Pada kondisi sekarang ini, aktivitas akademis pada lembaga keagamaan ketiga seperti
IAIN dan STAIN diseluruh Indonesia hanya terfokus dan terbatas pada lapisan ke - 1 dan ke - 2
dari lingkaran (kalam, filsafat, tasawuf, hadist, tarikh, fiqh, tafsir, lughoh). Dan bahkan hanya
terbatas sampai pendekatan kemanusiaan klasik. IAIN dan STAIN pada umumnya belum bisa
masuk ke dalam diskusi studi sosial, kemanusian kontemporer dan kombinasi studi islam
dengan disiplin ilmu yang tergambar pada lapisan ke - 3 (antropologi, sosiologi, psikologi,
filosofi dan variasi pendekatan lain yang ditawarkan). Hasilnya, muncul jurang yang tidak
terjembatani dalam hal wawasan akademis antara ilmu islam klasik dan ilmu islam terbaru yang
mengambil celah dari analisis studi sosial dan kemanusiaan kontemporer.
Hal ini bisa ditafsirkan dalam artian bahwa setelah kita mengutarakan berbagai macam isu yang
berkaitan dengan hubungan internasional, politik dan ekonomi, tidak berarti bahwa akademisi
dan sarjana agama (termasuk sarjana agama Islam) harus menjadi ahli ekonomi atau ahli ilmu-
ilmu politik. Walaupun demikian, studi keagamaan (termasuk studi Islam) akan mengalami
kesulitan luar biasa –jika tidak di sebut menderita- bila wacananya tidak menghiraukan dan
tidak mempertimbangkan bagaimana wacana perkembangan politik, ekonomi dan budaya
berpengaruh terhadap pelaksanaan dan kelakuan dari bidang agama dan sebaliknya.
Lebih jauh lagi, kesulitan ini akan semakin sukar dengan adanya realitas lapangan bahwa
studi keagamaan (baca:studi Islam) benar-benar tidak dikontruk sedemikian rupa supaya bisa
bergabung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendahulukan keahlian-keahlian
yang melapangkan kehidupan – tidak hanya sekedar memenuhi peran pemerintah dengan kata
lain persyaratan dari departemen birokrasi agama. Ilmu pengetahuan dan teknologi terpisah
jauh dari inti ilmu nash (qouliyah), dan masing-masing berdiri sendiri, tanpa kontak atau
interaksi apapun. Kenyataannya, hal ini sering terjadi, bahwa studi islam yang selama ini di
ajarkan hampir tidak menyertakan lulusannya dengan keahlian yang dibutuhkan untuk
menjaga, mengembangkan, mengawasi dan mengatur moralitas dan kesalehan masyarakat
umum. Fenomena ini tentu saja tidak menguntungkan bagi para semua pelajar dalam istilah
yang lebih luas yaitu dalam suatu negara, karena dari awal sudah menyimpang dari pola inti
saat mengajari AQ, yang selalu menggabungkan ilmu-ilmu umum dan studi keagamaan.
Bukankah ulmuddin, kauniyyah, insaniyyah, tarikh, falsafah, akhlak bersatu dalam
perbendaharaan kata AQ sehingga perlu diselidiki dan dikembangkan dengan cara-cara yang
terpadu dan seimbang.
Bila kita petakan sejarah perkembangan studi islam di lembaga keagamaan ketiga di
Indonesia, sebagian di S1 dan S2,S3 sekurangnya ada 4 periode yang sudah terlewati. Periode
ke - 1 sebelum 1950. Periode ke – 2 antara 1951 - 1975, diikuti periode ke – 3 antara 1976 –
1995 dan yang terakhir diikuti periode ke – 4, yang dimulai pada tahun 1996 dan masih
berlanjut mencari bentuk yang matang. perjuangan metodis antara 4 periode bisa digambarkan
sebagai berikut: