ISBN: 978-602-0989-85-3
Buku ini pernah diterbitkan dengan judul Islam Risalah Cinta dan
Kebahagiaan, dan dicetak ulang sebanyak dua kali pada Februari 2013.
Layanan SMS:
Jakarta: 021-92016229, Bandung: 08888280556
Buku kecil ini saya persembahkan bagi anak-anak saya:
Muhammad Irfan, Mustafa Kamil, Ali Riza, dan Syarifa Rahima
dengan harapan semoga Allah anugerahkan kepada kalian semua,
cinta yang tulus kepada Allah, kepada keluarga, sahabat, sesama
manusia, dan seluruh unsur alam semesta.
“Agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah).
Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak
(yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang
(silaturahim).
Dan silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati saudara
(sesama) kita.”
—RANGKAIAN hadis yang dijalin oleh
Syaikh Yusuf Makassari
Pengantar
S aya tak ingat, kapan perhatian saya mulai tertarik pada persoalan cinta
dalam agama. Sedang mengenai kebahagiaan, meski sesungguhnya
temperamen sentimental saya tampaknya tak urung menciptakan concern ini
sejak lama, ia baru menguat ketika saya sempat mengalami gejala depresi.
Ya, saya memang sempat mengalami gejala depresi.
Saya menduga gejala itu lebih terkait dengan faktor-faktor biologis atau
hormonal. Maklum, saat itu saya baru melewati usia setengah abad. Saya
kira, itu sebuah gejala yang biasa disebut orang andropause. Pasalnya, meski
hidup saya—sebagaimana hidup semua orang—bukannya tak pernah sama
sekali ditimpa masalah, saya merasa Allah sangat banyak memberikan berkah
kepada saya. Saya merasa telah menjadi orang cukup berbahagia sepanjang
kehidupan saya. Oleh keluarga yang menbesarkan saya, ataupun oleh
keluarga yang saya miliki saat ini. Alhamdulillah. Saya pun pada dasarnya
adalah orang yang agak ndablek dalam hal menghadapi masalah.
Betapa pun juga, gejala depresi adalah gejala depresi. Saya harus
mengatasinya. Saya pun menolak untuk pergi ke dokter dan mengonsumsi
obat-obatan pemulih mood. Saya merasa, selama masih mampu, saya akan
berusaha mengatasinya dengan cara lain, sambil gejala ini menghilang
dengan sendirinya. Dan, alhamdulillah, memang itulah yang terjadi. Saya
mencoba untuk terus kembali kepada Allah jika perasaan depresif yang amat
tak nyaman itu sesekali datang (dan, ada suatu masa dalam hidup saya,
sempat agak kerap datang). Saya pun berusaha menimbuni berbagai
kegelisahan spiritual saya dengan mencoba mencari jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan mengenai kegaiban yang belum bisa saya jawab.
Yang tak kalah penting, saya berusaha untuk terus mengais-ngais makna
yang bisa saya berikan kepada kehidupan saya karena betapa pun gejala
depresi selalu melibatkan masalah tekor makna hidup. (Secara sepintas
mungkin perlu saya sampaikan di sini, relatif lancarnya kehidupan saya,
barangkali justru memberikan sumbangan pada terciptanya gejala depresi
saya karena—dalam satu titik di kehidupan saya—saya merasa kehilangan
excitement. Segala yang saya harapkan dalam hidup saya, sedikit-banyak,
sudah saya capai. Maka, apalagi yang mau saya kejar?).
Saya berharap buku sederhana ini akan dapat membantu pembaca untuk
merenung lebih jauh tentang makna hidupnya, dan juga menjadi penolong di
sepanjang jalan kita—anak manusia—untuk meraih kebahagiaan sejati yang
merupakan dambaan kita semua.
Saya juga berharap, meski hanya sebuah karya populer nonakademis, buku
ini bisa memberikan gambaran kepada pembacanya bahwa sesungguhnya,
secara genuine, Islam adalah agama yang berorientasi cinta-kasih. Bahkan,
orientasi hukum agama ini, betapa pun tak kurang penting, harus ditempatkan
dalam konteks orientasi cinta-kasih yang memang berada di jantung agama
ini.
Semoga Allah Swt. mau mencatat karya sederhana ini sebagai amal jariah
saya di jalan menuju keridhaan-Nya.
Haidar Bagir
Isi Buku
Pengantar
5. Manusia Berbakat
7. Cinta
Pendahuluan:
Menyelami Cinta, Meraih Bahagia
1
Memberi Kebahagiaan, Mendapat Kebahagiaan
“A gama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). Mengenal Allah adalah berlaku
dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan
tali kasih sayang (silaturahim). Dan silaturahim adalah memasukkan rasa
bahagia di hati sesama kita.”
Rangkaian hadis yang dijalin oleh Syaikh Yusuf Makassari di atas sangat
relevan dengan inti pembahasan buku ini. Ia bukan saja mengandung kedua
konsep—cinta (dalam hadis di atas terungkap dalam gagasan tentang
rahmah, kasih sayang) dan kebahagiaan (terungkap dalam kata surur, yang
merupakan salah satu kata yang dipakai Al-Quran untuk mengungkapkan
gagasan tentang kegembiraan atau kebahagiaan—di samping farah dan, yang
lebih mendasar lagi, sa’adah, thabah, serta falah1).
... Tak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang dalam ciptaan Yang
Maha Pengasih. Maka, lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu
kekurangan di dalamnya? (QS Al-Mulk [67]: 3)
Manusia, lepas dari karsa bebas yang mungkin justru akan mendistorsi
fitrah-keberadaannya, juga diciptakan sebagai susunan terbaik (ahsan
taqwim) (QS Al-Tin [95]: 4). Artinya, bukan saja ia mempunyai potensi
dahsyat, sesungguhnya potensi itu dikaruniakan oleh Tuhan untuk melakukan
kebaikan-kebaikan (hasanah, berasal dari kata yang sama dengan ahsan).
Sebagai khalifah-Nya dia diharapkan untuk menjadi pembuat kebaikan
(muhsin) dan perbaikan (mush-lih, berasal dari akar kata yang sama dengan
ish-lah, perbaikan).
Demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka setelah itu, Dia ilhamkan jalan
keburukan (akhlak) dan ketakwaannya. Pasti bahagia (aflaha) siapa
yang memelihara kesuciannya, dan pasti sengsara siapa yang
mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7–10)[]
2
Apa itu Kebahagiaan?
R asanya, tak ada satu pun makhluk manusia yang tidak sependapat bahwa
tujuan hidup manusia di muka bumi ini adalah mencapai kebahagiaan
(happiness, sa’adah). Meski kebahagiaan bisa dipahami dalam berbagai
bentuknya–ada yang melihatnya sebagai bersifat psikologis, ada yang
intelektual, dan ada yang spiritual–semua sepakat pada sifatnya yang
menjadikan manusia merasa bukan hanya bergairah, bersemangat, dan
menikmati hidupnya, melainkan terutama menebarkan ketenteraman,
kedamaian, kepenuhan makna, dan kepuasan yang tak menyisakan
kekosongan. Sementara, penderitaan (misery, syaqawah) sama dengan
kegelisahan, kekacauan, kehampaan makna, dan kekurangan yang menganga.
Dalam kaitan ini, ada tiga bentuk usaha yang mungkin diupayakan
manusia untuk mewujudkan kebahagiaan.
Pertama, bekerja keras untuk mengupayakan dan memenuhi apa saja yang
kita dambakan dalam hidup ini. Sedikitnya ada dua kelemahan dalam cara
ini. Satu, ada banyak kemungkinan bahwa kita tak akan pernah bisa
memenuhi seluruh kebutuhan kita. Dua, setiap kebutuhan kita terpenuhi,
selalu muncul kebutuhan baru. Manusia tak akan pernah puas. Maka, dengan
cara ini hampir bisa dipastikan kita tak akan pernah merasa bahwa semua
yang kita dambakan dalam hidup ini akan terpenuhi. Cara ini tak akan pernah
membawa kebahagiaan.
Ketiga, memiliki sikap batin sedemikian rupa sehingga apa pun yang
terjadi atau datang pada diri kita selalu kita syukuri. Membangun suasana
batin yang ditopang dengan sikap sabar dan rasa syukur yang kokoh seperti
ini, akan mampu meredam kondisi-kondisi yang berpotensi menimbulkan
kegelisahan dalam hidup. Poin ketiga ini sama sekali tak menihilkan cara
dalam poin pertama di atas. Mari kita bekerja keras, mari kita kejar
kesempurnaan, sebatas kemampuan kita. Akan tetapi, at any point in time
kita bersabar dan bersyukur atas apa saja yang telah kita raih, rela kepada apa
saja yang dialokasikan-Nya kepada kita. Kita akan menemukan kebahagiaan
dengan selalu berpikir positif dalam keadaan apa pun, selalu mencari hikmah
di balik setiap keadaan, seburuk apa pun ia tampil dalam persepsi kita.[]
4
Kebahagiaan adalah Persoalan Makna
Sayangnya, dalam kenyataan, makna positif tak selalu tersedia begitu saja.
Betapa pun kita percaya bahwa sesungguhnya kehidupan ciptaan Allah ini
dipenuhi dengan makna positif, kita terkadang harus mencari makna tersebut.
Kegagalan menemukan makna positif ini bukan saja akan menyebabkan
kehampaan makna, melainkan malah dapat mencuatkan makna negatif, yang
destruktif bagi prospek kebahagiaan hidup kita.
Nah, sering kita, mendapatkan makna yang kita butuhkan hanya dengan
sedikit menggeser sudut pandang kita terhadap semua persoalan. Yakni,
berbekal persangkaan baik bahwa hidup ini diciptakan Allah dengan penuh
kebaikan, kita upayakan melihat setiap masalah dari kaca mata yang positif.
Bahwa, dalam peristiwa apa pun sesungguhnya terkandung hikmah yang
positif. Bahkan, bahwa esensi semua peristiwa di alam semesta ciptaan Allah
ini bersifat positif dan membawa kebaikan untuk kita. Untuk menjelaskan hal
ini, tak ada ilustrasi yang lebih jelas daripada apa yang pernah dikisahkan
oleh Dr. Victor Frankl, seorang psikolog yang dikenal luas dengan metode
logoterapinya.
Mendengar itu, Victor Frankl bertanya kepada laki-laki yang malang itu;
“Coba Anda bayangkan, apa yang akan terjadi kalau istri Anda selalu
bersama Anda, hingga Anda mati meninggalkannya? Memang Anda tak akan
mengalami kesedihan luar biasa seperti yang Anda rasakan saat ini, tetapi
kira-kira apa yang akan terjadi dengan istri Anda jika justru Anda yang lebih
dulu meninggalkannya?” Laki-laki itu terhenyak sambil berkata, “Jika itu
yang terjadi maka istri sayalah yang akan menanggung kesedihan yang luar
biasa karena saya tinggalkan.” “Nah,” kata Frankl, “kematian istri Anda lebih
dulu dari Anda, dan kesepian yang Anda rasakan sekarang sebagai akibatnya,
sesungguhnya bermakna bahwa Anda telah menyelamatkan istri Anda dari
mengalami kesedihan luar biasa seperti yang Anda rasakan sekarang.”
Mendengar dan merenungkan ucapan Dr. Frankl tersebut, tiba-tiba sebuah
kesadaran baru merasuki laki-laki itu. Tiba-tiba saja ia sadar bahwa
kesedihan yang dia rasakan sekarang memiliki makna positif yang tak terkira
besarnya. Yakni, menyelamatkan istrinya dari kesedihan yang luar biasa
kalau saja ia yang terlebih dulu meninggalkannya. Maka, kontras dengan
sikap yang dia tunjukkan ketika datang, dia meninggalkan tempat praktik
Frankl dengan kebahagiaan luar biasa.
Nah, apakah yang membedakan situasi ketika laki-laki itu datang, dan
ketika ia pergi dari tempat praktik Frankl? Sesungguhnya tak ada perubahan
situasi riil apa pun yang dihadapi laki-laki itu. Namun, kalau sebelumnya dia
datang dengan kehampaan makna hidup, maka sekarang ia pergi dengan
kepenuhan makna hidup. Dan hasil yang luar biasa itu terjadi hanya karena
Dr. Frankl mampu mengajak laki-laki itu “sedikit” menggeser sudut
pandangnya terhadap persoalan kematian istrinya.
5
Manusia Berbakat Bahagia
Nah, sikap hati seperti inilah yang harus kita kembangkan, kita latih agar
menjadi kebiasaan kita dalam menjalani kehidupan, dalam melihat atau
mempersepsi apa saja yang terjadi di kehidupan kita. Ya, kebahagiaan
memerlukan latihan.
Kedua, timbulkan kemauan. Sebetulnya ini bukan suatu hal yang sulit jika
kita sadari bahwa kebahagiaan kita dipertaruhkan di sini. Cobalah untuk
selalu melihat ke depan, melampaui kejadian-kejadian itu sendiri. Ke mana
kiranya ia membawa kita? Apa makna-positifnya? Kemudian timbulkan
sikap mental (sikap hati) sabar dan syukur. Selalu menerima apa saja yang
datang kepada kita dengan hati yang lapang. Bahwa segalanya datang dari
Tuhan, dan bahwa Tuhan selalu menyimpan maksud baik dalam segala
kebijaksanaannya. Hampir-hampir merupakan sisi lain dari koin yang sama,
selalu kembangkan sifat-hati syukur–berterima kasih–atas apa saja yang
datang kepada kita. Baik untuk kejadian-kejadian yang di permukan tampak
sebagai kesulitan—wujudnya adalah kesabaran, dalam konteks keyakinan
bahwa ia sesungguhnya adalah pendahulu bagi kebaikan yang lebih tinggi—
maupun atas kebaikan-kebaikan yang datang kepada kita, sehingga kita dapat
bereaksi positif kepadanya, dan menjadikannya benar-benar sumber bagi
sikap-sikap positif yang pada akhirnya benar-benar bisa mendatangkan
kebahagiaan kepada kita.
Ketiga, latihlah agar dalam diri kita terpatri kebiasaan (habit) kebahagiaan.
Selalu upayakan kesadaran-penuh dan kendali atas kejadian-kejadian yang
terjadi dalam kehidupan kita. Setiap saat, selalu operasikan kesadaran kita
atasnya. Jangan pernah kejadian-kejadian itu menguasai kita. Jangan biarkan
kepanikan merampas kewarasan kita. Setiap saat terjadi suatu kejadian yang
segera terasa tidak menyenangkan, coba cari maknanya, merogohlah lebih
dalam ke lubuk hati kita untuk dapat menemukan makna positif darinya.
Coba upayakan hikmahnya. Coba terawang ke arah mana—yakni kepada
kebaikan apa—kejadian ini akan membawa kita. Lakukan berkali-kali agar
sikap seperti ini menjadi refleks kita dalam menanggapi kejadian apa saja
yang menimpa kita.
Jika sudah semua ini kita upayakan, kita bisa berharap bahwa kebahagiaan
akan selalu bersama kita tanpa kita harus mengejarnya. Kenyataannya,
kebahagiaan memang selalu ada bersama kita, bersama kehidupan kita. Di
mana saja, bersama apa saja, ada kebahagiaan. Kebahagiaan ada di hati kita.
Hati kita memang diciptakan sebagai wadah kebaikan, wadah kebenaran, dan
wadah keindahan. Yakni, total jumlah yang melahirkan kebahagiaan. Justru,
kebahagiaan akan mengelak jika kita kejar karena dia tempatnya bukan di
luar. Yang tidak di luar tidak bisa dikejar. Yang di dalam hanya perlu kita
sadari dan pahami. Kita hanya perlu mengucapkan “selamat datang” kepada
kebahagiaan.
Catatan Akhir
Akhirnya, kiranya perlu kita ungkapkan juga suatu hubungan lain yang
menarik antara cinta dan kebahagiaan. Seperti telah disinggung di awal
pembahasan dalam bab ini, cinta pada hakikatnya adalah kerinduan untuk
memberi. Di satu sisi, dikatakan bahwa cinta mempersyaratkan
ketanpapamrihan. Al-Quran pun menegaskan:
Namun, jika hal ini berarti ketanpapamrihan mutlak maka dari manakah
lahir dorongan atau bahkan kerinduan untuk memberi itu? Benar bahwa
pemberian yang didasarkan oleh rasa cinta yang sejati haruslah tulus. Karena,
jika tidak tulus maka apa bedanya dengan egoisme, dengan narsisme?
Bukankah esensi narsisme adalah dorongan memberi dengan motif egoistik
(ulterior motive) untuk mendapatkan manfaat bagi diri sendiri? Bagaimana
cara mengatasi kontradiksi ini?
6
Kehidupan Manusia, Perjalanan Cinta
Alkisah, terasinglah sebilah bambu dari rumpunnya, dan kini ia lahir sebagai
sebuah seruling. Ia dirundung duka dan kerinduan yang tak berkesudahan.
Setiap kali ditiup, suaranya sendu menyayat hati. Rasa terpisah dari
induknya membuat dia menyanyi penuh duka dan kerinduan.
***
Seperti difirmankan-Nya:
Dan kasih sayang-Nya terletak pada kasih sayang kepada sesama manusia,
kepada sesama ciptaan-Nya. Masih kata Rasul-Nya:
7
Cinta
Alkisah, dua sejoli putra putri bangsawan dibakar api cinta. Qais, nama
pemuda itu, begitu rupa dimabuk asmara sehingga yang teringat hanya
kekasihnya, Laila. Saat mata tak lagi dapat bertemu pandang, Qais terus
menyusuri jalan mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya.
Maka, orang pun menertawakannya dan memanggil dia dengan julukan “si
gila”, Majnun.
Cinta mereka terbentur oleh adat. Majnun pun kian lupa diri. Anak
hartawan ini jadi hidup layaknya seorang pengemis. Tak pernah mandi,
kumal, dan terasing dari masyarakatnya hingga hidup terpencil bersama
binatang liar. Ia hanya meracau, bergumam syair cinta, dan berbicara pada
air sungai dan angin agar menyampaikan cintanya kepada Laila. Sementara
sang kekasih pun, di penjara kamarnya, merana didera rindu yang tak
berkesudahan; sampai ia bersuami pun jiwanya hanya hidup dengan
Majnun.
Singkat cerita, Laila wafat, dan setahun kemudian Majnun pun ditemukan
terbujur tanpa nyawa di pusara kekasihnya sehingga mereka dikubur
bersebelahan seolah disatukan kembali di alam keabadian.
Konon, masih menurut sahibul hikayat, tak lama setelah itu seorang Sufi
bermimpi melihat Majnun berada di sisi-Nya. Tuhan pun membelainya
dengan penuh kasih dan berkata, “Majnun, tidakkah kau malu memanggil-
Ku dengan nama Laila, setelah engkau reguk anggur cinta-Ku.” Ketika
bangun sang Sufi masih diliputi penasaran dengan nasib Laila yang malang
itu. Tuhan pun mengilhaminya bahwa Laila lebih agung karena ia
menyembunyikan segenap rahasia cintanya di dalam dirinya.
***
Selain kata hubb atau mahabbah, kaum Sufi senang menggunakan kata
‘isyq—yang juga merupakan akar kata “asyik” dalam bahasa Indonesia. ‘Isyq
berarti cinta yang meluap-luap. Kaum Sufi senang menggunakan kata ini
boleh jadi karena ia menunjukkan cinta yang lebih mendesak, atau karena
pada tingkatnya yang belum mencapai puncak, ia masih meluap-luap dan
belum mencapai ketenangan. ‘Isyq memang adalah persiapan menuju hubb
atau mahabbah.
Kemudian, ada wudd yang meliputi perwujudan konkret rasa cinta itu,
seperti jalinan mawaddah suami istri melahirkan kemesraan. Sedangkan
rahmah adalah kasih sayang yang mendorong seseorang berbuat baik kepada
yang dikasihsayanginya. Seperti kasih ibu yang tanpa pamrih kepada anak-
anaknya. Namun, jika rahmah bisa dipakai untuk manusia maka rahmân
hanyalah untuk menyatakan kasih sayang-Nya kepada segenap alam semesta.
Semua itulah cinta.
“Jika Kujenguk hati seseorang dan tak Kudapati cintanya kepada dunia
dan akhirat maka Aku penuhi dia dengan cinta-Ku.”
Menurut Imam Al-Ghazali, cinta hanya dapat dilihat dari akibat yang
dihasilkannya. Lalu, apa tanda-tanda cinta? Seperti dikatakan kaum ‘ulama’,
cinta meruntuhkan kesombongan merupakan sumber kekuatan dan
pemusatan perhatian, melembutkan, menghilangkan pamrih, menjadikan
orang dermawan, dan penuh pemaafan.[]
Lampiran I:
Aku pernah diminta untuk secara khusus membahas cinta dan berbagai
bentuknya. Semua bentuk cinta bersumber dari satu rumpun. Cinta ditandai
oleh rasa rindu kepada yang dicintai, takut berpisah, harapan untuk
mendapatkan balasan cinta. Konon bahwa perasaan itu berbeda-beda
menurut objeknya. Namun, sang objek berbeda-beda hanya karena hasrat
si pencinta, apakah hasrat itu sedang menguat, melemah atau pupus sama
sekali. Dengan demikian, cinta kepada Allah Swt. merupakan cinta yang
sempurna; itulah yang menyatukan makhluk dalam mencari cita-cita yang
sama.
Semua yang baru saja kami sebutkan secara unik merupakan fungsi
hasrat (yang ekstrem). Jika karena beberapa alasan, hasrat terhadap sesuatu
ditekan, jiwa akan berpaling kepada objek hasrat yang lain.
Oleh karena itu, kami dapati orang yang percaya kepada kemungkinan
berjumpa dengan Allah Swt. merindukan hal itu, memiliki rindu yang
mendalam terhadapnya dan tak akan terpuaskan oleh apa pun selainnya
sebab itulah yang memang didambakannya. Sebaliknya, orang yang tidak
meyakininya tidak mendambakan ekstase ini dan tidak menginginkannya
karena memang tidak berhasrat terhadapnya. Dia merasa puas dengan
melaksanakan shalat dan pergi ke masjid. Dia tak memiliki ambisi yang
lain.[]
***
Fitrah suatu Zat Yang Penuh Cinta dan Kasih Sayang adalah
mengungkapkan kebaikannya itu, meluapkan kasih sayangnya itu. Setiap
peluapan kasih sayang membutuhkan objek. Nah, dalam rangka peluapan
kasih sayang-Nya inilah, alam semesta tercipta. Yakni, sebagai objek
peluapan kasih sayang-Nya itu.
Dalam kaitan ini, tradisi Islam membagi sifat-sifat Allah ke dalam dua
kelompok: Jalal (tremendum, keagungan) dan Jamal (fascinans, keindahan).
Keduanya bersatu dalam Dia sebagai Kamal (Kesempurnaan). Keagungan
bersifat keras dan tajam, menggabungkan sifat murka, kecongkakan,
kekerasan, dan sejenisnya. Keindahan di sisi lain adalah sintesis dari belas
kasihan, kemurahan hati, belas kasih, dan sifat-sifat sejenisnya. Jalal
membuat manusia taat dan mematuhi hukum-Nya, sementara Jamal membuat
manusia terpesona dan jatuh cinta dengan-Nya. Kedua sifat ini, Jalal dan
Jamal (Keagungan dan Keindahan) juga disebut dengan nama-nama ‘Adl dan
Fadhl (Keadilan dan Kebaikhatian) atau Ghadhab dan Rahmah (Murka dan
Kasih sayang), atau Qahr dan Luthf (Kekerasan dan Kelembutan).
Al-Quran menyebut Allah sebagai bersifat rahman dan rahim (umumnya
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Yang Maha Pemurah dan
Yang Maha Penyayang). Akan tetapi, kata rahmah dalam bahasa Arab, yang
kedua kata-kata ini berasal, memiliki konotasi yang sangat komprehensif
yang terdiri dari cinta, kasih, berkah, dan banyak lagi makna serumpun.
Dalam prinsip cinta ini, kepercayaan Islam secara keseluruhan dan cara
hidupnya diringkaskan. Salah satu kata yang digunakan Al-Quran untuk
menunjukkan cinta adalah wudd, yang dalam bahasa Arab berarti bentuk
tertinggi dari cinta, dan disebutkan dalam Al-Quran:
Dan Dia adalah Maha Pengampun dan Pencinta (QS Al-Buruj [85]: 14)
Al-Wadud adalah salah satu dari nama-nama indah Allah yang berarti
sumber Cinta. Dia telah menganugerahi manusia dengan kapasitas tidak
terbatas untuk mengembangkan cinta. Hubb adalah kata lain yang digunakan
dalam Al-Quran yang juga berarti cinta, sebagaimana dinyatakan dalam:
... Tuhan akan mendatangkan orang yang Dia kasihi dan yang mengasihi
Dia. (QS Al-Mâidah [5]: 54)
Sesungguhnya, cinta adalah sifat hakiki Allah. Dia menekankan dalam Al-
Quran bahwa, Dia telah mewajibkan atas diri-Nya kasih sayang (QS Al-
An’am[6]: 12). Juga, Kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS Al-A’râf
[7]: 156), dan Sesungguhnya Tuhanku adalah Yang Maha Pemurah, dan
Yang Maha Penyayang (QS Hûd [11]: 80). Selain itu, dalam beberapa hadis
qudsi Allah mengungkapkan dengan tegas bahwa ”Kasih sayang-Ku
mendominasi Murka-Ku”.
Kita bisa menemukan lebih lanjut bahwa dalam Al-Quran Dia menyatakan
diri-Nya melalui nama-nama yang termasuk dalam kelompok Sifat
Memesona dan Indah-Nya (Jamal) dalam ayat-ayat yang jumlahnya 5 kali
lipat jumlah ayat yang di dalamnya Dia menyatakan diri-Nya melalui Sifat
Dahsyat dan Agung-Nya (Jalal) [7]. Sejalan dengan itu, Sifat Pembalas-Nya
—yaitu Sifat yang melaluinya Dia menghukum orang-orang berdosa—
muncul hanya sekali dalam Al-Quran, sedangkan sifat sebaliknya—
Pengampun—berulang sekitar 100 kali.
Memang, salah satu nama Allah, salah satu sifat-Nya adalah Al-Wajid.
Kata ini memiliki beberapa arti. Selain memiliki arti cinta yang kuat, kata ini
juga berarti mewujudkan. Dapat disimpulkan dari sini bahwa ada hubungan
yang sangat erat antara cinta dan penciptaan.
Dinyatakan oleh Ibn ’Arabi bahwa, “Tidak satu hadis yang disampaikan
oleh para Nabi-Nya yang mengisyaratkan Keagungan yang tanpa disertai
oleh sesuatu dari Keindahan untuk menyeimbangkannya.” Yakni, kenyataan
bahwa cinta dan belas kasih adalah prinsip-prinsip Allah tidak meniadakan
kenyataan lain bahwa Dia tidak tanpa murka dan keadilan. Murka dan
penerapan keadilan tentu termasuk tindakan-Nya. Namun, itu semua adalah
manifestasi dari prinsip yang sama, yaitu cinta dan belas kasihan. Adalah
kasih dan belas kasihan terhadap manusia yang membuat Dia menerapkan
keadilan dan menegakkan hukum. Artinya, sebagai bagian dari Sifat
Pemeliharaan-Nya (Rububiyah) atas manusia dan alam semesta.[]
9
Segala Hal, Tanda Cinta
Alkisah, seorang petani memiliki kuda yang sangat bagus. Seorang hartawan
sangat ingin membeli kuda itu. Harganya tak tanggung-tanggung, 50 ribu
dirham. Akan tetapi, sang petani dengan sopan menolak karena dia pun
menyukai kuda tersebut. Banyak orang menyesali sang petani yang tak
menukar kudanya dengan uang sebegitu besar. Tak dinyana, tak diduga,
suatu hari hilanglah kuda si petani. Maka, orang pun mulai menyalahkannya.
“Mau dibeli sebegitu mahal tak boleh, sekarang kuda pun raib.” Rugi besar
dia. Mendengar itu, sang petani berkata, “Yang aku tahu kudaku hilang,
tetapi aku tak tahu apakah aku menjadi rugi karenanya.” Dia memilih
bersabar.
Tak lama setelah itu, datanglah serombongan tentara suruhan raja untuk
merekrut anak-anak muda menjadi tentara yang akan dikirim ke medan
perang melawan musuh. Anak si petani tak jadi direkrut karena kakinya
cacat. Terbukti belakangan, banyak anak muda yang dikirim ke medan
perang menjadi korban jiwa. Maka, sekali lagi, si petani pun bersyukur.
***
M emang dari Tuhan yang Maha Pengasih, tidak ada yang terpancar
darinya, kecuali kebaikan. Bahkan hal-hal yang tampaknya buruk
sesungguhnya ada demi terciptanya suatu kebaikan yang lebih besar, yakni
dalam rangka mewujudkan kasih-Nya atas alam semesta. Sekali lagi, yang
terlihat sebagai murka-Nya dalam kenyataan adalah wajah lain dari rahmat-
Nya. Dalam sebuah hadis, Rasul Saw. bersabda, “Jika Allah mencintai
seorang hamba maka Dia akan mengujinya.”
... dan (Terpujilah) Dia yang menciptakan tujuh langit penuh harmoni
dengan satu sama lain, tidak ada kesalahan yang akan kamu lihat dalam
penciptaan Yang Maha Pemurah. Dan palingkankah penglihatan kamu
(atasnya) sekali lagi: dapatkah kamu lihat cacat apa pun? Ya,
palingkanlah penglihatan kamu (atasnya) lagi dan lagi: (dan setiap kali
itu) penglihatan kamu akan kembali kepadamu, benar-benar terpesona
dan tertundukkan .... (QS Al-Mulk [67]: 3-4)
Tuhan tidak akan dengan cara apa pun menzalimi manusia, tetapi
manusialah yang menzalimi diri mereka sendiri dengan melakukan tindakan-
tindakan yang merugikan diri mereka sendiri dan dunia.
Apa pun yang baik terjadi pada kamu adalah dari Allah, dan apa pun
bencana yang menimpa kamu adalah dari dirimu sendiri. (QS Al-Nisâ
[4]: 79)
... Tuhan tidak pernah akan merusak (kebaikan) yang Dia telah
diberikan kepada sekelompok orang, kecuali mereka sendiri merusak
apa yang ada dalam diri mereka sendiri. (QS Al-Anfâl [8]: 53)31
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh kesulitan dan kesempitan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah
Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya
pertolongan Allah.” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat
dekat. (QS Al-Baqarah [2]: 214)
“Jika aku mencintai seorang hamba maka Aku turunkan ujian (kesulitan
dan kesempitan) kepadanya, agar ia memohon kepada-Ku (agar ujian itu
diangkat darinya. Dan dengan cara ini dia mendekat kepada-Ku).”
Jadi, sekali lagi, seperti diungkapkan dalam hadis yang dikutip di awal
tulisan ini, sesungguhnya ujian tak lain adalah tanda cinta-Nya.
Kiranya inilah, seperti terungkap di beberapa tempat dalam Al-Quran,
yang Allah maksudkan ketika menyatakan bahwa betapa pun cobaan dan
kesulitan di permukaan tampak tidak menyenangkan, sesungguhnya di
dalamnya ada hikmah, bagi manusia yang tertimpa cobaan itu.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu,
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah [2]:
216)
Berita gembira itu, tak lain dan tak bukan, adalah makin dekatnya
perjalanan kembali kita kepada-Nya.
Dengan kata lain, manusia sendiri yang menciptakan siksa bagi dirinya
sendiri. Yakni, manusia yang memiliki jiwa yang sakit atau kotor, akibat
keburukan hidupnya di dunia, gagal mengapresiasi kebaikan cobaan sebagai
pembersihan jiwa ini. Sama halnya dengan udara panas bagi orang yang
temperamen tubuhnya panas. Ia akan terasa menyiksa. Akan tetapi, bagi
orang yang temperamen tubuhnya dingin, udara panas justru akan
menghangatkan. Dalam kaitan ini, perlu dipahami bahwa kata “siksa atau
siksaan” adalah terjemahan dari kata ‘adzab dalam bahasa Arab. Kata ini
berasal dari akar kata ’a-dz-b. Dari akar kata yang sama bisa dibentuk juga
kata ’adzb, yang justru berarti “manis”, dengan kata lain sesuatu yang baik.
Memang, sebagian dari kaum Arif, azab di neraka tidaklah abadi. Pertama,
sebagian ahli menerjemahkan kata abada dalam berbagai ayat Al-Quran yang
menyebut hal ini, bukan sebagai bermakna abadi, melainkan “berabad-abad”.
Betapa pun terasa lama, ia ada batasnya. Kalau pun ia berarti abadi maka—
antara lain, menurut Ibn ‘Arabi—yang abadi adalah nerakanya, bukan
siksanya. Kata ganti ha dalam ungkapan khalidina fi ha abada (kekal-abadi
di dalamnya) adalah kembali kepada kata neraka (nar, yang memang
merupakan kata benda yang bersifat feminin), bukan ‘azab (‘adzab, yang
mengambil bentuk kata benda maskulin). Dengan kata lain, kata khalidina fi
ha abada mesti diterjemahkan sebagai “(mereka) berada di neraka secara
kekal abadi”, dan bukan “mereka berada dalam azab secara kekal abadi”. Ada
saatnya neraka akan kehilangan sifat membakarnya, persis seperti hilangnya
sifat membakar dan menyiksa dalam kasus Nabi Ibrahim a.s.4
Bahkan, bukan tidak ada pendapat yang menyatakan bahwa kelak Allah
tak jadi melaksanakan janjinya untuk menyiksa manusia. Karena, bukankah
Allah sendiri menyatakan:
Bagi yang berpendapat seperti ini, jika Allah memerintahkan sikap pemaaf
seperti ini kepada manusia, mungkinkah Dia sendiri tak melakukannya? Wal-
lah a’lam bish-shawab.[]
10
Cinta Allah, Cinta Manusia
***
Juga,
Nabi, melalui doa yang diajarkan kepada Imam ‘Ali bin Abi Thalib—
sepupu, sahabat-terkasih Nabi, dan guru para Sufi awal—dengan sangat
indah mengungkapkan hal ini:
Ibn ’Abbas, salah seorang sahabat Nabi yang paling berilmu, pernah
menafsirkan kata li ya’budun (untuk menyembah Allah) dengan li ya’rifun
(untuk mengetahui Allah). Dengan kata lain, adalah wajib, bahkan
merupakan inti tujuan penciptaan, bahwa kita harus selalu belajar untuk
mengenal Allah dengan sebaik-baiknya.
Para ulama dan kaum Sufi melanjutkan eksplorasi tentang makna kata
‘ibâdah ini. Yakni, pemujaan. (Merujuk padanan bahasa Inggrisnya, yakni to
worship, kiranya juga membantu memahami makna ini dengan lebih baik,
mengingat kata ini dapat diterjemahkan baik sebagai menyembah maupun
memuja. Bahkan juga mengidolakan, menjadikan idola—ingat juga bahwa
kata “idola” berasal dari kata idol, yang bermakna sesuatu yang disembah,
berhala). Dalam bahasa Arab pun, kata ber-gender feminin dari ma‘bûd
(yang disembah)—yakni ma’budah—berarti perempuan yang dipuja atau
dicinta.
11
Muhammad Nabi Cinta
Perempuan itu pun menjadi makin tua dan uzur. Sehingga suatu hari,
jama’ah masjid mengambil inisiatif membersihkan halaman masjid dari daun
yang berguguran, dengan maksud membebaskannya dari pekerjaan yang
mungkin sudah mulai menjadi terlalu berat baginya.
Seperti biasa, hari itu sang ibu tua datang ke masjid. Betapa kagetnya
ketika ia mendapati halaman masjid telah bersih dari rerontokan dedaunan.
Dia pun menangis. Para jama’ah terkejut, dan jatuh iba kepadanya. Ketika
ditanya apa gerangan yang membuatnya begitu bersedih, perempuan itu
menjawab. “Aku sudah tua, tak ada yang bisa kulakukan untuk Kanjeng Nabi.
Maka, setiap hari kupunguti dedaunan yang rontok untuk membersihkan
halaman masjid ini. Namun, bukan itu saja yang membuatku bersedih.
Setiap saat memungut selembar daun, aku membacakan shalawat bagi
beliau. Kini tak ada lagi kesempatan bagiku untuk menyatakan cintaku
kepadanya ....”
***
Kiranya hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa tajalli (teofani,
manifestasi) Allah yang paling sempurna adalah dalam Muhammad Saw.
yang dalam hadis dikatakan, “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah
adalah (Nur) Muhammad.” Bahkan, dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan
bahwa:
Dan jika kita simpulkan semuanya itu, kita dapat menyatakan bahwa letak
kesempurnaan Muhammad Saw. adalah bahwa akhlaknya adalah akhlak
Allah (al-takhalluq bi akhlaq Allah).
Pada gilirannya, apa inti akhlak Nabi itu? Cinta dan kasih sayang, persis
seperti akhlak Allah. Di dalam kitab suci-Nya, Dia kabarkan:
Dan hanya karena rahmat dari Allah maka Engkau bersikap lembut
kepada mereka. Dan kalau saja Engkau bersikap keras dan berhati
kasar, niscaya mereka semua sudah menjauh darimu. (QS Al-Imran [3]:
159)
Kiranya, semua sifat penuh kasih dan kelembutan itu adalah suatu
kenyataan logis mengingat Tuhannya Muhammad Saw. telah berfirman:
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh alam. (QS Al-Anbiya [21]: 107)
Dia adalah utusan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dia adalah
penopang dan pemelihara alam keseluruhan. Lebih dari itu semua, dialah
sang insân kâmil (manusia paripurna), perwujudan sempurna sifat-sifat (kasih
sayang) Allah Swt.
Dialah exemplar par excellence Allah Swt. Dialah pintu gerbang bagi kita
untuk dapat kembali kepada-Nya. Dengan mengikutinya dan menjadikannya
teladan, maka sesungguhnya kita sedang menjalani proses pendakian spiritual
untuk mengembangkan al-takhalluq bi akhlaq Allah (berakhlak dengan
akhlak Allah)
12
Tali Cinta Manusia
Anak itu adalah Imam Hasan yang terjaga hingga pagi, tak melepaskan
tatapannya dari sang ibu, Siti Fatimah.
Fajar pun menyingsing dan malam berlalu dengan shalat dan permohonan
bagi orang lain, namun Imam Hasan a.s. tak mendengar sepatah kata pun
dari doa sang ibu, yang ditujukan untuk dirinya sendiri.
***
Pernah pula dikisahkan bahwa pada suatu kesempatan seorang Arab Badui
menghadang Nabi Saw. Di tengah salah satu perjalanannya, lalu berkata,
“Ceritakanlah kepadaku hal-hal yang mendekatkan aku ke surga dan
menjauhkan aku dari neraka.” Nabi Saw. Menjawab, “Sembahlah Allah dan
janganlah engkau menyekutukan-Nya dengan apa pun, dirikanlah shalat,
bayarlah zakat, dan sambunglah silaturahim.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
“Apakah Islam yang paling baik itu?” Suatu kali Nabi Saw. ditanya. Nabi
Saw. menjawab, “Islam yang paling baik adalah memberi makan orang yang
lapar dan menebarkan kedamaian di tengah orang-orang yang kaukenal
maupun yang asing.”
Pernah pula suatu kali Allah swt. bertanya kepada Nabi Musa a.s., ”Wahai
Musa, mana ibadahmu untuk-Ku?” Nabi Musa a.s. menjawab,
“Sesungguhnya ibadahku adalah untuk-Mu, ya Allah!”. “Tidak, wahai
Musa!” Allah Swt. menjawab, “sesungguhnya ibadah-ibadahmu itu adalah
untukmu sendiri.” Musa a.s. pun bertanya, “lalu, apakah ibadahku untuk-Mu,
ya Allah?” Allah menjawab, “memasukkan rasa bahagia ke dalam diri orang
yang hancur hatinya.”
Memang cinta dan kasih sayang identik dengan dorongan untuk selalu
memberi, bukan menuntut. Mencintai adalah sebuah prinsip menempatkan
kebutuhan dan kepentingan kita di bawah (atau setelah) kebutuhan dan
kepentingan orang yang kita cintai. Bahkan karena cinta, kita rela
mengesampingkan kebutuhan dan kepentingan kita demi terpenuhinya
kebutuhan dan kepentingan orang yang kita cintai. Inilah filosofi dasar cinta
dan kasih sayang. Dalam Al-Quran Allah berfirman:
Dengan memberi dan berbuat baik pada manusia, kita pun akan
mendapatkan cinta-Nya. Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya umat manusia
adalah kerabat Allah. Maka barangsiapa mencintai Allah, dia akan
mencintai kerabat-Nya.” Akhirnya, dalam kesempatan lain, Nabi Saw.
bersabda:
Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah memendam rasa cinta yang begitu besar
kepada Ummu Sulaim, dan memutuskan untuk meminangnya. Namun,
meski Ummu Sulaim berkata dengan sopan dan rasa hormat di luar dugaan,
jawaban Ummu Sulaim sungguh menyesakkan dada.
***
Ini sebabnya Rasulullah Saw. menyatakan, “Tiga hal dari duniamu telah
dibuat menyenangkan bagiku, yakni perempuan, wewangian, dan shalat.
(Tetapi) cahaya mataku terdapat dalam shalat.” Dia menyebut shalat
terakhir karena shalat adalah tujuan dari ketiganya. Artinya, perempuan (istri)
dan wewangian menenangkan serta memperkuat hati5 yang dengan kekuatan
hati itu, beliau menyibukkan diri dengan (ibadah) shalat dan mendapatkan
cahaya-mata (kecintaan)-nya di situ.
6 Ada perbedaan penting antara seorang pemikir Sufi seperi Imam Al-
Ghazali dan seorang ‘arif seperti Ibn ‘Arabi. Meski melihat manfaat
perkawinan sebagai sarana penghiburan, Imam Al-Ghazali
cenderung melihat hubungan seksual suami-istri sebagai sah,
sejauh untuk menyalurkan syahwat yang memang diciptakan Allah
dalam rangka kebutuhan manusia untuk beranak-pinak—bukan
untuk sepenuhnya memuaskannya. Berbeda dengan itu, Ibn ‘Arabi
bahkan lebih jauh melihat bahwa hubungan seksual suami-istri yang
terjadi di dalamnya, ketika ia berlangsung, sebagai hubungan
seksual murni yang—meski pada puncaknya adalah kesadaran
ketuhanan yang lebih kuat—bertujuan mendatangkan kebahagiaan
(baca: kenikmatan) yang luar biasa. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi
menyatakan bahwa kuasa kenikmatan (qahr al-ladz-dzah) seksual
yang mendominasi, menundukkan, dan membuat tak berdaya
pelakunya mengajarkan kepada keduanya perasaan ’ubudiyah
(kehambaan atau ketundukan) manusia kepada Allah. Yakni,
’ubudiyyah yang pada puncaknya sejalan dengan makna ayat
tentang penciptaan manusia yang dikutip di atas. Inilah juga rahasia
mengapa Allah menggambarkan kebahagiaan di surga, antara lain
dalam bentuk kenikmatan seksual. Jika kita ikuti pandangan Ibn
’Arabi ini, hal ini sekaligus memberi tahu kita bahwa, sebaliknya dari
melihat hubungan seksual (suami-istri) sebagai sesuatu yang tabu.
Islam memandangnya sebagai sesuatu yang sakral. (memang, Islam
hanya melihat hubungan seksual sebagai sesuatu yang buruk jika ia
dilakukan tidak dalam bingkai syari’ah. Karena, siapa yang dapat
mengatakan bahwa hubungan seksual adalah buruk jika ia dilandasi
cinta yang tak kurang-kurang bersifat spiritual?).
Lampiran 2:
Mahabbah (Cinta)
Mahabbah (cinta) itu—pertama-tama—ada dan berlaku di antara Allah
dan para walinya. Al-Quran telah mengisyaratkan hal itu. Allah Swt.
Berfirman, Adapun orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada
Allah (QS Al-Baqarah [2]: 165). Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya (QS Al-Mâidah [5]: 54).
Jika Anda berkata dan nafsu Anda yang buruk itu memberontak,
“Bagaimana engkau mencintai orang yang tidak engkau lihat dan ia bukan
dari jenismu?” Sesungguhnya Anda mencintai Sang Pencipta melalui
keindahan ciptaan-ciptaan-Nya yang tampak. Perhatikanlah tanah yang
luas beserta isinya berupa berbagai lukisan indah, sayuran, pepohonan,
buah-buahan, dan sungai-sungai. Lihatlah angkasa dan seisinya berupa
pergantian siang dan malam; matahari, bulan, serta planet-planet yang
besar dan yang kecil. Ini semua merupakan tanda-tanda ciptaan Pencipta
dan bukti keabadian Keberadaan-Nya. Mahasuci Tuhan Yang Mencipta
segala ciptaan. Bahkan, diri Anda akan takjub manakala Anda memikirkan
yang lebih agung dari yang Anda lihat dan Anda dengar. Yang
menunjukkan kepada Anda sebagai bukti terkuat dalam kecintaan kepada-
Nya adalah kenikmatan orang yang mendengarkan kalam-Nya. Sebab, ia
merupakan mukjizat yang tiada bandingannya. Dengan itu, ditunjukkan
kecintaan kepada Yang Maha Berbicara. Tidaklah Anda pernah mendengar
syair berikut:
Ketahuilah bahwa hubb (cinta) dan ‘isyq (kerinduan) adalah satu makna.
Yang utama di dalam hal itu adalah cinta membara seseorang kepada
kekasihnya, yaitu pandangan yang menganggap baik segala hal karena api
cinta yang menembus pikiran hingga mengobarkan api mujâhadah. Lalu,
muncul asapnya di balik bagian belakang otak, tampak isyarat-isyarat
pikiran tentang cinta dari bagian depan ubun-ubun dan terbuka pintu-pintu
kekosongan kalbu. Dudukkanlah khayalan kekasih di depan ‘ayn al-yaqin.
Jiwa mengkilapkan cermin mujâhadah (perjuangan melawan hawa nafsu)
di dalam memandang keindahan kekasih.
Sumber-Sumber Kebahagiaan
14
Kesucian Fitrah
Syahdan, di suatu masa, berkuasa seorang tiran yang sangat jahat. Rakyat
menderita luar biasa di bawah kekuasaannya. Hingga suatu saat, sang tiran
menjelang ajalnya. Dia pun memanggil perdana menteri kerajaannya dan
memerintahkan, “Nanti, setelah aku mati bakarlah jenazahku dan tebarkan
abunya di tujuh lautan.” Rupanya, dalam kejahatannya yang luar biasa,
fitrah sang tiran tetap berbicara. Ia tetap takut dan percaya pada
perhitungan (hisab) oleh Allah Swt. atas segala perbuatannya. Konon, karena
ketakutannya kepada Allah itu, Allah mengampuni dosa-dosanya dan
memasukkannya ke surga.
***
K ata fitrah—bahasa Arab fith-rah—berasal dari akar kata f-th-r. Arti kata
ini adalah “keawalmulaan sesuatu, sementara sebelumnya sesuatu itu
tidak ada”. Dengan kata lain, “sesuatu yang tercipta untuk pertama kalinya
dan tanpa preseden (contoh)”. Sinonimnya adalah al-khalq atau atau al-ibda’.
Contohnya, air susu yang pertama kali keluar dari induk unta disebut sebagai
fithr. Maka dalam ayat di atas, fitrah berarti unsur manusia yang diciptakan
pertama kali. Bukan itu saja, fitrah manusia itu tak pernah berubah sepanjang
hidupnya--dengan kata lain, selama-lamanya. Bukan kebetulan juga bahwa
makna lain kata fitrah adalah cetakan atau patrian, yang sekali dicetak atau
dipatri, tak akan bisa diubah atau dilepaskan.
Dalam analisis lebih jauh, kita mendapati bahwa fitrah memiliki dua unsur
utama dan fundamental. Pertama, keimanan kepada Tuhan sebagai Rabb
kita, sebagai Pencipta dan Perawat kita:
Unsur kedua fitrah adalah pengetahuan tentang jalan kebaikan dan jalan
keburukan yang telah diilhamkan kepada manusia sejak awal penciptaannya:
15
Kedekatan kepada Allah Swt.
Suatu kali, seorang laki-laki yang tidak percaya kepada Tuhan mendatangi
Imam Ja‘far Al-Shadiq sambil menantang, “Apa buktinya Tuhan itu ada?”
Kemudian Imam Ja‘far memerintahkan para sahabatnya untuk menceburkan
si laki-laki ke telaga yang ada di sekitar itu. Laki-laki malang itu ternyata tidak
bisa berenang. Dia pun gelagapan sambil berteriak-teriak meminta tolong,
“Wahai Ja‘far, tolonglah aku!” Akan tetapi, sang Imam melarang para
sahabatnya untuk menolong orang itu. Hal ini terjadi berkali-kali hingga
ketika hampir putus asa, dia pun berteriak, “Ya Allah, tolonglah aku.” Maka,
Imam Ja’far memerintahkan agar laki-laki itu keluarkan dari telaga. Imam
pun berkata kepada laki-laki itu, “Tuhan adalah yang engkau sebut nama-
Nya itu, ketika engkau yakin tak ada sesuatu pun yang dapat menolongmu
selain-Nya.”
***
Ada juga konsep yang disebut dengan meme. Meme adalah semacam gen,
tetapi bukan bersifat biologis, melainkan sosial. Jadi, sebagaimana manusia
ini punya gen yang diturunkan dari orang tua, gen sosial yang dinamakan
meme ini juga diturunkan kepada masyarakat oleh lingkungan sosialnya.
Tuhan, dalam konteks ini, semacam warisan turun-temurun lingkungan
sosial.
Kenyataannya, mau dibilang itu meme, mau dibilang itu gen, atau God of
the gap, manusia butuh sesuatu, sesuatu yang kemudian disebut sebagai
Tuhan, Allah, Yahwe, Sang Hyang Widi, dan sebagainya. Kenyataannya, dari
zaman primal, sebelum 180 abad yang lalu, sampai sekarang—setelah segala
macam ilmu pengetahuan makin maju, teknologi makin maju—apa yang
disebut Tuhan itu tak pernah sirna dari kehidupan manusia.
Sayangnya, fisik yang membungkus ruh kita ini sering menutupi fitrah itu
dengan kecenderungan mengumbar nafsu dan egoisme dan membuat kita
lupa pada fitrah kita tersebut. Yakni, bahwa soul mate kita sesungguhnya
adalah Allah Swt. Maka, ketika di dunia ini kita jauh dari Allah Swt.,
terkadang kita tidak selalu langsung merasakan kesedihan. Khususnya bagi
orang-orang yang sudah telanjur tumpul mata-hatinya. Akan tetapi, jika kelak
kita hidup di alam barzakh–yang di dalamnya daya ruhani kita menguat–dan
cara hidup kita di dunia menjauhkan kita dari dari Allah Swt. maka kesedihan
yang mendalam akan muncul. Lebih-lebih ketika kita berada di akhirat,
dengan kehidupan yang sepenuhnya bersifat ruhani. Saat itu secara otomatis
kita menyadari bahwa kekasih kita sesungguhnya adalah Allah Swt.
Mengenai saat itu, Allah Swt. mengatakan, “wa hush-shila mâ fish-shudur”
(dan diungkap semua yang ada di dalam dada). Maka, yang terpenting yang
akan diungkap-Nya adalah bahwa kekasih kita itu adalah Allah Swt. Ketika
itu kita harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Allah Swt. jauh dari kita.
Itulah sesungguhnya neraka. Sedang surga adalah kedekatan kita padanya,
berkat terlatihnya hati kita dari kemenangan perjuangan melawan nafsu dan
egoisme. Memang, menurut terjemahan kaum Sufi, neraka adalah kondisi di
mana manusia dirundung kesedihan yang amat mendalam karena merasa jauh
dari Allah Swt., sedangkan surga itu menyatunya kita dengan Allah Swt.
Kebahagiaan tertinggi adalah ketika cinta kita terbalas, ketika sukma kita
dipenuhi cinta. Sedangkan nestapa paling menyakitkan adalah kehampaan
oleh cinta tak terbalas. Apatah pula cinta kepada Allah. Dengan kata lain,
surga itu adalah kembali kepada Allah Swt. dan neraka itu jauh dari Allah
Swt.
16
Melazimkan Zikrullah
***
Kiranya hal ini mudah dipahami. Keyakinan tak tergoyahkan pada adanya
orang-orang atau wujud yang kecintaan-tulusnya kepada kita bisa
sepenuhnya kita andalkan, dan mau melakukan apa pun untuk kebaikan—
apakah itu kecintaan ibu kita, pasangan hidup kita, lebih-lebih kecintaan
Tuhan Yang Mahakuasa—akan menenangkan kita dan menjadikan hidup kita
penuh (fulfilled). Sebaliknya, kesengsaraan adalah suatu keadaan sepi dan
terasing, yang di dalamnya terdapat bukan hanya kesepian melainkan juga
kengerian akibat kehampaan makna dan ketiadaan tujuan hidup. Inilah yang
dalam terminologi agama disebut sebagai keadaan terlaknat atau terkutuk,
yang menyiksa jiwa. Kiranya ini jugalah makna surga dan neraka ukhrawi –
ketenangan atau kepenuhan hidup dan kesumpekan atau kehampaan hidup.
Yang tak boleh kita lalaikan adalah bahwa iman, takwa, dan zikrullah yang
sejati, tak akan pernah kita raih tanpa diiringi amal-amal saleh, tanpa
tindakan memberi, dan menolong orang lain. Bahkan, ujian sesungguhnya
atas keimanan kita kepada Allah terletak pada kesiapan kita dalam memberi
dan menolong orang lain. Tanpa itu, sesungguhnya keimanan atau
keberagamaan kita hanyalah dusta belaka:
17
Berakhlak dengan Akhlak Allah Swt.
Kaisar Romawi menjawab, “Kekayaan itu bahan pemanis, tidak setia dan
bersifat sementara. Sebaik-baiknya pelayanan untuk anak-anakmu adalah
akhlak mulia dan sifat terpuji, yang akan membimbing mereka kepada
kepemimpinan selamanya di dunia dan pengampunan (dosa-dosa) di
akhirat.”
***
“Takhallaqu bi akhlaqillah”
Berbudi pekertilah kamu seperti budi pekertinya Allah Swt.
—HADIS
Terkait dengan ini, Nabi Saw. pernah bersabda, “Kulihat Allah dalam
keindahan-sempurnanya.”
Menurut Ibn ‘Arabi, alam itu sebetulnya “saudara” manusia. Alam itu
kadang disebut al-insan al-kabir (manusia dalam skala besar), sementara
manusia itu disebut al-alam al-shaghir. Artinya, dalam makna lain, manusia
itu alam semesta kecil dari segi ukurannya. Sementara alam itu “manusia
besar”. Allah Swt. menciptakan alam semesta dan manusia dengan aturan-
aturan yang sama persis.
Lampiran 3:
Doa berikut diajarkan oleh Nabi Saw. kepada para sahabatnya, “Ya
Allah berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-
orang yang mencintai-Mu, dan apa saja yang membawaku mendekat
kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air
dingin bagi orang-orang yang kehausan.”
Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah maka akan
kita dapati bahwa Dia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Jika seseorang
tidak mencintai-Nya maka hal itu disebabkan ia tidak mengenali-Nya. Kita
mencintai sesuatu pada diri seseorang karena hal itu merupakan cerminan
daripada-Nya. Karena alasan inilah, kita mencintai Muhammad Saw. Dia
adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan orang-orang berilmu dan
bertakwa adalah benar-benar kecintaan kepada Allah. Kita akan melihat
hal ini lebih jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa
membangkitkan kecintaan.
Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan kepada sesuatu yang
berjasa kepadanya, dan sebenarnya satu-satunya yang berjasa kepadanya
hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama
manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa pun
yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain,
apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau nama baik, Allahlah
yang mempekerjakan motif itu.
Allah juga berfirman kepada Musa a.s., “Aku pernah sakit, tetapi engkau
tidak menjenguk-Ku” Musa menjawab, “Ya Allah Engkau adalah Rabb
langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?” Allah berfirman, “Salah
seorang hamba-Ku sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah
mengunjungi-Ku.”
Wali Rabi’ah pernah ditanya cintakah dia kepada Nabi Saw., “Kecintaan
kepada Sang Pencipta,” katanya, “telah mencegahku dari mencintai
makhluk.” Ibrahim ibn Ad-ham dalam doanya berkata, “Ya Allah, di
mataku surga itu sendiri masih lebih remeh daripada sebuah agas jika
dibandingkan dengan kecintaan kepada-Mu dan kebahagiaan mengingat
Engkau yang telah Kau anugerahkan kepadaku.”
Hal ini bisa diterangkan dengan anekdot berikut ini. Seorang manusia
pemakan bangkai pergi ke sebuah pasar yang menjual wangi-wangian,
ketika mencium aroma wangi dia jatuh pingsan. Orang-orang
mengerumuninya dan memercikkan air bunga mawar padanya, lalu
mendekatkan misyk (minyak wangi) ke hidungnya; tetapi dia malah
menjadi makin parah. Akhirnya seseorang datang; dia sendiri adalah juga
pemakan bangkai. Dia dekatkan sampah ke hidung orang itu maka orang
itu segera sadar, mendesah penuh kepuasan, “Wah, ini baru benar-benar
wangi-wangian!” Jadi, di akhirat nanti manusia tak akan lagi mendapati
kenikmatan-kenikmatan cabul dunia ini; kebahagiaan ruhaniah dunia itu
akan sama sekali baru baginya dan malah akan meningkatkan
kebobrokannya. Karena, akhirat adalah suatu dunia ruh dan merupakan
pengejawantahan dari keindahan Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia
yang telah mengejarnya dan tertarik padanya. Semua kezuhudan, ibadah,
dan pengkajian-pengkajian akan menjadikan rasa tertarik itu sebagai
tujuannya dan itu adalah cinta. Inilah arti dari ayat Al-Quran, Orang-orang
yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia. Dosa-dosa dan syahwat
langsung bertentangan dengan pencapaian rasa tertarik ini.
Oleh karena itu, Al-Quran berkata, “Dan orang yang mengotori jiwanya
akan merugi.” Orang-orang yang dianugerahi wawasan ruhaniah telah
benar-benar memahami kebenaran ini sebagai suatu kenyataan
pengalaman, bukan sekadar sebuah pepatah tradisional belaka. Pengalaman
mereka yang amat jelas terhadap kebenaran ini membawa mereka kepada
keyakinan bahwa orang yang membawa kebenaran itu adalah benar-benar
seorang Nabi, sebagaimana yakinnya seseorang yang telah mempelajari
pengobatan ketika ia mendengarkan omongan seorang dokter. Ini adalah
sejenis keyakinan yang tidak membutuhkan dukungan berupa mukjizat-
mukjizat luar biasa sejenisnya seperti yang dilakukan oleh para ahli sihir.
Tanda-Tanda Kecintaan kepada Allah
Banyak orang mengaku telah mencintai Allah, tetapi masing-masing
mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang
mereka miliki. Ujian pertama adalah dia mesti tidak membenci pikiran
tentang mati karena tak ada seorang “teman” pun yang ketakutan akan
bertemu dengan “teman”-nya. Nabi Saw. berkata, “Siapa yang ingin
melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya.”
Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas mungkin saja
bisa takut akan kematian sebelum ia menyelesaikan persiapannya untuk ke
akhirat, tetapi jika ia ikhlas, ia akan rajin dalam membuat persiapan-
persiapan itu.
Ujian ketiga adalah bahwa zikrullah mesti secara otomatis terus tetap
segar di dalam hati manusia. Karena, jika seseorang memang mencintai
maka ia akan terus mengingat-ingat; dan jika cintanya itu sempurna maka
tak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin
terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah tidak menempati tempat
utama di hati seseorang, kecintaan akan Allahlah yang berada tempat itu
karena cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang
lain.
Ujian keempat adalah bahwa seeorang akan mencintai Al-Quran yang
merupakan firman Allah, dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya
memang benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia karena
mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Bahkan cintanya akan
melingkupi semua makhluk karena orang yang mencintai seseorang akan
mencintai karya-karya cipta dan tulisan tangannya.
Allah Swt. berkata kepada Daud a.s., “Janganlah terlalu dekat dengan
manusia karena ada dua jenis orang yang menghalangi kehadiran-Ku:
orang-orang yang bernafsu untuk mencari imbalan dan kemudian
semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang
yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingat-Ku.
Tanda-tanda ketidakridhaan-Ku adalah bahwa Aku meninggalkannya
sendiri.”
Nabi Saw. pernah bertanya kepda Allah, “Ya Allah, siapakah pencinta-
pencinta-Mu?” Jawaban-Nya pun datang, “Orang-orang yang berpegang
erat-erat kepada-Ku sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang
berlindung di dalam pengingatan kepada-Ku sebagaimana seekor burung
mencari naungan pada sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat
perbuatan dosa sebagaimana seekor macan marah, yang tidak takut
kepada apa pun.”[]
Suatu hari sang Raja, pergi berburu ditemani pembantunya. Tanpa diduga,
sang Raja mengalami kecelakaan, sehingga salah satu jarinya terpotong. Raja
merasa sedih dan kesal. Akan tetapi, dengan polos pembantunya meminta
sang Raja bersyukur atas kejadian yang menimpanya, sambil meyakinkan
bahwa segala sesuatu yang menimpa kita pasti ada hikmahnya. Mendengar
itu, Raja marah dan memerintahkan pengikutnya agar memenjarakan sang
pembantu.
Pada kali yang lain, sang Raja pergi berburu lagi, kali ini sendirian. Di
tengah jalan, Raja disergap oleh segerombolan orang dari suku primitif yang
perkasa. Mereka menangkap Raja dan bermaksud mengorbankannya untuk
para dewa. Namun, mereka membatalkan rencananya, dan melepas sang
Raja karena melihat tangannya yang cacat. Persembahan bagi dewa
mestilah manusia yang sempurna tubuhnya.
Betapa tidak? Melewati syukur dan sabar, ridha tak lagi membagi-bagi apa
yang datang kepada kita sebagai musibah (bencana) atau karunia (anugerah).
Firman Allah Swt., ... terhadap apa-apa yang Tuhan berikan kepadamu,
bersifat ridhalah. (QS Al-Dhuha [93]: 5) Bagi orang yang telah memiliki
karakter ridha, apa saja yang datang kepada kita (dari Allah) adalah karunia.
Semua yang datang dari Allah sesungguhnya adalah baik. Perbedaan di
antara keduanya dipercayai hanya pada kemasannya. Yang tampak sebagai
bencana sesungguhnya juga karunia, hanya bungkusannya saja yang
menjadikan ia tampak sebagai bencana. Dengan kata lain, ia hanya persoalan
persepsi.
Seseorang yang memiliki sifat ridha percaya bahwa di balik segala (yang
tampak sebagai) musibah sesungguhnya terdapat hikmah. Bahwa musibah
tersebut hanyalah perantara bagi sampainya karunia kepada kita. Terkadang
berfungsi sebagai pembelok jalan, justru menuju apa yang kita cari.
Dalam sebuah ayat Al-Quran, Allah mengajar kita untuk percaya bahwa:
… Tak ada yang menimpa kami, kecuali itu telah ditetapkan-Nya .... (QS
Al-Taubah [9]: 51)
Dengan menyejajarkan kedua ayat ini, dan berdasar keyakinan bahwa ayat-
ayat Al-Quran tak mungkin bertentangan satu sama lain, kita dapat
menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang sampai kepada kita adalah
kebaikan. Yakni, segala sesuatu adalah datang dari Allah, dan segala sesuatu
yang datang dari Allah adalah baik. Persepsi kitalah yang menjadikan
(sebagian dari)-nya tampak buruk (yakni, sebagai bencana).
Dalam kaitan ini, menjadi amat relevan hadis qudsi, “Aku adalah
sebagaimana persangkaan (baik) hamba-Ku kepadaku.”
Jika kita percaya bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah itu baik
maka ia akan jadi benar-benar menjadi kebaikan bagi kita karena
sesungguhnya itu memang kebaikan. Persangkaan baik kepada Tuhan adalah
sisi lain dari sikap ridha.
Pada puncaknya, orang yang memiliki sikap-mental ridha seperti ini akan
selalu merasa rela—memang dari kata ridhalah istilah ini berasal. Yakni,
menerima apa saja yang datang kepadanya. Dengan demikian, hatinya selalu
merasa tenteram dan puas dengan apa saja yang terjadi pada dirinya. Tak lain,
inilah perasaan bahagia. Sebagaimana disabdakan Nabi Saw.,
“Sesungguhnya Allah Swt. dengan keadilan-Nya dan ilmu-Nya menjadikan
kesejahteraan dan kegembiran dalam ridha dan yakin, serta menjadikan
kesusahan dan kesedihan dalam keraguan dan kekesalan.”
Atau seperti kata seorang Sufi, Abdul Wahid ibn Zaid, “Ridha adalah pintu
Allah yang terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah.”[]
19
Mengembangkan Ridha (II)
Rubinstein, komposer dan pianis terkemuka abad 20, setiap hari selalu
tampak ceria, optimis, dan menebarkan aura kebahagiaan. Para sahabatnya
penasaran, apa rahasianya?
***
A llah memang menciptakan alam semesta ini bersumber pada sifat kasih
sayang-Nya. Oleh karena itu, alam ini dirancang sedemikian rupa
sebagai ciptaan terbaik-Nya. Dengan kata lain, sifat aslinya adalah
memberikan kebaikan setinggi-tingginya dan kebahagiaan bagi penghuninya.
Sebagai konsekuensinya, Dia membentangkan kemungkinan jalan—termasuk
jalan keluar dari kesulitan—sebanyak-banyaknya, bahkan tak terbatas. Alam
ini adalah himpunan jalan-jalan dan kesempatan ke arah kebaikan tertinggi,
kesempurnaan, dan kebahagiaan manusia.
Maka, jika suatu saat kita sedang menjalani suatu keadaan, melalui salah
satu jalannya, kita perlu ingat bahwa jalan yang sedang kita lalui itu adalah
hanya satu di antara banyak jalan-Nya yang tak terbatas. Kalau dengan
melalui jalan itu kita dapat mencapai kebaikan yang kita kejar itu,
alhamdulillah. Kalau tidak, di sekeliling jalan kita itu tersedia jalan-jalan lain
untuk menuju kebaikan dan kebahagiaan yang kita cari. Jadi, jika kita tidak
berhasil dengan satu jalan, kita hanya perlu pindah lintasan. Inilah makna
pernyataan “semua ada hikmahnya.” Karena, bukan saja kebaikan yang kita
kejar masih dapat kita rengkuh lewat tak terbatas jalan alternatif, “kegagalan”
kita justru membuat kita makin berpengalaman, makin pintar, dan makin
matang. Sehingga kemungkinan besar, kita justru akan menemukan jalan
kebahagiaan yang lebih baik ketimbang jika upaya kita sebelumnya berhasil
(tidak gagal). Ini juga sebabnya keadaan seperti ini terkadang disebut
blessing in disguise. Atau, terkadang kita diajar, every cloud has its silver
lining. Padahal sebenarnya, bahkan tak ada kebaikan yang in disguise,
bahkan tak ada awan yang hitam, yang ada hanya langit yang cerah, tetapi
terselimuti air. Kebaikan dan berkah–mesti saya tulis, kebaikan-kebaikan,
dalam jumlah tak terbatas—yang nyata, hanya saja kita belum menyadarinya
sampai setelah kita mentok dengan jalan yang sedang kita tempuh.
Para ahli tafsir, berdasar kenyataan bahwa Tuhan perlu mengulang dua kali
ayat yang sama seraya menggunakan kata sandang definitif (definite article)
“al” (“the”) untuk “kesulitan” (‘usr) di kedua ayat itu dan tak
menggunakannya untuk kata “kemudahan” (yusr), menunjukkan bahwa ayat
tersebut harus dipahami sebagai: “Bersama kesulitan yang sama ada lebih
banyak kemudahan.”
Inilah sebenarnya makna positif cobaan, ujian, dan musibah. Dia adalah
bagian kasih sayang-Nya, atau cara-Nya dalam membukakan jalan baru
kepada kita. Tinggal bagaimana kita selalu bersikap positif dalam melihat
keadaan apa pun. Tidak frustrasi, tidak juga putus asa, melainkan bersabar
dan terus mencoba, mencari jalan-jalan lain menuju kebahagiaan kita, yang
telah disediakan-Nya untuk kita.
Selanjutnya ada berkah. Kata “berkah” berasal dari kata bahasa Arab
barakah. Kata ini terkait erat dengan sifat dasar Tuhan sebagai yang pengasih
dan penyayang. Bahwa, ketika Tuhan memberi kebaikan maka dia
menawarkan kebaikan yang tidak terbatas. Sedemikian sehingga barakah
biasa diterjemahkan sebagai ziyadah al-khayr (tambahan atau keberlimpahan
kebaikan). Bukan saja dalam setiap kebaikan ada kelebihan-kelebihan dari
yang tampak, tetapi juga ia memiliki potensi untuk bersama kita dalam waktu
yang lama, berkelanjutan.
Maka, bukalah hati kita untuk kebaikan Tuhan yang tak terbatas ini.
Dahulukan berprasangka baik agar kebaikan selalu tampak dalam apa saja
yang datang kepada kita. Bersabar dan bersyukurlah maka kebaikan akan
terus menyertai kita: datang dalam banyak muka, dan ada terus dan tinggal di
sini bersama kita.
Jika sudah begini cara pandang kita maka tak ada lagi yang tidak baik di
alam semesta ini. Termasuk musibah dan bencana. Dia harus ada demi
kebaikan-kebaikan itu. Tanpa keburukan–persisnya, apa yang kita anggap
buruk—kebaikan tak akan nyata. Tanpa kesulitan–atau yang kita anggap
sebagai kesulitan—kemudahan akan tersamarkan. Tanpa kesedihan,
bagaimana kegembiraan dan kebahagiaan akan lahir? Alam ini tak akan
tercipta jika tak ada apa-apa yang kita sebut sebagai keburukan itu. Maka, tak
bisa lain, “keburukan-keburukan” itu menjadi latar belakang yang di atasnya
kebaikan-kebaikan itu terproyeksikan, menjadi bagian tak terpisahkan dari
kebaikan, dan karena itu juga merupakan pewujudan kasih sayang-Nya.
Lampiran 4:
Bagian-Bagian Kebahagiaan1
—Ibn Miskawaih
Para pengkaji andal, yaitu para filsuf, mengesampingkan nasib baik dan
tiap sesuatu yang diperoleh melalui nasib baik. Mereka tidak memasukkan
hal-hal tersebut dalam kategori kebahagiaan, lantaran kebahagiaan
dipandang sebagai sesuatu yang tetap, tidak sirna, dan tidak berubah-ubah.
Kebahagiaan adalah sesuatu yang paling mulia, paling terhormat, dan
paling tinggi. Mereka berpendapat bahwa hal terendah—yaitu yang
berubah, tidak tetap, tidak diwujudkan melalui pemikiran serta bukan hasil
dari nalar atau kebajikan—tak dapat mengambil bagian dalam
kebahagiaan.
Filsuf ini melihat hal ini dan melihat pula bahwa kebahagiaan menusia
berbeda satu dengan yang lainnya, dan kebahagiaan merupakan problem
sangat berat bagi mereka. Filsuf ini menerangkan dan membahas
kebahagiaan secara mendalam. Karena orang miskin memandang bahwa
kebahagiaan terbesar itu terletak pada harta dan kemudahan hidup, orang
sakit memandang kebahagiaan terletak pada kondisi sehat dan selamat,
orang yang merasa dirinya hina, dia memandang kebahagiaan terletak pada
kemuliaan dan kekuasaan, orang durjana memandang kebahagiaan berada
pada pemuasan hawa nafsu yang bermacam-macam, orang yang jatuh cinta
memandang kebahagiaan ada pada dapat ditaklukkannya hati orang yang
dicintainya, dan orang yang mulia, terhormat, melihat kebahagiaan terletak
pada saat ia berbuat kebajikan pada orang-orang yang berhak
mendapatkannya. Sementara filsuf melihat bahwa seluruh kebahagiaan tadi
merupakan kebahagiaan yang berbeda-beda, bila ditata menurut kebutuhan
akal, yaitu kebahagiaan itu dicari bila diperlukan, pada waktu yang tepat,
dan dengan cara yang benar. Dia juga percaya bahwa apa yang diinginkan
demi sesuatu yang lain maka kurang layak dibanding sesuatu yang
bernama kebahagiaan.
Namun, bersamaan dengan itu pula, dia mencari hal-hal mulia, berupaya
mendapatkan hal-hal mulia, menyukainya, dan merasa puas dengannya;
atau dia berada pada tingkatan hal-hal ruhani, lekat dengan hal-hal tinggi,
dan berbahagia di dalamnya. Dia mengamati dan menelaah hal-hal rendah,
mengambil pelajaran darinya, merenungkan tanda-tanda kekuasaan Ilahi
dan bukti-bukti kearifan sempurna, mengikuti contoh-contohnya,
mengaturnya, melimpahkan bermacam-macam kebaikan padanya, dan
memandunya memperoleh kebaikan demi kebaikan sebatas
kesanggupannya.
Siapa pun orangnya yang belum mencapai salah satu di antara dua
tingkatan ini, berarti dia berada pada derajat binatang, bahkan lebih sesat
lagi karena tingkatan binatang itu tidak terbuka bagi kebaikan-kebaikan
ini, dan tidak pula diberi kemampuan untuk mendapatkan tingkatan tinggi
ini, tetapi, dengan dayanya, hanya dapat bergerak ke arah kesempurnaan-
kesempurnaan yang sesuai dengan tingkatan itu. Lain halnya dengan
manusia. Dia dapat diseru untuk memperoleh tingkatan-tingkatan tinggi
ini, dan diberi bekal untuk itu.
Dengan demikian, jelaslah kini bahwa orang yang bahagia mesti berada
pada salah satu dari dua tingkatan yang telah kami sebutkan. Juga jelas
bahwa satu orang yang bahagia tidak sempurna dan tidak mencukupi bagi
yang lain. Sedang yang tidak sempurna tidak lepas dari penderitaan,
lantaran telah tertipu oleh bujukan-bujukan hawa nafsu yang
menghalanginya dari tujuannya dan membuat dia sibuk menggeluti
perkara-perkara jasmani. Orang yang berada pada tingkatan ini belum
benar-benar sempurna dan belum benar-benar bahagia. Hanya orang yang
telah mencapai tingkatan lainnya sajalah yang telah bahagia sepenuhnya.
Dia memiliki banyak kearifan. Dan dengan berbekal spiritualitasnya dia
berada bersama makhluk-makhluk tinggi yang dari merekalah dia banyak
mendapat kearifan; dia mendapat pancaran sinar Ilahi, dan berupaya
memperbesar kebajikannya sebatas perhatiannya dan sebatas kurangnya
kendala yag menghambat dia. Oleh sebab itu, selamanya dia akan terlepas
dari kesengsaraan yang membelenggu orang yang mencapai tingkatan
pertama. Selamanya ia akan hidup bahagia dalam dirinya, dalam
kondisinya, dan dalam pancaran sinar yang pertama yang selalu
diterimanya. Dia akan merasa bahagia dengan hal-hal itu saja dan gembira
dengan keindahan-keindahan saja. Hatinya hanya senang bila melihat
kearifan di antara orang-orang arif. Jiwanya tidak akan damai, kecuali
kalau dia bersama orang yang sama atau mendekati dirinya dan ingin
menuntut ilmu darinya. Kalau seseorang berhasil mencapai tingkatan ini
maka telah sampailah ia pada puncak kebahagiaan. Dialah orang yang
tidak keberatan berpisah dengan yang dicintainya di dunia. Dialah orang
yang tidak bersedih hati karena tidak mendapatkan kesenangan duniawi.
Dialah orang yang memandang tubuh, harta, dan semua kenikmatan
duniawi, yang telah kami kemukakan sebagai kebahagiaan jasmani
maupun di luar jasmani, tak lebih dari sekadar beban, kecuali bila
dibutuhkan untuk menjaga badannya, di mana dia tak bisa lepas dari
badan, kecuali kalau Penciptanya menghendaki.
20
Beryukur dan Bersabar Menghadapi Ujian-Nya
***
Pada kenyataannya, memang lebih banyak orang hidup di dunia ini dalam
keadaan tenggelam dalam pengumbaran nafsu dan karenanya menjadi orang
yang lalai (ghafil). Hidupnya dituntun untuk tak menyebutnya dikendalikan
oleh nafsu, bukan fitrahnya yang suci. Nafsunya yang terbiasa dimanjakan
dan dipuasi, bukan saja membuatnya menjadi ketagihan dan membuatnya
dikendalikan olehnya, hal itu menjadikannya rentan terpukul kekecewaan
setiap saat ada apa-apa yang diinginkannya tak terwujud. Bukan itu saja,
karena fitrah manusia selalu mencari kesempurnaan dan ketenteraman
spiritual, kepuasan nafsani tak mampu memberinya kebahagiaan sejati.
Bahkan berisiko besar untuk menimbulkan kekecewaan luar biasa dan
kehampaan makna, serta kebingungan luar biasa ketika semua yang diikejar
teraih, tetapi kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung didapat. Maka, mau
mencari kemana lagi? Dari sini diharapkan kita pun lebih dapat memahami
tujuan kehidupan, dan sumbernya, juga diri sejati (fitrah) kita, lalu mengatur
hidup kita sesuai dengan itu. Inilah sesungguhnya yang bisa menjamin
kebahagiaan hidup kita, bukan hanya di akhirat—di mana amal-amal kita
diganjar—melainkan di dunia ini. Karena, seberapa pun terpuasi nafsu
keduniaan kita, dia tak akan menjadikan hidup kita menjadi berbahagia,
malah sebaliknya.
Yang perlu diketahui, ujian (bala’) dari Allah Swt. bukanlah hanya datang
dalam bentuk kesulitan. Karunia-Nya juga bisa menjadi ujian. Kekayaan,
misalnya, dapat menjadi sumber kesombongan jika kita tak memahaminya
sebagai titipan Allah untuk, bukan hanya diri kita sendiri, melainkan orang-
orang lain yang membutuhkan uluran pertolongan kita. Kepintaran,
kekuasaan, dan popularitas juga demikian.
Bahkan dalam analisis lebih jauh, kita diajar bersabar ketika mendapatkan
karunia. Yakni, untuk tak menjadi lupa daratan sehingga menjadikan karunia
itu berubah menjadi bencana, baik untuk diri kita maupun untuk orang lain.
Sebaliknya, kita diajar untuk bersyukur ketika mendapatkan kesulitan dengan
kesadaran bahwa semuanya itu datang dari Allah, sehingga bukan saja kita
menerimanya dengan rela, hal itu justru dapat meningkatkan keimanan kita.
Memang, sesungguhnya sabar dan syukur adalah dua sisi dari mata uang
yang sama. Orang yang mampu bersyukur adalah orang yang pada waktu
yang sama bisa bersabar, dan sebaliknya. Mereka inilah yang akan terus
mendapatkan curahan karunianya (la in syakartum, lâzidannakum). Lebih
dari itu, merekalah orang-orang yang berbahagia:
... Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yang
(jika ditimpa ujian) mereka akan berkata, “Innâ lil-lahi wa innâ ilayhi
raji’un (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadanya kami akan
kembali).” (QS Al-Baqarah [2]: 155-157)[]
21
Hidup dengan Akhlak Mulia
Suatu kali, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghampiri seorang anak yang
sedang menggembalakan kambing milik majikannya. Khalifah melihat ada
puluhan kambing yang digembalakan anak muda itu. Untuk menguji
kejujuran si anak muda, Khalifah Umar berkata, “Wahai anak muda, maukah
kaujual satu kambingmu kepadaku?” Anak muda tersebut menjawab,
“Kambing-kambing ini bukan milikku, tetapi milik majikanku.” “Tapi,” kata
Khalifah Umar, “kalau kaujual satu saja, pasti majikanmu tidak akan tahu.”
Anak muda itu menatap khalifah Umar sambil berkata, “Memang majikanku
mungkin tidak tahu, tetapi Allah Swt. akan tahu.”
***
R asulullah Saw. menyatakan bahwa, “Kebaikan adalah apa-apa yang
jika kamu lakukan, hatimu tenang (damai), sedang kejahatan adalah
apa-apa yang jika kamu lakukan, hatimu gelisah.” Memang, ketenangan dan
kedamaian hati hanya bisa diraih oleh orang yang memiliki integritas. Kata
“integritas” berasal dari “integer” (integer), berarti bulat, penuh, sebagaimana
bilangan bulat disebut integer. Makna umumnya adalah kesetiaan kepada
moralitas (kebaikan), yang tanpa itu orang tak dapat menikmati hidup yang
penuh, damai, atau bahagia (fulfilled). Intinya adalah penyatuan perkataan
dengan perbuatan, yakni keserasian antara pernyataan tentang nilai-nilai
moralitas atau budi pekerti yang diyakini dan kenyataan tindakan-tindakan
yang dilakukannya. Orang yang mempunyai integritas akan memiliki budi
pekerti yang luhur karena sesungguhnya setiap manusia yakin akan
keniscayaan budi pekerti yang luhur. Sementara orang yang tak memiliki
integritas dalam praktiknya memiliki budi pekerti yang rendah, bertentangan
dengan apa yang diyakini setiap orang.
Dari uraian ringkas di atas, tampak dengan jelas bahwa bukan saja
kebahagiaan kita di akhirat dipertaruhkan dengan cara kita berbudi pekerti,
baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, bahkan kebahagiaan kita
di dunia ini juga sepenuhnya bergantung padanya. Orang yang berakhlak
baik, yang memiliki integritas yang tinggi, adalah orang yang hidup sebagai
manusia yang utuh dan penuh. Dan hanya manusia yang utuh yang bisa hidup
dalam keseimbangan dan kestabilan dalam ketenteraman dan kebahagiaan.[]
22
Menebar Amal Saleh
***
Kata saleh (shalih) berasal dari kata shalaha yang bermakna baik,
memiliki manfaat, atau sehat, dan ditemui terulang sebanyak 180 kali dalam
Al-Quran. Amal saleh dapat dipahami sebagai setiap tindakan yang
memberikan manfaat, menyelesaikan, atau menghilangkan kesulitan dan
membuahkan perbaikan (kerusakan). Lebih dari “sekadar” berbuat baik,
seorang yang saleh selalu bekerja keras, menggunakan waktu dengan sebaik-
baiknya dan memberikan kontribusi kepada masyarakat, untuk membuat
perbedaan dalam kehidupan manusia. Begitu sentralnya konsep amal saleh
ini sehingga—di antara 180 ayat yang mengandung kata ini dalam Al-Quran
—Allah Swt. banyak sekali mengaitkannya dengan keimanan dalam satu
napas.
Ayat di atas dengan gamblang mengajarkan kepada kita bahwa Allah akan
menganugerahkan kebahagiaan hidup, bukan hanya di surga, melainkan di
dunia ini kepada orang-orang yang beramal saleh. Jaminan kebahagiaan bagi
orang-orang yang beramal saleh bahkan diungkapkan sekali lagi dalam suatu
ayat berbeda, sebagai berikut:
Kiranya ini sejalan dengan apa yang difirmankan Allah Swt. di dalam
surah Al-Insyirâh ayat 7-8, Dan jika kamu telah selesai (dengan suatu
urusan), kerjakanlah dengan sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada
Allahlah kamu berharap.
Maka, marilah kita mengisi hidup kita dengan amal-amal saleh agar Allah
memberkahi hidup kita di dunia dan di akhirat dan menjadikannya dipenuhi
dengan kebahagiaan yang sejati.[]
23
Menjadikan Kerja sebagai Passion (Cinta)
***
J ika dilihat dengan kasat mata, tampak bahwa ketiga tukang batu itu
sedang mengerjakan pekerjaan yang sama: menata dan melekatkan bata
demi bata dengan semen. Akan tetapi, jika kita lihat dari cara mereka
memberi makna terhadap apa yang mereka kerjakan, kita akan melihat betapa
berbedanya sikap yang mereka tunjukkan kepada pekerjaan mereka. Yang
pertama tak melihat pekerjaannya, kecuali semata-mata sebagai gerakan fisik,
yang bisa juga dikerjakan oleh hewan atau robot. Yang kedua sudah
menyadarinya sebagai sebuah pekerjaan kreatif. Namun, makna maksimum
telah diberikan oleh tukang batu ketiga ketika dia melihat pekerjaannya
sebagai wujud kecintaannya kepada orang lain, yakni dalam bentuk
keinginan memberikan tempat tinggal yang nyaman dan membahagiakan
bagi calon penghuninya.
Kerja, memang harus menjadi sumber makna hidup. Lebih dari itu,
pekerjaan yang bermakna akan juga melahirkan kecintaan serta semangat
(passion) kepada apa saja yang kita kerjakan. Ini saja sudah merupakan suatu
sumber kebahagiaan kita. Tanpa ini, kerja dapat hanya akan menjadi beban
yang memberati punggung kita setiap hari. Pada gilirannya, bekerja dengan
landasan cinta akan mendorong kita untuk menumpahkan seluruh daya upaya
kita, sehingga apa pun yang kita lahirkan dari kerja kita akan melahirkan
karya-karya berkualitas. Pada puncaknya, kerja yang penuh makna seperti
ini, bukan saja akan menjadi sumber kebahagiaan hidup secara ruhaniah,
melainkan juga akan menjadi sumber kesuksesan duniawi.
Melalui ayat ini, secara eksplisit dan implisit Allah memerintahkan agar
kita bekerja sebaik-baiknya untuk mengumpulkan karunianya, tetapi
hendaknya itu semua diarahkan tidak hanya untuk dunia, melainkan untuk
akhirat. Artinya, beri surplus makna pada kegiatan bekerja kita. Selain untuk
mengambil jatah-adil kita dari kehidupan dunia, kita arahkan semua
kesibukan itu untuk akhirat. Dan, pada saat berupaya memenuhi kebutuhan
ukhrawi itu, sesungguhnya kita sekaligus sedang berusaha memenuhi
kebutuhan ruhani kita—yang, pada saat yang sama, adalah sumber
kebahagiaan sejati kita dalam kehidupan di dunia ini.
Dari ayat ini, kita bisa merasakan bahwa Allah hendak mengajarkan
kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita memberi makna pada
kegiatan bekerja. Betapa pun fungsi bekerja adalah untuk mencari harta,
tetapi semuanya itu hanya akan bermakna (meaningful) jika didasarkan pada
pengenalan yang benar akan hakikat hidup, dibubuhi warna pengembangan
dan pemeliharaan hubungan spiritual kita dengan Tuhan, dan semangat
filantropisme atau amal saleh.
Ya, hanya dengan cara mengaitkan seluruh aktivitas kita dengan Tuhan,
maka kegiatan bekerja akan benar-benar menjadi sumber makna positif bagi
hati atau ruhani kita. Dan hanya dengan cara ini bekerja akan dapat menjadi
sumber kebahagiaan kita.[]
24
Menaklukkan Egoisme
Suatu kali, pengikut Nabi Musa meminta kepada Nabi Musa agar Allah mau
datang menemui mereka. Karena desakan kaumnya itu, Nabi Musa berdoa
kepada Allah agar mengabulkan permintaan itu. Allah pun setuju. Dia
meminta Nabi Musa membawa kaumnya ke suatu gua dan menunggu di
sana. Tiga hari berlalu, Nabi Musa dan kaumnya menunggu dengan harap-
harap cemas. Akan tetapi, Allah tidak datang juga. Maka, sekali lagi atas
desakan kaumnya, Nabi Musa berdoa kepada Allah, “Ya Allah, Engkau
berjanji akan datang, tetapi tiga hari telah berlalu, dan Engkau belum
datang-datang juga.” Allah menjawab, “Sesungguhnya Aku datang
kepadamu selama tiga hari itu. Hari pertama datang kepadamu seseorang
yang kelaparan dan tak kauberi makan dia. Itu Aku.” Setelah itu Allah
berkata lagi, “Hari kedua datang kepadamu seseorang yang kehausan dan
tak kauberi minum dia. Itu Aku. Hari ketiga datang kepadamu seorang
pelarian dan tak kauterima dia. Itu Aku.”
***
Sesungguhnya, Allah Swt. ada di dalam hati kita. Allah Swt. bersemayam
dalam hati setiap manusia. Namun, kehadiran-Nya sering kita tutupi dengan
mengumbar nafsu dan egosime. Akibatnya akses kita kepada Allah Swt.
tertutupi, sehingga kehadiran-Nya itu tidak memberikan dampak pada
kualitas kehidupan kita.
Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah Swt. tidak menciptakan dua hati
di dalam rongga dada manusia. Allah Swt. menciptakan satu hati. Jika satu-
satunya hati itu dipenuhi dengan yang serba duniawi dengan mengumbar
egoisme, berarti tidak ada tempat bagi Allah Swt. di dalamnya. Lebih buruk
dari itu, egoisme adalah sumber segala penyakit hati (sombong, hasad, adu
domba, dan bakhil) yang akan memutus hubungan antara manusia dan Sang
Khaliq. Maka, tak heran jika para Sufi mengatakan, puncak hubungan
tertinggi dengan Allah Swt. adalah ketika kita mencapai fana. Fana terjadi
ketika manusia mampu menaklukkan kedirian/keakuan dan egoisme yang
kemudian menyebabkan kita kembali menyatu dengan Allah Swt., sumber
kita.
Seperti direkam dalam Al-Quran, ketika Rasulullah Saw. ditanya, “mâ dzâ
yunfiqûn?” (apa yang mesti diberikan?). Allah Swt. mengajarkan agar
Rasulullah mengatakan, “al-‘afwu”. Al-afwu adalah kelebihan dari
kebutuhan kita. Semua kelebihan harta dari kebutuhan kita harus diberikan
kepada orang lain.
Itu sebabnya, dalam Al-Quran Allah Swt. pun selalu menyandingkan shalat
dengan memberi (infak). Shalat, meski disebut ibadah yang paling utama,
tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan aktivitas memberi. Dalam
perspektif yang lebih dalam, shalat dikategorikan batal jika tidak memberikan
dampak sosial.
Manusia sejatinya adalah percikan ruh Allah Swt., yang dibungkus oleh
fisik. Fitrah manusia pun, disebut oleh Allah, diciptakan atas model fitrah
Allah. Nah, fitrah asasi Allah Swt. adalah cinta. Nabi Saw. pernah bersabda,
“Allah adalah cinta.” Dan hakikat cinta adalah semangat memberi dan
berkorban. Jadi, pada dasarnya fitrah manusia adalah memberi.
Kebahagiaannya terletak pada kesesuaian cara hidupnya dengan fitrah
memberi ini. Jika tidak memberi, fitrahnya akan sengsara dan kebahagiaan
akan menjauh darinya. Sebaliknya, dengan banyak memberi, kita menjamin
kebahagiaan hidup kita sendiri.
Ibrahim ibn Ad-ham, seorang Sufi, dulunya menjadi khalifah di Balkh, tetapi
kemudian ia tinggalkan.
“Apakah kau akan lebih senang jika punya 20 ribu keping emas?
***
B elakangan ini, kita merasakan betapa hidup kita terobsesi oleh uang dan
harta-benda. Betapa nafsu materialistik mendorong kita untuk terus
mengejar benda-benda, dengan harus membayar mahal dalam bentuk
hilangnya kesadaran kemanusiaan kita, kaburnya pemahaman tentang tujuan
hidup dan penciptaan kita, serta kacaunya perspektif kita mengenai cara-cara
meraih kebahagiaan hidup kita.
Pertama, agama tidak anti kepada orang yang mencari uang, tidak anti
pula pada upaya-upaya mencari karunia Allah Swt. seperti disebutkan
sebelumnya, dalam Al-Quran disebutkan, Carilah kebahagiaan hidup di
akhirat itu dengan apa-apa yang dikaruniakan Tuhan kepadamu dan jangan
lupakan porsimu dari kehidupan dunia (QS Al-Qashash [28]: 77). Yang
penting, kita senantiasa dapat memelihara agar tetap memiliki perspektif yang
benar sehubungan dengan kepemilikan uang atau harta. Bahwa uang, sekali
lagi, adalah sarana, bukan tujuan hidup itu sendiri. Dengan perspektif yang
lurus seperti ini, tak ada orang yang mau mengorbankan kebahagiaannya,
tujuan hidupnya, demi mengejar uang. Uang harus dijadikan pelayan bagi
upaya mendapatkan kebahagiaan hidup.
Kedua, kita juga perlu meluruskan prioritas, bahwa tugas hidup adalah
beribadah kepada-Nya, dengan jalan menebarkan rahmat bagi alam semesta.
Bahkan, sesungguhnya kebahagiaan kita terletak di sini. Manusia telah
diciptakan Allah dengan fitrah mencinta. Kebahagiaan dan kepuasan hidup
tak akan pernah bisa diraihnya jika ia tidak mencinta dan mengungkapkan
fitrah kecintaannya itu dengan berbuat baik pada orang lain. Uang atau harta
benda yang kita miliki hanyalah sarana pendukung untuk kita
menyelenggarakan upaya-upaya seperti ini.
26
Hidup Berorientasi Sedekah
***
Menguji diri kita sendiri dengan menafkahkan sesuatu atau harta yang kita
cintai, sejatinya sama dengan ujian dari Allah Swt. Karena menafkahkan
harta seolah seperti upaya mempersulit diri, menjadikan kita relatif lebih
miskin, lebih berkurang harta. Seperti firman-Nya:
Bedanya, ujian ini cenderung berada dalam kendali kita dan kita (bisa)
tidak terpaksa untuk menjalankannya. Oleh karena itu, dalam tradisi kita
diajarkan bahwa sedekah adalah suatu cara menolak bala’. Jika kita
bersedekah dan mau memberikan apa yang kita cintai maka Allah Swt. tidak
harus menurunkan bala’ karena kita sudah menguji diri kita dengan cara
menjalankan perintah-Nya; yakni dengan menciptakan bala’ (ujian) untuk
diri kita sendiri.
Sifat saling menetralisasi antara sedekah dan ujian dari Allah ini
sesungguhnya sudah tertanam dalam sunnatullah (hukum Allah). Bagaimana
penjelasannya sehingga sedekah bisa menolak bala’?
Dalam ajaran Islam, suatu peristiwa akan terjadi jika persyaratan untuk
beroperasinya hukum (sunnah) Allah Swt. yang menghasilkan kejadian itu
telah terpenuhi. Misalnya, benda yang punya massa akan jatuh kalau berada
pada jarak tertentu dari permukaan bumi karena beroperasinya gaya gravitasi.
Roket yang memiliki massa bisa naik karena memiliki hukum kekekalan
momentum yang melawan gravitasi. Hukum Allah Swt. sebetulnya tidak
hanya ada di alam empiris ini. Akan tetapi, ada juga di alam lain yang disebut
alam al-amr, alam ruhani. Kedua alam itu masing-masing punya hukum
sendiri, dan bisa saling memengaruhi. Nah, jika hukum alam empiris
harusnya menghasilkan suatu peristiwa, namun hukum alam al-amr
beroperasi melawan hukum alam empiris maka bisa saja kejadian di alam
empiris tidak terjadi. Memang, yang bisa memengaruhi hukum di alam al-
amr itu, selain doa, adalah sedekah.
Selayaknya, kita tidak perlu menunggu “dipaksa” oleh Allah Swt. melalui
kondisi yang sempit, yang dengan kondisi tersebut kita merasa perlu untuk
berbagi atau membantu orang lain, agar dapat keluar dari kesempitan itu.
Sebaliknya, kita perlu terus mendidik diri kita dengan cara menguji diri kita,
dalam bentuk berbagi (berbuat kebajikan) dalam segala situasi.
Selamat berbagi dengan harta terbaik yang kita cintai, sekaligus jalan
meraih makna dan berkah kehidupan, melapangkan jalan dan mendatangkan
kebahagiaan dalam hidup kita, menghindarkan ujian dari Allah Swt., serta
menggapai kedekatan dengan dan kasih sayang-Nya.
D unia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi oleh
para musafir di tengah perjalanannya ke tempat lain. Di sinilah
mereka membekali diri dengan berbagai perbekalan untuk perjalanan itu.
Jelasnya, di sini manusia dengan mempergunakan indra-indra
jasmaniahnya, memperoleh sejumlah pengetahuan tentang karya-karya
Allah serta, melalui karya-karya tersebut, tentang Allah sendiri. Suatu
pandangan tentang-Nya akan menentukan kebahagiaan masa depannya.
Untuk memperoleh pengetahuan inilah, ruh manusia diturunkan ke alam
air dan lempung ini. Selama indra-indranya masih tinggal bersamanya
dikatakan bahwa ia berada di “alam ini”. Jika semua itu pergi dan hanya
sifat-sifat esensial saja yang tinggal, dikatakan ia telah pergi ke “alam
lain”.
Sementara manusia berada di dunia ini ada dua hal yang perlu baginya.
Pertama, perlindungan dan pemeliharaan jiwanya; kedua, perawatan dan
pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya,
sebagaimana ditunjukkan di atas, adalah pengetahuan dan cinta akan
Tuhan. Terserap ke dalam kecintaan akan segala sesuatu selain Allah
berarti keruntuhan jiwa. Jasad bisa dikatakan sebagai sekadar hewan
tunggangan jiwa dan akan musnah, sementara jiwa terus abadi. Jiwa mesti
merawat badan persis sebagaimana seorang peziarah, dalam perjalanannya
ke Makkah, merawat ontanya, kafilah pun akan meninggalkannya dan ia
akan mati di padang pasir.
Watak penipu dari dunia ini bisa mengambil berbagai bentuk. Pertama,
ia berpura-pura seakan-akan bakal selalu tinggal dengan Anda, sementara
nyatanya ia pelan-pelan menyingkir dari Anda dan menyampaikan salam
perpisahan, sebagaimana suatu bayangan yang tampaknya tetap, tetapi
kenyataannya selalu bergerak. Demikian pula, dunia menampilkan dirinya
di balik kedok nenek sihir yang berseri-seri, tetapi tak bermoral, berpura-
pura mencintai Anda, menyayangi Anda, dan kemudian membelot kepada
musuh Anda, meninggalkan Anda mati merana karena rasa kecewa dan
putus asa.
Isa a.s. melihat dunia terungkap dalam bentuk seorang wanita tua yang
buruk muka. Ia bertanya kepada wanita itu, berapa banyak suami yang ia
miliki, dan mendapat jawaban jumlahnya tak terhitung. Ia bertanya lagi,
telah matikah mereka ataukah diceraikan. Kata si wanita, ia telah
memenggal mereka semua. “Saya heran,” kata Isa a.s., “atas kepandiran
orang yang melihat apa yang telah kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi
masih tetap menginginkanmu.” “Wanita sihir ini mematut dirinya dengan
pakaian indah-indah dan penuh permata, menutupi mukanya dengan cadar,
kemudian mulai merayu manusia. Sangat banyak dari mereka yang
mengikutinya menuju kehancuran diri mereka sendiri. Rasulullah Saw.
bersabda bahwa di Hari Pengadilan, dunia ini tampak dalam bentuk
seorang nenek sihir yang seram, dengan mata yang hijau dan gigi
bertonjolan. Orang-orang yang melihat mereka akan berkata, “Ampun!
Siapa ini?” Malaikat pun akan menjawab, “Inilah dunia yang deminya
engkau bertengkar dan berkelahi serta saling merusak kehidupan satu sama
lain.” Kemudian wanita itu akan dicampakkan ke dalam neraka sementara
dia menjerit keras-keras, “Oh Tuhan, di mana pencinta-pencintaku
dahulu?” Tuhan pun kemudian akan memerintahkan agar mereka juga
dilemparkan mengikutinya.
Siapa pun yang mau secara serius merenung tentang kebaikan yang telah
lalu, yaitu selama dunia ini belum ada, dan keabadian masa depan, saat
dunia sudah tidak ada lagi, akan melihat bahwa kehidupan dunia ini seperti
sebuah perjalanan yang babakannya dicerminkan oleh tahun, liga-liga
(ukuran jarak, kira-kira sama dengan tiga mil) oleh bulan, mil-mil oleh
hari, dan langkah-langkah oleh saat. Kemudian, kata-kata apa yang bisa
menggambarkan ketololan manusia yang berupaya untuk menjadikannya
tempat tinggal abadi dan membuat rencana-rencana untuk sepuluh tahun
mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi tak pernah ia butuhkan
karena sangat mungkin ia sepuluh hari lagi sudah berada di bawah tanah.
Dunia ini seperti meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan
pergi silih berganti. Ada piring-piring emas dan perak makanan dan
parfum yang berlimpah-limpah. Tamu yang bijaksana makan sebanyak
yang ia butuhkan, menghirup harum-haruman, mengucapkan terima kasih
pada tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya, tamu-tamu yang tolol mencoba
untuk membawa beberapa piring emas dan perak dengan akibat semua itu
merenggutkan dari tangannya dan ia pun dicampakkan dalam keadaan
kecewa dan malu.
Kita tutup gambaran sifat menipu dunia dengan tamsil pendek berikut
ini. Misalkan, sebuah kapal akan sampai pada sebuah pulau yang berhutan
lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan
berhenti selama beberapa jam di sana, dan mereka boleh berjalan-jalan di
pantai sebentar seraya mengingatkan mereka agar tidak terlalu lama. Para
penumpang pun turun dan bertebaran ke berbagai arah. Meskipun
demikian, orang yang paling bijaksana akan segera kembali, menemukan
bahwa kapal itu kosong, lalu memilih tempat yang paling nyaman di
dalamnya.
Meskipun telah kita katakan banyak hal yang menentang dunia, mesti
diingat bahwa ada beberapa hal di dunia yang tidak termasuk di dalamnya,
seperti ilmu dan amal baik. Seseorang membawa bersamanya ilmu yang ia
miliki ke dunia yang akan datang, meskipun amal-amal baiknya telah
lampau, efeknya tetap tinggal dalam pribadinya. Khususnya dengan ibadah
yang menjadikan orang terus-menerus ingat dan cinta kepada Allah.
Semuanya ini termasuk “hal-hal yang baik”, dan sebagaimana difirmankan
dalam Al-Quran, “Tidak akan terhapus”.
Lampiran 6:
A nda harus tahu bahwa ada banyak ayat yang memuji harta kekayaan,
tetapi sebagian ayat mencelanya.
Adapun penggunaan kekayaan untuk keperluan orang lain, hal ini bisa
untuk orang-orang tertentu ataupun untuk kepentingan umum.
Untuk tujuan duniawi ada dua macam. Pertama, seseorang bisa saja
selalu sibuk untuk mencapai keutamaan jiwa—ilmu dan akhlak—dan dia
tidak pernah bisa lepas dari mengejar urusan-urusan duniawinya, sehingga
dapat mempekerjakan seseorang dan membayarnya. Kedua, menghabiskan
sebagian hartanya demi menjaga harga diri dan menghormati tamu. Semua
ini adalah baik dan terpuji.
Adapun pengeluaran untuk tujuan akhirat, contohnya zakat dan sedekah.
Sebelum itu, baiklah kita overview secara sepintas diskusi tentang makna
jihad dalam ajaran Islam. Di kalangan umat Islam sendiri, memang tidak ada
satu persepsi dalam memahami istilah “jihad”. Ada yang memaknai jihad
sebagai perang, sementara sebagian besar yang lain memandang jihad
sebagai konsep yang mencakup aspek yang lebih luas. Untuk menyikapi
perbedaan itu, tak ada cara lain, kecuali kita mesti membaca dan memahami
ayat-ayat terkait tentang jihâd, qitâl, dan harb. Kemampuan untuk
memahami ayat-ayat itu akan membawa kita kepada pengertian yang utuh
tentang jihad.
Seperti dibahas oleh banyak ahli, termasuk Khaled Abou el-Fadl, Al-Quran
tidak menggunakan istilah jihad semata-mata untuk maksud perang atau
pertempuran. Untuk menunjuk perang atau pertempuran, Al-Quran
menggunakan kata qitâl (perang). Al-Quran menyebut jihad sebagai mutlak
dan tak terbatas. Hal yang sama tak berlaku untuk qitâl. Jihad adalah sesuatu
yang pada dasarnya baik, sementara qitâl tidak demikian. Perintah qitâl
dalam Al-Quran itu dibatasi oleh kondisi tertentu; tetapi, desakan akan jihad,
seperti acuan pada keadilan dan kebenaran, mutlak dan tak bersyarat.
Mudah kita dapati bahwa setiap ayat, yang memerintahkan kaum Muslim
untuk berperang atau memerangi orang, selalu ditempatkan dalam konteks
seperti ini. (Pembahasan ringkas, tetapi mencukupi dapat dibaca dalam M.
Quraish Shihab, Ayat-Ayat Fitna: Sekelumit Keadaban Islam di Tengah
Purbasangka, PSQ dan Lentera Hati, 2000, Jakarta.)
Hal ini diperkuat dengan ayat-ayat yang mengajarkan agar kita berbuat
baik dan adil serta memaafkan, bahkan terhadap kaum kafir, selama mereka
tak memerangi, mengganggu, atau mengkhianati perjanjian dengan kaum
Muslim. Di bawah ini salah satu contohnya:
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak
mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu, orang-orang
yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari
kampung halamanmu serta membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang
yang zalim. (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9)
Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan ketundukan
hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti maka tidak ada (lagi)
permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim. (QS Al-Baqarah [2]:
193)
Format: 13 x 20 cm
Tebal: 308 halaman
Harga:Rp54.000
KITAB CINTA
Menyelami Bahasa Kasih Sang Pencipta