Dosen pengampu
Prof. Dr. Hj. Neviyarni S, M.S.
Soeci Izzati Adlya, S.Pd., M.Pd.
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
semua nikmatnya sehingga penulis berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul
“Teori-teori Sosiologi dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan dan
Konseling” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada
mata kuliah Sosiologi Antropologi Pendidikan. Selain itu, kami juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Teori-teori Sosiologi
dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling.
Kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Hj.
Neviyarni S, M.S. dan Soeci Izzati Adlya, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pengampu
mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang diketahui penulis.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu
proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karna itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini. Kami pun meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila
dalam makalah kami terdapat perkataan yang tidak berkenaan dihati.
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian konsep teori evolusi
2. Mengetahui pengertian teori difusi
3. Mengetahui pengertian teori strukturak fungsional
4. Mengetahui pengertian teori konflik (Marxis, Cosser, Dahrenrof)
5. Mengetahui pengertian teori interaksional simbolik
6. Mengetahui implikasi terhadap layanan Bimbingan dan Konseling
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
yaitu: adanya peralihan dari homogenitas ke heterogenitas yang tampak dari
diferensiasi struktural dan spesialisasi fungsional. Peralihan dari tidak adanya
perpaduan ke terjadinya perpaduan yang merupakan proses interdependensi dan
integrasi yang semakin meningkat. Kemudian dari yang tidak tentu ke yang tentu
dapat dikenali dari kenyataan di mana semakin banyak ketentuan yang lebih
cermat dalam bentuk hukum-hukum dan peraturan-peraturan (Syamsir 2006).
B. Teori Difusi
Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang
disebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat
lain, akan menularkan budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas
kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, di
kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa (Hoselitz,
1988). Dengan adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk
kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi pengkajian difusi terhadap
kebudayaan manusia bukan pada aspek historis budaya tersebut, melainkan pada
letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia (Hoselitz, 1988).
Boas adalah Clark Wissler yang berpendidikan formal sebagai seorang
ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas,
Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari
pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah culture
area yang merupakan pembagian dari kebudayaan-kebudayaan Indian di
Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan mengenai corak
kebudayaan-kebudayaan di dalamnya. Hal ini dilakukannya karena Wissler
ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku
yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang
dilakukannya. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan
budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang
berbeda-beda ke dalam satu golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri
yang sangat mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut (Veeger, 2015).
4
C. Teori Struktural Fungsional
Teori fungsional juga populer disebut teori integrasi atau teori
konsensus. Tujuan utama pembuatan teori integrasi konsensus atau fungsional
ini tidak lain agar pembaca lebih jelas dalam memahami masyarakat secara
integral. Pendekatan fungsional menganggap masyarakat terintegrasi atas dasar
kata sepakat anggota-anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
General agreements ini memiliki daya yang mampu mengatasi perbedaan-
perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat.
Masyarakat sebagai suatu sistem sosial secara fungsional terintegrasi ke dalam
suatu bentuk equilibrium. Oleh sebab itu aliran pemikiran tersebut disebut
fungsional struktural atau fungsional Ismi struktural. Pada mulanya teori
fungsional struktural di alami oleh para pemikir klasik diantaranya socrates Plato
Auguste Comte, Spencer emile Durkheim, Robert k Merton dan talcott parson
(Kartono, 2003).
Menurut (Jacon, 2018) menjelaskan bahwa asumsi teori struktural
fungsional yaitu:
1. Setiap masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara
relatif mantap dan stabil.
2. Elemen-elemen struktur tersebut terintegrasi dengan baik.
3. Setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi yaitu memberikan
sumbangan pada bertanya struktur itu sebagai suatu sistem.
4. Setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi yaitu memberikan
sumbangan pada bertanya struktur itu sebagai suatu sistem.
5
disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Di dalam konflik, selalu
ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Teori konflik mengatakan bahwa suatu penselisihan, baik yang bersifat
antarkelompok, antar individu, ataupun antar keduanyaan (Supardan, 2007).
Menurut (Craib, 2015) tokoh-tokoh sosiologi mengemukakan tentang
teori konflik sebagai berikut:
1. Karl Marx (Marxis)
Karl Marxis berpendapat bahwa konflik kelas diambil satu sebagai titik
sentral dari masyarakat. Konflik antara kaum kapitalis dan proletar adalah
sentral di masyarakat. Segala macam konflik mengasumsikan bentuk dari
peningkatan konsolidasi terhadap kekacauan. Kaum kapitalis telah
mengelompokkan populasi pada segelintir orang saja. Kaum borjuis telah
menciptakan kekuatan produktif dari semua generasi dalam sejarah
sebelumnya. Tetapi kelas-kelas itu juga berlawanan antara satu dengan yang
lainnya. Masyarakat menjadi terpecah ke dalam dua kelas besar yaitu borjuis
dan proletar. Dasar analisi kalangan Marxis adalah konsep kekuatan politik
sebagai pembantu terhadap kekuatan kelas dan perjuangan politik sebagai
bentuk khusus dari perjuangan kelas.
2. Lewis A. Cosser
Lewis A. Cosser mengatakan bahwa konflik itu bersifat fungsional (baik)
dan disfungsional (buruk). Prioritas Cosser pada sisi fungsional konflik
dimana konflik dapat menyumbangkan interaksi dan adaptasi kelompok,
ketahanan dan kekuatan sistem sosial. Jadi, perlu diperhatikan bahwa teori
konflik diarahkan pada peningkatan buka kemerosotan dan adaptasi atau
penyesuaian, baik dalam hubungan sosial spesifik maupun pada kelompok
secara keseluruhan. Dengan begitu, konflik tidak diabaikan karenan
menyebabkan efek negative. Maka secara umum, Cosser hendak
memperlihatkan bahwa konflik tidak harus merusak atau bersifat
disfungsional untuk sistem dimana konflik itu terjadi, melainkan bahwa
konflik itu dapat mempunyai kesekkuensi positif atau menguntungkan sistem
sosial.
6
3. Ralf Dahrendorf
Seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori
kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya
berbahasa Jerman agar lebih mudah dipahami oleh sosiolog Amerika yang
tidak paham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat
sekitar tahun 1957-1958 Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel
melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh
penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. Munculnya teori
konflik Dahrendorf terinspirasi dari pemikiran Karl Marx, sehingga asumsi
ini yang digunakan sebagai landasan, yaitu:
a) Relasi sosial diselubungi oleh konflik kepentingan
b) Secara sistematid, sistem sosial memunculkan konflik
c) Konflik sebagai niscayaan dalam sistem sosial
d) Konflik berkaitan dengan distribusi sumber daya langka utamanya
kekuasaan
e) Konflik sebagai sumber utama perubahan dalam sistem sosial.
Dahrendorf memandang bahwa tidak akan pernah ada masyarakat tanpa
kehadiran konflik. Jadi tidak aka nada konflik tanpa kehadiran konflik
sebelumnya. Tampak bahwa dahrendorf mengambil posisi di antara
keduanya. Untuk kaum fungsionalis, dia menegaskan bahwa sistem sosial
dipersatukan oleh kerja sama sukarela atau consensus keduanya.
E. Teori Interaksional Simbolik
Teori interaksi simbolik adalah teori yang dibangun sebagai respon
terhadap teori-teori psikologi aliran behaviorisme, etnologi, serta struktural-
fungsionalis. Teori interaksi simbolik berangkat dari pemikiran bahwa realitas
sosial merupakan sebuah proses yang dinamis. Individu-individu berinteraksi
melalui symbol, yang maknanya dihasilkan dari proses negoasiasi yang terus-
menerus oleh mereka yang terlibat dengan kepentingan masing-masing (Siregar,
2012). Banyak ahli yang berperspektif mengatakan bahwa individu merupakan
hal yang paling penting dalam konsep sosiologi.
7
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan
inetraksi, serta dari pandangan pendekatan adalah individu (Damsar, 2012).
Banyak ahli yang berperspektif mengatakan bahwa individu merupakan hal yang
paling penting dalam konsep sosiologi (Siregar, 2012). Interaksi simbolik
menurut perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling
bersifat “humanis” menulis mengenai karakter dasar dari teori interaksionisme
simbolik adalah hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam
bermasyarakat dan masyarakat dengan individu. Interaksi antara individu
berkembang melalui symbol-simbol yang mereka ciptakan. Symbol-simbol ini
meliputi grak tubuh, seperti suara atau vocal, geraka fisik, ekspresi tubuh atau
Bahasa tubuh yang dilakukan dengan kesadaran (Damsar, 2012).
Jadi teori simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi
untuk memahami bagaimana manusia, Bersama dengan orang lain, menciptakan
dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
F. Implikasi Terhadap Layanan BK
Bimbingan dan Konseling berkaitan dengan manusia dan segala
permasalahannya. Oleh karena itu pengetahuan dasar tentang sosiologi
khususnya teori-teori membahas tentang hubungan antar manusia atau
masyarakat sangat relevan dalam menunjang pekerjaan bimbingan dan
konseling. Dengan kata lain, ilmu teori sosiologi berimplikasi dalam mencapai
tujuan bimbingan dan konseling itu sendiri (Kartono, 2003).
Implikasinya dapat dicontohkan, hubungan seorang guru dengan peserta
didik. Dalam hubungan tersebut ada pola yang telah diatur, peserta didik sebagai
orang yang akan menerima informasi dan guru sebagai orang yang akan
melakukan trasformasi pengetahuan guna mengetahui keberhasilan peserta
didiknya, ia harus melakukan penilaian. Pandangan peserta didik terhadap
dirinya dan teman-temannya dipengaruhi oleh penilaian guru yang
bersangkutan. Lalu diberilah lebel atas dasar interpretasi bahwa peserta didik
yang duduk di bangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan pintar.
8
Peserta didik yang berada di baris belakang sepertinya kurang pintar,
tidak perhatian terhadap pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru
terhadap mereka yang diinterprestasikan dalam prestasi belajar akan berbeda.
Padahal, dapat saja kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak
signifikan perbedaannya atau mirip (Derung, 2017). Oleh karena itu, dibutuhkan
interaksi langsung dengan melihat dari dekat tidak sepintas–serta memberi
perlakuan sama yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai progres
akademik yang positif sehingga interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta
lapangan.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap
yang dilalui oleh semua masyarakat. Semua masyarakat itu melalui urutan
tahapan yang sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju ke tahap
perkembangan terakhir (Koentjaraningrat. 2007).
Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang
disebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat
lain, akan menularkan budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas
kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, di
kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa (Hoselitz,
1988).
Teori fungsional juga populer disebut teori integrasi atau teori
konsensus. Tujuan utama pembuatan teori integrasi konsensus atau fungsional
ini tidak lain agar pembaca lebih jelas dalam memahami masyarakat secara
integral. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial secara fungsional terintegrasi
ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh sebab itu aliran pemikiran tersebut
disebut fungsional struktural atau fungsional.
Teori konflik berkembang sebagai counter terhadap fungsional
struktural. Teori ini menganggap bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-
kelompok dan golongan yang berbeda kepentingan. Teori konflik juga
mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, masih terdapat kekurangan terutama dari
sumber referensi dalam pembuatan makalah ini. Tak ada manusia yang
sempurna, untuk itu penyusun berharap kepada pembaca untuk memberikan
kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah yang
berjudul hakekat ilmu pendidikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penyusun maupun pihak lain.
10
KEPUSTAKAAN
Craib, Ian. (2015). Teori-teori Sosial Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Damsar. (2012). Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencan`a Prenada
Media Group.
11
PERTANYAAN
Objektif
12
Essay
1. Jelaskan apa yang membandingkan antara teori konflik dan teori fungsionalisme
struktural dalam melihat masyarakat?
Jawab : Perbandingan antara teori konflik dan teori fungsionalisme struktural
dalam melihat masyarakat yaitu teori konflik melihat relasi sosial dalam
sebuah sistem sosial sebagai pertentangan kepentingan sedangkan teori
fungsionalisme struktural menganggap stratifikasi sosial atau hierarki
sebagai sebuah keniscayaan.
2. Bagaimana pandangan teori interaksionisme simbolik dalam meninjau masalah
sosial? berikan contohnya!
Jawab : Menurut pandangan teori interaksionisme simbolik, masalah sosial
dilihat sebagai interaksi simbolis antara individu yang tidak memiliki
masalah sosial dengan individu yang memiliki masalah sosial. Contoh:
Seorang remaja yang bergabung dengan teman-temannya yang
merokok, maka lama kelamaan akan mengikuti pola tersebut. Menurut
teori interaksionisme simbolik, ada pandangan yang berbeda mengenai
masalah sosial.
a. Teori pelabelan.
Kondisi sosial dianggap bermasalah karena kondisi tersebut sudah
dicap bermasalah.
b. Kontruksionisme sosial.
Individu menginterpretasikan dunia sekitarnya secara sosial
mengontruksi realitas sosial. Hal ini disebabkan oleh interaksi intens
individu dengan orang-orang yang mendefinisikan hal-hal
menyimpang sebagai suatu hal yang biasa.
13