Anda di halaman 1dari 61

REMAJA DAN PERGUMULAN

JATI DIRINYA

oleh:

Andreas Neke, S. Ag, B. Th.

1|
KATA PENGANTAR

Pujian bagi Allah Tritunggal yang Agung dalam keesaan yang tak
terbagi untuk hari ini dan selama-lamanya, karena berkat tuntunan dan
bimbingan-Nya hingga karya kecil ini dapat menjadi sebuah buku seperti
yang Anda pegang sekarang ini. Buku ini awalnya merupakan Bahan Bina
Rohani1 yang pernah dipakai untuk membina para peserta didik di SMAS
Katolik St. Clemens Boawae.
Berdasar pada sebuah asa agar lebih berguna untuk lebih banyak
orang, kemudian disatukan menjadi sebuah buku. Isi buku ini berbicara
tentang remaja dan beberapa realitas yang dihadapinya. Uraiannya
merujuk pada aspek psikologis, yang selanjutnya mendapat pencerahan
filosofis dan disempurnakan dengan aspek biblis-teologis, yang dengannya
diharapkan agar menjadi lebih lengkap untuk membantu refleksi diri para
peserta didik.
Bila pada akhirnya pembaca menggunakannya sebagai bahan
bina remaja, skema buku ini bisa pula dikembangkan dalam bentuk
permainan dan cerita yang tentunya akan lebih menarik minat para
peserta didik. Semuanya akan sangat bergantung pada kreatifitas pembina
dalam meraciknya agar remaja atay peserta didik dapat sampai pada
penemuan jati diri yang semakin sempurna.
Pada akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa buku
sederhana ini masih sangat jauh dari sempurna. Di sana-sini masih perlu
koreksian dan diskusi lebih lanjut. Oleh karena itu, untuk segala kritik dan
saran demi penyempurnaannya dihaturkan banyak terima kasih.

Boawae, Asrama Bukit: 11 Juni 2013


Penulis
Andreas Neke

1 Bina Rohani merupakan salah satu bidang pembinaan ekstrakurikuler yang

biasanya dibuat pada setiap akhir ulangan semester untuk kelas X dan XI, sedangkan untuk
kelas XII biasanya dalam bentuk retret yang dibuat di luar lingkungan sekolah.
2|
DAFTAR ISI

1. Remaja dan Identitasnya sebagai Pria dan Wanita


2. Remaja: Antara Cita-cita dan Cinta
3. Remaja dan Persahabatan
4. Remaja dan Sosialisasi Diri
5. Menjadi Remaja Unggul
6. Remaja Menyikapi Pornografi/Pornoaksi
7. Menjadi Remaja Mandiri
8. Mematri Kasih Meraih Prestasi

3|
REMAJA DAN IDENTITASNYA SEBAGAI PRIA DAN
WANITA

Prolog
Dunia remaja kerap diwarnai oleh beragam warna dan nuansa.
Warna dan nuansa ini sering menjadi hal yang menyenangkan dan
membahagiakan, tetapi sebaliknya bisa menyedihkan dan memilukan.
Satu hal yang pasti bahwa dunia remaja selalu saja menarik untuk dijalani
dan menarik pula untuk disimak dan digeluti lebih lanjut oleh mereka yang
mencintai dunia remaja.
Pergelutan dan pergumulan dunia remaja bertalian langsung
dengan pencarian identitas2 yang melekat di dalam diri remaja sendiri,
yang nota bene sedang mencari untuk menemukan identitas diri yang
sesungguhnya. Untuk membantu pencarian dan penemuan tersebut, tulisan
berikut akan menguraikan sedikit tentang identitas remaja, dan lebih lagi
remaja yang anak sekolah, dan anak sekolah yang remaja.

Identitas Manusia (Remaja)


Para psikolog sedikit banyak mengalami kesulitan untuk
merumuskan tentang apakah identitas 3 itu. Hal yang sama dialami oleh
Erik H. Erikson yang dikenal sebagai bapak dari istilah identitas dan krisis
identitas yang sekarang sering diicarakan oleh para ahli. Gagasan dasar
yang melekat dalam konsep identitas adalah siapakah saya, apakah saya

2
Identitas atau disebut juga jati diri.
3
Istilah ini pertama sekali dimunculkan oleh Erik H. Erikson. Lihat Erik H. Erikson,
Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 3. Diterjemahkan oleh Agus
Cremers.
4|
dan di mana tempat saya (who am I, what am I and where I belong to).
Namun demikian, identitas dapat dirumuskan sebagai berikut: 4
o Suatu inti pribadi yang tetap ada walaupun mengalami
perubahan bertahap dengan pertambahan umur dan perubahan
lingkungan
o Cara hidup tertentu yang sudah dibentuk pada masa-masa
sebelumnya dan menentukan peran sosial yang harus dijalankan
o Suatu hasil yang diperoleh pada masa remaja, akan tetapi akan
tetap mengalami perubahan dan pembaharuan
o Suatu kelangsungan di dalam diri dalam hubungannya ke luar diri
o Suatu persesuaian peranan sosial yang pada hakekatnya
mengalami perubahan
Dari gagasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa identitas
merupakan suatu penyatuan dari asas-asas, cara hidup, dan pandangan-
pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya. Penyatuan ini
menjadi inti diri seseorang yang menentukan cara meninjau diri sendiri
dalam pergaulan di luar dirinya.
Penyatuan itu sendiri merupakan sebuah proses perkembangan
yang makin jelas diarahkan ke luar dirinya, ke luar lingkungan keluarga,
kepada orang lain di sekitarnya, dan akhirnya kepada orang-orang dalam
masyarakat. Di sini remaja mulai melepaskan diri dari ikatan orang tua dan
membentuk cara hidup pribadi. Dan di sisi lain, remaja harus menemukan
suatu tempat yang dapat menerimanya dan memilih serta menjalankan
peranan sosial sesuai dengan tempat tersebut. 5
Dalam proses ini seorang remaja sedang bergerak menuju
individuisasi6 agar dapat berdiri sendiri, akan tetapi tetap harus dapat

4 Keseluruhan bagian ini disarikan dari Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D.

Gunarasa, Psikologi Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hlm. 94.
5 Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 99-100.
6
Kata individu berasal dari kata Latin: in (dalam) dan videre (membagi, memilah-
milah). Ini dapat diartikan bila seseorang bisa menjadi diri sendiri maka harus memilah-milah
5|
membina hubungan yang baik dengan lingkungannya. Ini penting
mengingat cara hidup seseorang sangat bergantung dari peran sosial sehari-
hari. Dan sebaliknya, cara seseorang menjalankan peranan sosial sangat
bergantung pada cara hidupnya sendiri. 7
Pada masa remaja seseorang mencoba untuk keluar dari dirinya.
Proses “keluar diri” ini menghadapkan remaja dengan aneka nilai, norma,
tata cara, dan adat-istiadat yang baru. Apa yang diyakini sebelumnya
mengalami keterguncangan. Remaja terancam oleh penemuan pandangan
dan pendapat baru. Remaja mengalami konflik-konflik baru. Ini
merupakan realitas yang harus dilalui dan dialami untuk menghasilkan
kepribadian yang harmonis dan dewasa.8
Ada dua faktor yang memungkinkan seorang remaja menentukan
identitasnya, yakni proses yang meliputi usaha untuk menolak dan
mengambil teladan dari tokoh identifikasi, dan proses melakukan peran
sosial. Ini dapat dirumuskan dalam dua kata penting yakni identifikasi dan
eksperimentasi.
Pada level identifikasi, seorang remaja meniru tingkah laku,
pandangan, pendapat, nilai-nilai, norma-norma, minat dan aspek-aspek
lain dari orang-orang tertentu yang diambil dan dijadikannya sebagai
bagian dari dirinya sendiri. Pada tingkat ini remaja akan memilih segala hal
yang paling sesuai bagi dirinya.
Sedangkan pada level eksperimentasi (mencoba-coba,
bertualangan), lingkungan menjadi laboratorium eksperimennya. Di sini
remaja memainkan peran sesuai dengan bakat dan kecenderungan
pribadinya. Singkatnya mereka bereksperimen sesuai dengan aneka peran
sosial.9

segala sesuatu yang berasal dari luar diri agar menjadi bagian dari dirinya sendiri ( a part of
self).
7 Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 100.
8
Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 102.
9
Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 103-106.
6|
Uraian di atas membantu kita untuk memahami identitas remaja.
Remaja pada dasarnya sedang dalam proses identifikasi. Di dalamnya
seorang remaja sedang “menjadi” dirinya sendiri dalam aneka perjumpaan
dengan beragam nilai, norma, tingkah laku, dan adat-istiadat.
Tahap ini kita sebut sebagai proses individuaisasi di mana seorang
remaja sedang bergulat dengan nilai lama yang diperolehnya dan nilai
baru yang sedang dijumpainya. Situasi ini menimbulkan keterguncangan.
Maka, agar menjadi pribadi harmonis yang terarah pada kedewasaan,
seorang remaja harus memiliki penyaring yang benar dalam dirinya.
Proses penyaringan/filterisasi ini mengharuskan adanya nilai,
norma, dan kebiasaan baik di dalam diri remaja. Dengan adanya nilai,
norma, dan kebiasaan yang baik ini, seorang remaja akan berkembang
menjadi dirinya yang terbaik (be his best self). Dan bila tidak, seorang
remaja akan jatuh dalam aneka tindakan yang ngawur/amburadul, yang
pada hakekatnya akan menghantar remaja pada kehancuran dan
malapetaka.

Identitas Remaja Pria dan Wanita


Remaja dalam proses individuasinya mengalami bahwa dirinya
harus berhadapan dengan sesama jenis lain (pria/wanita). Kenyataan ini
menimbulkan sebuah persoalan yang serius. Di satu sisi ada perasaan malu
(malu-malu kucing) dan di sisi lain ada daya tarik dan pesona yang
mengundang untuk menyapa dan mendekatinya. Pada kenyataan yang
demikian, perlulah disadari bahwa realitas daya tarik ini terbatas pada
ketertarikan pesona fisik. Seorang pria tertarik kepada seorang wanita
karena “anu-nya” atau karena “ono-nya” semata (cantik atau ganteng).
Kualitas ini tentu sangatlah dangkal dan terbatas untuk
mengartikannya sebagai sebuah ungkapan cinta. Ini bertalian langsung
dengan gejala fisik dan gejolak psikologis yang melekat dalam diri remaja

7|
pria dan wanita. Oleh karena itu kita perlu memahami kedua realitas ini
(biologis-psikologis) secara baik dan benar.
Pertama-tama harus dipahami bahwa pria dan wanita berbeda
satu sama lain, baik dari aspek biologis maupun aspek psikologisnya. Kita
tahu dan dapat menyebut perbedaan fisik-biologis tersebut, sedangkan dari
aspek psikologis perbedaan itu menyangkut cara berpikir, perasaan, alur
dan selera seks, serta sikap dan tindakan.
Perbedaan ini melahirkan daya tarik untuk menyatu satu sama
lain, dan di sisi lain melahirkan beragam pertanyaan yang mesti segera
dijawab. Bila tidak, seorang remaja cenderung larut dalam khayalan dan
fantasi yang berkepanjangan sehingga dapat menghabiskan banyak waktu
dan energi untuk sesuatu yang jelas-jelas tak berguna sama sekali. Ini
tentunya akan sangat merugikan diri remaja dan dapat pula mengancam
masa depannya.
Realitas perbedaan ini juga kerap menimbulkan cemoohan dan
bahan ejekan. Atau yang lebih ekstrem lagi, seorang remaja bahkan
menjadi minder dengan realitas dirinya sendiri. Bila hal inilah yang terjadi,
kiranya perlu sebuah penyadaraan yang baru akan realitas diri agar dapat
berkembang dan bertumbuh lebih harmonis dan matang menuju
kedewasaan.
Identitas remaja pria dan wanita melekat dengan kekaburan yang
sedang mereka alami. Ruthellen Josselson menyatakan bahwa dalam diri
remaja tumbuh rasa mempunyai kekuatan karena mereka mulai
mengalami kebebasan dan otonomi yang semakin besar. Rasa memiliki
kekuatan ini menyebabkan mereka bertindak seenak mereka sendiri,
sementara dalam waktu yang sama mereka menunjuk kekurangan dan
cacat-cacat orang lain. Akibatnya sering terlibat dalam perilaku yang

8|
merusak dan mengganggu orang lain untuk memaksa orang lain agar
memperhatikan dan mengakui mereka.10
Pada realitas kekaburan tersebut, remaja menunjukkan
mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism). Mekanisme
pertahanan diri ini merupakan sikap untuk mengurangi kecemasan
mereka. Aneka mekanisme pertahanan diri itu seperti: 11
o Pelarian diri sementara (temporary escape): mencakup kegemaran
yang berlebihan seperti menjadi kutu buku, gemar pesta-pesta,
mabuk-mabukan, menonton TV, dll. Ini bertujuan untuk
mengimbangi rasa kabur yang merasuki hidup mereka.
o Beberapa orang muda menemukan “barang pengganti”
(substitute): menemukan kepuasan dalam peran-peran tertentu
lewat jago olahraga, pemimpin atau pelajar teladan. Ini
memberikan kelegaan atas kekaburan yang ada. Bisa juga
terwujud pada pemujaan barang-barang material: berpakaian
bagus, memiliki sepeda motor mutakhir.
o Melakukan kegiatan-kegiatan seperti ngebut-ngebutan dan
kegiatan-kegiatan aneh lainnya. Semua ini dibuat untuk
mengurangi kekosongan yang ada. Pengalaman berkelompok
dapat mengisi kekacauan dan rasa kosong mereka. Mereka juga
berkecenderungan mempersalahkan dan menghakimi orang lain,
karena menganggap diri lebih berarti dan lebih baik dari orang
lain.
o Melibatkan diri dalam tindakan sia-sia seperti berjudi dan
tindakan-tindakan lainnya yang tercela. Pada saat ini mereka
setuju dengan aneka tindakan tanpa makna serta

10 Charles M. Shelton, Adolescent Spirituality, Pastoral Ministry for High School and

College Youth (Chicago: Loyola University Press, 1983), hlm. 69.


11
Charles M. Shelton, Adolescent …, hlm. 77-79.
9|
menganggapnya sah dan wajar-wajar saja. Ini dibuat untuk
melegitimasi tindakan tanpa makna tersebut.
o Mengambil nilai-nilai yang bertentangan dengan otoritas atau
masyarakat untuk kemudian menyimpang dari padanya. Mereka
meyakini “identitas negatif” lewat tanggapan yang berbeda dari
orang tua/masyarakat. Ini bertalian dengan penolakan mereka
terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.
Realitas di atas mengantar kita kepada sebuah kesadaran, apakah
remaja mau membentuk identitas diri yang negatif atau sebaliknya mau
membentuk identitas diri yang positif? Kiranya kita sepakat bahwa tak
seorangpun mau disebut penjahat dan pengacau. Kita mau disebut dengan
sebutan/predikat yang baik, karena pada dasarnya kita adalah orang-
orang yang seharusnya baik.12
Penyadaran ini mengantar remaja kepada martabat asalinya
sebagai pria dan wanita yang bermartabat. Untuk menyadari identitas
martabat asali tersebut, gagasan Kej 1:26-31 kiranya akan sangat
membantu pemahaman yang benar atasnya:13 Poin-poin penting yang
terkandung dalam gagasan Kej adalah sebagai berikut:
1. Ada dialog. Ini berarti bahwa waktu menciptakan manusia,
Allah merencanakannya. Sedemikian istimewanya manusia
sehingga Allah perlu merencanakan penciptaannya dengan
baik
2. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya,
menurut citra-Nya sendiri (Kej 1:26)
3. Waktu menciptakan manusia, Allah perlu bekerja secara
khusus. “Tuhan Allah membentuk manusia dari debu dan tanah

12
Bandingkan gagasan filosofis: omnes ens est bonum, verum et pulchrum (segala
sesuatu dalam dirinya adalah baik, benar dan indah.
13
Mary G. Durkin, “In the Image of God: Pope John Paul II on Human Sexuality”
(Part 3) dalam Pastoral Life, vol. xxxi, no. 8, September 1982.
10 |
dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya” (Kej
2:27)
4. Segala sesuatu termasuk taman Firdaus diserahkan oleh Allah
untuk manusia (Kej 1:26)
5. Manusia diciptakan sungguh amat baik
6. Manusia diberi mandat/kuasa, bukan untuk mengeksploitasi
tetapi untuk menyempurnakan penciptaan. Manusia adalah
co-creator Dei (rekan Kerja Allah)
7. Mengikuti gagasan raja yang mengenakan pakaian kebesaran
– mahkota - : manusia adalah mahkota/puncak segala ciptaan
karena diciptakan pada hari terakhir dalam keseluruhan proses
penciptaan

Gambaran perikop Kej di atas menegaskan kembali identitas kita


sebagai manusia, termasuk sebagai remaja pria dan wanita. Manusia (pria
dan wanita - remaja pria dan wanita) diciptakan sungguh amat baik.
Manusia teramat mulia dan berharga. Inilah status asali kita sebagai anak-
anak Allah.
Status ini kiranya dipertahankan dalam keseluruhan hidup kita
dengan bersikap sebagai seorang remaja pria dan wanita yang
bermartabat. Bila tindakan kita menyimpang dari martabat asali kita,
dengannya kita telah merendahkan/menurunkan martabat kita sebagai
citra Allah (imago Dei-gambar Allah).
Ingatlah bahwa setiap tindakan manusia menunjuk pula pada
siapakah dirinya yang sesungguhnya (agere sequitur esse). Tindakan
mencuri, membunuh, merampok, dll dengan jelas menunjukkan siapakah
orang tersebut. Demikian halnya tindakan memaafkan, memberi
tumpangan kepada tamu, dll dengan jelas pula menunjuk siapakah
individu yang melakukan tindakan tersebut.

11 |
Epilog
Masyarakat dan orang kebanyakan akan selalu bangga melihat
anak yang baik dan santun. Sebaliknya, akan dengan sangat mudah
mencela dan menista perbuatan yang tidak seharusnya diperbuat oleh
individu tertentu. Sebagai seorang remaja, sejatinya akan dihargai dan
dihormati sejauh tindakan mereka berharga dan terhormat. Demikian
berarti seorang remaja senantiasa ditantang dan dituntut untuk belajar
dan bertindak sebagai seorang yang patut dihargai dan dihormati karena
memang kita adalah orang yang bermartabat. Perwujudannya adalah
mengubah identitas negatif dengan membangun dan menata identitas diri
yang positif agar dihargai dan dihormati sebagai seorang yang
bermartabat.

Boawae, Asrama Bukit, 13 Juni 2012

12 |
REMAJA: ANTARA CITA-CITA DAN CINTA

Masa remaja adalah masa pencarian dan penemuan jati diri


sebagai seorang pria dan wanita yang sejati. Masa ini disertai oleh
kegairahan, yang ditandai oleh energi yang meluap-luap dan gelora yang
menggebu-gebu. Ini mencakup juga kegairahan dan gelora untuk meraih
cita-cita dan menoreh kisah cinta. Maka, tulisan berikut akan menguraikan
tentang keduanya yang akan mengerucut pada idealitas yang seharusnya
dihidupi oleh seorang remaja yang sedang mengenyam pendidikan di
bangku sekolah.

Remaja yang Anak sekolah


Tak dapat dipungkiri bahwa remaja yang anak sekolah
berhadapan langsung dengan dua hal pokok yaitu cita-cita dan cinta. Dua
hal ini sering berjalan berbarengan, dan serentak dengannya dapat pula
saling bertolak belakang satu sama lain.
Dikatakan berbarengan karena dalam cita-cita ada cinta, dan
dalam cinta ada cita-cita. Sedangkan dikatakan bertolak belakang bila
seorang remaja lebih mengutamakan cita-cita dengan melupakan cinta,
atau sebaliknya lebih mengutamakan cinta dengan mengabaikan cinta.
Tak jarang bila seorang remaja yang lebih memprioritaskan cita-
cita dan melupakan cinta, kerap akan diejek dan bahkan dijauhkan oleh
teman-teman. Mereka ini akan dikatakan “tak gaul, atau bahkan tak
laku”.
Sebaliknya bila seorang remaja yang lebih memprioritaskan cinta
dengan mengabaikan cita-cita akan dikatakan sebagai playboy/playgirl.
Atau yang lainnya, bila mengutamakan cinta tetapi tidak disertai dengan
kecerdasan intelektual akan dikatakan “modal tampang, otak kosong”.
Rasa-rasanya menjadi seorang remaja berada pada posisi yang serba salah.

13 |
Kemudian lahirlah pertanyaan, manakah yang harus menjadi
prioritas: cita-cita atau cinta, atau cita-cita dan cinta? Jawabannya tentu
akan sangat bergantung pada hal mana yang menjadi orientasi dan
prioritas hidup seorang remaja itu sendiri!

Remaja dan Cita-cita


Orang bijak mengatakan bahwa rahasia sebuah kesuksesan sangat
bergantung pada orientasi untuk “menatap suatu cita-cita”. Ini lahir atau
timbul dari dalam diri seseorang, yang di dalamya disertai pula oleh ambisi,
keyakinan, dan keberanian untuk menanggung resiko.
David J. Scwartz dalam buku The Magic of Thinking Big
menegaskan bahwa yang terpenting bukanlah di mana anda kemarin,
tetapi ke manakah anda esok. Hari esok kiranya menjadi orientasi utama
tanpa harus mengabaikan masa lampau dan masa kini, yang tentunya
berperan pula dalam pembentukan masa depan seseorang.
Yang penting di sini adalah semangat dan antusiasme, pemberian
diri, selalu menambah pengetahuan, dan berani membuat rencana yang
besar. Keempat hal ini berkaitan erat satu sama lain. Semangat dan
antusiasme merupakan dorongan dari dalam diri seseorang. Dorongan ini
disertai pula oleh kesadaran terhadap suatu hal yang akan dilakukan.
Dorongan ini merupakan energi positif yang menggerakkan seseorang
untuk menggapai sesuatu. Di dalamnya ada minat yang besar terhadap
sesuatu hal yang memampukannya untuk meraih hal tersebut.
Dalam semangat dan antusiasme harus ada pemberian diri (self
giving). Pemberian diri merupakan tindakan mendedikasikan diri untuk
menggapai hal tertentu. Tanpa pemberian diri sesuatu yang diharapkan
tak akan pernah diperoleh. Dalam pemberian diri ini pula tersimpan
kemauan untuk mengorbankan sesuatu yang tidak perlu demi sesuatu
yang lebih perlu. Dan demi sesuatu yang lebih perlu ini seseorang harus

14 |
mampu mengabaikan segala hal termasuk itu kesenangan-kesenangan
yang bersifat sesaat saja.
Semangat/antusiasme dan pemberian diri akan mewujud dalam
tindakan selalu menambah pengetahuan. Dalam upaya untuk selalu
menambah pengetahuan tersirat keinginan untuk belajar secara terus-
menerus. Ini berdasar pada perasaan dan keyakinan bahwa diri sendiri tak
mengetahui banyak hal atau kurang memiliki pengetahuan. Hal yang
terakhir ini akan memampukan seseorang untuk senantiasa menggali dan
menemukan hal-hal baru dalam hidupnya. Dalam keinginan untuk
menambah pengetahuan, seseorang dimampukan untuk senantiasa
berusaha guna memahami sesuatu sesudah melihat, menyaksikan dan
mengalami sesuatu itu.
Dan pada akhirnya antusiasme, pemberian diri, dan selalu
menambah pengetahuan harus disertai pula oleh keberanian untuk
membuat rencana yang besar. Daniel Burham mengatakan, “Jangan sekali-
kali membuat rencana yang kecil. Rencana yang kecil tidak dapat
mempengaruhi orang. So, buatlah rencana yang besar dan hebat. Sekali
suatu rencana besar telah diperhatikan, ia tidak akan hilang lagi”. Rencana
dan rancangan berarti kesediaan untuk mengatur segala sesuatu terlebih
dahulu, memikirkan apa yang perlu dibuat, dan mempersiapkan segala
sesuatu yang perlu.
Ini penting dipahami guna masa depan yang lebih baik. Masa
depan seseorang adalah tanggung jawab orang yang bersangkutan. Wajah
Anda adalah tanggungjawab Anda. Ini berarti bahwa masing-masing
individulah yang menentukan hendak menjadi apa individu tersebut kelak.
Keberhasilan dan kegagalan adalah tanggung jawab Anda. Ini akan sangat
bergantung pada sejauh mana Anda memfokuskan diri Anda pada hal
yang menjadi prioritas masa depan Anda.

15 |
Remaja dan Cinta
Kahlil Gibran menulis, life without love is like tree without blossom
and fruit. Demikian bahwa cinta akan mendorong seseorang untuk
menjadikan hidupnya lebih berdaya guna dan bergairah.
Cinta adalah fenomena dan serentak dengannya merupakan
bagian dari realitas hidup manusia. Sebagai sebuah fenomena dan realitas
yang dialami menusia, tak mengherankan bahwa kata cinta ada dalam
aneka bahasa. Selain itu pula bahwa bahasa cinta telah dilukiskan dalam
aneka karya manusia baik dalam bidang psikologi, filsafat, seni, dan lain-
lain.
Tak dapat disangkal bahwa cinta dialami oleh semua manusia. Di
satu sisi, cinta bisa menjadi pemacu semangat untuk meraih suatu hal
tertentu, dan di sisi lain tak jarang orang menjadi patah semangat atau
bahkan bunuh diri karenanya.
Remaja tentunya akan mengalami realitas cinta. Yang terpenting
adalah kesanggupan mengolah perasaan dan potensi mencintai serta
menjadikannya sebagai daya positif untuk menggapai masa depan. Tetapi
bukan sebaliknya menghabiskan dan menyia-nyiakan waktu dengan
mengkhayalkan sesuatu yang tentunya belum pasti.
Pada kenyataannya realitas pencarian dan penemuan cinta pada
diri remaja masih disertai dengan kebimbangan dan ketakpastian.
Kenyataan yang demikian membuat remaja berada pada persimpangan
yang membingungkan.
Situasi yang demikian menuntut kesanggupan seorang remaja
untuk mengolahnya menjadi pengalaman yang positif supaya dapat
sampai pada penemuan cinta yang benar dan sejati. Bila tidak, maka
banyak waktu dan energi akan disalahgunakan untuk sesuatu yang pada
hakekatnya akan mengantar remaja pada kesiasiaan.

16 |
Belajar Memprioritas Misi Hidup
Bila membaca Kitab Suci Perjanjian Baru akan kita temukan
beberapa wanita di seputar kehidupan Yesus. Kita dapat menyebut
misalnya Maria, Marta, Maria Magdalena dan Wanita Samaria di Sumur
Yakub. Berhadapan dengan wanita-wanita ini, Yesus lebih menekankan
cinta universal dan bukannya cinta personal. Semuanya bisa Yesus lalui
karena kesanggupan-Nya memprioritaskan tujuan atau misi perutusan-
Nya. Bagi Yesus hal yang sekunder tidak boleh meniadakan yang primer.
Prinsip ini memampukan-Nya untuk tetap fokus pada tujuan/misi
perutusan-Nya.
Dale Carnegie menegaskan bahwa bila Anda ingin bahagia, Anda
harus mampu menentukan satu tujuan yang menarik perhatian Anda. Bagi
Anda, cita-cita dan cinta tentunya adalah tujuan yang menarik. Tetapi
patut disadari bahwa tak mungkin Anda dapat meraih kedua-duanya
secara bersamaan. Entah suka atau tak suka, Anda harus memprioritaskan
yang satu dan untuk sementara waktu harus mengesampingkan yang
lainnya sambil menunggu waktu dan tempat yang tepat.
Bagi Anda masing-masing, manakah yang menjadi prioritas hidup
Anda: cita-cita atau cinta. Bila status Anda sekarang sebagai seorang
pelajar, manakah yang seharusnya menjadi utama bagi Anda. Ingatlah
bahwa kesanggupan menentukan prioritas akan sangat membantu Anda
untuk mengejar mimpi menjadi sebuah kenyataan.
Pada akhirnya selamat menjadi remaja yang tahu akan apa yang
terpenting bagi masa depan Anda. Kiranya Anda tidak menyia-nyiakan
energi dan waktu Anda untuk hal-hal yang kurang/tidak berguna. Jangan
pula kesenangan dan kepentingan sesaat membuyarkan hal pokok bagi
hidup Anda.
Ciri seorang bijak terletak pada kemampuan dan kesanggupan
menempatkan diri secara tepat pada waktu dan tempat yang tepat. So,

17 |
selamat menjadi remaja yang tahu akan prioritas hidup. Belajarlah dari
pribadi Yesus yang tahu memprioritas hal penting dalam hidup-Nya.
Belajarlah pula pada-Nya yang mampu mengesampingkan hal yang
sekunder untuk menggapai hal yang primer.

Boawae, Asrama Bukit, 22 Desember 2012

18 |
REMAJA DAN PERSAHABATAN

Catatan Awal
Satu tema penting yang menyentuh langsung keseharian hidup
kita yakni persahabatan. Persahabatan menjadi satu topik penting untuk
didalami lebih lanjut, mengingat realitas hidup manusia sebagai makhluk
sosial, dan serentak dengannya bertalian langsung identitas remaja yang
adalah anak sekolah (dan anak sekolah yang remaja) yang sedang
menggapai masa depan bersama teman-teman. Dengan demikian,
gagasan berikut ini lebih merupakan hasil kajian dan refleksi perihal realitas
persahabatan di kalangan remaja.

Remaja dan Identitas


Para psikolog sepakat mendefinisikan masa remaja dengan
beragam ciri umum yang melekat di dalamnya. Erikson menyebut masa
remaja sebagai masa krisis identitas,14 dimana sedang dalam proses
pembentukan identitas diri (self identity), yang ditandai oleh identitas yang
tidak jelas. Remaja bukanlah anak-anak (walupun tindakannya terkadang
masih kekanak-kanakan) tetapi tidak dapat pula disebut dewasa
(walaupun ada remaja yang sikap dan tindakannya sangat kebapaan
atau keibuan).
Pada kenyataannya dalam diri remaja melekat kecenderungan
memberontak dan tak mau diatur. Wujud pemberontakan tersebut
tampak dalam ungkapan yang kerap terlontar , “Urus saja urusanmu”,
atau “Urusanku bukan urusanmu”. Ini menjadi ciri dasar pemberontakan

14
Istilah ini pertama sekali dimunculkan oleh Erik H. Erikson. Lihat Erik H. Erikson,
Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 3. Diterjemahkan oleh Agus
Cremers.
19 |
tersebut, yang akhirnya mengarahkan remaja pada sikap cuek dan acuh
tak acuh terhadap aturan dan orang-orang di sekitarnya.
Menarik juga menyimak gagasan yang menyebut bahwa remaja
adalah “generasi simpang empat”.15 Sebenarnya gagasan ini hendak
menekankan hal yang sama yakni bahwa remaja belum jelas arah
hidupnya dan sedang bingung hendak kemana.
Kecenderungan lain yang melekat di dalamnya adalah “penyakit”
asal ikut ramai dan serentak tak berani bertanggungjawab (mandiri,
berdikari) atas tindakannya sendiri. Remaja juga kerap diidentikan dengan
kenakalan. Perihal yang satu ini kerap terlontar bahwa remaja adalah
generasi ngawur dan amburadul yang kerap terlibat dalam tindakan KERA
(kenakalan remaja) dan bahkan sampai menjurus kepada tindakan
kriminal dan kejahatan moral.

Remaja dalam Kelompok


Identitas remaja sangat kentara dengan pembentukan kelompok-
kelompok. Realitas ini sangatlah mendasar mengingat kekaburan identitas
remaja sendiri. Kenyataan supaya mau diakui dan diterima oleh orang tua
dan yang lebih tua kerap melahirkan gejolak untuk “keluar rumah” alias
lepas dari kungkungan orang tua atau orang yang kerap mengaturnya.
Gerakan “keluar rumah” pada kenyataan lain mempertemukan si remaja
dengan remaja lainnya yang juga sedang mengadakan gerakan yang
sama.
Remaja kerap menggabungkan diri dalam kelompok teman-
teman sebaya. Rasa tidak diterima dan diakui serta kecanggungannya di
rumah tidak lagi menjadi persoalan dalam kelompok baru ini. Di dalamnya

15
Bandingkan gagasan Fransiskus Emanuel da Santos, Menjadi Sahabat Orang
Muda (Larantuka: Yanense, 2008), hlm. 93.
20 |
melebur kelemahan dan kekurangan serta kesanggupan dan kemampuan
yang sama.
Mereka tidak lagi mengalami perasaan diri kurang
(minderwaardigheids complex). Di sana tidak ada lagi penolakan karena
remaja yang lainnya juga mengalami hal yang sama. Jerawat yang tumbuh
berlebihan misalnya tidak lagi menjadi persoalan karena teman-teman
sekelompok juga mengalami hal yang sama. 16
Pada masa remaja kerap terjadi sulitnya komunikasi dengan
kawan remaja jenis lain (lawan jenis). Namun demikian perasaan kuatir
dalam berkomunikasi akan berkurang melalui kontak sosial di dalam
kelompok. Di dalamnya tidak akan ada omelan dan ejekan.
Singkatnya di dalam kelompok ada rasa aman dan terlindungi
dari ancaman dan gangguan dari luar. Rasa ini melahirkan perasaan yang
kuat dan bahkan teramat kuat antar anggota kelompok. Keyakinan ini
pada akhirnya kerap melahirkan kebenaran yang berlebihan atas apa
yang menjadi gagasan kelompok. 17 Ditambah lagi dengan keinginan untuk
diterima dan diakui sebagai anggota dalam kelompok ( in group),
membuat remaja nekat berbuat apa saja agar dapat diterima dan diakui
di dalamnya.18

Remaja dan Realitas Persahabatan


Berdasar pada uraian sebelumnya, kita dapat menyebut bahwa
persahabatan antar remaja terwujud dalam realitas kelompok. Di
dalamnya ada perasaan diterima dan menerima, diakui dan mengakui,
serta dilindungi dan melindungi.19

16 Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi Remaja (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1979), hlm. 94


17 Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95.
18
Bandingkan gagasan in groups dan out groups dalam konteks sosiologis
19
Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95.
21 |
Pada kenyataan yang demikian, remaja menemukan dirinya
dihargai, baik dalam sikap maupun dalam pikiran. Ini ditemukan dalam
kebersamaan dengan teman-temannya dan tidak ditemukan di tempat
lain. Maka realitas persahabatan cenderung terjadi dalam kelompok. 20
Dalam kelompok inilah apa yang tidak bisa dilakukan sendiri
menjadi mudah karena dilakukan bersama. Kenyataan ini mengharuskan
sebuah pemikiran, bila apa yang dilakukan itu bersifat positif dan
membangun kiranya perlu didukung dan dipertahankan, sebaliknya jika
bersifat negatif dan merusak kiranya perlu campur tangan orang yang
dapat meredahkan suasana. Orang yang dimaksud bisa berasal dari
anggota kelompok sendiri atau bahkan dari luar kelompok. 21
Karena kekuatan persahabatan remaja berada dalam kelompok,
kiranya di dalam kelompok ada figur-figur yang dominan untuk
didengarkan. Jika tidak ada figur kuat dalam kelompok, menjadi sulitlah
persahabatan dalam kelompok tersebut karena kemungkinan besar tidak
ada figur yang mampu mengontrol ide-ide dan tindakan-tindakan yang
liar dan ngawur.
Uraian di atas membolehkan beberapa kesimpulan penting perihal
remaja dan realitas persahabatan dalam kelompok: 22
o Kelompok remaja sulit ditiadakan karena para remaja
membutuhkan rasa aman dan perlindungan dari
kelompoknya
o Kelompok remaja memiliki sifat-sifat positif dalam hal
memberikan kesempatan yang luas untuk melatih
caranya bersikap, bertingkah laku, dan mengekspresikan
diri dalam realitas sosial

20
Fransiskus Emanuel da Santos, Menjadi Sahabat …, hlm. 93.
21
Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95.
22
Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95-96.
22 |
o Kelompok remaja memiliki segi negatif jika ikatan antara
mereka menjadi kuat sehingga kelakuan mereka menjadi
“over acting” dan energi mereka disalurkan ke tujuan
yang bersifat merusak

Kita juga pada akhirnya dihantar pada dua kesimpulan dasar


bertalian dengan realitas persahabatan remaja dalam kelompoknya, yakni
dampak positif dan dampak negatif seperti:
 Dampak positif
Terdapat hubungan horisontal (teman sebaya) yang
memungkinkan mereka boleh bersuara dan didengar oleh
teman-temannya. Mereka memiliki persatuan yang kuat,
dimana ada ikatan untuk saling melindungi dan
menyelamatkan. Kenyataan ini membentuk remaja yang
menghargai keberadaan orang lain, menaruh perhatian pada
kebutuhan orang lain, mempunyai pengalaman dalam
menciptakan relasi sosial yang baik, serta terlatih untuk
bekerja sama dengan orang lain. Singkatnya, remaja telah
mempunyai dasar untuk menjalin relasi dengan orang lain. 23
 Dampak negatif
Dampak negatif tidak hanya bertalian dengan diri remaja
tetapi juga menyangkut masyarakat luas 24 (komunitas
sekolah, lingkungan, RT, bahkan dalam skala besar: desa,
kecamatan). Kita bisa menyebut beberapa tindakan yang
dimaksud antara lain: ngebut-ngebutan, terjerumus dalam
NARKOBA dan seks bebas, pencurian, tawuran, ribut-ributan,
dll. Hal ini terjadi karena di dalam kelompok tidak ada figur
remaja yang mampu mengontrol teman-temannya yang

23
Fransiskus Emanuel da Santos, Menjadi Sahabat …, hlm. 100-101.
24
Fransiskus Emanuel da Santos, Menjadi Sahabat …, hlm. 101-102.
23 |
mempunyai kecenderungan yang buruk atau jahat. Walaupun
di dalam diri mereka terdapat banyak potensi positif, tetapi
karena tidak ada orang yang membimbing dan mengorganisir
mereka kepada aktivitas-aktivitas positif, terjadilah aneka
tindakan kejahatan yang menyebalkan. Di sini kita
menemukan bahwa di dalam aktivitas kelompok remaja,
mereka tidak terlatih untuk bekerja keras, tidak mempunyai
persiapan yang matang untuk masa depan, dan bahkan tidak
ada kepedulian untuk mengarahkan dan membimbing
mereka kepada masa depan yang lebih baik.

Persahabatan: Tinjauan Biblis-Teologis25


Persahabatan dalam Kitab Amsal adalah satu tema kecil dari
beragam tema lainnya. Tema tentang persahabatan dapat kita temukan
dalam Ams 16:28, “Orang yang curang menimbulkan pertengkaran, seorang
pemfitnah menceraikan sahabat yang karib”.
Tema ini ditemukan juga dalam 17:9, “Siapa menutupi
pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkitkan
perkara, menceraikan sahabat yang karib”. Dan akhirnya tema yang sama
ditemukan dalam 17:1726, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu,
dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran”.
Ams 16:28 berbicara tentang perbuatan jahat. Perbuatan jahat
yang dimaksud ialah berbohong/berdusta. Perbuatan ini pada hakekatnya
dapat merusak persahabatan. Yang dimaksudkan di sini bukanlah
mengasingkan, tetapi menciptakan perselisihan, dan memberi kesan

25 Keseluruhan bagian ini disarikan dari Andreas Neke, “Memaknai sebuah

Persahabatan (Refleksi atas Makna Persahabatan dalam Kitab Amsal dan Pepatah
Masyarakat Ngada)” dalam Flores Pos.
26
John Barton dan John Muddiman, The Oxford Bible Commentary (Oxford:
University Press, 2000), hlm. 406; bdk. Thomas P. McCreesh, OP, “Proverbs”, dalam Raymond E.
Brown, Joseph A. Fitzmyer dan Roland E. Murphy, The New Jerome Biblical Commentary
(London: Geoffrey Chapman, 1990), hlm. 454.
24 |
memisahkan seorang sahabat.27 Sejajar dengannya mau mengatakan
tindakan yang disengaja untuk merusak persahabatan lewat tindakan
menciptakan perselisihan dan meracuni kebenaran. 28
Ams 17:9 berbicara tentang seorang sahabat yang menanggung
penderitaan dalam diam lewat sikap menjauhkan pembalasan dendam.
Dia melupakan kesalahan yang dibuat oleh seorang sahabat demi cinta
kepada sahabatnya itu. Di sini mau menunjukkan bahwa cinta
persahabatan harus ditopang oleh kemurahan hati. Tindakan memisahkan
sahabat berarti menjadikan seorang sahabat bukan bagian dari dirinya.
Tindakan ini merusak cinta dan kebenaran.29
Sejajar dengan uraian di atas mau dikatakan bahwa kesabaran
dapat melanggengkan persahabatan. Kesabaran itu ditampakkan lewat
sikap menutupi kekeliruan seorang sahabat. Tindakan gegabah seorang
sahabat (kekeliruan yang menimbulkan pertengkaran) ditutupi oleh
kemurahan hati. Kemurahan hati melampaui kemarahan.30
Ams 17:17 hendak menekankan nilai persahabatan.31 Persahabatan
menjadi simbol ketabahan dan kesetiaan. 32 Bertalian dengannya sangat
dituntut nilai sebuah kesetiaan. Kesetiaan itu ditunjukkan dalam situasi
bahaya. Dalam menghadapi situasi tersebut dibutuhkanlah keteguhan
masing-masing pihak. Nilai sebuah persabahatan ditunjukkan dalam

27
Crawford H. Toy, A Critical and Exegetical Commentary on the Book of Proverbs
(Edinburg: T & T, 59 George Street, 1988), hlm. 331-332.
28 W. McKane, Proverbs …, hlm. 494.
29
W. McKane, Proverbs …, hlm. 508-509.
30 Crawford H. Toy, A Critical…, hlm. 341-342.
31 Bertalian dengan perikop ini, para ahli KS tidak mempunyai kata sepakat perihal

sahabat atau saudara yang dimaksud di dalamnya. Ada yang membedakan antara sahabat
dan saudara, tetapi ada pula yang menyamakan saja keduanya. Yang termasuk dalam
kelompok pertama mengatakan bahwa harus dibedakan antara sahabat dan saudara,
keduanya mempunyai tekanan yang berbeda [Lihat Thomas P. McCreesh, OP, “Proverbs”,
dalam Raymond E. Brown, Joseph A. Fitzmyer dan Roland E. Murphy, The New Jerome …, hlm.
459.], sedangkan kelompok kedua menyamakan saja sahabat dan saudara, keduanya adalah
sinonim [Lihat John Barton dan John Muddiman, The Oxford …, hlm. 406; bdk; W. McKane,
Proverbs (London: SCM Press Ltd, 1970), hlm. 505-506.]
32
Crawford H. Toy, A Critical…, hlm. 346-347.
25 |
kesetiaan dan ketabahan untuk menghadapi realitas penderitaan dan
kemalangan.33
Persahabatan adalah pilihan bebas seorang individu kepada
individu yang lain. Pilihan tersebut berdasarkan kualitas tertentu.
Keduanya dituntut untuk melepaskan hidupnya masing-masing demi
persabahatan tersebut. Di sini persahabatan dikatakan melampaui
hubungan darah. Keduanya dipersatukan atas solidaritas yang sama, dan
ini berarti keduanya harus saling mendukung dan membantu satu sama
lain terutama pada situasi-situasi sulit.34
Saudara adalah ikatan karena hubungan darah. Ikatan ini bersifat
natural. Dengan perkataan lain, saudara adalah representasi relasi
fraternal. Relasi fraternal ini melampaui ikatan persahabatan. Pada situasi
sulit, seorang sahabat bisa saja pergi, dan pada situasi yang demikianlah
seorang saudara menunjukkan perannya yang melampaui seorang
sahabat.35
Persahabatan merupakan bentuk murni dari cinta yang didasari
oleh kebaikan hati dan afeksi yang mendalam. Persahabatan dapat terjadi
karena pesona fisik, kedekatan perasaan, kualitas pribadi tertentu
(kejujuran, kebenaran, kesetiaan, kebebasan, dan kemurahan hati). Pada
prinsipnya persahabatan sejati didorong oleh cinta yang diwujudkan dalam
relasi timbal balik yang dinamis.
Perwujudan persahabatan sejati nyata dalam pribadi Yesus dari
Nazareth. Yesus adalah konkretisasi persahabatan Allah dengan manusia.
Dia dan para murid-Nya menjadi simbol persahabatan Allah. Dia
menyadarkan bahwa sedemikian Allah mencintai dunia sehingga Allah

33 W. McKane, Proverbs …, hlm. 505-506; bdk. Crawford H. Toy, A Critical…, hlm. 346-

347; bdk juga John Barton dan John Muddiman, The Oxford …, hlm. 406.
34 W. McKane, Proverbs …, hlm. 505-506
35
John Barton dan John Muddiman, The Oxford …, hlm. 406; bdk W. McKane,
Proverbs …, hlm. 505-506.
26 |
mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal bagi keselamatan manusia (Yoh
3: 16-17).
Yesus sendiri menyebut para murid-Nya sahabat. Sebagai Sahabat,
Yesus memberikan cinta yang sempurna bagi mereka. Dia mengajar,
menegur, dan menguatkan para murid ketika mereka lemah. Puncak
perealisasian cinta sempurna ini diwujudkan lewat peristiwa Kalvari. Di sana
cinta sejati tercurah dalam darah yang menyelamatkan. Kalvari menjadi
saksi bisu perwujudan persahabatan sejati antara Allah yang
menyelamatkan dan manusia yang memperoleh anugerah keselamatan
dengan cuma-cuma.

Remaja dan Persahabatan


Kita telah mendalami gagasan dasar perihal remaja dalam realitas
psikologis (sosiologis) dan biblis-teologis. Dari padanya dapatlah ditarik
benang merah sebagai penyimpulnya. Bahwa manusia mempunyai
kecenderungan untuk keluar dari dirinya agar bisa bersama orang lain.
Realitas sosial dari dimensi human ini terjadi juga pada diri remaja.
Perwujudannya terjadi dalam realitas persahabatan dalam kelompok. Di
sana remaja mampu mengaktualisasikan diri secara bebas. Dan
diharapkan bahwa pengaktualisasian diri ini terjadi secara positif guna
mengarahkan remaja pada masa depan yang cerah dan membahagiakan.
Di sisi lain, kita juga memperoleh informasi penting bahwa realitas
persahabatan itu melampaui ikatan darah (relasi fraternal). Sebuah
persahabatan entah dalam bentuk apapun terjadi karena pilihan bebas
dan kualitas pribadi (self quality) dari masing-masing orang. Dan relasi
persahabatan sejati ditemukan dalam pribadi Yesus yang mencintai,
mengampuni, menegur, mengajar, menguatkan, serta merelakan diri bagi
sahabat-sahabat-Nya.

27 |
Dengan demikian menjadi pentinglah bagi remaja untuk belajar
dari Tokoh Ideal yakni Yesus sendiri. Relasi persahabatan seharusnya
memampukan para remaja untuk menerima dan mencintai, mengampuni
dan merelakan diri, serta menegur, mengajar dan menguatkan sahabat. Ini
mau mengajarkan hal yang paling mendasar dalam realitas persahabatan,
bahwa persahabatan yang benar terjadi dalam kesanggupan masing-
masing pribadi untuk menerima dan mencintai, mengampuni dan
merelakan diri, serta menegur, mengajar dan menguatkan sahabat.
Dalam relasi persahabatan sangat ditekankan kualitas persamaan,
penghargaan, kasih sayang, dan saling menghargai. Inilah empat kualitas
persahabatan yang benar. Persahabatan bukan soal seia sekata satu sama
lain. Ketidaksetujuan dengan teman bukanlah soal kalah atau menang.
Yang terpenting di dalam sebuah persahabatan adalah kesanggupan
mendengarkan perkataan mereka sebagai orang yang setara, serta
menghargai dan menghormatinya dengan penuh kasih sayang tanpa harus
menolak dan menyalahkan satu sama lain. 36

Catatan Akhir
Dewasa ini dunia sedang terkotak-kotak dalam aneka bentuk
karena kekuasaan, ras, suku, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Manusia
hidup dalam keterpecahan karena diskriminasi yang mengobyekkan
sesama. Di tengah realitas yang demikian, ikatan persahabatan menjadi
satu kekuatan fenomenal yang mampu mentransformasi keberadaan
manusia yang sedang terpecah. Namun demikian, realitas persahabatan
juga dapat menghantar seseorang kepada jurang malapetaka. Kenyataan
ini mengharuskan remaja untuk memaknai persahabatan secara benar.

36
Anne Krabill Hersberger, Sexuality: Gods Gift (Canada: Herald Press, 1999), hlm.
123-125.
28 |
Pada akhirnya selamat menjalin persahabatan dan menjadi sahabat yang
baik dan benar bagi yang lain.

Boawae, Asrama Bukit, 12 Juni 2012

29 |
REMAJA DAN SOSIALISASI DIRI

Catatan Awal
Lepas dari statusnya sebagai makhluk individual, manusia juga
adalah makhluk sosial (homo socius). Sebagai makhluk sosial, manusia
senantiasa ada dan bersama orang lain. Ada dan bersama orang lain ini
menunjuk hakekat asali manusia, bahwasannya manusia tak dapat hidup
tanpa orang lain (no man is an island).
Manusia senantiasa membutuhkan orang lain agar mampu
mewujudkan dirinya yang sejati. Orang lain di sini adalah “aku yang lain”.
“Aku yang lain” adalah sesama bagiku. Maka, “aku” dan “aku yang lain”
adalah dua subyek yang saling mewujudkan kesejatian diri dalam kesatuan
yang tak terpisahkan.
Namun harus disadari bahwa tidak dengan serta merta manusia
bisa hidup bersama orang lain. Agar dapat hidup bersama orang lain,
manusia perlu yang namanya sosialisasi diri. Dengan sosialisasi diri ini,
manusia membuat dirinya dikenal dan serentak dengannya mengenal
orang lain. Ini berarti bahwa relitas manusia sebagai makhluk sosial
melekat dengan proses sosialisasi.
Fokus refleksi kita kali ini mengerucut pada dua realitas ini
(manusia sebagai makhluk sosial dan sosialisasi diri). Dua hal ini dirasa
penting mengingat kecenderungan remaja (putra/i) yang mewujudkan
eksistensinya pada waktu, tempat, dan orang yang keliru. Maka tidak bisa
tidak, agar mampu menjadi pribadi yang sejati, remaja harus mampu
mewujudkan eksistensi sosialitasnya pada waktu dan tempat yang benar
serta dengan orang dan cara/sarana yang benar pula.

30 |
Sosialisasi Diri
Manusia yang normal biasanya mau dikenal dan mengenal orang
lain. Ungkapan, “seperti katak dalam tempurung” biasanya sulit diterima
bila dilabelkan kepada orang tertentu. Ini sangat beralasan karena
dorongan naluriah mengaharuskan seseorang memperkenalkan diri agar
dikenal dan mengenal orang lain. Oleh karena itu, dengan sendirinya label
“kuper” biasanya tidak dapat diterima oleh siapapun.
Secara sederhana realitas mau mengenal dan dikenal inilah kita
sebut sebagai sosialisasi. Atau dengan perkataan lain, sosialisasi 37 adalah
usaha yang dibuat supaya dikenal dan mengenal orang orang lain. Maka
dengan sendirinya, sosialiasasi diri berarti usaha individu untuk membuat
dirinya dikenal dan (dirinya) mengenal orang lain.
Realitas “mengenal dan dikenal” didasari oleh gagasan filosofis
bahwa manusia adalah makhluk eksentris. 38 Sebagai makhluk eksentris,
manusia mengalami diri sebagai eksistensi yang terarah keluar kepada
yang lain. “Diriku” terarah keluar dan aku bergantung pada yang lain.
Inilah dimensi sosialitas manusia.
Realitas sosialitas merupakan sebuah eksistensi. Tak ada relasi
tanpa kehadiran sesama, karena sesama hadir sejak awal dan dalam
seluruh dimensi hidupku. “Aku” menjadi aku karena “kamu”, dan “aku”
dipanggil untuk menjadi aku untuk “kamu”. Ini berarti bahwa kesosialan
merupakan sesuatu yang khas manusia karena berhubungan langsung
dengan kodrat asalinya sebagai manusia.
Relasi antar manusia terwujud dalam perjumpaan dengan orang
lain.39 Dalam perjumpaan tersebut, “aku” dipanggil untuk mengakui

37 Terminologi yang dipakai lebih bernuansa populer dan bukan dalam konteks
sosiologis.
(Latin: eks: keluar, centrum: pusat): keluar dari (pusat) diri.
38

R. C Kwant dalam bukunya Encounter merumuskan, “Deeper reflection showed


39

that in the reality we become familiar with things through inter-human relations. It is only
trough the encounter with others that we really get know things. Bandingkan gagasan Luijpen
31 |
sesamaku sebagai “engkau” yang saling mengada.40 “Aku” menjadi aku
adanya karena “engkau”; dan “engkau” menjadi engkau adanya karena
“aku”.
Semuanya mewujud dalam realitas keunikan manusia.
Keunikanku meresapi keunikanmu, dan keunikanmu meresapi keunikanku
sehingga membaurlah keunikanku dan keunikanmu. Keunikanku tumbuh
bersama keunikanmu sehingga menjadi “keunikan kita”.
Dalam realitas ini ada proses memberi dan menerima dengan
sukarela dan antusias. Di dalamnya “aku” dan “engkau” duduk sejajar
dalam kekitaan. Dan, ini bisa mewujud secara sempurna bila diikat oleh
cinta dan simpati41 yang didasari oleh rasa saling menghormati, saling
mempercayai, dan bersikap bisa dipercaya.
Dengan demikian, realitas sosialitas dalam proses sosialiasi harus
terjadi dalam perjumpaan dengan orang lain. Di dalamnya terjadi
pembauran keunikan karena adanya kesediaan untuk saling memberi dan
menerima atas dasar cinta dan simpati.

Remaja dan Sosialisasi Diri


Tak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan sosialisasi diri melekat
juga dalam diri remaja. Gordon menguraikan bahwa manusia pada
dasarnya senang berkumpul dengan yang sepadan dan membuat jarak
dengan yang berbeda.42 Pada diri remaja, hal ini biasanya berbarengan
langsung dengan pemberontakan kepada orang tua/yang lebih tua karena

dalam bukunya Existential, “… to offer him the possibility to exist, to consent his freedom, to
accept, support and share it…the motive of my love is you. I love you because you are you,
because you are who you are … in and through love i make the other be… and the other make
me be”.

41 Simpati (Yunani: σιμ-sin: dengan/bersama, ματοσ-phatos: rasa; simpati: bersama-

sama merasakan).
42
Scott Gordon, History and Philosophy of Social Science, (1991).
32 |
dalam kelompok yang sepadan mereka mengalami hal yang kurang lebih
sama.43
Di dalam kelompok ada rasa aman dan terlindungi dari ancaman
dan gangguan dari luar. Rasa ini melahirkan perasaan yang kuat dan
bahkan teramat kuat antar anggota kelompok. Keyakinan yang ada pada
akhirnya kerap melahirkan kebenaran yang berlebihan atas apa yang
menjadi gagasan kelompok.44 Ditambah lagi dengan keinginan untuk
diterima dan diakui sebagai anggota dalam kelompok ( in groups),
membuat remaja nekat berbuat apa saja agar dapat diterima dan diakui
di dalamnya.45
Tak jarang bahwa sebaik apapun komunikasi pada masa kanak-
kanak, remaja akan menutup diri, membatasi dan mendistorsi komunikasi
dengan orang tuanya. Sebaik apapun relasinya dengan orang tua, remaja
tetap memprioritaskan kawan sebaya. Dan, sedekat apapun orang tua
dengan remaja, mereka masih lebih dekat dengan teknologi seperti
komputer, HP, game, dll.46
Ini berbarengan langsung dengan kecemasan terbesar yakni
ditolak dan dipermalukan oleh teman-teman sebaya, yang terkadang
melebihi ketakutan mereka terhadap kematian. Ditambah lagi kata-kata
teman sebaya sering dalam bentuk dukungan (dalam hal negatif) dan teror
membuat remaja lebih memprioritas teman (kelompok) dari pada orang
tua/yang lebih tua. 47
Demikian dapat disimpulkan bahwa sosialisasi diri remaja terjadi
dalam kelompok karena di sana ada rasa aman dan terlindungi. Ini
berhubungan langsung dengan keinginan yang sangat kuat untuk diterima

43 Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi Remaja (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 1979), hlm. 94.


44
Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95.
45 Bandingkan gagasan in groups dan out groups dalam konteks sosiologis.
46
Mundhi Sabda H. Lesminingtyas, Ada Apa dengan Remaja (Power Point).
47
Mundhi Sabda H. Lesminingtyas, Ada Apa dengan Remaja (Power Point).
33 |
dan diakui sebagai bagian dari kelompok (a part of group), sehingga
menimbulkan gap dengan orang tua/yang lebih tua dan lebih
memprioritaskan kelompok serta semua kecenderungan yang ada dalam
kelompok yang bersangkutan.
Ini berarti bahwa jika kelompok dan segala kecenderungannya
positif, maka individu akan bertumbuh menjadi pribadi yang baik,
sebaliknya jika kelompok dan segala kecenderungannya negatif, maka
individu akan bertumbuh menjadi pribadi yang buruk. Maka
kecenderungan negatif inilah yang perlu disadari dan dibenahi agar pada
akhirnya seorang remaja dapat bertumbuh menjadi pribadi yang baik.

Bersosialisasi secara Bijak


Tak pernah keliru apalagi salah jika orang membuat dirinya
dikenal dan mengenal orang lain. Yang terpenting adalah bijak dalam
proses mengenal dan dikenal. Maka empat petunjuk berikut menjadi
sangat penting:48
o Waktu : Bijak membaca situasi dan kondisi
o Tempat : “Right man in the right place”/“right man in the
wrong place”
o Orang : “Bergaul dengan orang baik akan menjadi
orang baik, bergaul dengan orang jahat akan menjadi orang
jahat”
o Sarana : “Maksud baik harus ditempuh dengan
cara/sarana yang baik. Bila maksudnya baik tetapi
cara/sarananya salah, maka dengan sendirinya maksud baik
tersebut akan kehilangan nilai baiknya”

48
Bisa disertai dengan beragam contoh yang kerap dibuat oleh para remaja di
sekolah.
34 |
Sosialisasi Diri: Kajian Biblis-Teologis
Bila membaca Injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas), dengan
sangat terang kita menemukan bagaimana Yesus membuat diri-Nya
dikenal. Periode kehadiran Yesus di muka umum bersamaan dengan
kehadiran Yohanes Pembaptis.
Walaupun ada kesempatan untuk memaklumkan kehadiran-Nya
dengan cara yang lain, tetapi Yesus memilih cara yang dikehendaki oleh
Bapa-Nya.49
Bermula dari periode di atas, kita bisa merujuk kebijaksanaan
Yesus dalam mensosialisasikan diri dan warta Kerajaan Allah yang Ia bawa:
o Waktu : Yesus hadir pada situasi di mana orang
membutuhkan pengajaran, peneguhan dan penguatan dari-
Nya. Semua waktu menjadi saat yang tepat untuk
memaklumkan Kerajaan Allah (pagi-pagi buta, pagi hari,
siang, sore, hari menjelang malam, hari biasa pun hari Sabat)
o Tempat : Yesus merealisasikan misi Kerajaan Allah tanpa
memandang tempat. Bagi Yesus, “kolong langit” menjadi
tempat untuk mewartakan Kerajaan Allah (rumah, bukit,
padang gurun, danau, Bait Allah/Sinagoga, Kapernaum,
Galilea, Yerusalem)
o Orang : Semua orang perlu mengetahui secara benar
maklumat Kerajaan Allah (orang miskin/kaya,
bodoh/terpelajar, anak-anak,orang dewasa)
o Sarana : Yesus menggunakan sarana alamiah/natural
untuk mengungkapkan kebenaran Kerajaan Allah (ikan, roti,
gandum, pohon ara), dalam pengajaran dan mukjizat yang Ia
buat.

49
Perikop yang dimaksud yakni Mat 3:14-17; Mark 4:13-17; Luk 3:21-23.
35 |
Bila kembali merujuk pada aktivitas Yesus di atas, kita seolah-olah
mendapatkan pembenaran bahwa sosialisasi diri bisa dilakukan dalam
semua waktu dan tempat, kepada semua orang dan dalam segala cara.
Sejatinya, bila menelaah lebih dalam, akan ditemukan satu kata penting
bahwasannya Yesus justru sangat bijak, karena memanfaatkan semua hal
yang mungkin untuk mengungkapkan diri dan warta Kerajaan Allah. Yesus
menyatakan diri dan warta Kerajaan Allah ketika diri-Nya merasa perlu
dan memang seharusnya warta Kerajaan Allah itu diwartakan kepada
orang banyak dalam waktu, tempat, dan sarana tertentu.
Hal lainnya bahwa Yesus mempunyai visi dan misi yang jelas sejak
awal perutusan-Nya ke dunia ini. Dalam kejelasan ini Dia tidak pernah
menyimpang sedikitpun dari misi perutusan-Nya. Yang sangat mendasar
dalam pewartaan Yesus bahwa:
o Semua waktu50 adalah saat yang tepat untuk
mewahyukan Kerajaan Allah. Untuk Yesus dan warta
Kerajaan Allah tidak ada yang namanya waktu
khusus/spesial, karena semua waktu adalah spesial untuk
mengungkapkan kebenaran Kerajaan Allah.
o Semua tempat dapat menjaadi locus pewartaan, tidak
ada yang namanya tempat sakral/kudus dan najis bagi
Allah, karena semua tempat adalah kudus. 51 Tempat
menjadi najis jika orang menajiskannya dengan sikap dan
kata-katanya sendiri. Semua tempat adalah kudus untuk
mengungkapkan kebenaran Kerajaan Allah.

50 Bedakan terminologi “waktu” dalam pengertian kronos dan kairos. Yunani,


kronos-κσονοϛ (waktu mekanis: pagi, siang, sore, malam, dan kairos-καισοϛ (waktu berahmat
dimana Allah menyatakan kebenaran kasih-Nya). Bagi Yesus, semua waktu adalah Kairos
dimana Allah mengungkapkan karya penyelamatan-Nya bagi segenap ciptaan.
51
Yang membuat sesuatu menjadi najis/kudus adalah hati, pikiran, dan
tindakannya atas hal tertentu, entah itu waktu, tempat, sarana/cara, ataupun orang.
36 |
o Semua orang (tanpa membedakan kaya/miskin,
terpelajar/tidak, asli/pendatang) perlu mengetahui
kebenaran Kerajaan Allah. Semua orang sama di
hadapan Allah karena Allah tidak membeda-bedakan
manusia.
o Semua sarana bisa digunakan untuk mengungkapkan
kebenaran Kerajaan Allah. “Sarana menjadi salah jika
maksud dan cara penggunaannya salah”.

Demikianlah kita memperoleh pemahaman bahwa yang


terpenting adalah kebijakan dalam merealisasikan diri. Tidak semua
waktu, tempat, orang dan sarana bisa dengan serta merta digunakan bila
maksud dan caranya keliru. Bila maksud dan caranya keliru/salah, dengan
sendirinya waktu, maksud, tempatnya menjadi salah. Jadi bijaklah mencari
waktu, menemukan waktu/tempat, kepada orang yang tepat, serta
sarana/cara yang tepat pula agar menjadi baiklah maksud baik Anda.

Catatan Akhir
Ensiklik Caritas in Veritate mengungkapkan bahwa martabat atau
harga diri seseorang bergantung dari apa yang diperbuat untuk orang lain,
bukan karena apa yang dimilikinya. Anda boleh saja menggunakan semua
waktu, tempat, dan sarana untuk mengungkapkan realitas diri Anda.
Tetapi sadarlah bahwa orang lain yang akan mengalami efeknya.
Pikirkanlah efek dari setiap tindakan Anda. So, wujudkanlah eksistensi diri
Anda dalam konteks bahwa Anda adalah orang yang terpelajar dan
terdidik. Lebih lagi, wujudkanlah eksistensi diri Anda dalam konteks bahwa
Anda adalah seorang yang beriman dan bermoral.

37 |
Panduan dan Susunan Acara BINA ROHANI:
1. Lagu Pembuka (Pilih salah satu lagu Roh Kudus)
2. Doa Pembuka (Spontan)
3. Konferensi:
(Lihat teks: Remaja dan Sosialisasi Diri). Bahan yang ada
hanya sebagai “panduan”. Gagasan yang ada boleh
dikembangkan lebih lanjut untuk memperkaya dan
memperdalam refleksi diri peserta didik.
4. Pertanyaan panduan (untuk direfleksikan dan dijawab secara
pribadi, boleh secara tertulis atau lisan ketika kegiatan
berlangsung), diberikan setelah bahan konferensi
dipresentasikan:
o Apakah Anda biasanya merenungkan/merencanakan
setiap kegiatan yang akan Anda lakukan?
o Rumuskanlah setiap kegiatan yang biasa Anda kerjakan
(waktu: pagi, siang, sore, malam: tempat:
rumah/kost/asrama, sekolah, atau tempat yang biasanya
dominan dalam hidup Anda; orang: dengan siapa saja
Anda bertemu dan biasanya apa saja yang Anda
percakapkan/kerjakan bersama orang-orang tersebut;
sarana: sarana-sarana yang biasa Anda gunakan untuk
beraktivitas (pisau, piring, buku, balpoint, TV, koran, HP,
dll: untuk apa sarana itu digunakan?).
o Apakah Anda sudah menggunakan waktu yang ada
dengan baik atau semuanya serba tidak jelas dan
mengambang?
o Apakah Anda bergaul dengan orang yang tepat untuk
mengungkapkan realitas diri Anda, ataukah dengan
siapa saja tanpa perlu mengetahui latar belakang
pekerjaan dan sosialnya?
38 |
o Apakah Anda menggunakan sarana-sarana yang Anda
miliki secara baik dan benar, sekedar ada saja, atau
untuk kesenangan semata?
o Apakah Anda yakin bahwa usaha sosialisasi diri Anda
selama ini sudah dilakukan dengan cara yang bijak,
mengapa?
5. Kesimpulan (lihat teks: Catatan Akhir, atau lainnya yang
dianggap lebih cocok)
6. Doa Penutup (spontan)
7. Lagu Penutup (salah satu lagu yang sesuai)

Boawae, Asrama Bukit, 04 Juni 2013

39 |
MENJADI REMAJA UNGGUL

Abraham Maslow menyebut masa remaja sebagai masa krisis


identitas. Masa remaja adalah masa ketika seseorang sedang dalam proses
membentuk identitas diri (self identity). Boleh dikatakan bahwa pada masa
remaja ada ketidakjelasan identitas. Yang pasti bahwa remaja bukan
anak-anak tetapi belum juga disebut sebagai orang dewasa.
Masa ini disertai oleh kecenderungan memberontak dan tak mau
diatur. Tak jarang kita mendengar ungkapan, “Urus saja urusanmu,
urusanku bukan urusanmu”. Yang lain menyebut remaja sebagai “generasi
simpang empat”. Ini beralasan karena arah hidup yang belum jelas,
bingung hendak kemana.
Pada masa ini ada kecenderungan untuk sekedar ikut ramai saja.
Mereka tak berani bertanggungjawab (mandiri, berdikari) bila dihadapkan
pada suatu hal yang telah diperbuat. Maka tak salah pula orang
menyebutnya sebagai generasi ngawur dan amburadul karena banyak
tindakan yang kerap menjengkelkan orang lain.

Remaja Unggul
Mendengar istilah unggul, pikiran kita langsung mengarah pada
“bibit”. Bibit yang dimaksud biasanya melekat langsung dengan istilah
“unggul”, yang dengannya menjaadi “bibit unggul”. Bibit unggul biasanya
adalah bibit yang tahan terhadap segala cuaca dan hama, serta dengan
usia yang relatif singkat yang disertai pula oleh hasil yang melimpah. Inilah
benih yang berkualitas karena tahan terhadap serangan hama dalam
aneka cuaca serta melimpah pula hasilnya.
Dalam konteks pembicaraan tentang pribadi manusia (remaja),
kita memaksudkannya dengan pribadi yang dapat diandalkan dan tahan
banting. Pribadi dengan karakteristik ini adalah pribadi yang berkualitas

40 |
karena tidak cengeng/melempem dan mampu survive bila situasi menuntut
tindakan ekstra untuk meraih sesuatu yang hendak dicapai.
Bila merujuk pada konteks sekolah/pendidikan, kita
memaksudkan remaja unggul adalah remaja yang mempunyai kualitas.
Remaja dengan kualifikasi ini akan nyata berprestasi, santun, tidak harus
diperintah dan diawasi, tidak asal menyebut “sukaku”, mempunyai self
oriented yang jelas, tidak asal ikut ramai saja, menampilkan jati diri secara
positif, mampu survive, dan tidak melempem.

Remaja Unggul: Belajar dari Pribadi Yesus


Luk 2: 41-52 mengisahkan:
o Ketika Yesus berumur 12 tahun
o Dia bersama orang tuanya, Yusuf dan Maria pergi ke Yerusalem
untuk merayakan Paska.
o Ketika perayaan Paska usai, orang tua Yesus pulang ke Nazareth.
o Orang tua Yesus menyangka bahwa Dia bersama sanak keluarga
yang lain.
o Rupanya Yesus masih berada di Yerusalem.
o Orang tua Yesus cemas karena Yesus tertinggal di Yerusalem.
o Mereka kembali mencari Yesus di Yerusalem.
o Mereka mendapati-Nya sedang bersoal jawab dengan ahli-ahli
Taurat.
o Ahli-ahli Taurat takjub atas kecerdasan Yesus.
o Orang tua Yesus bertanya perihal tindakan-Nya.
o Yesus menerangkan kepada mereka tentang tugas perutusan-Nya,
yaitu melakukan kehendak Bapa-Nya
o Menarik bahwa Yesus toh taat dan pulang bersama dengan kedua
orang tua-Nya ke Nazareth.

41 |
Pelajaran dari kisah ini:
o Yesus tahu apa yang menjadi tugas-Nya
o Dia mempunyai life oriented yang jelas
o Life oriented ini menjadi prioritas-Nya
o Dia terarah kepada tugas perutusan-Nya
o Dalam melaksanakan life oriented-nya, dia tidak keras kepala,
tetapi terbuka untuk menjelaskannya kepada para ahli Taurat
dan kedua orang tua-Nya.
o Yesus tidak membangkang kepada orang tua.

Boawae, Asrama Bukit, 22 Desember 2012

42 |
REMAJA MENYIKAPI PORNOGRAFI/PORNOAKSI
Seksualitas adalah bagian dari realitas hidup manusia yang tak
terelakan dalam realisasi hidup personal pun dalam hidup bersama dengan
sesama manusia. Sebagai manusia, remaja dalam dirinya bergelut dengan
realitas tersebut, entah sebagai pria atau pun wanita. Dalam realitasnya,
remaja sering terjebak dalam praktek-praktek keliru pengaktualisasian
seksualitasnya. Untuk itu, tulisan ini mencoba untuk menguraikan tentang
realitas seksualitas remaja guna membantu pemahaman dan perealisasian
yang baik dan benar.

Seksualitas dan Perilaku Seks


Seks berasal dari kata Latin yaitu secare yang artinya memotong,
memisahkan. Bila berbicara tentang seksualitas, ada 2 aspek (segi) yang
tercakup di dalamnya yaitu dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti
sempit berarti kelamin atau organ kelamin (penis dan vagina), anggota
badan atau ciri fisik (payudara, testis, dll), kelenjar-kelenjar dan hormon-
hormon dalam tubuh, dan hubungan seksual.
Sedangkan dalam arti luas berarti segala hal yang terjadi sebagai
akibat (konsekuensi) dari adanya perbedaan jenis kelamin, yang mencakup
pembedaan tingkah laku (kasar, lembut, feminin, maskulin, dll),
perbedaan atribut (pakaian, nama), perbedaan peran dan pekerjaan, dan
hubungan antara laki-laki dan perempuan (norma sosial, relasi, pacaran,
perkawinan dan lain-lain).

Seksualitas dan Pornografi-Pornoaksi


Pornografi berasal dari kata Yunani, µ ο σ ν ε ι α (porneia), yang
berarti seksualitas yang tak bermoral atau tak beretika (sexual immorality
– zinah) ; dan γ σ α µ ε ι ν, yang berarti kitab atau tulisan. Kata kerja µ ο σ
ν ε ο (porneo) berarti melakukan tindakan seksual tak bermoral (berzinah
43 |
= commit sexual immorality), dan kata benda µ ο σ ν ε (porne) yang berarti
perzinahan atau juga prostitusi.
Berdasarkan terminology di atas dapat disimpulkan bahwa
pornografi adalah tulisan atau penggambaran tentang seksualitas yang tak
bermoral (baik secara tertulis maupun secara lisan).
Contohnya, anak-anak muda yang mengucapkan kata-kata berbau seks
disebut sebagai porno dan tulisan yang memakai kata-kata yang
bersangkut dengan seksualitas, gambar-gambar yang memunculkan alat
kelamin atau hubungan kelamin
Porno aksi berarti penampilan seseorang yang sedikit banyak
menonjolkan hal-hal seksual (gerakan-gerakan yang merangsang, cara
berpakaian minim yang menyingkap sedikit atau banyak bagian-bagian
yang terkait dengan alat kelamin.
Secara lebih meluas pornogarafi dapat berupa:
1. tulisan, gambar/rekaman tentang seksualitas yang tidak
bermoral
2. bahan/materi yang menonjolkan seksualitas secara
eksplisit/terang-terangan dengan maksud utama
membangkitkan gairah seksual
3. tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk
membangkitkan nafsu birahi orang yang melihat atau
membaca
4. tulisan atau penggambaran mengenai pelacuran, dan
5. penggambaran hal-hal cabul melalui tulisan, gambar
atau tontonan yang bertujuan mengeksploitasi seksualitas
Kriteria Pornografi
1. sengaja membangkitkan nafsu birahi orang lain
2. bertujuan merangsang birahi orang lain/umum
3. tidak mengandung nilai (estetika, ilmiah, pendidikan)

44 |
4. tidak pantas menurut tata krama dan norma etis
masyarakat setempat, dan
5. bersifat mengeksploitasi untuk kepentingan ekonomi,
kesenangan pribadi, dan kelompok
Jenis-jenis pornografi
1. Tulisan: majalah, buku, koran dan bentuk tulisan lain-
lainnya
2. produk elektronik: kaset video, VCD, DVD, laser disc
3. gambar-gambar bergerak
4. program TV dan TV cable
5. cyber-porno melalui internet
6. audio-porno: berporno melalui telepon yang juga sedang
marak diiklankan di koran-koran maupun tabloid akhir-
akhir ini.
Dampak Pornografi
• Dilihat dampak sosialnya, meningkatnya tindak kriminal
di bidang seksual
• Dari segi etika atau moral, merusak tatanan norma dalam
masyarakat, merusak keserasian hidup dan keluarga dan
masyarakat ( nilai kasih, kesetiaan, cinta, keadilan, dan
kejujuran)
• secara rohani dan teologis, merusak harkat dan martabat
manusia sebagai citra Sang Pencipta

Perilaku Seksual
Perilaku seksual muncul karena adanya dorongan seksual atau
keinginan dan kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui
berbagai perilaku. Remaja cenderung memiliki dorongan seks yang kuat.
Terhadap dorongan tersebut, remaja kerap kurang memiliki kontrol diri

45 |
yang baik dan sering pula menyalurkannya melalui kanalisasi/saluran yang
tidak tepat. Ini akan sangat rawan terhadap timbulnya masalah-masalah
baru bagi remaja karena penyaluran dorongan yang tidak sesuai dengan
apa yang menjadi norma masyarakat. Bila terjadi ekspresi seksual yang
kurang sehat, akan rawan terhadap munculnya pelecehan seksual yang
pada prisnsipnya menimbulkan kerugian terhadap remaja itu sendiri.

Media Komunikasi dan Seksualitas Remaja


Pergaulan remaja saat ini sangat dipengaruhi oleh fasilitas dunia
maya atau internet. Survei membuktikan bahwa hampir semua remaja
menggunakan facebook atau blackberry messanger. Disadari bahwa media
komunikasi sangat bermanfaat bagi aktivitas manusia karena cepat dan
efektif untuk berbagi informasi baik dan benar.
Namun disadari bahwa dalam kenyataannya justru menjadi
penghalang bagi remaja untuk belajar dengan serius. Di kota-kota besar
menjamur remaja-remaja yang menonton bioskop midnight. Tak kalah
hebohnya, HP sering digunakan sebagai sarana menonton video porno dan
keseringan ber-sms ria sehingga menghabiskan banyak waktu yang
seharusnya lebih produktif untuk melakukan banyak aktivitas positif. Ini
dalam kenyataannya dapat memicu pergaulan bebas yang nota bene
dapat merusak remaja dan masa depannya.
Prinsip penggunaan dan pemanfaatan media komunikasi sosial
menggugah kita untuk mendalami sikap Yesus dan ajaran Gereja, yang
sejatinya mendorong kita untuk belajar dari sana. Perikop Markus 2:23-28
(Murid-murid memetik gandum pada hari Sabat) memuat beberapa
pokok pikiran penting, diantaranya:
1. Aturan dibuat untuk kepentingan manusia tetapi bukan
sebaliknya manusia dikorbankan demi pemenuhan
aturan/hukum.

46 |
2. Supaya dalam setiap tindakan, kita lebih memrioritaskan
manusia jangan sampai mementingkan barang atau materi dan
yang lainnya.
3. Yesus mengajak kita untuk bersikap kritis. Kita harus dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang salah; mana
yang baik dan mana yang jahat; mana yang berguna bagi
keselamatan manusia dan mana yang menghambat
keselamatan manusia.
4. Keselamatan manusia menjadi pilihan Yesus dalam hidup dan
karya-Nya.
Anjuran Dokumen Konsili Vatikan II dalam Dekrit Inter Mirifica
(Komunikasi Sosial) menampilkan beberapa hal penting, yakni:
o Mendukung sepenuhnya segala sesuatu yang
menampilkan nilai keutamaan, ilmu pengetahuan, dan
seni.
o Menghindari apa saja yang menyebabkan atau
merugikan kehidupan rohani yang dapat membahayakan
sesama karena contoh buruk.
o Tidak menghalang-halangi informasi yang baik dan tidak
mendukung tersiarnya informasi yang buruk.

Seksualitas Remaja dan Teologi Tubuh


• Kej 1:27: “menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakanNya mereka.” (manusia dan martabatnya
adalah luhur. Seks sebagai bagian dari diri manusia juga adalah
luhur/bukan barang konsumsi)
• I Kor 6:18,”Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar
dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa
terhadap dirinya sendiri”

47 |
Dalam PL tindakan percabulan adalah dosa karena merampas
hak seseorang; istri adalah hak suaminya. PB mengaitkan
percabulan dengan tindakan pengingkaran terhadap kemurnian.
• 1 Kor 3: 16, Bait kediaman Roh Kudus

Prinsip Pergaulan Pria dan Wanita


• Dasar pergaulan pria dan wanita adalah cinta, bukan nafsu akan
keelokan dan daya tarik fisik/biologis.
• Prinsip pribadi (bukan legalitas dan biologis). Tubuh manusia
bukan sekedar seonggok daging saja. Demikian halnya, relasi antar
manusia bukan sekedar dorongan biologis/lahiriah semata. Lebih
dari itu, manusia dan relasi yang terjadi di dalamnya merupakan
ungkapan perwujudan keutuhan diri berhadapan dengan
keutuhan diri manusia lain yang patut dihargai dan dihormati
sebagai pribadi yang mulia.
• Prinsip sosial (dukungan keluarga, pengesahan secara institusional)

48 |
MENJADI REMAJA MANDIRI

Masa remaja adalah masa penemuan jati diri. Masa ini ditandai
oleh proses “keluar diri” dimana seorang remaja sering berhadapan dengan
orang dan situasi di luar dirinya. Yang lebih sering terjadi adalah
berhadapan dengan beragam situasi yang menuntut respon dan
tanggungjawab pribadi. Pertanyaan dasarnya adalah bagaimana dengan
tanggung jawab pribadi atau biasa yang kita sebut dengan kemandirian.
Tulisan ini akan menguraikan tentang kemandirian dan pentingnya
kemandirian bagi seorang remaja dalam proses pengaktualisasian dirinya.

Kemandirian
Kemandirian dapat dipahami dalam dua arti. Secara umum
kemandirian berarti kemampuan untuk melakukan kehendak,
menentukan sendiri setiap tindakan dan perbuatan, mengembangkan diri,
tampil sebagai pribadi utuh, mantap, kuat, dan harmonis, dan
mempertanggungjawabkan segala perbuatan Secara psikis, kemandirian
berarti memiliki pribadi yang matang, memiliki karakter kuat, mampu
mempengaruhi orang lain, dan tidak mudah dipengaruhi orang lain.
Reber (1985) merumuskan kemandirian sebagai sikap otonomi,
bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain.
Sedangkan Kartini dan Dali (1987) merumuskannya sebagai memiliki hasrat
dan keinginan untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri.
Mukhtar dkk (2001) menegaskan pentingnya kemandirian bagi
seorang remaja karena beberap alasan:

1) Remaja harus memiliki nilai kehidupan sebagai pedoman


dan nilai kehidupan

49 |
2) Remaja mempunyai tanggung jawab untuk bertindak
apabila sesuatu berlawanan dengan rasa keadilan.
3) Remaja harus mempunyai semangat yang tinggi dalam
belajar.

Aspek-aspek kemandirian meliputi aspek:


 emosi (perasaan): kemampuan mengontrol emosi dan
tidak tergantung kepada emosi orang lain
 ekonomi: kemampuan mengatur kebutuhan yang bersifat
mandiri dan tidak memiliki ketergantungan kepada
keadaan ekonomi orang tua
 intelektual: upaya perwujudan kemampuan untuk
memahami dan mengatasi permasalahan yang
dihadapinya
 kemandirian social: Kemampuan melakukan interaksi
sosial dengan orang lain dan tidak menunggu reaksi dari
orang lain

Karakteristik Remaja yang Mandiri


1) Tidak bergantung kepada orang lain
2) Inisiatif, (dorongan dari dalam diri)
3) Memiliki daya kreasi tinggi (mencari ide-ide kreatif untuk
menciptakan suasana berbeda)
4) Cerdas (berusaha dengan kemampuan dan daya kreasi
tinggi untuk menciptakan kondisi yang memuaskan diri)

Ciri-ciri Pribadi yang Mandiri


Pribadi mandiri adalah pribadi yang berani untuk:
1. belajar dan berlatih berdasarkan pengalaman hidup

50 |
2. menetapkan gambaran hidup yang diinginkan (tujuan/cita-
cita)
3. mengarahkan kegiatan hidup untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan
4. menyusun langkah kegiatan melalui tahapan yang realistis,
berproses dan membutuhkan analisa dalam mengambil
keputusan
5. menata dan menjaga diri
6. mengambil keputusan secara tepat dan bijaksana
7. mengembangkan rasa percaya diri, tegas dan bijak
8. mengurangi ketergantungan hidup dari orang lain untuk lebih
bersandar pada kekuatan sendiri

Proses Mencapai Kemandirian


1. Melakukan apa yang dapat dilakukan sendiri
2. Melakukan apa yang dilakukan itu sebagai suatu kebiasaan
3. Meminta bantuan mengerjakan bukan minta mengerjakan
4. Berempati terhadap sesama

Mempersiapkan Diri Menjadi Remaja Mandiri

1. Etika, mengembangkan karakter bermoral tinggi


2. Komunikasi, memberikan kekuatan untuk mengajak orang
lain dan membantu kita agar tampak lebih di antara yang
lain
3. Pola pikir sehat, sikap positif akan menarik hal-hal positif di
sekitar
4. Pendidikan, memperlengkapi diri kita dengan berbagai
pendidikan formal-informal
5. Hasrat, cinta akan apa yang akan dilakukan
51 |
6. Kemampuan Mengorganisi, memiliki perilaku teroganisir
(memiliki jadwal terorganisir)

Kemandirian: Tinjauan Teologis

1. Bukan berarti tidak membutuhkan bantuan orang lain sama


sekali
2. Sikap seorang yang dewasa dalam mengerjakan segala
sesuatunya tanpa bantuan orang lain
3. Menguasai banyak hal, tetapi bukan semua hal, melalui usaha
memperkaya diri dengan banyak hal yang berguna
4. Bijaksana
Sutjipto Subeno merumuskan sebagai suatu tindakan yang
diambil dengan tepat dengan pertimbangan yang matang di
dalam kondisi yang tepat. Selain pintar, juga membutuhkan
hikmat tertinggi dari Tuhan (bdk. Mat 25.1-13). Bijaksana
dalam mengambil keputusan harus didasarkan pada
pertimbangan yang matang dan dari hikmat/pimpinan Roh
Kudus, juga bijaksana dalam mengelola segala sesuatu:
keuangan, waktu, dll.
5. Bertanggungjawab atas segala sesuatu
- Ketika mengatakan atau melakukan sesuatu, kita harus
berani mempertanggungjawabkannya. Jangan pernah
melarikan diri atau memelintir apa yang telah kita katakan
atau lakukan kalau itu salah.
- Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah kita
putuskan. Bertanggungjawab atas pemikiran, perkataan,
dan perbuatan kita di dalam menekuni pilihan. Tanggung
jawab itu dilakukan seperti untuk Tuhan dan bukan untuk
manusia (bdk. Kol. 3:23). Sebelum mengatakan segala

52 |
sesuatu, belajarlah berpikir terlebih dahulu akan apa yang
hendak kita ucapkan, karena perkataan yang tanpa dipikir
adalah suatu kesia-siaan dan itu akan dihakimi Tuhan kelak
(Mat. 12:36-37).
6. Tahan menderita, yang berarti rela menerima risiko (bdk. Flp.
4:13, 2Tim. 1:12).

53 |
MEMATRI KASIH MERAIH PRESTASI
Sebuah Ulasan Biblis-Teologis

Catatan Awal
Tema ini merupakan motto dari lembaga pendidikan SMAS
Katolik St. Clemens Boawae. Lama setelah sebuah pencarian yang cukup
panjang, akhirnya motto ini dirumuskan bersama dalam hari studi guru.
Pertanyaan sederhana tentunya muncul dari benak kita masing-masing,
apa makna terdalam dari motto ini. Atau yang lainnya, apa makna yang
terkandung di dalamnya.
Dengan demikian uraian berikut merupakan pencarian makna
atas motto yang dimaksud. Uraian di dalamnya merupakan refleksi biblis-
teologis atasnya, yang diharapkan agar penemuan makna biblis-teologis ini
akan mengantar kita pada pemaknaan yang benar dalam peziarahan
pendidikan kita di lembaga pendidikan yang tercinta ini.

Mematri Kasih
Merujuk pada perikop Luk 8:4-15, kita coba menggali pemahaman
dasar atas gagasan mematri kasih dan meraih prestasi. Secara sederhana,
mematri berarti meresapkan dalam hati dan menjadikannya sebagai
bagian dari diri seseorang. Karena telah menjadi bagian dari diri/pribadi,
dengannya berarti telah meresapi dan menjiwai keseluruhan hidup
seseorang.
Bila kembali merujuk pada perikop di atas, mematri kasih boleh
disejajarkan dengan “benih yang jatuh di tanah yang baik”. Benih yang
jatuh di tanah yang baik itu ialah orang yang mendengarkan Firman Allah
dan menyimpannya dalam hati. Orang yang menyimpan Firman dalam
hati ialah orang yang menerima Firman itu dan meresapkannya dalam hati

54 |
serta menjadikan Firman itu menguasai dan menjiwai keseluruhan
hidupnya.52
Kasih dalam konsep biblis-teologis merujuk pada pada banyak
pengertian. Perjanjian Lama menunjuk pada kasih yang bersifat pribadi
dan selektif. Bersifat pribadi karena berakar pada sifat Allah sendiri,
layaknya Dia mengasihi Israel sebagai bangsa yang terpilih. Kasih ini akan
lebih jelas dalam kasih seorang ibu kepada anaknya. Kasih di sini disertai
dengan kerelaan menanggung derita. Kasih adalah bagian dari
kepribadian yang tak dapat sirna oleh murka sekalipun, karena pada
hakekatnya ketidaksetiaan Israel tidak pernah meniadakan kasih Allah.
Allah senantiasa setia dalam ketidaksetiaan manusia.
Kasih juga bersifat selektif karena Allah mengambil inisiatif untuk
memilih Israel. Allah memilih Israel karena Dia mengasihi mereka. Kasih ini
bersifat spontan dan tidak lahir karena suatu nilai tertentu. Bahkan kasih
itu memberikan nilai atas obyek tertentu. Ini berarti bahwa pilihan Allah
atas Israel menjadikan Israel mempunyai nilai dan arti di hadapan Allah
dan manusia, karena Israel tidak ada apa-apanya tanpa status keterpilihan
Allah atas mereka.
Perjanjian Baru menggambarkan kasih dalam Allah yang
mengasihi manusia. Ini tampak dalam diri Yesus. Yesus adalah
penampakan kasih Allah yang menyembuhkan, menerima orang berdosa,
dan menjadi sahabat untuk semua orang. Ini menggambarkan tindakan
Allah yang menyelamatkan. Penyelamatan ini menunjuk Allah yang
mengasihi manusia.
Puncak penyelamatan diri Allah dalam diri Yesus tampak dalam
peristiwa Salib. Salib menjadi klimaks dimana Allah telah menunjukkan

52 Bandingkan gagasan Injil Yohanes. Firman, Logos (Yunani: λογος) berarti Allah.

Prinsip dasarnya berarti membiarkan Allah berkuasa dan meresapi seluruh diri manusia. Yang
dengannya semua tindakan manusia bersumber dari Allah, yang berarti pula dalam tindakan
tersebut manusia menampakkan Allah yang tak kelihatan menjadi kelihatan.
55 |
dan membuktikan cinta-Nya kepada manusia. Dalam Salib Allah telah
menyerahkan semua untuk semuanya tanpa reservasi bagi diri-Nya sendiri.
Dengannya peristiwa Salib menjadi puncak segala perwujudan cinta Allah
bagi segenap umat manusia.
Dengan demikian mematri kasih harus berakar pada sifat Allah
yang mengasihi. Sejatinya mematri kasih mengandung kesediaan untuk
berkorban dan menanggung penderitaan. Mematri kasih seharusnya
bermula dari insiatif yang bersifat spontan (bukan karena apa/sesuatu) dan
harus tampak dalam aksi/tindakan menyelamatkan. Di sana ada
pemberian diri yang total untuk meraih sesuatu yang baik dalam
kehidupan.
Mematri kasih sebagai seorang peserta didik berarti kesediaan
untuk berkorban dan menanggung penderitaan. Anda bisa berkorban dan
menanggung penderitaan dalam banyak hal. Dan ini bisa dimulai dalam
hal-hal kecil.53 Belajar ketika kebanyakan teman: tidur/ber-HP ria,
bercerita/gosip, atau ke pasar; ke sekolah walaupun kebanyakan teman ke
kampung untuk prosesi adat, berpesta pada pesta nikah atau sambut baru,
dll. Dengan sikap mau berkorban dan menanggung derita ketika
kebanyakan teman menikmati kesenangan dan kenikmatan sesaat, pada
akhirnya akan memampukan Anda untuk meraih hasil positif karena
pengorbanan dan penderitaan yang telah Anda berikan.

Meraih Prestasi
Meraih berarti menggapai/memperoleh/mendapatkan. Prestasi
(prestise) adalah buah/hasil dari perjuangan, dan kehormatan yang
diperoleh karena sesuatu yang telah diperbuat oleh seseorang. Dengannya
meraih prestasi dapat dirumuskan sebagai sebuah usaha atau tindakan

53
Bandingkan gagasan Yesus, “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil,
kepadanya akan diberikan perkara yang lebih besar”.
56 |
untuk menggapai/memperoleh/mendapatkan buah atau hasil dari
perjuangan, dan serentak dengannya merupakan kehormatan yang
diperoleh karena telah melaksanakan tugas dengan penuh pengorbanan
(sebagai guru: mendidik dan mengajar, murid: belajar).
Bila kembali merujuk pada perikop Lukas, sama dengan tanah
yang baik, yaitu “orang yang mengeluarkan buah dalam ketekunan”.
Orang akan mampu mengeluarkan/menghasilkan buah dalam hidupnya
bila telah “mendengarkan dan meresapkan” Firman dalam hatinya. Ini
berarti bahwa buah/hasil/kehormatan akan diperoleh jika telah menyimak
sesuatu dengan saksama dan menjadikan “sesuatu” itu sebagai bagian dari
dirinya.
Sebagai siswa, prestasi adalah buah/hasil/kehormatan yang akan
diperoleh jika Anda telah mendengarkan dan meresapkan pengajaran
dengan baik. Anda seharusnya menjadikan setiap pengajaran Bapak/Ibu
guru sebagai bagian diri Anda, yang dengannya Anda kemudian akan
“mengeluarkannya” dalam rupa buah/hasil/kehormatan yang memuaskan,
yang tentunya dalam prestasi yang memuaskan pula.
Dan lebih lagi, jika Anda meresapkan Firman yang adalah Allah
itu dalam hati, dengannya Firman itu akan merajai dan menguasai
keseluruhan diri dan perjuangan diri Anda, yang pastinya Anda tentu akan
menghasilkan buah yang melimpah dalam keseluruhan perjuangan Anda
sebagai seorang pelajar.

Catatan Akhir
Mematri kasih dan meraih prestasi adalah dua hal yang sejalan.
Anda akan berprestasi jika Anda telah mengasihi lewat kesediaan untuk
berkorban dan menanggung penderitaan. Tanpa kasih tidak akan pernah
ada prestasi. Kasih itu akan tampak dalam kesediaan untuk berkorban dan
menderita dalam belajar. Tanpa kesediaan untuk berkorban dan

57 |
menderita dalam belajar, Anda tidak akan pernah berprestasi. Tak
mungkin Anda berprestasi tanpa ada kasih yang mau berkorban dan
menderita. Ini memerlukan pemberian diri yang total. Ingatlah bahwa
Anda akan menuai apa yang telah Anda taburkan. Bila Anda menabur
angin tentu akan menuai badai, sebaliknya bila Anda menabur kasih tentu
Anda akan menuai prestasi.

Daftar Pustaka

A. Nygren, Agape and Eros, 1953


J. D. Douglas, The New Bible Dictionary, 1993
J. Moffatt, Love in the New Testament, 1992
Xaver Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru, 1990

Panduan dan Susunan Acara BINA ROHANI:


1. Lagu Pembuka (Pilih salah satu lagu Roh Kudus)
2. Doa Pembuka (Spontan)
3. Hantaran (Lihat Catatan Awal)
4. Pembacaan KS ( Luk 8: 4-15)
Ketika orang banyak berbondong-bondong datang, yaitu
orang-orang yang dari kota ke kota menggabungkan diri
pada Yesus, berkatalah Ia dalam suatu perumpamaan:
"Adalah seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya.
Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir
jalan, lalu diinjak orang dan burung-burung di udara
memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang
berbatu-batu, dan setelah tumbuh ia menjadi kering karena
tidak mendapat air. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri,

58 |
dan semak itu tumbuh bersama-sama dan menghimpitnya
sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, dan
setelah tumbuh berbuah seratus kali lipat." Setelah berkata
demikian Yesus berseru: "Siapa mempunyai telinga untuk
mendengar, hendaklah ia mendengar!" Murid-murid-Nya
bertanya kepada-Nya, apa maksud perumpamaan itu. Lalu
Ia menjawab: "Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui
rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang lain hal itu
diberitakan dalam perumpamaan, supaya sekalipun
memandang, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar,
mereka tidak mengerti. Inilah arti perumpamaan itu: Benih itu
ialah firman Allah. Yang jatuh di pinggir jalan itu ialah orang
yang telah mendengarnya; kemudian datanglah Iblis lalu
mengambil firman itu dari dalam hati mereka, supaya mereka
jangan percaya dan diselamatkan. Yang jatuh di tanah yang
berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman
itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak
berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa
pencobaan mereka murtad. Yang jatuh dalam semak duri
ialah orang yang telah mendengar firman itu, dan dalam
pertumbuhan selanjutnya mereka terhimpit oleh kekuatiran
dan kekayaan dan kenikmatan hidup, sehingga mereka tidak
menghasilkan buah yang matang. Yang jatuh di tanah yang
baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu,
menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan
buah dalam ketekunan."
5. Konferensi (Lihat Teks: a) Mematri Kasih, b) Meraih Prestasi
Gagasan yang ada boleh dikembangkan lebih lanjut untuk
memperkaya dan memperdalam refleksi diri peserta didik.

59 |
6. Pertanyaan panduan (untuk direfleksikan dan dijawab secara
pribadi, boleh secara tertulis atau lisan ketika kegiatan
berlangsung), diberikan setelah bahan konferensi
dipresentasikan:
A - Apakah Anda pernah berkorban untuk diri Anda dan
orang lain; dalam bentuk apa?
- Apakah Anda lebih mengutamakan belajar dengan
mengabaikan kesenangan-kesenangan lainnya?
- Apakah Anda sudah memberikan diri secara total dalam
proses menjadi seorang siswa/i yang berprestasi?
B. - Apakah Anda mengasihi orang tua Anda?
- Orang tua Anda sedemikian berkorban dan menderita
sebagai wujud kasih mereka kepada Anda, kasih yang
bagaimanakah yang bisa/sudah Anda tunjukan sebagai
wujud kasih Anda kepada orang tua Anda?
7. Kesimpulan (lihat teks: Catatan Akhir, atau lainnya yang
dianggap lebih cocok)
8. Doa Penutup (spontan)
9. Lagu Penutup (salah satu lagu yang sesuai)

Boawae, Asrama Bukit, 03 Juni 2013

60 |
BIODATA PENULIS

Andreas Neke, S. Ag, B. Th., lahir di Jojawa (Sobo-Mangulewa)


pada 08 Maret 1980. Pendidikan dasar dijalani di SDI Waruwaja, sedangkan
pendidikan lanjutan di SMPN 2 dan SMAN Bajawa. Setelahnya mengikuti
Kursus Persiapan Atas (KPA) di Seminari St. Paulus Sintang di Mataloko
selama dua (2) tahun.
Pendidikan calon imam (OFM Cap.-Kapusin) dilanjutkan di Sibolga
(Postulat: 1 tahun), Parapat (Novisiat: 1 tahun), Nias (Post Novisiat: 1 tahun),
Pematangsiantar (Filsafat Agama: 4 tahun), Ndondo-Lio Utara (TOP: 1
tahun), dan Pasca Sarjana (Teologi: 3,5 semester) sampai mengikuti Ujian
Bacalaureat (Standarisasi Ilmu Teologi dari Universitas Urbaniana Roma) di
Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi St. Yohanes Pematangsiantar-Sumatera
Utara.
Berdasar pada refleksi dan permenungan pribadi, kemudian
memutuskan untuk hidup sebagai awam. Sekarang tinggal di Mangulewa
(Sobo), Bajawa, dan Boawae, sambil aktif menulis di Harian Umum Flores
Pos, dan mengajar di SMAS Katolik St. Clemens Boawae.

61 |

Anda mungkin juga menyukai