Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN AKHLAK DENGAN FILSAFAT, PSIKOLOGI, SOSIOLOGI

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH AKHLAK TASAWUF

Penyusun :

M. Fazlurrahman Rhazes A.

2010

Prodi Tarbiyah

Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah
PENDAHULUAN

Spirit Materi

Judul makalah ini ada 4 kata inti, akhlak, filsafat, psikologi, dan sosiologi. Dimulai dengan kata akhlak
yang berbahasa arab, diikuti oleh ilmu perenungan, ilmu jiwa dan ilmu masyarakat yang bahasanya
bukan arab. Dari sudut pandang masyarakat umum, mereka lebih familiar dengan bahasa arab.
Karena nuansanya islami. Sedangkan 3 ilmu lainnya tidak sama sekali, bukan bahasa indonesia juga
tetapi bahasa asing non-arab. Kebanyakan masyarakat indonesia berpendapat bahwa ilmu dari asing
bukan lah ilmu dari islam, sehingga makruh di pelajari.

Padahal, bila kita flashback ke jaman keemasan islam kita bisa mencari jejak ilmu-ilmu ini, bahwa
yang ikut mengembangkan ilmu-ilmu ini adalah ilmuan islam. Ilmuan ini menerjemahkan buku-buku
yang hampir musnah dari peradaban yunani. Sehingga ilmu pengetahuan di zaman itu menjadi
sangat pesat. Ambil contoh ibnu khaldun, yang mengarang buku mukaddimah. Pencetus ilmu
sosiologi untuk pertama kalinya. Ibnu sina, dengan pemikiran jiwa ke-10 nya, mengawali penelitian
terhadap unsur non-materi / jiwa dari manusia. Dan al farabi juga ibnu rusyd yang terkenal sebagai
ahli filsafat ketuhanan dengan ide-idenya yang diluar kebiasaan.

Sebenarnya membahas ke 4 ilmu barusan, semuanya tidak bebas nilai. Dominasi pengetahuan yang
muncul dari barat membawa masalah baru bagi umat islam. Dengan istilah ideologisasi ilmu
pengetahuan. Tentu mereka yang awam, langsung alergi dengan ilmu pengetahuan apapun yang
berasal dari barat. Kebanyakan akademisi muda islam saat ini enggan menuntut ilmu ke barat karena
takut tertular liberalisme, pluralisme, dsb. Katakanlah ilmu filsafat, bila kita mempelajari buku-buku
yang beredar setelah abad ke-19 maka kita akan digiring ikut ke aliran posmodernisme. Atau belajar
psikologi, pasti akan bermuatan positifisme. Begitupula belajar sosiologi, ujungnya akan bermuara
pada materialisme.

Mendahului sebuah judul makalah dengan 4 ilmu yang saling berkaitan sekaligus tidak bebas nilai.
haruslah dengan hati-hati, apabila tidak bisa mencari hubungannya secara obyektif dampaknya
buruk. Yang pertama, kita akan mengikuti paham nilai yang sesat. Atau yang kedua, hasil penelitian
kita bisa tidak relevan sama sekali dengan ilmu yang berkaitan. Karena kita menahan diri untuk tidak
membaca referensi barat yang tidak bebas nilai. Padahal, ilmu modern si fulan akui adanya di barat.
Seharusnya kita tidak malah apatis atau terlalu sembrono. Yang baik adalah yang ditengah, kita
harus bisa manganalisa ilmu mana yang bermuatan negatif, mana ilmu yang memang murni ilmu.

Kata Kunci

Akhlak, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Etika, Jiwa, Masyarakat.


PEMBAHASAN

Akhlak

Setiap hari kita saling berinteraksi dengan manusia lainnya dan alam sekitar kita. Alam memiliki
hukum-hukum alamiah, bila manusia berinteraksi pada alam dengan cara-cara yang baik, maka alam
akan merespon dengan memberikan manfaat yang baik-baik pula. Hukum itu berlaku juga sesama
manusia. Bila kita memberi rangsang ke orang lain dengan cara-cara negatif, tentu respon orang
tersebut adalah sedih dan marah. Sehingga, stimulus yang kita berikan akan mendapat respon yang
nilainya sama.

Setiap hari sebenarnya kita menstimulus alam dan manusia lain, misalnya kita membuang sampah
sembarangan, atau kita memuji teman kita. Semua itu akan mendapat respon, cepat atau lambat.
kita tidak hanya memberi stimulus tetapi juga terstimulus. Kita pernah di tolong orang lain, kita
pernah dimarahi orang tua, pernah kehujanan, pernah kehilangan sandal, dsb. Semua hal barusan
adalah stimulus yang kita terima.

Alam dan manusia sekitar selalu memberi stimulus, dan selanjutnya kita memutuskan merespon
sesuai kehendak kita. Tidak berhenti disitu, kita juga mendapat hukum perasaan senang, duka, dan
netral dari respon yang kita putuskan. Karena manusia bisa merasakan penderitaan, kesenangan,
dan netral di setiap perbuatannya. Kita senang membuka jejaring sosial facebook sehingga sering
mampir setiap kali melewati warnet, kita menderita bila kehujanan sehingga tiap kali bepergian tidak
lupa bawa payung.

Secara alamiah, respon yang kita putuskan terpengaruh oleh suasana perasaan kita. Misalnya, kita
tidak sengaja lewat jalan jagir ada warung sate yang enak. Kita pernah ke sana dan merasakan sate
itu ditraktir teman yang ulang tahun. Ada pengalaman nikmat yang menstimulus kita supaya
berbelok dan mampir ke warung barusan. Secara berurutan, warung sate menstimulus panca indra
kita mulai dari mata kita melihat daging sate ditusuk dan dibakar, telinga kita mendengar ada suara
ramai orang menikmati sate, dan hidung kita mencium bau sedap daging dengan kecap dibakar
bersamaan. Sehingga dengan bergegas kita membanting stir lalu mampir ke sana.

Berbeda ceritanya apabila pada saat anda ditraktir teman anda diwaktu yang lalu. Sate yang dibakar
kurang matang sehingga anda muntah tidak karuan. Ada pengalaman tidak menyenangkan saat
berada disana, rasa malu dilihat teman, rasa mual dari daging sate mentah, rasa pengap oleh
banyaknya kawan anda dalam satu warung dsb. Sehingga saat warung sate itu memberi stimulus
baunya, kita tidak serta merta merespon, tetapi kita malah mempercepat laju gas sepeda motor kita.

Karena tiap hari alam dan manusia lain selalu memberi stimulus ke diri kita melalui panca indra. Kita
harus memutuskan respon kita, apakah kita lakukan apakah kita tinggalkan. Rasa puas yang muncul
setelah kita memilih untuk melakukannya akan terakumulasi menjadi pengalaman nikmat, Demikian
pula rasa duka yang muncul akan terakumulasi menjadi pengalaman duka. Perbuatan-perbuatan
yang kita lakukan terus menerus disebabkan mendapat pengalaman puas akan membentuk pola,
sedangkan perbuatan yang kita tinggalkan karena duka tidak akan membentuk pola.

Pola perbuatan kita sehari-hari akan menentukan akhlak kita. Misalnya kita terbiasa berbohong, itu
tidak hanya disebabkan kita memilih untuk berbohong. Berbohongnya kita ke orang lain dipengaruhi
oleh kehendak kita dan pengalaman suka duka kita sebelumnya, yang muncul setelah di stimulus
oleh peristiwa yang menuntut sebuah pengakuan. Misalnya si fulan tidak sholat shubuh karena
ketiduran, lalu ditanya orang tua si fulan sekitar jam 7 pagi : “sudah sholat?”. Muncul angan-angan si
fulan : bila si fulan jawab “belum”, harga diri si fulan jatuh sebagai mahasiswa jurusan agama. Bila si
fulan jawab “sudah” ditambah “dimasjid”, harga diri si fulan tetap terjaga dan si fulan mendapat
citra positif dari orang tua si fulan. Kenapa memilih menjawab “belum” bila si fulan mendapat
pengalaman duka, sedangkan apabila si fulan jawab ”sudah” ditambah “dimasjid” lebih memuaskan
diri si fulan? Akhirnya setiap kesiangan tidak sholat subuh, si fulan terpola mengeluarkan jurus
berbohongnya setiap ada stimulus ibunya menanyakan absen sholat shubuhnya.

Dampaknya lebih jauhnya, berbohong akan menjadi akhlak si fulan. Ia memilih berbohong tidak
hanya sekali dua kali, tetapi sudah puluhan kali, begitu seterusnya terulang-ulang. Bahkan
berbohong sudah menjadi reflek si fulan bila mendapat masalah. Ia berbohong tanpa pertimbangan,
tanpa diingatkan, dan permanen, bukan sekedar temporer 1 minggu, 2 minggu.

Hub. Akhlak dengan Filsafat

Filsafat

Filsafat berasal dari yunani kuno, ilmu ini adalah ibu semua ilmu pengetahuan, karena ilmu ini
dipakai untuk mempertanyakan kenapa ilmu tersebut di pelajari. Sehingga lahirlah segala macam
ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya. Tidak hanya itu, filsafat juga dipakai untuk mencari
dibalik yang nampak dari sebuah kenyataan yang di sistemkan dalam suatu ilmu pengetahuan.
Hingga nampaklah hakikat terdalam sebuah ilmu pengetahuan. Mencari hubungan antara ilmu
filsafat dengan akhlak, tak jauh beda membahas ilmu aksiologi dalam bagian filsafat. Aksiologi
membahas nilai, lebih jauh lagi jika membahas nilai baik buruk akan menjurus ke ilmu etika.

Filsuf pada hakikatnya adalah manusia yang mempotensikan akalnya untuk mendapatkan
pandangan dunia hingga tercapainya kepuasan. Sistem yang dipakai filsafat dalam mencari sumber
pengetahuan adalah akal, walaupun demikian tidak berarti ilmu ini relatif. Seseorang filsuf benar-
benar akan mempertahankan hasil jerih payah pikirannya dan mengamalkannya dalam keseharian,
apapun kesimpulan akhir dari pencariannya. Ketatnya pemikiran fisafati yang demikian sistematis,
konsepsional, koheren, komprehensif, dan rasional masih saja lumrah dikritiki oleh filsuf-fulsuf lain
yang memiliki perenungan yang lebih dalam dan cukup alasan saat membantah ide-ide filsuf lainya
entah dari masa lalu ataupun sezaman.

Hubungannya

Akhlah bisa dipahami sebagai perilaku manusia yang sudah terpola karena ada stimulus kebahagian
saat menjalaninya. Terpola yang dimaksud adalah terbiasa, bahkan menjadi reflek saat ada stimulus
yang muncul. Kebiasaan ini tidak perlu diingatkan lagi, karena sudah dilakukan berulang-ulang.
Begitulah mekanisme akhlak dalam diri semua manusia, bisa juga diistilahkan sebagai “moral”.

Manusia yang berprilaku apapun pasti punya tujuan yang ingin dituntaskan. Menuntaskan tujuan
yang sudah disusun adalah aspirasi manusia secara fitrah. Karena manusia sebenarnya sudah mati
bila tidak punya tujuan apa-apa. Kebanyakan orang yang putus asa karena gagal meraih tujuan pada
akhirnya melakukan bunuh diri, ia gagal memutuskan apakah ia mengganti tujuan yang selama ini
sudah diperjuangkan mati-matian, apakah ia tetap konsisten meraih tujuan yang dari sudah ia
mimpikan namun dengan asumsi hampir semua jalan tertutup untuk mewujudkannya.
Dalam mewujudkan sebuah tujuan, perlu cara / metode. Metode dipengaruhi oleh landasan yang
berfungsi sebagai penentuan cara yang akan akan dipakai dalam mewujudkan ide tujuan ke dalam
kenyataan. Dalam ilmu etika, landasan ini disebut standar nilai moral (SNM). Disinilah peran filsafat
dalam menentukan landasan dari apa yang seharusnya semua manusia. Namun, aliran dalam filsafat
yang membahas SNM ada banyak sekali, entah itu hedonisme, utilitarianisme, naturalisme,
vitalisme, dsb. Yang menjadi titik tekan adalah, bila dicari corak epistem yang mendasari munculnya
salah satu aliran SNM, maka akan ketemu hubungan konsisten antara mereka. Misalnya, tidak
mungkin anda penganut ontologi Dualisme bahwa jiwa itu ada, tetapi SNM anda adalah hedonisme
yang menganggap kesenangan materi lah harus dikejar. Kesimpulannya, ilmu filsafat melandasi
standar nilai moral yang akan di gunakan manusia.

Hub. Akhlak dengan Psikologi

Psikologi

Tujuan yang sudah disusun akan tercapai bila dibarengi oleh motivasi yang benar pula. Misalnya,
sulit seorang siswa bisa peringkat 1 bila motivasinya karena dipaksa orang tua, bukan karena
kesadaran diri sendiri. Tetapi, bukan motivasi yang benar yang akan dibahas dalam psikologi, karena
motivasi yang benar yang melandasi perbuatan sudah menjadi medan gerak filsafat etika.

Tujuan yang disusun manusia sesungguhnya lahir dari motivasi. Motivasi apa yang ada dalam jiwa
manusia akan dibahas dalam psikologi. Motivasi seseorang bisa bermacam-macam dan pasti
berhubungan dengan tujuan, apakah tujuannya berhubungan dengan jasmani ataukah rohani.
Kenapa ingin makan? Karena lapar, lapar adalah kebutuhan jasmani. Kenapa membawa jas hujan?
Karena takut kehujanan, bila kehujanan bisa sakit demam, demam adalah sakit jasmani. Kenapa
sholat? Karena dilihat pak guru, kalau tidak sholat bisa dimarahi, takut dimarahi adalah persoalan
rohani.

Psikologi membahas unsur kejiwaan yang nyata dalam manusia. Manusia yang bertindak
dipengaruhi oleh kejiwaan, misalnya saat keadaan jiwa kita membenci seseorang, ada
kecenderungan tindakan kita ingin merugikan orang tersebut. Seandainya ada kesempatan dan tidak
ada orang yang tahu, mungkin kita benar-benar mengaktualisasikan rasa benci kita. Lebih lanjut,
gejala kejiwaan ini ada yang sifatnya sadar, ada yang bawah sadar. Misalnya, orang yang di hipnotis
akan melakukan tindakan sesuai apa kata penghipnotisnya. Entah gejala jiwa yang muncul ini kita
sadari ataupun tidak (bawah-sadar), hal ini mempengaruhi motivasi kita sebelum bertindak.

Hubungannya

Menurut sigmund-freud, gejala jiwa terdiri dari 3 bagian : id, ego, dan superego. Id adalah hawa
nafsu. Ego adalah ke-aku-an, jembatan pilihan yang menekan dorongan hawa nafsu, sekaligus untuk
memilih menaati atau melanggar norma dalam masyarakat. Superego adalah tanaman nilai dari
masyarakat sekitar, misalnya perintah dan larangan ortu waktu masih kecil.

Ego adalah kesadaran diri sendiri bahwa manusia punya kehendak, ia yang menentukan apakah
nafsu yang begejolak dalam kesadaran ini perlu di hentikan ataupun bisa di salurkan dengan cara-
cara yang baik. Perangkat ego sudah termasuk otonomi akal dalam menjustifikasi kerugian dan
penderitaan yang ditimbulkan bila id tidak di saring. Ego juga yang meragukan apakah nilai-nilai
dalam masyarakat ini perlu diikuti atau dilanggar. Bila ego kita terbiasa melanggar norma susila
dalam masyarakat, bisa ditebak moral yang terbentuk dalam diri kita adalah moral berandalan. Bila
ego kita terbiasa membiarkan nafsu makan kita tidak terkontrol. Moral yang muncul adalah moral
rakus. Bila kita terbiasa mengasah ego kita supaya seimbang dalam mendudukkan kedua hal
tersebut. Moral yang terbentuk adalah bijaksana.

Hub. Akhlak dengan Sosiologi

Sosiologi

Hubungannya
PENUTUP

Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai