Anda di halaman 1dari 3

“Aku Generasi Penggerak Kebanggaan Bangsa Indonesia”

Cara Generasi Penggerak Membantu Membenahi Pendidikan Indonesia

Oleh : Nuuroh Fauziah

Saya adalah Nuuroh Fauziah, anak kedua dari empat bersaudara. Sejak lahir saya dibesarkan oleh
orang tua yang bekerja sebagai wiraswasta di suatu desa kabupaten Bogor , kota kelahiranku. Seperti
halnya anak kedua pada umumnya, lahir di pertengahan artinya harus mengalah dan menjadi
pemimpin untuk adik-adiknya. Dan jiwa kepedulian dan jiwa pemimpin saya sedari kecil tersebut saya
bawa hingga kini. Dari berbagai jenjang, amanat sebagai pemuda penggerak bangsa dan sebagai
ketua telah saya emban, entah ketua kelompok, ketua kelas, hingga ketua organisasi. Saya termasuk
pribadi yang banyak teman, hal itu didasarkan karena saya sering bersosialisasi sedari kecil, yang
membuat saya selalu beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungan baru. Awal saya lahir hingga
usia TK, saya masih tinggal di rumah orang tua saya, kemudian ketika beranjak SD, saya membantu
orang tua dengan berjualan jamur putih di sekitaran desa dengan berbekal sepeda kecil dan satu
baskom penuh jamur yang telah di timbang dan di ukur sesuai dengan takaran yang telah
ditentukan , sehingga saya bisa menjualnya dan bisa membantu kedua orang tua saya. Sedari kecil
saya sudah diterpa kondisi lingkungan yang cukup menyulitkan, harus beradaptasi dengan orang baru
berkali-kali, dan pengalaman berjualan bersama teman sekaligus sebagai saudara saya. Namun
semua itu tidak mampu menghalangi semangat belajar saya dan rasa ingin tahu saya akan ilmu.
Orang tua saya bukan orang yang kaya ataupun berpendidikan tinggi. Beliau hanya lulusan SMA dan
SMP, yang berharap anaknya kelak mampu melebihi mereka seperti harapan orang tua yang lain.
Sedari kecil diberi kecukupan yang sederhana merupakan rizki yang berlimpah menurut saya, karena
saya tahu diluar sana banyak orang yang jika dilihat merasa kekurangan, namun mereka tetap
bersyukur atas apa yang telah diberikan. Sehingga saya sadar bahwa kekayaan adalah diukur dari
seberapa puas kita bersyukur. Setidaknya itulah motiasi dan pegangan hidup yang saya bawa hingga
saat ini.Sejak SD hingga sekarang, saya bersekolah di sekolah umum negeri. Sifat ingin tahu saya sejak
kecil membuat saya menjadi suka membaca, apapun saya baca, buku, atlas, koran, bacaan apapun
itu. Oleh karena itu, saya adalah langganan juara keas sejak SD, SMP, hingga SMA. Beberapa prestasi
yang saya dapat adalah Juara 2 Olimpiade Sains Nasional tingkat Kabupaten Sidoarjo pada tahun
2016, kemudian juara lomba cerdas cermat Islam se-sekolah pada tahun 2016, dan semi-finalis
lomba cerdas cermat antar SMA se Jawa Timur yang diselenggarakan oleh GenSINDO pada tahun
2017. Saya juga pernah masuk 20 besar dari 500 peserta program Sidoarjo Zero Waste 2017 yang
mana merupakan wujud kepedulian saya terhadap lingkungan dan alam. Kehidupan saya di luar
perkuliahan adalah aktif memimpin remaja-remaja seperumahan untuk bergerak memakmurkan
masjid melalui orgnanisasi Remaja Masjid. Organisasi ini terbentuk atas inisiatif saya yang saya
sampaikan kepada ketua RW bahwa alangkah baiknya jika para pemuda di kompleks perumahan saya
diarahkan kepada masjid sebagai tempat berkumpul, belajar, berpendapat, dan bersosialisasi. Karena
akan menjaga pergaulan mereka dari berbagai penyimpangan remaja. Selain itu, agar tidak terlalu
membebani orang tua saya yang juga masih harus menyekolahkan adik-adik saya. Saya bekerja paruh
waktu sebagai tenaga TI di salah satu PAUD yang honornya tidak menentu, tergantung seberapa
banyak tugas yang diberikan kepada saya. Dan setidaknya dari honor tersebut saya tidak terlalu
sering meminta orang tua lagi untuk uang saku sehari-hari. Selain itu, saya bersama teman teman
dan dosen Ekonomi Syariah UINSA juga sedang menyusun sebuah modul yang akan dipasarkan
kepada mahasiswa guna membantu dan memudahkan proses belajar mereka. Sehingga, ibaratnya
kami selain bekerja sosial namun juga berbisnis yang keuntungannya sebagian besar digunakan untuk
keuangan Himpunan Mahasiswa Ekonomi Syariah UINSA karena dari organisasi tersebutlah ide
tersebut dicetuskan dan hasil keuntungannya bisa bermanfaat lagi untuk kegiatan mahasiswa. Jika
berbicara tentang passion, saya yang lebih suka membaca dan (kemudian) menulis tentu sudah bisa
ditebak. Yakni pada bidang Sosial dan Humaniora. Pada awal masuk SMA ada tes penempatan
jurusan, hasil saya menunjukkan bahwa saya masuk di jurusan IPA. Namun hati saya bergeming,
kemudian saya pindah ke jurusan IPS atas izin orang tua dan sekolah. Dan tak salah, saya mampu
memaksimalkan potensi yang saya miliki di jurusan yang distereotip masyarakat banyak anak
nakalnya tersebut dengan memenangkan lomba-lomba yang saya ikuti yang tekah saya jelaskan pada
paragraf sebelumnya. Nilai saya di tiga bidang utama IPS yakni Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi pun
memiliki rata-rata di atas 90. Ditambah soft skill Bahasa Jerman saya yang dinilai oleh guru saya di
rapor mendekati angka sempurna, 99. Hingga pada masa pendaftaran kuliah, saya harus
menentukan kemana tujuan saya selanjutnya. Dalam hati, saya memasrahkan kehendak saya kepada
Allah karena saya telah berusaha mendapatkan nilai-nilai di rapor yang akan saya gunakan untuk
mendaftar melalui jalur undangan, yakni SNMPTN dan SPAN-PTKIN. Saya mendaftar di UNESA dan
UINSA, dan berkat kehendak-Nya dengan tirakat saya dahulu seperti halnya istighosah, khataman
Qur’an, puasa Senin dan Kamis, dan shalat malam. Akhirnya saya diterima di kedua universitas
tersebut. Sosiologi UNESA dan Ekonomi Syariah UINSA. Banyak yang bilang bahwa jalur undangan
merupakan jalur mudah, namun perlu diketahui bahwa untuk mendapatkan hal tersebut perlu usaha
belajar yang keras selama 3 tahun agar nilai rapor baik dan berdoa secara istiqomah agar campur
tangan Tuhan turut membantu cita-cita kita. Dan pada akhirnya pada 2017 lalu saya memutuskan
mengambil Ekonomi Syariah UINSA, pertimbangannya adalah atas kehendak saya pribadi, atas
passion saya yang lebih condong ke Ekonomi Islam dan merasa ingin tahu ebih mengenai ilmu ini.
Selain itu biaya UKT yang tidak terlalu mahal yakni Rp2.100.000,- juga saya rasa akan meringankan
beban orang tua saya daripada di pilihan lain yang mengharuskan saya membayar Rp3.900.000,- per
semesternya. Setelah diterima, tentu ada jeda waktu hampir 4 bulan menunggu masuk kuliah.
Dengan waktu sebanyak itu, kebanyakan orang adalah berpikir tentang liburan. Saya pun tak naif,
saya sempat berlibur dengan bermain ke rumah saudara yang jauh hingga waktu tersisa 3 bulan, saya
harus memikirkan bahwa waktu luang yang saya miliki harus dimanfaatkan sebaik mungkin, saya
merasa bahwa semakin kita belajar banyak tentang ilmu maka semakin saya tahu bahwa ilmu saya
hanya sedikit. Apalagi ketika tidak belajar. Bacaan saya ketika liburan pun berubah, dari novel fiksi ke
buku-buku mata kuliah yang akan saya tempuh dari hasil pinjaman ke perpustakaan daerah. Saya
ingin start lebih awal dan tak ingin kalah dengan yang lain karena saya juga sadar semakin kita
bermalas-malasan maka musuh akan semakin mudah mengalahkan kita Dan di sinilah saya,
mahasiswa Ekonomi Syariah dengan semangat menuntut ilmu yang tinggi, yang mulai memikirkan
bagaimana nasib rakyat Indonesia, terutama perekonomiannya. Memikirkan, mencari tahu,
menemukan masalah, mencari solusi, dan mempraktikkannya adalah agenda yang akan saya lewati
sebagai mahasiswa Ekonomi. Karena kepada kita lah nasib perekonomian bangsa Indoneisa akan
dibawa kedepannya. Indonesia merupakan negara yang teramat kaya, jika ditilik dari sisi sumber daya
alam yang sangat melimpah. Mulai dari rempah-rempah, bahan tambang, hingga hasil buminya pun
telah dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa di alam Indonesia. Namun, ironi terjadi di negeri ini.
Dengan segudang sumber daya alam yang ada, namun permasalahan-permasalahan ekonomi kerap
terjadi, utamanya pengangguran dan kemiskinan. 27.7 juta masyarakat Indonesia hidup di bawah
kemiskinan dan 7 juta lainnya masih berstatus pengangguran. Bagaimana bisa jadi seperti itu tatkala
kita bak hidup di negeri dongeng yang kaya raya hingga membuat banyak negara iri hingga
melakukan penjajahan di negeri ini. Bicara tentang penjajahan, hal ini memang telah menjadi
penyakit klasik. Meskipun telah merdeka, namun sejatinya negeri ini masih ditindas secara tidak
langsung dengan maraknya budaya barat yang masuk ke Indonesia, jika telah seperti itu, budaya
barat menjadi trend bahkan kebanggaan masyarakat, maka produk-produk ekonomi yang berasal
dari mereka pun laris manis di pasaran. Produk lokal? Bukannya didukung, malah sering dicemooh
oleh sebagian masyarakat. Contoh riilnya adalah, betapa masyarakat Indonesia bangga ketika
menggunakan atau membeli produk dari barat, dan malu ketika membeli produk dalam negeri.
Padahal, ketika kita membeli atau menggunakan produk lokal, maka akan turut serta membantu
menguatkan nilai tukar rupiah, artinya kekuatan ekonomi negeri ini bisa semakin membaik. Cara
pandang ini lah yang harus ditekankan generasi unggul bangsa ini. Membeli kebutuhan pokok di
pasar tradisional atau pasar modern milik Indonesia, mengurangi membelanjakan atau
‘menyalurkan’ uang ke negara lain dengan lebih memilih makan di restoran lokal dan membeli
produk dari brand-brand lokal adalah salah satu dari sekian banyak contoh lainnya. Namun tak
hanya itu, penyakit lain dari perekonomian Indonesia juga datang dari masyarakatnya sendiri. Mental
menggapai sesuatu yang hebat dengan cara yang kurang sehat’. Dalam artian pandangan hidup
mengenai pekerjaan. Kebanyakan pasti jika ditanya apa cita-citanya maka tak jauh dari ingin menjadi
Polisi, TNI, dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Masyarakat akan memandang profesi itulah yang mampu
membanggakan keluarganya atau orang-orang terdekatnya. Sehingga tak jarang dengan cara yang
‘kurang baik’ mereka lakukan untuk mencapai cita-citanya. Padahal bila direnungkan lebih dalam lagi,
ada satu profesi yang mampu dengan cepat membantu menguatkan perekonomian Indonesia. Yakni
dengan menjadi pengusaha. Ya, jika masyarakat Indonesia bermental pengusaha. Dengan sifat
uletnya yang ketika gagal akan bangkit terus, mempunyai visi misi luas demi mensukseskan usahanya,
tidak hanya memikirkan ‘hidup enak’ ingin bekerja menjadi abdi negara, ketika mereka sukses tentu
produknya akan dikenal sebagai produk Indonesia yang mendunia. Banyak digunakan untuk
masyarakat internasional, atau cukup dengan banyak digunakan masyarakat lokal sehingga
ketergantungan terhadap produk asing berkurang. Maka perekonomian negeri ini akan makin baik
dengan usaha-usaha mereka yang sukses, ekspor semakin meningkat dan impor semakin berkurang.
Dan anggaran negara yang selalu defisit bisa terselamatkan. Kemudian, jika hal-hal simpel namun
efeknya super ini mampu dilakukan oleh mayoritas bangsa Indonesia, atas izin Yang Maha Kuasa,
penyakit kemiskinan dan pengangguran akan mampu ditekan, rupiah akan semakin menguat, dan
perekonomian Indonesia akan semakin maju. Dan ‘mengentaskan’ Indonesia dari sebutan negara
berkembang. Membangunkan ‘Macan Asia’ yang tertidur. Karena itu, perekonomian bukan hanya
urusan pemerintah, namun juga urusan kita semua sebagai generasi unggul bangsa Indonesia untuk
memberikan solusi sehingga mampu mengobati dan menyembuhkan berbagai macam penyakit
dalam tubuh perekonomian Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai