Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Salwa Gurda

NIM : 1201040103
Hal : UTS_Analisa psikoterapi terhadap autobiografi

Hi, aku akan menceritakan sedikit tentangku dan kisah hidupku di masa remaja. Aku
adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Jarak antar saudara diantara kami ialah 5 tahun 1
bulan, perhitungan yang mudah. Di usia kurang lebih 5-6 tahun, dimana ingatanku mulai
konkret dan aku mulai bisa mengingat pengalaman hidup dengan baik, kedua orang tuaku lolos
PNS dan ditugaskan di Cirebon. Atas berbagai pertimbangan, aku tetap tinggal bersama nenek
& kakek serta kakak-kakak ku di Bandung. Sehingga sejak usia tersebut aku berada jauh dari
sosok ibu dan ayah, hanya bertemu satu pekan atau dua pekan sekali. Di usia 9, kakak paling
tua mulai ikut tinggal bersama orang tua, dan kakak kedua mulai tinggal di pesantren. Sehingga
aku menjadi satu-satunya anak di rumah nenek. Ya, aku adalah anak didikan kakek & nenek,
banyak hal baik secara sadar maupun tak sadar aku pelajari dari mereka. Contoh yang paling
mudah kuingat adalah sifat nenek yang suka memendam perasaan. Aku tumbuh bersama
nenek yang plegmatis, mandiri, dan pandai ilmu manajerial. Beranjak usia 12 tahun, aku mulai
tinggal bersama saudara hingga selesai SMP. Tentu, kesempatan bertemu dengan orang tua
masih sama, seperti ketika aku masih kecil.
Beranjak SMA, aku melanjutkan studiku di MAN 1 Cirebon. Untuk pertama kalinya (lagi)
aku tinggal seatap dengan orang tua untuk kurun waktu yang lama. -Nah, baru nih ku mulai
ceritain kisah remaja ku- Sekolahku, merupakan tempat yang sama dengan tempat ibu dan
ayahku mengajar. Tidak nyaman memang berada di sekolah dimana ibu dan ayah mu berada di
tempat yang sama. Hidup merasa diawasi dari dekat dan sulit untuk mengekspresikan diri
adalah beberapa hal yang kurasakan. Menghadapi ekspektasi-ekspektasi ‘anak guru’ menjadi
tantangan tersendiri buatku. Aku sempat larut dalam tuntutan-tuntutan abstrak tersebut,
membuatku menjadi people pleaser yang selalu berupaya tampil menjadi ‘anak baik’ di depan
banyak orang. Apa itu yang kuinginkan? Apa itu caraku bergaul dan bersosial? Tidak,
pertimbangan tentang ‘nama baik’ selalu terlintas hampir di banyak aktivitas/aksi yang mau
kulakukan. Beruntungnya, aku berada di lingkungan kelas dan bergabung dalam beberapa
organisasi yang menerimaku apa adanya. Sebagian besar dari teman-teman kelas dan
organisasiku, memperlakukanku sebagai ‘Gurda’ tanpa melekatkan stereotype ‘anak guru’
kepadaku. Menghabiskan waktu dan banyak berinteraksi dengan orang-orang yang
memperlakukanku seperti itu membantuku untuk jujur pada diri sendiri, dan bertindak sebagai
diriku sendiri, bukan lagi sebagai people pleaser.
Singkat cerita, masa SMA sudah kulalui, waktunya menentukan jenjang selanjutnya. Aku
dan teman-temanku tentu saling berbagi ide, minat, dan informasi mengenai perguruan tinggi
mana yang cocok dan kami inginkan. Aku dan sahabatku mencoba mendaftar SNMPTN di
kampus pendidikan ternama, namun sayang belum berjodoh. Perjuangan berlanjut ke jalur
pendaftaran lain yang tersisa. Di masa tersebut, aku merenung lama, tentang episode hidupku
selanjutnya. Aku mulai membandingkan diriku dengan kakak-kakak ku, yang berhasil berkuliah
di kampus ternama, mendapat beasiswa, dan memiliki karir serta jenjang pendidikan lanjut yang
baik. Keputusan out of the box muncul di dalam kepalaku, aku memutuskan untuk bekerja
(magang) di Jepang sambil mengambil kuliah kelas karyawan. Aku termotivasi untuk meraih
sukses dengan jalanku sendiri, agak nyentrik dengan kakak-kakakku.
Keputusan tersebut kubicarakan dengan orang tua, ajaibnya mereka setuju. Pelatihan
kerja untuk magang ke Jepang kujalani selama kurang lebih 4 bulan. Bahasa Jepang, latihan
fisik, latihan kompetensi kerja, semua aku kerjakan. Pada masa ini aku benar-benar fokus pada
apa yang kupelajari, sambil membangun mental untuk menerima dan bertanggung jawab
dengan keputusanku sendiri. Banyak pertanyaan dari orang sekitar mengenai situasi dan
keadaan nanti ketika bekerja di Jepang, cuaca yang ekstrem, etos kerja yang tinggi, juga
budaya yang berbeda. Namun aku menghiraukan semua kerisauan itu, karena hal tersebut
belum terjadi. Aku lebih memilih untuk fokus pada proses yang sedang kujalani, sembari
memperkuat kepercayaan diri juga ketahanan mental. Akhir cerita, setelah sekian tes masuk
magang yang diikuti, hasil tidak berpihak pada usaha yang telah kujalani. Menerima kenyataan
tersebut, dengan berat hati dan diskusi panjang bersama orang tua, akhirnya aku
mengurungkan niatku untuk magang dan memutuskan untuk mengambil tempat di bangku
kuliah.

Analisa Psikoterapi

Paragraf pertama, penulis akan mengupasnya dengan mengacu pada teori sibling relationship
dan life style Alfred Adler.
Dikatakan dalam teorinya Alfred Adler tentang sibling relationship, bahwa anak bungsu tumbuh
dengan kondisi orang tua yang sudah jauh lebih tenang dibanding dengan kondisi ketika
kakak-kakaknya tumbuh. Dia punya banyak contoh atau teladan, juga mendapat perhatian dari
banyak orang. Anak bungsu cenderung dimanjakan, dan mendapat bantuan dari kakaknya.
Pada kasus ‘aku’ yang seorang bungsu, dia tidak betul-betul mendapat perhatian melimpah
seperti apa yang dibicarakan Adler. Karena pada situasinya, dia ditinggalkan oleh orang tuanya
untuk urusan pekerjaan, sehingga ketergantungannya kepada orang tua tidak sebesar anak
yang sering bertemu dan lebih sering dimanja. Pada kasus ini, ‘aku’ kecil tinggal dan
bergantung pada kakak-kakak dan neneknya.
Gaya hidup (lifestyle) nenek yang mandiri dan dengan sengaja mendidik cucu-cucunya
mengurangi rasa manja dalam diri si bungsu, dan meningkatkan kemandiriannya. Sehingga
keputusan untuk melanjutkan SMP dengan tinggal bersama saudara bukan keputusan yang
berat untuk ia ambil. Adler menjelaskan tentang gaya hidup, bahwa gaya hidup sudah mulai
terbentuk sejak usia 4-5 tahun dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, bercampur dengan
pengalamannya, dan cenderung sulit diubah. Sang ‘aku’ dalam biografi di atas tumbuh bersama
nenek yang plegmatis cinta damai yang suka mengalah dan pemendam, sehingga besar-kecil
figure nenek tersebut mempengaruhi gaya hidup ‘aku’ sebagai role modelnya dengan intensitas
yang cukup banyak ketika kecil.

Paragraf kedua, penulis akan mengupas paragraf ini dengan bersandar pada teori Carl Rogers
mengenai incongruence.
Pada paragraf ini ‘aku’ bercerita mengenai bagaimana konflik batin yang dialaminya mengenai
kepribadian yang ia idamkan dengan kepribadian yang ia tampilkan. Kejadian ini dinamakan
incongruence karena ideal self nya tidak kongruen dengan true self nya, alhasil akan
menimbulkan suatu kecemasan dan perilaku yang menyimpang. Contohnya pada biografi di
atas, sosok ‘aku’ berubah menjadi people pleaser yang selalu berusaha menampilkan figur
‘anak baik’ sehingga tingkah laku dan ekspresi dirinya menjadi lebih terbatas. Beruntungnya dia
dipertemukan dengan lingkungan yang menerima, dan kesediaan sang ‘aku’ untuk membuka
diri dan jujur membantu menyeimbangkan ideal self dan true self dalam dirinya, sehingga
ditelisik dari kisahnya, sosok ‘aku’ bisa menjadi pribadi yang congruence.

Paragraf ketiga, pada paragraf ini penulis akan mengupas cerita dalam autobiografi di atas
dengan bersandar pada teori strive for superiority dari Alfred Adler.
Salah satu grand theory dari Alfred Adler ialah bahwa manusia itu memiliki pembawaan lemah /
inferior dan selalu berjuang untuk mencapai superioritas. Dilihat dari teks autobiografi, dapat
diambil informasi bahwa sang ‘aku’ merasa inferior terhadap kakak-kakaknya dengan
membandingkan dirinya dengan mereka. Alhasil muncul keputusan darinya untuk mencapai
superior dengan cara yang berbeda dari kakak-kakaknya, yaitu opsi kerja sebagai TKI di
Jepang. Jalan pemikirannya hingga muncul opsi seperti itu juga benar-benar menggambarkan
karakteristik anak bungsu yang ambisius ingin mengimbangi atau mengungguli
saudara-saudaranya.

Paragraf keempat, pada paragraf terakhir ini, penulis akan mengupasnya dengan bersandar
pada teori Gestalt, tentang tanggung jawab dan konsep here and now.
Sosok ‘aku’ nampak bertanggung jawab dengan keputusan yang dibuatnya. Dibuktikan dengan
masuknya ia ke dalam pelatihan magang tenaga kerja Jepang hingga hitungan kurang lebih 4
bulan. Hal ini sejalan dengan konsep Gestalt bahwa seseorang mesti bertanggung jawab atas
keberadaannya dan keputusan-keputusannya. Sosok ‘aku’ juga menceritakan tentang
bagaimana ia menghiraukan kerisauan tentang situasi kerja di Jepang yang ia dengar dari
orang di sekitarnya, dan lebih memilih untuk fokus pada apa yang sedang ia usahakan dalam
pelatihannya, menggambarkan aplikasi dari teori Gestalt tentang konsep here and now.
Bahwasanya jika seseorang terlalu memikirkan dan berfokus pada masalah di masa depan,
maka akan memunculkan penyimpangan berupa kecemasan.

Resources
Books
Alwisol. (2010). Psikologi Kepribadian-Edisi Revisi Cetakan Kesembilan. (UMM Press, Malang)
Nurihsan, Achmad Juntika. (2021). Teori dan Praktik Konseling. (PT Refika Aditama, Bandung)
Journal
Karina, N. K. G., & Herdiyanto, Y. K. (2019). Perbedaan regulasi diri ditinjau dari urutan
kelahiran dan jenis kelamin remaja Bali. Jurnal Psikologi Udayana, 79-88.

Anda mungkin juga menyukai