Anda di halaman 1dari 13

TUGAS 4

PSIKOLOGI SOSIAL

TEORI – TEORI INTERAKSI SOSIAL

DOSEN PENGAMPU :
Prof. Dr. Firman, M.s.

Atika Khairun Nisa


19006065

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
TEORI – TEORI INTERAKSI SOSIAL

A. Teori Perbandingan Sosial

Kruglanski dan Mayseless (dalam Kaplan dan Stiles, 2004) mendefinisikan


perbandingan sosial sebagai penilaian komparatif mengenai stikulus sosial pada
dimensi tertentu. Festinger mengajukan teori proses perbandingan sosial untuk
menjelaskan perbandingan komparatif yang berhubungan dengan opini dan
kemampuan seseorang. Festinger menyatakan bahwa individu termotivasi untuk
membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain yang spesifik atau umum
untuk menilai situasi sosial mereka sendiri. Individu cenderung untuk
membandingkan diri mereka dengan individu lain yang serupa dengan dirinya sendiri,
sebab dengan melakukan hal tersebut, maka evaluasi yang lebih tepat mengenai opini
maupun kemampuan yang dimilikinya dapat tersedia (Kaplan dan Stiles, 2004).
Beberapa penelitian menemukan bahwa pilihan seseorang dalam membandingkan
dirinya dengan orang lain dapat dipengaruhi oleh self-esteem, dimana seseorang yang
memiliki self-esteem yang rendah atau yang mengalami stress cenderung untuk
membentuk perbandingan dengan orang yang dianggapnya memiliki posisi atau
keadaan yang lebih rendah dari dirinya (Kaplan dan Stiles, 2004).

Arah dari perbandingan sosial dapat menunjukkan motif dari orang yang membuat
perbandingan sosial terhadap sirinya. Perbandingan ke bawah adalah perbandingan
terhadap orang lain yang performansi atau hasil yang ditunjukkan lebih buruk
dibandingkan dengan si pembanding, sehingga perbandingan ini lebih bertujuan
untuk memperkaya diri melalui peningkatan evaluasi diri. Masalah yang muncul dari
bentuk perbandingan ini adalah, terkadang seseorang dapat merasa dirinya menjadi
buruk, terutama bila orang ini memiliki kontrol diri yang rendah. Perbandingan ke
atas dengan tujuan untuk pengembangan diri cenderung dilakukan oleh individu
dengan self-esteem yang tinggi, namun perbandingan ini dapat memiliki efek negatif
seperti frustasi, kecemburuan, kekerasan dan munculnya perasaan rendah diri. Hal
tersebut akan muncul ketika individu merasa bahwa mereka kurang mampu
mengendalikan peningkatan posisi mereka (Kaplan dan Stiles, 2004).

Teori perbandingan sosial dapat dijelaskan melalui proses berikut:

1. Dorongan untuk Mengevaluasi Opini dan Kemampuan


Asumsi dasar yang mendasari teori perbandingan sosial adalah terdapat suatu
dorongan untuk mengevaluasi opini dan kemampuan seseorang (hipotesis 1),
yaitu, seseorang butuh untuk menentukan apakah opininya telah benar dan
untuk memperoleh penilaian yang akurat mengenai kemampuan mereka.
Opini dan kepercayaan individual, serta evaluasi mengenai kemampuannya
merupakan determinan yang penting terhadap perilaku yang akan
ditampakkannya. Opini yang tepat dan penilaian kemampuan yang akurat
akan cenderung mengarah kepada kepuasan atau perilaku yang mendapatkan
reward, sementara keyakinan yang tidak tepat atau penilaian kemampuan
yang tidak akurat akan mengarah kepada konsekuensi yang tidak
menyenangkan (hukuman).
2. Sumber Evaluasi
Festinger menyatakan bahwa, pada umumnya, seseorang akan menggunakan
realitas objektif sebagai dasar dalam mengevaluasi ketika hal ini tersedia
dalam kehidupannya sehari-hari, namun orang tersebut akan mendasarkan
evaluasinya terhadap opini orang lain (realitas sosial) ketika realitas objektif
tidak tersedia. Hipotesis 2 mengatakan bahwa orang-orang yang mengevaluasi
opini dan kemampuan mereka dengan membandingkannya terhadap opini dan
kemampuan orang lain dilakukan ketika alat nonsosial tidak tersedia.
Sebagai kesimpulan dari hipotesis 2, Festinger mengajukan bahwa evaluasi
subjektif mengenai opini dan kemampuan merupakan hal yang tidak stabil
ketika tidak terdapat dasar sosial maupun fisik yang dapat menjadi bahan
pembanding. Kesimpulan lain yang juga diajukan adalah evaluasi opini tidak
akan berdasar pada perbandingan dengan orang lain ketika dasar objektif
tersedia.
3. Pilihan Seseorang dalam Melakukan Perbandingan
Orang-orang yang tidak memiliki basis objektif sebagai pembanding, akan
mengevaluasi opini dan kemampuan mereka dengan membandingkanya
terhadap orang lain. Hipotesis 3 yang diajukan oleh Festinger menyatakan
bahwa kecenderungan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain
mengurangi pertentangan antara opini atau kemampuan seseorang dengan
peningkatan yang dilakukan orang lain. Poin yang dinyatakan di sini adalah
bahwa orang-orang akan memilih untuk mengevaluasi opini dan kemampuan
mereka dengan membandingkannya terhadap opini atau kemampuan teman
sebaya atau orang dekat yang sebaya dengan mereka .
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan
Terdapat 2 faktor utama yang mempengaruhi perubahan kemampuan ketika
dibandingkan dengan opini. Hipotesis 4 menyatakan bahwa terdapat tekanan
tanpa tujuan ke atas dimana kemampuan tidak muncul dalam kasus opini.
Faktor kedua dilihat sebagai hipotesis 5, yang menyatakan bahwa terdapat
faktor nonsosial yang dapat membuat seseorang sulit atau tidak dapat
mengubah kemampuannya, namun, faktor tersebut tidak ditemukan untuk
opini. Seorang wanita dapat mempercayai bahwa dia mampu mengangkat
beban, namun fisiknya tidak mampu melakukan hal tersebut, tidak ada
sejumlah usaha yang mampu membantunya untuk mengangkat beban itu
sendiri. Di lain pihak, apabila wanita yang sama memutuskan bahwa opininya
mengenai beban tersebut adalah salah, maka dia dapat mengubah opininya
dengan mudah.

5. Berhentinya Proses Perbandingan


Individu akan berusaha untuk mengurangi perbandingan terhadap orang lain.
Untuk berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain dalam
kelompok yang opini maupun kemampuannya sangat berbeda dengan diri
yang bersangkutan.Festinger percaya bahwa konsekuensi dari penghentian
perbandingan berasal dari perbedaan opini dan kemampuan. Hipotesis 6
menyatakan bahwa: perluasan dari perbandingan yang berkelanjutan dengan
orang lain mengimplikasikan konsekuensi yang tidak menyenangkan,
penghentian perbandingan akan disertai dengan kekerasan atau derogasi.
Kesimpulan menyatakan bahwa penghentian perbandingan akan disertai
dengan kekerasan atau derogasi pada kasus opini namun tidak pada kasus
kemampuan.

6. Dorongan Menuju Kesatuan


Pada beberapa proposisi sebelumnya, terdapat indikasi bahwa dorongan untuk
mengevaluasi kemampuan dan opini akan menimbulkan dorongan menuju
kesatuan. Kekuatan dari dorongan ini ditentukan oleh sejumlah faktor.

A. Teori Inferensi Korespondesi

Teori ini dikembangkan oleh Jones & Davis (1965) bermula dari asumsi
bahwa seseorang mengobservasi perilaku orang lain dan kemudian menarik
kesimpulan tentang disposisi (ciri-ciri sifat) kepribadian orang yang diamati
tersebut. Dengan kata lain, teori inferensi korespodensi ini menjelaskan
tentang bagaimana kita menarik kesimpulan tentang orang lain melalu
observasi atau pengamatan terhadap orang lain tersebut. Sifat kepribadian
tersebut (disposisi) inipun diasumsikan kehadiran/keberadaannya stabil pada
diri orang itu dan berlaku dari satu situasi ke situasi lainnya.
Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu
kesimpulan tentang apakah suatu perbuatan disebabkan oleh sifat kepribadian
ataukah disebabkan oleh tekanan situasi. Jika faktor-faktor berikut ini hadir
(ada) di saat seseorang melakukan perbuatan atau tindakan, maka dapat
dipastikan perbuatan/tindakan tersebut disebabkan karena faktor sifat-sifat
kepribadian (disposisi) orang tersebut.

Tiga faktor yang mencerminkan disposisi seseorang yang menjadi pusat


perhatian saat observasi yaitu :

1. Non Common Effect (Tindakan Yang Tidak Umum/Unik)

Perilaku yang membuahkan hasil yang tidak lazim lebih mencerminkan


atribusi pelaku dari pada yang hasilnya yang berlaku. umum. Contoh:
seorang lulusan SMA yang pandai dan dapat diterima di fakultas
Kedokteran atau fakultas Ekonomi, tetapi Ia justru memilih jurusan Ilmu
Purbakala, lebih jelas motivasinya dari pada siswa yang prestasinya rata-
rata, tetapi bersikeras masuk ke fakultas Kedokteran atau ekonomi.

2. Freely Chosen Act (Tindakan Atas Pilihan Sendiri)

Perilaku yang timbul karena kemauan orang itu sendiri atau orang itu
bebas memilih kelakuannya sendiri perlu lebih diperhatikan dari pada
perilaku karena peraturan atau ketentuan atau tata cara atau perintah orang
lain.

Contoh: kasir yang cemberut atau satpam yang tersenyum lebih


mencerminkan keadaan dirinya dari pada kasir yang harus tersenyum atau
satpam yang harus galak, hal tersebut benar-benar mencerminkan
atribusinya sendiri karena mereka mempunyai pilihan sendiri.
3. Low Social Desirability (Tindakan yang Menympang Kebiasaan)

Perilaku yang tidak biasa lebih mencerminkan atribusi dari pada perilaku
yang umum. Contoh: seorang pelayan toko menunjukkan toko lain kepada
pelanggannya yang menanyakan barang yang tidak tersedia di toko
tersebut.

B. Teori Atribusi Eksternal

Teori ini menjelaskan bahwa ketika individu mengamati perilaku seseorang,


individu tersebut berupaya untuk menentukan apakah perilaku tersebut
disebabkan secara internal atau eksternal (Robbins dan Judge, 2008). Perilaku
yang disebabkan secara internal merupakan perilaku yang diyakini berada di
bawah kendali pribadi seorang individu, dengan kata lain tidak terpengaruh
oleh hal lain.Perilaku yang disebabkan secara eksternal merupakan perilaku
yang dianggap sebagai akibat dari sebab-sebab luar, yaitu individu tersebut
dianggap telah dipaksa berperilaku demikian oleh situasi. Teori atribusi
relevan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak yang digunakan dalam model penelitian ini.Kepatuhan wajib pajak
dapat dikaitkan dengan sikap wajib pajak dalam membuat penilaian terhadap
pajak itu sendiri. Persepsi seseorang untuk membuat penilaian mengenai
orang lain sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal orang lain
tersebut (Jatmiko, 2006).

Teori ini menjelaskan bahwa ketika individu mengamati perilaku seseorang,


individu tersebut berupaya untuk menentukan apakah perilaku tersebut
disebabkan secara internal atau eksternal (Robbins dan Judge, 2008). Perilaku
yang disebabkan secara internal merupakan perilaku yang diyakini berada di
bawah kendali pribadi seorang individu, dengan kata lain tidak terpengaruh
oleh hal lain.Perilaku yang disebabkan secara eksternal merupakan perilaku
yang dianggap sebagai akibat dari sebab-sebab luar, yaitu individu tersebut
dianggap telah dipaksa berperilaku demikian oleh situasi. Menurut Fritz
Heider sebagai pencetus teori atribusi, teori atribusi merupakan teori yang
menjelaskan tentang perilaku seseorang. Teori atribusi menjelaskan mengenai
proses bagaimana kita menentukan penyebab dan motif tentang perilaku
seseorang. Teori ini mengacu tentang bagaimana seseorang menjelaskan
penyebab perilaku orang lain atau dirinya sendiri yang akan ditentukan
apakah dari internal misalnya sifat, karakter, sikap, dll ataupun eksternal
misalnya tekanan situasi atau keadaan tertentu yang akan memberikan
pengaruh terhadap perilaku individu (Luthans, 2005).

Teori atribusi menjelaskan tentang pemahaman akan reaksi seseorang


terhadap peristiwa di sekitar mereka, dengan mengetahui alasan-alasan
mereka atas kejadian yang dialami. Teori atribusi dijelaskan bahwa terdapat
perilaku yang berhubungan dengan sikap dan karakteristik individu, maka
dapat dikatakan bahwa hanya melihat perilakunya akan dapat diketahui sikap
atau karakteristik orang tersebut serta dapat juga memprediksi perilaku
seseorang dalam menghadapi situasi tertentu.

Fritz Heider juga menyatakan bahwa kekuatan internal (atribut personal


seperti kemampuan, usaha dan kelelahan) dan kekuatan eksternal (atribut
lingkungan seperti aturan dan cuaca) itu bersama-sama menentukan perilaku
manusia. Dia menekankan bahwa merasakan secara tidak langsung adalah
determinan paling penting untuk perilaku. Atribusi internal maupun eksternal
telah dinyatakan dapat mempengaruhi terhadap evaluasi kinerja individu,
misalnya dalam menentukan bagaimana cara atasan memperlakukan
bawahannya, dan mempengaruhi sikap dan kepuasaan individu terhadap kerja.
Orang akan berbeda perilakunya jika mereka lebih merasakan atribut
internalnya daripada atribut eksternalnya.

Menurut kerangka kerja ini, konsep intensional (seperti keyakinan, hasrat,


niat, keinginan untuk mencoba dan tujuan) memainkan peran penting
(Zulaikha, 2013). Adanya konsep tersebut tentunya terdapat kaitannya pada
kepatuhan wajib pajak, di mana rasa kesadaran, memahami, serta mengetahui
untuk patuh membayar pajak dapat dilakukan secara internal maupun
eksternal.

C. Teori Penilaian Sosial


Teori penilaian sosial adalah suatu teori yang memusatkan bagaimana kita
membuat penilaian tentang opini atau pendapat yang kita dengar dengan
melibatkan ego dalam pendapat tersebut. Teori ini dikemukakan oleh Sherif
dan Hovland (1961)mencoba menggabungkan sudut pandangan psikologi,
sosiologi dan antropologi.mereka mengatakan bahwa dalil yan mendasar dari
teorinya ini adalah yang membentuk situasi yang penting buat dirinya. Jadi ia
tidak ditentukan oleh factor intern (sikap, situasi dan motif) maupun ekstern
(obyek, orang-orang dan lingkungan fisik). Interaksi dan faktor intern dan
ekstern inilah yang menjadi kerangka acuan dari setiap perilaku. Pasokan-
pasokan inilah yang dianalisis oleh Sherif dalam teorinya dan dicari sejah
mana pengaruhnya terhadap penilaian sosial dilakukan oleh individu.
Jadi teori penilaian social ini khususnya mempelajari proses psikologis yang
mendasari pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi.
Anggapan dasarnya adalah bahwa dalam menilai manusia membuat deskripsi
dan kategorisasi khusus. Dalam kategorisasi manusia melakukan
perbandingan-perbandingan diantara berbagai alternatifyang disusun oleh
individu untuk menilai stimulus-stimulus yang dating dari luar. Oleh karena
itu kita harus memahami penilaian social dari segi:
1. Skala Penilaian 
Dalam hal ini bagaimana terjadinya penilaian pada diri individu, Sherf
mengemukakan bahwa dalam percobaannya dia memerikkan sejumlah
benda dan setiap benda itu menyatakan mana yang lebih berat dan mana
yang lebih ringan. Disitlah jelas sifat yang akan dinilai dan makin jelas
patokan-patokan yang akan disusun agar penilaiana makin mantap.
Misalnya orang diberikan barang/benda yang dapat ditimabang yang
beratnya bervariasi antara 5-100gram. Dan orang percobaan tersebut
disuruh menetapkan 50gram.sebagai patokannya, maka menggolongkan
benda yang brat dan yang ringan ini stabil. Sebaliknya kalau sifat yang
ditimbang itu meragukan dan tidak ada patokan jelas, maka penilaian akan
labil.
2. Efek Asimilsi dan Kontras
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang orang-orang haruse menggunakan
patokan-patokan diluar batas-batas yang diberikan oleh stimulus yang ada.
Efek dari patokan ini bergantung dari jauh dekatnya patokan dari stimulus.
Jadi penilaian yang mendekati patokan disebut asimilasi. Yaitu patokan
yang dimasukkan kedalam rangkaian stimulus dalam batas rangkaian
stimulus diperbesar. Sehingga mencakupi paotkan. Dan penilaian yang
menyalahi patokan disebut kontras.
3. Garis lintang penerimaan, penolakan dan ketidakterlibatan
Perbedaan akan variasi antara individu akan mendorong timbulnyakonsep-
konsep tentang garis-garis lintang. Garis lintang penerimaan adalah
rangakaian posisi sikap yang dapat diberikan , diterima dan ditolerir oleh
indivudu. Garis lintang penolakan adalah rangkaian posisi sikap yang
dapat tidak diberikan , tidak dapat diterima dan tidak bias ditolerir oleh
indivudu. Garis lintang ketidak terlibatan adalah posisi-posisi yang
termasuk dalam lintang yang pertama. Jari garis-garis lintang ini akan
menentukan sikap indiviru terhadap pernyataan dalam situasi tertentu.
4. Pola Penerimaan dan Penolakan
Jika seorang individu melibatkan sendiri dalam situasi yang dinilainya
sendirimaka ia akan menjadi patokan. maka makin tinggi ia terliat makin
tinggi pula dan sedikait hal-hal yang ditermanya. Sebalikanya ambang
penolakan semakin rendah sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bias
diterimanya.
5. Penilaian social dan penilaian sikap
Komunikasi menurut Sherif dan holand bisamendekatkan sikap individu
dengansikap orang lain.tetapi bias juga menjahui orang lain. Hal ini
tergantung dari posisi awal tersebut terhadap individu lain. Jika posisi
awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan semakin memperjelas
persamaan-persamaan diantara mereka dan sehingga terjadilah
pendekatan. Tetapi sebaliknya, jika posisi awal saling berjauhan, maka
komuniksi akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling
menjahui.

D. Layanan BK Dalam Membantu Mahasiswa Memahami Teori


Interaksi sosial dapat ditingkatkan jika kita mengikuti konseling kelompok.
Hal tersebut dapat dilihat dari peranan anggota kelompok dan suasana
interaksi yang terjadi didalam anggota kelompok. Peranan anggota kelompok
tersebut , yaitu ikut berpartisipasi aktif dalam dinamika interaksi sosial.
sedangkan jika dilihat dari suasana interaksi bahwa dalam konseling
kelompok ini, interaksi terjadi secara multiarah. Dengan interaksi komunikasi
yang multiarah tersebut, akan membuat anggota kelompok untuk melakukan
kontak dan komunikasi. Sehingga dengan kontak dan komunikasi tersebut
akan menimbulkan interaksi diantara masing – masing anggota kelompok.
Dalam pelaksanaan konseling kelompok, pemimpin kelompok akan
membantu proses interaksi yang terjadi didalam anggota kelompok. Sehingga
proses yang terjadi didalam forum konseling kelompok ini bersifat asosiatif.
Dalam konseling kelompok, ada salah satu permasalah individu yang akan
dibahas dan dipecahkan oleh anggota kelompok tersebut. Permasalahan inilah
yang akan membuat hubungan antara masing – masing anggota kelompok
menjadi semakin dinamis. Hubungan interaksi tersebut terjadi semakin erat
diakibatkan oleh faktor simpati dan empati dari masing – masing anggota
kelompok terhadap permasalahan yang dihadapi oleh salah satu anggota
kelompok tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, H.B. dan Stiles, B.L. 2004. Adverse Social Comparison Processes and
Negative Self-Feelings: A Test Of Alternative Models. Social Behavior and
Personality.
Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan Dan Konseling Kelompok. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Sarlito W.Sarwono. 2008. Teori-Teori Psikologi Sosial. Rajawali Pers: Jakarta.
Shaw, M. E. dan Costanzo, P. R. 1982. Theories of Social Psychology, Second
Edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha.
Valk, A & Karu, K. 2001. Ethnic Attitudes in Relation To Ethnic Pride and Ethnic
Differentiation. Journal of Social Psychology. Vol. 141(5).

Anda mungkin juga menyukai