Anda di halaman 1dari 2

TRANLATOR :

1. RHAZES AVICENNA, PAI


2. WARNO, AS
3. NASRUDDIN, AS
4. FAJAR AMERTA, AS
5. BUSYRANI, AS
6. BAYU SAMPURNO PANJI, PAI
7. DAVID, AS

Mengembangkan studi islam di program


pasca sarjana: memperluas horison
melalui metode jaring-jaring laba-laba.
Diagram di bawah ini mengilustrasikan suatu hubungan jaring laba-laba pengetahuan
teoantroposentris berkelanjutan. Dapat kita lihat bahwa disana ada jangkauan yang lebar dari
pandangan dan horizon metode dan pendekatan dari studi islam terpadu. Dan di waktu yang
bersamaan mereka berfungsi di kedua-duanya, sektor tradisional dan sektor modern, karena itu
penguasaan terhadap hal ini bisa mendukung kehidupan di era globalisasi informasi. Disamping
itu, juga memberikan bentuk yang kompeten dalam menangani dan menganalisis isu-isu
relevan kemanusian dan keagamaan di era modern dan postmodern dengan memperkenalkan
variasi pendekatan baru yang dikontribusikan oleh IPA, IPS, kemanusian kontemporer, dan studi
keagamaan. Lebih-lebih, setiap langkah yang diambil selalu didukung oleh dasar obyektivitas
dan moral-etis keagamaan, karena AQ dan SNH yang ditafsirkan dengan jalan baru
(hermeneutikal) tetap menjadi dasar wawasan kehidupan (weltanschauung) dari relijiusitas
umat manusia yang menyatu dalam nafas akademis dan keagamaan. Semua ini di konstruk
untuk kemakmuran umat manusia, tidak terkotak pada ras, agama, etnis, dan keberpihakan
politik.

Pada kondisi sekarang ini, aktivitas akademis pada lembaga keagamaan ketiga seperti
IAIN dan STAIN diseluruh Indonesia hanya terfokus dan terbatas pada lapisan ke - 1 dan ke - 2
dari lingkaran (kalam, filsafat, tasawuf, hadist, tarikh, fiqh, tafsir, lughoh). Dan bahkan hanya
terbatas sampai pendekatan kemanusiaan klasik. IAIN dan STAIN pada umumnya belum bisa
masuk ke dalam diskusi studi sosial, kemanusian kontemporer dan kombinasi studi islam
dengan disiplin ilmu yang tergambar pada lapisan ke - 3 (antropologi, sosiologi, psikologi,
filosofi dan variasi pendekatan lain yang ditawarkan). Hasilnya, muncul jurang yang tidak
terjembatani dalam hal wawasan akademis antara ilmu islam klasik dan ilmu islam terbaru yang
mengambil celah dari analisis studi sosial dan kemanusiaan kontemporer.

Ketidakseimbangan pada wawasan akademis ini memberikan dampak signifikan dalam


dinamika sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia, karena terlibatkannya sejumlah alumni
dari IAIN dan STAIN yang berlanjut hingga menjadi pemimpin komunitas di mana saja mereka
berada. Lebih-lebih, ketidakseimbangan pada wawasan intelektual terasa lebih tajam di
kalangan murid dan alumni dari lembaga pendidikan tinggi pada umumnya yang mengambil
jurusan ilmu pasti. Usaha untuk menjembatani jurang wawasan sedang di buat di program S3,
tapi tidak semua IAIN dapat menawarkan hal ini. Karena ada keterbatasan dalam artian para
pengajar yang paham dan sudah menguasai ilmu islam, sekaligus ilmu sosial dan kemanusian
kontemporer. Biarpun demikian, siapapun yang yang sanggup menawarkan hal itu, akan
menghadapi berbagai kesulitan, karena terlepas dari keterbatasan SDM yang ada, pola pikir
mahasiswa S1 terlalu kaku saat mempelajari text normatif tanpa meraba pandangan ilmu dan
teknologi, ilmu sosial ataupun kemanusian.

Isu-isu kemasyarakatan, politik, ekonomi, pluralitas agama, militer, gender, lingkungan,


studi sosial dan kemanusian kontemporer posmoderen begitu pula metode dan pendekatan
yang menyertai mereka yang tergambarkan pada lapisan ke - 4 hampir tidak tersentuh oleh
studi islam di Indonesia, khususnya di IAIN dan STAIN. Pernyataan seperti “menjadi alim hari ini,
adalah menjadi alim yang inklusif” masih terdengar tak masuk akal, tidak terpikirkan, dan diluar
penalaran tradisi ilmu-ilmu di lapisan ke - 2, sekalipun begitu di era globalisasi informasi seperti
sekarang memaksa masyarakat agamis modern untuk berfikir seperti ini. Benar juga apa yang
dinyatakan Ibrahim musa pada awal artikel ini, dimana di pengantar buku Fazlur Rahman,
kebangkitan dan reformasi dalam Islam: Studi Fundamental Agama, dia menyatakan:

… telah munculnya pertanyaan dari bidang hubungan internasional, politik dan


ekonomi, tidak berarti bahwa pelajar keagamaan harus menjadi ilmuan ekonomi
atau politik. Tetapi bagaimanapun juga, studi keagamaan akan menderita jika
wawasannya tidak menyertakan pengetahuan bagaimana wacana dalam politik,
ekonomi dan budaya berdampak pada pelaksanaan agama dan sebaliknya.

Hal ini bisa ditafsirkan dalam artian bahwa setelah kita mengutarakan berbagai macam isu yang
berkaitan dengan hubungan internasional, politik dan ekonomi, tidak berarti bahwa akademisi
dan sarjana agama (termasuk sarjana agama Islam) harus menjadi ahli ekonomi atau ahli ilmu-
ilmu politik. Walaupun demikian, studi keagamaan (termasuk studi Islam) akan mengalami
kesulitan luar biasa –jika tidak di sebut menderita- bila wacananya tidak menghiraukan dan
tidak mempertimbangkan bagaimana wacana perkembangan politik, ekonomi dan budaya
berpengaruh terhadap pelaksanaan dan kelakuan dari bidang agama dan sebaliknya.

Lebih jauh lagi, kesulitan ini akan semakin sukar dengan adanya realitas lapangan bahwa
studi keagamaan (baca:studi Islam) benar-benar tidak dikontruk sedemikian rupa supaya bisa
bergabung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendahulukan keahlian-keahlian
yang melapangkan kehidupan – tidak hanya sekedar memenuhi peran pemerintah dengan kata
lain persyaratan dari departemen birokrasi agama. Ilmu pengetahuan dan teknologi terpisah
jauh dari inti ilmu nash (qouliyah), dan masing-masing berdiri sendiri, tanpa kontak atau
interaksi apapun. Kenyataannya, hal ini sering terjadi, bahwa studi islam yang selama ini di
ajarkan hampir tidak menyertakan lulusannya dengan keahlian yang dibutuhkan untuk
menjaga, mengembangkan, mengawasi dan mengatur moralitas dan kesalehan masyarakat
umum. Fenomena ini tentu saja tidak menguntungkan bagi para semua pelajar dalam istilah
yang lebih luas yaitu dalam suatu negara, karena dari awal sudah menyimpang dari pola inti
saat mengajari AQ, yang selalu menggabungkan ilmu-ilmu umum dan studi keagamaan.
Bukankah ulmuddin, kauniyyah, insaniyyah, tarikh, falsafah, akhlak bersatu dalam
perbendaharaan kata AQ sehingga perlu diselidiki dan dikembangkan dengan cara-cara yang
terpadu dan seimbang.

Bila kita petakan sejarah perkembangan studi islam di lembaga keagamaan ketiga di
Indonesia, sebagian di S1 dan S2,S3 sekurangnya ada 4 periode yang sudah terlewati. Periode
ke - 1 sebelum 1950. Periode ke – 2 antara 1951 - 1975, diikuti periode ke – 3 antara 1976 –
1995 dan yang terakhir diikuti periode ke – 4, yang dimulai pada tahun 1996 dan masih
berlanjut mencari bentuk yang matang. perjuangan metodis antara 4 periode bisa digambarkan
sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai