberi wasiat
harta maksimal 1/3 jumlah warisan.

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-


Sarbini.

http://tanyajawab.asysyariah.com/warisan-untuk-
anak-angkat/
-----------------------------------------------------------------------------
---------------

WARISAN TETAPI TIDAK BOLEH DIJUAL?

Tanya:

Seseorang diberi warisan dengan syarat tidak boleh


dijual. Apakah warisan dengan syarat ini sah? Apakah
syarat tersebut termasuk wasiat yang tidak boleh
dilanggar?

Dari: 085740XXXXXX

Jawab :

Warisan adalah harta peninggalan mayit untuk ahli


warisnya dan dibagi setelah selesai urusan jenazah,
utang, dan wasiatnya. Warisan adalah milik ahliwaris,
bukan lagi milik mayit, jadi terserah penggunaannya
oleh ahli waris. Syarat tidak boleh dijual menyalahi
konsekuensi harta waris.

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin

http://tanyajawab.asysyariah.com/warisan-tetapi-
tidak-boleh-dijual/
-----------------------------------------------------------------------------
----------------------

CONTOH KASUS WARIS DAN PEMBAGIAN HARTA


WARIS

Tanya:

Seorang kakek mempunyai 4 putra, 7 putri, dan 1


putri angkat. Ayah saya adalah salah seorang putra
kakek tersebut. Kami tiga bersaudara, putra semua.
Ayah saya lebih dahulu meninggal dari kakek atau
nenek. Ketika kakek meninggal dengan meninggalkan
sejumlah harta, harta tersebut tidak segera dibagi.
Ketika nenek meninggal, baru dilakukan pembagian
warisan.
Bagaimana pembagian harta waris tersebut? Apakah
kami mendapatkan warisan juga?
Jazakumullahukhairan.

Dari: 081370XXXXXX

Jawab:

Anda semua tidak mendapatkan warisan, karena


orang tua meninggal sebelum kakek-nenek yang
memiliki harta.Dalam ilmu waris, Anda semua gugur
karena masih ada anak-anak dari kakek-nenek
tersebut.
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin

http://tanyajawab.asysyariah.com/contoh-kasus-
waris-dan-pembagian-harta-waris/
-----------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------

CONTOH KASUS PEMBAGIAN WARISAN

Tanya:

Seorang bapak meninggal dengan meninggalkan


sejumlah harta. Ahli warisnya terdiri dari istri, dua
anak perempuan, dua anak laki-laki, seorang saudara
perempuan sekandung dan dua orang saudara laki-
laki sekandung. Bagaimana pembagian harta waris
tersebut? Jazakallahu khair.

dari: (+6285868xxxxxx)

Jawab :

Istri mendapatkan 1/8 karena ada anak. Saudara dan


saudari gugur karena adanya anak laki-laki. Sisa harta
dibagi untuk anak laki-laki dan perempuan, dengan
anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari bagian
anak perempuan.

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

http://tanyajawab.asysyariah.com/contoh-kasus-
pembagian-warisan-2/
-----------------------------------------------------------------------------
---------------------------

WARISAN BAGI “ANAK HARAM”

Tanya:

Seorang laki-laki menikahi wanita yang dihamilinya


dengan zina, lalu lahirlah anak. Apakah anak tersebut
mendapatkan warisan? Mohon dalilnya.

Jawab:
Ada rinciannya:
- Anak tersebut mendapat warisan dari jalur ibu yang
melahirkannya.
- Anak tersebut tidak mendapat warisan dari jalur
ayah karena dia tidak mempunyai bapak secara
syariat. Laki-laki tersebut bukan ayahnya secara
syariat sehingga tidak ada hubungan warisan antara
keduanya.
Lihat pembahasan tentang hal ini pada “Problema
Anda” edisi 26 dengan judul Status Anak Zina.
Wallahu a’lam.
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Sarbini

SOAL

1. Tentukan harta waris;

a. Berapa bagian masing-masing

b. Ahli waris

c. Berdasarkan pada masing-masing keluarga

2. Analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi tentang


keturunan yang sah dan kaitannya dengan hak-hak
kebendaan termasuk kewarisan.
3. Penghalang kewarisan di Indonesia merupakan pembaharuan
kewarisan di Indonesia. Jelaskan.
4. Bagaimana penjelasan tentang asas keadilan berimbang atas
bagian waris yang dilakukan dengan anak dengan bagian
sama rata.

JAWABAN

1. Tentukan harta waris;


a. Berapa bagian masing-masing

Bagian yang telah ditentukan al-Qur’an untuk masing-


masing ahli waris ada enam macam, yaitu;

1. Mereka yang mendapat ½ dari harta peninggalan terdapat


lima golongan;

a) Seorang anak perempuan, bila tidak ada anak laki-laki


(QS. 4: 11)

b) Seorang anak perempuan (dari anak laki-laki), bila


tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan.

c) Seorang saudara perempuan kandung, bila tidak ada


saudara laki-laki (QS. 4: 176)

d) Seorang saudara perempuan seayah, bila tidak ada


saudara laki-laki (QS. 4: 176)

e) Suami, bila istri yang meninggal tidak meninggalkan


anak atau cucu (QS. 4: 12)

2. Mereka yang mendapat ¼ dari harta peninggalan terdapat


dua golongan;

a) Suami, bila istri yang meninggal mempunyai anak


atau cucu (QS. 4: 12)

b) Istri, bila suami yang meninggal tidak meninggalkan


anak atau cucu (QS. 4: 12)
3. Mereka yang mendapat ¼ dari harta peninggalan hanya satu
golongan;

a) Istri, bila suami yang meninggal dengan


meninggalkan anak atau cucu (QS. 4: 12)

4. Mereka yang mendapat 1/8 bagian dari harta peninggalan,


hanya istri. Baik seorang maupun lebih. Bagian ini akan
diperoleh istri apabila suaminya yang meninggal dunia
meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan (QS. 4: 12). Demikian pula jika suaminya itu
meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun
prempuan.
5. Mereka yang mendapat 1/3 dari harta peninggalan ada dua
golongan;

a) Ibu, bila yang meninggal tidak meninggalkan anak


atau cucu, atau dua orang saudara atau lebih (QS. 4: 11)

b) Dua orang atau lebih saudara seibu baik laki-laki,


maupun perempuan, dengan pembagian yang sama.

6. Mereka yang memperoleh 2/3 dari harta peninggalan


terdapat empat golongan;

a) Dua orang atau lebih anak perempuan, bila tidak ada


anak laki-laki (QS. 4: 11)

b) Dua orang cucu perempuan atau lebih, dari anak laki-


laki bila tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan

c) Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih,


bila tidak ada saudara laki-laki (QS. 4: 176)
d) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, bila
ada saudara laki-laki (QS. 4: 176)

7. Mereka yang memperoleh 1/6 dari harta peninggalan


terdapat tujuh golongan;

a) Ibu, jika yang meninggal dunia meninggalkan anak,


cucu,dua atau lebih saudara (QS. 4: 11)

b) Ayah, jika yang meninggal dunia mempunyaianak


atau cucu (QS. 4: 11)

c) Nenek, ibu dari ibu-bapak

d) Seorang cucu perempuan, dari anaklaki-laki


bersamaan dengan anak perempaun (H.R Bukhari)

e) Kakek, bapak dari bapak bersamaan dengan anak atau


cucu, bila ayah tidak ada

f) Seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan (QS.


4: 12)g) Saudara perempuan, seorang atau lebih
bersamaan dengan saudara kandung.[1]

b. Ahli waris

A. Ahli Waris Kelompok Ashabul Furudh

1. Ibu: mendapat bagian 1/6 atau 1/3 secara utuh, atau 1/3
secara sisa.
2. Saudara laki-laki seibu: mendapat 1/6 bila ia seorang diri, dan
1/3 bila ia bersama-sama dengan yang lainnya.
3. Saudara perempuan seibu: mendapat bagian 1/6 bila ia
seorang diri, dan 1/3 bila ia bersama-sama dengan yang lain.
4. Nenek dari ayah: mendapat 1/6, baik ia sendiri maupun
bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
5. Nenek dari ibu: mendapat 1/6, baik ia sendiri maupun
bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
6. Suami, mendapat bagian ½ bila ia tidak bersama-sama
dengan keturunan si mayit dan ¼ bila ia bersama dengan
keturunan si mayit.
7. Istri, mendapat ¼ bila tidak bersama keturunan si mayit dan
1/8 bila bersama keturunan si mayit.

B. Ahli Waris Kelompok Ashabah

1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7. Paman sekandung
8. Paman seayah
9. Anak laki-laki dari paman sekandung
10. Anak laki-laki dari paman seayah

C. Ahli Waris Kelompok Ashhabul Furudh atau Ashabah

1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah
3. Saudara perempuan sekandung
4. Saudara perempuan seayah
D. Ahli Waris Kelompok Ashhabul Furudh Dan
Ashabah

1. Ayah
2. Kakek (Bapak dari ayah)[2]

C. Berdasarkan pada masing-masing keluarga

Bapak meninggal dunia dengan meninggalkan ahli


waris;

1. Seorang Istri
2. 1 (satu) orang anak laki-laki
3. 1 (satu) orang anak perempuan.

Harta warisnya senilai Rp 100.000.000,- (seratus ratus


juta rupiah).
Dalam hukum waris Islam, istri merupakan ash-habul
furudh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta
waris dalam jumlah tertentu.

Istri mendapat 1/4 (seperempat) jika suami yang


meninggal tidak mempunyai anak, dan mendapat 1/8
(seperdelapan) jika mempunyai anak. (Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 7).

Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian


istri adalah 1/8 (seperdelapan) sesuai dalil Al-Qur`an:
“Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para istri itu
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan…” (QS An-Nisaa’: 12).
Sedangkan seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan adalah ashabah, yaitu ahli waris yang
mendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikan
lebih dulu kepada ash-habul furudh.

Kedua anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8


(tujuh perdelapan), berasal dari harta asal dikurangi
bagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8).

Selanjutnya bagian 7/8 (tujuh perdelapan) itu dibagi


kepada kedua anak tersebut dengan ketentuan bagian
anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan
sesuai dalil Al-Qur`an: “Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu,
yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan.” (QS An-Nisaa’: 11)

Maka bagian anak perempuan = 1 bagian dan bagian


anak laki-laki = 2 bagian. Maka harta ashabah tadi (7/8)
akan dibagi menjadi 3 bagian (dari penjumlahan 1 + 2 ).
Atau penyebutnya adalah 3. Jadi bagian anak perempuan
= 1/3 dari 7/8 = 1/3 X 7/8 = 7/24, dan bagian anak laki-
laki = 2/3 dari 7/8 = 2/3 X 7/8 = 14/24.

Berdasarkan perhitungan di atas, maka bagian istri = 1/8


X Rp 100 juta = Rp 12,5 juta. Bagian anak perempuan =
7/24 x Rp 100 juta = Rp 29,2 juta. Sedang bagian anak
laki-laki adalah = 14/24 x Rp 100 juta = Rp 58,3 juta.

2. Analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi tentang


keturunan yang sah dan kaitannya dengan hak-hak
kebendaan termasuk kewarisan.
Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
menyebutkan bahwa kedudukan anak dalam ayat (1)
selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah
tersendiri.[3] Setiap anak memiliki kepentingan yang
sama dalam fase-fase pertumbuhannya, sehingga
terkesan tidak adil jika hukum mengelompokkan status
dan kedudukan anak hanya berdasarkan keabsahan
perkawinan orang tuanya, karena hal itu akan
mengurangi kesempatan si anak untuk hidup secara
layak seperti anak-anak pada umumnya.

Menurut Undang-Undang, mereka dijamin dengan


adanya legitieme portie (bagian mutlak). Pihak yang
berhak atas legitieme portie (LP) disebut legitimaris. Jadi
legitimaris adalah ahli waris menurut Undang-undang
dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah.[4]

Ketentuan Pasal 35, sejak perkawinan dilangsungkan


maka harta yang diperoleh dalam perkawinan menjadi
harta bersama. Baik benda bergerak maupun benda tidak
bergerak, bahkan termasuk keuntungan dan kerugian,
sedangkan harta bawaan yang berasal dari hadiah dan
warisan tetap dibawah penguasaan masing-masing,
kecuali para pihak menentukan lain dalam suatu
perjanjian perkawinan. Harta benda yang diperoleh
dimasa perkawinan menjadi harta bersama. Terhadap
harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.[5]

Barangkali menurut pembuat Undang-Undang, karena


perubahan sistem kekerabatan baik karena perubahan
sistem kekerabatan yang telah mulai longgar atau karena
jauh dari kampung halaman yang adatnya masih kuat
maupun karena perkawinan antar suku dengan sistem
hukum adat yang saling berbeda yang lazim terjadi
dewasa ini, maka pembuat Undangundang memberikan
kemungkinan kepada calon suami isteri untuk mengatur
harta mereka dalam suatu perjanjian perkawinan, demi
memenuhi perkembangan dan tuntutan zaman tersebut.

3. Penghalang kewarisan di Indonesia merupakan


pembaharuan kewarisan di Indonesia. Jelaskan.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan wujud nyata


pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang
disesuaikan dengan perubahan waktu, tempat dan
keadaan sosial kultural Indonesia. Meskipun demikian
segala hal yang berkaitan dengan hukum kewarisan
Islam seperti kriteria sebagai ahli waris, besarnya bagian
warisan, syarat dan rukun waris yang telah dimasukkan
dalam pasal-pasal yang ada dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sama sekali tidak menyimpang dari ajaran
Islam.

Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI),


pemerintah mengharapkan tidak akan ada permasalahan
yang dapat menimbulkan perpecahan diantara anggota
keluarga, Akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup
signifikan antara materi Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dengan fiqih mawaris, khususnya mengenai sebab-sebab
terhalangnya seorang ahli waris dalam menerima
warisan atau dalam istilah fiqih sering disebut
dengan mawani’u al-irtsi. Sebagaimana yang kita
ketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 173
membagi penghalang mewarisi menjadi 2 hal, yang
berbunyi sebagai berikut:

“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan


putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, dihukum karena:

1. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh


atau menganiaya berat pada pewaris.
2. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.”[6]

Adapun dalam ketentuan hukum kewarisan Islam


(pendapat fuqoha), fitnah tidak disebutkan kedalam
kategori penghalang mewarisi, karena dalam pandangan
mereka fitnah hanya merupakan bagian dari 7 dosa besar
yang hanya bersangsikan dosa besar yang akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

“Artinya: Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a


katanya: Rasulullah telah bersabda: Jauhilah tujuh
perkara yang boleh membinasakan kamu iaitu
menyebabkan kamu masuk neraka atau dilaknati oleh
Allah. Para Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah
tujuh perkara itu? Rasulullah bersabda: Mensyirikkan
Allah iaitu menyekutukan-Nya, melakukan perbuatan
sihir, membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah
melainkan dengan hak, memakan harta anak yatim,
memakan harta riba, lari dari medan pertempuran dan
memfitnah perempuan-perempuan yang baik yaitu yang
boleh dikahwini serta menjaga maruah dirinya, juga
perempuan yang tidak memikirkan untuk melakukan
perbuatan jahat serta perempuan yang beriman dengan
Allah dan Rasul-Nya dengan fitnah melakukan
perbuatan zina” (Mutafaqun Alaihi)

Dalam ketentuan hukum kewarisan Islam secara umum


telah menetapkan empat hal yang menjadi penghalang
mewarisi, ketiga hal diantaranya telah disepakati para
fuqoha yaitu:

1. Pembunuhan

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

‫ﹶَ ﺎ ل ﺭﺴﻭل ﺍﷲ ﺼﻠﻲ ﺍﷲ‬


‫ﻗ‬:‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻗﺎل‬
‫ﻋﻠﻴﻪ‬

)‫( رواﻩ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﺑﺎﺳﻨﺎدﺻﺤﻴﺢ‬.‫ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻘﺎﺗﻞ ﻣﻦ اﻟﻤﻴﺮاث ﺷﻲء‬:‫ﻭﺴﻠﻡ‬

Artinya: Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun


dari harta warisan orang yang dibunuh (Hadis Riwayat
an-Nasa’i dengan isnad yang sahih)[7]

2. Berlainan agama

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

‫ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬


‫ ﹼ‬ ‫ ﺃ ﻥ‬:‫ﺤﺩﻴﺙ ﺃﺴﺎﻤﺔ ﺒﻥ ﺯﻴﺩ ﺭﻀﻰﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬

‫ ( رواﻩ‬.‫ﻠ ﻡ‬ ‫ﺴ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﹾ‬
‫ﹾﻟﻤﺴﻠﻡ ﹾﺍﻟﻜﺎﻓﺭﻭ ﻴﺭﺙ ﺍ ﻟ ﻜ ﺎ ﻓ ﺭ ﺍ ﻟ‬
‫ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎل ﻻﻴ ِﺭﺙ ﺍ‬
‫اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ‬
]8[ )‫ﺑﺎﺳﻨﺎدﺻﺤﻴﺢ‬

Artinya: Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a


katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh
mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh
mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat an-Nasa’i
dengan isnad yang sahih).”

3. Perbudakan

Firman Allah SWT QS. an-Nahl ayat 75

‫ ﻣﻤﻠﻮآﺎ ﻻ ﻳﻘﺪر ﻋﻠﻲ ﺷ ٍﺊ‬.   ‫ﺿﺮب اﷲ ﻣ ﺜَ ﻼ ﻋﺒﺪا‬

Artinya: Allah membuat perumpamaan dengan seorang


hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak
terhadap sesuatu. (QS. an-Nahl ayat 75).”[9]

Dan yang diperselisihkan diantara mereka ada satu


macam yaitu:

4. Berlainan negara.[10]

Dari uraian diatas diketahui bahwa menurut hukum


kewarisan Islam dalam kitab-kitab fiqih mawaris tidak
mengkategorikan fitnah sebagai salah satu penghalang
mewarisi sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 173 huruf b yang mejadikan
fitnah sebagai salah satu perbuatan yang dapat menjadi
penghalang seorang ahli waris untuk mewarisi harta
yang ditinggalkan simayit, sekalipun simayit adalah ayah
kandungnya sendiri.
Secara khusus penulis mencoba untuk menguraikan hal-
hal yang dapat menghalangi seorang ahli waris
mendapatkan haknya sebagai seorang pewaris, salah satu
permasalahan yang muncul diantaranya adalah bagi ahli
waris yang terhalang mewarisi karena melakukan
perbuatan “memfitnah” terhadap pewaris.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang notabene sebagai


satu-satunya undang-undang yang mengatur hukum
kewarisan Islam di Indonesia mengkategorikan fitnah
sebagai salah satu penyebab terhalangnya ahli waris.

4. Bagaimana penjelasan tentang asas keadilan berimbang


atas bagian waris yang dilakukan dengan anak dengan
bagian sama rata.

Asas keadilan berimbang dalam kompilasi hukum islam,


asas ini dalam terdapat terutama dalam pasal-pasal
mengenai besarnya bagian yang disebut dalam pasal 176
dan pasal 180. Juga dikembangkan dalam penyesuaian
perolehan yang dilakukan pada waktu penyelesaian
pembagian warisan melalui;

1. Pemecahan secara aul dengan membebankan kekurangan


harta yang akan dibagi kepada semua ahli waris yang berhak
menurut kadar bagian masing-masing. Ini disebut dalam
pasal 192 dengan menaikkan angka penyebut sesuai atau
sama dengan angka pembilangnya.
2. Diwujudkan waktu penyelesaian pembagian warisan,
penyesuaian dapat dilakukan melalui rad, yakni
mengembalikan sisa (kelebihan) harta kepada ahli waris yang
ada sesuai dengan kadar bagian masing-masing.
Hak waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya
merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada
keluarganya (ahli waris), sehingga kadar yang diterima
oleh ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung
jawab seseorang.

Seorang laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih


berat dari perempuan, sehingga suatu hal yang wajar jika
bagiannya dua kali bagian perempuan. Tanggung jawab
tersebut dari ayat al-Quran :

1. Al-Baqarah 23 : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan


pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Q.S. Al-
Baqarah : 23).
2. An-Nisa’ 34 : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihi sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena itu
mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….
(Q.S. An-Nisa’ : 34).
3. Ath-Thalaq 6 : “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (Ath-
Thalaq : 6).

Asas keadilan dalam pembagian harta warisan dalam


Hukum Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa
perbedaan usia tidak menentukan hak kewarisan dalam
Islam. Artinya sebagaimana orang dewasa, anakpun
mendapat hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan
warisan, baik anak laki-laki maupun perempuan.

Hal ini secara jelas disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat


7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan
dalam hak dalam mendapatkan kewarisan. Sementara
itu, dalam ayat 11, 12, dan 176 surat yang sama
dijelaskan kesamaan kekuatan hak menerima warisan
antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki


maupun perempuan terdapat dua bentuk, yaitu :

1. Laki-laki mendapat jumlah yang sama banyaknya dengan


perempuan; seperti ibu dan ayah yang sama-sama mendapat
1/6 dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung,
begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
yang sama-sama mendapat 1/6 dalam kasus pewaris adalah
seorang kalalah sebagaimana yang tercantum dalam surat
an-Nisa’ ayat 12.
2. Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat
dari yang didapat oleh perempuan dalam kasus yang sama
yaitu anak laki-laki dengan anak perempuan dalam ayat 11,
dan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dan
seayah dalam ayat 176. Dalam kasus yang terpisah, duda
mendapat dua kali bagian yang didapat oleh janda yaitu
1/2:1/4 bila pewaris tidak meninggalkan anak; dan 1/4 : 1/8
bila bila pewaris meninggalkan anak sebagaimana tersebut
dalam surat an-Nisa’ ayat 12.

Ditinjau dari segi jumlah bagian yang didapat saat


menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan
tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil, sebab
keadilan dalam Islam tidak hanya diukur dengan jumlah
yang didapat saat menerima hak waris, tetapi juga
dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.
Secara umum, dapat dikatakan laki-laki membutuhkan
lebih banyak materi dibandingkan dengan perempuan.
Hal tersebut dikarenakan laki-laki (dalam Islam)
memikul kewajiban ganda, yaitu untuk dirinya sendiri
dan terhadap keluarganya, termasuk di dalamnya adalah
para perempuan. Bila jumlah yang diterima dihubungkan
dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti yang telah
disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar
manfaat yang akan dirasakan laki-laki sama dengan apa
yang dirasakan oleh perempuan. Meskipun pada
mulanya laki-laki menerima dua kali lipat dari begian
perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan
diberikannya kepada wanita dalam kapasitasnya sebagai
pembimbing yang bertanggung jawab. Inilah keadilan
dalam konsep Islam.

Seorang wafat dengan meninggalkan:

-          Anak Lk

-          Anak Pr

Berapa bagian masing-masing ahli waris tersebut


apabila tirkah sebesar Rp.90.000.000,- ?

Jawab: Sesuai dengan Q.S. An-Nisa’:11 bahwa anak Lk


dan Anak Pr bandingannya 2:1

                Sehingga asal masalahnya 2+1=3. Jadi


bagiannya adalah:

                Anak Lk ⅔ x T     = ⅔ x 90.000.000               =


60.000.000

                Anak Pr ⅓ x T     = ⅓ x 90.000.000               =


30.000.000
7.       Seorang wafat dengan meninggalkan:

-          Janda            - Saudara Pr kdg

-          Ibu                 - Saudara Lk s.a.

Berapa bagian masing-masing ahli waris apabila tirkah


sebesar Rp.24.240.000,- ?

Jawab: janda ¼, ibu ⅙, saudara Pr kdg ½, dan saudara


Lk s.a. Mahjub oleh Saudara Pr kdg.

                Sehingga pembagiannya sbb: (asal masalah


12)

                Janda                    ¼ x 12    =  3

                Ibu                         ⅙ x 12    =  2

                Saudara Pr kdg  ½ x 12    =  6

                                Jumlah                 :   11 (Radd). Jadi


penyelesaiannya sbb:

                Janda                    3/12 = ¼ x 24.240.000     =
6.060.000

                Ibu                         2/12 = ⅙ x 24.240.000     =
4.040.000

                Saudara Pr kdg  6/12 = ½ x 24.240.000     =


12.120.000

                                                                Jumlah               
  : 22.220.000 (sisa 2.020.000) kemudian:
                Janda                    3/11 x
2.020.000                = 550.909   1/11

                Ibu                         2/11 x
2.020.000                = 367.272   8/11

Saudara Pr kdg  6/11 x 2.020.000                =


1.101.818  2/11

Sehingga, bagian masing-masing ahli waris


adalah:

                Janda                    = 6.060.000 +
550.909  1/11         = 6.610.909   1/11

                Ibu                         = 4.040.000 +
367.272  8/11         = 4.407.272   8/11

                Saudara Pr kdg  = 12.120.000 +


1.101.818  2/11   = 13.221.818   2/11

8.       Seorang wafat dengan meninggalkan:

-          Saudara Lk

-          Ibu

-          Anak Pr

Berapa bagian masing-masing ahli waris apabila tirkah


sebesar Rp.240.000.000,- ?
Jawab: Ibu ⅙, Anak Pr ½, dan Saudara Lk ABN

Pembagiannya sbb: (asal masalah 6)

Ibu                         ⅙ x 6      = 1

Anak Pr                 ½ x 6      = 3

Saudara Lk           ABN       = 2

                Jumlah                 :   6 (pas). Sehingga


penyelesaiannya adalah:

Ibu                                      ⅙ x 240.000.000 =


40.000.000

Anak Pr                3/6 =      ½ x 240.000.000 =


120.000.000

Saudara Lk          2/6 =      ⅓ x 240.000.000 =


80.000.000

9.       Seorang wafat dengan ahli waris masing-masing:

-          Janda            - Ibu

-          Ayah              - 2 Anak Pr

Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli


waris apabila tikrah Rp.54.000.000,- ?

Jawab: janda ⅛, ayah ⅙, ibu ⅙, dan anak Pr ⅔

Jadi penyelesaiannya sbb: (asal masalah 24)


                Janda                    ⅛ x 24    = 3

                Ayah                      ⅙ x 24    = 4

                Ibu                         ⅙ x 24    = 4

                2 Anak Pr             ⅔ x 24   = 16

                                Jumlah                 :  27 (‘Aul)
sehingga cara pembagiannya adalah:

                Janda                    3/27 x 54.000.000             =
6.000.000

                Ayah                      4/27 x 54.000.000             =
8.000.000

                Ibu                         4/27 x 54.000.000             =
8.000.000

                2 Anak Pr             16/27 x 54.000.000           =


32.000.000

10.   Seorang wafat dengan ahli waris masing-masing:

-          Ibu                 - Janda

-          Ayah              - 3 Saudara Lk s.a.

Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli


waris apabila tirkah Rp.48.000.000,- ?
Jawab: ini adalah contoh masalah GHARRAWAIN. Sehingga
bagian janda ¼, Ibu ⅓ dari sisa, dan ayah mendapatkan
sisanya (ABN)

                Pembagiannya sbb:

                Janda    ¼ x 48.000.000   = 12.000.000 (sisa


36.000.000)

                Ibu         ⅓ x 36.000.000   = 12.000.000

                Ayah      ABN                       = 24.000.000

11.   Seorang meninggal dengan meninggalkan ahli waris:

-          Cucu Lk pc. Lk            - Ibu

-          2 Saudara Lk               - Kakek

Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli


waris bila tirkah 12 ha sawah?

Jawab: kakek ⅙, Ibu ⅙, Cucu Lk pc. Lk ABN, saudara Lk


dimahjub oleh cucu Lk pc. Lk

                Pembagiannya sbb:

                Ibu                         ⅙ x 12 ha              = 2 ha
sawah

                Kakek                    ⅙ x 12 ha              = 2 ha
sawah

                Cucu Lk pc. Lk    ABN                       = 8 ha


sawah
12.   Seorang meninggal dengan meninggalkan ahli waris:

-          Duda             - 4 Anak Lk

-          Nenek          - 4 Anak Pr

Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli


waris bila tirkah Rp. 54.360.000,- ?

Jawab:  duda ¼, nenek ⅙,  anak Lk dan anak Pr


mendapat sisa (ABG)

                Pembagiannya sbb: (asal masalah 12)

                Duda                     ¼ x 12    = 3

                Nenek                  ⅙ x 12    = 2

                Anak Lk dan Pr  ABN       = 7

                                Jumlah                 :  12 (pas).
Penyelesaiannya sbb:

                Duda                     3/12 =   ¼ x
54.360.000                   = 13.590.000

                Nenek                  2/12 =   ⅙ x
54.360.000                   = 9.060.000

                Anak Lk dan Pr  ABN =   7/12 x


54.360.000             = 31.710.000

               

                ABG       = 4 anak Lk dan 4 anak Pr


(2+2+2+2+1+1+1+1) asal masalahnya 12. Jadi:
                1 Anak Lk             2/12 x 31.710.000             =
5.285.000

                1 Anak Pr             1/12 x 31.710.000             =


2.642.500

13.   Seorangmeninggal dengan meninggalkan ahli waris


cucu Lk pc. Lk dan Janda yang sedang mengandung.
Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli
waris apabila tirkahnya Rp.24.480.000,- ?

Jawab:  Jika anak yang di dalam kandungan adalah anak Lk,


maka:

janda ⅛, anak Lk ABN, dan cucu Lk pc. Lk mahjub oleh


anak Lk. Sehingga:

                                Janda                    ⅛ x
24.480.000   = 3.060.000

                                Anak Lk            ABN                       =


21.420.000

Jika anak yang di dalam kandungan adalah anak Pr,


maka: janda ⅛, anak Pr ½, dan cucu Lk pc. Lk
mendapatkan sisanya (ABN). Sehingga: (asal masalah
8)
                Janda                    ⅛ x 8      = 1

                Anak Pr                ½ x 8      = 4

                                Cucu Lk pc. Lk           ABN       = 3

                                                Jumlah                 :  8
(Pas). Jadi pembagiannya sbb:

                                Janda                    ⅛ x
24.480.000                   = 3.060.000

                                Anak Pr                4/8 =     ½ x


24.480.000      = 12.240.000

                                Cucu Lk pc Lk      3/8 x
24.480.000                = 9.180.000

14.   Seorangmeninggal dengan meninggalkan ahli waris


Janda dan Ibu yang sedang mengandung. Berapakah
bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris?

Jawab:  Jika anak ibu tersebut Laki, maka: janda ¼, Ibu


⅙, saudara Lk ABN

                Jika anak ibu tersebut Perempuan, maka:


janda ¼, Ibu ⅙, Saudara Pr ½.

15.   Seorang meninggal dengan meninggalkan ahli waris:


-          Ibu                 - Duda

-          Kakek            - Cucu Lk pc. Lk

Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli


waris?

Jawab:  Duda ¼, Ibu ⅙, kakek ⅙, dan Cucu Lk pc. Lk


mendapatkan seluruh sisanya (ABN)

16.   Seorang meninggal dengan meninggalkan ahli waris:

-          Cucu Lk pc. Pr

-          Cucu Lk pc. Lk

-          Cucu Pr pc. Lk

-          3 kemenakan Lk dari saudara Lk kdg

Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli


waris?

Jawab:  Sesuai dengan QS. An-Nisa’:11, Cucu Lk pc. Lk dan


Cucu Pr pc. Lk masing-masing membaginya dengan
bandingan 2:1. Cucu Lk pc. Pr bukanlah ahli waris
sedangkan 3 kemenakan tersebut mahjub oleh cucu Lk
pc. Lk

17.   Seorang meninggal dengan meninggalkan ahli waris:

-          Duda                             - Cucu Pr pc. Lk

-          Saudara Lk s.a.          - Kakek

-          Saudara s.i.
Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli
waris?

Jawab:  Duda ¼, Kakek ⅙, Cucu Pr pc. Lk ½, Saudara Lk s.a.


ABN sedangkan Saudara s.i. Mahjub oleh Kakek

1. Soal ujian; 
Fulan wafat meningalkan pewaris yaitu :
Istri : dpt 1/8
Anak laki2 : ?
Saudara laki2 mayit: ?
Pertanyaan ; bagaimana warisan anak laki2 dan saudara mayit?
Manakah yg diberi antara keduanya? Knp?

Kunci jawaban:
Istri ; 1/8
Anak laki laki: dapat Ta'shib yaitu sisa harta semuanya

Saudara mayit: terhalang oleh anak karena kedudukan ashobah


binafsihi  anak lebih tinggi dari saudara mayit. Dan ini merupakan
kosekuensi dari ashobah.

2. Soal: seorang laki2 wafat memiliki harta 400jt, dan telah berwasiat
sebelum Meninggal untuk memberikan hartanya 200jt untuk bangun
masjid. Dan dia juga memiliki hutang 100jt. Pewarisnya hanya 2
anak laki2. Pertanyaanya berapakah warisan untuk dua anak
tersebut?#:-s

Kunci jawaban 

per anak dikasih 100jt, krn untuk  bayar hutang dulu. Dan wasiat yg
melebihi batas1/3 harta  maka hanya dilaksanakan sesuai batas.
Kecuali semua pewaris(2anak) ridho atas wasiat tersebut

3. Soal: apakah saudara ibu(om/tante) adalah ahli waris anda?


Kunci jawaban :
Kunci jawaban: saudara ibunya simayit (baik om atau tante) bukan
termasuk ahli waris, karena jalur paman yg jadi ahli waris  hanya dari
pihak bapak saja. Lihat poin 4 pada nasab. Maka mereka dinamakan
dzawil arham.

4.Soal: seorang laki laki meninggal dunia, ahli warisnya adalah  


4 istri
1 anak perempuan
3 keponakan laki2 dari anak saudarnya laki2 si mayit. 
1 keponakan perempuam dari anak saudaranya laki2 simayit
1 bibi
2paman.

Harta si mayit setelah dipotong urusan jenazah dan lain2 ada 40.000
meter persegi sawah. Berapa bagian masing2?
Siapa yg dapat dan siapa yg terhalang?

jawaban 

Kunci jawaban dari abu riyadl:


Harta yg akan dibagi setelah urusan mayit dan hutang piutang
adalah berupa tanah seluas 40.000 M
Pewarisnya adalah:
4 istri : 1/8 x 40.000 = 5.000 M
Peristri : @ 1.250 M

Anak perempuan 1/2 harta


Karena tidak ada muashib dan musyarik :
1/2 x40.000 = 20.000

Tiga keponakan laki2 dapat ashobah binafsihi, karena mereka ada


pada jalur ukhuwah (jadi waki saudara kandung)
Ashobah disini dapat sisa harta yg sudah diambil fadhu istri dan
fardhu anak perempuan 
Yaitu 40.000 - 5000 - 20.000 =15.000 ini dibagi tiga karena 3 orang,
maka per @ 5.000 M. 
Adapun paman ia terhalang(mahjuB) oleh keponakan, karena jalur
nasab dia kalah kuat dg keponakan. Yaitu umumah kalah oleh
ukhuwah.

Untuk keponakan perempuan dan bibi dia berdua  tidak dapat


karena bukan termasuk di daftar 25 orang ahli waris. 

5.9. Soal :
Apa yg dimaksud harta warisan?

Kunci jawaban soal no 9.

HARTA WARISAN : yaitu harta yg ditinggalkan mayit untuk pewaris


setelah dikurangi biaya pemakaman, hutang piutang dg manusia
maupun dg Allah, washiyat dlm harta.
Dan harta ini cara  membaginya harus sesuai qaedah secara islam
yg dikenal dg ilmu FAROID

Harta warisan berbeda dengan harta washiyat atau hibah.

Soal 
Jika harta mayit tidak cukup untuk membayar hutang. Apakah
hutang tersebut menjadi tanggungan ahli waris menurut pembagian
jatah warisannya? Soal ini kelihatannya mudah tapi sulit. :D boleh
cari referensi sendiri sendiri.?

Kunci jawaban
Jawananya TIDAK wajib.
Uraiannya sebagai berikut:

Bismillah,
Warisan jika telah habis untuk membayar hutang mayit, maka ahli
waris tidak mendapat warisan lg. Karena membayar hutang adalah
kewajiban yg harus diselesaikan terlebih dahulu.
Kemudian jika harta warisan masih juga belum cukup, maka
dibayarkan dari harta warisan yg ada saja, dan  jika hutangnya ke
beberapa orang maka dibayarkan sesuai prosentase hutang untuk
per orang yg menghutangi.
Kekuranggnya bagaimana?
kekurangnya bukanlah kewajiban pewaris. Karena ia adalah
kewajiban negara jika si pemilik piutang tidak mengikhlaskannya.
Negara melunasinya dari harta zakat (kecuali hutang untuk maksiat).
Namun apabila negara tidak membayarnya maka ia adalah hutang
yg ditanggung mayit dihari qiamat, sampai ada yg membayarnya.
Namun jika ahli waris ingin membayarnya itu merupakan kebaikan
yg sangat utama, karena itu jika dilakukan dari pihak anak maka
akan dihitung sebagai birrul walidain( berbakti kpd ortu) 
walaupun disini hukum asalnya tidak wajib.
Dan boleh juga jika  ahli waris ingin membayarnya langsung tanpa
menunggu negara membayarnya, karena dg cepat dibayarnya
hutang tersebut akan lebih meringankan beban mayit  di alam
barzakh.
Dalam aturan islam perbuatan baik itu boleh bagi kita untuk berebut
melaksanakannya.

Kesimpulan:
Jika ahli waris enggan membayar hutang si mayit mereka tidak
DOSA.

Tapi apa kita TEGA???

Kita bisa ambil hikmah bahwa hutang jika tidak kepepet hendaknya
jangan dilakukan.
Ia merupakan kehinaan disiang hari,  fikiran dimalam hari dan beban
setelah Mati.

Ada makalah bisa dibuat referensi juga selain di alminhaj, tanya


mbah google "kriteria ghorimin penerima zakat" insyaAllah
bermanfaat.

Soal
Seorang lelaki meninggal tidak punya anak. Dan hanya memiliki 1
istri. Dan 5 saudari wanita, 2saudari laki laki  dan ibu dan bapak.
Sedangkan harta di tabung150jt. Mobil seharga 120jt. Rumah
seharga 300jt yg sekarang ditempati istrinya.  Ia juga memiliki
hutang pusa 1romadhon 30hari karena sakit yg menahun.
Biaya pemakan 5jt plus sewa kuburan per tahun 500rb.
Bagaimana menyelesaikan masalahnya?

Kunci jwban :
Sebelumnya memang ini kelihatan kasihan nasib istri.
Tapi simak hal berikut
Berhubung ini merupakan harta mayit dan bukan milik istri
sedikitpun.
Maka :
Uang tunai 150jt
Mobil :        120jt
Rumah dan 300jt
Total :          570jt

Sebelum warisan kita bagi maka


Selesaikan hal berikut
Harta dikurangi Fidyah dan biaya kuburan 20th serta biaya jenazah
5jt
Hitungnnya 
Harta.       570jt
Dikurangi 600rb+10jt+5jt 
570jt - 15.600.000 =
554.400rb.ini adalah harta warisan
Pembagiannya
Istri 1/4 :
Ibu 1/3 dari sisa(bukan dari harta keseluruhan
Bapak sisanya sisa. Perkara ini dinamakan Ghorowiyatain
Atau umariyatain. Yg mana rukunnya adalah salah satu
pasutri( suami atau istri), ayah, dan ibu (ortu mayit lengkap) ini jika
mayit tidak ada keturunan.

Dan disini ibunya mayit  hanya mendapat 1/3 dari sisa istri
dikarenakan jika dapt dari 1/3 harta keseluruhan maka nanti bapak
dapat sedikit 
Jadi 
Istri dapat 138.600.000 angka yg fantastis sebanding ibunya sendiri
yg dahulu melahirkannya
Setelah istri mengambil segitu maka terSisa 415.800.000
1/3 sisa untuk ibunya mayit :
138.600.000
Sisanya lagi untuk bapak 
277.200.000
Nah ringkasnua begini
Istri.    138.600.000
Ibu.     138.600.000
Bapak 277.200.000
Total. : 554.400.000

Adapun saudara dan saudarinya terhalang oleh bapak.

Lihat kasus diatas sepertinya orang tadi mati masih muda dan
ikarena bapk ibunya masih lengkap.
Sehingga janda tadi masih memungkinkan nikah lg. Atau kembali
kerumah ortunya. Dg membaea uang tadi plus uangnya sendiri
atau jika  mantan mertua mau berbuat baik mungkin untuk memberi
tambahan harta entah untuk rumah atau disiruh tinggal dirumah
tersebut
Bisa dibayangkan jika istri menguasai harta itu semuanya atau
separohnya bagaimana nasib orang tua mayit yg dahulu melahirkan
dan mendidiknya sampai besar. Bahkan bisa jadi rumah tersebut
adalah pemberian dari mereka berdua. Islam menuntun kita untuk
berbakti kpd orang tua walaupun samapai dlm hal warisan .
Semoga bermanfaat.

Catatan
Ibu ini termasuk masalah umariyatain/ghorowiyatain. Rukunnya ada
3 yaitu istri, ibu, bapak
Atau
Suami, ibu bapak
Soal
Seorang lelaki tua  meningal dan  memiliki 1 putri dan 1 cucu putra
dari anaknya laki laki yg konon telah meninggal duluan.
Sedangkan ia pernah berwasiat untuk memberikan 1/5 hartanya
kepada adiknya. 
Harta dia ditaksir ada 500jt. Bagaimana pembagiannya? 

Soal dari abu riyadl.

Kunci jawaban
Sebelum warisan dibagi, tunaikan wasiat dulu: 
1/5x500jt = 100jt
Jadi harta warisan ųɑNĝ akan dibagi:
500jt - 100jt = 400jt

1 bintun memiliki fardhu 1/2 furudhul muqoddaroh: 


1/2 x 400jt = 200jt

1 cucu lk dαrĩ anak lk mendapat ta'shib:


400jt - 200jt = 200jt

Seorang bujangan meningal dunia. ia memiliki harta dg taksiran.


150jt.
Pewrisnya adalah :
Ibu
Bapak
3 saudara laki laki kandung. 
Bagaimana membaginya?

Kunci jawab soal ke 13. 

Harta tersebut dibgi demikian:


Jumlah warisan 150jt
Ibu 1/3 = 50jt
Bapak dpt Ta'shib =100jt
3 Saudara terhalang(mahjuB) oleh bapak.
Dan ibu mendapat 1/3 karena saudara mayit telah terhalang oleh
ayah. Keberadaan mereka tidak berpengaruh jika terhalang, sebab
tidak menggangu warisan.

Soal ke 14:
Seorang wanita meninggal 
Harta warsannya  berjumlah
120jt
Pewaris:
Ibu
Suami 
1anak perempuan
2cucu perempuan dari anak laki
1 cucu laki dari anak perempuan
2 saudari kandung si mayit.
Mohon dihitung pembagiannya.

Kunci soal ke 14
Jatah warisannya sbg brikut;
Ibu.    = 1/6
Suami = 1/4 
1anak pr = 1/2
2cucu perempuan dari anak laki.       = 1/6

1 cucu laki dari anak perempuan = BUKAN AHLI WARIS


2 saudari kandung = Ta'shib

Maka : karena saham ahli waris tenyata over yaitu


1/6 +1/4+1/2 +1/6 = 13/12 jadi 13 lebih dari angka penyebut. Maka
ini dinamakan aul.
Otomatis yg dapat Ta'sib tidak dapat apa apa.
Sehingga harta 120 juta itu dibagi 13 =9.230.769
Jadi nanti saham perbagian adalah = 9.230.769
Maka 
Induk masalah    12
Ibu.          1/6=    2
Suami.     1/4=    3 
1anak pr  1/2=    6
2cucu pr  1/6=    2
Total ada 13 melebihi induk msalahnya tadi(12).

Maka penghitungannya:
Ibu.         2X9.230.769 = 18.461.538
Suami.    3X9.230.769 = 27.692.307
1anak pr 6X9.230.769 = 55.384.614
2cucu pr 2X9.230.769 = 18.461.538
Jadi intinya kalo pewaris kebanyakan muatan maka jatah mereka
berkurang sesuai prosentase pendapatan.Ilmu warisIlmu waris

Anda mungkin juga menyukai