Anda di halaman 1dari 154

RISALAH CINTA DAN KEBAHAGIAAN

Penulis: Haidar Bagir

Copyright © Haidar Bagir, 2012


All rights reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Penyelaras aksara: Agus Susanto


Penata letak: elcreative
Penyunting Artistik: dhar76
Tim digitalisasi: Aida Kania Lugina
Cover art © Freydoon Rassouli
www.Rassouli.com

Diterbitkan oleh Penerbit Mizan


(PT Mizan Publika) Anggota IKAPI
Jl. Jagakarsa Raya, No. 40 Rt007/Rw04
Jagakarsa, Jakarta Selatan 12620
Telp. 021-78880556, Faks. 021-78880563
E-mail: redaksi@noura.mizan.com
www.nourabooks.co.id

ISBN: 978-602-0989-85-3

Buku ini pernah diterbitkan dengan judul Islam Risalah Cinta dan
Kebahagiaan, dan dicetak ulang sebanyak dua kali pada Februari 2013.

E-book ini didistribusikan oleh:


Mizan Digital Publishing
Jl. Jagakarsa Raya No. 40, Jakarta Selatan - 12620
Phone.: +62-21-7864547 (Hunting), Fax.: +62-21-7864272
email: mizandigitalpublishing@mizan.com

Bandung: Telp.: 022-7802288


Jakarta: 021-7874455, 021-78891213, Faks.: 021-7864272
Surabaya: Telp.: 031-8281857, 031-60050079, Faks.: 031-8289318
Pekanbaru: Telp.: 0761-20716, 076129811, Faks.: 0761-20716
Medan: Telp./Faks.: 061-7360841
Makassar: Telp./Faks.: 0411-440158
Yogyakarta: Telp.: 0274-889249, Faks.: 0274-889250
Banjarmasin: Telp.: 0511-3252374

Layanan SMS:
Jakarta: 021-92016229, Bandung: 08888280556
Buku kecil ini saya persembahkan bagi anak-anak saya:
Muhammad Irfan, Mustafa Kamil, Ali Riza, dan Syarifa Rahima
dengan harapan semoga Allah anugerahkan kepada kalian semua,
cinta yang tulus kepada Allah, kepada keluarga, sahabat, sesama
manusia, dan seluruh unsur alam semesta.
“Agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah).
Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak
(yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang
(silaturahim).
Dan silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati saudara
(sesama) kita.”
—RANGKAIAN hadis yang dijalin oleh
Syaikh Yusuf Makassari
Pengantar

S aya tak ingat, kapan perhatian saya mulai tertarik pada persoalan cinta
dalam agama. Sedang mengenai kebahagiaan, meski sesungguhnya
temperamen sentimental saya tampaknya tak urung menciptakan concern ini
sejak lama, ia baru menguat ketika saya sempat mengalami gejala depresi.
Ya, saya memang sempat mengalami gejala depresi.

Saya menduga gejala itu lebih terkait dengan faktor-faktor biologis atau
hormonal. Maklum, saat itu saya baru melewati usia setengah abad. Saya
kira, itu sebuah gejala yang biasa disebut orang andropause. Pasalnya, meski
hidup saya—sebagaimana hidup semua orang—bukannya tak pernah sama
sekali ditimpa masalah, saya merasa Allah sangat banyak memberikan berkah
kepada saya. Saya merasa telah menjadi orang cukup berbahagia sepanjang
kehidupan saya. Oleh keluarga yang menbesarkan saya, ataupun oleh
keluarga yang saya miliki saat ini. Alhamdulillah. Saya pun pada dasarnya
adalah orang yang agak ndablek dalam hal menghadapi masalah.

Betapa pun juga, gejala depresi adalah gejala depresi. Saya harus
mengatasinya. Saya pun menolak untuk pergi ke dokter dan mengonsumsi
obat-obatan pemulih mood. Saya merasa, selama masih mampu, saya akan
berusaha mengatasinya dengan cara lain, sambil gejala ini menghilang
dengan sendirinya. Dan, alhamdulillah, memang itulah yang terjadi. Saya
mencoba untuk terus kembali kepada Allah jika perasaan depresif yang amat
tak nyaman itu sesekali datang (dan, ada suatu masa dalam hidup saya,
sempat agak kerap datang). Saya pun berusaha menimbuni berbagai
kegelisahan spiritual saya dengan mencoba mencari jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan mengenai kegaiban yang belum bisa saya jawab.
Yang tak kalah penting, saya berusaha untuk terus mengais-ngais makna
yang bisa saya berikan kepada kehidupan saya karena betapa pun gejala
depresi selalu melibatkan masalah tekor makna hidup. (Secara sepintas
mungkin perlu saya sampaikan di sini, relatif lancarnya kehidupan saya,
barangkali justru memberikan sumbangan pada terciptanya gejala depresi
saya karena—dalam satu titik di kehidupan saya—saya merasa kehilangan
excitement. Segala yang saya harapkan dalam hidup saya, sedikit-banyak,
sudah saya capai. Maka, apalagi yang mau saya kejar?).

Saya pun karena temperamen sentimental itu, sesungguhnya sudah sejak


dulu gampang jatuh iba kepada orang-orang. Bukan saja kepada orang-orang
susah, bahkan kepada orang-orang berada, yang hidup sejahtera secara
material di kota-kota—tetapi seperti kehabisan makna hidup. Termasuk
ketika beberapa kali saya berkesempatan tinggal di Amerika. Entah hanya
perasaan saya saja, saya merasa sesungguhnya banyak orang yang tampak
sejahtera itu seperti kehilangan kegairahan hidup karena tak cukup punya
makna dalam hidupnya. Sejak dulu saya selalu merasa ingin membantu orang
mengatasi penderitaan dan kesengsaraan, dan mencari makna bagi hidupnya.

Saya kira, concern keagamaan dan akademik saya kepada sejenis


spiritualisme atau mistisisme Islam—tasawuf—banyak juga menyumbang di
sini. Mungkin secara timbal-balik dengan temperamen sentimental saya itu.
Selain mencari jawab bagi kegelisahan spiritual saya, concern utama tasawuf
memang adalah menjawab dahaga orang terhadap persoalan spiritual, tentang
makna hidup: dari mana, untuk apa, mau kemana. Di sisi lain, jika dipelajari
dengan benar, tasawuf adalah suatu pemahaman spiritual atas agama yang
didasarkan atas hubungan cinta-kasih timbal-balik antara manusia dan Tuhan,
antara manusia dan sesamanya, serta seluruh anggota alam semesta.

Makin dalam saya mempelajari dan menginternalisasikan secara


eksistensial ajaran-ajarannya ke dalam diri saya, makin yakin saya bahwa
tasawuf adalah panacea bagi problem-problem kemanusiaan zaman kita. Dan
bukan saja secara spiritual, tetapi juga dalam mengatasi konflik
berkepanjangan yang mendera umat manusia, masalah intoleransi di segala
bidang, kecenderungan nafsi-nafsi yang makin mendominasi, juga
merapuhnya ikatan persaudaraan sesama manusia.

Maka, secara bertahap isu-isu kebahagiaan dan cinta-kasih mulai


mendominasi berbagai wacana yang saya usung, dalam segenap kiprah
keseharian saya. (Sampai-sampai, seorang pengamat asing, dalam suatu
konferensi nasional, pernah menyampaikan bahwa—ketika mendengar saya
bicara—dia seperti sedang menyimak ceramah seorang pastor).

Hingga akhirnya, pada tahun 2008, saya diwawancara Harian KOMPAS.


Dalam wawancara tersebut saya berbicara tentang pentingnya pergeseran
paradigma pemahaman keagamaan dari paradigma Islam sebagai agama
berorientasi hukum (nomos atau law oriented religion) ke agama berorientasi
cinta (love atau eros oriented religion). Karena, seperti diungkapkan oleh
para fenomenolog agama, termasuk Van der Leeuw, sesungguhnya agama
Islam tak kalah berorientasi cinta dibanding agama Nasrani. Hal ini diperkuat
oleh Annemerie Schimmel yang mendapati bukti-bukti mengenai hal ini dari
karya para sufi di sepanjang sejarah pemikiran Islam. Saya melihat bahwa
ketidaktepatan paradigma pemahaman ini telah menimpa bukan hanya orang-
orang di luar Islam, melainkan juga kaum Muslim sendiri. Hanya dengan
melakukan pergeseran paradigma ini Islam akan dapat menampilkan
wajahnya sebagai “rahmat bagi semesta alam”, dan bukan seperti kenyataan
sekarang yang di dalamnya Islam lebih tampil sebagai agama politik yang
eksklusif, bahkan terkadang violent. (Meskipun, tentu saja saya sadar bahwa
citra Islam yang seperti ini sebagiannya juga dibentuk oleh kesalahpahaman
dan penyalahpahaman oleh sementara media massa internasional, khususnya
media massa Barat).

Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan ringan saya yang merupakan


hasil renungan saya tentang kedua hal ini. Cinta dan Kebahagiaan. Tadinya
berupa dua kumpulan tulisan terpisah. Namun, kemudian saya satukan karena
keterikatannya yang sangat erat. Dan, mengingat buku ini mengaitkan antara
cinta dan kebahagiaan maka pembahasan di bagian kebahagiaan dibatasi pada
topik-topik yang terkait dengan hubungan cinta dan ridha kepada Allah Swt.
serta cinta kepada sesama manusia sebagai sumber kebahagiaan. Tiga tulisan
pendek saya di bagian Pendahuluan, berusaha menjelaskan kedua hal
tersebut, seraya melihat keterkaitan di antara keduanya. Sengaja saya
tambahkan kisah-kisah bijak di setiap awal judul. Beberapa cuplikan tulisan
asli beberapa filsuf dan sufi sengaja saya sisipkan juga untuk menambah
bobot buku sederhana ini, sekaligus memberikan suatu pengalaman unik bagi
pembaca dalam mengecap karya para tokoh besar dalam sejarah pemikiran
Islam tersebut.

Saya berharap buku sederhana ini akan dapat membantu pembaca untuk
merenung lebih jauh tentang makna hidupnya, dan juga menjadi penolong di
sepanjang jalan kita—anak manusia—untuk meraih kebahagiaan sejati yang
merupakan dambaan kita semua.

Saya juga berharap, meski hanya sebuah karya populer nonakademis, buku
ini bisa memberikan gambaran kepada pembacanya bahwa sesungguhnya,
secara genuine, Islam adalah agama yang berorientasi cinta-kasih. Bahkan,
orientasi hukum agama ini, betapa pun tak kurang penting, harus ditempatkan
dalam konteks orientasi cinta-kasih yang memang berada di jantung agama
ini.

Akhirnya, saya sampaikan terima kasih kepada mizan.com yang telah


sempat menerbitkan sebagian tulisan saya dalam buku ini; Lite Fm yang telah
beberapa tahun memberikan kesempatan saya untuk meng-eksplor masalah-
masalah ini dalam acara setiap Jumat pagi (Lite is Beautiful), Pak Cecep
Romli yang membantu melakukan suntingan serta menambahkan beberapa
kisah bijak, kepada segenap kru Noura Books yang membantu tetek-bengek
kegiatan pracetak, dan kepada Penerbit Mizan yang telah bersedia
menerbitkan buku ini.

Semoga Allah Swt. mau mencatat karya sederhana ini sebagai amal jariah
saya di jalan menuju keridhaan-Nya.

Haidar Bagir
Isi Buku

Pengantar

Bagian 1: Pendahuluan: Menyelami Cinta, Meraih Bahagia


1. Memberi Kebahagiaan, Mendapat Kebahagiaan

2. Apa itu Kebahagiaan?

3. Bagaimana Meraih Kebahagiaan?

4. Kebahagiaan adalah Persoalan Makna

5. Manusia Berbakat

Bahagia Bagian 2: Hidup adalah Perjalanan Cinta


6. Kehidupan Manusia, Perjalanan Cinta

7. Cinta

—Ibn Hazm: Berbagai Bentuk Cinta


8. Allah Mahacinta

9. Segala Hal, Tanda Cinta

10. Cinta Allah, Cinta Manusia

11. Muhammad Nabi Cinta

12. Tali Cinta Manusia

13. Cinta Lelaki-Perempuan

—Al-Ghazali: Mahabbah, Syawq, Musyâhadah, Mukâsyafah,


Mawâ‘izh, dan Zawâjir

Bagian 3: Sumber-Sumber Kebahagiaan


14. Kesucian Fitrah

15. Kedekatan kepada Allah Swt.

16. Melazimkan Zikrullah

17. Berakhlak dengan Akhlak Allah Swt.

—Al-Ghazali: Menggapai Puncak Kebahagiaan Bersama


Allah

18. Mengembangkan Ridha (I)

19. Mengembangkan Ridha (II)

—Ibn Miskawaih: Bagian-Bagian Kebahagiaan

20. Bersyukur dan Bersabar Menghadapi Ujian-Nya

21. Hidup dengan Akhlak Mulia


22. Menebar Amal Saleh

23. Menjadikan Kerja sebagai Passion (Cinta)

24. Menaklukkan Egoisme

25. Melawan Obsesi kepada Harta

26. Hidup Berorientasi Sedekah

—Al-Ghazali: Menakar Kadar Cinta Dunia

—Al-Razi: Cara Menggunakan Harta untuk Mencapai


Kebahagiaan Spiritual

Lampiran: Peperangan dan Kekerasan dalam Islam


Bagian 1:

Pendahuluan:
Menyelami Cinta, Meraih Bahagia

1
Memberi Kebahagiaan, Mendapat Kebahagiaan
“A gama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). Mengenal Allah adalah berlaku
dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan
tali kasih sayang (silaturahim). Dan silaturahim adalah memasukkan rasa
bahagia di hati sesama kita.”

Rangkaian hadis yang dijalin oleh Syaikh Yusuf Makassari di atas sangat
relevan dengan inti pembahasan buku ini. Ia bukan saja mengandung kedua
konsep—cinta (dalam hadis di atas terungkap dalam gagasan tentang
rahmah, kasih sayang) dan kebahagiaan (terungkap dalam kata surur, yang
merupakan salah satu kata yang dipakai Al-Quran untuk mengungkapkan
gagasan tentang kegembiraan atau kebahagiaan—di samping farah dan, yang
lebih mendasar lagi, sa’adah, thabah, serta falah1).

Pada kenyataannya, gagasan tentang kebahagiaan sangat terkait dengan


cinta dan kasih sayang. Bahkan, kita dapat menyatakan bahwa memberi dan
memberikan kebahagiaan adalah hakikat dari cinta itu sendiri. Cinta tak lain
dan tak bukan adalah sumber dari keinginan untuk memberikan kebaikan–
yang mendatangkan kebahagiaan–kepada yang dicintai. Sebagian ulama
mendeskripsikan cinta sebagai dorongan untuk selalu memberi. Mencintai
adalah sebuah prinsip menempatkan kebutuhan dan kepentingan kita di
bawah (atau setelah) kebutuhan dan kepentingan orang yang kita cintai.
Karena cinta, kita rela mengesampingkan kebutuhan dan kepentingan kita
demi terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan orang yang kita cintai. Inilah
filosofi dasar cinta dan kasih sayang. Ini berlaku bagi siapa pun, bahkan
bukan hanya terbatas pada makhluk yang bernama manusia, melainkan juga
hewan, tumbuhan, benda-benda “mati”, tak terkecuali juga Allah, Tuhan
semesta alam. Meski tak memiliki karsa bebas sendiri, sesungguhnya hewan,
tumbuhan, bahkan benda-benda “mati”, berada di alam semesta, tumbuh,
beraktivitas dalam rangka mengejar kesempurnaan, mengejar kebaikan
puncak yang mungkin dicapainya sesuai dengan potensi (qadr, kadar)-nya
masing-masing. Dengan kata lain, mereka berada dalam suatu cara
sedemikian, sehingga keberadaan mereka dapat memberikan manfaat
maksimum bagi semesta. Kenyataannya, sudah merupakan suatu fakta ilmiah
bahwa alam secara ekologis berfungsi dalam keseimbangan-maksimumnya.
Bahwa, jika keseimbangannya tak diganggu–oleh berbagai ulah perusakan–
alam akan memberikan manfaat atau kebaikan maksimum kepada
penghuninya:

... Tak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang dalam ciptaan Yang
Maha Pengasih. Maka, lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu
kekurangan di dalamnya? (QS Al-Mulk [67]: 3)

Manusia, lepas dari karsa bebas yang mungkin justru akan mendistorsi
fitrah-keberadaannya, juga diciptakan sebagai susunan terbaik (ahsan
taqwim) (QS Al-Tin [95]: 4). Artinya, bukan saja ia mempunyai potensi
dahsyat, sesungguhnya potensi itu dikaruniakan oleh Tuhan untuk melakukan
kebaikan-kebaikan (hasanah, berasal dari kata yang sama dengan ahsan).
Sebagai khalifah-Nya dia diharapkan untuk menjadi pembuat kebaikan
(muhsin) dan perbaikan (mush-lih, berasal dari akar kata yang sama dengan
ish-lah, perbaikan).

Pada puncaknya, kebaikan dan kebahagiaan jugalah yang menjadi tujuan


penciptaan oleh Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Hal ini, antara
lain tampak dalam berbagai ayat Al-Quran yang menjadikan kebahagiaan
hidup–baik di dunia maupun di hari kemudian–sebagai tujuan keberadaan
(penciptaan) manusia:

Barangsiapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang


mereka beriman, kepada mereka kami akan memberikan kehidupan yang
baik, dan Kami akan memberi mereka pahala yang lebih baik dari apa
yang mereka kerjakan. (QS Al-Nahl [16]: 97)

Ibn ‘Abbas, mufassir utama dari kalangan sahabat Nabi, mengartikan


ungkapan “kehidupan yang baik” (hayah thayyibah) sebagai kebahagiaan (di
dunia ini).

Memang, jika mengikuti–dan bukannya melanggar fitrahnya–maka


sesungguhnya manusia diciptakan untuk kebahagiaan:

Demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka setelah itu, Dia ilhamkan jalan
keburukan (akhlak) dan ketakwaannya. Pasti bahagia (aflaha) siapa
yang memelihara kesuciannya, dan pasti sengsara siapa yang
mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7–10)[]
2
Apa itu Kebahagiaan?

R asanya, tak ada satu pun makhluk manusia yang tidak sependapat bahwa
tujuan hidup manusia di muka bumi ini adalah mencapai kebahagiaan
(happiness, sa’adah). Meski kebahagiaan bisa dipahami dalam berbagai
bentuknya–ada yang melihatnya sebagai bersifat psikologis, ada yang
intelektual, dan ada yang spiritual–semua sepakat pada sifatnya yang
menjadikan manusia merasa bukan hanya bergairah, bersemangat, dan
menikmati hidupnya, melainkan terutama menebarkan ketenteraman,
kedamaian, kepenuhan makna, dan kepuasan yang tak menyisakan
kekosongan. Sementara, penderitaan (misery, syaqawah) sama dengan
kegelisahan, kekacauan, kehampaan makna, dan kekurangan yang menganga.

Perlu segera disusul, kebahagiaan tidak sama dengan kumpulan


kenikmatan (pleasure). Mungkin saja hidup seseorang dipenuhi kenikmatan,
tetapi dia tak bahagia. Kebahagiaan juga bukan berarti ketiadaan kesulitan
atau penderitaan. Karena, boleh jadi penderitaan datang silih berganti, tetapi
kesemuanya itu tak merusak keberadaan kebahagiaan. Inilah yang disebut
sebagai underlying happiness (kebahagiaan yang senantiasa melambari)
hidup kita.
Perlu dipahami juga, kebahagiaan tak sama dengan kenikmatan sesaat,
tanpa jaminan bahwa kenikmatan itu tak akan segera berganti dengan
perasaan hampa, tanpa kebebasan dari kegelisahan terhadap prospek
kehampaan di masa setelah itu. Dengan demikian, kenikmatan itu tak pernah
betul-betul tertanam di dasar hati kita, melambari segala pancaroba kejadian
yang mungkin berlangsung di sekitar hidup kita, sehingga ia terasa sebagai
sekadar sesuatu yang mengambang di kedangkalan permukaan hidup kita.
Begitu juga sebaliknya.

Dilihat (dirasakan) melalui fondamen underlying happiness, apa saja yang


terjadi di permukaan hidup kita akan masuk ke hati sebagai sesuatu yang
memberi makna positif kepada diri kita, menenteramkan, dan
membahagiakan. Dapat saja saat ini kita sedang tertimpa kesulitan dan
kesedihan, tetapi keyakinan bahwa kehidupan kita bersifat baik, positif, dan
menyejahterakan tak akan terganggu karenanya. Kebahagiaan memberikan
bayangan kedamaian dan ketenteraman yang lebih lestari. Ini sebabnya,
sebagian orang mengidentikkan kebahagiaan dengan “kebaikan-kebaikan
yang lestari” (al-baqiyat al-shalihat) sebagaimana difirmankan-Nya:

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Namun,


kebaikan-kebaikan yang lestari adalah lebih besar ganjarannya di sisi
Tuhanmu dan lebih layak dijadikan harapan. (QS Al-Kahfi [18]: 46)

Memang, kebahagiaan tidak bersifat fisikal, bahkan tidak psikologis—jika


psyche dipahami secara dangkal sebagai kumpulan gejala yang semata-mata
bersifat conscious-serebral belaka. Kebahagiaan sepenuhnya bersifat spiritual
—meski tak mesti selalu sama dengan hal-hal yang bersifat keagamaan-
formal—yakni terkait dengan hati. Spiritualitas adalah suatu daya dalam diri
manusia yang bukan hanya lebih tinggi dari daya intelektual serebral,
melainkan juga melampaui emosi dan perasaan yang—betapa pun terkait
dengan hati—masih belum lagi mengatasi ketidakstabilannya, yang unsur-
unsurnya belum lagi terkombinasi dalam jumlah dan ukuran yang seimbang,
yang stabil. Memang emosi dan perasaan memiliki semua unsur untuk stabil
dan mendatangkan kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan, tetapi tak
selalu kombinasinya terjadi dalam ukuran yang seimbang.
Nah, terhadap emosi yang seimbang ini, tak ada satu pun kejadian di luar
hati kita yang akan mampu mengusik keseimbangan yang sudah tercapai itu,
yakni kebahagiaan yang melambari ini. Tak ada suka cita yang terungkap di
luar kendali sehingga dapat memukul-balik dan membuka kemungkinan bagi
kesengsaraan setelahnya, tak pula ada kesedihan yang terlalu besar sehingga
dapat mengoyak fondamen kebahagiaan kita. Tak ada kejadian apa pun
dalam pancaroba kehidupan yang dapat memberikan pengaruh yang terlalu
dalam sehingga mengusik kebahagiaan kita. Persis sebagaimana batu yang
dilempar ke air yang dangkal akan menghasilkan riak yang besar, sementara
benda yang sama di laut dalam tak akan merusak ketenangan permukaannya.

Memang kebahagiaan bersifat intrinsik, ada di dalam hati kita, bukan


ekstrinsik dan tergantung pada pancaroba kejadian dalam kehidupan sehari-
hari kita di luarnya. Bagi yang telah meraih kebahagiaan-yang-melambari ini,
apa pun bisa terjadi dalam kehidupan “luaran” kita, tetapi rasa kebahagiaan
akan tetap lestari. Bagi orang-orang yang memilikinya, kenikmatan dan
kesulitan bersifat sepenuhnya relatif. Keduanya tak memiliki makna-
independennya sendiri. Relatif terhadap underlying happiness ini,
sesungguhnya tak ada kesulitan. Begitu tertempatkan di lambaran atau
fondamen kebahagiaan ini, semuanya menjadi unsur yang membahagiakan.
Kenikmatan dan kesedihan pun menjadi terbatas pada penampakan-luar atau
kemasan. Pada hakikatnya dia selalu bermakna sebagai unsur kebahagiaan.
Inilah, yang secara populer, membuat banyak orang menyatakan: pada
puncaknya kebahagiaan (dan kesengsaraan) sesungguhnya produk persepsi.
Apa saja, jika ia kita persepsikan secara positif, akan menyumbang kepada
kebahagiaan kita, meskipun penampakan-luar atau kemasannya lebih
menyerupai kesulitan. Sebaliknya, jika kita persepsikan secara negatif, apa
saja akan melahirkan kesengsaraan, meski penampakan-luar atau kemasannya
indah.

Bahkan, dapat kita katakan bahwa sesungguhnya kesedihan adalah sesuatu


yang niscaya agar kita dapat mengidentifikasi dan merasakan kebahagiaan.
Orang yang tak pernah merasakan kesedihan atau kesusahan akan kebal atau
tidak sensitif terhadap kebahagiaan. Sekadar kesusahan justru dapat menjadi
latar belakang yang di atasnya kita benar-benar dapat merasakan dan
mengapresiasi kebahagiaan. Sayyidina ‘Ali karamallaha wajhah pernah
menyatakan, “Seseorang tidak akan merasakan manisnya kebahagiaan
(sa’adah), sebelum dia merasakan pahitnya kesedihan (syaqawah).” Mungkin
bukan tidak pada tempatnya kita jernihkan di sini bahwa, meski kata
syaqawah sering dianggap sebagai lawan kata dari sa’adah dan kata-kata lain
yang mengungkapkan kebahagiaan, ia tak pernah boleh diartikan sebagai
memiliki kemungkinan keabadian sebagaimana sa’adah. Kasih sayang Allah
sedemikian tak terbatas sehingga menutup segala kemungkinan bagi
syaqawah atau kesengsaraan yang abadi. Betapa pun, syaqawah selalu harus
dilihat sebagai pendahulu bagi sa’adah. Dengan kata lain, sa’adah adalah
prinsip kehidupan manusia, sedang syaqawah adalah pengecualian.
Syaqawah diperlukan sekadar sebagai tolok ukur, yang melaluinya orang bisa
mengidentifikasi dan mengapresiasi kebahagiaan. Paling tidak, syaqawah
juga hanya bisa dilihat sebagai sarana Allah mengajar dan memberi pelajaran
kepada kita agar terdorong untuk menjadi lebih baik.

Pada kenyataannya, bahkan neraka pun harus dilihat dengan cara


demikian. Seperti dapat kita lihat dalam berbagai ayat Al-Quran, selain
melihat siksaan di neraka sebagai alat pendidikan untuk menyucikan jiwa
manusia yang kotor, Allah selalu membuka kemungkinan bagi tidak abadinya
siksaan di neraka. Ayat di bawah ini adalah salah satu contohnya:

Maka, orang-orang yang sengsara (menyandang syaqawah) itu, mereka


kekal di dalam neraka selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki .... (QS Hûd [11]: 107)

Kenyataannya, bukan saja langit dan bumi tidak abadi, bahkan–seperti,


dinyatakan oleh Ibn ‘Arabi–kata ganti milik “ha” dalam ungkapan “khalidina
fi ha” kembalinya kepada neraka, bukan kepada siksa. Menurut ‘urafa’
seperti ini, boleh jadi neraka akan abadi, tetapi siksaannya tidak. Demikian
pula halnya dengan syaqawah.[]
3
Bagaimana Meraih Kebahagiaan?

B agaimanakah cara untuk mengaktualkan dan memelihara kebahagiaan


dalam hidup kita? Kebahagiaan seseorang akan muncul ketika tidak ada
kesenjangan antara apa yang kita dambakan dan hasil atau keadaan aktual
kita.

Dalam kaitan ini, ada tiga bentuk usaha yang mungkin diupayakan
manusia untuk mewujudkan kebahagiaan.

Pertama, bekerja keras untuk mengupayakan dan memenuhi apa saja yang
kita dambakan dalam hidup ini. Sedikitnya ada dua kelemahan dalam cara
ini. Satu, ada banyak kemungkinan bahwa kita tak akan pernah bisa
memenuhi seluruh kebutuhan kita. Dua, setiap kebutuhan kita terpenuhi,
selalu muncul kebutuhan baru. Manusia tak akan pernah puas. Maka, dengan
cara ini hampir bisa dipastikan kita tak akan pernah merasa bahwa semua
yang kita dambakan dalam hidup ini akan terpenuhi. Cara ini tak akan pernah
membawa kebahagiaan.

Kedua, mengurangi atau menekan kebutuhan. Dengan berkurangnya


kebutuhan, kemungkinan tak terpenuhinya kebutuhan kita menjadi makin
kecil. Demikian pula kemungkinan ketidakbahagiaan kita. Masalahnya,
manusia diciptakan Tuhan dengan dorongan untuk selalu rindu meraih
pencapaian-pencapaian baru yang lebih baik. Ini adalah manifestasi dari sifat
fitri manusia untuk mencapai kesempurnaan, betapa pun kesempurnaan ini
tak mungkin benar-benar dicapainya. Jadi, sebelum benar-benar bisa
mendatangkan kebahagiaan, cara ini sudah bertentangan dengan fitrah
manusia. Dengan kata lain, cara ini tidak realistis. Dan semua yang
bertentangan dengan fitrah manusia akan justru menjadi sumber
ketidakbahagiaan.

Kedua cara di atas masih bersandar pada konsep kebahagiaan ekstrinsik.


Yakni, bahwa kebahagiaan hanya dapat tercapai jika semua dambaan kita
dalam hidup tercapai.

Ketiga, memiliki sikap batin sedemikian rupa sehingga apa pun yang
terjadi atau datang pada diri kita selalu kita syukuri. Membangun suasana
batin yang ditopang dengan sikap sabar dan rasa syukur yang kokoh seperti
ini, akan mampu meredam kondisi-kondisi yang berpotensi menimbulkan
kegelisahan dalam hidup. Poin ketiga ini sama sekali tak menihilkan cara
dalam poin pertama di atas. Mari kita bekerja keras, mari kita kejar
kesempurnaan, sebatas kemampuan kita. Akan tetapi, at any point in time
kita bersabar dan bersyukur atas apa saja yang telah kita raih, rela kepada apa
saja yang dialokasikan-Nya kepada kita. Kita akan menemukan kebahagiaan
dengan selalu berpikir positif dalam keadaan apa pun, selalu mencari hikmah
di balik setiap keadaan, seburuk apa pun ia tampil dalam persepsi kita.[]

4
Kebahagiaan adalah Persoalan Makna

T ak akan ada yang membantah bahwa hidup di dunia terkait dengan


kesejahteraan fisik dan materi, karena memang Tuhan telah merancang
manusia dengan balutan fisik sedemikian, sehingga dia hanya bisa survive
dengan mengoperasikan aspek-fisiknya itu. Namun, tak sulit juga untuk
sepakat bahwa pada puncaknya kebahagiaan bersifat ruhani. Kebahagiaan
memang bukan sekadar kenikmatan fisik, melainkan ketenteraman dan
kepuasan hati. Karena itu, secara logis bisa dikatakan bahwa kebahagiaan tak
mungkin bisa diraih dengan berhenti pada memuasi kebutuhan fisik kita.
Mengapa? Karena, ada lebih banyak kebutuhan ruhani kita yang tak ada
hubungannya sama sekali dengan kebutuhan fisik kita. Bahkan, lebih sering
kebutuhan ruhani atau hati kita tak selalu sejalan dengan kebutuhan fisik,
malah tak jarang bertentangan. Misal, kebutuhan mencinta. Dalam hal seperti
ini, kita justru mendapatkan kebahagiaan (ruhani) dengan memberi kepada
orang-orang yang kita cintai, bukan justru menuntut dan mengambil darinya
demi kepuasan egoistik kita. Kalau pun ada kaitannya, makanan bagi ruhani
atau hati kita adalah makna yang bisa kita saring dari keterpenuhan
kebutuhan fisik kita, dan bukan kebutuhan fisik itu sendiri. Memang, baik
terkait dengan kebutuhan fisik maupun kebutuhan ruhani, kebahagiaan hidup
manusia berkait dengan produksi makna dalam hidupnya, yakni yang sejalan
dengan kebutuhan ruhaninya, ketimbang dengan aktivitas-aktivitas konkret
itu sendiri.

Sebagai suatu ilustrasi, kebutuhan fisik kita menuntut kesuksesan. Yakni


keterpenuhan kebutuhan-kebutuhan kita akan kekayaan, popularitas, atau
kekuasaan. Tapi, pada kenyataannya, betapa berlimpah contoh yang di
dalamnya seseorang justru mengalami kesengsaraan ketika mendapatkan
semuanya itu? Penyebabnya tentu saja ketakmampuan unsur-unsur
kesuksesan hidup itu untuk dapat menyuplai makna yang merupakan
kebutuhan ruhani kita. Maka, betapa banyak contoh orang-orang yang
tampak telah memenuhi berbagai kebutuhan kesuksesan ini tapi hidupnya
justru berakhir dengan depresi, bahkan bunuh diri?
Dengan demikian, mudah kita simpulkan bahwa kebahagiaan kita terletak
dalam keberhasilan kita mendapatkan sebanyak mungkin makna positif dari
hidup dan kehidupan kita, dari apa saja yang kita kerjakan dan hasilkan.
Defisit makna hidup, sebaliknya, merupakan sumber kesengsaraan.

Sayangnya, dalam kenyataan, makna positif tak selalu tersedia begitu saja.
Betapa pun kita percaya bahwa sesungguhnya kehidupan ciptaan Allah ini
dipenuhi dengan makna positif, kita terkadang harus mencari makna tersebut.
Kegagalan menemukan makna positif ini bukan saja akan menyebabkan
kehampaan makna, melainkan malah dapat mencuatkan makna negatif, yang
destruktif bagi prospek kebahagiaan hidup kita.

Nah, sering kita, mendapatkan makna yang kita butuhkan hanya dengan
sedikit menggeser sudut pandang kita terhadap semua persoalan. Yakni,
berbekal persangkaan baik bahwa hidup ini diciptakan Allah dengan penuh
kebaikan, kita upayakan melihat setiap masalah dari kaca mata yang positif.
Bahwa, dalam peristiwa apa pun sesungguhnya terkandung hikmah yang
positif. Bahkan, bahwa esensi semua peristiwa di alam semesta ciptaan Allah
ini bersifat positif dan membawa kebaikan untuk kita. Untuk menjelaskan hal
ini, tak ada ilustrasi yang lebih jelas daripada apa yang pernah dikisahkan
oleh Dr. Victor Frankl, seorang psikolog yang dikenal luas dengan metode
logoterapinya.

Alkisah, menurut penuturan Dr. Frankl, datang ke tempat praktiknya


seorang laki-laki tua. Dari mimik muka dan bahasa tubuhnya, tampak bahwa
dia seperti sedang berada dalam tekanan kesedihan yang luar biasa. Di
hadapan Dr. Frankl dia bercerita bahwa istri yang amat disayanginya, yang
telah menjadi menjadi pendamping hidupnya selama puluhan tahun, baru saja
meninggalkannya. Akibatnya, saat ini dia merasa hidupnya sudah tak punya
makna lagi. Selama ini, setiap kebahagiaan dan kesulitan dia bagi bersama
istrinya. Tanpa istrinya, tak ada lagi yang bisa menjadi tempatnya berbagi.
Kalau saja bisa, mau rasanya dia mati untuk menyusul istrinya.

Mendengar itu, Victor Frankl bertanya kepada laki-laki yang malang itu;
“Coba Anda bayangkan, apa yang akan terjadi kalau istri Anda selalu
bersama Anda, hingga Anda mati meninggalkannya? Memang Anda tak akan
mengalami kesedihan luar biasa seperti yang Anda rasakan saat ini, tetapi
kira-kira apa yang akan terjadi dengan istri Anda jika justru Anda yang lebih
dulu meninggalkannya?” Laki-laki itu terhenyak sambil berkata, “Jika itu
yang terjadi maka istri sayalah yang akan menanggung kesedihan yang luar
biasa karena saya tinggalkan.” “Nah,” kata Frankl, “kematian istri Anda lebih
dulu dari Anda, dan kesepian yang Anda rasakan sekarang sebagai akibatnya,
sesungguhnya bermakna bahwa Anda telah menyelamatkan istri Anda dari
mengalami kesedihan luar biasa seperti yang Anda rasakan sekarang.”
Mendengar dan merenungkan ucapan Dr. Frankl tersebut, tiba-tiba sebuah
kesadaran baru merasuki laki-laki itu. Tiba-tiba saja ia sadar bahwa
kesedihan yang dia rasakan sekarang memiliki makna positif yang tak terkira
besarnya. Yakni, menyelamatkan istrinya dari kesedihan yang luar biasa
kalau saja ia yang terlebih dulu meninggalkannya. Maka, kontras dengan
sikap yang dia tunjukkan ketika datang, dia meninggalkan tempat praktik
Frankl dengan kebahagiaan luar biasa.

Nah, apakah yang membedakan situasi ketika laki-laki itu datang, dan
ketika ia pergi dari tempat praktik Frankl? Sesungguhnya tak ada perubahan
situasi riil apa pun yang dihadapi laki-laki itu. Namun, kalau sebelumnya dia
datang dengan kehampaan makna hidup, maka sekarang ia pergi dengan
kepenuhan makna hidup. Dan hasil yang luar biasa itu terjadi hanya karena
Dr. Frankl mampu mengajak laki-laki itu “sedikit” menggeser sudut
pandangnya terhadap persoalan kematian istrinya.

Sesungguhnya, kebahagiaan tak kurang dan tak lebih dari persoalan


keberadaan atau absennya makna dalam apa saja yang kita kerjakan, dalam
kehidupan kita. Maka, hendaknya kita terus berusaha menyuplai kehidupan
kita dengan makna, dan menghindarkannya dari kehampaan. Kebahagiaan
kita sesungguhnya dipertaruhkan di sini. Dan, dalam hal apa saja, semuanya
itu tergantung sepenuhnya atas diri kita sendiri. Asal kita memiliki kemauan,
tak akan pernah ada istilah jalan buntu di sini. Kehidupan yang kita jalani, di
alam ciptaan Allah, tak pernah kurang dari hikmah atau makna positif ini.
Seperti apa pun kejadiannya, seburuk apa pun ia tampak pada pandangan-
awalnya. Orang yang memiliki sikap positif dalam memandang hidup pasti
akan dapat menemukan makna dalam segala hal. Dan orang seperti ini punya
peluang lebih besar untuk bahagia. Sementara yang cenderung bersikap
negatif dan sinis, sesungguhnya dia sedang menjerumuskan dirinya ke dalam
kesengsaraan yang diciptakannya sendiri.[]

5
Manusia Berbakat Bahagia

D alam ajaran Islam, memang manusia diciptakan dengan bakat dan


tujuan-akhir kebahagiaan, bukan kesengsaraan, sebagaimana mungkin
diyakini oleh sebagian aliran psikologi modern, seperti Freudianisme. Jika
hendak disejajarkan, ajaran Islam lebih sejalan dengan Psikologi Positif
(Positive Psychology), yang percaya bahwa manusia berbakat berbahagia,
dan bahwa tugas psikologi hanyalah mencuatkan (meng-unleash) bakat
berbahagia itu. Ajaran Islam bertumpu pada prinsip kasih sayang Tuhan Sang
Pencipta sedemikian, sehingga seperti psikologi positif, menolak model-
model “psikologi bengkel” seperti Freudianisme itu.

Sampai di sini, menjadi gamblang, bahwa kebahagiaan terkait erat dengan


kesiapan atau kesediaan—sebutlah kemauan—untuk berbahagia. Untuk
berbahagia, orang harus siap-sedia untuk berbahagia, mau bahagia. Harus
memiliki sikap mental—atau tepatnya, sikap hati untuk berbahagia. Dia harus
mengembangkan persangkaan-baik. Persangkaan baik kepada kehidupan,
kepada Tuhan yang menciptakan kehidupan. Bahwa sesungguhnya
kehidupan ini dirancang oleh Penciptanya dalam bentuk kebaikan, yang lahir
dari kecintaan-Nya kepada makhluk-Nya. Bahwa, jika dilihat dalam kaca-
mata positif, dalam kesadaran akan keseluruhan (wholeness), sesungguhnya
kehidupan tak memiliki sifat lain, kecuali kebaikan. Bahwa (apa yang tampak
sebagai) kesusahan sesungguhnya adalah kebaikan (juga), hanya dia
tersamarkan. Kesusahan sesungguhnya tak lain dari kegagalan kita
menembusi permukaan luar atau kemasan saja, ketidakmampuan kita
menangkap makna yang terdalam dari kejadian-kejadian. Ketidakberhasilan
kita meraih makna di balik fenomena. Bahwa sesungguhnya (apa yang
tampak) sebagai kesulitan dan kesusahan itu pada hakikatnya hanyalah
pembuka jalan bagi kebaikan yang lebih tinggi, pada kebahagiaan. Bahwa,
kalau pun kita mentok di tengah jalan untuk mencapai kebaikan-kebaikan
yang kita inginkan maka sesungguhnya ia adalah semacam pembelokan
(detour) menuju jalan yang justru akan membawa kita kepada pencapaian
kebaikan yang lebih besar. Bahwa sesungguhnya, Tuhan telah menebarkan
dalam kehidupan manusia di muka bumi, tak terbatas jalan menuju kebaikan
dan kebahagiaannya. Ke mana pun kita mengarah dan menuju, di situ
terhampar jalan menuju kebahagiaan kita.

Nah, sikap hati seperti inilah yang harus kita kembangkan, kita latih agar
menjadi kebiasaan kita dalam menjalani kehidupan, dalam melihat atau
mempersepsi apa saja yang terjadi di kehidupan kita. Ya, kebahagiaan
memerlukan latihan.

Bagaimana Cara Melatihnya?


Pertama, kuatkan kesadaran dan pengetahuan bahwa hidup pada dasarnya
adalah baik. Selalu lakukan refleksi atas kehidupan kita, dan kehidupan
sesama kita. Sama sekali tak sulit melihat dengan hati yang terbuka, bahwa
sesungguhnya selalu saja ada hikmah atas apa saja yang terjadi dalam
kehidupan kita. Dan sesungguhnya, kehidupan semua manusia, kapan saja
dalam sejarah umat manusia di muka bumi. Dan sesungguhnya keburukan
hanyalah sekadar konsep, sifatnya relatif. Jika kita melihatnya secara parsial,
bukan dalam keseluruhan maka suatu kejadian bisa tampak (terasa) sebagai
keburukan. Akan etapi, jika kita tempatkan dalam suatu perspektif yang
komprehensif (menyeluruh) maka sesungguhnya ia adalah suatu pendahulu
(prekursor) bagi kebaikan yang lebih besar. Lihatlah pengalaman hidup kita
dengan pikiran yang jernih, bacalah pengalaman hidup sesama kita, kapan
saja dan di mana saja. Maka, mudah-mudahan kita tak akan gagal untuk
memahami hakikat-kebaikannya. Makin banyak kita meyakini hal ini,
mudah-mudahan makin kuat-menancap kesadaran kita mengenai sifat-dasar
kebaikan dalam kehidupan ciptaan Tuhan ini.

Kedua, timbulkan kemauan. Sebetulnya ini bukan suatu hal yang sulit jika
kita sadari bahwa kebahagiaan kita dipertaruhkan di sini. Cobalah untuk
selalu melihat ke depan, melampaui kejadian-kejadian itu sendiri. Ke mana
kiranya ia membawa kita? Apa makna-positifnya? Kemudian timbulkan
sikap mental (sikap hati) sabar dan syukur. Selalu menerima apa saja yang
datang kepada kita dengan hati yang lapang. Bahwa segalanya datang dari
Tuhan, dan bahwa Tuhan selalu menyimpan maksud baik dalam segala
kebijaksanaannya. Hampir-hampir merupakan sisi lain dari koin yang sama,
selalu kembangkan sifat-hati syukur–berterima kasih–atas apa saja yang
datang kepada kita. Baik untuk kejadian-kejadian yang di permukan tampak
sebagai kesulitan—wujudnya adalah kesabaran, dalam konteks keyakinan
bahwa ia sesungguhnya adalah pendahulu bagi kebaikan yang lebih tinggi—
maupun atas kebaikan-kebaikan yang datang kepada kita, sehingga kita dapat
bereaksi positif kepadanya, dan menjadikannya benar-benar sumber bagi
sikap-sikap positif yang pada akhirnya benar-benar bisa mendatangkan
kebahagiaan kepada kita.

Ketiga, latihlah agar dalam diri kita terpatri kebiasaan (habit) kebahagiaan.
Selalu upayakan kesadaran-penuh dan kendali atas kejadian-kejadian yang
terjadi dalam kehidupan kita. Setiap saat, selalu operasikan kesadaran kita
atasnya. Jangan pernah kejadian-kejadian itu menguasai kita. Jangan biarkan
kepanikan merampas kewarasan kita. Setiap saat terjadi suatu kejadian yang
segera terasa tidak menyenangkan, coba cari maknanya, merogohlah lebih
dalam ke lubuk hati kita untuk dapat menemukan makna positif darinya.
Coba upayakan hikmahnya. Coba terawang ke arah mana—yakni kepada
kebaikan apa—kejadian ini akan membawa kita. Lakukan berkali-kali agar
sikap seperti ini menjadi refleks kita dalam menanggapi kejadian apa saja
yang menimpa kita.

Jika sudah semua ini kita upayakan, kita bisa berharap bahwa kebahagiaan
akan selalu bersama kita tanpa kita harus mengejarnya. Kenyataannya,
kebahagiaan memang selalu ada bersama kita, bersama kehidupan kita. Di
mana saja, bersama apa saja, ada kebahagiaan. Kebahagiaan ada di hati kita.
Hati kita memang diciptakan sebagai wadah kebaikan, wadah kebenaran, dan
wadah keindahan. Yakni, total jumlah yang melahirkan kebahagiaan. Justru,
kebahagiaan akan mengelak jika kita kejar karena dia tempatnya bukan di
luar. Yang tidak di luar tidak bisa dikejar. Yang di dalam hanya perlu kita
sadari dan pahami. Kita hanya perlu mengucapkan “selamat datang” kepada
kebahagiaan.

Catatan Akhir
Akhirnya, kiranya perlu kita ungkapkan juga suatu hubungan lain yang
menarik antara cinta dan kebahagiaan. Seperti telah disinggung di awal
pembahasan dalam bab ini, cinta pada hakikatnya adalah kerinduan untuk
memberi. Di satu sisi, dikatakan bahwa cinta mempersyaratkan
ketanpapamrihan. Al-Quran pun menegaskan:

Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah


beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-
orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS
Al-Hasyr [59]: 9)

Namun, jika hal ini berarti ketanpapamrihan mutlak maka dari manakah
lahir dorongan atau bahkan kerinduan untuk memberi itu? Benar bahwa
pemberian yang didasarkan oleh rasa cinta yang sejati haruslah tulus. Karena,
jika tidak tulus maka apa bedanya dengan egoisme, dengan narsisme?
Bukankah esensi narsisme adalah dorongan memberi dengan motif egoistik
(ulterior motive) untuk mendapatkan manfaat bagi diri sendiri? Bagaimana
cara mengatasi kontradiksi ini?

Sebetulnya tak ada kontradiksi di sini. Pemberian yang egoistik atau


narsistik hanyalah terjadi jika kita mengharap balasan dari orang yang
menjadi objek pemberian kita itu. Artinya, kita memberi sambil mengharap
ada pengurangan pada “milik” objek yang kita beri untuk kepentingan kita.
Akan tetapi, jika yang kita harapkan adalah kebahagiaan—bagi yang
menyadarinya, sesungguhnya merupakan imbalan puncak dari kegiatan
memberi yang tulus—maka tak ada tuntutan pengurangan pada objek
pemberian kita. Kebahagiaan sumbernya adalah diri kita sendiri. Seperti kita
singgung di atas, kebahagiaan sejati bersifat intrinsik, bukan ekstrinsik.
Dalam hal ini, siapa pun tetap dapat mempertahankan ketanpapamrihan
dalam ketulusan memberi, tetapi pada saat yang sama tak kehilangan
dorongan untuk memberi karena memberi dengan menjanjikan ganjaran
paling tinggi yang semua orang sepakat mengenainya.

“Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu kedudukan para penyandang


syahadah (syuhada’) dan kenikmatan para penyandang sa’adah (su’ada).”

—Doa Rasulullah Saw.[]

1 Mengenai kata thabah, berasal dari kata yang sama dengan


thayyibah, yang bermakna kebahagiaan, lihat ayat Al-Quran surah
Al-Nahl ayat 97 dan penjelasannya di bawah. Diskusi mencerahkan
tentang makna falah sebagai kebahagiaan, baca Jalaluddin
Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, Simbiosa Rekatama Media, 2009,
hal. 24-27.
Bagian 2

Hidup adalah Perjalanan Cinta

6
Kehidupan Manusia, Perjalanan Cinta

Alkisah, terasinglah sebilah bambu dari rumpunnya, dan kini ia lahir sebagai
sebuah seruling. Ia dirundung duka dan kerinduan yang tak berkesudahan.
Setiap kali ditiup, suaranya sendu menyayat hati. Rasa terpisah dari
induknya membuat dia menyanyi penuh duka dan kerinduan.

Dengarkan nyanyian sendu seruling bambu,


Menyayat selalu,
sejak direnggut dari rumpun rimbunnya dulu,
Alunan lagu sedih dan cinta membara
Rahasia nyanyianku, meski dekat
Tak seorang pun dapat mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman yang tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!
Ini nyala cinta yang membakarku,
Ini anggur cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pencinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan seruling…!

Dalam kisah ini, Jalaluddin Rumi mengibaratkan manusia sebagai bilah-


bilah bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Berasal dari Allah, kini kita
terpisah dari-Nya. “Setiap orang yang tinggal jauh dari sumbernya ingin
kembali ke saat ketika dia bersatu dengannya,” kata Rumi.

***

M emang kehidupan manusia, walau tak banyak yang menyadarinya,


sesungguhnya adalah perjalanan penuh kerinduan. Dimulai dari
kejatuhan dan disambung dengan keinginan pulang. Ya, kehidupan manusia
sesungguhnya adalah perjalanan pergi dan pulang, dari suatu tempat
berangkat (mabda’) menuju suatu tempat kembali (ma’ad), yang tak lain
adalah tempat-berangkatnya juga: manusia bersumber dan berawal dari
Tuhan untuk berjalan kembali kepada Tuhan.

Innâ lil-lâh wa innâ ilai-hi raji’un; Sesungguhnya kita


bersumber/kepunyaan/bagian dari Allah, dan sesungguhnya kepada
dialah kita akan kembali. (QS Al-Baqarah [2]: 156)

Kita tercipta–saya harus menyebutnya sebagai terpancar (teremanasi)–dari


Allah, tertempatkan ke alam dunia, demi mencari jalan pulang kembali
kepada-Nya.

Dalam kebijaksanaan (hikmah) Islam, satu siklus lengkap perjalanan hidup


manusia melewati dua busur yang membentuk sebuah lingkaran penuh: busur
turun (al-qaws al-nuzul) dari Allah ke alam ciptaan; dan busur naik (al-qaws
al su’ud) dari alam ciptaan kembali kepada Allah.

Seperti difirmankan-Nya:

Tsumma danâ fa tadallâ. Fa kâna qâba qawsayni aw adnâ; Maka Dia


pun mendekat dan makin mendekat lagi. Maka, jadilah jarak antara-Nya
dan manusia (Dengan Muhammad Saw. dalam perjalanan mi’raj,
sebagai representasinya) adalah dua busur panah, atau lebih dekat lagi.
(QS Al-Najm [53]: 8-9)

Dalam kaitan ini, kebahagiaan sepenuhnya terletak pada kelancaran


perjalanan pulangnya. Kodrat manusia adalah damai dalam kasih sayang
Tuhan, Sang Maharahman, Sang Maharahim. Keterpisahannya adalah
penderitaan dan kesengsaraan. Meski tak banyak di antara kita menyadarinya.

Kita berjungkir-balik mengejar pencapaian dan kesenangan duniawi–


menumpuk harta, meraih kekuasaan, menangguk popularitas–sebenarnya
adalah ketersamaran terhadap kerinduan ini. Kita merasa akan mendapatkan
kasih sayang yang kita dambakan jika kita miliki semuanya itu.
Kenyataannya semua itu hanya fatamorgana. Kebahagiaan kita, kepuasan
kita, kedamaian kita tak terletak di situ. Yang kita kejar sesungguhnya tak
kurang dari cinta yang sepenuhnya dapat kita andalkan. Cinta yang
Sempurna. Cinta Tuhan.

Maka, pertaruhannya terletak pada seberapa besar kita bisa mendekati-


Nya, dengan berusaha menjadi seperti-Nya. Menjadi memiliki akhlak-Nya:
berakhlak dengan akhlak-Nya (al-takhalluq bi akhlaq Allah), menjadikan hati
kita dipenuhi kasih sayang terhadap sesama. Karena, hanya dengan
mengembangkan kasih sayang kita baru memiliki kesempatan mendapatkan
kasih sayang-Nya. Kata pesuruh-Nya:

“Man lâ yarham, lâ yurham; “Barangsiapa tak menyayangi, tak akan


disayangi.”

Dan kasih sayang-Nya terletak pada kasih sayang kepada sesama manusia,
kepada sesama ciptaan-Nya. Masih kata Rasul-Nya:

“Barangsiapa menyayangi yang di bumi, akan disayangi yang di langit.”

Namun, senyampang perjalanan-jauh pulang kepada Sang Sumber, dia bisa


dapati tempat pulang di bumi, di antara orang-orang yang menyayangi. Ibu,
Ayah, saudara, kerabat, dan sahabat. Mereka yang kita rasa menyayangi kita
setulus hati, yang cintanya bisa kita andalkan. Yang kasih sayangnya
sesungguhnya merupakan pancaran kasih Tuhan, yang ke dalam hati mereka,
Tuhan pancarkan kasih sayang-Nya. Merekalah sumber kebahagiaan dan
kedamaian di dunia. Di setiap ada kesempatan, kita selalu terdorong pulang
kepada mereka. Sebaliknya, sebagaimana arti-aslinya, keterasingan dari para
kekasih kita adalah laknat.

Hidup sesungguhnya adalah perjalanan kembali ke Allah karena atas


fitrah-Nya kita diciptakan (QS Al-Rûm [30]: 30). Kita tak lain adalah soul
mate-Nya. Dan, di ujung perjalanan, menunggu Kekasih-sejati kita, Allah
Yang Maha Pengasih, yang hanya dalam pelukan-Nya pupus sudah semua
kerinduan kita, yang di haribaan-Nya, penuh sudah hasrat kita.

“Wahai jiwa yang tenteram.


Pulanglah Engkau ke Pengasuh-Mu
dengan rela dan direlai-Nya.
Maka, masuklah ke kelompok pemuja-Ku.
Maka, masuklah ke surga-Ku.”[]

7
Cinta
Alkisah, dua sejoli putra putri bangsawan dibakar api cinta. Qais, nama
pemuda itu, begitu rupa dimabuk asmara sehingga yang teringat hanya
kekasihnya, Laila. Saat mata tak lagi dapat bertemu pandang, Qais terus
menyusuri jalan mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya.
Maka, orang pun menertawakannya dan memanggil dia dengan julukan “si
gila”, Majnun.

Cinta mereka terbentur oleh adat. Majnun pun kian lupa diri. Anak
hartawan ini jadi hidup layaknya seorang pengemis. Tak pernah mandi,
kumal, dan terasing dari masyarakatnya hingga hidup terpencil bersama
binatang liar. Ia hanya meracau, bergumam syair cinta, dan berbicara pada
air sungai dan angin agar menyampaikan cintanya kepada Laila. Sementara
sang kekasih pun, di penjara kamarnya, merana didera rindu yang tak
berkesudahan; sampai ia bersuami pun jiwanya hanya hidup dengan
Majnun.

Singkat cerita, Laila wafat, dan setahun kemudian Majnun pun ditemukan
terbujur tanpa nyawa di pusara kekasihnya sehingga mereka dikubur
bersebelahan seolah disatukan kembali di alam keabadian.

Konon, masih menurut sahibul hikayat, tak lama setelah itu seorang Sufi
bermimpi melihat Majnun berada di sisi-Nya. Tuhan pun membelainya
dengan penuh kasih dan berkata, “Majnun, tidakkah kau malu memanggil-
Ku dengan nama Laila, setelah engkau reguk anggur cinta-Ku.” Ketika
bangun sang Sufi masih diliputi penasaran dengan nasib Laila yang malang
itu. Tuhan pun mengilhaminya bahwa Laila lebih agung karena ia
menyembunyikan segenap rahasia cintanya di dalam dirinya.

***

D alam bahasa Al-Quran, cinta disebut dengan hubb. Kata Al-Qusyairi,


penulis Rîsalah, hubb adalah cinta dan kasih sayang yang paling murni,
sebagaimana orang Arab mengatakan habab al-asnân untuk menunjukkan
orang yang giginya putih-murni. Penulis Kasyf Al-Mahbûb, Al-Hujwiri
mengatakan bahwa hubb boleh jadi berasal dari habb yang bermakna benih.
Hubb bermakna demikian karena ia bersemayam di benih-benih hati, tetap
tak tergoyah sebagaimana benih tetap berada di tanah dan menjadi sumber
kehidupan meski hujan-badai menerpa dan panas matahari membakar. Hubb
juga disebut demikian karena kata itu berasal dari hibbah yang berarti benih
tetanaman. Cinta disebut hubb karena sebagaimana hibbah adalah benih
tanaman, ia adalah benih kehidupan.

Selain kata hubb atau mahabbah, kaum Sufi senang menggunakan kata
‘isyq—yang juga merupakan akar kata “asyik” dalam bahasa Indonesia. ‘Isyq
berarti cinta yang meluap-luap. Kaum Sufi senang menggunakan kata ini
boleh jadi karena ia menunjukkan cinta yang lebih mendesak, atau karena
pada tingkatnya yang belum mencapai puncak, ia masih meluap-luap dan
belum mencapai ketenangan. ‘Isyq memang adalah persiapan menuju hubb
atau mahabbah.

Kemudian, ada wudd yang meliputi perwujudan konkret rasa cinta itu,
seperti jalinan mawaddah suami istri melahirkan kemesraan. Sedangkan
rahmah adalah kasih sayang yang mendorong seseorang berbuat baik kepada
yang dikasihsayanginya. Seperti kasih ibu yang tanpa pamrih kepada anak-
anaknya. Namun, jika rahmah bisa dipakai untuk manusia maka rahmân
hanyalah untuk menyatakan kasih sayang-Nya kepada segenap alam semesta.
Semua itulah cinta.

Hujwiri meriwayatkan bahwa Allah Yang Mahatinggi mewahyukan


kepada Nabi Isa a.s.:

“Jika Kujenguk hati seseorang dan tak Kudapati cintanya kepada dunia
dan akhirat maka Aku penuhi dia dengan cinta-Ku.”

Menurut Imam Al-Ghazali, cinta hanya dapat dilihat dari akibat yang
dihasilkannya. Lalu, apa tanda-tanda cinta? Seperti dikatakan kaum ‘ulama’,
cinta meruntuhkan kesombongan merupakan sumber kekuatan dan
pemusatan perhatian, melembutkan, menghilangkan pamrih, menjadikan
orang dermawan, dan penuh pemaafan.[]
Lampiran I:

Berbagai Bentuk Cinta1*


—Ibn Hazm

I bn Hazm Al-Andalusi (994-1064), secara menarik pernah memaparkan


tentang aneka ragam bentuk cinta:

Aku pernah diminta untuk secara khusus membahas cinta dan berbagai
bentuknya. Semua bentuk cinta bersumber dari satu rumpun. Cinta ditandai
oleh rasa rindu kepada yang dicintai, takut berpisah, harapan untuk
mendapatkan balasan cinta. Konon bahwa perasaan itu berbeda-beda
menurut objeknya. Namun, sang objek berbeda-beda hanya karena hasrat
si pencinta, apakah hasrat itu sedang menguat, melemah atau pupus sama
sekali. Dengan demikian, cinta kepada Allah Swt. merupakan cinta yang
sempurna; itulah yang menyatukan makhluk dalam mencari cita-cita yang
sama.

Cinta—seorang ayah, anak, kedua orangtua, sahabat, penguasa, istri,


penolong, yakni orang yang menjadi tempat berlabuhnya harapan, pencinta
—secara generik semuanya sama, semuanya cinta. Namun, ada perbedaan
pada masing-masing yang telah aku sebutkan. Yang membedakan
hanyalah besarnya cinta yang diilhami oleh apa yang dapat
dipersembahkan oleh sang kekasih. Oleh karena itu, cinta dapat memiliki
berbagai bentuk: Kita telah menyaksikan banyak orang yang bunuh diri
karena anak-anak mereka, persis seperti si pencinta yang menderita karena
sang kekasih. Kita telah mendengar tentang orang yang terbakar oleh rasa
takut dan cinta kepada Allah sehingga dia rela mati karenanya. Kita tahu
bahwa orang dapat menjadi pencemburu karena rajanya dan temannya
seperti cemburu karena istrinya, pencinta karena kekasihnya.
Hasrat terkecil yang dirasakan pencinta kepada kekasihnya adalah
memenangkan cintanya, perhatiannya dan kedekatan kepadanya—dan tak
berani mengharapkan yang lain. Inilah yang menjadi cita-cita orang yang
saling mencinta karena Allah Swt.

Tingkatan berikutnya adalah ketika cinta tumbuh dalam kebersamaan,


berbincang, dan saling memperhatikan satu sama lain. Inilah tingkatan
cinta kepada seorang pria kepada raja, teman atau saudaranya.

Namun, puncak yang dapat didambakan seorang pencinta dari sang


kekasih adalah memeluknya saat dia menginginkannya. Inilah mengapa
kita melihat seorang pria yang benar-benar mencintai isrtinya mencoba
berbagai posisi dan tempat dalam bercinta, agar dia merasakan bahwa dia
sungguh-sungguh menjadi miliknya. Dalam kategori inilah kita memeluk
dan mencium. Sebagian dari hasrat ini terdapat pada seorang ayah terhadap
anaknya dan mendorongnya untuk (mengungkapkannya) melalui pelukan
dan ciuman.

Semua yang baru saja kami sebutkan secara unik merupakan fungsi
hasrat (yang ekstrem). Jika karena beberapa alasan, hasrat terhadap sesuatu
ditekan, jiwa akan berpaling kepada objek hasrat yang lain.

Oleh karena itu, kami dapati orang yang percaya kepada kemungkinan
berjumpa dengan Allah Swt. merindukan hal itu, memiliki rindu yang
mendalam terhadapnya dan tak akan terpuaskan oleh apa pun selainnya
sebab itulah yang memang didambakannya. Sebaliknya, orang yang tidak
meyakininya tidak mendambakan ekstase ini dan tidak menginginkannya
karena memang tidak berhasrat terhadapnya. Dia merasa puas dengan
melaksanakan shalat dan pergi ke masjid. Dia tak memiliki ambisi yang
lain.[]

1 Ibn Hazm Al-Andalusi, Psikologi Moral untuk Hidup Bijak dan


Bahagia, hal 84, Serambi, September 2005.
8
Allah Mahacinta

Suatu kali, seorang laki-laki yang baik sedang menghadapi perhitungan


(hisab) di hadapan Allah Swt. Karena banyak di antara anggota keluarganya
melakukan dosa-dosa, maka dia memutuskan untuk menghadiahkan pahala
amal-amal baiknya kepada anggota-anggota keluarganya itu. Maka, habislah
tabungan pahalanya. Allah pun bertanya kepadanya, “Sekarang dengan
apalagi engkau dapat berharap bisa selamat dari hisab-Ku?” Laki-laki itu
menjawab, “Dengan rahmat-Mu.” Karena itu Allah memerintahkan para
malaikat-Nya untuk memasukkan laki-laki tersebut ke dalam surga.

***

M emang begitulah firman-firman-Nya mengajarkan; Telah Kutetapkan


atas Diri-Ku Kasih Sayang (Rahmah). Kasih Sayang-Ku meliputi
segala sesuatu. Bahkan, seperti terungkap dalam sebuah hadis, “Tuhan
adalah Cinta.”

Dengan ungkapan yang berbeda, esensi Cinta Ketuhanan ini disabdakan-


Nya dalam sebuah hadis qudsi–yang merupakan favorit para Sufi:
“Aku ingin mengenalkan Diri-Ku bahwa Aku Pengampun, Penutup Aib,
Yang Mahaindah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Oleh karena itu,
Aku menciptakan makhluk supaya diri-Ku dikenal.”

Selanjutnya, dalam suatu hadis qudsi yang lain diungkapkan-Nya:

“Allah memiliki seratus rahmat. (Hanya) satu yang ditebarkan-Nya ke


atas alam semesta, dan itu sudah cukup untuk menanamkan kecintaan di
hati para ibu kepada anak-anaknya.” Sehingga, “seekor induk kuda
mengangkat kakinya agar tak menginjak anaknya, dan seekor ayam
betina mengembangkan sayapnya agar anak-anaknya berlindung di
bawahnya.”

Fitrah suatu Zat Yang Penuh Cinta dan Kasih Sayang adalah
mengungkapkan kebaikannya itu, meluapkan kasih sayangnya itu. Setiap
peluapan kasih sayang membutuhkan objek. Nah, dalam rangka peluapan
kasih sayang-Nya inilah, alam semesta tercipta. Yakni, sebagai objek
peluapan kasih sayang-Nya itu.

Aku (awalnya)2 adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Aku cinta


(rindu) untuk diketahui. Maka, Aku ciptakan alam agar Aku dikenali.

Jadi, sesungguhnya alam tercipta karena cinta, prinsip-penggeraknya


adalah cinta, pengikatnya adalah cinta. Tujuan-akhirnya pun adalah cinta.

Dalam kaitan ini, tradisi Islam membagi sifat-sifat Allah ke dalam dua
kelompok: Jalal (tremendum, keagungan) dan Jamal (fascinans, keindahan).
Keduanya bersatu dalam Dia sebagai Kamal (Kesempurnaan). Keagungan
bersifat keras dan tajam, menggabungkan sifat murka, kecongkakan,
kekerasan, dan sejenisnya. Keindahan di sisi lain adalah sintesis dari belas
kasihan, kemurahan hati, belas kasih, dan sifat-sifat sejenisnya. Jalal
membuat manusia taat dan mematuhi hukum-Nya, sementara Jamal membuat
manusia terpesona dan jatuh cinta dengan-Nya. Kedua sifat ini, Jalal dan
Jamal (Keagungan dan Keindahan) juga disebut dengan nama-nama ‘Adl dan
Fadhl (Keadilan dan Kebaikhatian) atau Ghadhab dan Rahmah (Murka dan
Kasih sayang), atau Qahr dan Luthf (Kekerasan dan Kelembutan).
Al-Quran menyebut Allah sebagai bersifat rahman dan rahim (umumnya
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Yang Maha Pemurah dan
Yang Maha Penyayang). Akan tetapi, kata rahmah dalam bahasa Arab, yang
kedua kata-kata ini berasal, memiliki konotasi yang sangat komprehensif
yang terdiri dari cinta, kasih, berkah, dan banyak lagi makna serumpun.
Dalam prinsip cinta ini, kepercayaan Islam secara keseluruhan dan cara
hidupnya diringkaskan. Salah satu kata yang digunakan Al-Quran untuk
menunjukkan cinta adalah wudd, yang dalam bahasa Arab berarti bentuk
tertinggi dari cinta, dan disebutkan dalam Al-Quran:

Sesungguhnya mereka yang percaya dan melakukan hal-hal yang baik,


Yang Pemurah akan menentukan bagi mereka cinta. (QS Maryam [19]:
96)

Di sini rahmah (kasih) dan wudd (cinta) digunakan bersama-sama. Di


tempat lain dalam Al-Quran, wudd (cinta) dan ghufran (ampunan) disebutkan
secara bersamaan:

Dan Dia adalah Maha Pengampun dan Pencinta (QS Al-Buruj [85]: 14)

Sedangkan rahmah (kasih) dan wudd (cinta) disebutkan bersama-sama


dalam ayat ini:

Mintalah pengampunan dari Tuhanmu dan kemudian bertaubatlah


kepada-Nya Sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Penyayang, Pencinta.
(QS Hûd [11]: 90)

Al-Wadud adalah salah satu dari nama-nama indah Allah yang berarti
sumber Cinta. Dia telah menganugerahi manusia dengan kapasitas tidak
terbatas untuk mengembangkan cinta. Hubb adalah kata lain yang digunakan
dalam Al-Quran yang juga berarti cinta, sebagaimana dinyatakan dalam:

... Tuhan akan mendatangkan orang yang Dia kasihi dan yang mengasihi
Dia. (QS Al-Mâidah [5]: 54)

Sesungguhnya, cinta adalah sifat hakiki Allah. Dia menekankan dalam Al-
Quran bahwa, Dia telah mewajibkan atas diri-Nya kasih sayang (QS Al-
An’am[6]: 12). Juga, Kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS Al-A’râf
[7]: 156), dan Sesungguhnya Tuhanku adalah Yang Maha Pemurah, dan
Yang Maha Penyayang (QS Hûd [11]: 80). Selain itu, dalam beberapa hadis
qudsi Allah mengungkapkan dengan tegas bahwa ”Kasih sayang-Ku
mendominasi Murka-Ku”.

Kasih sayangnya menerpa bintang-bintang di galaksi yang paling jauh, sel-


sel atau bahkan unsur kehidupan yang lebih kecil dari itu, hewan, tanaman,
bebatuan, apalagi manusia. Manusia yang jahat sekalipun, apalagi manusia
yang baik. Tak ada sesuatu pun yang tercipta, tak ada sesuatu pun yang
terjadi, kapan saja, dan di mana saja, kecuali itu adalah kebaikan, yang lahir
dari kasih sayang-Nya.

Kita bisa menemukan lebih lanjut bahwa dalam Al-Quran Dia menyatakan
diri-Nya melalui nama-nama yang termasuk dalam kelompok Sifat
Memesona dan Indah-Nya (Jamal) dalam ayat-ayat yang jumlahnya 5 kali
lipat jumlah ayat yang di dalamnya Dia menyatakan diri-Nya melalui Sifat
Dahsyat dan Agung-Nya (Jalal) [7]. Sejalan dengan itu, Sifat Pembalas-Nya
—yaitu Sifat yang melaluinya Dia menghukum orang-orang berdosa—
muncul hanya sekali dalam Al-Quran, sedangkan sifat sebaliknya—
Pengampun—berulang sekitar 100 kali.

Memang, salah satu nama Allah, salah satu sifat-Nya adalah Al-Wajid.
Kata ini memiliki beberapa arti. Selain memiliki arti cinta yang kuat, kata ini
juga berarti mewujudkan. Dapat disimpulkan dari sini bahwa ada hubungan
yang sangat erat antara cinta dan penciptaan.

Dinyatakan oleh Ibn ’Arabi bahwa, “Tidak satu hadis yang disampaikan
oleh para Nabi-Nya yang mengisyaratkan Keagungan yang tanpa disertai
oleh sesuatu dari Keindahan untuk menyeimbangkannya.” Yakni, kenyataan
bahwa cinta dan belas kasih adalah prinsip-prinsip Allah tidak meniadakan
kenyataan lain bahwa Dia tidak tanpa murka dan keadilan. Murka dan
penerapan keadilan tentu termasuk tindakan-Nya. Namun, itu semua adalah
manifestasi dari prinsip yang sama, yaitu cinta dan belas kasihan. Adalah
kasih dan belas kasihan terhadap manusia yang membuat Dia menerapkan
keadilan dan menegakkan hukum. Artinya, sebagai bagian dari Sifat
Pemeliharaan-Nya (Rububiyah) atas manusia dan alam semesta.[]

9
Segala Hal, Tanda Cinta

Alkisah, seorang petani memiliki kuda yang sangat bagus. Seorang hartawan
sangat ingin membeli kuda itu. Harganya tak tanggung-tanggung, 50 ribu
dirham. Akan tetapi, sang petani dengan sopan menolak karena dia pun
menyukai kuda tersebut. Banyak orang menyesali sang petani yang tak
menukar kudanya dengan uang sebegitu besar. Tak dinyana, tak diduga,
suatu hari hilanglah kuda si petani. Maka, orang pun mulai menyalahkannya.
“Mau dibeli sebegitu mahal tak boleh, sekarang kuda pun raib.” Rugi besar
dia. Mendengar itu, sang petani berkata, “Yang aku tahu kudaku hilang,
tetapi aku tak tahu apakah aku menjadi rugi karenanya.” Dia memilih
bersabar.

Kenyataannya, beberapa hari kemudian kuda itu kembali, sambil


membawa bersamanya puluhan kuda liar yang bagus-bagus. Sang petani
bersyukur. Namun, sekali lagi cobaan menimpanya. Karena sesuatu hal,
suatu hari kuda tersebut mengamuk dan menendang kaki anaknya yang
belia, sehingga kaki sang anak cacat. Sekali lagi orang-orang menyalahkan si
petani. “Coba saja kuda itu dijual, kau akan dapat uang banyak, dan anakmu
tak akan cacat.” Lagi-lagi si petani menjawab, “Ya, anakku memang cacat,
tetapi aku tak tahu apakah itu merugikanku.” Sekali lagi si petani memilih
bersabar.

Tak lama setelah itu, datanglah serombongan tentara suruhan raja untuk
merekrut anak-anak muda menjadi tentara yang akan dikirim ke medan
perang melawan musuh. Anak si petani tak jadi direkrut karena kakinya
cacat. Terbukti belakangan, banyak anak muda yang dikirim ke medan
perang menjadi korban jiwa. Maka, sekali lagi, si petani pun bersyukur.

***

M emang dari Tuhan yang Maha Pengasih, tidak ada yang terpancar
darinya, kecuali kebaikan. Bahkan hal-hal yang tampaknya buruk
sesungguhnya ada demi terciptanya suatu kebaikan yang lebih besar, yakni
dalam rangka mewujudkan kasih-Nya atas alam semesta. Sekali lagi, yang
terlihat sebagai murka-Nya dalam kenyataan adalah wajah lain dari rahmat-
Nya. Dalam sebuah hadis, Rasul Saw. bersabda, “Jika Allah mencintai
seorang hamba maka Dia akan mengujinya.”

Sebelum yang lain-lain, Allah sendiri menyatakan bahwa alam semesta


dan manusia diciptakan dalam komposisi atau bentuk terbaik, bahwa segala
sesuatu dari-Nya adalah baik, dan bahwa segala sesuatu yang buruk
sebenarnya buatan manusia atau, lebih tepatnya, distorsi atau korupsi
kebaikan Ilahi.

Sesungguhnya, Kami menciptakan manusia dalam bentuk terbaik .... (QS


Al-Tin [95]: 4)

... dan (Terpujilah) Dia yang menciptakan tujuh langit penuh harmoni
dengan satu sama lain, tidak ada kesalahan yang akan kamu lihat dalam
penciptaan Yang Maha Pemurah. Dan palingkankah penglihatan kamu
(atasnya) sekali lagi: dapatkah kamu lihat cacat apa pun? Ya,
palingkanlah penglihatan kamu (atasnya) lagi dan lagi: (dan setiap kali
itu) penglihatan kamu akan kembali kepadamu, benar-benar terpesona
dan tertundukkan .... (QS Al-Mulk [67]: 3-4)
Tuhan tidak akan dengan cara apa pun menzalimi manusia, tetapi
manusialah yang menzalimi diri mereka sendiri dengan melakukan tindakan-
tindakan yang merugikan diri mereka sendiri dan dunia.

Apa pun yang baik terjadi pada kamu adalah dari Allah, dan apa pun
bencana yang menimpa kamu adalah dari dirimu sendiri. (QS Al-Nisâ
[4]: 79)

Sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi manusia, tetapi manusialah


yang menzalimi diri sendiri. (QS Yûnus [10]: 44)

Dalam ayat lain Allah Swt. dengan jelas berfirman:

... Tuhan tidak pernah akan merusak (kebaikan) yang Dia telah
diberikan kepada sekelompok orang, kecuali mereka sendiri merusak
apa yang ada dalam diri mereka sendiri. (QS Al-Anfâl [8]: 53)31

Sesungguhnya cobaan adalah cara Allah untuk mengetahui tingkat


(maqam) manusia dalam keimanan dan menjadikannya siap memasuki surga,
sebagaimana antara lain Dia ungkapkan dalam firman-Nya:

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh kesulitan dan kesempitan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah
Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya
pertolongan Allah.” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat
dekat. (QS Al-Baqarah [2]: 214)

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah bahkan pernah berfirman:

“Jika aku mencintai seorang hamba maka Aku turunkan ujian (kesulitan
dan kesempitan) kepadanya, agar ia memohon kepada-Ku (agar ujian itu
diangkat darinya. Dan dengan cara ini dia mendekat kepada-Ku).”

Jadi, sekali lagi, seperti diungkapkan dalam hadis yang dikutip di awal
tulisan ini, sesungguhnya ujian tak lain adalah tanda cinta-Nya.
Kiranya inilah, seperti terungkap di beberapa tempat dalam Al-Quran,
yang Allah maksudkan ketika menyatakan bahwa betapa pun cobaan dan
kesulitan di permukaan tampak tidak menyenangkan, sesungguhnya di
dalamnya ada hikmah, bagi manusia yang tertimpa cobaan itu.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu,
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah [2]:
216)

Yang pasti, seperti tampak dalam ayat sebelumnya, Allah akan


memberikan pertolongan di saat-saat yang tepat, apalagi Dia sendiri sudah
berjanji:

Allah tidak membebani seseorang itu, melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. (QS Al-Baqarah [2]: 286)

Sebaliknya, Allah menjanjikan kebaikan bagi orang-orang yang sabar


dalam menerima cobaan:

Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan


ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu
mereka yang apabila tertimpa musibah mengucapkan, “Kami berasal
dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]: 155-
156).

Berita gembira itu, tak lain dan tak bukan, adalah makin dekatnya
perjalanan kembali kita kepada-Nya.

Pada analisis lebih jauh, bahkan sesungguhnya Allah tak menciptakan


neraka sebagai tempat penyiksaan yang di dalamnya orang-orang yang
berdosa mendapatkan hukuman pembalasan. Sesungguhnya semua kesulitan
yang ditimpakan di neraka sebagai cobaan (bala’) yang berfungsi bagi
peningkatan kualitas seorang manusia, di alam setelah kiamat tiba. Dan,
mengingat semua yang datang dari Allah Swt. adalah kebaikan maka hanya
orang-orang yang jiwanya kotor sajalah yang akan gagal melihat kebaikan
ini. Oleh karena itu, jadilah kebaikan itu terasa sebagai siksa.

Dengan kata lain, manusia sendiri yang menciptakan siksa bagi dirinya
sendiri. Yakni, manusia yang memiliki jiwa yang sakit atau kotor, akibat
keburukan hidupnya di dunia, gagal mengapresiasi kebaikan cobaan sebagai
pembersihan jiwa ini. Sama halnya dengan udara panas bagi orang yang
temperamen tubuhnya panas. Ia akan terasa menyiksa. Akan tetapi, bagi
orang yang temperamen tubuhnya dingin, udara panas justru akan
menghangatkan. Dalam kaitan ini, perlu dipahami bahwa kata “siksa atau
siksaan” adalah terjemahan dari kata ‘adzab dalam bahasa Arab. Kata ini
berasal dari akar kata ’a-dz-b. Dari akar kata yang sama bisa dibentuk juga
kata ’adzb, yang justru berarti “manis”, dengan kata lain sesuatu yang baik.

Bagaimana pun, fenomena neraka tetap berada dalam kerangka kasih


sayang Allah. Bukankah Allah sendiri berfirman, “Kasih sayang-Ku meliputi
segala sesuatu.” Maka, neraka pun tak terkecualikan darinya. Azab di
neraka, sebagaimana juga azab di barzakh—bahkan juga cobaan (bala’) di
dunia—tak lain adalah purgatorio (tempat penyucian). Yakni, tempat kotoran
jiwa manusia dibersihkan. Agar pada akhirnya manusia kembali siap
mempersepsi surga apa adanya. Yakni, sebagai sumber kenikmatan. Masuk
ke dalamnya, kembali kepada-Nya.

Memang, sebagian dari kaum Arif, azab di neraka tidaklah abadi. Pertama,
sebagian ahli menerjemahkan kata abada dalam berbagai ayat Al-Quran yang
menyebut hal ini, bukan sebagai bermakna abadi, melainkan “berabad-abad”.
Betapa pun terasa lama, ia ada batasnya. Kalau pun ia berarti abadi maka—
antara lain, menurut Ibn ‘Arabi—yang abadi adalah nerakanya, bukan
siksanya. Kata ganti ha dalam ungkapan khalidina fi ha abada (kekal-abadi
di dalamnya) adalah kembali kepada kata neraka (nar, yang memang
merupakan kata benda yang bersifat feminin), bukan ‘azab (‘adzab, yang
mengambil bentuk kata benda maskulin). Dengan kata lain, kata khalidina fi
ha abada mesti diterjemahkan sebagai “(mereka) berada di neraka secara
kekal abadi”, dan bukan “mereka berada dalam azab secara kekal abadi”. Ada
saatnya neraka akan kehilangan sifat membakarnya, persis seperti hilangnya
sifat membakar dan menyiksa dalam kasus Nabi Ibrahim a.s.4
Bahkan, bukan tidak ada pendapat yang menyatakan bahwa kelak Allah
tak jadi melaksanakan janjinya untuk menyiksa manusia. Karena, bukankah
Allah sendiri menyatakan:

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi


barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat
jahat) maka pahalanya dari Allah .... (QS Al-Syûrâ [42]: 40)

Bagi yang berpendapat seperti ini, jika Allah memerintahkan sikap pemaaf
seperti ini kepada manusia, mungkinkah Dia sendiri tak melakukannya? Wal-
lah a’lam bish-shawab.[]

10
Cinta Allah, Cinta Manusia

Tersebutlah seorang wanita salehah yang menjadi pelayan di sebuah rumah.


Ia senantiasa melaksanakan shalat malam. Suatu hari, sang majikan
mendengar doa-doa yang ia baca dalam sujudnya. Katanya, “Ya Allah, aku
mohon kepada-Mu dengan cinta-Mu kepadaku agar Engkau memuliakanku
dengan bertambahnya ketakwaan di hatiku … dan seterusnya.” Begitu ia
selesai shalat, sang majikan bertanya kepadanya, “Dari mana Engkau tahu
kalau Allah mencintaimu? Mengapa Engkau tidak kaukatakan saja, Ya Allah,
aku mohon kepada-Mu dengan cintaku kepada-Mu?” Ia menjawab, “Wahai
tuanku, kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin Dia
membangunkan aku pada waktu-waktu seperti ini. Kalau bukan karena
cinta-Nya kepadaku, mana mungkin Dia membangunkan aku untuk berdiri
(shalat) menghadap-Nya. Kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana
mungkin Dia menggerakkan bibirku untuk bermunajat kepada-Nya.”

***

S esungguhnya Islam memang mempromosikan hubungan penuh cinta


kasih dan kerinduan di antara manusia dan Tuhan–persis seperti
hubungan perindu dan yang dirindui (‘asyiq dan ma’syuq). Al-Quran pun
menegaskan bahwa seharusnya cintalah yang melandasi hubungan antara
manusia dan Allah:

… Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak


Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya .... (QS Al-Maidah [5]: 54)

Juga,

Orang-orang yang beriman itu, sangat dalam kecintaan mereka kepada


Allah. (QS Al-Baqarah [2]: 165)

Nabi, melalui doa yang diajarkan kepada Imam ‘Ali bin Abi Thalib—
sepupu, sahabat-terkasih Nabi, dan guru para Sufi awal—dengan sangat
indah mengungkapkan hal ini:

“… kalaupun aku sabar menanggung beban-penderitaan (di neraka)


bersama musuh-musuh-Mu dan Kaukumpulkan aku dengan para
penerima siksa-Mu, dan Kauceraikan aku dari para kekasih dan
sahabat-Mu … kalaupun aku, wahai Ilâh-ku, Tuanku, Sahabatku, dan
Rabb-ku, sabar menanggung siksa-Mu, bagaimana kubisa sabar
menanggung perpisahan dengan-Mu ....”

Kiranya “keintiman” manusia dan Allah inilah yang dimaksud dalam


sebuah hadis qudsi yang sangat populer di kalangan para Sufi, berikut ini:
“Seorang hamba mendekat kepadaku dengan menyelenggarakan ibadah-
ibadah yang Aku wajibkan atasnya. Kemudian, ia terus mendekat
kepadaku dengan (menambah ibadahnya) dengan berbagai amalan
sunnah, hingga Aku Mencintainya. Maka, Aku akan menjadi matanya
untuk melihat, telinganya untuk mendengar, tangannya untuk memegang,
kakinya untuk berjalan, hatinya untuk berpikir, dan lidahnya untuk
berbicara; jika ia memanggil-Ku, Aku menjawabnya; jika ia meminta
kepada-Ku, Aku memberinya .... ”

Sesungguhnya, “hubungan penuh kecintaan” ini jugalah yang dimaksud


ketika Allah berfirman, Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia, kecuali
untuk menghamba (beribadah) kepada-Ku.

Ibn ’Abbas, salah seorang sahabat Nabi yang paling berilmu, pernah
menafsirkan kata li ya’budun (untuk menyembah Allah) dengan li ya’rifun
(untuk mengetahui Allah). Dengan kata lain, adalah wajib, bahkan
merupakan inti tujuan penciptaan, bahwa kita harus selalu belajar untuk
mengenal Allah dengan sebaik-baiknya.

Para ulama dan kaum Sufi melanjutkan eksplorasi tentang makna kata
‘ibâdah ini. Yakni, pemujaan. (Merujuk padanan bahasa Inggrisnya, yakni to
worship, kiranya juga membantu memahami makna ini dengan lebih baik,
mengingat kata ini dapat diterjemahkan baik sebagai menyembah maupun
memuja. Bahkan juga mengidolakan, menjadikan idola—ingat juga bahwa
kata “idola” berasal dari kata idol, yang bermakna sesuatu yang disembah,
berhala). Dalam bahasa Arab pun, kata ber-gender feminin dari ma‘bûd
(yang disembah)—yakni ma’budah—berarti perempuan yang dipuja atau
dicinta.

Kiranya pemberian arti ini mudah diterima, mengingat kenyataan bahwa


orang yang mencinta begitu butuh kepada orang yang dicintainya sehingga ia
siap melakukan apa saja yang menyenangkan orang yang dicintainya. Persis
sebagaimana sikap seorang budak kepada tuannya, seperti penyembah kepada
yang disembahnya. Orang yang mencinta memang, praktis, menyembah
(menghamba) kepada orang yang dicintainya.
Lebih dari itu, seperti terungkap dalam hadis kanz (perbendaharaan) di
atas, ada hubungan identitas antara mengenali (Allah) dan mencinta-Nya.
Bukankah difirmankan-Nya di sana bahwa keinginan-Nya untuk dikenali
(u’raf) bersumber dari kerinduan atau kecintaan-Nya?

Nah, sudah seharusnya setiap manusia merindukan hubungan dengan Allah


yang diikat dengan kecintaan sejati seperti ini. Manusia kepada Allah, Allah
kepada manusia. Yakni, ketika segenap kedirian serba-duniawi kita telah
sirna oleh mujâhadah (perjuangan keras membersihkan hati dari kotoran
akibat memperturutkan nafsu duniawi), dan jiwa kita yang telah lebur (fanâ’)
dan tinggal tetap (baqâ’) menyatu dengan-Nya. Hubungan seperti ini adalah
puncak dari seluruh perjalanan spiritual manusia (kembali kepada Allah).[]

11
Muhammad Nabi Cinta

Tersebut seorang perempuan tua miskin, bersahaja. Setiap hari dia


mengelilingi kota untuk mengerjakan apa saja, demi mencari nafkah ala
kadarnya bagi diri dan keluarganya. Setiap sore, dia pun mendatangi sebuah
masjid yang sama, demi membersihkan halamannya, dengan memunguti
dedaunan yang rontok dari pepohonan yang rindang di sana. Begitulah hari
demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun.
Sehingga semua jamaah masjid sudah tak lagi asing dengannya.

Perempuan itu pun menjadi makin tua dan uzur. Sehingga suatu hari,
jama’ah masjid mengambil inisiatif membersihkan halaman masjid dari daun
yang berguguran, dengan maksud membebaskannya dari pekerjaan yang
mungkin sudah mulai menjadi terlalu berat baginya.

Seperti biasa, hari itu sang ibu tua datang ke masjid. Betapa kagetnya
ketika ia mendapati halaman masjid telah bersih dari rerontokan dedaunan.
Dia pun menangis. Para jama’ah terkejut, dan jatuh iba kepadanya. Ketika
ditanya apa gerangan yang membuatnya begitu bersedih, perempuan itu
menjawab. “Aku sudah tua, tak ada yang bisa kulakukan untuk Kanjeng Nabi.
Maka, setiap hari kupunguti dedaunan yang rontok untuk membersihkan
halaman masjid ini. Namun, bukan itu saja yang membuatku bersedih.
Setiap saat memungut selembar daun, aku membacakan shalawat bagi
beliau. Kini tak ada lagi kesempatan bagiku untuk menyatakan cintaku
kepadanya ....”

***

M enurut Ibn ‘Arabi, puncak kemuliaan manusia–sesuai dengan hadis


takhallaqû bi akhlâq Allah—adalah berakhlak dengan akhlak Allah.
Dan Muhammad Saw. adalah manifestasi puncak dari akhlak Allah. Suatu
kali, ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, Siti ‘A’isyah menyatakan,
“Akhlak Rasulullah adalah Al-Quran.” Padahal, bukanlah Al-Quran adalah
manifestasi sempurna Allah Swt. dalam bentuk firman?

Kiranya hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa tajalli (teofani,
manifestasi) Allah yang paling sempurna adalah dalam Muhammad Saw.
yang dalam hadis dikatakan, “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah
adalah (Nur) Muhammad.” Bahkan, dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan
bahwa:

“Kalau bukan karenamu (Muhammad) maka Aku tak akan menciptakan


alam ciptaan ini.”

Dengan kata lain, kesempurnaan alam semesta diwujudkan oleh Allah


dengan mengambil (kepribadian) Nabi Saw. sebagai modelnya. Memang
sesungguhnya alam semesta diciptakan dalam citra Allah. Dalam pandangan
Ibn ’Arabi, alam ini terwujud berkat manifestasi “gagasan-gagasan Ilahi”
yang disebut sebagai al-a’yan al-tsabitah (esensi-esensi permanen) yang
menjadi bagian kesatuan wujud Allah Swt.:

Kemudian akan kami tunjukkan tanda-tanda kekuasaan kami pada alam


dan dalam diri mereka, sampai jelas bagi mereka bahwa ini adalah
kebenaran. (QS Fushshilat [41]: 53)

Dan Nabi Muhammad menggabungkan semuanya itu di dalam dirinya. Ya!


Meski sesungguhnya semua manusia diciptakan sebagai model alam semesta
—alam adalah makrokosmos (al-’alam al-kabir, jagad gede) dan manusia
adalah mikrokosmos (al-’alam al-saghir, jagad cilik), Nabi Saw. adalah
mikrokosmos yang paling sempurna merepresentasikan segenap ciptaan-Nya.
Itu juga sebabnya, mengapa Nabi disebut sebagai al-insan al-kamil (manusia
paripurna) sedemikian, sehingga Allah sendiri bersama para malaikatnya ber-
shalawat atasnya, lalu memerintahkan orang-orang beriman untuk ber-
shalawat pada beliau juga.

Apa inti kesempurnaan Nabi itu? Allah sendiri menyebutnya:

Sungguh engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung. (QS


Al-Qalam [68]: 4)

Dan jika kita simpulkan semuanya itu, kita dapat menyatakan bahwa letak
kesempurnaan Muhammad Saw. adalah bahwa akhlaknya adalah akhlak
Allah (al-takhalluq bi akhlaq Allah).

Pernah suatu kali seseorang meminta kepada Sayidina Ali untuk


menggambarkan akhlak Nabi. Sayyidina Ali berkata, “Allah melukiskan
keindahan dunia dengan menyebutkan, katakanlah, sesungguhnya keindahan
dunia ini kecil saja”. Akan tetapi, bagaimana Allah menggambarkan akhlak
Nabi Saw. Allah berfirman, Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad)
memiliki akhlak yang agung. Demikian penjelasan Sayyidina Ali.

Pada gilirannya, apa inti akhlak Nabi itu? Cinta dan kasih sayang, persis
seperti akhlak Allah. Di dalam kitab suci-Nya, Dia kabarkan:

Dan hanya karena rahmat dari Allah maka Engkau bersikap lembut
kepada mereka. Dan kalau saja Engkau bersikap keras dan berhati
kasar, niscaya mereka semua sudah menjauh darimu. (QS Al-Imran [3]:
159)

Namun, di atas segalanya, akhlak Nabi mengambil bentuk solidaritas


kemanusiaan pada tingkat yang paling tinggi:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu


sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang
terhadap orang-orang mukmin. (QS Al-Taubah [9]: 128)

Hidup Nabi memang dipenuhi concern (keprihatinan) kepada manusia.


Penderitaan manusia selalu dirasakannya sebagai beban. Dia menginginkan
manusia bebas dari masalah-masalah yang menimpa mereka. Sebaliknya, dia
terus berharap dan berupaya agar setiap manusia bisa hidup bahagia.
Sedemikian, sehingga sejak sangat muda Muhammad Saw. dia sudah menjadi
tumpuan masyarakatnya. Bahkan sebelum usia perkawinannya, dia sudah
melakukan tapa (khalwat), demi mencari solusi bagi kejahiliyahan kaumnya.
Maka, setelah menjadi Nabi dan Rasul, seluruh hidupnya dibaktikan bagi
kesejahteraan sesamanya. Tak ada sisa bagi diri dan keluarganya hingga di
pembaringan-kematiannya, yang dia seru hanya, “Ummatku ..., ummatku ....
Apa yang akan terjadi atas mereka sepeninggalku.” Kelak di akhirat pun,
ketika kekhawatiran oleh bayangan perhitungan Tuhan mencengkram semua
manusia, ketika bahkan para ibu akan mencampakkan bayi-bayi mereka,
Muhammad Saw. tetap hanya akan memikirkan umatnya. Di atas sebuah
bukit dia akan memanggil ke sana-kemari. “Halumma-halumma ... ke sinilah
kalian, datanglah kepadaku agar kalian semua mendapatkan syafaatku.
Terhindar dari hukuman-Nya, dan masuk surga semua saja.” Sedemikian,
sehingga dia sendiri meringkaskan semuanya: ”Cinta adalah asasku”.

Kiranya, semua sifat penuh kasih dan kelembutan itu adalah suatu
kenyataan logis mengingat Tuhannya Muhammad Saw. telah berfirman:
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh alam. (QS Al-Anbiya [21]: 107)

Dia adalah utusan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dia adalah
penopang dan pemelihara alam keseluruhan. Lebih dari itu semua, dialah
sang insân kâmil (manusia paripurna), perwujudan sempurna sifat-sifat (kasih
sayang) Allah Swt.

Dialah exemplar par excellence Allah Swt. Dialah pintu gerbang bagi kita
untuk dapat kembali kepada-Nya. Dengan mengikutinya dan menjadikannya
teladan, maka sesungguhnya kita sedang menjalani proses pendakian spiritual
untuk mengembangkan al-takhalluq bi akhlaq Allah (berakhlak dengan
akhlak Allah)

Mencintainya adalah mencintai Allah, mencintai Allah adalah


mencintainya. Persis seperti firman Allah Swt. yang diajarkan kepadanya,
Barangsiapa mencintai Allah, ikutilah aku. Maka Allah akan mencintai
kalian ....[]

12
Tali Cinta Manusia

Di malam hari, ia mendengarkan kata-kata ibunya yang berdiri menghadap


kiblat di sudut kamarnya. Dengan penuh perhatian, ia mengamati ibunya
shalat; bersujud, ruku’, duduk, pada Jumat malam itu. Ia masih kanak-kanak;
ia melihat dan mendengarkan ibunya berdoa untuk seluruh Muslim, pria dan
wanita, menyebut nama-nama mereka dan meminta agar Allah
menganugerahkan rezeki, kebahagiaan, dan rahmat pada mereka. Dengan
saksama ia mendengarkan, apakah ibunya menyebut dan meminta sesuatu
dari Allah untuk dirinya sendiri?

Anak itu adalah Imam Hasan yang terjaga hingga pagi, tak melepaskan
tatapannya dari sang ibu, Siti Fatimah.

Ia menanti-nanti, apakah ibunya akan berdoa untuk dirinya sendiri dan


apa yang akan dimintanya dari Allah Swt.?

Fajar pun menyingsing dan malam berlalu dengan shalat dan permohonan
bagi orang lain, namun Imam Hasan a.s. tak mendengar sepatah kata pun
dari doa sang ibu, yang ditujukan untuk dirinya sendiri.

Di pagi itu ia bertanya, “Ibu! Semalam aku mendengar doa di sepanjang


shalatmu. Ibu berdoa untuk orang lain dan tidak meminta sama sekali untuk
diri sendiri?”

Ibunya yang penuh kasih menjawab, “Anakku sayang, pertama adalah


tetangga, baru rumah kita.”

***

T ali cinta manusia dengan manusia lainnya dalam Islam diungkapkan


dengan istilah silaturahim. Ungkapan silaturahim adalah kata majemuk
yang terambil dari kata shilâh dan rahim. Kata shilâh berakar dari kata yang
berarti menyambung dan menghimpun. Ini berarti bahwa hanya yang putus
dan yang terseraklah yang dituju oleh kata shilâh. Sedangkan kata rahîm
pada mulanya berarti kasih sayang, kemudian berkembang sehingga berarti
pula peranakan (kandungan) karena anak yang dikandung selalu
mendapatkan curahan kasih sayang.

Terkait dengan ini Rasulullah Saw. bersabda, “Allah Azza wa Jalla


berfirman, ’Aku Al-Rahîm (Yang Maha Pengasih), Aku telah menciptakan
rahim yang Aku ambilkan dari nama-Ku. Barangsiapa menjalin hubungan
silaturahim, Aku akan menyambungkan hubungan dengannya, dan
barangsiapa memutus hubungan silaturahim, Aku akan putuskan hubungan
dengannya.”

Pernah pula dikisahkan bahwa pada suatu kesempatan seorang Arab Badui
menghadang Nabi Saw. Di tengah salah satu perjalanannya, lalu berkata,
“Ceritakanlah kepadaku hal-hal yang mendekatkan aku ke surga dan
menjauhkan aku dari neraka.” Nabi Saw. Menjawab, “Sembahlah Allah dan
janganlah engkau menyekutukan-Nya dengan apa pun, dirikanlah shalat,
bayarlah zakat, dan sambunglah silaturahim.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Begitu pentingnya silaturahim ini sehingga di dalam kitab suci-Nya Dia


berfirman:

Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu


teguh, dan memutuskan apa (silaturahim) yang diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di
muka bumi, mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS Al-Baqarah [2]:
27)

Silaturahim sering dipahami sebagai menjaga atau memelihara relasi yang


baik, bahkan sekadar saling kunjung-mengunjungi atau menjalin komunikasi
dengan berbagai macam cara. Makna silaturahim sesungguhnya jauh lebih
luas dari itu. Silaturahim bermakna semua upaya untuk berbuat baik—
beramal salih—kepada orang. Silaturahim adalah semua perbuatan yang kita
lakukan untuk membahagiakan orang, khususnya membantu melepaskan
orang-orang dari beban-beban yang menyengsarakan mereka. Dan ini pun tak
hanya terbatas pada keluarga atau kaum-kerabat. Meski Islam menekankan
agar kita mendahulukan kerabat dan kaum keluarga, silaturahim tidak
berhenti sampai di situ saja. Perbuatan baik dalam kerangka silaturahim ini
harus meluas kepada manusia seluruhnya, bahkan segenap unsur alam
semesta.

“Apakah Islam yang paling baik itu?” Suatu kali Nabi Saw. ditanya. Nabi
Saw. menjawab, “Islam yang paling baik adalah memberi makan orang yang
lapar dan menebarkan kedamaian di tengah orang-orang yang kaukenal
maupun yang asing.”

Sedemikian pentingnya silaturahim seperti ini sehingga, di suatu


kesempatan, Nabi mengajarkan kepada kita:

“Berjalan bersama orang yang memiliki hajat (keperluan atau kesulitan,


dan berusaha membantunya) lebih aku sukai ketimbang shalat 1.000
raka’at di masjidku, di Bulan Ramadhan

Pada gilirannya, menjalin tali silatuurahim dalam wujud amal-amal saleh


yang membantu memecahkan kesulitan manusia seperti ini justru dapat terus
memperkuat jalinan kasih sayang di antara manusia.

Bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Yang Maharahim


akan menanamkan di hati mereka kasih-sayang. (QS Maryam [19]: 96)

Pernah pula suatu kali Allah swt. bertanya kepada Nabi Musa a.s., ”Wahai
Musa, mana ibadahmu untuk-Ku?” Nabi Musa a.s. menjawab,
“Sesungguhnya ibadahku adalah untuk-Mu, ya Allah!”. “Tidak, wahai
Musa!” Allah Swt. menjawab, “sesungguhnya ibadah-ibadahmu itu adalah
untukmu sendiri.” Musa a.s. pun bertanya, “lalu, apakah ibadahku untuk-Mu,
ya Allah?” Allah menjawab, “memasukkan rasa bahagia ke dalam diri orang
yang hancur hatinya.”

Suatu kali sahabat mendengar Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Orang-


orang yang saling mencinta karena mengakui kebesaran-Nya, hidupnya akan
penuh cahaya, sehingga bahkan para nabi dan syuhada iri kepadanya.”
Memang, “Tak akan masuk surga ..., kecuali kalian saling mencinta,” begitu
dinasihatkannya.

Dalam nasihat Nabi Saw. kepada sahabat yang dijadikannya Gubernur


Mesir, Malik Al-Asytar, Imam ‘Ali menyatakan, “Insafkan hatimu agar selalu
memperlakukan rakyatmu dengan kasih sayang, cinta, dan kelembutan hati.
Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang buas lalu menjadikan mereka
sebagai mangsamu. Mereka itu (apa pun keyakinan agamanya) sesungguhnya
hanya satu di antara dua: saudaramu dalam agama atau makhluk Tuhan
sepertimu.”

Memang cinta dan kasih sayang identik dengan dorongan untuk selalu
memberi, bukan menuntut. Mencintai adalah sebuah prinsip menempatkan
kebutuhan dan kepentingan kita di bawah (atau setelah) kebutuhan dan
kepentingan orang yang kita cintai. Bahkan karena cinta, kita rela
mengesampingkan kebutuhan dan kepentingan kita demi terpenuhinya
kebutuhan dan kepentingan orang yang kita cintai. Inilah filosofi dasar cinta
dan kasih sayang. Dalam Al-Quran Allah berfirman:

Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri,


sekalipun mereka sendiri memerlukan (apa yang mereka berikan itu).
Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang-
orang yang beruntung. (QS Al-Hasyr [59]: 9)

Dengan memberi dan berbuat baik pada manusia, kita pun akan
mendapatkan cinta-Nya. Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya umat manusia
adalah kerabat Allah. Maka barangsiapa mencintai Allah, dia akan
mencintai kerabat-Nya.” Akhirnya, dalam kesempatan lain, Nabi Saw.
bersabda:

“Aku melihat sebuah hubungan persaudaraan yang menggantung di ’Arsy


(Singgasana Allah), mengeluh di hadapan Allah mengenai seseorang yang
telah memutuskannya. Aku bertanya kepada Jibril; ‘Pada berapa generasi
di atasnyakah mereka yang bertemu?’ Jibril menjawab, ‘Tujuh
Generasi’.”

Kata “tujuh” dalam ungkapan bahasa Arab dipakai untuk menunjukkan


sesuatu yang banyak. Dalam hadis ini ia dipakai untuk menunjukkan betapa
kita perlu berbuat baik kepada semua orang, seberapa pun jauh ia dipisahkan
dari kita dalam hubungan kekerabatan.[]
13
Cinta Lelaki-Perempuan

Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah memendam rasa cinta yang begitu besar
kepada Ummu Sulaim, dan memutuskan untuk meminangnya. Namun,
meski Ummu Sulaim berkata dengan sopan dan rasa hormat di luar dugaan,
jawaban Ummu Sulaim sungguh menyesakkan dada.

“Sesungguhnya aku tidak pantas menolak orang yang seperti engkau,


wahai Abu Thalhah. Hanya, sayang, engkau seorang kafir dan aku seorang
muslimah. Maka, tak pantas bagiku menikah denganmu. Coba Anda tebak
apa keinginanku?”

“Engkau menginginkan dinar dan kenikmatan,” kata Abu Thalhah.

“Sedikitpun aku tidak menginginkan dinar dan kenikmatan. Yang aku


inginkan hanya engkau segera memeluk agama Islam,” tukas Ummu Sualim
tandas.

“Tetapi, aku tidak mengerti siapa yang akan menjadi pembimbingku?”


tanya Abu Thalhah.

“Tentu saja pembimbingmu adalah Rasululah Saw. sendiri,” tegas Ummu


Sulaim.
Maka, Abu Thalhah pun bergegas pergi menjumpai Rasulullah Saw. yang
tengah duduk bersama para sahabat. Melihat kedatangan Abu Thalhah,
Rasulullah Saw. berseru, “Abu Thalhah telah datang kepada kalian dan
cahaya Islam tampak pada kedua bola matanya.”

Ketulusan hati Ummu Sulaim benar-benar terasa mengharukan relung-


relung hati Abu Thalhah. Ummu Sulaim hanya akan mau dinikahi dengan
keislamannya tanpa sedikit pun tergiur oleh kenikmatan yang dia janjikan.
Wanita mana lagi yang lebih pantas menjadi istri dan ibu asuh anak-anaknya
selain Ummu Sulaim? Hingga tanpa terasa di hadapan Rasulullah Saw. lisan
Abu Thalhah basah mengulang-ulang kalimat, “Saya mengikuti ajaran Anda,
wahai Rasulullah. Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah,
kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.”

Menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah, sedangkan maharnya


adalah keislaman suaminya. Hingga Tsabit—seorang perawi hadis—
meriwayatkan dari Anas, “Sama sekali aku belum pernah mendengar
seorang wanita yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim, yaitu
keislaman suaminya.”

***

Dan di antara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-


istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya dan dijadikannya di antaramu rasa cinta dan belas-kasih.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir. (QS Al-Rûm [30]: 21)

D alam ayat yang dikutip di atas, Allah menyebut perkawinan sebagai


tanda-tanda-Nya. Maka, kita pun bertanya, tanda-tanda apa?
Sesungguhnya apa saja yang baik, yang benar, dan yang indah adalah tanda-
tanda Allah—yang Dia sendiri adalah yang Mahabaik, Mahabenar, dan
Mahaindah. Akan tetapi, tak ada tanda Allah yang lebih agung daripada cinta.
Karena sesungguhnya, yang merangkum semua sifat Allah adalah cinta.
“Tuhan adalah Cinta”, demikian disabdakan dalam sebuah hadis. Nah,
sebelum melanjutkan diskusi ini, Allah sendiri telah memberikan isyarat
terhadap pertanyaan di atas dengan firman-Nya yang lain:

Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu


mengingat kebesaran Allah. (QS Al-Dzâriyât [51]: 49)

Kata “berpasang-pasangan” adalah terjemahan dari kata azwâj, yang


berakar-kata sama dengan kata zawâj (berarti perkawinan). Makna asli kata
ini adalah “bergabung menjadi satu, menggenapkan”. Dengan kata lain,
sebelum terjadi pemasangan, unsur-unsur yang terlibat belumlah genap,
yakni masih merupakan pecahan. Terkait dengan makhluk manusia,
“kebelum-genapan” atau “keterpecahan” ini membuatnya selalu rindu untuk
mendapatkan unsur lain penggenapnya, yang dengan demikian menjadikan
dirinya tak lagi belum genap atau terpecah.

Nah, kerinduan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, dan


sebaliknya, adalah tanda (sekaligus pengingat) bagi kerinduan yang
seharusnya hadir dalam hubungan manusia dengan Allah Swt. Cinta Allah
kepada manusia dan alam semesta, serta cinta manusia kepada-Nya. Cinta
yang tulus, yang berintikan kebahagiaan dalam berbakti kepada yang dicintai,
dan seharusnya tercipta dalam perkawinan akan memberikan kilasan tentang
cinta dan kerinduan yang seharusnya mewarnai hubungan setiap makhluk
dengan Sumbernya.

Sesungguhnya orang-orang beriman itu amat dalam cintanya kepada


Allah. (QS Al-Baqarah [2]: 165)

Memang, Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan fitrah kecintaan


kepada-Nya. Bukankah, manusia menyimpan di dalam dirinya tiupan Ruh-
Nya, bagian Diri-Nya? Maka, seperti tetesan-tetesan air, entah itu air sungai,
air hujan, atau embun pagi, ia selalu rindu untuk kembali ke laut, sumbernya.
Sesungguhnya, yang benar-benar merupakan soul mate (belahan jiwa)
manusia adalah Allah Swt. Hanyalah bungkusan aspek fisik manusia dan
keterikatan dengan badan yang terus didorong-dorong oleh nafsu saja yang
menyebabkannya lupa kepada Kekasih-sejatinya ini.

Sekali lagi, perkawinan, pemujaan, dan cinta-kasih yang tulus, yang


seharusnya terkembang dalam sebuah perkawinan yang baik adalah tanda
hubungan pemujaan dan penuh kasih antara manusia dan Allah Swt. Sebuah
penanda yang pada gilirannya, semestinya dapat mengingatkan setiap laki-
laki atau perempuan yang saling mencinta itu akan cinta sejatinya.

Jadi, perkawinan dalam Islam memiliki nilai spiritual yang amat


mendalam, bukan saja karena ia adalah tindakan menyalurkan syahwat dalam
bingkai aturan syari‘ah, bahkan juga bukan hanya sebuah bentuk hubungan
kasih sayang yang memang dianjurkan Islam. Jauh lebih dalam dari itu,
perkawinan adalah tanda Allah yang melaluinya, manusia diingatkan akan
hubungan penuh kecintaan-nya dengan Kekasih-sejatinya itu.

Ini sebabnya Rasulullah Saw. menyatakan, “Tiga hal dari duniamu telah
dibuat menyenangkan bagiku, yakni perempuan, wewangian, dan shalat.
(Tetapi) cahaya mataku terdapat dalam shalat.” Dia menyebut shalat
terakhir karena shalat adalah tujuan dari ketiganya. Artinya, perempuan (istri)
dan wewangian menenangkan serta memperkuat hati5 yang dengan kekuatan
hati itu, beliau menyibukkan diri dengan (ibadah) shalat dan mendapatkan
cahaya-mata (kecintaan)-nya di situ.

Selain sebagai sarana manusia untuk beranak-pinak agar para pelakunya


melalui kehidupan dunia ini di jalur agama, ia juga adalah sarana
mendapatkan ketenteraman dan ketenangan. Akan tetapi, di atas segalanya, ia
adalah sarana untuk mencapai puncak tujuan kehidupan, yakni beribadah
kepada Allah dan memujanya, sesuai dengan firman-Nya dalam QS Al-
Dzâriyât [50]: 56: Dan tak kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah.6[]

2 “Awal” di sini tentu maksudnya bukanlah awal dalam waktu serial


(zaman) karena Tuhan tidak terikat waktu. Dia tak pernah berubah.
Awal di sini terkait dengan sifatnya sebagai sumber, asal-muasal
segala sesuatu, yang selalu dalam keadaan yang sama dan tak
pernah berubah.
3 Penafsiran ini—yakni mengartikan kata “ma” (apa-apa) sebagai
kebaikan—dipilih dengan merujuk secara perbandingan (muqâran)
dengan ayat berikut ini.

Sesungguhnya Allah tak sekali-kali merusak nikmat yang telah


dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, kecuali jika kaum itu
merusak apa yang ada dalam diri mereka. (QS Al-Anfâl [8]: 53)

4 Siksa Kekal Abadi pun sesungguhnya bisa ditafsirkan sebagai suatu


perasaan (kesedihan) kejiwaan yang timbul dari perasaan ketiadaan
harapan bagi membaiknya keadaan, atau suatu perasaan hampa
psikologis, perasaan ketiadaan makna hidup sebagaimana dialami
penderita depresi. Persis seperti dalam firman-Nya:

Dan adakah yang membuatmu tahu tentang huthamah. Itulah api


Allah yang menyala. Yang jilatannya sampai ke hati .... (QS Al-
Humazah [104]: 5-7)

5 Menurut Al-Ghazali, hati manusia memperoleh ketenangan dan


keintiman bercengkrama dengan pasangannya. Ketenangan ini
dapat meningkatkan hasrat untuk beribadah karena kegiatan untuk
beribadah dapat menguras tenaga dan menimbulkan kelelahan.
Ketenangan yang diperoleh dengan cara ini memulihkan kekuatan
hati. Sayyidina ‘Ali r.a. berujar, “Jangan sepenuhnya menghilangkan
kerehatan dan ketenangan hati agar ia tak menjadi buta.”

Kadang terjadi, jiwa Rasulullah merasakan beban berat ketika


menerima wahyu, dan beliau Saw. akan memegang tangan ‘Aisyah
dan berkata, “Bicaralah kepadaku, ‘Aisyah.” Kemudian, beliau
mendapatkan kembali kekuatannya maka kehausan untuk
melanjutkan dakwah dan beribadah kepada Allah akan
menguasainya kembali, dan beliau akan berkata, “Buat kami
senang, wahai Bilal,” dan beliau pun akan kembali melakukan
shalat.

6 Ada perbedaan penting antara seorang pemikir Sufi seperi Imam Al-
Ghazali dan seorang ‘arif seperti Ibn ‘Arabi. Meski melihat manfaat
perkawinan sebagai sarana penghiburan, Imam Al-Ghazali
cenderung melihat hubungan seksual suami-istri sebagai sah,
sejauh untuk menyalurkan syahwat yang memang diciptakan Allah
dalam rangka kebutuhan manusia untuk beranak-pinak—bukan
untuk sepenuhnya memuaskannya. Berbeda dengan itu, Ibn ‘Arabi
bahkan lebih jauh melihat bahwa hubungan seksual suami-istri yang
terjadi di dalamnya, ketika ia berlangsung, sebagai hubungan
seksual murni yang—meski pada puncaknya adalah kesadaran
ketuhanan yang lebih kuat—bertujuan mendatangkan kebahagiaan
(baca: kenikmatan) yang luar biasa. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi
menyatakan bahwa kuasa kenikmatan (qahr al-ladz-dzah) seksual
yang mendominasi, menundukkan, dan membuat tak berdaya
pelakunya mengajarkan kepada keduanya perasaan ’ubudiyah
(kehambaan atau ketundukan) manusia kepada Allah. Yakni,
’ubudiyyah yang pada puncaknya sejalan dengan makna ayat
tentang penciptaan manusia yang dikutip di atas. Inilah juga rahasia
mengapa Allah menggambarkan kebahagiaan di surga, antara lain
dalam bentuk kenikmatan seksual. Jika kita ikuti pandangan Ibn
’Arabi ini, hal ini sekaligus memberi tahu kita bahwa, sebaliknya dari
melihat hubungan seksual (suami-istri) sebagai sesuatu yang tabu.
Islam memandangnya sebagai sesuatu yang sakral. (memang, Islam
hanya melihat hubungan seksual sebagai sesuatu yang buruk jika ia
dilakukan tidak dalam bingkai syari’ah. Karena, siapa yang dapat
mengatakan bahwa hubungan seksual adalah buruk jika ia dilandasi
cinta yang tak kurang-kurang bersifat spiritual?).

Lampiran 2:

Mahabbah, Syawq, Musyâhadah, Mukâsyafah,


Mawâ‘izh, dan Zawâjir1
—Al-Ghazali

Mahabbah (Cinta)
Mahabbah (cinta) itu—pertama-tama—ada dan berlaku di antara Allah
dan para walinya. Al-Quran telah mengisyaratkan hal itu. Allah Swt.
Berfirman, Adapun orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada
Allah (QS Al-Baqarah [2]: 165). Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya (QS Al-Mâidah [5]: 54).

Jika Anda berkata dan nafsu Anda yang buruk itu memberontak,
“Bagaimana engkau mencintai orang yang tidak engkau lihat dan ia bukan
dari jenismu?” Sesungguhnya Anda mencintai Sang Pencipta melalui
keindahan ciptaan-ciptaan-Nya yang tampak. Perhatikanlah tanah yang
luas beserta isinya berupa berbagai lukisan indah, sayuran, pepohonan,
buah-buahan, dan sungai-sungai. Lihatlah angkasa dan seisinya berupa
pergantian siang dan malam; matahari, bulan, serta planet-planet yang
besar dan yang kecil. Ini semua merupakan tanda-tanda ciptaan Pencipta
dan bukti keabadian Keberadaan-Nya. Mahasuci Tuhan Yang Mencipta
segala ciptaan. Bahkan, diri Anda akan takjub manakala Anda memikirkan
yang lebih agung dari yang Anda lihat dan Anda dengar. Yang
menunjukkan kepada Anda sebagai bukti terkuat dalam kecintaan kepada-
Nya adalah kenikmatan orang yang mendengarkan kalam-Nya. Sebab, ia
merupakan mukjizat yang tiada bandingannya. Dengan itu, ditunjukkan
kecintaan kepada Yang Maha Berbicara. Tidaklah Anda pernah mendengar
syair berikut:

Ka‘ab berkata kepada teman-temannya


wahai kaumku, betapa menakjubkan jiwa ini
apakah manusia cinta pada yang tak terlihat
maka kukatakan, dan air mataku meleleh
Jika mataku tak melihat sosoknya
tetapi ia terbayang di dalam kalbu

Syaikh Abû Al-‘Ala’ Al-Ma’arî mendendangkan syair:

Wahai kaum, kupingku mencintai makhluk


kadang kuping jatuh cinta sebelum mata
Jika mata yang di depannya menjadi sakit
ia membunuh kita dan tak menghidupkan lagi
membanting orang yang berakal hingga tak berkutik
padahal ia ciptaan Allah yang paling lemah

Adapun hadis-hadis yang menunjukkan pada hal itu amatlah banyak.


Saya telah menyebutkan di dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn. Sebagai isyarat dari
sejumlah itu, saya sebutkan beberapa hadis saja.

Di dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa Allah Swt. berfirman,


“Berdusta orang yang mengaku mencintai-Ku, yaitu orang yang apabila
malam telah gelap, dia tidur (lalai) dari-Ku.” Di dalam hadis lain
disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman, “Hamba-Ku yang mukmin
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah
sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang dengannya dia mendengar dan menjadi
penglihatannya yang dengannya dia melihat.”

Ketahuilah bahwa hubb (cinta) dan ‘isyq (kerinduan) adalah satu makna.
Yang utama di dalam hal itu adalah cinta membara seseorang kepada
kekasihnya, yaitu pandangan yang menganggap baik segala hal karena api
cinta yang menembus pikiran hingga mengobarkan api mujâhadah. Lalu,
muncul asapnya di balik bagian belakang otak, tampak isyarat-isyarat
pikiran tentang cinta dari bagian depan ubun-ubun dan terbuka pintu-pintu
kekosongan kalbu. Dudukkanlah khayalan kekasih di depan ‘ayn al-yaqin.
Jiwa mengkilapkan cermin mujâhadah (perjuangan melawan hawa nafsu)
di dalam memandang keindahan kekasih.

Asalnya di dalam mahabbah adalah kebersamaan, keakraban, dan


kepercayaan pada ucapan kekasih. Ketika itu, keinginan pendambaan
berkobar dengan nyala api kerinduan. Lalu, keadaan ‘isyq
mengalahkannya. Jadilah, di jalan-jalan itu, dia tergila-gila pada sesuatu
yang menjadi cahaya melankolis. Ucapan bercampur aduk, rongga
tenggorokan terbakar, dan langit kalbu tertutup karena penampakan
rembulan kekasih. Kekasih itu tetap merindukan, mencintai, dan
kebingungan terhadap penampakan keagungan kekasih. Ketika rongga-
rongga tenggorokan itu terbuka, pasangan mempelai kalbu berhamburan
dan pasangan angan-angan menari di majelis keintiman (al-wishâl).
Seruling harapan ditiup dan kecapi harap-harap cemas dipetik,
sebagaimana dikatakan penyair:

Kuharapkan hingga ia terbayang


aku bimbang seakan telah memanggil,
tetapi ia tetap diam
Kuharapkan hingga ia kuimpikan
jangan kalian lupa bahwa Allah mengampuni
dan celalah jika kalian shalat di tempat ia shalat
Alangkah baiknya jika aku jadi batu dinding masjid
sungguh mulia karena di situ ia shalat dan berkuasa

Kemudian, debu bergerak, Anda melihat asap harapan. Asap kepayahan


menguat, Anda melihat kebimbangan di dalam kalbu. Di sana, tidak ada
ratapan dan tidak pula ketenangan. Tampak kekurusan dan kepucatan.
Terlihat bekas-bekas keterjagaan. Api kerinduan menyebabkan badan
kurus. Al-Mughnî melantunkan syair:
Wajah orang yang jatuh cinta sudah dikenal
sebab ia pucat dan kurus
Tak seperti yang menampakkan tubuhnya
seakan hewan untuk sembelihan

Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Pada setiap malam, seorang


penyeru menyeru, ‘Ketahuilah, bahwa Allah melaknat orang yang banyak
makan dan banyak tidur.’ Apakah anak Adam diciptakan untuk itu?”
Merasa cukuplah dengan yang sedikit agar menjadi ringan penghisaban
Anda, sehat tubuh Anda, sedikit penyakit Anda, menjadi baik perangai
Anda, dan terjaga diri Anda dari kemaksiatan. Perbanyaklah ibadah-ibadah
sunnah, niscaya Anda beroleh kemenangan dan keselamatan.

Syawq dan Mukâsyafah (Kerinduan dan Ketersingkapan)


Syawq (kerinduan) merupakan pendorong bagi keadaan mukâsyafah
(ketersingkapan). Syawq adalah harapan untuk bertemu dengan kekasih.
Sedangkan pertemuan dengan kekasih tidak diperoleh, kecuali dengan
mukâsyafah. Mukâsyafah itu ada dua, yaitu dengan penglihatan dan dengan
perasaan kalbu. Ia merupakan penampakan diri kekasih di dalam keadaan
yang dirasakan kalbu pencinta. Namun, mukâsyafah dengan penglihatan
adalah lebih utama, tetapi dengan syarat adanya gabungan antara perasaan
kalbu dan penglihatan, seperti keadaan Rasulullah Saw. Pada malam Isrâ’,
Allah tersingkap baginya melalui penampakan diri dengan perasaan kalbu
dan dengan penglihatan—menurut dua riwayat yang sahih dari Siti
‘Aisyah, Imam ‘Alî, dan Ibn ‘Abbâs. Hakikat mukâsyafah adalah
memandang kekasih. Namun, hal ini berbeda-beda menurut kadar
tingkatan para pencinta. Pandangan manusia itu tidaklah sama. Yang
paling rendah tingkatan mereka adalah pandangan dengan perasaan kalbu.
Adapun pandangan dengan penglihatan pada suatu kaum merupakan
‘aradh (aksiden, bukan esensi) yang tidak menetap. Yang paling agung di
antara kedua kedudukan itu adalah gabungan antara pandangan dengan
penglihatan dan perasaan kalbu. Apabila tabir-tabir kelalaian terangkat,
kekasih akan menampakkan diri. Pencinta menjadi lenyap hingga keluar
dari tabir kemanusiaan dan hijab jasmani. Lalu, dia melihat hijab dan
mendengar perkataan, Tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah
berkata-kata dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di
belakang hijab (QS Al-Syurâ [42]: 51). Ketika itu, terdengar olehnya
perkataan dari langit yang menyingkap baginya semua yang terjadi pada
makhluk. Jadilah dia memiliki sifat seperti Nabi Isa. Aku kabarkan kepada
kalian apa yang kalian makan dan apa yang kalian simpan di rumah
kalian (QS Ali Imran [3]: 49). Para malaikat dan bangsa jin yang beriman
tunduk pada perintah-Nya dan menaati-Nya. Celah yang ada di antara dia
dan Allah pun terkoyak. Dari celah itu, dia mengetahui kejernihan rahasia
segala ciptaan.[]

1 Risalah Al-Ghazali, Pustaka Hidayah, 2010, h. 215.


Bagian 3

Sumber-Sumber Kebahagiaan

14
Kesucian Fitrah

Syahdan, di suatu masa, berkuasa seorang tiran yang sangat jahat. Rakyat
menderita luar biasa di bawah kekuasaannya. Hingga suatu saat, sang tiran
menjelang ajalnya. Dia pun memanggil perdana menteri kerajaannya dan
memerintahkan, “Nanti, setelah aku mati bakarlah jenazahku dan tebarkan
abunya di tujuh lautan.” Rupanya, dalam kejahatannya yang luar biasa,
fitrah sang tiran tetap berbicara. Ia tetap takut dan percaya pada
perhitungan (hisab) oleh Allah Swt. atas segala perbuatannya. Konon, karena
ketakutannya kepada Allah itu, Allah mengampuni dosa-dosanya dan
memasukkannya ke surga.

***

Dan hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada agama Allah.


(Tetaplah atas) fitrah Allah yang manusia diciptakan atasnya. Tak
sekali-kali ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang
lurus .... (QS Al-Rûm [30]: 30)

K ata fitrah—bahasa Arab fith-rah—berasal dari akar kata f-th-r. Arti kata
ini adalah “keawalmulaan sesuatu, sementara sebelumnya sesuatu itu
tidak ada”. Dengan kata lain, “sesuatu yang tercipta untuk pertama kalinya
dan tanpa preseden (contoh)”. Sinonimnya adalah al-khalq atau atau al-ibda’.
Contohnya, air susu yang pertama kali keluar dari induk unta disebut sebagai
fithr. Maka dalam ayat di atas, fitrah berarti unsur manusia yang diciptakan
pertama kali. Bukan itu saja, fitrah manusia itu tak pernah berubah sepanjang
hidupnya--dengan kata lain, selama-lamanya. Bukan kebetulan juga bahwa
makna lain kata fitrah adalah cetakan atau patrian, yang sekali dicetak atau
dipatri, tak akan bisa diubah atau dilepaskan.

Di atas semuanya itu, penting kita sadari bahwa sesungguhnya unsur


kemanusiaan-bawaan, tak lain dan tak bukan, terbentuk atas model sifat atau
“tabiat”—yakni fitrah—Allah sendiri.

Selanjutnya, disebutkan juga dalam ayat 30 tersebut, bukan saja bahwa


fitrah manusia merupakan perwujudan ruh Allah, tetapi ia juga identik
dengan agama itu sendiri, tepatnya “agama yang lurus”. Yakni, suatu
pandangan dunia (world-view atau weltanscahauung) dan cara hidup (way of
life) yang benar, yang berorientasi keimanan kepada Allah, dan kepada
kebenaran—suatu cara pandang dan cara hidup yang, dalam ayat yang sama,
disebut juga dengan cara hidup yang hanif.

Dalam analisis lebih jauh, kita mendapati bahwa fitrah memiliki dua unsur
utama dan fundamental. Pertama, keimanan kepada Tuhan sebagai Rabb
kita, sebagai Pencipta dan Perawat kita:

Dan ingatlah ketika Allah mengeluarkan (cikal-bakal) anak-cucu Adam


dari punggung atau tulang sulbi ayah-ayah mereka (yakni di alam
sebelum alam dunia ini) dan menarik persaksian atas diri mereka,
“Bukankah Aku ini Rabb-Mu?” Mereka pun berkata, “Benar, kami
bersaksi.” Agar kelak mereka tidak berkata, “Sesungguhnya mengenai
hal ini kami lupa.” (QS Al-A’raf [7]: 172)

Unsur kedua fitrah adalah pengetahuan tentang jalan kebaikan dan jalan
keburukan yang telah diilhamkan kepada manusia sejak awal penciptaannya:

Dan demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaan)-Nya. Maka diilhamkan


kepadanya jalan keburukan dan jalan ketakwaannya. Pasti berbahagia
siapa saja yang memelihara kesuciannya, dan pasti sengsara siapa saja
yang mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7–10)

Berdasarkan itu semua, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap manusia


diciptakan dengan kecenderungan bawaan beriman kepada Allah dan
kepemilikan pengetahuan tentang kebaikan atau ketakwaan dan keburukan.
Akan tetapi, yang lebih penting dari itu adalah bahwa kepenuhan dan
kebermaknaan hidup kita, yakni kebahagiaan kita, terletak dalam
keberhasilan kita memelihara kesucian keyakinan kita kepada-Nya dan
kemampuan kita dalam berbuat baik dan menghindar dari keburukan–yang
pengetahuan tentangnya telah diilhamkan kepada kita tersebut. Kegagalan
dalam hal ini–jauhnya kita dari Tuhan, dan kurangnya orientasi amal saleh
dalam kehidupan kita—hanya akan meninggalkan kehampaan hati, betapa
pun mungkin kehidupan kita berlimpah materi dan dikerumuni banyak orang.
Karena, bukankah kecenderungan-kecenderungan ini telah menjadi fitrah
(tabiat-bawaan) hidup kita yang tak akan pernah berubah?
Inilah kiranya yang dimaksud William James, seorang filsuf dan psikolog
Amerika awal abad 20 ketika menulis dalam buku-klasiknya, Varieties of
Religious Experience bahwa betapa pun kehidupan akan menarik manusia ke
arah yang bertentangan (materialistik), dan betapa pun dikerumuni banyak
orang, manusia tak akan pernah berbahagia sebelum ia bersahabat dengan
The Great Socius (Sang Kawan Agung) Tuhan![]

15
Kedekatan kepada Allah Swt.

Suatu kali, seorang laki-laki yang tidak percaya kepada Tuhan mendatangi
Imam Ja‘far Al-Shadiq sambil menantang, “Apa buktinya Tuhan itu ada?”
Kemudian Imam Ja‘far memerintahkan para sahabatnya untuk menceburkan
si laki-laki ke telaga yang ada di sekitar itu. Laki-laki malang itu ternyata tidak
bisa berenang. Dia pun gelagapan sambil berteriak-teriak meminta tolong,
“Wahai Ja‘far, tolonglah aku!” Akan tetapi, sang Imam melarang para
sahabatnya untuk menolong orang itu. Hal ini terjadi berkali-kali hingga
ketika hampir putus asa, dia pun berteriak, “Ya Allah, tolonglah aku.” Maka,
Imam Ja’far memerintahkan agar laki-laki itu keluarkan dari telaga. Imam
pun berkata kepada laki-laki itu, “Tuhan adalah yang engkau sebut nama-
Nya itu, ketika engkau yakin tak ada sesuatu pun yang dapat menolongmu
selain-Nya.”

***

B agaimana bisa? Kenapa untuk bahagia manusia harus dekat kepada


Allah Swt.? Pertama, persoalan agama merupakan persoalan yang
sudah menjadi concern manusia sejak orang-orang yang pertama kali hidup
di alam ini sampai sekarang. Seperti pernah disinggung sebelumnya, William
James, filsuf Amerika sekaligus tokoh psikologi modern aliran pragmatisme,
pernah menulis sebuah buku berjudul The Varietes of Religious Experience
pada tahun 1904, lebih dari seabad lalu. Meski bukan seseorang yang
religius, William James kemudian menyimpulkan bahwa meskipun
peradaban akan menarik umat manusia ke arah yang berbeda, tetapi
paradoksnya akan lebih banyak orang yang berdoa, mendekat kepada Tuhan.
Ini jugalah tesis banyak peneliti agama lainnya, termasuk biolog Alexis
Carrel dalam dua karya-klasiknya: Prayer dan Man the Unknown.

Dari masa modern, sosiolog Peter Berger harus merevisi pandangan


lamanya tentang akan hilangnya agama dari kehidupan manusia dalam
berbagai karyanya terdahulu, dan terpaksa merevisinya dengan The
Desecularization of the World. Kenyataannya, ramalan orang di berbagai
masa tentang akan pupusnya agama dari kehidupan manusia, semuanya
runtuh. Contoh lain, suatu kali Majalah Time memuat foto cover story
majalah ini dari edisi tahun 1945-an yang di dalamnya diramalkan bahwa
agama tinggal menunggu ajalnya. Dan sebuah cover story Time yang terbit
60 tahun kemudian mengakui bahwa ramalan tahun itu keliru. Agama justru
bangkit lebih kuat lagi. Newsweek pun pernah menunjukkan betapa, seiring
materialisme dan sekularisme, justru lebih banyak orang Amerika berdoa
ketimbang berolahraga, nonton bioskop, dan berhubungan seks.

Memang, tampaknya Tuhan bersemayam dalam fitrah (natur primordial)


makhluk yang bernama manusia ini. Betapa pun para ateis terus-menerus
berusaha menyangkalnya.

Sebagian ateis menawarkan penjelasan mengenai Tuhan sebagai God of


the gaps. Artinya, Tuhan yang keberadaan-Nya mengisi ketidakmampuan
kita untuk menjelaskan keadaan. Kalau suatu saat kita bingung menjelaskan
kenapa alam semesta ini dipenuhi bencana yang kita tak berdaya
menolaknya, kita buatkan konsep tentang Tuhan yang bisa menjelaskan hal
itu. Ketakutan, ketidaktahuan telah mendorong manusia menciptakan
(konsep) Tuhan.

Ada juga konsep yang disebut dengan meme. Meme adalah semacam gen,
tetapi bukan bersifat biologis, melainkan sosial. Jadi, sebagaimana manusia
ini punya gen yang diturunkan dari orang tua, gen sosial yang dinamakan
meme ini juga diturunkan kepada masyarakat oleh lingkungan sosialnya.
Tuhan, dalam konteks ini, semacam warisan turun-temurun lingkungan
sosial.

Kenyataannya, mau dibilang itu meme, mau dibilang itu gen, atau God of
the gap, manusia butuh sesuatu, sesuatu yang kemudian disebut sebagai
Tuhan, Allah, Yahwe, Sang Hyang Widi, dan sebagainya. Kenyataannya, dari
zaman primal, sebelum 180 abad yang lalu, sampai sekarang—setelah segala
macam ilmu pengetahuan makin maju, teknologi makin maju—apa yang
disebut Tuhan itu tak pernah sirna dari kehidupan manusia.

Mengenai ini, Al-Quran menjelaskan, Hadapkan wajahmu dengan lurus


kepada al-din (jalan hidup itu) lurus, yaitu fitrah Allah yang manusia
diciptakan berdasarkan fitrah itu. Manusia diciptakan atas dasar “natur”
ketuhanan. Jadi, Tuhan adalah sumber sekaligus model manusia. Demikian
pula, kita diajar-Nya bahwa “Sesungguhnya kita bagian dari Allah, dan
sesungguhnya kepada-Nya kita kembali.” Ada ikatan yang menyatukan
manusia dan Tuhan. Tuhan sesungguhnya adalah soul mate manusia. Orang-
orang yang percaya itu, amat sangat kecintaannya kepada Allah, demikian
Al-Quran mengabarkan.

Sayangnya, fisik yang membungkus ruh kita ini sering menutupi fitrah itu
dengan kecenderungan mengumbar nafsu dan egoisme dan membuat kita
lupa pada fitrah kita tersebut. Yakni, bahwa soul mate kita sesungguhnya
adalah Allah Swt. Maka, ketika di dunia ini kita jauh dari Allah Swt.,
terkadang kita tidak selalu langsung merasakan kesedihan. Khususnya bagi
orang-orang yang sudah telanjur tumpul mata-hatinya. Akan tetapi, jika kelak
kita hidup di alam barzakh–yang di dalamnya daya ruhani kita menguat–dan
cara hidup kita di dunia menjauhkan kita dari dari Allah Swt. maka kesedihan
yang mendalam akan muncul. Lebih-lebih ketika kita berada di akhirat,
dengan kehidupan yang sepenuhnya bersifat ruhani. Saat itu secara otomatis
kita menyadari bahwa kekasih kita sesungguhnya adalah Allah Swt.
Mengenai saat itu, Allah Swt. mengatakan, “wa hush-shila mâ fish-shudur”
(dan diungkap semua yang ada di dalam dada). Maka, yang terpenting yang
akan diungkap-Nya adalah bahwa kekasih kita itu adalah Allah Swt. Ketika
itu kita harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Allah Swt. jauh dari kita.
Itulah sesungguhnya neraka. Sedang surga adalah kedekatan kita padanya,
berkat terlatihnya hati kita dari kemenangan perjuangan melawan nafsu dan
egoisme. Memang, menurut terjemahan kaum Sufi, neraka adalah kondisi di
mana manusia dirundung kesedihan yang amat mendalam karena merasa jauh
dari Allah Swt., sedangkan surga itu menyatunya kita dengan Allah Swt.

Kebahagiaan tertinggi adalah ketika cinta kita terbalas, ketika sukma kita
dipenuhi cinta. Sedangkan nestapa paling menyakitkan adalah kehampaan
oleh cinta tak terbalas. Apatah pula cinta kepada Allah. Dengan kata lain,
surga itu adalah kembali kepada Allah Swt. dan neraka itu jauh dari Allah
Swt.

Semoga kita selalu dikarunia kedekatan (qurbah) kepada Allah dan


kebahagiaan selalu berada di hadirat-Nya.[]

16
Melazimkan Zikrullah

Syahdan, Rabiah Adawiyah menyusuri jalan Kota Baghdad di siang bolong


sambil menenteng air dan memegang obor di tangan kiri. Seseorang
bertanya, “Rabiah, mau ke mana?” Ia pun menjawab, “Aku hendak
membakar surga dengan obor dan memadamkan neraka dengan air agar
orang tidak lagi mengharap surga dan takut neraka dalam ibadahnya!” Pernah
pula di tengah hening malam, ia berdoa, “Ya Allah, para kekasih telah
memasuki kamarnya. Dan inilah aku, sendirian, mengharapkan cinta-Mu.”

***

(Orang-orang yang kembali kepada Allah adalah) ... mereka yang


beriman, dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah,
sesungguhnya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Orang-
orang yang beriman ini, dan yang beramal saleh, merekalah orang-
orang yang berbahagia, dan bagi mereka tempat kembali yang terbaik.
(QS Al-Ra’d: 28-29)

A yat di atas mengajarkan kepada kita bahwa orang-orang yang percaya


akan keberadaan Allah dengan segala kebaikan-Nya, dan senantiasa
mengingat-Nya lalu melazimkan amal-amal saleh—yakni perbuatan-
perbuatan untuk menjadikan lingkungan kita menjadi lebih baik—adalah
orang-orang yang berbahagia, baik di dunia maupun di akhirat.

Di tempat yang lain, Allah juga berfirman:

(Orang-orang yang bertakwa) adalah mereka yang percaya pada yang


gaib, menjalankan shalat, dan memberi dari apa-apa yang kami
karuniakan kepada mereka. Mereka percaya pada (Al-Quran) yang kami
turunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab-kitab lain yang kami
turunkan sebelummu, dan mereka yakin pada adanya kehidupan yang
akan datang (akhirat). Mereka berjalan di atas petunjuk Pengasuh
mereka. Merekalah orang-orang yang berbahagia. (QS Al-Baqarah [2]:
3-5)

Kesejajaran kedua ayat di atas menunjukkan bahwa bertakwa dan berzikir


memiliki makna yang berkaitan, yakni suatu sikap batin percaya dan selalu
sadar akan Allah, sehingga sebagai konsekuensinya, pemilik sikap ini akan
selalu melahirkan amal-amal saleh yang diridhai-Nya, dan pada puncaknya,
memelihara ingatan kepada Allah. Pada gilirannya, ingatan kepada Allah,
suatu Zat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang sekaligus Mahakuasa,
yang kepada-Nya kita dapat menggantungkan kehidupan kita dengan
keyakinan total bahwa Dia akan selalu mendatangkan kebaikan kepada kita,
adalah sumber kebahagiaan sejati yang tak akan pernah kering.

Kiranya hal ini mudah dipahami. Keyakinan tak tergoyahkan pada adanya
orang-orang atau wujud yang kecintaan-tulusnya kepada kita bisa
sepenuhnya kita andalkan, dan mau melakukan apa pun untuk kebaikan—
apakah itu kecintaan ibu kita, pasangan hidup kita, lebih-lebih kecintaan
Tuhan Yang Mahakuasa—akan menenangkan kita dan menjadikan hidup kita
penuh (fulfilled). Sebaliknya, kesengsaraan adalah suatu keadaan sepi dan
terasing, yang di dalamnya terdapat bukan hanya kesepian melainkan juga
kengerian akibat kehampaan makna dan ketiadaan tujuan hidup. Inilah yang
dalam terminologi agama disebut sebagai keadaan terlaknat atau terkutuk,
yang menyiksa jiwa. Kiranya ini jugalah makna surga dan neraka ukhrawi –
ketenangan atau kepenuhan hidup dan kesumpekan atau kehampaan hidup.

Yang tak boleh kita lalaikan adalah bahwa iman, takwa, dan zikrullah yang
sejati, tak akan pernah kita raih tanpa diiringi amal-amal saleh, tanpa
tindakan memberi, dan menolong orang lain. Bahkan, ujian sesungguhnya
atas keimanan kita kepada Allah terletak pada kesiapan kita dalam memberi
dan menolong orang lain. Tanpa itu, sesungguhnya keimanan atau
keberagamaan kita hanyalah dusta belaka:

Tahukah kamu, siapa yang mendustakan agama? Maka mereka itulah


orang-orang yang menelantarkan anak yatim, dan tak pula berupaya
keras untuk memberi makan orang miskin .... (QS Al-Mâ’ûn: 1-3)

Dengan lugas Nabi Saw. pun menyatakan, “Pemberian (sedekah) adalah


bukti (keimanan).”

Orang-orang yang tidak mau memberi, sebaliknya dari mendapatkan


ketenangan dan kelapangan hati, justru akan diterpa kesulitan dan
kesumpekan jiwa:

Barangsiapa memberi dan membenarkan kebaikan (kehidupan di


akhirat) maka Allah akan melempangkan baginya jalan yang lapang.
(Sebaliknya) mereka yang kikir dan menganggap dirinya kaya—tak
butuh pada siapa pun (Allah dan manusia) maka Allah melempangkan
baginya jalan menuju kesulitan dan kesempitan. (QS Al-Lail: 5-10)[]

17
Berakhlak dengan Akhlak Allah Swt.

Alkisah, Raja Arab bernama Khuzaimah Abrasy, tidak pernah mengerjakan


apa pun sebelum berunding dulu dengan Kaisar Romawi yang adalah teman
dekatnya. Suatu ketika, dengan niat meminta pendapat Kaisar mengenai
masa depan anak-anaknya, ia menyurati Kaisar. Dalam surat itu tertulis:

“Aku merasa harus menyiapkan kekayaanku untuk tiap-tiap putra dan


putriku agar mereka kelak tidak mengalami masa sulit setelah aku mati.
Bagaimana pendapatmu tentang ini?”

Kaisar Romawi menjawab, “Kekayaan itu bahan pemanis, tidak setia dan
bersifat sementara. Sebaik-baiknya pelayanan untuk anak-anakmu adalah
akhlak mulia dan sifat terpuji, yang akan membimbing mereka kepada
kepemimpinan selamanya di dunia dan pengampunan (dosa-dosa) di
akhirat.”

***

“Takhallaqu bi akhlaqillah”
Berbudi pekertilah kamu seperti budi pekertinya Allah Swt.

—HADIS

D iri manusia sesungguhnya memiliki kekayaan berupa sifat-sifat


Ilahiyah. Sifat-sifat Ilahiyah ini akan mendapatkan ruang untuk
berkembang sekiranya kita mampu memperlakukannya dengan tepat. Sifat-
sifat Ilahiyah itu adalah Kebaikan Mutlak, Kebenaran Mutlak, dan Keindahan
Mutlak. Uraian berikut ini akan mengupas bagaimana cara
mengembangkannya dalam diri kita.

Pertama, mencintai kebaikan. Di dalam Islam, sesuatu yang baik dikatakan


sebagai al-ma’ruf, dan hal-hal yang buruk dikatakan al-munkar. Ma’ruf
artinya hal-hal yang sudah diketahui dan sesuai dengan pengetahuan yang
ada di dalam fitrah manusia. Sementara munkar adalah sesuatu yang
disangkal oleh hati manusia. Lebih jelas, Rasulullah Saw. menyampaikan
perbedaaan antara ma’ruf dan munkar. Dalam suatu sabdanya, Rasulullah
Saw. menyatakan bahwa kebaikan itu sesuatu yang jika kita lakukan, hati
mengenali dan mau menerima; sedang keburukan itu adalah sesuatu yang
secara bawaan disangkal oleh hati manusia. Itulah sebabnya kebenaran
disebut ma‘ruf (yang sudah dikenal dengan baik), sedang keburukan disebut
munkar (sesuatu yang disangkal)

Dengan demikian, sebenarnya manusia mengetahui dan dapat


membedakan kebaikan dan keburukan. Namun sayang karena berbagai hal,
kita sering terlena untuk memenuhi hati kita dengan kebaikan. Padahal salah
satu syarat kebahagiaan adalah ketika kita dekat kepada Allah Swt. dan hal
ini berarti kita setia kepada kebaikan.

Kedua, adalah cinta kebenaran (al-haq). Agar bahagia, syarat berikutnya


adalah setia dengan kebenaran karena Allah Swt. itu adalah al-haq. Al-haq
bermakna kebenaran yang tidak tercampur sama sekali dengan kesalahan.
Maka, jika kita ingin dekat dengan Allah Swt., hendaknya selalu berupaya
menjadi orang yang objektif. Objektivitas akan muncul ketika kita mampu
menaklukkan ego kita. Manusia sepintar apa pun, secerdas apa pun akalnya,
jika ego masih berkuasa pada dirinya, ia tidak menjadi pintar, justru ia
menjadi bodoh.

Ketiga, selalu mengapresiasi keindahan. Allah Swt. itu indah dan


menyukai keindahan. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Inna Allaha jamil
yuhibbul jamal.” Dalam bahasa yang lebih filosofis, Allah Swt. adalah
keindahan itu sendiri. Oleh karena itu, hendaknya setiap manusia selalu
memelihara hubungannya dengan keindahan. Keindahan yang paling dekat
dengan Allah Swt. itu adalah keindahan alam. Allah Swt. mengatakan, “Aku
tunjukkan kepada kalian tanda-tanda-Ku di alam semesta dan di dalam diri
kalian.” Di dalam Al-Quran, Allah Swt. pun banyak menggunakan alam
sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya.

Terkait dengan ini, Nabi Saw. pernah bersabda, “Kulihat Allah dalam
keindahan-sempurnanya.”

Menurut Ibn ‘Arabi, alam itu sebetulnya “saudara” manusia. Alam itu
kadang disebut al-insan al-kabir (manusia dalam skala besar), sementara
manusia itu disebut al-alam al-shaghir. Artinya, dalam makna lain, manusia
itu alam semesta kecil dari segi ukurannya. Sementara alam itu “manusia
besar”. Allah Swt. menciptakan alam semesta dan manusia dengan aturan-
aturan yang sama persis.

Manusia sesungguhnya sangat dekat dengan alam semesta. Oleh karena


itu, jika terpisah dari keindahan alam, mereka akan merindukannya.
Misalnya, orang kota senang dengan pemandangan alam yang indah. Mereka
merindukan pemandangan alam yang indah tersebut. Demikian juga orang
desa. Orang desa pun yang lama di kota akan rindu pada keindahan alam. Ini
menandakan bahwa fitrah manusia itu salah satunya adalah mencintai
keindahan.

Karena Allah Swt. menciptakan alam semesta sebagai “saudara” manusia


dalam keindahan maka manusia harus mengapresiasi estetika tersebut. Makin
dekat dengan hal-hal yang indah maka kita akan semakin dekat dengan Allah
Swt.

Namun, sesungguhnya keindahan yang lebih tinggi adalah keindahan alam


imajinal dan alam ruhani. Keindahan alam imajinal mewujud dalam
keindahan karya-karya seni yang luhur. Sedangkan keindahan ruhani tak
dapat diperkatakan, kecuali hanya dapat dirasakan dan melahirkan kepuasan
dan kebahagiaan yang tak tepermanai.

Jadi, manusia itu diciptakan dengan fitrah mencintai kebaikan, mencintai


kebenaran, dan mencintai keindahan. Jika manusia tidak terpuasi fitrahnya—
hatinya, ruhnya—dengan ketiga hal tersebut, ia pasti tidak bisa mencapai
kebahagiaan. Kebahagiaan sejati akan datang jika manusia berupaya berbuat
kebaikan, mencintai kebenaran dan senantiasa mencintai keindahan. Semakin
keras kita mengupayakan ketiga syarat tersebut maka semakin dekat dengan
Allah Swt., sehingga semakin besar pula kemampuan kita untuk berbahagia.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Lampiran 3:

Menggapai Puncak Kebahagiaan Bersama Allah1


—Al-Ghazali
ecintaan kepada Allah adalah topik yang paling penting dan merupakan
K tujuan akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara bahaya-
bahaya ruhaniah karena mereka menghalangi kecintaan kepada Alah di
hati manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat baik yang
diperlukan untuk itu. Penyempurnaan kemanusiaan terletak di sini, yaitu
bahwa kecintaan kepada Allah mesti menaklukkan hati manusia dan
menguasai sepenuhnya.

Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasai sepenuhnya maka hal


itu mesti merupakan perasaan yang paling besar di hatinya, mengatasi
kecintaan kepada yang lain-lain. Meskipun demikian, mudah dipahami
bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai sehingga
suatu aliran dalam ilmu kalam (teologi) menyangkal bahwa manusia bisa
mencintai suatu wujud yang bukan merupakan spesiesnya sendiri. Mereka
telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai sekadar ketaatan
belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu
apakah agama itu sebenarnya.

Seluruh Muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu


kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin, Ia
mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya. Dan Nabi Saw. bersabda,
“Sebelum seseorang mencintai Allah dan Nabi-Nya lebih daripada
mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar.” Ketika
malaikat maut datang untuk mengambil nyawa Ibrahim, Ibrahim berkata,
“Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa
sahabatnya?” Allah menjawabnya, “Pernahkah engkau melihat seorang
kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?” Maka Ibrahim pun
berkata, “Wahai Izrail, ambillah nyawaku!”

Doa berikut diajarkan oleh Nabi Saw. kepada para sahabatnya, “Ya
Allah berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-
orang yang mencintai-Mu, dan apa saja yang membawaku mendekat
kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air
dingin bagi orang-orang yang kehausan.”

Hasan Basri sering berkata, “Orang yang mengenal Allah akan


mencintai-Nya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya.”

Sekarang kita akan membahas sifat esensial cinta. Cinta bisa


didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang
menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indra kita.
Masing-masing indra mencintai segala sesuatu yang memberinya
kesenangan. Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga
mencintai musik, dan seterusnya. Ini adalah jenis cinta yang juga dimiliki
hewan-hewan. Namun ada indra keenam, yakni fakultas persepsi, yang
tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki hewan-hewan. Dengannya kita
menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan ruhani. Jadi, seseorang
yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan indrawi tidak akan bisa
memahami apa yang dimaksud oleh Nabi Saw. ketika bersabda bahwa dia
mencintai shalat lebih daripada wewangian dan wanita, meskipun
keduanya juga menyenangkan baginya. Akan tetapi, orang yang mata-
hatinya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan
meremehkan semua penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah
tampaknya semua itu.

Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan indrawi


akan berkata bahwa keindahan ada pada warna-warni merah putih,
anggota-anggota tubuh yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta terhadap
keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka
berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik. Orang-
orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat mungkin
untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh mendahului kita—
seperti khalifah Umar dan Abu Bakar—berkenaan dengan sifat-sifat mulia
mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak dahulu sekali bercampur
dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk-luar
melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah. Bahkan ketika kita ingin
membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada orang lain,
kita tidak menguraikan keindahan luar bentuk itu atau yang lainnya,
melainkan keunggulan-keunggulan ruhaniahnya.

Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah maka akan
kita dapati bahwa Dia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Jika seseorang
tidak mencintai-Nya maka hal itu disebabkan ia tidak mengenali-Nya. Kita
mencintai sesuatu pada diri seseorang karena hal itu merupakan cerminan
daripada-Nya. Karena alasan inilah, kita mencintai Muhammad Saw. Dia
adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan orang-orang berilmu dan
bertakwa adalah benar-benar kecintaan kepada Allah. Kita akan melihat
hal ini lebih jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa
membangkitkan kecintaan.

Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan


kesempurnaan sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada
kecintaan kepada Allah karena ke-maujud-an asasi dan sifat-sifat manusia
tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya,
manusia tak akan pernah tampil dari balik tirai ketidak-maujud-an ke dunia
kasat-mata ini. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga
sama sekali tergantung pada kemurahan Allah. Sungguh aneh jika
seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan
sebuah buah pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama sekali.
Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah manusia tidak akan maujud
(ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab itu, ia
akan mencintai Allah kalau saja bukan karena kemasabodohan terhadap-
Nya. Orang-orang bodoh tidak bisa mencintai-Nya karena kecintaan
kepada-Nya memancar langsung dari pengetahuan tentang-Nya. Sejak
kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?

Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan kepada sesuatu yang
berjasa kepadanya, dan sebenarnya satu-satunya yang berjasa kepadanya
hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama
manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa pun
yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain,
apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau nama baik, Allahlah
yang mempekerjakan motif itu.

Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan


tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakan-Nya, yang jika
dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia
tidak lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh. Kecintaan ini
mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa
lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i, meskipun kita tidak pernah
mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Oleh karena
itu, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih. Allah
berfirman kepada Nabi Daud, “Abdi-Ku yang paling cinta kepada-Ku
adalah yang tidak mencari-Ku karena takut untuk dihukum atau berharap
mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada
Ketuhanan-Ku.” Di dalam Injil tertulis: “Siapakah yang lebih kafir
daripada orang yang menyembah-Ku karena neraka atau mengharapkan
surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku
untuk disembah?”

Sebab keempat dari kecintaan ini adalah “persamaan” antara manusia


dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Saw.,
“Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-
Nya sendiri.” Lebih jauh lagi Allah berfirman: “Hamba-Ku mendekat
kepada-Ku sehingga Aku menjadikannya sahabat-Ku. Dan ketika Aku
telah menjadikannya sahabat-Ku, Aku pun menjadi telinganya, matanya,
dan lidahnya.”

Allah juga berfirman kepada Musa a.s., “Aku pernah sakit, tetapi engkau
tidak menjenguk-Ku” Musa menjawab, “Ya Allah Engkau adalah Rabb
langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?” Allah berfirman, “Salah
seorang hamba-Ku sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah
mengunjungi-Ku.”

Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk


diperbincangkan karena hal ini berada di balik pemahaman orang-orang
awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam
membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan persekutuan dengan
Allah. Meski ada di antara para ahli ilmu kalam yang berpendapat bahwa
manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang bukan dari spesiesnya
sendiri; kenyataannya, betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka,
manusia bisa mencintai Allah karena “persamaan” yang diisyaratkan di
dalam sabda Nabi Saw., “Allah menciptakan manusia dalam kemiripan
dengan diri-Nya sendiri.”
Melihat Allah
Semua Muslim mengaku percaya bahwa melihat Allah adalah puncak
kebahagiaan manusia karena hal ini dinyataan dalam syariah. Akan tetapi,
bagi banyak orang hal ini hanyalah sekadar pengetahuan di bibir belaka
yang tidak membangkitkan perasaan di dalam hati. Hal ini bersifat alami
saja karena bagaimana bisa seseorang mendambakan sesuatu yang tidak ia
ketahui? Kami akan berusaha untuk menjelaskan bahwa melihat Allah
merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh manusia.

Pertama sekali, semua daya manusia memiliki fungsinya sendiri yang


ingin dipuasi. Masing-masing punya kebaikannya sendiri, mulia dari nafsu
badani yang paling rendah sampai bentuk tertinggi dari pemahaman
intelektual. Namun, suatu upaya mental dalam bentuk rendahnya sekalipun
masih memberikan kesenangan yang lebih besar daripada kepuasan nafsu
jasmaninya. Jadi, jika seseorang kebetulan terserap dalam suatu permainan
catur, ia tidak akan ingat makan meskipun berulang kali dipanggil. Makin
tinggi pengetahuan kita makin besarlah kegembiraan kita akan dia.
Misalnya, kita akan lebih merasa senang mengetahui rahasia-rahasia
seorang raja daripada rahasia-rahasia seorang wazir. Mengingat bahwa
Allah adalah objek pengetahuan yang paling tinggi maka pengetahuan
tenang-Nya pasti akan memberikan kesenangan yang lebih besar
ketimbang yang lain. Orang yang mengenal Allah, di dunia ini sekalipun,
seakan-akan merasa telah berada di surga “yang luasnya seluas langit dan
bumi”; surga yang buah-buahnya sedemikian nikmat, sehingga tak ada
seorang pun yang bisa mencegahnya untuk memetiknya; dan surga yang
tidak menjadi lebih sempit oleh banyaknya orang yang tinggal di
dalamnya.

Akan tetapi, nikmatnya pengetahuan masih jauh lebih kecil daripada


nikmatnya penglihatan, persis seperti kesenangan kita di dalam
melamunkan orang-orang yang kita cintai jauh lebih sedikit daripada
kesenangan yang diberikan langsung akan mereka. Keterpenjaraan kita di
dalam jasad yang terbuat dari lempung dan air ini, dan kesibukan kita
dengan ihwal indrawi, menciptakan suatu tirai yang menghalangi kita dari
melihat Allah, meskipun hal itu tidak mencegah kita dari memperoleh
beberapa pengetahuan tentang-Nya. Karena alasan inilah, Allah Swt.
berfirman kepada Musa di Bukit Sinai: “Engkau tidak akan bisa melihat-
Ku.”

Hal yang sebenarnya adalah sebagai berikut. Sebagaimana benih


manusia akan menjadi seorang manusia dan biji kurma yang ditanam
menjadi pohon kurma maka pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh di
bumi akan menjelma menjadi penampakan Tuhan di akhirat kelak, dan
orang yang tak pernah mempelajari pengetahuan itu tak akan pernah
mengalami penampakan itu. Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada
orang-orang yang tahu, melainkan kadar kejelasannya akan beragam sesuai
dengan pengetahuan mereka tuhan itu satu, tetapi Dia akan terlihat dalam
banyak cara yang berbeda, persis sebagaimana suatu objek tecerminkan
dalam berbagai cara oleh berbagai cermin; ada pula yang baur, ada yang
jelas dan yang lainnya kabur. Sebuah cermin mungkin telah sedemikian
rusak sehingga tampak buruk, dan seorang mungkin membawa sebuah hati
yang sedemikian gelap dan kotor ke akhirat, sehingga penglihatan yang
bagi orang lain merupakan sumber kebahagiaan dan kedamaian, baginya
malah menjadi sumber kesedihan. Seseorang yang di hatinya cinta
terhadap Tuhan telah menggungguli yang lain akan menghirup lebih
banyak kebahagiaan dari penglihatan ini dibanding orang yang di hatinya
cinta itu tak sedemikian unggul; persis seperti halnya dua manusia yang
sama memiliki pandangan mata yang tajam, ketika menatap sebentuk
wajah yang cantik maka orang yang telah mencintai pemilik wajah itu akan
lebih berbahagia dalam menatapnya daripada orang yang tidak
mencintainya. Agar bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan
saja tanpa disertai cinta belumlah cukup. Cinta akan Allah tak bisa
memenuhi hati manusia sebelum ia disucikan dari cinta akan dunia yang
hanya bisa didapatkan dengan zuhud. Ketika berada di dunia, keadaan
manusia berkenaan dengan melihat Allah adalah seperti seorang pencinta
yang akan melihat wajah kekasihnya di keremangan fajar, sementara
pakaiannya dipenuhi dengan lebah dan kalajengking yang terus-menerus
menyiksanya. Akan tetapi, jika matahari dengan segenap keindahannya
dan binatang berbisa berhenti menyiksanya maka kebahagiaan sang
pencipta akan menjadi seperti kecintaan dan terbebaskan dari bala yang
menyiksanya di dunia ini, melihat-Nya tanpa tirai. Abu Sulaiman berkata,
“Orang yang sibuk dengan dirinya sekarang, akan sibuk dengan dirinya
kelak; dan orang yang tersibukkan dengan Allah sekarang, akan
tersibukkan dengan diri-Nya kelak.”

Ambisi dan kesombongan adalah penyakit-penyakit yang membutakan


hati untuk mencintai Allah sekaligus menghalangi penampakan Allah.
Allah Swt. berfirman kepada Isa, “Wahai Isa, jika Kulihat di hati para
hamba-Ku kecintaan yang murni terhadap diri-Ku yang tidak terkotori
dengan nafsu-nafsu mementingkan diri-sendiri berkenaan dengan dunia
ini atau dunia yang akan datang maka Aku akan menjadi penjaga cinta
itu.” Juga ketika orang-orang meminta Isa a.s. menunjukkan amal yang
paling mulia, dia menjawab, “Mencintai Allah dan memasrahkan diri
kepada kehendak-Nya.”

Wali Rabi’ah pernah ditanya cintakah dia kepada Nabi Saw., “Kecintaan
kepada Sang Pencipta,” katanya, “telah mencegahku dari mencintai
makhluk.” Ibrahim ibn Ad-ham dalam doanya berkata, “Ya Allah, di
mataku surga itu sendiri masih lebih remeh daripada sebuah agas jika
dibandingkan dengan kecintaan kepada-Mu dan kebahagiaan mengingat
Engkau yang telah Kau anugerahkan kepadaku.”

Orang yang menduga bahwa mungkin saja untuk menikmati


kebahagiaan akhirat tanpa mencintai Allah, sudah terlalu jauh tersesat
karena inti kehidupan masa yang akan datang adalah untuk sampai kepada
Allah sebagaimana sampai pada suatu objek keinginan yang sudah lama
didambakan dan diraih melalui halangan-halangan yang tak terbilang
banyaknya. Kenikmatan akan Allah adalah kebahagiaan. Akan tetapi, jika
ia tidak memiliki kesenangan akan Allah sebelumnya, ia tak akan
bergembira di dalamnya kelak; dan jika kebahagiaan di dalam Allah
sebelumnya sangat kecil sekali maka kelak pun ia akan merasa kecil.
Ringkasnya, kebahagiaan kita di masa datang akan sama persis kadarnya
dengan kecintaan kita kepada Allah sekarang.

Na’udzubillah, jika di dalam hati seseorang telah tumbuh suatu


kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Allah maka keadaan
kehidupan akhirat akan sama sekali asing baginya. Apa-apa yang akan
membuat orang lain bahagia akan membuatnya bersedih.

Hal ini bisa diterangkan dengan anekdot berikut ini. Seorang manusia
pemakan bangkai pergi ke sebuah pasar yang menjual wangi-wangian,
ketika mencium aroma wangi dia jatuh pingsan. Orang-orang
mengerumuninya dan memercikkan air bunga mawar padanya, lalu
mendekatkan misyk (minyak wangi) ke hidungnya; tetapi dia malah
menjadi makin parah. Akhirnya seseorang datang; dia sendiri adalah juga
pemakan bangkai. Dia dekatkan sampah ke hidung orang itu maka orang
itu segera sadar, mendesah penuh kepuasan, “Wah, ini baru benar-benar
wangi-wangian!” Jadi, di akhirat nanti manusia tak akan lagi mendapati
kenikmatan-kenikmatan cabul dunia ini; kebahagiaan ruhaniah dunia itu
akan sama sekali baru baginya dan malah akan meningkatkan
kebobrokannya. Karena, akhirat adalah suatu dunia ruh dan merupakan
pengejawantahan dari keindahan Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia
yang telah mengejarnya dan tertarik padanya. Semua kezuhudan, ibadah,
dan pengkajian-pengkajian akan menjadikan rasa tertarik itu sebagai
tujuannya dan itu adalah cinta. Inilah arti dari ayat Al-Quran, Orang-orang
yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia. Dosa-dosa dan syahwat
langsung bertentangan dengan pencapaian rasa tertarik ini.

Oleh karena itu, Al-Quran berkata, “Dan orang yang mengotori jiwanya
akan merugi.” Orang-orang yang dianugerahi wawasan ruhaniah telah
benar-benar memahami kebenaran ini sebagai suatu kenyataan
pengalaman, bukan sekadar sebuah pepatah tradisional belaka. Pengalaman
mereka yang amat jelas terhadap kebenaran ini membawa mereka kepada
keyakinan bahwa orang yang membawa kebenaran itu adalah benar-benar
seorang Nabi, sebagaimana yakinnya seseorang yang telah mempelajari
pengobatan ketika ia mendengarkan omongan seorang dokter. Ini adalah
sejenis keyakinan yang tidak membutuhkan dukungan berupa mukjizat-
mukjizat luar biasa sejenisnya seperti yang dilakukan oleh para ahli sihir.
Tanda-Tanda Kecintaan kepada Allah
Banyak orang mengaku telah mencintai Allah, tetapi masing-masing
mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang
mereka miliki. Ujian pertama adalah dia mesti tidak membenci pikiran
tentang mati karena tak ada seorang “teman” pun yang ketakutan akan
bertemu dengan “teman”-nya. Nabi Saw. berkata, “Siapa yang ingin
melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya.”

Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas mungkin saja
bisa takut akan kematian sebelum ia menyelesaikan persiapannya untuk ke
akhirat, tetapi jika ia ikhlas, ia akan rajin dalam membuat persiapan-
persiapan itu.

Ujian keikhlasan yang kedua ialah seseorang mesti rela mengorbankan


kehendaknya demi kehendak Allah; mesti berpegang erat-erat kepada apa
yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri
dari tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.
Kenyataan bahwa seseorang telah berbuat dosa bukanlah bukti bahwa dia
tidak mencintai Allah sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan
bahwa ia tidak mencintai-Nya dengan sepenuh hati. Wali Fudhail berkata
kepada seseorang, “Jika seseorang bertanya kepadamu, cintakah engkau
kepada Allah maka diamlah; karena jika engkau berkata, ‘Saya tidak
mencintai-Nya,’ maka engkau menjadi seorang kafir; dan jika engkau
berkata, ‘Ya, saya mencintai Allah,’ padahal perbuatan-perbuatanmu
bertentangan dengan itu.”

Ujian ketiga adalah bahwa zikrullah mesti secara otomatis terus tetap
segar di dalam hati manusia. Karena, jika seseorang memang mencintai
maka ia akan terus mengingat-ingat; dan jika cintanya itu sempurna maka
tak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin
terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah tidak menempati tempat
utama di hati seseorang, kecintaan akan Allahlah yang berada tempat itu
karena cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang
lain.
Ujian keempat adalah bahwa seeorang akan mencintai Al-Quran yang
merupakan firman Allah, dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya
memang benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia karena
mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Bahkan cintanya akan
melingkupi semua makhluk karena orang yang mencintai seseorang akan
mencintai karya-karya cipta dan tulisan tangannya.

Ujian kelima adalah bahwa seseorang akan bersikap tamak terhadap


uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus mendambakan datangnya malam
agar bisa berhubungan dengan temannya tanpa halangan. Jika ia lebih
menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada
uzlah seperti itu maka cintanya itu tidak sempurna.

Allah Swt. berkata kepada Daud a.s., “Janganlah terlalu dekat dengan
manusia karena ada dua jenis orang yang menghalangi kehadiran-Ku:
orang-orang yang bernafsu untuk mencari imbalan dan kemudian
semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang
yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingat-Ku.
Tanda-tanda ketidakridhaan-Ku adalah bahwa Aku meninggalkannya
sendiri.”

Sebenarnya, jika kecintaan kepada Allah benar-benar menguasai hati


manusia maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah
seorang Bani Israil menyukai kebiasaan untuk sembahyang di malam hari.
Akan tetapi, ketika tahu bahwa seekor burung biasa bernyanyi dengan
sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun bersembahyang di bawah
pohon itu agar dapat menikmati kesenangan mendengarkan burung itu,
Allah memerintahkan Daud untuk pergi dan berkata kepadanya, “Engkau
telah mencampurkan kecintaan kepada seekor burung yang merdu dengan
kecintaan kepada-Ku; maka tingkatanmu di kalangan para wali pun
terendahkan.” Di pihak lain beberapa orang telah mencintai Allah dengan
kecintaan sedemikian rupa, sehingga ketika mereka sedang berkhidmat
dalam ibadah, rumah-rumah mereka telah terbakar dan mereka tidak
mengetahuinya.

Ujian keenam adalah bahwa ibadah pun menjadi mudah baginya.


Seorang wali berkata, “Selama tiga puluh tahun pertama saya menjalankan
ibadah malamku dengan susah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal
itu telah menjadi suatu kesenangan bagiku.” Jika kecintaan kepada Allah
telah sempurna maka tak ada kebahagiaan yang bisa memandingi
kebahagiaan beribadah.

Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan mencintai-Nya, dan


membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak taat sebagaimana
kata Al-Quran, “Mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan berkasih
sayang dengan sesamanya.”

Nabi Saw. pernah bertanya kepda Allah, “Ya Allah, siapakah pencinta-
pencinta-Mu?” Jawaban-Nya pun datang, “Orang-orang yang berpegang
erat-erat kepada-Ku sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang
berlindung di dalam pengingatan kepada-Ku sebagaimana seekor burung
mencari naungan pada sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat
perbuatan dosa sebagaimana seekor macan marah, yang tidak takut
kepada apa pun.”[]

1 Dikutip dari Al-Ghazali, Meramu Kebahagiaan, Penerbit Hikmah,


Jakarta, 2002. h. 107-124
18
Mengembangkan Ridha (I)

Suatu hari sang Raja, pergi berburu ditemani pembantunya. Tanpa diduga,
sang Raja mengalami kecelakaan, sehingga salah satu jarinya terpotong. Raja
merasa sedih dan kesal. Akan tetapi, dengan polos pembantunya meminta
sang Raja bersyukur atas kejadian yang menimpanya, sambil meyakinkan
bahwa segala sesuatu yang menimpa kita pasti ada hikmahnya. Mendengar
itu, Raja marah dan memerintahkan pengikutnya agar memenjarakan sang
pembantu.

Pada kali yang lain, sang Raja pergi berburu lagi, kali ini sendirian. Di
tengah jalan, Raja disergap oleh segerombolan orang dari suku primitif yang
perkasa. Mereka menangkap Raja dan bermaksud mengorbankannya untuk
para dewa. Namun, mereka membatalkan rencananya, dan melepas sang
Raja karena melihat tangannya yang cacat. Persembahan bagi dewa
mestilah manusia yang sempurna tubuhnya.

Sepulangnya dari kejadian itu, Raja ingat kebenaran ucapan


pembantunya, dan memerintahkan agar dia dilepas. Ketika bertemu
pembantunya, Raja menyampaikan terima kasih sambil berkata, “Masih ada
ganjalan di hati aku sehubungan dengan ucapanmu. Benar ada hikmah
dalam kecelakaan yang menyebabkan salah satu jariku terputus. Akan
tetapi, apa hikmahnya engkau dipenjarakan?”

Sang pembantu menjawab, “Kalau Baginda tak memenjarakan hamba,


niscaya hamba sudah dijadikan korban bagi para dewa.”

Sikap menerima segala sesuatu sebagai kebaikan yang penuh hikmah


inilah yang biasa disebut sebagai “ridha”.
***

D alam berbagai kepustakaan Sufi, ridha tak jarang disebut sebagai


maqam tertinggi dalam perjalanan spiritual. Hal itu disebabkan ridha
adalah manifestasi langsung dari keimanan. Sebuah dialog Rasulullah Saw.
dan para sahabatnya menegaskan hal ini.

“Apakah tanda keimananmu?” suatu kali Rasulullah bertanya kepada para


sahabatnya. Mereka menjawab, “Kami bersyukur menghadapi kelapangan,
bersabar menghadapi bencana, dan ridha dengan qadha’ (ketentuan) Allah.”
Kemudian Nabi Saw. bersabda lagi, “(Kalian adalah) benar-benar orang-
orang mukmin, demi Tuhannya Ka’bah.”

Betapa tidak? Melewati syukur dan sabar, ridha tak lagi membagi-bagi apa
yang datang kepada kita sebagai musibah (bencana) atau karunia (anugerah).

Firman Allah Swt., ... terhadap apa-apa yang Tuhan berikan kepadamu,
bersifat ridhalah. (QS Al-Dhuha [93]: 5) Bagi orang yang telah memiliki
karakter ridha, apa saja yang datang kepada kita (dari Allah) adalah karunia.
Semua yang datang dari Allah sesungguhnya adalah baik. Perbedaan di
antara keduanya dipercayai hanya pada kemasannya. Yang tampak sebagai
bencana sesungguhnya juga karunia, hanya bungkusannya saja yang
menjadikan ia tampak sebagai bencana. Dengan kata lain, ia hanya persoalan
persepsi.

Seseorang yang memiliki sifat ridha percaya bahwa di balik segala (yang
tampak sebagai) musibah sesungguhnya terdapat hikmah. Bahwa musibah
tersebut hanyalah perantara bagi sampainya karunia kepada kita. Terkadang
berfungsi sebagai pembelok jalan, justru menuju apa yang kita cari.

Dalam sebuah ayat Al-Quran, Allah mengajar kita untuk percaya bahwa:

… Tak ada yang menimpa kami, kecuali itu telah ditetapkan-Nya .... (QS
Al-Taubah [9]: 51)

Sementara itu, dalam ayat yang lain, Allah Swt. berfirman:


Apa-apa saja yang berupa kebaikan, datangnya dari Rabb-mu.
Sedangkan apa-apa yang berupa keburukan, datang dari dirimu sendiri
.... (QS Al-Nisâ [4]: 79)

Dengan menyejajarkan kedua ayat ini, dan berdasar keyakinan bahwa ayat-
ayat Al-Quran tak mungkin bertentangan satu sama lain, kita dapat
menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang sampai kepada kita adalah
kebaikan. Yakni, segala sesuatu adalah datang dari Allah, dan segala sesuatu
yang datang dari Allah adalah baik. Persepsi kitalah yang menjadikan
(sebagian dari)-nya tampak buruk (yakni, sebagai bencana).

Nah, seseorang yang memiliki sikap-mental ridha akan selalu dapat


melihat melampaui kemasan, ke dalam hakikat segala sesuatu yang datang
kepada kita, dan memercayainya—bahkan menghayatinya—sebagai karunia
(kebaikan).

Dalam kaitan ini, menjadi amat relevan hadis qudsi, “Aku adalah
sebagaimana persangkaan (baik) hamba-Ku kepadaku.”

Jika kita percaya bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah itu baik
maka ia akan jadi benar-benar menjadi kebaikan bagi kita karena
sesungguhnya itu memang kebaikan. Persangkaan baik kepada Tuhan adalah
sisi lain dari sikap ridha.

Pada puncaknya, orang yang memiliki sikap-mental ridha seperti ini akan
selalu merasa rela—memang dari kata ridhalah istilah ini berasal. Yakni,
menerima apa saja yang datang kepadanya. Dengan demikian, hatinya selalu
merasa tenteram dan puas dengan apa saja yang terjadi pada dirinya. Tak lain,
inilah perasaan bahagia. Sebagaimana disabdakan Nabi Saw.,
“Sesungguhnya Allah Swt. dengan keadilan-Nya dan ilmu-Nya menjadikan
kesejahteraan dan kegembiran dalam ridha dan yakin, serta menjadikan
kesusahan dan kesedihan dalam keraguan dan kekesalan.”

Atau seperti kata seorang Sufi, Abdul Wahid ibn Zaid, “Ridha adalah pintu
Allah yang terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah.”[]
19
Mengembangkan Ridha (II)

Rubinstein, komposer dan pianis terkemuka abad 20, setiap hari selalu
tampak ceria, optimis, dan menebarkan aura kebahagiaan. Para sahabatnya
penasaran, apa rahasianya?

Menjawab desakan para sahabatnya yang ingin tahu, di ulang tahunnya


yang ke-80 dia pun mengungkapkan; setiap kali membuka matanya di pagi
hari ia merasa seperti bayi yang baru terlahir. Sehingga, ia senantiasa
merasa hidupnya penuh dengan hal-hal yang bisa dipelajari, yang dapat
dieksplorasi. Maka bagi Rubinstein, hidup selalu menjadi arena yang
menggairahkan dan menantang.

Ketika usia Rubinstein melampaui 80 tahun, sebagaimana manusia


lazimnya, ia mengalami proses penurunan penglihatan. Hari demi hari,
pandangannya kian kabur. Ia semakin kesulitan memainkan piano.
Bagaimana pun matanya tidak lagi dapat mengontrol gerakan tangannya
menekan tuts-tuts piano. Orang kemudian menyimpulkan, sebentar lagi
Rubinstein akan habis riwayatnya sebagai pianis. Kemahirannya akan
berakhir. Begitu juga, kebahagiaan yang selalu terlihat pada dirinya,
diprediksi lambat laun akan sirna. Bukankah main piano adalah hidupnya? Di
mata banyak orang, ini saatnya Rubenstein akan kehilangan keceriaan dan
kebahagiaannya. Namun, apa yang terjadi?

Rubinstein tetap Rubenstein. Ia memiliki keterampilan tingkat tinggi untuk


bahagia. Cara pandangnya tidak dimiliki oleh banyak orang. Justru di saat
penglihatannya kian kabur dan bahkan buta total, ia merasa hidupnya lebih
bergairah. Ia merasa mendapatkan tantangan baru, anugerah baru dari
Tuhan, setelah ia mencapai apa saja yang diinginkan dalam hidup. Apakah
itu? Belajar main piano tanpa melihat! Berbeda dengan sangkaan orang,
Rubinstein justru semakin bahagia, bahkan lebih bergairah dari sebelumnya.
Rubinstein adalah di antara sedikit orang yang mampu menjadikan hidupnya
mengalirkan kebahagiaan, bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun.

***

A llah memang menciptakan alam semesta ini bersumber pada sifat kasih
sayang-Nya. Oleh karena itu, alam ini dirancang sedemikian rupa
sebagai ciptaan terbaik-Nya. Dengan kata lain, sifat aslinya adalah
memberikan kebaikan setinggi-tingginya dan kebahagiaan bagi penghuninya.
Sebagai konsekuensinya, Dia membentangkan kemungkinan jalan—termasuk
jalan keluar dari kesulitan—sebanyak-banyaknya, bahkan tak terbatas. Alam
ini adalah himpunan jalan-jalan dan kesempatan ke arah kebaikan tertinggi,
kesempurnaan, dan kebahagiaan manusia.

Maka, jika suatu saat kita sedang menjalani suatu keadaan, melalui salah
satu jalannya, kita perlu ingat bahwa jalan yang sedang kita lalui itu adalah
hanya satu di antara banyak jalan-Nya yang tak terbatas. Kalau dengan
melalui jalan itu kita dapat mencapai kebaikan yang kita kejar itu,
alhamdulillah. Kalau tidak, di sekeliling jalan kita itu tersedia jalan-jalan lain
untuk menuju kebaikan dan kebahagiaan yang kita cari. Jadi, jika kita tidak
berhasil dengan satu jalan, kita hanya perlu pindah lintasan. Inilah makna
pernyataan “semua ada hikmahnya.” Karena, bukan saja kebaikan yang kita
kejar masih dapat kita rengkuh lewat tak terbatas jalan alternatif, “kegagalan”
kita justru membuat kita makin berpengalaman, makin pintar, dan makin
matang. Sehingga kemungkinan besar, kita justru akan menemukan jalan
kebahagiaan yang lebih baik ketimbang jika upaya kita sebelumnya berhasil
(tidak gagal). Ini juga sebabnya keadaan seperti ini terkadang disebut
blessing in disguise. Atau, terkadang kita diajar, every cloud has its silver
lining. Padahal sebenarnya, bahkan tak ada kebaikan yang in disguise,
bahkan tak ada awan yang hitam, yang ada hanya langit yang cerah, tetapi
terselimuti air. Kebaikan dan berkah–mesti saya tulis, kebaikan-kebaikan,
dalam jumlah tak terbatas—yang nyata, hanya saja kita belum menyadarinya
sampai setelah kita mentok dengan jalan yang sedang kita tempuh.

Ini pula makna dari ayat-Nya:

Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Dan sesungguhnya


bersama kesulitan itu (juga) ada kemudahan. (QS Al-Insyirâh [94]: 5-6)

Para ahli tafsir, berdasar kenyataan bahwa Tuhan perlu mengulang dua kali
ayat yang sama seraya menggunakan kata sandang definitif (definite article)
“al” (“the”) untuk “kesulitan” (‘usr) di kedua ayat itu dan tak
menggunakannya untuk kata “kemudahan” (yusr), menunjukkan bahwa ayat
tersebut harus dipahami sebagai: “Bersama kesulitan yang sama ada lebih
banyak kemudahan.”

Inilah sebenarnya makna positif cobaan, ujian, dan musibah. Dia adalah
bagian kasih sayang-Nya, atau cara-Nya dalam membukakan jalan baru
kepada kita. Tinggal bagaimana kita selalu bersikap positif dalam melihat
keadaan apa pun. Tidak frustrasi, tidak juga putus asa, melainkan bersabar
dan terus mencoba, mencari jalan-jalan lain menuju kebahagiaan kita, yang
telah disediakan-Nya untuk kita.

Selanjutnya ada berkah. Kata “berkah” berasal dari kata bahasa Arab
barakah. Kata ini terkait erat dengan sifat dasar Tuhan sebagai yang pengasih
dan penyayang. Bahwa, ketika Tuhan memberi kebaikan maka dia
menawarkan kebaikan yang tidak terbatas. Sedemikian sehingga barakah
biasa diterjemahkan sebagai ziyadah al-khayr (tambahan atau keberlimpahan
kebaikan). Bukan saja dalam setiap kebaikan ada kelebihan-kelebihan dari
yang tampak, tetapi juga ia memiliki potensi untuk bersama kita dalam waktu
yang lama, berkelanjutan.

Memang, Tuhan telah merancang alam semesta ini dengan memenuhinya


dengan kebaikan yang tidak terbatas, dari segi jumlah, jenis, dan waktunya.
Di alam semesta ini, kebaikan ada secara tidak terbatas, memenuhi apa saja
yang ada di dalamnya, dan berkelanjutan sejak awal penciptaan hingga
akhirnya. Jika ada yang membatasinya atau memutusnya, itu adalah manusia
itu sendiri. Manusialah yang dengan berbagi sikap dan cara-pandang
negatifnya–tidak persisten, frustasi, bersangka-buruk pada alam ciptaan,
kufur (ingkar) pada kasih sayang-Nya—yang menyebabkan hilangnya berkah
ini.

Maka, bukalah hati kita untuk kebaikan Tuhan yang tak terbatas ini.
Dahulukan berprasangka baik agar kebaikan selalu tampak dalam apa saja
yang datang kepada kita. Bersabar dan bersyukurlah maka kebaikan akan
terus menyertai kita: datang dalam banyak muka, dan ada terus dan tinggal di
sini bersama kita.

Jika sudah begini cara pandang kita maka tak ada lagi yang tidak baik di
alam semesta ini. Termasuk musibah dan bencana. Dia harus ada demi
kebaikan-kebaikan itu. Tanpa keburukan–persisnya, apa yang kita anggap
buruk—kebaikan tak akan nyata. Tanpa kesulitan–atau yang kita anggap
sebagai kesulitan—kemudahan akan tersamarkan. Tanpa kesedihan,
bagaimana kegembiraan dan kebahagiaan akan lahir? Alam ini tak akan
tercipta jika tak ada apa-apa yang kita sebut sebagai keburukan itu. Maka, tak
bisa lain, “keburukan-keburukan” itu menjadi latar belakang yang di atasnya
kebaikan-kebaikan itu terproyeksikan, menjadi bagian tak terpisahkan dari
kebaikan, dan karena itu juga merupakan pewujudan kasih sayang-Nya.

Inilah alasan Nabi Saw. menyatakan “Jika Tuhan mencintai hamba-Nya


maka Dia akan menurunkan cobaan baginya.” Yakni, diuji kemanusiaannya
sehubungan dengan kemuliannya sebagai makhluk yang diciptakan atas citra-
Nya. Baru setelah diuji, dan lulus maka sesungguhnya dia siap untuk
mencapai segala kebaikan dan berkah-Nya. Kalau belum, atau belum lulus,
jangan-jangan dia selama ini barulah sampai pada tingkat manusia-hewan
pengumbar nafsunya belaka. Dia, kemungkinan besar, gembira dalam
hidupnya minus kepedulian terhadap manusia lain, yang mungkin menderita.
Empatinya belum lagi terasah, jiwanya belum matang, hidupnya masih
dangkal. Di atas semua itu, dia belum benar-benar merasakan kebahagiaan
karena belum lagi pernah merasakan keadaan-keadaan yang sebaliknya,
tempat kebahagiaan-kebahagiaan dapat terproyeksikan.

Mari kita berusaha “menikmati” cobaan, belajar mematangkan diri dengan-


Nya. Toh, Dia juga yang mengaturnya, Dia yang sifat dasar-Nya adalah cinta
dan kasih sayang, yang sudah berjanji tak akan membebani kita dengan ujian
yang tak sanggup kita tanggung.[]

Lampiran 4:

Bagian-Bagian Kebahagiaan1
—Ibn Miskawaih

K ebahagiaan dibagi menjadi lima. Pertama, kebahagiaan yang terdapat


pada kondisi sehat badan dan ketajaman indriawi, berkat temperamen
yang baik, yaitu jika pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan, dan
perabaan baik.

Kedua, kebahagiaan yang terdapat pada pemilikan keberuntungan,


sahabat dan yang sejenis dengan itu hingga orang dapat membelanjakan
hartanya di mana pun bila mau, dan dengan harta itu pula ia dapat
melakukan kebaikan-kebaikan, menolong orang-orang baik khususnya dan
orang-orang yang patut pada umumnya. Dengan harta itu pula, ia dapat
melakukan kegiatan yang menambah kemuliaannya, serta karenanya ia
memperoleh pujian dan sanjungan.

Ketiga, kebahagiaan karena memiliki nama baik dan termasyhur di


kalangan orang-orang yang memiliki keutamaan dan lantaran begitu dia
dipuji-puji dan disanjung-sanjung oleh mereka karena sikapnya yang
senantiasa berbuat kebajikan.
Keempat, sukses dalam segala hal. Itu bisa terjadi sekiranya dia mampu
merealisasikan apa yang dicita-citakannya dengan sempurna. Sementara
kebahagiaan yang kelima, hanya bisa diperoleh kalau ia menjadi orang
yang cermat pendapatnya, benar pola berpikirnya, lurus keyakinannya.
Baik keyakinan agama maupun di luar perkara agamanya, jarang salah dan
terjebak kekeliruan, dan mampu memberikan petunjuk yang tepat.
Menurut Aristoteles, jika seluruh bagian kebahagiaan ini ada pada diri
seseorang maka ia orang yang bahagia dan sempurna. Namun, jika dia
cuma mencapai sebagian maka kebahagiaan yang dimilikinya pun sesuai
dengan apa yang baru dicapainya itu.

Adapun filsuf-filsuf sebelum tokoh ini, seperti Phytagoras, Socrates,2


dan Plato, berpendapat bahwa kebajikan dan kebahagiaan hanya dimiliki
jiwa saja. Oleh karena itu, pada saat mengklasifikasikan kebahagiaan,
mereka hanya membatasinya pada daya-daya jiwa saja, seperti telah kami
sebutkan pada permulaan buku ini, yaitu kearifan, keberanian,
kesederhanaan, dan keadilan. Mereka juga berpendapat bahwa kebajikan-
kebajikan tersebut cukup untuk kebahagiaan, dan orang tidak lagi
memerlukan kebajikan lainnya, entah yang berkaitan dengan tubuh atau
yang di luar tubuh; bahwa kalau manusia memperoleh keutamaan-
keutamaan semacam itu maka kebahagiaannya tidak akan berkurang,
meski dia jatuh sakit, cacat tubuh atau diserang berbagai macam penyakit
jasmani. Kebahagiaan akan terganggu kalau lemah pikiran atau yang
sejenis dengan itu. Kalau jatuh miskin, tidak tenar, tidak berwibawa atau
kekurangan lain di luar kita maka yang demikian tidak merusak
kebahagiaan.

Kaum Stoik dan kelompok naturalis berkeyakinan bahwa tubuh


merupakan bagian dari diri manusia. Mereka tidak menganggap tubuh
sebagai alat, seperti yang telah kami terangkan sebelumnya. Oleh karena
itu, mereka harus menganggap kebahagiaan jiwa itu tidak sempurna kalau
belum ada kebahagiaan tubuh dan kebahagiaan dari apa yang juga di luar
tubuh, seperti segala sesuatu yang dapat diperoleh melalui nasib baik dan
keberuntungan.

Para pengkaji andal, yaitu para filsuf, mengesampingkan nasib baik dan
tiap sesuatu yang diperoleh melalui nasib baik. Mereka tidak memasukkan
hal-hal tersebut dalam kategori kebahagiaan, lantaran kebahagiaan
dipandang sebagai sesuatu yang tetap, tidak sirna, dan tidak berubah-ubah.
Kebahagiaan adalah sesuatu yang paling mulia, paling terhormat, dan
paling tinggi. Mereka berpendapat bahwa hal terendah—yaitu yang
berubah, tidak tetap, tidak diwujudkan melalui pemikiran serta bukan hasil
dari nalar atau kebajikan—tak dapat mengambil bagian dalam
kebahagiaan.

Dapatkah Kebahagiaan Diwujudkan di Dunia?


Demi inilah, para pemikir klasik berselisih tentang kebahagiaan puncak.
Sebagian berasumsi bahwa kebahagiaan puncak tidak dapat diperoleh
manusia, kecuali kalau dia sudah berpisah dengan tubuh dan seluruh fisik.
Golongan inilah, yang sebelumnya kami kemukakan, berpendapat bahwa
kebahagiaan puncak hanya ada pada jiwa. Mereka membatasi atribut
manusia pada substansi belaka, tanpa mengikutsertakan tubuh. Oleh karena
itu, mereka menyimpulkan kalau jiwa masih menyatu dengan tubuh yang
keruh, masih menyatu dengan kotornya badan dan kepentingannya, serta
masih menyatu dengan kebutuhan jasadi, berarti jiwa belum benar-benar
bahagia. Mereka melihat bahwa jiwa belum mencapai kesempurnaan yang
berhubungan dengan eksistensi hal-hal pikiran sebab hal-hal ini tak dapat
diketahuinya karena gelapnya materi. Atas dasar itu mereka berasumsi,
sekiranya jiwa telah bercerai dari kekeruhan ini, berarti dia berpisah dari
kebodohan, menjadi jernih, suci bersih, dan akan menerima pancaran
cahaya Ilahi, yaitu akal yang senpurna. Bertolak dari pandangan mereka ini
maka manusa tidak akan benar-benar berbahagia, kecuali di akhirat nanti.

Golongan lain berkata bahwa sangat memalukan kalau berkata bahwa


selama manusia masih hidup, kemudian dia mampu melakukan perbuatan
baik, memercayai prinsip yang benar, berupaya keras memperoleh seluruh
keutamaan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk anak keturunannya,
lalu dia menjalankan perannya sebagai khalifah Tuhan Swt. dengan baik
dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang diridhai, tetapi kemudian
masih saja dia dianggap menderita dan serba kurang, hingga akhirnya
cuma karena dia mati, dan persoalan-persoalan di atas sudah tidak ada lagi
sangkut pautnya maka dia pun lantas dianggap bahagia dan sejahtera
secara sempurna ….

Aristoteles sependapat dengan pandangan ini, itu terbukti dari


pembahasannya tentang kebahagiaan manusia. Menurutnya, manusia
terdiri dari tubuh dan jiwa. Oleh sebab itu, wajar kalau dia mendefinisikan
manusia sebagai makhluk berlogika yang bisa mati atau makhluk berlogika
yang berjalan di atas dua kaki, serta definisi-definisi lainnya. Golongan ini
dipimpin oleh Aristoteles. Mereka berpandangan bahwa kebahagiaan dan
kesejahteraan dapat diperoleh manusia di dunia, kalau saja manusia
berupaya keras mendapatkannya, hingga dia sampai pada puncak
kebahagiaan.

Filsuf ini melihat hal ini dan melihat pula bahwa kebahagiaan menusia
berbeda satu dengan yang lainnya, dan kebahagiaan merupakan problem
sangat berat bagi mereka. Filsuf ini menerangkan dan membahas
kebahagiaan secara mendalam. Karena orang miskin memandang bahwa
kebahagiaan terbesar itu terletak pada harta dan kemudahan hidup, orang
sakit memandang kebahagiaan terletak pada kondisi sehat dan selamat,
orang yang merasa dirinya hina, dia memandang kebahagiaan terletak pada
kemuliaan dan kekuasaan, orang durjana memandang kebahagiaan berada
pada pemuasan hawa nafsu yang bermacam-macam, orang yang jatuh cinta
memandang kebahagiaan ada pada dapat ditaklukkannya hati orang yang
dicintainya, dan orang yang mulia, terhormat, melihat kebahagiaan terletak
pada saat ia berbuat kebajikan pada orang-orang yang berhak
mendapatkannya. Sementara filsuf melihat bahwa seluruh kebahagiaan tadi
merupakan kebahagiaan yang berbeda-beda, bila ditata menurut kebutuhan
akal, yaitu kebahagiaan itu dicari bila diperlukan, pada waktu yang tepat,
dan dengan cara yang benar. Dia juga percaya bahwa apa yang diinginkan
demi sesuatu yang lain maka kurang layak dibanding sesuatu yang
bernama kebahagiaan.

Karena masing-masing dari dua golongan ini sama-sama mengajukan


pandangan tentang kebahagiaan, di sini pun kami harus mengemukakan
pendapat yang kami anggap benar, sekaligus dapat merangkum dua
pendapat tadi.

Pandangan Pengarang tentang Kebahagiaan


Manusia memiliki kebajikan ruhani, yang dengannya ia dapat menyamai
ruh-ruh yang baik, yang sering disebut malaikat. Ia pun mempunyai
kebajikan jasmani, yang dengannya ia dapat menyamai binatang. Karena,
manusia tersusun dari dua kebajikan ini. Berbekal fisik, yang dengannya
dia dapat menyamai binatang, manusia tinggal di alam rendah ini dalam
jangka waktu yang relatif singkat, untuk memakmurkan sekaligus
mengatur dan menertibkan alam persada ini. Apabila ia telah berhasil
mencapai kesempurnaan dalam mengemban derajat kemanusiaannya itu ia
pun akan berpindah menuju alam yang tinggi, untuk seterusnya tinggal di
sana penuh keabadian dan kesentosaan bersama para malaikat atau ruh-ruh
yang baik. Namun sebelumnya, harus kita pahami dulu apa yang dimaksud
alam rendah dan alam tinggi.

Sudah kami kemukakan bahwa yang kami maksudkan alam tinggi


bukanlah tempat yang tinggi menurut indra, demikian pula, alam rendah
bukanlah tempat yang rendah menurut indra. Akan tetapi, tiap-tiap yang
dapat dijangkau oleh indra adalah alam rendah, meskipun itu terletak pada
tempat yang tinggi. Dan apa saja yang menjadi objek pikiran adalah alam
tinggi, walaupun itu terletak pada tempat yang rendah. Ada satu hal lagi
yang harus pula kita ketahui bersama. Yakni bahwa bila berada bersama
ruh-ruh yang baik, yaitu yang terlepas dari jasad, tidak diperlukan lagi
kebahagiaan jasadi, tetapi yang diperlukan adalah kebahagiaan jiwa saja,
yaitu objek-objek pikiran yang sifatnya abadi yang berupa kearifan.
Dengan begitu selama manusia itu masih manusia, kebahagiaannya tidak
akan bisa lengkap, kecuali kalau dia memperoleh kedua kondisi ini
sekaligus. Sedangkan dua kondisi ini tidak dapat diperoleh, kecuali melalui
sarana yang membawa ke kearifan abadi. Kalau begitu, orang yang
berbahagia pasti berada pada salah satu dari dua tingkatan: dia berada pada
tingkatan hal-hal jasmani menyatu dengan keadaan-keadaan rendah
mereka dan berbahagia di dalamnya.

Namun, bersamaan dengan itu pula, dia mencari hal-hal mulia, berupaya
mendapatkan hal-hal mulia, menyukainya, dan merasa puas dengannya;
atau dia berada pada tingkatan hal-hal ruhani, lekat dengan hal-hal tinggi,
dan berbahagia di dalamnya. Dia mengamati dan menelaah hal-hal rendah,
mengambil pelajaran darinya, merenungkan tanda-tanda kekuasaan Ilahi
dan bukti-bukti kearifan sempurna, mengikuti contoh-contohnya,
mengaturnya, melimpahkan bermacam-macam kebaikan padanya, dan
memandunya memperoleh kebaikan demi kebaikan sebatas
kesanggupannya.

Siapa pun orangnya yang belum mencapai salah satu di antara dua
tingkatan ini, berarti dia berada pada derajat binatang, bahkan lebih sesat
lagi karena tingkatan binatang itu tidak terbuka bagi kebaikan-kebaikan
ini, dan tidak pula diberi kemampuan untuk mendapatkan tingkatan tinggi
ini, tetapi, dengan dayanya, hanya dapat bergerak ke arah kesempurnaan-
kesempurnaan yang sesuai dengan tingkatan itu. Lain halnya dengan
manusia. Dia dapat diseru untuk memperoleh tingkatan-tingkatan tinggi
ini, dan diberi bekal untuk itu.

Sayangnya, dia dipermainkan oleh sebab-sebab tertentu, sehingga gagal


memperoleh tingkatan tinggi itu, atau dia tidak berupaya mendapatkannya.
Dia lebih suka hal-hal sebaliknya dan menggunakan daya-daya mulianya
untuk mendapatkan hal-hal hina. Binatang, sebaliknya, mencapai
kesempurnaannya sendiri. Kalau binatang tidak pernah melakukan
kebaikan-kebaikan manusiawi, hingga tidak memiliki kesempatan untuk
bersama ruh-ruh yang baik dan masuk surga yang dijanjikan bagi orang-
orang yang takwa maka dapat dimaafkan, tetapi manusia tak dapat
dimaafkan. Yang pertama persis orang buta yang menyimpang dari
jalannya dan tercebur ke dalam sumur. Di sini kita harus kasihan padanya,
dan dia tidak salah. Sedang yang kedua, sama dengan orang melek yang
berjalan tetapi juga tercebur ke dalam sumur. Dia tak perlu dikasihani, dan
juga tercela.

Dengan demikian, jelaslah kini bahwa orang yang bahagia mesti berada
pada salah satu dari dua tingkatan yang telah kami sebutkan. Juga jelas
bahwa satu orang yang bahagia tidak sempurna dan tidak mencukupi bagi
yang lain. Sedang yang tidak sempurna tidak lepas dari penderitaan,
lantaran telah tertipu oleh bujukan-bujukan hawa nafsu yang
menghalanginya dari tujuannya dan membuat dia sibuk menggeluti
perkara-perkara jasmani. Orang yang berada pada tingkatan ini belum
benar-benar sempurna dan belum benar-benar bahagia. Hanya orang yang
telah mencapai tingkatan lainnya sajalah yang telah bahagia sepenuhnya.
Dia memiliki banyak kearifan. Dan dengan berbekal spiritualitasnya dia
berada bersama makhluk-makhluk tinggi yang dari merekalah dia banyak
mendapat kearifan; dia mendapat pancaran sinar Ilahi, dan berupaya
memperbesar kebajikannya sebatas perhatiannya dan sebatas kurangnya
kendala yag menghambat dia. Oleh sebab itu, selamanya dia akan terlepas
dari kesengsaraan yang membelenggu orang yang mencapai tingkatan
pertama. Selamanya ia akan hidup bahagia dalam dirinya, dalam
kondisinya, dan dalam pancaran sinar yang pertama yang selalu
diterimanya. Dia akan merasa bahagia dengan hal-hal itu saja dan gembira
dengan keindahan-keindahan saja. Hatinya hanya senang bila melihat
kearifan di antara orang-orang arif. Jiwanya tidak akan damai, kecuali
kalau dia bersama orang yang sama atau mendekati dirinya dan ingin
menuntut ilmu darinya. Kalau seseorang berhasil mencapai tingkatan ini
maka telah sampailah ia pada puncak kebahagiaan. Dialah orang yang
tidak keberatan berpisah dengan yang dicintainya di dunia. Dialah orang
yang tidak bersedih hati karena tidak mendapatkan kesenangan duniawi.
Dialah orang yang memandang tubuh, harta, dan semua kenikmatan
duniawi, yang telah kami kemukakan sebagai kebahagiaan jasmani
maupun di luar jasmani, tak lebih dari sekadar beban, kecuali bila
dibutuhkan untuk menjaga badannya, di mana dia tak bisa lepas dari
badan, kecuali kalau Penciptanya menghendaki.

Dialah orang yang rindu untuk bersama masyarakat yang sama


dengannya, untuk berkumpul dengan ruh-ruh yang baik dan para malaikat
terpilih yang sama dengan dirinya. Dialah orang yang tak akan melakukan
sesuatu kecuali bila dikehendaki Allah. Dia memilih sesuatu yang akan
mendekatkan dia dengan-Nya. Ia tak akan membangkang pada-Nya
dengan mengikuti hawa nafsunya yang hina-dina, dan tak akan terjerat tipu
daya hawa nafsu, dan tidak pula akan memperhatikan sesuatu yang
menghalanginya menuju kebahagiaannya. Dia tak akan bersedih hati atas
hilangnya sesuatu yang dia cintai, tidak akan berdukalara atas
kegagalannya memenuhi keinginannya.

Akan tetapi, tingkatan terakhir ini adalah tingkatan di mana orang


berbeda-beda sekali. Artinya, orang-orang yang mencapai tingkatan ini,
kelasnya banyak dan berlainan. Dua tingkatan inilah yang dibahas filsuf
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Kebajikan Jiwa (Fadha’il Al-
Nafs), dan dia memilih yang kedua.

... ... ...

Kesenangan dalam Kebahagiaan ini, Kesenangan Sejati


Seseorang yang tahu hakikat kebahagiaan ini dan yang dapat
mengungkapkan perilakunya melalui kebahagiaan itu adalah orang yang
menikmati kebahagiaan itu, yang menikmati kesenangan yang sebenarnya
tanpa disertai kebatilan. Dia lalu keluar dari cinta menuju ekstase (‘isyq)
dan kegembiraan (hayman). Pada saat seperti itu, dia tidak mau kekuasaan
tinggi dalam dirinya tunduk pada kekuasaan perut dan organ-organ
rendahnya. Dari situlah dia tidak lagi menjadi budak “bagian” dirinya yang
hina karena “bagian” dirinya yang mulia tidak lagi tunduk pada “bagian”
yang rendah.

Sementara itu, yang saya maksudkan dengan kesenangan yang diwarnai


kepalsuan adalah kenikmatan-kenikmatan yang dimiliki kita dan hewan-
hewan yang tidak memiliki pikiran. Kenikmatan-kenikmatan serupa ini
bersifat hawa nafsu, singkat masanya dan alat-alat indra kita cepat bosan.
Kalau saja lama masanya, kenikmatan-kenikmatan ini membosankan dan
tidak disukai indra dan berubah menjadi menyakitkan. Indra mempunyai
kenikmatan aksidental (nonesensial) yang khas, begitu pula akal, ia
memiliki kenikmatan esensial. Karena kenikmatan akal adalah kenikmatan
esensial, sementara kenikmatan indra cuma kenikmatan aksidental.
Oleh karena itu, barangsiapa tidak mengetahui kenikmatan hakiki, dia
tidak akan menyukai kenikmatan itu. Barangsiapa tidak kenal penyebab
esensial (kebahagiaannya), tidak mungkin akan mendambakannya. Sudah
sering hal ini kami bahas. Sudah sering pula hal ini kami anjurkan agar
didambakan, dengan kami mengulang-ulang pembahasan ini. Bahkan kami
katakan bahwa barangsiapa tidak tahu kebaikan mutlak, kebajikan
sempurna, serta tidak mempelajari kearifan praktis, yaitu mengutamakan
yang terbaik, mempraktikkannya, dan teguh di dalamnya—niscaya dia tak
akan menyenanginya. Barangsiapa yang kondisinya seperti itu, dia akan
merasakan nikmatnya kebaikan-kebaikan yang kami terangkan ini.

... ... ...

Sikap Orang Bahagia terhadap Nasib Buruk


Harus Anda ketahui bahwa selagi orang yang berbahagia, yang
kondisinya sudah kami terangkan, masih hidup di jagat raya berputar
dengan seluruh planet dan bintangnya, dan dengan pertanda nasib baik dan
buruknya, selama itu pula ia dapat ditimpa bencana dan nasib buruk yang
juga menimpa orang-orang selainnya. Cuma bedanya, orang yang
berbahagia ini tidak takut dan tidak menemui kesulitan seperti kesulitan
yang dialami orang lain, lantaran dia tidak segera terpengaruh karena dia
tidak terbiasa takut atau bersedih hati. Dia juga tidak terpengaruh kesulitan
dan kepahitan yang ditimbulkan kondisi-kondisi aksidental. Andaipun dia
ditimpa kepedihan, dia mampu menahan diri, sehingga tetap bahagia. Dia
tidak terseret keluar dari alam kebahagiaan sama sekali, kendatipun dia
diuji dengan ujian Nabi Ayub a.s., atau lebih dari itu sekalipun, dia akan
tetap tegar. Hal ini bisa terjadi karena dia memenuhi syarat-syarat
keberanian dan kesabaran dalam menghadapi apa yang menakutkan
hamba-hamba yang lemah karekternya. Maka, dia rela dengan dirinya,
kemudian karena kebaikan itu, dengan berita-berita yang tersebar mewangi
tentang dirinya. Dia melihat bahwa pembunuh yang meneriakkan
keganasannya, atau pegulat yang mengidamkan kemenangan tahan
terhadap penderitaan besar seperti cacat anggota tubuhnya dan menekan
hawa nafsunya, demi memperoleh kemenangan dan nama baik yang bisa
didapatkannya. Dia melihat bahwa dirinya lebih masuk akal dan lebih tepat
untuk bersabar. Karena tujuannya lebih mulia dan nama-baiknya di
kalangan orang-orang bajik lebih besar, lebih tenar, dan lebih terhormat,
dan karena dia mencapai kebahagiaan jiwa dan kemudian menjadi suri
teladan bagi yang lainnya.

Aristoteles berkata, “Sebagian efek nasib buruk adalah sedikit dan


mudah dihadapi.” Maka, andaikan menimpa manusia dan dia tahan, hal ini
belum menunjukkan ketinggian jiwa dan kekuatan tekadnya. Barangsiapa
yang belum berbahagia dan tidak pernah melaksanakan cara mulia
penyucian moral ini maka dia akan bersikap keterlaluan. Dan bila nasib
buruk menimpanya, dia akan berada dalam satu di antara dua kondisi:
terlalu terpengaruh dan sangat menderita sedemikian sehingga orang
merasa kasihan kepadanya atau mengikuti contoh orang-orang yang
berbahagia serta mendengarkan nasihat-nasihat mereka, hingga akan
tampak dari dirinya sikap sabar dan tenang, tetapi sebetulnya dia masih
saja gelisah, takut dan menderita.

Sebagaimana halnya anggota tubuh yang lumpuh akan ke kiri bila


digerakkan ke kanan, begitu pula geraknya jiwa si keji. Jiwa ini bergerak
menjauh dari kebaikan padahal dia digiring ke sana, yakni pada saat
mereka mengikuti orang-orang yang baik dan adil, jiwa mereka akan
bergerak ke arah yang bertentangan, padahal mereka mendorong jiwa
mereka ke orang-orang baik.3[]

1 Diambil dari Ibn Miskawayh, Mizan, Bandung, 1999. h.92-104

2 Pada dua dari Mss. yang tampaknya dari satu kelompok,


bacaannya adalah wa-buqrath (Hippocrates). Bacaan saya wa-
saqrath, yang diambil berdasarkan teks, selaras dengan
pandangan Walzer, Greek into Arabic, hlm. 224, catatan kaki no.
3.

3 N..E.. 1102b 20-22.

20
Beryukur dan Bersabar Menghadapi Ujian-Nya

Diceritakan ada seorang pekerja yang bekerja di sebuah proyek konstruksi


berlantai banyak. Suatu ketika, ada panggilan masuk ke telepon selular
temannya yang mengabarkan bahwa anak rekannya itu sedang sakit dan dia
diminta segera pulang. Keluarganya terpaksa mengabarkan lewat si rekan
karena telepon selularnya tidak aktif. Namun sayang, ketika itu si rekan
berada di lantai tinggi, sedang si pekerja ada di bawah. Si rekan kebingungan
karena terlalu jauh. Dipanggil-panggil, tak mendengar juga. Akhirnya muncul
ide, ia mengambil uang logam di kantongnya, kemudian dijatuhkan dari atas
dan mengenai kepala si pekerja. Rekannya terkejut. Namun, karena yang
jatuh menimpa kepalanya sebuah koin, lantas ia ambil tanpa menoleh ke
atas. “Lumayan,” pikirnya. Kemudian pekerja itu melanjutkan pekerjaannya.
Lemparan koin ini terjadi berulang-ulang sampai koin yang ada di kantong si
rekan habis. Karena kehabisan koin, akhirnya si rekan mencari kerikil dan
dilempar kepada si pekerja. Kerikil itu tepat mendarat di kepalanya. Ketika
tahu yang menimpa dirinya itu kerikil, pekerja itu pun marah, dan menengok
ke atas. Baru pada saat itu teriakan si rekan bisa didengar dan kabar bisa
disampaikan. Terkadang, tak jarang kebaikan datang dalam kemasan yang
tidak menyenangkan.

***

L ife is not a bed of roses. Bahkan, Allah menyatakan dalam Al-Quran


bahwa Hidup dan mati diciptakan untuk mengujimu (dan melihat) siapa
di antaramu yang paling sempurna amalnya. Nabi Saw. mempertegas ini
dengan menyatakan, “Jika Allah mencintai seseorang maka Dia akan
mengujinya,” sambil pada kesempatan lain menegaskan bahwa ia “tak akan
makan dan minum dari cawan milik orang yang tak diketahui pernah diuji
oleh Allah.” Yakni menguji dengan kesulitan atau tantangan apa saja.
Kesulitan itu seperti dirinci Al-Quran, bisa mengambil bentuk kematian
(orang yang kita cintai) dan kesempitan harta. Bahkan, bagi yang menyebut
dirinya beriman, Allah menyatakan pasti akan mengujinya, sebagaimana dia
uji orang-orang sebelum kita. Mereka diguncang (dengan ujian yang keras)
sedemikian, sehingga bertanya, “Kapan tibanya pertolongan Allah?” (Meski
harus selalu diingat pula bahwa Allah menjamin tak akan membebani
seseorang, kecuali sebesar apa-apa yang mampu ditanggungnya).

Pada kenyataannya, memang lebih banyak orang hidup di dunia ini dalam
keadaan tenggelam dalam pengumbaran nafsu dan karenanya menjadi orang
yang lalai (ghafil). Hidupnya dituntun untuk tak menyebutnya dikendalikan
oleh nafsu, bukan fitrahnya yang suci. Nafsunya yang terbiasa dimanjakan
dan dipuasi, bukan saja membuatnya menjadi ketagihan dan membuatnya
dikendalikan olehnya, hal itu menjadikannya rentan terpukul kekecewaan
setiap saat ada apa-apa yang diinginkannya tak terwujud. Bukan itu saja,
karena fitrah manusia selalu mencari kesempurnaan dan ketenteraman
spiritual, kepuasan nafsani tak mampu memberinya kebahagiaan sejati.
Bahkan berisiko besar untuk menimbulkan kekecewaan luar biasa dan
kehampaan makna, serta kebingungan luar biasa ketika semua yang diikejar
teraih, tetapi kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung didapat. Maka, mau
mencari kemana lagi? Dari sini diharapkan kita pun lebih dapat memahami
tujuan kehidupan, dan sumbernya, juga diri sejati (fitrah) kita, lalu mengatur
hidup kita sesuai dengan itu. Inilah sesungguhnya yang bisa menjamin
kebahagiaan hidup kita, bukan hanya di akhirat—di mana amal-amal kita
diganjar—melainkan di dunia ini. Karena, seberapa pun terpuasi nafsu
keduniaan kita, dia tak akan menjadikan hidup kita menjadi berbahagia,
malah sebaliknya.

Nah, sebagaimana ujian apa saja dalam kehidupan ini, ia dimaksudkan


untuk men-challenge agar kita melakukan introspeksi, merogoh lebih dalam
ke dasar jiwa kita (soul searching)—ketimbang membiarkan diri kita terus
hidup di permukaan yang dangkal (superfisial) belaka—demi mencari makna
kehidupan. Dengan demikian, kita bisa berharap untuk melakukan
peningkatan kualitas kehidupan kita, dari kehidupan yang sejatinya lebih
hewani—sekadar mengumbar nafsu fisikal—ke kehidupan yang lebih
manusiawi. Yakni, manusia yang dikaruniai akal dan hati, manusia yang
berfitrah kebaikan, manusia yang sebagai khalifah-Nya harus berfungsi
sebagai penebar kasih sayang dan kebaikan di muka bumi.

Yang perlu diketahui, ujian (bala’) dari Allah Swt. bukanlah hanya datang
dalam bentuk kesulitan. Karunia-Nya juga bisa menjadi ujian. Kekayaan,
misalnya, dapat menjadi sumber kesombongan jika kita tak memahaminya
sebagai titipan Allah untuk, bukan hanya diri kita sendiri, melainkan orang-
orang lain yang membutuhkan uluran pertolongan kita. Kepintaran,
kekuasaan, dan popularitas juga demikian.

Bahkan dalam analisis lebih jauh, kita diajar bersabar ketika mendapatkan
karunia. Yakni, untuk tak menjadi lupa daratan sehingga menjadikan karunia
itu berubah menjadi bencana, baik untuk diri kita maupun untuk orang lain.
Sebaliknya, kita diajar untuk bersyukur ketika mendapatkan kesulitan dengan
kesadaran bahwa semuanya itu datang dari Allah, sehingga bukan saja kita
menerimanya dengan rela, hal itu justru dapat meningkatkan keimanan kita.

Memang, sesungguhnya sabar dan syukur adalah dua sisi dari mata uang
yang sama. Orang yang mampu bersyukur adalah orang yang pada waktu
yang sama bisa bersabar, dan sebaliknya. Mereka inilah yang akan terus
mendapatkan curahan karunianya (la in syakartum, lâzidannakum). Lebih
dari itu, merekalah orang-orang yang berbahagia:
... Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yang
(jika ditimpa ujian) mereka akan berkata, “Innâ lil-lahi wa innâ ilayhi
raji’un (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadanya kami akan
kembali).” (QS Al-Baqarah [2]: 155-157)[]

21
Hidup dengan Akhlak Mulia

Suatu kali, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghampiri seorang anak yang
sedang menggembalakan kambing milik majikannya. Khalifah melihat ada
puluhan kambing yang digembalakan anak muda itu. Untuk menguji
kejujuran si anak muda, Khalifah Umar berkata, “Wahai anak muda, maukah
kaujual satu kambingmu kepadaku?” Anak muda tersebut menjawab,
“Kambing-kambing ini bukan milikku, tetapi milik majikanku.” “Tapi,” kata
Khalifah Umar, “kalau kaujual satu saja, pasti majikanmu tidak akan tahu.”
Anak muda itu menatap khalifah Umar sambil berkata, “Memang majikanku
mungkin tidak tahu, tetapi Allah Swt. akan tahu.”

***
R asulullah Saw. menyatakan bahwa, “Kebaikan adalah apa-apa yang
jika kamu lakukan, hatimu tenang (damai), sedang kejahatan adalah
apa-apa yang jika kamu lakukan, hatimu gelisah.” Memang, ketenangan dan
kedamaian hati hanya bisa diraih oleh orang yang memiliki integritas. Kata
“integritas” berasal dari “integer” (integer), berarti bulat, penuh, sebagaimana
bilangan bulat disebut integer. Makna umumnya adalah kesetiaan kepada
moralitas (kebaikan), yang tanpa itu orang tak dapat menikmati hidup yang
penuh, damai, atau bahagia (fulfilled). Intinya adalah penyatuan perkataan
dengan perbuatan, yakni keserasian antara pernyataan tentang nilai-nilai
moralitas atau budi pekerti yang diyakini dan kenyataan tindakan-tindakan
yang dilakukannya. Orang yang mempunyai integritas akan memiliki budi
pekerti yang luhur karena sesungguhnya setiap manusia yakin akan
keniscayaan budi pekerti yang luhur. Sementara orang yang tak memiliki
integritas dalam praktiknya memiliki budi pekerti yang rendah, bertentangan
dengan apa yang diyakini setiap orang.

Orang yang tidak mempunyai integritas seperti ini otomatis akan


mengembangkan kepribadian yang terpecah (split personality). Dalam bahasa
kitab suci Al-Quran, dikatakan, Sungguh besar murka Allah (atasmu, jika)
kamu mengatakan apa-apa yang kamu tak (berkeinginan) untuk
melakukannya. Jika surga kita pahami sebagai perolehan ridha (ridhwan)
Allah Swt. maka sesungguhnya murka Allah sama dengan neraka atau
kesengsaraan hidup.

Dalam terminologi Islam, kiranya bisa dikatakan bahwa kepemilikan


integritas sama dengan kepemilikan akhlak yang baik atau terpuji (al-akhlaq
al-karimah). Makna kebahasaan akhlaq atau (bentuk-tunggalnya) khuluq itu
sendiri sudah mengisyaratkan pada pengertian yang mendasar itu. Satu akar
kata dengan khalq (penciptaan), khaliq (pencipta), dan makhluq (ciptaan),
istilah akhlaq atau khuluq mengacu pada pandangan dasar Islam bahwa
manusia—sebagai “sebaik-baik ciptaan” (ahsanu taqwim)—diciptakan dalam
(memiliki kecenderungan kepada) kebaikan, kesucian, dan kemuliaan. Maka,
seperti disinggung sebelumnya, orang yang memiliki integritas sesungguhnya
adalah orang yang tindakannya baik, sesuai dengan keyakinannya akan fitrah
kebaikan manusia.
Begitu pentingnya peran akhlak dalam ajaran Islam, sehingga Nabi
Muhammad menyederhanakan seluruh tugas risalahnya sebagai tugas
penyempurnaan akhlak. “Aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan
budi pekerti luhur.”

Dalam sabdanya yang lain, beliau bahkan mengajarkan, “Yang paling


banyak memasukkan orang ke surga adalah ketakwaan (berakhlak mulia)
dan amal saleh.” Akhlak yang baik adalah konsekuensi dari iman. Maka, tak
bisa dikatakan beriman seseorang yang tidak memiliki akhlak yang baik.
Nabi Saw. bersabda, “Orang yang imannya paling sempurna adalah orang
yang terbaik akhlaknya.” Bahkan sulit untuk memisahkan iman dari akhlak
yang baik. Maka, tidak ada iman yang absah bisa diterima oleh Allah Swt.,
kecuali terwujud dalam akhlak yang baik.

Akhlak menyangkut perilaku yang bersifat individual dan sosial. Akhlak


individual berarti kebersihan hati dan kepenuhan hati dengan rasa cinta dan
kasih sayang, baik kepada Allah, sesama manusia, maupun seluruh unsur
alam semesta selebihnya. Sedangkan akhlak sosial berarti amal saleh, yakni
semua karya untuk memperbaiki kondisi lingkungan, termasuk mengatasi
kemiskinan, penindasan, perbaikan kualitas pendidikan, perusakan
lingkungan, dan kemerosotan akhlak.

Dari uraian ringkas di atas, tampak dengan jelas bahwa bukan saja
kebahagiaan kita di akhirat dipertaruhkan dengan cara kita berbudi pekerti,
baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, bahkan kebahagiaan kita
di dunia ini juga sepenuhnya bergantung padanya. Orang yang berakhlak
baik, yang memiliki integritas yang tinggi, adalah orang yang hidup sebagai
manusia yang utuh dan penuh. Dan hanya manusia yang utuh yang bisa hidup
dalam keseimbangan dan kestabilan dalam ketenteraman dan kebahagiaan.[]
22
Menebar Amal Saleh

Suatu kali, di tengah perjalanan, Syaqiq Al-Balkhi bersama gurunya, Ibrahim


bin Ad-ham, menemukan seekor burung yang menggelepar-gelepar di atas
tanah karena patah sayapnya. Belum sempat keduanya berbuat sesuatu,
datanglah seekor burung lain yang kemudian melolohkan makanan ke
burung yang patah sayapnya itu. Kemudian Syaqiq berkata, seolah pada
dirinya sendiri, “Kenapa aku khawatir tentang rezekiku padahal Allah telah
menjamin rezeki seekor burung yang telah patah sayapnya.” Mendengar itu,
Ibrahim bin Ad-ham berkata, “Aneh kamu, wahai Syaqiq. Kenapa hanya
kamu lihat burung yang patah sayapnya itu, tetapi tidak kamu lihat burung
yang sehat yang dapat memberi makan kepada sesamanya yang
membutuhkan?” Dengan itu, sang guru seperti hendak memberi tahu
muridnya bahwa melakukan amal saleh dengan apa-apa yang kita miliki
adalah lebih baik ketimbang bersikap pasrah.

***

A llah menciptakan hidup agar kita mengisinya dengan memperbanyak


amal-amal saleh. Amal saleh ini Dia sebutkan sebagai modal bagi
terpenuhinya harapan kita untuk dapat bertemu (kembali) dengan-Nya.
Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia
beramal saleh .... (QS Al-Kahfi [18]: 110)

Kata saleh (shalih) berasal dari kata shalaha yang bermakna baik,
memiliki manfaat, atau sehat, dan ditemui terulang sebanyak 180 kali dalam
Al-Quran. Amal saleh dapat dipahami sebagai setiap tindakan yang
memberikan manfaat, menyelesaikan, atau menghilangkan kesulitan dan
membuahkan perbaikan (kerusakan). Lebih dari “sekadar” berbuat baik,
seorang yang saleh selalu bekerja keras, menggunakan waktu dengan sebaik-
baiknya dan memberikan kontribusi kepada masyarakat, untuk membuat
perbedaan dalam kehidupan manusia. Begitu sentralnya konsep amal saleh
ini sehingga—di antara 180 ayat yang mengandung kata ini dalam Al-Quran
—Allah Swt. banyak sekali mengaitkannya dengan keimanan dalam satu
napas.

Barangsiapa yang melakukan amal saleh, baik pria maupun wanita


dalam keadaan ia beriman maka pasti akan kami hidupkan ia dengan al-
hayat al-thayyibah (hidup bahagia). (QS Al-Nahl [16]: 97)

Ayat di atas dengan gamblang mengajarkan kepada kita bahwa Allah akan
menganugerahkan kebahagiaan hidup, bukan hanya di surga, melainkan di
dunia ini kepada orang-orang yang beramal saleh. Jaminan kebahagiaan bagi
orang-orang yang beramal saleh bahkan diungkapkan sekali lagi dalam suatu
ayat berbeda, sebagai berikut:

Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka


kebahagiaan dan tempat kembali yang baik (QS Al-Ra‘d [13]: 29)

Masih di dalam Al-Quran, di tempat lain Allah Swt. berfirman:

Harta dan anak-anak—yang sukses dan membanggakan—adalah


perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh
(al-baqiyat al-shalihat) adalah lebih baik imbalannya di sisi Tuhanmu,
dan lebih baik untuk dijadikan harapan. (QS Al-Kahfi [18]: 46)

Menurut sebagian mufasir, istilah al-baqiyat al-shalihat juga bisa dipahami


sebagai (sumber) kebahagiaan.
Sementara itu, di dalam surah Al-‘Ashr, Allah menyatakan bahwa orang-
orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasihati tentang
kebenaran dan kesabaran, dikecualikan dari kerugian:

Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali


orang-orang yang beriman dan beramal-saleh. Juga yang saling
menasihati dalam kebenaran dan dalam kesabaran. (QS Al-‘Ash [103]:
1-3)

Dalam sebagian tafsir, pengaitan amal saleh dan waktu menunjukkan


perintah agar kita mengisi waktu hidup kita dengan sebanyak-banyak amal
saleh. Sehubungan ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Bagi orang mukmin, tidak
henti-hentinya kesibukan (beramal saleh) datang kepadanya hingga maut
menjemputnya.”

Kiranya ini sejalan dengan apa yang difirmankan Allah Swt. di dalam
surah Al-Insyirâh ayat 7-8, Dan jika kamu telah selesai (dengan suatu
urusan), kerjakanlah dengan sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada
Allahlah kamu berharap.

Pada kenyataannya, persis seperti inilah yang diajarkan Rasulullah Saw.


lewat hidupnya yang secara keseluruhan dibaktikannya untuk selalu
memperbaiki keadaan masyarakat, menghilangkan kesulitan dan
mendatangkan kebaikan bagi mereka.

Maka, marilah kita mengisi hidup kita dengan amal-amal saleh agar Allah
memberkahi hidup kita di dunia dan di akhirat dan menjadikannya dipenuhi
dengan kebahagiaan yang sejati.[]
23
Menjadikan Kerja sebagai Passion (Cinta)

Tersebutlah tiga orang tukang batu yang bekerja berdampingan membangun


sebuah dinding yang sama. Ketika salah satunya ditanya tentang apa yang
sedang dia kerjakan, si tukang batu pertama menjawab, sedang mendirikan
tembok. Yang kedua menjawab, sedang membangun rumah. Sementara
yang terakhir menyatakan bahwa dia sedang membangun sebuah tempat
tinggal agar keluarga muda yang akan menempatinya dapat hidup dengan
nyaman dan penuh kebahagiaan.

***

J ika dilihat dengan kasat mata, tampak bahwa ketiga tukang batu itu
sedang mengerjakan pekerjaan yang sama: menata dan melekatkan bata
demi bata dengan semen. Akan tetapi, jika kita lihat dari cara mereka
memberi makna terhadap apa yang mereka kerjakan, kita akan melihat betapa
berbedanya sikap yang mereka tunjukkan kepada pekerjaan mereka. Yang
pertama tak melihat pekerjaannya, kecuali semata-mata sebagai gerakan fisik,
yang bisa juga dikerjakan oleh hewan atau robot. Yang kedua sudah
menyadarinya sebagai sebuah pekerjaan kreatif. Namun, makna maksimum
telah diberikan oleh tukang batu ketiga ketika dia melihat pekerjaannya
sebagai wujud kecintaannya kepada orang lain, yakni dalam bentuk
keinginan memberikan tempat tinggal yang nyaman dan membahagiakan
bagi calon penghuninya.

Maka, kita pun dengan mudah dapat meramalkan, manakah di antara


ketiga tukang batu itu yang akan melahirkan performa yang maksimum, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif?

Kerja, memang harus menjadi sumber makna hidup. Lebih dari itu,
pekerjaan yang bermakna akan juga melahirkan kecintaan serta semangat
(passion) kepada apa saja yang kita kerjakan. Ini saja sudah merupakan suatu
sumber kebahagiaan kita. Tanpa ini, kerja dapat hanya akan menjadi beban
yang memberati punggung kita setiap hari. Pada gilirannya, bekerja dengan
landasan cinta akan mendorong kita untuk menumpahkan seluruh daya upaya
kita, sehingga apa pun yang kita lahirkan dari kerja kita akan melahirkan
karya-karya berkualitas. Pada puncaknya, kerja yang penuh makna seperti
ini, bukan saja akan menjadi sumber kebahagiaan hidup secara ruhaniah,
melainkan juga akan menjadi sumber kesuksesan duniawi.

Pertanyaannya kemudian, kerja seperti apa yang bisa menjadi sumber


makna hidup positif? Al-Quran mengajarkan: Dan tuntutlah (kebahagiaan)
hidup akhirat dalam apa-apa yang dikaruniakan Allah kepadamu. Tetapi
jangan juga lupakan bagianmu dari dunia (QS Al-Qashshash [28]: 77).

Melalui ayat ini, secara eksplisit dan implisit Allah memerintahkan agar
kita bekerja sebaik-baiknya untuk mengumpulkan karunianya, tetapi
hendaknya itu semua diarahkan tidak hanya untuk dunia, melainkan untuk
akhirat. Artinya, beri surplus makna pada kegiatan bekerja kita. Selain untuk
mengambil jatah-adil kita dari kehidupan dunia, kita arahkan semua
kesibukan itu untuk akhirat. Dan, pada saat berupaya memenuhi kebutuhan
ukhrawi itu, sesungguhnya kita sekaligus sedang berusaha memenuhi
kebutuhan ruhani kita—yang, pada saat yang sama, adalah sumber
kebahagiaan sejati kita dalam kehidupan di dunia ini.

Allah Swt. lebih lanjut mengajarkan tentang bagaimana sebaiknya kita


melihat kegiatan bekerja, Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab
Allah, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian dari yang telah Kami
rezekikan kepada mereka, baik secara sembunyi ataupun terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (tijarah lan
tabur) (QS Fathir [35]: 29).

Dari ayat ini, kita bisa merasakan bahwa Allah hendak mengajarkan
kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita memberi makna pada
kegiatan bekerja. Betapa pun fungsi bekerja adalah untuk mencari harta,
tetapi semuanya itu hanya akan bermakna (meaningful) jika didasarkan pada
pengenalan yang benar akan hakikat hidup, dibubuhi warna pengembangan
dan pemeliharaan hubungan spiritual kita dengan Tuhan, dan semangat
filantropisme atau amal saleh.

Ya, hanya dengan cara mengaitkan seluruh aktivitas kita dengan Tuhan,
maka kegiatan bekerja akan benar-benar menjadi sumber makna positif bagi
hati atau ruhani kita. Dan hanya dengan cara ini bekerja akan dapat menjadi
sumber kebahagiaan kita.[]

24
Menaklukkan Egoisme

Suatu kali, pengikut Nabi Musa meminta kepada Nabi Musa agar Allah mau
datang menemui mereka. Karena desakan kaumnya itu, Nabi Musa berdoa
kepada Allah agar mengabulkan permintaan itu. Allah pun setuju. Dia
meminta Nabi Musa membawa kaumnya ke suatu gua dan menunggu di
sana. Tiga hari berlalu, Nabi Musa dan kaumnya menunggu dengan harap-
harap cemas. Akan tetapi, Allah tidak datang juga. Maka, sekali lagi atas
desakan kaumnya, Nabi Musa berdoa kepada Allah, “Ya Allah, Engkau
berjanji akan datang, tetapi tiga hari telah berlalu, dan Engkau belum
datang-datang juga.” Allah menjawab, “Sesungguhnya Aku datang
kepadamu selama tiga hari itu. Hari pertama datang kepadamu seseorang
yang kelaparan dan tak kauberi makan dia. Itu Aku.” Setelah itu Allah
berkata lagi, “Hari kedua datang kepadamu seseorang yang kehausan dan
tak kauberi minum dia. Itu Aku. Hari ketiga datang kepadamu seorang
pelarian dan tak kauterima dia. Itu Aku.”

***

A pa yang menyebabkan kita dekat dengan Allah Swt.? Jawabannya


adalah kebebasan dari egoisme. Sebaliknya, jika kita membesar-
besarkan ego maka kita makin jauh dari Allah Swt. Itulah yang disebut syirik,
menjadikan (kepentingan) diri kita Tuhan.

Sesungguhnya, Allah Swt. ada di dalam hati kita. Allah Swt. bersemayam
dalam hati setiap manusia. Namun, kehadiran-Nya sering kita tutupi dengan
mengumbar nafsu dan egosime. Akibatnya akses kita kepada Allah Swt.
tertutupi, sehingga kehadiran-Nya itu tidak memberikan dampak pada
kualitas kehidupan kita.

Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah Swt. tidak menciptakan dua hati
di dalam rongga dada manusia. Allah Swt. menciptakan satu hati. Jika satu-
satunya hati itu dipenuhi dengan yang serba duniawi dengan mengumbar
egoisme, berarti tidak ada tempat bagi Allah Swt. di dalamnya. Lebih buruk
dari itu, egoisme adalah sumber segala penyakit hati (sombong, hasad, adu
domba, dan bakhil) yang akan memutus hubungan antara manusia dan Sang
Khaliq. Maka, tak heran jika para Sufi mengatakan, puncak hubungan
tertinggi dengan Allah Swt. adalah ketika kita mencapai fana. Fana terjadi
ketika manusia mampu menaklukkan kedirian/keakuan dan egoisme yang
kemudian menyebabkan kita kembali menyatu dengan Allah Swt., sumber
kita.

Bagaimana Mengatasi Egoisme?


Musuh egoisme adalah berkorban dan memberi. Karena memberi berarti
mengambil dari yang kita punyai, untuk diserahkan kepada orang lain.
Memberi berarti mengurangi suplai bagi pengumbaran nafsu diri. Islam
menegaskan bahwa kita tidak akan mencapai kebaikan, kecuali kita berinfak
atau memberi. Dalam Al-Quran dikatakan, “wa âtal mâla ‘ala hubbihi” (dan
memberikan harta yang kita cintai). Bukan sekadar berbagi dengan kelebihan
harta yang sedikit. Dan itu harus dilakukan dengan keikhlasan semata-mata
demi kebaikan dan keinginan mendapatkan ridha-Nya. Bahkan, kalau masih
muncul perasaan eman-eman (sayang pada milik kita yang akan kita berikan),
berarti kita belum mencapai tahapan “memberi yang kita cintai”.

Seperti direkam dalam Al-Quran, ketika Rasulullah Saw. ditanya, “mâ dzâ
yunfiqûn?” (apa yang mesti diberikan?). Allah Swt. mengajarkan agar
Rasulullah mengatakan, “al-‘afwu”. Al-afwu adalah kelebihan dari
kebutuhan kita. Semua kelebihan harta dari kebutuhan kita harus diberikan
kepada orang lain.

Seorang Muslim yang baik, dalam Al-Quran digambarkan sebagai seorang


yang seharusnya memiliki semangat berkorban (îtsar), yakni mengutamakan
orang lain atas diri sendiri.

Itu sebabnya, dalam Al-Quran Allah Swt. pun selalu menyandingkan shalat
dengan memberi (infak). Shalat, meski disebut ibadah yang paling utama,
tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan aktivitas memberi. Dalam
perspektif yang lebih dalam, shalat dikategorikan batal jika tidak memberikan
dampak sosial.

Kisah fenomenal mengenai semangat pengorbanan tergambar dalam diri


Nabi Ibrahim a.s. Bayangkan, dalam satu riwayat, umurnya sudah mencapai
80 tahun dan belum dikaruniai anak. Ketika mendapatkan anak, kemudian
Allah Swt. memerintahkan agar anak yang ditunggu-tunggu kelahirannya itu
disembelih. Perintah itu pun dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim dengan tanpa
keraguan, dan sebaliknya, penuh dengan keikhlasan. Adakah pengorbanan
yang lebih besar dari itu? Atas sebab pengorbanan tersebut, Nabi Ibrahim
dijadikan sebagai teladan manusia yang hanif, yaitu manusia yang punya
kecenderungan bersatu kepada Allah Swt.

Hal ini membuktikan bahwa Nabi Ibrahim tidak hanya mengamalkan


tauhid dalam arti literal, tetapi beliau telah mencapai derajat takwa yang
tinggi. Dalam Al-Quran disebutkan berkaitan dengan ibadah kurban, “daging
dan darah yang kita sembelih tidak akan sampai kepada Allah Swt.” Yang
sampai kepada-Nya adalah ketakwaan pelakunya. Terjemahan arti takwa
yang paling tepat adalah kesadaran akan Allah Swt. di mana pun kita berada,
sehingga kita akan selalu berupaya untuk berbuat sesuatu yang
menyenangkan Allah Swt.

Manusia sejatinya adalah percikan ruh Allah Swt., yang dibungkus oleh
fisik. Fitrah manusia pun, disebut oleh Allah, diciptakan atas model fitrah
Allah. Nah, fitrah asasi Allah Swt. adalah cinta. Nabi Saw. pernah bersabda,
“Allah adalah cinta.” Dan hakikat cinta adalah semangat memberi dan
berkorban. Jadi, pada dasarnya fitrah manusia adalah memberi.
Kebahagiaannya terletak pada kesesuaian cara hidupnya dengan fitrah
memberi ini. Jika tidak memberi, fitrahnya akan sengsara dan kebahagiaan
akan menjauh darinya. Sebaliknya, dengan banyak memberi, kita menjamin
kebahagiaan hidup kita sendiri.

Kesimpulannya, agar kita bisa hidup bahagia di dunia, di alam barzakh,


dan di akhirat maka cara praktisnya adalah dengan cara menjaga kedekatan
kita dengan Allah Swt. Di dunia akan bahagia, di barzah kita lebih bahagia,
dan di akhirat kita akan mendapat kebahagiaan tertinggi karena kita akan
terus bersatu dengan kekasih kita, yaitu Allah Swt. Dan satu-satunya jalan
agar kita dekat dengan Kekasih kita, Allah Swt., adalah dengan memberi dan
mengorbankan milik kita bagi orang-orang lain yang membutuhkan uluran
tangan kita. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
25
Melawan Obsesi kepada Harta

Ibrahim ibn Ad-ham, seorang Sufi, dulunya menjadi khalifah di Balkh, tetapi
kemudian ia tinggalkan.

Suatu saat, ia berjumpa dengan seorang lelaki yang ingin memberinya


sedikit uang. Ibrahim ibn Ad-ham berkata, “Jika kau kaya, aku akan
menerima pemberianmu, tetapi aku tidak akan mau menerima jika kau
ternyata miskin.”

Lelaki tadi mencoba meyakinkan bahwa ia sangat kaya.

“Berapa banyak uang yang kau punya?”

“Aku punya 5 ribu keping emas.”

“Apakah kau ingin punya 10 ribu keping emas?”

“Ya, tentu saja.”

“Apakah kau akan lebih senang jika punya 20 ribu keping emas?

“Ya, itu tentu lebih baik.”


“Kalau begitu, kau sama sekali tidak kaya! Kau lebih membutuhkan uang
ini daripada aku. Aku puas dengan apa pun pemberian-Nya. Tidak mungkin
aku menerima apa pun dari orang yang selalu mengharap lebih banyak.”

***

B elakangan ini, kita merasakan betapa hidup kita terobsesi oleh uang dan
harta-benda. Betapa nafsu materialistik mendorong kita untuk terus
mengejar benda-benda, dengan harus membayar mahal dalam bentuk
hilangnya kesadaran kemanusiaan kita, kaburnya pemahaman tentang tujuan
hidup dan penciptaan kita, serta kacaunya perspektif kita mengenai cara-cara
meraih kebahagiaan hidup kita.

Akibatnya, banyak di antara kita—manusia-manusia modern, khususnya


yang tinggal di kota-kota besar—tidak lagi hidup sebagai manusia, tetapi
lebih tepat disebut sebagai “zombie”. Zombie adalah manusia yang
sebetulnya sudah mati, tetapi dapat bergerak ke segala penjuru, namun tanpa
kesadaran. Kita jungkir-balik mengejar uang, untuk membeli benda-benda,
bergegas pergi ke sana kemari, lupa waktu, lupa keluarga dan manusia
lainnya, akibat kehilangan perspektif tentang tujuan kita mengejarnya.
Padahal kita tahu, esensi kemanusiaan sejatinya tidak terletak pada gerakan
fisik, tetapi ada pada ruh kita, pada kesadaran kita. Kesadaran bahwa kita
diciptakan Allah Swt. di muka bumi ini bukan sia-sia, melainkan untuk
tujuan yang serius; beribadah kepada-Nya sebaik mungkin. Yakni, menjalin
silaturahim—hubungan penuh kasih sayang—beramal saleh kepada orang
lain sebanyak-banyaknya, dan menjadikan kehidupan di lingkungan sekitar
lebih baik.

Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Lewat berbagai media yang


menembus seluruh sudut kehidupan kita, kita diiming-imingi dengan
kebutuhan-kebutuhan artifisial. Yakni “kebutuhan” yang sebenarnya tak
memiliki fungsi untuk menjadikan hidup kita lebih berbahagia. Dahulu,
sebelum datang dan berkuasanya modernisme dan era industri, orang bekerja
untuk tujuan yang jelas; meraih kesejahteraan. Dalam konteks ini, benda dan
uang dipahami sebagai sarana, bukan tujuan itu sendiri. Dengan cara itu,
sesungguhnya, pada masa-masa terdahulu manusia lebih hidup “sebagai
manusia”. Meski ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang luar
biasa pesat di masa-masa sekarang ini, manusia masa lampau tampak lebih
terampil dalam mengatur hidupnya, menjaga perspektifnya dalam bekerja dan
berusaha. Dengan kata lain, mereka lebih terampil dalam berupaya mencapai
kebahagiaan ketimbang manusia-manusia sekarang. Sekarang, banyak di
antara kita yang justru mengorbankan kebahagiaan demi mengejar uang.
Tidak jelas lagi perbedaan antara “tujuan” dan “sarana” hidup. Sebagai bukti,
tak jarang kita melihat seseorang justru mengalami kehampaan makna hidup
setelah mendapatkan uang yang dikejarnya. Ternyata uang yang berlimpah
tidak memberikan kebahagiaan dan makna hidup.

Nah, pertanyaannya sekarang, bagaimana memaknai uang dengan tepat?

Pertama, agama tidak anti kepada orang yang mencari uang, tidak anti
pula pada upaya-upaya mencari karunia Allah Swt. seperti disebutkan
sebelumnya, dalam Al-Quran disebutkan, Carilah kebahagiaan hidup di
akhirat itu dengan apa-apa yang dikaruniakan Tuhan kepadamu dan jangan
lupakan porsimu dari kehidupan dunia (QS Al-Qashash [28]: 77). Yang
penting, kita senantiasa dapat memelihara agar tetap memiliki perspektif yang
benar sehubungan dengan kepemilikan uang atau harta. Bahwa uang, sekali
lagi, adalah sarana, bukan tujuan hidup itu sendiri. Dengan perspektif yang
lurus seperti ini, tak ada orang yang mau mengorbankan kebahagiaannya,
tujuan hidupnya, demi mengejar uang. Uang harus dijadikan pelayan bagi
upaya mendapatkan kebahagiaan hidup.

Kedua, kita juga perlu meluruskan prioritas, bahwa tugas hidup adalah
beribadah kepada-Nya, dengan jalan menebarkan rahmat bagi alam semesta.
Bahkan, sesungguhnya kebahagiaan kita terletak di sini. Manusia telah
diciptakan Allah dengan fitrah mencinta. Kebahagiaan dan kepuasan hidup
tak akan pernah bisa diraihnya jika ia tidak mencinta dan mengungkapkan
fitrah kecintaannya itu dengan berbuat baik pada orang lain. Uang atau harta
benda yang kita miliki hanyalah sarana pendukung untuk kita
menyelenggarakan upaya-upaya seperti ini.

Ketiga, kita perlu membangun dan memelihara kesadaran bahwa


kebahagiaan dunia dan akhirat tidak terletak pada banyaknya uang dan harta
benda, melainkan pada bagaimana kita memandang fungsi dan cara
menggunakannya. Yaitu dengan mensyukuri, memanfaatkan untuk hal-hal
yang halal dan baik, menghindarkan diri dari gaya hidup berlebihan, serta
menggunakan kelebihan rezeki yang kita miliki untuk berbuat baik kepada
orang lain. Hanya dengan itu kita akan mendapat kebahagiaan, termasuk
kebahagiaan di dunia ini, dan pada saat kita dibangkitkan kelak.

Jangan sampai, seperti kisah Pedang Damocles dalam mitologi Yunani,


bukannya bermanfaat untuk membunuh musuh dalam peperangan, ia malah
bergerak sendiri dan menusuk pemiliknya. Jangan sampai uang, yang
seharusnya membantu kita dalam mendapatkan kebahagiaan, malah
menjadikan kita egois, berbangga hati sambil melecehkan orang lain,
merusak kedamaian keluarga, memutuskan silaturahim, dan berbagai ekses
merusak lainnya. Jangan sampai pula, seperti pada kisah Ibrahim ibn Ad-ham
di atas, malah kita yang lebih kaya lebih “fakir” membutuhkan uang
dibanding orang miskin.[]

26
Hidup Berorientasi Sedekah

Oprah Winfrey mengumpulkan sekitar 100 orang untuk melakukan


percobaan sosial. Mereka diminta menabung sebagian uang yang biasa
digunakan untuk rekreasi. Tabungan tersebut kemudian diberikan kepada
orang-orang yang membutuhkan. Beberapa bulan kemudian, 100 orang
tersebut dikumpulkan dan ditanya, apakah ada yang berubah dalam
kehidupan mereka? Jawabannya, mereka merasakan bahwa hidup mereka
lebih bahagia setelah berbagi dengan orang lain.

***

P ercobaan Oprah tadi merupakan suatu cara yang cerdas dalam


mendorong diri kita untuk menguji diri kita sendiri. Dan sesungguhnya,
memberikan infak atau sedekah adalah salah satu ujian terbaik karena ia
merupakan perlawanan frontal pada egoisme, yakni sumber dari semua sifat-
sifat buruk. Memberi sama dengan mengorbankan kepentingan kita demi
kepentingan orang lain.

Di dalam Al-Quran dikatakan bahwa di antara kebajikan itu (al-birr)


adalah menafkahkan harta yang kita cintai:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
(QS Ali Imran [3]: 92)

Menguji diri kita sendiri dengan menafkahkan sesuatu atau harta yang kita
cintai, sejatinya sama dengan ujian dari Allah Swt. Karena menafkahkan
harta seolah seperti upaya mempersulit diri, menjadikan kita relatif lebih
miskin, lebih berkurang harta. Seperti firman-Nya:

Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sekadar ketakutan,


kelaparan, kekurangan/kehilangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
sampaikan kabar gembira bagi orang yang sabar. Yaitu orang-orang
yang bila ditimpa musibah, berkata, “Sesungguhnya kami adalah milik
Allah dan sesungguhnya kepada-Nya jugalah kami akan kembali.” (QS
Al-Baqarah [2]: 155)

Bedanya, ujian ini cenderung berada dalam kendali kita dan kita (bisa)
tidak terpaksa untuk menjalankannya. Oleh karena itu, dalam tradisi kita
diajarkan bahwa sedekah adalah suatu cara menolak bala’. Jika kita
bersedekah dan mau memberikan apa yang kita cintai maka Allah Swt. tidak
harus menurunkan bala’ karena kita sudah menguji diri kita dengan cara
menjalankan perintah-Nya; yakni dengan menciptakan bala’ (ujian) untuk
diri kita sendiri.

Sifat saling menetralisasi antara sedekah dan ujian dari Allah ini
sesungguhnya sudah tertanam dalam sunnatullah (hukum Allah). Bagaimana
penjelasannya sehingga sedekah bisa menolak bala’?

Dalam ajaran Islam, suatu peristiwa akan terjadi jika persyaratan untuk
beroperasinya hukum (sunnah) Allah Swt. yang menghasilkan kejadian itu
telah terpenuhi. Misalnya, benda yang punya massa akan jatuh kalau berada
pada jarak tertentu dari permukaan bumi karena beroperasinya gaya gravitasi.
Roket yang memiliki massa bisa naik karena memiliki hukum kekekalan
momentum yang melawan gravitasi. Hukum Allah Swt. sebetulnya tidak
hanya ada di alam empiris ini. Akan tetapi, ada juga di alam lain yang disebut
alam al-amr, alam ruhani. Kedua alam itu masing-masing punya hukum
sendiri, dan bisa saling memengaruhi. Nah, jika hukum alam empiris
harusnya menghasilkan suatu peristiwa, namun hukum alam al-amr
beroperasi melawan hukum alam empiris maka bisa saja kejadian di alam
empiris tidak terjadi. Memang, yang bisa memengaruhi hukum di alam al-
amr itu, selain doa, adalah sedekah.

Sebagai ilustrasi, suatu kali Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya


berkumpul, kemudian lewatlah seorang Yahudi. Lalu Rasulullah berkata,
“Orang Yahudi ini sebentar lagi akan meninggal.” Beberapa waktu
kemudian, lewatlah orang Yahudi tadi dengan membawa kayu bakar.
Ternyata dia tidak meninggal seperti yang disampaikan Rasulullah
sebelumnya. Para sahabat pun bertanya-tanya. Rasulullah kemudian
memanggil orang Yahudi tersebut dan memintanya menurunkan serta
membuka ikatan kayu bakarnya. Setelah ikatan dibuka, tiba-tiba keluarlah
ular berbisa.

Rasulullah Saw. berkata, “Seharusnya kamu meninggal dipatuk ular ini.


Apa yang kamu lakukan?” Orang Yahudi berkata, “Dalam perjalanan
mencari kayu, saya memberi sedekah kepada seorang miskin yang kesulitan.”
Rasulullah Saw. berkata, “Sedekah itulah yang menyelamatkanmu dari
patukan ular berbisa ini.”

Nah, di sinilah justru letak persoalan orang-orang dewasa. Kita hidup


dengan penuh perhitungan untung-rugi. Persisnya, bagaimana
memaksimumkan keuntungan bagi kita, sering tanpa peduli berapa besar
kerugian orang lain dalam proses kita memaksimalkan kerugian itu. Kita
tidak melihat orang apa adanya, tetapi membentuk kesan-kesan yang
menyebabkan timbulnya rasa tidak suka. Kita iri kepada milik orang yang
tidak kita punya. Hidup kita pun dipenuhi penyesalan atas apa yang tidak bisa
kita raih di masa lampau, dan kekhawatiran bahwa di masa depan tak semua
yang kita cita-citakan bisa kita raih. Kita pun kehilangan perspektif tentang
tak terhitung berkah yang sebenarnya sudah kita miliki. Ini semua yang
menyebabkan hidup kita kosong dari spiritualitas, kosong dari kebahagiaan.
Maka, jika kita ingin bahagia, mari belajar dari anak-anak, dan terus berupaya
mempertahankan sifat kepolosan batin anak-anak dalam diri kita.

Selayaknya, kita tidak perlu menunggu “dipaksa” oleh Allah Swt. melalui
kondisi yang sempit, yang dengan kondisi tersebut kita merasa perlu untuk
berbagi atau membantu orang lain, agar dapat keluar dari kesempitan itu.
Sebaliknya, kita perlu terus mendidik diri kita dengan cara menguji diri kita,
dalam bentuk berbagi (berbuat kebajikan) dalam segala situasi.

Selamat berbagi dengan harta terbaik yang kita cintai, sekaligus jalan
meraih makna dan berkah kehidupan, melapangkan jalan dan mendatangkan
kebahagiaan dalam hidup kita, menghindarkan ujian dari Allah Swt., serta
menggapai kedekatan dengan dan kasih sayang-Nya.

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa


(melakukan amal-amal yang dapat mendatangkan ridha Allah dan
menjauhkan kita dari murka-Nya), dan membenarkan adanya pahala
yang terbaik (surga) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan
yang mudah. (QS Al-Lail [92]: 5-7)[]
Lampiran 5:

Menakar Kadar Cinta Dunia1


—Al-Ghazali

D unia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi oleh
para musafir di tengah perjalanannya ke tempat lain. Di sinilah
mereka membekali diri dengan berbagai perbekalan untuk perjalanan itu.
Jelasnya, di sini manusia dengan mempergunakan indra-indra
jasmaniahnya, memperoleh sejumlah pengetahuan tentang karya-karya
Allah serta, melalui karya-karya tersebut, tentang Allah sendiri. Suatu
pandangan tentang-Nya akan menentukan kebahagiaan masa depannya.
Untuk memperoleh pengetahuan inilah, ruh manusia diturunkan ke alam
air dan lempung ini. Selama indra-indranya masih tinggal bersamanya
dikatakan bahwa ia berada di “alam ini”. Jika semua itu pergi dan hanya
sifat-sifat esensial saja yang tinggal, dikatakan ia telah pergi ke “alam
lain”.

Sementara manusia berada di dunia ini ada dua hal yang perlu baginya.
Pertama, perlindungan dan pemeliharaan jiwanya; kedua, perawatan dan
pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya,
sebagaimana ditunjukkan di atas, adalah pengetahuan dan cinta akan
Tuhan. Terserap ke dalam kecintaan akan segala sesuatu selain Allah
berarti keruntuhan jiwa. Jasad bisa dikatakan sebagai sekadar hewan
tunggangan jiwa dan akan musnah, sementara jiwa terus abadi. Jiwa mesti
merawat badan persis sebagaimana seorang peziarah, dalam perjalanannya
ke Makkah, merawat ontanya, kafilah pun akan meninggalkannya dan ia
akan mati di padang pasir.

Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah manusia itu sederhana saja, hanya


terdiri dari tiga hal; makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Akan tetapi,
nafsu-nafsu jasmaniah yang tertanam di dalam dirinya dan keinginan untuk
memenuhinya cenderung untuk memberontak melawan nalar yang lebih
belakangan tumbuh dari nafsu-nafsu itu. Sesuai dengan itu, sebagaimana
kita lihat di atas, mereka perlu dikekang dan dikendalikan dengan hukum-
hukum Tuhan yang disebarkan oleh para nabi.

Adapun mengenai dunia yang mesti kita garap, kita dapati ia


terkelompokkan dalam tiga bagian: hewan, tetumbuhan, dan barang
tambang. Produk-produk dari ketiganya terus-menerus dibutuhkan oleh
manusia dan telah mengembangkan tiga pekerjaan besar; pekerjaan para
penenun, pembangun, dan pekerja logam. Sekali lagi, semuanya itu
memiliki banyak cabang yang lebih rendah seperti penjahit, tukang batu,
dan tukang besi. Tidak ada yang bisa sama sekali bebas dari yang lain. Hal
ini menimbulkan berbagai macam hubungan perdagangan dan sering
mengakibatkan kebencian, iri hati, cemburu, dan lain-lain penyakit jiwa.
Oleh karena itu, timbullah pertengkaran dan perselisihan, kebutuhan akan
pemerintahan politik dan sipil serta ilmu hukum.

Demikianlah, pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis di dunia ini telah


menjadi makin rumit dan menimbulkan kekacauan. Penyebab utamanya
adalah manusia telah lupa bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sebenarnya
hanya tiga; pakaian, makanan, dan tempat tinggal, bahwa semuanya itu ada
hanya demi menjadikan jasad sebagai kendaraan yang layak bagi jiwa di
dalam perjalanannya menuju dunia berikutnya. Mereka terjerumus ke
dalam kesalahan yang sama sebagaimana sang peziarah menuju Makkah
yang karena melupakan tujuan ziarah dan dirinya sendiri, terpaksa
menghabiskan waktunya untuk memberi makan dan menghiasi ontanya.
Seseorang pasti akan terpikat dan tersibukkan oleh dunia—yang oleh
Rasulullah dikatakan sebagai tukang sihir yang lebih kuat daripada Harut
dan Marut—kecuali jika orang tersebut menyelenggarakan pengawasan
yang paling ketat.

Watak penipu dari dunia ini bisa mengambil berbagai bentuk. Pertama,
ia berpura-pura seakan-akan bakal selalu tinggal dengan Anda, sementara
nyatanya ia pelan-pelan menyingkir dari Anda dan menyampaikan salam
perpisahan, sebagaimana suatu bayangan yang tampaknya tetap, tetapi
kenyataannya selalu bergerak. Demikian pula, dunia menampilkan dirinya
di balik kedok nenek sihir yang berseri-seri, tetapi tak bermoral, berpura-
pura mencintai Anda, menyayangi Anda, dan kemudian membelot kepada
musuh Anda, meninggalkan Anda mati merana karena rasa kecewa dan
putus asa.

Isa a.s. melihat dunia terungkap dalam bentuk seorang wanita tua yang
buruk muka. Ia bertanya kepada wanita itu, berapa banyak suami yang ia
miliki, dan mendapat jawaban jumlahnya tak terhitung. Ia bertanya lagi,
telah matikah mereka ataukah diceraikan. Kata si wanita, ia telah
memenggal mereka semua. “Saya heran,” kata Isa a.s., “atas kepandiran
orang yang melihat apa yang telah kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi
masih tetap menginginkanmu.” “Wanita sihir ini mematut dirinya dengan
pakaian indah-indah dan penuh permata, menutupi mukanya dengan cadar,
kemudian mulai merayu manusia. Sangat banyak dari mereka yang
mengikutinya menuju kehancuran diri mereka sendiri. Rasulullah Saw.
bersabda bahwa di Hari Pengadilan, dunia ini tampak dalam bentuk
seorang nenek sihir yang seram, dengan mata yang hijau dan gigi
bertonjolan. Orang-orang yang melihat mereka akan berkata, “Ampun!
Siapa ini?” Malaikat pun akan menjawab, “Inilah dunia yang deminya
engkau bertengkar dan berkelahi serta saling merusak kehidupan satu sama
lain.” Kemudian wanita itu akan dicampakkan ke dalam neraka sementara
dia menjerit keras-keras, “Oh Tuhan, di mana pencinta-pencintaku
dahulu?” Tuhan pun kemudian akan memerintahkan agar mereka juga
dilemparkan mengikutinya.

Siapa pun yang mau secara serius merenung tentang kebaikan yang telah
lalu, yaitu selama dunia ini belum ada, dan keabadian masa depan, saat
dunia sudah tidak ada lagi, akan melihat bahwa kehidupan dunia ini seperti
sebuah perjalanan yang babakannya dicerminkan oleh tahun, liga-liga
(ukuran jarak, kira-kira sama dengan tiga mil) oleh bulan, mil-mil oleh
hari, dan langkah-langkah oleh saat. Kemudian, kata-kata apa yang bisa
menggambarkan ketololan manusia yang berupaya untuk menjadikannya
tempat tinggal abadi dan membuat rencana-rencana untuk sepuluh tahun
mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi tak pernah ia butuhkan
karena sangat mungkin ia sepuluh hari lagi sudah berada di bawah tanah.

Orang-orang yang telah mengumbar diri tanpa batas dengan


kesenangan-kesenangan dunia ini, pada saat kematiannya akan seperti
seseorang yang memenuhi perutnya dengan bahan makanan terpilih dan
lezat, kemudian memuntahkannya. Kelezatannya telah hilang, tetapi
ketidakenakannya tinggal. Makin berlimpah harta yang telah mereka
nikmati—taman-taman, budak laki-laki dan perempuan, emas, perak, dan
lain sebagainya—akan makin keraslah mereka rasakan kepahitan berpisah
dari semuanya itu. Kepahitan ini akan terasa lebih berat dari kematian
karena jiwa yang telah menjadikan ketamakan sebagai suatu kebiasaan
tetap akan menderita di dunia yang akan datang akibat kepedihan nafsu-
nafsu yang terpuasi.

Sifat berbahaya lainnya dari benda-benda duniawi adalah bahwa pada


mulanya mereka tampak sebagai hal-hal sepele, tetapi hal-hal yang
dianggap sepele ini masing-masing bercabang tak terhitung banyaknya
sampai menelan seluruh waktu dan energi manusia. Isa a.s. bersabda,
“Pencinta dunia ini seperti seseorang yang minum air laut; makin banyak
minum, makin hauslah ia sampai akhirnya mati akibat kehausan yang tak
terpuasi.” Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau tak bisa lagi bercampur
dengan dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana engkau tak bisa
menyelam dalam air tanpa menjadi basah.”

Dunia ini seperti meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan
pergi silih berganti. Ada piring-piring emas dan perak makanan dan
parfum yang berlimpah-limpah. Tamu yang bijaksana makan sebanyak
yang ia butuhkan, menghirup harum-haruman, mengucapkan terima kasih
pada tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya, tamu-tamu yang tolol mencoba
untuk membawa beberapa piring emas dan perak dengan akibat semua itu
merenggutkan dari tangannya dan ia pun dicampakkan dalam keadaan
kecewa dan malu.

Kita tutup gambaran sifat menipu dunia dengan tamsil pendek berikut
ini. Misalkan, sebuah kapal akan sampai pada sebuah pulau yang berhutan
lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan
berhenti selama beberapa jam di sana, dan mereka boleh berjalan-jalan di
pantai sebentar seraya mengingatkan mereka agar tidak terlalu lama. Para
penumpang pun turun dan bertebaran ke berbagai arah. Meskipun
demikian, orang yang paling bijaksana akan segera kembali, menemukan
bahwa kapal itu kosong, lalu memilih tempat yang paling nyaman di
dalamnya.

Kelompok penumpang yang kedua menghabiskan waktu yang agak


lebih lama di pulau tersebut, mengagumi dedaunan, pepohonan dan
mendengarkan bunyi burung-burung. Ketika kembali ke kapal mereka
temui tempat-tempat yang paling nyaman di kapal tersebut telah terisi dan
terpaksa puas dengan tempat yang agak kurang nyaman.

Kelompok ketiga berjalan-jalan lebih jauh lagi dan menemukan batu-


batu berwarna yang amat indah lalu membawanya kembali ke kapal.
Keterlambatan itu membawa mereka untuk mendekam jauh di bagian
paling rendah kapal itu, tempat mereka dapati batu-batuan yang mereka
bawa—yang ketika itu telah kehilangan segenap keindahannya—
mengganggu mereka di perjalanan.

Kelompok terakhir berjalan-jalan sedemikian jauh sehingga tak bisa


dijangkau lagi oleh suara kapten kapal yang memanggil mereka untuk
segera kembali ke kapal. Sehingga kapal itu pun akhirnya terpaksa berlayar
tanpa mereka. Mereka luntang-lantung dalam keadaan tanpa harapan dan
akhirnya mati kelaparan, atau menjadi mangsa binatang buas.

Kelompok pertama mencerminkan orang-orang beriman yang sama


sekali menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok terakhir adalah kelompok
orang kafir yang hanya mengurusi dunia ini dan sama sekali tidak
mengacuhkan yang akan datang. Dua kelompok di antaranya orang-orang
yang masih mempunyai iman, tetapi menyibukkan diri mereka, sedikit atau
banyak, dengan kesia-siaan benda-benda sekarang.

Meskipun telah kita katakan banyak hal yang menentang dunia, mesti
diingat bahwa ada beberapa hal di dunia yang tidak termasuk di dalamnya,
seperti ilmu dan amal baik. Seseorang membawa bersamanya ilmu yang ia
miliki ke dunia yang akan datang, meskipun amal-amal baiknya telah
lampau, efeknya tetap tinggal dalam pribadinya. Khususnya dengan ibadah
yang menjadikan orang terus-menerus ingat dan cinta kepada Allah.
Semuanya ini termasuk “hal-hal yang baik”, dan sebagaimana difirmankan
dalam Al-Quran, “Tidak akan terhapus”.

Ada hal-hal baik di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, dan


pakaian, yang oleh orang bijaksana digunakan sekadarnya untuk
membantunya mencapai dunia yang akan datang. Benda-benda lain yang
memikat pikiran yang menyebabkan setia kepada dunia ini dan ceroboh
tentang dunia lain adalah benar-benar kejahatan dan disebutkan oleh
Rasulullah Saw. dalam sabdanya, “Dunia ini terkutuk dan segala sesuatu
yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah dan
segala sesuatu yang mendukung perbuatan itu.”[]

1 Al-Ghazali, Meramu Kebahagiaan, hal. 33, Penerbit Hikmah,


2002.

Lampiran 6:

Cara Menggunakan Harta untuk Mencapai


Kebahagiaan Spiritual2*
—Al-Razi

A nda harus tahu bahwa ada banyak ayat yang memuji harta kekayaan,
tetapi sebagian ayat mencelanya.

Ayat-ayat pujian itu merupakan kata-kata langsung Allah:


Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat?” (QS Al-Baqarah [2]: 215)

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah)


sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu … (QS Al-
Baqarah [2]: 254)

… dan carilah karunia Allah …. (QS Al-Jumu’ah [62]: 10)

Adapun ayat-ayat yang mengecam kekayaan adalah:

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu


melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat
demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS Al-
Munâfiqûn [63]: 9)

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah


sebagai cobaan … (QS Al-Anfâl [8]: 28)

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. (QS Al-Takatsur [102]: 1)

Karena ayat-ayat di atas tampak saling bertentangan maka perlu


dijelaskan sisi-sisi keharmonisannya. Satu-satunya cara yang mungkin
untuk mengharmoniskan ayat-ayat di atas adalah dengan menjelaskan
derajat-derajat keutamaan, sebagai berikut:

1. Keutamaan jiwa seperti ilmu dan akhlak;

2. Keutamaan tubuh seperti kesehatan dan kecantikan;

3. Keutamaan atau kekayaan eksternal; yang sebagiannya berada


dekat kita (sangat primer) seperti makanan dan minuman yang
melayani tubuh, sedangkan tubuh melayani jiwa dan jiwa pun
menyempurnakan dirinya dengan ilmu dan akhlak—dalam hal
ini tubuh dan jiwa menjadi dua tuan yang dilayani.
(Sedangkan sebagian lagi jauh dari tubuh seperti harta
kekayaan yang umumnya sangat berguna). Karena kekayaan,
jika digunakan untuk mencapai ilmu dan akhlak maka
terpujilah dia, sebaliknya jika dihabiskan untuk berbagai
kesenangan jasmani yang telah disadari buruk maka buruklah
ia.

Demikianlah, cara untuk menemukan kecocokan antara berbagai ayat di


atas. Karena, dengan penggunaan harta pertama, kebahagiaan abadi akan
terjamin. Sebaliknya, melalui penggunaan yang buruk, kemalangan abadi
pun akan mendera.

Kekayaan bisa digunakan pemiliknya untuk keperluan dirinya maupun


untuk keperluan orang lain. Mengenai keperluan dirinya, manusia memang
diciptakan begitu rupa sehingga tak bisa mengelak dari kebutuhan pangan,
sandang, papan, dan pernikahan. Jika ia tidak memenuhi kebutuhan-
kebutuhan ini, pasti ia tak dapat mencapai kesempurnaan pengetahuan dan
jiwanya. Kebutuhan-kebutuhan ini tak dapat dipenuhi, kecuali melalui
kekayaan. Dalam hal ini, kekayaan menjadi sarana pendukung untuk
mencapai kebahagiaan spiritual.

Adapun penggunaan kekayaan untuk keperluan orang lain, hal ini bisa
untuk orang-orang tertentu ataupun untuk kepentingan umum.

Kasus pertama, misalnya kekayaan yang digunakan untuk mengatasi


kesulitan. Kekayaan yang diberikan kepada penguasa tiran agar ia
membebaskan seseorang dari penjara. Atau misalnya, kekayaan yang
diberikan kepada penyair yang ditakutkan akan menggubah satir.

Penggunaan kekayaan bisa untuk tujuan-tujuan duniawi maupun


ukhrawi.

Untuk tujuan duniawi ada dua macam. Pertama, seseorang bisa saja
selalu sibuk untuk mencapai keutamaan jiwa—ilmu dan akhlak—dan dia
tidak pernah bisa lepas dari mengejar urusan-urusan duniawinya, sehingga
dapat mempekerjakan seseorang dan membayarnya. Kedua, menghabiskan
sebagian hartanya demi menjaga harga diri dan menghormati tamu. Semua
ini adalah baik dan terpuji.
Adapun pengeluaran untuk tujuan akhirat, contohnya zakat dan sedekah.

Selanjutnya, pengeluaran untuk kepentingan umum, seperti


pembangunan masjid, jembatan, pemondokan musafir, rumah sakit, sumur
umum, pabrik, dan penyediaan sarana minum di jalan-jalan. Semua ini
baik dan menjelaskan bagaimana seseorang bisa mendapat manfaat dari
hartanya.

Adapun kekayaan yang membawa kesengsaraan, penyebabnya lebih dari


satu alasan:

1. Dorongan syahwat sangatlah kuat menguasai diri. Jika


kemampuan untuk mendapatkan berbagai kesenangan itu
tersedia, sedangkan dorongan syahwat yang kuat tidak
menemukan rintangan maka terjadilah tindakan buruk itu.

2. Bila harta tersedia, seseorang bisa bersenang-senang dengan


hal-hal yang diperbolehkan karena dorongan kuat ada, dan
tidak ada halangan maka tindakan pun dapat terulang. Namun,
ketika dia mulai keranjingan, sementara harta terus berkurang,
ia tidak dapat menahan diri untuk menunda kesenangan.
Akibatnya, jatuhlah ia pada cara-cara mencari harta yang
terlarang, dan terbukalah di depannya pintu-pintu berbagai
macam kebiasaan buruk.

3. Mengelola kekayaan dengan keseimbangan antara untuk


keperluan jasmani dan ruhani tidaklah mudah. Dan sekiranya
seseorang tidak berusaha keras, kekayaannya tak bakal
terkelola dengan cara yang baik. Perhatian hatinya pada
pengusahaannya, (jika ia tidak berhati-hati) pun akan
mencegahnya dari mengikatkan diri untuk mengingat Allah
Swt. karena “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam rongganya”.[]
2 Imam Razi dalam ‘Ilm Al-Akhlaq, Kitab Bhavan, New Delhi, 1978.
h. 198-199.
Lampiran:
Peperangan dan Kekerasan dalam Islam

U ntuk melengkapi pembahasan mengenai Islam sebagai agama cinta dan


kasih sayang, baiklah secara ringkas kita singgung masalah kekerasan
dan peperangan dalam Islam—yang selama ini dijadikan dasar
pengembangan stereotype untuk mengidentifikasi Islam sebagai agama pro-
kekerasan, mendukung perang, dan aksi terorisme. Ayat-ayat perang dalam
Al-Quran, sejauh yang saya pahami, sangatlah kontekstual—yakni, terkait
dengan upaya melawan kejahatan dan penindasan. Sedangkan penggunaan
kekerasan, dalam ajaran Islam, selalu terkait dengan situasi dan kondisi
peperangan.

Sebelum itu, baiklah kita overview secara sepintas diskusi tentang makna
jihad dalam ajaran Islam. Di kalangan umat Islam sendiri, memang tidak ada
satu persepsi dalam memahami istilah “jihad”. Ada yang memaknai jihad
sebagai perang, sementara sebagian besar yang lain memandang jihad
sebagai konsep yang mencakup aspek yang lebih luas. Untuk menyikapi
perbedaan itu, tak ada cara lain, kecuali kita mesti membaca dan memahami
ayat-ayat terkait tentang jihâd, qitâl, dan harb. Kemampuan untuk
memahami ayat-ayat itu akan membawa kita kepada pengertian yang utuh
tentang jihad.

Seperti dibahas oleh banyak ahli, termasuk Khaled Abou el-Fadl, Al-Quran
tidak menggunakan istilah jihad semata-mata untuk maksud perang atau
pertempuran. Untuk menunjuk perang atau pertempuran, Al-Quran
menggunakan kata qitâl (perang). Al-Quran menyebut jihad sebagai mutlak
dan tak terbatas. Hal yang sama tak berlaku untuk qitâl. Jihad adalah sesuatu
yang pada dasarnya baik, sementara qitâl tidak demikian. Perintah qitâl
dalam Al-Quran itu dibatasi oleh kondisi tertentu; tetapi, desakan akan jihad,
seperti acuan pada keadilan dan kebenaran, mutlak dan tak bersyarat.

Nah, bahkan dalam peperangan sekalipun, Al-Quran selalu segera


mengaitkan perintah berperang dengan perintah agar tidak melampaui batas,
siap memaafkan, dan mendahulukan perdamaian. Jelaslah bahwa Islam
melihat perang, dan penggunaan kekerasan pada umumnya, sebagai
pengecualian, bukan prinsip umum dalam memecahkan masalah
pertentangan. Bahkan, Al-Quran mengisyaratkan, umat Muslim tidak
menyukai peperangan, sebagaimana diterangkan oleh Allah Swt., Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci (QS Al-Baqarah [2]: 216).

Sejalan dengan itu, Islam melihat peperangan lebih sebagai tindakan


defensif. Ofensif hanya dipandang legitimate untuk melawan penyerangan,
pengkhianatan terhadap perjanjian, perusakan, dan dalam rangka membela
suatu kelompok manusia atas penindasan—oleh Al-Quran, semua kejahatan
ini disebut sebagai fitnah—oleh kelompok manusia lainnya. Dalam QS Al-
Anfal [8], ayat 55-57, misalnya, Allah berfirman:

Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk


dalam pandangan Allah ialah orang-orang kafir (yakni, yang menolak
kebenaran) karena mereka tidak beriman. (Yaitu) orangorang yang
terikat perjanjian dengan kamu, kemudian setiap kali berjanji, mereka
mengkhianati janjinya, sedang mereka tidak peduli (kepada Allah).
Maka, jika engkau (Muhammad) mengungguli mereka dalam
peperangan maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang
mereka, agar mereka mengambil pelajaran.

Mudah kita dapati bahwa setiap ayat, yang memerintahkan kaum Muslim
untuk berperang atau memerangi orang, selalu ditempatkan dalam konteks
seperti ini. (Pembahasan ringkas, tetapi mencukupi dapat dibaca dalam M.
Quraish Shihab, Ayat-Ayat Fitna: Sekelumit Keadaban Islam di Tengah
Purbasangka, PSQ dan Lentera Hati, 2000, Jakarta.)

Hal ini diperkuat dengan ayat-ayat yang mengajarkan agar kita berbuat
baik dan adil serta memaafkan, bahkan terhadap kaum kafir, selama mereka
tak memerangi, mengganggu, atau mengkhianati perjanjian dengan kaum
Muslim. Di bawah ini salah satu contohnya:

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak
mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu, orang-orang
yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari
kampung halamanmu serta membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang
yang zalim. (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9)

Begitu pun, peperangan dan kekerasan harus dihentikan segera setelah


kelompok yang melakukan fitnah siap maju ke meja perundingan.

Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan ketundukan
hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti maka tidak ada (lagi)
permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim. (QS Al-Baqarah [2]:
193)

Di dalam ayat yang lain, Allah menegaskan keharusan kita mengutamakan


perdamaian di atas peperangan:

Akan tetapi, jika mereka cenderung pada perdamaian, hendaklah kalian


juga condong padanya (perdamaian). Dan bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (QS Al-
Anfal [8]: 61)

Memang, bukan tidak ada kejadian dalam peperangan yang di dalamnya,


tawanan dijatuhi hukuman mati. Khususnya, dalam kasus pengkhianatan
kaum Yahudi dalam Perang Parit (Khandaq). Akan tetapi, jika dipelajari,
hukuman itu jatuh justru karena kaum Yahudi sendiri memilih dan menunjuk
pelaku arbitrase dari kalangan mereka (Yahudi) sendiri—yang, dengan
berdasar hukum Yahudi, kemudian memutuskan bahwa seluruh tawanan laki-
laki yang menjadi kombatan harus dihukum mati.[]
MAKRIFAT CINTA
Penulis : Candra Malik

Format: 13 x 20 cm
Tebal: 308 halaman
Harga:Rp54.000
KITAB CINTA
Menyelami Bahasa Kasih Sang Pencipta

Penulis: Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy


Format: 13 x 20,5 cm
Tebal: 224 halaman
Harga: Rp39.000

Anda mungkin juga menyukai