Anda di halaman 1dari 3

Nama : Khasna Athiurobbi

NIM : 23040170122

Prodi : PGMI – D

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia 1

Dosen Pengampu : Imam Mas Arum, M.Pd.

Angan Senja

Pada suatu senja di beranda kumal, aku bergelayut mesra di kursi bambu bersama
buku-buku Pak Pramoedya. Menyelami buku beliau seakan nyata sedang berada dalam
situasi sejarah kala itu. Tak hanya buku Pram, buku dan novel berlatar belakang sejarah
seperti Eka Kurniawan dan Ayu Utami tak lepas dari lahapanku. Dibanding novel melankolis
picisan yang digandrungi anak muda, aku memang lebih suka membaca novel bernuansa
sejarah. Ada kepuasan tersendiri ketika berhasil melahap habis novel mereka. Antah apa
sebabnya, intinya aku suka. Ya, pasti sudah tahu bukan kesukaan ku adalah membaca.
Bagiku membaca kata adalah membaca dunia. Tak ada hal yang lebih menyenangkan bagiku
selain menghabiskan waktu luang untuk menyelami aksara.

***

Pikiranku suka berkelakar entah kemana. Aku merasa miris ketika melihat banyak
orang yang lebih suka mencerca daripada membaca. Lebih suka menyakiti dibanding
memahami. Aku mengambil kesimpulan sebab dari sikap mereka adalah kurangnya
membaca, terlebih membaca keadaan. Dari fenomena itu, aku ingin menjadi seorang yang
beda. Sebab orang hebat adalah yang berani melakukan lebih dari yang lain. Aku ingin
menjadi seorang yang bisa mengubah keadaan. Dengan cara apa? Menulis. Menyalurkan ide
dan gagasan melalui tulisan adalah bentuk kritik sosial yang elegan. Tak butuh banyak tenaga
yang dikorbankan. Hanya bermodal kertas dan pena bahkan handphone untuk menuliskan
gagasan. Harapanku suatu waktu kelak, tulisanku dapat menjadi motivasi bagi para pembaca
yang budiman. Tentunya harapan terbesarku adalah bisa menerbitkan buku dan mendirikan
perpustakaan di setiap daerah-daerah yang kurang akses literasi, sebagai sumbangsih kepada
bangsa untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterbelakangan. Sebagai seseorang yang
berstatus mahasiswa, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah bisa bermafaat bagi apa dan
siapapun.

Tidak bisa dipungkiri hakikat perempuan dalam perannya yang menjadi titik sentral
dalam rumah tangga. Stereotip masyarakat yang menganggap tabu perempuan bekerja di luar
rumah masih kental di daerah pedesaan tempatku tinggal. Tetapi tidak sedikit pula gadis-
gadis desa yang mulai berfikir untuk mengubah nasibnya dengan merantau ke kota-kota besar
sepertiku. Aku yakin bahwa perempuan karir juga bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Asal mendapat restu suami dan bisa membagi waktu dengan adil. Aku memilih menjadi
keduanya, menjadi perempuan karir sekaligus ibu rumah tangga. Sulit memang jika
dibayangkan sekarang bagaimana bisa adil terhadap keduanya, maka hal terbaik adalah
memaksimalkan potensi diri dan menunggu waktunya tiba. Bismillah.

Berbicara mengenai keluarga, aku bercita-cita memiliki keluarga yang romantis,


agamais dan harmonis. Keluarga yang penuh cinta dan kasih diantara anggotanya. Saling
mencurahkan rasa bahagia dan derita tanpa ada dusta. Aku senantiasa merangkai doa disetiap
malam dan khusnudzon kepada Allah, agar kelak Dia mengirimkanku suami yang sholeh dan
bertanggung jawab. Suami yang bisa menjadi nahkoda handal dalam mengarungi samudera
kehidupan. Akan aku didik anak-anakku kelak dengan dasar agama yang kuat sebagai
banteng pertahanan menghadapi dunia yang semakin gila. Agar mereka mempunyai daya
spiritual dan intelektual yang seimbang. Sehingga ketika anak-anak dewasa, mereka tak
kehilangan arah kala mendapat susah. Serta menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Itu
gambaran tentang keluargaku yang aku rencanakan mulai dari sekarang. Dengan apa?
Menjadi pribadi yang serba bisa apalagi mengurus keperluan seputar pekerjaan rumah tangga.

Kehidupan bermasyarakat juga harus dilatih. Kehidupan yang sejatinya hidup, yaitu
sebagai apakah posisi kita di masyarakat. Ingin menjadi manusai wajib? Sunnah? Atau
bahkan haram? Semua adalah pilihan masing-masing pribadi. Saya tentu memilih menjadi
manusia wajib. Manusia yang keberadaannya di harapkan dan ketidakberadaannya justru
tidak diharapkan. Manusia yang mempunyai pengaruh positif pada apa dan siapapun.
Masyarakat tidak membutuhkan orang yang ber-IPK tinggi ataupun orang yang mempunyai
deretan gelar dibelakang namanya. Justru masyarakat membutuhkan aksi nyata seseorang
dalam membangun kesejahteraan daerah. Mampu menjaga nilai-nilai perdamaian yang kini
semakin terkikis.
Perdamaian merupakan kunci keberhasilan suatu bangsa dalam memperjuangkan
bangsanya. Namun, sekarang seakan manusia kesulitan untuk mengeja kata D-A-M-A-I.
Dibuktikan konflik merebak di setiap pelosok negeri. Konflik tersebut dipelopori oleh
berbagai faktor, semisal agama dan politik kekuasaan. Agama menjadi isu yang sangat
sensitif di Indonesia. Menurutku konflik-konflik yang mengatasnamakan agama tidak murni
karena agama, melainkan dimotori oleh kepentingan politik. Peran kita sebagai pemuda
adalah dengan menebar nilai-nilai damai dimanapun berada. Banyak cara untuk menjadi agen
pelopor kedamaian, bisa dengan mengikuti diskusi, organisasi, dan terjun langsung ke
masyarakat untuk menyosialisasikan nilai perdamaian. Bagi saya dengan memiliki
pemahaman mendalam tentang esensi sebuah agama itu perlu. Agama islam yang
menjunjung tinggi sikap toleransi dan perdamaian baik dengan sesama muslim maupun non-
muslim. Oleh karena itu, aku mengajak kepada siapapun khususnya kepada pembaca yang
budiman untuk menjadi penyebar virus damai dimanapun keberadaannya. Agar Indonesia
menjadi negara yang mempunyai tingkat toleransi tinggi, bukan sebagai negara dengan
tingkat toleransi yang memprihatinkan. Bismillah.

***

Sekian angan-angan senjakala ku yang penuh romantika. Selamat menikmati hari-hari


baru dan selamat membaca. Salam literasi.

Anda mungkin juga menyukai