Anda di halaman 1dari 2

Buku Fiksi 2/6/20

Kezia Kevina H./XI IPS 2

Pengertian Buku Fiksi


Buku Fiksi merupakan buku yang berisi cerita, sifatnya imajinatif. Tidak membutuhkan
pengamatan dalam pembuatannya dan tidak perlu dipertanggungjawabkan, karena ide
ceritanya berasal dari khayalan atau imajinasi penulis. Bahasa yang digunakan biasanya bahasa
kiasan atau konotatif. Jadi, pembaca diajak untuk masuk ke dalam cerita itu dengan bahasa yang
tidak biasa.

Ciri-Ciri Buku Fiksi


1. Ditulis menggunakan gaya bahasa
2. Sifat katanya banyak konotatif atau makna yang ditambahkan
3. Berbentuk cerpen dan novel
4. Ditulis berdasarkan imajinasi maupun khayalan, rekaan/fiktif/imajinatif
5. Memiliki kebenaran yang realitif
6. Penggunaan bahasanya motivatif
7. Berisi amanat

Jenis Buku Fiksi


1. Novel
2. Cerpen
3. Drama
4. Puisi

Refleksi diri
1. http://kiatberbahasa.blogspot.com/2018/04/menulis-refleksi.html

Tugas
1. Bacalah buku fiksi minimal 30 lembar, kemudian tuliskan refleksi diri berdasarkan isi buku
tersebut!
2. Jawaban diketik di word dan di-upload ke drive berikut selambat-lambatnya tanggal 4 Juni
2020 pukul 16.00.

11 IPS 1
https://drive.google.com/drive/folders/1NdJPctJlstc9ZXMUSkNR5o2xozms7wEz?usp=sharing
11 IPS 2
https://drive.google.com/drive/folders/1kQFXGwcJDfmTp7xchSXZ2hPXj8R4P1vy?usp=sharing
11 IPA
https://drive.google.com/drive/folders/1jdDKKhfs0DaKu2b02UctGXnANX6ghLTx?usp=sharing

Ikuti petunjuk di bawah ini!

Nama siswa: Kezia Kevina Harmoko


Nomor absen: 13

Identitas Buku
Judul Buku: Amba
Pengarang: Laksmi Pamuntjak
Tahun terbit: 2013
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: 575 halaman
Halaman yang dibaca: Satu buku
Refleksi diri:

Gambaran Cerita
Buku Amba menceritakan perjuangan seorang wanita bernama Amba yang berusaha
menyelesaikan teka-teki romansa masa lalunya. Dahulu ia hidup di masa Indonesia masih kental
dengan perseteruan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pengikut PKI dianggap sebagai golongan merah atau golongan kiri sedangkan pengikut PNI
disebut dengan golongan putih atau kanan.
Singkat cerita Amba bertunangan dengan Salwa, seorang dosen muda Universitas Gajah
Mada. Namun Amba tidak ingin langsung menikah karena ia ingin menempuh pendidikan.
Sayangnya baru satu tahun kuliah terjadi berbagai pertikaian politik yang menyebabkan
kuliahnya terganggu. Ia pun bekerja menjadi penerjemah di rumah sakit di kota Kediri dan
bertemu seorang dokter. Ia adalah Bhisma Rashyad, seorang dokter berdarah Jerman. Amba dan
Bhisma jatuh cinta. Namun di tengah kondisi politik yang sangat sensitif, ditambah dengan
keterlibatan Bhisma dengan teman-temannya yang golongan merah membuat mereka terpisah
selamanya.
Amba berusaha melanjutkan hidup dengan bayi yang ada di rahimnya. Ia hidup normal
di Jakarta, menikah dan membesarkan anaknya. Namun penggalan masa lalu kembali mencuat
ketika suaminya meninggal. Amba memilih untuk menelusuri kembali masa lalu yang telah lama
hilang tanpa kejelasan. Ia pergi ke Pulau Buru, tempat Bhisma dahulu diasingkan. Di sana ia
menemukan kalau Bhisma telah meninggal. Kenyataan tersebut tidak mengejutkan Amba. Ia
juga menemukan sederet surat yang Bhisma tinggalkan untuknya, berisi kehidupannya selama
menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Usaha Amba tidak sia-sia, setidaknya ia lega mengetahui
apa yang sebenarnya terjadi.

Refleksi
Amba diceritakan sebagai wanita berprinsip yang berjuang untuk mendapatkan apa
yang ia mau dengan kerja keras. Ia tidak pasrah menerima adat yang memosisikan derajat tinggi
perempuan hanya sebatas menjadi istri seseorang. Ia tetap mengejar pendidikan karena ia tahu
ia mampu dan berhak menerimanya. Amba juga tidak mudah memihak suatu golongan hanya
karena tekanan lingkungannya. Pemikiran tajamnya melatih ia untuk melihat segala sisi dari
suatu masalah.
Walaupun Amba hidup di masa lalu, saya berpikir bahwa mental baja Amba perlu saya
miliki. Mungkin Indonesia sudah lepas dari pertikaian golongan merah dan putih. Namun kita
masih saja tidak bisa lepas dengan konflik “golongan-golongan” yang masih saja terus ada.
Misalnya golongan ras, agama, dan lainnya. Pemikiran logis dan mampu melihat segala sisi agar
tidak bias merupakan langkah baik dalam menghadapi konflik tersebut. Apalagi pada dasarnya
kita, masyarakat Indonesia, telah bersatu tanpa memandang suku, agama, atau ras yang kita
miliki. Indonesia adalah Indonesia. Keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman.
Saya dengan ras Tionghua sering kali mendapat cap negatif dari ras lain. Stereotip yang
seakan tidak pernah akan hilang ini terkadang membuat saya kesal. Kegiatan sederhana seperti
berbelanja di pasar saja menjadi kegiatan yang tidak menyenangkan karena adanya pandangan-
pandangan aneh yang mengelilingi. Tapi saya sadar, itu bukan salah mereka. Itu juga bukan salah
saya. Mungkin pandangan tersebut adalah bekas-bekas pandangan yang dicanangkan di masa
lalu (rezim Soeharto yang memiliki cap khusus untuk ras Tionghua). Semoga di masa depan nanti
kita semua bisa sadar kalau sejatinya kita semua sama.
Keberanian Amba untuk menelusuri kepingan masa lalunya bersama Bhisma bukan
pilihan yang mudah. Awalnya saya berpikir, kenapa Amba tidak merelakan saja masa lalu yang
sudah berpuluh-puluh tahun terkubur itu? Lagi pula ia sudah hidup tenang dan nyaman. Namun
hal ini menunjukkan bahwa utang masa lalu tidak akan pernah hilang dalam hidup kita. Masalah
yang belum terselesaikan tidak akan hilang begitu saja. Pasti suatu saat masalah tersebut
kembali mencuat untuk minta diselesaikan dan semesta seakan-akan mendorong kita untuk
kembali masuk ke lubang yang menganga itu.
Amba menunjukkan bahwa menunda masalah hanya berarti kita menyimpannya untuk
masa mendatang. Semua masalah harus segera diselesaikan. Saya sendiri merasa sering
menunda dan menganggap masalah tidak ada, namun saya juga takut penundaan itu akan
menjadi bom waktu yang akan meledak entah kapan.
Misalnya menunda untuk memantapkan pendidikan lanjutan. Saya tidak merasa cukup
mampu untuk masuk universitas negeri. Namun saya juga tidak mempersiapkan karena saya
pikir mungkin tempat saya adalah di swasta. Lalu waktu makin berlalu dan kebingungan makin
mencuat. Saya tahu dengan jelas tidak lama lagi saya harus memilih. Berhubung masih belum
sampai di waktu tersebut, ada baiknya saya bersiap mulai dari sekarang.

Anda mungkin juga menyukai