Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Naryono
NIM : 11140340000158
Skripsi
Olch:
Narvono
NIPII:11140340000158
Pembimbing:
NIP1 197205181998031003
i
KATA PENGANTAR
Ḥaula Wala Quwata Illa Billah. Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt
Tuhan pemilik alam semesta beserta inisnya. Atas anugerah dan nikmat rahmat
serta karunia yang tak terhingga dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Saw. Kepada para sahabatnya, para tabi’in dan pengikutnya hingga akhir zaman.
melekat pada diri penulis, terkhusus pada penyelesaian skripsi ini. Namun
Alhamdullah dengan keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki ini akhirnya
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dalam bentuk skripsi. Hal ini tidak akan
dapat terwujud dengan sendirinya, melainkan dengan karena adanya dukungan dan
bantuan dari banyak pihak baik dalam bentuk moril maupun materil, sehingga
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA. Selaku rektor Universitas
kepemimpinannya UIN semakin baik dari sisi akademis, keilmuan dan lain-
lain sehingga cita-cita UIN menjadi World Class University dapat segera
terwujud.
ii
iii
jajarannya. Semoga Ushuluddin bisa lebih baik lagi dari segala sisi, agar
Fakultas Tercinta ini akan tetap menjadi jantungnya UIN Jakarta dan dapat
bersaing dengan Fakultas UIN lainnya dari dalam maupun luar Negeri.
3. Terima kasih kepada Dr. Eva Nugraha, MA. Selaku ketua jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir Dr. Fahrizal Mahdi, MIRKH. Selaku Sekteraris Jurusan.
sebagai Dosen.
Penulis secara pribadi menghaturkan terima kasih yang teramat dalam atas
sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Semoga beliau diberikan umur
yang beliau miliki kepada mahasiswa yang beliau ajarkan di kampus UIN
maupun non UIN. Tak lupa penulis mendoakan agar beliau selalu diberikan
miliki.
iv
penulis, dan atas sebuah karya tulisnya Nuansa Sufistik dalam Tafsir
menulis tugas akhir ini dengan pendekatan sufistik. Juga bapak Dr. Abdul
Muthalib, MA. Atas mata kuliah Tasawuf Klasik yang menjadi mata kuliah
pilihan serta salah satu mata kuliah wajib pada Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
ustadz Ujang Syakrodin selaku bapak kedua saya ketika berada di pondok,
kepada para santri termasuk saya, alm ustadz Ridwan Sartono (alm), ustadz
Udi Masyhudi, ustadz Mahfudz, ustadz Abdul Aziz, ustadz Marzuki Laudu,
ustadz Nana Utam, ustadz Fadli, ustadz Hubudillah, dan para Asatidzah
lainnya yang tidak saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas ilmu dan
8. Teruntuk kedua orang tua saya, terutama Ibunda tercinta Hj. Kinah (almh)
yang telah melahirkan saya ke dunia ini. Dalam setiap langkah yang telah
penulis lalui, tak lupa untuk memanjatkan doa untuknya agar Allah Swt
v
kerja. Selesain kuliah! Semoga dapat menjadi ayah yang lebih baik lagi, bagi
9. Terima kasih pula kepada engkong H. Amit (alm) dan Ema Hj. Lanih yang
sedari kecil telah merawat dan pendidik saya hingga saat ini.
10. Teruntuk Hj. Misu Sukaesih yang telah saya anggap sebagai ibu setelah
waufatnya ibunda tercinta, serta Hj. Suratna yang saat ini menjadi
pendamping ayah semoga bisa menjadi suritauladan bagi saya, dan adik-
adik saya. Serta untuk Keluarga Besar Bapak H. Amit dan H. Asan H.
11. Kepada adik dan kakak saya, Parta Wijaya, Rezah Aurelia semoga cepat
menyelesaikan studinya walaupun saat ini masih semester dua, Talita Hasna
Humaira. Andri Reinaldi yang baru saja dikaruniai momongan yang kedua.
Semoga tetap menjadi ayah yang baik untuk teh Kiki dan kaka Najwa serta
13. Kawan-kawan Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Aqidah dan Filsafat
Ilham agar bisa mendapatkan gelar sarjana. Terima kasih juga kepada
menyelesaikan Studi.
14. Rekan-rekan KKN KISS 2017 Desa Kemuning, terima kasih atas
Semoga apa yang telah kita lakukan selama menjalani kegiatan KKN dapat
15. Teruntuk IKPMA Ciputat terutama Ketua kang Ichan dan mas Dito Alif
Pratama Selaku Owner Santri Menggelobal terima kasih atas motivasi dan
pengalaman yang telah beliau berikan kepada saya, KMIK Jakarta teruntuk
diberikan momongan. Bang Cipop Alpacino dan bang Cecep Supardi yang
oraganisasi yang saya sebutkan atas ilmu dan pengalaman selama saya
berorganisasi.
16. Untuk kakanda Ulul Azmi, M. Dedi Sofyan, Ali Akbar, Jumadi Suherman.
Yang telah banyak membantu dan memotivasi saya ketika masih bekerja
akhirnya.
vii
17. Terima kasih kepada OM Cecep Rahmat Hidayat (kang oma) yang punya
kawasan Primajasa, atas motivasi dan pengalaman hidup yang telah beliau
saya sudah memadahi dari segi financial kita dapat menjalin kerja sama
18. Terima kasih juga kepada segenap keluarga Lembaga Survei Indonesia
(LSI), terutama kang Umam Biladi Kusuma, kang Ajuba, kang Aziz Arai,
mas Ibad, kang Sadri. Serta kawan-kawan lain selama saya terlibat dalam
kegiatan survei.
Penulis merasa perlu memberikan ucapan terima kasih kepada mereka yang
telah penulis sebutkan di atas, karena berkat dukungan, semangat dan doa yang
tulus kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis menyadari betul
bahwa skripsi ini jauh dari nilai kesempurnaan, namun besar harapan penulis bahwa
penelitian ini dapat memberikan manfaat terlebih bagi penulis dan umumnya bagi
Naryono
Pedoman Transliterasi
A. Konsonan
ب B Be
ت T Te
ث Ts te dan es
ج J Je
خ Kh ka dan ha
د D De
ر R Er
ز Z Zet
س S Es
ش Sy es dan ye
غ Gh ge dan ha
ف Ef Ef
viii
ix
ق Q Ki
ك K Ka
ل L El
م M Em
ن N En
و W We
ه H Ha
ء ` Apostrop
ي Y Ye
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rankap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya sebagai berikut:
ـَـــ a Fatḥah
ـِـــ i kasrah
ـُـــ u ḏammah
ـَــــ ي ai a dan i
ـَـــ و au a dan u
C. Vokal Panjang
x
Ketentuan alih aksara vokal Panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Contoh:
= قالqâla
= قيلqîla
يقول = yaqûlu
D. Keterangan Tambahan
Indonesia dengan al-. Seperti . Kata sandang ini menggunakan huruf kecil,
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, di tulis sesuai
cet. = cetakan
H. = Hijriah
h. = halaman
xi
M. = Masehi
w. = Wafat
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA UJUAN
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .....................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................8
D. Tinjauan Pustaka ..........................................................................................9
E. Metodologi Penelitian ................................................................................12
1. Metode Pengumpulan Data ..................................................................12
2. Metode Pembahasan.............................................................................13
3. Teknik Penulisan ..................................................................................13
F. Sistematika Penulisan ................................................................................13
xii
xiii
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................66
B. Saran ...........................................................................................................66
C. Daftar Pustaka ............................................................................................68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir Isyâri merupakan corak tafsir yang lebih mengedepankan ta’wîl
para penempuh jalan spiritual (tasawuf) yang mampu memadukan antara makna
batin (esoteris) dengan makna lahiriyah (eksoteris) yang dikehendaki oleh ayat
yang ditafsirkan.1 Tafsir jenis ini, disebut juga sebagai al-Tafsîr al-Ṣûfi (selanjutnya
akan disebut tafsir sufi).2 Tafsir dengan corak sufistik lahir dari kebiasaan para sufi
sebagaimana yang terdapat pada ajaran tasawuf, baik melalui pembacaan, ataupun
Secara umum tafsir sufi berbeda dengan tafsir lain, di mana tafsir yang
bercorak non sufistik hanya menitikberatkan pada aspek bahasa dan teks, meskipun
ada beberapa pengkaji al-Qur’an yang mengkaji tentang metode dan cara
pelafalannya. Tafsir sufi dalam pendekatannya sangat kental dengan nuansa filsafat
dan tasawuf.4
Kemunculan tafsir sufi di kalangan umat Islam tidak bisa dilepaskan dari
pemahaman makna-makna al-Qur’an pada wilayah esoteris suatu kata, kalimat dan
1
Muhammad ‘Abd al-Aẕim Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Daar al-
Fiqr, 1996), jilid 2, h. 76.
2
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2015), cetakan ke 3,h. 367.
3
Arsyad Albar, “Epistemologi Tafsir Sufi Studi terhadap Tafsir al-Sulami dan al-
Qusyairi,” (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Jakarta 2015), h. 26.
4
Arsyad Albar, “Epistemologi Tafsir Sufi Studi terhadap Tafsir al-Sulami dan al-
Qusyairi,” h. 48.
5
Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya
Fakhr al-Din al-Razi, (Bekasi: An Nahl, 2016), cetakan pertama, h. 4.
1
2
mentakwilkan ayat al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya, hal
itu disebabkan oleh adanya isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya diketahui oleh
para penempuh jalan spiritual dan tasawuf serta mampu memadukan antara makna
esoteris dengan makna eksoteris yang dikehendaki oleh ayat yang ditafsirkan.6
isyarat-isyarat akan keberadaan tafsir isyari sudah ada sejak diturunkannya al-
Qur’an. Al-Qur’an mengisyaratkan akan keberadaan tafsir ini yang terdapat pada
memiliki makna eksoteris dan makna esoteris. Hal ini juga dijelaskan oleh nabi
abad kedua sampai abad keempat dari tahun hijriah sebagaimana yang diungkapkan
oleh Gerhard Bowering11 hal ini dipelopori oleh Hasan al-Baṣri (w. 110 H/728 M),
Ja’far al-Ṣâdiq (w. 148 H/765 M.), dan Sufyân al-Tsaȗri (w. 161 H/778 M). Dari
ketiga mufassir ini yang paling signifikan adalah Ja’far al-Ṣâdiq, sebagaimana yang
(330 H/938 M - w. 412 H/1020 M), dan ditransmisikan kepada anaknya, Musa al-
6
Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulum al-Qur’ân, jilid 2, hlm. 78.
ِ أي نماِتكونواِيدرككم ِالموت ِولوِكن تم ِفيِب روج ِمشيَّدة ِوإن ِتصب هم ِحسنة ِي قولواِهذهِ ِمن ِعندِاللَّه ِوإن ِتصب هم ِسيئة7
ي قولواِهذهِمنِعندكِقلِكلِمنِعندِاللَّهِفمالِهؤَلءِالقومَِلِيكادونِي فقهونِحديثًا
أفَلِي تدبَّرونِالقرآنِِولوِكانِمنِعندِغيرِاللَّهِلوجدواِفيهِاختَلفًاِكث ًيرا8
أفَلِِي تدبَّرونِالقرآنِأمِعل ِق لوٍِأق فالها9
10
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah
Wahabiyyah, t.t), jilid 2, h. 261-262. Lihat juga Abû Abdurrahman al-Sulami, Haqa’iq al-Tafsir,
(Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1421), h. 21.
11
Alan Doldas, “Sufism” dalam Andrew Riffin (ed), The Blackwell Companion to te
Qur’an, (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h. 252. Dalam Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa
Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtîh al-Ghaib Karya Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 108.
3
Khaẕȋm (w. 183 H/791 M), darinya kemudian diriwayatkan kepada cucunya ‘Ali
Riḏa (w. 203 H/811 M), dan darinya kemudian sampai kepada al-Sulami. Pada
periode pertama ini tak ada satupun tafsir yang bernuansa sufistik terhimpun,
melainkan hanya riwayat yang terus menerus hingga sampai kepada al-Sulami.12
Adapun periode kedua di mulai pada abad ketiga sampai abad ke empat dari
tahun Hijriyah yang dimulai oleh al-Sulami, Dzu al-Nûn al-Misri (w. 246H/854 M),
Sahl al-Tustari (selanjutnya disebut al-Tustari) (w. 283 H/891 M), Abû Sa’îd al-
Kharrâz (w. 246/854 M), al-Junayd (w. 298 H/906 M), Ibn ‘Aṯa al-Adami (w. 311
H/ 919 M), Abu Bakar al-Wâṣiṯi (w. 320 H/928 M), dan al-Syibli (w. 334/942 M).
Namun dari semuanya hanya al-Tustari dengan judul Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm,
Dzu al-Nûn al-Misri dengan judul Tafsîr Ṣûfi al-‘Irfân li al-Qur’ân al-Karîm,13 Ibn
Periode ketiga dimulai pada akhir abad kelima sampai ketujuh dari tahun
Hijriah. Pada periode ini penafsiran yang menggunakan corak tasawuf terbagi
menjadi tiga model; moderat, penafsiran esoteris secara mendalam, dan penfasiran
esoteris yang berasal dari orang Persia. Istilah moderat sendiri merujuk kepada
penafsiran yang disandarkan kepada riwayat Nabi, sahabat dan para mufassir
pertama yang menafsirkan al-Qur’an pada wilayah zawâhir-nya saja, seperti
sintaksis, gramatikal, asbâb al-Nuzûl, fiqh, dll. Di antara para mufassir sufistik
moderat ini adalah Abu Isḥaq Ahmad bin Muhammad Ibrahim al-Tsa’labi (w. 427
M), dengan Laṯâ’if al-Isyârât, dan tafsir Nughât al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân yang
dikarang oleh Syihâb al-Dîn Abu Hafs ‘Umar bin Muhammad al-Suḥrawardi (w.
12
Lihat dalam Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtîh al-
Ghaib Karya Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 108.
13
Lilik Ummi Kaltsum, Ayat-ayat Cinta dalam Tafsir Sufi (Analisis kata Hub dalam Tafsir
Dzu al-Nûn al-Misri), Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, (Rembang: al-Itqân, STAI Al Anwar,
2017), h. 46.
14
Lihat dalam Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtîh al-
Ghaib Karya Fakhr al-Din al-Razi, h. 108.
4
632 H/ 1240 M) selanjutnya disebut al-Suhrawardi. Model kedua, tafsir sufi secara
holistik ada dalam sebuah karya tafsir adalah karya Abu Tsȃbit ‘Abd al-Malik al-
Daylami (w. 598 H/1206 M) dengan judul Taṣdîq al-Ma’ârif atau yang dikenal
dengan Futûh al-Rahmân fi Isyârât al-Qur’ân dan tafsir ‘Araîs al-Bayân fi Haqâiq
al-Qur’an yang ditulis oleh Muhammad Ruzbihan bin Abi Nasr al-Baqli al-Sairazi
(w. 606 H/1214 M), sedangkan tafsir sufi yang ditulis oleh orang persia adalah
karya Abu ‘al-Fadl al-Rasyîd al-Dîn al-Maybudi, Kasyf al-Asrâr wa ‘Uddat al-
Pada periode kedua ini tepatnya abad ke 5 H/11 M. Keberadaan tafsir sufi
terhadap tafsir yang bernuansa sufistik. “wa amma kalam al-shûffiyah fi al-Qur’ân
Shalah (w. 642 H/1250 M) dalam al-Fatâwa. Ibn Shalah mengambil pandangan
dari Abû Ḥasan al-Wȃhidi (w. 466 H/1074 M) (selanjutnya disebut al-Wȃhidi)
bahwa Abû ‘Abdurrahmân al-Sulami menulis kitab tafsir yang diberi judul Haqâ’iq
yang telah ditulis oleh al-Sulami. “jika al-Sulami meyakini yang ditulis olehnya
dalam Haqâ’iq adalah sebagai sebuah Tafsir, beliau hanya menjelaskan akan makna
15
Lihat dalam Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtîh al-
Ghaib Karya Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 108-109.
16
Lihat dalam M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-
Qur’an, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, (Palangkaraya: Pusat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (P3M) STAIN Palangkaraya, 2014), h. 1.
17
Jalâluddîn al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘ulûm al-Qur’ân, (Makkah al-Mukarrahah, t.t), jilid 4,
h. 194-195.
5
yang dikehendaki oleh Allah di dalam al-Qur’an.18 Pandangan ini dikuatkan oleh
Sa’d al-Dîn al-Taftazâni (w. 722 H/1209 M) dalam kitabnya Syarh Aqâ’id al-
makna eksoteris saja, melainkan juga menggunakan makna esoteris dari sebuah
Haqâ’iq al-Tafsîr. Tafsir itu berasal dari salah satu muridnya, ‘Abd al-Karim al-
M. Ia memiliki dua produk tafsir yang dikarang sebelum dan sesudah mengenal
tasawuf, tafsir yang karang olehnya sebelum mengenal tasawuf diberi judul al-
Taisîr fi ‘ilm al-Tafsîr diselesaikan sebelum tahun 410 H. Kitab Tafsir ini murni
asbâb al-Nuzûl, fiqh dan kalam. Tafsir yang kedua adalah Laṯâ’if al-Isyârât yang
diselesaikan sekitar tahun 434 H. Tafsir ini ditulisnya setelah mengenal dan belajar
tasawuf dari para gurunya.21 Selain seorang mufassir, al-Qusyairi juga seorang ahli
tasawuf, ahli hadits, ahli tata bahasa arab, sastrawan arab, seorang ahli kalam
(theologi), dan seorang sufi yang menganut aliran theologi Sunni dan mengambil
faham fiqh bermadzhab al-Syafi’i. Pada bidang tasawuf al-Qusyairi dikenal dengan
aliran sunni pada masanya. Karena pada saat itu aliran sunni tidak luput dari
18
M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, h. 7.
19
Jalâluddîn al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 194-195. Lihat juga dalam
M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, h. 8.
20
‘Abd al-Karim al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, penerjemah Umar Faruq, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), cetakan ke 3, h. 14.
21
Habibi al Amin “Emosi Sufistik dalam Tafsir Isyari Studi atas Tafsir Lata’if al-Isyarat
Karya al-Qusyairi,” (Disertasi S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
2015), h. 64.
6
Laṯâ’if al-Isyârât, al-Qusyairi menggunakan metode yang hampir sama dengan al-
Sulami, hanya saja al-Qusyairi lebih menekankan dalam tafsirnya kepada sisi
eksoterik dan esoterik al-Qur’an. Kedua landasan ini menjadi dasar yang harus
bahwa sufi tidak selalu identik dengan makna yang tidak terjangkau oleh nalar.23
Karena keahlian yang dimiliki oleh al-Qusyairi yang begitu banyak, hal ini
tasybîh.24 Karena penafsiran sufi identik dengan penafsiran simbolik. Adapun kitab
yang menjadi sumber utama pada skripsi ini adalah tafsir Laṯâ’if al-Isyârât karya
al-Qusyairi.
Objek utama yang akan dikaji pada penelitian ini adalah ayat-ayat tasybîh
makhluknya seperti Singgasana, Yad, maupun Wajh Allah. Adapun yang menjadi
objek utama dalam kajian ini adalah Laṯâ’if al-Isyârât karya al-Qusyairi adapun
judul pada kajian ini adalah “Tafsir Isyâri tentang Ayat-ayat Tasybîh Menurut ‘Abd
al-Karȋm al-Qusyairi.”
22
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazȃni, Tasawuf Islam, penerjemah Subkhan Anshori,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), cetakan ke pertama, h. 176-177.
23
Arsyad Abrar “Epistemologi Tafsir Sufi Studi atas Tafsir al-Sulamy dan al-Qusyairi,”
h. 110.
24
Tasybîh secara bahasa adalah keserupaan, tasybîh mengungkapkan bahwa ada
keserupaan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. Hal ini karena Allah adalah “pemilik Nama-nama.”
Barzakh (sekat, simbol keadaan pertengahan, sesuatu yang memisahkan dua hal yang tidak pernah
bersatu). Alzumardi Azra dkk. Dalam Ensiklopedia Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), cetakan
pertama, jilid 3, h. 1296.
7
seperti ‘Arsy, Yad Allah, dan Wajh Allah dalam Laṯȃ’if al-Isyȃrȃt?
Pada penelitian ini, penulis hanya akan membahas pertanyaan pada poin
Tasybih, seperti ‘Arsy, Yad Allah, dan Wajh Allah dalam Laṯȃ’if al-Isyȃrȃt?
dijelaskan pada latar belakang di atas, maka perlu bagi penulis untuk membatasi
masalah pada penelitian ini. Batasan yang dimaksud penulis dalam kajian ini yang
terfokus pada beberapa ayat yang bersifat Tasybîh. Adapun ayat-ayat Tasybîh yang
terdapat di dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut: yang berkaitan tentang Allah
Bersemayam di atas ‘Arsy, terdapat pada QS. Al-A’raf 7:57, QS. Al-Ra’d 13:2, QS
8
Taha 20:5, QS. al-Anbiya 21:22, QS. Al-Mu’minun 23:86, 23:116, QS. Al-Furqan
25:59, QS. Al-Sajdah 32:4, QS. Al-Zukhuf 43:82. dan QS. Al-Hadid 57:4. Adapun
yang berkaitan tentang Yad Allah, terdapat pada QS. Ali-Imran 3:26, 3:73, QS. Al-
Maidah 5:64, QS. Al-A’raf 7: 57, QS. Yasin 36:83, QS. Ṣad 38:75, QS. Al-Fath
48:10, QS. Al-Hujurat 49:1, QS. Al-Hadid 57:29 dan QS. Al-Mulq 67:1. Dan ayat
yang berkaitan dengan Wajh Allah terdapat pada QS. Al-Baqarah 2:115, 2:272, QS.
Al-Ra’d 13:22, QS. Al-Rûm 30:39, QS. Al-Rahman 55:27, QS. Al-Insan 76:9, dan
Dari sekian banyak ayat yang bermakna Tasybîh, penulis berfokus terhadap
ayat yang berkaitan tentang Allah Bersemayam di atas ‘Arsy pada QS. Al-Ra’d
13:2, QS. Taha 20 : 5, sedangkan yang berkaitan tentang Yad Allah penulis berfokus
pada QS. Al-Mulk 67:1 dan Wajh Allah penulis berfokus pada QS. Al-Fath 48:10
hendak dicapai pada penelitian ini adalah memahami penafsiran al-Qusyairi tentang
adalah:
(S1).
9
terutama dalam ranah ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Terkhusus yang berkaitan
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang al-Qusyairi bukanlah kajian yang sama sekali baru.
Pembahasan ini telah banyak diteliti oleh banyak kalangan akademis baik dari
penelusuran yang telah penulis lakukan, terdapat beberapa karya terdahulu dan
Skripsi yang ditulis oleh Moh. Toha Mahsum UIN Sunan Kalijaga 2009,
berjudul “Kisah Musa dan Khidr dalam Surat al-Kahfi (Studi Penafsiran al-
tentang penafsiran al-Qusyairi dalam menafsirkan kisah Musa dan Khidir dalam
QS. Al-Kahfi 18:60-80. Dalam penelitian ini didapati makna yang tersurat bahwa
manusia diperintahkan untuk belajar dan memperoleh ilmu agar dapat mendekatkan
Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun 2013, dengan judul
“Konsep Zikir Perspektif al-Qusyairi dalam kitab tafsir Lathâ’if al-‘Isyârât (telaah
25
Moh. Toha Mahsum, “penafsiran imam al-Qusyairi dalam Kitab Tafsir Lata’if al-
Isyarah Studi tentang Metode Penafsiran dan aflikasinya,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogjakarta, 2009).
10
terhadap penafsiran al-Qusyairi pada ayat-ayat tentang zikir dalam kitab tafsir
Lathâ’if al-‘Isyârât)”.26
Kajian penelitian lain juga pernah diteliti oleh Afiyatul Azizah dalam
sebuah Tesis, IAIN Surakarta pada tahun 2014, dengan judul Penafsiran Huruf
Kajian al-Qusyairi selanjutnya ditulis oleh Tajul Muluk dalam bentuk Tesis,
UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta pada tahun 2016, dengan judul “Pemaknaan al-
Qur’an dalam Perspektif al-Imam al-Qusyairi (Telaah atas kitab Tafsir Laṯâ’if al-
Isyârât).28
Negeri (UIN) Jakarta 2017, dengan judul Penafsiran Ayat-ayat Komunikasi Orang
Tua dan Anak: Studi Analisis Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât. Penelitian ini tentang
komunikasi orang tua dengan anaknya dalam tafsir Laṯâ’if al-Isyârât seperti, kisah
Nabi Nuh dengan Kan’an, Ya’kub dan anaknya, Lukman dengan Anaknya, dan
Nabi Ibrahim dengan anaknya yaitu Ismail. Serta membahas komunikasi orang tua
26
Nenden Maria Jayusman, “Konsep Zikir Perspektif al-Qusyairi dalam kitab tafsir
Lathâ’if al-‘Isyârât (telaah terhadap penafsiran al-Qusyairi pada ayat-ayat tentang zikir dalam
kitab tafsir Lathâ’if al-‘Isyârât),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Gunung Djati, Bandung, 2013).
27
Afiyatul Azizah, “Penafsiran Huruf Muqatha’ah Telaah Kritis Penafsiran Imam
Qusyairi Tentang حمDalam Lata’if al-Isyarah,” (Tesis S2, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Surakarta, 2014).
28
Tajul Muluk, “Pemaknaan al-Qur’an dalam Perspektif al-Imam al-Qusyairi (Telaah
atas kitab Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât)” (Tesis S2, Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi
Qur’an Hadis, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogjakarta, 2016).
29
Suliono, “Penafsiran Ayat-ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak: Studi Analisis Tafsir
Lata’if al-Isyarat,” (Tesis S2, Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017).
11
(UIN) Jakarta 2018, dengan judul Tafsir Ayat-ayat Sufistik (Studi Komparasi Tafsir
Kalijaga 2009 dalam bentuk disertasi yang berjudul “Penafsiran Imam al-Qusyairi
dalam Kitab Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât (Studi tentang Metode Penafsiran dan
dan bernuansa tasawuf. Selain itu disebutkan juga bahwa al-Qusyairi dalam
Penelitian terakhir yang penulis temukan adalah disertasi yang ditulis oleh
2015, berjudul Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari Study atas Tafsir Laṯâ’if al-
30
Irwan Muhibuddin, “Tafsir Ayat-ayat Sufistik Studi Komparasi Tafsir al-Qusyairi dan
al-Jailani,” (Tesis S2, Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018).
31
Abdurrahman Yapono, “Abd al-Karim al-Qusyairi dan Sumbangannya dalam Tafsir
Simbolik. Analisis karya Lata’if al-Isyarah,” (Disertasi S3, Universitas Malaya, Malasyia, 2006).
32
Abdul Munir, “Penafsiran imam al-Qusyairi dalam Kitab Tafsir Lata’if al-Isyarah Studi
tentang Metode Penafsiran dan aflikasinya,” (Disertasi S3, Program Pascasarjana, Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogjakarta, 2009).
33
Arsyad Albar, “Epistemologi Tafsir Sufi Study terhadap Tafsir al-Sulamy dan al-
Qusyairi,” (Disertasi S3, Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2015).
12
Qusyairi dalam Laṯâ’if al-Isyârât dipengaruhi oleh unsur emosi sufistik, unsur
emosi yang dimaksud dalam bentuk penafsiran bahasa syair. Seperti emosi cinta
Muḥib).34
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Research). Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk mencari sumber informasi
yang tertulis melalui kitab rujukan primer maupun sekunder melalui literatur
pembahasan yang dituju pada penelitian ini. Adapun sumber primer pada penelitian
ini adalah tafsir Latȃ’if al-Isyȃrȃt karya ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi yang terfokus
untuk meneliti ayat-ayat yang bermakna tasybîh antara Allah dengan makhluk
beberapa rujukan sekunder lain berupa kitab-kitab tafsir sesudah al-Qusyairi seperti
al-Kasysyâf karya al-Zamaksyari (w. 538 H), Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din
al-Râzi (w. 606 H), al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân karya al-Qurthubi (w. 671 H),
Safwah al-Tafâsîr karya Ali al-Ṣabûni, dan literatur lainnya seperti skripsi, tesis,
34
Habibi Al Amin, “Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari Study atas Tafsir Lata’if al-Isyarat
Karya al-Qusyairi”, (Disertasi S3, Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2015).
13
2. Metode Pembahasan
analitis yaitu metode yang digunakan untuk membahas suatu permasalahan dengan
3. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman
akademik: penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Maktabah Syamilah sebagai alat bantu untuk menuliskan ayat al-Qur’an. Untuk
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab, gambaran dari
sistematika pada penelitian ini ialah Penelitian ini diawali dengan bab pertama yaitu
pendahuluan, bab ini membahas tentang latar belakang, identifikasi, batasan dan
36
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2014), cetakan ke 33, h. 8.
14
Adapun bab kedua membahas tentang Diskursus Tafsir dan Takwil dengan
terhadap Ayat-ayat Tasybîh dalam uraian: Allah Bersemayam di atas Arsy, Yad
Bab kelima yaitu bab penutup yang akan memberikan kesimpulan dari hasil
alegoris (batin), maka dibutuhkan seperangkat ilmu atau metode yang memadai
agar dapat menyingkap segudang makna yang tersimpan di balik teks al-Qur’an
yang seperangkat ilmu tersebut dinamakan dengan tafsir.1 Tafsir sebagai produk
hasil interaksi antara nalar seorang mufassir dengan teks, dan konteks yang
melingkupinya, serta tidak mengalami titik henti hanya sampai pada konteks
tersebut.2
(ُ)الكشف ُو ُالب يان.4 Mengikuti wazan taf’il () تفعيل. Ada yang mengatakan bahwa
tafsîr )(التفسيرberasal dari kata al-Safru ُ( السفرdengan menukar tempatnya sin dan
fa), seperti kata orang arab “Pagi membelah ketika ia menyembulkan cahaya”
asfara al-Subḥu idza aḏȃ’a (ُ)أُسُفُرُُالصُبُحُُإُذُاُأُضُاء.5 Ada pula yang mengatakan bahwa
tafsir berasal dari kata al-Tafsirat ُالت فسي رة, alat yang digunakan untuk mendeteksi
air seni,6 yang dipergunakan untuk mencari tahu penyebab sebuah penyakit. Dokter
1
Wahyudi, Interpretasi Komparatif Takwil Sufi Abu Hamid al-Ghazali dan Ibn Arabi’
Terhadap Ayat-ayat al-Qur’an, (Islamika Inside:Jurnal Keislaman dan Humaniora, Desember
2018), h.179.
2
Abdul mustaqim, metode penelitian al-Qur’an dan Tafsir, (Yogjakarta: Idea Press, 2017),
cetakan pertama, h.15.
3
Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, al-Qohirah, 2000, jilid pertama h. 12.
4
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, )Makkah al-Mukarramah, t.t), jilid 4,
h. 167.
5
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167. Pendapat yang
mengatakan bahwa sin dan fa’ yang bertukar posisi sebagaimana penjelasan di atas tidak cukup
popular dalam disiplin ilmu Ulum al-Qur’an, setidaknya hal ini tidak sering penulis temukan dalam
sekian penjelasan istilah dari kata tafsir itu sendiri.
6
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 1055 namun menurut al-Suyuṭi
makna الت َّ ْف ِسي َْرةbukan air seni orang sakit, melainkan sebuah alat (tidak dijelaskan alat yang
15
16
menelitinya berdasarkan warna air seni tersebut untuk menunjukan adanya penyakit
yang diderita oleh pasiennya tersebut.7 Ibn Manẕûr dalam Lisân al-‘arab (ُُلُسُان
ُ )الُعُُرابmenjelaskan bahwa fasara (ُ )فُسُرadalah menyingkap sesuatu yang tertutup
dan tafsir adalah menyingkap makna yang dikehendaki dari lafadz yang musykil.8
Penulis memahami dari penjelasan di atas bahwa tafsir secara bahasa adalah
terminologi tafsir. Menurutnya, “Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang proses
turunnya ayat al-Qur’an, asbâb al-Nuzûl, urutan turunnya ayat baik secara makki
petunjuk tentang suatu lafaẕ (‘ilm al-Lughât), hukum-hukum individu atau redaksi
asal suatu kalimat (‘ilm al-Ṣorf wa al-I’râb dan ‘ilm al-Balâghah seperti ‘ilm al-
Bayân, ‘Ilm al-Ma’âny dan ‘Ilm al-Badî’), dan makna-makna yang dikandung
dimaksudkan seperti apa) dan digunakan oleh dokter untuk mendeteksi penyakit yang diderita oleh
pasein. Lihat Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
7
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an Kritik terhadap Ulum al-Qur’an,
penerjemah Khoiron Nahdlyyin, (Yogjakarta: LKIS Yogjakarta, 2005), cetakan ke 4, h. 281.
8
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Daar Shadir, 1414 H), jilid 5, h. 55. M. Anwar
Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat, (Palangkaraya: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN
Palangkaraya), h. 3.
9
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 169.
17
Nuzûl, dan kisah yang menyertai tentang suatu proses turunnya ayat).10
tafsir ialah ilmu yang membahas tata cara pengungkapan kata-kata di dalam al-
maupun perkalimat, serta ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengannya seperti al-
disiplin ilmu ini, ia menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang dipakai untuk
memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Serta
Tokoh ulama lain yang menjelaskan tentang tafsir adalah Abû Mansȗr al-
Mâturîdi (w. 333 H) selanjutnya akan disebut Al-Mâturîdi. Menurutnya, tafsir ialah
menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat (lafaẕ) dan dengan sungguh-sungguh
untuk menerangkan makna lafaẕ, baik makna hakikat maupun makna majaz-nya
seperti menafsirkan makna al-Ṣirat (ُ )الُصُُراطdengan jalan al-Ṯarîq (ُ)الُطُُريُق, dan al-
10
Husein Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama h. 13.
11
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 169.
12
Al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Daar al-Hadits, 1427 H), h. 22. Lihat
juga, Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 169. Dan Muhammad Husein al-
Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama h. 13.
13
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
14
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
18
pendapat bahwa tafsir hanya terbatas pada penguraian, penyimakan, serta istinbâṯ
bahwa tafsir adalah usaha untuk menemukan makna dari suatau ayat al-Qur’an,
baik secara lahiriah (sebagaimana yang dikehendaki Allah) maupun secara batiniah
dengan sembari bersaksi atas nama Allah bahwa makna itulah yang dikehendaki
pada ayat yang ditafsirkannya, demi mengeluarkan hukum, hikmah, dan segala hal
Sementara Takwil secara Bahasa terambil dari maṣdar (ُ )مُصُدُرdari ُ-ُ ُأُ ُول
ُ يُأُُولyaitu fi’il mâḏi yang muta’addi. Sedangkan bentuk laẓim-nya adalah ȃla - yaûlu
– aulan – maȃlan’ (لا
ُ )آلُُ–ُيُؤُوُلُُأُُولاُُ–ُمُآ 16
yang berarti kembali atau berpaling
raja’a ()رجع. Dalam kamus al-Munawwir juga disebutkan awwalahu ‘alaihi (ُُُأُ ُولُه
ُ)عُلُيُه artinya mengembalikan namun jika dikatakan awwal al-Kalam (ُ)أُ ُولُ ُالُكُلُم
berarti menafsirkan dan menjelaskan, pun demikian jika dikatakan awwal al-Ru’ya
(الرايا
ُ ُ ُ )أُ ُولberarti menafsirkan arti mimpi. Dalam konteks ini makna Takwil sama
dengan makna tafsir yang fi’lu al-mȃ’di ( )فُعُلُُالمُاُضُىsama yaitu fasara )ُ ُ(فُسُرyang
artinya penjelasan, komentar, atau keterangan.17
pendapat bahwa makna takwil berasal dari kata al-Awala ُالُ ُول yang maknanya
ayat kepada makna yang memungkinkan. Dikatakan pula dari kata al-iyȃlat (ُ)الُيُالُة
15
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 168.
16
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, h. 53.
17
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 48.
18
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
19
Selanjutnya beralih kepada penjelasan makna takwil secara istilah, ada dua
dengan makna yang sama. Pengertian ini yang dimaksudkan oleh Ibn Jarir al-Ṯabari
menafsirkan suatu ayat atau beberapa ayat, beliau selalu mengatakan: “para ahli
takwil berbeda pendapat mengenai makna ayat itu” ikhtalafa ahl al-Ta’wîl fi ma’na
disini ialah tafsir, Menurutnya Takwil di sini di artikan sebagai tafsir. Demikian
pula pendapat Ibn Mujâhid yang hampir sama dengan al-Ṯabari, ia mengatakan
Menurut Mâturîdi bahwa Takwil ialah mentarjihkan salah satu makna yang
mungkin diterima oleh ayat (lafaẕ) dengan meyakini bahwa makna tersebut yang
ialah Al-Bâjili, beliau berpendapat bahwa tafsir berkaitan dengan ilmu riwayah
19
Husein Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama, h. 15.
20
Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ’Ulum al-Qur’ân, Beirut, Daar al-Fiqr, 1996, jilid 2, h.
5.
21
Husein Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama, h. 15.
22
Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’ân, Beirut, Daar al-Fiqr, 1996, jilid 2, h.
5.
Jalâluddîn al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
23
Jalâluddîn al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, hlm .167-168. Lihat juga Al-
24
dan keduanya merujuk pada penuturan lafazh suatu ayat (tilâwah) dan aturan atau
yang relatif sama dengan Al-Bâjili menurutnya tafsir hanya terbatas pada mengikuti
menggunakan Takwil. Sebab tafsir terpusat kepada satu makna saja, sedangkan
Takwil mencari makna lain yang memungkinkan dan mengambil dari salah satu
lafaẓ yang kuat (râjih) kepada makna yang lemah (marjûh) karena ada dalil yang
dari makna ẕahir kepada makna lain yang dimilikinya, dimana makna tersebut tidak
dan tidak sekedar menafsrikan makna metaforis semata. Namun lebih dari itu,
takwil berfungsi untuk memahami teks al-Qur’an dengan banyak hal, seperti latar
Bahasa (lughât), hubungan dengan ayat lain (Munâsabah), dan yang tak kalah
penting dari hal itu ialah konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
25
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’ân, h. 417.
26
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’ân, h. 417.
27
Husein Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama h. 15.
28
Al-Jurjâni, al-Ta’rifât, (Beirut: Daar al-Kitab al-‘Araby, 1405 H), jilid pertama, h. 72.
29
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerah, (Bandung: Mizan
2011), cerakan pertama, h. 35.
21
dzatiy bisa disebut juga sebagai wujud hakiki. Keberadaannya tidak bisa didasarkan
pada perasaan dan akal ataupun analisis akal secara intelektual semata, meski
memahaminya. Seperti wujud langit, bumi, ‘Arsy dan sebagainya. Setiap orang
pasti meyakini adanya wujud benda langit namun perasa dan akal tidak akan bisa
(Nabi Muhammad Saw). Kedua, wujud hissiy adalah wujud yang didapat oleh
kebenaran. Al-Ghazâli mencontohkan wujud ini seperti mimpi ketika sedang tidur.
Wujud yang dilihat ketika seseorang sedang tidur pasti sangatlah jelas namun dalam
bisa mendengar, merasakan suatu objek dalam keadaan sadar, namun objek yang
menggambar gajah ataupun kuda yang nampak pada pikirannya namun tidak
melihat gambar atau objek yang digambar tersebut. Keempat, wujûd ‘aqliy adalah
sebuah wujud yang memiliki ruh, ataupun makna. Seperti pena tanpa disadari
tangan. Tangan tidak hanya sekedar bagian tubuh, lebih dari itu ia memikiki makna
lain seperti kemampuan untuk memukul dan lain sebagainya. Kelima, wujûd syibhiy
adalah wujud yang objeknya tanpa bentuk, tanpa makna, dan tanpa ada dalam
30
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerah, h. 103-104.
22
serta usaha intensif atas dasar indikasi-indikasi yang menunjukan makna. Dengan
kata lain, takwil menjelaskan kedalaman makna al-Qur’an dengan melalui proses
yang sulit.31
Khazanah penafsiran al-Qur’an tidak bisa terlepas dari istilah dua yang
sering disebut tafsir dan takwil, walaupun keduanya memiliki fungsi yang sama
Qur’an. Dua Istilah ini sangat familiar, bahkan takwil sendiri sejak awal sudah
diberikan perhatian yang cukup besar oleh al-Quran. Ia disebutkan kurang lebih 17
kali. Kata Takwil juga digunakan Nabi Saw ketika mendoakan Ibn ‘Abbas
Dalam sejarah Islam, istilah takwil juga begitu populer, utamanya pada 4
(empat) generasi pertama dalam peradaban muslim (sekitar I-IV H.). istilah ini
menjadi suatu kata dalam judul karya yang monumental, salah satunya adalah karya
Ibn Jârir al-Ṯabari yaitu al-Jami’ al-Bayan ‘an ta’wîl ay al-Qur’ân (ُالجامعُُالب يانُان
)تأويل ُاي ُالقراءن. Tak hanya terdapat pada tafsir, dalam ilmu hadits, kata ini juga
menjadi judul dari karya Ibn Qutaibah yaitu Ta’wîl Mukhtalif al-Hadits ُُ(تُأُ ُويُل
)ُمُخُتُلُفُُالُحُدُيُث. Hal ini menunjukan bahwa sejak awal sejarah islam, selain sebagai
kata ataupun istilah, takwil memang digunakan sebagai cara membaca, memahami,
keilmuan islam lainya. Namun sesudah berabad-abad lamanya (bahkan sampai hari
31
Irwan masduki dkk, Kontekstualisasi Turats Telaah regresif dan progresif, )Kediri: De-
Aly, 2009), cet kedua, hlm. 4. Lihat pula, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara, dalam
sambutan Amin Abdullah, )Yogjakarta: Lkis Yogjakarta, 2013(, cetakan pertama, hlm viii.
23
ini), istilah takwil seakan hilang dari peredaran dan tidak lagi populer digunakan
Popularitasnya digantikan oleh istilah tafsir yang hanya disebutkan satu kali di surat
terhadap al-Sulami yang mengatakan bahwa jika menganggap kitab tafsir yang
ditulis oleh al-Sulami (Haqâ’iq al-Tafsîr) sebagai sebuah tafsir maka telah kafir.
Hal senada juga dilotarkan Ibn Shalah terhadap al-Sulami, menurutnya tafsir yang
ditulis oleh al-Sulami bukanlah sebuah tafsir karena ia tidak menyebutnya sebagai
tafsir. Karena yang ditulis oleh al-Sulami bukanlah sebuah tafsir melainkan al-
adalah sebagai sebuah tafsir. Ia tidak bermaksud untuk menjelaskan makna yang
dikehendaki oleh Allah di dalam al-Qur’an.33 Pandangan ini dikuatkan oleh Sa’d
al-Dîn al-Taftazȃni (w. 722 H.) dalam kitabnya Syarh Aqâ’id al-Nasafiyyah (ُشُُرح
berdasarkan makna ẕahirnya melainkan menggunakan makna batin dari sebuah ayat
yang ditafsirkannya.34
dan secara tidak langsung telah menandai sebuah perubahan besar (dari takwil ke
tafsir) dalam peradaban kaum muslim, bahkan dengan didukung oleh bagunan
ba’ḏan” yang diartikan bahwa untuk memahami al-Qur’an cukuplah hanya dengan
membaca ayat-ayatnya dalam mushaf al-Qur’an karena satu ayat dapat dipahami
maksudnya melalui cara menghubungkannya dengan atau mencarinya pada ayat al-
32
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-‘Itqân fi ‘Ulum al-Qur’ân, jilid 4, h. 194-195.
33
M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jurnal
Studi Agama dan Masyarakat, h. 7.
34
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-‘Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân , jilid 4, h. 194-195. Lihat juga M. M.
Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, h. 8.
24
Qur’an yang lain, atau dalam pemahaman yang sederhana, memahami teks-teks al-
Qur’an tidak perlu dengan menggunakan akal pikiran (ra’yu), tetapi cukup dengan
Pendapat ini diperkuat dengan kutipan hadits nabi “Man fassara al-Qur’ân
neraka) Pernyataan hadits ini begitu populer sehingga seakan-akan telah menjadi
dogma agama yang harus diterima. Padahal hadis ini secara tidak disadari telah
sikologis untuk bersikap kritis terhadap teks-teks keagamaan, dengan begitu pase
perubahan dari Takwil ke tafsir adalah sebuah perubahan dari metode rasionalisme
dan empirisme ke metode tekstualisme dan konsevatisme dari kritis ke statis dan
tidak bisa terlepas dari sumber utamanya untuk menafsirkan al-Qur’an yaitu ilmu
tasawuf, secara umum ilmu ini merupakan filsafat kehidupan serta jalan tertentu
spiritual yang hakiki dan kebahagiaan rohaninya guna untuk mendekatkan diri
Tasawuf secara bahasa berasal dari kata Ṣûfî kata ini diperkenalkan pertama
kali oleh Abu Hâsyim al-Kûfi (W 150 H), seperti yang diungkapkan oleh Harun
35
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerah, (Bandung: Mizan
2011), cerakan pertama, h. 160 – 164.
25
Nasution dalam bukunya Falsafat dan Mistisisme dalam Islam.36 Kata ini bermakna
bersih.37 Seorang sufi harus menempuh beberapa tingkatan batin (Maqâmat) untuk
mencapai mujâhadah adapun tingkatan yang harus ditempuh adalah Taubat, al-
Wara’, al-Zuhud, al-Tawakkal, sabar, dan al-Riḏa.38 Ada pula yang mengatakan
bahwa kata ini berasal dari kata Ṣaff yang berarti barisan. Seperti orang yang sedang
kemuliaan, begitu pula dengan para sufi, mereka merupakan barisan pertama di
hadapan Allah. Ada pula yang mengatakan bahwa kata ini bermakna al-Ṣuffah
mereka adalah orang-orang Muhâjirîn yang ikut pindah dengan Nabi menuju
Madinah dan tak memiliki harta benda, serta tinggal di serambi masjid nabawi
sembari melaksanakan ibadah. Adapula yang mengatakan kata ini berasal dari kata
Ṣûf yaitu sebuah kain yang terbuat dari bulu wol, kain ini hanya dipakai oleh para
hati (untuk keselamatan) dan percakapan jiwa. Di dalam munajatnya itu terdapat
kesucian bagi siapa saja yang berusaha untuk mensucikan dirinya, dan kejernihan
bagi yang berupaya untuk lepas dari segalam macam kotoran yang berada di dalam
hatinya tersebut. Adapun dalam percakapan jiwa terdapat tangga untuk mencapai
langit cahaya dan malaikat, serta meningkat menuju alam (al-Faiḏ) yang penuh
dengan Ilhâm. Fenomena ataupun rahasia tidak akan didapatkan kecuali dengan
perenungan (tadabbur) terhadap seluruh ciptaan yang ada di langit dan bumi.
Kendati demikian, jasmani dan rohani keduanya adalah dua unsur yang menyatu
36
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang 1987),
cetakan ke 5, h. 57.
37
Abu al-Wafa al-Ghanîmi al-Taftazani, Tasawuf Islam, penerjemah Subkhan Anshori,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), cetakan pertama, h. 22.
38
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 62.
39
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 57.
26
dan tak dapat dipisahkan serta tidak ada jalan untuk mensucikan salah satu tanpa
keduanya. Oleh sebab itu barang siapa yang berkehendak untuk mendapatkan
kejernihan (jiwa) dan kemuliaan maka ia harus melepaskan dirinya dari syahwat
dan kenikmatan-kenikmatan jasmani (hawa nafsu) dengan kata lain tasawuf adalah
tersembunyi yang hanya diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf
lahiriyahnya (eksoteris) yang dikehendaki oleh ayat yang ditafsirkan.41 Ali al-
Isyâri tidak didapat dari setiap orang ataupun setiap mufassir, melainkan hanya
beberapa orang saja, mereka itu adalah orang-orang yang diterangi penglihatan
yang terdapat pada QS. Al-Kahfi 18:6543 pada akhir ayat ini terdapat kata min
lladunnâ ‘ilman hal ini mengindikasikan bahwa Allah mengajarkan takwil kepada
orang-orang yang dikehendakinya salah satunya adalah khidir dalam kisah khidir
dan musa.
Jika tafsir Isyâri didefinisikan sebagai corak tafsir yang menyingkap makna-
40
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid 2, h. 250. Dalam
Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtih al-Ghaib Karya Fakhr al-Din
al-Râzy, (Bekasi: an Nahl, 2016), cetakan pertama, h. 99.
41
Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’an, jilid 2, h. 78.
42
Ali al-Ṣâbûni, al-Tibyân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (maharot: t.t. 2003), h. 175.
ف وجداُعب اداُمنُعبادناُآت ي ناهُرحمةاُمنُعندناُوعلمناهُمنُلدناُعل اما43
27
musyahadah yang telah dialami oleh seorang mufassir, hal ini relatif sama dengan
ekspresi “kehidupan batin manusia”, baik dalam bentuk isyarat (sikap), perilaku
terlepas dari 2 syarat yang harus ditempuh, yaitu: objek yang akan ditafsirkan dan
lain, tafsir Isyâri juga tidak terlepas dari hal yang disebutkan di atas, bahkan dalam
berikut:
3. Tidak diperkenankan untuk memakai makna takwil yang jauh dari makna
lahiriyah.
akal.
44
Richard E Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, penerjemah Munsur
Heri, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cetakan pertama, h. 110.
45
M. M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otortias Sufi Dalam menafsirkan al-Qur’an, h.
3.
46
Al-Zarqâni, Manâhil al-Irfan fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 2, h. 81. Dalam redaksi yang lain,
yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayim, ia memberikan 4 syarat dalam menafsirkan al-Qur’an
menggunakan corak Isyâri, adapun syarat-syarat yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
pertama, Tidak diperkenankan untuk bertentangan (kontradiksi) dengan syariat dan akal. Kedua,
makannya harus benar dan sesuai dengan ayat yang ditafsirkannya. Ketiga, lafadz yang ditafsirkan
harus mengandung Isy’âr. Keempat, Tidak diperkenankan untuk meyakini kebenaran tunggal atas
penafsirannya. Lihat al-Tustari, al-Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm, (Makkah al-Mukarramah: Daar al-
Haram li Turats, 2004) cetakan pertama, h. 47.
28
Jika kelima syarat ini telah terpenuhi, maka tafsir tersebut (tafsir Isyâri)
dapat diterima namun, jika kelima syarat diatas tidak terpenuhi maka tafsir tersebut
tidaklah dapat diterima, tafsir yang ditulis merupakan dorongan hawa nafsu dan
yang dikutup oleh Quraish Shihab, dalam bukunya Kaidah tafsir, adapun 3
serupa keadaannya dengan apa yang dilukuskan oleh ayat. Kedua, Isyarat yang lahir
dari dorongan prasangka baik dan optimisme, sebab dimungkinkan ada satu kalimat
darinya yang terlintas satu makna, namun bukan makna itulah yang dimaksudkan
oleh kalimat tersebut. Makna itu hadir karena dianggap penting dan selalu terlintas
dalam benak mufassir. Ketiga, isyarat yang berupa hikmah dan pelajaran yang
selalu ditarik oleh orang-orang yang selalu ingat dan sadar serta mengambil hikmah
dari apa saja yang pernah dialami. Hal ini lebih-lebih lagi dari para pengamal
terkandung didalamnya.
“setiap isyarat yang melampaui ketiga makna diatas, maka isyarat tersebut
al-Karim al-Qusyairi, tafsir ini merupakan bagian dari tafsir ahl al-sunnah dan
bermadzab Syafi’i, tak bisa dipungkiri bahwa tafsir ini selalu menggunakan istilah-
47
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati 2015), cetakan ke 3, h. 371-
373.
29
istilah sufi, seperti maqâmat, ahwâl, syuhûd dan hijab.48 Tafsir ini (Laṯâ’if al-
Isyârât) dikarang oleh seorang pengamal tasawuf yang memiliki kebersihan hati,
Adapun kitab tafsir Isyâri yang populer karena penggunaannya saat ini
antara lain adalah Tâfsir al-Qur’ân al-‘Aẕîm yang dikarang oleh Sahl al-Tustari (w.
283 H), Haqâ’iq al-Tafsîr yang dikarang oleh ‘Abd al-Rahman al-Sulami (w. 412
H), Laṯâ’if al-Isyârât yang dikarang oleh ‘Abd al-Karim al-Qusyairi (w. 465), Al-
Raîs wa al-Bayân fi Haqâ’iq al-Qur’ân yang dikarang oleh al-Syairâzi (w. 606 H),
al-ta’wîl at al-Najmiyyah yang dikarang oleh Najm al-Dîn Dza’tih dan Ala’ al-Dîn
al-Samnani, dan Tafsîr wa Isyârât al-Qur’ân yang dikarang oleh Muhyi al-Dîn Ibn
makhluk ciptaan-Nya, baik dari sisi dzat, sifat, maupun perbuatan.50 dari beberapa
aspek yang dijadikan sebagai analog untuk menyamakan sisi pandangan metafisik
yang ditimbulkan dari ayat yang mengandung makna penyerupaan antara Tuhan
pendengaran Allah, Wajh Allah, dan lain sebagainya. Hal ini karena Allah adalah
dengan istilah-istilah tamtsîl dan takhyîl. Tasybîh adalah salahsatu term dari disiplin
48
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid 2 h. 45. Lihat juga al-
Tustari, Tafsir al-Qur’an al-’Aẕîm, h. 45.
49
Al-Tustari, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, h. 47.
50
Ahmad al-Hȃsimi, Jawȃhir al-Balȃghah fi al-Ma’ȃnî wa al-Bayȃn wa al-Badi’, (Kairo:
Daar al-Hadits, 2013), h. 281.
51
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah,
2005), cetakan pertama, h. 266.
30
tindakan Tuhan seperti berbicara, duduk, wajah Tuhan, mata-Nya, tangan-Nya sisi-
Nya kaki-Nya, dan lainnya. Allah berfirman dalam QS. Sȃd 38:75ُخلقت ُبيدي
(Allah yang menciptakan adam dengan kedua tangan-Nya sendiri) dan pada QS.
ayat ini, namun juga menghindari bahasa antropologis sebagai sebuah referensi
symbol tindakan-tindakan dan sifat-sifat Tuhan. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru
sebagai sebuah pertentangan.54 Salah satu ulama yang meruntuhkan argumen kaum
mujassimah atau musyabihat adalah Ibn al-Jauzi dalam karyanya Daf’u al-Syubhat
Adapun kelompok besar yang terkenal dengan Musyabihat ini adalah Karamiah
yang dinisbatkan kepada Ibn Karam, Sabaiyah yang dinisbatkan kepada ‘Abdullah
bin Saba, Hisamiyah yang dinisbatkan kepada Hisyam bin al-Ḥakam, Yunusiyah
mereka adalah pengikut Abi Mansur al-‘Ijli, al-Bayaniyah yang dinisbatkan kepada
52
Ahmad al-Hȃsimi, Jawȃhir al-Balȃghah fi al-Ma’ȃnî wa al-Bayȃn wa al-Badi’, h. 281.
53
Azyumardi Azra, Ensiklopedia Tasawuf, jilid ke 3, h. 1298.
54
Azyumardi Azra, Ensiklopedia Tasawuf, jilid ke 3, h. 1298.
55
Ibn al-Jauzi, Daf’u al-Syubhat, (Kairo: Maktabah al-Adzhariyah li al-Turats, t.t)
cetakan pertama, h. 12.
31
Bayan bin Sam’an, al-Mughiriyah mereka adalah pengikut Mughirah bin Sa’id al-
56
https://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%B4%D8%A8%D9%87%D8%A9 diakses
pada hari senin 26 Agustus 2019 pukul 20.57. Wib.
BAB III
Nama lengkapnya adalah Abû al-Qâsim ‘Abd al-Karîm bin Hawazin bin
‘Abd al-Mâlik bin Ṯalḥaḥ bin Muhammad al-Ûstûwâ’ī al-Qusyairi al-Naisaburi al-
Syâfi’i.1 Ada beberapa gelar yang disadang oleh al-Qusyairi, antara lain: Pertama,
al-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabûr.
Yaitu ibukota provinsi Khurasan yang merupakan kota terbesar dalam wilayah
pemerintahan Islam pada abad pertengahan letaknya disamping kota Balkh, Harrat,
dan Marw.2 Kedua, al-Qusyairi, nama al-Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-
bangsa Arab dan memasuki wilayah Khurasan dari daerah Ûstûwâ’ī, yaitu sebuah
madzhab al-Syâfi’ī yang didirikan oleh Muhammad bin Idris al-Syâfi’ī, 150-204
1
Abdul Karim al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârât, editor ‘Abd Latif Hasan bin ‘Abd rahman,
(Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2007), jilid pertama, h. 3. Lihat juga Rasyid Ahmad, Abu al-
Qasim al-Qusyairi As Theologian and Commentator, (London: The Islamic Cultural Centre, 1969),
h. 15.
2
‘Abd al-Karim al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, penerjemah Umar Faruq, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), cet. ke 3, h. 1.
3 Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 1.
4
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 2.
32
33
Al-Qusyairi dilahirkan pada bulan Rabi’ul Awal tahun 367 H./ bulan Juli
986 M.7 Di kota Ûstûwâ’ī yang menjadi salah satu wilayah Naisabur pada saat itu.8
Ia adalah seorang zahid, sufi sejati murni dalam pengamalan, memperjuangkan, dan
Selain itu, al-Qusyairi juga seorang yang ahli dalam berkuda, menguasai Tafsir,
penghapal hadis yang kuat, sastrawan yang menguasai bidang Bahasa Arab, penulis
sekaligus penyair, dan banyak menulis kitab tasawuf.10 Menurut Ibn Khaldun, al-
berperang dan tinggal di pinggir kota Naisabur.12 Ayahnya berasal dari suku
5
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 2.
6
Menurut al-Qusyairi syariat berkaitan dengan konsistensi seorang hamba, sementara
hakikat adalah penyaksian ketuhanan. Setiap syariat yang tidak dibarengi dengan hakikat maka tidak
dapat diterima. Seb’’Aliknya setiap hakikat yang tidak dikekang syariat tidak tercapai. Syariat
datang menetapkan beban kewajiban terhadap para makhluk, sementara hakikat adalah kabar
tentang gerak-gerik Yang Maha Kuasa (Allah). Syariat adalah menyembahnya, sementara hakikat
adalah menyaksikan-Nya. Syariat adalah pelaksanaan terhadap yang diperintahkan olehnya,
sementara hakikat adalah penyaksian terhadap apa yang ditetapkan ataupun yang disembunyikan
dan ditampakan oleh-Nya. Gelar ini diberikan kepada al-Qusyairi sebagai wujud penghormatan
kepadanya karena posisinya yang tinggi dan agung pada bidang kajian Islam dan tasawuf. Al-
Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 2. Lihat juga dalam Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedia
Tasawuf, jilid pertama, h. 106.
7
Al-Qusyairi, Arba Rasâil fi al-Taṣawuf, (Matba’at al-Jami’ al-i’raf: 1389 H/1969 M), h.
14.
8
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 3. Lihat juga Rasyid Ahmad, Abu al-Qasim al-
Qusyairi As Theologian and Commentator, h. 15. Dan Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazâni,
Tasawuf Islam, penerjemah M. Subkhan Anshari, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), cetakan
pertama, h. 176.
9
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h.7.
10
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h.7.
11
Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazâni, Tasawuf Islam, h. 177.
12
Dalam Ensiklopedia suku-suku Arab disebutkan bahwa nasab Qusyairi adalah putra Ibnu
Ka’ab bin Rabî’ah bin Amir bin Sya’sya’ah bin Mu’awiyah bin Bakar bin Khawazin bin Mansyur
bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Dari sinilah lahir keturunan yang akan menjadi klan-klan baru. Di
antaranya adalah kelompok al-Qusyairi yang merupakan pelopor dari orang-orang yang interes
terhadap Islam. Mereka memasuki wilayah Khurasan pada zaman pemerintahan Bani Umayyah dan
34
Qusyair, sedangkan ibunya berasal dari suku Sulami.13 Ayahnya meninggal ketika
ia berusia masih kecil, sehingga ia tumbuh menjadi seorang yatim yang miskin.14
Dan perawatan al-Qusyairi dibebankan kepada sahabat karib keluarganya yaitu Abû
Qasim al-’’Alimi. Sejak kecil al-Qusyairi sudah belajar etika, Bahasa Arab, sastra,
dan berkuda.15
makam guru spiritualnya Abû ‘Ali al-Hasan bin ‘Ali al-Naisaburi yang lebih
dikenal dengan Abû ‘Ali al-Daqqâq (selanjutnya akan disebut Abû ‘Ali al-Daqqâq).
Selama 60 tahun dari kewafatannya, tidak ada seorang pun yang memasuki
terlibat dalam beberapa pertempuran, termasuk penaklukan kota Syam dan Iraq. Di antara keturunan
mereka ada yang menjadi penguasa kota Khurasan dan Naisabur, sementara yang lain merintis
kehidupan yang baru di Andalusia (Spanyol). Lihat Al-Qusyairi dalam Risâlah al-Qusyairiyyah, h.
1.
13
Rasyid Ahmad, Abu al-Qasim al-Qusyairi As Theologian and Commentator, h. 15. Garis
keturunan ibunya berporos pada marga Sulami, pamannya al-Qusyairi dari pihak ibu adalah Abu
Aqil al-Sulami termasuk seorang pembesar yang menguasai daerah Istawa. Marga al-Sulami sendiri
dapat ditarik dari salah satu dua Bangsa, yaitu: Pertama, al-Sulami yang dinisbatkan kepada sulaim,
yaitu kabilah Arab yang masyhur. Kelengkapan silsilahnya adalah Sulaim bin Mansyur bin Ikrimah
bin Khafdah bin Qais bin Ailan bin Nashar. Kedua, al-Sulami yang dinisbatkan kepada Bani
Salamah, satu suku dari golongan Anshor. Silsilah ini ada beberapa versi dimana masing-masing
memiliki dasar analogi yang berbeda-beda. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 2-3.
14
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 3.
15
Al-Qusyairi adalah orang yang pandai mengundang kuda, hal itu telah dibuktikan dalam
berbagai lapangan pacuan kuda. Ia memiliki seekor kuda pemberian teman karibnya yang digunakan
olehnya selama 20 tahun. Ketika ia meninggal, kuda tersebut sangat sedih karena kepergiannya. Hal
itu tampak pada keengganannnya untuk memakan apapun selama satu minggu, tak lama kemudian
kuda itupun meninggal yang disebabkan oleh kepergian dan rasa lapar yang di deritanya. Lihat Al-
Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4-6. Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4.
16
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 3.
35
dari Abû ‘Ali al-Daqqâq. Ia adalah seorang wanita yang cerdas, beretika, ‘Alim,
meriwayatkan hadis. Mereka hidup bersama selama 7 (tujuh) tahun terhitung pada
dipimpin oleh Buwaih periode ini juga di sebut sebagai masa disintegrasi yang
disebabkan oleh menurunnya kekuatan pada bidang politik yang disebabkan oleh
pengaruh Persia kedua.18 Faktor ini dikarenakan adanya dorongan para penguasa
17
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4-5.
18
Dinasti Abbasiyah ialah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinasti ini
dinamakan kh’’Alifah Abassyiah karena pendirinya adalah keturunan al-Abbas yaitu paman Nabi
Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah di dirikan oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin ‘‘Ali
bin Abdullah al-Abbas, kekuasaannya berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang dari
semenjak tahun 123 H. – 656 H. / 750 M. – 1258 M. Selama berkuasa, dinasti ini berkuasa pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Masa ini terbagi kedalam 5 (lima) periode: Periode Pertama berlangsung selama kurun waktu 123
36
pada periode ke III ini untuk hidup mewah dan gelamor melebihi kehidupan para
pendahulunya bahkan menjadi gaya hidup Kemajuan besar dari sisi peradaban dan
kebudayaan yang dicapai oleh keluarga khalifah yang berandil pada profesionalitas
ekonomi masyarakat di masa itu, seperti beban pajak yang terlalu tinggi.
pembayaran pajak tidak sesuai dan memberatkan masyarakat yang disebabkan oleh
penguasa dan para stafnya yang saling berlomba-lomba untuk memperkaya dirinya
belajar perpajakan al-Qusyairi melewati majlis Abû ‘Ali al-Daqqâq setiap harinya
lewatinya, ketika pertama kali mengikuti majlis Abû ‘Ali al-Daqqâq, al-Qusyairi
awal yang pada mulanya ingin menjadi seorang ahli perpajakan dan akhirnya lebih
tertarik untuk belajar di majlis Abû ‘Ali al-Daqqâq, maka dari majlis inilah ia
H. – 232 H. / 750 M. – 847. Yang dipimpin oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin ‘‘Ali bin
Abdullah al-Abbas sebagai pendiri kh’’Alifah ini. Periode kedua berlangsung selama kurun waktu
232 H. – 334 H. / 847 M. – 945 M. Periode ini disebut juga sebagai masa pengaruh turki pertama.
Periode ketiga terjadi pada kurun waktu 334 H. – 447 H./ 945 M. – 1055 M. Periode ini disebut juga
sebagai masa pengaruh Persia kedua. Periode keempat terjadi pada kurun waktu 447 H. – 590 H. /
1055 M. – 1194 M. Periode ini disebut juga sebagai masa kekuasaaan dinasi Bani Saljuk dalam
pemerintahan Kh’’Alifah Abbasiyah, bisa disebut juga sebagai masa pengaruh Turki kedua. Periode
kelima terjadi pada kurun waktu 590 H. – 656 H. / 1194 M – 1258 M. Periode ini masa
pemerintahannya terbebas dari pengaruh dinasti lain, namun kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Baghdad. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajaw’’Ali Pres, 2008),
cetakan pertama, h. 49-50.
19
Naisabur pada saat itu berposisi sebagai ibukota Khurasan yang sebelumnya merupakan
pusat tempat para ulama, pengarang, dan pujangga. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h.
3-4.
20
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 3-4.
21
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4.
37
yang diperintahkan oleh Abû ‘Ali al-Daqqâq kepadanya,22 sebagai garis perjuangan
Atas perintah gurunya tersebut ia pun belajar mendalami ilmu fiqh kepada
seorang ahli fiqh yaitu Abû Bakar Muhammad bin Abû Bakar al-Ṯûsi (w. 460 H.)
hingga matang, setelah matang dalam ilmu fiqh, al-Ṯûsi memerintahkan kepadanya
untuk belajar kepada guru lainnya yaitu Abû Bakar bin Fûrak (w. 406 H.)
kepadanya ia belajar ilmu ushul fiqh dan ilmu kalam, setelah Abû Bakar bin Fûrak
wafat al-Qusyairi belajar kepada guru lainnya yaitu Abû Isḥaq al-Isfâraīnī.24 Al-
Qusyairi menggabungkan pola pengajaran yang ia terima dari Abû Bakar bin Fûrak
dan Abû Ishâq al-Isfâraīnī, disamping kesibukannya dalam belajar kepada para
gurunya itu, ia pun masih menyempatkan diri untuk menghadiri majlis guru
pertamanya Abû ‘Ali al-Daqqâq. Hingga pada akhirnya Abû ‘Ali al-Daqqâq
iri, dengki, dan hasut di hati para ulama fiqh perkotaan. Mereka berencana untuk
rencana gila ini akhirnya diwujudkan dengan penyebaran berita hoax (bohong)
untuk menghasut dan cerita-cerita tuduhan yang memberi persepsi buruk pada
22
Abû al-Wafa al-Ghanîmî al-Taftazâni, Tasawuf Islam, h. 176.
23
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4.
24
Abû al-Wafa al-Ghanîmî al-Taftazâni, Tasawuf Islam, h. 176.
38
pengusiran al-Qusyairi yang dilakukan oleh masyarakat. Di saat kondisi ini terjadi,
pernah diasuh olehnya di berbagai tempat dibubarkan oleh masyarakat dan para
ulama, perintah pengusiran dari kota Naisabur pun datang kepada al-Qusyairi.
Keadaan ini menimpa beliau selama lima belas tahun, terhitung sejak tahun 440 H.
dari kota Khurasan. sepuluh tahun dari kedatangannya, beliau mengalami masa
25
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h.9.
26
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 10.
39
Setelah Dinasti Tughril beg berakhir dan digantikan oleh Alp Arselan al-
Saljûki (w. 504 H. / 1072 M.), hubungan al-Qusyairi dengan pemerintah terjalin
sangat baik, hal ini terjadi pada tahun 455 H. Karena Alp Arselan al-Saljuqi dan
menteri Nizam al-Muluk al-Hasan bin ‘Ali al-Ṯûsi. Di akhir usianya beliau menetap
di pusat pemerintahan Alp Arselan selama sepuluh tahun dengan kedudukan yang
Dalam setiap sidang yang selalu melibatkan para ulama, fuqaha, ahli hukum,
dan pemimpin umat. Ketika al-Qusyairi datang dan memasuki ruang sidang,
menteri Nizâm al-Muluk al-Hasan bin ‘Ali al-Ṯûsi selalu memuliakan beliau
ibadah haji nya tidak dilakukan seorang diri. Pertama, al-Qusyairi melaksanakan
ibadah haji dengan Abû Muhammad Abdullâh bin Yusuf al-Juwayni (w. 438 H. /
1074 H.) beliau adalah seorang ulama tafsir, ahli Bahasa, dan ahli fiqih. Kedua, al-
Qusyairi melaksanakan ibadah haji dengan Abû Bakar Ahmad bin Husin al-Baihaqi
1. Abû ‘Ali al-Hasan bin ‘Ali al-Naisâbûri (w 412 H. /1021 M.), yang di kenal
27
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 10.
28
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 10.
29
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 9.
30
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 6-7.
40
Sulami al-Naisâbûri (325 H. - 412 H./ 936 M. - 1021 M.), beliau adalah
seorang sejarawan, salah satu tokoh sufi dan juga seorang pengarang.
3. Abû Bakar Muhammad bin Abû Bakar al-Ṯûsi (385 H. - 460 H./ 990 M. -
1067 M.), kepada beliau al-Qusyairi belajar ilmu fiqh. Hal ini terjadi pada
beliau adalah seorang ahli ushul fiqh. Kepada beliau al-Qusyairi belajar
5. Abû Isḥaq Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al-Isfarâ’īnī (w 418 H./1015
M.), beliau adalah seorang cendikiawan besar pada bidang ilmu fiqh juga
6. Abû al-Abbâs bin Syarîh, kepada beliau al-Qusyairi belajar ilmu ushul fiqh.
dikenal dengan Abû Manṣûr (w. 429 H./1037 M.), ia meninggal di Isfarâ’īnī
1. Abû Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsâbit (392 H.- 463 H./1002 M.- 1072 M.),
2. Abû Ibrâhim Ismail bin Husein al-Husaini (w. 521 H./1137 M.).
31
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 8-9.
41
4. Abû al-Qâsim Sulaiman bin Nâshir bin Imrân al-Anshâri (w 512 H./1118
H.).
9. Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Afdhal bin Ahmad al-Farâwi (441 H.-
10. ‘Abd al-Wahâb bin Al-Syah Abû al-Futûh al-Syadiyakhi al-Farâwi al-
Naisâbûri.
11. Abû ‘Ali al-Fudail bin Muhammad bin ‘Ali al-Qashbani (w. 444 H./1052
M.).
kalangan dan menguasai berbagai disiplin ilmu serta memiliki jiwa kesufian yang
sangat luar biasa. Banyak karya beliau yang mengupas tentang masalah tasawuf dan
1. Ahkâm al-Syar’i.
2. Adab al-Ṣûfiyah.
32
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah, h. 12-15.Lihat juga al-Qusyairi, al-Mi’raj, (al-
Qahirah: Daar al-Kutub al-Haditsah, 1384 H./1964 M.), cetakan pertama, h. 30-32. Dan Rashid
Ahmad, Abu al-Qasim al-Qusyairi As A Theologian And Comentator, h. 27.
42
3. Al-Arba’în fi al-Hadîts.33
4. Istifâdhah al-Murâdât.
6. Al-Tahbîr fi al-Tadzkîr.
8. Al-Tauhîd al-Nabawi.
10. Al-Jawâhir.
11. Hayât al-Arwâh wa al-Dalîl ila Tharîq al-Shalâh dzikruhu Ismail al-
Baghdadi.
33
Kitab ini memaparkan 40 hadis Rasulullah Saw, yang beliau dengar dari gurunya Abû
‘Ali al-Daqqâq dengan sanad yang Muttaṣil, kitab ini tersimpan rapi sebagai manuskrip yang berada
di Leiden. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 12. Lihat juga Habibi al Amin, Tafsir Sufi
Laṯâ’if al-Isyârât Karya Al-Qusyairi Persepektif Tasawuf dan Psikologi, sebuah Jurnal (Jombang:
Jurnal Suhuf, 2016) h. 62.
34
Kitab ini tersimpan rapi di Gereja Vatikan Roma. Lihat Habibi al-Amin, Tafsir Sufi
Laṯâ’if al-Isyârât Karya Al-Qusyairi Persepektif Tasawuf dan Psikologi, h. 62.
35
Kitab ini adalah kitab tafsir pertama yang di susun oleh al-Qusyairi yang ditulis sebelum
tahun 410 H./1019 M. Menurut Ibn Khaldûn, Tajudin al-Subki dan Jalâluddîn al-Suyûṯi bahwa kitab
ini merupakan karya terbaik yang ditulis oleh al-Qusyairi, kitab ini tersimpan di perpustakaan
Universitas Leiden, perpustakaan Brill Leiden, dan perpustakaan Rampur India. Lihat Al-Qusyairi,
Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 13. Dan al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârât, h. 11. Dan Rashid Ahmad, Abu
al-Qâsim al-Qusyairi As A Theologian And Comentator, h. 27.
36
Kitab ini di susun oleh al-Qusyairi pada tahun 438 H./1046 M. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah
al-Qusyairiyyah, h. 13.
43
24. Al-Munâjah.
2. Latȃ’if al-Isyȃrȃt
A. Laṯâ’if al-Isyârât
Al-Qusyairi memiliki dua kitab tafsir yang ia tulis sebelum dan sesudah ia
sebelum tahun 410 H. Tafsir yang pertama kali di tulis oleh al-Qusyairi ini
menafsirkan al-Qur’an dari segi Bahasa, menjelaskan dari sisi Nahwu, shorof, ilmu
Qira’at, dan menjelaskan asbâb al-Nuzûl-nya sebuah ayat. Tak lupa ia pun
menyebutkan jumlah ayat dan tempat turunya. Juga didalamnya terdapat beberapa
37
Kitab ini diselesaikan oleh al-Qusyairi pada tahun 434 H. Lihat al-Qusyairi, Laṯâ’if al-
Isyârât, h. 11.
38 Afiyatul Azizah, Penafsiran Huruf Muqtha’ah Telaah Kritis Penafsiran Imam Qusyairi tentang حم
Dalam Laṯâ’if al-Isyârât, (Tesis S2, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2014), h. 7-
8.
44
Kedua adalah tafsir yang ia tulis setelah mengenal Tasawuf dari para
gurunya, yaitu Laṯâ’if al-Isyârât yang ditulis oleh al-Qusyairi pada tahun 434 H.
Kitab ini pertama kali terbit di Kairo pada tahun 1917 M. Melalui proses editing
yang dilakukan oleh Ibrahim Basuni, Laṯâ’if al-Isyârat pertama kali di terbitkan
memiliki 363 halaman dengan ukuran kertas mencapai 28 cm. 39 Dan yang kedua
kitab ini di terbitkan oleh penerbit Daar al-Kâtib al-‘Arabi, Kairo 1974 M. Yang
di-tahqiq oleh Ibrahim Basyuni serta diberikan kata pengantar oleh Hasan Abbas
Zaki.40
Adapun kitab yang ada ditangan penulis dan menjadi rukujan utama pada
penelitian ini adalah Laṯâ’if al-Isyârat, yang diterbitkan oleh penerbit Daar al-
Katib al-Arabi’ dan terdiri dari enam jilid. Adapun rinciannya adalah sebagai
berikut:
dalam tafsir yang bercorak sufistik karena disusun oleh al-Qusyairi setelah beliau
39
Habibi Al Amin, Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari Studi atas Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât
Karya al-Qusyairi, (Disertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 64.
40
Al-Qusyairi Laṯâ’if al-Isyârât, jilid pertama.
45
mengenal tasawuf dari para gurunya. Laṯâ’if jama’ dari kalimat laṯîfah artinya
adalah perkataan yang lembut atau halus.41 Sementara al-Isyarat adalah bentuk
masdar dari derivasi kata Asyara – Yusyiru dalam al-Mu’jam al-Wasîṯ bermakna
karena tafsir ini mengandung rahasia-rahasia Allah yang sarat dengan rahasia dan
isyarat-isyarat yang tersirat dan hanya bisa diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang
memiliki kejernihan hati.42 Dan Isyarat di sini adalah anugerah yang di berikan
Allah kepada kekasih-Nya serta para hambanya yang memiliki kejernihan hati
B. Karakteristik Penafsiran
ahli ma’rifat. Isyarat di sini ialah pemahaman hikmah dengan cara yang
41
Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Wasîṯ, Jilid 2, hal 826.
42
Al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârât, h. 35.
43
Al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârât, h. 5.
44
Afiyatul Azizah, Penafsiran Huruf Muqatha’ah Telaah Kritis Penafsiran Imam Qusyairi tentang
حمDalam Laṯâ’if al-Isyârât, (Tesis S2, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2014),
bab III, h. 8.
45
Irwan Muhibudin, Tafsir Ayat-Ayat Sufistik Studi Komparatif Antara Tafsir al-Qusyairi
Dan Tafsir al-Jailani, (Tesis S2, Program Pasca Sarjana Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah, 2018), h. 42-43.
46
dicintai dan di ridhai oleh Allah swt. Sebelum menjelaskan isyarat yang
4. Dari sisi teologi, al-Qusyairi adalah seorang yang menganut faham Ahl al-
al-Taftazȃni ia adalah salah satu pembela Aliran ini pada masanya dari
dan Syiah.48
dari awal sampai akhir ayat. Setiap surat dalam al-Qur’an terdapat
46
Arsyad Albar, Epistemologi Tafsir Sufi (Studi Terhadap Tafsir al-Sulami dan al-
Qusyairi), (Disertasi S3, Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 112
47
Habibi Al Amin, Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari Studi atas Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât
Karya al-Qusyairi, (Disertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 67
48
Abû al-Wafâ al-Ghanîmî al-Taftazâni, Tasawuf Islam, h. 176.
47
satu makna.
al-Qusyairi terhadap ayat-ayat Tasybîh. Namun, karena banyaknya ayat dalam al-
penelitian ini terfokus kepada ayat-ayat yang berkaitan tentang keberadaan Allah
sangat berkaitan erat dengan kajian ini. Adapun ayat tersebut terdapat pada QS. Al-
Rad 13:2, dan QS. taha 20:5 dan ayat-ayat lainnya yang berkaitan dengan bahasan
ini.
al-Mu’jam al-Wasîṯ, al-‘Arsy juga dimaknai kerajaan atau singgasana raja (ُالملك
ُ)وسري رُ ُالملك.3 Menurut Ibn ‘Abbas, al-‘Arsy Allah tidak terbatas dengan sesuatu
apapun, dan diriwayatkan pula darinya bahwa al-‘Arsy Majlis al-Rahmân.4 Al-‘Arsy
dengan jism (body) yang berupa nûr (cahaya) dan merupakan alam di atas kursi.6
1
Fuad Abd al-Bâqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fâdz al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Daar
al-Fiqr, 1987), cetakan ke 3, hlm 456-457.
2
Jamâl al-Dîn Ibn Mandzûr al-Anshâri, Lisân al-Arab, (Beirut: Daar Ṣadir, 1414 H), Jilid
15, hlm. 313. Lihat juga Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, Kamus al munawir
digital. www.kampungsunah.org. hlm. 916.
3
Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-wasîṯ, (Mesir: Daar al-Da’wah, t.t), jilid 2, hlm. 583.
4
Jamal al-Din Ibn Mandzur al-Anshari, Lisân al-‘Arab, hlm. 313.
5
Jamal al-Din Ibn Mandzur al-Anshari, Lisân al-‘Arab, Jilid 15, hlm. 314.
6
Kursi yang berada di atas ‘Arsy Allah terbuat dari mutiara putih. Tidak ada yang
mengetahui panjang lebar serta besarnya kursi tersebut kecuali Allah. Kursi itu memiliki tiga ratus
enam puluh tiang. Panjang dari masing-masing tiang tersebut ialah dua belas ribu tahun, sedangkan
atapnya sepanjang sepuluh ribu tahun perjalanan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi
alib Ra. “Sesungguhnya, langit tujuh dan bumi tujuh berada di dalam kursi ibarat hamparan gurun
48
49
Jadi ‘Arsy bukanlah kursi itu, ia menjadi atap bagi semua makhluk tanpa terkecuali.
Para ahli Falaq7 menyebutnya dengan sebutan Falaq kesembilan, atau Falaq
tertinggi dari seluruh Falaq. ‘Arsy juga di juluki Falaq aṭlas, dalam bahasa lain
dapat di fahami bahwa ‘Arsy ialah suatu tempat yang tidak memiliki bintang-
bintang. Karena semua bintang berada di dalam Falaq kedelapan. Menurut ahli
Menurut Dzu al-Nûn al-Miṣri (w. 246 H/ 861), segala sesuatu ada dengan
menyeluruh dengan segala sesuatu menurut kehendaknya, karena tak ada sesuatu
yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain.9 Hal ini telah tergambarkan
ُُُالسماوات ُبغير ُعم ٍد ُت رون هاُث َّم ُاست وىُعلىُالعرش ُوس َّخر ُالشَّمُس ُوالقمر
َّ اللَّه ُالَّذيُرفع
كلٌُّيجريُِلج ٍلُمس ًّمىُيدبرُاِلمرُي فصلُاْلياتُلعلَّكمُبلقاءُربكمُتوقنون
Allah yang mengangkat langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu
lihat, kemudian Dia bersemayat di atas ‘Arsy. Dia menundukan matahari
dan bulan. Masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan.
Dia mengatur segala urusan (Makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu. (QS.
Al-Rad 13:2).
Menurut al-Qusyairi Ayat ini menunjukan pada sifat, kekuasaan, dan Zat-
Nya Allah. Antara lain: mengangkat langit tanpa tiang dan kayu untuk menahannya.
pasir”. Lihat Al-Ghazâli, Dibalik Ketajaman Mata Hati, penerjemah Mahfudli Sahli, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1997), cetakan pertama, hlm. 227. Lihat juga Syihabuddin al-Qalyubi, al-Nawadir,
penerjemah Awy Amru, (Yogjakarta: Diva Press, 2018), cetakan pertama, hlm. 321.
7
Ilmu Falaq adalah ilmu yang berkaitan dengan aturan-aturan atau gerakan benda-benda
langit, bumi dan antartika (kosmografi). Ilmu ini juga bisa disebut sebagai ilmu astronomi karena
ilmu ini secara khusus membahas tentang perbintangan atau antariksa. Dalam Ensiklopedia Hukum
Islam ilmu Falaq didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit,
tentang fisik dan gerak, ukuran dan segala sesuaiu yang berkaitan dengannya. Moh. Murtahdho,
Ilmu Falak Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), cetakan pertama, hlm 3.
8
Rasi bintang yang terdapat pada zodiak dan beredar pada daerah edar matahari berjumlah
12. Adapun rasi bintang (burûj) adalah sebagai berikut: Aries ( )الحملanak domba, Taurus ( )الثورanak
sapi, Gemini ( )الجوزءkembar, Concer ( )الشرطانkepiting, Leo ( )االسدmacan, Virgo ( )السنبلةtangkai
bunga, Libra ( )الميزانtimbangan, Scorpio ( )العقربkalajengking, Sagitarius ( )القوسanak panah,
Copimorus ( )الجدىanak kambing, Aquarius ( )الدلوtimba, dan Pisces ( )الحوتikan paus. Al-Ghazâli,
Dibalik Ketajaman Mata Hati, hlm. 227-228. Moh Muradho, Ilmu Falak Praktis, hlm. 47.
9
Al-Qushayri, Risâlah Al-Qusyairiyah, hlm. 47.
50
Allah memberi informasi pada selain ayat ini bahwa Allah menghiasi langit dengan
ُُالسماوات ُواِلرض ُبالحق ُيكور ُاللَّيل ُعلىُالنَّهار ُويكور ُالنَّهار ُعلىُاللَّيُل ُوس َّخر َّ خلق
ُالشَّمسُوالقمرُكلٌُّيجريُِلج ٍلُمس ًّمىُأالُهوُالعزيزُالغفَّار
Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang
benar; Dia (Allah) memasukan malam atas siang dan memasukan siang atas
malam dan menundukan matahari dan bulan, masing-masing berjalan
menurut waktu yang telah ditentukan. Dialah (Allah) yang Maha mulia,
Maha pengampun. (al-Zumar 39: 5).
Setiap komponen dari hal tersebut menunjukan bahwa Allah mengelola
ُ ُالرحمنُعلىُالعرشُاست وى
َّ
(Allah) yang Maha Pengasih dan bersemayam di atas ‘Arsy” (QS.
Taha : 5).
10
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârat, jilid ke 3, hlm. 215-216.ُ
11
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârat, jilid ke 2, hlm. 446.
51
langit (ُالسمُاء
َُّ ُ ُ)عُُرش, kedua ‘Arsy bumi (ُ) ُوعُُرشُ ُاِلُُرض. ‘Arsy langit adalah tempat
Allah bersemayam (‘Arsy al-Rahmân), sedangkan ‘Arsy bumi adalah hatinya para
ahli tauhid (ُ)قُلُ ُوبُُأُهُلُُالتَُُّوحُيُد. ‘Arsy langit adalah tempatnya Allah bersemayam dan
ditopang oleh 8 malaikat. Hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Haqqah 69:17.
maksud adalah jumlah dari malaikat tersebut mencapai delapan.13 Fakhr al-Din al-
ribu malaikat. Namun, makna yang paling mendekati adalah delapan malaikat.14
malaikat itu kakinya menembus sampai lapisan bumi ke tujuh. Sedangkan ‘Arsy
berada di atas kepala mereka (malaikat) dan seluruh malaikat bertasbih kepada
(671 H.) menyampaikan dalam tafsirnya dengan mengutip hadis Nabi Saw yang
diriwayatkan oleh al-Hasan, bahwa yang menopang langit ada empat malaikat.
Pada hari kiamat jumlah mereka akan bertambah menjadi delapan. Nabi
12
Lihat Al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârat, jilid ke 4, hlm. 118.
13
Al-Zamaksyari, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Arabi, 1407 H), jilid 4
hlm 601-602.
14
Lihat Al-Râzi, Mafâtîh al-Ghaib, (Beirut: Daar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420), jilid 30,
hlm. 625-626.
15
Al-Zamaksyari, Tafsîr al-Kasysyâf, jilid 4 hlm 601-602.
52
berjumlah empat Malaikat. Apabila hari kiamat tiba, jumlah itu akan di tambah dua
kali lipat oleh Allah. Sehingga, jumlah mereka (malaikat) pada hari kiamat akan
dibayangkan bahwa mengingat fisik mereka yang begitu besar dan kuat.17 Al-
Zamaksyari memberikan gambaran bahwa wujud dari malaikat itu ada yang
‘Arsy yang di topang oleh empat malaikat itu memiliki tiga ratus enam puluh
tiang. Setiap tiang, sebesar dunia. Diantara dua tiang jarak tempuhnya memakan
Sementara, perihal ‘Arsy bumi. Letaknya pada hati orang-orang ahli tauhid
(mengesakan Allah), ‘Arsy ini memiliki fungsi untuk melihat dan berinteraksi
dengan Allah. Hati sebagai ‘Arsy bumi menjadi media seorang insan untuk melihat
dan berinteraksi dengan Allah. Karena melihat dan berinteraksi dengan Allah bukan
dengan mata kepala (mata telanjang) melainkan dilakukan dengan mata hati. Hal
16
Al-Qurṯubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân, (kairo: Daar al-Kutub al-Misriyah, 1384 H),
jilid 18, hlm. 266. Lihat juga al-Aṣbahany, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqât al-Aṣfiyâ, (Beirut: Daar
al-Kutub al-‘Arabi, 1394 H / 1974 M), cetakan 10, jilid 6, h. 75.
17
Shalih Fauzan bin Fuazan al-Fauzan, Syarh Al-Aqîdah al-Ṯahâwiyah, penerjemah
Abdurrahman Nuryaman, (Jakarta: Darul Haq, 2014), cetakan keenam, hlm. 168.
18
Al-Zamaksyary. Tafsîr al-Kasysyâf, jilid 4, hlm. 601-602.
19
Syihâbudîn al-Qalyûbi, al-Nawâdir, hlm. 321.
53
ُولقدُكَّرمناُبنيُآدم ُوحملناهم ُفيُالب ر ُوالبحرُ ُورزق ناهم ُمن ُال ُطَّيبات ُوفََّلناهم ُعلىُكثي ٍر
ُ م َّمنُخلقناُت فَيل
Dan sungguh, kami telah memuliakan anak cucu adam, dan kami
angkat mereka di darat dan di laut dan kami berikan mereka rezeki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (QS. Al-Isra 17:70)
Menurut Ali al-Ṣabûni dalam tafsirnya ayat ini menginformasikan bahwa
Allah memberikan kemuliaan kepada anak cucu Adam atas seluruh makhluk
ciptaan yang lain dengan bentuk tubuh yang bagus, akal pikiran, ilmu, serta
kemampuan untuk bisa berbicara dan menundukan segala isi alam ini untuk
kebebasan kepada mereka untuk memilah dan memilih jenis alat transportasi yang
Allah berikan kepada mereka dan memberikan petunjuk kepada mereka dalam
20
Muhammad Ali al-Shabûni, Safwah al-Tafâsîr, (Kairo: Daar al-Ṣabûni li al-Thaba’at wa
al-Nasyri wa al-Tauziyi, 1417 H) jilid 2, hlm. 156.
21
Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: lentera hati, 2002), jilid ke 7, hlm. 513.
22
Al-Qusyairi menjelaskan dalam risalahnya bahwa ma’rifatullah menurut bahasa ulama
adalah ilmu. Maka, setiap ilmu ma’rifat dan setiap ma’rifat adalah ilmu setiap orang yang ber-
ma’rifat kepada Allah adalah al-‘Arif. Beliau melanjutkan bahwa Ma’rifat menurut para sufi ialah
pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah. Ia tidak akan menyaksikan apapun selain Allah dan
tidak kembali pada selain-Nya, sebagaimana orang yang berakal akan kembali kepada hati, pikiran
dan renungan dalam menghadapi sesuatu, atau menjalaninya dengan sebuah kenyaatan, maka orang
yang memperoleh derajat al-Arif akan kembali pada Tuhannya. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah Al-
Qusyairiyyah, hlm. 464-466.
23
Al-Khauf memiliki arti yang berhubungan dengan masa yang akan datang karena rasa
khawatir apabila meninggalkan hal yang sunnah, ternyata kesunnahan itu adalah hal yang wajib.
Sebaliknya, Rasa takut untuk menjalankan hal yang makruh karena khawatir hal yang makruh adalah
haram. Al-Thusi membagi al-Khauf ke dalam 3 kategori. Khauf al-Ajilah adalah khauf yang
ditunjukan kepada Allah secara pribadi bukan karena sifat serta perbuatan dan ciptaan-Nya. Khauf
al-Ausaţ, adalah khauf yang terdapat sedikit kotoran dari beningnya ma’rifat. dan khauf al-‘Ammah
yaitu kekhawatiran yang timbul atas murka dan siksa Allah. Ketiga kategori ini menurut al-Thûsi
merupakan interpretasi dari QS. Ali Imran (3:175), QS. Al-Rahman (55:46), dan QS. An-Nur
(24:37). Lihat. Al-Qusyairi, Risâlah Qusyairiyyah, hlm. 167. Lihat juga, Abu Nasr al-Siradj al-
54
(sâlik),25 serta tidak diketahui bentuk dan sebab yang mewajibkannya. Adapun al-
Seperti yang telah penulis paparkan di atas, bahwa ‘Arsy bumi terletak pada
hati orang-orang yang bertauhid, hal ini seperti konsep ihsan ketika sedang
menunaikan shalat. Nabi menjelaskan perihal Iman, Islam dan Ihsan dengan konsep
melihat Allah, walaupun kamu tak melihatnya tetapi Allah melihatmu)” versi
dapat menyaksikan al-Malik (Allah), ia akan merasa malu untuk berpaling kepada
Thusi, al-Luma’, (Mesir: Daar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hlm. 89. Dan Aramdhan Qodrat
Permana, “Nuansa Tasawuf dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Râzi ,” hlm. 195.
24
Al-Rajâ’ bisa disebut juga sebagai harapan karena ketergantungan hati dengan sesuatu
yang dicintai dan akan terjadi pada masa yang akan datang. Lihat. Al-Qusyairi, Risâlah Al-
Qusyairiyyah, hlm. 178.
25
Sâlik adalah orang yang sedang melakukan perjalanan menuju Tuhan dengan ritual
ibadah yang di jalankannya.
26
Jika al-Baṣṯu datang secara tiba-tiba dan sponan hal ini bisa di istlahkan dengan istilah
lain yang lebih mendekati dalam kajian tasawuf yaitu al-Hâl (keadaan) dalam pengertiannya adalah
rasa yang hadir secara tiba-tiba dan tanpa unsur kesengajaan tanpa melakukan latihan (riyâḏah)
datang tanpa unsur pemaksaan seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, maupun
takut. Keadaan tersebut merupakan pemberian. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, hlm.
59-64.
Namun, menurut para pengamal tasawuf (sufi) shalat memiliki maksud ibadah yang
seakan-akan menyaksikan atau bertemu dengan Allah. Sama halnya dengan nafkah
yang selama ini di fahami oleh halayak banyak bahwa nafkah adalah materi (ُُأُمُُوال
). Namun, para sufi tidak menafkahkan hartanya benda yang dimikikinya karena
sehingga mereka tidak memiliki harta benda. Dalam konteks nafkah para sufi
Allah berfirman:
secara zahir. Hal ini merupakan salah satu bentuk kekuasaan yang di miliki-Nya.
28
Maqȃm adalah tingkatan mujahadah seorang hamba kepada sang pencipta untuk
menempuh jalan spiritualnya. Al-Qusyairi membagi syarat yang harus ditempuh bagi seorang yang
ingin mencapai maqamat. Adapun tingkatannya adalah Taubat, Wara, Zuhûd, Tawakal, Sabar, dan
kerelaan. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah Al-Qusyairiyyah, hlm. 58. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: bulan bintang, 1987) cet ke 5 hlm 63.
29
Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid ke 1, hlm. 57.
56
Isyarat-Nya adalah malam dan siangnya hati. Kondisi seseorang ada kalanya dalam
keadaan mengepal ada pula dalam keadaan terbuka, dan kadang menutup dan
kadang membuka sebagaimana kondisi dunia ada yang dalam keadaan siang tanpa
malam dan malam tanpa siang dan sebagiannnya siang dan malam dengan silih
berganti.
(ingatlah hanya milik Allah lah penciptaan dan perintah) diantaranya adalah
kebajikan dan keburukan, manfaat dan madarat, sesungguhnya hanya milik Allah
(maha suci Allah Tuhan seluruh alam) kalimat ini adalah kumpulan doa
Arti dari keagungan Allah mengandung faidah pada sifat kemuliaan karena
memberi nikmat dan kebaikan kepada hambanya tanpa terkecuali dan itu semua
30
Ada tiga tahapan dalam perjalanan ruhaniah (tasawuf) dalam menangkap hakikat
(pengetahuan sejati) tentang keberadaan yang di wakili oleh kelompok dengan tingkatan spiritual
tertentu. Pertama, adalah orang-orang kebanyakan (Awwâm), yang termasuk kedalamnya adalah
orang-orang yang hanya menggunakan akalnya saja. Yang paling rendah adalah orang-orang yang
tak bisa melihat sesuatu yang lain kecuali dunia yang fanâ ini. Bagi kelompok ini Tuhan tampil
sebagai dzat yang (semata-mata) trasenden atau terpisah dari ciptaan-ciptaan-Nya. Dalam
pandangan ini tak ada hubungan lain antara Tuhan dengan ciptaannya kecuali hubungan eksternal
seperti penciptaan dan dominasi Allah atas ciptaan-ciptaan-Nya (Ahl al-Ẓâhir). Kedua, yang lebih
tinggi maqam nya dalam perjalanan ruhaniah adalah Khawwâsh yaitu orang-orang yang telah
menggunakan intuisi mistikalnya, Ẓaw al-‘Ain, yang telah berhasil mencapai tingkat Fana’ yakni
kesirnaan diri di dalam Allah SWT. Mereka tak lagi melihat alam semesta ini. Di “mata” mereka
yang ada hanya Allah. Tak ada diri mereka, tak ada pula ciptaan-ciptaanNya yang lain. Yang mereka
lihat hanya “Ke-tunggal-an” Allah. Ketiga, pandangan kelompok yang telah masuk kedalam yang
elite dari para elite (khawwâsh al-khawwâsh), atau orang-orang yang menggunakan akal dan
intuisinya, (Ẓaw al-‘aql wa al-‘ain), hubungan antara Allah dan ciptaan-Nya mengambil bentuk ke-
tunggal-an dalam kejamakan. Orang-orang yang telah mengalami “tinggal-tetap” (baqa) dalam
Allah ini mampu melihat Allah dalam ciptaan-Nya dan ciptaan-Nya dalam Allah. Mereka dapat
melihat baik dari cermin maupun bayang-bayang yang terpantul di dalamnya. Dengan kata lain,
Allah dan ciptaan-Nya secara bergantian bertindak sebagai cermin dan bayangan. Lihat Abdul Kadir
Riyadi, Antropologi Tasawuf, (Jakarta: LP3ES, 2014), cet pertama, hlm xv-xviii.
31 Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 1 hlm 540.
57
B. Yad Allah
Al-Qur’an menyebutkan kata ُ يدُ ُج ُأي ٍد secara keseluruhan sebanyak 120
kali. Ayat menyandarkan kepada Allah sebanyak 6 kali disebutkan, dari 6 ayat
َُ)والق َّو.33 Dalam al-Mu’jam al-Waṣîṯ ُ يدadalah dimaknai sebagai anggota badan dari
pundak sampai ujung jari.34 Menurut Ibn Rusyd| Bidâyah al-Mujtahīd dalam bahasa
Arab, kata ُيد memiliki tiga makna. Pertama, dalam arti dari ujung jari sampai
pergelangan tangan (ُ)الكف. Kedua, dari pergelanga tangan sampai siku (ُ)الذراع.
Ketiga, maknanya dari ujung jari sampai pundak (ُ)الكف ُو ُالذراعُُوالعَد.35 Dalam
kamus Mahmud Yunus disebutkan bahwa makna ُ يدadalah tangan, telapak tangan.36
Sementara al-Suhailiy memaknai kata ُ يدpada asalnya seperti makna baṣar, yakni
sebuah ungkapan atas sifat terhadap sesuatu yang disifatinya.37 Karena sifat
mustahil bagi Allah adalah menyerupai makhluknya.38 Hal ini menunjukan bahwa
kekuasaan Allah tidak terbatas oleh sesutau apapun. Dengan kekuasaan yang
dimilikinya, Allah dapat mewujudkan sesuatu yang dikehendaki-Nya. Allah
ُ ُتباركُالَّذيُبيدهُالملكُُوهوُعلىُكلُشي ٍءُقدير
Maha suci Allah yang di tangan-Nya segala (kerajaan), dan dia maha
kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Mulk 67:1).
32
Muhammad Fuad ‘Abd al-Bâqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fâdz al-Qur’ân al-Karîm,
hlm. 770-772.
33
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 1587-1588.
34
Ibrahim Mustofa dkk, Al-Mu’jam al-Wasîṭ, (Kairo: Daar al-Da’wah, t.t), jilid ke 2, hlm.
1063.
35
Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahīd wa Nihâyah al-Muqtaṣiḏ, (Kairo: Daar al-Hadits, 1425
H/ 2004 M), jilid 1, hlm. 18.
36
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Bulan bintang, 2010), hlm. 508.
37
Jalaluddin al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 3, hlm. 17.
38
Al-Qusyairi, Risâlah Al-Qusyairiyyah, cet ke 3 hlm 41.
58
dan Allah terus menerus untuk memberikan kebaikan kepada hambanya. Allah
adalah Zat yang sombong dalam keagungan dan kesobongan-Nya, tidak ada duanya
Nya itu, Allah dapat mewujudkan sesuatu yang di kehendaki oleh-Nya. Allah
adalah Zat yang berkuasa atas segala sesuatu. Allah menciptakan mati dan hidup
sebagai cobaan bagi makhluk. Allah mencoba mereka agar tampak pada mereka
rasa syukur dan kufur mereka bagaimana mereka sabar ketika susah dan bersyukur
ketika mendapatkan nikmat. Allah adalah Zat yang mulia dan maha pengampun.40
39
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm 610.
40
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm 610.
59
alam raya beserta isinya, menciptakan hidup dan mati bagi makhluk ciptaan-Nya.
sesuatu menurut kehendak pribadinya, tidak wujud sebuah sesuatu baik sedikit
maupun banyak kecuali dengan mewujudkan-Nya. Tidak kekal sesuatu itu kecuali
dengan mengekalkan-Nya dari Allah lah muncul sesuatu yang baru datang, kepada
Oleh karena itu, Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu dan menciptakan
segala yang dikehendaki olehnya salah satu bentuk kekuasaan yang dimilikinya
adalah pada kisah perjanjian Hudaibiyyah, hal ini termaktub dalam QS. Al-Fath
48:10.
41
Sultan Abdulhameed, al-Qur’an Untuk Hidupmu, penerjemah Aisyah (Jakarta: Zaman,
2012), cetakan pertama, hlm. 151.
42
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm. 226.
60
bawah pohon tsamurah, dalam hal ini Rasulullah saw mengutus seorang sahabatnya
‘Utsmȃn bin ‘Affȃn kepada kaum Quraisy untuk menjadi juru bicara, kemudian
yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap ‘Utsman maka datanglah seorang
sahabat ‘Urwah bin Mas’ud kepada Rasulullah dan berkata: engkau datang dengan
membawa para sahabat untuk mengulurkan tangannya dengan tanganmu dan orang-
orang Quraisy telah bersiap untuk memerangimu dan aku dengan sahabat-
sahabatmu telah membuka diri pada engkau ketika panasnya pedang mengenai
mereka kemudian nabi membaiat mereka untuk memerangi orang-orang kafir dan
tidak lari dari peperangan. Kemudian Allah menurunkan ayat “ُإ َّنُالَّذينُي بايعونكُإنَّما
”ي بايعونُاللَُّه yakni perjanjian kamu kepada mereka adalah perjanjian Allah. ُيدُاللَّه
Perihal anugerah kepada orang-orang mukmin dengan pertolongan dan
dan dikatakan bahwa kemampuan dan kekuatan Allah untuk menolong agaman dan
sangat pesat bahkan menjangkau seluruh jazirah Arab dan mendapat tanggapan
yang sangat positif. Hampir seluruh jazirah Arab, termasuk suku-suku paling
selatan. Hal ini membuat orang-orang kafir Quraisy merasa terpojok. Perjanjian
Hudaybiyyah menjadi senjata baru bagi umat islam untuk memperkuat dirinya, oleh
Saw segera bertolak ke Makkah dengan membawa sepuluh ribu tentara untuk
43
Lihat, Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm 421-422.
61
apapun untuk memasuki kota Makkah tanpa perlawanan dari orang-orang kafir
Quraisy. Rasulullah dan pasukan yang di bawa olehnya tampil sebagai pemenang.
Allah terhadap orang kafir Quraisy. Pasca khutbah Nabi, orang-orang kafir Quraisy
kemuliaan tangan tersebut di atas tangan manusia sebagaimana sabda Nabi Saw.
orang yang menerima, karena pemberi berada di atas penerima, maka tangan dialah
yang lebih tinggi. Seperti pada proses baiat, orang yang melakukan perjanjian
C. Wajh Allah
44
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), jilid pertama,
hlm. 32.
45
Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, (Daar al-Tauq al-Najah, 1422 H.), jilid ke 2, hlm. 112.
62
Wajh secara bahasa bermakna arah, tujuan muka, atau pihak yang dituju,46
wajh dapat juga dimaknai pangkat atau kedudukan.47 Menurut Ibrahim Mustafa
dalam al-Mu’jam al-Waṣîṯ, wajh adalah sisi depan dari kepala terdapat kedua bola
mata mata, mulut, dan hidung. Wajh Juga mengandung arti pemimpin suatu kaum
(ُ)السُيُدُُالقومُُوشري فهم.48
Al-Qur’an menyebutkan kata ُُوجُهُ ُج ُُوجُُوه sebanyak 152 kali, dan ada
beberapa kata ُُوجُه yang ada yang disandarkan kepada Allah seperti kata “wajh
Allah”, “wajh Tuhanmu”, dan “wajh Tuhan mereka”, terdapat lima ayat yang
menyebutkan kata wajh yang dinisbatkan kepada Allah.49 Namun dari lima ayat
tersebut, makna yang paling mendekati dari pentakwilan Al-Qusyairi terhadap wajh
ُوي بقىُوجهُربكُذوُالجاللُواْلكرام
Dan tetap kekal (wajh) Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan. (QS. al-Rahmân 55:27).
bahwa Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini pasti musnah yang kekal hanyalah
Allah Swt yang memiliki keagungan dan kemuliaan. Al-Wajh adalah sifat Allah
Swt. Dimana akal tidak akan mampu untuk menjangkaunya. Ada pula yang
mengartikan “Baqâ al wajhi” adalah bentuk dari Zat-Nya, sebab sifat tidak dapat
berdiri sendiri tanpa adanya Zat. Adapun faedah disebutkan kata “wajh” dalam ayat
ini karena selainnya dapat di jangkau dengan akal. Sementara wajh tidak dapat di
jangkau dengan akal. Namun hal demikian dapat diketahui melalui perantara naql
dan akhbâr. Wa yabqâ maknanya Allah Swt. Kekal dan tidak akan pernah musnah.
Juga sebagai penggembira untuk orang-orang muslim atas musibah yang menimpa
mereka.51
pendapat akan ayat ini. Menurutnya, wajh pada ayat ini memiliki tiga makna:
pertama, setiap kerajaan (ُ )مُلُكyang berada di muka bumi semuanya pasti akan
musnah, sedangkan yang kekal abadi hanyalah kekuasaan Allah. Kedua, setiap
penguasa (yang mempunyai otoritas) (ُ )سُلُطُانakan musnah, hanya Allah yang kekal
abadi. Ketiga, yang dimaksud dengan Wajh pada ayat ini adalah keridhaan Allah
51
Lihat, Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm. 508.
52
Lihat Abȗ Manṣûr Al-Mâturîdi, Tafsîr al-Mâturîdi, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiah,
1426 H), cetakan pertama, jilid 8, hlm. 472.
53
Kinayah secara Bahasa adalah apa yang diucapkan tidak sesuai dengan maksud dari
ucapannya tersebut.
Kinayah secara istilah adalah lafaẕ yang tidak sesuai dengan maknanya, namun boleh jadi
sesuai dengan maknanya bila tidak ada indikasi yang menghalangi dari keaslian makna tersebut.
Kinayah terbagi menjadi 3 macam yaitu:
Pertama, Kinȃyah ṣifat. Kinȃyah ṣifat bisa diketahui dengan menyebutkan sesuatu yang
disifatinya baik secara eksplisit (ُ )ملفوظmaupun secara implisit (ُ)ملحوظ.
64
rabbika” pada ayat di atas adalah “pribadi Allah”. Lanjutnya: penggunaan lafadz
“al-wajh” sering diungkapkan dengan maksud seluruh badan dan zat, contohnya
seperti ungkapan orang miskin Makkah “dimana wajah orang arab yang mulia yang
sering membantu aku dari kesusahan”. Maksudnya adalah diri orang itu, bukan
makna zahir wajh kepada makna zat. Makna wajah yang dinisbatkan kepada Allah
Allah.55
(w. 606 H) dalam tafsirnya Mafâtîh al-Ghaib menurutnya, Setiap sesuatu yang ada
di muka bumi beserta buminya akan musnah, menurut Al-Râzi faidah dari ayat ini
adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan menggunakan waktu yang
sedikit untuk mendekatkan diri kepadanya, perintah untuk bersabar bila dalam
keadaan susah agar tidak kufur terhadap nikmat yang telah diberikan Allah
Kedua, Kinayah Mauṣûf. dapat diketahui dengan menyebutkan sifatnya secara langsung,
sebagai contoh anak sungai Nil (ُ)ُأبُنُاءُُالنُيُل, kata ini menunjukan orang mesir, karena sungai Nil berada
di Mesir.
Ketiga, Kinȃyah Nisbat adalah menisbatkan sesuatu kepada hal lain.
Contoh dalam Syair “keagungan berada di kedua pakaianmu” (ُ)المجد ُب ين ُث وب يك, dan
“kemuliaan itu memenuhi kedua baju burdahmu” (ُ)والكرام ُملء ُب رديك. Pembicara bermaksud untuk
menisbatkan keagungan dan kemuliaan kepada orang yang diajak bicara (lawan bicara). Namun,
yang bersangkutan tidak menisbatkan kedua sifat itu secara langsung kepada yang diajak bicara
olehnya, melainkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya yakni pakaian dan selimut. Lihat
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah, (Indonesia: Daar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 1960),
hlm. 345-349.
54
Hal ini merupakan Majâz Lughawi yang memalingkan makna asli kepada makna lain
agar lebih mudah di fahami oleh seorang pembaca. Majaz Luhawi adalah lafadz yang digunakan
selain makna asalnya karena ada hubungan dengan keduanya. Lihat Muhammad Ṣafa Syeikh
Ibrahim Hakki, ‘Ulum al-Qur’ân min khilâl Muqaddimât al-Tafâsîr (Beirut: al-Risalah 2004), hlm.
268.
55
Lihat al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq gawâmiḏ al-Tanzîl, (Beirut: Daar al-
Kitab al-‘Arabi’, 1407 H), jilid 4, hlm 446.
65
kepadanya, sebab kesusahan akan pergi. Kata wajh dalam ayat ini karena kata wajah
lazim diketahui oleh manusia, sebab wajah merupakan simbol untuk mengetahui
seseorang. Makna lainnya dari kata ini adalah ibadah seperti yang terdapat pada QS
yang dinisbatkan kepada Allah adalah Zat-Nya (Pribadi) Allah yang tidak bisa
wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal”. Kemudian
disandarkan kepada Allah merupakan bentuk dari majâz mursal.59 “Zat Tuhanmu
yang suci”, dengan menyebutkan sebagian wajh, namun yang dimaksud dengan
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan
Allah. Itulah, agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Lihat al-Râzi , Mafâtîh al-Ghaib, jilid 29, cetakan ke 3, hlm. 355.
58
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, (Mesir: Syirkah al-Thalabah wa al-
Matba’at Mustopa, 1371 H), Jilid 27, hlm. 114.
59
Majâz Mursal adalah kata atau kalimat yang digunakan bukan makna aslinya, karena
adanya hubungan yang tidak samar lagi dan ada tanda yang melarang untuk menggunakan makna
asal tersebut. Lihat Ahmad al-Hasimi, Jawâhir fi ‘ilm al-Balâghah, hlm. 331.
60
Wahbah bin muṣṯafa al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Mîzân fi al-Aqidât wa al-Syarî’at wa al-
Minhâj, (Damaskus: Daar fiqr al-Ma’asir, 1418 H), jilid 27, hlm. 208.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam menghadapi ayat-ayat tasybîh al-Qusyairi termasuk mufassir yang
berikut: ‘Arsy yang ditakwilkan oleh al-Qusyairi adalah tempat Allah bersemayam.
Ia melanjutkan bahwa ’’Arsy terbagi menjadi dua; pertama ‘Arsy langit, kedua
’Arsy bumi. ‘Arsy langit adalah tempat Allah bersemayam (‘Arsy al-Rahman),
sedangkan ‘Arsy bumi adalah hatinya para ahli Tauhid (التوحيد )قلوب أهل.
Selanjutnya, penafsiran al-Qusyairi terhadap ayat yang berkaitan tentang
Yad Allah. Yad yang dinisbatkan kepada Allah ditakwilkan oleh al-Qusyairi dengan
makna kekuasaan ()القدرة. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuasaan Allah meliputi
segalanya. Alam raya beserta isinya, menciptakan hidup dan mati bagi makhluk
ciptaan-Nya. Karena dari Allah muncul segala sesuatu dan segala sesuatu yang
Allah. Makna denotatif dari kata wajh adalah sifat Allah Swt. Di mana akal tidak
akan mampu untuk menjangkaunya. Karena segala sesuatu yang ada dibumi akan
musnah dan yang kekal abad hanyalah Allah dengan kemuliaan serta keagungan
yang dimiliki-Nya.
B. Saran
dilakukan. Kajian ini sudah sangat banyak diteliti oleh oleh para peneliti dalam
66
67
Skripsi tentang Tafsir Isyâri tentang Ayat-ayat Tasybîh menurut ‘Abd al-
Karim al-Qusyairi merupakan pembahasan yang masih sangat luas untuk diteliti
dalam kajian tafsir Isyâri. Karena masih sangat banyak kajian tentang ini yang
mungkin bisa diteliti melalui kacamata penafsiran al-Qusyairi dalam Lata’if al-
Isyârât.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kajian dalam skripsi ini masih jauh
dari bentuk yang diharapkan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan. Hal
ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki oleh penulis dalam menyusun kajian
terhadap ayat-ayat tasybîh masih banyak yang perlu dibahas dan dikritisi lebih
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Qur’an Kritik terhadap Ulum al-Qur’an,
penerjemah Khoiron Nahdlyyin, Yogjakarta, LKIS Yogjakarta, 2005.
Al Amin, Habibi, Emosi Sufistik dalam Tafsir Isyari Studi atas Tafsir Lata’if al-
Isyarat Karya al-Qusyairi, Disertasi S3 Program Pascasarjana, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2015.
Albar, Arsyad, Epistemologi Tafsir Sufi Studi terhadap Tafsir al-Sulamy dan al-
Qusyairi, Disertasi S3 Program Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2015.
al-Anshâri, Jamâl al-Dîn Ibn Mandzûr, Lisân al-Arab, Beirut: Daar Shadir, 1414 H.
68
69
Ibrahim Hakki, Muhammad Ṣafa Syeikh, ‘Ulum al-Qur’ân min khilâl Muqaddimât
al-Tafâsîr, Beirut: al-Risalah, 2004.
Jumantoro, Totok dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah,
2005.
Jayusman, Nenden Maria, Konsep Zikir Perspektif al-Qusyairi dalam kitab tafsir
Lathâ’if al-‘Isyârât (telaah terhadap penafsiran al-Qusyairi pada ayat-ayat
tentang zikir dalam kitab tafsir Lathâ’if al-‘Isyârât), Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati,
Bandung, 2013.
Kaltsum, Lilik Ummi, Ayat-ayat Cinta dalam Tafsir Sufi (Analisis kata Hub dalam
Tafsir Dzu al-Nûn al-Misri), Jurnal Studi Agama dan Masyarakat,
Rembang: al-Itqân, STAI Al Anwar, 2017.
Mahsum, Moh. Toha, Penafsiran imam al-Qusyairi dalam Kitab Tafsir Lata’if al-
Isyarah Studi tentang Metode Penafsiran dan aflikasinya, Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,
Yogjakarta, 2009.
Masduki, Irwan dkk, Kontekstualisasi Turats Telaah regresif dan progresif, Kediri:
De-Aly. 2009.
Munir, Abdul, Penafsiran imam al-Qusyairi dalam Kitab Tafsir Lata’if al-Isyarah
Studi tentang Metode Penafsiran dan aflikasinya. Disertasi S3 Program
Pascasarjana, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogjakarta,
2009.
Murtahdho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press. 2008.
Mustaqim, Abdul, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir, Yogjakarta: Idea Press,
2017.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1987.
_______ ‘Abd al-Karim, Laṯâ’if al-Isyârât, editor ‘Abd Latif Hasan bin ‘Abd
Rahman, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 2007.
_______ ‘Abd al-Karim, Laṯâ’if al-Isyârât, editor Ibrahim Basyuni, Kairo: Daar al-
Kâtib al-‘Arabi, 1974.
al-Qurṭubi, Abû ‘Abdullȃh Muhammad bin Ahmad bin Abû Bakar al-Anshari, al-
Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân, kairo: Daar al-Kutub al-Misriyah, 1384.
al-Râzi, Fakhr al-Din, Mafâtîh al-Ghaib, Beirut: Daar Ihya al-Turats al-Arabi’,
1420.
Suliono, Penafsiran Ayat-ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak: Studi Analisis
Tafsir Lata’if al-Isyarat. Tesis S2 Program Pascasarjana, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2017.
al-Wahidi, Abû al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad, al-Wajîz fi Tafsîr al-
Kitâb al-Azîz, Beirut: Daar al-Qolam, 1415.
Wahyudi, Interpretasi Komparatif Takwil Sufi Abu Hamid al-Ghazalî dan Ibn
Arabi’ Terhadap Ayat-ayat al-Qur’an, Islamika Inside:Jurnal Keislaman
dan Humaniora, Desember 2018.
al-Zarkasyi, Abû ‘Abdillah Badruddin Muhammad bin Bahadir Bin ‘Abdullah, al-
Burhân fi ‘ulûm al-Qur’ân, Kairo: Daar al-Hadits, 1427 H.
https://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%B4%D8%A8%D9%87%D8%A9
diakses pada hari senin 26 Agustus 2019 pukul 20.57. Wib.