Anda di halaman 1dari 35

DAFTAR ISI

BAB I..................................................................................................................... 2
A. PENDAHULUAN............................................................................................. 2
B. Khauf.............................................................................................................. 2
C. Raja............................................................................................................... 2
D. Mahabbah...................................................................................................... 3
BAB II.................................................................................................................... 4
A. Ajaran dan Tokoh Tasawuf Pada Masa Awal...........................................4
1. HASAN Al-BASHRI..................................................................................... 4
a. Riwayat hidup........................................................................................ 4
b. Pendidikan.............................................................................................. 4
c.

Masa Kehiudpan Hasan Al Bashri.......................................................4

d. Karir......................................................................................................... 5
e. Ajaran-ajaran tasawufnya....................................................................5
2. RABIAH AL ADAWIYAH..........................................................................7
a. Kelahiran dan Masa Kecil.....................................................................7
b. Menjadi Budak........................................................................................ 9
c.

Setelah Merdeka..................................................................................10

d. Perawan Seumur Hidup......................................................................10


e. Ajaran Tasawuf Rabiah Al Adawiyah.............................................10
3. ABU YAZID AL-BUSTAMI.........................................................................16
a. Riwayat Hidup...................................................................................... 16
b. Perjalanan Suf..................................................................................... 16
c.

Ajaran Tasafuw Abu Yazid Al-Bustami..............................................16

4. AL HALLAJ................................................................................................. 20
a. Biograf Singkat Al Halaj....................................................................20
b. Prinsip Pemikiran Tasawuf Al Hallaj.................................................22
c.

Perkembangan Umum Pemikiran Tasawuf Di Masa Al Hallaj.......24

KESIMPULAN..................................................................................................... 27

BAB I
A. PENDAHULUAN
Dari sekian banyak sifat-sifat terpuji, maka yang perlu mendapat
perhatian antara lain: tauhid, taubah, zuhud, cinta (hubb), wara, sabar,
faqr. Kita mengenal ada banyak tokoh tasawuf. Pada masa
pembentukannya, yakni abad I Hijriah muncul Hasan Basri (w. 110 H)
dengan ajarah khauf-nya. Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri
diikuti oleh Rabiah al Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang
terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah). (HM. Amin Syukur, 2002:
19)
Syukur, muraqabah dan muhasabah, ridha, tawakkal, Setelah
seseorang sanggup melalui dua tahap tersebut, maka ia akan sampai
pada tahap ketiga, yakni tajalliy. Tajalliy berarti lenyap/hilangnya hijab dari
sifat kemanusiaan (basyariyah) atau terangnya nur yang selama itu
bersembunyi (ghaib) atau fana segala sesuatu (selain Allah) ketika
nampak wajah Allah. Pencapaaian tajalliy tersebut melalui pendekatan
rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati nurani). Qalb menurut sufi
mempunyai kemampuan lebih apabila dibandingkan dengan kemampuan
akal. (HM. Amin Syukur, 2002: 166-186). Pada masa pengembangannya,
yakni pada abad III dan IV Hijriyah tasawuf sudah mempunya corak yang
berbeda sama sekali dengan abad sebelumnya. Pada masa ini tasawuf
sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjerumus ke persatuan
hamba dengan khaliq. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh Abu Yazid alBusthami (261 H) dan al-Hallaj, yang merupakan yang pertama kali
menggunakan istilah fana. Corak pemikiran tasawuf Abu Yazid ditentang
keras oleh Ibn Taymiyah, sang pendekar ortodox, yang dengan lantang
menyerang ajaran-ajaran sufi yang dianggap menyeleweng dari syariat
Islam. (HM. Amin Syukur, 2002: 30-31)
Kemudian pada abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul
cikal bakal orde-orde (tarekat) sufi kenamaan. Antara lain tarekat
qadariyah yang dikaitkan dengan Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H),
tarekat Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah
al-Suhraardi (539-631 H), Tarekad Syadziliyah, yang dikaitkan dengan Abu
Hasan Al-Syadzili (592-656 H), Tarekat Badaqiyah yang dikaitkan dengan
Ahmad Al-Badawi (596-675), dan tarekat Naqsyabandiyah yang dikaitakan
kepada Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H).
(HM. Amin Syukur, 2002: 30). Lalu, pada masa pemurnian muncullah
nama-nama seperti Ibn Araby, Ibn Faridh, Jalaludin ar-Rumi dan
sebagainya. Masa ini dianggap sebagai masa keemasan gerakan tasawuf
secara teoritis mapun praktis (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
B. Khauf

Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya.


Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena
kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan
sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang
khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan
bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan
orang lari menuju Allah.

C. Raja
Raja bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja sebagai senangnya
hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan
menurut al-Qusyairi raja adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar alWarraq menerangkan bahwa raja adalah kesenangan dari Allah bagi hati
orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka
dan hilanglah akal mereka.

D. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti
halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid
menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati
seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang
datang dariNya tanpa usaha.
E. Al-Marifah
Seperti telah dijelaskan, bahwa bagian terpenting dari tujuan sufi adalah
memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan
disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini
sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi dalam
mengartikan hadirat Tuhan itu, ternyata terdapat perbedaan konseptual,
perbedaan ini bersumber dari ketidaksamaan mereka mengenai hakekat
tuhan dan manusi. Sebagian sufi berpendapat bahwa Allah SWT adalah
puncak Kecantikan dan Kesempurnaan, sementara yang lain menyatakan
sebagai iradah, Nurul Anwar dan juga disebut Ilmu atau Marifah. Di pihak
lain diyakini bahwa minisis dan alam ini adalah mazhohir atau radiasi dari
hakikat Tuhan, jiwa atau roh manusia adalah pancaran dari Nurul Anwar.
Untuk bisa mencapai hadirat Tuhan, harus melalui penyucian jiwa atau
purgativa (takhalli) dan berlanjut kepada kontemplativa (tahalli) yang
berujung ketingkat illuminativa (tajalli). Ketiga proses ini harus diisi
dengan melalui stasiun-stasiun atau al-maqomat. Keseluruhan rangkaian
al-maqamat itu adalah latihan olah kerohanian melalui serangkaian amal
ibadah yang ketat dan khas sufi. Oleh karena itu tipe tasawuf semacam

itu digolongkan kepada tasawuf amali. Untuk melakukan usaha yang berat
itu, seseorang harus dilandasi rasa cinta kepada Allah SWT dalam arti
yang sesungguhnya.
Al-Hubb atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan
dengan marifat, karena nampaknya manivestasi dari mahabbah itu
adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang disebut marifat. Al-hubb
mengandung pengertian terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada
Allah SWT yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya.

F. Sejarah Historis Ajaran Tasawuf


Tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat, berawal dari
upaya meniru pola kehidupan rosulullah saw. Rosulallah saw lah yang di
jadikan suri tauladan bagi para sahabat yang kemudian berkembang
menjadi doktrin yang konseptual. Tasawuf pada Nabi masih bersifat
umum, ajaran nya sudah ada hanya saja tasawuf itu sendiri merupakan
istilah yang muncul setelah Nabi. kemudian pada masa tabiin seorang
ulama yaitu Hasan Al-Basri, beliau di anggap tokoh yang paling sentral
dalam ajaran kerohanian atau tasawuf. Hasan Al-Basri merupakan orang
yang mempraktekan, berbicara dan menguraikan maksud dari ajaran
tasawuf yang kemudian menjadi pembuka jalan bagi generasi berikutnya.

BAB II
A. Ajaran dan Tokoh Tasawuf Pada Masa Awal

1. HASAN Al-BASHRI
a. Riwayat hidup
Nama lengkapnya Abu Said Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid
yang sangat masyhur di kalangan tabiin. Ia juga seorang ulama besar
dalam beberapa bidang ilmu, seperti hadits, fiqih, dan tafsir, juga seorang
pendidik dan sufi. Ayahnya bernama Yasar Al-Bashri Maula Zaid bin Tsabit
Al-Anshari, sedangkan ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah. Ia
dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (642 M.) dan wafat pada hari
Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H. (728 H.). Ia dilahirkan dua
malam sebelum Khalifah Umar bin Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu
dengan 70 orang sahabat yang turut peperangan Badar dan 300 sahabat
lainnya. Keluarga Hasan Al-Bashri adalah keluarga yang berilmu dan
menaruh perhatian terhadap ilmu, terutama Al-Quran dan Hadits. Ibunya
sendiri, yang sangat dekat dengan Ummu Salamah, salah seorang istri
Rasulullah SAW, tergolong orang berilmu. Ibunya itu adalah seorang
penghafal dan periwayat hadits, yang menerima dan meriwayatkan
banyak hadits dari Ummu Salamah.

b. Pendidikan
Awal pendidikan Hasan Al-Bashri diperolehnya dari lingkungan
keluarganya sendiri, Ibunya adalah gurunya yang pertama. Kehidupan
keluarganya di Madinah, yang berlangsung selama kurang lebih 16 tahun
sejak kelahiran Hasan Al-Bashri sampai dengan perpindahannya ke
Basrah, member warna tersendiri bagi perkembangan pengetahuannya.
Ibunya banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan Hasan Al-Bashri dan saudaranya. Berkat pendidikan dan
pembinaan dari ibunya, maka pada usia 14 tahun Hasan sudah menghafal
Al-Quran. Sejak usia dini seperti ini ia juga telah banyak mendengar
riwayat (hadits) dari ibunya. Pergaulannya dengan para sahabat Nabi SAW
membuat cakrawala pengetahuanagamanya, terutama hadits, bertambah
luas.

c. Masa Kehiudpan Hasan Al Bashri


Ahmad Ismail Al-Basit, seorang ulama
kehidupan Hasan atas tiga periode, yaitu :
1. Periode tahun 21-42 H

Yordania,

membagi

masa

Periode pertama merupakan periode Hasan di Madinah. Pada masa ini ia


banyak menimba ilmu, tidak hanya pada ibunya, melainkan juga dari
sebagian sahabat.
2. Periode tahun 43-53 H
Pada periode kedua ia mulai melibatkan diri dalam berbagai peperangan
dan penaklukan wilayah-wilayah baru. Pada saat yang bersamaaan, ia
juga bertemu dengan banyak sahabat Nabi SAW dan menimba ilmu dari
mereka.
3. Periode tahun 53-110 H
Periode ketiga ia habiskan waktunya di Bashrah untuk menyampaikan dan
mengajarkan ilmunya.
Dialah (Hasan Al-Bashri) yang mula-mula menyediakan waktunya untuk
memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usah
menyucikan jiwa di Masjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian
senantiasa didasarkan pada sunah Nabi. Sahabat Nabi yang masih hidup
pada zaman itu pun mengakui kebesarannya. Suatu ketika seorang
datang kepada Anas bin Malik sahabat Nabi untuk menanyakan persoalan
agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan.
Mengenai kelebihan lain dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata,
Bergurulah kepada syekh ini. Saya sudah saksikan sendiri
(keistimewaannya). Tidak ada seorang tabiin pun yang menyerupai
sahabat Nabi selainnya.

d. Karir
Pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir
kepada seluruh ulama di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke
Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan AlBashri. Disamping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang
yang wara dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Untuk
mengembangkan ilmu yang pertama diterimanya, ia membuka Madrasah
Hasan Al-Bashri, yaitu sebuah forum khusus untuk berdiskusi dan bertukar
pikiran dengan para murid. Di madrasah inilah ia mengajarkan berbagai
ilmu keislaman. Ia menyampaikan pesan-pesan pendidikannya melalui
dua cara.
1. Ia mengajak murid-muridnya untuk menghidupkan kembali kondisi
masa salaf, seperti yang terjadi pada masa para sahabat Nabi SAW,
terutama pada masa Umar bin Khattab, yang selalu berpegang
kepada Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW.
2. Ia menyeru murid-muridnya untuk bersikap zuhud dalam
menghadapi kemewahan dunia. Zuhud menurut pengertiannya ialah

tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari soal
dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada.

Dr. Abdul Munim al-Hifni, seorang ahli tasawuf Cairo, memasukan Hasan
al-Basri dalam kelompok sufi besar. Dengan mengutip pendapat Abu
Hayyan at-Tauhidi (seorang ahli tasawuf), ia mengatakan bahwa Hasan alBasri adalah seorang zahid yang warak dan penasihat yang nasihatnya
menyejukan hati dan kalimatnya menyentuh akal. Tentang tasawuf, Hasan
al-Basri berkata, Barang siapa yang memakai tasawuf karena tawadlu
(kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan
hatinya, dan barang siapa yang memakai tasawuf karena kesombongan
kepada-Nya akan dicampakkan-Nya ke dalam neraka.

e. Ajaran-ajaran tasawufnya
Kedalaman pengetahuan Hasan Al-Bashri mengenai tasawuf
membuatnya cenderung untuk mengartikan beberapa istilah dalam
agama islam menurut pendekatan tasawuf. Islam, misalnya, diartikannya
sebagai penyerahan hati dan jiwa hanya kepada Allah SWT dan
keselamatan seorang muslim dari gangguan muslim lain. Orang beriman,
menurutnya, adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang dikatakan
Allah SWT, itu pulalah yang harus dia katakan. Orang mukmin ialah orang
yang paling baik amalannya dan paling takut kepada Allah SWT. Para sufi,
menurut pengertiannya, ialah orang yang hatinya selalu bertakwa kepada
Allah SWT dan memiliki cirri-ciri antara lain berbicara benar, menepati
janji, mengadakan silaturahmi, menyayangi yang lemah, tidak memuji
diri, dan mengerjakan yang baik-baik. Faqih, menurutnya, ialah orang
yang zahid terhadap dunia dan senang terhadap akhirat, melihat dan
memahami agamanya, senantiasa beribadah kepada Tuhannya, bersikap
warak, menjaga kehormatan kaum muslimin dan harta mereka, dan
menjadi penasihat dan pembimbing bagi masyarakatnya. Sebagaimana
sufi lainnya, Hasan Al-Bashri sangat takut terhadap siksaan Allah SWT.
Abdul Munim Al-Hifni menggambarkan bahwa Hasan Al-Bashri tampak
seperti orang yang selalu ketakutan. Ia selalu merasa takut karena
membayangkan bahwa neraka itu seakan-akan diciptakan oleh Allah SWT
semata-mata untuk dirinya.

Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau (Hasan AlBashri) diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh
Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan
sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah Yazid
yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, Allah telah memberi
kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk

mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan


Parsi, namun kadang-kadang perintahnya bertentangan dengan
kebenaran. Ya, Abu Said apa pendapatmu? Nasihatilah aku Berkata
Hasan Al-Bashri, Wahai Ibnu Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika
engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazidketika engkau
mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak
mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau
mentaati Allah, Allah akan memeliharamu dari siksaan Yazid didunia, akan
tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa
Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk
dalam masiat kepada Allah, siapapun orangnya. Berderai air mata Ibnu
Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Bashri yang sangat dalam itu.
Hasan Al-Bashri masyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan
khauf (takut kepada kemurkaan Allah SWT dan raja (mengharapkan
rahmat Allah SWT). Yang dimaksud dengan khauf ialah takut terjerumus
pada kemaksiatan yang akan mendapat kemurkaan dari Allah SWT. Khauf
harus diiringi dengan raja, yakni senantiasa mengharap karunia Allah
SWT. Oleh sebab itu, Hasan Al-Bashri mengatakan: Jauhilah dunia ini,
karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan,
tetapi racunnya mematikan.

2. RABIAH AL ADAWIYAH

a. Kelahiran dan Masa Kecil


Suatu teori, pemikiran , ide atau ajaran seorang tokoh dapat dikenali dan
dipahami dengan baik, apabila diketahui latar belakang kehidupannya.
Oleh karena itu, sebelum memasuki pokok pembahasan lebih jauh, perlu
dikemukakan terlebih dahulu riwayat hidup Rabiah al-Adawiyah. Dengan
demikian, akan dapat diketahui keadaan yang melatar belakangi
perjalanan hidup, corak serta sistem pemikiran atau ajaran yang
membawanya hingga tingkat cinta terhadap Tuhan Yang Tercinta.
Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah
Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M atau 99 H / 717
M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu
pada tahun 185 H / 801 M. Tidak ada bukti otentik yang dapat
menjelaskan waktu kelahirannya secara pasti. Harun Nasution, M. Mastury
dan Abudin Nata menyebutkan bahwa Rabiah lahir pada tahun 714 M.
Rabiah dilahirkan dalam keluarga yang miskin. Ayahnya bernama Ismail.
Konon keluarga Ismail hidup dengan penuh taqwa dan iman kepada Allah
SWT, tak henti-hentinya melakukan dzikir dan beribadah melaksanakan
ajaran-ajaran Islam.
Kondisi hidup dalam kemiskinan menyebabkan Ismail dan istrinya selalu
berdoa mohon dikarunia anak laki-laki, yang diharapkan dapat membantu
mengurangi penderitaan yang dialami. Namun derita kemiskinannya
semakin terasa, karena sampai lahir tiga anak semuanya perempuan.
Oleh karena itu, Ismail benar-benar meningkatkan ibadahnya dan
memohon agar janin yang dikandung istrinya, yang keempat adalah lakilaki.
Allah SWT menghendaki lain. Manusia boleh berusaha, tetapi Allah lah
yang menentukan segalanya. Anak keempat pun lahir perempuan. Itulah
sebabnya , orang tuanya menamakannya Rabiah. Maka pupuslah
harapan Ismail. Kemiskinan benar-benar menyelimutinya. Menyambut
kelahiran Rabiah dengan derita, istri Ismail berkata kepada suaminya:
Kakanda tercinta, pergilah ke rumah sebelah. Mungkin mereka memiliki
setetes minyak. Mungkin memiliki kain bekas yang pantas dihadiahkan
kepada kita, tolong mintalah. Biar anak kita yang baru lahir bisa kita
selimuti dengan sepotong kain.
Keinginan istrinya itu dipenuhinya, namun tak seorang tetangga pun yang
mau membukakan pintu untuk memberikan atau meminjamkan sepotong
kain, maka Ismail menghibur istrinya: Istriku, tetangga kita sedang tidur
nyenyak. Bersyukurlah kepada Allah SWT, karena selama hayat kita belum
pernah meminta-minta. Lebih baik selimuti saja anak kita dengan
sepotong kain yang masih basah itu. Percayalah dan tawakallah kepada

Allah SWT. Tentu Dia akan memberikan jalan keluar yang terbaik buat kita,
dan hanya Dialah yang memelihara serta memberikan kecukupan kepada
kita. Percayalah wahai istriku tercinta.
Kalimat-kalimat diatas, digunakan oleh Abdul Munim Qandil untuk
menggambarkan bagaimana miskinnya keluarga Ismail saat Rabiah
dilahirkan. Ismail menamakan Rabiah, karena ia adalah anak yang
keempat. Sedangkan Adawiyah dilakobkan karena ia berasal dari bani
Adawiyah. Istri dan ketiga anaknya tidak setuju dengan nama tersebut,
yang dianggap aneh dan jelek, maka Ismail pun sangat sedih. Akan tetapi
saat tidur, malam hari, Ismail bermimpi bertemu Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW berkata: Janganlah engkau bersedih, karena putrimu itu
akan menjadi seorang perempuan mulia, sehingga banyak orang akan
mengharapkan syafaatnya.
Kemudian Rasulullah SAW menyuruh ayah Rabiah untuk pergi menemui
Isa Zadan, Amir Basrah dengan menyiapkan sepucuk surat berisi pesan
Rasulullah SAW, seperti yang disampaikan dalam mimpinya. Hai Amir,
engkau biasanya shalat 100 rakaat setiap malam. Dan setiap malam
jumat 400 rakaat, tetapi pada hari jumat yang terakhir, engkau lupa
melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar 400
dinar kepada yang membawa surat ini sebagai kifarat atas kelalaian itu.
Pada pagi hari, ayah Rabiah menulis sepucuk surat seperti yang
dipesankan oleh Rasulullah SAW dan pergi ke istana Amir.
Dikarenakan tidak dapat langsung menemui Amir, surat itu diserahkan
kepada pengawal istana, yang langsung pergi menghadap. Ketika Amir
membaca surat dari ayah Rabiah, ia segera memerintahkan untuk segera
menyerahkan 400 dinar. Namun ia segera membatalkan perintahnya
seraya berkata: Biarlah saya sendiri yang mengantarkan uang ini,
sebagai penghormatan terhadap orang yang mengirim pesan ini, dan saya
akan mengawasi anaknya yang mulia ini. Dengan peristiwa tersebut,
maka berubahlah persepsi Ismail dan istrinya terhadap anak
perempuannya yang keempat. Kemudian mereka menyambut kehadiran
Rabiah dengan bahagia.
Rabiah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang
terbiasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil sudah
tampak kecerdasan Rabiah, sesuatu yang biasanya tak terlihat pada
gadis kecil seusianya. Oleh karena itu pula sejak kecil ia sudah menyadari
penderitaan yang dihadapi orang tuanya. Kendati demikian hal itu tidak
mengurangi ketakwaan dan pengabdian keluarga Rabiah terhadap Allah
SWT. Dalam kehidupan sehari-harihari, ia selalu memperhatikan
bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah SWT sesuai dengan
yang telah dilihat dan didengarnya dari ayahnya.
Pernah Rabiah mendengar ayahnya berdoa memohon kepada Allah SWT
dan semenjak itu , lafal-lafal doa itu tidak pernah hilang dari ingatannya,

selalu diulang-ulang dalam doanya Dengan akhlaq yang mulia, tidak


jarang Rabiah membangkitkan rasa kagum ayahnya. Ia tidak pernah
mencaci orang atau menyakiti perasaan manusia. Pernah pada suatu hari,
ketika seluruh anggota keluarga telah duduk disekitar meja makan,
kecuali Rabiah. Diceritakan oleh Muhammad Atiyah Khamis sebagai
berikut: Ia masih berdiri memandang ayahnya, seolah minta penjelasan
dari ayahnya mengenai makanan yang terhidang.
Dikarenakan ayahnya masih berdiam diri, Rabiah berkata: Ayah, aku
tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal. Dengan
keheranan ayahnya menatap muka puterinya yang masih kecil itu yang
telah memperhatikan iman yang kuat. Ayahnya menjawab: Rabiah,
bagaimana pendapatmu jika tiada lagi yang bisa kita peroleh kecuali
barang yang haram ? Rabiah menjawab: Biar saja kita menahan
lapar di dunia, ini lebih baik daripada kita menahannya kelak di akhirat
dalam api neraka.
Saat masih kecil, Rabiah adalah gadis yang salihah. Apalagi setelah
kedua orang tuanya meninggal. Ia menjadi anak yatim piatu, yang tidak
mewarisi harta benda dari orang tuanya. Kakaknya belum dewasa. Dalam
usia yang masih muda belia, Rabiah dan kakak-kakaknya harus mencari
pekerjaan untuk hidup. Satu-satunya peninggalan orang tuanya, yang
agak berarti adalah sebuah perahu kecil, yang dipakai ayahnya untuk
mencari
nafkah.
Rabiah
melanjutkan
pekerjaan
ayahnya,
menyeberangkan orang di sungai Dajlah. Menurut cerita, Rabiah yang
paling siap mental maupun fisiknya untuk hidup sendiri, dibandingkan
ketiga kakaknya.
Ia sering menangis karena teringat kedua orang tuanya. Namun ia juga
tak jarang menangis tanpa sebab yang ia ketahui. Pernah suatu sore,
sepulang dari sungai, Rabiah menangis tersedu-sedu lalu kakaknya
Abdah menegurnya: Apa yang sedang engkau sedihkan Rabiah ? Tak
tahulah aku, namun aku merasa sedih sekali. Jawabnya dan Rabiah terus
saja menangis. Disela-sela isaknya ia berkata: Aku merasakan suatu
kesedian yang aneh sekali. Tak tahulah aku sebabnya. Seoalah-olah ada
suatu jeritan di lubuk hatiku, yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan
suatu munajat didalam pendengaranku tak dapat aku hadapi, kecuali
dengan mengucurkan air mataku.
Setelah peristiwa tersebut, Rabiah selalu mimpi pada malam hari,
berulang-ulang dengan mimpi yang sama. Dalam mimpi itu, Rabiah
melihat cahaya yang amat terang, yang akhirnya menyatu dalam tubuh
dan jiwanya. Setelah beberapa malam mimpi itu hadir dalam tidurnya,
maka pada suatu siang hari, saat Rabiah berada sendirian diatas
perahunya, nyatalah mimpi itu. Rabiah menatap cakrawala, tiba-tiba ia
mendengar suara yang sangat merdu:

Lebih indah dari senandung serunai yang merdu di kegelapan malam


terdengar bacaan Al-Quran. Alangkah bahagianya karena Tuhan
mendengarnya. Suara yang merdu membangkitkan keharuan, dan air
mata pun bercucuran. Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu
sedang hatinya penuh cinta Ilahi, Ia berkata, Tuhanku, Tuhanku, Ibadah
kepada-Mu meringankan deritaku.
Rabiah segera beranjak pulang dan ingin segera tidur, karena sudah
mengantuk. Akan tetapi ada kejadian yang mengejutkannya lagi. Tempat
tidurnya diselimuti cahaya, yang menyenandungkan kalimat yang pernah
didengarnya dan memanggil Rabiah: Hai Rabiah, belum datangkah
saatnya engkau kembali kepada Tuhanmu? ... Ia telah memilihmu,
menghadaplah kepadanya. Peristiwa-peristiwa tersebut mengantarkan
Rabiah kepada kehidupan yang penuh dengan ibadah kepada Allah SWT.
Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya ia telah hafal al-Quran
dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.
b. Menjadi Budak
Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan
penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah.
Derita Rabiah, gadis yatim piatu itu semakin bertambah ketika kota
Bashrah dilanda musibah kekeringan dan kelaparan. Banyak penduduk
miskin meninggal kelaparan, termasuk ketiga kakak Rabiah yang lemah,
yang membuat ia menjadi gadis sebatang kara. Musibah itu
mengakibatkan
merajalelanya
berbagai
bentuk
kejahatan
dan
perbudakan. Keberadaan Rabiah diketahui oleh orang jahat. Ia dijadikan
budak dan dijual seharga enam dirham. Orang yang membeli Rabiah
menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan seseorang yang tak dikenal datang
menghampirinya. Rabiah mencoba mencoba melarikan diri, tiba-tiba ia
jatuh tergelincir, sehingga tangannya terkilir. Rabiah menangis sambil
menundukkan mukanya ke tanah, Ya Allah, aku adalah seorang asing di
negeri ini tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak
berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuatku
bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi
kehendakMu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.
Rabiah, janganlah engkau berduka, sebuah suara berkata kepadanya,
esok lusa engkau akan dimuliakan, sehingga malaikat-malaikat iri
kepadamu. Kemudian Rabiah pulang ke rumah tuannya dan merawat
cedera tangannya hingga sembuh. Kurang jelas berapa lama Rabiah
menjadi budak.
c. Setelah Merdeka
Dari sini ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada suatu
malam, Rabiah bersujud dan memanjatkan doa. Tuannya yang kebetulan

terjaga dari tidur melihat dan mendengarnya doa tersebut. Ya Allah,


Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah dapat mematuhi perintah-Mu
dan mengabdi kepada-Mu, tetapi Engkau telah menyerahkan diriku
dibawah kekuasaan seorang hamba-Mu dan pada saat ia beribadah ada
cahaya yang memancar diatas kepala Rabiah dan menerangi seluruh
ruangan rumah. Oleh karana tuannya melihat sendiri peristiwa itu, maka
saat hari mulai terang, ia memanggil Rabiah dan bersikap lembut
kepadanya.
Rabiah
dibebaskan
dan
diizinkan
pergi
untuk
meninggalkannya.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani
kehidupan sebagai seorang Zahidah dan Sufiah. Ia menjalani sisa
hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi
hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan
materi yang diberikan orang lain kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia
tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
d. Perawan Seumur Hidup
Rabiah al-Adawiyah telah dewasa dalam pertapaan dan tidak pernah
berpikir untuk berumah tangga. Bahkan akhirnya memilih hidup zuhud,
menyendiri, beribadah kepada Allah SWT. Ia tak pernah menikah karena
tak ingin perjalanannya menuju Tuhan mendapat rintangan. Perkawinan
baginya adalah rintangan. Ia pernah memanjatkan doa: Ya Allah, aku
berlindung kepadamu dari segala perkara yang menyibukkanku untuk
menyembah-Mu dan dari segala penghalang yang merenggangkan
hubunganku dengan-Mu. Prinsip Rabiah untuk tidak menikah tersebut
dapat dipertahankan hingga akhir hayatnya.

e. Ajaran Tasawuf Rabiah Al Adawiyah


Rabiah Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisme dalam Islam
tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah
SWT. Hal ini karena generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam
Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah SWT. Rabiah
pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan
cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT. Sikap dan
pandangan Rabiah Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami dari katakatanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. AlQusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat. Rabiah menyatakan
doanya, Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencinntai-Mu oleh api
neraka? Tiba-tiba terdengar suara, Kami tidak akan melakukan itu.
Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami. Diantara syair cinta
Rabiah yang paling masyhur adalah:

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diriMu. Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu,
Cinta karena diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga
Engkau kulihat. Baik ini maupun itu, pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu
pujian untuk kesemuanya.
Untuk memperjelas pengertian Al-hub yang diajukan Rabiah, yaitu hub Alhawa dan hub anta ahl lahu, perhatikanlah tafsiran beberapa tokoh
berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana dijelaskan
Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna hubb Al-hawa adalah rasa
cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah.
Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat material, tidak
spiritual, karenanya hubb disini bersifat hubb indrawi. Walaupun demikian,
hubb Al-hawa yang diajukan Rabiah ini tidak berubah-rubah, tidak
bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat.
Hal ini karena Rabiah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu
yang ada dibalik nikmat tersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah
cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang
dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa.
Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabiah timbul karena perasaan
cinta kepada Dzat yang dicintai.
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabiah
sebagai berikut: Mungkin yang dimaksud oleh Rabiah dengan cinta
karena dirinya adalah cinta kepada Allah SWT karena kebaikan dan
karunia-Nya di dunia ini. Sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena ia
layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya.
Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta
merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan
dalam hadis qudsi, Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh Aku menyiapkan
apa yang tidak terlihat mata, tidak terlihat telinga, dan tidak terbesit di
kalbu manusia.
Cinta Rabiah kepada Allah SWT begitu mendalam dan memenuhi seluruh
relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini
seperti terungkap dalam syairnya:
Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar
berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama
selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.
Bagi manusia yang rasa cintanya kepada Allah SWT tidak secara tulus
ikhlas, Rabiah selalu mengatakan:
Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka, tetapi dalam lahir kau
nyatakan cinta. Sungguh aneh segala ini. Andaikan cinta-Mu memang
tulus dan sejati tentu yang Ia perintahkan kau taati, sebab pecinta selalu
patuh dan bakti pada yang dicintai.

Dalam kesempatan bermunajat, Rabiah kerap kali menyampaikan,


Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak
ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah
gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan
tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada
di hadirat-Mu.
Sewaktu fajar menyingsing, Rabiah berkata: Tuhanku, malam telah
berlalu dan siang telah siap menampakkan diri. Aku gelisah apakah
amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau
tolak sehingga aku merasa bersedih. Demi kemaha kuasaan-Mu, inilah
yang akan kulakukan selama Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau
usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi karena cintaku padaMu telah memenuhi hatiku.
Ajaran yang terpenting dari sufi wanita ini. adalah al-mahabbah dan
bahkan menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang
mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf hal ini
barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati
lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan
situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni kepada Tuhan
merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya
dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair
berikut ini dapat ditangkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta, Pintu hatiku telah tertutup bagi
selain-Mu, Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau, Namun mata
hatiku memandangmu selalu.
Cinta Kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia
tidak bersedia membagi cintanya untuk yang lainnya. Rabiah berkata:
Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia.
Bahkan sewaktu ia ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad
SAW, ia menjawab:
Sebenarnya saya sangat mencintai Rasulullah SAW, tetapi kecintaanku
kepada Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia.
Pernyataan ini ia pertegas lagi melalui syair berikut ini dan sekaligus
memperjelas makna al-hubb itu sendiri:
Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, sirna segalanya selain
Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka.
Suatu hari Rabiah ditanya orang, apakah ia mencintai Allah dan ia jawab,
ya memang saya mencintai-Nya. Kemudian ia ditanya lagi, apakah ia
benci terhadap setan. Rabiah mengatakan, karena cintaku kepada Allah
SWT telah menyebabkan aku tidak mempunyai kesempatan untuk

membenci setan. Menurut Rabiah, pecinta yang sesungguhnya harus


selalu berusaha mendekatkan diri kepada yang dicintai serta harus selalu
dapat mengisi hatinya. Ia menyatakan:
Dalam relung hatiku Engkau teman berbincangku, Walau ragawi aku
berbincang dengan sejawatku, Dengan mereka aku bersenda gurau
selalu.
Dengan dan melalui al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang selalu
ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisah dirinya denga Tuhan.

f.
Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya diisi oleh rasa cinta dan
rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah,
tanpa motivasi lain kecuali hanya kasih Allah, sebagiamana
disenandungkan oleh Rabiah al-Adawiyah (w.185) dalam syairnya:
,
.
Tuhanku, bila aku mengabdi-Mu karena takut neraka, campakkanlah aku
kesana. Andaikata aku mengabdi-Mu hanya karena mengejar surga-Mu
jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, bila ternyata aku menyembahMu hanya karena kasihku pada-Mu, janganlah tutup wajah-Mu dari
pandanganku.
Kondisi kecintaan yang tanpa pamrih demikian hanya akan tercapai
dengan melalui proses perjalanan panjang dan berat (riyadhoh dan
mujahadah) sehingga pengenalannya kepada Allah SWT menjadi sangat
jelas dan pasti. Yang dihayati dan dirasakan bukan lagi cinta tetapi diri
yang dicinta. Oleh karena itu menurut al-Ghazali, mahabbah itu adalah
pintu gerbang mencapai marifat kepada Tuhan. Paham al-Hubb atau
mahabbah buat pertama kali diperkenalkan oleh Rabiah al-Adawiyah.
Menurut Rabiah, al-Hubb itu adalah rindu dan pasrah kepada Allah SWT.
Seluruh ingatan dan perasaan kepada Allah SWT. Hal ini dapat dilihat
dalam ungkapan-ungkapannya yang ia cetuskan melalui gubahan kata
yang indah, antara lain:


.
Tuhanku, aku terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang
dapat melenyapkan ingatanku pada-Mu. Tuhanku, cahaya bintang
gemerlapan, orang-orang pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat,
yang saling mencintai telah asyik berduaan, sedangkan aku kini

bersimpuh di hadirat-Mu. Tuhanku, malam kini telah berlalu, siang akan


segera menyusul, aku gelisah gunda-gulana, apakah amalku Engkau
terima yang membuatku bahagia, ataukah Engkau tolak yang akan
membuatku nestapa. Demi kemahaperkasaan-Mu ya Tuhan, aku akan
terus mengabdi pada-Mu selama hayatku. Seandainya Engkau usir aku
dari ambang pintu-Mu aku tak akan beranjak karena cintaku pada-Mu
telah membelenggu jiwaku.
Demikianlah ungkapan cinta Rabiah kepad Allah SWT yang telah merasuk
sukmanya sehingga segala aktivitasnya tertuju hanya kepadaNya.
Selanjutnya ia bersenandung:
.
Kasihku, hanya Engkau harap dambaku. Alirkan karunia-Mu bagiku yang
bernoda, kaulah harapanku, kedamaianku, kebahagiaanku, hatiku hanya
pada-Mu semata.
Bagi Rabiah, rasa cinta kepada Allah menjadi satu-satunya motivasi
dalam setiap prilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya
kepada Allah SWT. Nampaknya bagi Rabiah ada dua macam cinta seperti
ia katakan:

.
Aku mencintaim-Mu dengan dua dorongan cinta, kucintai Engkau
lantaran aku cinta dan rindu dan aku cinta karena Engkau patut dicintai.
Adapun cinta rindu, karena hanya Engkau kukenang selalu bukan selainMu. Adapun cinta karena Engkau layak dicinta, karena Engkau sibakkan
tabir penutup tatapan sembahku sehingga Engkau nyata bagiku. Bagiku
tentang ini, itu tidak ada puji, namun bagi-Mu sendiri segala puji.
Menurut Rabiah al-Adawiyah, tujuan satu-satunya yang wajar dan
sewajarnya dicintai ialah Allah SWT. Agar dapat sampai kepadanya,
seorang sufi harus lebih dahulu mendidik dirinya supaya mencintai segala
keindahan alam ini, merenungkannya dan meresapkannya secara
mendalam. Sebab, keindahan dan kecantikan itu adalah ciri-ciri dari Dzat
yang dicintai, sehingga Maruf al-Kharki berpendapat, bahwa cinta tidak
bisa dipelajari dari manusia, cinta adalah anugerah dan rahmat Allah SWT.
Cinta manusia kepada keindahan adalah disukai Allah SWT, karena Ia
sendiri adalah sumber asasi dari segala keindahan.
Seorang sufi tidak berhenti sampai disitu saja, tatapi dia akan berlanjut
terus mendekat atau bersatu dengan yang dicintainya. Dalam menuju
kesana itu, ia melalui tingkat yang aneka ragam sambil menjauhkan
dirinya dari segala macam kejahatan. Seorang sufi harus menjadikan
dirinya seorang yang bermoral mulia dan suci, keadaan ini akan
mengantarkannya kepada keindahan yang sempurna. Sifat-sifat yang ada
pada dirinya akan berangsur-angsur hilang dan akan terbukalah tabir

yang mengitarinya dengan Tuhan sehingga tercapai marifat dan


terbukalah jalan untuk ittihad. Berdasarkan alasan itu, Ibn al-Faridh tidak
membedakan antara al-Hubb dan marifat. Menurutnya, pelepasan diri
dari pengaruh rasio sehingga hati dapat leluasa untuk bekerja sendiri
berdasarkan iradat Allah SWT. Hal ini berarti, bahwa cinta itu bukan
bersumber dari hati atau akal, tetapi cinta adalah sesuatu yang samawi
dan sangat suci.

KESIMPULAN

Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah bin Ismail Al-Adawiyah AlBashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M
atau 99 H / 717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak)
dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M.
Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan
penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu
Adwah. Derita Rabiah, gadis yatim piatu itu semakin bertambah
ketika kota Bashrah dilanda musibah kekeringan dan kelaparan.
Banyak penduduk miskin meninggal kelaparan, termasuk ketiga
kakak Rabiah yang lemah, yang membuat ia menjadi gadis
sebatang kara.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani
kehidupan sebagai seorang Zahidah dan Sufiah. Ia menjalani sisa
hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan
menjauhi hidup duniawi.
Ia tak pernah menikah karena tak ingin perjalanannya menuju Tuhan
mendapat rintangan. Perkawinan baginya adalah rintangan. Ia
pernah memanjatkan doa: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari
segala perkara yang menyibukkanku untuk menyembah-Mu dan dari
segala penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.
Prinsip Rabiah untuk tidak menikah tersebut dapat dipertahankan
hingga akhir hayatnya.
Ajaran yang terpenting dari sufi wanita ini. adalah al-mahabbah dan
bahkan menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama
yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas
tasawuf hal ini barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai
wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang
dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu.

Cinta murni kepada Tuhan merupakan puncak ajarannya dalam


tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan
kalimat-kalimat puitis.
Untuk bisa mencapai hadirat Tuhan, harus melalui penyucian jiwa
atau purgativa (takhalli) dan berlanjut kepada kontemplativa
(tahalli) yang berujung ketingkat illuminativa (tajalli). Ketiga proses
ini harus diisi dengan melalui stasiun-stasiun atau al-maqomat. AlHubb atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan
dengan marifat, karena nampaknya manivestasi dari mahabbah itu
adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang disebut marifat.

3. ABU YAZID AL-BUSTAMI


a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan alBustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 947 M. nama
kecilnya adalah Thaifur (atau secara singkat dipanggil dengan sebutan
Bayazid). Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama
Zoroaster (Majusi), kemudian masuk dan memeluk agama Islam di
Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih
memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, konon
kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa
ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya
muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang
pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan
berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu
ayat dari al-Quran Surat Luqman yang berbunyi : Berterima kasihlah
kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu. Ayat ini sangat
menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang
untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu
berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
b. Perjalanan Suf
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan
tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu menjadi seorang faqih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya
yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu
hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu
Yazid tidak ditemukan dalam buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid
mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan,
dan minum yang sedikit sekali.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia
menempuhi tahapan fana dan baqa. Hanya saja dalam literatur klasik,
pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan apakah karena
pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit
dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis
lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad
banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun
perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi
satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana-nya tak mempunyai kesadaran
lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.

c. Ajaran Tasafuw Abu Yazid Al-Bustami


Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran
fana dan baqa untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad
disampaikannya dalam ungkapan pada suatu ketika aku dinaikkan
kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat
ingin memandangmu. Aku menjawab: Kekasihku, aku tak ingin melihat
mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk
menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhlukmakhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu.
Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka
itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar
dalam ungkapan berikut: Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua
kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau.
Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.
Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu.
Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya
menjawab, Hai aku. Ia berkata, Engkaulah yang satu. Aku menjawab,
akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku
adalah aku.Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al
Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia
berkata demikian.
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu
Yazid bertanya, Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab. Abu
Yazid. Abu Yazid berkata, Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali
Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas
kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik
kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan
dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[1]
Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai
Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui
lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fanaan nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Firaun. Proses
Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah,
bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan
pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni
Allah. Bahkan, dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena
dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan,
namun perkataannya menimbulkan berbagai tanggapan. At-Thusi
mengatakan: Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan
lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi

seruan. Seorang Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa
yang
bergejolak
dalam
qalbunya
dan
membuat
seseorang
mengungkapkan mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh
pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi sedang
Fana dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia
kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sift itu tidak dapat sirna dari diri
manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika
menganggap kefanaan adalah kefanaan sifat-sifat manusia dan ia
bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.
Terlepas dari semua itu, hal yang paling utama dan mungkin bisa
membebaskan Abu Yazid dari justifikasi negatif yang ditimpakan padanya
adalah bahwa ungkapan Syatahat itu hanya muncul ketika Abu Yazid
sedang dalam keadaan mabuk ilahi; tidak sadar dan terjebak dalam
situasi fana. Karena itu, tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi
pertama yang berhasil mengoperasikan gagasan fana dalam sistematika
ajaran tasawufnya.[3]
Sejauh yang tampak dari ucapan eksperimental itu, terlibat fase bertahap
yang dialami Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah. Akan tetapi yang
paling dramatis adalah beritanya yang menyebutkan jika ia sudah pernah
terbang tinggi (Miraj) menuju keharibaan Allah. Mengenai hal yang satu
ini, Abu Yazid adalah sufi pertama yang memvisualisasikan pengalaman
spiritualnya dalam tajuk miraj, yakni sebuah perjalanan surgawi yang
dahulu juga pernah dilakukan Nabi Muhammad.[4]
Diceritakan Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan surga, menolak
segala tawaran hadiah yang ada di dalamnya, dan hanya berkeinginan
untuk bertemu Allah SWT. Ia mengutarakan pengalamannya ini: ... dan
ketika Allah sepenuhnya mengetahui ketulusanku bahwa aku hanya ingin
bertemu dengan-Nya, maka ia memanggilku, Mari, datanglah mendekat
pada-Ku. Lihatlah dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di
atas karpet kesucian-Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku.
Kamu adalah pilihan-Ku, kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus.
Mendengar perkataan-Nya itu, aku merasa seakan-akan meleleh seperti
timah yang sedang mencair. Lantas Dia memberiku minuman dari mata
air kasih sayang-Nya dalam sebuah cangkir keakraban. Lalu membawaku
ke dalam kedaan yang tidak bisa ku gambarkan. Dia membawaku
mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga lebih dekat daripada jiwa
dengan sebatang tubuh.[5]
Pengalaman miraj ini dijadikan Abu Yazid sebagai sufi yang paling unik
dan eksentrik untuk ukuran masanya, bahkan sesudahnya. Bersamaan
dengan hal itu, puncak dari segala kontroversial Abu Yazid tentu saja
adalah keluarnya sejumlah syatahat dari mulutnya. Sejumlah kalangan
kemudian mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu Yazid sebagai
bentuk persatuan (Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.

Abu Yazid dilaporkan pernah berkisah; Di suatu kesempatan, Ia


mengangkatku ke atas, menempatkanku di depan-Nya, dan berkata
kepadaku: Wahai Abu Yazid, makhluk ciptaan-Ku pasti akan senang untuk
mencarimu. Lalu aku berkata: Hiasilah aku dengan sifat tunggal-Mu
(Wahdaniyah), pakaianilah aku dengan subjektifitas-Mu (Ananiyah), dan
bawalah aku menuju keesaan-Mu (Ahadiyah), sampai kelak ketika ciptaanMu melihatku, maka mereka akan berkata, Kami sudah melihatmu,
padahal Engkaulah yang ada di situ, dan aku tidak berada dihadapan
mereka.[6]
Atau sebagaimana yang terjadi di lain waktu, tentang Abu Yazid yang
sedang kedatangan tamu. Seseorang mendatangi Abu Yazid dan
mengetuk pintu rumahnya. Abu Yazid bertanya, Siapakah yang hendak
kau cari? Orang itu menjawab, Abu Yazid. Abu Yazid lantas menyahut,
Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid; yang ada dalam jubah ini
hanyalah Allah SWT.[7]
Ia juga berkata; Maha suci aku, Maha suci aku (Subhani, Subhani)
alangkah agungnya kebesaranku. Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak
ada lagi Tuhan selain aku; maka menyembahlah kepadaku.[8]
Abu Yazid juga memberikan pesan tentang kedudukan fana; Tidak ada
hal yang lebih baik bagi seorang manusia daripada menjadi tidak ada,
tanpa asketisme, tanpa teori, dan tanpa praktek. Ketika seseorang tanpa
semuanya, maka sebenarnya ia dengan semuanya.
Makhluk hanyalah sebuah subjek menuju keadaan, tapi orang yang
memilih menjadi gnostik tidaklah memiliki keadaan, sebab bekasnya telah
terhapus dan indivualitanya sudah melebur dalam individualitas yang lain.
Jejaknya juga ditutupi dengan jejak yang lain.[9]
Sepertinya sudah ada hal yang lumrah bila syatahat itu kemudian hanya
bisa terjadi pada sufi yang sudah tidak mengenali dirinya sendiri. Abu
Yazid bisa sampai pada stasiun ini dikarenakan ia telah melenyapkan
dirinya hingga untuk sementara waktu ia sanggup mencapai dunia
kesatuan antara dia dengan Allah. Kesatuan yang dialaminya tentu hanya
bersifat rohaniah semata.
Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar tentu tidak bisa dikenakan
hukum atas segala perkataannya. Ketidak sadaran atau fana menjadi
basis yang sangat penting dalam memahami kemunculan syatahat
sehingga substansi kekontroversialannya sebetulnya bermuara dari
ketidakmampuan seorang sufi untuk mengedalikan dirinya, karena dirinya
tersebut telah menjadi tidak ada. Kondisi ini sering diiliustraasikan dengan
air yang bervolume banyak, tetapi mengalir dalam sungai yang sempit.
Sebagai efeknya tentu terjadi luapan air yang menggenang ke sejumlah
tempat.

Akibat ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai keluarnya syatahat
itu bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan sabda Allah yang
disuarakan melalui perantara lidah Abu Yazid.
Abu Yazid telah mempraktekkan hampir 35 tahun untuk bersikap zuhud
dan belajar membumi-hanguskan kepribadiannya. Layaknya seekor ular
yang melepaskan kulit luarnya, sehingga yang tersisa seakan-akan yang
tersisa dalam dirinya hanyalah pengaruh Tuhan yang senantiasa
menggerak-gerakkan kadar kemauannya.
Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang
sedang ditiup oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan nada-Nya
sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani; maka hal itu merupakan
perkataan Tuhan melalui dirinya. Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan
agaknya menjadi perhatian khusus tatkala sebagian kalangan
menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala perjalanan
spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana yang
dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.
Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan
tidak sadar (fana), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap
munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada juga riwayat
yang menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu,
Abu Yazid lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak
dalam situasi itu dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang
Maha Agung dan tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian
dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam
pengakuannya, Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami
sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola dan
sikap misktik Abu Yazud yang tidak lagi bisa dikategorikan pada arus
kelompok sufi mabuk (sukr); tidak juga menganggap petualang
teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.

4. AL HALLAJ
a. Biograf Singkat Al Halaj
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah
salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang terletak Iran
sebelah Barat Daya pada tahun 244 H bertepatan dengan 857 M . Versi
lain mengatakan ia lahir tanggal 26 Maret 866M dan meninggal dalam
hukuman pada tahun 922 M . Ia merupakan seorang keturunan Persia.
Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk
islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 masehi yang
paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran",
ucapannya itulah yang menjadikannya kontroversial dan akhirnya dijatuhi
hukuman mati dengan cara yang brutal.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas
(penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas
dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota
dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu,
kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusatpusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orangorang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti
mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj .
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca
Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia
merampungkan
studinya,
tapi
merasakan
kebutuhan
untuk
menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya
bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan
independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki
Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual
tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara
ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan
shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar
untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini. Dua tahun kemudian, alHallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia
berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya
dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh
saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan.
Akhirnya ia meninggalkan Amr juga .
Pada tahun 892 M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji
ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurangkurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun
ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung
selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari
siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan

keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada


Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya
diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan
membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi
Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya.
Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid .
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik
positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian
memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali
ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah
besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah
mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah
mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar,
bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di
Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi,
Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan
surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan
menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga
al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul
dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar
dan hiruk-pikuk duniawi .
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus
mencari Tuhan. Pada 899 M, ia berangkat mengadakan pengembaraan
apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju
selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam
perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai
macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga
mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan,
yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika
ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia
berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa
yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar
(kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang
penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang
penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang
tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia
pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia
menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus
pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan
meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat
tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya
mereka, Nuri dan Syibli .

Pada 906 M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan


orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan,
pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke
Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin
membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah
pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913 M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi
menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang
berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran
tentang Kebenaran. Di akhir 913 M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi
telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka
dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah
Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini
membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan
cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela
dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim,
melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia .
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh
pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari
Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan
darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku
akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada
dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya
berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut
adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan
sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di
kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan
kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya
pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam
maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan
adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru
selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya
sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan
sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al Hallaj berikut pandangan-pandangannya
tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan
dengan kelas penguasa. Pada 918 M, ia diawasi, dan pada 923 M ia
ditangkap. Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu
ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya.
Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan
sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai

peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan


istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj
berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia
menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia
dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas
tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya
dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa
itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar.
Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa
angin serta hanyut di sungai itu .

b. Prinsip Pemikiran Tasawuf Al Hallaj


Pada dasarnya al Hallaj adalah sama dengan para sufi lainnya. Ia
berusaha mensucikan dirinya dari berbagai hal yang bersifat duniawi
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Proses yang ia jalani pun
secara umum sama, hanya memang untuk sama persis tentu sebuah
kemustahilan. Ia melakukan perjalanan spiritual yang panjang untuk
menemukan Sang Kebenaran. Pergulatannya yang panjang dalam dunia
tasawuf sejak masa mudanya tersebut telah membuatnya berkesimpulan
tentang tujuan hidup yang hakiki. Al Hallaj menjadi sufi yang sangat
zuhud. Dalam sejaran dikisahkan bahwa ia menjalankan ibadah haji yang
pertama lebih dari para jamaah haji yang lain. Selama satu tahun
kehidupannya di Makah untuk ibadah haji tersebut, waktunya ia habiskan
untuk berpuasa siang hingga malamnya. Hal tersebut dilakukannya demi
mensucikan dirinya dari ego kemanusiaan atau hawa nafsu keduniaan
untuk meraih cinta sejati kepada Allah SWT . Setelah ibadah hajinya yang
ketiga, karakter sufi al Hallaj semakin tampak. Ia meyakini doktrin yang
berbeda dari yang lain, doktrin inilah yang membuatnya kontroversial dan
membuatnya mendapatkan banyak kawan sekaligus musuh. Ia berprinsip
bahwa tujuan akhir dari sebuah pencarian kebenaran, baik untuk para sufi
maupun semua makhluk, adalah bersatu dengan Tuhan . Dari sanalah al
Hallaj mengatakan atau Akulah Kebenaran. Dalam doktrin ajaran
Islam yang dipahami para ulama pada umumnya, al Haq adalah nama
Allah atau Allah itu sendiri. Pengakuannya sebagai al Haq menjadi
ketidaklaziman dan dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang
membahayakan aqidah umat Islam. Itulah kemudian yang menjadi
kekhususan al Hallaj dibandingkan banyak sufi yang lain. Selain doktrin
yang demikian populer tersebut al Hallaj juga berpandangan bahwa
seorang sufi tetap memiliki keharusan untuk memperbaiki masyarakat .
Bagaimana Al Hallaj sampai memiliki doktrin ini?
Kepastian alasan mengapa al Hallaj demikian memang tidak ada yang
mengetahui. Pengalaman dia bersifat sangat pribadi dan sulit dipahami

serta tidak dapat digeneralisir. Sebagaimana dengan para sufi yang lain ia
menjalani ritual agama dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Seperti
contoh puasa setiap hari selama satu tahun menjalankan ibadah haji di
Makah adalah salah satunya di antara aktifitas peribadatannya yang lain.
Hal semacam ini tentu memberikannya pengalaman tersendiri yang sekali
lagi tidak mudah dipahami. Namun demikian, bagaimanapun al Hallaj
adalah manusia biasa yang kepadanya juga berlaku hukum hukum
sunatullah sebagaimana umunya manusia. Mengutip salah seorang tokoh
psikologi William Stern bahwa manusia itu senantiasa dipengaruhi oleh
faktor bawaan dan lingkungan .
Sekedar sebagai perbandingan, sufisme dengan masing masing tokohnya
memang menampilkan wajah spiritual yang menarik namun sulit
dipahami. Katakanlah sosok Rabiah al Adawiyah. Pengalaman batinnya
yang tidak selalu dapat dilalui orang lain membawanya pada
kesempurnaan ruhani dengan kecintaan yang tulus kepada Allah tanpa
pamrih apapun. Kisah yang menarik dari Rabiah adalah ketidakmauannya
menikah karena takut mengurangi cintanya kepada Allah.
Kembali pada al Hallaj, perjalanannya yang panjang dan bertemu
berbagai macam orang sekaligus guru tentu memberikan pengaruh yang
besar disamping kecerdasan dan tekadnya yang besar dalam usaha
mensucikan diri dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Tercatat dalam
sejarahnya ia sempat berguru pada seorang sufi Sahl at-Tustari, seorang
sufi yang berani dan independen. Sahl terkenal sebagai mufassir dan
mengamal secara ketat berbagai tradisi nabi disertai dengan praktek
zuhud yang luar biasa, seperti puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus
rakaat sehari . Selain itu beberapa gurunya yang lain adalah Amr al-Makki
dan gurunya Junaid. Keduanya adalah sufi yang masyhur di masa itu.
Pertemuannya dengan Junaid disebabkan konflik yang terjadi antara dia
dengan gurunya, Amr. Sementara dikemudian hari ia juga berkonflik
dengan Junaid karena perbedaan pandangan mengenai harus tidaknya
sufi ikut memperbaiki masyarakat. Tampaknya al Hallaj adalah seorang
yang keras hati, sehingga ia sering memiliki konflik dengan para gurunya
yang akhirnya memutus hubungan silaturahim mereka. Bahkan tidak
hanya dengan gurunya, dengan ayah mertuanya pun dikisahkan juga
memiliki konflik. Deretan konflik inilah yang barangkali membuat
kehidupannya tidak selalu mapan dan sering berpindah pindah. Sampai
suatu saat tercatat Amr al Makki yang pernah menjadi gurunya
menyiarkan berita berita yang menjelekkannya di publik . Mungkin kondisi
ini menggoncang jiwanya, hingga ia melepaskan jubah sufinya dan
menjalani kehidupan sebagaimana manusia pada umumnya dengan tetap
mensyiarkan ajaran ajaran spiritual . Pada kondisi ini al Hallaj membangun
relasi baru dengan Muhammad Zakariya ar Razi atau terkenal dengan
filosof ar Razi, juga seorang reformer sosialis bernama Abu Saad al
Jannabi serta Hasan bin Ali Ad Tawdi . Selain dengan mereka, selama ia
memisahkan diri dari pergaulan dengan kaum sufi dan melakukan

pengembaraan apostolik ia bertemu dengan banyak guru spiritual dari


berbagai macam tradisi, seperti Zoroastrianisme dan Manicheanisme .
Pergumulannya dengan berbagai macam orang ini akhirnya menemukan
titik aliknya setelah al Hallaj menunaikan ibadah hajinya yang ketiga yang
ia lakukan selama dua tahun. Dia kembali menjadi seorang sufi yang
mengenalkan diri dengan Sang Kebenaran.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa proses pergulatan spiritual seorang
al Hallaj cukup panjang. Kejiwaannya dinamis merespon setiap kejadian
yang menimpanya. Perjalanannya yang penuh konflik dengan para guru
dan mertuanya serta berbagai pengalaman spiritual dalam kezuhudannya
bermuara pada ektase (fana) dan pengakuan pada atau Akulah
Kebenaran. Bagaimanapun, corak keagamaan al Hallaj yang menjadi sufi
Kebenaran tidak dapat dilepaskan dengan para gurunya. Sudah barang
tentu mereka memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan
spiritualitasnya. Disamping itu perjumpaannya dengan berbagai
pemikiran lain dari para filosof, tokoh agama lain dan berbagai kejadian
membuat dirinya memilih jalan sufisme yang sempurna, dengan bukti ia
merasa mampu menyatu dengan Tuhannya.

c. Perkembangan Umum Pemikiran Tasawuf Di Masa Al Hallaj


Al Hallaj hidup di Abad 9 sampai dengan 10 Masehi. Ia hidup di masa dua
kekholifahan besar, Abbasiyah di Baghdad dan Ummayah di Andalusia.
Hidupnya antara tahun 857 s.d. 922 M berada pada masa kepemimpinan
Abbasiyah dibawah pengaruh Turki untuk yang pertama. Tepatnya saat itu
kekholifahan dipegang oleh Kholifah al Mutawakkil. Bersamaan dengan
perkembangan kekhilafahan Islam Bani Umayah di Andalusia untuk
periode pertama yang bergelar Emir. Pada masa kehidupan al Hallaj ini
peradaban Islam telah menikmati masa keemasannya. Meskipun catatan
sejarah sering mengatakan bahwa puncak kemajuan pada masa Kholifah
Harun al Rasyid dan Kholifah al Makmun tetapi hasil kemajuannya masih
terus berkembang hingga beberapa kholifah setelahnya hingga akhirnya
nanti memasuki masa kemunduran. Saat itulah peradaban Islam secara
intensif berinteraksi dengan berbagai peradaban lain melalui kebijakan
penerjemahan berbagai buku dari luar Arab ke dalam Bahasa Arab.
Termasuk pula buku buku filsafat Yunani. Singkat kata al Hallaj hidup di
masa kekuasaan Islam berada pada zaman kemajuan, penuh dengan
suasana keilmuan yang tinggi. Saat dimana negeri muslim menjadi kiblat
peradaban dunia. Dapat dipahami bahwa pada suasana semacam ini al
Hallaj dihadapkan pada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
pemikirannya. Pertama, kemajuan Islam dalam ilmu pengetahuan dan
filsafat memungkinkannya dapat dengan mudah berinteraksi dengan
berbagai macam pemikiran dari berbagai khasanah keilmuan. Kedua,
Kemajuan peradaban yang dibangun Abbasiyah membawa pada
ketercukupan secara materi dan kemewahan yang mulai muncul dan

menggejala sebagaimana sebuah siklus peradaban setelah sampai pada


puncak kemajuannya . Pada saat munculnya titik ekstrim kemewahan
duniawi biasanya kemudian disusul dengan titik ekstrim yang lain sebagai
anti kemewahan. Pada situasi seperti inilah tasawuf berkembang pesat.
Meskipun bukan satu satunya sebab berkembangnya tasawuf,
kemewahan hidup yang menggejala ditingkat penguasa dan golongan
kaya memberikan dorongan yang kuat mengembangkan tasawuf.
Kejenuhan dengan kehidupan materi memunculkan perasaan haus akan
spiritualitas. Tasawuf kemudian hadir memberikan itu dan menjadi
penyeimbang yang baik. Diantara para tokoh tasawuf yang populer pada
abad ke-10 dan 11 M adalah Bayazid al-Bhistami, Niffari, Sahl al-Tustari,
Mansur al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi dan lain-lain . Mereka berkembang
beriringan dengan perkembangan filsafat yang mendapat dukungan
penuh dari pemerintah penguasa.
Pengaruh pemikiran Tasawuf al Hallaj. Al Hallaj adalah salah satu penggiat
tasawuf yang masyhur. Kezuhudannya yang membawanya mengetahui
banyak hal membuatnya masyhur dan memiliki banyak pengikut. Ia juga
dijuluki Hallaj al Asror karena mampu mengetahui banyak rahasia Ilahi .
Sampailah kemudian ia mengaku sebagai al Haq. Yang menarik adalah
kemudian adalah pernyataan pernyataanya yang aneh seputar
keinginannya mengorbankan diri demi menyelamatkan umat manusia,
seperti kisah Yesus dalam Kristen, justru seperti memberi inspirasi rakyat
menuntut perbaikan kehidupan dan masyarakat kepada pemerintah
penguasa. Mereka menuntut pemerintah dapat menjalankan amanah
Allah dan Islam dalam menjalankan kepemimpinan. Banyak muridnya
yang menjadi oposisi pemerintah dan menganggap al Hallaj sebagai juru
selamat. Akhirnya, al Hallaj tidak dapat menghindarkan diri berposisi
sebagai oposisi bagi penguasa. Konflik pemikiran Tasawuf al Hallaj dan
Penguasa sesungguhnya sudah dapat di duga. Pertama, Konflik konflik
politik yang demikian terang benderang di mata rakyat telah menjadikan
rakyat rindu akan suasana yang damai dan menenangkan. Dalam suasana
politik yang panas, tasawuf datang memberikan kritik terhadap penguasa
yang dipandang jauh dari nilai luhur agama. Ego manusia dan kekuasaan
terlalu mengemuka menjadikan banyak terjadi pertumpahan darah demi
sebuah jabatan kholifah. Tasawuf mampu datang memberikan visi yang
lain, bahwa kekuasaan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah . Dari
titik ini Tasawuf menjadi antagonistik terhadap penguasa yang ada.
Kedua, Penguasa yang penganut Mutazilah dimana hampir segala
sesuatu dilihat dari sudut pandang rasional kembali berhadap hadapan
dengan paradigma berfikir tasawuf yang selalu berangkat dari hati. Dua
poin tersebut ditambah dengan kepopuleran sekaligus kontroversi
pemikiran al Hallaj yang membuatnya berhadap hadapan dengan
penguasa Abbasiyah. Banyak pendukungnya yang berada di kalangan
sufi, masyarakat umum bahkan orang dalam istana. Hal ini menjadikan

pihak penguasa semakin tidak simpatik bahkan cenderung membenci al


Hallaj dan pemikiran pemikirannya.

Pada konteks inilah sesungguhnya Islam telah memberikan panduan yang


jelas kepada para pemeluknya untuk menempatkan dunia dan agama
pada posisi yang tepat. dalam Q.S. al Qoshshos, ayat 77:




77 : ( )
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al Qoshshos :
77)

Ini artinya bahwa urusan dunia dan akhirat perlu memiliki keseimbangan.
Keduanya ada untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Misi
manusia ke muka bumi adalah mengabdi kepada Nya dan memimpin
kehidupan di muka bumi ini. Ketidakseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan yang tidak Allah kehendaki. Dalam konteks
dialog antara politik kekuasaan dan tasawuf, keduanya harus ada dan
saling menjadi penyeimbang. Para politisi dan pengendali kekuasaan
harus menjalankan kekuasaannya dengan dilandasi kesucian hati serta
selalu memaknai kekuasaannya sebagai amanah dari Allah untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam. Sementara para sufi juga menjadi tidak
bijaksana jika demi menjaga kebersihan hati dan jiwanya harus beruzlah
atau mengasingkan diri dari hiruk pikuk keduniaan. Sufisme harus hadir
dalam dinamika dunia dan memberinya warna kesucian agar semua yang
berjalan di dunia senantiasa dalm bingkai pengabdian kepada Allah SWT.
Selain itu, fenomena sufi yang sering terasing dari umat pada umumnya
karena perilakunya yang sering aneh menjadi pelajaran lain. Klaim
menyimpang dan sesat yang dialamatkan kepada mereka biasanya
muncul karena cara beragama mereka yang sering berbeda dan
berlebihan. Seperti disampaikan di muka Rosulullah SAW mengingatkan:
( )
Barang siapa membuat buat hal baru berkaitan dengan urusanku, maka
dia itu tertolak (H.R. Bukhari)
Juga Sabda beliau:
( )

Aku tinggalkan ditengah tengah kamu dua perkara yang sekali kali kamu
tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh dengan keduanya,
yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi (H.R. Malik)
Dua pesan Rosulullah SAW tersebut cukup menjadi batasan aktifitas
beragama setiap muslim. Ada dua hal dari kedua hadits tersebut, pertama
adalah bahwa ketentuan ketentuan yang ada di dalam peninggalan
Rosulullah itu sebagai jaminan cara beragama yang benar dan
menyelamatkan hidup di dunia dan akhirat, karena itu cukuplah dengan
mengikuti keduanya seseorang telah akan mampu mensucikan dirinya
dan mendekti Tuhannya. Yang kedua adalah larangan Rosul berkaitan
dengan penambahan tata cara menjalankan Islam. Biasanya sufi memiliki
langkah langkah sendiri dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dalam
batas tertentu yang tidak membahayakan dirinya serta orang lain hingga
melakukan sebuah bidah , cara cara tersebut masih diperbolehkan.
Namun jika ada tambahan sedikit saja, sebagaimana sabda Rosulullah
SAW, amalan itu tertolak.
Terakhir, menjalani tasawuf untuk menyempurnakan keislaman seseorang
diizinkan dalam Islam dalam batas yang tidak melebihi berbagai
ketentuan Rosul. Kisah al Hallaj yang nyleneh cukuplah dinilai dari apa
yang tampak ia ucapkan dan lakukan. Karena itu patut disayangkan,
kedekatannya kepada Allah telah menjadikannya berperilaku aneh yang
kemudian dianggap menyimpang. Wallahu alamu bish showab.

KESIMPULAN
Abu naim Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan
Al-Bashri sebagai berikut, takut (khauf) dan pengharapan (raja) tidak
akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang
karena selalu mengingat Allah. Pandangan tasawufnya yang lain adalah
anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut
kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi
seluruh larangan-Nya. Syarani pernah berkata, Demikian takutnya,
sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk
ia (Hasan Al-Bashri).

Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan AlBashri seperti ini:
a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik
daripada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barangsiapa bertemu dunia
dengan rasa benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh
faedah darinya. Namun, barangsiapa bertemu dunia dengan
perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan
sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak
dapatditanggungnya.
c. Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk
mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita
bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana
betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa
betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat
datang dan pergi serta penuh tipuan.
d. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan
beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.
e. Orang yang beriman akan senantiasa berduka-cita pada pagi dan
sore hari karena berada di antara dua perasaan takut: takut
mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal
yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
f. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih
janjinya.
g. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa,
guru besar Filsafat Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan
Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun,
ada yang meneliti bahwa ternyata bukan perasaan takut terhadap
siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan

kekurangan dan kelalaian dirinyalah yang mendasari tasawufnya itu.


Sikapnya itu senada dengan sabda Nabi yang berbunyi, Orang beriman
yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah
laksana orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa
merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.
Meskipun keberadaan tasawuf dalam Islam masih sering jadi persoalan,
khasanah tasawuf adalah bagian dari dinamika umat Islam yang harus
diterima keberadaannya. Tasawuf menjadi ekspresi sebagian umat Islam
dalam menjalankan agamanya. Pada satu masa tasawuf menjadi sangat
populer dan seperti sebuah tren cara beragama, sementara pada saat
yang lain mungkin tidak laku. Begitulah dinamika masyarakat
menjalankan agamanya. Mengapa demikian? Tentu inilah yang perlu
dibaca dan diambil pelajarannya untuk membangun peradaban yang lebih
baik di masa yang akan datang. Melihat dinamika peradaban manusia dan
fenomena perkembangan tasawuf ditengahnya, terdapat tanda tanda
yang dapat dibaca.
Ibnu Kholdun di dalam Muqoddimahnya memberikan sebuah teori pasang
surutnya sebuah peradaban. Ia katakan bahwa manusia dipengaruhi
dengan watak ashobiyahnya akan membangun peradaban yang maju.
Tetapi kemudian akan sampai puncak dan akhirnya akan turun kembali,
jatuh dan digantikan peradaban yang lain. Teori ini cukup
menggambarkan dan terbuktikan dalam perjalanan peradaban Islam yang
dimulai dari bangun dan jatuhnya Daulah Bani Umayah, dilanjutkan
dengan Daulah Bani Abbasiyah dan seterusnya. Watak dasar manusia
yang mencintai golongannya, ingin berkuasa dan terlena dalam kelebihan
harta dan kekuasaan menjadi dasar dari teori ini. Meskipun tidak bertolak
belakang, dinamika politik kekuasaan yang berdasarkan semangat
ashobiyah ini seringkali menempatkan agama dan nilai moral
kemanusiaan berada pada posisi kedua, terkalahkan oleh kepentingan
golongan dan kekuasaan. Maka wajar jika yang terjadi kemudian adalah
saling menjatuhkan dan membunuh antar sesama muslim bahkan saudara
sedarah. Hal semacam ini tentu bertentangan dengan semangat tasawuf
yang berangkat dari semangat penyucian diri dari urusan duniawi demi
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Maka menjadi sangat sulit
menemukan seorang sufi yang menjadi penguasa. Yang sering ditemukan
adalah sufi bertentangan dengan pihak penguasa karena ajaran ajarannya
yang sering bertentangan dengan sikap dan kebijakan para penguasa.

Anda mungkin juga menyukai