Anda di halaman 1dari 6

Analisis Kasus Kreativitas

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sri Milfayetty, M.S, Kons

Disusun untuk memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Teori dan Pengembangan Kreativitas

Disusun oleh :

Kelompok 12

Uswatun Hasanah 191804071

Lundu Sitohang 191804066

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MEDAN AREA

TAHUN 2020
KASUS KREATIVITAS : analisis dan buat solusi

R (12 tahun) adalah seorang anak yang dibesarkan di lingkungan polisi, ayah, kakek
dan salah satu pamannya adalah anggota polisi dan ibunya seorang guru. Mereka tinggal di
kompleks polisi. TR dididik oleh ayahnya dengan disiplin yang tinggi, makan, tidur, main
harus teratur. TR tumbuh menjadi anak yang pendiam, patuh dan sangat menurut pada
orangtuanya terutama ayahnya. Ketika usia Taman Kanak-kanak, gurunya mengatakan
bahwa TR adalah anak yang sangat baik, tidak pernah mengganggu temannya, selalu duduk
dengan manis, tidak suka berlari-lari dan jika mengerjakan tugas pasti hasilnya akan hampir
sama persis dengan contoh yang diberikan oleh gurunya dan dia selalu mendapat nilai yang
bagus. Namun untuk kegiatan menggambar bebas TR tidak menghasilkan apa-apa. dia selalu
mengatakan “tidak bisa” karena tidak ada contohnya. Demikian pula jika bermain bebas,
maka TR hanya akan duduk diam menyaksikan teman-temannya bermain. Ibu gurunya
mengatakan bahwa TR tidak kreatif. Hal ini berlangsung terus hingga TR duduk di bangku
Sekolah Dasar.

Ketika duduk di SD kelas IV, Ibunya menemukan beberapa tulisan tangan TR pada
beberapa buku pelajarannya di halaman terakhir. Tulisan itu berupa puisi maupun cerita
sehari-hari yang dialami oleh TR sendiri. Kemudian tulisan ini dikumpulkan dan dijadikan
buku kecil. Salah satu tulisan itu dikirimkan ke majalah dan ternyata dimuat. Kebanyakan
puisinya berisi kekagumannya pada ibunya dan keluh kesah serta keinginannya untuk bebas
seperti alam.

Saat ini TR sudah di SMP, tulisan-tulisannya sering dimuat di madding (majalah


dinding) sekolah. TR tetap merupakan anak pendiam yang cenderung pasif namun dia terus
menulis. Namun dia tidak mau jika harus tampil sendiri di depan orang banyak, makanya dia
tidak mau jika tulisannya diikut sertakan dalam lomba.

A. Analisis

Berdasarkan pada kasus yang telah tergambarkan di atas, maka dapat dikatakan
bahwa pola asuh, lingkungan keluarga, perkembangan minat dan bakat seseorang mampu
membentuk kepribadian yang menetap. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan bahwa perlu
memberikan sikap menghargai atas karya yang telah dibuat oleh anak. Hal inilah yang
memungkinkan seseorang dapat terus memberikan pengembangan pola pikir dan sikap
sosialnya. Berdasarkan indikator perilaku yang ditampilkan oleh anak, maka dapat dipahami
bahwa pola asuh yang diberikan cenderung mengarah pada pola asuh otoriter. Menurut
Gunarsa (2002), pola asuh otoriter yaitu pola asuh di mana orang tua menerapkan aturan dan
batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat,
jika anak tidak mematuhi akan diancam dan dihukum.

Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak,
inisiatif dan aktivitasnya menjadi kurang, sehingga anak menjadi tidak percaya diri pada
kemampuannya. Senada dengan Hurlock, Dariyo (Adawiah, 2017) menyebutkan bahwa anak
yang dididik dalam pola asuh otoriter, cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang
semu. Merujuk pada penjelasan dari teori Hurlock, dapat disimpulkan bahwa anak yang
dididik dengan pola asuh otoriter tersebut tidak mampu mengeksplor secara penuh kapasitas
yang ada pada dirinya. Mengingat masa perkembangan anak pada usia sekolah sebaiknya
memiliki pertemanan yang baik. Penting juga adanya pengawasan dalam pergaulan sehari-
hari dari orang tuanya. Karakter anak usia sekolah umumnya lebih mudah meniru apa yang ia
lihat. Penanaman karakter yang positif maka akan terus menetap hingga dewasa.

Menurut Hurlock (1999) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh
orang tua, yaitu karakteristik orang tua mencakup kepribadian orang tua. Setiap orang
berbeda dalam tingkat energi, kesabaran, inteligensi, sikap dan kematangannya. Karakteristik
tersebut akan mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai
orang tua dan bagaimana tingkat sensitifitas orang tua terhadap kebutuhan anak-anaknya. Jika
dilihat lebih lanjut, orang tua yang berprofesi sebagai polisi maka akan memiliki kedisiplinan
yang tinggi. Ia memiliki power berlebih untuk mendidik anaknya. Pada kasus di atas, anak
tersebut memiliki kecerdasan yang bagus. Kecerdasan yang ada dapat diperoleh dari
keturunan ayah ibunya. TR memiliki kecerdasan intrapersonal yang baik. Ia mampu
mengekspresikannya dalam sebuah tulisan. Puisi yang dihasilkan dari pemikirannya bisa
menggambarkan emosi yang dirasakannya. Tentunya ini bisa menjadi sarana untuk
pengembangan potensi intrinsik TR. Saat anak matang secara emosional, maka adanya kritik
yang negatif dari orang lain ataupun guru bisa diterima dan tidak dipikirkan secara
mendalam. Bahkan bisa jadi anak tersebut tidak menekuni bakatnya di kemudian hari
dikarenakan dicap tidak kreatif oleh gurunya.

TR sebaiknya diarahkan untuk menjadi anak yang asertif. Ini dapat dilatih dengan
diberikannya kesempatan untuk berpendapat secara verbal. Lazarus (dalam Lange &
Jakubowski, 1976) mengemukakan bahwa dalam konsep responsible assertive behavior,
tingkah laku asertif tidak hanya mempertimbangkan keterampilan individu untuk mengetahui
bagaimana cara mengekspresikan kebutuhannya, namun juga memahami kapan tingkah laku
tersebut perlu dan tidak perlu untuk dilakukan. Hal ini karena konsep tingkah laku asertif
sebenamya mengacu pada konteks interpersonal yang sesuai, yaitu bahwa tidak semua
tingkah laku asertif dapat atau perlu dilakukan dalam situasi tertentu. Merujuk pada
pendapatnya Lazarus, ada situasi yang memang dapat dimanfaatkan dengan baik untuk
melatih keyakinan yang kuat pada kemampuan yang dimiliki TR. Orang lain cenderung tidak
dapat memahami pemikiran dan tindakan kita jika kita kebanyakan bertindak secara pasif.
Pada waktu sekolah tingkat lanjut, TR kemungkinan besar dapat merubah sikapnya menjadi
siswa yang asertif dan berani untuk tampil di depan orang banyak.

Kepribadian seorang anak tidak terlepas dari kebiasaan yang ditanamkan oleh orang
tuanya. Ada dua tipe kepribadian yakni tipe introvert dan ekstrovert. Orang-orang yang
termasuk dalam tipe introvert adalah individu yang berpusat pada dirinya sendiri, termasuk
menentukan perilakunya sendiri. Sebaliknya, orang dengan tipe kepribadian ekstrovert
cenderung mengarahkan dirinya pada lingkungan di sekitarnya, dan pada umumnya suka
berteman, ramah, menyukai pesta, mempunyai banyak teman, membutuhkan orang lain untuk
menjadi lawan bicara mereka, tidak suka membaca ataupun belajar sendirian, senang humor,
selalu siap menjawab, menyukai perubahan dan santai (Ulya, 2016). TR dapat dikatakan
mengarah kepada tipe introvert. Adanya hambatan untuk mengarahkan dirinya pada
lingkungan di sekitarnya. Bahkan ia juga tidak mau mengikuti perlombaan padahal tulisan
dan puisinya dapat dijadikan sebagai prestasi tambahan.

Eysenck mengatakan bahwa tipe kepribadian ekstrovert dan introvert menggambarkan


keunikan individu dalam bertingkah laku terhadap stimulus sebagai suatu perwujudan
karakter, tempramen, fisik dan intelektual individu dalam menyesuaikan diri dengan
lingkunganya (Dominika & Virlia, 2018). Menurut Jung individu dengan tipe kepribadian
ekstrovert mempunyai karakteristik lebih ekspresif dalam menyampaikan setiap emosi yang
dirasakannya, sehingga hal tersebut membuat orang dengan tipe ekstrovert akan lebih mudah
untuk mengekspresikan setiap emosi yang dirasakan dengan cara menjalin komunikasi. Jung
juga menjelaskan bahwa pada dasarnya individu dengan tipe kepribadian introvert cenderung
lebih menyukai aktivitas yang tidak melibatkan orang-orang disekitarnya dan memberikan
perhatian lebih berpusat pada diri sendiri (Widiantari & Herdiyanto, 2013). Dapat
disimpulkan bahwa siswa yang memiliki tipe kepribadian ekstrovert akan lebih senang
berinteraksi bersama siswa lainya dibandingkan dengan siswa yang memiliki tipe kepribadian
introvert.

Mengacu pada penjelasan sebelumnya, baik tipe kepribadian esktrovert maupun


introvert masing-masing memiliki perbedaan sifat, cara berpikir, perilaku, dan cara
berinteraksi dengan sekitarnya, sehingga dapat dilihat bahwa tipe kepribadian yang dimiliki
oleh seseorang ikut berperan bagaimana seseorang melakukan interaksi dengan
lingkungannya termasuk dalam penerimaan sosial. Mengingat tujuan yang ingin dicapai
dalam proses pembelajaran adalah perubahan pada sikap dan tingkah laku dari siswa yang
bersangkutan. Dengan demikian, TR bisa saja berubah menjadi sosok yang ekstrovert saat
kehadirannya dapat diterima oleh guru dan teman-teman sekelasnya. Selain itu, ia juga dapat
menyesuaikan diri dan aktif dalam proses belajar.

B. Solusi

Ada beberapa solusi yang dapat diberikan, antara lain:

1. Orang tua sebaiknya tidak mendidik secara otoriter saja namun dapat mendidik
dengan pola asuh autoritatif. Hal ini akan membuat anak menjadi lebih luwes dalam
kehidupan sosialnya.
2. Pihak guru disarankan menjadi monitoring kegiatan anak saat belajar di kelas. Ini
akan membuat anak menjadi termotivasi untuk menghargai hasil karyanya sendiri.
3. Anak dapat diarahkan untuk dapat bekerjasama dalam sebuah kelompok. Jika ini
dapat diterapkan dengan baik, maka akan memunculkan sikap percaya diri dan
membuat anak memahami sudut pandang dari orang lain.
4. Tidak ada salahnya jika orang tua memberikan pujian kepada anak tersebut atas karya
tulis yang telah dibuat. Adanya sikap positif yang ditampilkan oleh orang terdekatnya
dapat menjadi penilaian yang positif pula sehingga memperkuat kemampuannya
dalam menulis.
5. Umumnya anak yang patuh cenderung memiliki gaya yang kaku. Oleh karena itu, ada
baiknya anak diarahkan pada kegiatan yang disukainya. Dengan begitu, anak
memiliki kompetensi lain yang dapat menunjang performa akademiknya.
6. Orang tua dapat memfasilitasi sumber bacaan yang mendukung di rumah. Ini
bertujuan untuk membuat anak memiliki berbagai ide unik dalam menulis.
7. Orang tua dapat menanyakan kepada guru tentang perkembangannya di sekolah

Referensi

Adawiah, R. (2017). Pola asuh orang tua dan implikasinya terhadap pendidikan anak. Jurnal
Pendidikan Kewarnageraan, 7(1), 33–48.
Dominika & Virlia, S. Hubungan tipe kepribadian ekstrovert-introvert dengan penerimaan
sosial pada siswa. Konselor, 7(1), 31–39.
Gunarsa, S. (2002). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: Gunung Mulia.
Hurlock, E. B. (1999). Chlid development jilid 2, terjemahan Tjandrasa. Jakarta: Erlangga.
Lange. A. J. & Jakubowski, P. (1967). Responsible assertive behavior: Cognitive/behavioral
procedures for trainers. Illinois: Research Press.
Ulya, N. M. (2016). Pengaruh metode pembelajaran dan tipe kepribadian terhadap hasil
belajar bahsa arab (studi eksperimen pada man 1 semarang). Jurnal Pendidikan
Islam, 10(1), 1–25.
Widiantari, K. S. & Herdiyanto, Y. K. (2013). Perbedaan intensitas komunikasi melalui
jaringan sosial antara tipe kepribadian enstrovert dan introvert pada remaja. Jurnal
Psikologi Udayana, 1(1), 106–115.

Anda mungkin juga menyukai