TEMA PEMIKIRAN
T UGAS M ATA K ULIAH F ILSAFAT I SLAM
Penyusun :
Warno
Busyrani
M. Fazlurrahman Rhazes A.
SISTEMATIKA PEMBAHASAN
BIOGRAFI IBNU SINA
PENGARUH TOKOH LAIN
FILSAFAT METAFISIKA
FILSAFAT KENABIAN
2010
JURUSAN TARBIYAH
Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya
dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag
yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal
dan dikuburkan di Hamazan.
1 Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia), 1996, hal. 50
2 Dr. Ahmad Daudy, MA, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1986, hal. 60
3 H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang), 1949, hal. 49
1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa
hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain -
lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang
sebenarnya.
2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa
dengan badan dan keabadian jiwa[]4.
- Makan (nutrition)
- Tumbuh ( growth)
- Gerak (locomotion)
- Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
- Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
- Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi
umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
- Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
Ex. Menangkap pengertian malaikat, setan, jin, surga, neraka, tuhan, kiamat, dsb.
• Praktis yang hubungannya dengan badan Teoritis yang hubungannya adalah dengan
hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
4 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992, hal 34 - 35
a. Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih
walaupun sedikitpun.
b. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
c. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan
tak perlu pada daya upaya[]5.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan,
binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai
binatang, tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu
dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan
dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi -
fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya
sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan
wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir[]6.
Dalil – dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :
1) Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan
yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
6 Ibid, Hal. 37 - 38
7 Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal. 126
2) Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a. Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b. Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di
bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang
terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak
yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus
yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh
sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain
yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang
didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa
depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang
kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya
dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak
dalam mengalami perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut bertalian
satu sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi
karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar
sekitar titik tarik yang tetap.
FILSAFAT METAFISIKA
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi
kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada
yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada
banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat :
Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada.
Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan
bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya
hanyalah gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa
kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung
pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak
ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat
Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof
Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah
dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau
Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka
dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat
faham tauhid tidak murni lagi[]9.
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud
Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir)
Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam.
Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini.
Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada[]10. Berfikirnya
Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya,
dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta,
cukup Tuhan mengetahuiNya[]11
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya.
Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib
wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya[]12
FILSAFAT KENABIAN
10 Al-farabi, Al-Da’awi al-Qalbiyyah, (Haidarabad : Dar al-Ma’arif al-Usmaniyah, 1349 H), hlm. 3-4
11 Ibid, Hal. 41
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal
mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil.
Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat,
yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini
begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan
akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa
ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan
terdapat hanya pada nabi - nabi[]13.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan
menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka
tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini,
dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita
karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang
sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu
itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan
– tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur
sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak
berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang
negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang
sebenarnya.[]14
14 M.M. Syarif, MA, Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan) 1994, hal. 101