Anda di halaman 1dari 3

“Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan.

Tanpa pendidikan, Indonesia tidak


akan mungkin bisa bertahan Oleh : Shintia Febrianti Saya adalah Shintia Febrianti, anak pertama
dari dua bersaudara. Sejak lahir saya dibesarkan oleh orangtua yang bekerja sebagai karyawan
swasta di salah satu perusahaan di Cipete. Seperti halnya anak pertama pada umumnya, lahir
pertama artinya harus jadi pemimpin untuk adik-adiknya. Saya termasuk pribadi yang banyak
teman, hal itu didasarkan karena saya sering berganti domisili sedari kecil, yang membuat saya
selalu beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungann baru. Awal saya lahir hingga usia TK,
saya masih tinggal di rumah kos orang tua saya, kemudian ketika beranjak SD, orangtua
menyicil rumah di salah satu kontrakan rumah, setelah kontrakan rumah habis, saya yang waktu
itu kelas 2 SD lalu pindah lagi ke kontakan lainnya dan kemudian pindah ke “rumah sendiri”.
Tetapi semua itu tidak mampu menghalangi semangat belajar saya dan rasa ingin tahu saya akan
ilmu. Orang tua saya bukan orang yang kaya ataupun berpendidikan tinggi. Beliau-beliau hanya
lulusan SMA, yang berharap anaknya kelak mampu melebihi mereka seperti harapan orang tua
yang lain. Sedari kecil diberi kecukupan yang sederhana merupakan rizki yang berlimpah
menurut saya, karena saya tahu diluar sana banyak orang yang jika dilihat merasa kekurangan,
namun mereka tetap bersyukur atas apa yang telah diberikan. Sehingga saya sadar bahwa
kekayaan adalah diukur dari seberapa puas kita bersyukur. Setidaknya itulah motiasi dan
pegangan hidup yang saya bawa hingga saat ini.

Sejak SD hingga SMP, saya bersekolah di sekolah umum negeri. Sifat ingin tahu saya sejak kecil
membuat saya menjadi suka membaca, apapun saya baca, buku, atlas, koran, bacaan apapun itu.
Oleh karena itu, saya adalah langganan juara keas sejak SD, SMP, hingga SMA. Beberapa
prestasi yang saya dapat adalah Juara 2 Umum Presentasi tingkat JABODETABEK pada tahun
2018, kemudian juara lomba cerdas cermat Islam se-sekolah pada tahun 2016, dan semi-finalis
lomba cerdas cermat antar SMA se Jawa Timur yang diselenggarakan oleh GenSINDO pada
tahun 2017. Saya juga pernah masuk 20 besar dari 500 peserta program Sidoarjo Zero Waste
2017 yang mana merupakan wujud kepedulian saya terhadap lingkungan dan alam. Kehidupan
saya di luar perkuliahan adalah aktif memimpin remaja-remaja seperumahan untuk bergerak
memakmurkan masjid melalui orgnanisasi Remaja Masjid. Organisasi ini terbentuk atas inisiatif
saya yang saya sampaikan kepada ketua RW bahwa alangkah baiknya jika para pemuda di
kompleks perumahan saya diarahkan kepada masjid sebagai tempat berkumpul, belajar,
berpendapat, dan bersosialisasi. Karena akan menjaga pergaulan mereka dari berbagai
penyimpangan remaja. Selain itu, agar tidak terlalu membebani orang tua saya yang juga masih
harus menyekolahkan adik-adik saya. Saya bekerja paruh waktu sebagai tenaga TI di salah satu
PAUD yang honornya tidak menentu, tergantung seberapa banyak tugas yang diberikan kepada
saya. Dan setidaknya dari honor tersebut saya tidak terlalu sering meminta orang tua lagi untuk
uang saku sehari-hari. Selain itu, saya bersma temanteman dan dosen Ekonomi Syariah UINSA
juga sedang menyusun sebuah modul yang akan dipasarkan kepada mahasiswa guna membantu
dan memudahkan proses belajar mereka. Sehingga, ibaratnya kami selain bekerja sosial namun
juga berbisnis yang keuntungannya sebagian besar digunakan untuk keuangan Himpunan
Mahasiswa Ekonomi Syariah UINSA karena dari organisasi tersebutlah ide tersebut dicetuskan
dan hasil keuntungannya bisa bermanfaat lagi untuk kegiatan mahasiswa. Jika berbicara tentang
passion, saya yang lebih suka membaca dan (kemudian) menulis tentu sudah bisa ditebak. Yakni
pada bidang Sosial dan Humaniora. Pada awal masuk SMA ada tes penempatan jurusan, hasil
saya menunjukkan bahwa saya masuk di jurusan IPA. Namun hati saya bergeming, kemudian
saya pindah ke jurusan IPS atas izin orang tua dan sekolah. Dan tak salah, saya mampu
memaksimalkan potensi yang saya miliki di jurusan yang distereotip masyarakat banyak anak
nakalnya

tersebut dengan memenangkan lomba-lomba yang saya ikuti yang tekah saya jelaskan pada
paragraf sebelumnya. Nilai saya di tiga bidang utama IPS yakni Geografi, Sosiologi, dan
Ekonomi pun memiliki rata-rata di ats 90. Ditambah soft skill Bahasa Jerman saya yang dinilai
oleh guru saya di rapor mendekati agka sempurna, 99. Hingga pada masa pendaftaran kuliah,
saya harus menentukan kemana tujuan saya selanjutnya. Dalam hati, saya memasrahkan
kehendak saya kepada Allah karena saya telah berusaha mendapatkan nilai-nilai di rapor yang
akan saya gunakan untuk mendaftar melalui jalur undangan, yakni SNMPTN dan SPAN-PTKIN.
Saya mendaftar di UNESA dan UINSA, dan berkat kehendak-Nya dengan tirakat saya dahulu
seperti halnya istighosah, khataman Qur’an, puasa Senin dan Kamis, dan shalat malam. Akhirnya
saya diterima di kedua universitas tersebut. Sosiologi UNESA dan Ekonomi Syariah UINSA.
Banyak yang bilang bahwa jalur undangan merupakan jalur mudah, namun perlu diketahui
bahwa untuk mendapatkan hal tersebut perlu usaha belajar yang keras selama 3 tahun agar nilai
rapor baik dan berdoa secara istiqomah agar campur tangan Tuhan turut membantu cita-cita kita.
Dan pada akhirnya pada 2017 lalu saya memutuskan mengambil Ekonomi Syariah UINSA,
pertimbangannya adalah atas kehendak saya pribadi, atas passion saya yang lebih condong ke
Ekonomi Islam dan merasa ingin tahu ebih mengenai ilmu ini. Selain itu biaya UKT yang tidak
terlalu mahal yakni Rp2.100.000,- juga saya rasa akan meringankan beban orang tua saya
daripada di pilihan lain yang mengharuskan saya membayar Rp3.900.000,- per semesternya.
Setelah diterima, tentu ada jeda waktu hampir 4 bulan menunggu masuk kuliah. Dengan waktu
sebanyak itu, kebanyakan orang adalah berpikir tentang liburan. Saya pun tak naif, saya sempat
berlibur dengan bermain ke rumah saudara yang jauh hingga waktu tersisa 3 bulan, saya harus
memikirkan bahwa waktu luang yang saya miliki harus dimanfaatkan sebaik mungkin, saya
merasa bahwa semakin kita belajar banyak tentang ilmu maka semakin saya tahu bahwa ilmu
saya hanya sedikit. Apalagi ketika tidak belajar. Bacaan saya ketika liburan pun berubah, dari
novel fiksi ke buku-buku mata kuliah yang akan saya tempuh dari hasil pinjaman ke
perpustakaan daerah. Saya ingin start lebih awal dan tak ingin kalah dengan yang lain karena
saya juga sadar semakin kita bermalas-malasan maka musuh akan semakin mudah mengalahkan
kita

Dan di sinilah saya, mahasiswa Ekonomi Syariah dengan semangat menuntut ilmu yang tinggi,
yang mulai memikirkan bagaimana nasib rakyat Indonesia, terutama perekonomiannya.
Memikirkan, mencari tahu, menemukan masalah, mencari solusi, dan mempraktikkannya adalah
agenda yang akan saya lewati sebagai mahasiswa Ekonomi. Karena kepada kita lah nasib
perekonomian bangsa Indoneisa akan dibawa kedepannya. Indonesia merupakan negara yang
teramat kaya, jika ditilik dari sisi sumber daya alam yang sangat melimpah. Mulai dari rempah-
rempah, bahan tambang, hingga hasil buminya pun telah dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa
di alam Indonesia. Namun, ironi terjadi di negeri ini. Dengan segudang sumber daya alam yang
ada, namun permasalahan-permasalahan ekonomi kerap terjadi, utamanya pengangguran dan
kemiskinan. 27.7 juta masyarakat Indonesia hidup di bawah kemiskinan dan 7 juta lainnya masih
berstatus pengangguran. Bagaimana bisa jadi seperti itu tatkala kita bak hidup di negeri dongeng
yang kaya raya hingga membuat banyak negara iri hingga melakukan penjajahan di negeri ini.
Bicara tentang penjajahan, hal ini memang telah menjadi penyakit klasik. Meskipun telah
merdeka, namun sejatinya negeri ini masih ditindas secara tidak langsung dengan maraknya
budaya barat yang masuk ke Indonesia, jika telah seperti itu, budaya barat menjadi trend bahkan
kebanggaan masyarakat, maka produk-produk ekonomi yang berasal dari mereka pun laris manis
di pasaran. Produk lokal? Bukannya didukung, malah sering dicemooh oleh sebagian
masyarakat. Contoh riilnya adalah, betapa masyarakat Indonesia bangga ketika menggunakan
atau membeli produk dari barat, dan malu ketika membeli produk dalam negeri. Padahal, ketika
kita membeli atau menggunakan produk lokal, maka akan turut serta membantu menguatkan
nilai tukar rupiah, artinya kekuatan ekonomi negeri ini bisa semakin membaik. Cara pandang ini
lah yang harus ditekankan generasi unggul bangsa ini. Membeli kebutuhan pokok di pasar
tradisional atau pasar modern milik Indonesia, mengurangi membelanjakan atau ‘menyalurkan’
uang ke negara lain dengan lebih memilih makan di restoran lokal dan membeli produk dari
brand-brand lokal adalah salah satu dari sekian banyak contoh lainnya. Namun tak hanya itu,
penyakit lain dari perekonomian Indonesia juga datang dari masyarakatnya sendiri. Mental
menggapai sesuatu yang hebat dengan cara yang

‘kurang sehat’. Dalam artian pandangan hidup mengenai pekerjaan. Kebanyakan pasti jika
ditanya apa cita-citanya maka tak jauh dari ingin menjadi Polisi, TNI, dan Aparatur Sipil Negara
(ASN). Masyarakat akan memandang profesi itulah yang mampu membanggakan keluarganya
atau orang-orang terdekatnya. Sehingga tak jarang dengan cara yang ‘kurang baik’ mereka
lakukan untuk mencapai cita-citanya.

Padahal bila direnungkan lebih dalam lagi, ada satu profesi yang mampu dengan cepat
membantu menguatkan perekonomian Indonesia. Yakni dengan menjadi pengusaha. Ya, jika
masyarakat Indonesia bermental pengusaha. Dengan sifat uletnya yang ketika gagal akan bangkit
terus, mempunyai visi misi luas demi mensukseskan usahanya, tidak hanya memikirkan ‘hidup
enak’ ingin bekerja menjadi abdi negara, ketika mereka sukses tentu produknya akan dikenal
sebagai produk Indonesia yang mendunia. Banyak digunakan untuk masyarakat internasional,
atau cukup dengan banyak digunakan masyarakat lokal sehingga ketergantungan terhadap
produk asing berkurang. Maka perekonomian negeri ini akan makin baik dengan usaha-usaha
mereka yang sukses, ekspor semakin meningkat dan impor semakin berkurang. Dan anggaran
negara yang selalu defisit bisa terselamatkan. Kemudian, jika hal-hal simpel namun efeknya
super ini mampu dilakukan oleh mayoritas bangsa Indonesia, atas izin Yang Maha Kuasa,
penyakit kemiskinan dan pengangguran akan mampu ditekan, rupiah akan semakin menguat, dan
perekonomian Indonesia akan semakin maju. Dan ‘mengentaskan’ Indonesia dari sebutan negara
berkembang. Membangunkan ‘Macan Asia’ yang tertidur. Karena itu, perekonomian bukan
hanya urusan pemerintah, namun juga urusan kita semua sebagai generasi unggul bangsa
Indonesia untuk memberikan solusi sehingga mampu mengobati dan menyembuhkan berbagai
macam penyakit dalam tubuh perekonomian Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai