BAB I..................................................................................................................... 2
A. PENDAHULUAN............................................................................................. 2
B. Khauf.............................................................................................................. 2
C. Raja............................................................................................................... 2
D. Mahabbah...................................................................................................... 3
BAB II.................................................................................................................... 4
A. Ajaran dan Tokoh Tasawuf Pada Masa Awal...........................................4
1. HASAN Al-BASHRI..................................................................................... 4
a. Riwayat hidup........................................................................................ 4
b. Pendidikan.............................................................................................. 4
c.
d. Karir......................................................................................................... 5
e. Ajaran-ajaran tasawufnya....................................................................5
2. RABIAH AL ADAWIYAH..........................................................................7
a. Kelahiran dan Masa Kecil.....................................................................7
b. Menjadi Budak........................................................................................ 9
c.
Setelah Merdeka..................................................................................10
4. AL HALLAJ................................................................................................. 20
a. Biograf Singkat Al Halaj....................................................................20
b. Prinsip Pemikiran Tasawuf Al Hallaj.................................................22
c.
KESIMPULAN..................................................................................................... 27
BAB I
A. PENDAHULUAN
Dari sekian banyak sifat-sifat terpuji, maka yang perlu mendapat
perhatian antara lain: tauhid, taubah, zuhud, cinta (hubb), wara, sabar,
faqr. Kita mengenal ada banyak tokoh tasawuf. Pada masa
pembentukannya, yakni abad I Hijriah muncul Hasan Basri (w. 110 H)
dengan ajarah khauf-nya. Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri
diikuti oleh Rabiah al Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang
terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah). (HM. Amin Syukur, 2002:
19)
Syukur, muraqabah dan muhasabah, ridha, tawakkal, Setelah
seseorang sanggup melalui dua tahap tersebut, maka ia akan sampai
pada tahap ketiga, yakni tajalliy. Tajalliy berarti lenyap/hilangnya hijab dari
sifat kemanusiaan (basyariyah) atau terangnya nur yang selama itu
bersembunyi (ghaib) atau fana segala sesuatu (selain Allah) ketika
nampak wajah Allah. Pencapaaian tajalliy tersebut melalui pendekatan
rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati nurani). Qalb menurut sufi
mempunyai kemampuan lebih apabila dibandingkan dengan kemampuan
akal. (HM. Amin Syukur, 2002: 166-186). Pada masa pengembangannya,
yakni pada abad III dan IV Hijriyah tasawuf sudah mempunya corak yang
berbeda sama sekali dengan abad sebelumnya. Pada masa ini tasawuf
sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjerumus ke persatuan
hamba dengan khaliq. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh Abu Yazid alBusthami (261 H) dan al-Hallaj, yang merupakan yang pertama kali
menggunakan istilah fana. Corak pemikiran tasawuf Abu Yazid ditentang
keras oleh Ibn Taymiyah, sang pendekar ortodox, yang dengan lantang
menyerang ajaran-ajaran sufi yang dianggap menyeleweng dari syariat
Islam. (HM. Amin Syukur, 2002: 30-31)
Kemudian pada abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul
cikal bakal orde-orde (tarekat) sufi kenamaan. Antara lain tarekat
qadariyah yang dikaitkan dengan Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H),
tarekat Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah
al-Suhraardi (539-631 H), Tarekad Syadziliyah, yang dikaitkan dengan Abu
Hasan Al-Syadzili (592-656 H), Tarekat Badaqiyah yang dikaitkan dengan
Ahmad Al-Badawi (596-675), dan tarekat Naqsyabandiyah yang dikaitakan
kepada Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H).
(HM. Amin Syukur, 2002: 30). Lalu, pada masa pemurnian muncullah
nama-nama seperti Ibn Araby, Ibn Faridh, Jalaludin ar-Rumi dan
sebagainya. Masa ini dianggap sebagai masa keemasan gerakan tasawuf
secara teoritis mapun praktis (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
B. Khauf
C. Raja
Raja bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja sebagai senangnya
hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan
menurut al-Qusyairi raja adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar alWarraq menerangkan bahwa raja adalah kesenangan dari Allah bagi hati
orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka
dan hilanglah akal mereka.
D. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti
halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid
menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati
seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang
datang dariNya tanpa usaha.
E. Al-Marifah
Seperti telah dijelaskan, bahwa bagian terpenting dari tujuan sufi adalah
memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan
disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini
sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi dalam
mengartikan hadirat Tuhan itu, ternyata terdapat perbedaan konseptual,
perbedaan ini bersumber dari ketidaksamaan mereka mengenai hakekat
tuhan dan manusi. Sebagian sufi berpendapat bahwa Allah SWT adalah
puncak Kecantikan dan Kesempurnaan, sementara yang lain menyatakan
sebagai iradah, Nurul Anwar dan juga disebut Ilmu atau Marifah. Di pihak
lain diyakini bahwa minisis dan alam ini adalah mazhohir atau radiasi dari
hakikat Tuhan, jiwa atau roh manusia adalah pancaran dari Nurul Anwar.
Untuk bisa mencapai hadirat Tuhan, harus melalui penyucian jiwa atau
purgativa (takhalli) dan berlanjut kepada kontemplativa (tahalli) yang
berujung ketingkat illuminativa (tajalli). Ketiga proses ini harus diisi
dengan melalui stasiun-stasiun atau al-maqomat. Keseluruhan rangkaian
al-maqamat itu adalah latihan olah kerohanian melalui serangkaian amal
ibadah yang ketat dan khas sufi. Oleh karena itu tipe tasawuf semacam
itu digolongkan kepada tasawuf amali. Untuk melakukan usaha yang berat
itu, seseorang harus dilandasi rasa cinta kepada Allah SWT dalam arti
yang sesungguhnya.
Al-Hubb atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan
dengan marifat, karena nampaknya manivestasi dari mahabbah itu
adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang disebut marifat. Al-hubb
mengandung pengertian terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada
Allah SWT yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya.
BAB II
A. Ajaran dan Tokoh Tasawuf Pada Masa Awal
1. HASAN Al-BASHRI
a. Riwayat hidup
Nama lengkapnya Abu Said Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid
yang sangat masyhur di kalangan tabiin. Ia juga seorang ulama besar
dalam beberapa bidang ilmu, seperti hadits, fiqih, dan tafsir, juga seorang
pendidik dan sufi. Ayahnya bernama Yasar Al-Bashri Maula Zaid bin Tsabit
Al-Anshari, sedangkan ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah. Ia
dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (642 M.) dan wafat pada hari
Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H. (728 H.). Ia dilahirkan dua
malam sebelum Khalifah Umar bin Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu
dengan 70 orang sahabat yang turut peperangan Badar dan 300 sahabat
lainnya. Keluarga Hasan Al-Bashri adalah keluarga yang berilmu dan
menaruh perhatian terhadap ilmu, terutama Al-Quran dan Hadits. Ibunya
sendiri, yang sangat dekat dengan Ummu Salamah, salah seorang istri
Rasulullah SAW, tergolong orang berilmu. Ibunya itu adalah seorang
penghafal dan periwayat hadits, yang menerima dan meriwayatkan
banyak hadits dari Ummu Salamah.
b. Pendidikan
Awal pendidikan Hasan Al-Bashri diperolehnya dari lingkungan
keluarganya sendiri, Ibunya adalah gurunya yang pertama. Kehidupan
keluarganya di Madinah, yang berlangsung selama kurang lebih 16 tahun
sejak kelahiran Hasan Al-Bashri sampai dengan perpindahannya ke
Basrah, member warna tersendiri bagi perkembangan pengetahuannya.
Ibunya banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan Hasan Al-Bashri dan saudaranya. Berkat pendidikan dan
pembinaan dari ibunya, maka pada usia 14 tahun Hasan sudah menghafal
Al-Quran. Sejak usia dini seperti ini ia juga telah banyak mendengar
riwayat (hadits) dari ibunya. Pergaulannya dengan para sahabat Nabi SAW
membuat cakrawala pengetahuanagamanya, terutama hadits, bertambah
luas.
Yordania,
membagi
masa
d. Karir
Pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir
kepada seluruh ulama di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke
Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan AlBashri. Disamping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang
yang wara dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Untuk
mengembangkan ilmu yang pertama diterimanya, ia membuka Madrasah
Hasan Al-Bashri, yaitu sebuah forum khusus untuk berdiskusi dan bertukar
pikiran dengan para murid. Di madrasah inilah ia mengajarkan berbagai
ilmu keislaman. Ia menyampaikan pesan-pesan pendidikannya melalui
dua cara.
1. Ia mengajak murid-muridnya untuk menghidupkan kembali kondisi
masa salaf, seperti yang terjadi pada masa para sahabat Nabi SAW,
terutama pada masa Umar bin Khattab, yang selalu berpegang
kepada Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW.
2. Ia menyeru murid-muridnya untuk bersikap zuhud dalam
menghadapi kemewahan dunia. Zuhud menurut pengertiannya ialah
tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari soal
dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada.
Dr. Abdul Munim al-Hifni, seorang ahli tasawuf Cairo, memasukan Hasan
al-Basri dalam kelompok sufi besar. Dengan mengutip pendapat Abu
Hayyan at-Tauhidi (seorang ahli tasawuf), ia mengatakan bahwa Hasan alBasri adalah seorang zahid yang warak dan penasihat yang nasihatnya
menyejukan hati dan kalimatnya menyentuh akal. Tentang tasawuf, Hasan
al-Basri berkata, Barang siapa yang memakai tasawuf karena tawadlu
(kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan
hatinya, dan barang siapa yang memakai tasawuf karena kesombongan
kepada-Nya akan dicampakkan-Nya ke dalam neraka.
e. Ajaran-ajaran tasawufnya
Kedalaman pengetahuan Hasan Al-Bashri mengenai tasawuf
membuatnya cenderung untuk mengartikan beberapa istilah dalam
agama islam menurut pendekatan tasawuf. Islam, misalnya, diartikannya
sebagai penyerahan hati dan jiwa hanya kepada Allah SWT dan
keselamatan seorang muslim dari gangguan muslim lain. Orang beriman,
menurutnya, adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang dikatakan
Allah SWT, itu pulalah yang harus dia katakan. Orang mukmin ialah orang
yang paling baik amalannya dan paling takut kepada Allah SWT. Para sufi,
menurut pengertiannya, ialah orang yang hatinya selalu bertakwa kepada
Allah SWT dan memiliki cirri-ciri antara lain berbicara benar, menepati
janji, mengadakan silaturahmi, menyayangi yang lemah, tidak memuji
diri, dan mengerjakan yang baik-baik. Faqih, menurutnya, ialah orang
yang zahid terhadap dunia dan senang terhadap akhirat, melihat dan
memahami agamanya, senantiasa beribadah kepada Tuhannya, bersikap
warak, menjaga kehormatan kaum muslimin dan harta mereka, dan
menjadi penasihat dan pembimbing bagi masyarakatnya. Sebagaimana
sufi lainnya, Hasan Al-Bashri sangat takut terhadap siksaan Allah SWT.
Abdul Munim Al-Hifni menggambarkan bahwa Hasan Al-Bashri tampak
seperti orang yang selalu ketakutan. Ia selalu merasa takut karena
membayangkan bahwa neraka itu seakan-akan diciptakan oleh Allah SWT
semata-mata untuk dirinya.
Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau (Hasan AlBashri) diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh
Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan
sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah Yazid
yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, Allah telah memberi
kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk
2. RABIAH AL ADAWIYAH
Allah SWT. Tentu Dia akan memberikan jalan keluar yang terbaik buat kita,
dan hanya Dialah yang memelihara serta memberikan kecukupan kepada
kita. Percayalah wahai istriku tercinta.
Kalimat-kalimat diatas, digunakan oleh Abdul Munim Qandil untuk
menggambarkan bagaimana miskinnya keluarga Ismail saat Rabiah
dilahirkan. Ismail menamakan Rabiah, karena ia adalah anak yang
keempat. Sedangkan Adawiyah dilakobkan karena ia berasal dari bani
Adawiyah. Istri dan ketiga anaknya tidak setuju dengan nama tersebut,
yang dianggap aneh dan jelek, maka Ismail pun sangat sedih. Akan tetapi
saat tidur, malam hari, Ismail bermimpi bertemu Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW berkata: Janganlah engkau bersedih, karena putrimu itu
akan menjadi seorang perempuan mulia, sehingga banyak orang akan
mengharapkan syafaatnya.
Kemudian Rasulullah SAW menyuruh ayah Rabiah untuk pergi menemui
Isa Zadan, Amir Basrah dengan menyiapkan sepucuk surat berisi pesan
Rasulullah SAW, seperti yang disampaikan dalam mimpinya. Hai Amir,
engkau biasanya shalat 100 rakaat setiap malam. Dan setiap malam
jumat 400 rakaat, tetapi pada hari jumat yang terakhir, engkau lupa
melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar 400
dinar kepada yang membawa surat ini sebagai kifarat atas kelalaian itu.
Pada pagi hari, ayah Rabiah menulis sepucuk surat seperti yang
dipesankan oleh Rasulullah SAW dan pergi ke istana Amir.
Dikarenakan tidak dapat langsung menemui Amir, surat itu diserahkan
kepada pengawal istana, yang langsung pergi menghadap. Ketika Amir
membaca surat dari ayah Rabiah, ia segera memerintahkan untuk segera
menyerahkan 400 dinar. Namun ia segera membatalkan perintahnya
seraya berkata: Biarlah saya sendiri yang mengantarkan uang ini,
sebagai penghormatan terhadap orang yang mengirim pesan ini, dan saya
akan mengawasi anaknya yang mulia ini. Dengan peristiwa tersebut,
maka berubahlah persepsi Ismail dan istrinya terhadap anak
perempuannya yang keempat. Kemudian mereka menyambut kehadiran
Rabiah dengan bahagia.
Rabiah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang
terbiasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil sudah
tampak kecerdasan Rabiah, sesuatu yang biasanya tak terlihat pada
gadis kecil seusianya. Oleh karena itu pula sejak kecil ia sudah menyadari
penderitaan yang dihadapi orang tuanya. Kendati demikian hal itu tidak
mengurangi ketakwaan dan pengabdian keluarga Rabiah terhadap Allah
SWT. Dalam kehidupan sehari-harihari, ia selalu memperhatikan
bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah SWT sesuai dengan
yang telah dilihat dan didengarnya dari ayahnya.
Pernah Rabiah mendengar ayahnya berdoa memohon kepada Allah SWT
dan semenjak itu , lafal-lafal doa itu tidak pernah hilang dari ingatannya,
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diriMu. Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu,
Cinta karena diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga
Engkau kulihat. Baik ini maupun itu, pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu
pujian untuk kesemuanya.
Untuk memperjelas pengertian Al-hub yang diajukan Rabiah, yaitu hub Alhawa dan hub anta ahl lahu, perhatikanlah tafsiran beberapa tokoh
berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana dijelaskan
Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna hubb Al-hawa adalah rasa
cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah.
Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat material, tidak
spiritual, karenanya hubb disini bersifat hubb indrawi. Walaupun demikian,
hubb Al-hawa yang diajukan Rabiah ini tidak berubah-rubah, tidak
bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat.
Hal ini karena Rabiah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu
yang ada dibalik nikmat tersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah
cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang
dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa.
Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabiah timbul karena perasaan
cinta kepada Dzat yang dicintai.
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabiah
sebagai berikut: Mungkin yang dimaksud oleh Rabiah dengan cinta
karena dirinya adalah cinta kepada Allah SWT karena kebaikan dan
karunia-Nya di dunia ini. Sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena ia
layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya.
Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta
merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan
dalam hadis qudsi, Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh Aku menyiapkan
apa yang tidak terlihat mata, tidak terlihat telinga, dan tidak terbesit di
kalbu manusia.
Cinta Rabiah kepada Allah SWT begitu mendalam dan memenuhi seluruh
relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini
seperti terungkap dalam syairnya:
Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar
berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama
selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.
Bagi manusia yang rasa cintanya kepada Allah SWT tidak secara tulus
ikhlas, Rabiah selalu mengatakan:
Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka, tetapi dalam lahir kau
nyatakan cinta. Sungguh aneh segala ini. Andaikan cinta-Mu memang
tulus dan sejati tentu yang Ia perintahkan kau taati, sebab pecinta selalu
patuh dan bakti pada yang dicintai.
f.
Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya diisi oleh rasa cinta dan
rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah,
tanpa motivasi lain kecuali hanya kasih Allah, sebagiamana
disenandungkan oleh Rabiah al-Adawiyah (w.185) dalam syairnya:
,
.
Tuhanku, bila aku mengabdi-Mu karena takut neraka, campakkanlah aku
kesana. Andaikata aku mengabdi-Mu hanya karena mengejar surga-Mu
jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, bila ternyata aku menyembahMu hanya karena kasihku pada-Mu, janganlah tutup wajah-Mu dari
pandanganku.
Kondisi kecintaan yang tanpa pamrih demikian hanya akan tercapai
dengan melalui proses perjalanan panjang dan berat (riyadhoh dan
mujahadah) sehingga pengenalannya kepada Allah SWT menjadi sangat
jelas dan pasti. Yang dihayati dan dirasakan bukan lagi cinta tetapi diri
yang dicinta. Oleh karena itu menurut al-Ghazali, mahabbah itu adalah
pintu gerbang mencapai marifat kepada Tuhan. Paham al-Hubb atau
mahabbah buat pertama kali diperkenalkan oleh Rabiah al-Adawiyah.
Menurut Rabiah, al-Hubb itu adalah rindu dan pasrah kepada Allah SWT.
Seluruh ingatan dan perasaan kepada Allah SWT. Hal ini dapat dilihat
dalam ungkapan-ungkapannya yang ia cetuskan melalui gubahan kata
yang indah, antara lain:
.
Tuhanku, aku terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang
dapat melenyapkan ingatanku pada-Mu. Tuhanku, cahaya bintang
gemerlapan, orang-orang pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat,
yang saling mencintai telah asyik berduaan, sedangkan aku kini
KESIMPULAN
Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah bin Ismail Al-Adawiyah AlBashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M
atau 99 H / 717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak)
dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M.
Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan
penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu
Adwah. Derita Rabiah, gadis yatim piatu itu semakin bertambah
ketika kota Bashrah dilanda musibah kekeringan dan kelaparan.
Banyak penduduk miskin meninggal kelaparan, termasuk ketiga
kakak Rabiah yang lemah, yang membuat ia menjadi gadis
sebatang kara.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani
kehidupan sebagai seorang Zahidah dan Sufiah. Ia menjalani sisa
hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan
menjauhi hidup duniawi.
Ia tak pernah menikah karena tak ingin perjalanannya menuju Tuhan
mendapat rintangan. Perkawinan baginya adalah rintangan. Ia
pernah memanjatkan doa: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari
segala perkara yang menyibukkanku untuk menyembah-Mu dan dari
segala penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.
Prinsip Rabiah untuk tidak menikah tersebut dapat dipertahankan
hingga akhir hayatnya.
Ajaran yang terpenting dari sufi wanita ini. adalah al-mahabbah dan
bahkan menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama
yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas
tasawuf hal ini barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai
wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang
dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu.
seruan. Seorang Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa
yang
bergejolak
dalam
qalbunya
dan
membuat
seseorang
mengungkapkan mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh
pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi sedang
Fana dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia
kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sift itu tidak dapat sirna dari diri
manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika
menganggap kefanaan adalah kefanaan sifat-sifat manusia dan ia
bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.
Terlepas dari semua itu, hal yang paling utama dan mungkin bisa
membebaskan Abu Yazid dari justifikasi negatif yang ditimpakan padanya
adalah bahwa ungkapan Syatahat itu hanya muncul ketika Abu Yazid
sedang dalam keadaan mabuk ilahi; tidak sadar dan terjebak dalam
situasi fana. Karena itu, tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi
pertama yang berhasil mengoperasikan gagasan fana dalam sistematika
ajaran tasawufnya.[3]
Sejauh yang tampak dari ucapan eksperimental itu, terlibat fase bertahap
yang dialami Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah. Akan tetapi yang
paling dramatis adalah beritanya yang menyebutkan jika ia sudah pernah
terbang tinggi (Miraj) menuju keharibaan Allah. Mengenai hal yang satu
ini, Abu Yazid adalah sufi pertama yang memvisualisasikan pengalaman
spiritualnya dalam tajuk miraj, yakni sebuah perjalanan surgawi yang
dahulu juga pernah dilakukan Nabi Muhammad.[4]
Diceritakan Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan surga, menolak
segala tawaran hadiah yang ada di dalamnya, dan hanya berkeinginan
untuk bertemu Allah SWT. Ia mengutarakan pengalamannya ini: ... dan
ketika Allah sepenuhnya mengetahui ketulusanku bahwa aku hanya ingin
bertemu dengan-Nya, maka ia memanggilku, Mari, datanglah mendekat
pada-Ku. Lihatlah dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di
atas karpet kesucian-Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku.
Kamu adalah pilihan-Ku, kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus.
Mendengar perkataan-Nya itu, aku merasa seakan-akan meleleh seperti
timah yang sedang mencair. Lantas Dia memberiku minuman dari mata
air kasih sayang-Nya dalam sebuah cangkir keakraban. Lalu membawaku
ke dalam kedaan yang tidak bisa ku gambarkan. Dia membawaku
mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga lebih dekat daripada jiwa
dengan sebatang tubuh.[5]
Pengalaman miraj ini dijadikan Abu Yazid sebagai sufi yang paling unik
dan eksentrik untuk ukuran masanya, bahkan sesudahnya. Bersamaan
dengan hal itu, puncak dari segala kontroversial Abu Yazid tentu saja
adalah keluarnya sejumlah syatahat dari mulutnya. Sejumlah kalangan
kemudian mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu Yazid sebagai
bentuk persatuan (Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.
Akibat ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai keluarnya syatahat
itu bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan sabda Allah yang
disuarakan melalui perantara lidah Abu Yazid.
Abu Yazid telah mempraktekkan hampir 35 tahun untuk bersikap zuhud
dan belajar membumi-hanguskan kepribadiannya. Layaknya seekor ular
yang melepaskan kulit luarnya, sehingga yang tersisa seakan-akan yang
tersisa dalam dirinya hanyalah pengaruh Tuhan yang senantiasa
menggerak-gerakkan kadar kemauannya.
Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang
sedang ditiup oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan nada-Nya
sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani; maka hal itu merupakan
perkataan Tuhan melalui dirinya. Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan
agaknya menjadi perhatian khusus tatkala sebagian kalangan
menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala perjalanan
spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana yang
dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.
Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan
tidak sadar (fana), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap
munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada juga riwayat
yang menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu,
Abu Yazid lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak
dalam situasi itu dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang
Maha Agung dan tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian
dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam
pengakuannya, Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami
sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola dan
sikap misktik Abu Yazud yang tidak lagi bisa dikategorikan pada arus
kelompok sufi mabuk (sukr); tidak juga menganggap petualang
teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.
4. AL HALLAJ
a. Biograf Singkat Al Halaj
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah
salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang terletak Iran
sebelah Barat Daya pada tahun 244 H bertepatan dengan 857 M . Versi
lain mengatakan ia lahir tanggal 26 Maret 866M dan meninggal dalam
hukuman pada tahun 922 M . Ia merupakan seorang keturunan Persia.
Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk
islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 masehi yang
paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran",
ucapannya itulah yang menjadikannya kontroversial dan akhirnya dijatuhi
hukuman mati dengan cara yang brutal.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas
(penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas
dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota
dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu,
kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusatpusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orangorang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti
mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj .
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca
Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia
merampungkan
studinya,
tapi
merasakan
kebutuhan
untuk
menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya
bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan
independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki
Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual
tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara
ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan
shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar
untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini. Dua tahun kemudian, alHallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia
berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya
dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh
saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan.
Akhirnya ia meninggalkan Amr juga .
Pada tahun 892 M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji
ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurangkurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun
ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung
selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari
siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan
serta tidak dapat digeneralisir. Sebagaimana dengan para sufi yang lain ia
menjalani ritual agama dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Seperti
contoh puasa setiap hari selama satu tahun menjalankan ibadah haji di
Makah adalah salah satunya di antara aktifitas peribadatannya yang lain.
Hal semacam ini tentu memberikannya pengalaman tersendiri yang sekali
lagi tidak mudah dipahami. Namun demikian, bagaimanapun al Hallaj
adalah manusia biasa yang kepadanya juga berlaku hukum hukum
sunatullah sebagaimana umunya manusia. Mengutip salah seorang tokoh
psikologi William Stern bahwa manusia itu senantiasa dipengaruhi oleh
faktor bawaan dan lingkungan .
Sekedar sebagai perbandingan, sufisme dengan masing masing tokohnya
memang menampilkan wajah spiritual yang menarik namun sulit
dipahami. Katakanlah sosok Rabiah al Adawiyah. Pengalaman batinnya
yang tidak selalu dapat dilalui orang lain membawanya pada
kesempurnaan ruhani dengan kecintaan yang tulus kepada Allah tanpa
pamrih apapun. Kisah yang menarik dari Rabiah adalah ketidakmauannya
menikah karena takut mengurangi cintanya kepada Allah.
Kembali pada al Hallaj, perjalanannya yang panjang dan bertemu
berbagai macam orang sekaligus guru tentu memberikan pengaruh yang
besar disamping kecerdasan dan tekadnya yang besar dalam usaha
mensucikan diri dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Tercatat dalam
sejarahnya ia sempat berguru pada seorang sufi Sahl at-Tustari, seorang
sufi yang berani dan independen. Sahl terkenal sebagai mufassir dan
mengamal secara ketat berbagai tradisi nabi disertai dengan praktek
zuhud yang luar biasa, seperti puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus
rakaat sehari . Selain itu beberapa gurunya yang lain adalah Amr al-Makki
dan gurunya Junaid. Keduanya adalah sufi yang masyhur di masa itu.
Pertemuannya dengan Junaid disebabkan konflik yang terjadi antara dia
dengan gurunya, Amr. Sementara dikemudian hari ia juga berkonflik
dengan Junaid karena perbedaan pandangan mengenai harus tidaknya
sufi ikut memperbaiki masyarakat. Tampaknya al Hallaj adalah seorang
yang keras hati, sehingga ia sering memiliki konflik dengan para gurunya
yang akhirnya memutus hubungan silaturahim mereka. Bahkan tidak
hanya dengan gurunya, dengan ayah mertuanya pun dikisahkan juga
memiliki konflik. Deretan konflik inilah yang barangkali membuat
kehidupannya tidak selalu mapan dan sering berpindah pindah. Sampai
suatu saat tercatat Amr al Makki yang pernah menjadi gurunya
menyiarkan berita berita yang menjelekkannya di publik . Mungkin kondisi
ini menggoncang jiwanya, hingga ia melepaskan jubah sufinya dan
menjalani kehidupan sebagaimana manusia pada umumnya dengan tetap
mensyiarkan ajaran ajaran spiritual . Pada kondisi ini al Hallaj membangun
relasi baru dengan Muhammad Zakariya ar Razi atau terkenal dengan
filosof ar Razi, juga seorang reformer sosialis bernama Abu Saad al
Jannabi serta Hasan bin Ali Ad Tawdi . Selain dengan mereka, selama ia
memisahkan diri dari pergaulan dengan kaum sufi dan melakukan
77 : ( )
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al Qoshshos :
77)
Ini artinya bahwa urusan dunia dan akhirat perlu memiliki keseimbangan.
Keduanya ada untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Misi
manusia ke muka bumi adalah mengabdi kepada Nya dan memimpin
kehidupan di muka bumi ini. Ketidakseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan yang tidak Allah kehendaki. Dalam konteks
dialog antara politik kekuasaan dan tasawuf, keduanya harus ada dan
saling menjadi penyeimbang. Para politisi dan pengendali kekuasaan
harus menjalankan kekuasaannya dengan dilandasi kesucian hati serta
selalu memaknai kekuasaannya sebagai amanah dari Allah untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam. Sementara para sufi juga menjadi tidak
bijaksana jika demi menjaga kebersihan hati dan jiwanya harus beruzlah
atau mengasingkan diri dari hiruk pikuk keduniaan. Sufisme harus hadir
dalam dinamika dunia dan memberinya warna kesucian agar semua yang
berjalan di dunia senantiasa dalm bingkai pengabdian kepada Allah SWT.
Selain itu, fenomena sufi yang sering terasing dari umat pada umumnya
karena perilakunya yang sering aneh menjadi pelajaran lain. Klaim
menyimpang dan sesat yang dialamatkan kepada mereka biasanya
muncul karena cara beragama mereka yang sering berbeda dan
berlebihan. Seperti disampaikan di muka Rosulullah SAW mengingatkan:
( )
Barang siapa membuat buat hal baru berkaitan dengan urusanku, maka
dia itu tertolak (H.R. Bukhari)
Juga Sabda beliau:
( )
Aku tinggalkan ditengah tengah kamu dua perkara yang sekali kali kamu
tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh dengan keduanya,
yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi (H.R. Malik)
Dua pesan Rosulullah SAW tersebut cukup menjadi batasan aktifitas
beragama setiap muslim. Ada dua hal dari kedua hadits tersebut, pertama
adalah bahwa ketentuan ketentuan yang ada di dalam peninggalan
Rosulullah itu sebagai jaminan cara beragama yang benar dan
menyelamatkan hidup di dunia dan akhirat, karena itu cukuplah dengan
mengikuti keduanya seseorang telah akan mampu mensucikan dirinya
dan mendekti Tuhannya. Yang kedua adalah larangan Rosul berkaitan
dengan penambahan tata cara menjalankan Islam. Biasanya sufi memiliki
langkah langkah sendiri dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dalam
batas tertentu yang tidak membahayakan dirinya serta orang lain hingga
melakukan sebuah bidah , cara cara tersebut masih diperbolehkan.
Namun jika ada tambahan sedikit saja, sebagaimana sabda Rosulullah
SAW, amalan itu tertolak.
Terakhir, menjalani tasawuf untuk menyempurnakan keislaman seseorang
diizinkan dalam Islam dalam batas yang tidak melebihi berbagai
ketentuan Rosul. Kisah al Hallaj yang nyleneh cukuplah dinilai dari apa
yang tampak ia ucapkan dan lakukan. Karena itu patut disayangkan,
kedekatannya kepada Allah telah menjadikannya berperilaku aneh yang
kemudian dianggap menyimpang. Wallahu alamu bish showab.
KESIMPULAN
Abu naim Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan
Al-Bashri sebagai berikut, takut (khauf) dan pengharapan (raja) tidak
akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang
karena selalu mengingat Allah. Pandangan tasawufnya yang lain adalah
anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut
kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi
seluruh larangan-Nya. Syarani pernah berkata, Demikian takutnya,
sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk
ia (Hasan Al-Bashri).
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan AlBashri seperti ini:
a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik
daripada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barangsiapa bertemu dunia
dengan rasa benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh
faedah darinya. Namun, barangsiapa bertemu dunia dengan
perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan
sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak
dapatditanggungnya.
c. Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk
mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita
bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana
betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa
betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat
datang dan pergi serta penuh tipuan.
d. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan
beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.
e. Orang yang beriman akan senantiasa berduka-cita pada pagi dan
sore hari karena berada di antara dua perasaan takut: takut
mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal
yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
f. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih
janjinya.
g. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa,
guru besar Filsafat Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan
Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun,
ada yang meneliti bahwa ternyata bukan perasaan takut terhadap
siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan