Anda di halaman 1dari 8

PROSPEK DAN RESIKO PACARAN DI

USIA PRODUKTIF
MEMBEDAH ULANG WACANA PACARAN DI ERA INDUSTRI DAN INFORMASI DI
INDONESIA

OLEH RHAZES AVICENNA

JURUSAN TARBIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

2010
Kerangka berfikir
Pendahuluan
Fenomena “pacaran” di Indonesia
Pacaran negatif menurut kaidah islam, agama terbesar di Indonesia

Pacaran sehat menurut penelitian pribadi

Produk “pacaran” di era industri dan informasi


Pengaruh budaya “pacaran” terhadap Industialisasi

Pembahasan
Beda prospek dengan resiko

Pengertian usia produktif

Konsep pacaran secara realistis, bukan optimis dan bukan pesimis

kesimpulan
Pendahuluan
Fenomena pacaran di Indonesia
Pacaran negatif menurut kaidah islam, agama terbesar di Indonesia
Haram ber”zina”
“Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan
suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’ : 32)1).

Pacaran itu zina


Menurut agama islam Allah telah melarang pemeluknya untuk mendekati perzinaan, karena zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. Maka segala hal yang bisa
mengantarkan kepada bentuk perzinaan telah diharamkan pula oleh Allah. Sedangkan pacaran
adalah sebesar-besar perkara yang bisa mengantarkan ke pintu perzinaan2).

Indikasi disini adalah: kelumrahan saling memandang antara satu dengan yang lain lawan jenisnya.
Sementara memandang lawan jenis bisa membangkitkan syahwat apalagi bila sang wanita
berpakaian ketat yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Oleh karena itu “bohong” bila seorang
laki-laki tidak tergiur dengan penampilan wanita yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya, apalagi
sang wanita tergila-gila kepadanya dan tiap hari berada di sisinya. Sebenarnya sang laki-laki bejat
tinggal menunggu waktu dan kesempatan saja untuk bisa melampiaskan nafsu setannya. Setelah itu
terjadilah apa yang terjadi, yang dimaksud disini adalah berzina3).

Pacaran sehat menurut penelitian pribadi


Saling memotivasi dalam berkarya
Pacaran bisa dimaknai sebagai dukungan, dalam bentuk perhatian yang lebih dari pasangan, bisa
berupa pengakuan atas karya yang diraih dengan ungkapan pujian, dsb4). Misalnya bila kita belajar
di malam hari dan merasa sangat penat, bila memandang sepintas foto sang pacar yang diletakkan di
atas meja, tiba-tiba ada dorongan untuk segera bangkit lalu melanjutkan proses belajar kita5). Tanpa
disadari, dengan latarbelakang apapun itu, dalam konteks ini juga bisa di maknai sebagai hal positif.

Belajar cinta lewat pengalaman empiris


Pacaran juga bisa dimaknai sebagai pembelajaran masalah cinta secara langsung6), masalah cinta
tidak bisa dipandang sepele, karena sekali manusia menikah ia akan hidup bersama pasangannya
selama berpuluhan tahun lamanya, pengalaman cinta tidak cukup belajar lewat buku panduan
maupun rubrik di majalah. Perlu pengalaman terjun ke lapangan untuk merasakan sendiri dan
mengatasi masalah yang timbul. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya hubungan konkrit, yaitu
pacaran.

Sebuah proses yang mendewasakan


kedewasaan seorang pelaku pacaran saat ia ditimpa suatu masalah atau pun dilema saat menjalin
hubungan pacaran akan di uji disini, bagaimana mendudukkan hubungan kepada orang tuanya
misalnya7). Salah satu ciri seseorang yang dewasa adalah memiliki keahlian komunikasi yang
terbuka, tidak menutup dirinya dan memiliki kemampuan empati tinggi dalam mengenali pribadi
orang lain8). Entah pacaran bisa menghasilkan kedewasaan atau tidak, pacaran dalam hal ini hanya
dimaknai sebagai suatu proses yang berbeda-beda tergantung aktivitasnya. Belum tentu hasilnya
bisa nyata.

Mengenal lebih jauh pasangan sebelum benar-benar berkomitmen


Motif utama berpacaran biasanya ingin mengenal lebih dalam mengenai diri pacarnya kelak. Karena
dalam konsep berpacaran juga ada yang namanya “putus”. Seseorang tidak berhak lagi
mengidentifikasi bahwa orang lain (mantannya) adalah pacarnya. Sehingga bisa bebas mencari pacar
lagi bila tidak cocok. Yang dibuka dalam mencari tau profil sang pacar biasanya: kepribadiannya,
minatnya, imannya, afiliasinya, keluarganya, relasinya, favoritnya, dsb.

Produk pacaran di era industri dan informasi


Pengaruh budaya “pacaran” terhadap Industialisasi
Berikut ini produk industri yang menjadi lebih laku dari budaya pacaran8):

 Perusahaan media masa: novel-novel bertema mencari pacar yang cocok, film-film
romantisme pacaran, lagu-lagu dengan cerita perasaan penderitaan maupun kebahagian
masa pacaran.
 Produk perawatan tubuh : kosmetik kecantikan, kulit, wajah, rambut, kuku, pewangai badan,
perubah gaya rambut, salon, dsb.
 Produk komunikasi : situs pertemanan, handphone, service provider handphone (pulsa)
 Produk lain : es krim (love version), makanan menu berdua di resto-resto cepat saji, sepeda
motor.

Prospek indutri dengan jenis ini pasti cerah di masa sekarang. Karena pada kenyataanya budaya
pacaran menancap kuat di relung-relung kehidupan masyarakat indonesia. Budaya pacaran secara
progresif tumbuh dan berkembang sampai tahap lumrah. Yang diuntungkan secara ekonomi adalah
produsen. Dan dengan keuntungan itu pula si produsen menggencarkan budaya pacaran ke tengah
masyarakat. Misalnya iklan televisi, musik yang disponsori perusahaan, dan event-event bertema
pacaran

Pembahasan
Beda prospek dengan resiko
Prospek dan resiko pasti muncul
Menurut seorang filsuf, manusia tidak hanya berhadap-hadapan, ia bisa menghadapi. Dalam kata-
kata ini seakan-akan sepele namun tersimpan makna dalam. Manusia disebut manusia bila ia berani
keluar dari kotaknya lalu mengambil keputusan secara langsung. Dimana keputusan ini berpengaruh
terhadap dirinya maupun orang lain dan alam di sekitarnya. Berbeda dengan pohon, hewan ternak,
bebatuan, dsb. Seorang manusia yang mengambil keputusan pasti ada motif untuk menyelesaikan
yang di hadapi, atau di sebut prospek. Dan tentu yang dihadapi tidak diam saja, melainkan juga
memberikan umpan balik yaitu resiko. Apapun yang dihadapi, pasti akan menimbulkan aspek positif
dan negatif.

Prospek dan resiko hanyalah potensi yang belum aktual


Bila aspek positif yang dirasa akan muncul, disebut prospek, sebaliknya bila aspek negatif yang kira-
kira akan muncul, berarti resiko. Esensinya prospek maupun resiko adalah potensial, belum aktual.
Namun prospek dan resiko yang benar adalah yang sesuai obyeknya atau apa adanya. Walaupun
secara sifatnya hanya potensial, bila kita berhasil memetakan seluruh prospek dan resiko yang akan
muncul pasti akan berguna. Manfaatnya dalam memberi keputusan menghadapi suatu masalah
secara tepat, kita tidak hanya punya 2 pilihan (mundur atau maju), tapi kita punya pilihan ke 3, yaitu
meminimalkan resiko sebisa mungkin sekaligus menjabarkan manfaat inti, bukan manfaat
sampingannya.

Mendudukkan prospek dan resiko : menghitung nilainya


Misalnya prospek dan resiko makan pada pekerjaan tukang. Prospek makan intinya adalah kenyang
dan bergizi sehingga bisa beraktifitas dengan normal lagi. Sedangkan enak rasanya, indahnya
bentuknya, sedap aromanya bukanlah prospek makan yang utama. Di sisi lain, resiko makan adalah
membuang waktu dan tenaga saat mengunyah dan mencarinya, dan biaya mencari bahan-
bahannya. Setelah memetakan hal tersebut, muncul 3 pilihan: tidak makan, makan sesuai selera,
atau makan sesuai konteks. Yang pasti manusia harus makan bila tidak ingin mati, seorang tukang
juga manusia yang bekerja untuk hidup, tidak mungkin tidak makan. Karena terikat konteks waktu
pekerjaan, seorang tukang perlu kecepatan makan dan tidak perlu membuat makanannya sendiri,
cukup membeli di warung. Karena terikat konteks jenis pekerjaan, tidak perlu yang terlalu enak,
sedap, dan indah, karena yang penting adalah gizi dan jumlah makanan. Kalau menuruti selera
makannya, seorang tukang akan kesulitan sendiri.

Pengertian usia produktif


Usia produktif : penghujung kebermaknaan seorang manusia
Diasumsikan rentang usia manusia antara 0-74 tahun, berdasarkan angka harapan hidup manusia
Indonesia pada umumnya. Bisa dijabarkan 3 usia utama seorang manusia mencapai produktifitas
kebermaknaanya adalah sebagai berikut:

1. Usia non-produktif (0-15 tahun):

keadaan masa tabularasa dan masa anak-anak, harus bergantung pada orang tua atau wali yang
bersangkutan, sehingga menjadi beban bagi usia di atasnya. Belum punya kemampuan mandiri
sama sekali (Dependancy : 1), belum bisa berkarya.

2. Usia produktif (16-65 tahun) :

keadaan masa remaja, dewasa, pernikahan, berkeluarga. Angka Dependancy mulai berkurang
(<1) bahkan bila sudah mapan tidak perlu bergantung sama sekali (0). Dimasa ini manusia lainlah
yang mulai bergantung ke kita, karena kita bisa memproduksi karya lebih dari konsumsi pribadi,
misalnya untuk keluarga kita (anak, istri, orang tua, sanak saudara), bawahan kita, fakir miskin,
yatim piatu, dsb.
3. Usia pasca-produktif (65-74 tahun):

Keadaan seseorang pensiun setelah pekerjaannya, karena keterbatasan fisik. Sehingga pada
hakikatnya kembali lagi ke usia non-produktif.

Tuntutan usia produktif di zaman industri dan informasi


Ada sebuah tabel perbandingan gagasan antara masa kini (era industri) dan masa depan (era
informasi) yang menarik. Perbandingan ini dibuat oleh Robert T. Kiyosaki dalam bukunya "Rich Kid
Smart Kid".

Keamanan dan masa kerja Agen bebas, perusahaan virtual

Senioritas Dibayar karena hasil

Satu pekerjaan Banyak profesi

Bekerja sesuai jam kantor Bekerja bila tertarik bekerja

Sekolah (formal) Seminar

Titel dan surat kepercayaan Bakat

Pengetahuan lama Gagasan-gagasan baru

Bekerja di perusahaan Bekerja di rumah

Bila ditangkap secara prinsip, untuk bertahan di era industri dan era informasi sekarang, diperlukan
suatu kemapanan dan kedewasaan dalam bertindak. Harus dimulai dengan pengembangan diri
secara terus-menerus. Fokus sesuai dengan di bidangnya masing-masing. Perlu progresifitasnya yang
signifikan hingga membuat kebermaknaan diri kita eksis sebenar-benarnya di masyarakat. Tuntukan
masyarakat yang semakin kompleks dan masalah baru menuntut untuk dipecahkan oleh para
manusia di kisaran usia produktif.

Fitrah rasa suka manusia di usia produktif


Tidak di pungkiri seorang manusia di usia produktifnya, pasti memiliki keinginan untuk di hargai, di
perhatikan, di puji, di sayangi oleh manusia lainnya. Mereka adalah makhluk sosial. Kurang lebihnya,
mereka membutuhkan orang lain saat menghadapi dunia. Dunia karir yang penuh hambatan dan
tantangan tidak memungkiri perlunya dampingan orang lain sebagai bentuk dukungan yang secara
fitrah memang dibutuhkan di usia produktif.

Konsep “pacaran” secara realistis, bukan optimis dan bukan pesimis


Wacana klasik pacaran : aturan main dan teksnisnya
Pacaran disimbolkan sebagai sebuah status sosial. Status ini melekat pada 2 orang yang
mendeklarasikan bahwa mereka berpacaran. Bila ada orang lain yang tahu status pacaran yang
melekat pada pelaku pacaran, entah temannya, kenalannya, rekannya, saudaranya, maka secara
budaya, ia tidak boleh memacari orang tersebut. Bila ia memaksakan kehendaknya, maka ada 2
kemungkinan, berselingkuh atau ditolak mentah-mentah.
Ada unsur utama yang harus di miliki oleh 2 orang yang siap berpacaran: saling suka. Entah suka
kepribadiannya, minatnya, imannya, afiliasinya, favoritnya, wajahnya, fisiknya. Baru selanjutnya bisa
dilanjutkan dengan menempelkan status pacaran ke profil pribadinya. Tanpa rasa suka, tidak
mungkin mereka menempelkan status khusus ini.

Saling suka ini secara alami muncul sebelum berpacaran, saat status pacaran melekat, tidak berarti
aspek suka menjadi semakin banyak. Yang ada hanyalah mencari lalu menemukan kesamaan. Tidak
berpacaran pun, seorang bos dengan bawahannya memerlukan rasa saling suka, supaya antara
tujuan dengan realisasi bisa sinkron.

Secara budaya di masyarakat Indonesia, untuk mempertahankan status pacarannya dengan


seseorang yang disukainya, maka ia “harus” memikat lawan jenisnya supaya bertahan berpacaran
dengannya memakai segala cara dan fasilitas yang eksis di masyarakat. Semakin canggih cara dan
fasilitas yang dipakai, semakin suka oleh tingkah pacarnya, sehingga pacarnya secara otomatis akan
membuka dirinya lebih lanjut bila berhasil. Bila gagal, bisa-bisa status pacarannya terancam karena
ada kemungkinan pacarnya tidak puas akan performance pacarnya. Bila tidak puas oleh seseorang,
sangat mungkin mencari orang lain yang lebih bagus performance-nya. Bila ada yang iri dengan
status pacaran seseorang, atau secret admirer, maka konsekuensinya “siap-siap ditusuk dari
belakang”. Atau di incar supaya segera lengser dari “jabatannya”.

Wacana baru pacaran, diluar pakem


Pendekatan sosiologi
Status pacaran hanya egoisme sepihak. Bila seseorang takut bersaing secara fair and square dengan
orang lain dalam memperebutkan orang yang disukainya, status pacaran bisa jadi dalih untuk
menghalau supaya orang yang di incarnya tidak didekati oleh kompetitor lain yang berpotensi
muncul. Bahkan bisa di anggap pengekangan kompetisi sehat dalam menjalin hubungan di era yang
sudah terbuka ini. Bila terpaksa ada orang yang mendekati pacarnya entah terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi maka dengan dalih cemburu, ia memarahi pacarnya yang di beri stereotype
tidak setia, selingkuh, dsb.

Pendekatan konteks masyarakat industri dan informasi


Seseorang yang mengklaim dirinya berpacaran tentu habis-habis dalam melestarikan budaya
pacaran bila tidak ingin pacarnya kecewa. Melestarikan budaya pacaran tentu tidak gampang. Bila ia
ingin dianggap pacar sejati, maka harus rela mengorbankan uangnya untuk membeli produk yang
dianggap secara umum cocok untuk dijadikan pemikat pacarnya. Dalam artian membeli produk-
produk yang bisa memperbanyak kesamaan dengan pacarnya, seperti disebutkan di bagian
pendahuluan. Semakin gencar promosi produsen akan produk pacarannya, semakin laku keras, dan
semakin ter-mindset bahwa produknya adalah bagian umum dalam ritual berpacaran. Apalagi di era
industri dan informasi seperti sekarang banyak produk dan jasa impor yang masuk dan ikut
berkompetisi dengan produk lokal. Letak masalahnya adalah: produk pacaran pada umumnya
berasal dari luar negeri, bila di teliti lebih lanjut.
Pendekatan psikologi
Penampakan seseorang yang berpacaran adalah topeng. Secara psikis orang yang berpacaran
berfikir pasangan selalu memperhatikan apapun tentang dirinya: kepribadiannya, minatnya,
imannya, afiliasinya, keluarganya, relasinya, favoritnya, dsb. Dengan kata lain secara psikis pula ia
terpaksa untuk mengetahui apa yang diingini “pacarnya”. Konteks “keinginan pacarnya” akan bias
antara keinginan si pacar apa adanya dengan keinginan seorang pacar pada umumnya (budaya yang
eksis). Jalan pintasnya, bila tidak tahu apa keinginan asli sang pacar tentu saja nekat. Dengan habis-
habisan pacar yang “setia” selalu tampil se-perfect mungkin di depan pasanganya. Tidak peduli habis
berapa biayanya (mobil, pakaian, fisik, dsb.). Tidak peduli senyum palsu atau asli. Entah kata-kata
“manis”nya untuk si pacar itu jujur atau bohong. Yang penting tampil ideal sesuai “pesanan industri
produk pacaran”.

Wacana pacaran yang salah kaprah

Anda mungkin juga menyukai