Anda di halaman 1dari 178

DEDI SAHPUTRA

PUASA
di rumah
Kami
SAMBUTAN KETUA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KOTA MEDAN
PROF. DR. H. MOHD. HATTA

Assalamu’alaikum, Wr, Wb.

Puji syukur kita ucapkan bagi Allah SWT, semoga shalawat dan salam tercurah bagi
Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa umat kepada cahaya yang terang
benderang.

Buku yang di tangan Anda ini adalah buku dakwah yang ditulis dengan bahasa
populer ciri khas penulisan di media massa. Gaya penulisan seperti ini memang keluar dari
pakem dakwah yang dikenal secara umum selama ini. Namun kiranya dia tetap berada dalam
esensi dakwah itu sendiri sebagai kewajiban bagi setiap muslim.

Secara harfiah dakwah bermakna ajakan (seruan) yang esensinya mengajak manusia
pada nilai-nilai ajaran Islam yang secara kaffah (menyeluruh). Tidak berhenti pada spiritnya,
atau aspek luarnya saja, tapi menganut secara utuh dan melaksanakan segala tuntunannya.
Dengan demikian hakekatnya dakwah adalah ―upaya sadar‖ untuk mempengaruhi dan
mengajak orang lain, atau kelompok tertentu, agar mau mengikuti jalan kebenaran (sawa’ as
sabil), mencari jalan dari kegelapan (az-zulumat) menuju cahaya (nur).

Dakwah Islam akan lebih berhasil apalagi ditopang dengan sarana informasi yang
cukup dan canggih. Akibat kurangnya profesionalisme umat Islam di bidang informasi dan
jurnalistik, menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan arus informasi antara dunia Islam
dengan dunia lain secara menyolok, dan terjadinya penginformasian yang tidak adil tentang
Islam. Barat lebih banyak mengetahui Islam sebagai agama yang kolot, kasar, kejam, dan
tanpa kompromi, daripada agama yang dinamis, penuh toleransi dan cinta kasih. Hal itu
menjadi akses negatif penginformasian tentang Islam yang hanya mengambil sampel
pengamatan dan perilaku kelompok-kelompok tertentu umat Islam yang sebenarnya bukan
prinsip dari Islam.

Dakwah Islam dalam pelaksanaannya menempuh cara dan strategi yang lentur, kreatif
dan bijak untuk mencapai tujuan pokok yaitu restorasi dan rekonstruksi kemanusiaan
kemanusiaan secara individu dan kolektif untuk membawanya ke tingkat eskatologis yang
tertinggi. Untuk mencapai tujuan eskatologis tersebut Alquran menuntut adanya segolongan
umat Islam yang melaksanakan tugas dakwah secara profesional (lihat QS. 3:104). Mereka
ini diharapkan mampu mendekati objek (sasaran) sesuai dengan bahasa (baca, disiplin ilmu,
budaya) yang paling mereka kuasai dan senangi. Dengan demikian, dakwah dalam
pengembangannya selalu bersikap terbuka untuk memanfaatkan segala hasil kreativitas dan
produktivitas teknologi modern termasuk diantaranya informasi. Pemanfaatan informasi
dalam pelaksanaan dakwah Islamiyah, bukan hanya dibolehkan, tetapi justru dituntut dan
dipandang sebagai suatu ibadah muamalah yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam secara
fardhu kifayah.

ii
Watak dasar dakwah adalah mengubah (bersifat transformatif) ke arah yang lebih
baik. Jadi, ukuran keberhasilan dakwah bukan terletak pada popularitas da‘i, komersialisasi
dakwah, tertapi terletak bagaimana dakwah bisa membawa perubahan menjadi lebih baik
kepada umat. Hari ini dituntut kepada da‘i untuk benar-benar meluruskan niat dalam
berdakwah, sehingga tujuan dakwah dapat tercapai dengan baik.

Prinsip orang berdakwah itu seperti menanam padi yang berjalan mundur kebelakang.
Kalau dapat ikan, belut besar ataupun kecil tidak jadi persoalan, karena itu rezeki yang
diberikan Allah SWT. Jangan memaksakan diri atau menargetkan harus dapat belut besar,
sehingga merusak tanaman yang sudah ditanam. Dakwah tidak boleh dikomersilkan, itu
adalah tugas mulia dari Allah SWT untuk menolong agama-Nya. Ganjarannya jelas dari
Allah SWT: intanshurullaha yansurukum / jika kamu menolong agama Allah maka Allah
akan menolongmu.

Akhirnya, selamat membaca dan selamat merenangi muatan dakwah dalam tulisan
demi tulisan yang disajikan topik per topik. Mudah–mudahan Allah SWT memberikan kita
kemudahan dalam meniti jalan dakwah.

Wassalamu’alaikum, Wr, Wb.

Medan, 15 Jumadil Akhir 1438 H


14 Maret 2017 M

DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOTA MEDAN

Ketua Umum,

Prof. Dr. H. Mohd. Hatta

ii
PENGANTAR PENULIS

Menjadi guru adalah dunia yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya bahkan
pernah merasa ―ganjil‖ ketika ada teman yang bercita-cita menjadi guru. Sejak kecil cita-cita
saya adalah menjadi pilot pesawat tempur. Alasannya karena sebagai anak laki-laki, jiwa
maskulin itu sudah tertanam sejak lama, dan itu adalah kewajaran alam. Alasan kedua, karena
dengan menerbangkan pesawat tempur, saya bisa menghancurkan banyak musuh. Dan kalau
pun saya menjadi korban, toh hanya sendiri saja. Begitulah imajinasi anak-anak saya waktu
itu.

Rupanya cita-cita itu tak pernah statis, ia terus bergerak seiring perjalanan waktu, dan
seiring kebutuhan dan kesempatan yang mampir. Tapi satu kebiasaan yang tak pernah
berubah adalah membaca dan menulis. Membaca komik sudah jadi kegemaran sejak kecil.
Apalagi ketika Ramadhan tiba, secara mendadak nuansa membaca itu berubah dengan cara
aneh dan dengan rasa yang tak terjelaskan. Cara membacanya juga unik, dari duduk di bawah
pohon sampai naik ke pohon. Di bulan Ramadhan, membaca di tengah terik matahari,
dinaungi rimbunan pepohonan jambu, sambil ditemani angin semilir, adalah pengalaman
yang kukenang sebagai keindahan.

Dulu di Medan masih ada toko tempat menyewa buku-buku bacaan. Kalau sedang ada
duit saya menyewa, kalau tidak maka pinjam kepada teman. Buku-buku yang saya baca pun
mengalami evolusi. Dari mulai komik bergambar, kemudian novel fiksi, semi fiksi, ilmu
pengetahuan, sampai buku-buku tentang Islam. Yang terakhir ini memberikan kesan yang
berbeda dari jenis buku-buku yang pernah saya baca sebelumnya.

Dari membaca saya mulai menulis. Tulisan pertama saya ketika masih duduk di
bangku kelas II SMP. Waktu itu saya mengirimkan tulisan fiksi. Saya masih ingat tulisan itu
tentang cerita asal mula padi yang berasal dari Dewi Sri yang diterbitkan di edisi Minggu
Harian Waspada Medan. Dengan meminjam mesin ketik tetangga, saya menulis cerita itu.
Dan ketika ternyata lolos diterbitkan saya melompat dari kursi saking gembiranya. Setelah itu
beberapa kali saya menulis, baik untuk media massa atau untuk korespondensi dengan
keluarga di Jakarta.

Ketika kemudian saya menjadi wartawan beneran di Harian Waspada Medan, maka
aktivitas menulis menjadi lebih sering kulakukan. Karena sebagai wartawan, pekerjaan
utamanya adalah menulis. Seperti kebanyakan wartawan, saya menulis untuk diterbitkan dari
edisi ke edisi, tidak pernah terpikirkan menulis untuk sebuah buku. Niat menulis buku baru
terbit ketika beberapa kawan menyarankannya. Apalagi ketika membaca Imam Ali ibn Abi
Thalib ―Ikatlah ilmu dengan menuliskannya‖. Atau ketika mengenang Zaid bin Tsabit dengan
karya besarnya: Al-Qur‘an. Tentu saja bukan Zaid bin Tsabit yang mengarang kitab suci Al-
Qur‘an, tetapi Sahabat Rasulullah SAW hanya menuliskannya. Saya membayangkan menulis
membuat Zaid menjadi manusia utama. Karena setiap Muslim yang membaca Al-Qur‘an
sambil menghadapkan wajah kepada-Nya sepenuh hati, sesungguhnya ada saham seorang
manusia di dalamnya. itulah Zaid bin Tasbit.

Begitulah menulis menjadi motivasiku. Tulisan di buku ini juga merupakan


rangkuman tulisan di kolom FOLIOPINI yang diterbitkan di harian Waspada Medan.
Umumnya tulisan tersebut diterbitkan di edisi Ramadhan. Tapi kebiasaan membaca itu tak
berhenti kulakukan. Apalagi ketika Ramadhan tiba, terkadang ia malah terasa semakin
massif. Salah satu alasannya adalah karena ada kesan yang terjelaskan itu.

iii
Kesan itu masih ada dan terasa indah setiap tahun Ramadhan datang. Kesan itu
bahkan sudah berbeda ketika saya memilih-milih buku di toko buku. Melihat deretan buku
itu, rasanya hendak saya lahap semuanya dalam waktu itu juga. Melihat anak-anak dan orang
dewasa di sudut-sudut toko yang duduk tekun tenggelam dalam bacaannya, adalah rasa yang
lain lagi. Ketika memilih dan menenteng buku-buku yang hendak dibeli, mengantri di kasir,
membayar sambil tersenyum pada petugas kasir, juga terasa beda. Puncaknya adalah ketika
membaca buku-buku itu. Saya serasa duduk di bulan yang terang temaram, sambil ditemani
bintang-bintang. Pendeknya tidak ada lain selain keindahan.

Buku ini saya tulis sebagai ikhtiar untuk menjadi bagian dari keindahan-keindahan itu
bagi siapa saja yang membacanya. Saya memang merasa sudah menjadi bagian dari
keindahan membaca di bulan Ramadhan, tetapi saya ingin menjadi faktor yang
menularkannnya. Saya menginginkan lebih banyak orang yang merasakan keindahan-
keindahan seperti yang saya rasakan, yang tak bisa saya jelaskan itu.

Medan 3 Maret 2O17

Dedi Sahputra

iv
DAFTAR ISI
Halaman

Sambutan Ketua MUI Kota Medan


Prof. Dr. H.Mohd.Hatta i

Pengantar Penulis iii

Daftar Isi v

TERAS…
1. Happy Shaum 1
2. Dakwah, Listrik Dan Puasa 3
3. Hijrah; Berpikir Panjang 5
4. Maafkanlah 7
5. Mudik 9
6. Puasa Bangsa Ini 11
7. Puasa Jari Telunjuk 13
8. Puasa Menanti Pelangi 15
9. Rabun Dekat 17
10.Ramadhan; Membaca Ulang 21
11.Salah Mengira 23

PINTU…
1. Berkurban, Kontrak Seumur Hidup 24
2. Catatan Maulid 26
3. Dan Malaikat Pun Gemes 28
4. Jalan Istimewa 3O
5. Kuat Adalah Kewajiban 32
6. Menyimpan Kunci Surga 34
7. Orang Hebat 36
8. Puasa Tentara Thalut 38
9. Wilayah Kebetulan 4O

RUANG TAMU…
1. Ramadhan; Membaca Tanda 43
2. Energi Puasa 45
3. Getar Lebaran 47
4. Idul Fitri; Kebahagian Kalkulatif 49
5. Kesan Lebaran 51
6. Kiriman SMS Itu 53
7. Presisi Idul Fitri 55

JENDELA…
1. Kata-kata 58
2. Manusia 6O
3. Masjid Di Tengah Sawah 62
4. Masjid Agung 64
5. Mushalla Ditaklukan Kapitalisme 66

v
6. Nilai 68
7. Hati Yang Terpecah 7O

RUANG KELUARGA…
1. Padang Luas Ramadhan 73
2. Puasa Dan Keluasan 75
3. Puasa Kaum Elit 77
4. Puasa Para Pendakwah 79
5. Puasa Si Ipin 81
6. Puasa; Kembali Ke Inti 83
7. Puasa Kerupuk & Minyak Jelantah 85
8. Ramadhan; Matematika Spiritual 87
9. Seni Puasa 89
10.―Sesuatu...‖ 91
11.Watak Derita 93

PERPUSTAKAAN…
1. Islam Dan Politik 96
2. Memuasai Unsur Ketiga 98
3. Peran Terendah 1OO
4. Privat 1O2
5. Puasa Dan Kesempitan 1O4
6. Puasa Kewajaran 1O6
7. Puasa Para Pahlawan 1O8
8. Puasa Sang Ustadz 11O
9. Rahmatan Lil’alamin 112
10.Antara Akal Dan Rasa 114
11.Tuhan 116
12.Tentang ―Tahu‖ 118

KAMAR PERADUAN…
1. Ibu 121
2. Lailatul Qadr; Mengimani Percepatan 123
3. Lailatul Qadr 125
4. Malam Yang Sempit 127
5. Orbit Matahari 129
6. Puasa Anak Maen 131
7. Tarikan Rindu 133
8. Ulama 135

DAPUR…
1. Dari Sini Melihat Surga 138
2. Hanif 14O
3. Jihad, Derita & Bahagia 142
4. LP Yang Berpuasa 144
5. Playing God 146
6. Ruang Dialog Hati 148
7. Yang Cuma Kita Butuh 15O

vi
TOILET…
1. Getaran Suara 153
2. Hajat Hati 155
3. Islam Nusantara ??? 157
4. Kebebasan – Kebablasan 159
5. Kiayi Bukan Ulama’ ..? 161
6. Perempuan Bertopi Koboi 163

Tentang Penulis 165

Sinopsis 166

Testimoni 167

vii
TERAS...

viii
Happy Shaum

Ramadhan ini—dari langitnya yang memerah, dari lembutnya udara pagi, dari sinar
mata orang-orang itu, dari aroma pasar kaget pinggir jalan, dari ibadah yang memadat

Ucapan ini saya katakan dengan penuh seluruh. Happy shaum... Inilah saatnya setiap
rasa kantuk yang lahir, setiap lapar haus mendera, setiap lemas yang datang, setiap
kemarahan yang dikunci, setiap ibadah yang ditunaikan, dan setiap senyum dan sabar yang
ditebar—ia akan langsung diraih dan dipeluk-Nya.

Allah seolah-olah sedang terang-terangan menunjukkan sikap posesif-Nya. Dia


seakan menumpahkan segala jenis cinta yang pernah ada sekaligus menegaskan diri sebagai
penguasa segalanya. Dia secara terbuka mendeklarasikan sebagai pemilik puasa yang engkau
jalankan. ―Puasa untukKu, dan Aku yang akan membalasnya,‖ kata-Nya.

Ada begitu banyak fasilitas untuk engkau menemukan kantuk sampai senyum sabar
itu. Untuk merasakan kantuk misalnya, ada bangun sahur yang menantang. Ini adalah jenis
bangun dengan maqam ketinggian yang sulit dideteksi. Karena bangun pagi saja sudah
sulit. Apalagi saat asik tidur, hujan semalam belum kelar, tapi saat itu pula harus bangun. Ini
jenis kesulitan menuju lapang—tak terkirakan orang sukses dan sehat yang hidup lapang
karena beraktivitas sejak pagi.

Bangun sahur jauh lebih sulit lagi. Karena tidak cuma mata yang menentang tapi
mulut dan perut sekaligus. Saat-saat untuk bangun sahur adalah saat-saat terbaik untuk tidur.
Inilah puncak dari mengendurnya syaraf-syaraf koordinasi antara akal, tubuh, dan jiwa. Itu
sebabnya ketika dia terganggung, engkau sering merasa ―dendam‖ untuk menggantinya.

Koalisi mata-mulut-perut ini cukup kuat. Penolakkan dari mata akan langsung datang
ketika engkau dibangunkan sahur. Kalau engkau sukses mengalahkan matamu, masih ada
mulut dan perut yang protes. Sungguh waktu dini hari itu bukanlah waktunya untuk
makan. Segala rangsangan seleramu, dan enzim penyedap di mulut dan dinding perutmu
sedang berada dalam posisi pause. Maka mulut yang pertama kali menolak, lantas tak lama
perut menyusul.

Tapi itulah bangun sahur, waktu ketika engkau harus makan adalah waktu puncak
untuk beristirahat—tapi ini adalah perintah langsung dari Allah. Betapa sulitnya bangun
sahur–inilah mengapa dia memiliki maqam yang sangat tinggi. Mungkin ini pula mengapa
Rasul pernah mengatakan sahur itu yang membedakan dengan puasa para ahli kitab.

***

Saya masih menikmati detik demi detik masuknya Ramadhan ini—dari langitnya
yang memerah, dari lembutnya udara pagi, dari sinar mata orang-orang itu, dari aroma pasar
kaget pinggir jalan, dari ibadah yang memadat. Mendadak saya diingatkan tentang segala
pujian atas tulisan kolom ini.

Tentu saja saya ucapkan terima kasih kepada Anda yang telah menyampaikan
apresiasinya. Saya juga tidak dapat menyembunyikan perasaan bangga. Kuping saya seperti
melar, bunga-bungaan seperti mekar di sekitar hati saya. Tapi saya teringat pemain gelandang
Barcelona Xavi Hernandez. Pada saat klub catalan ini menjadi superior dan terkuat di dataran
1
Eropa, Xavi adalah playmaker. Dia memang tidak banyak mencetak gol, karena memang gol
bukan tujuannya. Tapi assist-nya kepada Messi tak diragukan lagi.

Dia mampu melihat celah yang tak dilihat orang lain. Dia memberi umpan bola ke
pojok yang tak disangka-sangka lawan. Bersama Anderas Iniesta, dan Messi, saya melihat
mereka memperlihatkan kejeniusannya di lapangan hijau. Dan untuk keahliannya yang
memukau ini, Xavi menerima banyak pujian.

Tapi apa yang dikatakan Xavi menjawab pujian itu? ―Saya sendiri tidak tahu bisa
melakukan itu,‖ katanya. Dia merasa diberi kemudahan-kemudahan untuk melakukannya
dengan mudah pula. ―Saya sendiri kadang melihatnya (videonya) merasa takjub,‖ katanya. Ini
respons seketika seorang Xavi ketika mendapat pujian.

Sungguh saya pun tak luput. Terkadang saya juga merasa heran ketika membaca
ulang tulisan di kolom ini—bagaimana mungkin saya bisa melakukannya. Jawabnya juga
sama, saya seperti mendapat kemudahan saat melakukannya. Jadi apa yang saya lakukan ini
tak sepenuhnya pekerjaan saya. Sesungguhnya saya hanya memainkan bagian kecil: itulah
bagian kemudahan.

***

Ketika menafsirkan surah an-Ankabut, Ulama mengatakan bahwa fitnah adalah


peristiwa yang mesti dialami oleh orang beriman sebagai bentuk ujian. Sayyid Qutb
kemudian menguraikan macam-macam fitnah itu.

Ramadhan begini, kebahagiaan mengintai dari setiap sudut tanpa kecuali. Tapi
kebanggaan pada pujian itu seringkali jadi faktor erosi dari kemewahan nilai-nilai Ramadhan.
Lagi pula, kalau ada yang memuji kecantikan dan ketampananmu, kekayaanmu,
keistiqomahan ibadahmu, kemerduan suaramu, atau kemurahatianmu, jangan cepat percaya.
Karena bisa jadi itu fitnah.(Vol.428, 11/7/2013)

2
Dakwah, Listrik Dan Puasa

Saya juga termasuk orang yang tidakenakhatian karena pemadaman ini. Tapi
Rasulullah, Nabi Ibrahim, Nabi Musa bahkan tidak pernah mengenal listrik sepanjang
hidupnya

Lama sekali sudah saya tidak berjumpa dengan kakek itu. Seorang lelaki tua yang
terus berjalan meski tertatih-tatih. Kulit kakinya sudah terkelupas dengan peremajaan yang
sangat lambat atau bahkan sudah tidak sama sekali.

Dia memang tampak sangat tua dengan kulit hitam legamnya. Kalau ditanya, katanya
umurnya sudah lebih seratus tahun. Tapi bukan itu yang buat saya tak bisa melupakan sosok
ini. Apa yang keluar dari mulutnya. Kemana pun singgah, dia selalu mengeluarkan kata-kata
nasehat. Dia hafal banyak ayat dan hadis serta kata-kata bijak. Puasa begini biasanya saya
melihat dia di masjid ataupun di pojok jalan. Tapi tidak dalam beberapa tahun belakangan ini.

Bagiku dia adalah sosok misterius karena siapa dan di mana rumahnya tidak ada yang
tahu. ‘‘Kakek akan terus berdakwah sepanjang masih bisa bicara,‘‘ ujarnya suatu ketika di
bulan Ramadhan, sambil ‘menguliti‘ kulit kakinya yang tampak lembab.

Seperti biasa dia kemudian bicara panjang; Betapa indahnya menjadi orang-orang
beriman yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah SWT dalam segala kegiatan dan
keadaan. Baik ketika ketiban rezeki, ketika senang sesenang-senangnya ataupun ketika susah
dirundung masalah. Ketika menang atau ketika kalah begitupun ketika menghadapi berbagai
kesulitan ataupun kemudahan. Selalu mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk
maupun ketika berbaring.

Orang beriman, ketika telinga dan panca indera disentuh asma-Nya, maka dawai-
dawai hatinya langsung bergetar. Apalagi ketika kepadanya dibacakan ayat-ayat Allah SWT,
maka imannya langsung menggunung seketika.

Intinya adalah kita merasa sangat bahagia dalam keadaan sadar karena ‘dikelilingi‘
oleh Allah SWT. Bahkan Allah juga ada dalam diri kita. Allah ada dalam setiap objek yang
kita pandang, di setiap suara yang kita dengar, di setiap rasa yang kita ecap, di setiap
sentuhan yang kita rasakan.

Ramadhan bagi orang beriman adalah bulan mempuasai dunia untuk bermesra-mesra
dengan Tuhannya. Orang beriman itu tidak mempuasai Allah barang sedetikpun.

Saya masih terus mendengarkan ...

***

Betapa indahnya menanti saat-saat datangnya masuknya malam Ramadhan pertama.


‘‘Malam ini kita sudah taraweh,‘‘ orang-orang berseru. Bagi saya itu wujud kegembiraan
ketika mereka berduyun-duyun mendatangi masjid sampai tak ada ruang yang tersisa lagi.

3
Usai shalat malam, jamaah tidak langsung pulang. Membicarakan betapa
‘beruntungnya‘ mereka karena berapa banyak saudara-saudara yang lain yang masih
bersama-sama di Ramadhan tahun lalu, kini sudah lebih dulu menghadap-Nya.

Kebahagiaan masih terus berlangsung ketika malam itu sayup-sayup dari kejauhan
terdengar suara tadarusan, suatu estetika Ramadhan yang sangat khas. Sampai menjelang
waktu sahur tiba-tiba mati lampu. Anak-anak di kamarnya menangis menjerit-jerit karena
takut gelap. Seisi kampung bangun seketika karena merasakan perubahan udara yang
mendadak. Bahkan di bulan Ramadhan sekalipun listrik tidak berpuasa dari pemadaman.

Saya pikir-pikir, ini metode yang efektif juga dalam membangunkan sahur. Maklum
puasa pertama, banyak yang belum terbiasa bangun tengah malam. Kalau lampunya
dipadamkan, orang bisa langsung terbangun dan gak perlu teriak-teriak melalui pengeras
suara di masjid untuk membangunkan orang sahur. Inilah salah satu kecanggihan PLN.

Tapi betapa dashatnya akibat dari pemadaman malam itu. Lihatlah orang uring-
uringan. Ini tidak lain karena listrik adalah ruh-nya kehidupan masyarakat urban, yang
menggerakkan setiap aktivitas. ‘‘Memang dasar PLN, seenaknya matikan lampu. Kalau kita
yang nunggak enak aja dia kasih denda atau putusi listrik kita,‘‘ kata seorang warga.

Ada lagi yang bilang begini, ‘‘Uda dikasih monopoli, tapi gak becus. Maunya diganti
semua orang yang ngurus listrik itu‘‘.

Saya juga termasuk orang yang tidakenakhatian karena pemadaman ini. Tapi
Rasulullah, Nabi Ibrahim, Nabi Musa bahkan tidak pernah mengenal listrik sepanjang
hidupnya. Maka coba kita hayati sekali lagi para nabi itu dengan mempuasai listrik dan hal-
hal semacam ini.

***

Kalau orang sedang shalat, sejatinya dia sedang membelakangi dunia. Kalau sedang
menunaikan zakat dan sedekah, sejatinya dunia itu berada di kanan-kirinya, di mana sebagian
dipakai untuk dirinya. Sedangkan ketika berpuasa, dunia itu berada di hadapannya dan dalam
jangkauan cengramannya, tapi orang berpuasa tidak melakukan sesuatu untuk merasakannya.

Maka si kakek adalah ksatria yang tak pernah mengeluh dalam mempuasai dunianya,
listrik di negeri kita adalah salah satu alat bagi Tuhan untuk menguji komitmen orang
berpuasa. Dan puasa itu sendiri perintah langsung untuk tidak merasakan dunia dalam waktu
tertentu. Itu sebabnya puasa hanya untuk orang beriman saja.

4
Hijrah; Berpikir Panjang

Berapa panjang lipatan jaringan pembuluh darah di otak manusia? Jumlahnya


mencapai ribuan kilometer, yang kalau dibentangkan bisa bolak-balik Medan Jakarta.
Karena itu, mari kita berpikir lebih panjang

Darun Nadwah. Lelaki tua penduduk Najd itu memimpin pertemuan. Dia
mengusulkan untuk memilih seorang pemuda dari setiap kabilah Quraisy yang dilengkapi
dengan pedang tajam. Dengan pedang itu mereka semua punya misi khusus bersamaan
membunuh Muhammad. Dengan demikian darahnya terpecah-pecah di berbagai kabilah.

Bani Abdu Manaf menerima diyat (tebusan darah). Mereka mengangguki usulan
lelaki tua itu, Abu Jahal. Siasat pun dijalankan. Di suatu malam—semua siap dengan pedang
terhunus. Target di sebuah rumah yang sudah terkepung rapat. Mata mereka awas dengan
kilatan tajam di sudut-sudutnya. Wayam kuruuna Wayamkuruullah Wallahukhairulmaakiriin.

Tapi ini mata penuh amarah, juga ketamakan, kesombongan, dan iri dengki, serta
penuh nafsu. Mata jenis ini, ketika sampai ke puncaknya, akan gampang sekali ―gagal fokus‖.
Ini seperti dua pengendara yang saling senggolan, saling emosi, dan saling berkelahi.
Keduanya bernafsu memukul telak sekuat energi, tapi yang ada mereka menghabiskan
tenaganya untuk memukul angin. Gagal fokus juga mengeluarkan energi tak perlu.

Ada dinding tebal di depan dan di belakang orang-orang ini. Sehingga mata mereka
tak berfungsi normal. Mereka tidak melihat ada manusia keluar dari rumah itu. Mereka baru
sadar ketika mendapati Ali yang tidur di ranjang Muhammad—orang yang tak seharusnya di
sana. Begitulah, setiap ketamakan akan menderita buta reguler-parsial. Mereka melihat
sebagian, tapi tak melihat sebagian lain. Mereka buta sampai jangka waktu tertentu.

Jibril turun dengan sayapnya. Membawa perintah untuk hijrah. Tinggalkan mereka
yang penuh ketamakan itu dan segala masalah yang ditimbulkannya. Perintahnya: pergilah ke
tempat di mana orang yang datang dan yang menerima saling lindung-melindungi. Mereka
dipersaudarakan oleh tujuan yang sama, menggantikan persaudaraan hubungan darah dan
keturunan—cikal bakal berdirinya masyarakat baru yang menyejarah dalam kisah peradaban.

***

Karena berhenti di jalanan adalah sumber penyakit, maka bergerak adalah keharusan.
Kalau air tergenang adalah banjir, maka ia harus mengalir; kalau kendaraan bertumpuk di
jalanan disebut macat, maka ia harus diurai; dan kalau kolesterol, asam, dan gula mengendap
di darah ia disebut penyakit, maka mereka harus digerakkan.

Pergerakan ini dengan puitis digambarkan Muhammad Iqbal—tokoh yang mashur


dari Pakistan itu—dalam dialognya dengan Allah SWT: Kau ciptakan malam, aku nyalakan
cahaya, Kau buat belantara, aku olah taman bunga. Tapi Iqbal memberi prasyarat, bahwa
manusia harus punya ego (khudi)-nya sendiri.

5
Tapi ego ini pedang bermata dua. Dia menjebak pemiliknya untuk mencabik orang
lain sebelum menikam perutnya sendiri. Lihatlah filsafat Barat yang menjadikan orang lain
sebagai objek. ―Sesuatu di luar Barat harus dijinakkan‖, begitu rumusannya.

Ingat juga ―doktrin‖ Robert Maltus tentang sumber daya alam yang terbatas. Oleh
karenanya sumber daya itu harus direbut, kalau perlu rampas dari tangan orang lain. Maka
serta merta orientasi pada pengausaan itu telah membentuk teologi negatif, menggeser
paradigma teosentris menjadi antroposentris.

***

Hijrah itu bergerak di suatu jalan secara dinamis. Itu sebabnya Islam selalu disebut
dengan ―jalan‖ untuk hidup (the way of life). Tempat di mana orang di dalamnya bergerak
maju aktif, bukannya statis, apalagi pasif. Bergerak mendapatkan ―api‖ karena kalau tidak
maka cuma akan mendapatkan ―debu‖ asapnya saja.

Seperti Muhammad Ali bertinju, hit and run. Ia lari ke sana ke mari untuk tidak
terlalu dekat dengan lawannya. Ali tidak akan pernah bisa memaksimalkan pukulan jab-nya
jika terlalu dekat dengan objek pukulan. Ia juga tak akan dapat menunjukkan pukulan
straight-nya, dan hook kanan-kirinya pasti akan tumpul. Ia menjaga jarak dari sumber
masalah untuk sampai ke inti masalah.

Lantas siapa sumber masalah itu sebenarnya. Bagaimana pula harus menjauhinya?
Apakah saat ini kita sedang dekat dengan sang masalah? Anda pernah dengar kalimat ini..,
Live, laugh, love. If that doesn't work, load, aim and fire. Ini adalah ujung-ujung ekspresi dari
orientasi penguasaan itu. Bahwa masalah itu punya cara hidup, cara tertawa, dan cara
mencintai yang berbeda denganmu sejak dari akarnya. Kenalilah segala bentuk live, laugh,
dan love mereka. Baru engkau bisa tahu menjaga jarak dengannya.

Ya, sumber masalah itu adalah orientasi penguasaan dengan turunannya. Kalau Anda
merasa yang kutulis ini terlalu panjang, dan rumit? Mungkin saja Engkau benar. Tapi tahukah
Anda berapa panjang lipatan jaringan pembuluh darah di otak manusia? Jumlahnya mencapai
ribuan kilometer, yang kalau dibentangkan bisa bolak-balik Medan Jakarta. Karena itu, mari
kita berpikir lebih panjang.(Vol.653, 3/10/2016)

6
Maafkanlah

Karena maaf memaafkan itu adalah konsekuensi logis dari hidup. Tidak bergerak dan
tidak melakukan apa-apa pun sekalipun akan tetap tersentuh kesalahan. Apalagi
keniscayaan oritentasi manusia adalah pertumbuhan; bergerak lebih tinggi dari bumi
yang dipijak

―Dalam setiap kesalahan akan selalu ada maaf‖. Begitu salah satu ungkapan
menjelang Lebaran ini. Tapi dari yang satu ini saya menangkap pesimisme. Dari nadanya dia
hendak mengatakan ―oleh karena selalu ada maaf dalam setiap kesalahan, maka betapa
mudahnya berbuat kesalahan‖.

Sebelumnya… Tulisan ini saya mulai dengan harap-harap cemas agar pembaca
sekalian sudi memaafkan saya. Siapa tahu kita pernah bertegur sapa, menyisakan kepedihan
di hati Anda. Mungkin juga kesalahan ketik dalam tulisan saya telah begitu menjengkelkan.
Isi tulisan di kolom ini juga, saya terkadang memang tak bisa menahan diri untuk tidak
merujuk kepada sesuatu—yang bisa jadi itu adalah dirimu. Engkau mungkin saja merasa
miris dan tak enak hati.

Bisa jadi pula engkau tertawa ketika suatu kali membaca tulisanku di kolom ini.
Engkau mungkin akan senang, tapi malaikat di sampingmu tidak menganggapnya wajar.
Tertawamu berlebihan, kalaupun engkau cuma tersenyum, engkau lantas membayangkan
sesuatu yang tak pantas. Dari semua kesalahan ini, akulah penyebabnya. Maka maafkanlah
aku, please…

Soal kesalahanmu, kalaupun ada, engkau tak perlu risaukan itu. Aku punya MoU
sepanjang hidupku untuk memaafkan. Karena aku faaqir ‘indallah: menjadi abu di hadapan
Allah, maka tak mungkin bagiku untuk terlalu percaya diri menyimpan ketidakmaafan.

Bagiku memaafkan itu adalah seperti menarik pedang yang menancap di jantung.
Semakin banyak pedang yang dicabut maka semakin sehat jantungku dan semakin bersih
jantung itu dari segala pedang maka semakin ringan langkahku.

***

―Cambuklah aku,‘‘ kata Muhammad Rasulullah SAW.

Ukasyah ibnu Muhsin‘ bergeming. Kali ketiga Rasulullah mengumumkan bagi siapa
yang pernah merasa terzalimi oleh Beliau—silahkan melakukan qishas—Ukasyah pun
bangkit berdiri. Dia menuntut qishas karena di medan perang Badar—tanpa sengaja cambuk
Rasul untuk menghela unta telah mengenai punggungnya yang tanpa baju itu.

Maka Rasul membuka bajunya, menyodorkan punggungnya yang putih untuk


dicambuk. Mata Ukasyah berbinar, tapi sekejap kemudian diapun ambruk, luruh. Dia
mendekap dan mencium punggung Nabi sambil menangis. ―Aku melakukan ini hanyalah
untuk dapat menyentuh dan mencium tubuhmu yang mulia, dan agar Allah SWT dengan
kehormatan engkau dapat menjagaku dari sentuhan api Neraka‖.

7
Ternyata itu hanya strategi dan taktik. Rasulpun bersabda: ―Barang siapa yang ingin
melihat penduduk Surga, maka melihatlah kepada laki-laki ini..‖

Berhasil... Betapa bahagianya ia, para sahabatpun ramai-ramai memeluk Ukasyah.

Ternyata begitu. Untuk mendapatkan kemuliaan, engkaupun harus punya strategi.


Engkau harus punya improvisasi dalam keadaan yang engkau hadapi.

Rasul pun menorehkan teladan yang dalam. Siapapun orangnya harus menebus
dirinya dengan meminta maaf dan memaafkan. Rasul tidak lantas lancang memaafkan jenis
kedurhakaan yang Allah SWT sendiri belum akan memaafkan sebelum manusia saling
memaafkan.

Maka imaji saya membumbung, membayangkan jenis kesalahan yang tak mungkin
tertanggungkan jika tak menemukan maafnya. Imaji itu juga membayangkan seorang
gubernur, wali kota ataupun presiden yang menyodorkan punggungnya demi menebus
kesalahannya.

***

Karena proses maaf dan memaafkan itu adalah sebuah keniscayaan, maka dia adalah
kemungkinan yang pasti. Kalaupun ada yang mengatakan tidak memaafkan, sebetulnya ia
tidak benar-benar begitu kukuh. Ia hanya memerlukan cara tepat untuk menerima dan
meminta maaf.

Karena maaf memaafkan itu adalah konsekuensi logis dari hidup. Tidak bergerak dan
tidak melakukan apa-apa pun sekalipun akan tetap tersentuh kesalahan. Apalagi keniscayaan
oritentasi manusia adalah pertumbuhan; bergerak lebih tinggi dari bumi yang dipijak. Dan
logika Idul Fitri mempertegasnya; karena karamah kemahlukan manusia itu lebih tinggi dari
titik impas.

Maka pandangilah setiap wajah-wajah, juga dirimu. Semua dalam penantian maaf
memaafkan itu. Maka sebesar apapun kesalahanmu, sedalam apapun itu, kemaafan akan
selalu ada. Umar Radhiallahuanhu bahkan menjadi manusia mulia dari kekelaman masa
lalunya. Maka inilah penjelasan kerisauan kalimat Idul Fitri di atas, semakin banyak
kesalahan, akan semakin indahlah maaf di ujung sana. Bukan sebaliknya.

Maaf memaafkan bukan saja sangat mungkin, tapi dia juga menjadi bagian dari
hukum kebisaan. Tidak ada manusia yang tak bisa maaf memaafkan. Tidak ada yang tidak
mungkin, sama sekali. Yang tidak bisa dan tak mungkin cuma satu; adalah ketika ada orang
berdoa kepada Allah meminta diberi kesempatan berbuat baik sekali lagi. Malaikat pun
mungkin geram mendengar ini, sambil membentak,‘‘Tidak bisa, karena engkau sudah
mati‘‘.(Vol.246, 29.8/2011)

8
Mudik

Perjalanan kembali itu memang perjalanan yang semestinya menyenangkan. Lihatlah


betapa gembiranya Salmon itu. Karena selama kepergianya, ada nilai-nilai yang telaten
dirawat alam semesta. Kalau ada langkah kembali yang tak menggembirakan, itu
karena selama ini engkau “mengawini” waktu

Di penghujung Ramadhan ini saya menyaksikan aneka keharubiruan. Ada jamaah


‗itikaf yang seolah tak mau kehilangan sesaatpun momen bersama Ramadhan. Dia seperti
terus saja membelai-belai, menciumi detik demi detik waktu dengan penuh rindu.

Anda tahu, manusia itu-kan hidup dalam rentang waktu--dalam satuan detik, menit,
jam, hari, minggu bulan, tahun dan seterusnya. Di bawah detik ada second, trus ada lagi
pecahan second, yang dibagi dua, dibagi seratus, seribu, dan dibagi jutaan satuan waktu yang
lebih kecil--begitu seterusnya.

Maka keberadaan manusia di dunia ini sebetulnya sangat abstrak. Kita berada dalam
lintasan waktu yang sangat cepat. Sedangkan Allah, sama sekali tidak bisa dipahami dalam
konsep waktu seperti ini. Karena Dia berada di semua bagian waktu.

Maka di setiap saat yang melingkupi jamaah yang membelai waktu itu, saya melihat
Allah berada di dalam seluruh dirinya. Ketika sebuah penegasan akan kenisbian diri, proses
abstraksi itu sedang berlangsung. Maka orang mungkin setuju ketika Nurcholish Madjid
mengatakan bahwa, ―kita tidak akan dapat sampai kepada kebenaran mutlak itu, karena kita
nisbi.‖ Tapi kebenaran mutlak bagi Nurcholish Majid itu juga tak harus sebangun dengan
makna yang semestinya.

***

Ba‘da Zuhur kemarin seorang teman membincangi niatnya untuk mudik. Matanya
bersinar. Tampak jelas kerinduannya untuk segera pulang kampung. ―Beda dengan di kota
ini. Di kampung sana suasananya lebih enak,‖ ujarnya. Tapi dia seperti kehilangan kata-kata
untuk menjelaskan makna ―enak‖ yang dimaksud.

Kalau orang Jawa mungkin dia akan sekedar menekankan pada intonasi ucapannya,
―ueeennakkkk...‖ Tapi karena kampungnya di Sipirok, maka dia tak mengenal penekanan
pada intonasi untuk penegasan maksud. Namun bagi saya, aroma air mukanya sudah cukup
menjelaskan semuanya.

Setelah sekian lama di Medan, dia rindu berlebaran di kampung halamannya, rindu
emak-bapak, rindu shalat taraweh di sana, rindu keramahan tetangga, rindu masakannya,
rindu suasananya, rindu ini-itu, banyak sekali rindunya. Dia menceritakan bagaimana dia
akan menempuh jalan ke kampungnya dengan sepedamotornya. Rencananya dia akan
berangkat usai Subuh, supaya gak panas katanya.

Saya mendengarkan sambil menahan sesuatu di ―dalam‖. Anda tahu, karena saya
orang Medan, maka kampung saya cuma kampung Durian, kampung Dadap, kampung

9
Keling dan kampung lainnya. Maka saya selalu merasa iri setiap kali mendengar cerita
tentang kegembiraan orang yang akan mudik ini.

Dulu bahkan rasa cemburu itu membuat saya menghayal macam-macam. Saya
membayangkan asiknya berenang-renang di kampung, karena di Medan yang ada cuma parit
busuk (Parbus). Saya bayangkan bagaimana nikmatnya berlarian di padang rumput luas di
bawah kaki gunung, karena di Medan cuma ada gunung kembar Tirtanadi.

Sungguh saya sedang mencemburui orang yang akan mudik ini—yang dalam kata-
katanya Cak Nun disebut sebagai orang yang melaksanakan teologi ilaihi rojiuun. Mereka
kembali ke Allah, melalui asal keluarga dan washillah kesejarahan lainnya.

***

Soal mudik ini saya teringat ikan Salmon. Ini adalah ikan sungai sekaligus ikan laut.
Saat Salmon menetas, dia disebut Fry, yang kemudian tumbuh menjadi Smolt. Smolt ini
kemudian berenang ke mengikuti arus sungai menuju ke lautan lepas. Dia merantau
mengelilingi lautan selama sekira 4-7 tahun untuk tumbuh besar dewasa. Salmon dewasa ini
lalu berkoloni dalam jumlah besar untuk mudik ke kampung halamannya di sungai tempat di
mana mereka ditetaskan.

Seperti saat merantau, saat mudik juga bukan tanpa tantangan. Jarak ribuan mil itu
ditempuh dalam hitungan bulan. Ada arus deras sungai yang harus direnangi berlawanan
arah, ada batu karang terjal, ada air terjun yang harus didaki, dan ada Beruang dan predator
lain yang siap memangsa. Yang menakjubkan, selama mudik, Salmon berpuasa.

Tidak sedikit Salmon yang gagal tempat kelahirannya. Tapi itu tak menghentikan
kegembiraan Salmon berenang-renang mengikuti siklus hidupnya. Mereka yang berhasil
mencapai air kelahirannya kemudian menetaskan ribuan butir telur di sungai untuk lantas
mati di sana. Ya, mereka bukan sekedar kembali ke kampung halaman, tapi kembali kepada
Tuhannya.

Perjalanan kembali itu memang perjalanan yang semestinya menyenangkan. Lihatlah


betapa gembiranya Salmon dan teman saya itu. Karena selama kepergian mereka, ada nilai-
nilai yang dengan telaten dirawat alam semesta. Maka kalau ada langkah kembali yang tak
menggembirakan bahkan serasa menakutkan, itu pasti karena ada yang salah ketika selama
ini engkau ―mengawini‖ waktu.(Vol.435, 5/8/2013)

10
Puasa Bangsa Ini

Mencintai itulah menjadi satu-satunya jalan untuk menemui-Nya. Ujian cinta itu
adalah jalan panjang mengumpulkan segala yang berserakan itu menjadi satu

Tuhan selalu diakui sebagai tujuan bagi setiap manusia. Karena memang Ia meliputi
segala sesuatu, tak terkecuali. Dan inti dari keseluruhannya adalah cinta yang menjadi dasar,
dan segala laku hidup dalam semua wujudnya, adalah aplikasinya.

Maka para pencari Tuhan sejatinya adalah para pecinta sejati. Dan laku utama para
pecinta sejati ini adalah merelakan, dan memberi. Dia bukan memaksa dan meminta. Inilah
rumusan dasarnya, tapi seperti kata Chairil Anwar, tak semudah itu Tuhan ditemui;

Aku masih menyebut nama-Mu


Biar susah sungguh
Mengingat-Mu penuh seluruh
Cahaya-Mu panas suci

Engkau harus ―penuh seluruh‖ ketika menemui-Nya, ketika merasai kelezatan


bercengkrama dengan-Nya. Tapi selalu saja dirimu dipenuhi tentakel-tentakel yang banyak,
diliputi puzzle-puzzle yang unik. Maka di sinilah romantika cinta itu. Engkau harus
menyeiramakan tentakel-tentakelmu dan mengumpulsatukan potongan puzzle-puzzle
dirimu—baru engkau bisa mendekati yang satu.

Oh ya.., romantika itu selalu saja ada. Seperti ketika dalam penantian panjangnya
seorang jamaah ‗itikaf menahan kantuk semalam mengejar keberkahan di 10 malam terakhir
Ramadhan. Cuma ketika ke kamar mandi berwudhu, menanggalkan sandalnya pun ia enggan.
Ini sama sulitnya ketika dalam shalat untuk meluruskan dan merapatkan barisan pun begitu
beratnya.

Saya pernah bertemu seorang ahli agama, dia menjadi referensi bagi banyak orang,
dia diakui kadar keilmuannya. Tapi untuk membuang sampah rambutannya saja dia tak
mampu. Apa yang membuatnya sangat menikmati menguyah buah itu sambil melempar
sampahnya dari dalam mobil? Itu karena masih ada tentakelnya yang liar.

***

Lantas untuk apa beragama kalau orang bisa berperangai baik tanpa agama? Saya
tidak mencuri, tidak berzina, tidak menganiaya, tidak korupsi. Apa gunanya saya beragama
lagi? Ini pertanyaan klasik yang terus berulang.

Sayup-sayup nada serupa terdengar dari calon pemimpin DKI Jakarta itu: Negara
harus lebih patuh pada ayat konstitusi daripada ayat suci, katanya. Lebih 80 tahun lalu Buya
HAMKA sudah memetakan dengan genial: Ini jenis orang yang hendak lari dari agama tapi
masih tak dapat melepaskan ikatan agama dari dirinya.

11
Lha, siapa yang lebih dulu daripada agama yang menyebut hubungan luar nikah itu
adalah zina? Dan siapa yang menyebut mengorupsi itu menganiaya? Siapa hayoo...

Dan apa salahnya laki-laki dan perempuan itu berzina? Toh, sama-sama punya alat
kelamin yang bisa di-mixing. Apa pula salahnya korupsi kalau untuk menafkahi anak istri?
Toh untuk kebaikan juga.

Jadi apa dasarnya engkau hendak memisahkan agama dari perilakumu yang engkau
sebut baik itu? Buya HAMKA masih panjang lebar...

***

Ketika menghukum mantan presiden, Chun Doo Hwan dengan penjara seumur hidup,
dan penerusnya Roh Tae-woo dengan 17 tahun penjara, Korea Selatan kemudian menjadi
pelopor Newly Industrializing Contries (NIC‘s). Komitmen melaksanakan pemberantasan
korupsi ke akar-akarnya telah mengubah negeri ini menjadi Gunnar Myrdal (tough state)
yang dalam kata-kata Nurcholish Madjid disebut ―negeri tegar‖.

Negeri ini berhasil karena mampu mengumpulkan semua tentakelnya untuk tujuan
yang satu. Ada kesepakatan kolektif yang dibangun, ada kesadaran bersama untuk
menanggung konsekuensinya. Dan lihatlah sekarang, ketegaran negeri itu lantas menjadikan
mereka ―kiblat‖ bagi kelompok negeri lunak (solf state) seperti negeri yang kita hidup di
dalamnya ini.

Lantas apa yang membuat Korea Selatan bisa seperti itu? Adakah kekuatan hebat
yang datang dari luar tiba-tiba merasuki mereka? Tuhan memang telah memerintahkan
manusia untuk berbuat baik dan memerangi kezaliman. Tapi perintah itu bukan tanpa dasar,
karena Dia tahu dalam setiap dirimu ada bakat berbuat baik. Bakat itu disebut fitrah, dia
bersemayam di nurani.

Tapi ingat, Tuhan tidak punya kepentingan agar engkau berbuat baik, karena
kalaupun semua mahluk mengingkari-Nya, tapi Ia tetap Tuhan Yang Mahakuasa. Maka kalau
engkau berbuat baik dan menjadi baik, itu adalah untuk dirimu sendiri.

Maka mencintai itulah menjadi satu-satunya jalan untuk menemui-Nya. Ujian cinta
itu adalah jalan panjang mengumpulkan segala yang berserakan itu menjadi satu. Kabar
baiknya, semua itu ada di dalam setiap dirimu, bukan sesuatu yang asing di luar sana. Tapi
celakanya di maqam itu pula bangsa ini memuasainya.(Vol.337, 13/8/2012)

12
Puasa Jari Telunjuk

Puasa tidak saja suatu pekerjaan “menantang” tapi menawarkan sebuah petualangan
jiwa menuju “cahaya”. Tapi petualangan itu bisa serta merta gagal di tengah jalan
kalau telunjuk tidak ikut puasa

Puasa begini, tidak saja kita harus bisa memerintahkan mulut, mata, telinga dan
syahwat untuk berpuasa. Tapi Anda juga harus kerja ekstra dan harus punya keinginan kuat
untuk mempuasai jari telunjuk Anda.

Ya, jari telunjuk. Dan kalau Anda gagal ―menjinakkan‖ jari telunjuk itu, saya bisa
katakan puasa Anda bakal berkurang nilainya. Bahkan tak bernilai dan Anda bisa terjerumus
ke dalam puasa yang tidak mendapat apa-apa illal ju’i wal ‘atos atau hanya mendapatkan
lapar dan dahaga saja.

Coba simak ini, walaupun jempol itu ibu jari yang merupakan perlambang penguasa,
tapi tak pernah orang minta ―penjempol‖, tetapi selalu ―petunjuk‖. Menteri Penerangan
Harmoko juga dulu begitu, ―Menurut petunjuk bapak.... bla, bla, bla,‖ katanya selalu.

Anda juga tahu, telunjuk itu senjata khasiatnya Bung Karno. Perhatikan ketika sang
proklamator itu berorasi, telunjuknya selalu bermain ke sana-ke sini. Apa jadinya kalau
Macan Podium itu berbicara berapi-api dengan nada suara yang menggema tapi tangannya
diam saja tanpa melibatkan telunjuknya. Coba bayangkan sewaktu Bung Karno menyatakan
dengan tegas ―Ganyang Malaysia...‖ sembari tangan kanannya menunjuk ke samping dengan
jari jempol. Gak seru kan.

Sama seperti kalau Anda sedang marah-marahnya kepada orang yang sedang berada
di depan Anda. Pasti yang ―bermain‖ adalah jari telunjuk dan gak mungkin jempol apalagi
kelingking. Sama seperti teroris bergazebo dalam sebuah video rekaman yang menuding-
nuding dengan jari telunjuk bengkoknya.

Filosofi jari telunjuk ini juga digunakan SBY ketika dia diserang bertubi-tubi dalam
kampanyenya mau jadi presiden. ―Kalau jari telunjuk kita menuding orang lain jelek.
Sesungguhnya ibu jari sedang menunjuk ke samping dan tiga jari lainnya sedang menunjuk
ke diri sendiri,― katanya.

―Jadi kalau Anda sekali menuding orang lain jelek. Pada saat yang sama Anda telah
tiga kali menyatakan bahwa diri Anda sendiri jelek. Kamu jelek, kamu jelek, kamu jelek,―
sindir SBY waktu itu.

***

Di era digital ini, peran telunjuk bukannya melemah.Tapi malah semakin digjaya.
Khususnya bagi masyarakat urban yang hari-harinya diisi dengan memelototi komputer.
Tidak di rumah, tidak di kantor, tidak di cafe, bahkan di pinggir jalan sekalipun. Komputer
sekarang ini sudah menjadi gaya hidup dan telunjuk adalah pemeran utamanya, jempol-pun
tersaingi.

13
Kalau sudah online, facebook-kan, main game ataupun chatting panjang lebar pakai
komputer di internet, maka sudah pasti jari telunjuk mendominasi. Anda bisa jadi orang yang
berkata-kata kasar bahkan kotor hanya dengan telunjuk, Anda juga bisa berada dalam
lingkaran pornografi dan pornoaksi kalau jari telunjuk Anda masih ―liar‖.

Tentu saja jempol juga tak kalah sentral perannya ketika orang menggenggam HP,
alat komunikas itu. Karenanya selain telunjuk, jempol juga harus ikut puasa, jangan biarkan
menari-nari tak karu-karuan.

Banyak lagi yang bisa dilakukan sebuah jempol dan telunjuk itu, yang bahkan tidak
bisa Anda bayangkan sebelumnya. Bumi ini bisa hancur dan rusak parah di banyak bagiannya
kalau saja perang nuklir terjadi. Perang yang dipicu oleh satu kali hentakan rendah jari
telunjuk pada sebuah tombol kendali.

Tapi itu bukan berarti telunjuk itu tidak bisa lebih baik. Bahkan Rasulullah SAW juga
menganalogikan telunjuk bersama jari tengah sebagai orang-orang yang mulia. Dalam Hadis
Riwayat Muslim, Rasulullah SAW merapatkan jari telunjuk dengan jari tengahnya untuk
melambangkan betapa dekatnya beliau dengan orang yang memelihara anak yatim di surga
kelak

***

Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah tradisi melampiaskan. Perlawanan


terhadap dunia yang ada dalam diri. Membuat kepentingan dunia menjadi kepentingan yang
berdimensi dunia-akhirat.

Dengan kata lain, puasa adalah proses dematerialisasi yaitu menyikapi berbagai
materi dalam pernak-pernik kehidupan dunia—seperti harta, pangkat, jabatan, kesenangan,
berbagai peristiwa dan berbagai rasa yang dialami—membentuk suatu kesatuan yang
bersinergis menjadi sebuah cahaya menuju ke-illahi-an.

Oleh karena itu puasa tidak saja suatu pekerjaan ―menantang‖ tapi menawarkan
sebuah petualangan jiwa menuju ―cahaya‖. Tapi petualangan itu bisa serta merta gagal di
tengah jalan kalau telunjuk tidak ikut puasa.

14
Puasa Menanti Pelangi

Terkadang Allah menghilangkan Matahari. Kemudian Dia turunkan petir dan guntur
yang membuat cemas. Sesudah puas kita mencari di mana Matahari, rupa-rupanya Dia
ingin menghadiahkan kita pelangi

Menjelang akhir masa jabatannya, DPR-RI ―rebut‖ lagi. Mereka sedang membahas
RUU Jaminan Produk Halal. Dengan metode berpikir yang paling sederhana sekalipun, orang
akan menangkap bahwa RUU ini untuk memberi jaminan halal dan haramnya semua
makanan dan produk yang dijual bebas.

Kalaupun Anda mau jual atau mau makan daging Babi, bangkai Biawak, jamu anti
gila dari usus Anjing atau obat kuat tahan lama dari kemaluan Kuda; itu gak ada urusan
dengan RUU ini. Sepanjang semua yang katanya halal dan bisa dikonsumsi semua orang,
harus disertifikasi atau dijamin kehalalannya. Singkatnya, orang jadi tahu mana produk yang
halal mana yang tidak halal, itu saja.

Ya, sesederhana itu. Tapi coba dengarkan komentar orang-orang di lingkungan


anggota dewan yang terhormat itu. ‘‘RUU ini sangat diskriminatif dan tidak berwawasan
kebangsaan,‘‘ kata anggota komisi VIII DPR Tiurlan Hutagaol.

Tiurlan mencontohkan makanan-makanan tertentu yang bagi satu agama dianggap


haram dan bagi agama lain atau bahkan adat budaya satu suku merupakan makanan wajib
dalam pesta adat. "Bagaimana menanggapinya?" seru Tiurlan.

Ada lagi, AS Kobalen, tokoh agama Hindu yang mengusulkan untuk menghentikan
disahkannya RUU JPH atau mereka akan bereaksi. "Kalau perlu tanggal 8 September besok
saat rapat pandangan fraksi-fraksi kita turun mengadakan aksi demo damai ke DPR,"
serunya.

Sungguh saya tidak ingin mengatakan betapa lucunya pendapat seperti ini. Saya harap
Anda juga jangan berpikir seperti itu, bahkan saya melarang Anda senyum-senyum dan geli-
geli sendiri kalau mendengar komentar tersebut. Karena kita-kan harus menghargai pendapat
orang lain toh.

***

Bukan politisi namanya kalau tidak bisa mengalihkan isu yang tidak menguntungkan.
Kalau adem-adem saja kan gak seru. Apalagi dengan adanya konflik, wacana yang liar dan
panas, tawar-menawar bisa jadi hangat dan ‘harga‘ bisa meningkat tajam.

Perkembangan yang terjadi kemudian dalam pembahasan RUU ini adalah munculnya
wacana tentang siapa yang bertugas mensertifikasi. Karena ini adalah regulasi, maka masuk
domainnya pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hanya salah satu faktor saja.
Kira-kira argumentasinya begini; ulama jangan ngurusi bisnis-lah.

Maka peran MUI dilemahkan atau malah dihapuskan. Padahal sebelumnya, dalam
catatan rapat dengar pendapat umum Komisi VIII DPR dengan MUI yang ditandatangani

15
Ketua MUI KH Ma'ruf Amin dan Ketua Komisi VIII Hasrul Azwar, sudah disepakati bahwa
otoritas penerbitan sertifikasi halal ada pada MUI.

Maka buru-buru Ketua MUI KH.Ma‘ruf Amin menyatakan, kalau peran MUI hilang
maka MUI tidak akan bertanggungjawab terhadap undang-undang tersebut. Itu artinya kalau
nanti ada label halal pada produk tertentu, tapi para ulama sudah berlepas tangan.

***

Di kalangan tertentu, ada persepsi yang belum ―duduk‖ dalam memahami peran
ulama dalam hal ini. Karena sertifikasi itu perlu dana maka orientasinya adalah bisnis. Dan
kalau peran ulama diambilalih maka itu sama saja dengan mengganggu lahan bisnis. Apa
pula ulama kok memasuki wilayah regulasi.

Itu saja, padahal belum pernah ada yang mengkaji secara rigit, benarkah MUI
kebanjiran untung besar. Padahal MUI sendiri sudah ―menantang‖, silahkan tunjukkan kalau
memang MUI salah. Sepanjang tidak ada penjelasan, maka kita bisa bilang wacana tersebut
adalah pernyataan orang kalut yang sedang pakai jurus mabuk.

Kita harus sadari sekarang ini berbagai produk yang dijual bebas bercampur aduk
antara yang halal dengan yang tidak halal. Kayak gado-gado. Ada yang halal yang sudah
disertifikasi, ada yang halal belum disertifikasi, ada yang haram buat sertifikat/label halal
sendiri atau yang haram tanpa sertifikat seenaknya menyamar di antara produk lain.

Dalam kondisi ini, Anda harus sangat beruntung, untuk bisa menjaga perut Anda
dimasuki dzat yang haram. Mau perut Anda, istri, anak-anak, orang tua Anda dipenuhi
makanan tak jelas? Namun ini tentu bukan untuk Anda yang tak peduli soal halal-haram.

Tapi bagi umat Muslim-Mukminin, ini adalah persoalan serius, sangat serius. Ini
persoalan aliran darah yang mengalir di setiap sendi, ini persoalan menjaga kehormatan di
hadapan Allah SWT Sang Pencipta.

Maka umat Islam ingin adanya jaminan. Dan jaminan ini diberikan oleh para ulama
yang di negeri kita ini terwadahi dalam lembaga yang namanya MUI. Kalaupun kemudian
ada produk sudah disertifikasi halal tapi ternyata haram, maka ulama-lah yang mengambil
tanggung jawab itu di hadapan Allah kelak. Karenanya ini bukan kerjaan pemerintah.

Begitulah cerita sulitnya membuat aturan halal di negeri Muslim terbesar di dunia ini.
Saya jadi teringat kalimat yang dipostingkan di forum dunia maya; Terkadang Allah
menghilangkan Matahari. Kemudian Dia turunkan petir dan guntur yang membuat cemas.
Sesudah puas kita mencari di mana Matahari, rupa-rupanya Dia ingin menghadiahkan kita
pelangi.

16
Rabun Dekat

Inilah sindrom ’Rabun Dekat’ itu. Kita tidak hanya tahu bahkan yakin tentang apa
yang sedang kita cari, cuma kita tidak melihatnya

Tidak ada jalan lain. Semua sudah jadi biasa baginya; sebut saja membunuh,
merampok, memperkosa, berjudi, minum khamr. Sudah terlanjur. Julukan sebagai penjahat
besar dari negeri Basrah justru membuatnya bangga.

Maka Utbah al-Ghulam suatu ketika mengendap-endap mengintai di tengah


pengajian di Basrah. Mungkin dia punya siasat untuk mencelakai Syekh Hasan al-Bashry
yang sedang ceramah hari itu. Sorot matanya tajam memperhatikan dari kejauhan, kupingnya
menangkap dengan jelas setiap ucapan. Syekh Hasan kebetulan sedang menguraikan surat al-
Hadid : 16. Beliau kemudian menyuruh hadirin terutama bagi orang-orang yang berdosa
segera bertobat.

Seorang mengacungkan tangan. Raut wajahnya tampak jelas rasa khawatir akan dosa-
dosanya yang tak terampuni. Syekh Hasan tersenyum tenang. ‖Walaupun dosamu sebesar
dosanya Utbah al-Ghulam, Insya-Allah akan diampuni bila bertobat dengan sungguh-
sungguh."

Tiba-tiba Utbah merasakan dadanya sesak, tubuhnya bergetar keras. Dia meraung-
raung hingga akhirnya jatuh pingsan. ―Bila engkau tahan sentuhan api neraka, silakan terus
melakukan kejahatan. Tetapi bila tidak, maka segeralah bertobat! Dosa-dosa yang kau
lakukan itu engkau telah menghina, membebani jiwamu sendiri!‖ Kisah ini berakhir dengan
bertobatnya Utbah dan dia istiqomah sampai akhir hayatnya.

Tentu saja fenomenal, seperti halnya kisah Sayyidina ‘Umar bin Khaththab yang
‘Raja Preman‘. Dengan pedang terhunus ingin menikam Rasulullah dengan para sahabatnya
yang masih sedikit, yang sedang dibina Rasulullah di rumah Arqam bin Abil di dekat Shafa.

‘‘Urus dulu keluargamu, baru orang lain,‘‘ ujar seseorang di tengah jalan yang
memberitahu bahwa Fatimah, adiknya sendiri sudah berIslam. Diapun berbelok arah ke
rumah sang adik.

Tapi justru hatinya yang keras itu ‖melumer‖ ketika mendengar adiknya membaca
Surah At-Thaha : 1-8, "Kami bukan menurunkan al-Qur'an kepadamu untuk menyusahkan
dirimu. Melainkan menjadi peringatan bagi orang yang takut Tuhannya. Dia turun dari dzat
yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi Ar-Rahman (Allah) itu bersemayam di atas
singgasana 'arsy. Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di antara keduanya, dan apa-apa
yang ada di bawah petala bumi. Jika engkau keraskan perkataan, Dia mengetahui apa yang
dirahasiakan dan apa yang lebih tersembunyi. Allah, tidak ada tuhan kecuali Dia. Bagi-Nya
ada beberapa nama yang indah."

Maka dengan pedang yang masih terhunus, dia menjumpai Rasulullah. Namun tiba-
tiba Umar memeluk Rasulullah dan memeluk Islam.

***

17
Meminjam istilah Ustadz Antonio Syafii, banyak orang yang mengindap syndrome
Rabun Dekat. Apa yang dicarinya sebenarnya gak jauh-jauh dan berada dekat dirinya, tapi
dia tidak melihatnya.

Maulid Muhammad Rasulullah SAW kita peringati setiap tahun. Kita percaya
Rasulullah adalah suri tauladan, manusia model utuh (uswatun hasanah) tapi tidak sedikit
mau dengan sungguh-sungguh mencontohnya. Kita meyakini Islam adalah jalan hidup yang
membawa pada jalan kebenaran tapi banyak melupakannya ‗sementara‘.

Kita yakin menolong orang yang butuh pertolongan adalah perbuatan yang disukai
Tuhan, tapi kita lebih suka mempersulit. Kita membicarakan keburukan atau aib orang adalah
sangat dibenci Tuhan, sama seperti makan bangkai saudara kita, tapi kita senengnya gosip.
Habiss… asyik sih.

Kita mengalami dan mempercayai waktu itu cepat sekali berlalu. Baru hari Senin,
sudah Senin lagi. Bulan lalu, tahun lalu bahkan masa sekolah, masa remaja dan masa kanak-
kanak seakan baru kemarin terjadi. Tapi kita jarang sekali menghargai waktu yang berlalu itu,
kita hanya berleha-leha sambil berharap masuk surga.

Kita percaya kita bakal mati, entah kapan tapi pasti. Tapi kita jarang sekali
bersungguh ngumpuli bekal untuk perjalanan panjang itu. Padahal kita juga yakin kalau tidak
lekas-lekas bertobat, kita bakal menjadi orang-orang yang merugi, dihajab tiada henti.

Inilah sindrom ‘Rabun Dekat‘ itu. Kita tidak hanya tahu bahkan yakin tentang apa
yang sedang kita cari, cuma kita tidak melihatnya. Saya berdoa, Anda dan kita semua yang
seperti ini bisa menjadi seperti Sayyidina ‘Umar ataupun Utbah yang merupakan manusia
revolusioner-radikal.

Perjalanan hidupnya tidak melalui proses irama penghayatan yang semestinya. Nilai-
nilai kebaikan dan keTuhanan merasuk ke dalam dirinya secara radikal dan revolusioner.
Mereka mengalami dunia, menemukan titik balik maka mereka menemukan Allah.

Saya berdoa dengan sungguh-sungguh, jangan sampai Anda dan kita semua tidak
menemukan titik balik itu.

18
Ramadhan; Membaca Ulang

Ada banyak alasan mengapa tak terjadi peristiwa membaca ulang ini. Salah satunya
tidak munculnya curious (rasa penasaran). Dan curious ini, tidak sekedar given, tapi ia
juga sebuah rekayasa kondisi

Dalam beberapa kesempatan saya sering mengatakan untuk membaca ulang setiap
naskah yang kita tulis. Karena setiap kali dibaca ulang, akan selalu ada kesalahan, dan
kekuranganlengkapan. Maka semakin sering dibaca, akan semakin sempurna sebuah tulisan.

Anda bisa bayangkan. Kalau setelah dibaca berulang masih salah apalagi tak dibaca
ulang. Tapi membaca ulang ternyata bukan peristiwa sederhana. Ada banyak alasan mengapa
tak terjadi peristiwa membaca ulang ini. Salah satunya tidak munculnya curious (rasa
penasaran). Dan curious ini, tidak sekedar given, tapi ia juga sebuah rekayasa kondisi.

Setidaknya tulisan kiriman seorang kerabat di media sosial ini bisa menjelaskannya.

Alkisah seorang turis Arab untuk pertama kali datang ke Medan naik dan menumpang
sebuah taksi. Jalanan di Arab pada umumnya memang tak rapi-rapi amat, tapi berkendara di
Medan beda. Di sebuah persimpangan, taksi yang membawa si turis Arab ini disalip sebuah
mobil sport yang melaju kencang. Si orang Arab terkejut. ―Adzam.., Adzam.., Adzam..,‖
katanya.

Setengah bertanya dalam hati, si supir heran dengan lafaz zikir penumpangnya ini.
Tapi mendadak sebuah mobil sport lainnya berhenti mendadak di depan taksi ini, hingga
mengguncang si orang Arab. ―Irraref.., Irraref.., Irraref..,” katanya lagi setengah berteriak.

Lepas dari simpang lampu merah, taksi ini hendak melaju, tapi harus ngerem
mendadak lagi karena sebuah pick-up melabrak lampu merah dari arah kiri. Orang Arab ini
berteriak: "Ustahiad.., Ustahiad.., Ustahiad..,‖ katanya sambil melebarkan kedua telapak
tangannya.

Setelah pick-up melintas, si supir bersiap melaju, sebelum sebuah minibus melaju
dengan kecepatan tinggi dari belakang pick-up tadi. ―Ishtibustim.., Ishtibustim..,
Ishtibustim..,‖ jerit si Arab lagi. Si supir pun melihat ke kiri dengan hati-hati. Setelah yakin
tidak ada lagi kendaraan yang akan melanggar lampur merah, dia melaju perlahan. Tapi
mendadak dari belakang sebuah mobil boks menyalip dengan mengeluarkan asap hitam.
Turis Arab ini berteriak lagi, Ikuzus.., Ikuzus.., Ikuzus...‖

Di tempat tujuan, ketika hendak parkir, si Arab menarik nafas lega. Tapi lagi-lagi
sebuah minibus menyerbot tempat parkir mereka. ―Aik.., Aik.., Aik.., kata orang Arab ini ke
arah supir mobil berkaca hitam gelap itu.

Karena penasaran, supir bertanya kepada penumpangnya. ―Doa apa sih yang Wan
baca. Kok ane belum pernah dengar,‖ tanyanya.

19
Si turis Arab kemudian menjawab. ―Ane tidak berdoa. Siafa yang bilang ane berdoa.
Ane baca tulisan di belakang mobil-mobil yang tadi menyalip ente! Cuma ane bacanya dari
kanan ke kiri. Ane khan orang Arab..,‖ katanya.

Sekarang kita lihat seberapa efektif curious bekerja menuntun Anda membaca ulang
tulisan ini.(Vol.630, 19/6/2016)

20
Salah Mengira

“Tulisan Bapak bagus-bagus, sangat mengispirasi. Saya adalah penggemar tulisan-


tulisan Bapak,” kata seorang pembaca tulisanku satu ketika. Aku tersenyum senang.
Hatiku bahagia dan bangga, tapi lututku gemetaran

Antara kemakmuran dengan azab seringkali beda-beda tipis. Karena tipisnya


perbedaan itu, seringkali orang salah menduga. Dikira sedang dianugerahi kemakmuran,
nyata Tuhan sedang menghadirkan azab.

Lihatlah sekelilingmu dengan pandangan yang mengakar pada pemahaman di


kepalamu. Kemarin, para remaja berbaju hijau-hijau itu berpawai berpesedamotor.
Kebanyakan mereka tidak mengenakan helm. Di antara jibunan kendaraan yang menyemut,
mereka menyalip, tak sedikitpun mengendurkan gas-nya.

Di persimpangan lampu merah, mereka segera memalang sepedamotornya


menghalangi arus kendaraan dari sebelah sana. Puluhan bahkan ratusan anggota kelompok
hijau-hijau itu melanggeng dengan gas ditarik sekeras-kerasnya. Suaranya gemuruh. Saya
melihat salah seorang dari mereka, masih pake celana pendek warnai biru. Saya yakin, anak
ini belum merampungkan sekolahnya hari itu.

Wajah di atas sepedamotor itu boleh jadi culun-culun. Boleh jadi Anda menganggap
mereka anak kemarin sore yang masih bau kencur. Tapi lihatlah, tak satupun orang berani
melarang kelakuan mereka, bahkan tak seorang petugas pun. Wajah orang-orang yang
mengantri itu cuma bisa memandangi dengan gemas, tanpa bisa berbuat apapun.

Menunggu kemacatan terurai di tengah panas yang menguliti, itu saja sudah jadi
siksaan yang mengundang stress. Apalagi harus menyaksikan tindakan tidak sportif
pendukung tim sepakbola itu. Ini nyata-nyata kemalangan bagi pengendara.

Kemakmuran itu datang seiring semakin meningkatnya daya beli masyarakat di


negeriku. Dulu orang-orang yang cuma bisa berpergian menumpang Angkot, sekarang punya
sepedamotor bahkan mobil yang rata-rata lebih dari satu. Kendaraan itu memang sudah
kadung dianggap sumber kebahagiaan dan prestise ketimbang sebuah kebutuhan.

Maka dari sinilah semua berawal. Kemacatan itu berasal dari kemakmuran orang-
orang di sana. Pada saat yang sama kemacatan itu adalah azab yang engkau rasakan setiap
kali terjebak di tengah tumpukan kendaraan yang mengantri.

***

―Tulisan Bapak bagus-bagus, sangat mengispirasi. Saya adalah penggemar tulisan-


tulisan Bapak,‖ kata seorang pembaca tulisanku satu ketika. Aku tersenyum senang. Hatiku
bahagia dan bangga, tapi lututku gemetaran.

Siapa yang tidak senang dan bangga dipuji seperti itu. Kalau saya bilang tidak, pasti
saya sedang bohong saat itu. Kalimat-kalimat pujian seperti itu layaknya angin yang
dihembuskan ke balon. Dia menggembungkan dadaku, bahkan kepalaku ikut besar jadinya.

21
Tapi tak begitu dengan lututku. Dia gemetaran jadinya. Mungkin karena lutut adalah
organ kerja, dia bukan organ politis. Dia hanya tahu melangkah ketika diperintah otak.
Karenanya dia tidak bisa dimanipulasi ketika rasa khawatir itu muncul.

Aku khawatir orang ini telah mempersepsikan aku sebagai orang yang baik. Padahal
tak seluruh hidupku cuma berisi kebaikan. Istriku tahu itu. ―Iman itu-kan naik-turun ya
bang,‖ kemarin dia menyindirku. ―Mungkin waktu buat tulisan, iman abang sedang naik,‖
katanya kemudian sambil tertawa geli.

Begitulah aku. Kalaupun mungkin orang-orang di sekitarku menganggapku orang


baik, itu cuma karena mereka tak tahu aibku. Itu cuma karena Tuhan masih menutup rapat
aibku. Maka pujian itu juga menimbulkan kecemasanku. Aku cemas kalau kelak engkau
mengetahui aibku, aku cemas kalau tulisan-tulisanku selanjutnya tak mampu memuaskan
rasamu. Walhasil, aku akan menulis dalam tekanan akan rasa kebutuhan pujian yang
menyenangkan sekaligus mencemaskan itu.

***

Kalau engkau katakan sebagai manusia engkau harus jadi orang yang kaya, berkuasa
dan tenar. Tapi seringkali yang engkau butuhkan tak sekedar itu, tapi kaya raya, sangat
berkuasa, dan sangat tenar.

Selanjutnya ketika sudah kaya raya engkaupun merasa perlu membangun tembok
tinggi di sekeliling rumahmu—untuk melindungi hartamu. Ketika sangat berkuasa engkau
perlu terus menerus didampingi pengawal pribadi—untuk menjagamu. Ketika sudah sangat
tenar engkaupun harus selalu menyamar di tengah keramaian—supaya orang tak
mengenalimu.

Seperti halnya pujian, punya kendaraan baru itu awalnya begitu menggoda. Sampai di
suatu ketika dia membawamu pada kondisi yang mencemaskan. Yang menyadarkan bahwa
sebagai manusia kita terlalu konyol.

Betapa yang dicari selama ini dengan kerja keras, susah payah, peras keringat bahkan
pake ngotot itu tak lain cuma berwujud kecemasan belaka. Itulah azab yang engkau kira
sebagai kemakmuran.(Vol.309, 26/4/2012)

22
PINTU...

23
Berkurban, Kontrak Seumur Hidup

Berhala itu ternyata terus menerus malih rupa dari satu bentuk ke bentuk lain, dari
satu kondisi ke kondisi lain

Seandainya perintah berkurban seperti kepada Ibrahim as diturunkan sekarang ini,


mungkin orang akan bilang imposible. Tidak mungkin ada orang yang mau berkurban seperti
itu, tidak mungkin ada perintah seperti itu dari Tuhan, tidak mungkin ada yang percaya dan
tidak mungkin-tidak mungkin lainnya. Bahkan hampir pasti Anda akan dibilang gila oleh
orang yang menyebut dirinya liberal.

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan ada perintah semacam itu di zaman ini.
Saya juga bahkan akan mengatakan tidak mungkin kalau ada orang yang mengaku mendapat
wahyu untuk memenggal leher anaknya. Sama seperti Nabi Ibrahim as yang juga tidak
percaya ketika pertama kali dia bermimpi diperintah mengurbankan hartanya yang paling
berharga itu.

Tidak pula akan ada anak seperti Ismail, mau secara sukarela digorok bapaknya
sendiri. Akal manusia akan menolaknya, orang yang bertindak seperti itu bakal berhadapan
dengan petugas dari Polsek dan trial by the mass melalui info gosip. Orang seperti itu akan
digolongkan sama seperti Ryan si Penjagal dari Jombang karena melakukan pembunuhan
berencana.

Tapi akidah melampaui akal dan hukum positip. Ibrahim as meletakan dasar akidah
itu juga tidak secara serta merta. Untuk menegakkan tauhid, Ibrahim telah mengasah
kapaknya sedemikian tajam, merubuhkan berhala-berhala kecil dan dengan sengaja
meninggalkan berhala yang paling besar dengan kapak yang menggantung di lehernya, untuk
menjadi pelajaran komparatif.

Maka ketika akidah sudah tertanam mengganti segala berhala, setiap pengorbanan
yang bermuara kepada Tuhan Yang Mahamelihat akan dengan senang hati dijalani.
Berkurban akan menjadi kontrak seumur hidup. Maka kalau Anda disuruh memilih menjadi
orang yang menganiaya atau dianiaya, maka pilihannya pasti lebih senang dianiaya. Kalau
dihadapkan pada pilihan menyakiti hati orang atau ngenes karena disakiti, pasti akan lebih
senang disakiti. Atau kalau Anda sedang ditipu orang, mestinya merasa lebih lega daripada
kita yang menipu.

Orang yang berhasil mengusir berhala dari dalam dirinya mampu menyangga
nasibnya dengan ringan dan punya formulasi bahwa sepahit apapun yang dialaminya
sekarang ini, suatu saat akan terasa manis.

***

Setengah bercanda, seorang teman mengatakan dirinya memang belum menyandang


gelar ―H‖ di belakang namanya karena dia belum berangkat haji. Tapi harusnya, katanya, dia
menyandang gelar ―S.S.P.Z‖. Karena selain haji, empat Rukun Islam yang lain sudah
dikerjakannya.

24
Syahadat sudah sejak sekian lama diikrarkan dan dibacanya dalam setiap shalat.
Shalat juga sudah sejak kecil dia mengerjakannya, walau kadang masih saja bolong.
Demikian pula dengan Puasa dan Zakat, setiap tahun dilakoninya hampir tidak pernah absen.
Lantas kok hanya haji saja yang punya ―hak‖ untuk ditempeli di belakang nama orang. Ini
kan gak fair.

Anda boleh juga boleh mengatakannya fair ataupun tidak fair, sesuai dengan ijtihad
yang Anda miliki. Sama seperti dalam jamaah shalat Shubuh di sebuah Mushollah di
Tengerang. Ketika shaf pertama hampir penuh dan hanya menyisakan tempat untuk satu
orang, maka seorang tua berkata lantang, ‘‘Ayo yang pake peci (pakai baju koko) yang
maju.‘‘ Kalau saja ada yang pakai kaus oblong tanpa peci nyelonong ke shaf depan, mungkin
dia akan dicap tak sopan dan tak beradat.

Lebih kurang mirip kisah protes Nashrudin Toha yang ditolak menghadiri pesta di
istana karena pakaiannya yang apa adanya. Diapun ganti pakaian yang bagus dan datang lagi,
namun pakaian itu kemudian dicopotnya dan memasukannya ke dalam piring dan gelas
sambil berkata, ‘‘Makan dan minumlah karena kamu yang diundang.‘‘

***

Kurban yang kita laksanakan sekarang ini adalah meneladani Ibrahim as. Haji kita
juga untuk menjalankan syariat menziarahi tempat-tempat bersejarah. Tempat di mana
Ibrahim merubuhkan berhala-berhala meski harus menentang bapaknya sendiri.

Tapi berhala itu ternyata terus menerus malih rupa dari satu bentuk ke bentuk lain,
dari satu kondisi ke kondisi lain. Bahkan ketika shalat di Musholla tadi berhala itu masih
berubah wujud ke dalam bentuk peci dan baju koko.

25
Catatan Maulid

Berzina, bunuh diri, murtad, jadi lebian atau homoseksual ini juga dosa individual
yang tidak merugikan orang lain. Namun coba lihat, betapa besar kemarahan Allah
atas perbuatan-perbuatan tersebut

Teman-teman itu kelihatan sangat serius mendengarkan kata demi kata yang
diucapkan penceramah. Saya merasakan ada sedikit penyangkalan, namun lebih kentalnya,
mereka seperti orang-orang yang berusaha menjadi Isa as; menangkap kebenaran sebenar
mungkin.

Ini suatu hal yang saya harus senangi ketika Maulid Nabi Muhammad SAW tiba.
Banyak orang punya kesempatan mendengar ceramah, meski apa yang disampaikan sering
sangat bervariasi, ada sejarah Nabi, fikih, tauhid atau sekedar ajang Curhat si penceramah
ataupun cuma lucu-lucuan.

Ceramah kali ini content-nya agak ―berat‖, menyangkut tentang peradaban, menjadi
wasit bagi peradaban. Seperti Ibrahim as yang meletakkan dasar bagi pekerjaan mengubah
sejarah hidup manusia.

Ada tiga hal, setidaknya, yang menjadi catatan kecil dalam ceramah dan ceramah itu.
Dua di antaranya akan saya utarakan, tapi satu lagi cukup saya simpan saja. Saya merasa
kemalu-maluan untuk mengungkapkannya. Kecuali kalau Anda tanya langsung, tentu saya
akan ―menyerah‖.

***

Pertama adalah memahami kembali ajaran Islam. Apakah ajaran yang selama ini kita
fahami sudah benar? Jangan-jangan kita menyangka Rasul yang mengajarkan tetapi
sebenarnya tidak demikian. Contoh yang mencuat adalah soal nikah sirri, menikahi anak di
bawah umur. Apa benar Rasul mengajarkan seperti itu?

Yang kedua adalah pembahasan hadis Nabi SAW Innama bu'itstu liutammima
makaarimal akhlaaq (Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak
manusia). Jadi akhlak itu sangat penting, ibadah yang dilakukan adalah dalam rangka
menciptakan akhlak yang terpuji dan mulia. Dosa sosial jauh lebih berat dari dosa individual.
Kalau dosa individual, kita bisa istighfar minta ampun kepada Allah, mudah-mudahan
diampuni. Tapi kalau dosa sosial, wah gawat... Kalau orang yang kita sakiti itu tidak ridha,
bakal tak terampuni. Maka muncul juga perbandingan; lebih baik gak usah shalat daripada
menyakiti orang atau melakukan korupsi.

Saya tulis catatan ini seserupa mungkin dengan penjelasan oral-nya. Kalau ternyata
terjadi penyimpangan makna saya mohon maaf. Saya toh juga takut melakukan dosa sosial.

***

Pertama, kita sudah sering mengenal istilah pembaruan (tajdid) dalam pemahaman
ajaran Islam. Hanya saja terminologi perubahan ini lebih sering dipakai para liberalis. Mereka

26
berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi menuntut penyegaran pemahaman terhadap nilai universal yang terkandung di
dalam Al-Qur‘an.

Apa yang luput ditegaskan dalam ceramah itu adalah proses pembaruan itu sendiri.
Apakah pembaruan dalam arti pemurnian–purifikasi (i’adat al-syai’ ka al-mubtada’) atau
mengembalikan ajaran Islam kepada yang aslinya. Kalau cincin sudah lama dipakai tentu
berdebu, menempel kotoran di sana-sini bahkan sudah berkarat. Maka perlu dibuat baru lagi,
dibersihkan, digosok hingga kembali kinclong; Atau pembaruan yang bermakna mengganti
dengan cincin yang baru sama sekali atau mengganti bagian-bagian penting dari cincin itu
seperti batu cincinya atau ganti ring-nya. Kalau yang seperti ini, maka kalau dulu Nabi akhir
zaman adalah Muhammad Rasulullah SAW, sekarang boleh tambah Mirza Ghulam Ahmad,
kalau dulu nikah sirri dan poligami boleh sekarang haram.

Kedua, kalau akhlak jadi seutama-utama tujuan, apakah ‖jalan‖ atau proses menuju
tujuan itu jadi kurang penting atau sama pentingnya. Ini juga luput dari penegasan. Kalau
saya hanya mengutip perbandingan antara shalat dengan korupsi tentunya ‖jalan‖ itu jadi
tidak terlalu penting. Maka jadi tidak berlebihan jika membandingkannya dengan doktrin
pluralisme; menjadi agama apapun tak masalah yang penting jadi orang baik. Jadi kalau mau
murtad, ya monggo-monggo aja, itu-kan pilihan.

Sedangkan untuk dosa individual dan dosa sosial—maka kita harus setuju—kalau
mengacu struktur uraian yang disampaikan. Tapi seperti halnya munasabah dalam Al-Qur‘an,
tentunya kita harus melihat kepada dalil-dalil yang lain. Karena berzina, bunuh diri, murtad,
jadi lebian atau homoseksual ini juga dosa individual dalam arti apa yang dilakukan tidak
merugikan orang lain. Namun coba lihat, betapa besar kemarahan Allah atas perbuatan-
perbuatan tersebut. Saya sulit membayangkan jika melakukan hal seperti ini dianggap masih
lebih baik daripada mencuri atau demo sambil merusak sarana umum.

Mungkin saja catatan kecil saya ini tidak sama seperti yang dimaksud si penceramah.
Tetapi setiap sesuatu yang dibuat menggantung akan selalu membuat tidak cecah sehingga
bisa melayang-layang ke mana-mana.

27
Dan Malaikat Pun Gemes

Manusia sebagai mahluk yang dipercayakan sebagai khalifah di muka Bumi harus ikut
dinamis, terus bergerak, berhijrah dari satu posisi ke posisi lainnya. Orang yang
bersifat statis akan tergerus oleh “gerakan alam”

Di salah satu bagian hidupnya, Almarhum Bangun Sugito atau lebih dikenal dengan
nama Gito Rollies pernah muncul di Medan. Malam itu dia bercerita panjang lebar tentang
dirinya, masa lalunya dan kerinduannya kepada Illahi.

―...hanya anak domba yang lepas dari rombongan yang akan dimangsa srigala. Karena
itu, hidup kita ini harus berjamaah,‘‘ nasihatnya waktu itu.

Seperti biasa, setiap kali berbicara mengenang masa lalunya dia selalu menangis
meneteskan air mata. Bagaimana dulu dia terbiasa dengan minuman keras, Narkoba dan
berbagai kehidupan malam lainnya. Setiap kali terbayang masa lalunya, setiap kali pula
dadanya terasa sesak, dan sujud pun tak puaskan inginnya untuk haturkan sembah sedalam
sesalnya.

Ya, Gito menyadari dirinya adalah orang yang pernah lepas dari rombongan besar
kaum Mukminin. Tubuhnya habis dicabik-cabik ―srigala‖ hingga terpuruk ke dalam
kubangan kemaksiatan. Tidak satupun maksiat yang tak pernah dilakukannya. Sampai
akhirnya hidayah itu tiba, dengan tertatih-tatih dia kembali ke rombongan dengan penuh
―luka‖ di sana-sini.

Hari-hari menjelang hayatnya, tidak satupun kesempatan disia-siakannya untuk


berhijrah di jalan Allah SWT. Bahkan sakitpun tak menghalanginya untuk berdakwah,
berbagi pengalaman, mengajak orang untuk ikut berhijrah. Gito adalah model hijrah yang
sempurna, dari kekelaman masa lalu, bersungguh-sungguh dan bergegas ke jalan Allah.

***

Sudah menjadi sunnatullah bahwa alam semesta beserta isi dan segala kejadiannya
akan terus bergerak dinamis. Kosmos dan hukum yang melingkupinya merupakan bagian dari
suatu proses dari awal mula sampai berakhirnya nanti, siang selalu bergerak malam juga
sebaliknya, orang akan tumbuh dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan mati.

Zaman juga berubah, dari masa penjajahan, revolusi fisik, Orde Lama, Orde Baru,
Reformasi dan nanti pasti akan berubah lagi. Atau kalau mau lebih luas lagi, ada masa
Romawi kuno, ada masa kejayaan Islam dan kini ada pula negara adidaya Amerika Serikat
yang menjadi poros peradaban dunia kontemporer dan pasti ini juga akan bergerak dan
berganti.

Manusia sebagai mahluk yang dipercayakan sebagai khalifah di muka Bumi harus
ikut dinamis, terus bergerak, berhijrah dari satu posisi ke posisi lainnya. Orang yang bersifat
statis akan tergerus oleh ―gerakan alam‖. Bahkan ketika orang bermain sepakbola, dia harus
terus bergerak ke sana ke mari dalam garis lapangan, seorang petinju juga harus terus

28
bergerak di atas ring agar tidak menjadi sasaran empuk lawan. Dalam batas-batas tertentu,
orang harus terus bergerak dan tak boleh diam.

Hijrah adalah wajib karena setiap yang statis akan membusuk; batu yang tak bergerak
akan berlumut, air parit yang tak mengalir akan berbau busuk dan jadi sumber penyakit,
kendaraan yang lama tidak digunakan juga bisa game over. Maka ketika ada kelompok umat
Muslim Makkah menolak ajakan Rasul untuk berhijrah, mereka kemudian ditindas oleh kafir
dan dipaksa berperang. Orang yang menolak hijrah, yang kemudian diwafatkan adalah
zầlimii anfusihim atau orang yang menganiaya diri sendiri.

Sampai-sampai Malaikat pun merasa gemes kepada orang yang tidak mau diajak
berhijrah ini. Lha wong disuruh ke tempat yang lebih baik, disediakan tempat yang luas di
muka Bumi dan disediakan rezeki yang banyak (Q.S. 4:100), kok gak mau. ...fiima kuntum...
alam takun ardullầhi...(Q.S. 4:97) dalam tafsiran bebasnya kira-kira Malaikat berkata begini,
...gimana sih kalian ini... bumi Allah itu-kan luas...

***

Salah satu ciri masyarakat urban adalah tingkat stress yang tinggi. Orang kehilangan
momentum menemukan tujuan hidupnya dan kebosanan pada rutinitas hidupannya. Ketika
orang menemukan kebuntuan maka akan beralih atau berhijrah ke jalan agama. Saya
merasakan di tahun-tahun belakangan ini orang berbondong-bondong kepada agama, seperti
magnet, perilaku satu orang yang berhijrah akan mempengaruhi perilaku lainnya.

Gito Rollies adalah salah satunya, tipe orang yang berhijrah secara total dan
bersungguh-sungguh. Di luar itu masih banyak orang yang meletakkan satu kakinya di jalan
yang lurus sedangkan sebelah kakinya lagi masih tertanam dalam kemaksiatan.

‘‘Paling tidak kita sudah hijrah, walaupun bertahap...‘‘ Mungkin kalimat ini yang
dijadikan pembenaran dari pola hijrah yang setengah hati. Karena sudah dimulai, Insya Allah
makin lama makin mantap dan bisa semakin sempurna. Harus optimis dong...

Namun, salah satu makna hijrah adalah peningkatan secara kualitatif perjuangan,
ubudiyah secara individu maupun berjamaah. Ketika kita bergerak untuk hijrah
sesungguhnya tidak ada lagi kata pesimis ataupun optimis, karena yang ada adalah gerakan
itu sendiri. Rasa optimis dan pesimis itu berbaur menjadi satu menjadi satu perasaan harap-
harap cemas. Gerakan hijrah berarti memboboti sesuatu dengan isi, sedangkan statis adalah
sesuatu yang kosong yang gampang dirasuki.

29
Jalan Istimewa

Setiap kali mengenang dia, aku sungguh merasakan kasih sayang Tuhan melimpah
padanya, Qad aflaha man tazakka... Dia adalah orang yang berusaha sekuatnya
membersihkan dirinya untuk menata jalan pulangnya

―Dalam shalat, aku tidak pernah meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan
penglihatanku,‖ kata remaja yang sudah buta sejak umur 4 tahun itu. Mu‘adz namanya. Dia
tinggal di salah satu provinsi di Mesir.

Tiga kali sepekan dia menempuh perjalanan berkilo-kilo meter untuk menemui guru
yang mengajarinya Alquran. Seringkali setiap belajar dan menghafal Alquran, sang guru
cuma mengajarkan satu ayat padanya. Rasanya kok tak sebanding dengan jauhnya jarak yang
ditempuhnya. Tapi anehnya Mu‘adz senangnya luar biasa.

Tapi... Tak mau melihat lagi? Mengapa? ―Agar bisa menjadi hujjah bagiku pada hari
pembalasan. Sehingga Allah meringankan perhitungan (hisab) pada hari tersebut. Nanti di
saat saya berdiri di hadapan Nya, takut dan gemetar dan Dia akan bertanya ‗apa yang sudah
kau lakukan dengan Alquran ini?‘ saya hanya berdoa semoga Allah meringankan
perhitunganNya,‖ jawab Mu‘adz datar saja.

Tapi kalimat yang keluar dari mulutnya itu laksana mata pedang tajam yang
menghujam ke jantung orang-orang beriman. Pria yang menanyainya tadi salah satu yang
terkena ujung pedang itu. Dia memalingkan wajahnya, tapi itu tak menyembunyikan matanya
yang memerah, dan berair. Dia menangis. Dengan kedua tangannya ia membasuh air mata
itu.

***

Cerita Mu‘adz mengingatkanku pada seorang teman yang juga buta (baca Foliopini:
Si Buta). Pria ini kukenal beberapa tahun lalu. Dia mantan ―bandit‖ yang tobat karena
kecelakaan yang membutakan matanya. Meski buta, dia rajin berjalan sendiri ke masjid untuk
shalat lima waktu. Kami sering ngobrol ba'da Maghrib sambil menunggu Isya. Orangnya
ramah, kalau bicara selalu tersenyum, seolah dia tak punya beban apapun di hidupnya.

Tapi suatu ketika dia Curhat kepada kami. Dia ingin membaca Alquran, tapi membaca
mushaf Quran yang umum pasti dia tidak bisa. Dia memerlukan Alquran braile yang khusus
bagi orang buta. Aku pernah coba membantu, tapi ternyata tak gampang menemukannya.
Dari sebuah informasi kudengar Quran tersebut ada di suatu tempat. Tapi muncul soal baru.

Sang teman ini belum bisa membaca braile, maka ia harus belajar. Dan untuk belajar
dia harus menempuh beberapa kilometer menemui guru. Membiarkan dia sendiri naik Angkot
tentu bukan keputusan bijak, tapi untuk mengantar-jemputnya aku juga bukan orang yang
tepat.

Aku berharap seseorang bisa menyelesaian masalahnya ini, sampai akhirnya dia
membawa kabar baru. Dia akan ke Jakarta, mengikuti guru yang selama ini membimbingnya

30
soal agama. Katanya, selain belajar membaca Quran braile, dia juga akan belajar ilmu urut-
mengurut sebagai bekalnya mencari nafkah.

Kudengar kabar dia sudah dinikahi dengan seorang perempuan yang juga tuna netra
dan punya anak perempuan yang sehat. Tahun kemarin dia berencana ke Medan, tapi rupanya
belum ada jodoh. Kemarin saya mendengar, dia meninggal dunia karena sakit jantung. Kabar
ini mengejutkanku, karena selain masih muda, setahu kami dia tak ada masalah dengan
jantungnya.

Setiap kali mengenang dia, aku sungguh merasakan kasih sayang Tuhan melimpah
padanya, Qad aflaha man tazakka... Dia adalah orang yang berusaha sekuatnya
membersihkan dirinya untuk menata jalan pulangnya.

***

Menjadi guru atau berceramah di depan orang banyak adalah aktivitas yang tidak
pernah kubayangkan sebelumnya. Dulu waktu kecil, aku bercita-cita jadi pilot pesawat
tempur. Alasannya sederhana, kalau perang, bisa menghancurkan kapal musuh yang berisi
banyak tentara musuh. Dan kalau pun pesawat ditembak jatuh, korbannya kan sedikit.

Ketika remaja, aku mulai dipengaruhi buku-buku yang kubaca. Maka menjadi
wartawan adalah cita-citaku selanjutnya. Menjelang umur dewasa, cita-citaku berubah silih
berganti, sampai akhirnya aku mulai melupakan semua cita-cita itu—yang penting banyak
duit, jadi orang kaya. Ketika akhirnya aku benar-benar jadi wartawan, aku mulai menyadari
untuk meningkatkan kapasitasku sebagai manusia. Karena menulis tanpa kapasitas serupa
masak sayur tanpa garam. Tak berasa.

Maka mulailah aku belajar ke sana ke mari. Aku bahkan mencuri untuk belajar. Orang
yang bagiku berada di level guru, diam-diam kusimak ucapannya, kuperhatikan kata-katanya.
Lantas kusublimasi pelan-pelan. Hingga akhirnya, tanpa sepengahuannya, aku mencuri
ilmunya.

Ketika pertama kali diminta mengajar mahasiswa, aku seolah mengalami halusinasi.
Apalagi kemudian permintaan itu berlanjut: berceramah di hadapan jamaah, atau bahkan
menjadi khattib Jumat. Aku memaknainya sebagai cara Tuhan menunjukkanku panggilan
hidupku tentang bahagianya memahami sesuatu dan menyampaikannya ke orang lain. Ini
jalan yang kulalui seperti kebanyakan orang: normatif. Itu sebabnya Mu‘adz maupun kawan
yang buta itu jadi istimewa. Karena mereka menempuh jalan yang istimewa.(Vol.623,
30/5/2016)

31
Kuat Adalah Kewajiban

Kalau menjadi kuat adalah kewajiban sekaligus jati diri kemanusiaan. Maka kuatlah
bersama Tuhanmu. Karena selebihnya cuma orang-orang yang mencintai dunianya
dengan sangat

Sang panglima perang memandang ke kejauhan. Matanya memancarkan keteguhan


jiwanya. Tapi kepalanya terus berpikir, sementara hatinya tak henti berzikir mengingat
Tuhannya. Di depan sana ada tembok tinggi yang seolah tak tertembus. Sudah berbulan-bulan
pasukannya mengepung benteng itu, tapi seakan-akan tidak ada cara menghancurkannya.

Maka Khalid bin Walid, sang panglima itu, memutuskan menyepakati perundingan
dirinya dengan para pimpinan pasukan musuh. Bahkan perang pun perlu beradab.
Perundingan itu diwarnai ―ramah-tamah‖. Khalid disuguhi minuman, namun secara diam-
diam telah dibubuhi racun mematikan.

Tapi Khalid bukan Wayan Mirna Salihin yang gampang tewas diracuni pake kopi
Vietnam. Khalid adalah panglima perang berjuluk Saifullah Al-Maslul (Pedang Allah Yang
Terhunus). Bukan Khalid namanya kalau tak mengetahui taktik elementer seperti ini. Ia
bahkan merasakan sesuatu yang tak terpikirkan musuh-musuh itu—bahwa inilah jalan keluar
dari perang yang melelahkan itu. Penuh keyakinan dan tanpa sedikit pun keraguan, ia
mengambi air dan membaca: Dengan nama Allah yang bersamaNya sesuatu apapun tidak
akan celaka di bumi dan di langit. Dialah Mahamendengar lagi Mahamengetahui—lantas
meneguknya.

Apa yang terjadi kemudian? Racun itu langsung bereaksi, kontan wajahnya memerah.
Tapi masa krusial itu ternyata berlalu, tak lama Khalid tampak segar lagi. Peristiwa ini
mengguncang jiwa para pemimpin pasukan musuh. Kalau diracun saja tak mempan, apalagi
harapan untuk menang bertempur bersama pasukannya. Maka sejarah kemudian mencatat,
Khalid bin Walid menaklukkan Kinnasrin di Palestina karena pasukan musuh menyerah.

***

Benak saya merekonstruksi ulang peristiwa perang Kinnasrin itu ketika mendengar
Illiza bertutur. ―Payudara saya sudah diangkat karena kanker, dan diimplan dengan daging
dari perut. Tapi alhamdulillah, hasil implannya bisa berfungsi normal,‖ kata Wali Kota
Banda Aceh ini menyentak kami.

Ketika divonis mengidap kanker payudara, ia dikabarkan bahwa pengobatan yang


dilakukan bisa menyebabkan kuku-kukunya menjadi hitam, kulitnya berkerut, dan mulutnya
kering. Bersama sang suami dia lantas mendatangi apotik membeli inai, lotion pelembut, dan
obat sariawan yang banyak. ―Kan nanti kalau kukunya hitam bisa pakai inai biar gak
kelihatan, kalau kulitnya berkerut bisa pakai lotion, dan mulutnya kering bisa minum obat
sari awan,‖ kata Illiza menjawab suaminya.

Pada akhirnya dia harus menghadapi meja operasi yang memakan waktu hingga 12
jam. Dari mulai mengangkat payudaranya, mengambil kulit perutnya, dan mengimplan-nya.
Sakitnya pasti tak terkira belum lagi rasa takut di hadapan kemungkinan. Tapi Illiza mantap
32
hatinya, dia bahkan membeli seperangkat perlengkapan kematiannya, seperti kain panjang,
dan lainnya.

Tapi dia ingin semuanya sempurna. Tidak mau sedikit pun proses ini ―dikotori‖ hal
yang mengganggu hubungan dengan Tuhannya. Maka ketika dia diberitahu bahwa cairan
infusnya berisi morfhin pereda rasa sakit—ditekan untuk mengalirkan cairan itu ketika sakit
tak tertahankan—ia justru menjadi takut cairan ini mengganggu hubungannya dengan
Tuhannya. Ia bahkan sangat takut, melebihi rasa sakit yang dirasakannya. Sehingga tak sekali
pun ia mengalirkan morphin itu ke dalam darahnya. ―Tak ada rasa sakit,‖ katanya.

Beberapa hari setelah operasi, ia sudah mulai beraktivitas meski masih harus
membawa-bawa kantung darah yang disandangnya serupa tas di bahu. Ia beres-beres rumah,
berbelanja, sampai melayat kerabat dan keluarga. Pernah ia diminta untuk menitipkan ―tas‖
sebelum masuk ke tempat belanja, tapi orang lantas terperanjat begitu mengetahui isinya
adalah darah. ―Toh semua Allah yang mengatur,‖ jawabnya ketika ditanya orang.

Illiza Sa‘aduddin Djamal adalah perempuan 40-an tahun yang kini menjadi Wali Kota
Banda Aceh. Saat menderita kanker, dia masih Wakil Wali Kota Banda Aceh. Ketika
akhirnya Wali Kota Banda Aceh yang lebih dulu meninggal dunia, pemakamannya justru
menggunakan kain panjang dan perlengkapan mayyit milik Illiza.

***

Kisah ini mengingatkan saya tentang kekuatan tekad dan keyakinan yang bisa
mengubah banyak hal. Karena tekad dan keyakinan itu, mereka berubah menjadi orang yang
kuat, bahkan sangat kuat. Kalau kekuatan Khalid bin Walid berasal kerinduannya menjemput
syahid, maka kekuatan Illiza Sa‘aduddin Djamal dari keyakinan bahwa sakitnya akan
membersihkannya dirinya hadapan Allah SWT.

Kalau menjadi kuat adalah kewajiban sekaligus jati diri kemanusiaan. Maka kuatlah
bersama Tuhanmu. Karena selebihnya cuma orang-orang yang mencintai dunianya dengan
sangat.(Vol.605, 29/2/2016)

33
Menyimpan Kunci Surga

Mereka adalah orang-orang yang membagi-bagikan cara untuk mengeluarkan kunci


Surga dari dalam diri setiap orang

Maka bertebaranlah segala kebajikan...

Sunyi, senyap dan diam adalah puncak-puncak dialektika dari proses-proses yang
selalu terjadi. Ketika desingan peluru, dan ledakan bom terhenti dan asap putih bercampur
pasir ditengarai jeritan ketakutan orang Palestina mulai menyirna, yang terjadi adalah sunyi.

Begitu juga ketika gunung merapi bergemuruh, menggetarkan apa saja di


sekelilingnya serta memuntahkan lumpur panas tiada tara, mengaliri jalan-jalan di desa dan
melahap apa saja yang ada. Asap panas membubung di mana-mana, menyengat. Kemudian
pun perlahan sirna, lalu diam. Kehidupan baru terhampar.

Seperti halnya proses kelahiran si buah hati. Mendebarkan, penuh perjuangan.


Tarikan nafas yang menderu dan peluh yang meliputi sang ibu menyiratkan betapa habis-
habisannya dia. Tangisan jabang bayi adalah puncak dari proses ini dan kemudian tenang.

Kalau hari ini kita tengah hura-hura menjelang Pemilu. Hampir tidak ada ruang hidup
yang tidak dipenuhi Pemilu. Nonton TV, dengar radio, keluar ke jalanan sampai ke gang-
gang sempit dan dinding rumah-rumah kita ada Pemilu. Bahkan di majelis-majelis pengajian,
di sana Pemilu juga menunggu.

Itulah proses riak menuju diam. Sebuah proses untuk menyeleksi pemimpin yang
memang akan selalu begitu, diwarnai berbagai nuansa. Berharap pada sebuah kelahiran baru
yang sehat dan selamat, bukan pada yang cacat dan terciderai.

***

Kita tengah mengukir sebuah sejarah. Di dalamnya banyak intrik. Seperti


Machiavelli, melakukan pendekatan yang mekanis terhadap masyarakat yang memisahkan
antara politik dan moral sebagai jalan mempertahankan dan memperoleh kekuasaan. Secara
sadar atau tidak, perilaku politik seperti ini banyak dianut para punggawa politik kita.

Atau dalam versi The Levianthan-nya Hobbes, secara alamiah manusia akan didasari
oleh keinginan-keinginan mekanis sehingga membuat manusia sering berkelahi. Manusia
modern meyebutnya sebagai tindakan yang rasionalis dan bukan suatu yang dogmatis.

Tetapi dengan perilaku seperti ini maka bukan saja mereka yang menganutnya telah
gagal dari awal untuk menjadi aktor utama dalam sebuah peradaban besar. Tetapi secara
sadar telah menempatkan diri memainkan peran antagonis dalam proses peradaban tersebut.
Orang-orang ini adalah orang yang secara sengaja menyimpan kunci Surga yang disediakan
Tuhan dalam dirinya, sampai tidak tahu lagi bagaimana cara mengeluarkannya.

Seperti halnya Hitler yang inginkan perubahan dengan darah puluhan ribuan orang
yang dibantai keganasan perang. Atau seperti Zionis Israel yang mempertahankan

34
kolonialisme di Palestina dengan melakukan pembantaian secara berkala. Inilah yang disebut
dengan kentut sejarah di mana sejarah diukir dengan cara yang salah. Tempat segala limbah
sejarah berkumpul.

***

Padahal...

Seorang pemimpin besar adalah seorang manusia besar yang perjalanan hidupnya
menciptakan sebuah peradaban besar. Manusia besar menciptakan peradaban besar bukan
karena dia punya harta yang banyak ataupun besarnya kekuasaan yang dimiliki.

Tetapi hanya mereka orang yang memiliki ketajaman pikiran, keteguhan hati dan jiwa
serta kuatnya komitmen untuk istiqamah untuk sebuah cita-cita besar. Sebuah cita-cita yang
lahir dan dilandasi oleh teguhnya keyakinan pada sebuah ideologi perjuangan, bukan pada
hal-hal yang bersifat remeh-temeh dan pragmatis.

Orang besar yang menciptakan perubahan adalah orang yang membeli hasil
perjuangan dengan berbagai kenikmatan dan gemerlap hidup dunia. Bukan karena dia tidak
punya alat dalam dirinya untuk enjoy pada berbagai kenikmatan yang menggoda. Bukan pula
karena dia tidak berhasrat untuk itu, tapi karena tujuan hidupnya yang memenuhi dadanya
jauh lebih besar hingga segala kenikmatan menjadi kecil karenanya.

Tidak jarang, pada awalnya mereka adalah orang yang dikucilkan karena dianggap
aneh bahkan gila. Seperti halnya Rasulullah Muhammad SAW yang dianggap gila oleh kaum
kafir. Maka orang-orang yang merintis jalan perubahan dan mendefenisikan dirinya sebagai
orang yang ingin bersumbangsih menciptakan perubahan yang lebih baik untuk orang lain,
adalah orang-orang yang berhati lapang. Mereka punya hati yang lapang untuk mau belajar
dengan siapa saja, manusia pada level apapun. Jiwanya selalu ingin merasakan nikmatnya
kebenaran walaupun dari para pendurhaka sekalipun.

Kematangan jiwanya, keluasan ilmunya, kekuatan pikirannya dan kelembutan hatinya


merupakan kombinasi yang membuat orang yang keras hati sekalipun akan datang kepadanya
untuk duduk bersisian dengannya. Kombinasi ini membuat orang-orang di sekitarnya dan
orang-orang yang bergaul dengannya menjadi luluh hatinya. Mereka adalah orang-orang
yang membagi-bagikan cara untuk mengeluarkan kunci Surga dari dalam diri setiap orang.

35
Orang Hebat

Sejatinya alam raya ini menyediakan seperangkat fasilitas untuk engkau menjadi orang
hebat, siapapun dirimu. Perangkat itu ada di dalam dirimu berupa rasa yang halus
yang sering mengetuk-ngetuk hatimu

Lelaki tua itu bercerita datar saja. Tapi getaran suaranya tak bisa menutupi nuansa
hatinya yang sedang gundah. Ini kisah tentang anaknya. ‗‘Dia dijebak,‘‘ katanya. ‗‘Awak
yang bodoh ini bisanya cuma menerima saja,‘‘ sambung orang tua itu.

Beberapa tahun lalu sang anak membeli beca-nya secara kredit. Melalui sebuah
koperasi yang bekerjasama dengan sebuah bank, akhirnya terwujud-lah niat sang anak punya
beca bakal pencari nafkah untuk keluarganya.

Dengan patuh, setiap bulan kredit dibayarkan kepada koperasi, tinggal dua bulan lagi,
beca itu sah jadi miliknya. Senyumnya siap-siap mengembang; membayangkan uang belanja
bisa lebih cukup, tanggungan kredit akan berakhir, itu artinya beban hidup sehari-hari tak lagi
begitu beratnya.

Senyumnya bertambah lebar ketika orang yang mengaku utusan dari bank
mendatanginya. Orang itu mengajaknya ke bank untuk urusan pengesahan kepemilikan beca
kepadanya. Dengan langkah ringan, diapun mendatangi bank itu.

Tapi apa lacur. Dia menemukan kenyataan berbeda. Orang-orang bank itu ternyata
memaksanya menandatangani sejumlah kewajiban lagi, dan itu berarti masa kreditnya
bertambah setahun lagi. Oh.., rupanya selama ini iuran bulanan yang dibayarkannya tak
disetorkan oleh orang koperasi itu. Jelaslah, dia ditipu dan dikorbankan.

Ya, dia ditipu oleh orang koperasi, dan dikorbankan oleh orang bank itu. Dia ditipu
karena iuran bulanannya diselewengkan, dan dia dikorbankan karena dengan semena-mena
orang bank membuatnya harus bertanggungjawab atas kesalahan yang tak pernah
diperbuatnya.

Keluarga ini. Tak ada yang bisa mereka lakukan untuk membela dirinya kecuali
bercerita ke orang-orang yang dikenalnya. Siapa tahu ada yang bisa dan mau membantu.

***

Setidaknya ada dua jenis perasaan yang menyelimuti orang-orang yang mendengar
keluhan orang tua itu. Pertama, rasa iba atas penderitaan mereka, dan kedua adalah rasa
geram kepada si penipu. Sudah orang susah masih tega-teganya ditipu, kurang ajar benar toh.
‗‘Cocoknya orang seperti itu dibunuh aja,‘‘ kata seorang bapak sambil beranjak pergi.

Dari mana datangnya perasaan-perasaan itu? Pasti dari rasa kemanusiaan yang
berdiam di diri setiap orang dan dari pengalaman-pengalaman hidup yang mengajarkan tidak
enaknya ditipu.

36
Ini adalah bahan bakunya—yang semua orang punya. Tapi uniknya, dengan bahan
baku yang sama itu, orang bisa merespons stimuli yang datang secara berbeda. Kalau bapak
tadi memilih menonjolkan kegeramannya sambil menghentikan memorinya sampai di situ
saja. Tapi beberapa yang lain memilih berempati lebih jauh. Bertanya duduk persoalan sambil
menunjukkan rasa prihatinnya.

Yang lain ada yang mencoba membantu, tapi kemudian merasa kemampuannya tidak
cukup untuk meringankan beban keluarga tadi hingga dia cuma bisa menaruh simpati saja.
Tapi ada di antara mereka yang berniat membantu, merealisasikan kemampuan yang
dimilikinya. Pokoknya berusaha tanpa harus pusing memikirkan berhasil atau tidak.

Dia dengan sengaja memasuki kesulitan orang lain, menyediakan hati dan pikirannya
untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain. Bukan berarti dia sendiri tak
punya kesulitan untuk dipikirkan, bukan. Tapi karena hasratnya untuk membantu orang jauh
lebih besar lagi.

***

Kalau Anda pernah mendengar cerita orang-orang hebat, yang mungkin Anda
kagumi, coba telisik lagi. Simaklah apa yang membuat mereka jadi hebat, digelari pahlawan
atau disematkan kepadanya sebagai manusia teladan.

Apakah karena mereka sering mendapatkan piagam penghargaan, atau karena mereka
bisa jadi pejabat atau karena prestasinya bisa mengumpulkan harta kekayaan melimpah?
Rasanya bukan seperti itu. Karena cerita orang-orang hebat selalu dekat dengan apa yang
mereka lakukan dengan tulus untuk orang lain.

Itulah maqam para orang hebat. Mereka tidak menghadapi setiap kesulitan dalam
hidupnya kecuali dengan bersikap seperlunya. Mereka tak lantas bersikap protektif kepada
semua orang yang belum dikenal. Mereka tak segan mendatangi kesulitan-kesulitan demi
sebuah rasa keadilan bagi orang lain. Tapi ingat, ini tak termasuk ketika Anda membantu
pegadang kecil dengan modal lunak, sambil diam-diam mengharapkan mereka memilihmu
jadi pejabat.

Sejatinya alam raya ini menyediakan seperangkat fasilitas untuk engkau menjadi
orang hebat, siapapun dirimu. Perangkat itu ada di dalam dirimu berupa rasa yang halus yang
sering mengetuk-ngetuk hatimu. Rasa ini cuma perlu dikawinkan dengan kesulitan-kesulitan
orang lain yang ramai di sekelilingmu.(Vol.286, 30/1/2012)

37
Puasa Tentara Thalut

Untuk menghadapi kekuatan besar yang mengancam, Thalut tidak meminta kepada
Tuhan untuk dikirimi seperangkat senjata canggih ataupun sepasukan Malaikat
bersayap. Mereka cuma diminta sabar dan berpendirian

Bukan kali pertama itu saya melihat seorang pembantu rumah tangga sedang mencuci
pakaian. Tapi hari ini imaji saya bermain-main melihatnya bekerja. Pagi itu, senyum si
pembantu sumringah karena melihat sinar Matahari yang garang. Bakalan panas hari ini,
mungkin begitu dia membatin.

Pembantu yang saya ceritakan ini masih menggunakan alat tradisional dalam
mencuci, jadi mohon maaf bagi Anda yang terlanjur sudah punya mesin cuci. Pembantu
itupun dengan semangat merendam pakaian, membilas-bilasnya, memerasnya, membanting-
banting dan menginjak-injak di lantai cucian. Dia juga menyabuni dan mengosok-gosok
pakaian itu. Semakin kotor pakaiannya, semakin khusus treatment yang dilakukannya,
semakin banyak sabun yang dipakai, semakin kuat dia membanting-banting, semakin keras
dia menggosok dan memerasnya.

Akhirnya ia itupun menjemur pakaian itu di tengah sengat teriknya Matahari sehingga
si pakaian ―menjerit-jerit‖ kepanasan. Tentu saja saya tidak bisa bilang kalau orang yang
mencuci itu sedang berlaku kejam kepada si pakaian. Karena yang dilakukannya adalah
membersihkan si pakaian dari kotoran-kotoran.

Si pembantu juga tidak harus mengerti apa yang sesungguhnya ia lakukan karena
tugasnya memisahkan kotoran dari pakaian hingga tidak lagi berbau dan menjadi bersih dan
harum. Yang dia tahu, kehadirannya adalah untuk membersihkan setiap kotoran.

***

Tentu saja, saya sama sekali tidak bermaksud menyamakan Ramadhan dengan
seorang pembantu rumah tangga. Karena Ramadhan adalah bulan suci tempat orang-orang
beriman mensucikan dirinya, meraih ridho Ilahi.

Kita bisa menganggap bahwa Ramadhan memang disediakan untuk itu secara khusus.
Apalagi di dalam Ramadhan itu ada Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Tentu saja ini adalah bonus besar yang disediakan Tuhan bagi siapa saja yang mau.

Ramadhan adalah momentum untuk menghisab diri sebelum dihisab nanti. Kira-kira
kalau hari ini kita diadili oleh Tuhan Yang Maha Adil, lebih banyak baiknya atau lebih
banyak buruknya. Kira-kira kita akan merasa nyaman karena dihantarkan ke dalam surga atau
dicampakkan ke dalam neraka.

Maka Ramadhan itu sama sekali bukan pembantu rumah tangga. Walaupun orang
yang merasa memiliki banyak kesalahan sudah semestinya men-treat dirinya secara khusus di
bulan suci ini dengan memperbanyak ibadah dan berbuat baik untuk mencuci kotoran dalam
dirinya.

38
Caranya adalah dengan menahan diri seperti ketika tentara Thalut yang menyeberangi
sungai saat dikejar-kejar tentara Jalut yang lebih besar jumlahnya. Mereka diuji untuk tidak
meminum air sungai kecuali menceduk seceduk tangan.

Mereka yang tak tahan diuji akan terkapar dan tak sanggup melawan tentara Jalut.
Sementara orang-orang yang beriman di antara mereka, dalam menghadapi pasukan besar itu,
berdoa kepada Allah agar ―dituangkan‖ kesabaran dan dikokohkan pendirian mereka. Dan
Thalut pun mengalahkan Jalut. (Q.S.2: 250-251).

Untuk menghadapi kekuatan besar yang mengancam, Thalut tidak meminta kepada
Tuhan untuk dikirimi seperangkat senjata canggih ataupun sepasukan malaikat bersayap.
Karena untuk menghadapi cobaan yang Anda anggap berat sekalipun resepnya cuma sabar
dan berpendirian.

***

Saya kira kita sepakat satu hal bahwa Ramadhan begini harusnya mengumpulkan
sebanyak-banyaknya ibadah yang bisa dilakukan. Berlomba-lomba berbuat kebaikan demi
akhirat yang dalam bahasa agamanya fastabiqul khoirot.

Orangpun melakukannya dengan banyak cara. Ada yang mengurangi aktifitas yang
kurang baik selama ini, ada yang menambah frekuensi ibadahnya, bahkan ada yang berusaha
memperbaiki ibadah saudaranya yang dianggapnya masih salah dengan menakut-nakutinya
bakal masuk neraka.

Saya yakin Noordin M.Top yang katanya gembong teroris juga punya hajat yang
sama. Mungkin saja dia punya banyak rencana bom karena menurutnya itulah yang benar. Itu
penafsiran kita dan biarlah Allah Yang Maha Adil nanti yang memberitahu sampai di mana
kebenaran kita.

Tetapi setidaknya, meminjam istilah budayawan Emha Ainun Nadjib, Ramadhan ini
tanyakanlah pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makruh, atau malah
manusia haram?

Manusia wajib sangat dirindukan, bermanfaat. Orang sunah, keberadaannya


bermanfaat, tetapi tidak ada rasa kehilangan tanpanya, orang yang mubah berarti ada tidak
adanya nggak ngaruh, orang makruh justru membawa mudharat dan kalau dia tidak ada,
tidak berpengaruh. Sedangkan orang bertipe haram, keberadaannya malah jadi musibah dan
ketiadaannya justru disyukuri.

Karena, jangan-jangan kita termasuk manusia haram sehingga harus kuat-kuat


membersihkan kotoran yang menempel, sebelum kita dibersihkan.

39
Wilayah Kebetulan

Kekuatan besar itulah kekuatan Tuhan yang “memaksa” segala sesuatu tunduk patuh
pada-Nya. Maka keragaman di tataran fiqh yang noneksak adalah sebuah desain yang
sudah jadi. Maka kalaupun engkau benar ketika menebak sesuatu, wilayahmu tetap
pada “kebetulan”

Dia muncul lagi. Seperti tahun lalu, menjelang puasa tahun ini muncul perdebatan
awal Ramadhan. Ada di majlis-majlis, ba’da shalat, ada di ruang rapat, ada di warung-
warung, ada pula di dunia maya. Semuanya seru-seru.

Saya merasa semuanya terlibat dalam perdebatan. Ada yang nyaring ketika berbicara.
Saya tidak tahu apakah memang bawaan lahirnya bersuara nyaring atau dia juga bergembira
menyambut kehadiran bulan suci itu--atau malah sekedar menikmati berdebat.

Kalau tanggal awal Ramadhan yang benar cuma satu, maka sudah pasti yang lain
salah. Nah, untuk mencari siapa yang salah inilah yang membuat perdebatan itu jadi panjang
dan mengasyikkan. Maka kemudian ada yang memvonis, awal Ramadhan harus sama,
seragam, kalau tidak, ―awas‖. Karena kebenaran itu esa seperti halnya Tuhan. Maka
pokoknya harus seragam. Padahal soal seragam ini kita punya pengalaman. Negeri ini pernah
serba seragam dan senada, seperti suara koor dipandu sang komponis. Semuanya tenang,
damai dalam keseragaman itu—tapi tiba-tiba negeri ini nyaris kolaps. Segala sesuatunya
kemudian serba hubar-habir.

Tapi ada juga yang mengajak menerima perbedaan. ―Sudah-lah. Lha wong caranya
sudah beda, ya hasilnya pun beda-lah. Biarin aja, yang penting saling menghargai,‖ begitu
kira-kira ajakannya. Karena kalau cara menentukan awal Ramadhan itu domain-nya fiqh
maka keragaman itu tak akan terhindarkan. Karena domain ini dekat dengan disiplin ilmu
noneksak yang mensyaratkan invalidasi dalam setiap hasilnya.

Jadi kalau Anda menghitung-hitung dengan metode hisab maka ia akan menawarkan
―kepastian‖ invalidasi di sana. Sama halnya ketika engkau men-rukyah dengan melihat wujud
bulan dan menghitung derajat ketinggiannya, ini juga menyimpan invalidasi itu. Ini seperti
membagi 10 ke dalam 3, maka hasilnya tak akan habis 3,33333333.....................

Karena itulah hukumnya, ketetapan itu tak pernah berada di level 0,0000000... tetapi
akan selalu ada ketidaktepatan di ujung sana. Akan selalu ada angka 1, 2, 3 dan sebagainya di
ujung ekor angka nol itu—yang menjadi penanda munculnya penyimpangan. Apa boleh buat,
ini memang sudah levelnya manusia.

Tapi memang tak mudah mengajak orang untuk sepakat, sama tak mudahnya
mengajak orang untuk sekedar menerima perbedaan.

***

Eksotisme Shubuh itu selalu membuat saya terkagum-kagum. Suasana yang sejuk,
satu-satu orang yang lalu-lalang jadi lebih akrab ketimbang ketika hari beranjak siang.

40
Memperhatikan orang mulai membuka pintu, mengawali aktivitas, juga kesenangan yang
misteri.

Semua keindahan ini akan lebih nikmat jika disertai keluarga, pikirku. Tapi memang
tak mudah mengajak orang lain menikmati kesenangan eksklusif ini. Selalu saja ada alasan
anak-ku untuk tidak mengikuti ajakanku secara sukarela. ―Ngantuk yah..,‖ katanya.

Ketika kukisahkan ulang saat-saat indah jalan-jalan pagi Shubuh—sambil mengenang


apa-apa yang kami temui—cuma aku sendiri yang terharu biru. Anak-anak itu bahkan
menunjukkan respons polos yang menyakitkan: ―Gak enak..,‖ kata mereka.

Maka aku sungguh merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Tapi bukan cuma aku
yang begitu, mereka juga merasakan yang sama. Si kecil itu paling suka berselubung selimut
di ranjang, ―pesta bulan‖ katanya.

―Ayah sini.., kita pesta bulan,‖ ajaknya. Di dalam selimut itu sensasinya melayang-
layang. Dia berteriak-teriak, sesekali berbisik-bisik mengajak saya terus berinteraksi
dengannya. Anda tahu, ini sekedar keterpaksaan saya mengikuti ajakannya. Celakanya dia
tau.

―Ayah bangun..,‖ katanya sambil mendekatkan matanya ke mata saya—ketika saya


ketiduran. Anda tentu bisa membayangkan kerepotannya. Ini baru si kecil, belum lagi kakak
dan abangnya, juga ibunya, yang punya hobi beragam pula. Ini baru keluarga kecil kami,
bayangkan betapa luasnya keragaman dalam hidup dalam payung sebuah negara itu.

***

Kalau engkau melintas di tengah hujan, tiba-tiba petir yang menyambar sebatang
pohon menimpa kendaraanmu—dengan cepat engkau akan mengatakan ini kebetulan. Lantas
siapa yang mengatur kebetulan itu?

Atau ketika Pesawat Mandala kebetulan jatuh di Padang Bulan, menimpa orang yang
sedang santai di peraduannya. Kenapa bukan jatuh di Sipiongot atau di laut misalnya. Makna
kata kebetulan ini sejatinya wujud yang menandakan kelemahan manusia merancang segala
sesuatu, istilah Prancisnya Force Majeure (keadaan yang memaksa/kekuatan yang lebih
besar).

Kekuatan besar itulah kekuatan Tuhan yang ―memaksa‖ segala sesuatu tunduk patuh
pada-Nya. Maka keragaman dalam tataran fiqh yang noneksak itu adalah sebuah desain yang
sudah jadi. Maka kalaupun engkau benar dalam metodemu ketika menebak sesuatu,
wilayahmu tetap pada ―kebetulan‖.(Vol.329, 13/7/2012)

41
RUANG TAMU...

42
Ramadhan; Membaca Tanda

Tapi tidak sedikit orang yang merasakan keindahan Ramadhan sekedar di ingatannya.
Kenapa ini bisa terjadi? Karena kemampuannya merasakan indah atas peristiwa yang
dialami telah mengalami proses “abrasi”

Dalam sebuah dialog di hadapan ratusan orang yang ditayangkan media sosial,
Muhammad Ali muda mengatakan, hidup ini adalah ujian bagi jiwa manusia. Hasil ujiannya
ketika setelah mati nanti, apakah ke Surga atau Neraka.

―Jadi apa yang akan kulakukan setelah saya selesai (bertinju). (Karena) aku hanya
produktif selama 16 tahun? Maka aku mempersiapkan diriku untuk bertemu Tuhan, dan
menuju ke tempat yang terbaik (Surga). Kuharap (apa yang kusampaikan) ini masuk akal,‖
kata Ali di ujung ―ceramahnya‖ yang bergaya preman Amerika itu.

Sejak kabar wafatnya Muhammad Ali, video tentangnya menjadi viral di media
sosial. Bagi saya, sekujur cerita hidup Muhammad Ali adalah kisah menarik. Ali adalah nama
yang sudah akrab di kupingku secara aku belajar berjalan. Dari mulai Bapak, tetangga, dan
hampir semua orang dewasa masa itu membicarakan Ali dengan rasa hormat—apalagi di saat
ia bertanding di ring. Saya masih ingat ketika itu kami nonton berombongan di rumah
tetangga.

Belakangan, sejak melihat langsung beberapa statement-nya melalui video, saya lebih
menyukai sosok Ali. Ternyata dia juga humoris, smart, sangat relijius, tapi bergaya
―preman‖.

Tapi yang menarik perhatian saya kini adalah apa yang diucapkan Ali di ujung
―ceramahnya‖ di video itu. I hope that make sense (kuharap ini masuk akal), katanya. Dia
berharap apa yang disampaikannya itu masuk akal bagi orang yang mendengarnya. Apa
maksud sebenarnya?

***

Sebagai istri raja, Zulaikha tentunya cantik menarik. Tapi bahwa Yusuf juga tampan
rupawan, semua orang menyadari itu. Ketika peristiwa itu—Zulaikha bermaksud melakukan
(perbuatan tersebut), dan Yusuf pun punya hasrat yang sama. Sayyid Qutbh dalam tafsirnya
menduga usia Zulaikha saat itu antara 30 sampai 40 tahun, sementara Yusuf pada kisaran 25
tahun.

Jadi Zulaikha tidak cuma cantik menarik, tapi juga matang sempurna. Dan Yusuf
tidak sekedar rupawan, tapi juga pria sejati perkasa. Mereka di ruangan tertutup berdua saja.
Satu-satunya alasan mengapa perbuatan itu tidak terjadi adalah karena Yusuf melihat ―tanda‖
dari Tuhannya. Walaqad hammat bihi wahamma biha lawla an raa burhana rabbihi...
(QS.12: 24)

Tapi tanda apa yang dilihat Yusuf itu? Saya tak ingin mengajak Anda menduga-duga.
Ibnu Jarir juga mengatakan bahwa tanda itu bisa saja berupa sosok Ya‘qub, atau Malaikat
atau tulisan larangan. Tidak ada argumentasi pasti...

43
Tapi saya meyakini semua kita dibekali kemampuan melihat tanda yang sama. Ini
kemampuan yang senyata matamu melihat dan meraba jari tanganmu sendiri—hanya saja ia
lebih halus, lebih sublim—hati dan jiwamu tahu meski matamu tak melihatnya. Ia nyata, tapi
seperti kata orang awak, taraso tapi tak tekecekkan.

Ketika hati dan jiwamu semakin peka, maka semakin nyata tanda-tanda itu terlihat
olehmu. Tapi semakin sering ia kau abaikan, semakin tebal ia terselimuti kesombongamu.
Hingga akhirnya ia tak terlihat sama sekali.

Bukankah Ramadhan itu indah, penuh estetika dan memorable. Ramadhan yang
pernah dialami adalah segala keindahan yang berkumpul jadi satu. Kenanglah saat engkau
malas-malasan dibangunkan emak untuk sahur, suara sirine penanda imsak, saat berebut
makanan tadarusan di masjid, atau saat-saat menanti berbuka di antara teman dan keluarga.

Lantas apakah Ramadhan saat ini terasa indah? Semoga ya, tapi tidak sedikit orang
yang merasakan keindahan Ramadhan sekedar di ingatannya. Kenapa ini bisa terjadi? Karena
kemampuannya merasakan indah atas peristiwa yang dialami telah mengalami proses
―abrasi‖.

***

Jadi mengapa Muhammad Ali perlu berharap ceramahnya bisa diterima akal? Anda
tahu, di dunia Barat itu dikenal apa yang disebut dengan logika formal (formal logic). Ada
formasi silogisme Aristoteles yang belakangan dikembangkan sedemikian rupa. Tujuannya
tidak lain untuk menemukan kebenaran melalui proses berpikir.

Ada juga pendekatan ilmiah secara empirik, dengan prinsip ilmu pengatahuan yang
logico-hypothetico-verification (logis-terprediksi-terverifikasi). Maka semua kebenaran itu
harus ―bersifat induktif‖ atau melalui proses ―berpikir dengan akal‖. Peradaban ini tidak
mengenal ―berpikir dengan hati‖.

Dengan cara berpikir seperti inilah kemudian—di zaman post modern—mereka


memasuki masa tidak lagi mencari kebenaran, tapi malah mempertanyakan kebenaran. Maka
ketika Muhammad Ali menyampaikan ―kebenaran deduktif‖ yang mutlak—seraya berharap
bisa masuk akal, sesungguhnya dia sedang mengajak orang berpikir dengan hati, fatakuuna
lahum quluubun ya'qiluunabih... (QS.22: 46)

Ya, Muhammad Ali bagi saya ―melihat tanda‖ itu dari Tuhannya. Sungguh ia sesuatu
yang bisa diajarkan dan dilatih, tapi sulit sekali diceritakan.(Vol.626, 6/6/2016)

44
Energi Puasa

...meyakini energi Mahatinggi sebagai sumber kekuatan adalah keharusan spiritualitas,


dan itulah puasa

Ketika bertemu seorang teman sekolah di Jakarta kemarin, dia bercerita tentang
pekerjaannya. Teman satu ini kelihatan sukses dengan karirnya. Oleh bosnya dia
ditugaskan menangani pajak perusahaan mereka, menghitung, bernegosiasi, dan membayar
kepada petugas pemungut pajak.

Sejak dulu saya tahu ia anak pintar. Untuk urusan hitung-hitungan akuntansi yang
rumit, ia jagonya. Kolom adjusment dibuku besar yang selalu buat pusing saya, baginya
seperti makan kripik: renyah. Tapi soal negosiasi, yang saya tahu sejak dulu ia orang yang tak
terlalu pandai berdiplomasi. Pikirannya sangat eksak, hingga rigit dan sulit elastis.

Tapi negosiasi yang dimaksudnya bukan negosiasi sebagaimana membeli pesawat


tempur F16, atau dalam jual beli Indosat. Ini sekedar kewajiban yang harus dipenuhi. Tinggal
lagi, jumlahnya yang bisa disepakati ulang. Kedua pihak sebenarnya sudah sepakat,
karenanya ini bukan jenis negosiasi yang rumit.

Dengan lancar dia menceritakan bahwa kepada petugas pajak, mereka sering
―kerjasama‖ untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar. Sebagian uang pajak itu
―dialihkan‖ kepada si petugas, tapi dengan mengurangi total pajak yang disetorkan. Ceritanya
kira-kira seperti kasus Gayus Tambunan yang kesohor itu. Waktu itu si kawan sedang tidak
puasa.

***

Tatkala kantor dan percetakan Harian Waspada terbakar pada 13 April 1983, esok
harinya koran ini tetap terbit. Bagi para awak media dan pembaca, musibah kebakaran ini
saja sudah jadi kabar mengejutkan. Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah tetap
terbitnya Waspada keesokkan harinya.

Waktu itu saya masih terlalu kecil untuk mengerti tentang cerita ini, tapi hari ini saya
merekonstruksi peristiwa panik dan histerisnya para karyawan waktu itu. Dari dokumentasi
yang ada, saya tahu, karena api dan asap yang memenuhi ruangan, sebagian karyawan harus
keluar bahkan melompat dari jendela lantai atas. Saya bisa bayangkan bagaimana shock,
letih, juga berantakannya kondisi kantor. Tapi segala hingar bingar ditambah percetakan yang
masih manual, tak menghalangi terbitnya harian ini esok harinya.

Almh.Hj.Ani Idrus yang jadi Pemimpin Redaksi (Pemred) punya keyakinan


bahwa Waspada bisa tetap terbit besok. Ini tentu bukan hal yang sederhana. Saya coba
membayangkan bagaimana almarhumah mempertahankan ketenangannya dalam kondisi
yang serba kacau. Dengan ketenangan inilah kemudian memunculkan energi kuat hingga
langkah mantap bisa diambil. Nyatanya Harian Waspada tidak saja bisa survive, tetapi kurang
setahun setelahnya, 11 Januari 1984 malah bisa membeli mesin cetak baru.

45
Lantas dari mana sumber keyakinan itu? Tidak lain dari sumber energi paling tinggi.
Inilah energi yang didatangkan oleh keyakinan kuat dalam diri. Energi seperti inilah yang
sanggup mengubah lahan tandus menjadi taman-taman indah, dan menyulap gurun menjadi
kota berperadaban. Itulah keyakinan, sebuah sikap percaya pada sesuatu yang bahkan belum
pernah dilihat. Ini juga esensi laku puasa.

***

I'm gonna make him an offer he can't refuse, kata Don Carleone, bos mafia Italia yang
melegenda itu. Ucapannya ini menjadi khas Carleone, karena memang setiap tawaran yang
diberikannya kepada orang lain karena dua alasan: keharusan keadilan, dan ancaman.

Cerita yang berasal dari novel kisah nyata ini, menggambarkan sosok Carleone
sebagai karakter dingin dan kejam, meski mesra dengan keluarganya. A man who doesn't
spend time with his family can never be a real man, kata Carleone. Ia berjiwa melankolis
sebenarnya, tapi ia harus menjadi seorang Don ketika hukum tak lagi berarti keadilan,
dan selalu bermakna kepentingan. Si Don ini, mirip-mirip Kang Bahar dalam sinetron
Preman Pensiun.

Iklim hukum yang timpang itulah yang membuat Carleone muda memutuskan
menciptakan keadilannya sendiri.Walaupun itu berarti dia harus membunuh, mengemplang
pajak dan melakukan apapun di luar aturan hukum. Terhadap hukum yang cacat, dia
melakukan pemberontakkan dengan cara ekstrem. Dan jadilah dia seorang Don.

Tapi itu dulu ketika bisnisnya baru mau menanjak, karena ketika sudah besar dan
kuat, Carleone senior justru membersihkan satu per satu bisnis kotornya. Dia juga membayar
pajak sebagai wujud kepatuhannya pada hukum.

Pajak yang dibayarnya ini bukan tanpa alasan. Ia meyakini, sekuat dan sehebat
apapun, dia tidak akan pernah lebih besar dari hukum. Suatu saat hukum akan menggilasnya
jika berada pada posisi berhadap-hadapan. Don Carleone tahu bahwa orang yang besar adalah
orang yang menjalankan kewajibannya, dan siapapun yang menghindari kewajiban, maka
takdirnya hanya menjadi kecil. Tentu saja saya tidak mengatakan Carleone berpuasa, tapi
meyakini energi Mahatinggi sebagai sumber kekuatan adalah keharusan spiritualitas, dan
itulah puasa.(Vol.580, 25/6/2015)

46
Getar Lebaran

Keseimbangan harus senantiasa ada. Karena setiap kali ia tak ada, maka akan ada
bagian-bagian diri yang mati

Salah satu keunikan Lebaran, kata presenter TV itu, adalah makanannya. Ada
lontong, ketupat, opor dll. ―Saya paling suka makan terasi (belacan) saat Lebaran. Nikmat
sekali,‖ presenter kedua menimpali. ―Iiiihhh.., kamu ya, cantik-cantik suka terasi (belacan),‖
sambar presenter pertama tadi.

Saya terkesiap. Sebagai penikmat sambal belacan, saya langsung tersinggung dengan
presenter itu. Enak saja dia mengidentikkan sambal belacan dengan udik, jelek dan murahan.
Apa dia pikir kalau orang maka pizza bisa langsung cantik, tampan dan kaya raya gitu?
Beugh.., bahkan Dian Ayu, presenter cantik itu cuma kasih satu syarat ketika dilamar Omes:
Biarkan aku makan jengkol.

Untungnya saya sedang bahagia karena Lebaran tiba. Kalau tidak, orang yang
menghina belacan itu bakal saya tuntut, bila perlu sampai kasasi ke Mahkamah Agung. Dia
tidak tahu, soal estetika; Lebaran adalah puncak-puncak dari rasa itu. Kalau selama
Ramadhan ada sahur, taraweh, shalat Shubuh dan berbuka bersama yang menawarkan
keindahan-keindahan, maka di Lebaran ia terakumulasi. Ada suara gema takbiran, pagi hari
orang berduyun-duyun menuju masjid, saling memaafkan, sarapan bersama dan seterusnya.
Suasana ini bisa melunakkan hati yang keras, dan mereduksi kesombongan-kesombongan.

Saat shalat ‗id, ada juga yang khas. Itulah koran bekas. Biasanya mereka yang shalat
di lapangan ataupun di halaman masjid akan berbekal koran bekas dari rumah. Koran-koran
itu akan membentuk gunungan sampah ketika usai shalat—cuma karena si empunya tak
berniat membersihkan sampahnya sendiri.

Begitulah adanya. Di tengah keindahan-keindahan yang mengepung itu, di tengah


ibadah mengharap pahala, kita memang terbiasa berbuat dosa. Ini kemenangan struktural di
tengah kekalahan personal.

***

Seperti halnya manusia, anatomi hidup media massa juga bisa dibagi dua. Itulah
antara tanggungjawab sosial dengan orientasinya pada profit, antara idealisme dengan
kebutuhan, dan antara harapan dan kenyataan. Keduanya harus ada dan saling seimbang.

Media yang hanya punya tanggung jawab sosial dan harapan ideal, akan terjebak laku
zuhud media. Ia secara alamiah akan membatasi hidupnya hingga akan terbonsai sedemikian
rupa. Peluangnya untuk menjadi besar dan berpengaruh pun menjadi tertutup. Bahkan tidak
jarang media itu ―mati muda‖ karena tak sanggup mencukupi kebutuhan nutrisinya sendiri.

Sebaliknya media yang hanya punya kencederungan terhadap kenyataan-kenyataan


akan kebutuhan dan profitnya melulu, dia akan segera berhadapan dengan khalayaknya
sendiri. Ini proses kapitalisasi namanya. Jika ini terus berlanjut maka dia juga akan
menghadapi ancaman kematian pelan-pelan.

47
Tapi sebelum sampai ke sana, ada proses yang berlangsung lebih dahulu. Kalau yang
ini disebut kekalahan struktural di tengah kemenangan-kemenangan personal. Maksudnya
begini, momen Ramadhan dan Lebaran misalnya, kalau ada acara sahur yang ditayangkan
langsung sambil jingkrak-jingkrak, maka dengan cepat kesimpulannya adalah: logika profit.

Kalau TV mau banyak iklan dalam program siarannya, maka tayangkanlah yang
menarik perhatian persis saat orang sedang sahur. Dan karena yang heboh itu adalah yang
menarik, maka heboh-lah yang mendominasi program siaran TV itu—meski dia juga sekelas
junk programme.

Lebaran pun begitu. Karena kesyahduan takbiran tak menggoda pemasang iklan,
maka ia tak jadi pilihan. Dalam orientasi seperti ini, estetika dan getaran Lebaran itu tak
pernah jadi pertimbangan sepanjang ia tak berkorelasi dengan profit. Inilah kekalahan
struktural itu. Maka engkau yang hatinya merindukan estetika dan getaran tapi dan tak
menemukan di tayangan TV maka sesungguhnya engkau sedang mengalami kemenangan
personal.

***

Lebaran kali ini, orientasi keseimbangan tayangan TV itu dipertanyakan. Tak ada
takbiran yang menggugah, tak muncul tayangan yang memaksa orang merenungkan, tak
terbentuk nuansa yang membuat getaran hati itu. Padahal, bandit sekalipun, kalau dikepung
nuansa keindahan, akan meresonansi hatinya.

Sejatinya ini adalah bentuk pengingkaran terhadap kebutuhan khalayak. Anda tahu,
kalau selama ini pesan dan ajakan untuk bergumul dengan keindahan itu cuma terbenam di
benakmu—suatu saat ia pasti akan mendesak keluar—dan Lebaran sering menjadi
momennya. Maka di saat ini sebenarnya Anda paling berkepentingan untuk merasakan
visualisasi keindahan itu melalui tampilan media TV—yang setiap hari Anda pelototi itu.

Kalau nyatanya TV cuma punya orientasi profit—di tengah seringai kapitalisme,


maka sadarilah kekalahan struktural itu. Padahal, keseimbangan harus senantiasa ada. Karena
setiap kali ia tak ada, maka akan ada bagian-bagian diri yang mati.(Vol.436, 12/8/2013)

48
Idul Fitri; Kebahagian Kalkulatif

Bahagia saat Idul Fitri juga keajaiban. Dia adalah sebuah situasi yang disusun dari
rangkaian peristiwa sebelumnya; sabar yang dipersiapkan, amarah yang dikelola, dan
dengan ketekunan pada perintah

Langit ba’da Shubuh itu berpedar-pedar bintang di sela awan. Bulan masih mengintip
di atas sana. Hujan semalam meninggalkan udara sejuk yang segar. Saya menghentikan
langkah, memejam sambil menarik nafas panjang, dan mengeluarkannya perlahan-lahan.
Saya sarankan Anda juga melakukan hal yang sama, supaya mendapatkan sensasinya.

Tapi Ramadhan sudah di ujung. Di keremangan jalanan sepi depan masjid itu,
beberapa anak berlarian riang. Saya tahu mereka sedang bahagia sekali. Ini kebahagiaan yang
akan dirawat hatinya sampai kelak mereka dewasa. Jelang Idul Fitri, anak-anak memang
pihak yang paling ekspresif. Ini masanya ketika makna bahagia adalah hal sederhana;
sepanjang dapat uang jajan dan pakaian baru.

Tapi tidak begitu dengan orang dewasa. Hanya untuk sampai level gembira saja, bisa
berupa mobil baru, jabatan tinggi, uang melimpah, bahkan gembira juga bisa berarti
celakanya orang lain. Idul Fitri tak selalu bermakna gembira. Di tengah senyum sumringah
orang-orang bersarung berbaju koko, akan ada yang berujar sinis. ―Lebaran gini-gini aja dari
tahun ke tahun.‖

Mereka tidak tahu, bahagia dan Idul Fitri itu adalah dua dimensi berbeda. Kalau
gembira adalah mekanisme internal seseorang, maka Idul Fitri adalah faktor eksternal. Untuk
gembira orang harus melalui proses mekanisme internalnya, dan Idul Fitri adalah
momentumnya. Allah SWTsengaja menyediakan momentum ini bagi siapa yang
menyempurnakan mekanisme internalnya.

***

Suatu ketika sepeda yang kubawa ―mogok di jalan. Ban depannya mendadak ngadat
tak mau berputar. Aku langsung lemas karena dua alasan. Pertama, aku tak punya keahlian
untuk urusan mekanik, tak terkecuali sesederhana sepeda. Kedua, saat itu tidak banyak
bengkel sepeda, kalau pun ada tempatnya jauh, dan kalaupun bisa dicapai uangku belum
tentu cukup.

Kekhawatiran pertamaku langsung terjawab ketika mencoba mengutak-atik ban itu.


Entah bagaimana ceritanya, ban itu malah lepas dari sangkarnya. Maka terbayanglah
kemudian menyorong sepeda dengan satu tangan, sambil tangan lainnya mengangkat ban
depan. Aku harus menyusuri jalanan berkilo-kilo meter yang waktu itu masih banyak yang
gelap tanpa penerangan. Apa boleh buat, tak ada pilihan lain.

Tapi sebelum penderitaan itu benar-benar harus kulalui, sebuah suara menyapaku.
Senyumnya melebar dengan rambut kritingnya yang masih kuingat. Dia teman sekelasku di
SMP. Namanya Ambarawa, kami biasa memanggilnya Ambar. Namanya sesuai obsesinya
jadi tentara. Aku tak lagi pernah bertemu dia, kabarnya ia sudah sampai pada cita-citanya itu.

49
Melihat kesulitanku, dia langsung bertindak. Aku baru tahu rupanya rumahnya tak
jauh dari titik mogok sepedaku. Dia bergegas mengambil beberapa kunci dan dengan
terampil memperbaiki tuntas sepedaku itu. Dia juga berbaik hati menjelaskan mengapa
sampai sepeda itu rusak. Meski ini penjelasan yang tak pernah aku mengerti.

Saya menatapnya dengan terima kasih yang tak pernah berhenti hingga kini.
Rusaknya sepeda ini, dan lokasi tempat ia rusak, bukan suatu yang kupilih. Tapi di situ pula
aku harus mengalami semuanya—tempat di mana Ambar sedang berada, dengan niat
membantu pula.

Seandainya di titik mogok itu rumah Ambar jauh, mungkin akan lain ceritanya.
Bilapun rumahnya dekat tapi kalau dia sedang tidak berada di sana, aku tetap akan
mengalami derita itu. Dan kalaupun Ambar di sana tapi tak punya niat membantu, jadinya
juga akan percuma. Jikapun dia ingin membantu tapi tak punya keahlian tentang sepeda,
sama saja namanya. Dan meskipun dia punya keahlian tapi tak punya peralatan sepeda, ia
juga tidak bisa berbuat banyak.

Kenyataannya, rumah Ambar sedekat itu, dan dia sedang berada di sana, dengan hati
tulus ingin membantu pula, serta punya keahlian memperbaiki sepeda, dan punya alat
perlengkapan sepeda. Seperangkat syarat itu berkumpul semua dalam dirinya hingga
keluarlah aku dari derita. Mekanisme internal dalam diri Ambar berpadupadan dengan
momen mogoknya sepedaku. Ini sungguh keajaiban kalkulatif yang sangat presisi.

***

Bahagia saat Idul Fitri juga keajaiban. Dia adalah sebuah situasi yang disusun dari
rangkaian peristiwa sebelumnya; sabar yang dipersiapkan, amarah yang dikelola, dan dengan
ketekunan pada perintah. Puncak kebahagiaan itu adalah silaturahmi—pertemuan di antara
orang-orang yang bersukacita itu. Maka anjuran berbahagia saat Idul Fitri itu adalah juga
keajaiban kalkulatif yang menuntut tingkat presisi yang tinggi.

Tapi ini sukacita yang limited edition. Karena di tengah ―pesta‖ engkau sudah
disarankan untuk mengulang dan menyempurnakan ketekunan itu lagi dengan puasa enam.
Allah seolah menginginkan engkau menabung kebahagiaanmu. Jangan boros. Maka
gembiralah, bahagialah jika Idul Fitri tiba. Aku berdoa untuk kebahagiaanmu. Karena engkau
harus khawatir kalau hatimu tak kunjung gembira.(Vol.586, 16/7/2015)

50
Kesan Lebaran

Kesan indah Lebaran juga begitu, jika bersabar menetapi syarat-syaratnya, siap tahu
Anda benar-benar menemukan keindahan-keindahan sekaligus bonusnya

Untuk menjelaskan mengapa ribuan orang tega mendatangi rumah Jusuf Kalla (JK)
hingga dua orang tewas, saya kira cukup menggunakan motif ekonomi-politik. Orang-orang
itu rela menempuh perjalanan jauh dan berjejal-jejal di tengah lautan manusia—menghadapi
risiko bau keringat itu pasti, terhimpit, dipukuli petugas, sampai terinjak-injak itu lain lagi.

Tapi resiko itu tak menyurutkan seorang bapak yang ―gagah berani‖ berdesakan
sambil menggendong anak kecilnya. Semuanya demi lembaran rupiah dari JK, dan kalau pun
ada alasan ingin bertemu orangtua berperawakan kecil berkumis tipis itu—sebut saja itu
alasan politis.

Tapi untuk menjelaskan orang mudik Lebaran ke kampung halaman, tak cukup ilmu
ekonomi-politik, bahkan antropologis, sosiologis, dan pendekatan budaya saja. Karena
melihat kepatuhan kolektif jutaan manusia yang seolah diperintah suatu kekuatan amat
dashat, rasanya ia juga perlu didekati dengan cara ghaib.

Betapa tidak, jika naluri masyarakat modern cenderung di-drive motif ekonomi, maka
mudik itu antitesisnya. Orang justru suka cita menghabiskan uang yang selama ini
dikumpulkannya. Belum lagi soal berdesakan di stasiun dan berjam-jam sepanjang
perjalanan. Terjebak macat telah jadi rutinitas tahunan, dan resiko kecelakaan pun seolah jadi
syarat. Semua kesulitan yang melalui keringat dan bahkan darah ini hanya untuk
menghabiskan beberapa hari di kampung halaman.

Lantas ada apa di kampung halaman? Ia bukan sekedar aktivitas silaturahmi, bukan
cuma momentum Lebaran, tapi ia adalah kesan akan keindahan. Kesan inilah yang
menggerakkan jutaan orang itu, ia pula yang menimbulkan kepatuhan kolektif yang hampir
tak ada yang bisa menyamainya. Kesan ini tersublimasi di lipatan hati yang dalam, dia
tersimpan rapih di sana, dan akan muncul hanya bila saatnya tiba.

***

Dalam tataran public opinion, pesan adalah informasi yang kita terima, dan peristiwa
yang kita alami. Akumulasi pesan inilah yang kemudian membentuk suatu kesan dalam
benak kita. Informasi dan peristiwa ini tak mesti seluruhnya indah, tetapi ia bisa membentuk
menjadi kesan yang indah, begitu juga sebaliknya.

Jadi, sejatinya peristiwa Lebaran itu sejajar dengan peristiwa lainnya, tapi kesan yang
ditangkap oleh kitalah yang membuatnya menjadi indah. Dan ini yang ajaib, kesan itu
ditangkap oleh pada umumnya kita. Ini yang saya maksud perlu pendekatan ghaib untuk
menjelaskannya.

Saya misalnya, masih bisa dengan jelas membayangkan saat dulu berjalan
berbondong-bondong dengan jamaah lain usai shalat ‗Ied—sepanjang jalan melihat rumah-
rumah warga memulai kesibukan Lebarannya, melihat teman yang sudah lebih dulu

51
berlebaran dengan baju barunya sambil menghembus mainan balonnya. Atau ketika kami
berkejaran main pistol-pistolan yang dibeli dari uang THR.

Semua memori itu sebenarnya peristiwa biasa saja, namun ia terlanjur jadi kesan yang
indah dalam benak saya. Maka setiap kali berjalan usai shalat ‗Ied saya membayangkan
bahkan merasakan keindahan yang mirip, melihat anak-anak pake baju baru saya gembira
luar biasa, dan melihat mereka bermain sambil memamerkan THR-nya saya seperti mencium
bau Surga.

Tapi bukan tanpa bias, karena selalu ada jarak antara kesan yang tersublimasi dengan
realitas yang dialami. Maka jangan heran kalau Anda merasakan Lebaran ini tak seindah
dulu. ―Lebaran ya gini-gini aja,‖ kata seorang ibu. Ucapan seperti ini sebenarnya dengan
tegas hendak menyatakan bahwa ia punya kesan yang indah tentang Lebaran, tapi ia tak
menemukannnya saat ini. Keindahan itu seperti jauh di sana, dan di sini hanya ada rutinitas
belaka.

***

Anda seperti halnya saya, sesungguhnya tak terlepas dari kesan yang ditangkap orang
lain. Keberadaan kita membentuk akumulasi perilaku, sikap melalui berbagai cara; melalui
pergaulan, dan percakapan sehari-hari, melalui status di media sosial, dan seterusnya.
Perlahan, keseluruhan perilaku dan sikap tersebut akan membentuk kesan bagi orang lain
terhadap kita.

Di beberapa pertemuan, saya dikesankan sebagai orang pintar, di kesempatan lain


sebagai anak kemarin sore atau sebagai pelengkap penderita saja. Padahal saya tahu benar,
saya bukan orang yang pintar-pintar amat, bukan pula baru kemarin sore hadir apalagi
sekedar pelengkap penderita. Tapi dibanding dua kesan terakhir—meski separuh malu, saya
lebih suka dikesankan pintar—karena di dalam kesan itu ada keterpaksaan untuk menjadi
pintar.

Karenanya segala syarat untuk sampai ke sana harus saya tekuni; banyak membaca,
dan mengaktifkan nalar di setiap kesempatan. Awalnya terpaksa, tapi lama kelamaan saya
mulai menikmatinya—walau untuk sampai pada maqam menikmati itu ada masanya bosan
datang. Tapi dengan menetapi kebosanan itulah syarat realitas kesan itu hanya mungkin
didekati. Kesan indah Lebaran juga begitu, jika bersabar menetapi syarat-syaratnya, siap tahu
Anda benar-benar menemukan keindahan-keindahan sekaligus bonusnya.(Vol.487, 4/8/2014)

52
Kiriman SMS Itu

Hal jazaa 'ul ihsaani illal ihsaan, Tuhan memang telah berjanji bahwa tidak ada
balasan kebaikan selain kebaikan pula. Tapi rasakanlah, kualitas kebaikan yang kita
terima sebagai balasan itu jauh lebih besar dari yang kita lakukan

Galibnya kemudahan, dia akan berpasangan dengan kesulitan, seperti halnya


kebahagiaan itu akan menggandeng kesusahan. Memang.

Tapi jika engkau melanjutkan pikiranmu, maka engkau akan mendapati bahwa
pengalaman kemudahan-kesulitan dan kebahagiaan-kesusahan itu cuma dibuat agar engkau
punya ketrampilan memperbesar kemudahan dan kebahagiaanmu.

Setidaknya dari teknologi HP saya belajar tentang ini. Engkau tahu, saat-saat
menjelang lebaran, SMS ramai berseliweran di alam maya. Setiap kali nada dering SMS
masuk, engkau mungkin akan tersanjung membacanya.

Kebahagiaan itu dikirim oleh saudaramu yang mencintaimu, melalui SMS dengan
untaian kata-kata indah dan menawan hati. Karena engkaupun mencintai mereka, maka
dengan bahagia engkaupun mengirim SMS balasan itu. Engkau merasa praktis dan
dipermudah oleh teknologi HP itu, hanya cukup pencet-pencet keypad, ucapanmu salamu
sampai dalam sekejab kepada saudaramu di sebelah rumah maupun yang berada di ujung
benua.

Maka setiap kali nada dering SMS itu masuk, setiap kali pula engkau akan sibuk
membalasnya—sampai kemudian secara perlahan kemudahan yang engkau rasakan tadi
berubah menjadi kesulitan membalas begitu banyak SMS. Dan kebahagiaan menerima SMS
sanjungan saudaramu itu berubah menjadi kesusahan karena hatimu telah kebas menerima
SMS bernada sama.

***

Maka menjelang lebaran tahun ini, saya ganti strategi. SMS itu saya kirim secara
bersamaan kepada hampir semua nama-nama yang terekam di dalam HP-ku. Saya sudah
mengirim sebelum banyak orang yang mengirim SMS lebaran ke HP ku.

Engkau tahu, semua nama-nama dalam HP itu adalah nama-nama yang aku cintai,
tapi tidak banyak dari mereka yang menyadarinya. Ada juga orang-orang yang sudah lama
tidak pernah bertemu atau bertegur sapa. Bahkan di sana ada orang-orang yang sangat
mencintai materi sehingga untuk itu tak apa baginya untuk saling membenci.

Pendek kata, nama-nama di dalam HP ku ini berisi orang-orang yang bervariasi. Saya
teringat lagu Sleeping Child dari ―Michael Learn To Rock‖: ...the world's so wild but you've
build your own paradise (dunia itu penuh intrik liar, tapi engkau membangun surgamu
sendiri).

53
Maka saya tutup mata, telinga dan memori. SMS itu saya kirim secara bersamaan ke
ratusan orang dengan penuh cinta. Saya sedang menjadi seorang anak yang sedang
membangun surganya sendiri.

***

Tidak semua yang membalas SMS itu, saya tahu ada yang HP-nya tak aktif lagi, ada
yang sudah ganti nomor, ada yang kehabisan pulsa. Ada pula yang karena cintanya tak
hendak untuk membalas. Risiko saling mencintai memang begitu, dia tak rela dimadu. Maka
untuk yang jenis ini engkau harus bisa mengirim SMS secara khusus.

Selebihnya, adalah SMS balasan yang sepanjang beberapa hari masuk ke HP-ku.
Setiap kali membacanya setiap kali pula ia memekarkan hatiku. Kubiarkan saja dia begitu,
karena aku telah mengizinkan hatiku untuk merasakan bahagia.

Apalagi ketika SMS dari teman-teman non muslim yang bernada lembut membelai-
belai. Atau ketika di antara SMS itu ada namaku di sana, maka akau semakin tak kuat
menahan godaan untuk tidak bahagia.

Maka ketika nada SMS itu berpantun ria jenaka, ada pula yang mengutip ayat-ayat,
ada yang sekedar mengucapkan minal aidin walfaizin ataupun yang berisi doa-doa kepadaku,
semuanya kusambut dengan rasa riang gembira luar biasa.

Bahkan ada yang bernada mengklarifikasi, bahwa maaf memaafkan di hari lebaran ini
adalah budaya yang cuma ada di negeri ini, atau yang menyambut ucapan selamat dengan
kata yang singkat ―sama-sama‖. SMS seperti inipun tak mengurangi kebahagiaanku karena
hari itu tak ada tempat bagi luka di hati.

Mahatma Gandhi pun tahu itu ketika dia bilang: Tak seorangpun bisa menyakitiku
tanpa seizinku. Bahkan hatiku semakin mekar saja, dia melambung tinggi, ukurannya
melebihi besaran jasadku.

Itu semua cuma karena sebaris kalimat yang kukirim melalui HP-ku kepada nama-
nama yang tertera di sana. Hanya dengan tindakan praktis, kecil seperti itu aku kemudian
menemukan kebahagiaan, mendapatkan cinta saudara-saudaraku dengan kualitas yang tak
pernah aku duga sebelumnya.

Hal jazaa 'ul ihsaani illal ihsaan, Tuhan memang telah berjanji bahwa tidak ada
balasan kebaikan selain kebaikan pula. Tapi rasakanlah, kualitas kebaikan yang kita terima
sebagai balasan itu jauh lebih besar dari yang kita lakukan.(Vol.247, 5/9/2011)

54
Presisi Idul Fitri

Begitulah bersikap Idul Fitri itu, dia presisi wajar. Tdak berlebihan, tidak juga kurang.
Dia adalah suatu kondisi menyisihkan sikap tidak perlu dan mengumpulkan segenap
energi untuk tujuan prioritas saja. Kalau Ramadhan adalah waktunya menyeleksi,
maka Idul Fitri adalah hasil saringan itu

Setiap kali Idul Fitri datang, selalu saja ada perasaan yang menghampiri. Tapi
maafkan saya, karena tidak ada pilihan kata yang paling sesuai untuk menggambarkan
perasaan itu kepada Anda.

Saya seperti merasakan suatu masa yang sangat indah, entah kapan dan di mana. Tapi
sekujur diri saya terus berlari-lari mencoba kembali ke masa itu dengan segala cara. Rasa itu
menyelip di antara takbir di masjid, atau ketika mendengar gema takbir itu dari kejauhan. Dia
juga melintas di antara orang yang berkopiah bersorban ataupun mengenakan mukena
berjalan beriringan ke masjid di pagi yang masih muda.

Di jalanan yang sepi itu saya juga seperti melihatnya datang, tapi cuma sekejap saja.
Di antara tamu yang datang bertandang, atau ketika mengunjungi sanak keluarga. Rasa itu
seperti menguntit diam-diam.

Bahkan ketika menulis kolom ini, dia seperti datang, tapi langsung pergi lagi. Ahh...

***

Ketika menciptakan tanah Pasundan, kata Martinus Anton Wesel Brouwer, tuhan
sedang tersenyum. Tapi saya tidak yakin, tuhan mana yang sedang diserunya—benarkah dia
sedang melihat wajah tuhan saat itu? Maka saya jadi tak begitu paham, apakah saat menulis
kalimatnya, orang Belanda ini sedang serius atau tengah becanda.

Memang, negeri ini sungguh luar biasa. Di Lebaran seperti ini misalnya, kita
bergelimang maaf yang melimpah. Seperti kata budayawan Prie GS, Indonesia tanpa perlu
membuat cadangan permintaan maaf khusus, sudah banyak peredaran maaf secara
kebudayaan.

Secara politik kita ini pemaaf, secara sosial, secara personal apalagi. Jadi kalau Anda
seorang pejabat, kemudian terbukti korupsi memakan uang rakyat, Anda bisa tetap menjadi
―primadona‖. Anda boleh tetap merasa terhormat, didengar kata-katanya.

Anda juga bisa sembarang berkendaraan di jalan raya, semborono, melanggar lampu
merah, ataupun parkir sembarang. Anda tak perlu merasa berdosa melanggar hak-hak orang.
Karena semua pengendara juga begitu. Ini salah satu wujud maaf yang bergelimangan itu.

Maka kalau Anda seorang bankir dengan kerugian miliaran bahkan triliunan rupiah,
Anda bisa merasa tenteram meskipun tak sanggup bayar kerugian itu. Karena akan ada
moratorium, ada penjamin pembayar lunas hutang-hutangmu.

55
Wajarkah ini? Atau merupakan jenis penyakit yang cuma dengan diam-diam kita
menyadarinya? Hah, penyakit??? Tapi siapa yang bilang begitu?

Coba bandingkan ketika Ummu Salamah menjawab enteng pertanyaan heran Anas
bin Malik—Rasulullah akan langsung mencium Aisyah setiap kali menemuinya, tapi tak
begitu ketika bertemu Ummu Salamah.

―Rasulullah SAW tidak dapat menahan diri ketika melihat Aisyah,‖ katanya seolah
tanpa beban. Dia seperti menyatakan sebuah fakta tanpa interest. Bahwa itulah fakta yang
terjadi, dan dia bahkan tidak memilih tegar untuk menyikapinya. Dia hanya bersikap yang
secara presisi wajar.

Begitulah bersikap Idul Fitri itu, dia presisi wajar. Dia tidak berlebihan, tidak juga
kurang. Dia adalah suatu kondisi menyisihkan sikap dan perilaku yang tidak perlu dan
mengumpulkan segenap energi untuk tujuan-tujuan prioritas saja. Kalau Ramadhan adalah
waktunya menyeleksi, maka Idul Fitri adalah hasil saringan itu.

Sekarang coba ingat-ingat-lah tentang perilaku kolektif kita. Adakah dia presisi wajar,
ataukah masih berkutat pada hal-hal yang tidak perlu, atau malah masih jauh di bawah itu;
bergelut dengan kesalahan-kesalahan kecil—hingga mengkristal menjadi kesalahan-
kesalahan kolektif.

Kalau jawabanmu pada yang kedua, maka engkau bisa menyimpulkan bahwa si
Brower, ketika menulis kalimatnya itu, tentu dia sedang menyindirmu.

***

Di bumi ini ada beberapa sungai yang katanya, airnya berasal dari surga. Sebutlah
sungai Nil, sungai Gangga, sungai Darya (Oxus) atau sungai Tigris (Dajlah). Ini tidak saja
sebuah pesan dari mulut ke mulut, namun menjadi keyakinan. Tapi belakangan, setelah ilmu
pengetahuan berkembang, pesan itu berubah menjadi mitos atau sebatas legenda. Karena
anak-anak yang bahkan baru belajar ilmu bumi saja tahu dari mana mata air sungai-sungai itu
berasal.

Ini jenis ilmu pengetahuan yang lebih presisi tentang keberadaan sungai. Pengetahuan
ini mendasari sebuah pemahaman yang pada gilirannya membawa orang untuk melihat segala
sesuatu secara lebih jelas untuk menentukan progres dari sikap dan perilaku. Begini juga cara
kerja Idul Fitri yang presisi itu, dia diawali pengetahuan, diikuti pemahaman yang melahirkan
kesadaran-kesadaran, baru dia berwujud pada progres perilaku yang tentunya lebih
baik.(Vol.339, 23/8/2012)

56
JENDELA...

57
Kata-kata

Tapi Imam Syafi’i malah berkata: “Aku tidak pernah berdebat untuk mencari
kemenangan. Aku mampu berhujjah dengan 10 orang berilmu, tetapi aku pasti kalah
dengan seorang jahil...”

Salah satu ciri penghuni Surga adalah ucapannya yang presisi dan proporsi. Jika
presisi adalah ketepatan arahnya, maka proporsi adalah kesimbangan kadar muatannya.
Alquran mengabarkan bahwa di Surga tidak ada kata-kata yang sia-sia, fii jannatin 'aaliyah
laa tasma'u fiihaa laaghiyah (dalam Surga yang tinggi, tidak kamu dengar di dalamnya
perkataan yang tidak berguna/QS.88: 10-11).

Lantas bagaimana perkataan yang tidak berguna (sia-sia) itu? Karena bukan ahli
tafsir, tentu saya sedang tidak menafsirkan ayat Alquran. Saya hanya sering tengiang ayat ini
ketika berbicara atau menulis sesuatu. Tapi betapapun seringnya tenginang-ngiang itu terjadi,
saya malah merasa semakin banyak saja persoalan yang sia-sia itu terjadi. Ada yang tidak
disengaja, ada pula yang memang sengaja, dan yang paling banyak adalah hal yang kuduga
bermanfaat tapi nyatanya sia-sia. Ia semacam gimmick yang membuat menarik, padahal
sejatinya mengelabui.

Ini kesadaran yang sulit saya uraikan. Seperti ketika Anda adalah seorang pegulat,
maka Anda akan melihat banyak pegulat saingan—yang tak terlihat orang awam. Atau ketika
Anda bergelut di dunia Narkoba, Anda melihat ramainya komunitas ini, di saat mata awam
melihatnya baik-baik saja.

***

Saking kagumnya pada kepiawaian sang imam berdebat, Harun bin Sa‘id berkata:
―Seandainya (Imam) Syafi‘i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang
pada aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu niscaya dia akan menang, karena
kepandaiannya dalam berdebat‖.

Tapi Imam Syafi‘i malah berkata: ―Aku tidak pernah berdebat untuk mencari
kemenangan. Aku mampu berhujjah dengan 10 orang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan
seorang jahil...‖

Maka saya kira, bukan tanpa alasan pepatah lama ini: diam itu adalah emas. Atau
nasihat senada yang dulu sering sekali kudengar: air beriak tanda tak dalam. Diam yang
dimaksud adalah diam yang melewati kadar saringan internal. Diam seperti ini adalah pilihan
sadar dalam sebuah kondisi. Karenanya ketika berucapan yang keluar dari mulutnya akan
bernilai manfaat.

Emas yang dimaksud pepatah itu adalah satuan mutu seseorang ketika ia telah
melewat saringan internalnya. Ia serupa tradisi ilmiah: berpikir sebelum bicara. Inilah tradisi
yang membuat berbagai problem, fenomena, dan segala kerumitan hidup menemukan
pencerahannya minazzulumati ilannur.

***

58
Kemarin Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengeluarkan pernyataan melarang masjid
melantunkan ayat Alquran dengan mengunakan kaset rekaman. Alasannya karena dapat
menganggu orang yang sedang beristirahat. JK mengatakan pengajian mestinya langsung
dibaca biar lebih syahdu. Secara pribadi dia mengaku terganggu.

Pernyataan JK yang tersebar luas di media ini mendapat respons banyak pihak. Tidak
sedikit yang mengecamnya. Tapi belum habis kontroversi soal ini, muncul pernyataan
lainnya. Kali ini JK mengomentari cara membangunkan orang sahur di bulan Ramadhan.
Menurutnya, saat ini sudah modern, orang tak perlu dibangunkan tengah malam hanya
masak. Karena hanya di waktu dulu orang memasak perlu berjam-jam, tapi sekarang cukup
setengah jam. Apalagi orang yang puasa itu masih harus bekerja pagi hari. ―Kan ada HP atau
jam beker,‖ begitu kira-kira katanya.

Membaca JK saya teringat ketika masih jadi remaja masjid. Saat itu saya sedang
semangatnya menghidupkan kaset rekaman, pun membanguni orang sahur pake pengeras
suara. Ketika ada yang protes soal kaset ngaji, saya bilang begini: biasanya yang terganggu
dengan suara Alquran dibacakan adalah setan.

Tapi seiring berjalannya waktu, saya mulai berpikir secara berbeda. Ada benarnya
juga yang dikatakan tetangga itu, batinku. Apalagi suara pengeras suara itu terdengar
demikian deras dari rumahnya. Belum lagi ketika suara membangunkan orang sahur, tidak
jarang cuma dilakukan anak-anak sambil canda-candaan—Saya menyebutnya canda untuk
maksud minus tanggung jawab.

Sungguh, bagi saya taddarusan dan bermalam di masjid sambil menunggu waktu
membangunkan orang sahur adalah estetika yang setara berkali-kali lipat lukisan Monalisa.
Gol cantik Messi atau suara ataupun suara emas Michael Jackson tak sebanding keindahan
memori Ramadhan itu. Setiap kali mengingat estetika Ramadhan, saya mengenangnya
dengan segenap keindahan-keindahan yang tersublimasi.

Maka, membaca pernyataan JK di media massa—meski tak ―sampai hati‖


menyebutnya kebenaran, saya tak juga tak hendak mengatakannya sebuah kesalahan. Karena
ada jenis kebenaran yang ketika diucapkan, ia menjadi tidak bermanfaat.(Vol.579, 22/5/2015)

59
Manusia

Kehadiran mereka menundukkan hati membayar cinta kasih kepada Allah SWT. Pada
hakikatnya mereka sedang menjalankan peran mengurangi ketidakseimbangan alam
raya, ketimpangan pergaulan nilai dan mengutuhkan kembali nilai yang diserakkan

‗‘Datanglah ke rumah saya, nanti akan saya berikan,‘‘ ujar suara di seberang sana dari
ujung telephone genggam itu. Pria itu tentu saja bersemangat karena orang di seberang sana
bakal memberikan sejumlah uang atas jasa yang telah dilakukannya.

Dia pun bergegas. Meski tidak ada akad perjanjian atas jasa itu, tapi menurut
kebiasaannya, orang akan memberi amplop sebagai balas jasa. Tapi dia harus menunggu
cukup lama setelah disuguhi minuman dan air putih orang istri tuan rumah. ‘‘Pesan bapak
tunggu sebentar, bapak lagi keluar,‘‘ ujar si istri tak lupa melemparkan senyum manisnya.

Sambil menunggu matanya ‖berkeliling‖. Rumah itu cukup nyaman dengan


pepohonan teduh di halaman. Dinding ruang tamu yang tidak terlalu lebar itu dipenuhi
gambar anak-anak seumur sekolah SD. Melirik ke belakang rumah dia melihat banyak
kamar-kamar berukuran kecil. ‘‘Cukup produktif juga dia,‘‘ pria itu membathin.

Secara keseluruhan, rumah sederhana ini terlalu kecil untuk jumlah orang yang
tinggal di sana. Apalagi untuk ukuran seorang pejabat publik seperti dia.

‘‘Itu anak-anak yatim-piatu yang tinggal di sini. Kalau anak saya cuma dua orang,‘‘
kata tuan rumah yang tiba kemudian.

‘‘Tapi untuk pejabat seperti bapak, kan tidak sulit membiayai mereka,‘‘ kata pria itu.

Dia tertawa,‘‘Rezeki yang saya dapatkan dari pekerjaan saya itu ada uang yang
merupakan milik keluarga saya, milik orang lain seperti anak-anak yatim-piatu itu dan juga
milik Tuhan‖.

Wah.., kok jadi ribet,‘‘Maksud bapak gimana,‘‘ pria itu mengejar.

Dia kembali tertawa, kali ini sambil tersenyum,‘‘Sebagian rezeki dari gaji hasil kerja
saya itu untuk keperluan istri dan anak-anak saya, sebagian lagi untuk anak-anak yatim piatu
itu; untuk makan, keperluan sekolah juga keperluan pakaian dan lainnya. Nah sebagian
lainnya adalah uang untuk hal-hal seperti zakat infak, sedekah dan lainnya,‘‘ ucapnya.

Pria itu menggeser posisi duduknya, lebih tegak. ‘‘Tapi-kan bapak pejabat. Bisa
mendapatkan pendapatan dari banyak sumber,‘‘ tutur pria itu.

‘‘Bagaimana bisa saya mencampurkan sumber yang belum jelas halal-haramnya


untuk hal-hal seperti ini,‘‘ jawabnya. Kali ini meski tetap tersenyum namun wajahnya tampak
sangat serius.

***

60
Pria itu bergegas pulang ke rumahnya. Dia menyungkurkan tubuhnya di tempat tidur.
Sekujur tubuhnya bergetar sambil tangannya menggenggam erat amplop berisi uang. Dia
merasa di awang-awang. Dia merasa puluhan tahun hidupnya telah di sia-siakan untuk hal-
hal yang tidak perlu.

Meski dia tergolong rajin beribadah, shalat wajib dan sunnah, puasa wajib dan
sunnah. Tapi ketinggian ilmu, kesalehan, keistiqamahan pejabat itu telah ‖membantingnya‖
sampai titik nadir.

Apalagi dia tahu bahwa uang yang diberikan kepadanya itu adalah hasil menjual
perhiasan sang istri. Rumah tempat mereka menetap itu adalah rumah warisan orangtua
mereka karena tidak ada kesanggupannya membeli rumah yang harganya selangit.

Pria itu terpaksa menerima uang pemberian tersebut karena sang pejabat memaksanya
menerima. Dia bahkan memohon kepadanya untuk tidak menolak pemberian yang sudah
dijanjikan itu. Maka tidak ada jalan lain bagi pria itu untuk menyedekahkan semua rezeki
yang diterimanya itu tanpa dikurangi sepeser pun. Suatu hal yang belum pernah dia lakukan
seperti belum pernah dia merasa seenteng dan seikhlas itu bersedekah.

***

Selalu saja ada manusia yang diciptakan dengan predikat ahsanu taqwim atau sebaik-
baik ciptaan Allah SWT. Mereka bisa siapa saja, bisa seorang pejabat, bisa pedagang kaki
lima, bisa ulama, bisa pegawai kantor atau tukang beca.

Mereka bisa saja berada di sekitar kita, kehadirannya tidak akan mencolok seperti
kalau gubernur atau bupati/wali kota yang datang. Mereka terkadang justru dianggap aneh
karena perilakunya yang tidak biasa. Karena memang mereka adalah golongan orang-orang
ghuraba’.

Kehadiran mereka untuk menundukkan hati untuk membayar cinta kasih kepada
Allah SWT. Pada hakikatnya mereka sedang menjalankan peran mengurangi
ketidakseimbangan alam raya, ketimpangan pergaulan nilai-nilai dan mengutuhkan kembali
nilai-nilai yang diserakkan orang-orang. Pada tahap tertentu, mereka juga alasan mengapa
Allah SWT masih menangguhkan azab kepada kita meski kita terus mengoleksi dosa.

61
Masjid Di Tengah Sawah

Manusia tradisional benar-benar menjadi tuan bagi dirinya sendiri, meski gagal
menjadi tuan bagi perubahan yang cepat di luar dirinya. Sedangkan manusia post
moderen lebih sigap menyesuaikan diri dalam perubahan, tapi gagal menjadi tuan
dalam dirinya sendiri

Malam itu cerah tidak seperti sebelumnya, mendung merajai langit. Wajah-wajah para
orangtua, anak muda-mudi, kaum ibu dan anak-anak itu secerah suasana malam. Meski tidak
tampak sedang tersenyum, tapi hati dan pikiran mereka berada pada lapisan paling luar dari
derajat stress dan pikiran-pikiran yang complicated.

Ratusan warga hari itu berkumpul riang di sebuah masjid di dusun kecil yang
dikelilingi sawah nan luas, dilapisi perkebunan sawit yang mentereng. Acara Maulidan di
Paya Nibung II seperti malam itu adalah salah satu dari acara pertemuan antar warga yang
dinanti.

Anak-anak itu. Matanya semakin berbinar ketika piring-piring plastik warna hijau
merah disajikan di hadapan mereka. Ada kue aneka ragam di dalamnya. Tak perlu menunggu
lama—ketika si penyaji kue berlalu—dengan terampil tangan-tangan mereka pun bekerja.
Saya merasa bahagia berada di antara mereka malam itu, di suasana kesahajaan warga dusun,
di sebuah masjid di tengah sawah yang hanya berjarak sekitar 50 kilometer dari Medan. Di
daerah di mana tidak ada sekat-sekat psikologis yang membatasi antara rumah satu warga
dengan warga lainnya.

Ada kerinduan yang terjawab. Saya menerawang ke suasana kota Medan di tahun 70
sampai 80-an. Saya paling suka jika Malam Jumat datang, karena bisa ikut ayah pergi ke
perwiritan. Bukan karena ustadznya bagus ceramahnya tapi karena membayangkan
makanannya. Biasanya setelah ustadz selesai ceramah atau setelah membaca wirid, makanan
beserta lauk-pauk aneka ragam dihidangkan di depan mata, persis seperti memesan makanan
di rumah makan Padang. Waktunya makan besar.

***

Saya juga merasa sangat beruntung karena pernah merasakan saat-saat di mana
hubungan antar warga tidak dibatasi sekat-sekat kepentingan pribadi di mana kepentingan
kolektif berada di atasnya. Hingga ketika tetangga ingin membangun rumah, tidak perlu sulit
memikirkan biaya tukang. Karena para tetangga yang punya keahlian membangun rumah
dengan senang hati menyumbangkan tenaganya. Gratis, tuan rumah cukup menyediakan
makan siang dan minuman ringan.

Suasana saat bekerja pun dipenuhi hubungan kekeluargaan yang tak ternilai harganya.
Mereka bekerja dengan serius dan saling bercanda dengan tulus.

Begitu juga kalau ada warga yang mau hajatan kawinan. Maka tetangga lain siap
menyingsingkan lengan baju membantu. Tidak perlu ada tarif khusus, hanya tinggal
mengabari warga untuk membentuk kepanitiaan. Para warga yang jadi pekerja cukup

62
dibuatkan bubur merah putih usai acara, supaya capek karena bekerja mendapat tenaga baru
lagi.

***

Beda masyarakat tradisional dan masyarakat modern atau post modern adalah tingkat
kepraktisannya dalam menyikapi hidup. Dinamika hidup yang semakin kencang menuntut
hal-hal yang semakin praktis. Karena sifatnya yang praktis, setiap individu atau kelompok
individu dalam sebuah keluarga dimungkinkan untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya
sendiri tanpa harus ada campur tangan orang lain.

Sekat-sekat individu pun semakin kokoh berdiri memisahkan antara satu dengan yang
lain. Untuk pergi ke mana saja orang sekarang sudah punya kendaraan masing-masing di
rumahnya. Tidak perlu lagi pergi kerja menumpang Angkot bersama tetangga dan teman-
teman di pagi hari yang sejuk. Untuk hiburan, ada televisi di rumah, tidak perlu lagi seperti
dulu, nonton di rumah tetangga sambil makan ubi goreng dan mengobrolkan hari yang baru
dilalui.

Begitulah, kini hidup terasa demikian cepat. Dan kita harus punya perangkat untuk
ikut menyesuaikan diri. Seorang profesional di Medan terkadang harus mengerjakan dua
sampai tiga hal dalam waktu bersamaan. Hingga tidak jarang lupa makan apalagi bercanda-
canda dengan tetangga.

Cepatnya dinamika berputar membuat seorang anak muda di Jepang jadi biasa pergi
kerja berjalan kaki ke stasiun kereta api sambil membaca koran di tangan kiri dan memegang
roti isi di tangan kanan. Mereka membutuhkan banyak hal seperti informasi, berhubungan
dengan orang melalui HP, menyiapkan pekerjaan kantor, juga perlu sarapan pagi. Kondisi
seperti ini memungkinkan berkembangbiaknya stress bagi setiap individu.

Manusia post tradisional atau manusia post modern tidak saja bisa menyikapi
dinamika hidup dengan daya kritis dan daya dobrak yang lebih kuat hingga mereka bisa lebih
menikmati hidup dengan berbagai fasilitasnya. Sedangkan manusia tradisional lebih bersikap
pasrah dalam menyikapi hidup, dan mereka jarang sekali terdengar mengeluh. Paling-paling
menyampaikan hambatan yang dialami, kalaupun tidak bisa diselesaikan, yo weess.

Tapi kita juga bisa mengatakan, bahwa manusia tradisional mampu berdiri di atas
nasibnya, menjadi tuan bagi setiap masalah yang dihadapi. Sehingga dia mampu menyikapi
nasibnya dengan lembut. Mereka tetap merasa tenteram tanpa harus keluar dari masalah yang
dihadapi. ‘‘Tuhan itu pasti Adil,‘‘ kata mereka.

Manusia tradisional benar-benar menjadi tuan bagi dirinya sendiri, meski gagal
menjadi tuan bagi perubahan yang cepat di luar dirinya. Sedangkan manusia post moderen
lebih sigap menyesuaikan diri dalam perubahan, tapi gagal menjadi tuan dalam dirinya
sendiri hingga tidak sedikit yang sukanya mengeluh saja.

63
Masjid Agung

Masjid sebagai tempat beribadah juga simbol keberadaan umat Islam. Jika masjid
agung masjid diapit bangunan besar, itu juga berarti kita sepakat menyimpan Tuhan di
pojok. Ketika simbol itu mulai bergerak menjulang, itu pertanda kesadaran mulai
tumbuh

‗‘Excuse me mom, could you show me the way to the central mosque?‘‘ Dua Polwan
yang masih muda-muda itu, satu kulit putih satu berkulit hitam. Mereka sedang berpatroli
jalan kaki.

‗‘ Oh… sure, follow this path in that direction, you will find a mosque,‘‘ kata salah
seorang di antara mereka. ‗‘ You can also ride the bus,‘‘ kata Polwan yang satu lagi tak kalah
ramah sambil menunjuk bus sedang mengangkut penumpang di seberang jalan.

Ampun….. hampir setengah jam berjalan dari stasiun sub way itu, ternyata saya salah
arah. Pemandangan kanan-kiri memang apik di salah satu sudut kota London itu—sesekali
saya singgah di toko membeli keperluan—membuat saya jadi lupa kaki sudah agak letih.

Maka saya putuskan untuk tidak jalan kaki lagi. Tapi untuk naik bus saya tidak punya
kartu langganan. Akhirnya saya naik taksi dengan 7 pound cash sampai tiba di Central
Mousque di kota London Inggris. Letih seketika sirna ketika niat untuk shalat sudah
ditunaikan.

Apalagi suasana di sekitar masjid adalah taman luas yang bersih tertata dan tidak
bising di kawasan Regent‘s Park. Orang-orang datang melepas lelah di sana sambil melihat
anak-anak berlarian ke sana kemari. Sambil menunggu waktu shalat atau sehabis shalat, umat
Muslim di sana biasa mengunjungi ruang terbuka hijau itu. Meskipun namanya bukan masjid
Agung, namun suasana ‖agung‖ cukup terasa di sana.

Tidak seperti masjid-masjid di Medan dan berbagai kota di Indonesia pada umumnya.
Masjid ini tidak berada di tengah bangunan tinggi mall atau perkantoran super megah. Di
dalam masjid juga tidak ada burung gereja beterbangan, sajadahnya pun tidak mengalami
proses ‖pengerasan‖ sehingga terasa empuk saat bersinggungan dengan dahi ketika sujud.

***

Kalau Anda jalan-jalan di Medan, sesekali coba perhatikan bentuk rumah warga.
Satu-dua rumah ada yang membangun gubuk kecil di halaman depan rumahnya. Gubuk itu
biasa disebut cakruk. Tempat ini sering digunakan orang duduk-duduk di kala terik Matahari
atau tempat main kartu kalau lagi lek-lek-an.

Ini adalah pergeseran nilai. Karena salah satu bentuk budaya yang menjadi kebiasaan
masyarakat kita dulu bisa dilihat ketika membangun cakruk untuk tujuan berbeda. Cakruk itu
sengaja dibuat dengan lantai lebih tinggi. Ada gentong besar berisi air bersih, dilengapi
centong di tangga cakruk tersebut.

64
Tempat ini dibuat sebagai tempat shalat kepada siapa saja yang mau shalat di sana.
Musafir yang tengah melakukan perjalanan bisa singgah rehat sambil shalat. Gentong besar
itu sebagai tempat berwudhu atau sekedar membersihkan kaki. Pemilik rumah dengan senang
hati melihat orang menggunakan cakruk-nya itu.

Bangunan ini mengandung makna filosofis bahwa Tuhan diletakkan di tempat paling
depan dalam struktur rumahnya. Setiap orang yang masuk rumah harus melewati ‖rumah
Tuhan‖ itu. Inilah bentuk ‖agung‖ dalam sebuah struktur bangunan rumah orang-orang yang
berTauhid.

Pergeseran itu membuat cakruk dipindahkan menjadi mushalla di dalam rumah, di


ruang keluarga, di ruang tamu atau di dapur dekat kamar mandi. Atau malah sama sekali
tidak ada. Tuhan disimpan di dalam kamar, ketika sedang shalat saja.

***

Ketika Medan belum berkembang seperti sekarang, tentunya masjid Agung terlihat
‖agung‖ kalau dilihat dari bangunannya. Masjid ini sangat menonjol di antara gedung di
sekitarnya.

Tapi zaman terus berubah, sekarang masjid agung jadi kelihatan kecil diapit dua
bangunan mentereng; Kantor Gubsu dan Sun Plaza. Kalau mau diibaratkan anak manusia,
maka pertumbuhan masjid agung sangat lambat, mengalami gizi buruk. Kedua bangunan
yang mengapitnya itu mengkonsumsi lebih bergizi. Jadinya cepat besar.

Saya masih ingat ketika Almarhum Gubsu HT.Rizal Nurdin yang ‖marah‖ melihat
akses jalan yang disediakan Sun Plaza ke Masjid Agung. ‘‘Ini jalan tikus namanya,‘‘ kata
almarhum waktu itu. Belakangan jalan itupun masih tikus, cuma saja lebih ‖gemuk‖ dikit.

Pro kontra yang kemudian timbul akibat pembangunan Sun Plaza itu kemudian
berujung pada rencana pembangunan masjid agung yang lebih representatif yang tak pernah
ditindaklanjuti sampai sekarang. Kalau kita sepakat menjadi masjid agung tidak Cuma
sebagai tempat beribadah tetapi juga sebagai simbol keberadaan umat Islam saat ini, maka itu
juga berarti kita sepakat sedang menyimpan Tuhan di pojok dua bangunan megah. Ketika
simbol itu mulai bergerak menjulang, itu pertanda kesadaran mulai tumbuh.

65
Mushalla Ditaklukan Kapitalisme

Tapi ternyata semua stakeholders itu harus takluk kepada para kapitalis yang
terkadang bisa malih muka menjadi orang pemimpin yang membela kepentingan umat,
jadi wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi umat

Dengan wajah yang masih basah, teman saya datang dan langsung bertanya, ‘‘Tempat
apa yang paling sulit dijangkau dan paling jelek kondisinya di mall yang mewah ini?‘‘

‗‘Maksudnya..,‘‘ saya belum benar-benar mengerti.

‖Pergilah kalian shalat, nanti akan temukan jawabannya,‘‘ dia menjawab sendiri
pertanyaan itu.

Sun Plaza itu memang mall yang sangat megah. Jangankan tempat makan minum dan
aneka toko yang mewah, bahkan toilet-nya pun indah. Full AC, dan ada petugas yang
standby memastikan ruangan itu tetap bersih berkilap dan senantiasa kering sehingga Anda
bisa nyaman tarik gas kencang-kencang. Kelasnya bukan tandingan ruang tamu dan ruang
tidur apalagi dapur bagi rata-rata rumah rakyat kita.

Lokasi toiletnya ada beberapa di setiap lantai sehingga gampang dijangkau. Jadi gak
usah khawatir kalau tiba-tiba Anda kebelet pipis di sana. Gak perlu bayar dan gak bakalan
ngantri karena ‖bilik suaranya‖ juga banyak.

Inilah fasilitas publik yang teristimewa, sebuah akal sehat kapitalisme. Orang-orang
dimanja dengan berbagai kenyamanan yang mengikat hati, seraya suara sayup-sayup itu
bergetar ‖datanglah, makan-minumlah, belanjalah sampai engkau puas‖.

Tapi tidak demikian dengan mushallanya...

***

Entah karena kapitalisme tidak pernah berdamai dengan agama. Hingga agama harus
dianggap kontra-produktif dalam setiap aktivitas kapitalisme.

Kapitalisme hanya akrab dengan agama sebagai objek dari muamalah. Mereka
menjual segala buku-buku tentang agama yang bisa semakin mendekatkan orang kepada
Tuhannya, mereka menjual segala keperluan ibadah; tapi jangan suruh kapitalisme
mengamalkannya. Karena ketika itu terjadi maka kapitalisme akan kehilangan eksistensinya.

Maka jadilah mushalla ‖anak tiri‖ dari bangunan megah kapitalisme aplikatif tersebut.
Ruang mushalla di sana terpisah sama sekali dari keramaian dan kemewahan yang
terkalkulasi itu. Anda harus keluar dari ruang ber-AC memasuki ruang parkir dengan udara
yang dicampuri asap knalpot. Anda juga harus hati-hati karena ratusan kendaraan lalu lalang
di sana. Jangan sampai kesenggol mobil mewah, kan sayang mobilnya.

Deru suara mesin AC seolah tidak pernah capek berbunyi sepanjang hari dengan
slang-slang bertaburan di atap. Kalau punya ‖hajat‖ sebelum shalat, Anda jangan bayangkan

66
mendapatkan fasilitas yang sama seperti di ruang sebelah dalam mall. Karena air dudukan
WC itu lebih sering berwarna kuning dengan harum campuran berbagai tumbuhan dan
hewan.

Untuk berwudhu’pun Anda harus hati-hati. Saluran pembuangan yang terkadang tidak
lancar membuat air tergenang. Bisa-bisa kaki Anda ‖disambangi‖ lendir dari hidung yang
berenang-renang ke sana-kemari.

Nah, tiba giliran untuk shalat. Bagi pria harus melewati ruang shalat perempuan. Jadi
Anda punya kesempatan ‖terlirik‖ atau ‖melirik‖ betis gadis-gadis yang menyembul di balik
sibakan pakaiannya. Ini bisa Anda anggap keuntungan dan dibawa lamunan ketika shalat atau
Anda merasa rugi dan menyesal karena mengganggu dan mengurangi nilai ibadah hingga
harus ber-istighfar berulang-ulang.

Ketika shalat, Anda harus sangat beruntung untuk bisa mendapatkan sajadah yang
bagus. Karena kebanyakan sajadah yang tersedia sudah lusuh, berbau dan bertanda hitam
pada tempat sujudnya. Tempat yang sempit dan hanya menyediakan satu shaf membuat Anda
terkadang harus ngantri.

***

Tidak adil rasanya kalau tidak melihat para stakeholders ibadah utama di fasilitas
publik ini. Apalagi membandingkan kondisi mushalla itu dengan negara tetangga, bahkan di
negeri kafir sekalipun. Adalah mereka, para stakeholders itu yang memberi pengaruh bentuk
dan kondisi tempat-tempat ibadah di fasilitas publik.

Ada pemimpin di pemerintah kota, ada pemimpin di pemerintah provinsi, ada para
anggota dewan, ada para pegawai mall yang punya kebutuhan mendasar terhadap mushalla
dan ada kita semua sebagai umat yang hidup di lingkungan sekitarnya.

Jika memberi nuansa positif maka akan sangat kondusif bagi jalannya ibadah di
fasilitas publik. Kalau negatif maka hal yang sama terjadi di hampir seluruh mall yang ada.
Coba lihat satu per satu, bagaimana Medan Mall, bagaimana tingginya masjid dan
tersudutnya ruang shalat di Plaza Medan Fair. Terus coba lihat lagi lainnya.

Tapi ternyata semua stakeholders itu harus takluk kepada para kapitalis yang
terkadang bisa malih muka menjadi orang pemimpin yang membela kepentingan umat, jadi
wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi umat.

Jangan-jangan kita juga orang yang takluk pada kapitalisme itu...

67
Nilai

Anda adalah mahasiswa berharga kalau nenerapkan nilai disiplin; Anda pejabat
berharga kalau nilai kemanusiaan, kepentingan orang banyak lebih diutamakan;, Anda
akan jadi polisi berharga kalau mengayomi dan melindungi masyarakat adalah prinsip
hidupmu. Maka mudah saja memahami kalau ada jabatan tinggi tapi tak dihargai. Itu
karena tidak ada nilai di sana

Tiba-tiba orang-orang yang antrian di restoran cepat saji itu bergerak menyingkir.
Kehadiran dua gelandangan dekil dengan bau badan menyengat adalah penyebabnya. Cuma
tinggal seorang perempuan setengah baya yang belum menyadari kehadiran dua orang itu

Ketika berbalik, dia baru membaui "bau badan kotor" yang menyengat. Tepat di
belakangnya berdiri dua orang lelaki gelandangan itu. Seorang yang lebih pendek tepat di
belakangnya, seorang lagi senantiasa menggerakan tangannya dengan gerakan aneh.
Perempuan itu menyadari bahwa pria tersebut mengalami keterbelakangan mental dan pria
yang pendek itu adalah penolongnya.

Ketika tatapan mata mereka bertemu, laki-laki pendek itu tersenyum. Sorot matanya
seolah meminta perempuan itu mau menerima kehadiran mereka di tempat itu. Seketika
perasaan prihatin menyergap perempuan itu. Cuma ada mereka bertiga di dalam antrian
tersebut. ‗‘Bite..,‘‘ katanya mempersilahkan kedua orang itu memesan lebih dulu.

Pria pendek itu pun tersenyum. ‗‘Kopi saja satu cangkir nona,‘‘ katanya memesan.
Rupanya recehan di genggaman orang itu cuma cukup untuk membeli secangkir kopi. Udara
di luar sana dingin dan kering. Di dalam restoran yang hangat itu, cuma orang yang
berbelanja yang boleh duduk. Tampaknya kedua orang itu cuma ingin menghangatkan badan
di dalam restoran.

Perempuan itu menatapi punggung kedua orang tadi—yang memilih tempat duduk di
pojok restoran. Wajahnya menghiba. Setelah membayar pesanannya, ia mendatangi meja
kedua orang tadi.

Ia membawakan dua porsi makanan hangat di tas meja seraya berkata,‖Makanan ini
telah saya pesan untuk kalian berdua.‖ Lelaki pendek itu menatap dalam ke arahnya. Kini
mata itu mulai basah berkaca-kaca, dia hanya mampu berkata. "Terima kasih banyak,
nyonya."

Perempuan itu terlihat terharu. Sambil mencoba tetap menguasai diri dia berkata,
"Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar
sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada
kalian." Mendengar ucapan itu, si lelaki pendek itu tidak kuasa menahan haru dan memeluk
temannya sambil terisak-isak.

***

68
Musim haji, jutaan orang dari berbagai penjuru dunia melakukan napak tilas
perjalanan haji. Salah satu tempat yang jadi tujuan adalah Gua Hira. Gua ini adalah lubang
yang berada lima meter dari puncak sebuah gunung (Jabal Nur) yang tandus dan terik.

Tapi orang-orang berlomba-lomba menaiki gunung itu untuk mencapai posisi gua
tersebut. Perlu lebih dari sekedar keinginan untuk tiba di sana, karena faktor fisik juga
menjadi penentu. Lelah sudah pasti.

Mereka yang berhimpit-himpitan mendaki gunung untuk menemukan gua itu, pasti
bukan sekedar ingin melihat batu di sana. Tapi ada seperangkat nilai yang menggerakkan
berjuta-juta orang itu. Sesuatu yang pernah terjadi sekitar 14 abad silam.

Seperti itu nilai. Dia menggerakkan jiwa-jiwa yang berjarak ruang dan waktu. Dia
tidak saja bisa menggerakkan orang-orang sezamannya tapi jauh melampaui zaman itu.
Begitulah watak sumber nilai itu, dia adalah sesuatu menaklukkan ruang dan waktu.

Dia juga menjadi sumber rindu. Yang dalam bahasa budayawan Prie GS, nilai itu
meskipun berasal dari sumber yang sangat jauh, ia adalah sesuatu yang sangat dekat. Nilai itu
mendekati kita seperti laju kecepatan cahaya. Karenanya, siapapun yang menjadi sumber
nilai, tak peduli di manapun ia berada, akan selalu dekat di hati kita.

***

Satu persatu tamu restoran cepat saji itu menghampiri meja perempuan yang duduk
bersama keluarganya itu. Mereka sekedar ingin berjabat tangan. Salah satu di antaranya,
seorang bapak, memegangi tangan perempuan itu dan berucap, "Tanganmu ini telah
memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini.‘‘

Wanita itu adalah orang Indonesia yang menetap di Jerman. Ini bukan kisah tentang
sedekah atau tentang restoran cepat saji. Tapi ini adalah kisah tentang nilai. Tentang orang
yang menjalankan nilai itu, hingga menghidupkan jiwa-jiwa di sekitarnya.

Nilai itu berada pada level esoterik, atau domainnya batin. Dia Dzat yang bergerak
mengisi. Bukan eksoterik atau seperti cangkang yang siap diisi. Maka apapun itu wujudnya;
rumah makan, bebatuan, jabatan, profesi dan sebagainya jika berisi nilai, maka ia akan
berharga.

Anda adalah mahasiswa berharga kalau nenerapkan nilai disiplin, Anda akan jadi
pejabat yang berharga kalau nilai kemanusiaan, kepentingan orang banyak lebih diutamakan,
Anda akan jadi polisi berharga kalau mengayomi dan melindungi masyarakat adalah prinsip
hidupmu. Maka mudah saja memahami kalau ada jabatan tinggi tapi tak dihargai. Itu karena
tidak ada nilai di sana.(Vol.260, 20/10/2011)

69
Hati Yang Terpecah

...sepertinya mereka bersatupadu, tapi sebenarnya tidak. Karena qulubuhum syatta


(hati yang terpecahbelah) menjangkiti mereka. Ketika hati terpecah, maka siapapun
akan berada dalam titik yang paling lemah

Mungkin karena dasarnya aku ini penakut. Sudah sejak lama aku menghindari
mendengar apalagi melihat peristiwa kekerasan terhadap anak-anak. Setiap kali mendengar
berita tentang anak korban kekerasan, aku merasakan ngilu di ulu hatiku. Tak sanggup aku
membayangkan tangisan lemah dan mata polosnya ketika perlakuan kekerasan itu menimpa
mereka.

Maka kalau berita TV tiba-tiba ada tentang kekerasan anak, aku langsung ganti
channel, ketika judul berita koran memuat peristiwa serupa, aku alihkan pandangan ke
halaman lainnya, dan setiap kali gambar anak terluka di layar facebook-ku, secepat kilat
kututup windows-nya. Maafkan, tapi aku sungguh tak tahan berada di kondisi seperti itu.

Tapi beberapa hari di Ramadhan ini, aku seperti dipaksa menyaksikan semua yang
mengerikan terjadi pada anak-anak. Ada Balita yang tangan dan kakinya putus bersimbah
darah, ada yang kulitnya memucat karena sudah menjadi mayat, dan beberapa yang lebih
sadis lainnya. Sekuatnya aku memalingkan wajahku, sekuat itu pula gambar-gambar tersebut
muncul berjajar di hadapanku.

Apa dayaku. Setiap kali aku akhirnya melihat anak-anak korban senjata Zionis Israel
itu, dadaku bergemuruh, darahku beriak-riak hebat, dan kepalaku terasa ada gumpalan yang
mendadak membesar. Hatiku berteriak kencang sampai ke langit: Tuhanku, pinjamkan aku
kekuatan tangan Daud-Mu, akan kulumat semua kesombongan itu. Tuhanku, pinjamkan aku
tongkat Musa-Mu, akan kutenggelamkan segala angkara murka yang congkak itu.

***

Karena hidup bukanlah tentang segala kehendakmu, terimalah kehendak lain yang
berlaku atasmu. Maka, ketika sebuah peristiwa yang tak kau inginkan tiba-tiba dihadirkan di
hadapanmu, responsmu terhadapnya akan segera mengabarkan mutumu sebagai manusia.

Di depan kita sudah tersaji menu hidup yang tidak saja menyakitkan tetapi juga
mengerikan. Zionis Israel melakukan tabiat berkalanya dengan membombardir Palestina.
Berkala? Ya, Anda harus tahu bahwa perang berkala kaum Zionis adalah salah satu strategi
mereka untuk menjaga mental pasukannya agar tetap alert. Bukankah pasukan yang
kebanyakan istirahat, makan dan minum justru akan kehilangan kemampuan tempurnya.

Perang bagi Zionis juga untuk tujuan ―mengawetkan‖ kesan bahwa mereka adalah
bangsa yang terancam oleh negara-negara Arab yang memusuhinya. Karena terancam, maka
Amerika dan sekutunya sebagai bangsa beradab harus menolong mereka; memberi bantuan
dana, dan membacking mereka kalau ada kekuatan besar yang mau menghantam. See..,
seberapapun tak menyukainya, tapi Anda harus menerimanya sebagai kenyataan.

70
Maka respons terbaik kita adalah menjaga ketenangan untuk sebuah sikap yang
terjaga ketepatannya. Untuk ini kita telah dibekali seperangkat akal memikirkan kekekuatan
lawan dan celah kelemahan-kelemahannya, sembari menyadari potensi kekuatan dan
kelemahan kita sendiri. Seperangkat data ini diperlukan untuk kepentingan strategis kita ke
depan.

Seperangkat data ini juga penting bagi mengubah respons yang sporadis menjadi aksi
yang terkonsentrasi, mengganti emosi, hujatan dan kutukan menjadi langkah-langkah yang
terstruktur, dan memaksa ego firqah-firqah menjadi kekuatan kolektif.

***

Setelah pengepungan selama 26 hari, orang-orang Yahudi itu berputusasa atas


bantuan orang-orang munafik di antara mereka. Maka rasa takut pun menjalari hati kaum
Bani Nadhir itu. Dan menyerah adalah pilihannya. Tapi usir saja kami, jangan dibunuh,
mereka merengek-rengek.

Nyatanya Rasul mengabulkannya. Maka angkat kakilah mereka--di antara


pembesarnya ada Salam bin Abil Haqiq, Kinanah ibnur-Rabi‘ bin Abil Haqiq, dan Huyay bin
Akhthab. Sayyid Qutbh mencatat merekalah orang-orang yang mempropaganda kafir Quraisy
dan kaum Ghathafan dalam perang Ahzab.

Mereka kalah, karena sepertinya mereka bersatupadu, tapi sebenarnya tidak. Karena
qulubuhum syatta (hati yang terpecahbelah) menjangkiti mereka. Ketika hati terpecah, maka
siapapun akan berada dalam titik yang paling lemah. Jika penyakit ini menimpa suatu kaum,
maka ia juga akan lemah dan tak cukup memiliki daya tahan terhadap serangan dari luar
dirinya.

Kekuatan itu ketika hatimu bersatupadu saling mengikat satu sama lain. Bukankah
Allah SWT juga sudah menegaskan bahwa Mereka tidak akan memerangi kamu dalam
keadaan bersatu padu... (Q.S.59:14) Tapi mengapa penyakit itu justru menjangkiti kita?

Tak tidak gampang memang menyadarinya. Kita perlu seperangkat data yang menjadi
rujukan utama. Masalah seperangkat data ini cuma bisa diambil dan divalidasi dari peristiwa-
peristiwa yang seringkali tak kita inginkan. Jadi jangan pernah bertanya bagaimana
menghindari suatu kondisi yang tak dikehendaki, karena ia adalah hukum Tuhan. Tak perlu
menghindar, apalagi dihapuskan, ia hanya perlu diakrabi dan dijinakkan untuk tujuan masa
depan.(Vol.483, 14/7/2014)

71
RUANG
KELUARGA...

72
Padang Luas Ramadhan

Puasa itu juga punya fungsi iluminatif, yakni fungsi yang tidak saja memerintahkan
organ tubuh untuk sehat, tetapi juga mencerahkan batin (ghayat an-nuraniyyah). Itu
sebabnya para orang saleh sangat suka sekali menjalani laku puasa

Dalam beberapa kondisi, Tuhan dengan sengaja menitipkan misteri. Puasa adalah
salah satu kondisi itu. Seperti misteri pada umumnya, dia akan didahului oleh asumsi,
persepsi, bahkan syak wasangka tentangnya. Jika isi misteri itu berada di ujung perjalanan
puasa, maka sepanjang perjalanan itulah segala syak wasangka itu berada.

Untuk melihat misteri ini, saya tak perlu terlalu jauh. Karena suka telat makan, sejak
lama saya divonis menderita maag. Sejak itu saya tak lagi boleh telat makan. Sedikit saja
telat, maka gejalanya akan sangat khas; pusing di kepala.

Kalau sarapan pagi harusnya paling lambat pukul 08.00, maka pukul 08.15 gejala
pusing kepala ini mulai menjalari. Kalau sudah begini, jika perut tak segera diisi makanan,
dijamin sakit kepala ini akan betah nangkring sampai besok. Tapi dengan puasa, sakit kepala
itu tak pernah muncul meski berjam-jam saya tak makan. Apa yang terjadi? Kalau wilayah
hidup sehari-hari berada pada kondisi ―berlari mengejar‖, maka puasa berada di wilayah
―bertahan‖—seperti makna semantik lafaz shyiam itu sendiri.

Orang menyebutnya kekuatan niat. Dan apa yang disebut niat adalah domain
pemograman yang secara langsung memengaruhi bekerjanya software dan tampilan
hardware. Jadi, ketika Anda meniatkan diri dengan sengaja untuk berpuasa, maka lambung,
dan usus akan serta merta patuh. Karena sebagai sub-ordinat, mereka hanya bekerja sesuai
orderan belaka.

Inilah fungsi preservatif puasa, ia berdampak langsung terhadap organ-organ tubuh.


Ini fungsi puasa yang dalam dimensi kategorisasi Imam al-Ghazali berada pada posisi terluar
atau pada dimensi eksoterik, dimana bertahan sebatas makan-minum dan kegiatan seksual.

***

Jerman menang tanpa selebrasi. Ini terjadi di TV yang ditonton sambil sahur. Apalagi
gol keenam, dan gol ketujuh yang sama-sama dibuat pada babak kedua. Gol dalam
pertandingan pentas dunia itu tak ubahnya sekedar menyarangkan bola saat latihan saja.
Karena Brazil sebagai lawan tanding yang sebenarnya diunggulkan, benar-benar sedang
sepenuhnya kalah.

Idiom ―sepenuhnya kalah‖ inilah yang jadi sebab tampilan selebrasi Jerman itu. Anda
tahu, kalau kemarin sewaktu mengalahkan Kolumbia di babak perdelapan final, David Luis
dengan penuh emosi merayakan gol tendangan bebasnya. Maka lipatan emosi itu dialami
teman-teman se-timnya, apalagi para penonton di tribun terbuka yang dari tadi riuh rendah
suaranya.

73
Jika ―sepenuhnya kalah‖ berada pada wilayah mutlak yang berjarak jauh dari batas
relatif, maka di keadaan ―menang-kalah tipis‖ itu akan merasakan denyut batas relatif. Dan
ini pulalah yang terjadi dalam penghitungan suara di Pemilu Presiden (Pilpres) 2o14.

Kalau Anda pendukung Prabowo-Hatta, maka TvOne dan ANTV menyebutkan


kemenangan pasangan ini setipis margin of error (batas kesalahan). Tapi kalau Anda nonton
MetroTV, maka kemenangan tipis yang sama—tapi untuk Jokowi-JK.

Saya pernah mengeluarkan ―fatwa‖ bahwa di arena quick count para lembaga survei
tak akan berani main-main karena hasilnya akan segera terkonfirmasi oleh hasil faktual KPU.
Tapi fatwa itu tidak berlaku pada kondisi Pilpres ini, di mana cuma ada dua kandidat yang
saling kejar perolehan suara. Siapapun yang menang nanti, margin of error akan jadi
pembenar kalkulasi survei—sebagai suatu kesalahan yang memang diprediksi.

***

Puasa itu juga punya fungsi iluminatif, yakni fungsi yang tidak saja memerintahkan
organ tubuh untuk sehat, tetapi juga mencerahkan batin (ghayat an-nuraniyyah). Itu sebabnya
para orang saleh sangat suka sekali menjalani laku puasa. Karena dengan begitu akan
menaikkan derajat mereka seperti Malaikat, yang penuh ketaatan dan hampa maksiat.

Imam al-Ghazali juga tidak berhenti mengategorisasikan dimensi puasanya. Karena


ada lagi level semi-esoterik, yang tidak hanya mengandalkan kemampuan pengendalian perut
dan kemaluan, namun sampai bertahan pada seluruh pancaindera aktif--tak melihat, tak
mendengar, tak melangkah dan tak menjamah segala yang ilegal atau bahkan yang sekedar
―tampak ilegal‖.

Sedangkan dimensi tertinggi adalah esoterik, dimana keseluruhan Anda adalah


puasa—syahwat badaniah dan syahwat batiniah diikat sekaligus. Dalam kondisi inilah segala
ketenangan akan terhampar menjadi karpet lembut, dan segala keindahan akan terpampang
sejauh mata melihatnya.

Maka puasa itu menjauhkan kita dari denyutan batas relatif. Segalanya tentang halal-
haram, baik-buruk, kuat-lemah, sukses-gagal dan sebagainya, akan tampak terang benderang
tanpa denyutan. Puasa menarik kita berada pada kondisi ―menang mutlak‖ di mana tak ada
lagi getaran mengganggu, karena yang ada cuma ketenangan dan kepastian dalam bentuk
kerinduan. Maka setiap kali berada di tengah Ramadhan, saya selalu merasa berada di tengah
padang amat luas yang tak pernah habis dijelajahi.(Vol.482, 10/7/2014)

74
Puasa Dan Keluasan

Perang khandaq seolah menegaskan kaidah fikih al amru idza dhaqa ittasa’ wa idza-tasa’
‘a dhaqa’ (kalau suatu urusan menyempit maka ia akan meluas, dan ia akan meluas
kalau menyempit)

Si bungsu yang baru menamatkan studinya dari bangku Taman Kanak-kanak ini
bertekad untuk berpuasa. Ditambah iming-iming hadiah hotswheel yang menjadi koleksi
kegemaran, matanya pun berbinar-binar terang.

Tapi ternyata tidak mudah membangunkannya di waktu sahur. Kalau pun dia berhasil
dibangunkan, untuk makan di waktu yang tak biasa itu juga bukan persoalan gampang. Maka
yang terjadi selanjutnya, makan sahurnya jam 7 pagi, atau bahkan jam 9 pagi, selayaknya
waktu sarapannya.

Tapi kemarin, dia berhasil bangun. Matanya pun segar dan lancar menyantap makan
sahurnya. ―Adek buka jam berapa,‖ tanyaku. ―E-ee.., jam dua,‖ katanya sembari
mengacungkan jari tengah dan telunjuknya. Tapi jam 10 pagi saya sudah mendapatkan
laporan kalau si kecil ini sudah minum sendiri. Ketika saya interogasi, dia menekuk
wajahnya. ―Ha-uss..,‖ jawabnya.

Saya pasang wajah serius, tapi dalam hati saya geli sendiri. Saya ingat dulu bahkan
saya punya ―ilmu‖ yang lebih canggih. Hari yang panas itu membuat daya tahanku jebol.
Ketika iman melemah seperti ini, segala godaan jadi menguat. Mendengar suara air
dituangkan saja rasanya nafsu itu memuncak, seperti syahwatnya para pengejar kekuasaan.

Untuk berbuka diam-diam saya merasa gengsi, apalagi terang-terangan. Di hadapan


teman-teman, saya bisa diejek habis-habisan. Baiklah, kalau puasa tak boleh minum, kumur-
kumur-kan boleh, tanyaku. Ketika tak ada yang protes, seketika segelas air minum
kugenggam. Sambil berlagak berkumur, aku memuntahkan semua airnya ke luar. Satu dua
kumuran, rasanya nggak ngaruh. Maka dikumuran ketiga aku tak tahan lagi, sebagian air itu
masuk ke kerongkongan. Begitu juga di kumuran selanjutnya. Aku sudah minum dengan
semua orang menganggap aku masih puasa.

Aku pun berlagak puasa sampai Maghrib. Tapi hukum berlagak itu berlaku bagiku;
baik di luar namun rusak di dalam. Hukum kepura-puraan itu juga kelihatan tenang di luar
tapi bergejolak di dalam.

***

Ancaman serangan itu datang dari segala penjuru. Dari atas ada Bani Quraizhah, Bani
Asad, dan Bani Gathafan, sedangkan dari bawah ada suku Quraisy. Maka ketakutan itu
demikian nyata, jantung seakan-akan naik sampai ke tenggorokkan. Dalam bayangan
kematian di depan mata, segala purbasangka pun laluasa bergentayangan.

Demikian mencekamnya ketakutan itu, bahkan shalat pun tidak dilaksanakan pada
waktunya. Sumber ketakutan itu adalah pasukan koalisi (ahzab) yang telah mengepung

75
Yastrib (Madinah). Jumlah mereka total sekitar 10 ribu pasukan, sedangkan kaum Muslimin
hanya 3 ribu orang.

Tapi Salman al-Farisi tetap mempertahankan ketenangannya. Kepada Rasul, pria


Persia ini mengusulkan menggali parit (khandaq) di sekeliling Yastrib untuk menahan laju
musuh—yang kemudian menjadi sebutan perang khandaq. Baiklah, Rasul pun menyetujui.
Tapi mereka hanya punya waktu lima hari di tengah musim dingin mendera, sebelum
gelombang musuh membantai semua yang hidup. Apalagi ketika para sahabat menemukan
batu karang bulat putih yang tak mempan dikampak.

Maka Baginda Rasul sendiri yang mengapak batu itu tiga kali hingga pecah, dan
setiap kali mata kapak menyentuh batu, Beliau bertakbir. Wahai Rasulullah, ada apa
gerangan, demikian kira-kira pertanyaan ingin tahuan Salman. Rasul menjawab: yang
pertama adalah membebaskan Yaman, yang kedua untuk membebaskan Syam, Maghrib
(Bynzantium), dan yang ketiga pembebasan Persia (al-Masyiq).

Anda tahu, Persia dan Byzantium adalah dua negara super power pada masa itu. Tapi
sejarah mencatat, bahwa ini adalah janji yang benar-benar terbukti di kemudian hari. Dan
simaklah pertanyaan ini: Pada saat kapan janji itu diucapkan Rasul? Pada saat tertekan, dan
terancam karena dikepung pasukan koalisi, saat kaum Muslimin dilanda ketakutan luar biasa.

***

Rasanya saya masih bisa mengingat perasaan ketika lebaran tiba dengan puasa pura-
pura itu. Saya melihat kawan-kawan berlebaran dengan mengenakan pakaian baru dan
memamerkan mainan barunya. Saya tersenyum ikut bermain. Tapi hukum kepura-puraan itu
masih berlangsung, aku tertawa dan gembira setengah hati.

Perang khandaq seolah menegaskan kaidah fikih al amru idza dhaqa ittasa’ wa idza-
tasa’ ‘a dhaqa’ (kalau suatu urusan menyempit maka ia akan meluas, dan ia akan meluas
kalau menyempit). Dan puasa memaksa siapa saja yang melakoninya untuk secara sengaja
mendatangi kesempitan itu untuk menemukan keluasan. Dan siapa saja yang pura-pura
melakukan kebaikan, ia akan dihukum dengan sendirinya oleh kesempitan-kesempitan.(Vol.
29/6/2015)

76
Puasa Kaum Elit

Dalam penjara, di mana melakukan praktik puasa sepanjang tahun, melakukan evolusi
dengan puasa maka pandangan seperti ini jadi terbalik

Mereka adalah orang-orang yang hebat-hebat yang telah memiliki status sosial yang
tinggi dalam stratanya masing-masing.Sebagian dari mereka ternyata adalah orang-orang
yang benar-benar hebat yang bisa menemukan butir-butir hikmah yang tak ternilai di
komunitas barunya. Meski sebagian lainnya masih dalam proses untuk itu.

Karena memang Allah selalu meletakkan hikmah itu di tempat yang tidak kita sangka-
sangka. Terkadang sebuah ―mutiara‖ diletakkan di lubuk terdalam sebuah tumpukan
―sampah‖, di jalanan yang ramai, dalam pertemuan para pejabat, di tempat sunyi yang gelap
dan di banyak tempat lainnya.

Untuk menemukan mutiara-mutiara hikmah tersebut terkadang Allah tidak saja hanya
menuntun kita, tetapi bahkan ―menyeret paksa‖ kita untuk berada di suatu tempat. Allah
seakan-akan tidak rela kalau kita tidak mendapatkan apa-apa di Dunia ini.

Bahkan ketika kita sedang nakalan kepada Tuhan, Dia menghukum kita dengan
membawa kita untuk meninggalkan berbagai pakaian kesombongan yang melekat di tubuh.
Allah SWT seakan-akan memiliki kepentingan dengan kita untuk menemukan mutiara
tersebut untuk selanjutnya ―bercinta‖ denganNya.

Komunitas yang saya maksudkan di atas, dalam konteks ini adalah penjara. Di
tahanan Polda Metro Jaya dan Mabes Polri. Di sana ada anggota DPR RI seperti Bulyan
Royan, Al Amin Nur Nasution, Saleh Djasit, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan
Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong, mantan Gubernur Kaltim Syaukani ada juga Abdillah
dan Ramli. Saya juga bertemu dan bercanda-canda dengan ―nabi‖ Moshaddeq yang siang itu
mengenakan kaus berkerah dan celana ponggol.

‗‘Saya ditugaskan di sini untuk mengawasi orang-orang tua ini. Kasihan mereka kalau
bukan saya yang mengawasi nanti kejam-kejam kali,‘‘ ujar Bulyan yang paling kocak di
antara para tahanan di sana.

Canda-canda lainnya terus meluncur dari wajah-wajah cerah mereka. Rasa merasa
seperti tidak sedang berada di penjara, tapi di sebuah pertemuan dengan orang-orang yang
penuh jenaka. Saya merasakan banyak sekat-sekat eksklusifisme yang tanggal. Kebanyakan
di antara mereka menunjukkan sikap pasrah atas apa yang akan mereka hadapi.

‘‘Nabi kok pake celana ponggol,‘‘ saya mencandai Moshaddeq.

Diapun kemudian berkata tentang beberapa hal, tentang pakaian yang dikenakan para
Nabi terdahulu dengan nabi zaman sekarang yang lebih ―modis‖, tentang jalan yang lurus dan
jalan yang benar.

Nabi sebagai pembawa risalah agama menerima wahyu dari Tuhan melalui
perantaraan Malaikat Jibril as yang bertugas untuk itu. Dalam logikanya, kalau wahyu

77
terakhir turun sekitar 14 abad yang lalu, maka sejak itu pula Jibril tidak punya kerjaan lain
alias pensiun karena tidak ada wahyu yang akan disampaikan. Walaah...

***

Di dalam penjara, sesuatu yang (harusnya) jelas adalah pakaian kesombongan orang-
orang hebat dalam status sosialnya sudah harus tanggal. Untuk kemudian berbagai hikmah
akan tumbuh dan bersemai. Maka jika di penjara itu terkumpul banyak hikmah, kerugian
paling besar bagi Almarhum Soeharto dalam hidupnya adalah tidak pernah masuk penjara.

Bagi orang yang memiliki derajat sosial tinggi di masyarakatnya, penjara tidak
sekedar dikerangkeng, tapi juga berpuasa dari bentuk-bentuk kekuasaan dan kepemilikan
harta benda. Karena meskipun manusia bersyahadat, seakan-akan mengambil keputusan
teologis untuk menjadikan dunia sebagai metode untuk tujuan akhirat, tapi pada praktiknya
lebih cenderung meletakkan dunia sebagai tujuan utama.

Dengan kata lain orang terbiasa untuk menjadikan dunia sebagai metode sekaligus
tujuan. Orang hidup tumbuh kembang menjadi besar dan memiliki status sosial, kekuasaan
hanya dalam batas-batas dunia, menciptakan suatu kecenderungan menduniakan akhirat.

Dalam penjara, di mana melakukan praktik puasa sepanjang tahun, melakukan evolusi
dengan puasa maka pandangan seperti ini jadi terbalik. Orang yang (seharusnya) sudah
tercerahkan spriritualitasnya, memiliki konsistensi terhadap sikap moralnya maka akan
mengakhiratkan dunianya. Itulah yang menjadikan puasa yang mereka lakukan merupakan
puasa kaum elit, puasa dengan berbagai fasilitas yang lebih baik yang disediakan oleh Tuhan.

78
Puasa Para Pendakwah

Tidak ada kecanggihan ilmu antropologi modern yang bisa mengungkap betapa puasa
orang-orang Muslim itu untuk menjaga keseimbangan alam raya

Dakwah sampai mati. Niat itu ditanamkannya di dalam hati, di dasar sanubarinya
yang paling dalam. Dia kemudian mengeyampingkan banyak hal dalam hidupnya untuk
kepentingan dakwah. Maka hari-harinya kemudian hanya diisi dengan dakwah, dakwah dan
dakwah.

Dia pergi ke seluruh penjuru mata angin, tak kenal letih, tak kenal mengeluh dan tidak
ada orientasinya pada keutungan. Cukup bagiku Allah, katanya. Ia ingin seperti itu sampai
ajalnya datang.

Salah satu ayat yang mengguncangkan jiwanya sebelum dia berhijrah di jalan Allah
SWT adalah surah Az-Zummar :53. Pernah suatu kali dia tergopoh-gopoh mengejar
sahabatnya Ustadz Muhammad Arifin Ilham yang sedang melintas dengan kendaraannya. Dia
hanya ingin mendengar ayat tersebut dibacakan sang ustadz.

Qul yaa ibaadiyal laziina asrafuu ’ala anfusihim laa taqnatuu mir rahmatillaah,
innallaaha yagfiruz zunuuba jamii’a, innahuu huwal gafuurur rahiim (Hai hamba-hambaku
yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)

Bangun Sugito atau yang lebih dikenal dengan Gito Rollies, senyumnya pun
mengembang di bibirnya dan matanya tak mampu menutupi kesyahduan yang dirasakannya.
Ayat itu paling disukainya, telah menusuk ke dalam hatinya terdalam akan kebesaran Allah
yang Maha Pengampun. Matanya berurai karena mengenang betapa jauh dirinya yang dulu
dari Allah, sedangkan bibirnya tersenyum karena menyadari betapa Allah tetap membuka
pintu ampunan baginya dan bagi siapa saja.

Sosok yang dulu dikenal dengan kaum hedonis atau pecinta dunia ini kini telah
mendahului kita. Tapi spirit pengabdian kepada Allah melalui jalan dakwah telah menjelma
menjadi kekuatan yang tak tertandingi oleh kepentingan apapun. Dia telah mencapai cita-
citanya terakhir yakni mati dalam berdakwah, Insya Allah dia menemui Rabb-nya dalam
keadaan khusnul khatimah yang merupakan Izzatud Du'at (kebanggaan para pendakwah)

***

Tapi dakwah juga bukan tanpa tantangan. Kalau Anda berkomitmen berdakwah
seperti halnya kelompok Jamaah Tabligh yang telah mengubah seorang Gito Rollies, akan
banyak orang mencibir. Sebagian mencurigainya sebagai gerakan politik praktis, ingin
membongkar tatanan negara Republik Indonesia, ingin merebut masjid-masjid yang didirikan
oleh masyarakat setempat dan menjadikannya sebagai basis gerakan ekstrim dan eksklusif,
sebagian yang lain juga menyatakan gerakan ini sebagai gerakan yang tidak membumi dan
tidak cocok untuk hidup di negara kita.

79
Ada juga yang memberi stempel sebagai salah satu dari 72 firqah sesat, gerakan sufi
modern yang penuh bid’ah dan khurafat, gerakan orang-orang bodoh tanpa ilmu dan
tauhidnya tidak jelas, penyembah kuburan dan pelaku berbagai penyimpangan lainnya.
Belum lagi tekanan dari penguasa yang tidak menyukai menjadi objek dakwah. Mereka
dianggap aneh dan asing karena seperti tak mempedulikan apapun selain dakwah seperti
keluarga, anak, istri apalagi perniagaan dan status sosialnya.

Puasa juga begitu, oleh orang atheis dan lainnya, kita mungkin saja dianggap aneh
dan asing karena berpuasa. Mereka mungkin tidak mengatakan itu kepada kita, tetapi hati
mereka menilai kita terlalu berlebihan. Lha, ada makanan, minuman tapi mau-maunya
kelaparan seharian. How stupid.

Dan kita harus senyum saja mendengar itu. Karena tidak ada kecanggihan ilmu
antropologi modern yang bisa mengungkap betapa puasa orang-orang Muslim itu untuk
menjaga keseimbangan alam raya. Ibadah umat Muslim itu adalah untuk mencegah murka
Allah untuk membinasakan kaum yang hidup sekarang ini. Sama seperti tidak adanya ilmu
psikologi moderen yang bisa mengetahui betapa cintanya Allah kepada orang-orang yang
senantiasa berdakwah di jalan-Nya.

Orang-orang yang berpuasa sejatinya sedang menyelematkan, tanpa orang lain


mengetahuinya. Karena berpuasa juga berarti mempuasai pengetahuan orang akan niat baik
yang kita punya. Biarkan orang lain dengan prasangkanya dan menganggap kita sebagai
orang yang aneh dan asing. Seperti kata Rasul Bada'al Islamu Ghariban wa Saya'uudu
Ghariban. Islam itu dimulai dalam keadaan asing dan akhirnya akan dianggap asing pula,
maka berbahagialah orang-orang yang asing.

Begitulah, umat yang ingin memperteguh keimanannya di hadapan Sang Maha


Pencipta ini selalu saja disalahkan, dianggapi menyimpan maksud-maksud jahat,
disalahartikan, dikambinghitamkan, dituding pembuat onar. Sampai-sampai banyak orang
Islam sendiri mempercayai mereka sebagai kambing hitam pembuat onar.

80
Puasa Si Ipin

Untuk berhenti makan, kita perlu memiliki kapasitas kepribadian yang mumpuni
dalam memisahkan antara kebutuhan makan dan nafsu

Hebat benar si Ipin itu. Meski matanya jelalatan melihat makanan, namun Ramadhan
dia tetap berpuasa penuh. Tapi, namanya juga Ipin, puasanya penuh hal-hal yang lucu.
Sekalipun tingkah lakunya nakal tapi tetap saja dianggap lucu.

Karakter si Ipin memang pelucu. Dari bentuk wajah dan bentuk tubuhnya saja sudah
bisa buat orang mesem-mesem. Apalagi kalau dia sudah bicara, bisa terpingkal-pingkal orang
dibuatnya. Dia memang tipe orang yang suka bicara dengan gaya bicaranya yang unik dan
lucu. Betol... betol... betol...

Suatu hari Ipin bersama saudaranya si Upin pergi belanja ke pasar dengan kak Ros,
kakak mereka, untuk belanja bukaan. Dibekali satu-dua ringgit, keduanya disuruh mencari
sendiri bukaan puasa untuk mereka. ‘‘Ingat cuma beli satu tak boleh yang lain,‘‘ pesan kak
Ros.

Merekapun berhamburan menuju ke tempat penjual ayam kesukaan. Ada ayam madu,
ayam kampung, ayam eropah dan macam-macam ayam lainnya, gak kuaaat rasanya. Tapi
uang tak cukup untuk membeli semua, hanya cukup satu dua potong.

Tapi di pasar itu mereka jumpa Ma‘il, teman sekolah yang berjualan ayam. Ahaa...
mereka-pun mulai ‘mengolah‘. Bagaimana caranya dengan uang yang seadanya bisa
mendapatkan ayam sebanyak mungkin. Ini salah satu kelihaian Ipin juga si Upin; banyak
akalnya.

***

‘‘Apaa.....! Siape nak habiskan ayam sebanyak tu...? kak Ros yang cerewet itu jadi
sewot melihat Ipin bersama si Upin kembali dengan membawa berkilo-kilo ayam dalam
banyak kantung plastik hasil ‘mengolah‘ di pasar tadi.

‘‘Tenang, tenang kak Ros, biar kami yang akan habiskan ayam ni,‘‘ kata Upin.

‘‘Betoul... betoul... betoul,‘‘ sambung Ipin.

Memang betul, mereka menghabiskan banyak sekali ayam pada malam hari setelah
berbuka. Tapi masih banyak lagi ayam tersisa yang belum dihabiskan, sementara perut sudah
tidak kuat lagi. Sudah penuh terisi ayam.

‘‘Pokoknya harus dihabiskan. Nanti sahur kalian budak harus menghabiskan semua
ayam-ayam ni,‘‘ kak Ros mengultimatum Upin dan Ipin yang sudah K.O. karena
kekenyangan.

***

81
Puasa itu sebenarnya adalah proses menuju makan sejati. Karena ‘makanan‘ yang
selama ini kita cari adalah pesanan nafsu bukan berdasarkan kapasitas perut. Saya kira
hampir semua orang yang pernah puasa sudah pernah dikasih pengalaman seperti ini;
mengumpulkan makanan aneka ragam di atas meja, tapi baru tahu kemudian setelah berbuka
bahwa perut tidak membutuhkan kemewahan itu.

Puasa mengajarkan kita untuk membedakan antara pesanan nafsu dan kebutuhan
makan. Karena, nafsu itu menuntut lebih dari sekedar makan atau makanan. Dia tidak akan
pernah berhenti meskipun segala kebutuhan sudah tercukupi. Sedangkan kebutuhan makan
ada kapasitasnya dan itu tidak terlalu banyak, cukup ala kadarnya.

Puasa mengajarkan kita bahwa makan hanya untuk kebutuhan kesehatan tubuh, tidak
lebih dari itu. Karenanya untuk makan, biarkan perut saja yang mengingatkan kapan kita
memerlukannya. Tapi untuk berhenti makan, kita perlu memiliki kapasitas kepribadian yang
mumpuni dalam memisahkan antara kebutuhan makan dan nafsu tadi. Perlu ketepatan,
keterukuran, kearifan, kedewasaan berpikir untuk bisa berhenti makan sebelum kenyang.
Sehingga proporsi makanan, air dan udara terbagi secara merata tanpa ada yang ter-zolimi.

Inilah dia makan sejati itu. Memuat perut sesuai dengan kadar kapasitasnya. Orang
menjadi apa saja—menjadi presiden, menjadi gubernur, menjadi anggota dewan atau menjadi
guru dan pengantar surat di kantor pos atau apapun saja—dalam keadaan ―lapar sejati‖,
bukan karena pesanan nafsu.

Meski pada kenyataannya kita dikelilingi pajangan yang bersifat additional. Model
HP yang terus berganti menunjukkan betapa suburnya kita sebagai lahan konsumsi. Iklan
kendaraan jenis terbaru pun semakin mantap menjaring pembeli, meski tidak benar-benar
dibutuhkan. Kita bahkan diajarkan untuk merasa rendah kalau tidak politik punya semua itu.
Demi nafsu yang bernama prestise terkadang kita harus menghabiskan semua energi.

Padahal Allah SWT sudah menyindir kita sebagai orang yang ―bermain-main‖.
Atabnuuna bikulli ri’in aayatan ta’basuun (Q.S.26:128). Itu kalau kita hanya mengumpulkan
dan memamerkan yang sebetulnya tidak perlu.

Kita tidak bisa terus seperti si Ipin yang memelihara nafsu makannya dengan terus
berperangai lucu. Dan orang pun tertawa. Karena perilaku seperti harus difahami sebagai
sebuah proses yang sudah harus beralih. Kalau saat ini dia masih ―makan palsu‖ maka sudah
saatnya untuk ―makan sejati‖.

82
Puasa; Kembali Ke Inti

Substansi dan hakikat itu tunggal, hingga ketika Allah SWT sudah memuliakan orang
yang berpuasa, yang lainnya cuma jadi debu menempel yang menutupi

Hormatilah orang yang tidak puasa, bunyi sebuah seruan. Ini jenis seruan yang gagal
makna. Karena sesuatu itu memiliki substansi serta makna dasarnya sendiri. Makna ini
independen, jernih, dan bersifat inti. Ia, kata Ibn ‗Ẩsyûr, tidak berubah dengan melekatkan
padanya nama-nama yang bertentangan dengan substansi dan hakikatnya.

Apa yang disebut dengan penamaan tersebut adalah segala yang menutupi akal
sehingga menyimpangkannya dari substansi hingga membuatnya ―gagal faham‖. Ia juga
mengelabui hati, serupa debu yang memburamkan kaca jernih. Ia jadi kotor, dan kehilangan
kemampuan reflektifnya: rabun.

Akal yang gagal faham dan hati yang rabun adalah sumber dari banyak persoalan
yang mendera-dera. Tentunya kita harus menjaga kesehatan diri agar jauh-jauh dari penyakit
kanker otak atau liver. Tapi akal yang gagal dan hati yang rabun jauh lebih berbahaya lagi.
Anda masih ingat kawan saja yang buta itu toh? (Baca Foliopini: Si Buta). Dia bukan cuma
rabun, bahkan buta total, tapi dengan butanya itu ia justru menemukan hatinya sendiri.

Saya kira dia tidak sendiri. Karena tidak sedikit orang yang berada di tengah
hantaman sakitnya justru sampai pada puncak tertinggi derajat keilmuan, itulah ―ilmu ikhlas‖.
Orang yang ikhlas adalah orang yang kebal terhadap segala derita. Penyakit boleh datang dan
pergi dari dirinya, tapi mereka tak akan pernah tersakiti.

Maka puasa adalah cara terbaik untuk meluruskan akal, dan menjernihkan hati.
Selama Ramadhan, akal dan hati akan mengalami proses peragian dengan cara yang unik:
meninggalkan segala kebutuhan fisik, jasmani, dan lahir. Sebaliknya mental, rohani, dan
batin melakukan akselerasi.

***

Akal yang gagal faham—tak terbayangkan kerusakan yang diakibatkannya. Seperti


perumpamaan cerita tentang Khawarij. Alkisah seorang pengembara melintasi hutan dan
menemukan seekor Beruang liar yang terluka karena terjepit sebatang pohon besar. Sang
pengembara membebaskan dan merawat Beruang itu hingga sembuh.

Hutang budi, sang Beruang pun bersumpah untuk mengabdi pada sang pengembara.
Kemana-mana dia mengikuti tuannya itu. Ketika malam datang, si pengembara hendak tidur,
dan berpesan kepada si Beruang untuk menjaganya dari segala gangguan. Maka ketika seekor
nyamuk menggigit wajah si pengembara, Beruang itu pun sigap memukul nyamuk dengan
cakar tajamnya. Dia pun sukses membunuh nyamuk sekaligus merobek wajah tuannya.

Itu baru akal yang gagal. Belum lagi hati yang rabun. Ia akan samar melihat
kebenaran. Di hadapan hati seperti ini, persoalan kecil akan membesar tak terkira,
kebahagiaan dengan cepat beralih sengsara. Berdakwah misalnya, sejatinya ia adalah soal
yang simple: memahami sesuatu dan menyampaikannya.

83
Tapi yang simple ini jadi rumit ketika digelayuti ragam kepentingan yang mengelabui.
Dari mulai pertimbangan jumlah honor, kategorisasi jamaah proletar dan borjuis, penggunaan
simbol-simbol ketakwaan, kebanggaan pada kefasihan lafaz, subjektivitas mahzab, dan
seterusnya.

Ketika memasuki wilayah sosial akan berdampak semakin luas. Hidup bersama
sebagai bangsa misalnya, sejatinya mudah saja. Buat tata aturannya bersama lalu tegakkan
hukum untuk menegakkan aturan itu. Buatlah kondisi, di mana setiap orang takut kepada
hukum yang berwibawa itu. Maka hidup akan berlangsung secara tertata. Ya, sesederhana itu.

Karena memang tidak ada persoalan yang benar-benar rumit jika dituntaskan seketika
melalui perangkat hukum—clean, fast, and effective. Persoalan baru jadi njlimet jika
dibiarkan hingga mewabah dan memamahbiak. Ini jenis persoalan yang tidak akan pernah
bisa diselesaikan tanpa merusak tatanan.

Dari mana datangnya tabiat membiarkan masalah tersebut? Dari hati yang rabun, yang
tertutupi kepentingannya sendiri sehingga tak dapat melihat kesejatian.

***

Bagi saya ini bagian yang paling menarik: Bahwa tidak pernah ada dua buah hati
dalam satu rongga dada, Mā Ja`ala Allāhu Lirajulin Min Qalbayni Fī Jawfihi (QS.33:4).
Jamil Ibn Mu‘ammar al-Jumahy pasti berbohong ketika mengaku punya dua hati. Maka Ibn
‗Ẩsyûr keukeuh bahwa substansi dan hakikat adalah suatu yang melekat. Bukan pengakuan
yang menempel.

Maka substansi dan hakikat itu tunggal, hingga ketika Allah SWT sudah memuliakan
orang yang berpuasa, yang lainnya cuma jadi debu menempel yang menutupi. Dan aku
berharap seruanmu tentang penghormatan bagi orang tak puasa itu sekedar slip of the tongue.
Bukan karena gagal paham dan rabun hati. Karena kalau begitu, engkau sedang sangat
menderita.(Vol.628, 13/6/2016)

84
Puasa Kerupuk & Minyak Jelantah

Memang, sesuatu yang lemah dan sesuatu yang kecil itu selalu dianggap remeh bahkan
dilecehkan. Tapi sepanjang dia setia pada tugasnya, maka alam semesta akan
menunjukkan penghargaan padanya

Kalimat pria yang berada di masa tuanya itu meluncur deras. Seolah tanpa jeda, dia
berbicara cepat sekali. Kadang dia mengajak ke Timur, sebentar kemudian Tenggara, lalu ke
hutan. Trus ke Bulan dan Matahari. Semut, tikus dan bintang-bintang pun tak luput dijamahi
ucapannya. Meski cepat, tapi tiap kata yang keluar dari mulutnya penuh kuota isi yang padat.
Hampir tidak ada yang sia-sia.

Tiba-tiba saya merasa di hadapan saya sedangkan dibentangkan, persis di depan


hidung, alam raya dan segala isinya. Pria tua itu seperti sedang duduk di bawah kerimbunan
pohon yang berbuah lebat. Ada aneka macam buah yang menjuntai-juntai ramai—buah itu
ada yang bernama filsafat, ada ilmu alam, ilmu langit, ada sirah para Nabi, ada hikmah
sampai ilmu tupai melompat dan ilmu laba-laba merayap—dan masih banyak lagi.

Gampang sekali dia memetik buah-buahan itu. Kepada saya, ia terus menawarkan
satu per satu. Dengan tangan-tangan kecil, saya berusaha meraupnya dengan ―rakus‖. Tapi
sekuat apapun saya berusaha tapi hanya sedikit saja yang bisa kugenggam.

Ini salah satu keistimewaan saat-saat Ramadhan. Orang-orang seperti pria tua itu tiba-
tiba saja menampakkan diri. Mereka seolah-olah muncul dari perut Bumi dan berada di
tengah keramaian. Lagi-lagi ini rasa saya, mereka muncul dalam sebuah casing dan
menghilang dalam casing yang sama—ketika Ramadhan berlalu.

Ini seperti ketika Anda yang ngidam Toge Panyabungan, atau menu Anyang khas. Di
bulan Ramadhan ini Anda bisa dengan mudah menemukannya di beberapa warung pinggir
jalan. Namun dia akan menghilang seiring berlalunya Ramadhan. Mereka adalah orang-orang
istimewa, yang karena keistimewaannya itu mereka adalah orang besar.

Saya bertanya-tanya, bagaimana orang-orang besar itu bisa terbentuk?

***

Anak-anak kecil yang kurus itu sedang makan di teras sebuah rumah. Ini kebiasaan
makan bersama anak-anak di kampung kami. Karena berasal dari orangtua yang berbeda,
maka lauk pauknya pun berbeda. Ada yang ditemani ikan dan tumisan kangkung, ada yang
melahap gulai dan sambal teri, tapi ada yang cuma pakai minyak jelantah dan kerupuk.

Meski menunya berbeda-beda, tapi satu yang sama: sama-sama lahap. Bahkan mereka
seolah sengaja memperlambat ritme makannya. Si anak kerupuk itu enggan kehilangan
kenikmatan makan itu terlalu cepat. Saya tertegun menyaksikannya. Bagaimana bisa menu
yang sangat sederhana, bahkan menghina itu bisa memuaskannya sedemikian rupa.

Kerupuk jelas bukan jenis makanan yang diajurkan para dokter, apalagi jelantah. Ini
jenis minyak yang berbahaya karena berasal dari bekas penggorengan. Lantas di mana letak

85
rahasianya? Adakah karena ia sudah terlalu miskin? Tapi saya merasa ada sesuatu yang lebih
hebat dari sekedar miskin.

Oke.., katakanlah, jelantah dan kerupuk itu mewakili kemiskinan, dan murahan. Tapi
dia juga berarti kasih sayang dari sang miskin pada sesuatu yang besar juga kepada yang
menang. Orang kalau mau jadi gubernur harus dipilih oleh paling banyak pemilih—yang
umumnya adalah orang miskin—yang untuk hidup mereka harus ditopang hal-hal yang
murahan seperti minyak jelantah dan kerupuk.

Fakta selanjutnya, berapa banyak orang yang dibesarkan oleh barang murahan seperti
minyak jelantah dan kerupuk itu. Tapi sekarang, dalam kemapanannya, mereka mengenang
dengan penuh keindahan masa-masa sulit itu. Ini seperti seorang rektor yang mengenang
masa mahasiswanya—dengan menu harian mie instan. Atau seorang pengusaha sukses dalam
deretan orang terkaya di negeri ini yang dengan penuh kebanggaan mengenang masa kecilnya
sebagai anak singkong.

Jadi, dalam lauk murahan seperti minyak jelantah dan kerupuk ini ada peran besar
kepada orang-orang yang tengah berjuang dan merintis jalan. Mereka menemani para
mahasiswa yang tengah kuliah, buruh yang bekerja keras, anak-anak yang menuju
kedewasaannya. Begitu rupanya, puasa minyak jelantah dan kerupuk ini, dia boleh jadi kecil
dan murahan, tapi berperan strategis menciptakan orang-orang besar itu. Orang yang
dihidupinya boleh jadi besar dan menggelegar, tapi mereka tetap jadi jelantah dan kerupuk
yang diremehkan.

***

Dalam salah satu firman-Nya, Tuhan mengatakan: Orang yang berdosa, adalah
mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dalam ayat yang lain dikatakan:
Orang yang diejek itu bisa jadi lebih baik daripada mereka yang mengejek.

Memang, sesuatu yang lemah dan sesuatu yang kecil itu selalu dianggap remeh
bahkan dilecehkan. Tapi sepanjang dia setia pada tugasnya, maka alam semesta akan
menunjukkan penghargaan padanya.(Vol.335, 6/8/2012)

86
Ramadhan; Matematika Spiritual

Ada semacam intuisi spiritual yang menggerakkan mereka melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan orang kebanyakan dalam puasanya. Ini matematika spiritual yang
bertitiktekan pada hubungan dengan Rabb-nya. Dan inti matematika spiritual itu
adalah menjadi mulia

Jaraknya hampir empat puluh tahun lalu. Di siang yang panas, kami sering memanjat
pohon jambu, berlama-lama di dahannya demi semilir anginnya yang nyaris tak lagi
kurasakan. Pohon-pohon itu milik tetangga yang sebagian kami panjat dengan izin, sebagian
lagi ―mencuri-curi‖. Kalau ketahuan—sebelum terdengar hardikan, kami merosot turun
dengan rekor kecepatan tak tertandingi, lalu ngacir tanpa menoleh lagi ke belakang.

Ramadhan adalah sweet memories, tapi Ramadhan juga bulan matematika spiritual.
Itu kusadari dari pengalaman kemarin. Pengalaman pertama, ketika sedari tadi istri di rumah
resah. "Jauh itu bang. Hari panas begini," begitu katanya berulang. Dia mondar-mandir,
antara dapur, dan teras, memandang jalanan dan teriknya Matahari.

Beberapa kali dia bicara melalui handphone. Dengan orang di seberang sana, nadanya
juga resah. Dia menuntun lawan bicaranya ke alamat rumah kami. Sampai tamu yang
ditunggu tiba dengan sepedamotor dan sepaket Sembako. Seorang ibu muda berkacamata
dengan anak Balita. Dia datang untuk tujuan memberi santunan bagi satu keluarga yatim
tetangga kami.

Istri saya benar, jarak dari kawasan Johor ke kawasan Pancing rumah kami memang
tidak dekat untuk ibu dan anaknya ini. Mereka pasti terpapar sinar Matahari yang membakar
itu. Tentu bukan matematika untung-rugi yang membuat ibu muda itu menempuh perjalanan
ini. Tapi pasti karena digerakkan matematika spiritualitasnya.
***

Kutinggalkan ibu muda ini untuk beranjak ke kantor. Panas sekali memang. Tapi aku
memilih sepedamotor ketimbang mobil karena kalkulasi rasional. Panas memang menyiksa,
tapi jauh lebih tersiksa terjebak di lautan macat. Ya, sepanjang pemerintah daerah
mengidolakan pajak kendaraan bermotor untuk PAD-nya, macat akan menjadi ―hantu‖ yang
meraksasa.

Kalkulasi saya sepenuhnya benar, kecuali melupakan satu hal, itulah mengisi minyak.
Aku bukan tidak melihat indikator minyak menyusut, tapi saya memilih mengejar waktu dan
pekerjaan yang menunggu. Aku memang sampai kantor tanpa kekurangan minyak, tapi aku
tak menduga kalau kembali dari kantor juga bakal buru-buru.

Aku harus mengejar waktu. Ada janji buka bersama anak-anak di rumah. Tapi baru
sampai Jl.Pemuda, minyak kendaraanku kandas. Kalau Anda orang Medan tentu bisa
bayangkan jarak antara Jl.Pemuda ke Jl.Gudang—tempat terdekat pengisian minyak. Itu
bukan jarak yang dekat, apalagi harus mendorong kendaraan. Belum lagi waktu berbuka
sudah sangat dekat.

87
Tapi aneh. Aku merasa semangat mendorong kendaraan ini. Keringat yang mengucur
justru menambah semangat. Keringat ini mengingatkanku pada kelakuan kami dulu di bulan
Ramadhan yang suka bermain bola pagi-pagi atau sambil menunggu berbuka. Tapi tirakat itu
sudah lama sekali tak kuamalkan. Selain karena lebih sibuk, secara fisik tak lagi
memungkinkan.

Melintas Lapangan Merdeka, semangat mendorong sepedamotor itu masih kuat.


Sambil mencari-cari penjual minyak eceran aku sampai di depan kantor pos. Pedagang di
sana sudah menutup lapaknya. Kecil harapan menjumpai minyak eceran. Semangatku mulai
mengendur. Capek juga ternyata. Sepedamotor itu sudah tak sekencang tadi. Aku merasa
aspal jalan tidak flat, tapi mendaki.

Di simpang itu sebuah sepedamotor melaju kencang, anginnya dekat sekali kurasa.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya panjang. Rasanya semakin berat. Tapi aku harus
menyeberang jalan di tengah kecepatan kendaraan itu. Setengah berlari kudorong kendaraan
ini. Alhamdulillah selamat, tapi sampai di seberang nafasku memburu. Suara ngaji dari
masjid memaksaku terus buru-buru. Tapi tenaga menipis. Aku berhenti mengumpulkan
energi lagi.

Tapi, oh tidak. Terlalu berat. Aku seperti menarik Gajah. Cukup sudah, aku tak bisa
tepati janjiku kepada anak-anak. Aku mungkin harus shalat Magrib sekaligus Isya di jalan.
―Kenapa om..,‖ seorang anak muda tiba-tiba menyapa dari arah belakang. Dia membonceng
seorang gadis berkerudung. Dengan cekatan dia kemudian mendorong kendaraanku dengan
kakinya sampai galon minyak. Dia langsung melaju tanpa menanti ucapan terima kasihku.

Aku masih ingat wajahnya yang ditutupi helm itu, tirus seperti tubuhnya yang kecil
kurus. Kalau ia mahasiswa pasti akan tamat dengan mengesankan, kalau mereka suami istri
pasti samara, dan kalau ia jadi pejabat pasti akan membanggakan.

***

Puasa Ramadhan untuk tujuan takwa, terangkai dengan ―tujuan antara‖ yaitu cerdas
untuk selalu dalam kebenaran, La`allahum Yarshudūna (QS.2:186). Ibu muda berkacamata
dan anak muda berboncengan itu, memiliki kecerdasan memasuki wilayah kebenaran.

Ada semacam intuisi spiritual yang menggerakkan mereka melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan orang kebanyakan dalam puasanya. Ini matematika spiritual yang
bertitiktekan pada hubungan dengan Rabb-nya. Dan inti matematika spiritual itu adalah
menjadi mulia.(Vol.633, 4/7/2016)

88
Seni Puasa

Allah SWT itu indah dan menyukai keindahan. Ini mungkin sebabnya dalam setiap
ridha-Nya akan selalu terasa keindahan di sana

Kalau inti puasa adalah menahan bukan melampiaskan, menyublimasi bukan


mengekspolitasi, maka penantian utama orang berpuasa adalah batas-batas menahan dan
menyublimasi itu. Kalau landasan puasa itu adalah cinta, maka puncak-puncak keindahan
adalah maqam selanjutnya.

Seperi kata Anis Matta, kamu takkan pernah sanggup mendaki sampai ke puncak
gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanya sekumpulan keyakinan semu
dan beku, tanpa nyawa tanpa gerak, tanpa daya hidup, tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh
cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh
daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri...

Muhammad Iqbal pun senada, cinta tidak hanya menghidupi tapi dia juga abadi. Ada
jalan panjang dan berliku yang tiada henti. Iqbal menulis dalam syairnya

Cinta itu abadi

Dan ke dalam keabadian ia pergi

Orang-orang ini ternyata telah lama menyadari bahwa memang ada kandungan
universal dan keabadian dalam cinta dan keindahan-keindahan. Bahkan ajaran parenialisme
juga tak sanggup menolak sifat-sifat universal dari cinta dan keindahan ini. Walau ujung-
ujungnya mereka menelikung dengan menyamaratakan semua agama—ibaratkan hutan yang
hijau lebat, kata mereka, tanpa membedakan jenis pepohonan itu. Padahal pohon-pohon
sugguh berbeda satu sama lainnya; ada yang besar dan kuat, ada yang kecil dan lemah, ada
yang bekhasiat obat, ada pula yang jadi racun yang bisa membunuh.

Maka ketika engkau berpuasa, menahan segala amarahmu, saat-saat ditimbuni segala
fitnah dan prasangka, maka engkau akan indah dengan sendirinya. Seperti seorang anak yang
bahkan mengangkat kepalanya ia tak sanggup, tapi keukeuh menjalankan laku puasanya.
Kedua orang tuanya melihat sang anak dengan senyum kecut. Di langit hatinya mendung
menyelimuti karena keindahan yang sedang ditatapnya itu.

Tapi ketika waktu berbuka, segala mendung itu sirna. Seperti judul lagu Raisa:
Apalah Arti Menunggu. Begitulah puasa, ada kandungan seni di dalamnya. Ia menghasilkan
keindahan.

***

Hari ini 67 tahun lalu begitu sibuknya. Suasana dipenuhi tidak saja ketegangan tetapi
juga semangat yang membara. Ada taktik yang dilancarkan, ada strategi yang diadu. Bung

89
Karno, Bung Hatta dan para pemuda terlibat perdebatan. ―Pokoknya harus merdeka sekaran
juga,‖ suara para pemuda itu penuh tekad.

Hari ini pengulangan sejarah itu terjadi. 17 Agustus 2012 saat proklamasi itu
didengungkan, adalah Ramadhan, bertepatan di hari Jumat, begitu juga besok. Mereka
berjuang, mereka juga berpuasa. Pesannya jelas sekali, berpuasa bukan sekedar berteduh-
teduh, berleha-leha sambil berharap masuk surga.

Tapi puasa adalah perang yang sesungguhnya. Mengalahkan tentakel-tentakel liar


dalam Dirimu. Ketika engkau menjadi pemenang atas dirimu, maka segala urusan perang di
luar sana menjadi kecil saja. Dengan cara seperti inilah perang Badar itu dimenangkan kaum
Muslimin. Perang di bulan Ramadhan itu dimenangkan meski dengan jumlah yang lebih
sedikit.

Ini adalah perang yang ditaklukkan oleh energi puasa. Perang yang dijauhkan dari
segala hawa nafsu membinasakan, tapi didasarkan pada cinta dan kepatuhan kepada yang
Mahamemiliki. Ini perang yang melahirkan kehidupan-kehidupan dari kematian.

Oleh karenanya dia bukan jenis perang yang dipenuhi dendam, keserakahan dan nafsu
superioritas. Seperti perang Vietnam yang membuat bumi seakan menjadi sepotong neraka,
dalam pandangan Jhon Lenon. Atau perang yang melahirkan keputusasaan hingga
mewujudkan suatu generasi hyppies di dunia Barat. Bukan pula penindasan kepada yang
lemah oleh Israel, sehingga membuat Rachel Corrie, wanita Amerika itu merelakan tubuhnya
dilindas tank zionis.

***

Saya bertanya-tanya, mengapa kata-kata ini masih terus saya ingat. Ada seorang
teman masa remaja yang sering bersama kami sekawanan mendatangi rumah ke rumah ketika
Idul Fitri tiba. Kami cukup menyambangi sambil bermaafan-maafan tanpa sempat singgah di
rumah yang telah mempersiapkan segala kemeriahannya itu.

Kami mendatangi sederet daftar rumah. Dari yang penghuninya ramah penuh
kesopanan, sampai orang yang dingin, bahkan dikenal galak. Tapi di lebaran kali itu kami
sukses menyambangi semuanya dengan penerimaan yang aduhai. Semuanya welcome,
semuanya senang. Dan inilah kalimat teman saya itu: ―Enak ya kalau hari raya kayak gini,
semuanya jadi ramah-ramah,‖ katanya.

Setiap lebaran datang, saya seperti mengulang kembali ingatan kalimat tersebut.
Belakangan saya ingat, puasa waktu itu kami adalah kelompok remaja yang menghabiskan
banyak waktu untuk kegiatan Ramadhan. Dari mulai pesantren kilat, sampai mempersiapkan
kegiatan perlombaan. Rasanya sebulan penuh kami berpeluh. Maka saya tahu sekarang,
ucapan itu hanya refleksi dari keindahan yang sedang dirasakannya. Allah SWT itu indah dan
menyukai keindahan. Ini mungkin sebabnya dalam setiap ridha-Nya akan selalu terasa
keindahan di sana.(Vol.338, 16/8/2012)

90
“Sesuatu...”

Saat akal sehat bekerja, dia akan cenderung melancarkan segala sesuatunya.
Selanjutnya potensi itupun memercik-mercik. Dia bukan sekedar “sesuatu”. Tapi jiwa
yang sadar itu akan menghasilkan keluarbiasaan. Iqbal menggambarkan: “...ialah
dunia, gemetar hingga ke dasar-dasarnya”

Salah satu doa yang paling sering diucapkan adalah doa mendapat kesehatan. Setiap
kali pertemuan antara dua orang, hal pertama yang ditanyakan adalah kabar tentang
kesehatan. ―Apa kabarmu teman.., sehat-kan...?‖

Biasanya jawaban atas pertanyaan ini bunyinya begini: ―Sehat Alhamdulillah..,‘‘


sembari balas bertanya hal yang sama.

‗‘Syukurlah, itu yang penting..,‘‘ katanya si penanya lagi.

Saking seringnya, rangkaian kalimat ini telah menjadi password dalam pertemuan dua
orang sahabat yang telah sekian waktu tak bersua. Ketika Anda mendengar percakapan jenis
ini, sejatinya mereka sedang ingin melibatkan langit untuk kesehatan mereka.

Sebab kesehatan adalah pangkal dari aktivitas manusia di belantara hidupnya.


Sejauhmana kaki bisa melangkah seringkali ditentukan pada sejauhmana kesehatan itu
terpelihara, sebesar apa tindakan yang bisa dikerjakan, selalu saja bergantung pada sekuat apa
kesehatan itu dimiliki.

Tidak perlu kecerdasan tinggi untuk memahami hal seperti ini. Sama halnya ketika
memahami bagaimana kesehatan itu berlangsung. Karena kesehatan itu cuma soal kelancaran
belaka. Para ahli kesehatan telah menemukan bahwa darah yang mengalir lancar pada
proporsinya, adalah pangkal tubuh yang sehat.

Lancar itu berarti mengalir tanpa tersendat, apalagi terhenti dan mengendap. Darah
yang mengendap ini adalah penyebab bermacam-macam penyakit mengerikan. Tidak cuma
darah, apa saja yang mengendap tak mengalir adalah sumber segala malapetaka; harta yang
mengendap akan menimbulkan kesenjangan, makanan yang mengendap akan basi, dan
bangkai yang mengendap akan busuk.

Maka endapan itu selalu saja berkorelasi dengan akal yang tak bekerja secara sehat.
Karena ia telah dengan sengaja mendatangi kesakitan.

***

Ketika menelisik tentang kepuasan, Hermann Heinrich Gossen menemukan kenyataan


bahwa kepuasan atas suatu alat pemuas itu berlangsung dalam bentuk piramida terbalik. Dia
merumuskan bahwa—"Jika pemuas suatu benda berlangsung terus menerus, kenikmatan
mula-mula mencapai kepuasan tertinggi. Namun makin lama makin turun, sampai mencapai
titik nol"—yang dikenal dengan Hukum Gossen.

91
Sederhananya seperti ini. Tegukkan pertama ketika Anda minum akan lebih nikmat
daripada tegukkan kedua ataupun ketiga. Maka hukum ini berlaku kepada berbagai bentuk
interaksi manusia dengan alam raya. Termasuk ketika Anda saling sapa tadi. Jawaban yang
senada dirasa tidak lagi memuaskan.

Maka ketika sapaan itu kembali muncul, ―Apa kabarmu teman.., sehat-kan..?‖

―Yaahhh, ginilah, sehat-sehat orangtua...‖ Ini jenis jawaban dari orangtua, setengah
tua atau orang yang baru akan beranjak setengah tua. Ucapan seperti ini lebih mirip parodi
atau guyonan ketimbang doa.

Lain lagi kalau remaja atau kelompok orang yang menuju kedewasaannya. ―Apa
kabar..,‘‘ bunyi sebuah sapaan.

Maka jawaban yang sedang populer itu singkat saja: ―Sesuatu...‘‘

Serta merta jawaban ini mengundang misteri, paling tidak, berupaya menyajikan
misteri kepada orang yang mendengarnya. Yang jenis ini lebih mirip risiko bertanya dan
beramah tamah ketimbang sebuah lelucon yang menggelikan.

Baik jawaban pertama maupun kedua, mereka adalah jenis jawaban yang
mengendapkan makna. Benak Anda tidak bisa meluncur lancar tetapi harus berhenti di
jawaban itu untuk bisa menafsirkan apa yang diucapkan.

Anda jangan salah menduga. Saya bukan menganjurkan Anda menjawab dengan
jawaban yang sama setiap kali sapaan itu datang. Tapi langit selalu terlibat dalam setiap
bunyi yang engkau hasilkan.

***

Kalau seorang Leonel Messi demikian piawai menggiring bola, itu karena dia terus
menerus melatih dan mengasah kemampuannya. Sama seperti Oscar De Lahoya di masa
jayanya, bisa dengan ―indah‖ menjatuhkan lawannya ke kanvas, itu karena kemampuan
teknik, taktik dan power-nya terus menerus dilatihnya.

Aliran darahnya lancar mengalir menggerakkan seluruh persendiannya, selancar


konsistensi dan komitmen yang ditunjukkan. Begitulah kelancaran itu, konsistensi atas
dirinya akan meledakkan potensi-potensi. Urut-urutannya begini, saat akal sehat bekerja, dia
akan cenderung melancarkan segala sesuatunya. Selanjutnya potensi itupun memercik-
mercik.

Dia bukan sekedar ―sesuatu‖. Tapi jiwa yang sadar itu akan menghasilkan
keluarbiasaan. Iqbal menggambarkan ini dalam bait puisinya: ―...ialah dunia, gemetar hingga
ke dasar-dasarnya‖.(Vol.253, 26/9/2011)

92
Watak Derita

Watak derita itu memang unik. Dia akan bertambah jika si penderita cuma fokus pada
deritanya sendiri. Sebaliknya dia akan berkurang bahkan menghilang apabila si
penderita bekerja meringankan derita orang lain

Anak muda itu sumringah. Makanan segar yang terbungkus hangat itu pasti nikmat
sekali dilahap saat lapar. Di bawah rindang pohon dia mulai membuka lapak bersiap
menyantap—ketika seorang anak kecil lecek tiba-tiba berada di sampingnya dengan tatapan
mau runtuh.

Insting anak muda itu segera bekerja. Ia membalikkan badannya memunggungi anak
tadi. Dia pun mulai makan. Tapi sebelum suapan pertamanya sampai ke mulut, ia geleng-
geleng kepala sendiri. Kepada anak tadi ia kembali menatap, matanya masih penuh seluruh—
sebelum senyumnya mekar menerima bungkusan makanan yang belum sempat disentuh itu.
Si anak melompat, menyambar makanan itu dan berlari menjauh.

Adegan ini pernah saya lihat di salah satu televisi, tapi entah kapan dan di mana.
Tidak dijelaskan pula apa yang terjadi kemudian dengan si anak muda. Tapi kesannya masih
saya rasakan. Sifat kesan memang seperti itu, ia seperti satelit yang diantarkan roket
peluncur. Ketika tiba di orbitnya, sang roket tak jelas lagi di mana berada.

Mengingat anak muda itu, saya mengingat KH.Agus Salim yang melepaskan jabatan
Pemimpin Redaksi Hindia Baroe justru di saat koran itu sedang populer di tahun 1926.
Pasalnya dia diminta melunakkan kritik terhadap pemerintah Hindia Belanda. ―Keyakinan
saya tentang peri kehidupan; dan pendapat saya tentang pemerintah Hindia Belanda serta
kebijaksanaannya, saya tidak bersedia tawar-menawar,‖ katanya kepada sahabatnya,
Muhammad Roem.

Saya juga teringat Sayyid Qutbh yang harus menghadapi hukuman gantung di tahun
1966 karena menentang penguasa kala itu. ―Kata-kata kita memang tetap tak bernyawa,
tandus, tanpa gairah, sampai kita mati sebagai akibat dari kata-kata ini. Tetapi kata-kata itu
akan tiba di ―musim semi‖ untuk hidup dan hidup di antara hati yang mati, membawa mereka
untuk hidup juga,‖ kata penulis Tafsir Fi Zhilalil Qur`an ini.

Anak muda itu, KH.Agus Salim, dan Sayyid Qutbh bagi saya sedang berada di adegan
hidup yang sama. Mereka sama-sama mendatangi deritanya sendiri dengan cara bekerja
untuk orang lain, untuk negaranya, untuk agamanya. Tapi untuk apa?

***

Ketika pengungsi Rohingya datang berperahu-perahu, mereka juga ―menawarkan‖


deritanya kepada negara-negara tetangga. Itu sebabnya beberapa menolaknya, termasuk
pemerintah Indonesia pada awalnya. Tapi selalu ada jalan, kali ini dari hati para nelayan
Aceh yang dengan lembut menolong dan menyelamatkan mereka dari horor kematian di
tengah laut.

93
Mengapa pemerintah Indonesia terkesan menolak? Alasannya saya kira mudah
ditebak. Bukankah negeri yang disebut Indonesia ini adalah negeri yang penuh derita. Anda
bisa sebut satu persatu; listrik byarpet, BBM naik terus, harga cabe menjulang, partai politik
bikin ribut, jumlah orang miskin jutaan jiwa, orang miskin ―dilarang‖ sakit, UMR masih jadi
masalah, kekayaan negara dikuasai kelompok kecil, begal marak, banjir jadi langganan,
hukum jadi mainan, dan seterusnya dan seterusnya.

Sudah-lah penuh derita, kok ya masih mau menampung penderitaan orang lain pulak,
begitu logikanya. Tapi benarkah logika ini? Jawabnya benar, sepanjang ia diperlakukan
sebagai logika umum. Tapi soal derita ini, ternyata bukan domain umum, ia masuk lex
specialis. Artinya watak derita khas, ia butuh disebar untuk terurai.

***

Apa yang terjadi ketika ribuan pengungsi Rohingya itu tiba di Aceh? Bantuan
mengalir tanpa henti. Dari mulai anak-anak, pelajar, perempuan, laki-laki semuanya bergerak
ikut terlibat memabantu. Para relawan lintas organisasi turun tangan membantu. Konvoi
kendaraan sarat logistik untuk pengungsi mendadak jadi pemandangan lumrah. Posko-posko
bantuan berdiri meski tanpa komando. Pengumpulan bantuan untuk berlangsung di mana-
mana. Semuanya untuk maksud yang sama: membantu.

Belakangan pemerintah Indonesia melalui instruksi Wapres Jusuf Kalla ikut-ikutan


membantu. Penanganan secara struktural pun mulai dilakukan. Lokasi pengungsi mulai
disediakan secara resmi, perangkat negara pun mulai bekerja. Di saat pemerintah ikut
membantu, rakyat bantuan masyarakat belum berhenti mengalir.

Kalau sudah begini, rasanya lebih sulit mengenali apakah memang bangsa ini tengah
didera derita. Dan inilah jawaban ―untuk apa‖ dari ketiga orang tadi—anak muda itu,
KH.Agus Salim, dan Sayyid Qutbh. Mereka menjumpai deritanya karena orang lain untuk
mengurai bahkan menghilangkan deritanya sendiri.

Watak derita itu memang unik. Dia akan bertambah jika si penderita cuma fokus pada
deritanya sendiri. Sebaliknya dia akan berkurang bahkan menghilang apabila si penderita
bekerja meringankan derita orang lain.(Vol.572, 28/5/2015)

94
PERPUSTAKAAN...

95
Islam Dan Politik

Karena sifatnya yang kaffah maka integritas Islam dalam dunia politik memiliki akar
kebenaran dalam ajaran Islam. Hubungan Islam dan politik harus terus berlangsung
sesuai konsep al Islam salihun likulli zaman wa makan (Islam sesuai untuk segala masa
dan tempat)

Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan politik masih terjadi di dalam beberapa
kesempatan. Paling tidak hal ini masih menjadi pertanyaan besar di beberapa kalangan,
khususnya umat Islam di tingkat grassroots. Mengapa Islam dibawa-bawa dalam masalah
politik?

Islam sebagai ajaran agama yang suci akan menjadi ―kotor‖ jika ditarik-tarik ke dalam
urusan politik yang profan. Para pemuka agama dianggap telah ‘menjual‘ agama untuk
kepentingan politik semata; yang ujung-ujungnya adalah untuk kekuasaan dan harta.

Kita harus mengakui bahwa anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi juga
tidak sepenuhnya benar. Ada orang-orang yang menggunakan agama sebagai alat untuk
mencari simpati umat. Agama Islam dipakai hanya sebagai simbol-simbol semata tanpa
penghayatan yang dalam.

Kalau di musim kampanye Pemilu ini ada seorang Caleg yang tiba-tiba
berpenampilan layaknya orang yang ’alim, itu dilakukannya karena dia beranggapan hal
tersebut akan lebih menguntungkannya dibanding jika dia berpenampilan ala preman. Atau
kalau banyak pemuka agama yang didatangi calon atau partai tertentu—memanfaatkannya
sedemikian rupa—karena pada umumnya yang datang meninggalkan ―buah tangan‖.

Sesungguhnya ini bukanlah hal yang menjadi substansi dari hubungan Islam dan
politik. Tetapi lebih merupakan persoalan teknis yang cenderung termanfaatkan oleh para
praktisi politik bersimbol Islam.

Namun politik sebagaimana sektor lainnya adalah sub sistem Islam. Dalam kehidupan
sosial umat, maka kesucian ajaran Islam tersebut harus memiliki power mengatur tata
kehidupan manusia. Oleh karenanya manusia berkewajiban menjalankan suatu proses agar
nilai-nilai Islam bisa meresap ke dalam sektor politik.

Apa jadinya jika politik tanpa nilai-nilai Islam? Dan apa pula jadinya jika dunia
politik sama sekali bebas nilai dan bergerak sekehendak hatinya? Apa jadi jika umat Islam
menjauh dari dunia politik dan ‘kursi‘ politik hanya diisi oleh orang bukan Islam. Alih-alih
meyakini Islam itu kaffah akhirnya terjebak sekulerisme.

***

Salah satu warisan penjajahan Hindia Belanda di negeri adalah pola keberagamaan
yang simbolik. Berbagai aktivitas keberagamaan tidak menjadi target Belanda untuk
dihempang. Tetapi urusan agama harus dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat seperti
persoalan politik. Karena agama adalah urusan manusia dengan Tuhan, sedangkan politik dan

96
berbagai masalah yang mengikutinya adalah bersifat keduniawian. Pola seperti ini sengaja
dibiarkan hidup malah dirangsang berkembang.

Kesan yang ingin ditimbulkan adalah; meski menjajah, tapi Belanda tidak
mengganggu kehidupan beragama. Tujuannya tidak lain untuk meredam kemarahan umat
yang bisa mengkibatkan bersatunya perlawanan. Umat akan tetap merasa baik-baik saja
karena agama tidak diganggu. Jurus ini terbukti efektif melanggengkan penjajahan Belanda
hingga ratusan tahun.

Ide sekulerisasi ini kemudian diteruskan Almarhum Nurcholish Madjid yang pernah
menyatakan bahwa pembaruan Islam sudah menjadi keharusan. Caranya, katanya, dengan
melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan berorientasi ke masa depan.

Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi yang dikenakan terhadap ajaran-ajaran
Islam yang ada sekarang ini. Untuk itu, Cak Nur mengatakan ada tiga proses yang harus
dilakukan yaitu sekulerisasi, kebebasan intelektual dan agasan kemajuan dan sikap terbuka.

***

Karena sifatnya yang kaffah maka integritas Islam dalam dunia politik memiliki akar
kebenaran dalam ajaran Islam. Di samping itu memiliki arti yang strategis dalam kemajuan
umat Islam dalam merentas proyek peradaban dunia.

Lebih jauh lagi, hubungan Islam dan politik harus terus berlangsung dengan
mengambil bentuk yang semakin sempurna dari masa ke masa, sesuai konsep al Islam
salihun likulli zaman wa makan (Islam sesuai untuk segala masa dan tempat).

Maka semestinya sudah harus tuntas pemahaman tentang hubungan antara Islam dan
politik. Dan debat tentang hal ini justru tidak lagi produktif dalam dialektika perkembangan
Islam dan politik itu sendiri, juga tidak menguntungkan bagi kepentingan umat Islam.

97
Memuasai Unsur Ketiga

Sebagian prasangka itu adalah kesalahan (dosa). Karenanya dia harus dipuasai. Jika
engkau sukses memuasai unsur ini, perhatikanlah seksama, semua yang ada di
sekelilingmu perlahan berubah indah

Sudahkah sampai padamu kisah Umar bin Khattab blusukan? Kala itu paceklik berat.
Hujan tidak turun, pepohonan mengering, dan hewan peliharaan banyak yang mati.

Umar bergetar-getar hatinya, setiap hari ia menyediakan makanan gratis pada


rakyatnya. ―Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tangan ini,"
pintanya mendalam.

Maka tanpa membawa wartawan, hampir setiap malam Umar blusukan. Ia ingin tahu
kehidupan rakyatnya. Tibalah di kampung kecil di tengah gurun. Dari sebuah kemah reot
terdengar seorang gadis kecil menangis. Di sana perempuan tua menjerangkan panci sambil
mengaduknya.

Kehadiran Amirul Mukminin ditanggapi dingin. Pertanyaan sang penguasa juga


dijawab setengah acuh.

Astaga! Umar baru tahu, perempuan ini memasak batu untuk menghibur lapar
anaknya. Sejak pagi mereka belum makan apa-apa. Si anak disuruh puasa, dengan harapan
ketika berbuka mendapat rezeki. Namun sampai lepas Magrib, makanan belum ada juga.

"Anakku terpaksa tidur dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil,
memasukkannya ke dalam panci dan kumasak, dengan harapan ia tertidur lelap sampai pagi.
Ternyata tidak mungkin. Karena lapar, ia bangun, menangis minta makan. Sungguh Umar bin
Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.‖

Umar terlecut hatinya. Di lari sejadi-jadinya ke istana, memikul sendiri sekarung


gandum untuk rakyatnya itu. Melihat Umar kesulitan, seorang Sahabat menawarkan
punggungnya untuk membantu. Tapi wajah penguasa ini malah memerah. "Jangan
jerumuskan aku ke Neraka. Apakah engkau mau memikul beban di pundakku ini di hari
pembalasan kelak?," Umar menunjukkan kualitas tanggungjawabnya.

Ini sungguh kisah yang inspiratif, tapi sikap perempuan tua itu yang jadi perhatian
saya. Ia acuh dan tanpa espektasi, karena tak mengenal lawan bicaranya. Kalau tahu sedang
bicara dengan raja, sikapnya tentu berubah.

***

Setelah penyampai pesan, dan pesan itu sendiri, unsur ketiga dari lima unsur dalam
kajian komunikasi, adalah penerima pesan (komunikan). Unsur ini telah sedemikian rupa
menjadi bahasan intensif oleh para pakar khususnya dalam dekade belakangan ini.

98
Bahwa bentuk manusia itu bermacam ragam, dan aneka pula kecenderungannya.
Tiap-tiap kecenderungan punya konsekuensi sendiri pada jenis pesan yang harus diterimanya.
Ia juga akan berimplikasi pada tujuan yang hendak dicapai (effect).

Kenyataan ini mengindikasikan dengan sangat kuat bahwa salah satu bahasan ilmu
komunikasi adalah "membaca orang" (to read people)—yang dengannya karakter dan latar
belakang orang diinventarisir, kecenderungan diakumulasi, hingga reaksi dan respons akan
terkalkulasi secara terukur.

Tentu saja saya tidak sedang menulis jurnal komunikasi. Tapi betapa tanpa "bacaan"
yang benar, maka unsur ketiga ini sangat rawan terdistorsi. Alquran menyebut distorsi ini
dengan su'uzhan (prasangka buruk). Ujungnya adalah ketidakpresisian dalam menangkap
wujud unsur ketiga tersebut.

Akhirnya, yang terjadi adalah pesan-pesan yang tak bermakna, bahkan menyimpang.
Apa contohnya? Ooo... banyak sekali. Kita jadi terbiasa melihat mobil berhenti, justru di
bawah simbol dilarang parkir. Orang mengepul-ngepulkan asap rokoknya di sisi tanda
dilarang merokok. Kita menyangka orang butuh simbol-simbol untuk bsa diatur, tapi
nyatanya tidak.

Ada juga jenis "salah baca" kolektif akibat distorsi pesan yang dilakukan dengan
terstruktur dan massif. Ini seperti sikap penyesalan takkala orang yang engkau pilih jadi
pemimpin ternyata bukan cuma orang yang tidak tepat, tetapi juga orang yang terus
merongrong hidupmu dan masyarakatmu.

***

Surat perintahnya seperti ini: ijtanibu kasiran minaz zanni, inna ba’daz zanni
ismun.../jauhi kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa...
(QS.49:12).

Perintah ini dirangkai secara langsung dengan alasannya. Bahwa sebagian prasangka
itu adalah kesalahan (dosa). Jika merujuk bahasan komunikasi, maka kesalahan ini akan
ngefek pada tujuan-tujuan dalam hidupmu. Karenanya dia harus dipuasai.

Ini jenis kesalahan yang berimplikasi lebar dan bisa sangat serius. Bahkan segala
galau yang dialami, semua kesemrawutan yang engkau rasakan saat ini, begitu banyak yang
bersumber dari kesalahan membaca orang lain. Jika engkau sukses memuasai unsur ini,
perhatikanlah seksama, semua yang ada di sekelilingmu perlahan berubah indah.(Vol.585,
13/7/2015)

99
Peran Terendah

Setiap kesemrawutan dan kekeliruan merajalela, sejatinya adalah lahan subur bagi
siapa saja menabur kebaikan dan keberpihakan pada kebenaran. Walaupun mungkin
ini cuma sekedar iman paling rendah

Di bulan Ramadhan ini setidaknya ada dua peristiwa yang membuat saya bersedih
sekaligus bergembira. Peristiwa pertama adalah huru-hara Mesir yang banyak menewaskan
korban. Dan peristiwa kedua adalah soal FPI, menyusul peristiwa menewaskan seorang
warga.

Presiden Moursi yang terpilih secara demokratis itu telah dikudeta militer karena
demonstrasi. Jabatannya dilucuti secara sepihak, sewenang-wenang. Tapi giliran pendukung
Moursi berunjukrasa, militer menembaki mereka hingga berguguran bersimbah darah.

Soal FPI. Ormas ini tujuan hidupnya cuma satu: memberantas maksiat di saat pihak
yang diberi amanah justru melempem. FPI tak seharusnya ada, kalau maksiat itupun tak ada.
Ya.., sesederhana itu. Ini juga bukan tanpa alasan. Kalau ada pertanyaan: Siapa yang
mendukung maksiat coba tunjuk tangan.., saya yakin nasibnya cuma akan sekelas "partai
gurem". Tapi pembelaan maksiat itu nyata sekali, dipertontonkan dengan demonstratif. Ini
menyedihkan.
***

Kalau keseluruhan diri kita dibentuk pengalaman yang datang silih berganti. Maka
seperti puzzle, potongan-potongan pengalaman itu kait mengait, membentuk kesatuan
pemahaman akan sesuatu. Inilah kemudian yang menentukan mutu seseorang--dari aplikasi
pemahaman tersebut--berbentuk sikap, pandangan, dan perilaku. Setiap sikap dan perilaku
akan mencari referensi dari pengalaman yang pernah ada. Maka ada garis lurus terbentang
dari pengalaman di ujung yang satu, sampai ke sikap perilaku di ujung yang lain.

Misalnya begini. Kalau secara mendadak Anda ditanyakan: Siapakah Presiden


Zimbabwe pertama? Atau kalau terlalu sulit, pertanyaannya diganti: Siapakah penemu
sambal belacan? Untuk menjawabnya, otak akan memanggil semua memori di back-mind
yang terkait dengan Presiden Zimbabwe dan belacan--ini seperti kata kunci dalam mesin
pencari di internet.

Engkau yang memahaminya akan bisa menjawab panjang lebar dengan tingkat presisi
terukur. Tapi ini bukan hal gampang. Ada tingkat-tingkat kesulitan yang harus dilalui, ada
dinamika bahkan seperti kata Chairil Anwar ada 'sedu sedan' di sana. Inilah mengapa Tuhan
melebihkan beberapa derajat orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.

Tapi pengalaman itu sesuatu yang bisa direkayasa. Pendidikan itu sendiri adalah
rekayasa pengalaman. Dia berasal dari pelajaran yang diulang-ulang karena pengulangan
adalah kunci bagi sebuah tempat di ingatan. Semakin sesuatu diulang, semakin besar
potensinya menjadi penghuni ruang di dalam benakmu. Teknik pengulangan ini dicontohkan
Alquran. Satu kalimat, diulang dalam kalimat lain, kisah dalam satu ayat juga bisa dijumpai

100
di ayat lain. Bahkan dalam surah Arrahman, satu kalimat tentang penegasan nikmat Allah
diulang berkali-kali.

Dalam tataran komunikasi massa, pengulangan itu memiliki benang merah dengan
"efek yang tertunda". Tujuannya sama, yakni ingin mengisi memori orang. Dan ketika
memori ini punya posisi dalam benak, ketika itu pula ia jadi referensi bagi sikap dan
perilakumu. Jadi Anda tidak harus tercengang kalau harga iklan sabun mandi, sepeda motor
di TV itu ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Karena ia punya peran strategis, yakni mengisi
jutaan kepala dengan memori tentang mereka. Mereka akan jadi referensi otakmu setiap kali
kebutuhanmu muncul.

Celakanya seolah ada jarak yang jauh sekali terbentang antara kesadaran kita dengan
nilai strategis media. Kondisi ini pada gilirannya membuat kita mengambil sikap yang keliru,
bodoh, bahkan kejam secara sukarela.

***

Setelah kekuasaan Moursi diambilalih secara paksa, setelah sekira ratusan nyawa
rakyat Mesir tewas di tangan militer, dan setelah kesyahduan Ramadhan tak lagi sempat
dinikmati umat Muslim di sana--nada sumir justru datang dari negeri ini.

Jokowi misalnya, pemimpin yang dikagumi secara "kalap" oleh pendukungnya ini
malah menuding Moursi eksklusif. Saya tidak tahu apakah dengan mengatakan itu, dia
sedang mengagumi dirinya sendiri yang rajin mblasak-mblusuk. SBY pun senada. Ketika
negeri ini diharapkan membantu saudaranya di Mesir, SBY justru meminta WNI tidak
terlibat. Pernyataan ini secara langsung berhadap-hadapan dengan seruan ulama kharismatik
kontemporer Syeikh Yusuf Qardhawy agar WNI juga WN Malaysia membantu Muslim
Mesir yang menghadapi ancaman pembunuhan oleh militer.

Sedangkan FPI sedang jadi bulan-bulanan. Peristiwa tewasnya warga dimanfaatkan


jadi momentum wacana pembubarannya. Soal maksiatnya? Tenggelam sudah seiring riuh
rendah itu.

Sikap seperti Jokowi dan SBY terhadap Mesir, dan perilaku "mendukung" maksiat ini
agaknya refleksi belaka. Karena banyak orang di luar sana punya pandangan serupa.
Referensi pikiran mereka yang disesaki informasi media telah memerintahkan bersikap
keliru, bahkan kejam dan zalim.

Inilah yang menggembirakan saya. Karena setiap kesemrawutan dan kekeliruan


merajalela, sejatinya adalah lahan subur bagi siapa saja menabur kebaikan dan keberpihakan
pada kebenaran. Walaupun mungkin ini cuma sekedar iman paling rendah.(Vol.434,
1/8/2013)

101
Privat

Jantung bekerja keras dengan disiplin untuk memompakan darah ke sekujur tubuh.
Yang dengan kerja keras dan disiplin itu, dirimu terbentuk. Maka jika engkau tidak
disiplin dan tak mau bekerjakeras, itu artinya engkau sedang mengabaikan dirimu
sendiri.

Majelis tengah malam itu ramai luar biasa. Jauh lebih ramai dari sebelumnya. Saya
tidak tahu. Mungkin keramaian orang malam itu adalah untuk menyongsong tanazalul-l
malaa’ikatu warruuhu fiihaa, suatu gelombang malaikat yang berbondong-bondong turun di
tengah kesunyian malam.

Atau mereka datang karena menyongsong pembesar dari Jakarta yang memang
sedang datang. Ini bisa jadi ―petaka‖ karena mereka akan mengabaikan pesta pora para
Malaikat malam itu. Tapi bisa jadi pula keberbondong-bondongan orang malam itu untuk
tujuan keduanya, menyambut pejabat sekaligus ―menikmati‖ lailatul qadar. Kalau yang ini
fifty-fifty.

Tapi baiklah, saya pun merasa lebih nyaman untuk ber-husnuzhon saja. Semua yang
hadir malam itu adalah orang-orang yang ingin ikut merasakan keriuhrendahan pesta rahmat
dalam keheningan—bersama rombongan ribuan, jutaan Malaikat yang turun secara
bergemuruh dari langit—dipimpin Sang Ruh, Jibril As. Para malaikat ini turun atas izin resmi
dari Allah SWT.

Para Malaikat itu masing-masing membopong berlaksa-laksa rahmat bagi siapapun


manusia yang menginginkannya, merindukannya dan memiliki kesiapan untuk menerimanya.

Benar..., hanya bagi orang yang punya kesiapan untuk menerima saja.

Maka perasaan saya tidak punya pilihan lain kecuali harus merasa bahagia sekali
berada di tengah-tengah para perindu itu. Hati saya berujar, selain Rasulullah SAW dan
keluargaku, maka orang-orang Mukmin itu adalah orang-orang yang aku harapkan bisa
bertemu di yaumul akhir kelak—mereka yang merindukan berpestapora dalam kesunyian
lailatul qadar.

***

Politik Sakoku (isolasi) pun lenyap seiring runtuhnya kekuasaan Shogun Tokugawa.
Maka muncullah Kaisar Meiji memimpin bangsa Jepang. Di titik ini Jepang mulai mengenal
modernisasi, melalui Restorasi Meiji. Sejak itu bangsa ini cuma kenal kerja keras dan disiplin
sebagai kewajiban. Dan wushh.., Jepang menjadi negara maju dan terdepan di Dunia.

Maka saya bisa fahami kalau ada yang menyebut begini; Soal disiplin dan kerja keras,
belajarlah ke Jepang. Tapi siapakah yang menyangka kalau guru terbaik dalam kedua hal itu
ada di dalam diri kita sendiri. Cobalah, di suatu malam yang hening, Anda bangkit diam-
diam, jangan tahu orang tua, saudara, anak dan istri atau suamimu. Langkahkah kaki pelan-
pelan sehingga tak semut pun terbangun.

102
Kemudian cobalah duduk santai, pejamkan mata, aktifkan pendengaran dalam volume
maksimal. Dengarkan suara denyut jantungmu berdetak. Nanti engkau akan mendengar irama
yang stabil secara terus menerus. Dari awal hidupmu, dia telah terus berdenyut tanpa henti,
dengan irama yang stabil pula. Antara satu denyutan dengan denyutan sebelum dan
sesudahnya, dia punya jarak yang sama. Begitu seterusnya.

Jantung bekerja keras dengan disiplin untuk memompakan darah ke sekujur tubuh.
Yang dengan kerja keras dan disiplin itu, dirimu terbentuk. Maka jika engkau tidak disiplin
dan tak mau bekerjakeras, itu artinya engkau sedang mengabaikan dirimu sendiri.

Hanya jika engkau mengabaikannya, maka denyut itu akan melambat atau semakin
cepat. Kekeliruanmu dalam bersiplin hanya akan membuatnya semakin keras bekerja. Tapi
dia tetap disiplin untuk berdenyut. Bayangkan kalau kemalasanmu dan ke-seenakan-mu itu
dibalasnya dengan berhenti berdenyut, maka engkau akan tinggal sejarah. Jadi dalam soal
disiplin dan kerja keras ini, kalau saja engkau punya sedikit rasa malu kepada jantungmu.

***

Padahal saya kadung memahami kemesraan malam lailatul qadar itu cuma bisa
dihayati secara privat. Ada lagi kerja keras dan disiplin sebagai prasyarat mempersiapkan diri
menerima kedatangannya. Ini seperti mengisi batere, supaya senter menyala; seperti
memperbesar memori komputer supaya bisa menampung banyak data; Tanpa itu engkau
cuma seorang penggembira saja. TV saja tak bisa menyala kalau tak ada tenaga listrik dan
antena yang terpasang.

Maka ketika kalau engkau merasa dadamu bergoncang hingga meledakkan tangismu,
maka ledakkanlah sepuasmu, tapi cuma berdua dengan-Nya. Jangan biarkan orang lain tahu.
Karena engkau harus merasa malu.

Namun jangan salahkan sang pembesar yang memimpin qiyamul lail, karena tak
tahan menahan guncangan itu. Dia mewek, nangis sesunggukan seperti anak kecil kehilangan
permen. Dia tengah diterpa keindahan kemesraan cinta-Nya di antara lantunan ayat yang
dibacanya.

Tapi pak pembesar, please deh ah, kok bacaan ayatnya panjang amat? Kalau si Polan
tengah sangat menikmati bercinta dengan istrinya. Maka mereka cukup menikmati berdua
saja. Kalau dia sadar ada orang mengintip, maka serta merta dia menghentikan percintaannya
itu dan menghalau si pengintip. Bukan malah menikmati ditonton orang ketika bercinta,
disaksikan keperkasaannya. Mem-video-kannya dan menyebarluaskannya, ini pelaku para
penggembira belaka. Maka lalai bekerjakeras dan disiplin itu, ternyata sangat
mengerikan.(Vol.245, 25/8/2011)

103
Puasa Dan Kesempitan

Kesempitan itu dikepung oleh dua kelapangan. Dan puasa itu adalah kesempitan yang
sengaja dirancang, didesain dengan sempurna untukmu menemukan kelapangan di
sana. Maka gembiralah

Setelah puluhan tahun berdakwah, hanya ada dua orang yang beriman, Rubil dan
Tanukh. Selebihnya adalah orang-orang yang ingkar, mencela dan mencemooh. Kekayaan
kaum Niwana berbanding lurus dengan kesombongan mereka. Ia berbanding terbalik dengan
sifat bijaksana Nabi Yunus as.

Orang-orang itu bahkan menantang ketika diancam dengan azab dari Allah SWT akan
segera turun. Ahh.., sudahlah, kalian sudah sangat keterlaluan. Sang Yunus pun pergi
meninggalkan kaum itu. Dia menyeberangi laut dengan kapal yang sarat penumpang.

Benar saja. Apa yang diancamkan kepada kaum Niwana itu benar-benar terjadi. Awan
tebal bergulung-gulung di langit. Kecut.., mereka pun berkumpul di luar rumah. ―Benar
kiranya apa yang dikatakan Yunus,‖ mereka saling berkata. Kaum itupun akhirnya beriman,
tapi Nabi Yunus sudah pergi entah ke mana.

Ia telah berbuka dalam puasanya. Ia tak tahan menanggung derita dan memilih
meninggalkan semuanya. Padahal ia benar seorang Nabi yang bersemayam di dalam dirinya
suatu ketetapan hati. Maka kisah tentang teguran itupun tak lama datang. Tentang undian di
atas kapal, tentang ikan yang yang dikirim Tuhan untuk menelannya--dan terdampar di suatu
tempat terasing, sebelum kembali kepada kaumnya yang sudah beriman itu.

***

Ada beberapa jenis manusia ketika Ramadhan datang. Yang pertama adalah orang
yang menetapkan hatinya untuk memaksimalkan ibadahnya, meningkatkan derajat dirinya
sebagai manusia. Dan dia berhasil.

Jenis kedua adalah orang yang berniat sama seperti orang yang pertama, tapi
sayangnya niat itu tak kesampaian. Dia tak pernah merasa berada di puncak-puncak
ibadahnya. Dia gagal, dan itu terus berulang dari tahun ke tahun.

Orang ketiga adalah orang yang tak punya niat itu. Kalaupun ada, dia lemah sekali.
Baginya tak banyak beda antara Ramadhan dengan bukan Ramadhan. Kalaupun ada beda, itu
cuma sebatas bukan puasa bersama.

Saya berdoa untuk tidak tergolong tipe ketiga ini, tapi untuk sampai jenis pertama
rasanya tak juga. Maka, di sekitaran jenis kedua inilah mungkin tempat saya.

Beberapa hari sebelum Ramadhan, saya sudah berjanji untuk lebih bisa menahan diri
sehingga emosi itu tak akan sempat menyentuhku, apalagi melampiaskannya. Tapi apa
jadinya ketika sahur di hari pertama itu kami hampir saja telat bangun. Dalam waktu yang
rada mepet itu saya dua anak kami yang sudah berjanji akan puasa. ―Gak pake nangis, gak

104
pake merengek, gak pake ngambek ya..,‖ aku membuat perjanjian dengan mereka sebelum
tidur.

Tapi dasar anak-anak. Lagi enak-enak tidur, mereka langsung merespons dengan
merengek-rengek. Saya tahu ada niat mereka untuk puasa, tapi untuk dibangunkan tengah
malam begini, juga bukan persoalan yang bisa dilewati begitu saja tanpa ―kemmeiahan‖.

Kalau sudah begini, situasi jadi gampang -gampang susah. Saya bukan saja hampir
kehabisan waktu, tapi juga kesabaran. Syukurnya sahur hari pertama itu bisa selesai dengan
baik. Tapi itu rupanya cuma permulaannya saja.

Pagi-pagi di jalanan, kendaraan saya hampir saja menyenggol sepedamotor yang


menyalip kencang. Rasanya saya ingin melompat menerkam orang itu. Di jalan tol, usai
Shubuh tadi, anak-anak bau kencur itu ramai-ramai memadati jalan bebas hambatan itu. Salah
seorang di antaranya sama sekali tak mau bergeming dari tempat berdirinya, tepat di tengah
jalan.

Dengan wajahnya yang lugu itu, dia yakin sekali kalau saya akan memperlambat laju
kendaraan dan sama sekali tak menyentuhnya. Dia memang benar, tapi perilakunya itu telah
melompatkan sesuatu dari dalam diriku—untuk menyenggolnya, memberi pelajaran padanya.

Itu tadi di jalanan. Di rumah, tulisan ini hampir saja tak rampung karena jaringan
internet berulah. Rangkaian peristiwa selama beberapa hari ini seperti jawaban langsung dari
tantangan saya untuk lebih menahan diri.

***

Seperti halnya kisah Nabi Yunus yang happy ending, kisah kepedihan hidup Nabi
Yusuf pun dimulai mimpi indahnya tentang Rembulan, Matahari dan Bintang-bintang yang
tunduk bersujud padanya. Ketika mimpi berlalu maka mulailah romantika hidup itu;
dijebloskan saudaranya sendiri ke sumur tua, menjadi budak belian, kisah dengan Zulaikha
dan dipenjara, sebelum iapun jadi raja.

Pattern-nya memang begitu, fa inna ma'a al-'usri yusran, inna ma'a al-'usri yusran,
kesempitan itu dikepung oleh dua kelapangan. Dan puasa itu adalah kesempitan yang sengaja
dirancang, didesain dengan sempurna untukmu menemukan kelapangan di sana. Maka
gembiralah.(Vol,332, 23/7/2012)

105
Puasa Kewajaran

Kewajaran lidah itu bertemu dengan kewajaran rasa—ketika itulah mereka merasakan
nikmatnya makan malam. Tapi kewajaran itu sendiri harus ditemukan dengan tanpa
prasangka

Usai berbuka dan shalat Maghrib di masjid asri dan teduh itu, saya pilih sebuah rumah
makan tradisional pinggir jalan untuk makan malam. Saya suka sop di tempat ini. Tapi anak-
anak langsung protes, si bungsu pun ikut-ikutan, meski tak mengerti.

Tampilan rumah makan ini memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Sengnya
memerah kecoklatan karena sudah terlalu lama, dindingnya pun tripleks yang keropos
ditempeli di sana-sini. Bahkan tiang penyangga bangunan tua itu sudah miring. Tapi saya
tahu makan di sini enak. Bahkan Bondan Maknyus yang terkenal itu pernah singgah ke sini.

Maka terjadilah debat hangat dengan argumentasi masing-masing. Si sulung dan


adiknya berkeras menolak, ibunya netral tapi cenderung setuju. Si bungsu ikut-ikutan--tapi
masih bisa dipersuasi, sedikit langkah politis, dia pasti berpihak padaku. Maka dengan peta
koalisi seperti ini, saya putuskan menggunakan hak veto. ―Kita makan di sini saja,‖ kataku.

Maka dengan langkah lunglai, anak-anak itu memasuki rumah makan. Cemberutnya
pun belum hilang ketika pesanan datang. Tapi setelah itu, hal yang tak lazim terjadi. Si
sulung yang biasa makan sedikit itu secara mengejutkan minta tambah, adiknya bahkan
nyaris makan tiga piring. Si bungsu yang biasa berlarian ke sana-kemari ketika makan, kini
duduk manis sambil melahap makanan sampai berucap, ―Aduh kekenyangan...‖ Dan
keesokkan harinya anak-anak itu bahkan nagih untuk makan di sana.

Apa yang sebenarnya terjadi? Ini tak lebih suatu peristiwa kewajaran. Kewajaran
lidah itu bertemu dengan kewajaran rasa—ketika itulah mereka merasakan nikmatnya makan
malam. Tapi kewajaran itu sendiri harus ditemukan dengan tanpa prasangka.

***

Banyak orang bicara perubahan tapi sedikit yang mau berkorban, kata Rhenald
Kasali. Sesungguhnya rumus kalimat seperti ini banyak sekali. Misalnya begini; banyak
yang menyukai kebersihan tapi sedikit yang mau menjaganya, banyak yang menyukai
keteraturan tapi sedikit yang mau disiplin, banyak membenci koruptor tapi sedikit yang
memilih tak melakukannya, banyak yang membenci maksiat tetapi sedikit yang mau
memberantasnya.

Anda bisa tambahkan daftar panjang ketakwajaran itu. Ya.., ini suatu kewajaran
belaka. Karena kewajaran suatu perubahan karena ada pengorbanan di sana, kewajaran bersih
karena dijaga, kewajaran teratur karena ada disiplin, kewajaran bebas korupsi karena tak tak
melakukannya. Dan kewajaran bebas maksiat karena ada yang memberantasnya.

Begitulah. Puasa itu sebenarnya adalah panggilan kewajaran. Setelah sebelas bulan
engkau makan, maka sebulan engkau berpuasa. Setelah sekian lama engkau melampiaskan,

106
maka saatnya engkau menahan. Seperti mobilmu, setelah beratus kilometer berjalan, maka
saatnya berhenti, diservis, ganti oli, tambah freon dan seterusnya.

Ini semata kewajaran. Sewajar ketika engkau makan saat lapar, kewajaran BAB
ketika perut penuh, atau kewajaran menangis ketika bersedih. Ini mungkin mengapa Tuhan
menggunakan kata kutiba (ditetapkan/dituliskan) untuk mengajak berpuasa— yang menurut
Sayyid Qutbh merupakan bentuk panggilan penuh cinta—bukan wajaba yang biasa diartikan
diwajibkan. Karena untuk melakukan sekedar kewajaran, harusnya memang tak perlu
dipaksa-paksa.

***

Kalau intelektualitas itu menajamkan akal, maka emosional yang cerdas itu
menajamkan perasaan. Tapi hanya kepada spiritualitas sajalah kedua jenis ketajaman ini
menemukan kemuliaannya. Ini juga sebuah kewajaran dalam bentuk pattern yang baku.
Artinya tanpa padu padan yang demikian maka cuma kekeliruan yang dihasilkan. Inilah
mengapa ada orang pintar yang korupsi atau orang yang baik hati tapi menolak Tuhan di
hidupnya.

Cukup mendapati kewajaran untuk menemukan keindahan. Itu mengapa penjahat


seperti Al Capone bisa menangis ketika nonton opera. Atau bandit seperti Umar bin Khattabh
bisa luluh sekujur dirinya ketika dibacakan kepadanya ayat-ayat Alquran. Bedanya kalau Al
Capone berbalik pada ketakwajaran, maka Umar menaburi sekujur hidupnya dengan
kewajaran-kewajaran itu.

Ketika laku kewajaran itu terjadi, sesungguhnya ruh kita sedang berenang-renang di
samudera keindahan. Sebaliknya ketika ketakwajaran itu meraja, maka di sanalah kemiskinan
melanda, ketidakadilan di mana-mana, kesemrawutan menjadi biasa, kebencian bagai bara,
dan jabatan tak lagi jadi amanah.

Duhai, betapa jauh kita telah memuasai kewajaran, dan bergelimang segala
ketakwajaran.(Vol.433, 29/7/2013)

107
Puasa Para Pahlawan

Inilah semangat pahlawan itu. Bertempur untuk visi hidup, dan semangat
memenangkan. Badar adalah semangat berjuang sebuah keyakinan, bahwa
kemenangan akan datang

Liburan Ramadhan seperti ini, kebiasaan kami dulu adalah mendatangi tempat
penyewaan buku komik. Menghabiskan waktu dengan membaca komik adalah pilihan favorit
saat punya duit. Dan seperti anak-anak pada umumnya, serial kepahlawanan adalah bacaan
utama.

Ada ragam macam pahlawan yang jadi santapanku, dari pahlawan lokal sampai
impor. Dari mulai Wiro Sableng sampai Superman. Waktu itu Superman belum sadar seperti
sekarang ini. Pahlawan dari Amerika ini masih pakai celana kolornya di sebelah luar. Bahkan
bagi pahlawan seperti Superman, untuk menyadari kesalahan pake celana dibutuhkan waktu
puluhan tahun lamanya. Baru pada sequel teranyar bertajuk man of steel, sang pahlawan ini
tak lagi menampakkan kolor merahnya itu.

Tapi tak peduli benar-salah celananya, kami sangat mengagumi pahlawan yang satu
ini. Kami bahkan sering mengikatkan ujung sarung di leher dan berlari kencang berlagak
pahlawan super. Dan entah berapa kali saya ngayal bisa terbang seperti Superman; tahan
peluru, sinar matanya bisa ngelas besi, dan mulutnya meniupkan angin badai. Cool...

Begitulah pahlawan dalam benak kami. Dia adalah orang super hebat yang turun dari
langit, punya kekuatan luar biasa menyelesaikan segala persoalan di bumi. Dia bisa datang
dan pergi sekerdipan mata. Dia tak pernah salah, sekujur hidupnya berisi kebaikan menolong
orang lain. Ya, pahlawan adalah orang yang sepanjang hidupnya terus puasa tanpa pernah
berbuka.

***

Dari ketinggian Thermopylae, Leonidas menatap ke kejauhan. Kelopak matanya


mengecil, tapi ia membesarkan tekadnya. Di belakangnya ratusan pasukannya siaga dengan
tombak di tangan kanan dan perisai di tangan kiri--mereka harus menahan laju invasi ribuan
pasukan Persia memasuki kota Sparta, Yunani.

Sebagai raja yang dipercayai keturunan Heracles yang kuat dan berani, maka takut
dan menyerah adalah kata yang tak pernah ia kenal. Maka teriakannya pun memecah
membakar semangat pasukannya. Kalau dia Hang Tuah dia akan berpantun, ―Lebih baik mati
berputih tulang daripada mati berputih mata‖.

Di sebelah sana, pasukan Persia sebelum Islam yang dipimpin Raja Xerxes I seperti
haus pertempuran. Tak ada yang bisa menghentikan mereka kecuali kekalahan lawan. Negeri
superpower itu memang sedang mengembangkan daerah jajahannya ke seantero jagat raya.
Semua harus tunduk atau menghadapi pasukan yang bergelombang itu.

Maka pertempuran pun tak terelakkan. Di celah Thermopylae itu, dengan gagah
berani Leonidas dan pasukannya bertempur mati-matian tiga hari tiga malam. Mereka

108
mengamuk membunuh ribuan musuh, tapi bukan tanpa harga. Karena harus dibayar tunai
dengan hidup mereka sendiri. Leonidas dan seluruh pasukannya tewas tak tersisa.

Inilah pertempuran yang terkenal itu. Dan Leonidas bersama pasukannya pun
dikenang sebagai pahlawan. Mereka mewariskan semangat Spartan yang pantang menyerah,
setidaknya inilah kisah yang dikabarkan film 300 Spartan. ―Jiwa Spartan,‖ kata orang untuk
menggambarkan semangat yang hebat.

Tapi.., tunggu dulu. Bukankah para Spartan itu bertempur untuk mati. Mereka tahu
kalah jumlah dan oleh karenanya mereka akan kalah perang. Kalau begini, maka arti ―jiwa
Spartan‖ itu adalah semangat berjuang hanya untuk menemui kehancuran. Benarkah?

***

Hari itu Ramadhan baru sepekan berjalan. Abu Sufyan menghantar pesan untuk suku
Quraish. Ada ancaman dari kaum Muslimin, katanya. Maka bergeraklah ribuan pasukan
berkuda dengan aneka senjata pembunuh. Niatnya cuma satu; menghancurkan.

Tapi pasukan kaum Muslimin berketetapan hati sampai ke dasar-dasarnya.


Motivasinya kuat tak tertandingi. ―...demi Allah, seolah-olah aku telah dapat melihat pasukan
musuh terbaring kalah,‖ sabda Rasulullah Muhammad SAW ini membangkitkan setiap
potensi dalam diri pasukan itu. Sekecil-kecil potensi hidup, tanpa kecuali, semua tumbuh
berkembang.

Di Utara Makkah, Rasul dan pasukannya berhenti, tempat yang berdekatan dengan
Badar. Di daerah itu pula pertempuran berkecamuk, sengit dan penuh keberanian. Sejarah
kemudian mencatat, pasukan kecil itu menghancurkan pasukan musuh yang jauh lebih besar
dan lebih lengkap persiapannya.

Inilah semangat pahlawan itu. Bertempur untuk visi hidup, dan semangat
memenangkan. Badar adalah semangat berjuang sebuah keyakinan, bahwa kemenangan akan
datang. Mereka bukan orang-orang yang turun dari langit, tapi orang biasa yang jiwanya diisi
dengan segala kebaikan hidup menuju Tuhannya. Mereka memuasai segala syahwat
menguasai, kehendak memiliki, niat menjatuhkan, apalagi kenikmatan tumpahnya darah.
Karena itulah mereka jadi pahlawan.(Vol.429, 15/7/2013)

109
Puasa Sang Ustadz

Puasa sepanjang masa adalah hakikat dari syahadat kita. Dalam syahadat kita hanya
menjadikan Allah SWT sebagai Tuhan Yang Esa dan mengesampingkan bahkan
membuang tuhan-tuhan yang enak lain seperti harta, kekuasaan

Saya selalu sangat menikmati saat-saat usai shalat ‘Isya selesai, di mana sesi ceramah
ustadz pun dimulai. Dari tahun ke tahun Ramadhan, saya kerap menyimak ceramah ustadz.
Beberapa di antaranya mengulang-ulang kaji tentang Ramadhan, beberapa lainnya berkreasi
memberikan sesuatu yang baru. Setiap sesi ceramah ini akan dimulai, saya selalu penasaran,
apa kira-kira yang akan disampaikan ustadz.

Kali ini betapa sang ustadz menimbulkan rasa haru di kalangan jamaah masjid di
dekat rumah saya. Dia mengisahkan sekitar sepuluh tahun yang lalu dia mengajar ngaji di
rumah seorang kaya. Untuk mencapai rumah orang yang belajar ngaji tersebut dia harus ganti
tumpangan Angkot sampai tiga kali—karena dia belum memiliki kendaraan sendiri.

Hitung punya hitung, setiap bulannya sang ustadz harus mengeluarkan uang sebesar
Rp75 ribu. Di bulan pertama dia mengajar, si ibu pemilik rumah memberikannya sebungkus
amplop. Alhamdulillah, kata si ustadz bersyukur.

Dia juga tetap besyukur ketika mengetahui bahwa isi amlop itu adalah lembaran uang
senilai Rp15.000. Dia tetap menjalankan aktivitas mengajarnya di rumah si orang kaya itu
selama tiga tahun ke depan. ‘‘Saya untung Rp60.000 untuk investasi Akhirat saya,‘‘ katanya.

Dengan istiqomah hal itu dilakukannya terus menerus. Bahkan dalam kondisi hujan
sekalipun dia tidak tidak absen untuk datang mengajar. Rintangan tidak saja datang dari alam,
tapi juga dari istrinya di rumah yang bahkan menyatakan dirinya sungguh bodoh masih mau
mengajari orang ngaji dengan imbalan yang sedikit, bahkan harus tekor.

***

Si isteri memang tidak tahu bahwa suaminya saat itu sedang berpuasa selama sekian
tahun. Dia berpuasa dari keinginanya untuk mendapatkan imbalan lebih dari hasil mengajar
ngaji. Dia juga berpuasa untuk terus mengongkosi biaya mengajar ngajinya. Ada kepuasan
yang tak terkatakan dalam rangkaian kata yang dirasakannya—dalam hubungannya dengan
Tuhannya.

Maka dia menerima semua kondisi yang dialaminya itu. Dia tetap mengajar ngaji
meskipun dia bisa berhenti, Dia menerima kekesalan istrinya meskipun dia bisa
menghentikannya. Karena dia sedang memasuki wilayah filosofi puasa sepanjang masa
dengan menaklukkan keinginan dan mengalahkan kehendak hawa nafsunya.

Singkat kata, di tahun ketiga dia berpuasa, dia mendapati kepala rumah tangga orang
kaya tadi ternyata baru mengetahui bahwa istrinya hanya memberi imbalan Rp15.000 per
bulan untuk sang guru ngaji.

110
Si kepala rumah tangga tadi rupanya marah besar. Dia kemudian memanggil sang
ustadz ke rumahnya dan mengklarifikasi tentang hal tersebut. Setelah berdialog panjang,
kemudian sang ustadz diberikan sebuah amplop besar dengan pesan jangan dibuka sebelum
tiba di rumah.

Sang ustadz pun mematuhinya dan baru membuka amplop itu ketika tiba di
rumahnya. Amplop besar itu berisi uang senilai Rp70 juta. Tidak saja terkejut, sang ustadz
juga merasa si kepala rumah tangga tadi sudah keliru memberinya amplop. Tapi jawaban dari
si orang kaya tadi justru menguatkan pemberiannya itu. ‘‘Kalau kurang untuk membangun
rumah ustadz nanti saya tambah lagi,‘‘ kata orang kaya tadi.

Maka pada saat itulah sang ustadz merasakan indahnya saat-saat berbuka puasa. Dia
berbuka puasa dengan membelanjakan sebagian uang pemberian orang tersebut dengan
membangun rumahnya. Uang itu bahkan masih bersisa hingga dia bisa membeli sebuah
mobil sebagai kendaraannya untuk mengajar ngaji.

***

Puasa sepanjang masa adalah hakikat dari syahadat kita. Dalam syahadat kita hanya
menjadikan Allah SWT sebagai Tuhan Yang Esa dan mengesampingkan bahkan membuang
tuhan-tuhan yang enak lain seperti harta, kekuasaan. Dalam syahadat segala sedih bahagia
ditumpahkan hanya kepada Allah semata.

111
Rahmatan Lil’alamin

Terminologi Islam rahmatan lil’alamin sering membasahi lidah orang. Tapi pada saat
yang sama mereka bergerak menjauhinya

Islam rahmatan lil’alamin bagi Said Aqil Siradj adalah Islam Nusantara, yang toleran
dan moderat. Kalau Islam Nusantara dengan kekentalan budaya lokal, seperti baju batik, dan
tak boleh jenggotan, maka toleran berarti menerima Syiah, Ahmadiyah dll—manakala
moderat tak boleh menyalahkan faham sepilis (sekularisme, pluralisme, liberalisme), apalagi
memusuhinya.

Segaris dengan itu, Jokowi telah mendeklarasikan dirinya adalah bagian dari Islam
yang rahmatan lil‘alamin, Islam yang membawa kedamaian, bukan kebencian. Baginya
Islam rahmatan lil’alamin adalah Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di Indonesia,
negara yang memegang teguh UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika sebagai rahmat dari Tuhan.

Yang menarik adalah Ahok. Dia mengakui bahwa Islam di Indonesia menerapkan
konsep kesejahteraan untuk alam semesta dan penghuninya (rahmatan lil’alamin). Tapi dia
juga menyayangkan tak sedikit orang yang tidak melaksanakan konsep tersebut. Di antaranya
kelompok ISIS di Irak dan Syria, konflik di Timur Tengah, India, Banglades, Syiah, Sunni.
Maka bagi Ahok, jika engkau Islam maka engkau rahmatan lil’alamin kalau duduk manis di
sudut sana, gak boleh ribut, dan membiarkan orang seperti dia jadi pemimpin.

Ketiganya memiliki perspektif yang secara relatif berbeda. Namun memiliki


kesamaan secara substansial: sama-sama tak merujuk sumber aslinya. Walhasil terminologi
dari Islamic Worldview atau weltanschauung dalam lidah Jerman ini, ditekuk-tekuk, dilipat-
lipat, dan kempisi di sana-sini sedemikian rupa supaya sesuai seleranya.

***

Ketika Umar bin Khattab ra memasuki Jerussalem dan menandatangai perjanjian. Di


antara isi perjanjian itu berbunyi: …gereja tidak akan diubah menjadi tempat kediaman,
tidak akan dirusak, ...salib-salib atau harta mereka tidak akan diganggu... dan tidak
seorangpun di antara mereka akan dianiaya.

Di abad 15 saat pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih dengan semangat tinggi


menggempur kota Konstantinopel, Kaisar Byzantium mengajukan bermacam tawaran agar
pasukan ditarik. Sebagai penggantinya mereka akan menyetorkan uang dan akan menyatakan
ketaatan. Tawaran ini dijawab Sultan Al-Fatih dengan sebuah surat: Hendaklah kaisar kalian
menyerahkan kota Konstantinople kepada saya. Dan saya bersumpah, bahwa tentara saya
tidak akan melakukan tindakan jahat apa pun kepada kalian, atas jiwa dan harta kalian.
Barangsiapa yang ingin tetap tinggal di kota ini, maka tetaplah dia tinggal dengan damai
dan aman. Dan barangsiapa yang ingin meninggalkannya, maka tinggalkanlah dengan aman
dan damai pula.

Ketika Dinasti Umayyah berkuasa di Spanyol jumlah perpustakaan yang menyimpan


buku-buku sumber ilmu di Cordoba mencapai 75 unit. Jumlah ini jauh lebih banyak dari
jumlah mall di masa sekarang. Dan kalau saat ini orang yang tenar adalah para selebritis
112
dengan kekayaan melimpah ruah, maka sewaktu Dinasti Abbasiyah berkuasa di Baghdad,
gengsi popularitas itu ada pada para ulama dengan ratusan ribu koleksi buku ilmu
pengetahuan.

Maka ketika dalam The Preaching of Islam, Thomas Arnold menulis begini:
Kemenangan kaum Muslimin berarti kebebasan beragama (bagi non-muslim), sesuatu yang
telah berabad-abad mereka dambakan—bagi saya si Thomas ini telah menyadari satu hal.
Bahwa Islam rahmatan lil’alamin itu berarti Islam memberi keselamatan dan kesejahteraan
bagi siapapun tanpa memandang latar belakang agama, kawan atau lawan. Islam rahmatan
lil’alamin juga bermakna peradaban ilmu, bukan peradaban populer, apalagi peradaban
syahwat. Dan.., ini crucial point-nya, semua itu hanya bisa terwujud bila Islam berkuasa—
sebagaimana Khalifah Umar ra memasuki Jerusalem, Sultan Al-Fatih berkuasa di
Konstantinopel, dan ratusan tahun berlangsung Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.

***

Jangan kecewa dulu. Kalau Anda orang yang disalahartikan, disudutkan atau difitnah,
padahal Andalah pihak yang paling berjasa, dan paling lurus niatnya, jangan buru-buru
kecewa. Karena memang itulah maqam bagi kebanyakan orang baik dan lurus.

Anda tahu, orang yang paling berat cobaan dan beban hidupnya adalah para Nabi dan
Rasul. Mereka tidak cuma mengalami fitnah, tetapi juga dimusuhi, dianiaya, bahkan dibunuh.
Semua perlakuan buruk itu karena mereka menawarkan Surga bagi manusia, dan
menawarkan kesejahteraan bagi alam semesta.

Maka itulah tantangan terbesar Islam rahmatan lil’alamin. Dia dipenuhi purbasangka
dan ketakutan berlebihan tentang kesulitan yang akan dialami, dan kekhawatiran tentang
kelompok, dan golongan mereka. Padahal semua tahu, untuk masuk Surga, seluruhnya tanpa
kecuali harus melalui syarat harus melalui ketakutan terbesar: harus mati dulu. Kalau sebuah
kemudahan di antarai oleh kesulitan, maka kenikmatan terbesar itu harus melalui ketakutan
terbesar.

Maka begitulah ironi terjadi. Terminologi Islam rahmatan lil’alamin sering


membasahi lidah orang. Tapi pada saat yang sama mereka bergerak menjauhinya.(Vol.614,
18/4/2016)

113
Antara Akal Dan Rasa

Sungguh setiap apapun yang melekat dalam dirimu adalah keajaiban yang tak habis
diungkap seumur Dunia. Dan seluruh keajaiban itu bergugus-gugus, berkumpul
menjadi satu berwujud dirimu

Dengarkan suara hati kecilmu. Kata-kata ini sering diucapkan menjelang Pilpres. Hati
kecil itu dipercaya selalu berkata benar, dan akan membawa kebaikan. Saya kira hampir
setiap orang meyakininya. Tapi nyatanya tak semua orang mau mendengarnya, dan kalaupun
mau, proses ―mendengar" itu ternyata tak segampang dibayangkan.

Hati itu, rupanya punya banyak suara, yang satu sama lainnya tidak saja sering
berbeda arah, tapi kadangkala saling bertubrukan. Maka jangan heran kalau yang satu pilih
Prabowo yang lain milih Jokowi tapi sama-sama mengaku menggunakan hati kecil yang
paling dalam.

Lantas mengapa hati itu bisa bersuara banyak? Karena selain punya lapisan yang
banyak, hati itu juga punya kualitas yang berbeda-beda. Ada hati yang tak tahan melihat
penderitaan orang, ada yang tak sekedar tahan tapi segera memerintahkan tubuhnya bergerak
membantu. Ini adalah hati yang lembut yang sering disibukkan untuk menegakkan kebaikan
dan kebenaran.

Tapi ada juga jenis hati pembenci, dan dengki melihat kelebihan orang, serta merasa
senang pada kehancuran orang. Ini hati yang sangat sulit berempati pada penderitaan orang
lain. Apa jadinya jika ada orang yang berusaha mendengarkan suara hati dengan kualitas
seperti ini?

***

Dalam tataran public opinion, setiap orang memiliki opini yang kualitasnya saling
berbeda. Perbedaan itu disebabkan proses yang terjadi ketika ia terbentuk. Bernard Hennessy
menggambarkan, setiap opini itu akan muncul pertama kali dalam bentuk asumsi atau
persepsi--setiap kali ada pencetusnya.

Sang pencetus ini bisa apa saja, dari mulai suatu peristiwa, pernyataan, penampilan
seseorang, ataupun hanya sebuah benda mati seperti patung yang berdiri. Asumsi ini akan
gampang berubah jika ia diam di tempat dan tak melalui proses selanjutnya yang disebutnya
―proses mengenal‖.

Nah, dalam proses ini ada dua instrumen yang digunakan: akal dan perasaan. Jika akal
akan berujung pada kesimpulan yang rasional, maka menggunakan perasaan akan membawa
pada sikap emosional. Jika penggunaan akal akan bisa merunut buah pikirannya sebelum
sampai pada kesimpulan, maka dengan perasaan buah pikirannya hanya berujung pada kata
pamungkas: pokoknya.

Anda sering dengar toh orang bilang ―Terserah orang mau bilang apa, pokoknya..,‖
Kalimat ini hanya bisa keluar dari lisan seseorang ketika perasaannya mengalahkan akalnya.
Ketika fungsi akalnya tak berjalan secara maksimal karena keterbatasan-keterbatasannya.

114
Antara akal dan perasaan sebetulnya bukan dua kubu yang harus dipertentangkan.
Karena perasaan adalah instrumen yang pertama sekali menangkap setiap sinyal dari stimuli
yang datang, dan tugas akal kemudian menalar, menguraikan dan memperjelasnya. Karena
suara hati itu beragam, maka akal mengonfirmasi kebenaran perasaan yang bersumber dari
hati. Hubungan yang harmonis dan ciamik di antara keduanya akan membuat pemiliknya
menjadi pribadi yang stabil.

Dia juga mirip antara hisab dan rukyat. Jika hisab mengalkulasi penanggalan
berdasarkan perhitungan-perhitungan, maka rukyat kemudian mengonfirmasinya melalui
pengamatan bulan. Keduanya berada pada posisi berbeda, tapi sejatinya mereka satu, dan
sepanjang mereka satu sejauh itu pula mereka stabil.

***

Setiap pilihan sejatinya menyediakan kebaikan. Tapi proses untuk sampai kepada
pilihan itulah yang membuat perbedaan derajat kualitasnya. Perbedaan itu memang begitu
nyata ia ditegaskan dengan banyak sekali jalan; melalui bentuk wajah yang tak pernah ada
yang sama, warna kulit yang beragam, bentuk hidung sampai jari-jari—apalagi cetusan
pikiranmu atau reaksi perasaanmu—mereka cenderung berbeda dengan orang lain.

Sungguh setiap apapun yang melekat dalam dirimu adalah keajaiban yang tak habis
diungkap seumur Dunia. Dan seluruh keajaiban itu bergugus-gugus, berkumpul menjadi satu
berwujud dirimu. Dan keajaiban sejatinya mengabarkan padamu bahwa engkau adalah
nucleus yang berbeda dengan yang lain. Dan menyama-nyamakannya dengan orang lain
adalah pengingkaran terhadap keajaiban itu sendiri.

Tapi, benarkan setiap pilihan menyediakan kebaikan? Jawabannya juga ada pada
setiap kita. Bahwa perjalananmu sampai sejauh ini adalah suatu kondisi yang tak seluruhnya
berasal dari pilihanmu sendiri, tapi kebaikannya selalu terbukti. Jadi, apapun kondisinya,
siapapun orangnya tetap akan bisa merasakan manfaat di dalamnya.

Tapi dalam kebaikan dan manfaat itu juga ada derajat kualitas di sana, derajat yang
hanya ditentukan oleh keseimbangan antara nalar dan rasa. Semakin seimbang ia, maka
semakin tinggi derajatnya. Dan masalah kita adalah, cukup puas hanya mengandalkan rasa
saja.(Vol.478, 26/6/2014)

115
Tuhan

Betapa orang ketika sudah sampai pada level sawa’un ’alaihim a’anzartahum am lam
tunzirhum atau sama saja dikasih tahu atau tidak (Q.S.:2:6) maka jadi mustahil untuk
melihat dan mendengar kebenaran

Gegap gempita. 200 tahun Charles Darwin diperingati para penganut pendukung teori
evolusi, 12 Februari lalu. Bagi para Darwinisme, yang penting adalah bagaimana
mempertahankan teori atau faham ini supaya tetap hidup, ketika teori ini sudah mulai
kehabisan nafas. Betapapun Darwin kini banyak ditinggal orang karena pohon silsilah evolusi
makhluk hidupnya ternyata suatu kekeliruan besar dan menyesatkan.

Pendukung teori ini, seorang pakar arkeologi terkemuka Jepang, Fujimura Shinichi,
tertangkap basah memalsukan temuan bukti evolusi nenek moyang orang Jepang. Dia
kedapatan merekayasa penemuan arkeologinya, yang akan meneguhkan teori evolusi.
Rekannya, Kagawa Mitsuo, dituduh memalsukan pula. Tuduhan ini membuat Kagawa
Mitsuo, profesor emeritus di Beppu University Jepang, melakukan bunuh diri sebagai protes
bahwa ia tidak bersalah. Hmmm.., meski sudah lama tak lagi berada di dunia ini, Darwin
tetap mengambil korban.

Bukan sekedar sebuah teori, Darwinisme merupakan suatu cara pandang terhadap
makhluk hidup, hidup dan kehidupan itu sendiri. Darwin telah mengubah dunia secara
mendasar, menyebabkan timbulnya sekulerisasi masyarakat Barat yang pelan-pelan
‗merambati‘ kita di sini. Darwinisme adalah teori yang melandasi seluruh doktrin-doktrin
atheis, bahwa segala sesuatu dapat diterangkan.

***

Hampir tengah malam. Dinginnya udara malam tak memadamkan panasnya topik
tentang Tuhan yang kami bicarakan. Satu per satu teman kami pamit pulang, tinggal kami
berdua, saya dan Lee Nan, seorang China yang atheis. Pengunjung restoran di sudut kota
Hamburg, Jerman itu pun sudah hampir habis.

Dia berkata lantang, tuhan itu sudah mati, tuhan yang diciptakan manusia bukan tuhan
yang menciptakan manusia. Ngapai sibuk-sibuk menghabiskan waktu untuk beribadah, gak
ada gunanya. Nikmati dunia selagi sempat.

Saya tahu, ini bukan kali pertama saya mendengarnya. Agama itu seperti candu, kata
Karl Marx. Maka tuhan yang tiran dan hanya menanamkan dontrin-doktrin sudah ‘kelewatan‘
dan harus dibunuh. Karenanya Nietzche pada tahun 1882 mendeklarasikan bahwa tuhan
sudah mati. Dan dia tidak sendirian karena bagi Feuerbach, Darwin, Sigmund Freud, juga
Marx, jika tuhan belum mati, tugas manusia rasional untuk membunuhnya.

Berbeda dengan itu, Voltaire (1694-1778) seakan membela tuhan, dia tidak setuju
tuhan dibunuh. Tuhan harus ada, karena jika tuhan tidak ada, kita wajib menciptakannya.
Tuhan harus ada tapi tidak boleh bertentangan dengan standar akal. Tuhan jangan bikin orang
bingung, kalau buat aturan harus yang cocok dan jangan sampai menghalangi kesenangan
orang.
116
Belakangan Sartre (1905-1980) seorang filosof eksistensialis mencoba menetralisir,
tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, tuhan ada tapi tidak bersama manusia. Katanya,
kini tuhan sedang diam karena sebelumnya sudah banyak berbicara.

***

Saya menyadari betapa orang ketika sudah sampai pada level sawa’un ’alaihim
a’anzartahum am lam tunzirhum atau sama saja dikasih tahu atau tidak (Q.S.:2:6) maka jadi
mustahil untuk melihat dan mendengar kebenaran. Orang seperti ini sudah memilih dunianya
sendiri menanggung konsekuensinya; seperti kata Ryan si penjagal dari Jombang. Walaupun
saya tidak yakin apakah mereka benar-benar tahu tentang konsekuensi yang akan mereka
terima.

Seperti halnya beda mendasar antara orang beriman dengan atheis atau orang sekuler
juga liberalis, adalah pada cara melihat hidupnya di dunia. Orang beriman melihat hidup di
dunia sebagai tempat mempersiapkan kehidupan di akhirat, seperti membeli segala surga
dengan kesenangan terlarang.

Orang atheis melihat secara materialis dengan memandang hidup segala-galanya,


maka orang yang menghabiskan wakatunya berdoa adalah suatu kebodohan. Orang sekuler
memisahkan secara ekstrim hidup dunia dengan akhirat—kalau mau sholat ya sholat, kalau
mau zina ya zina—jangan dicampur-campur, kata mereka. Bagi orang liberalis, yang katanya
percaya Tuhan, agama jangan ‘membelenggu‘ orang. Walhasil aturan agama ya ditafsirkan
sekenanya, yang penting enak.

Interaksi antara faham-faham ini seperti terus bergulat dalam rentangan waktu.
Terkadang yang satu di atas, di lain waktu yang satu lagi di atas. Maka jangan terkejut—
suatu waktu dari mulut anak yang telah Anda didik dengan lembut—bahwa tidak boleh ada
yang mengklaim paling benar karena semua agama benar, nihilisme. Atau ada tetangga atau
sahabat Anda yang mengejar keinginannya tanpa butuh aturan agama membimbingnya;
sambil mengarang-ngarang waktu tobat, karena Tuhan itu-kan maha pengampun dan
penyayang.

Demi Tuhan, kita harus sadar.

117
Tentang “Tahu”

Perjalanan pemikirannya akan “tahu” itu yang kemudian memunculkan kesadaran-


kesadaran dalam dirinya. Dia merasa, karir yang dicapainya selama ini, reputasi
mengagumkan yang dirintisnya selama, menjadi guru yang selama ini dikerjakannya,
bukanlah sesuatu yang dilakukannya untuk Allah SWT

Jack Welch punya cara pandang yang simple tentang perjalanan hidup. Control your
own destiny or someone else will, kata mantan CEO General Electric yang melegenda itu.
Kalau seseorang tidak mau mengontrol nasibnya sendiri, maka orang lain-lah yang akan
melakukannya.

Jadi, kalau Anda harus menentukan sendiri nasib Anda—mau jadi apa dan mau
berada pada kondisi seperti apa, mau bahagia atau mau sengsara—maka Anda harus
merencanakan, merancang, dan mengaplikasikannya. Karena kalau tidak, maka Anda hanya
akan menjadi pengikut dari rencana-rencana orang lain. Mungkin begitu kira-kira maksud si
Jack.

Saya tidak tahu bagaimana dia bisa sampai menyimpulkan kalimatnya itu atau sampai
sejauhmana kebenaran pernyataannya itu. Tapi saya melihat kenyataan-kenyataan yang
terjadi itu memang adalah sebentuk nasib yang dirancang segelintir orang.

Lihatlah orang-orang yang bertempur dan mati di medan perang demi rencana-
rencana penguasa itu. Pandangi pula wajah-wajah pendemo yang seram dan penuh kecamuk
itu. Dari mana semangat yang luar biasa itu muncul? Dari pesanan orang jawabnya.

Ini juga terjadi kalau engkau seorang pemimpin. Sudah jadi nasibnya kalau
memimpin itu, di samping disanjung semu, dia akan dipenuhi tekanan dan dinamika yang
tinggi. Untuk mencapai tujuan-tujuanmu, maka engkau harus tetap meresponsnya sesuai
ukurannya. Karena di saat responsmu berlebihan maka di saat itulah engkau mulai kehilangan
orientasi pada tujuan-tujuanmu yang sebenarnya.

Saya kenal seorang pemimpin yang mengambil porsi kemarahannya yang kelewat
besar. Dia menunjukkan sikap permusuhan yang kentara dengan lawan politiknya, dia
mengambil kebijakan yang frontal cuma karena geram dengan lawan-lawannya. Dan dia
menunjukkan kekuasaannya karena merasa orang-orang itu melecehkan kewibawaannya.

Ada yang lain. Dia menunjukkan sikap keramahan dan familiarnya yang melampaui
proporsinya. Dia merasa perlu dinilai sebagai orang yang lemah lembut, baik hati, ramah dan
dekat dengan siapa saja. Maka segala perilakunya kemudian mengarahkannya menjemput
image itu. Sesuatu yang pada akhirnya memenjarakannya dalam sebuah ―kamar gelap‖
hingga tak mampu berbuat apa-apa.

Kemarahan, juga kepentingan kita pada benak orang lain, inilah yang membuat
disorientasi pada tujuan-tujuan sesungguhnya.

***

118
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita benar-benar sudah tahu tujuan itu, atau
memang kita sama sekali tidak tahu. Ketika itulah saya kemudian mengingat Imam Al-
Ghazali, dialah yang membentangkan pemikiran tentang ―tahu‖ dan ―tidak tahu‖.

Al Ghazali, sang imam yang kemudian dengan rela hati meninggalkan karirnya yang
cemerlang, karena tiba-tiba dia tersadar. ―Ini bukan jalan yang kuinginkan.‖

Perjalanan pemikirannya akan ―tahu‖ itu yang kemudian memunculkan kesadaran-


kesadaran dalam dirinya. Dia merasa, karir yang dicapainya selama ini, reputasi
mengagumkan yang dirintisnya selama, menjadi guru yang selama ini dikerjakannya,
bukanlah sesuatu yang dilakukannya untuk Allah SWT.

Dia berada di medan magnet antara tarikan aneka rupa duniawi dan kehidupan kekal
di Akhirat. Maka konflik batinnya itu kemudian membuat lidahnya kelu dan tak mampu
mengajar. Di saat itulah dia berlepas diri dari segala jeratan harta dan semua ikatan dunia
lainnya. Dia membagi-bagikan seluruh hartanya dan meninggalkan tempatnya hidup selama
ini. Cuma Tuhan yang menjadi tujuannya sekarang.

Sampai sebegitu jauhkan? Mungkin ya, tapi bisa jadi tidak. Kenyataannya pertanyaan
tentang ―tahu‖ itu masih saja menjadi pertanyaan yang gulita.

***

Mandat tujuan hidup itu ternyata cuma butuh dituju dengan sungguh-sungguh atau
dalam bahasa agamanya istiqomah. Selanjutnya dia akan mewujud pada variasi wujud
tertentu yang dibentuk pada kesadaran-kesadaran yang eksklusif.

Sekarang coba sebutkan apa yang Anda rasakan saat ini, apakah kondisi Anda adalah
sesuatu yang memang Anda inginkan selama ini atau malah menyimpang jauh dari
keinginanmu. Mungkinkah saat ini Anda sudah merasa bahagia atau malah sebaliknya;
sengsara.

Kemudian coba runut perjalanan hidup Anda ke belakang, adakah di sana


inkonsistensi dalam penggalan-penggalan hidup yang dijalani? Selanjutnya coba tetapkan
tujuan itu secara persis, lakukan pengayaan, lantas terjemahkan aplikasinya dalam hal-hal
yang selama ini Anda anggap remeh saja. Biarkan waktu berlalu dengan itu dan diam-diam
perhatikan apa yang terjadi.(Vol.287, 6/2/2012)

119
KAMAR
PERADUAN...

120
Ibu

Naluri melindungi dan menghidupi. Itu kata kuncinya. Kalau engkau merawat dan
mengabdi kepada ibumu sambil menunggu kematiannya, maka ibumu merawat,
mengasuh dan menjagamu untuk kehidupanmu

Setiap pagi pergi sekolah, prosesi keberangkatan anak-kami sering diwarnai hiruk
pikuk. Dari mulai dari rebutan kamar mandi, kaus kaki yang entah di mana, PR yang belum
dikerjakan, sampai pertengkaran antara si sulung dengan adiknya.

Yang terakhir ini yang paling menonjol. Sifat cemburu si sulung membuat masalah
sekecil apapun bisa muncul menjadi pertengkaran; jumlah helai mie di piring makanan, bekal
air minum yang lebih sedikit, atau kasus kaki yang lebih bersih.

Tidak jarang ibu mereka sewot. Tidak jarang pula ibu mereka menyerah dan
melaporkan kepada saya. Maka saya pun tampil sebagai seorang ―Ratu Adil‖ yang
membereskan semua masalah. Kalau sudah memuncak begini biasanya saya langsung pasang
muka sangar. Yang ini harus begini.., yang itu harus begitu.., cepaaaat...., kata saya,
terkadang sambil menahan geli dalam hati.

Malam menjelang tidur, istri saya sering menceritakan kelakuan anak-anak itu yang
membuatnya stress. Si sulung yang hobi mengganggu adiknya, si gadis kecil yang suka
menjerit melengking ketika diganggung abangnya. Belum lagi di si bungsu yang kadang tak
mau lepas pangkuan dari ibunya. ‗‘Capek adek bang..,‘‘ katanya.

Tapi cerita capek itu selalunya diiringi dengan cerita lucu anak-anak itu. Si sulung
yang sudah bisa berkata panjang lebar mirip politisi ulung ketika sedang membela dirinya. Si
gadis kecil yang suka bicara diselingi imajinasinya. Belum lagi kalau dia sudah bernyanyi-
nyanyi dengan aransemen dan lirik yang dikarang sendiri.

Si bungsu yang bicara dan tingkahnya menggemaskan. Namun ketika hendak dicium
dia lantas berkata, ―Stop,‖ sambil mengembangkan telapak tangannya. Istri saya masih
bercerita, kali ini sambil tertawa.

Begitu rupanya kisah anak-anak dengan ibunya, betapapun melelahkan mendidik


anak-anak, tapi selalu ada penawar di sana.

***

Lelaki itu sungguh pantas ditiru. Cinta, kasih sayangnya kepada sang ibu sungguh
bukan sebatas kata. Dia menggendong ibunya, bahkan ketika sedang thawaf mengelilingi
Ka‘bah. Melelahkan pasti, tapi kebahagiaan memenuhi dadanya.

Adalah seorang lelaki yang bertekad menuntaskan pengabdiannya kepada sang ibu.
Dia bahkan memandikan dan membersihkan ibunya yang lumpuh itu dari hadast-nya. Dia
melakukannya dengan kadar ikhlas di dalam hati.

121
Maka kepada Rasulullah SAW lelaki yang menggendong ibunya itu bertanya.
"Apakah (dengan ini) saya telah melaksanakan kewajiban saya kepadanya?" Dan dengarlah
jawaban Rasul ketika itu, "Tidak. Tidak sebanding dengan satu kali melahirkan."

Tak sebandingkah?

Coba lihatlah. Kita adalah ruh yang dititipkan di dalam rahim sang ibu. Kita
membenih, menggumpal sebelum menggeliat ketika ruh itu ditiupkan. Di dalam sunyi itu ada
ibu dengan naluri menghidupi. Naluri inilah juga yang merelakan ruhnya dipertaruhkan demi
mengeluarkan ruh yang dititipkan itu.

Bahkan dalam tumbuh dan kembang ruh itu, naluri menghidupi sang ibu tak surut.
Dia bisa jadi lebih perkasa dari ksatria manapun, dia bisa jadi lebih berani dari pendekar
manapun, dan dia bisa jadi lembut melebihi bidadari manapun.

Naluri melindungi dan menghidupi. Itu kata kuncinya. Kalau engkau merawat dan
mengabdi kepada ibumu sambil menunggu kematiannya, maka ibumu merawat, mengasuh
dan menjagamu untuk kehidupanmu. Setiap sentimeter pertumbuhan fisikmu, setiap geliat
perkembangan mentalmu, setiap kali pula memekarkan jiwa-jiwa bahagianya. Inilah yang
membuat doa ibu sering mewujud nyata, karena dia berupa serpihan-serpihan jantung, hati,
jiwa dan raga yang dihantarkan langsung kepada Sang Pencipta.

***

Tapi tak semudah itu. Apakah semua wanita itu ibu? Pertanyaan ini yang tersirat dari
pernyataan Yusuf Qardhawi: wanita sebagai ibu.

Ibu adalah perempuan yang menanamkan kemuliaan dan menjauhkan anak-anaknya


dari kerendahan. Ibu adalah perempuan yang memenangkan seruan kebenaran melawan
seruan perasaannya. Ibu adalah jiwa yang melindungi tanpa mempedulikan keselamatan
dirinya sendiri. Ibu adalah jiwa yang mengorbankan apa saja, termasuk perasaannya demi
kebahagiaan anaknya.

Lihatlah Khansa dalam peperangan Qadisiyah. Dialah ibu yang mendorong empat
anaknya dan berpesan kepada mereka untuk berani maju ke depan dan teguh menghadapi
peperangan. Dia memantapkan jiwa anak-anaknya dengan kata-kata yang menarik dan
menumbuhkan semangat. Semantap jiwanya ketika mendengar kabar syahidnya keempat
anaknya itu.(Vol.277, 22/12/2011)

122
Lailatul Qadr; Mengimani Percepatan

Agama menyajikan secara deduktif logika percepatan—menghidangkannya di depan


untuk belakangan akal menguraikannya. Maka perlulah kita mengimani logika
percepatan ini. Karena kalau sekedar mengandalkan usia produktif saja, rasanya tidak
kuat kita untuk sampai ke Surga

Yoko Ida seorang free thinker (atheis) dari Tokyo bertanya kepada Zakir Naik. Dia
berujar: Kenapa kalian umat Muslim mempercayai kebohongan besar tentang Muhammad
yang berjalan (dari Makkah) ke Jerusalem dalam waktu cuma semalam. ―Itu adalah
kebohongan besar untuk umat pada masa itu,‖ katanya.

Tentu saja dia tidak mengimani peristiwa Isra’Miraj. Orang seperti dia hanya percaya
pada sesuatu yang empirik (dibuktikan pengalaman). Kalau filsafat itu adalah kebenaran
spekulatif, maka kebenaran ilmiah adalah kebenaran hipotetik yang terverifikasi secara
empirik, tapi agama (Islam) adalah kebenaran mutlak yang deduktif.

Yoko Ida, saya kira, lebih dekat ke pihak yang mewakili konsep separasi antar jiwa-
raga, akal-iman. Paul Evdokimov, misalnya, yang ngotot bahwa dosa itu bukan datang dari
raga tapi dari jiwa. Dalam The Struggle with God dia bilang begini: Dosa tidak datang dari
bawah, dari daging, tapi dari di atas, dari ruh. Dosa pertama terjadi di dunia Malaikat, murni
ruh.

Ini bermakna dosa manusia hanya semata karena kejiwaannya. Karena itu jika engkau
melacur, engkau tidak bedosa selama tetap menjaga bersih hati. Kalau ada seorang pemuda
mencuri, maka dia akan dipandang mulia jika itu dilakukan untuk menafkahi keluarganya.
Begitu seterusnya.

Maka tentu sulit mengatakan kepada orang seperti Yoko Ida bahwa kebenaran agama
adalah kebenaran yang melampaui kebenaran ilmiah, apalagi kebenaran filsafat. Kebenaran
agama bahkan berada jauh di atas logika. Bagi mereka pernyataan tersebut terlalu absurd.
Tapi bahwa kebenaran agama adalah kebenaran deduktif, sebenarnya bisa dibuktikan logika,
bahkan oleh orang atheis seperti dia.

***

Sayyid Qutbh ketika menafsirkan surah al-Qadr menyebut malam Lailatul Qadr lebih
baik dari seribu bulan. Kata bilangan itu sendiri tidak berarti membatasi. ...ia hanya
menunjukkan banyak (tidak terbatas pada seribu saja). Jadi malam itu lebih baik dari beribu-
ribu bulan bagi kehidupan manusia.

Laylatu Al-Qadri Khayrun Min 'Alfi Shahrin, maka di malam itu terjadi proses
percepatan yang tak terhingga. Di malam ini seluruh produktivitas (beriman dan beramal
shaleh) setara nilainya dengan beribu-ribu bulan. Ada semacam proses akselerasi, pamadatan
untuk sebuah percepatan dengan kelipatan yang berkali-kali terjadi di malam ini.

123
Itu sebabnya orang-orang yang mengimani firman Tuhannya mengejar keberkahan
itu. Mereka menghunus pedangnya melawan syahwatnya juga rasa kantuknya. Mereka tak
segan mengorbankan waktu, tenaga demi menjumpai malam ini.

Tapi untuk apa kiranya Tuhan menyediakan fasilitas malam seperti ini? Allah SWT
seolah-olah sedang memerintahkan kita untuk mengimani sebuah entitas: percepatan.

***

Kalau rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia 60 tahun, maka sekitar separuhnya
sudah habis untuk tidur. Sebagian lagi dipakai untuk nakalan, atau malah bermaksiat kepada
Allah SWT. Sebagian lagi habis untuk berghibah, iri, membenci, dan membangga-banggakan
diri sendiri. Belum lagi kalau dihitung waktu yang habis untuk bercinta, atau mencintai
sesuatu. Maka sisa-sisa umur itulah yang disebut dengan hidup yang produktif.

Dengan usia produktif sesingkat itu, mustahil rasanya manusia bisa membangun
peradabannya. Tapi untuk soal-soal tertentu, alam raya ini seolah melakukan percepatan
secara otomatis, hingga yang mustahil tadi jadi logis. Umur manusia yang banyak mubazir
ini, jadi cukup untuk menangani soal-soal besar.

Sebuah pesawat, misanya, adalah rangkaian sistem yang rumit, tapi ia dipadatkan
sedemikian rupa sehingga bisa diterbangkan pilot yang tak harus mengerti bagaimana cara
membuat pesawat. Dengan terbangnya pesawat, maka anak yang belum bisa jalan, atau orang
papa ilmu pengetahuan, dapat menempuh ribuan kilometer hanya dalam waktu satu dua jam
saja.

Logika percepatan ini menjadi sebuah entitas yang hidup di dalam hidup itu sendiri.

Dari jalan kaki, orang menggandakan kecepatan dengan berlari, kemudian berkuda. Lantas
dengan sepedamotor, mobil, kereta api, dan belakangan melalui pesawat terbang.

Puasa adalah jalan akselerasi pemadatan dan percepatan tersebut—tanpa memisahkan


antara jiwa dan raga. Meski puasa ditandai dengan aktivitas jasmani (menahan lapar dan
haus) tetapi tujuannya untuk jiwa (la’allakum tattaqun). Tanpa melupakan ridha Allah
SWT—dengan cara ini agama menyajikan secara deduktif logika percepatan—
menghidangkannya di depan untuk belakangan akal menguraikannya. Maka perlulah kita
mengimani logika percepatan ini. Karena kalau sekedar mengandalkan usia produktif saja,
rasanya tidak kuat kita untuk sampai ke Surga.(Vol.631, 27/6/2016)

124
Lailatul Qadr

Anda harus ikhlas pada perubahan itu. Karena menjadi ikhlas (mukhlisin) adalah
kekuatan yang paling ditakuti iblis. ...pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis, kata Iblis (Q.S.15:39-40).

Saya awali tulisan ini dengan permohonan maaf kepada Anda semua baik yang saya
kenal ataupun tidak. Karena saya gudangnya kesalahan, maka menjelang Idul Fitri ini
terimalah maaf saya yang tulus ini. Untuk kesalahan Anda, kalaupun ada, saya sudah
memaafkannya bahkan sebelum Anda berbuat salah. Semoga Allah memberkati kita semua.

***

Di sisi akhir Ramadhan, tema bicara adalah Lailatul Qadr. Kapan datangnya?
bagaimana cara mendapatkannya? Apakah saya sudah pernah dapat atau belum? Bagaimana
tanda-tanda datangnya malam itu? Dan lain sebagainya.

Nilai yang dijanjikan lebih baik dari 1000 bulan; pastinya Tuhan sedang memberikan
bonus besar dan orang yang beriman tentunya akan sangat tergiur dengan janji Allah SWT
tersebut. Sehingga untuk mendapatkannya, banyak yang memutuskan untuk berlama-lama di
masjid, ber-i’tikaf. Banyak juga yang berencana untuk menambah dan memperbanyak amal
ibadah di sepuluh malam terakhir khususnya di malam ganjil.

Tapi tidak sedikit yang gak pernah kesampaian niatnya itu karena sibuk terus.
Anyway, itupun lumayan-lah, karena paling tidak sudah berpikir dengan benar ketimbang
orang yang tak pernah nyerempet pikirannya untuk malam istimewa ini.

Sehari-hari, di akhir masa Ramadhan ini banyak orang yang bersikap revolusioner-
radikal. Orang mengebut dirinya beramal ibadah, mengejar Lailatul Qadr. Di luar
Ramadhan, bisa jadi dia adalah orang yang gak dekat-dekat banget dengan ajaran Islam. Tapi
di akhir Ramadhan dia jadi sangat alim. Kelihatan dari pakaian yang dikenakannya dan
pastinya, dari aktifitas yang dilakukannya. Dia seolah-olah sedang meninggalkan dunia
sementara waktu, tapi nanti kembali lagi.

Berubah secara radikal, mungkin ingin mencontoh Sayyidina Umar ibn Khattab yang
ketersentuhannya dengan Islam berlangsung sangat fenomenal. Beliau menggenggam dunia
dengan pedangnya sebelum qalbunya disentuh Islam dan ia menemukan Allah SWT melalui
proses yang radikal.

***

Lailatul Qadr adalah manifestasi yang sangat terbuka dari kemurahan Allah SWT,
Kemahapengasih dan Kemahapenyayang. Kalau puasa itu adalah ibadah khusus yang hanya
Dia yang tahu ganjarannya. Kepada yang berhasil puasanya, hanya diberikan indikasi yaitu
menjadi orang bertakwa. Sedangkan Lailatul Qadr, Allah secara terbuka menyatakan

125
ganjaran beribadah pada malam itu. Dia seperti dengan sengaja menutupi yang satu dan
membuka yang lainnya.

Kombinasi keduanya mungkin kita bisa bilang seperti ini; hanya orang yang berhasil
puasanya saja atau orang yang bertakwa saja yang akan menemukan Lailatul Qadr. Atau
mungkin begini; siapa saja bisa menemukan berkah malam istimewa itu asalkan dia beramal
ibadah sungguh-sungguh pada malam itu.

Tapi yang jelas, kedua-duanya bukan menyiratkan makna ―mendapatkan dan


menyimpan‖ tetapi menyiratkan makna ―berpindah dan berubah‖. Posisi muttaqin bukan
sesuatu yang didapatkan dan kemudian disimpan sebagai koleksi bahwa kita sudah menjadi
orang bertakwa. Begitu juga dengan Lailatul Qadr bukan bonus yang kita ambil kemudian
kita simpan di brankas. Bukan sesuatu yang kita dapatkan kemudian kita simpan di rekening
ibadah dan setelah Ramadhan berakhir, kembali jadi Anda yang semula.

Orang yang berhasil dalam puasanya, sesungguhnya adalah orang yang berpindah ke
posisi muttaqin atau menjadi orang bertakwa. Ada gerak dari satu ―tempat‖ ke ―tempat‖ lain,
hingga tidak bermakna statis. Sedangkan orang yang menemukan Lailatul Qadr adalah orang
yang dirinya diselimuti keberkahan sehingga mau tidak mau dia akan berubah. Dia menatap
Matahari, Bulan dan Bintang-bintang tapi yang tampak hanya Allah SWT. Dia melihat lalu
lalang orang, kemacatan yang menggejala, hujan yang turun, burung yang terbang, penyakit
yang menggumpal, cicak dan buaya bahkan godzila, tapi yang tampak olehnya cuma Allah
SWT.

***

Oleh karena Lailatul Qadr dan Muttaqin berkonotasi dengan perubahan maka orang
yang bisa menemukannya hanya orang yang mampu berpikir positif terhadap perubahan.
Tidak takut akan perubahan apapun itu dan bersikap ikhlas dengan perubahan tersebut. Kalau
Anda belum siap untuk berubah tapi ingin Lailatul Qadr dan menjadi Muttaqin, maka itu
sesungguhnya datang dari mindset yang berbeda yang gak akan pernah ketemu.

Maka kalau mau Lailatul Qadr? Anda harus siapkan diri Anda berubah dalam melihat
segala sesuatu. Dalam melihat pekerjaan Anda, melihat harta kekayaan, melihat teman-
teman, koneksi, melihat musuh, melihat keluarga, anak dan istri atau melihat pacar, bahkan
Anda harus siap berubah dalam melihat diri Anda sendiri.

Anda harus ikhlas pada perubahan itu. Karena menjadi ikhlas (mukhlisin) adalah
kekuatan yang paling ditakuti iblis. ...pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba Engkau yang mukhlis, kata Iblis (Q.S.15:39-40).

Maka tidak ada pilihan lain, kita harus ikhlas untuk berubah sekarang juga. Karena
kalaupun kita tidak mau berubah dan berusaha mempertahankan status quo dengan sekuat
tenaga, toh kita juga akan dipaksa untuk berubah, meskipun tak kunjung ikhlas.

126
Malam Yang Sempit

Ketika engkau sudah kosong dan bersih, maka ketika itulah engkau memiliki kesiapan
menerima limpahan cahaya-cahaya itu. Tapi lihatlah, betapa sempitnya hatimu itu

Malam itu selalu saja jadi penawar. Karena sejauh langkah selama ini, ditebus hanya
dalam semalam; tunai. Tapi sekaligus, malam ini juga misterius. Kehadirannya tak terdeteksi
hisab dan rukyah.

Dia ada di antara 10 malam terakhir. Begitulah manusia, kita memang terlalu kasar
untuk ramai-ramai merasakan kehalusannya, terlalu kotor untuk berbondong-bondong
menjamahi kesuciannya.

Anda tentu akan membantah, tak percaya, pinomat memandang penuh selidik ke
sekujur mata—kalau ada orang yang ngaku-ngaku bertemu dengan malam lailatul qadr. Dia
mungkin melihat sesuatu yang ganjil, yang tak lazim tetapi luar biasa.

Tapi sekuat apapun penolakanmu, tetap lebih besar rasa penasaranmu. Bahkan engkau
sangat merindukannya setengah mati, engkau menanti kehadirannya sepanjang nafasmu—
walau kerinduan ini sering terbenam di dasar hatimu, hingga tak sempat kau sadari. Ia tak
pernah sempat meraja dalam dirimu. Teriakannya sangat lemah, lemah sekali. Persis seperti
lemahnya teriakan penuh derita Muslim Rohingya atau rakyat Palestina. Dia cuma sekelebat
berlalu, dan engkaupun segera melupakannya.

Maka kasihanilah dirimu sendiri. Karena engkau akan mengabaikan ―pesta‖ semalam
suntuk itu.

Malam itu bumi ini jadi sempit, para Malaikat turun berlaksa-laksa dipimpin sang
Jibril as. Kerlap-kerlip sinar itu bertaburan tiada henti menandai kemeriahan pesta.
Kemilaunya menyinari setiap dahaga. Suasana riuh rendah. Dan gunung-gunung pun
menahan nafasnya, Taufiq Ismail menggambarkan malam itu.

Pada mala ini, jamuan tiada henti berdatangan silih berganti. Engkau bisa mencicipi
sesuka hatimu. Tapi tentu engkau harus jadi tamu pesta malam itu.

***

Mata lelaki itu menjelaskan beban yang diembannya. Tiada hari dilalui dengan
bangun tidur tanpa suara Xerxes mengiang di telinga. Anak perempuan itu kini terpisah
darinya ketika terjadi penyerangan oleh pasukan Raja Khosrou.

Kashva, lelaki itu mendaki 13 gunung di Tibet ditemani Tashidelek. Iapun tenggelam
dalam lautan peziarah di tempat berkumpulnya segala doa itu, demi satu tujuan. Menemukan
kembali Xerxes. Rasa kehilangan itu membuat pikiran Kashva hanya tertuju untuk
menemukan cara agar bertemu Xerxes kembali.

127
Kasvha bahkan hampir lupa dengan tujuan utama dari pelariannya itu. Sebuah
perjalanan panjang untuk mencari Astvat-ereta, dialah Sang Al-Amin, guna menyucikan
ajaran Zardusht.

Tasaro GK, sang penulis buku ―Muhammad Sang Pengeja Hujan‖ ini
membandingkan kehilangan Kashva dengan kehilangan ‗Umar bin Khaththab. Ia harus
menggantikan Abu Bakar yang telah meninggal untuk berangkat ke medan jihad di Irak dan
Syam. Rasa ragu dan takut sempat menghampirinya. ‗Umar merasa tak mampu menjadi
pemimpin bagi banyak umat, sebab Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar tidak bisa
dijumpainya lagi untuk meminta bimbingan.

Ya.., haru biru itu kepada sang Al-Amin, sang lelaki pilihan. Lelaki yang terus
mengasah kebeningannya dengan kesunyian di gua yang senyap. Lelaki yang merawat
kepercayaan dengan sekujur kejujurannya—sebelum ia menjadi lelaki terpilih. Sang
pemimpin umat.

***

Maka butakanlah matamu, tulikanlah telingamu, kuncilah hidungmu, lumpuhkan


tanganmu, matikanlah rasamu dan kosongkanlah pikiranmu—biarkanlah ia menjadi ruang
luas tanpa tepi. Biarkan keheningan merambat menghampirimu. Lepaskan segala bebanmu
dan temui keheninganmu.

Nanti akan datang suara riuh rendah yang tergesa-gesa menyergapmu. Akan banyak
gambar yang tiba-tiba muncul di hadapanmu. Tapi abaikan saja mereka, karena bukan itu
tujuanmu. Tidak kali ini.

Ohh.., duhai Allah. Sungguh kemeriahan malam yang sempit itu ada dalam
kelapangan hati hamba-hambaMu. Biarkanlah kami mencicipinya barang sekali ini saja.
Bangkitkanlah kesadaran-kesadaran kami, depaklah kesombongan-kesombongan kami.

Berharaplah doamu diijabah.

Kosongkanlah cawan dirimu dengan tirakat puasa, baru cahaya itu memenuhi dirimu;
lepaskan segala kotoran dengan membersihkan dirimu, baru kesucian itu menjadi pakaianmu.
Ini seperti engkau berada dalam antrian panjang BBM, maka drum-mu harus kosong, seperti
melukis keindahan di kanvas, maka ia harus putih bersih lebih dulu.

Ketika engkau sudah kosong dan bersih, maka ketika itulah engkau memiliki kesiapan
menerima limpahan cahaya-cahaya itu. Tapi lihatlah, betapa sempitnya hatimu itu.(Vol.336,
9/8/2012)

128
Orbit Matahari

Alam raya ini selalu menjadi pertunjukkan mahakolosal dengan gemuruh yang
harmoni tiada tara. Ada miliaran jumlahnya. Semua saling bergerak tanpa pernah satu
pun yang salah, atau bergerak ke arah yang keliru. Semua dengan kepatuhan yang luar
biasa pada konduktor Mahapencipta

Dalam sistem tata surya kita, ukuran Bumi kita paling kecil nomor lima setelah Bulan,
Mercurius, Mars, dan Venus. Jauh lebih besar Neptunus, Saturnus, Jupiter, dan Matahari
memang. Tapi pemilik popularitas di Bumi itu cuma Bulan dan Matahari.

Kalau orang sedang jatuh cinta, cuma Bulan yang disebut, dan kalau orang
menggambarkan kehebatan, Matahari-lah alamatnya. Gak pernah toh kalau ada cowok
ngerayu ceweknya bilang begini: Wajahmu indah laksana Neptunus...

Walaupun Jhon Gray pernah mencoba memberi alternatif. Men Are From Mars,
Women aren From Venus, katanya. Tapi popularitas Bulan dan Matahari tetap tak
tergantikan. Itu sebabnya ketika gerhana Matahari datang, jutaan orang berbondong-bondong
menyaksikannya.

Gerhana telah menjadikan negeri ini pusat perhatian dunia. Membuat orang
melupakan sejenak soal PSSI dan Imam Nachrowi atau konflik di Golkar PPP dan Laoly-nya.
Tapi peristiwa apakah gerhana Matahari itu? Peristiwa astronomi, peristiwa budaya, peristiwa
politik, peristiwa ukuran, atau peristiwa tentang loyalitas dan peristiwa tentang jarak.

***

Kalau Muhammad Ali dikenal dengan kelincahannya di ring, maka Rio Heryanto
adalah contoh koordinasi efektif antara mata, jari tangan, kaki, hati, dan pikiran—manakala
Suarez jenius mengambil posisi di lapangan hijau. Berada di posisi yang tepat pada orbit
bola, itulah kalkulasi lapangan Suarez.

Karena kecerdikannya membaca pergerakan bola, menghitung langkah pemain


belakang lawan, Suarez bisa sempurna menghitung posisi terbaiknya. Ketika pemain lawan
sibuk melakukan antisipasi laju bola, atau ketika konsentrasi orang pada kemelut di depan
gawang, Suarez mencari tempat di posisi bola paling akhir.

Dengan sedikit gocekan, ia lantas dengan gampang melesakkan bola ke gawang


dengan cara yang indah. Semua tampak mudah ketika berada di posisi yang tepat. Karena
memang berada di posisi yang tepat, adalah kata kuncinya. Siapa saja di posisi yang tepat
akan mendapatkan banyak hanya dengan sedikit usaha, akan memanen meski orang lain yang
menanam, dan akan sampai ke tujuan tanpa perlu repot berjalan.

Benarkah segampang itu? Tentu saja. Yang tidak gampang adalah berada di posisi
yang tepat itu.

***

129
Matahari pagi ini memang luar biasa besarnya. Baru saja keluar dari ufuk Timur,
bulatnya sempurna. Semburat merah jingganya masih ramah bagi mata. Distrorsi warna yang
membuat abstraksi aneka gambar di langit membuat kata ―indah‖ tak lagi sanggup
menggambarkannya. Duhai.., aku seakan-akan tak berdiri di kedua kakiku

Anda tahu, ini momen yang setiap pagi membuatku terkagum-kagum. Aku sarankan,
di saat Matahari keluar dari ―peraduannya‖, engkau sedang melangkah di permukaan bumi,
jangan lupakan mendongak ke atas. Tatap ia dengan segenap nalarmu, jangan lupa ikutkan
hatimu. Nanti engkau akan tahu mengapa aku terkagum-kagum.

Matahari menjadi satu-satunya sumber kehidupan, karena dengan panasnya ia telah


menjadi faktor tak tergantikan. Kalau Rembulan menjalankan fungsi para Nabi—
memantulkan cahaya, maka Matahari menjadi simbol Tuhan. Tapi apa yang dilakukannya?
Tidak ada... Matahari dan Bulan, sejak alam raya terkembang cuma bergerak di jalur yang
sama berulang-ulang, tanpa bosan. Jalur itu disebut orbit.

Rahasia keistimewaan Matahari bagi Bumi terletak pada jaraknya yang presisi.
Karena kalau sekedar panas, maka Pollux (Orange Giant) jauh lebih besar dan lebih panas.
Kalau sekedar seindah Bulan, ada miliaran planet lain yang setara kehindahannya. Matahari
akan menjadi mahluk yang menakutkan kalau posisinya lebih dekat ke Bumi. Bulan pun tak
akan pernah disebut indah kalau sedikit saja lebih jauh dari orbitnya sekarang ini.

Kehidupan kosmos ini sejatinya berlangsung karena para mahluk yang ada
mengisinya tetap mematuh mandatnya dengan bergerak pada orbitnya. Pollux tak pernah
berniat menggantikan posisi Matahari karena tergoda sanjungan mahluk Bumi pada Matahari,
misalnya. Neptunus juga tak pernah terpikirkan bertukar posisi dengan Bulan karena
indahnya sering membuat umat manusia terpesona. Karena Neptunus akan tetap menjadi
planet istimewa meski tanpa ada satu pun manusia menyapanya.

Memang, alam raya ini selalu menjadi pertunjukkan mahakolosal dengan gemuruh
yang harmoni tiada tara. Ada miliaran jumlahnya. Semua saling bergerak tanpa pernah satu
pun yang salah, atau bergerak ke arah yang keliru. Semua dengan kepatuhan yang luar biasa
pada konduktor Mahapencipta.

Maka ambil-lah posisi yang tepat, dan tetaplah pada orbitmu, engkau pun menjadi
istimewa dengan sendirinya.(Vol.606, 10/3/2016)

130
Puasa Anak Maen

Hasbunallah wa ni’mal wakiil. Tuhanku, jadikan aku anak maen-Mu

Ini cerita sesosok laki-laki. Dia biasa terlihat di barisan shalat Shubuh berjamaah.
Wajahnya selalu terlihat segar manakala yang lain terkantuk. ―Saya biasa mandi sebelum
Shubuh,‖ kata dia membocorkan rahasianya dengan senyuman mengembang.

Senyum ini. Setiap kali saya melihatnya, seolah menawarkan misteri di balik setiap
tarikan garis wajahnya. Saya sering menduga-duga, tetapi tak pernah merasa cukup dengan
dugaan itu. Baiklah, soal senyum ini nanti saja.

Pria tadi, begitu tuntas shalat Shubuhnya berdiri, dia langsung tancap gas, berdagang.
Saya melihatnya melintas di tengah terik jalanan berdebu. Tapi itu pun tak pernah
menyurutkan aktivitasnya di malam hari. Dia senang berada di tengah majelis-majelis
pengajian, terkadang sampai larut malam.

Di bulan Ramadhan ini aktivitasnya semakin kencang. Langkahnya ringan dari satu
masjid ke masjid yang lain. Udara panas beberapa hari belakangan ini tak cukup kuat menjadi
alasan mengendurkan langkahnya. Hidupnya seolah seperti rangkaian yang dari dari hari ke
hari tak pernah terputus.

Saya mengenangnya dengan heran. Dia bukan orang berkecukupan materi. Mereka
hidup sederhana, adakalanya kekurangan. Dengan hidup seperti ini, letih pasti, dan susah
sangat mungkin terjadi. Tapi senyumnya itu seolah mengatasi segala masalahnya.

***

Kisah Sayed Mann juga dimulai dari waktu Shubuh. Saat itu pseudo gangster dari
Jerman Timur ini mendengarkan seorang anak kecil membaca ayat-ayat Alquran. Tapi yang
terjadi kemudian tak pernah diduganya. Dia mulai menangis. Matanya terasa hangat dengan
buliran air.

Ini sesuatu yang tidak dimengertinya. Ketika pertama kali datang ke kota itu, dia
merasa asing karena menemukan banyak imigran Muslim. Idolanya adalah para kulit hitam di
Amerika, dan dia pun bergaya hidup seperti mereka, seperti mengenakan jaket, topi kupluk
dan rambut panjang. Termasuk melakukan banyak hal buruk seperti mencuri. ―Saya tidak
tahu mengapa menangis. Saya tidak mengerti bahasa Arab, saya tidak tahu apa yang sedang
anak itu baca. Tak ada yang saya tahu. Tapi hati saya rupanya sangat mengerti,‖ katanya.

Peristiwa ini menuntun Sayed belajar Islam hingga akhirnya menjadi Muslim. Tapi,
seperti biasa, Sayed Mann kemudian kehilangan teman-teman yang mulai jauh darinya.
Sayed menyadari ini. ―Ketika menjadi seorang Muslim, engkau akan kehilangan teman-
temanmu tetapi engkau akan mendapatkan saudara,‖ katanya.

Televisi Jerman, Deutsche Welle yang menurunkan laporan Sayed Mann ini
memberikan narasi bagaimana pria yang lahir dari keluarga atheis ini memeluk Islam dan
menunaikan shalat lima waktunya. ―Jika engkau menjadi seorang Muslim, engkau segera

131
menjadi anggota keluarga di tengah umat Muslim. Ini sesuatu yang tidak ditawarkan agama
lain,‖ begitu kata gadis Jerman pembawa acara itu. Dia pasti tidak paham peristiwa hati
Sayed Mann.

***

Saat puasa saya juga pernah merasakan letih sekali. Saya sudah bangun pukul empat
dini hari untuk sahur. Padahal malamnya saya tidur larut. Untuk tidur sebelum Shubuh saya
merasa pantang sekaligus malu dengan anak-anak yang sering menerima perintah shalat di
masjid.

Usai shalat saya harus buru-buru menyelesaikan beberapa tulisan dan editing karena
siang nanti harus hadir di sebuah acara. Ini mandat janji. Celakanya belum selesai pekerjaan
ini, waktunya mepet. Maka harus saya tangguhkan sepulang dari acara nanti.

Tapi terkadang engkau menemukan siang yang sulit dan menjengkelkan. Ada
orangtua pamer ―kuasa‖, ada anak muda tak pandai menghargai. Ada pula kebodohan yang
dibanggakan, ada kebaikan yang tersisih. Engkau boleh mengambilnya sebagai derita lahir
batin, tapi engkau juga boleh mengabaikannya seolah tak ada. Tapi tetap saja ia akan
meletihkanmu.

Ia terasa semakin meletihkan ketika harus sambilan terburu-buru menyelesaikan sisa


pekerjaan tadi pagi. Padahal setiap buru-buru akan ditemani setan. Maka jadilah beberapa
kekeliruan di sana-sini. Seperangkat beban itu masih terasa bergelanyut ketika harus
menemui seorang teman malam itu. Ini juga janji yang akan ―melawan‖ dari dalam kalau
berani kuingkari.

Malam hari aku baru bisa kembali ke rumah. Tapi malam hari, tak selalu berarti
jalanan lancar. Selalu saja ada waktu yang memaksamu menahan letih di atas kendaraan,
berjibaku dengan para pelanggar rambu, bisingnya klakson dan knalpot blong. Aku merasa
seperti wayang yang sedang di-maen-kan pemiliknya. Di malam larut aku baru tiba di rumah.
Keadaan sepi, tak ada sambutan si kecil, pelukan si gadis, atau aksi selidik si sulung pada
bawaan bapaknya. Anak-anak sudah tidur lelap sekali. Sleeping Child kata Michael Learn To
Rock.

Kasur itu jadi demikian indahnya dalam pandanganku. Ketika merebahkan diri,
nikmatnya terasa dari ujung kaki sampai ke kepala. Menjalankan mandat hidup itu, mengikuti
peristiwa hati itu—rupanya begini rasanya. Hasbunallah wa ni’mal wakiil. Tuhanku, jadikan
aku anak maen-Mu.(Vol.583, 6/7/2015)

132
Tarikan Rindu

Nabi Ibrahim as mencontohkan, karena hanif tinggalkan semua untuk rindu

Entah kenapa, untuk berangkat umrah kali ini saya merasa tegang. Tidak sekedar
tegang tetapi bahkan perasaan takut. Padahal saya sudah punya bekal pengalaman tahun lalu.
Kalau mau tegang mestinya-kan saat pertama—seperti tegangnya hari pertama kerja, atau
pacaran pertama, atau malam pertama.

Padahal semestinya saya merasa gembira. Anda tahu, sejak berangkat umrah tahun
lalu, saya selalu dilanda rindu. Tarikannya kuat sekali. Setiap melihat Madjidilharam, setiap
kali pula saya ingat pernah berdiri di sana. Di sudut itu ada makam Ibrahim yang hanif—
Bapak para Nabi yang selalu mengingatkan tentang mencari Tuhan dengan jujur dan pasrah.

Saya seolah menghirup udara yang sama ketika ribuan tahun lalu Ibrahim as menatap
Bintang gumintang, Bulan, dan Matahari. Saya seakan merasakan denyutan jantung Beliau
ketika gundah gulana untuk menemukan Tuhan. Saya seperti melihat Beliau menyelinap
dengan kapak di tangan dan dengan nahi munkar menghancurkan pantung-patung berhala di
sekitar Ka‘bah.

Belum lagi di Masjid Nabawi. Di Raudah, Rasululullah SAW seolah masih berdiri
khutbah di bawah naungan pohon kurma. Ini pohon yang menangis meraung-raung seperti
anak kecil ketika perannya digantikan mimbar.

Saya juga seperti melihat Rasulullah melangkah dari mimbar khutbah ke rumah
Beliau. Juga ketika setiap kali Rasul melangkah ke tempat pengemis Yahudi buta tua di sudut
kota Madinah untuk menyantuni dan menyuapinya makanan. Sambil disuapi, mulut pengemis
tak henti menghina Muhammad tanpa menyadari orang yang berbuat baik padanya sehari-
hari.

Sang pengemis baru sadar ketika Abu Bakar menggantikan peran Rasul
menyantuninya. ―Kau bukan orang yang biasa memberiku makan,‖ katanya. Tentu saja,
orang yang selama ini menyantuninya melembutkan makanan sebelum dikunyahnya dengan
nikmat. Tapi orang itu kini sudah wafat, dia pula orang yang sama dengan yang selama ini
habis-habisan dihujatnya. Hati Yahudi itu pun merintih, pedih sekali—sebelum mengakui
Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam, dan Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya.

***

Tarikan rindu ini besar sekali. Maka seharusnya saya bergembira, seperti gembiranya
orang dahaga yang menemukan air. Jika ibadah haji jadi begitu eksklusif karena rentang
waktunya, maka umrah adalah-lah pilihannya. Umrah adalah jawaban bagi jiwa yang haus
karena rindu.

Baiklah, mungkin karena kasus-kasus pesawat udara yang jadi penyebab ketegangan
ini. Tapi saya ragukan itu, karena kalaupun tak ada peristiwa kecelakaan pesawat, ketegangan
tetap saja ada. Saya mencurigai anak kami yang bungsu jadi penyebabnya. Anda tahu, belum

133
pernah dia ditinggal lebih dua hari oleh orangtuanya. Padahal untuk makan dia masih harus
disuapi, untuk mandi dia harus dimandikan, dan untuk bangun tidur dia harus dibujukrayu.

Karena umurnya yang masih lima tahun, tentu dia lebih banyak tergantung kepada
orangtuanya dibanding abang dan kakaknya. Karena tergantung itulah dia akhirnya
dikelilingi kemanjaan. Misalnya kalau ada makanan yang sama-sama digemari, dia yang
harus paling banyak dapat, kalau kakak-kakaknya diwajibkan membantu ibunya, dia cukup
berdiam di depan TV, kalau sedang berantem maka yang lain harus lebih mengalah.

Kepada saya, semuanya menjadi prioritas baginya. Bahkan kalau saya sedang di
kamar mandi, dia boleh menggedor pintu seenaknya, tak peduli saya sedang ngapai. Apalagi
kalau dia lagi kebelet, pilihannya cuma dua; bukan pintu kamar mandi atau brojol di celana.

Maka saya tidak bisa membayangkan kalau saya dan istri harus meninggalkannya
selama berhari-hari. Saya jadi gelisah dibuatnya, dan kegelisahan ini adalah tersangka utama
dari penyebab ketegangan yang saya alami.

***

Ismail baru hadir setelah umur Ibrahim lebih 80 tahun. Tapi Ibrahim diperintahkan
membawa istrinya dan Ismail yang baru lahir ke gurun pasir. Tidak ada apapun di sana,
benar-benar kosong. Perintah itu juga untuk meninggalkan mereka berdua di sana.

―Ya Ibrahim! Apakah Allah yang telah memerintahkanmu untuk melakukan ini?‖
tanya Siti Hajar, sang istri. Ibrahim as menjawab. ―Ya,‖ sambil terus berjalan.

Hajar as mengamati suaminya berjalan menjauh, dia menjadi tenang dan berkata:
―Dengan begitu, Allah tidak akan membiarkan kita... Allah tidak akan membiarkan kita.‖

Kini tempat di mana Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya itu adalah tempat
manusia dari empat penjuru mata angin datang berbondong-bondong. Tempat ini pula yang
kami tuju, tempat di mana tarikan itu bermula. Nabi Ibrahim as mencontohkan, karena hanif
tinggalkan semua untuk rindu.(Vol, 541, 9/2/2015)

134
Ulama

Orang ’aalim bukanlah karena dia disebut Kiyai Anu, Habib Polan, Syech Badu atau
Tuan Guru A. Bukan, bukan semata karena namanya

Beberapa pers berbahasa Inggris sering menyebut ulama dengan kata priest atau
seperti halnya pendeta dalam agama lain. Padahal ada perbedaan yang sangat mendasar
antara ulama dengan kependetaan, karena tidak dikenal pola hidup monashism dalam Islam.

Nurcholish Madjid menyebut pola hidup kerahiban atau pertapaan yang tidak dikenal
dalam Islam itu gandengannya adalah para pendeta dan para rahib. Islam juga bukan
Mohammedanism seperti halnya Buddihsm atau Confucianism karena umat Islam bukan
menyembah Muhammad.

Ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah SWT (Q.S.35:28). Mereka
takut bukan karena mereka pengecut atau tak bernyali. Tetapi mereka takut adalah karena
mereka memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang.

Menilik asal katanya, ulamaa’ merupakan bentuk jamak dari ’aalim yang berarti
orang-orang yang berilmu. Jadi para ulama adalah orang-orang yang memiliki ilmu dan orang
yang takut kepada Allah SWT. Karena itu para ulama tidak mungkin salah, karena ilmu dan
rasa takutnya seorang ulama akan sangat berhati-hati hingga jarang salah, dia hanya salah
karena tidak disengaja.

Titel ulama dalam Islam biasanya merupakan pengakuan masyarakat karena melihat
ketinggian ilmunya. Dalam sebuah hadis yang populer, para ulama disebutkan sebagai
pewaris para nabi (inna al-ulamaa’ waratsah al-anbiyaa).

Ulama-lah yang, yang memiliki ilmu pengetahuan, yang ditunjuk sebagai tempat
bertanya bagi orang-orang yang tidak mengetahui (baca tidak memiliki ilmu). Sebaliknya
orang-orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk bertanya kepada orang ’aalim
(Q.S.16:43).

Jadi ulama memiliki dua unsur penting di dalamnya yakni orang yang berilmu dan
orang yang takut kepada Allah SWT dalam waktu bersamaan. Karena berilmu saja tidak
cukup menjadi seorang ulama sama tidak cukupnya jika takut kepada Allah tapi tanpa ilmu.
Jadi, ulama tidak ada hubunganya dengan selain dua hal tersebut. Misalnya, ulama tidak
berhubungan dengan jubah yang panjang, tidak berhubungan dengan jidad yang hitam atau
dengan besarnya tasbih yang ditenteng-tenteng seseorang.

***

Ulama tidak memiliki sistim wewenang keagamaan seperti halnya dalam agama lain.
Tidak pula ada struktur yang mapan dalam status keulamaan ini. Meski ada yang disebut
dengan ustadz ataupun para da‘i, bukan merupakan struktur di bawahnya tetapi ini lebih
kepada fungsi yang dijalankannya yakni menjalankan dakwah ke tengah-tengah umat.

135
Kalaupun ada ustadz yang berlaku seolah-olah seorang ulama, atau dai yang sudah
merasa ulama, atau baru punya bisnis pesantren sudah menjadi seolah-olah ulama. Itu adalah
suatu kesalahan yang dimungkinkan terjadi. Karena memang selain tidak ada yang sempurna,
gelar ulama seringkali terasa menggiurkan.

Ilmu ‖seolah-olah‖ suka kita praktikkan di aneka bidang kehidupan. Baru jadi hansip
seolah-olah tentara, baru jadi mahasiswa sudah seolah-olah pakar, baru menjabat bupati
seolah-olah gubernur, baru jadi gubernur seolah-olah presiden. Ilmu ―seolah-olah‖ ini
mensyaratkan perasaan lebih dulu baru prestasi. Sedangkan ulama, prestasinya akan sampai
lebih dahulu baru orangnya.

Ulama, adalah puncak-puncak tertinggi dari ilmu ―seolah-olah‖ tersebut. Karena para
nabi sudah tidak diturunkan lagi ke muka Bumi. Ulama juga para penjaga agama karena
mereka yang mewarisi ilmu para nabi yang mengajak kepada ’amar ma’ruf dan menjauhi
kemunkaran.

***

Satu hal lagi, karena kewenangan ulama adalah sangat terbatas dalam keagamaan
maka ulama sejatinya adalah orang yang memberi arah bagi umat. Ulama adalah orang yang
dengan ijtihadnya mengetahui mana jalan yang lurus mana yang bengkok, mana merah mana
yang kelabu, mana yang sahih mana yang dhoif. Pendapat orang ’aalim biasa disebut dengan
fatwa yang sifatnya tidak selalu mengikat dan senantiasa terus menerus dipertanyakan level
keabsahannya.

Karena itulah sebetulnya kita sebagai umat sejatinya adalah orang yang sangat
berkepentingan terhadap para ulama. Kita perlu bertanya dan mengetahui mana yang benar
mana yang salah, karena kalau mau jujur, seringkali kita tidak tahu yang mana kebenaran itu,
meski itu menyangkut diri kita sendiri.

Tapi sekali lagi yang dimaksud dengan orang ’aalim bukanlah karena dia disebut
Kiyai Anu, Habib Polan, Syech Badu atau Tuan Guru A. Bukan, bukan semata karena
namanya. Tapi yang dimasud dengan orang ’aalim di sini adalah orang yang benar-benar
memiliki kedalaman ilmu, ketajaman pikiran, kebesaran jiwa dan kelapangan hati, kekokohan
hatinya, dan orang yang paling takut kepada Allah SWT. Diri dan semua perilakunya adalah
teladan. Kalau kita ikuti orang seperti ini, pasti akan selamat.

136
DAPUR...

137
Dari Sini Melihat Surga

Terkadang Tuhan memang menempatkan barang yang sangat “berharga” di tempat-


tempat yang tidak kita duga-duga. Tidak juga harus berada pada tempat yang
dianggap prestisius dalam struktur hidup sosial

Di sore hari yang penat itu saya kehadiran tamu istimewa. Seorang teman lama yang
sudah bertahun-tahun tak ketemu, bertegur sapa dan ngobrol panjang seperti ini. Wajahnya
muram durja persis seperti suasana Pearl Harbor setelah diserang Jepang pada perang dunia
II. Porak-poranda.

Dengan seketika rasa haus dan lapar saya serasa mendapatkan peluang untuk
dikeyangkan. Dia seperti datang untuk mentraktir saya, menyuguhkan hidangan yang sangat
jarang bisa dicicipi.

Lelaki itu datang berpuluh kilometer dari rumah saya. Separuh perjalanannya
ditempuhnya dengan menumpang Angkot, separuh lagi dia mengandalkan kedua kakinya
untuk membopong tubuhnya. Bukan karena dia suka olahraga atau peduli global warming
tapi karena uangnya tidak cukup.‘‘Saya sudah hancur. Sudah berbulan-bulan saya tidak
bekerja sejak dipecat dari tempat saya bekerja,‘‘ katanya.

Dia menceritakan bagaimana dia sudah melamar pekerjaan ke berbagai tempat tapi
sejauh ini tidak berhasil. Dia juga sudah mencoba banyak pekerjaan sendiri seperti jual mie
balap tapi becanya bertubrukan dan masuk parit, dia sudah coba berdagang pakaian dan
perlengkapan dapur tapi rugi. Mau coba jadi supir Betor, tapi dia tidak punya keahlian untuk
jadi pilotnya. Wajar saja, karena sejak kecil dia memang tidak pernah dipersiapkan untuk
jadi ―orang susah‖ sebab hidupnya selalu berkecukupan.

Alih-alih, kemudian pikiran tergerak untuk mencoba profesi baru, menjadi dukun. Dia
mengaku seperti mendapat ―kekuatan‖ dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit yang
diderita orang. Atau paling tidak, dia bisa mengurut, sehingga tubuh yang pegal-pegal bisa
fresh kembali. Pekerjaan inilah yang diandalkannya menyambung hidup istri dan seorang
anaknya, meski kadang ada kadang tidak ada.

Satu hal yang berbeda dalam dirinya dari sebelumnya. Dulu dia memiliki
kecenderungan hedonis yang kuat. Tapi sekarang serta merta dia seperti tersentak sadar
bahwa hal-hal seperti bersifat remeh-temeh. Ada hal yang jauh lebih besar yang selama ini
selalu saja ―memanggil-manggil‖ tapi diabaikannya.

Dia terus bercerita panjang lebar hampir tanpa jeda. Teman yang cintai ini seperti
ingin menumpahkan seluruh air laut ke dalam bejana yang tak memiliki dasar. Saya hanya
diam saja, sambil terus mendengarkan kata-katanya meluncur deras menumpuki saya.

Sungguh, saya harus lebih menyukai tipe tamu yang seperti ini daripada orang yang
menawarkan kehangatan, sangat hangat sampai-sampai mengalahkan hangatnya sinar
Matahari.

***

138
Teman saya yang satu lagi adalah seorang pejabat publik yang tidak saja kesohor
punya sikap dermawan, peduli sesama tetapi juga seorang yang alim. Tapi sebagai seorang
pejabat publik, hari-harinya disibukkan dengan bertumpuk-tumpuk pekerjaan. Di usianya
yang memasuki senja itu dia bahkan harus sering keluar kota meninggalkan keluarganya
berhari-hari lamanya.

Sejauh ini dia memang menikmati segala kemegahan dan prestise hasil kerja kerasnya
yang dibangun bertahun-tahun sejak masa mudanya. Sampai pada suatu titik dia harus
dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya harus berurusan dengan masalah hukum. Seketika
dia harus meninggalkan semua kebanggaan dan sanjungan orang untuk menetap di hotel
prodeo.

‘‘Saya tidak tahu apakah saya harus merasa sedih atau bahagia. Tapi yang jelas hati
dan perasaan saya jauh merasa lebih tenang di sini ketimbang di luar sana,‘‘ katanya ketika
suatu hari saya menjenguknya.

Hidupnya kini bisa lebih teratur, dengan ritme yang anggun. Hubungannya dengan
Tuhan juga semakin ‘indah‘, ibadahnya semakin mantap. Begitu juga hubungannya dengan
keluarga jadi semakin dekat. ‘‘Saya seperti bisa melihat surga dari sini,‘‘ katanya.

***

Terkadang Tuhan memang menempatkan barang yang sangat ―berharga‖ di tempat-


tempat yang tidak kita duga-duga. Tidak juga harus berada pada tempat yang dianggap
prestisius dalam struktur hidup sosial. Atau malah berlawanan dengan tujuan hidup yang
selama ini dikejar.

Hanya saja terkadang manusia sering tidak menyukai bahkan mengacuhkan titik-titik
tersebut, sampai Allah dengan sifat Ar-Rahiim-nya harus memaksa orang untuk berpindah
tempat. Allah SWT seolah telah menetapkan titik-titik di mana manusia bisa berdiam di sana
agar ma’rifat-nya bisa menatap kehidupan di kosmos ini secara lebih persis. Titik di mana
seseorang berada pada garis lurus dengan Rabb-nya.

139
Hanif

Jika engkau menderitalah, menderitalah seperti Ibrahim—karena Tuhan sekalipun


akan membangga-banggakanmu di hadapan manusia lain

Siapa saja yang berjuang mendekati Tuhannya, dia akan merasakan ―terbakar‖. Itukah
pesan Ibrahim? Saya seperti tak bisa menerima ketika mendengarnya. Tapi kisah hidup itu
memang penuh dengan derita, perjuangan, pengorbanan, dan api yang membakar.

Ia hanyalah seorang pemuda dari Babylonia. Itu sekitar 3700 tahun lalu ketika
akalnya terusik melihat patung yang dibuat ayahnya itu disembah-sembah. Akal memang
selalu jadi sesuatu di balik peristiwa besar yang menyejarah.

Ketika orang-orang menyerahkan hatinya dan meminggirkan akalnya dengan


menyembah patung, hati dan akal Ibrahim justru bereaksi. Tapi ini jalan sunyi, cuma dia
sendiri—begitulah selalu adanya. Ibrahim tak bergeming; menciptakan sesuatu lalu
menyembah-nyembahnya adalah keterlaluan, ini sama dengan menghina hati dan akal yang
meronta-ronta.

Tapi bukankah itu watak kita? Kita ciptakan sendiri pangkat, jabatan, gelar dan segala
sesuatu yang menarik hati. Lantas kejar.., kejarlah mereka sampai habis masa hidupmu.
Ibrahim dari kejauhan seakan menatap sambil geleng-geleng kepala. Dan raut halus rama-
rama menyelimuti jantungku.

Maka dengarkanlah lamat-lamat Ibrahim berseru; Hancur.., hancurkanlah semua itu,


meski untuk itu engkau harus berhadapan dengan orang yang kau kasihi, dan untuk itu
engkau harus ―dibakar‖. Kumpulkan keberanianmu, pecahkan tabungan akal sehatmu, dan
liputi semua kekuatan hatimu.

***

Lantas, kalau bukan berhala, siapa Tuhan itu? Kepada bintang gumintang Ibrahim
mengiranya Tuhan, tapi ketika tenggelam, maka ia tak pantas. Melihat Bulan, Ibrahim
mengiranya inilah Tuhan itu, tapi ia sama tak pantasnya karena juga tenggelam. Kepada
Matahari, yang lebih besar dan lebih panas, Ibrahim menduga inilah Tuhan, tapi lagi-lagi dia
tenggelam.

Perjuangannya menemukan Tuhan membawanya menghadapkan dirinya kepada Rabb


yang menciptakan Langit dan Bumi. Hati dan akalnya seolah menemukan pelabuhannya.
Tapi itupun tak menyurutkan permintaan hatinya untuk melihat orang mati yang dihidupkan.
Ibrahim seolah tak bisa menikmati pagi, seakan tak terusik indahnya malam.

Baiklah, Tuhan yang Maharahman dan Maharahiim itu mengabulkan. Kumpulkan


empat ekor burung peliharaan itu. Burung-burung itu terlatih yang bisa dipanggil hanya
dengan seruan dan tepukan. Tapi keempatnya kini dipotong, bahkan dimutilasi dan tiap-tiap
bagiannya diletakkan di puncak-puncak bukit. Ibrahim pun menjauh dan menepuk seraya
memanggil burung-burung itu. Dan terbanglah mereka mendatangi Ibrahim dengan segera.

140
Maka mantaplah hati dengan imannya. Tapi kini giliran Rabb menguji kandungan
iman itu. Di usianya yang lanjut dia masih juga mendambakan keturunan. Istrinya Sarah
berbaik hati mempersilakan Ibrahim menikahi budak perempuan mereka asal Mesir yakni
Hajar. Dari Hajar lah—dengan penuh kegembiraan—dikaruniawi putra yang diberi nama
IshmaEl (Ismai‘il) yang dalam bahasa Ibrahi berarti ―Tuhan yang mendengar‖.

Tapi itu pula yang diminta untuk disembelih. Ini drama yang bukan main. Dan
Ibrahim yang hanif serta Ismail yang bukan cuma anak biologis tapi juga anak idiologis itu
dengan cepat mengamini. Maka derita itu luruh sampai ke tulang-tulang sum-sum ketika
Ibrahim memegang pedang menyembelih anaknya sendiri.

Darah segar hangat mengalir. Tapi Tuhan menyelamatkan keduanya, domba itu
menjadi pengganti Ismail. Karena memang orang yang berada di jalan yang hanif akan selalu
diselamatkan. Itu hukumnya.

***

Siapa di antaramu yang paling menderita hidupnya? Siapa pula yang penderitaannya
melebihi derita Ibrahim? Bukankah Ibrahim sekedar mencari Tuhannya, dan mengikuti jalan
Tuhannya? Itulah mengapa Ibrahim disebut hanif.

Maka jika engkau menderitalah, menderitalah seperti Ibrahim—karena Tuhan


sekalipun akan membangga-banggakanmu di hadapan manusia lain.(Vol.456, 17/10/2013)

141
Jihad, Derita & Bahagia

Menjadi dosen, wartawan, pengusaha, pedagang, polisi, tentara, supir, dengan


semangat setara jihad adalah pekerjaan yang perlu kita lakukan sekarang. Kita
mungkin sedang menderita, tapi kebahagiaan sedang mengintip, kalau-kalau secara
kolektif kita pantas menerima kehadirannya

Kebahagiaan dan penderitaan itu, katanya, datang silih berganti. Tapi bagi kami,
keduanya bisa datang bersamaan. Itulah ketika kami menghadiri pesta pernikahan seorang
kerabat di luar kota kemarin.

Karena waktunya Sabtu, maka kami harus berangkat dari rumah sore hari menjelang
malam. Beberapa anggota keluarga harus menuntaskan tanggung jawab pekerjaannya dulu
sebelum berangkat undangan. Saya pun begitu, tepatnya menjalankan kewajiban rutinitas
lebih dahulu.

Sabtu adalah hari bagi saya untuk berolahraga. Kami biasa bermain futsal untuk
menjaga kebugaran. Ini wujud tanggung jawab dan ikhtiar saya pada diri sendiri, untuk
menjaga tubuh stay awal from penyakit kolesterol, gula dan sejenisnya. Anda boleh percaya,
saya punya beberapa kawan mengidap penyakit ini karena bisanya cuma makan enak dan
hidup santai. Karenanya sejak lama, Sabtu menjadi hari ―sakral‖ bagi saya disebab keketatan
dalam menjaga rutinitas. Apapun kegiatan di hari Sabtu, jangan sampai mengganggu jadwal
futsal ini, begitu tekad saya.

Tapi setelah futsal harus menyetir berjam-jam lamanya, ternyata ini persoalan lain.
Apalagi siangnya saya harus telambat makan karena harus ke bengkel ngurus mobil yang
akan diajak berjalan jauh. Belum lama di perjalanan saya mulai merasakan tanda-tandanya.
Kepala mulai perih, tak lama perut mulai mual. Saya hafal gejala ini karena sering terjadi
ketika telat makan.

Syukurnya kami tiba dengan selamat setelah dengan segala upaya saya
menahankannya. Tapi ujian belum berakhir karena lokasi pesta penuh undangan. Kami
kebagian duduk persis di posisi moncong loadspeaker yang bunyinya keras sekali. Sajjad
anak bungsuku menutup kedua telinganya dengan tangan. Aku merasakan desiran kuat di
dada diguncang pengeras suara itu, sementara kepala terus berdenyut.

Sementara di sebelah sana, pengantin senyam-senyum dan saling pandang, di sebelah


sini penyanyi keyboard terus tertawa haha hihi. Bahagia mereka bersamaan datangnya
dengan derita kami.

***

Derita dan bahagia dalam format yang berbeda bisa dilihat dari perspektif yang lain.
Hari ulang tahun misalnya, bisa berarti bertambah umur, tapi ia juga bisa dimaknai berkurang
umur. Bila berarti panjang umur, engkau menyambutnya suka cita, tapi jika bermakna
berkurang umur, maka engkau akan cepat merasakannya sebagai derita.

142
Itulah sebabnya, esensi umur bukan pada panjang dan pendeknya seperti kata-kata
Chairil Anwar yang mau hidup seribu tahun lagi itu. Tapi seberapa kencang penetrasi yang
dilakukan, seberapa kuat daya dobrak yang terjadi, dan seberapa tinggi capaian yang
dilakukan untuk tujuan hidup itu sendiri.

Maka ketika Harian Waspada menggelar seminar ―Memaknai Jihad Kontemporer‖, ia


harus bisa bermakna mengencangkan penetrasi, menderaskan daya dobrak, dan meninggikan
capaian itu. Tentu saja, seminar ini tidak hendak mempertentangkan antara pendapat yang
mengkhususkan jihad dalam konteks perang, atau jihad adalah konteks selain perang.
Seminar ini juga tidak hendak mereduksi pemahaman jihad dalam arti perang, namun lebih
mengeksplorasi jihad dalam maknanya sebagai sebuah semangat.

Anda tahu, negeri ini sedang dirundung berbagai malapetaka, yang celakanya malah
sering dianggap sebagai prestasi. Kita menjadi konsentrasi-konsentrasi konsumsi, hukum
yang sudah lama tak memihak keadilan, kemiskinan terus merambat, kebodohan meraja, dan
seterusnya.

Tapi malapetaka ini belum apa-apa dibanding respons yang kita tunjukkan: kekuasaan
yang dipermainkan, memperalat hukum, melestarikan kemiskinan, dan membangga-
banggakan kebodohan. Di tengah malapetaka yang bersumber dari orientasi pada diri sendiri
ini, sikap terbaik kita adalah mencari akar semangat yang mampu mereduksi kecintaan yang
sangat seseorang pada dirinya sendiri. Maka terminologi jihad kemudian menjadi penting.

Siapapun boleh setuju ataupun tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Amrozi
atau Imam Samudera. Tapi terlepas dari itu, sulit membantah kalau mereka punya semangat
yang sangat besar pada tujuan yang hendak dicapainya. Mereka benar-benar sudah selesai
dengan dirinya sendiri dan motivasinya cuma untuk kehidupan akhiratnya.

Maka menjadi dosen, wartawan, pengusaha, pedagang, polisi, tentara, supir, dengan
semangat setara jihad adalah pekerjaan yang perlu kita lakukan sekarang. Kita mungkin
sedang menderita, tapi kebahagiaan sedang mengintip, kalau-kalau secara kolektif kita pantas
menerima kehadirannya.(Vol.592, 11/1/2015)

143
LP Yang Berpuasa

Ia membagi beban dengan rajin memberikan tanda-tanda lewat berbagai peristiwa di


sekitarnya. Tapi karena tanda itupun diacuhkan, saatnya ia mengakhiri puasa dengan
membakar dirinya

Kebenaran adalah "entitas" yang hidup di dalam hidup itu sendiri. Dia berada di
ketinggian struktur nilai-nilai. Siapa saja yang mendekatinya maka dia segera berada pada
ketinggian yang sama, sebaliknya siapapun yang menjauhinya, akan berada pada posisi yang
lebih rendah.

Untuk mendekatinya, kebenaran harus disuarakan. Tapi ada jenis kebenaran yang tak
kunjung disuarakan—maka iapun menunjukkan dirinya. Mempertegas eksistensinya. Dia
punya bahasanya sendiri yang seringkali sulit dimengerti manusia, dan tidak jarang
mengerikan.

Kalau konsumsi kendaraan bermotor melebihi kuota, maka ia akan mengabarkan


lewat macat tak terurai. Kalau badan jalan ditempeli aspal tanpa ketebalan seharusnya, dia
akan muncul lewat lubang menganga jalanan. Kalau hukum pertanahan tak tegak, ia akan
tampak sebagai konflik tak terselesaikan. Atau kalau kebiasaan buang sampah ke parit dan
sungai jadi tabiat, maka kebenaran itu akan muncul lewat banjir yang melabrak segala
sesuatu.

Begitulah kebenaran. Kalau segala perangkat yang ada tak juga mampu mendeteksi
keberadaannya, atau malah menyembunyikan jati dirinya, dia akan muncul dengan
sendirinya. Saat kebenaran memunculkan diri, orang sering menyebutnya sebagai musibah.

***

Kemarin (2013), seluruh Indonesia dikejutkan kabar dari Lembaga Pemasyarakatan


(LP) Tanjung Gusta. Ramadhan baru saja datang, tapi LP itu membara oleh api yang
membakar. Bangunan yang seram itu tambah seram dengan kerusuhan yang berkecamuk.
Ratusan penghuninya melarikan diri, lima orang tewas, dua di antaranya petugas LP.
Peristiwa yang berlangsung mendadak ini membuat heboh seantero negeri.

Mendadak? Tentu tidak! Sebab Tuhan selalu menyiapkan tanda-tanda sebelum sebuah
peristiwa terjadi. Maka tidak pernah ada peristiwa yang terjadi sekonyong-konyong tanpa
pertanda. Seperti hujan yang akan selalu didahului gumpalan awan dan angin, bahkan kentut
sering diawali sakit perut.

Di antara pertanda itu, ada jenis yang halus, yang karena kehalusannya seringkali
diabaikan. Maka ketika LP Tanjung Gusta membara, ramai-ramai orang baru sadar kalau
kapasitasnya overload, semestinya 1000 orang, disesaki 2.500 orang. Isu jual beli remisi dan
ruang tahanan pun mencuat. Ada lagi aliran listrik dan air bersih yang alirannya seolah jadi
masalah abadi.

144
Rupanya kerusuhan yang terjadi telah memberi pertanda lewat keramaian yang tak
sewajarnya, lewat keluhan para penghuninya tentang listrik dan air, atau lewat intrik-intrik
dan kecemburun pemberian remisi, dan ruang tahanan.

Pertanda-pertanda ini adalah kebenaran yang berbisik halus. Tapi sayangnya, dia tidak
selalu sendiri. Karena akan ada pertanda palsu yang mengalihkan perhatianmu. Ini seperti
―semut-semut‖ yang mengaburkan layar TV—yang karenanya fokusmu terpecah, dan
diagnosamu jadi keliru.

Jadi, setidaknya ada dua hal yang membuatmu tak membaca pertanda itu, pertama,
karena memang niat dan kelalaianmu, dan kedua, karena faktor pengalih perhatian itu. Kalau
yang pertama muncul dari kecenderunganmu bersubhat dengan kebohongan, maka yang
kedua datang dari kemampuan akurasimu membacanya.

***

Pada hakikatnya, LP Tanjung Gusta ini telah lama menahan perlakuan yang tak
segarislurus dengan kebenaran. Tapi ia tak pernah mengeluh, apalagi langsung ngomel sambil
mencak-mencak. Tidak. Ia berpuasa dari perilaku seperti itu. Ia hanya membagi beban
dengan rajin memberikan tanda-tanda lewat berbagai peristiwa di sekitarnya. Tapi karena
tanda itupun diacuhkan, maka saatnya ia mengakhiri puasa dengan membakar dirinya.

Dan sejatinya LP Tanjung Gusta hanyalah salah satu bagian saja dari alam raya ini
yang berpuasa. Misalnya, engkau bisa tahu penurunan kesehatan jantungmu dengan
pertanda nyeri di dada. Atau kesalahan dalam pendidikan kita dengan tawuran pelajar yang
makin menjadi, kekeliruan penegakkan hukum dengan korupsi yang tak pernah henti,
ketakbecusan ngurus negara hingga kesenjangan dan kemiskinan malah makin tinggi.

Karena beratnya kerusakan yang terjadi, semestinya negeri ini sudah harus hancur.
Lantas apa yang membuat alam raya berpuasa terhadap perilaku jahil itu? Di antaranya
karena doa orang alim di antara kita. Doa yang tidak saja bermohon untuk kebaikan diri dan
keluarganya, tetapi juga untuk dirimu dan semua manusia. Doa seperti ini menyangga
kehancuran yang semestinya engkau alami. Dengan berdoa, sejatinya mereka tengah
meminjam sementara kekuatan Tuhan.

Ya, semesta memang tak pernah berhenti memberi pertanda. Abaikan-lah saja
semuanya, tak usah diambil pusing. Ini adalah jalan terbaik untuk hancur.(Vol.430,
18/7/2013)

145
Playing God

Banyak orang yang secara tidak sadar telah berperan sebagai ”Tuhan” (Playing God).
Mereka menginginkan segala sesuatu berlangsung sesuai dengan apa yang dia maui

Sebenarnya bukan pertama kalinya saya menerima tamu seperti ini. Dia adalah orang
yang mengidap kegelisahan karena endapan rutinitasnya, juga berbagai tekanan dalam hidup.
Tanpa disadarinya dia sedang berupaya untuk mentransfer kegelisahannya itu kepada saya.

Dia menceritakan kesulitan yang sedang dihadapinya dan tidak tahu lagi harus
berbuat apa. Dia berhadapan dengan tembok tinggi dan besar yang tidak bisa ditembusnya.
Mentok. Dia kelihatan benar sebagai orang yang tak berdaya.

Karena itu datang kepada saya minta pertolongan. Dan dia begitu yakin kalau saya
bisa menyelesaikan masalahnya. Saya tidak merasa begitu heran, karena bagi orang-orang
seperti ini, mungkin saya dianggap seperti Superman yang bisa mengerjakan apa saja. Bagi
sebagian lainnya saya adalah anak ‖kemarin sore‖ yang baru kenal Dunia. Tapi mereka tidak
tahu, kalau saya sebenarnya sama seperti mereka, seperti miliaran orang-orang di luar sana
yang tindakannya ‖digerakkan‖ olah Yang Maha Berkehendak.

Untuk permintaan pertolongan ini, seperti biasa, saya lebih merasa ‖nyaman‖
mengatakan ‖ya‖ ketimbang ‖tidak‖ atau ‖no way‖. Berbagai nilai yang ada dalam diri saya
memaksa saya lebih menyenangi melihatnya pulang sambil tersenyum penuh harap,
ketimbang menghilang dari hadapan saya sambil tertunduk lesu dengan wajah mau runtuh.
Saya benar-benar tidak punya keberanian untuk itu.

Tinggal lagi—sepeninggal dia—saya masih belum tahu harus ngapai. Jangankan


untuk menolong orang lain, untuk menolong diri sendiri terkadang saya tidak mampu.
Kalaupun sedang terang-terangan ditipu orang, paling-paling saya cuma bisa tersenyum
kecut. Alhamdulillah bukan saya menipu.

Ketika seorang polisi teman saya memberitahu siapa orang yang telah merampok
rumah kami, saya cuma bisa meringis. Gak lebih dari itu.

Pernah suatu kali saya dimarahi habis orang gara-gara hampir kesenggol kendaraan
dia dengan kendaraan saya. Maka serta merta saya pukul dia, saya tampar mulutnya yang
kasar itu kemudian saja injek-injek dia sampai tak bergerak. Tapi itu cuma respons pikiran
emosional saya saja, karena saya tidak bergerak sedikitpun.

***

Sejak kecil guru-guru saya mengajarkan kalimat La haula walakuwwata illa billah
(Tiada daya dan kekuatan kecuali pertongan Allah semata). Mungkin karena sering merasa
tak berdaya, kalimat itu jadi sangat berbekas. Tapi Anda jangan buru-buru menuduh saya ini
penganut faham Jabariyah. Karena saya juga percaya akan ‖perjuangan‖ untuk melakukan
niat yang baik.

146
Tapi faktanya, kalau sedang dijahili orang, survei perilaku saya menunjukkan lebih
banyak pasif ketimbang ngelawan; agresif, reaktif. Begitupun, jangan mengira saya bakal
terus diam. Karena kalau sudah sangat keterlaluan, saya bisa juga marah. Saya akan laporkan
Anda kepada Nabi Sulaiman As, supaya Beliau mengirimkan pasukan jin-nya untuk ngasih
pelajaran.

Anda jangan kira saya sedang main-main. Baginda Nabi itu orang yang sangat
istimewa. Beliau tidak saja mengerti bahasa hewan dan kaum jin, tapi beliau juga bisa
mendengar suara dari masa lalu dan dari masa depan. Jadi kalau Anda sudah keterlaluan
sama saya, maka siap-siap-lah berhadapan dengan pasukan jin.

**

Kalau ada sebatang ranting yang sudah tua patah dan jatuh ke tanah, maka itu adalah
sebuah fakta juga sebuah kebenaran. Sikap terbaik kita adalah menerimanya sebagai sebuah
kebenaran dan tidak perlu menangisinya: mengapa sampai harus patah.

Tapi kenyataannya banyak orang yang secara tidak sadar telah berperan sebagai
‖Tuhan‖ (Playing God). Mereka menginginkan segala sesuatu berlangsung sesuai dengan apa
yang dia maui. Mereka bahkan tidak mau berbagi kehendak dengan orang lain, bahkan
dengan Tuhan yang asli sekalipun. Padahal Tuhan sendiri telah menunjuk manusia menjadi
wakil-Nya.

Manusia yang berperan sebagai ‖Tuhan‖ ini akan berupaya agar keinginannya
terpenuhi. Kalau mentok di satu jalur, dia akan mencari jalur lain, dan dia tidak punya
toleransi terhadap kekalahan. Tidak ada dalam kamusnya menerima kekalahan atau
ketidakberhasilan. Mereka ini biasanya bukan saja tidak percaya kepada manusia, bahkan
kepada ketentuan Tuhan sekalipun mereka sulit percaya. Mereka benar-benar tidak
memahami nilai ini: Man Proposes God Disposes.

Jadi kalaupun pada akhirnya orang yang pernah minta tolong itu mengucapkan terima
kasih karena keinginannya tercapai. Seringnya saya cuma bisa bertanya-tanya, tak habis pikir.
Kok bisa ya...

147
Ruang Dialog Hati

Maka sediakanlah selalu ruang dialog di hatimu, biar firasat mendarat di sana

Karena agak telambat berangkat dari rumah, aku ngebut mengantar si sulung ke
sekolahnya. Tiba di depan gerbang sekolah, aku melirik jam di HP. ―Masih sempat, tapi harus
ngebut lagi,‖ hatiku berdialog. Kini giliran adik-adiknya yang kuantar ke sekolah.

Tapi baru bergerak sekira 15 meter, mendadak kendaraanku oleng, nyaris jatuh.
Sebuah paku sepanjang telunjuk orang dewasa telah menembus sampai ke ban dalam
sepedamotor. Maka tak ada peluang untuk bisa tepat waktu. Anak-anak harus diantar ibunya.

Anda tahu, sejak beberapa tahun terakhir ini, mengantar anak ke sekolah adalah
tugasku. Tepatnya tugas yang kuwajibkan kepada diriku sendiri karena dua alasan. Pertama,
aku merasakan sebuah sensasi unik. Ada wajah anak-anak lugu yang bercerita banyak sekali,
dan ada suasana sekolah yang mengingatkanku pada masa lalu. Campuran nuansa ini
sungguh kunikmati.

Kedua, saat-saat berkendara pagi hari dengan mereka, adalah momentum yang sangat
berharga. Anak-anak ini boleh jadi seorang pemberontak jika di rumah, jadi pemarah kalau
diganggu saat main game, atau jadi keras kepala saat saling iri. Tapi ketika sedang
berkendara bersama orangtuanya, mereka adalah anak manis yang baik budinya. Itulah
saatnya mereka sangat siap menerima kata-kata dari orangtuanya.

Segala nilai, nasihat, dan larangan lebih mudah diterima dan meresap ke hati dan
pikirannya, tanpa resistensi. Inilah golden time yang kutunggu untuk komunikasi berkualitas,
yang dalam bahasa Alquran disebut qaulan sadidâ, kata kunci menghindari generasi lemah
(dzurriyatan dhia’fan). Ini target setimpal yang harus kutempuh dengan hilir mudik setiap
pagi.

Tapi darimana bisa tahu, ucapanku meresap ke hati dan pikiran mereka? Toh kalau
pun mereka jadi baik budi, bisa saja karena hal lain? Saya memang tidak pernah
mengukurnya melalui pendekatan kuantitatif atau kualitatif. Atau menggunakan metode yang
realible untuk mengetahuinya. Saya menyebut kesimpulan ini berasal dari hunch (firasat).

***

Saya harus menunggu lebih satu jam karena tukang tempel ban di sana tak ada yang
buka pagi-pagi sekali. Maka ketika sepasang tukang tambal ban itu tiba di tempat
mangkalnya, saya adalah pasien bocor ban pertama.

―Gak bisa ditambal bang. Bocornya hampir kena ke pentil,‖ kata si penambal ban tak
lama setelah membongkar ban sepedamotorku. Vonisnya ini bermakna aku harus membeli
ban dalam baru, dan tentu saja lebih mahal ketimbang sekedar menambalnya. Ban dalam itu
disodorkannya padaku. Ada lubang di dekat pentil yang tembus sampai ke sisi sebelahnya.
―Gak bisa ditempel ya..,‖ tanyaku sambil meraba-raba wajahku.

148
Jika Anda punya pengalaman sepertiku, sejak kecil terbiasa naik sepeda kemudian
berlanjut naik sepedamotor bertahun-tahun lamanya, Anda pasti sering mengalami ban bocor.
Dan Anda pasti tahu persis ban dalam mana yang bisa ditambal dan tidak. Maka
pengalamanku itu mengabarkan bahwa si penambal ban ini mencoba menipuku.

Ketika menimang ban itu, sesungguhnya aku sedang berdialog dengan diriku sendiri
sambil menimbang reaksiku: mendebat dan memaksanya menempel ban ini, marah-marah
sambil meninggalkannya mencari tukang tempel ban lain, atau pasrah dan pura-pura tak tahu.

Untuk pilihan ketiga inilah mengapa aku meraba wajahku tadi. Aku sering merasa
orang suka tergoda menipu karena menilai dari wajahku sebagai orang yang mudah ditipu.
Nyatanya aku memilih opsi ketiga, dengan membayar lebih untuk ban dalam baru. Alasannya
karena mendebat dan marah pasti butuh waktu lebih lama dan energi lebih besar, walaupun
mungkin lebih murah. Alasan kedua karena diam-diam ternyata aku ―menikmati‖ dianggap
―tidak tahu‖.

Tapi darimana asalnya dugaan kalau si tukang tambal ban itu berusaha menipu?
Firasat yang muncul dari pengalamanku atau sekedar prasangkaku padanya?

***

Lantas dimana posisi firasat itu sebenarnya? Apakah ia di atas atau di bawah
kebenaran? Mungkinkah ia setara kebenaran? Frank Capra pernah mengatakan bahwa firasat
itu adalah kreativitas yang mencoba memberitahumu akan suatu hal—manakalah Lily
Tomline secara ekstrem menyebut bahwa realitas sebetulnya tidak ada melainkan sebuah
kumpulan firasat.

Kedua pesohor Hollywood ini mungkin bukan Al Mutawassimin seperti disebut


Alquran, sebagaimana saya tak se-PeDe itu. Tapi firasat adalah jurus tertinggi mengenali
kebenaran, adalah fatsun seorang hakim di persidangan. Ketika bukti otentik meragukan, dan
pembuktian menemukan tembok mengaburkan, maka firasat adalah alat utama bagi sebuah
keputusan.

Saya sendiri meyakini firasat adalah kebenaran yang diturunkan langsung oleh Tuhan
kepada manusia—jika ada ruang dialog di hati manusia. Karena antara firasat dan prasangka
cuma beda-beda tipis, maka firasat itu baru jadi kebenaran jika terkonfirmasi oleh kebenaran
mutlak yang diturunkan Tuhan melalui ajaran agama. Maka sediakanlah selalu ruang dialog
di hatimu, biar firasat mendarat di sana.(Vol.580, 23/11/2015)

149
Yang Cuma Kita Butuh

Kita mungkin pemarah karena kita gemar berkelahi, kita mungkin brengsek karena
sebagai bangsa kita cuma mengajarkan persiteruan, kita mungkin bermental “sampah”
karena cuma cari kesempatan untuk korupsi. Tapi kita juga punya sisi positif yang
cuma butuh momentum mengorganisir kehanifan kita

Dengan tak melepaskan simpati kepada para lembu dan para kambing, sungguh ini
adalah suatu keharuan sekaligus kebahagiaan luar biasa.

Hari ini hidup seolah berlangsung lebih awal. Matahari masih jauh dari gerbang
terbitnya, aktivitas itu telah bergerak secara sporadis, sampai titik Shubuh menjelang remang-
remang. Para lembu itu dengan kendaraan khusus di antar dari banyak tempat, ke lebih
banyak tempat lagi.

Ketika matahari bergerak naik, di beberapa titik, para lembu dan kambing itu sudah
siap di tempatnya. Saya selalu merindukan suasana menjelang pagi seperti ini. Menyaksikan
sinar mata orang-orang yang bersemangat sejak awal mula hari, yang punya niat yang lurus
untuk kebesamaan dalam kurban.

Diam-diam saya benar-benar menikmatinya. Saya menikmati di pagi yang sejuk


melihat orang-orang menuntut lembu kurban. Saya menikmati saat-saat sebelum dan sesudah
shalat ‗id orang bergegas ke tempat kurban. Maka sejak beberapa tahun berlalu saya punya
kebiasaan nyamperi tempat-tempat kurban ini. Dalam kebersamaan yang semangat dan satu
niat saya menemukan estetika di sana. Di satu tempat kurban ke tempat kurban lain, auranya
seperti menerpa-nerpa saya. Saya benar-benar merasa adiktif terhadap momen seperti ini.

Kali ini saya justru mendapat undangan secara khusus dari seorang sahabat. Ada 42
ekor lembu dan seekor kambing yang dikurbankan, ada 350 orang pekerjanya dan ada hampir
empat ribu kupon kurban yang dibagikan. Gembira luar biasa, saya menyanggupi undangan
itu sambil langsung bersalto. Tapi supaya tak lebay, saya sembunyikan rasa itu hingga cuma
saya sendiri yang tahu.

***

Pria-pria berotot itu membopong satu per satu lembu. Sedari tadi wajah sumringah
mereka melontarkan canda kepada sesama. Gembira sekali kelihatannya. Lembu-lembu yang
telah tewas itu kemudian disambut para pekerja dengan cekatan.

Di bawah tenda biru yang cukup luas itu para lembu yang sudah menjadi daging
itupun dibedah sedemikian rupa. Orang-orang itu sungguh luar biasa. Mereka bekerja seperti
olahragawan profesional. Mereka fokus pada pekerjaannya.

Ada panganan ringan berupa kue-kue dan minuman mineral yang tersedia. Ada lagi
nasi bungkus yang tersedia. Semuanya tersaji dengan keikhlasan dan dipenuhi kegembiraan.

Ini suatu sruktur kerja yang menakjubkan. Dia terbentuk secara alamiah tapi ia seperti
arus besar yang memadupadankan segala sesuatunya--sehingga berbentuk suatu wujud yang

150
indah. Ada pekurban yang menyediakan sejumlah uang secara ―patungan‖, ada ―tukang
jagal‖ yang menyediakan jasanya dengan senang hati, ada orang-orang berpundak kekar yang
menyediakan tenaganya bagi prosesi penyembelihan, sebelum membopongnya, ada pekerja
yang dengan segala canda dan keseriusannya mengiris-iris daging kurban.

Ada ibu-ibu rumah tangga yang dengan kerelaan luar biasa menyediakan panganan
bagi para pekerja. Dan ada para lembu dan para kambing yang merelakan lehernya
sebagaimana Ismail yang ikhlas. Merelakan? Ya saya sebut begitu karena tak pernah ada
lembu ataupun kambing yang mengajukan petisi dan menyatakan keberatan atas perlakuan
yang dialaminya.

Saya tidak tahu, mungkin ini salah satu rahasia di balik alasan Tuhan menciptakan
mata lembu dan kambing yang tanpa ekspresi. Biar sedang kekenyangan ataupun kelaparan
atau ketika sedang marah, takut, kebelet pipis ataupun ketika sedang jatuh cinta, mereka
menunjukkan ekspresi yang sama. Sorot matanya tak bicara sebanyak dialog yang dihasilkan
dari pandangan mata manusia—mungkin supaya bintang-bintang itu bisa dengan leluasa
menyembunyikan kebahagiaannya menjadi objek kepatuhan atas perintah Tuhannya.

Maka begitulah, saya terpesona keindahannya. Suasana ini indah bukan karena ada
daging yang bakal disantap, bukan karena ada makan besar menanti. Tapi karena ini
pemandangan dari semangat kebersamaan dan lurus dalam niatnya, itulah pemandangan yang
hanif.

***

Saya terpaksa merenungkannya. Bukankah sebagai bangsa kita ini cenderung


pemarah. Bukankah jutaan kendaraan yang lalu lalang setiap harinya menawarkan kemarahan
setiap detiknya, bukankah kesantunan pelajar dan mahasiswa kita cuma berupa lapisan tipis
yang membalut kesangaran, bukankah kehormatan pejabat dan wakil rakyat kita cuma
selimut bagi perilaku korupnya.

Tapi sorot mata orang-orang dalam prosesi kurban itu menyadarkan saya. Kita
mungkin pemarah karena kita gemar berkelahi, kita mungkin brengsek karena sebagai bangsa
kita cuma mengajarkan persiteruan kepada generasi, kita mungkin bermental ―sampah‖
karena cuma mencari kesempatan untuk korupsi. Tapi kita juga punya sisi yang positif yang
cuma butuh momentum mengorganisir kehanifan kita.(Vol.265, 7/11/2011)

151
TOILET...

152
Getaran Suara

Sebaiknya kita tidak perlu terlalu khawatir dengan sikap kritis ini. Seperti kata Umar:
Semoga Allah merahmati seseorang yang telah menghadiahi aibku kepadaku.

Betapa sungkan sebetulnya saya menceritakan soal ini. Rangkaian kata-kata saja
seperti tak cukup untuk menjelaskannya. Baru saja barisan jamaah Shalat Jumat itu berdiri
dan melafazkan takbir, hati saya serasa diserang sepasukan Malaikat. Ujung-ujung syaraf
seperti mengalirkan deras rangsangan itu ke sekujur tubuhnya, menusuk dalam ke jantung.

Sudah sering saya mendengarkan bacaan Al Fatihah dibaca orang lain. Tapi perasaan
seeperti ini, jarang sekali datang. Di sebuah masjid ―di tengah sawah berlumpur‖ Washington
DC, tangisan saya mendadak membuncah. Tak tahan rasanya menahan gumpalan di dada ini.
Bacaan imam di depan sana laksana sebuah rangkaian kalimat yang melintasi medan makna,
menyingkap keindahan yang bahkan tidak pernah dibayangkan.

***

Ada semacam tradisi di sementara kalangan orang Arab untuk berbicara lebih dulu
baru berfikir. Kebiasaan ini mengedepankan kecencerungan superioritasnya ketika sedang
berbicara dengan orang lain. Mereka harus selalu ―menang‖ dalam berbicara, tidak penting
apa isi pembicaraanya atau apa yang dikeluarkan dari mulutnya.

Padahal-kan, setiap kata yang dikeluarkan, setiap getaran suara yang terdengar
sejatinya memiliki makna yang luas. Sebuah kata atau rangkaian kata bisa membuat orang
menjadi jatuh tersedu-sedu perasaan hatinya karena ‗diserang‘ betapa indahnya sebuah kata
atau kalimat.

Seorang kader dakwah misalnya, pernah mengatakan, saya ingin menjadi orang yang
bangga ketika di hadapan Tuhan nanti. Kata-katanya ini menyiratkan betapa usahanya yang
sangat kuat untuk bisa menjadi orang yang beriman dan bertakwa dengan sebanyak-
banyaknya mengerjakan kebaikan dan segala yang diperintahkan agama dan meninggalkan
segala yang dilarang agama. Ucapan ini adalah sebuah inspirasi yang menggerakkan banyak
potensi.

Umar Ibn Khattab, seorang preman yang begitu keras hatinya pun bisa luluh berderai-
derai ketika mendengarkan betapa indahnya ayat suci Al-Qur‘an yang dibaca. Asma Allah
yang diucapkan Rasulullah Muhammad SAW ketika seorang kafir menodongkan pedang ke
lehernya tidak saja menggetarkan hati tetapi juga seluruh tubuh sehingga pedang di tangan si
kafir terlepas dari tangannya.

Sungguh sebuah kata atau rangkaian kata yang keluar dari mulut seorang adalah
satuan mutu yang menunjukkan jati diri orang tersebut. Jadi kalau ada orang yang hobinya
mengeluarkan kata-kata yang akan menyakiti orang lain, itu sama halnya dia sedang
menunjukkan kelemahannya, bahwa dia telah gagal melakukan seleksi terhadap kata-kata
yang akan dikeluarkannya.

153
Ucapan juga sebuah pedang yang paling tajam yang bisa menyakiti orang secara lebih
dalam. Dalam mengkritik, orang terkadang tidak kira-kira dan tidak jarang melakukan
penyerangan secara peribadi. Sebaliknya sifat defensif orang yang menjadi objek kritik bisa
seketika menjadi menyerang. Padahal sebetulnya sikap kritis adalah indikator hidup sosial
yang merupakan sebuah instrumen bagi perbaikan berkesinambungan. Karenanya, sebaiknya
kita tidak perlu terlalu khawatir dengan sikap kritis ini. Seperti kata Umar: Semoga Allah
merahmati seseorang yang telah menghadiahi aibku kepadaku.

***

Salah satu ucapan yang sering disebut orang ketika terjadi kesalahan adalah ―Oh, ada
kesalahan semantik‖. Suasana kebingungan dalam situasi komunikasi-lah yang melahirkan
ungkapan seperti itu, yang diakibatkan terjadinya perbedaan makna, penafsiran dan
sebagainya.

Seperti halnya Plato yang mengonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan


ultrarealitas yang belakangan juga melahirkan perbedaan makna lainnya bagi kalangan
filusuf. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk tidak sepakat dengan mengatakan ―defenisi
makna barangkali bukanlah permasalahan‖.

Inilah salah satu bibit dari kebebasan menafsirkan agama yang dianut kaum liberalis
yang anti kemapanan terhadap ajaran Islam. Bagi mereka siapa saja boleh berpendapat apa
saja tentang agama, seaneh apapun itu dan sejauh apapun itu dari sandaran sumber-sumber
hukum Islam.

Celakanya justru yang aneh-aneh inilah yang sedang ngetrend di masyarakat kita.
Hingga para komunikator level Dewi Persik, Saiful Jamil dan liberalis adalah yang paling
digemari sekarang. Padahal, berbicara seperlunya adalah kualitas Surga, karena di Surga
tidak ada lagi kata-kata yang sia-sia.

154
Hajat Hati

Hidup itu tidak pernah berjalan linier. Tidak melulu mendaki atau seluruhnya
penurunan tajam. Tidak ada manusia yang sepenuhnya benar ataupun selalu salah.
Sistem keseimbangan yang dibuat Allah SWT adalah; akan selalu ada kebaikan dari
“rimbunan” kesalahan dan akan ada selalu kesalahan dari “tumpukan” kebaikan.

Mereka sungguh murah hati. Pandangan matanya, tutur katanya, gesture tubuhnya
dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Ada anak-anak, para gadis, para pemuda, kaum
ibu dan bapak-bapak yang berkumpul menyambut kedatangan saya bersama tiga orang
teman. Sungguh hati saya jadi ―berbunga-bunga‖ karenanya.

Mereka adalah orang-orang yang masuk dalam kelompok masyarakat menengah ke


bawah, atau lebih pas-nya adalah kelompok bawah. Ada yang berladang, penarik beca, buruh,
penjaja kue dan berbagai bentuk pekerjaan kasar lainnya. Di kampung itu mereka hidup
berkelompok, dalam suatu jamaah yang disebut Ahmadiyah.

Mereka adalah orang yang hidup dalam pengakuannya pada kepemimpinan Mirza
Ghulam Ahmad beserta ajaran-ajarannya. Selanjutnya saya tidak bermaksud mengupas
tentang apa dan bagaimana ajaran kelompok yang telah dinyatakan sesat oleh MUI ini. Tapi
satu hal yang pasti bahwa orang-orang sederhana yang saya jumpai hari itu adalah orang-
orang yang juga berusaha mencari kebenaran.

Mereka hanya tahu bahwa ilmu agama yang mereka dapatkan dari orangtua,
lingkungannya dan guru-guru mereka. Efek resonansi, di mana ikut bergetarnya suatu benda
karena ada benda lain yang bergetar. Mereka beragama karena orang lain beragama—yang
Anda boleh menyebutnya starting point—Suatu hal yang sesungguhnya jamak terjadi di
lingkungan masyarakat kita.

Tapi dengan segala kerendahan hati saya ingin mengatakan bahwa kita kemudian
harus punya perangkat di dalam diri untuk menilai sesuatu kebenaran. Seperti halnya untuk
menilai suatu kekhilafan. Maka kalau kita salah tapi kita alpa untuk melengkapi software itu
dalam diri, maka kita tidak pernah tahu kalau kita salah.

Tanpa itu kita bisa jadi nabi yang suka guyon seperti Ahmad Moshaddeq, atau
menjadi Jibril sekaligus Imam Mahdi dan Maryam yang doyan makanan Padang dan nasi
Rawon seperti Lia ―Eden‖ Aminuddin. Kita juga bisa jadi eksekutor atau otak pembunuh
Direktur PT.Putra Rajawali Banjaran, Almarhum Nasrudin Zulkarnaen, tanpa merasa
bersalah atau menjadi George Bush yang memerintahkan membunuh ribuan orang Irak dan
Afganistan dengan tetap merasa sebagai pahlawan.

***

Tapi hidup itu tidak pernah berjalan linier. Tidak pula melulu penuh pendakian atau
seluruhnya penurunan tajam. Tidak ada juga manusia biasa yang sepenuhnya selalu benar
ataupun selalu salah dalam hidupnya. Sistem keseimbangan yang dibuat Allah SWT adalah;
akan selalu ada kebaikan dari ―rimbunan‖ kesalahan dan akan ada selalu kesalahan dari
―tumpukan‖ kebaikan.
155
Memang begitulah adanya, manusia tidak pernah mencapai kesempurnaan, mengenali
kebenaran itu dalam kondisi kenisbian, dengan rangkaian kata-kata yang terbatas. Itulah
sebabnya para sufi lebih suka bersyair, rangkaian kata yang melompati makna, untuk
menggambarkan keindahan-keindahan yang ditemukannya.

Tapi itu tetap tidak cukup, tidak juga akan pernah kita melihat dengan utuh. Seperti
dalam syair lagu Opick; Meski mungkin tak-kan sempurna...

Atau dalam kata-katanya Chairil Anwar;

Susah sungguh, mengingatMu penuh seluruh

***

Karena ilmu Allah itu sangat luas hingga berkali-kali air samudera pun, kalau
dijadikan tinta tidak cukup menuliskannya. Maka salam takzim bagi para ahli ilmu yang
―kecipratan‖ ilmu Allah sehingga kedalaman dan keluasannya sangat sulit diukur. Maka jalan
mencari kebenaran dan ilmu itu punya banyak pintu dan banyak penafsiran.

Kita tidak bisa berhenti pada kebenaran dan ilmu yang dianggap sudah mapan. Dan
jangan menganggap salah setiap bentuk lain dari kebenaran dan ilmu yang kita fahami selama
ini. Tentu saja ini bukan lantas membenarkan Ahmadiyan, tafsiran Lia Aminuddin atau
Moshaddeq, liberalisasi agama, faham feminisme ekstrim dan yang sejenisnya. Karena dalam
Islam dikenal tajdid sebagai suatu mekanisme pembaruan.

Karena, sekali lagi, ada kebenaran dalam rimbunan kesalahan. Bahwa liberalisasi
agama seperti halnya feminisme yang telah membentuk menjadi global theology yang
menjadi pendukung utama faham-faham sejenis Ahmadiyah, Lia dan Moshaddeq berakar dari
sebuah kemarahan dan kebencian yang bahkan mengeliminasi software dalam diri yang
sudah ada.

Maka orang-orang yang menjadi tuan rumah saya itu sejatinya adalah kelompok
orang yang muncul dari pergulatan besar yang terjadi. Sebenarnya hati dan jiwa-jiwa mereka
juga punya hajat untuk menemukan ilmu dan kebenaran, sayangnya sofware-nya belum
menyala.

156
Islam Nusantara ???

Alih-alih menjadi renaisans (kebangkitan) peradaban Islam global, belum apa-apa


Islam Nusantara sudah membangkang Rasul dengan tabiat mengotak-ngotakkan Islam

Stereotipe orang Arab, katanya, bicara dulu baru berpikir. Mereka juga punya perilaku
kasar, dan kurang sopan. Kalau gak percaya tanyakan kepada orang yang pernah haji atau
umrah. Dilangkahi saat shalat sudah biasa, dipegang kepalanya sudah lumrah, dan jangan
sampai shaf shalat renggang sedikit saja, mereka langsung duduk dan ―menguasai‖.

Karakter keras orang Arab itu kemudian cenderung melahirkan istilah yang sering
membasahi lidah Barat dan para pengikutnya di negeri ini: fundamentalisme, radikalisme,
dan terorisme. Bahkan tidak sekedar istilah, ia sudah menjadi megaproyek bernilai jutaan
Dollar.

Tapi itu orang Arab, bukan orang Indonesia. Demikianlah kemudian muncul-lah
anggapan bahwa Islam Arab dengan Islam Indonesia itu beda. Islam Indonesia itu lebih
lembut dan sopan. Maka sekonyong-konyong muncul ―Islam Nusantara‖ sebagai istilah baru
di kalangan tokoh agama plat kuning, politisi, dan sebagian akademisi, serta Ormas Islam.

Entah sejak kapan istilah ini muncul. Tapi setidaknya jejaknya bisa dilihat dari
lahirnya buku Azyumardi Azra berjudul: Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal yang
diterbitkan 2002. Dia memberikan narasi bahwa Islam Nusantara adalah Islam distingtif
sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan vernakularisasi Islam universal
dengan realitas sosial budaya, dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara
(kalam Asy'ary, fikih mahzab Syafi'i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan
karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya warisan Islam
(Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global.

Umpan Azyumardi Azra itu langsung ditempong Ketua Umum PBNU KH Said Aqil
Siraj. Katanya NU menjalankan konsep Islam Nusantara yang menunjukkan kearifan lokal
Indonesia. Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi
lokal, budaya, dan adat istiadat di tanah air. Katanya, konsep Islam Nusantara menyinergikan
ajaran Islam dengan adat istiadat lokal di Indonesia. Karenanya Islam di Indonesia tidak
harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah, Islam Nusantara, tegasnya, adalah Islam yang
khas ala Indonesia.

Menyimak dua orang ini, maka Islam Nusantara cuma ada di Indonesia. Seolah ada
jarak yang jauh antara Islamnya orang Arab dengan orang Indonesia. Tapi sebagai sebuah
konsep, Islam Nusantara tetap belum tuntas berwujud. Lantas seperti apa orang Indonesia itu?

***

Ketika mendaftarkan si sulung ke SMP kemarin, kami diterima seorang petugas


pendaftaran. Sambil mempersilakan kami duduk, dia menyerahkan brosur dan formulir. Kami
baru bertanya beberapa hal sebelum datang seorang perempuan setengah baya bergegas-
gegas. Sambil berdiri dia bertanya ini-itu tentang pendaftaran.

157
Si petugas ini pun melayaninya. Pembicaraan mereka beberapa lama sambil
mencueki kami yang cuma menatap. Tuntas dengan perempuan setengah baya tadi, petugas
ini pun beralih ke kami. Saya menyidik ke matanya, tidak ada rasa sungkan apalagi perasaan
bersalah. Saya menghela nafas. Ini persoalan lumrah di negeri ini, begitu aku mendamaikan
hatiku.

Ya, ia persoalan lumrah sebagaimana perilaku buang sampah sembarangan, nyedot


rokok sembarangan, nyerobot lampu merah, mau menang sendiri dan sebagainya. Mochtar
Lubis bahkan sudah lebih jauh lagi ketika menulis buku Manusia Indonesia yang terbit
sekitar tahun 1977/1978. Katanya, ada beberapa sifat orang Indonesia yang menonjol. Sifat-
sifat itu adalah: Hipokrit alias munafik, apa yang dikatakan tidak selalu sesuai
perbuatan; Segan dan enggan bertanggungjawab, sifat ini sering diterjemahkan oleh perilaku
mengambinghitamkan orang lain, atau diartikulasikan dengan kalimat ‖bukan urusan
saya‖; Berjiwa feodal, kalau punya kekuasaan maka orang lain harus hormat bahkan
mengabdi kepadanya, kalau tidak maka kurang ajar;

Percaya takhayul, lihatlah ketika musim Pemilu, para dukun pun kebanjiran
orderan; Artistik, karena kegemarannya memasang sukma atau tuah pada berbagai benda di
alam, maka orang Indonesia lebih banyak hidup dengan perasaannya yang kemudian
mengembangkan daya artistiknya. Maka janganlah heran kalau pada batu saja orang bisa
―demam‖; Wataknya lemah, atau memiliki daya juang rendah, dan tidak suka bekerjakeras
kecuali terpaksa. Kalau bisa naik Angkot, ngapai harus jalan kaki. Karena berkendara
sudah kadung jadi simbol kemapanan dan jalan kaki adalah simbol ketidakmampuan.

***

Jika setuju dengan Mochtar Lubis, saya kira Anda bisa rumuskan sendiri seperti apa
Islam Nusantara itu. Padahal Rasulullah SAW berwasiat: Seorang Mukmin terhadap Mukmin
yang lain adalah seperti sebuah bangunan di mana bagiannya saling menguatkan bagian
yang lain (Shahih Muslim No.4684). Maka alih-alih menjadi renaisans (kebangkitan)
peradaban Islam global, belum apa-apa Islam Nusantara sudah membangkang Rasul dengan
tabiat mengotak-ngotakkan Islam.(Vol.578, 18/6/2015)

158
Kebebasan -- Kebablasan

Dari segi kebebasan, kaum Muktazilah tentu memiliki kesamaan dengan orang-orang
liberal. Mereka yang mengagungkan kebebasan berpikir ini terus ”bergerak”.
Membentuk berbagai kelompok, salah satunya AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan)

Apa itu dosa besar.....?

Kaum Khawarij berteriak lantang, ‘‘Kafir...! orang Mukmin yang berdosa besar tidak
dapat dikatakan Mukmin lagi, mereka sudah kafir.‘‘ Maka tempat mereka adalah di Neraka.

Tapi tidak begitu dengan kaum Murjiah, mereka juga berteriak tak kalah lantang,
‘‘Bukan kafir...! mereka memang orang-orang yang melakukan dosa besar, tapi bukan kafir.‘‘

Maka sekoyong-konyong muncullah Washil bin ‗Atha. Dia bahkan mengabaikan


gurunya Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra. Orang Mukmin yang melakukan
dosa besar, katanya, berada pada posisi antara Mukmin dan kafir. Mereka bukan Mukmin
bukan pula kafir. Dan karena di Akhirat tidak ada tempat antara Surga dan Neraka, maka
mereka dimasukkan ke dalam Neraka, tetapi siksaan mereka lebih ringan daripada orang
kafir.

Pendapat Washil inilah yang kemudian dikenal dengan doktrin Muktazilah, sebuah
aliran teologi dalam Islam, yang populer itu; al-Manzilah baina al-Manzilatain (tempat di
antara dua tempat). Washil kemudian menyempal dari Hasan al-Basri dan mendirikan
alirannya sendiri (100 H/718 M). Muktazilah mencapai masa keemasan pada masa
pemerintahan Abdullah Al-Makmun (198-218 H/813-841 M) yang menjadikan aliran ini
sebagai faham resmi.

Dalil akal (‘aqliyyah), lebih filosofis dan mementingkan kebebasan adalah ciri utama
mereka, sehingga sering juga disebut dengan aliran rasionalis Islam. Mereka pun menyebut
Al-Qur‘an sebagai makhluk ciptaan Tuhan sehingga tidak qadim.

Meskipun penganut kebebasan, namun sejarah mencatat Muktazilah pernah


melakukan al-minhah (inkuisisi), yaitu memaksakan pendapatnya bahwa Al-Qur‘an adalah
makhluk. Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum.

***

Nuuun... lebih seribu tahun kemudian di Indonesia, gerakan kebebasan kembali


dikampanyekan melalui dukungan Barat. Tokoh-tokohnya seperti Nurcholish Madjid, Gus
Dur juga Harun Nasution. Harun memasarkan misi ‖me-Muktazilah-kan‖ IAIN dan
perguruan tinggi Islam. Mantan Rektor IAIN Jakarta ini mempopulerkan tokoh-tokoh Islam
liberal dengan sebutan pembaharu.

Dari segi kebebasan, kaum Muktazilah tentu memiliki kesamaan dengan orang-orang
liberal. Mereka yang mengagungkan kebebasan berpikir ini terus ‖bergerak‖. Membentuk
berbagai kelompok, salah satunya AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama

159
dan Berkeyakinan). Melalui pentolannya; Dawam Rahardjo dan Musda Mulia, akhir Januari
lalu menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait PP No.1/PNPS/1965 yang sudah
diundangkan melalui UU No.5/1969 tentang larangan penistaan agama.

Kalau tuntutan mereka ‖jebol‖ maka kelompok serupa Ahmadiyah, Lia Eden dan
sejenisnya tidak boleh dihukum. Negara gak boleh ikut campur urusan keyakinan orang lain.
Entah.., mungkin mereka berupaya membuka peluang seluas-luasnya untuk umat Islam
bertindak anarkis. Sehingga dengan mudah mereka akan mengukuhkan stigma Islam
fundamentalis, tekstualis dan sejenisnya. Pada akhirnya mereka akan mengatakan bahwa
ajaran Islam selama ini perlu diinterpretasikan ulang karena hanya mengajarkan kekerasan.
Nek coyo...

***

Percayakah Anda kalau UU No.5/1969 ini dicabut bakal banyak muncul nabi baru,
malaikat-malaikat baru baik dari kalangan pria, wanita maupun Waria? Tentu saja, bahkan
yang mengaku-ngaku tuhan pun bakal gak kalah banyak. Dan menurut hukum, kita tidak
boleh mencampurinya meskipun mereka terang-terangan menistakan agama yang kita
muliakan.

Di semua agama, penistaan itu terjadi. Di Kristen ada aliran Children of God dan
Jehovah Witnesses. Tahun 2004, sebuah kartun berjudul Jesus Dress Up ditampilkan sebuah
website di Amerika. Kartun itu menggambarkan Jesus disalib dengan mengenakan celana
pendek dan diberi piyama setan. Protes keras pun tak terbendung dari sekitar 25 ribu orang.

Umat Islam juga tak ‖kering‖ mengalami penistaan dari yang terjadi di luar negeri
sampai di dalam negeri. Kasus Salman Rushie, film Fitna-nya politisi Belanda Geert Wilders
dan banyak lagi. Semuanya mengatasnamakan kebebasan berbicara dan kebebasan
berekspresi. Kebablasan.

Mungkin mereka yang menuhankan kebebasan itu beranggapan bahwa hanya dengan
kebebasan maka kebenaran itu bisa didekati. Karena kebebasan membuat orang mengalami
proses pencarian kebenaran. Dalam kasus gugatan kaum AKKBB ke MK itu, sejatinya
mereka menuntut kebebasan menista agama dan memaksa orang menerima kebebasan itu.

160
Kiayi Bukan Ulama’ ..?

Perilaku kekiayi-kiayian ini bisa diidentifikasi sebagai orang yang mengejar sesuatu
keinginan tertentu. Misalnya saja, ketika mau jadi pemimpin berperilaku kerakyat-
rakyatan, tiba-tiba tampak seperti peduli kepada rakyat dan lain sebagainya

Apakah Anda seorang sekuler? Itu artinya Anda tidak mau mencampurkan masalah
politik yang sedang gonjang-ganjing sekarang ini dengan agama. Bagi Anda agama terlalu
suci untuk mencampuri politik yang kotor. Maka jangan ada campur tangan tokoh agama atau
orang yang membawa simbol agama ke dalam urusan politik, itu tak bermoral namanya.

Ataukah Anda seorang liberal dalam beragama? Pastinya Anda akan lebih suka
mengutip pendapat orang asing yang junub untuk menilai agama, ketimbang mendengar
pendapat para ulama’. Anda akan cenderung menganggap mereka lebih benar karena lebih
netral, sedangkan pendapat para ulama’ harus dikritisi, kalau perlu dipojok-pojokkan karena
mereka telah ‘memonopoli‘ kebenaran.

Karena para kiayi dipersepsikan sebagai pemimpin agama, maka orang yang berlabel
kiayi atau orang yang melabelkan dirinya kiayi jangan campur tangan urusan politik. Itu
hanya akan menghilangkan kesakralannya sebagai penjaga umat.

Tapi benarkan para kiayi ini adalah juga para ulama’ yang yakhsallāha orang yang
takut kepada Allah (Q.S.35:28), yang merupakan waratsatul anbiya, pewaris para nabi?
Jawabnya, meminjam bahasa dan logat yang paling sering disebut orang Madura: ’Ndak
Tenntu.

***

Lho, kok bisa..? Let’s see. Istilah kiayi biasa dipakai orang di Jawa Timur Dan Jawa
Tengah. Mereka adalah para orang yang sudah tua yang tentunya dihormati, kiayi bagi laki-
laki, dan nyai bagi perempuan. Bukan saja untuk manusia, kiayi juga untuk benda-benda
yang disakralkan bahkan binatang, misalnya seperti kiayi belang untuk seekor harimau atau
kiayi pamungkas, sebutan untuk sebuah keris pusaka.

Kenyataannya kemudian, para kiayi ini banyak yang mendirikan pesantren dan
banyak yang sudah berhaji. Sehingga sebutan kiayi haji kemudian identik dengan tokoh
agama bahkan ulama’. Karena memang banyak di antara kiayi haji ini yang banyak ilmu
agamanya sehingga banyak dari beliau yang juga adalah ulama’.

Di berbagai daerah, banyak nama lain untuk kiayi ini seperti Anjengan di Jawa Barat,
Buya di Sumatera Barat, Bendoro di Madura, Tuan Guru di Lombok dan lain sebagainya.

Ketika istilah kiayi haji ini lebih populer dan menjadi sebuah prestise dalam status
sosial, termasuk di luar Pulau Jawa, maka banyak orang yang kepingin jadi kiayi haji. Maka
banyak kemudian yang penampilan dan perilakunya dibuat kekiayi-kiayian. Ada yang
mendirikan pesantren tanpa melengkapi dirinya dengan ilmu yang mumpuni, namun serta
merta melabelkan kiayi haji di depan namanya.

161
Perilaku kekiayi-kiayian ini bisa diidentifikasi sebagai orang yang mengejar sesuatu
keinginan tertentu. Misalnya saja, ketika mau jadi pemimpin berperilaku kerakyat-rakyatan,
tiba-tiba tampak seperti peduli kepada rakyat dan lain sebagainya. Entahlah, tapi yang jelas,
padanan katanya, kalau sudah lebih cepat, lebih baik; Lanjutkan.

Kembali lagi ke kiayi. Jadi ada kiayi yang memang seorang ulama’, tapi tidak semua
kiayi atau sesuatu yang disebut kiayi itu adalah ulama’. Maka, kiayi bukanlah ulama’, itulah
sebabnya jadi ’ndak tenntu.

***

Lantas bagaimana dengan ulama’? kata ulama’ adalah bentuk jamak dari kata ’aalim.
’Aalim adalah isim fail dari kata dasar: ’ilmu. Jadi ’aalim atau ulama’ adalah orang yang
berilmu, selain beberapa kriteria di atas. Mereka menguasai berbagai bidang ilmu secara
mendalam seperti ilmu terkait Alquran; tajwid, qiraat, tafsir, asbababun-nuzul, hakikat dan
majaz, makna umum dan khusus ayat Quran, muhkam dan mutasyabihat, nasikh dan
mansukh, mutlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum, i''jazul quran, aqsam, jadal, qashash
dan seterusnya

Menguasai ilmu dengan Hadits Nabawi seperti sanad dan jalur periwayatan serta
kritiknya, rijalul hadits dan para perawi, Al-Jarhu wa At-Ta''dil dan lainnya. Ilmu Fiqih dan
Ushul Fiqih, ilmu Bahasa Arab, ilmu sejarah seperti sirah Nabi dan lainnya, ilmu
kontemporer seperti politik dan perkembangan dunia, ilmu sosial dan cabang-cabangnya dan
lain sebagainya.

Karena kedalaman ilmunya dan tingginya rasa takut terhadap Allah SWT, kalaupun
para ulama’ ini diangkat ke Sidratul Muntaha, niscaya mereka akan turun kembali ke bumi,
merambahi kelamnya kehidupan dunia. Apalagi sekedar diangkat jadi tim sukses Capres, atau
menjadi penasehat presiden, penasehat gubernur, bupati, ya gak level toh.

Banyak orang yang sudah sampai kepada level ulama ini yang tidak pandai berbicara
di muka publik. Boleh jadi figurnya kurang dikenal, karena memang mereka tidak menguasai
ilmu retorika apalagi propaganda media. Tapi kalau luasnya ilmu atas kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya, tidak ada yang mengalahkan.
Jadi kalau kita masih mempersepsikan sesuatu yang dipanggil kiayi sebagai ulama’,
nanti banyak yang orang yang terpingkal-pingkal.

162
Perempuan Bertopi Koboi

Beginilah gambaran mereka, kaum feminisme di negeri ini, pakai topi koboi kebesaran
sampai menutupi jidatnya, hingga mereka tidak bisa lagi sujud di hadapan Allah ’Azza
Wa Jalla

Kaum Perempuan telah terpinggirkan oleh sistem yang terbentuk sejak dulu di
masyarakat. Agama juga, cenderung memberi pembenaran bagi berlangsungnya kondisi yang
semakin meminggirkan kaum perempuan. Maka tidak ada jalan lain, kaum perempuan harus
dibela.

Pernyataan seperti ini sudah sejak lama ―digadang-gadangkan‖. Lirik lagu yang
sempat populer di masa mudanya orang tua-tua kita—wanita dijajah pria sejak dulu, sejak
dulu wanita dijajah pria... dijadikan perhiasan sangkar madu...—merupakan bukti otentik
adanya anggapan yang sama ada sejak lama.

Yang anyar lewat film ―Perempuan Berkalung Sorban‖ anggapan tersebut kembali re-
launching. Bahwa pada suatu intitusi atau komunitas pesantren yang notebene identik dengan
simbol Islam telah digambarkan memperlakukan perempuan sebagai orang ‘terjajah‘. Hukum
rajam juga, yang merupakan hukuman bagi para penzina digambarkan dengan sangat kasar,
seolah tidak ada perikemanusiaan sama sekali.

Tapi sang sutradara Hanung Bramantyo bersumpah atas nama Allah bahwa tidak ada
niatannya untuk menjelek-jelekkan institusi pesantren apalagi menistakan agama Islam.
Orang harus melihat secara jernih film ini, katanya, bahwa ada kultur yang tidak baik dalam
masyarakat kita, dan film ini sebagai kritikan untuk hal tersebut. Dia ingin mengatakan
bahwa substansi film ini adalah persoalan perempuan yang mendapat kekangan di
masyarakat kita dan agama cenderung memberi jalan memuluskannya.

Awalnya saya meragukan ketulusan ucapannya tersebut, hanya untuk membela


filmnya. Tetapi pada akhirnya saya menyadari bahwa memang ada dualisme dalam dirinya di
mana hatinya mengakui kebenaran Islam sebagai agama yang membawa perempuan kepada
derajat yang lebih tinggi—namun lisan, pikiran dan organ tubuhnya bergerak menjauh dari
kebenaran itu—ciri khas kaum liberalisme atau orang yang terpengaruh virus liberalisme.

***

Tapi benarkah perempuan di negeri kita ini memang terpinggirkan? Pertanyaan ini
sebetulnya sudah tuntas terjawab dalam diri masyarakat kita pada umumnya dan tidak ada
yang salah dalam hal itu. Hanya saja kelompok-kelompok feminisme yang terus menerus
menarik-nariknya menjadi isu yang dipolemik-kan.

Hal yang sering membuat kami senyum-senyum dalam setiap obrolan tentang
perempuan ini adalah adanya tuntutan kaum hawa ini untuk tidak dibeda-bedakan dengan
kaum pria. Untuk ini mereka membentuk genk perempuan yang justru menujukkan keinginan
mereka untuk berbeda dengan kaum pria.

163
Mereka menolak perempuan mengenakan jilbab karena itu dianggap doktrin agama
yang dipengaruhi budaya Arab. Perempuan yang seperti ini dianggap telah dikungkung oleh
sistem yang membatasi ruang gerak perempuan.

Dalam pandangan mereka, daripada pakai jilbab dan berkalung sorba tapi dalam hati
ingin bebas, lebih pakai topi koboi bertelanjang dada dan bercelana jeans ketat. Ini lebih
menunjukkan kebebasan dan kemerdekaan dalam bersikap dan berpikir. Ukuran kebenaran
bagi mereka bukan lagi pada tataran konsep tetapi pada tataran aplikasi di mana apa yang
tampak terjadi akan menjadi hakim untuk menyatakan benar atau menyatakan salah suatu
pemahaman agama.

Beginilah gambaran mereka, kaum feminisme di negeri ini, pakai topi koboi
kebesaran sampai menutupi jidatnya, hingga mereka tidak bisa lagi sujud di hadapan Allah
’Azza Wa Jalla.

***

Saya harus mengakui bahwa ada kebenaran dalam kritik lewat film yang ditampilkan
Hanung. Bahwa ada sementara kelompok di masyarakat kita, yang mungkin membawa
simbol-simbol Islam telah berlaku keras terhadap perempuan. Namun Hanung juga kelompok
yang sealiran pemikiran dengan dia tidak melihat kondisi ini secara utuh bahwa selain ada
yang mengekang perempuan juga ada yang bersikap dewasa bahkan jauh lebih bijaksana
dalam memperlakukan perempuan.

Sebaliknya perilaku pengukungan bahkan kekerasan dan penindasan terhadap


perempuan juga terjadi di banyak komunitas di luar Islam di seluruh dunia, karena memang
celah untuk terjadi hal itu terjadi di mana-mana. Kesalahan fatal orang seperti Hanung ini
adalah, mereka tidak memaafkan jika ada orang Islam atau orang yang bersimbol Islam
melakukan tindakan pengukungan terhadap perempuan, sementara orang-orang di luar
lingkaran Islam dianggap wajar melakukan penindasan terhadap perempuan.

164
TENTANG PENULIS

Buku di tangan Anda ini adalah buku ketiga karya Dedi


Sahputra setelah Buku Mendatangi Kesulitan (2015), dan Komunikasi
Politik Partai Politik Islam (2016). Seperti halnya buku pertamanya,
buku ketiga ini merupakan kumpulan tulisan di Harian WASPADA
Medan tempat ia mengasuh kolom FOLIOPINI sekaligus sebagai
Redaktur Pelaksana Artikel. Sedangkan buku keduanya merupakan
disertasi yang dipublikasikannya.

Setelah menamatkan studi doktoralnya di bidang Komunikasi


Islam dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (2015), Dedi Sahputra aktif menerbitkan
buku, setelah sebelumnya karya-karya tulisnya lebih banyak diterbitkan di Surat Kabar
Harian WASPADA Medan. Gelar Master di bidang Komunikasi Islam didapatnya dari Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara (2008). Pendidikan komunikasinya liniear
karena di jenjang S1 ia juga menempuh konsentrasi ilmu komunikasi.

Dari segi pendidikan, dia adalah akademisi di bidang komunikasi karena ia juga
mengajar ilmu komunikasi di beberapa perguruan tinggi di Medan dan Aceh. Namun dia juga
seorang praktisi karena merupakan seorang redaktur yang sehari-hari berkutat menurunkan
naskah artikel. Perpaduan antara teoritis pendidikan formal dan pengalaman praktis adalah
modal utamanya dalam menulis. Setelah terbitnya buku ketiga ini, dia telah pula ancang-
ancang untuk menulis beberapa buku lainnya yang kesemuanya merupakan wilayah
pendidikan dan pengalamannya di bidang komunikasi.

165
SINOPSIS

Puasa di bulan Ramadhan adalah sebuah estetika yang hanya bisa dirasakan oleh
orang yang berpuasa. Laku puasa membuat orang yang berpuasa memiliki pandangan,
pendengaran bahkan perilaku yang cenderung berbeda dari hari-hari biasanya.

Membaca adalah salah satu kecenderungan yang berbeda itu. Menghabiskan waktu
siang yang terik dengan membaca adalah sebuah estetika lainnya. Dan buku tentang agama
adalah alternatif pertama untuk dibaca. Dengan membaca para orang yang berpuasa akan
menemukan pengalaman yang unik, menarik, dan mendalam, meski kadang tak terjelaskan.

Buku ini hadir mencoba menguak beberapa nilai dalam laku puasa yang ditulis
dengan gaya bahasa yang populer. Meski tulisannya ringan, tapi tidak jarang menggelitik,
menukik, bahkan menghujam. Puasa Di Rumah Kami [PDRK], buku ini menyajikan celah
dalam setiap puasa yang menawarkan nilai, dan keindahan dalam setiap tarikan nafasnya.

166
TESTIMONI

Kreatif Mengolah Pengalaman Menjadi Pelajaran

Komentar untuk buku Puasa Di Rumah Kami: Ramadhan menghadirkan energi positif
yang amat kuat bagi orang-orang beriman. Ramadhan memang istimewa, belimpah berkah
dan pahala. Berbahagialah yang memaksimalkannya. Seperti pak Dedi Saputara, yang
menghadirkan buku karya beliau bertema Ramadhan saat bulan suci itu dijelang.

Saya sudah baca dua buku beliau sebelumnya berjudul ―Mendatangi Kesulitan‖ dan
―Komunikasi Politik Partai Politik Islam‖, juga tulisan beliau di kolom Foliopini Harian
Waspada Medan. Ciri yang saya dapatkan, beliau kreatif mengolah pengalaman menjadi
pelajaran. Keluasan wawasan tampak pada tulisan-tulisan beliau. Insya allah karya kali ini
pun tak kalah bermanfaat dari buku sebelumnya. Selamat pak Dedi. Semoga amal jariahnya
menjadi pemberat timbangan amal kebaikan kelak.

Eva Arlini
Aktivis Dakwah, Blogger dan Penulis Lepas di Berbagai Media

Mengedepankan Kepentingan Orang Banyak

Penulis mendeskripsikan tetap komit dan kukuh mengedepankan kepentingan orang


banyak secara religius dengan konsistennya mengkritik penguasa yang alpa atas
kebijakannya.

Akhirul kalam, pembaca akan mendapat pencerahan berlipat ganda dalam buku ini
yang lengkap dengan kritikan objektik soal kebijakan penguasa plus ilmu Agama Islam.
Klop, dunia dapat, inshaa Allah akhirat pun dapat.

Rizaldi Anwar
Wartawan

167

Anda mungkin juga menyukai