Anda di halaman 1dari 89

TAFSIR ISYÂRI TENTANG AYAT-AYAT TASYBIH

MENURUT ‘ABD AL-KARÎM AL-QUSYAIRI DALAM KITAB


LÂTA’IF AL-ISYÂRÂT

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Naryono
NIM : 11140340000158

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
Tafsir Isydri Tentang Ayat-ayat Tasybl Menurut 'Abd
al-Karim al-Qusyairi dalam Kitab L6ta'if al-Isyf,rflt

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar


Sarjana Agama (S.Ag)

Olch:

Narvono
NIPII:11140340000158

Pembimbing:

NIP1 197205181998031003

PROGRAM STUDIILMU AL… QUR'AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITASISLtt NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440ヨV2019■4
ABSTRAK

NARYONO, Nim 11140340000158 Tafsir Isyâri Tentang Ayat-ayat Tasybîh


Menurut ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi dalam Lâta’if al-Isyârât
Skripsi ini mengkaji ini tentang ayat-ayat tasybîh menurut ‘Abd al-Karîm al-
Qusyairi seperti ‘Arsy Allah,Yad Allah, dan Wajh Allah. Pertanyaan yang akan
dibahas adalah bagaimana al-Qusyairi menafsirkan ayat-ayat tasybîh dalam kitab
tafsirnya Lata’if al-Isyȃrȃt.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, penulis menggunakan metode deskriftif-
analitis, yakni data dikumpulkan dan disusun kemudian dianalisis. Sumber primer
pada kajian ini adalah tafsir Lata’if al-Isyarat karya ‘Abd al-Karim al-Qusyairi.
Adapun sumber sekundernya adalah kitab-kitab al-Qusyairi seperti Risalah al-
Qusyairiyah, Tartib al-Sulȗk, Arba Rasâil fi al-Taṣawuf. Selain itu, sebagai bahan
pengayaan disertakan beberapa rujukan sekunder lain berupa kitab-kitab tafsir
sesudah al-Qusyairi seperti al-Kasysyâf karya al-Zamaksyari (w. 538 H), Mafatih
al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Râzi (w. 606 H), al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân karya
al-Qurthubi (w. 671 H), Safwah al-Tafâsîr karya Ali al-Ṣabûni dan buku-buku
lainnya yang berkaitan dengan kajian ini.
Hasil penelitian pada kajian ini menunjukan bahwa ‘Arsy menurut al-Qusyairi
terbagi menjadi dua, yaitu: ‘Arsy al-Sama’ (tempat Allah bersemayam) dan ‘Arsy
Rahmân (‘Arsy Bumi) yang terletak pada hatinya para ahl al-Tauhid (orang-orang
yang mengesakan Allah), sedangkan untuk kata Yad Allah, dan Wajh Allah
ditakwilkan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Allah.

Kata Kunci: Tafsir Isyâri, Tasybîh, al-Qusyairi.

i
KATA PENGANTAR

‫الرِح ِيم‬ َّ ‫بِ ْس ِم اللَّ ِه‬


َّ ‫الر ْح َم ِن‬

Alhamdulillah Hamdan wa Syukron Lillah, walȃ Ilma Illa Allah, walȃ

Ḥaula Wala Quwata Illa Billah. Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt

Tuhan pemilik alam semesta beserta inisnya. Atas anugerah dan nikmat rahmat

serta karunia yang tak terhingga dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian yang sangat sederhana ini. Shalawat teriring salam semoga

tercurahlimpah dan tersampaikan kepada manusia paling mulia Nabi Muhammad

Saw. Kepada para sahabatnya, para tabi’in dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dan kelemahan yang

melekat pada diri penulis, terkhusus pada penyelesaian skripsi ini. Namun

Alhamdullah dengan keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki ini akhirnya

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dalam bentuk skripsi. Hal ini tidak akan

dapat terwujud dengan sendirinya, melainkan dengan karena adanya dukungan dan

bantuan dari banyak pihak baik dalam bentuk moril maupun materil, sehingga

dengan ini ucapan terima kasih penulis haturkan kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA. Selaku rektor Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2024. Beliau

merupakan rektor perempuan pertama di UIN Jakarta. Semoga di bawah

kepemimpinannya UIN semakin baik dari sisi akademis, keilmuan dan lain-

lain sehingga cita-cita UIN menjadi World Class University dapat segera

terwujud.

ii
iii

2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin berserta

jajarannya. Semoga Ushuluddin bisa lebih baik lagi dari segala sisi, agar

Fakultas Tercinta ini akan tetap menjadi jantungnya UIN Jakarta dan dapat

bersaing dengan Fakultas UIN lainnya dari dalam maupun luar Negeri.

3. Terima kasih kepada Dr. Eva Nugraha, MA. Selaku ketua jurusan Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir Dr. Fahrizal Mahdi, MIRKH. Selaku Sekteraris Jurusan.

Dan seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah banyak memberikan

ilmu, wejangan dan motivasi selama saya menimba ilmu di Fakultas

Ushuluddin. Semoga semua yang saya dapatkan selama saya menempuh

pendidikan Strata 1 (S1) ini dapat bermanfaat di luar nanti.

4. Dr. M. Suryadinata, M.Ag selaku Dosen pembimbing akademik yang telah

mendoakan dan memberikan masukan kepada saya di tengah kesibukannya

sebagai Dosen.

5. Bapak M. Anwar Syarifuddin, MA selaku dosen pembimbing Skripsi yang

telah banyak mencurahkan waktu ditengah kesibukan yang beliau miliki.

Penulis secara pribadi menghaturkan terima kasih yang teramat dalam atas

bimbingan, masukan, arahan, saran dan motivasi yang beliau berikan

kepada saya dari ketidaktahuan yang saya miliki dengan kesabarannya,

sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Semoga beliau diberikan umur

panjang, kesehatan badan agar beliau selalu memberikan kedalaman ilmu

yang beliau miliki kepada mahasiswa yang beliau ajarkan di kampus UIN

maupun non UIN. Tak lupa penulis mendoakan agar beliau selalu diberikan

kemudahan dan kelancaran dalam menjalani seluruh aktivitas yang beliau

miliki.
iv

6. Kepada ustadz Aramdhan Qodrat Permana, M.Ag guru sekaligus kakak

penulis, dan atas sebuah karya tulisnya Nuansa Sufistik dalam Tafsir

Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi, penulis termotivasi untuk

menulis tugas akhir ini dengan pendekatan sufistik. Juga bapak Dr. Abdul

Muthalib, MA. Atas mata kuliah Tasawuf Klasik yang menjadi mata kuliah

pilihan serta salah satu mata kuliah wajib pada Jurusan Ilmu al-Qur’an dan

Tafsir, penulis dapat menemukan tokoh ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi yang

menjadi bahan utama dalam penelitian saya untuk dapat merampungkan

pendidikan Strata Satu (S1).

7. Guru-guru yang telah mendidik penulis ketika belajar di Pondok Modern

Assalam Sukabumi. KH. Badrusyamsi, M.M, M.pd dan ustadz Encep

Hadiana, Spd.I, M.Si, selaku Pimpinan Pondok Modern Assalam, semoga

pondok semakin maju dan banyak menciptakan perubahan-perubahan di era

kepemimpinan beliau. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada

ustadz Ujang Syakrodin selaku bapak kedua saya ketika berada di pondok,

ustadz Muhammadiyyah (alm) yang telah banyak memberikan ilmunya

kepada para santri termasuk saya, alm ustadz Ridwan Sartono (alm), ustadz

Udi Masyhudi, ustadz Mahfudz, ustadz Abdul Aziz, ustadz Marzuki Laudu,

ustadz Nana Utam, ustadz Fadli, ustadz Hubudillah, dan para Asatidzah

lainnya yang tidak saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas ilmu dan

pengalaman yang telah engkau berikan.

8. Teruntuk kedua orang tua saya, terutama Ibunda tercinta Hj. Kinah (almh)

yang telah melahirkan saya ke dunia ini. Dalam setiap langkah yang telah

penulis lalui, tak lupa untuk memanjatkan doa untuknya agar Allah Swt
v

mengampuni segala dosa dan kekhilafannya selama hidup di dunia ini.

Teruntuk ayahanda tercinta H. Kelan yang selalu bilang, udah tinggalin

kerja. Selesain kuliah! Semoga dapat menjadi ayah yang lebih baik lagi, bagi

anak-anaknya termasuk saya.

9. Terima kasih pula kepada engkong H. Amit (alm) dan Ema Hj. Lanih yang

sedari kecil telah merawat dan pendidik saya hingga saat ini.

10. Teruntuk Hj. Misu Sukaesih yang telah saya anggap sebagai ibu setelah

waufatnya ibunda tercinta, serta Hj. Suratna yang saat ini menjadi

pendamping ayah semoga bisa menjadi suritauladan bagi saya, dan adik-

adik saya. Serta untuk Keluarga Besar Bapak H. Amit dan H. Asan H.

11. Kepada adik dan kakak saya, Parta Wijaya, Rezah Aurelia semoga cepat

menyelesaikan studinya walaupun saat ini masih semester dua, Talita Hasna

Humaira. Andri Reinaldi yang baru saja dikaruniai momongan yang kedua.

Semoga tetap menjadi ayah yang baik untuk teh Kiki dan kaka Najwa serta

dede Alin yang baru terlahir ke dunia.

12. Segenap keluarga Alumni Pondok Modern Assalam angkatan 2012-2013

Saznera-Saznaira empat tahun kita bersama untuk mengarungi kehidupan

selama menempuh pendidikan di Pondok tercinta, tak terasa waktu telah

memisahkan kita hingga hari ini. Terutama kawan-kawan seperjuangan di

UIN Jakarta, Ikin Sodikin, Wahid Syarifuddin Sabekti, M. Wahidin, Zaki

Mubarok, Nadia Rahmadia, Rohanah, Fitria Anisa, Laila Nisfi Wahidah,

dan Nachdla Waskita Raliwa Putri.

13. Kawan-kawan Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Aqidah dan Filsafat

Islam, Studi Agama-agama angkatan 2014, Segenap keluarga Ilmu al-


vi

Qur’an dan Tafsir angkatan 2014 kelas D, kawan-kawan tongkrongan

Rinaldi Kusuma Putra, Muhammad Samthoni, Siti Hutami, Ubaidillah,

Khubab Fairus, dan kawan-kawan yang lainnya semoga cepat mendapatkan

Ilham agar bisa mendapatkan gelar sarjana. Terima kasih juga kepada

Pramudita Suciati, S.Ag yang selalu memotivasi saya agar cepat

menyelesaikan Studi.

14. Rekan-rekan KKN KISS 2017 Desa Kemuning, terima kasih atas

kebersamaannya selama mengabdi kepada masyarakat selama satu bulan.

Semoga apa yang telah kita lakukan selama menjalani kegiatan KKN dapat

terus terkenang oleh masyarakat yang berada di wilayah desa kemuning.

15. Teruntuk IKPMA Ciputat terutama Ketua kang Ichan dan mas Dito Alif

Pratama Selaku Owner Santri Menggelobal terima kasih atas motivasi dan

pengalaman yang telah beliau berikan kepada saya, KMIK Jakarta teruntuk

Tum Beni yang telah banyak memberikan pengalaman, semoga cepat

diberikan momongan. Bang Cipop Alpacino dan bang Cecep Supardi yang

memiliki segudang pengalaman. PMII Komfuspertum. Terima kasih kepada

oraganisasi yang saya sebutkan atas ilmu dan pengalaman selama saya

berorganisasi.

16. Untuk kakanda Ulul Azmi, M. Dedi Sofyan, Ali Akbar, Jumadi Suherman.

Yang telah banyak membantu dan memotivasi saya ketika masih bekerja

maupun untuk menyelesaikan studi. Juga mas Ade Pradiansyah serta

Adinda Diki Ramdani yang telah banyak membantu penulis dalam

menyusun tugas akhir ini, semoga keduanya cepat menyelesaikan tugas

akhirnya.
vii

17. Terima kasih kepada OM Cecep Rahmat Hidayat (kang oma) yang punya

kawasan Primajasa, atas motivasi dan pengalaman hidup yang telah beliau

berikan kepada saya. Semoga beliau selalu diberikan kemudahan dalam

menjalankan pekerjaannya, saya selalu berdoa jika dikemudian hari ketika

saya sudah memadahi dari segi financial kita dapat menjalin kerja sama

untuk membentuk perusaan jasa Perjalanan di bidang wisata.

18. Terima kasih juga kepada segenap keluarga Lembaga Survei Indonesia

(LSI), terutama kang Umam Biladi Kusuma, kang Ajuba, kang Aziz Arai,

mas Ibad, kang Sadri. Serta kawan-kawan lain selama saya terlibat dalam

kegiatan survei.

Penulis merasa perlu memberikan ucapan terima kasih kepada mereka yang

telah penulis sebutkan di atas, karena berkat dukungan, semangat dan doa yang

tulus kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis menyadari betul

bahwa skripsi ini jauh dari nilai kesempurnaan, namun besar harapan penulis bahwa

penelitian ini dapat memberikan manfaat terlebih bagi penulis dan umumnya bagi

pembaca. Amîn, Amîn ya Rabbal ȃlamîn.

Ciputat, 08 Agustus 2019

Naryono
Pedoman Transliterasi

Penulis menggunakan pedoman transliterasi Pedoman Akademik Program

Strata 1 2010/2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagaimana keterangan di


bawah ini.

A. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ Tidak dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫ت‬ T Te

‫ث‬ Ts te dan es

‫ج‬ J Je

‫ح‬ ḥ h dan titik bawah

‫خ‬ Kh ka dan ha

‫د‬ D De

‫ذ‬ Dz de dan zet

‫ر‬ R Er

‫ز‬ Z Zet

‫س‬ S Es

‫ش‬ Sy es dan ye

‫ص‬ ṣ es dengan titik bawah

‫ض‬ ḏ de dengan garis bawah

‫ط‬ ṯ te dengan garis bawah

‫ظ‬ ẕ zet dengan garis bawah

‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas, hadap kanan

‫غ‬ Gh ge dan ha

‫ف‬ Ef Ef

viii
ix

‫ق‬ Q Ki

‫ك‬ K Ka

‫ل‬ L El

‫م‬ M Em

‫ن‬ N En

‫و‬ W We

‫ه‬ H Ha

‫ء‬ ` Apostrop

‫ي‬ Y Ye

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rankap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin keterangan

‫ـَـــ‬ a Fatḥah

‫ـِـــ‬ i kasrah

‫ـُـــ‬ u ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ـَــــ ي‬ ai a dan i

‫ـَـــ و‬ au a dan u

C. Vokal Panjang
x

Ketentuan alih aksara vokal Panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ــا‬ â a dengan topi di atas

‫ــي‬ î i dengan topi di atas

‫ــو‬ û u dengan topi di atas

Contoh:

‫ = قال‬qâla

‫ = قيل‬qîla

‫يقول‬ = yaqûlu

D. Keterangan Tambahan

1. Kata sandang ‫( ال‬alif lam ma-rifah) ditransliterasikan kedalam bahasa

Indonesia dengan al-. Seperti . Kata sandang ini menggunakan huruf kecil,

kecuali bila berada pada awal kalimat

2. Tasydid atau syaddad dilambangkan dengan huruf ganda. Seperti

3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, di tulis sesuai

dengan ejaan yang berlaku. Seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.


E. Singkatan

as. = alaih al-Salâm

cet. = cetakan

H. = Hijriah

h. = halaman
xi

M. = Masehi

QS. = Qur’an Surat

ra. = raḏiyaAllâhu ‘anh

Swt. = subaḥânah wa ta’âlâ

Saw. = shallallah ‘alaihi wassalam

w. = Wafat
DAFTAR ISI

PENGESAHAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA UJUAN
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .....................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................8
D. Tinjauan Pustaka ..........................................................................................9
E. Metodologi Penelitian ................................................................................12
1. Metode Pengumpulan Data ..................................................................12
2. Metode Pembahasan.............................................................................13
3. Teknik Penulisan ..................................................................................13
F. Sistematika Penulisan ................................................................................13

BAB II: DISKURSUS TAFSIR DAN TAKWIL


A. Pengertian Tafsir dan Takwil .....................................................................15
B. Penyempitan Makna Tafsir ........................................................................22
C. Pendekatan Takwil dalam Tafsir Sufi ........................................................24
D. Pengertian Ayat-ayat Tasybîh dalam al-Qur’an .........................................29

BAB III: Biografi ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi & Lâta’if al-Isyârât


1. Biografi ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi
A. Riwayat Hidup ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi ...........................................32
B. Pendamping Hidup dan Keturunannya ..................................................35
C. Konteks Sosial Politik ...........................................................................35
D. Guru-guru ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi ...................................................39
E. Murid-murid ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi ...............................................40
F. Karya Intelektual ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi ........................................41
2. Lâta’if al-Isyârât
A. Latâ’if al-Isyârât ...................................................................................43
B. Karakteristik Penafsiran .......................................................................45
C. Metodologi Penulisan Latâ’if al-Isyârât ...............................................46

BAB IV : Bentuk-bentuk Takwil ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi


Terhadap Ayat-ayat Tasybih
A. Allah Bersemayam di atas ‘Arsy ................................................................48
B. Yad Allah....................................................................................................57
C. Wajh Allah .................................................................................................61

xii
xiii

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................66
B. Saran ...........................................................................................................66
C. Daftar Pustaka ............................................................................................68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir Isyâri merupakan corak tafsir yang lebih mengedepankan ta’wîl

(selanjutnya disebut takwil) dan bersumber dari isyarat-isyarat tersembunyi dari

para penempuh jalan spiritual (tasawuf) yang mampu memadukan antara makna

batin (esoteris) dengan makna lahiriyah (eksoteris) yang dikehendaki oleh ayat

yang ditafsirkan.1 Tafsir jenis ini, disebut juga sebagai al-Tafsîr al-Ṣûfi (selanjutnya

akan disebut tafsir sufi).2 Tafsir dengan corak sufistik lahir dari kebiasaan para sufi

yang melakukan interaksi dengan al-Qur’an berdasarkan keyakinan mereka

sebagaimana yang terdapat pada ajaran tasawuf, baik melalui pembacaan, ataupun

perenungan dalam pengalaman spiritual.3

Secara umum tafsir sufi berbeda dengan tafsir lain, di mana tafsir yang

bercorak non sufistik hanya menitikberatkan pada aspek bahasa dan teks, meskipun

ada beberapa pengkaji al-Qur’an yang mengkaji tentang metode dan cara

pelafalannya. Tafsir sufi dalam pendekatannya sangat kental dengan nuansa filsafat

dan tasawuf.4
Kemunculan tafsir sufi di kalangan umat Islam tidak bisa dilepaskan dari

upaya untuk melegitimasi pemikiran serta pengalaman tasawuf yang didasarkan

pada al-Qur’an dengan melakukan takwil. Metode ini meniscayakan pada

pemahaman makna-makna al-Qur’an pada wilayah esoteris suatu kata, kalimat dan

ayat yang tidak terlepas dari penafsiran eksoteris.5

1
Muhammad ‘Abd al-Aẕim Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Daar al-
Fiqr, 1996), jilid 2, h. 76.
2
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2015), cetakan ke 3,h. 367.
3
Arsyad Albar, “Epistemologi Tafsir Sufi Studi terhadap Tafsir al-Sulami dan al-
Qusyairi,” (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Jakarta 2015), h. 26.
4
Arsyad Albar, “Epistemologi Tafsir Sufi Studi terhadap Tafsir al-Sulami dan al-
Qusyairi,” h. 48.
5
Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya
Fakhr al-Din al-Razi, (Bekasi: An Nahl, 2016), cetakan pertama, h. 4.

1
2

Dalam pengertiannya tafsir Isyari merupakan sebuah upaya untuk

mentakwilkan ayat al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya, hal

itu disebabkan oleh adanya isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya diketahui oleh

para penempuh jalan spiritual dan tasawuf serta mampu memadukan antara makna

esoteris dengan makna eksoteris yang dikehendaki oleh ayat yang ditafsirkan.6

Menurut Muhammad Husein al-Dzahabi, dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,

isyarat-isyarat akan keberadaan tafsir isyari sudah ada sejak diturunkannya al-

Qur’an. Al-Qur’an mengisyaratkan akan keberadaan tafsir ini yang terdapat pada

QS. Al-Nisa 4:78,7 4:82,8 dan QS. Muhammad 47:24.9

Ia melanjutkan bahwa makna ayat ini menunjukan bahwa al-Qur’an

memiliki makna eksoteris dan makna esoteris. Hal ini juga dijelaskan oleh nabi

Muhammad Saw dalam sabdanya; ِِ‫ِولِكِ ِل ِحِد‬,


ِ ِ‫ِوِ ِلِكِ ِل ِحِِرفِ ِحِد‬,ِ‫لِكِ ِل ِايةِ ِظِهِرِ ِوِ ِبِطِن‬
ِ‫( مِطِلِع‬setiap ayat dalam al-Qur’an mengandung sisi eksoteris juga makna esoteris
dan setiap hurup memiliki batasan, dan setiap batasan memiliki maṯla).10

Pendekatan esoteris yang bersifat sufistik di periode pertama, populer pada

abad kedua sampai abad keempat dari tahun hijriah sebagaimana yang diungkapkan

oleh Gerhard Bowering11 hal ini dipelopori oleh Hasan al-Baṣri (w. 110 H/728 M),
Ja’far al-Ṣâdiq (w. 148 H/765 M.), dan Sufyân al-Tsaȗri (w. 161 H/778 M). Dari

ketiga mufassir ini yang paling signifikan adalah Ja’far al-Ṣâdiq, sebagaimana yang

diungkapkan oleh Abȗ ‘Abdurrahman al-Sulami (selanjutnya disebut al-Sulami)

(330 H/938 M - w. 412 H/1020 M), dan ditransmisikan kepada anaknya, Musa al-

6
Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulum al-Qur’ân, jilid 2, hlm. 78.
ِ‫ أي نماِتكونواِيدرككم ِالموت ِولوِكن تم ِفيِب روج ِمشيَّدة ِوإن ِتصب هم ِحسنة ِي قولواِهذهِ ِمن ِعندِاللَّه ِوإن ِتصب هم ِسيئة‬7
‫ي قولواِهذهِمنِعندكِقلِكلِمنِعندِاللَّهِفمالِهؤَلءِالقومَِلِيكادونِي فقهونِحديثًا‬
‫ أفَلِي تدبَّرونِالقرآنِِولوِكانِمنِعندِغيرِاللَّهِلوجدواِفيهِاختَلفًاِكث ًيرا‬8
‫ أفَلِِي تدبَّرونِالقرآنِأمِعل ِق لوٍِأق فالها‬9
10
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah
Wahabiyyah, t.t), jilid 2, h. 261-262. Lihat juga Abû Abdurrahman al-Sulami, Haqa’iq al-Tafsir,
(Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1421), h. 21.
11
Alan Doldas, “Sufism” dalam Andrew Riffin (ed), The Blackwell Companion to te
Qur’an, (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h. 252. Dalam Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa
Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtîh al-Ghaib Karya Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 108.
3

Khaẕȋm (w. 183 H/791 M), darinya kemudian diriwayatkan kepada cucunya ‘Ali

Riḏa (w. 203 H/811 M), dan darinya kemudian sampai kepada al-Sulami. Pada

periode pertama ini tak ada satupun tafsir yang bernuansa sufistik terhimpun,

melainkan hanya riwayat yang terus menerus hingga sampai kepada al-Sulami.12

Adapun periode kedua di mulai pada abad ketiga sampai abad ke empat dari

tahun Hijriyah yang dimulai oleh al-Sulami, Dzu al-Nûn al-Misri (w. 246H/854 M),

Sahl al-Tustari (selanjutnya disebut al-Tustari) (w. 283 H/891 M), Abû Sa’îd al-

Kharrâz (w. 246/854 M), al-Junayd (w. 298 H/906 M), Ibn ‘Aṯa al-Adami (w. 311

H/ 919 M), Abu Bakar al-Wâṣiṯi (w. 320 H/928 M), dan al-Syibli (w. 334/942 M).

Namun dari semuanya hanya al-Tustari dengan judul Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm,

Dzu al-Nûn al-Misri dengan judul Tafsîr Ṣûfi al-‘Irfân li al-Qur’ân al-Karîm,13 Ibn

‘Aṯa dan al-Waṣiṯi yang berhasil menghimpun kitab tafsir karyanya.14

Periode ketiga dimulai pada akhir abad kelima sampai ketujuh dari tahun

Hijriah. Pada periode ini penafsiran yang menggunakan corak tasawuf terbagi

menjadi tiga model; moderat, penafsiran esoteris secara mendalam, dan penfasiran

esoteris yang berasal dari orang Persia. Istilah moderat sendiri merujuk kepada

penafsiran yang disandarkan kepada riwayat Nabi, sahabat dan para mufassir
pertama yang menafsirkan al-Qur’an pada wilayah zawâhir-nya saja, seperti

sintaksis, gramatikal, asbâb al-Nuzûl, fiqh, dll. Di antara para mufassir sufistik

moderat ini adalah Abu Isḥaq Ahmad bin Muhammad Ibrahim al-Tsa’labi (w. 427

H/1035 M) selanjutnya disebut al-Tsa’labi, dengan Araîs al-Majalîs fi Qiṣâṣ al-

Anbiyâ, ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi selanjutnya disebut al-Qusyairi (w.465 H/1073

M), dengan Laṯâ’if al-Isyârât, dan tafsir Nughât al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân yang

dikarang oleh Syihâb al-Dîn Abu Hafs ‘Umar bin Muhammad al-Suḥrawardi (w.

12
Lihat dalam Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtîh al-
Ghaib Karya Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 108.
13
Lilik Ummi Kaltsum, Ayat-ayat Cinta dalam Tafsir Sufi (Analisis kata Hub dalam Tafsir
Dzu al-Nûn al-Misri), Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, (Rembang: al-Itqân, STAI Al Anwar,
2017), h. 46.
14
Lihat dalam Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtîh al-
Ghaib Karya Fakhr al-Din al-Razi, h. 108.
4

632 H/ 1240 M) selanjutnya disebut al-Suhrawardi. Model kedua, tafsir sufi secara

holistik ada dalam sebuah karya tafsir adalah karya Abu Tsȃbit ‘Abd al-Malik al-

Daylami (w. 598 H/1206 M) dengan judul Taṣdîq al-Ma’ârif atau yang dikenal

dengan Futûh al-Rahmân fi Isyârât al-Qur’ân dan tafsir ‘Araîs al-Bayân fi Haqâiq

al-Qur’an yang ditulis oleh Muhammad Ruzbihan bin Abi Nasr al-Baqli al-Sairazi

(w. 606 H/1214 M), sedangkan tafsir sufi yang ditulis oleh orang persia adalah

karya Abu ‘al-Fadl al-Rasyîd al-Dîn al-Maybudi, Kasyf al-Asrâr wa ‘Uddat al-

Abrâr dan al-Dardajiki.15

Pada periode kedua ini tepatnya abad ke 5 H/11 M. Keberadaan tafsir sufi

menjadi perdebatan seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an. Hal ini

diungkapkan oleh Jalâluddin al-Suyûṯi (selanjutnya disebut al-Suyûṯi) dalam al-

Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an dengan memberikan pendapat yang cukup klarifikatif

terhadap tafsir yang bernuansa sufistik. “wa amma kalam al-shûffiyah fi al-Qur’ân

fa laysa bi al-tafsîr”. (Pandangan kalangan sufi terhadap al-Qur’an terhadap al-

Qur’an bukanlah tafsir).16 Al-Suyuṯi sejatinya mengambil pandangan dari Ibn

Shalah (w. 642 H/1250 M) dalam al-Fatâwa. Ibn Shalah mengambil pandangan

dari Abû Ḥasan al-Wȃhidi (w. 466 H/1074 M) (selanjutnya disebut al-Wȃhidi)
bahwa Abû ‘Abdurrahmân al-Sulami menulis kitab tafsir yang diberi judul Haqâ’iq

al-Tafsîr al-Wȃhidi memberikan komentar yang cukup provokatif terhadap karya

yang telah ditulis oleh al-Sulami. “jika al-Sulami meyakini yang ditulis olehnya

sebagai tafsir maka ia telah kafir”.17

Sebenarnya, al-Sulami sendiri tidak meyakini bahwa yang ditulis olehnya

dalam Haqâ’iq adalah sebagai sebuah Tafsir, beliau hanya menjelaskan akan makna

15
Lihat dalam Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtîh al-
Ghaib Karya Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 108-109.
16
Lihat dalam M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-
Qur’an, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, (Palangkaraya: Pusat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (P3M) STAIN Palangkaraya, 2014), h. 1.
17
Jalâluddîn al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘ulûm al-Qur’ân, (Makkah al-Mukarrahah, t.t), jilid 4,
h. 194-195.
5

yang dikehendaki oleh Allah di dalam al-Qur’an.18 Pandangan ini dikuatkan oleh

Sa’d al-Dîn al-Taftazâni (w. 722 H/1209 M) dalam kitabnya Syarh Aqâ’id al-

Nasafiyah bahwa aliran kebatinan menyandarkan teks al-Qur’an tidak berdasarkan

makna eksoteris saja, melainkan juga menggunakan makna esoteris dari sebuah

ayat yang ditafsirkannya.19

Setelah al-Sulami menulis Haqa’îq al-Tafsîr muncul kitab tafsir yang

menggunakan metode melalui pendekatan yang dipakai oleh al-Sulami dalam

Haqâ’iq al-Tafsîr. Tafsir itu berasal dari salah satu muridnya, ‘Abd al-Karim al-

Qusyairi yang diberi judul Laṯâ’if al-Isyârât.20

Al-Qusyairi merupakan seorang mufassir yang hidup pada abad ke 5 H/11

M. Ia memiliki dua produk tafsir yang dikarang sebelum dan sesudah mengenal

tasawuf, tafsir yang karang olehnya sebelum mengenal tasawuf diberi judul al-

Taisîr fi ‘ilm al-Tafsîr diselesaikan sebelum tahun 410 H. Kitab Tafsir ini murni

menggunaan metode eksoterik yang menggunakan pendekatan analisis bahasa,

asbâb al-Nuzûl, fiqh dan kalam. Tafsir yang kedua adalah Laṯâ’if al-Isyârât yang

diselesaikan sekitar tahun 434 H. Tafsir ini ditulisnya setelah mengenal dan belajar

tasawuf dari para gurunya.21 Selain seorang mufassir, al-Qusyairi juga seorang ahli

tasawuf, ahli hadits, ahli tata bahasa arab, sastrawan arab, seorang ahli kalam

(theologi), dan seorang sufi yang menganut aliran theologi Sunni dan mengambil

faham fiqh bermadzhab al-Syafi’i. Pada bidang tasawuf al-Qusyairi dikenal dengan

salah satu karyanya al-Risâlah al-Qusyairiyyah. Ia merupakan pembela utama

aliran sunni pada masanya. Karena pada saat itu aliran sunni tidak luput dari

18
M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, h. 7.
19
Jalâluddîn al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 194-195. Lihat juga dalam
M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, h. 8.
20
‘Abd al-Karim al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, penerjemah Umar Faruq, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), cetakan ke 3, h. 14.
21
Habibi al Amin “Emosi Sufistik dalam Tafsir Isyari Studi atas Tafsir Lata’if al-Isyarat
Karya al-Qusyairi,” (Disertasi S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
2015), h. 64.
6

hujatan-hujatan orang-orang yang beraliran theologi Mu’tazilah, Karamiyah,

Mujassimah, dan Syiah.22

Laṯâ’if al-Isyârât merupakan tafsir sufi yang menafsirkan al-Qur’an secara

keseluruhan lengkap 30 juz dengan menggunakan Mushaf Utsmani, dalam menulis

Laṯâ’if al-Isyârât, al-Qusyairi menggunakan metode yang hampir sama dengan al-

Sulami, hanya saja al-Qusyairi lebih menekankan dalam tafsirnya kepada sisi

eksoterik dan esoterik al-Qur’an. Kedua landasan ini menjadi dasar yang harus

seimbang dan saling menguatkan, karena al-Qusyairi ingin menepis pandangan

bahwa sufi tidak selalu identik dengan makna yang tidak terjangkau oleh nalar.23

Karena keahlian yang dimiliki oleh al-Qusyairi yang begitu banyak, hal ini

menarik minat penulis untuk meneliti corak pentakwilannya pada ayat-ayat

tasybîh.24 Karena penafsiran sufi identik dengan penafsiran simbolik. Adapun kitab

yang menjadi sumber utama pada skripsi ini adalah tafsir Laṯâ’if al-Isyârât karya

al-Qusyairi.

Objek utama yang akan dikaji pada penelitian ini adalah ayat-ayat tasybîh

dengan menggunakan pendekatan tafsir yang bernuansa sufistik. Ayat tasybîh

merupakan ayat yang menggambarkan penyerupaan antara Allah dan makhluknya.


Al-Qur’an banyak menyebutkan ayat bahwa Allah memiliki kesamaan dengan

makhluknya seperti Singgasana, Yad, maupun Wajh Allah. Adapun yang menjadi

objek utama dalam kajian ini adalah Laṯâ’if al-Isyârât karya al-Qusyairi adapun

judul pada kajian ini adalah “Tafsir Isyâri tentang Ayat-ayat Tasybîh Menurut ‘Abd

al-Karȋm al-Qusyairi.”

22
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazȃni, Tasawuf Islam, penerjemah Subkhan Anshori,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), cetakan ke pertama, h. 176-177.
23
Arsyad Abrar “Epistemologi Tafsir Sufi Studi atas Tafsir al-Sulamy dan al-Qusyairi,”
h. 110.
24
Tasybîh secara bahasa adalah keserupaan, tasybîh mengungkapkan bahwa ada
keserupaan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. Hal ini karena Allah adalah “pemilik Nama-nama.”
Barzakh (sekat, simbol keadaan pertengahan, sesuatu yang memisahkan dua hal yang tidak pernah
bersatu). Alzumardi Azra dkk. Dalam Ensiklopedia Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), cetakan
pertama, jilid 3, h. 1296.
7

B. Identifikasi, pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mendapatkan beberapa masalah

yang terkait dengan penafsiran ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi tentang ayat-ayat

tasybih, adapaun masalah yang penulis identifikasi adalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan tafsir Isyari?

2. Apa itu ayat-ayat Tasybîh?

3. Siapakah ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi?

4. Pendekatan apakah yang dipakai oleh al-Qusyairi dalam menafsirkan ayat-

ayat yang bermakna Tasybîh?

5. Apakah al-Qusyairi lebih condong menggunakan perspektif dualisme atau

lebih mengedepankan takwil dalam menafsirkan ayat-ayat yang bermakna

Tasybîh dalam Latȃ’if al-Isyarat?

6. Bagaimana al-Qusyairi menafsirkan ayat-ayat yang bermakna Tasybîh,

seperti ‘Arsy, Yad Allah, dan Wajh Allah dalam Laṯȃ’if al-Isyȃrȃt?

Pada penelitian ini, penulis hanya akan membahas pertanyaan pada poin

kelima saja, yaitu: Bagaimana al-Qusyairi menafsirkan ayat-ayat yang bermakna

Tasybih, seperti ‘Arsy, Yad Allah, dan Wajh Allah dalam Laṯȃ’if al-Isyȃrȃt?

2. Batasan dan Perumusan Masalah


Banyaknya persoalan yang terkait dalam penelitian ini seperti yang telah

dijelaskan pada latar belakang di atas, maka perlu bagi penulis untuk membatasi

masalah pada penelitian ini. Batasan yang dimaksud penulis dalam kajian ini yang

terfokus pada beberapa ayat yang bersifat Tasybîh. Adapun ayat-ayat Tasybîh yang

terdapat di dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut: yang berkaitan tentang Allah

Bersemayam di atas ‘Arsy, terdapat pada QS. Al-A’raf 7:57, QS. Al-Ra’d 13:2, QS
8

Taha 20:5, QS. al-Anbiya 21:22, QS. Al-Mu’minun 23:86, 23:116, QS. Al-Furqan

25:59, QS. Al-Sajdah 32:4, QS. Al-Zukhuf 43:82. dan QS. Al-Hadid 57:4. Adapun

yang berkaitan tentang Yad Allah, terdapat pada QS. Ali-Imran 3:26, 3:73, QS. Al-

Maidah 5:64, QS. Al-A’raf 7: 57, QS. Yasin 36:83, QS. Ṣad 38:75, QS. Al-Fath

48:10, QS. Al-Hujurat 49:1, QS. Al-Hadid 57:29 dan QS. Al-Mulq 67:1. Dan ayat

yang berkaitan dengan Wajh Allah terdapat pada QS. Al-Baqarah 2:115, 2:272, QS.

Al-Ra’d 13:22, QS. Al-Rûm 30:39, QS. Al-Rahman 55:27, QS. Al-Insan 76:9, dan

QS. Al-Lail 92:20.

Dari sekian banyak ayat yang bermakna Tasybîh, penulis berfokus terhadap

ayat yang berkaitan tentang Allah Bersemayam di atas ‘Arsy pada QS. Al-Ra’d

13:2, QS. Taha 20 : 5, sedangkan yang berkaitan tentang Yad Allah penulis berfokus

pada QS. Al-Mulk 67:1 dan Wajh Allah penulis berfokus pada QS. Al-Fath 48:10

dan QS. Al-Rahman 55:27.

Selanjutnya, penelitian ini akan diarahkan untuk menjawab sebuah rumusan

masalah yang penulis tampilkan dalam sebuah pertanyaan, yaitu: Bagaimana

Penafsiran al-Qusyairi terhadap ayat-ayat Tasybîh dalam Laṯâ’if al-Isyârât?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang

hendak dicapai pada penelitian ini adalah memahami penafsiran al-Qusyairi tentang

ayat-ayat tasybîh dalam Laṯâ’if al-Isyârât.

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari penelitian ini

adalah:

a. Secara akademis, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gelar Strata 1

(S1).
9

b. Penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah ilmu keislaman,

terutama dalam ranah ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Terkhusus yang berkaitan

dengan tafsir yang bercorak Isyari.

c. Mengetahui pendekatan yang dipakai oleh sufi dalam menafsirkan al-

Qur’an dengan pendekatan tasawuf.

d. Mengetahui bagaimana sufi menafsirkan ayat-ayat tasybîh dengan

menggunakan pendekatan Isyari.

D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang al-Qusyairi bukanlah kajian yang sama sekali baru.

Pembahasan ini telah banyak diteliti oleh banyak kalangan akademis baik dari

dalam maupun luar negeri dengan persepektif yang bervariatif. Berdasarkan

penelusuran yang telah penulis lakukan, terdapat beberapa karya terdahulu dan

relevan pada penelitian ini, diantaranya adalah.

Skripsi yang ditulis oleh Moh. Toha Mahsum UIN Sunan Kalijaga 2009,

berjudul “Kisah Musa dan Khidr dalam Surat al-Kahfi (Studi Penafsiran al-

Qusyairi dalam Kitabnya Lata’if al-Isyarah)”. Penelitian ini menggambarkan

tentang penafsiran al-Qusyairi dalam menafsirkan kisah Musa dan Khidir dalam

QS. Al-Kahfi 18:60-80. Dalam penelitian ini didapati makna yang tersurat bahwa

manusia diperintahkan untuk belajar dan memperoleh ilmu agar dapat mendekatkan

diri kepada Allah.25

Skripsi selanjutnya ditulis oleh Nenden Maria Jayusman, Universitas Islam

Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun 2013, dengan judul

“Konsep Zikir Perspektif al-Qusyairi dalam kitab tafsir Lathâ’if al-‘Isyârât (telaah

25
Moh. Toha Mahsum, “penafsiran imam al-Qusyairi dalam Kitab Tafsir Lata’if al-
Isyarah Studi tentang Metode Penafsiran dan aflikasinya,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogjakarta, 2009).
10

terhadap penafsiran al-Qusyairi pada ayat-ayat tentang zikir dalam kitab tafsir

Lathâ’if al-‘Isyârât)”.26

Kajian penelitian lain juga pernah diteliti oleh Afiyatul Azizah dalam

sebuah Tesis, IAIN Surakarta pada tahun 2014, dengan judul Penafsiran Huruf

Muqatha’ah (Telaah Kritis Penafsiran Imam Qusyairi Tentang ‫ حم‬Dalam Lata’if

al-Isyarah). Penelitian ini terfokus pada ayat muqatha’ah ‫ حم‬yang berbeda-beda

tafsirannya dalam setiap suratnya.27

Kajian al-Qusyairi selanjutnya ditulis oleh Tajul Muluk dalam bentuk Tesis,

UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta pada tahun 2016, dengan judul “Pemaknaan al-

Qur’an dalam Perspektif al-Imam al-Qusyairi (Telaah atas kitab Tafsir Laṯâ’if al-

Isyârât).28

Pembahasan tentang al-Qusyairi ditulis dalam bentuk tesis selanjutnya,

ditulis oleh Suliono, Program pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam

Negeri (UIN) Jakarta 2017, dengan judul Penafsiran Ayat-ayat Komunikasi Orang

Tua dan Anak: Studi Analisis Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât. Penelitian ini tentang

komunikasi orang tua dengan anaknya dalam tafsir Laṯâ’if al-Isyârât seperti, kisah

Nabi Nuh dengan Kan’an, Ya’kub dan anaknya, Lukman dengan Anaknya, dan
Nabi Ibrahim dengan anaknya yaitu Ismail. Serta membahas komunikasi orang tua

dan anaknya melalui pendekatan tafsir Isyari. 29

Pembahasan selanjutnya yang diteliti oleh Irwan Muhibuddin Program

Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

26
Nenden Maria Jayusman, “Konsep Zikir Perspektif al-Qusyairi dalam kitab tafsir
Lathâ’if al-‘Isyârât (telaah terhadap penafsiran al-Qusyairi pada ayat-ayat tentang zikir dalam
kitab tafsir Lathâ’if al-‘Isyârât),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Gunung Djati, Bandung, 2013).
27
Afiyatul Azizah, “Penafsiran Huruf Muqatha’ah Telaah Kritis Penafsiran Imam
Qusyairi Tentang ‫ حم‬Dalam Lata’if al-Isyarah,” (Tesis S2, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Surakarta, 2014).
28
Tajul Muluk, “Pemaknaan al-Qur’an dalam Perspektif al-Imam al-Qusyairi (Telaah
atas kitab Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât)” (Tesis S2, Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi
Qur’an Hadis, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogjakarta, 2016).
29
Suliono, “Penafsiran Ayat-ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak: Studi Analisis Tafsir
Lata’if al-Isyarat,” (Tesis S2, Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017).
11

(UIN) Jakarta 2018, dengan judul Tafsir Ayat-ayat Sufistik (Studi Komparasi Tafsir

al-Qusyairi dan al-Jailani).30

Selanjutnya penelitian tentang al-Qusyairi yang ditulis dalam bentuk

disertasi oleh Abdurrahim Yapono Universitas Malaya Malasyia 2006 dengan

judul ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi dan Sumbangannya dalam Tafsir Simbolik.

Analisis karya Laṯâ’if al-Isyârât.31

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Abdul Munir UIN Sunan

Kalijaga 2009 dalam bentuk disertasi yang berjudul “Penafsiran Imam al-Qusyairi

dalam Kitab Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât (Studi tentang Metode Penafsiran dan

aflikasinya)”. Dalam disertasi ini beliau menyebutkan bahwa al-Qusyairi dalam

kitabnya Laṯâ’if al-Isyârât menggunakan metode Taḥlili dalam bentuk bi al-Ra’y

dan bernuansa tasawuf. Selain itu disebutkan juga bahwa al-Qusyairi dalam

mengaplikasikan penafsirannya memperhatikan makna Isyarat dan makna

eksoteris ayat serta riwayat Nabi Saw untuk mendukung penafsirannya.32

Selanjutnya, diteliti oleh Arsyad Abrar dalam bentuk disertasi, Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta 2015, dengan judul

Epistemologi Tafsir Sufi Study terhadap Tafsir al-Sulami dan al-Qusyairi.


Penelitian ini mengkomparasikan penafsiran antara al-Sulami dalam Haqa’iq al-

Tafsir dengan al-Qusyairi dalam Laṯâ’if al-Isyârât.33

Penelitian terakhir yang penulis temukan adalah disertasi yang ditulis oleh

Habibi Al Amin, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta

2015, berjudul Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari Study atas Tafsir Laṯâ’if al-

30
Irwan Muhibuddin, “Tafsir Ayat-ayat Sufistik Studi Komparasi Tafsir al-Qusyairi dan
al-Jailani,” (Tesis S2, Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018).
31
Abdurrahman Yapono, “Abd al-Karim al-Qusyairi dan Sumbangannya dalam Tafsir
Simbolik. Analisis karya Lata’if al-Isyarah,” (Disertasi S3, Universitas Malaya, Malasyia, 2006).
32
Abdul Munir, “Penafsiran imam al-Qusyairi dalam Kitab Tafsir Lata’if al-Isyarah Studi
tentang Metode Penafsiran dan aflikasinya,” (Disertasi S3, Program Pascasarjana, Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogjakarta, 2009).
33
Arsyad Albar, “Epistemologi Tafsir Sufi Study terhadap Tafsir al-Sulamy dan al-
Qusyairi,” (Disertasi S3, Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2015).
12

Isyârât Karya al-Qusyairi. Penelitian ini mengemukakan bahwa penafsiran al-

Qusyairi dalam Laṯâ’if al-Isyârât dipengaruhi oleh unsur emosi sufistik, unsur

emosi yang dimaksud dalam bentuk penafsiran bahasa syair. Seperti emosi cinta

penghambaan (al-Maḥabbah al-‘Ubudiyyah) dan emosi cinta kekasih (al-Iṣq al-

Muḥib).34

E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode kepustakaan (Library

Research). Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk mencari sumber informasi

yang tertulis melalui kitab rujukan primer maupun sekunder melalui literatur

kepustakaan. Semua bahan yang dibutuhkan akan dikumpulkan dengan topik

pembahasan yang dituju pada penelitian ini. Adapun sumber primer pada penelitian

ini adalah tafsir Latȃ’if al-Isyȃrȃt karya ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi yang terfokus

untuk meneliti ayat-ayat yang bermakna tasybîh antara Allah dengan makhluk

ciptaan-Nya. Adapun sumber sekundernya adalah Adapun sumber sekundernya

adalah kitab-kitab al-Qusyairi seperti Risalah al-Qusyairiyah, Tartib al-Sulȗk,

Arba’ Rasâil fi al-Taṣawuf. Selain itu, sebagai bahan pengayaan disertakan

beberapa rujukan sekunder lain berupa kitab-kitab tafsir sesudah al-Qusyairi seperti

al-Kasysyâf karya al-Zamaksyari (w. 538 H), Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din

al-Râzi (w. 606 H), al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân karya al-Qurthubi (w. 671 H),

Safwah al-Tafâsîr karya Ali al-Ṣabûni, dan literatur lainnya seperti skripsi, tesis,

disertasi, jurnal, artikel dan lain sebagainya.

34
Habibi Al Amin, “Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari Study atas Tafsir Lata’if al-Isyarat
Karya al-Qusyairi”, (Disertasi S3, Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2015).
13

2. Metode Pembahasan

Untuk memperoleh hasil yang maksimal pada penelitian ini, penulis

menggunakan metode penelitian kualitatif,36 dengan pendekatan metode deskriftif-

analitis yaitu metode yang digunakan untuk membahas suatu permasalahan dengan

meneliti, mengolah data, menganalisis, menginterpretasikan hal yang ditulis dengan

pembahasan yang teratur dan sistmetais untuk menjawab pertanyaan dalam

rumusan masalah berdasarkan pembacaan dan interpretasi terhadap data-data yang

berhubungan dengan tema yang diteliti.

3. Teknik Penulisan

Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman

akademik: penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2010/2011. Untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an, penulis menggunakan

Maktabah Syamilah sebagai alat bantu untuk menuliskan ayat al-Qur’an. Untuk

penulisan nama surat al-Qur’an, ditulis pada pedoman akademik 2010/2011,

misalnya surat al-Baqarah/2: 183, namun penulis menuliskan QS. Al-Baqarah 2:

183, yang nantinya akan konsisten sampai pada pembahasan akhir.

F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab, gambaran dari

sistematika pada penelitian ini ialah Penelitian ini diawali dengan bab pertama yaitu

pendahuluan, bab ini membahas tentang latar belakang, identifikasi, batasan dan

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi

penelitian, dan sistematika penulisan.

36
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2014), cetakan ke 33, h. 8.
14

Adapun bab kedua membahas tentang Diskursus Tafsir dan Takwil dengan

uraian: Pengertian Tafsir dan Takwil, Penyempitan Makna Tafsir, Pendekatan

Takwil dalam Tafsir Sufi.

Bab ketiga, membahas tentang biografi ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi dan

Laṯâ’if al-Isyârât dengan uraian: Riwayat Hidup al-Qusyairi, Pendamping Hidup

dan Keturunannya, Konteks Sosial Politik, Guru-guru al-Qusyairi, Murid-murid

‘Abd al-Karȋm al-Qusyairi, Karya Intelektual al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârât,

Karakteristik Penafsiran, Metodologi Penafsiran Laṯâ’if al-Isyârât.

Bab keempat, membahas tentang Bentuk-bentuk Takwil al-Qusyairi

terhadap Ayat-ayat Tasybîh dalam uraian: Allah Bersemayam di atas Arsy, Yad

Allah, Wajh Allah.

Bab kelima yaitu bab penutup yang akan memberikan kesimpulan dari hasil

pembacaan penulis mengenai penafsiran al-Qusyairi tentang Ayat-ayat Tasybîh,

dan saran untuk penelitian selanjutnya, serta daftar pustaka.


BAB II
DISKURSUS TAFSIR, TAKWIL DAN TASYBIH
Banyaknya aspek yang perlu digali atas kandungan makna yang terdapat

dalam al-Qur’an, baik secara literal-eksoteris (ẕahir) maupun makna esoteris-

alegoris (batin), maka dibutuhkan seperangkat ilmu atau metode yang memadai

agar dapat menyingkap segudang makna yang tersimpan di balik teks al-Qur’an

yang seperangkat ilmu tersebut dinamakan dengan tafsir.1 Tafsir sebagai produk

hasil interaksi antara nalar seorang mufassir dengan teks, dan konteks yang

melingkupinya, serta tidak mengalami titik henti hanya sampai pada konteks

tersebut.2

A. Pengertian Tafsir dan Takwil


Tafsir secara bahasa adalah penjelasan (ُ‫)الُيُضُاحُُوُُالتُبُيُيُن‬3 berasal dari kata

al-Fasru )ُ‫(الُفُسُر‬ yang berarti menjelaskan atau membuka al-Kasyfu wa al-Bayȃn

(ُ‫)الكشف ُو ُالب يان‬.4 Mengikuti wazan taf’il (‫) تفعيل‬. Ada yang mengatakan bahwa

tafsîr )‫(التفسير‬berasal dari kata al-Safru ُ‫( السفر‬dengan menukar tempatnya sin dan
fa), seperti kata orang arab “Pagi membelah ketika ia menyembulkan cahaya”
asfara al-Subḥu idza aḏȃ’a (ُ‫)أُسُفُرُُالصُبُحُُإُذُاُأُضُاء‬.5 Ada pula yang mengatakan bahwa

tafsir berasal dari kata al-Tafsirat ُ‫الت فسي رة‬, alat yang digunakan untuk mendeteksi
air seni,6 yang dipergunakan untuk mencari tahu penyebab sebuah penyakit. Dokter

1
Wahyudi, Interpretasi Komparatif Takwil Sufi Abu Hamid al-Ghazali dan Ibn Arabi’
Terhadap Ayat-ayat al-Qur’an, (Islamika Inside:Jurnal Keislaman dan Humaniora, Desember
2018), h.179.
2
Abdul mustaqim, metode penelitian al-Qur’an dan Tafsir, (Yogjakarta: Idea Press, 2017),
cetakan pertama, h.15.
3
Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, al-Qohirah, 2000, jilid pertama h. 12.
4
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, )Makkah al-Mukarramah, t.t), jilid 4,
h. 167.
5
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167. Pendapat yang
mengatakan bahwa sin dan fa’ yang bertukar posisi sebagaimana penjelasan di atas tidak cukup
popular dalam disiplin ilmu Ulum al-Qur’an, setidaknya hal ini tidak sering penulis temukan dalam
sekian penjelasan istilah dari kata tafsir itu sendiri.
6
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 1055 namun menurut al-Suyuṭi
makna ‫ الت َّ ْف ِسي َْرة‬bukan air seni orang sakit, melainkan sebuah alat (tidak dijelaskan alat yang

15
16

menelitinya berdasarkan warna air seni tersebut untuk menunjukan adanya penyakit

yang diderita oleh pasiennya tersebut.7 Ibn Manẕûr dalam Lisân al-‘arab (ُُ‫لُسُان‬
ُ‫ )الُعُُراب‬menjelaskan bahwa fasara (ُ‫ )فُسُر‬adalah menyingkap sesuatu yang tertutup
dan tafsir adalah menyingkap makna yang dikehendaki dari lafadz yang musykil.8

Penulis memahami dari penjelasan di atas bahwa tafsir secara bahasa adalah

pengungkapan, yang dalam fungsinya dapat digunakan untuk menyingkap sesuatu

yang bersifat indrawi (lahiriyah/tersurat) dan dapat pula digunakan untuk

menyingkap sesuatu yang bersifat maknawi (batiniyah/tersirat).

Selanjutnya beralih kepada penjelasan tafsir secara istilah. Al-Suyûṯi dalam

kitabnya al-Itqân fi ‘ulûm al-Qur’ân memberikan satu penjelasan tentang

terminologi tafsir. Menurutnya, “Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang proses

turunnya ayat al-Qur’an, asbâb al-Nuzûl, urutan turunnya ayat baik secara makki

dan madani, muhkâm mutasyâbih, al-Nâsikh wa al-Mansûkh, ‘âmm wa al-khâs,

muṯlaq wa muqayyad, mujmal wa mufassar, ḥalal wa ḥaram, janji dan ancaman,

perintah dan larangan, ibrah dan perumpamaan.9

Selain al-Suyûṯi, beberapa ulama juga menjelaskan tentang definisi tafsir

seperti Muhammad Husein al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn


yang memberikan penjelasan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang

bagaimana menyebutkan lafaẕ-lafaẕ di dalam al-Qur’an (ilmu Qiraat), petunjuk-

petunjuk tentang suatu lafaẕ (‘ilm al-Lughât), hukum-hukum individu atau redaksi

asal suatu kalimat (‘ilm al-Ṣorf wa al-I’râb dan ‘ilm al-Balâghah seperti ‘ilm al-

Bayân, ‘Ilm al-Ma’âny dan ‘Ilm al-Badî’), dan makna-makna yang dikandung

dimaksudkan seperti apa) dan digunakan oleh dokter untuk mendeteksi penyakit yang diderita oleh
pasein. Lihat Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
7
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an Kritik terhadap Ulum al-Qur’an,
penerjemah Khoiron Nahdlyyin, (Yogjakarta: LKIS Yogjakarta, 2005), cetakan ke 4, h. 281.
8
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Daar Shadir, 1414 H), jilid 5, h. 55. M. Anwar
Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat, (Palangkaraya: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN
Palangkaraya), h. 3.
9
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 169.
17

sesuai dengan susunan kalimatnya (tarkîb haqîqi dan majazi), sekaligus

kesempurnaan informasi yang komprehensif (al-Nâsikh wa al-Mansûkh, Asbâb al-

Nuzûl, dan kisah yang menyertai tentang suatu proses turunnya ayat).10

Para ulama juga memberikan penjelasannya masing-masing terkait definisi

tafsir, seperti Abû Ḥayyan dalam kitabnya al-Baḥr al-Muḥîṯ, ia mendefinisikan

tafsir ialah ilmu yang membahas tata cara pengungkapan kata-kata di dalam al-

Qur’an, menunjukan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya baik perkata

maupun perkalimat, serta ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengannya seperti al-

Nâsikh wa al-Mansûkh, Asbâb al-Nuzûl, dan lain-lain.11

Selain Abû Ḥayyan, al-Zarkasyi juga memberikan pendapatnya tentang

disiplin ilmu ini, ia menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang dipakai untuk

memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Serta

menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.12

Tokoh ulama lain yang menjelaskan tentang tafsir adalah Abû Mansȗr al-

Mâturîdi (w. 333 H) selanjutnya akan disebut Al-Mâturîdi. Menurutnya, tafsir ialah

menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat (lafaẕ) dan dengan sungguh-sungguh

menetapkan, demikianlah yang dikehendaki oleh Allah.13 Demikian pula pendapat


al-Tsa’labi yang hampir sama dengan pendapat al-Mâturîdi, bahwa tafsir bertujuan

untuk menerangkan makna lafaẕ, baik makna hakikat maupun makna majaz-nya

seperti menafsirkan makna al-Ṣirat (ُ‫ )الُصُُراط‬dengan jalan al-Ṯarîq (ُ‫)الُطُُريُق‬, dan al-

Ṣayyib (ُ‫ )الُصُيُب‬dengan hujan al-Maṯor (ُ‫)الُمُطُر‬.14

10
Husein Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama h. 13.
11
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 169.
12
Al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Daar al-Hadits, 1427 H), h. 22. Lihat
juga, Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 169. Dan Muhammad Husein al-
Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama h. 13.
13
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
14
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
18

Selain al-Mâturîdi dan al-Tsa’labi, Abû Naṣr al-Qusyairi juga memberikan

pendapat bahwa tafsir hanya terbatas pada penguraian, penyimakan, serta istinbâṯ

hukum dan apa-apa yang berkaitan dengan takwil.15

Dari banyak pendapat ulama tentang tafsir, penulis mengambil kesimpulan

bahwa tafsir adalah usaha untuk menemukan makna dari suatau ayat al-Qur’an,

baik secara lahiriah (sebagaimana yang dikehendaki Allah) maupun secara batiniah

dengan sembari bersaksi atas nama Allah bahwa makna itulah yang dikehendaki

pada ayat yang ditafsirkannya, demi mengeluarkan hukum, hikmah, dan segala hal

yang terkandung di dalamnya.

Sementara Takwil secara Bahasa terambil dari maṣdar (ُ‫ )مُصُدُر‬dari ُ-ُ ُ‫أُ ُول‬
ُ‫ يُأُُول‬yaitu fi’il mâḏi yang muta’addi. Sedangkan bentuk laẓim-nya adalah ȃla - yaûlu
– aulan – maȃlan’ (‫لا‬
ُ ‫)آلُُ–ُيُؤُوُلُُأُُولاُُ–ُمُآ‬ 16
yang berarti kembali atau berpaling

raja’a (‫)رجع‬. Dalam kamus al-Munawwir juga disebutkan awwalahu ‘alaihi (ُُ‫ُأُ ُولُه‬

ُ‫)عُلُيُه‬ artinya mengembalikan namun jika dikatakan awwal al-Kalam (ُ‫)أُ ُولُ ُالُكُلُم‬
berarti menafsirkan dan menjelaskan, pun demikian jika dikatakan awwal al-Ru’ya

(‫الرايا‬
ُ ُ ُ‫ )أُ ُول‬berarti menafsirkan arti mimpi. Dalam konteks ini makna Takwil sama

dengan makna tafsir yang fi’lu al-mȃ’di (‫ )فُعُلُُالمُاُضُى‬sama yaitu fasara )ُ‫ ُ(فُسُر‬yang
artinya penjelasan, komentar, atau keterangan.17

Al-Suyûṯi dalam kitabnya al-Itqân fi ‘Ulum al-Qur’ân memberikan

pendapat bahwa makna takwil berasal dari kata al-Awala ُ‫الُ ُول‬ yang maknanya

adalah kembali al-Ruju’ (ُ‫ )الُُرجُُوع‬maka seakan-akan seorang mufassir memalingkan

ayat kepada makna yang memungkinkan. Dikatakan pula dari kata al-iyȃlat (ُ‫)الُيُالُة‬

yang bermakna aturan al-Siyȃsat (ُ‫ )الُسُيُاسُة‬maka kalimat al-muawwil al-Kalȃm

ُ )ُ‫(الُمُُؤولُ ُالُكُلُم‬ bermakna mengatur pembicaraan dan meletakkan arti pada

tempatnya sȃsa al-Kalam (ُ‫)سُاسُُالُكُلُم‬.18

15
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 168.
16
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, h. 53.
17
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 48.
18
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
19

Selanjutnya beralih kepada penjelasan makna takwil secara istilah, ada dua

pendapat ulama yang mendefinisikan takwil secara istilah, ulama salaf

(mutaqaddimîn) dan ulama khalaf (muta’akhirîn).19

Menurut ulama salaf Takwil bermakna Tafsir20 serta penjelasan terhadap

makna al-Qur’an.21 Maka, takwil al-Qur’an terkadang diucapkan tafsir al-Qur’an

dengan makna yang sama. Pengertian ini yang dimaksudkan oleh Ibn Jarir al-Ṯabari

(w 310 H) dalam tafsirnya al-Jâmi’ al-Bayân ‘an Takwil al-Qur’ân, ketika

menafsirkan suatu ayat atau beberapa ayat, beliau selalu mengatakan: “para ahli

takwil berbeda pendapat mengenai makna ayat itu” ikhtalafa ahl al-Ta’wîl fi ma’na

hadzih al-ȃyat (ُ‫ )اُخُتُلُفُُأُهُلُُالتُأُ ُويُلُُفُىُمُعُنُىُهُذُهُُالُيُة‬yang dimaksud dengan kata takwil

disini ialah tafsir, Menurutnya Takwil di sini di artikan sebagai tafsir. Demikian

pula pendapat Ibn Mujâhid yang hampir sama dengan al-Ṯabari, ia mengatakan

bahwa “Sesungguhnya para ulama mengetahui takwil al-Qur’an inna al-‘Ulama

ya’lamun al-Ta’wil ya’ni al-Qur’ȃn (ُ‫)إُنُُالُعُلُمُاءُُيُعُلُمُوُنُُالتُأُوُيُلُُيُعُنُىُالُقُرُاُن‬.22

Menurut Mâturîdi bahwa Takwil ialah mentarjihkan salah satu makna yang

mungkin diterima oleh ayat (lafaẕ) dengan meyakini bahwa makna tersebut yang

dikehendaki Allah.23 Al-Tsa’labi mendefinisikan pengertian takwil yang hampir


mirip dengan al-Maturudy, menurutnya takwil ialah menafsirkan makna batin ayat

dengan hakikat yang dikehendaki.24

Selain al-Mâturîdi dan Al-Tsa’labi, ulama lain yang mendefinisikan Takwil

ialah Al-Bâjili, beliau berpendapat bahwa tafsir berkaitan dengan ilmu riwayah

(riwayat), sedangkan takwil berkaitan dengan ilmu dirâyah (ilmu pengetahuan),

19
Husein Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama, h. 15.
20
Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ’Ulum al-Qur’ân, Beirut, Daar al-Fiqr, 1996, jilid 2, h.
5.
21
Husein Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama, h. 15.
22
Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’ân, Beirut, Daar al-Fiqr, 1996, jilid 2, h.
5.
Jalâluddîn al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, h. 167.
23

Jalâluddîn al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, hlm .167-168. Lihat juga Al-
24

Zarqâni, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’ân, jilid 2, h. 4.


20

dan keduanya merujuk pada penuturan lafazh suatu ayat (tilâwah) dan aturan atau

undang-undang sebagai suatu ketetapan dari Allah Swt.25

Senada dengan Al-Bâjili, Abu Naṣr al-Qusyairi mengemukakan pendapat

yang relatif sama dengan Al-Bâjili menurutnya tafsir hanya terbatas pada mengikuti

dan mendengar (riwayat), sedangkan untuk masalah isṭinbâṯ (kesimpulan)

menggunakan Takwil. Sebab tafsir terpusat kepada satu makna saja, sedangkan

Takwil mencari makna lain yang memungkinkan dan mengambil dari salah satu

makna itu agar tidak bertentangan dengan makna lahiriahnya.26

Sementara ulama muta’akhirîn seperti Muhammad Husein al-ahaby dalam

al-Tafsîr wa al-Mufassirûn mendefinisikan Takwil dengan memalingkan makna

lafaẓ yang kuat (râjih) kepada makna yang lemah (marjûh) karena ada dalil yang

menyertainya.27 Senada dengan Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Jurjâni dalam

al-Ta’rifât mengungkapkan pendapatnya bahwa Takwil ialah Mengembalikan lafaẓ

dari makna ẕahir kepada makna lain yang dimilikinya, dimana makna tersebut tidak

bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.28

al-Ghazâli dalam kitabnya Faiṣal al-Tafriqât yang dikutip oleh Husein

Muhammad dalam bukunya Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerah.29


Takwil tidak hanya mengembalikan makna awal kepada makna yang dikehendaki

dan tidak sekedar menafsrikan makna metaforis semata. Namun lebih dari itu,

takwil berfungsi untuk memahami teks al-Qur’an dengan banyak hal, seperti latar

belakang peristiwa yang menghendaki sehingga turunnya teks al-Qur’an, konteks

Bahasa (lughât), hubungan dengan ayat lain (Munâsabah), dan yang tak kalah

penting dari hal itu ialah konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi.

25
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’ân, h. 417.
26
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’ân, h. 417.
27
Husein Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid pertama h. 15.
28
Al-Jurjâni, al-Ta’rifât, (Beirut: Daar al-Kitab al-‘Araby, 1405 H), jilid pertama, h. 72.
29
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerah, (Bandung: Mizan
2011), cerakan pertama, h. 35.
21

Al-Ghazâli membagi takwil ke dalam 5 jenis pendekatan: Pertama, Wujûd

dzatiy bisa disebut juga sebagai wujud hakiki. Keberadaannya tidak bisa didasarkan

pada perasaan dan akal ataupun analisis akal secara intelektual semata, meski

demikian keduanya (perasaan dan akal) bisa menangkap, menemukan, dan

memahaminya. Seperti wujud langit, bumi, ‘Arsy dan sebagainya. Setiap orang

pasti meyakini adanya wujud benda langit namun perasa dan akal tidak akan bisa

untuk menjangkaunya. Keberadaannya hanya bisa didasarkan pada informasi

agama melalui kitab sucinya (al-Qur’an) yang disampaikan kepada Utusannya

(Nabi Muhammad Saw). Kedua, wujud hissiy adalah wujud yang didapat oleh

kekuatan yang tersembunyi dalam diri manusia namun tidak mengandung

kebenaran. Al-Ghazâli mencontohkan wujud ini seperti mimpi ketika sedang tidur.

Wujud yang dilihat ketika seseorang sedang tidur pasti sangatlah jelas namun dalam

realitas (ketika terbangun) ia tidak merasakan apa-apa dari mimpinya tersebut.

Ketiga, wujud khayâliy berbentuk khayalan, angan-angan atau imajinasi. Seseorang

bisa mendengar, merasakan suatu objek dalam keadaan sadar, namun objek yang

dikehendaki tersebut dalam realitasnya tidak akan ada. Contoh seseorang

menggambar gajah ataupun kuda yang nampak pada pikirannya namun tidak

melihat gambar atau objek yang digambar tersebut. Keempat, wujûd ‘aqliy adalah

sebuah wujud yang memiliki ruh, ataupun makna. Seperti pena tanpa disadari

wujud rasionalnya pena memiliki kemampuan menulis. Contoh lainnya adalah

tangan. Tangan tidak hanya sekedar bagian tubuh, lebih dari itu ia memikiki makna

lain seperti kemampuan untuk memukul dan lain sebagainya. Kelima, wujûd syibhiy

adalah wujud yang objeknya tanpa bentuk, tanpa makna, dan tanpa ada dalam

khayal-imajinasi, serta tanpa realitas. Ia hanya wujud serupa, metaforis (majaz).

Seperti kemarahan Allah Swt, senyum-Nya, kesabaran-Nya dan lain sebagainya.30

30
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerah, h. 103-104.
22

Takwil memiliki fungsi untuk menjelaskan makna yang sulit untuk

dipahami (samar) dalam al-Qur’an, dan membutuhkan perenungan yang dalam

serta usaha intensif atas dasar indikasi-indikasi yang menunjukan makna. Dengan

kata lain, takwil menjelaskan kedalaman makna al-Qur’an dengan melalui proses

yang sulit.31

B. Penyempitan makna Tafsir

Khazanah penafsiran al-Qur’an tidak bisa terlepas dari istilah dua yang

sering disebut tafsir dan takwil, walaupun keduanya memiliki fungsi yang sama

yaitu sebagai “Penjelasan” terhadap makna-makna yang terkandung di dalam al-

Qur’an. Dua Istilah ini sangat familiar, bahkan takwil sendiri sejak awal sudah

diberikan perhatian yang cukup besar oleh al-Quran. Ia disebutkan kurang lebih 17

kali. Kata Takwil juga digunakan Nabi Saw ketika mendoakan Ibn ‘Abbas

Allâhumma faqqihhu fî al-Dîn wa ‘allimhu bi al-ta’wîl (Wahai Tuhan, anugerahi

dia pengetahuan agama dan ajari dia takwil).

Dalam sejarah Islam, istilah takwil juga begitu populer, utamanya pada 4

(empat) generasi pertama dalam peradaban muslim (sekitar I-IV H.). istilah ini

menjadi suatu kata dalam judul karya yang monumental, salah satunya adalah karya

Ibn Jârir al-Ṯabari yaitu al-Jami’ al-Bayan ‘an ta’wîl ay al-Qur’ân (ُ‫الجامعُُالب يانُان‬

)‫تأويل ُاي ُالقراءن‬. Tak hanya terdapat pada tafsir, dalam ilmu hadits, kata ini juga
menjadi judul dari karya Ibn Qutaibah yaitu Ta’wîl Mukhtalif al-Hadits ُُ‫(تُأُ ُويُل‬
)ُ‫مُخُتُلُفُُالُحُدُيُث‬. Hal ini menunjukan bahwa sejak awal sejarah islam, selain sebagai
kata ataupun istilah, takwil memang digunakan sebagai cara membaca, memahami,

dan mengeksplorasi kandungan teks-teks al-Qur’an, al-Sunnah, dan kajian-kajian

keilmuan islam lainya. Namun sesudah berabad-abad lamanya (bahkan sampai hari

31
Irwan masduki dkk, Kontekstualisasi Turats Telaah regresif dan progresif, )Kediri: De-
Aly, 2009), cet kedua, hlm. 4. Lihat pula, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Nusantara, dalam
sambutan Amin Abdullah, )Yogjakarta: Lkis Yogjakarta, 2013(, cetakan pertama, hlm viii.
23

ini), istilah takwil seakan hilang dari peredaran dan tidak lagi populer digunakan

oleh masyarakat muslim. Seperti mengalami pengasingan dan stigmatisasi negatif.

Popularitasnya digantikan oleh istilah tafsir yang hanya disebutkan satu kali di surat

al-Furqan (25:33). Sebagaimana contoh kritikan yang dilontarkan oleh al-Wâhidi

terhadap al-Sulami yang mengatakan bahwa jika menganggap kitab tafsir yang

ditulis oleh al-Sulami (Haqâ’iq al-Tafsîr) sebagai sebuah tafsir maka telah kafir.

Hal senada juga dilotarkan Ibn Shalah terhadap al-Sulami, menurutnya tafsir yang

ditulis oleh al-Sulami bukanlah sebuah tafsir karena ia tidak menyebutnya sebagai

tafsir. Karena yang ditulis oleh al-Sulami bukanlah sebuah tafsir melainkan al-

Maqâlat al-Ṣufîyyah (perkataan-perkataan ahli sufi yang berkenaan dengan takwil

terhadap ayat-ayat al-Qur’an).32

Al-Sulami sendiri tidak meyakini bahwa yang ditulisnya dalam Haqâ’iq

adalah sebagai sebuah tafsir. Ia tidak bermaksud untuk menjelaskan makna yang

dikehendaki oleh Allah di dalam al-Qur’an.33 Pandangan ini dikuatkan oleh Sa’d

al-Dîn al-Taftazȃni (w. 722 H.) dalam kitabnya Syarh Aqâ’id al-Nasafiyyah (ُ‫شُُرح‬

)‫عقائد ُالنسفية‬ bahwa aliran kebatinan menyandarkan teks al-Qur’an tidak

berdasarkan makna ẕahirnya melainkan menggunakan makna batin dari sebuah ayat
yang ditafsirkannya.34

Contoh anggapan negatif akan istilah takwil tersebut, begitu mengemuka

dan secara tidak langsung telah menandai sebuah perubahan besar (dari takwil ke

tafsir) dalam peradaban kaum muslim, bahkan dengan didukung oleh bagunan

epistemologi yang berangkat dari sebuah paradigma “al-Qur’ân yufassiru ba’ḏuhu

ba’ḏan” yang diartikan bahwa untuk memahami al-Qur’an cukuplah hanya dengan

membaca ayat-ayatnya dalam mushaf al-Qur’an karena satu ayat dapat dipahami

maksudnya melalui cara menghubungkannya dengan atau mencarinya pada ayat al-

32
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-‘Itqân fi ‘Ulum al-Qur’ân, jilid 4, h. 194-195.
33
M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jurnal
Studi Agama dan Masyarakat, h. 7.
34
Jalâluddîn al-Suyuṯi , al-‘Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân , jilid 4, h. 194-195. Lihat juga M. M.
Anwar Syarifuddin, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, h. 8.
24

Qur’an yang lain, atau dalam pemahaman yang sederhana, memahami teks-teks al-

Qur’an tidak perlu dengan menggunakan akal pikiran (ra’yu), tetapi cukup dengan

ayat-ayat lain (riwâyah) dengan sebuah alasan akal memiliki kemungkinan

terjangkit kekeliruan, penyimpangan, dan bahaya.

Pendapat ini diperkuat dengan kutipan hadits nabi “Man fassara al-Qur’ân

bi ra’yihi fa ashâba falyatabawwa’ maq’adahu min al-Nâr” (siapa yang

menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya, maka tempatnya sudah disiapkan Tuhan di

neraka) Pernyataan hadits ini begitu populer sehingga seakan-akan telah menjadi

dogma agama yang harus diterima. Padahal hadis ini secara tidak disadari telah

memunculkan krisis intelektual masyarakat muslim dan membawa pengaruh secara

sikologis untuk bersikap kritis terhadap teks-teks keagamaan, dengan begitu pase

perubahan dari Takwil ke tafsir adalah sebuah perubahan dari metode rasionalisme

dan empirisme ke metode tekstualisme dan konsevatisme dari kritis ke statis dan

dari inklusivisme ke eksklusivisme.35

C. Pendekatan Takwil dalam Tafsir Sufi


Dalam sejarah penafsiran al-Qur’an, tafsir sufi merupakan corak tafsir yang
sangat mengedepankan Takwil dan bersumber pada isyâri. Kemunculan Tafsir sufi

tidak bisa terlepas dari sumber utamanya untuk menafsirkan al-Qur’an yaitu ilmu

tasawuf, secara umum ilmu ini merupakan filsafat kehidupan serta jalan tertentu

dalam prilaku yang digunakan manusia untuk mencapai kesempurnaan akhlaknya,

spiritual yang hakiki dan kebahagiaan rohaninya guna untuk mendekatkan diri

kepada Allah Swt.

Tasawuf secara bahasa berasal dari kata Ṣûfî kata ini diperkenalkan pertama

kali oleh Abu Hâsyim al-Kûfi (W 150 H), seperti yang diungkapkan oleh Harun

35
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerah, (Bandung: Mizan
2011), cerakan pertama, h. 160 – 164.
25

Nasution dalam bukunya Falsafat dan Mistisisme dalam Islam.36 Kata ini bermakna

bersih.37 Seorang sufi harus menempuh beberapa tingkatan batin (Maqâmat) untuk

menempuh jalan mujâhadah. al-Qusyairi memberikan tingkatan maqamat guna

mencapai mujâhadah adapun tingkatan yang harus ditempuh adalah Taubat, al-

Wara’, al-Zuhud, al-Tawakkal, sabar, dan al-Riḏa.38 Ada pula yang mengatakan

bahwa kata ini berasal dari kata Ṣaff yang berarti barisan. Seperti orang yang sedang

melaksanakan shalat barisan pertama adalah yang orang yang mendapatkan

kemuliaan, begitu pula dengan para sufi, mereka merupakan barisan pertama di

hadapan Allah. Ada pula yang mengatakan bahwa kata ini bermakna al-Ṣuffah

mereka adalah orang-orang Muhâjirîn yang ikut pindah dengan Nabi menuju

Madinah dan tak memiliki harta benda, serta tinggal di serambi masjid nabawi

sembari melaksanakan ibadah. Adapula yang mengatakan kata ini berasal dari kata

Ṣûf yaitu sebuah kain yang terbuat dari bulu wol, kain ini hanya dipakai oleh para

sufi sebagai simbol kesederhanaan.39

Tasawuf secara istilah dimaknai beragam, Muhammad Husein al-Dzahabi

mengutip pandangan madzkûr yang berpendapat bahwa tasawuf adalah berdoanya

hati (untuk keselamatan) dan percakapan jiwa. Di dalam munajatnya itu terdapat
kesucian bagi siapa saja yang berusaha untuk mensucikan dirinya, dan kejernihan

bagi yang berupaya untuk lepas dari segalam macam kotoran yang berada di dalam

hatinya tersebut. Adapun dalam percakapan jiwa terdapat tangga untuk mencapai

langit cahaya dan malaikat, serta meningkat menuju alam (al-Faiḏ) yang penuh

dengan Ilhâm. Fenomena ataupun rahasia tidak akan didapatkan kecuali dengan

perenungan (tadabbur) terhadap seluruh ciptaan yang ada di langit dan bumi.

Kendati demikian, jasmani dan rohani keduanya adalah dua unsur yang menyatu

36
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang 1987),
cetakan ke 5, h. 57.
37
Abu al-Wafa al-Ghanîmi al-Taftazani, Tasawuf Islam, penerjemah Subkhan Anshori,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), cetakan pertama, h. 22.
38
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 62.
39
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 57.
26

dan tak dapat dipisahkan serta tidak ada jalan untuk mensucikan salah satu tanpa

keduanya. Oleh sebab itu barang siapa yang berkehendak untuk mendapatkan

kejernihan (jiwa) dan kemuliaan maka ia harus melepaskan dirinya dari syahwat

dan kenikmatan-kenikmatan jasmani (hawa nafsu) dengan kata lain tasawuf adalah

pikiran, perbuatan, pembelajaran, serta akhlak, sulûk.40

Selanjutnya beralih kepada penjelasan tafsir Isyâri, penulis mengambil

pandangan dari Al-Zarqâni dalam kitabnya al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân yang

mendefiniskan bahwa tafsir Isyâri adalah mentakwilkan ayat al-Qur’an dengan

makna yang bukan makna lahiriyahnya, namun karena adanya isyarat-isyarat

tersembunyi yang hanya diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf

serta mampu memadukan antara makna tersebut (esoteris) dengan makna

lahiriyahnya (eksoteris) yang dikehendaki oleh ayat yang ditafsirkan.41 Ali al-

Ṣâbûni menambahkan dalam kitabnya al-Tibyân fi ‘Ulûm al-Qur’ân bahwa tafsir

Isyâri tidak didapat dari setiap orang ataupun setiap mufassir, melainkan hanya

beberapa orang saja, mereka itu adalah orang-orang yang diterangi penglihatan

hatinya oleh Allah, sehingga mereka dapat menemukan rahasia-rahasia yang

terkandung dalam al-Qur’an.42


Selanjutnya Ali al-Ṣâbûni memberikan contoh pada kisah musa dan khidir

yang terdapat pada QS. Al-Kahfi 18:6543 pada akhir ayat ini terdapat kata min

lladunnâ ‘ilman hal ini mengindikasikan bahwa Allah mengajarkan takwil kepada

orang-orang yang dikehendakinya salah satunya adalah khidir dalam kisah khidir

dan musa.

Jika tafsir Isyâri didefinisikan sebagai corak tafsir yang menyingkap makna-

makna tersembunyi di dalam al-Qur’an, serta didukung oleh pengalaman

40
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid 2, h. 250. Dalam
Aramdhan Qodrat Permana, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafâtih al-Ghaib Karya Fakhr al-Din
al-Râzy, (Bekasi: an Nahl, 2016), cetakan pertama, h. 99.
41
Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’an, jilid 2, h. 78.
42
Ali al-Ṣâbûni, al-Tibyân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (maharot: t.t. 2003), h. 175.
‫ف وجداُعب اداُمنُعبادناُآت ي ناهُرحمةاُمنُعندناُوعلمناهُمنُلدناُعل اما‬43
27

musyahadah yang telah dialami oleh seorang mufassir, hal ini relatif sama dengan

hermeneutika romantisme yang dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey (1822-1911

M), Geisteswissenscaften yang dalam pengertiannya adalah ilmu sosial dan

humanity (kemanusiaan), serta semua disiplin ilmu yang menafsirkan ekspresi-

ekspresi “kehidupan batin manusia”, baik dalam bentuk isyarat (sikap), perilaku

historis, kodifkasi hukum, karya seni, maupun sastra.44

Dalam aktivitas menafsirkan al-Qur’an, seorang mufassir tentunya tidak

terlepas dari 2 syarat yang harus ditempuh, yaitu: objek yang akan ditafsirkan dan

aktivitas observasi atas objek tersebut (penelitian).45 Sebagaimana metode yang

lain, tafsir Isyâri juga tidak terlepas dari hal yang disebutkan di atas, bahkan dalam

konteks ini al-Zarqâni memberikan 5 syarat untuk menafsirkan al-Qur’an dengan

menggunakan metode Isyâri,46 adapun 4 syarat yang dimaksud adalah sebagai

berikut:

1. Tidak diperkenankan untuk menghilangkan makna lahiriyah (eksoterik) dari

ayat yang ditafsirkan.

2. Tidak diperkenankan untuk meyakini kebenaran tunggal atas penafsirannya.

3. Tidak diperkenankan untuk memakai makna takwil yang jauh dari makna
lahiriyah.

4. Tidak diperkenankan untuk bertentangan (kontradiksi) dengan syariat dan

akal.

5. Adanya saksi yang sesuai dengan syariat.

44
Richard E Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, penerjemah Munsur
Heri, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cetakan pertama, h. 110.
45
M. M. Anwar Syarifuddin, Menimbang Otortias Sufi Dalam menafsirkan al-Qur’an, h.
3.
46
Al-Zarqâni, Manâhil al-Irfan fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 2, h. 81. Dalam redaksi yang lain,
yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayim, ia memberikan 4 syarat dalam menafsirkan al-Qur’an
menggunakan corak Isyâri, adapun syarat-syarat yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
pertama, Tidak diperkenankan untuk bertentangan (kontradiksi) dengan syariat dan akal. Kedua,
makannya harus benar dan sesuai dengan ayat yang ditafsirkannya. Ketiga, lafadz yang ditafsirkan
harus mengandung Isy’âr. Keempat, Tidak diperkenankan untuk meyakini kebenaran tunggal atas
penafsirannya. Lihat al-Tustari, al-Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm, (Makkah al-Mukarramah: Daar al-
Haram li Turats, 2004) cetakan pertama, h. 47.
28

Jika kelima syarat ini telah terpenuhi, maka tafsir tersebut (tafsir Isyâri)

dapat diterima namun, jika kelima syarat diatas tidak terpenuhi maka tafsir tersebut

tidaklah dapat diterima, tafsir yang ditulis merupakan dorongan hawa nafsu dan

doronga ra’y semata, hal tersebut merupakan sesuatu yang dilarang.

Al-Taḥir Ibn Asyûr (1296 H./1899 M.-1393 H./1973 M.) memberikan 3

batasan untuk menafsirkan al-Qur’an menggunakan corak Isyâri, sebagaimana

yang dikutup oleh Quraish Shihab, dalam bukunya Kaidah tafsir, adapun 3

pandangan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, merupakan sesuatu yang

serupa keadaannya dengan apa yang dilukuskan oleh ayat. Kedua, Isyarat yang lahir

dari dorongan prasangka baik dan optimisme, sebab dimungkinkan ada satu kalimat

darinya yang terlintas satu makna, namun bukan makna itulah yang dimaksudkan

oleh kalimat tersebut. Makna itu hadir karena dianggap penting dan selalu terlintas

dalam benak mufassir. Ketiga, isyarat yang berupa hikmah dan pelajaran yang

selalu ditarik oleh orang-orang yang selalu ingat dan sadar serta mengambil hikmah

dari apa saja yang pernah dialami. Hal ini lebih-lebih lagi dari para pengamal

tasawuf ketika mereka membaca al-Qur’an dan merenungkan makna yang

terkandung didalamnya.

Setelah memberikan 3 pendapat diatas, Ibn Asyûr menyatakan bahwa

“setiap isyarat yang melampaui ketiga makna diatas, maka isyarat tersebut

mengarah sedikit demi sedikit kepada penafsiran baṯiniyyah (kebatinan).47

Dalam menafsirkan al-Qur’an para sufi identik dan selalu menggunakan

perspektif dualisme ẕahir atau makrokosmos (eksoteris) dan batin atau

mikrokosmos (esoteris). Tafsir Isyâri pandangannya sangat dekat dengan

pandangan-pandangan ahl al-Sunnah, seperti kitab Laṯâ’if al-Isyârât karya ‘Abd

al-Karim al-Qusyairi, tafsir ini merupakan bagian dari tafsir ahl al-sunnah dan

bermadzab Syafi’i, tak bisa dipungkiri bahwa tafsir ini selalu menggunakan istilah-

47
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati 2015), cetakan ke 3, h. 371-
373.
29

istilah sufi, seperti maqâmat, ahwâl, syuhûd dan hijab.48 Tafsir ini (Laṯâ’if al-

Isyârât) dikarang oleh seorang pengamal tasawuf yang memiliki kebersihan hati,

dan ketulusan yang melekat pada diri pengarangnya.

Adapun kitab tafsir Isyâri yang populer karena penggunaannya saat ini

antara lain adalah Tâfsir al-Qur’ân al-‘Aẕîm yang dikarang oleh Sahl al-Tustari (w.

283 H), Haqâ’iq al-Tafsîr yang dikarang oleh ‘Abd al-Rahman al-Sulami (w. 412

H), Laṯâ’if al-Isyârât yang dikarang oleh ‘Abd al-Karim al-Qusyairi (w. 465), Al-

Raîs wa al-Bayân fi Haqâ’iq al-Qur’ân yang dikarang oleh al-Syairâzi (w. 606 H),

al-ta’wîl at al-Najmiyyah yang dikarang oleh Najm al-Dîn Dza’tih dan Ala’ al-Dîn

al-Samnani, dan Tafsîr wa Isyârât al-Qur’ân yang dikarang oleh Muhyi al-Dîn Ibn

‘Arabi (w. 638).49

D. Pengertian Ayat-ayat Tasybîh dalam al-Qur’an


Tasybîh secara etimologi adalah maṣdar dari kata ‫ شُبُهُُ–ُيُشُبُهُُ–ُتشبي اها‬yang

berarti menyerupai. Secara terminologi adalah penyerupaan antara Tuhan dengan

makhluk ciptaan-Nya, baik dari sisi dzat, sifat, maupun perbuatan.50 dari beberapa

aspek yang dijadikan sebagai analog untuk menyamakan sisi pandangan metafisik
yang ditimbulkan dari ayat yang mengandung makna penyerupaan antara Tuhan

dengan makhluk ciptaan-Nya, seperti bersemayam diatas ‘Arsy, Yad Allah,

pendengaran Allah, Wajh Allah, dan lain sebagainya. Hal ini karena Allah adalah

memilik nama-nama (Asma al-Husna).51

Menurut Ahmad al-Hȃsimi, Jawȃhir al-Balȃghah fi al-Ma’ȃnî wa al-Bayȃn

wa al-Badi’ membahas macam-macam dan fungsi tasybîh, dan hubungannya

dengan istilah-istilah tamtsîl dan takhyîl. Tasybîh adalah salahsatu term dari disiplin

48
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid 2 h. 45. Lihat juga al-
Tustari, Tafsir al-Qur’an al-’Aẕîm, h. 45.
49
Al-Tustari, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, h. 47.
50
Ahmad al-Hȃsimi, Jawȃhir al-Balȃghah fi al-Ma’ȃnî wa al-Bayȃn wa al-Badi’, (Kairo:
Daar al-Hadits, 2013), h. 281.
51
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah,
2005), cetakan pertama, h. 266.
30

‘ilm al-Balȃghah yaitu fi ‘Ilm al-Bayȃn yang memiliki unsur-unsur al-Musabbah,

al-Musabbah bih, wajh al-Syabah, dan adat al-Tasybîh.52

Al-Qur’an mengemukakan beberapa istilah yang mengandung makna

Tasybîh, sebagian mufassir menginterpretasikan makna Tasybîh secara simbolik,

misalnya yang berhubungan dengan penampakan lahir Tuhan, bentuk-Nya,

tindakan Tuhan seperti berbicara, duduk, wajah Tuhan, mata-Nya, tangan-Nya sisi-

Nya kaki-Nya, dan lainnya. Allah berfirman dalam QS. Sȃd 38:75ُ‫خلقت ُبيدي‬

(Allah yang menciptakan adam dengan kedua tangan-Nya sendiri) dan pada QS.

Al-Zumar 39:67 ُ‫( مطوياتُبيمينه‬langit di gulung dengan tangan kanan-Nya).53

Al-Qur’an terkesan kuat menggunakan bahasa transendentalis pada kedua

ayat ini, namun juga menghindari bahasa antropologis sebagai sebuah referensi

symbol tindakan-tindakan dan sifat-sifat Tuhan. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru

sebagai sebuah pertentangan.54 Salah satu ulama yang meruntuhkan argumen kaum

yang menyamakan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya terutama dari kalangan

mujassimah atau musyabihat adalah Ibn al-Jauzi dalam karyanya Daf’u al-Syubhat

ia mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ُ‫ يد‬adalah )ُ‫ (الُقُُوة‬yang bermakna


kekuasaan, kemudian ُ ‫ الوجه‬adalah dzat-Nya Allah bukan sifat bukan pula Jisim-
Nya.55

Adapun pelaku Tasybîh disebut Musyabihat atau Mujassimah. Mereka

adalah orang-orang yang menyamakan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya.

Adapun kelompok besar yang terkenal dengan Musyabihat ini adalah Karamiah

yang dinisbatkan kepada Ibn Karam, Sabaiyah yang dinisbatkan kepada ‘Abdullah

bin Saba, Hisamiyah yang dinisbatkan kepada Hisyam bin al-Ḥakam, Yunusiyah

yang dinisbatkan kepada Yunus bin ‘Abd al-Rahman al-Qammi, al-Manṣuriyah

mereka adalah pengikut Abi Mansur al-‘Ijli, al-Bayaniyah yang dinisbatkan kepada

52
Ahmad al-Hȃsimi, Jawȃhir al-Balȃghah fi al-Ma’ȃnî wa al-Bayȃn wa al-Badi’, h. 281.
53
Azyumardi Azra, Ensiklopedia Tasawuf, jilid ke 3, h. 1298.
54
Azyumardi Azra, Ensiklopedia Tasawuf, jilid ke 3, h. 1298.
55
Ibn al-Jauzi, Daf’u al-Syubhat, (Kairo: Maktabah al-Adzhariyah li al-Turats, t.t)
cetakan pertama, h. 12.
31

Bayan bin Sam’an, al-Mughiriyah mereka adalah pengikut Mughirah bin Sa’id al-

‘Ijli, dan al-Khatabiyah mereka adalah pengikut Abi Khattab al-Asadi.56

56
https://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%B4%D8%A8%D9%87%D8%A9 diakses
pada hari senin 26 Agustus 2019 pukul 20.57. Wib.
BAB III

Biografi ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi & Lâta’if al-Isyârât

1. Biografi ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi

A. Riwayat Hidup ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi

Nama lengkapnya adalah Abû al-Qâsim ‘Abd al-Karîm bin Hawazin bin

‘Abd al-Mâlik bin Ṯalḥaḥ bin Muhammad al-Ûstûwâ’ī al-Qusyairi al-Naisaburi al-

Syâfi’i.1 Ada beberapa gelar yang disadang oleh al-Qusyairi, antara lain: Pertama,

al-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabûr.

Yaitu ibukota provinsi Khurasan yang merupakan kota terbesar dalam wilayah

pemerintahan Islam pada abad pertengahan letaknya disamping kota Balkh, Harrat,

dan Marw.2 Kedua, al-Qusyairi, nama al-Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-

Asyîrah al-Qahthâniyyah, mereka adalah orang-orang yang tinggal di pinggiran

Hadramaut.3 Ketiga, al-Ûstûwâ’ī, mereka adalah orang-orang yang datang dari

bangsa Arab dan memasuki wilayah Khurasan dari daerah Ûstûwâ’ī, yaitu sebuah

negara besar di daerah pesisiran Naisabur.

Daerah pesisiran Naisabur ini memiliki banyak desa yang batas

teritorialnya s’’Aling bertemu dengan wilayah di wilayah Nasa karena letaknya

sangat berdekatan.4 Keempat, al-Syâfi’īsebuah madzhab yang dinisbatkan pada

madzhab al-Syâfi’ī yang didirikan oleh Muhammad bin Idris al-Syâfi’ī, 150-204

1
Abdul Karim al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârât, editor ‘Abd Latif Hasan bin ‘Abd rahman,
(Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2007), jilid pertama, h. 3. Lihat juga Rasyid Ahmad, Abu al-
Qasim al-Qusyairi As Theologian and Commentator, (London: The Islamic Cultural Centre, 1969),
h. 15.
2
‘Abd al-Karim al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, penerjemah Umar Faruq, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), cet. ke 3, h. 1.
3 Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 1.
4
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 2.

32
33

H./767-820 M.5 Kelima, al-Qusyairi memiliki gelar kehormatan seperti al-Imâm,

al-Ustâdz, al-Syaikh, Zainul Islam, al-Jâmi’ baina syarî’at wa al-Haqîqat

(penghimpun syariat dan hakikat).6

Al-Qusyairi dilahirkan pada bulan Rabi’ul Awal tahun 367 H./ bulan Juli

986 M.7 Di kota Ûstûwâ’ī yang menjadi salah satu wilayah Naisabur pada saat itu.8

Ia adalah seorang zahid, sufi sejati murni dalam pengamalan, memperjuangkan, dan

mempertahankan ajaran tasawuf yang murni dari praktek-praktek pada umumnya.9

Selain itu, al-Qusyairi juga seorang yang ahli dalam berkuda, menguasai Tafsir,

penghapal hadis yang kuat, sastrawan yang menguasai bidang Bahasa Arab, penulis

sekaligus penyair, dan banyak menulis kitab tasawuf.10 Menurut Ibn Khaldun, al-

Qusyairi adalah seorang yang menggAbûngkan antara syariat dan hakikat. 11

Al-Qusyairi adalah seorang keturunan Arab yang hijrah ke Khurasan untuk

berperang dan tinggal di pinggir kota Naisabur.12 Ayahnya berasal dari suku

5
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 2.
6
Menurut al-Qusyairi syariat berkaitan dengan konsistensi seorang hamba, sementara
hakikat adalah penyaksian ketuhanan. Setiap syariat yang tidak dibarengi dengan hakikat maka tidak
dapat diterima. Seb’’Aliknya setiap hakikat yang tidak dikekang syariat tidak tercapai. Syariat
datang menetapkan beban kewajiban terhadap para makhluk, sementara hakikat adalah kabar
tentang gerak-gerik Yang Maha Kuasa (Allah). Syariat adalah menyembahnya, sementara hakikat
adalah menyaksikan-Nya. Syariat adalah pelaksanaan terhadap yang diperintahkan olehnya,
sementara hakikat adalah penyaksian terhadap apa yang ditetapkan ataupun yang disembunyikan
dan ditampakan oleh-Nya. Gelar ini diberikan kepada al-Qusyairi sebagai wujud penghormatan
kepadanya karena posisinya yang tinggi dan agung pada bidang kajian Islam dan tasawuf. Al-
Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 2. Lihat juga dalam Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedia
Tasawuf, jilid pertama, h. 106.
7
Al-Qusyairi, Arba Rasâil fi al-Taṣawuf, (Matba’at al-Jami’ al-i’raf: 1389 H/1969 M), h.
14.
8
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 3. Lihat juga Rasyid Ahmad, Abu al-Qasim al-
Qusyairi As Theologian and Commentator, h. 15. Dan Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazâni,
Tasawuf Islam, penerjemah M. Subkhan Anshari, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), cetakan
pertama, h. 176.
9
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h.7.
10
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h.7.
11
Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazâni, Tasawuf Islam, h. 177.
12
Dalam Ensiklopedia suku-suku Arab disebutkan bahwa nasab Qusyairi adalah putra Ibnu
Ka’ab bin Rabî’ah bin Amir bin Sya’sya’ah bin Mu’awiyah bin Bakar bin Khawazin bin Mansyur
bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Dari sinilah lahir keturunan yang akan menjadi klan-klan baru. Di
antaranya adalah kelompok al-Qusyairi yang merupakan pelopor dari orang-orang yang interes
terhadap Islam. Mereka memasuki wilayah Khurasan pada zaman pemerintahan Bani Umayyah dan
34

Qusyair, sedangkan ibunya berasal dari suku Sulami.13 Ayahnya meninggal ketika

ia berusia masih kecil, sehingga ia tumbuh menjadi seorang yatim yang miskin.14

Dan perawatan al-Qusyairi dibebankan kepada sahabat karib keluarganya yaitu Abû

Qasim al-’’Alimi. Sejak kecil al-Qusyairi sudah belajar etika, Bahasa Arab, sastra,

dan berkuda.15

Al-Qusyairi meninggal di Naisabur pada hari ahad pagi, tanggal 16 Rabi’ul

Akhir tahun 465 H./1073 M. Di usia 87 tahun. Jenazahnya disemayamkan di sisi

makam guru spiritualnya Abû ‘Ali al-Hasan bin ‘Ali al-Naisaburi yang lebih

dikenal dengan Abû ‘Ali al-Daqqâq (selanjutnya akan disebut Abû ‘Ali al-Daqqâq).

Selama 60 tahun dari kewafatannya, tidak ada seorang pun yang memasuki

perpustakaan miliknya, hal itu merupakan bentuk penghormatan kepadanya.

Sampai sekarang makamnya yang berada di pemakaman keluarga al-Qusyairi

masih ramai diziarahi orang.16

terlibat dalam beberapa pertempuran, termasuk penaklukan kota Syam dan Iraq. Di antara keturunan
mereka ada yang menjadi penguasa kota Khurasan dan Naisabur, sementara yang lain merintis
kehidupan yang baru di Andalusia (Spanyol). Lihat Al-Qusyairi dalam Risâlah al-Qusyairiyyah, h.
1.
13
Rasyid Ahmad, Abu al-Qasim al-Qusyairi As Theologian and Commentator, h. 15. Garis
keturunan ibunya berporos pada marga Sulami, pamannya al-Qusyairi dari pihak ibu adalah Abu
Aqil al-Sulami termasuk seorang pembesar yang menguasai daerah Istawa. Marga al-Sulami sendiri
dapat ditarik dari salah satu dua Bangsa, yaitu: Pertama, al-Sulami yang dinisbatkan kepada sulaim,
yaitu kabilah Arab yang masyhur. Kelengkapan silsilahnya adalah Sulaim bin Mansyur bin Ikrimah
bin Khafdah bin Qais bin Ailan bin Nashar. Kedua, al-Sulami yang dinisbatkan kepada Bani
Salamah, satu suku dari golongan Anshor. Silsilah ini ada beberapa versi dimana masing-masing
memiliki dasar analogi yang berbeda-beda. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 2-3.
14
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 3.
15
Al-Qusyairi adalah orang yang pandai mengundang kuda, hal itu telah dibuktikan dalam
berbagai lapangan pacuan kuda. Ia memiliki seekor kuda pemberian teman karibnya yang digunakan
olehnya selama 20 tahun. Ketika ia meninggal, kuda tersebut sangat sedih karena kepergiannya. Hal
itu tampak pada keengganannnya untuk memakan apapun selama satu minggu, tak lama kemudian
kuda itupun meninggal yang disebabkan oleh kepergian dan rasa lapar yang di deritanya. Lihat Al-
Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4-6. Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4.
16
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 3.
35

B. Pendamping Hidup dan Keturunannya.17

Penulis telah menjelaskan bahwa al-Qusyairi menikah dengan Fatimah putri

dari Abû ‘Ali al-Daqqâq. Ia adalah seorang wanita yang cerdas, beretika, ‘Alim,

berilmu, beradab dan termasuk seorang zuhud di zamannya serta banyak

meriwayatkan hadis. Mereka hidup bersama selama 7 (tujuh) tahun terhitung pada

tahun 405 H. – 412 H. / 1014 M. – 1021 H. Dari pernikahannya itu, ia di karuniai

6 (enam) orang putra dan 1 (satu) orang putri, mereka adalah:

1. Abû Sa’id ‘Abdullah.

2. Abû Sa’id ‘Abd al-Wâhid.

3. Abû Manṣûr ‘Abdurrahmân.

4. Abû Naṣr ‘Abdurrahmân.

5. Abû al-Fâiḥ ‘Ubaidillah.

6. Abû al-Muẕaffȃr ‘Abd al-Mu’min.

7. ‘Ummatul Karimah. Ia adalah satu-satunya putri al-Qusyairi.

C. Konteks Sosial Politik

Al-Qusyairi lahir pada masa pemerintahan Dinasti Abasiyyah ke III yang

dipimpin oleh Buwaih periode ini juga di sebut sebagai masa disintegrasi yang

disebabkan oleh menurunnya kekuatan pada bidang politik yang disebabkan oleh

pengaruh Persia kedua.18 Faktor ini dikarenakan adanya dorongan para penguasa

17
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4-5.
18
Dinasti Abbasiyah ialah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinasti ini
dinamakan kh’’Alifah Abassyiah karena pendirinya adalah keturunan al-Abbas yaitu paman Nabi
Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah di dirikan oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin ‘‘Ali
bin Abdullah al-Abbas, kekuasaannya berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang dari
semenjak tahun 123 H. – 656 H. / 750 M. – 1258 M. Selama berkuasa, dinasti ini berkuasa pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Masa ini terbagi kedalam 5 (lima) periode: Periode Pertama berlangsung selama kurun waktu 123
36

pada periode ke III ini untuk hidup mewah dan gelamor melebihi kehidupan para

pendahulunya bahkan menjadi gaya hidup Kemajuan besar dari sisi peradaban dan

kebudayaan yang dicapai oleh keluarga khalifah yang berandil pada profesionalitas

jalannya roda pemerintahan hingga mengakibatkan lemahnya kondisi sosial

ekonomi masyarakat di masa itu, seperti beban pajak yang terlalu tinggi.

Keadaan tersebut memaksa al-Qusyairi untuk pergi saat usia remaja ke

Naisabur19 untuk belajar perpajakan (acconting),20 karena ia melihat di wilayahnya

pembayaran pajak tidak sesuai dan memberatkan masyarakat yang disebabkan oleh

penguasa dan para stafnya yang saling berlomba-lomba untuk memperkaya dirinya

sendiri sehingga mereka memberatkan pungutan pajak kepada rakyatnya. 21 Ketika

belajar perpajakan al-Qusyairi melewati majlis Abû ‘Ali al-Daqqâq setiap harinya

sehingga ia tertarik untuk mengikuti mengikuti majelis yang setiap hari di

lewatinya, ketika pertama kali mengikuti majlis Abû ‘Ali al-Daqqâq, al-Qusyairi

langsung mengagumi sosok gurunya tersebut, sehingga ia meninggalkan impian

awal yang pada mulanya ingin menjadi seorang ahli perpajakan dan akhirnya lebih

tertarik untuk belajar di majlis Abû ‘Ali al-Daqqâq, maka dari majlis inilah ia

mengambil jalan kesufian dengan pondasi awal ilmu-ilmu syariat sebagaimana

H. – 232 H. / 750 M. – 847. Yang dipimpin oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin ‘‘Ali bin
Abdullah al-Abbas sebagai pendiri kh’’Alifah ini. Periode kedua berlangsung selama kurun waktu
232 H. – 334 H. / 847 M. – 945 M. Periode ini disebut juga sebagai masa pengaruh turki pertama.
Periode ketiga terjadi pada kurun waktu 334 H. – 447 H./ 945 M. – 1055 M. Periode ini disebut juga
sebagai masa pengaruh Persia kedua. Periode keempat terjadi pada kurun waktu 447 H. – 590 H. /
1055 M. – 1194 M. Periode ini disebut juga sebagai masa kekuasaaan dinasi Bani Saljuk dalam
pemerintahan Kh’’Alifah Abbasiyah, bisa disebut juga sebagai masa pengaruh Turki kedua. Periode
kelima terjadi pada kurun waktu 590 H. – 656 H. / 1194 M – 1258 M. Periode ini masa
pemerintahannya terbebas dari pengaruh dinasti lain, namun kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Baghdad. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajaw’’Ali Pres, 2008),
cetakan pertama, h. 49-50.
19
Naisabur pada saat itu berposisi sebagai ibukota Khurasan yang sebelumnya merupakan
pusat tempat para ulama, pengarang, dan pujangga. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h.
3-4.
20
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 3-4.
21
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4.
37

yang diperintahkan oleh Abû ‘Ali al-Daqqâq kepadanya,22 sebagai garis perjuangan

yang harus ditempuh.23

Atas perintah gurunya tersebut ia pun belajar mendalami ilmu fiqh kepada

seorang ahli fiqh yaitu Abû Bakar Muhammad bin Abû Bakar al-Ṯûsi (w. 460 H.)

hingga matang, setelah matang dalam ilmu fiqh, al-Ṯûsi memerintahkan kepadanya

untuk belajar kepada guru lainnya yaitu Abû Bakar bin Fûrak (w. 406 H.)

kepadanya ia belajar ilmu ushul fiqh dan ilmu kalam, setelah Abû Bakar bin Fûrak

wafat al-Qusyairi belajar kepada guru lainnya yaitu Abû Isḥaq al-Isfâraīnī.24 Al-

Qusyairi menggabungkan pola pengajaran yang ia terima dari Abû Bakar bin Fûrak

dan Abû Ishâq al-Isfâraīnī, disamping kesibukannya dalam belajar kepada para

gurunya itu, ia pun masih menyempatkan diri untuk menghadiri majlis guru

pertamanya Abû ‘Ali al-Daqqâq. Hingga pada akhirnya Abû ‘Ali al-Daqqâq

menikahkan al-Qusyairi kepada putrinya.

Sepak terjang al-Qusyairi dalam khazanah-khazanah keilmuan

menjadikannya masyhûr di kalangan masyarakat luas sehingga menimbulkan rasa

iri, dengki, dan hasut di hati para ulama fiqh perkotaan. Mereka berencana untuk

memusuhinya dan menurunkan serta merusak kesan-kesan positif yang telah

menjadi kebanggaan para pengikut dan para simpatisannya. Posisi kehormatan

yang telah tertanam di hati masyarakat diupayakan untuk dihancurkan. Rencana-

rencana gila ini akhirnya diwujudkan dengan penyebaran berita hoax (bohong)

untuk menghasut dan cerita-cerita tuduhan yang memberi persepsi buruk pada

masyarakat tentang al-Qusyairi. Usaha ini terbukti berhasil, terbukti dengan

22
Abû al-Wafa al-Ghanîmî al-Taftazâni, Tasawuf Islam, h. 176.
23
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 4.
24
Abû al-Wafa al-Ghanîmî al-Taftazâni, Tasawuf Islam, h. 176.
38

pengusiran al-Qusyairi yang dilakukan oleh masyarakat. Di saat kondisi ini terjadi,

ia mengalami penderitaan yang berat, pengucilan, penghinaan, dan kesusahan yang

datang silih berganti tanpa alasan yang masuk akal.25

Para pembencinya (al-Qusyairi) kebanyakan datang dari kalangan

Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassimah, Syiah, dan kalangan Ahmad bin Ḥambal

yang tergabung dalam kesatuan para hakim pemerintahan Bani Saljuq.

Sebagaimana diketahui bahwa al-Qusyairi adalah seorang pembela akidah

Asy’ariyah. Mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan atas nama

pemerintah terhadap al-Qusyairi. Ajaran-ajarannya diharamkan oleh pemerintah

dan kutukan harus tetap dijalankan di masjid-masjid.

Akibatnya para sahabat beliau banyak yang memisahkan diri dan

memutuskan tali persahabatan kepadanya, kesatuan jamaahnya pecah, dan sebagian

besar dari mereka meninggalkan al-Qusyairi sendirian, majlis-majlis dzikir yang

pernah diasuh olehnya di berbagai tempat dibubarkan oleh masyarakat dan para

ulama, perintah pengusiran dari kota Naisabur pun datang kepada al-Qusyairi.

Keadaan ini menimpa beliau selama lima belas tahun, terhitung sejak tahun 440 H.

– 455 H. lalu beliau pergi ke Baghdad dengan harapan kedatangannya disambut

baik oleh penguasa.

Ketika pemerintahan Dinasti Tughril Beg berakhir dan digantikan oleh

Dinasti Abû Syujâ’, al-Qusyairi bersama para pengikutnya kembali ke Naisabur

dari kota Khurasan. sepuluh tahun dari kedatangannya, beliau mengalami masa

kejayaannya. Para pengikut dan simpatisannya kembali dan terus membanjiri

majelis yang di pimpin olehnya, sampai hidupnya benar-benar bahagia.26

25
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h.9.
26
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 10.
39

Setelah Dinasti Tughril beg berakhir dan digantikan oleh Alp Arselan al-

Saljûki (w. 504 H. / 1072 M.), hubungan al-Qusyairi dengan pemerintah terjalin

sangat baik, hal ini terjadi pada tahun 455 H. Karena Alp Arselan al-Saljuqi dan

menteri Nizam al-Muluk al-Hasan bin ‘Ali al-Ṯûsi. Di akhir usianya beliau menetap

di pusat pemerintahan Alp Arselan selama sepuluh tahun dengan kedudukan yang

terhormat, diagungkan, dan sangat ditaati.27

Dalam setiap sidang yang selalu melibatkan para ulama, fuqaha, ahli hukum,

dan pemimpin umat. Ketika al-Qusyairi datang dan memasuki ruang sidang,

menteri Nizâm al-Muluk al-Hasan bin ‘Ali al-Ṯûsi selalu memuliakan beliau

dengan menghampiri dan menyambut kedatangannya seraya menjabat tangannya.28

Al-Qusyairi menunaikan ibadah haji berulang kali, penulis tidak

menemukan sumber yang menyebutkan secara detail ia berapa kali menunaikan

ibadah haji. Namun, penulis menemukan keterangan bahwa ia melaksanakan

ibadah haji nya tidak dilakukan seorang diri. Pertama, al-Qusyairi melaksanakan

ibadah haji dengan Abû Muhammad Abdullâh bin Yusuf al-Juwayni (w. 438 H. /

1074 H.) beliau adalah seorang ulama tafsir, ahli Bahasa, dan ahli fiqih. Kedua, al-

Qusyairi melaksanakan ibadah haji dengan Abû Bakar Ahmad bin Husin al-Baihaqi

(384 H. – 458 H. / 994 M. 1066 M).29

D. Guru-Guru ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi.30

1. Abû ‘Ali al-Hasan bin ‘Ali al-Naisâbûri (w 412 H. /1021 M.), yang di kenal

dengan sebutan ‘Ali al-Daqqâq sebagai guru spiritualnya.

27
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 10.
28
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 10.
29
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 9.
30
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 6-7.
40

2. Abû Abdurrahman Muhammad bin al-Husein bin Muhammad al-Azli al-

Sulami al-Naisâbûri (325 H. - 412 H./ 936 M. - 1021 M.), beliau adalah

seorang sejarawan, salah satu tokoh sufi dan juga seorang pengarang.

3. Abû Bakar Muhammad bin Abû Bakar al-Ṯûsi (385 H. - 460 H./ 990 M. -

1067 M.), kepada beliau al-Qusyairi belajar ilmu fiqh. Hal ini terjadi pada

tahun 408 H./1017 M.

4. Abû Bakar Muhammad bin al-Husain bin Fûrak al-Anṣari al-Aṣbahȃni

beliau adalah seorang ahli ushul fiqh. Kepada beliau al-Qusyairi belajar

ilmu ushul fiqh dan ilmu kalam.

5. Abû Isḥaq Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al-Isfarâ’īnī (w 418 H./1015

M.), beliau adalah seorang cendikiawan besar pada bidang ilmu fiqh juga

ilmu ushul fiqh yang berada di wilayah Isfarayain.

6. Abû al-Abbâs bin Syarîh, kepada beliau al-Qusyairi belajar ilmu ushul fiqh.

7. Abdul Qâhir bin Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Isfarâ’īnī atau yang

dikenal dengan Abû Manṣûr (w. 429 H./1037 M.), ia meninggal di Isfarâ’īnī

dan memiliki beberapa kitab diantaranya adalah kitab Ushuluddin, Tafsir

Asma’ al-Husna’, dan Faḏâih al-Qadariyyah. Al-Qusyairi belajar tentang

madzhab Syafi’i kepadanya.

E. Murid-Murid ‘Abd al-Karim al-Qusyairi.31

1. Abû Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsâbit (392 H.- 463 H./1002 M.- 1072 M.),

beliau adalah seorang penceramah yang berada di kota Baghdad.

2. Abû Ibrâhim Ismail bin Husein al-Husaini (w. 521 H./1137 M.).

31
Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 8-9.
41

3. Abû Muhammad Ismâil bin Abû al-Qâsim al-Ghâzi al-Naisaburi.

4. Abû al-Qâsim Sulaiman bin Nâshir bin Imrân al-Anshâri (w 512 H./1118

H.).

5. Abû Bakar Syah bin Ahmad al-Syadiyakhi.

6. Abû Muhammad ‘Abd al-Jabbâr bin Muhammad bin Ahmad al-Khiwari.

7. Abû Bakar bin ‘Abdurrahmân bin Abdullah al-Bahiri.

8. Abû Muhammad ‘Abdullah bin Aṯâ’ al-Ibrahîm al-Hiwâri.

9. Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Afdhal bin Ahmad al-Farâwi (441 H.-

530H./1050 M.-1136 M.).

10. ‘Abd al-Wahâb bin Al-Syah Abû al-Futûh al-Syadiyakhi al-Farâwi al-

Naisâbûri.

11. Abû ‘Ali al-Fudail bin Muhammad bin ‘Ali al-Qashbani (w. 444 H./1052

M.).

12. Abû al-Fatiḥ Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali al-Khuzaimi.

F. Karya Intelektual ‘Abd al-Karîm al-Qusyairi.32

‘Abd al-Karim al-Qusyairi adalah ulama yang dikenal oleh berbagai

kalangan dan menguasai berbagai disiplin ilmu serta memiliki jiwa kesufian yang

sangat luar biasa. Banyak karya beliau yang mengupas tentang masalah tasawuf dan

berbagai ilmu islam lainnya. Adapun karya-karyanya sebagai berikut:

1. Ahkâm al-Syar’i.

2. Adab al-Ṣûfiyah.

32
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah, h. 12-15.Lihat juga al-Qusyairi, al-Mi’raj, (al-
Qahirah: Daar al-Kutub al-Haditsah, 1384 H./1964 M.), cetakan pertama, h. 30-32. Dan Rashid
Ahmad, Abu al-Qasim al-Qusyairi As A Theologian And Comentator, h. 27.
42

3. Al-Arba’în fi al-Hadîts.33

4. Istifâdhah al-Murâdât.

5. Balâghah al-Maqâṣid fi al-Taṣawuf dzikruhu Ismail al-Baghdadi.

6. Al-Tahbîr fi al-Tadzkîr.

7. Risâlah Tartîb al-Sulûk fi Thariq Allah.34

8. Al-Tauhîd al-Nabawi.

9. Al-Taisîr fi ‘Ilm al-Tafsîr.35

10. Al-Jawâhir.

11. Hayât al-Arwâh wa al-Dalîl ila Tharîq al-Shalâh dzikruhu Ismail al-

Baghdadi.

12. Diwân al-Syi’ri.

13. Al-Dzikru wa al-Dzȃkîr.

14. Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Taṣawuf.36

15. Sirat al-Masyâyikh.

16. Syarah Asmâ’ al-Husna.

17. Syikayah Ahl al-Sunnah bimâ Nalahum ‘an al-Mihnah.

18. ‘Uyûn al-Ajwibah fi Uṣûl lil As’ilah.

33
Kitab ini memaparkan 40 hadis Rasulullah Saw, yang beliau dengar dari gurunya Abû
‘Ali al-Daqqâq dengan sanad yang Muttaṣil, kitab ini tersimpan rapi sebagai manuskrip yang berada
di Leiden. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 12. Lihat juga Habibi al Amin, Tafsir Sufi
Laṯâ’if al-Isyârât Karya Al-Qusyairi Persepektif Tasawuf dan Psikologi, sebuah Jurnal (Jombang:
Jurnal Suhuf, 2016) h. 62.
34
Kitab ini tersimpan rapi di Gereja Vatikan Roma. Lihat Habibi al-Amin, Tafsir Sufi
Laṯâ’if al-Isyârât Karya Al-Qusyairi Persepektif Tasawuf dan Psikologi, h. 62.
35
Kitab ini adalah kitab tafsir pertama yang di susun oleh al-Qusyairi yang ditulis sebelum
tahun 410 H./1019 M. Menurut Ibn Khaldûn, Tajudin al-Subki dan Jalâluddîn al-Suyûṯi bahwa kitab
ini merupakan karya terbaik yang ditulis oleh al-Qusyairi, kitab ini tersimpan di perpustakaan
Universitas Leiden, perpustakaan Brill Leiden, dan perpustakaan Rampur India. Lihat Al-Qusyairi,
Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 13. Dan al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârât, h. 11. Dan Rashid Ahmad, Abu
al-Qâsim al-Qusyairi As A Theologian And Comentator, h. 27.
36
Kitab ini di susun oleh al-Qusyairi pada tahun 438 H./1046 M. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah
al-Qusyairiyyah, h. 13.
43

19. Laṯâ’if al-Isyârât.37

20. Al-Fushûl fi al-Ushûl.

21. Al-Luma’ fi al-I’tiqâd.

22. Majâlis Abi ‘Ali Hasan al-Daqqâq lam Yadzkur ahad.

23. Kitab Al-Mi’râj Haqîqât wa Sa’Nashiruhu Qarîban.

24. Al-Munâjah.

25. Mantsûr al-Khithâb fi Syuhûd al-Albâb.

26. Nâsikh al-Hadîs wa Mansûkhuhu.

27. Nahwa al-Qulûb al-Shagîr.

28. Nahwa al-Qulûb al-Kabîr.

29. Nukatu ulin Nuhâ.

2. Latȃ’if al-Isyȃrȃt

A. Laṯâ’if al-Isyârât

Al-Qusyairi memiliki dua kitab tafsir yang ia tulis sebelum dan sesudah ia

mengenal Tasawuf. Pertama, al-Taisîr fi ‘Ilm al-Tafsîr yang di tulis olehnya

sebelum tahun 410 H. Tafsir yang pertama kali di tulis oleh al-Qusyairi ini

menafsirkan al-Qur’an dari segi Bahasa, menjelaskan dari sisi Nahwu, shorof, ilmu

Qira’at, dan menjelaskan asbâb al-Nuzûl-nya sebuah ayat. Tak lupa ia pun

menyebutkan jumlah ayat dan tempat turunya. Juga didalamnya terdapat beberapa

kisah Isrâiliyât, pada ayat-ayat yang berceritra tentang umat terdahulu.38

37
Kitab ini diselesaikan oleh al-Qusyairi pada tahun 434 H. Lihat al-Qusyairi, Laṯâ’if al-
Isyârât, h. 11.
38 Afiyatul Azizah, Penafsiran Huruf Muqtha’ah Telaah Kritis Penafsiran Imam Qusyairi tentang ‫حم‬

Dalam Laṯâ’if al-Isyârât, (Tesis S2, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2014), h. 7-
8.
44

Kedua adalah tafsir yang ia tulis setelah mengenal Tasawuf dari para

gurunya, yaitu Laṯâ’if al-Isyârât yang ditulis oleh al-Qusyairi pada tahun 434 H.

Kitab ini pertama kali terbit di Kairo pada tahun 1917 M. Melalui proses editing

yang dilakukan oleh Ibrahim Basuni, Laṯâ’if al-Isyârat pertama kali di terbitkan

memiliki 363 halaman dengan ukuran kertas mencapai 28 cm. 39 Dan yang kedua

kitab ini di terbitkan oleh penerbit Daar al-Kâtib al-‘Arabi, Kairo 1974 M. Yang

di-tahqiq oleh Ibrahim Basyuni serta diberikan kata pengantar oleh Hasan Abbas

Zaki.40

Adapun kitab yang ada ditangan penulis dan menjadi rukujan utama pada

penelitian ini adalah Laṯâ’if al-Isyârat, yang diterbitkan oleh penerbit Daar al-

Katib al-Arabi’ dan terdiri dari enam jilid. Adapun rinciannya adalah sebagai

berikut:

1. Jilid pertama berisi : penjelasan kitab dari pengarang dan

pentahqiq, pendahuluan, gambar manuskrip, surat al-Fatihah – ‘Ali Imran.

2. Jilid kedua berisi : penafsiran surat al-Nisa – al-Anfal.

3. Jilid ketiga berisi : penafsiran surat al-Taubat – al-Nahl.

4. Jilid keempat berisi : penafsiran surat Bani Isra’il – al-Furqon.

5. Jilid kelima berisi : penafsiran surat al-Shu’ara – al-Fath.

6. Jilid keenam berisi : penafiran surat al-Humazah – an-Na’as dan

kata penutup dari pen-taḥqiq.

Kitab ini merupakan karya fenomenal al-Qusyairi. Tafsir ini tergolong ke

dalam tafsir yang bercorak sufistik karena disusun oleh al-Qusyairi setelah beliau

39
Habibi Al Amin, Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari Studi atas Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât
Karya al-Qusyairi, (Disertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 64.
40
Al-Qusyairi Laṯâ’if al-Isyârât, jilid pertama.
45

mengenal tasawuf dari para gurunya. Laṯâ’if jama’ dari kalimat laṯîfah artinya

adalah perkataan yang lembut atau halus.41 Sementara al-Isyarat adalah bentuk

masdar dari derivasi kata Asyara – Yusyiru dalam al-Mu’jam al-Wasîṯ bermakna

tanda untuk mengungkapkan makna.

Al-Qusyairi menamakan karya tafsirnya dengan nama Laṯâ’if al-Isyârât

karena tafsir ini mengandung rahasia-rahasia Allah yang sarat dengan rahasia dan

isyarat-isyarat yang tersirat dan hanya bisa diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang

memiliki kejernihan hati.42 Dan Isyarat di sini adalah anugerah yang di berikan

Allah kepada kekasih-Nya serta para hambanya yang memiliki kejernihan hati

dalam membaca Kalam Allah (al-Qur’an) dan rasul-Nya.43

B. Karakteristik Penafsiran

1. Al-Qusyairi selalu menampilkan isyarat-isyarat terselubung yang terdapat

dalam al-Qur’an. Isyarat yang diperoleh melalui hasil taqarrub dan

mujâhadah kepada Allah, sehingga ia mampu memahami dan menangkap

isyarat-isyarat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an.44

2. Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât berisikan isyarat-isyarat al-Qur’an dari pemahaman

ahli ma’rifat. Isyarat di sini ialah pemahaman hikmah dengan cara yang

halus dan berdasarkan pada hakikat yang didapatkan setelah melakukan

mujâhadah dengan berpegang teguh pada karunia Allah swt.45

41
Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Wasîṯ, Jilid 2, hal 826.
42
Al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârât, h. 35.
43
Al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârât, h. 5.
44
Afiyatul Azizah, Penafsiran Huruf Muqatha’ah Telaah Kritis Penafsiran Imam Qusyairi tentang
‫ حم‬Dalam Laṯâ’if al-Isyârât, (Tesis S2, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2014),
bab III, h. 8.
45
Irwan Muhibudin, Tafsir Ayat-Ayat Sufistik Studi Komparatif Antara Tafsir al-Qusyairi
Dan Tafsir al-Jailani, (Tesis S2, Program Pasca Sarjana Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah, 2018), h. 42-43.
46

3. Menurut al-Qusyairi Ayat al-Qur’an mengandung pesan berupa isyarat yang

berguna untuk meningkatkan dan membimbing manusia kepada jalan yang

dicintai dan di ridhai oleh Allah swt. Sebelum menjelaskan isyarat yang

terkandung pada ayat yang ditafsirkan, tak lupa beliau memberikan

penjelasan makna eksoterik dan esoterik dari ayat yang di tafsirkannya.46

4. Dari sisi teologi, al-Qusyairi adalah seorang yang menganut faham Ahl al-

Sunnah wa al-Jamâ’ah (Sunni) yang dicetuskan oleh al-Asy’ari.47 Menurut

al-Taftazȃni ia adalah salah satu pembela Aliran ini pada masanya dari

hujatan orang-orang yang beraliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassimah,

dan Syiah.48

C. Metodologi Penulisan Laṯâ’if al-Isyârât

1. Menjelaskan terlebih dahulu mengenai keutamaan surat sebelum

menjelaskan ayat yang ditafsirkan.

2. Menjelaskan secara konsisten kalimat perkalimat bahkan huruf perhuruf

dari awal sampai akhir ayat. Setiap surat dalam al-Qur’an terdapat

basmallah dan beliau menganggap bahwa basmallah tersebut merupakan

bagian dari ayat al-Qur’an. Bukan sebagaimana yang disebutkan oleh

mufassir lainnya bahwa penyebutan basmallah dalam setiap surat sebatas

untuk Tabarruk (mengharap keberkahan).

46
Arsyad Albar, Epistemologi Tafsir Sufi (Studi Terhadap Tafsir al-Sulami dan al-
Qusyairi), (Disertasi S3, Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 112
47
Habibi Al Amin, Emosi Sufistik Dalam Tafsir Isyari Studi atas Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât
Karya al-Qusyairi, (Disertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 67
48
Abû al-Wafâ al-Ghanîmî al-Taftazâni, Tasawuf Islam, h. 176.
47

3. Basmallah yang terdapat dalam setiap surat memiliki hikayat tersendiri.

Seakan-akan al-Qusyairi tidak meyakini pengulangan basmallah dengan

satu makna.

4. Dalam menafsirakan surat al-Barâ’ah yang di dalamnya tidak terdapat

basmallah, namun beliau memberikan alasan bahwa surat al-Barâ’ah

tersebut hanya bisa di ketahui bagi orang-orang yang dikehendaki oleh-Nya.

5. al-Qusyairi selalu memiliki gagasan penafsiran terupdate dalam

menafsirkan huruf Muqâṯa’ah sehingga penafsiran satu huruf Muqâṯa’ah

dengan yang lainnya selalu berbeda.

6. Selalu menggabungkan antara syariat dan hakikat dalam menafsirkan ayat

al-Qur’an dengan ketajaman mata batinnya.


BAB IV
Bentuk-bentuk Takwil Al-Qusyairi Terhadap Ayat-ayat Tasybîh
Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk mengkaji bentuk-bentuk takwil

al-Qusyairi terhadap ayat-ayat Tasybîh. Namun, karena banyaknya ayat dalam al-

Qur’an yang mengindikasikan adanya penyerupaan Allah dan hambanya. Maka

penelitian ini terfokus kepada ayat-ayat yang berkaitan tentang keberadaan Allah

bersemayam di atas ‘Arsy, Yad Allah, dan Wajh Allah.

A. Allah Bersemayam di atas ‘Arsy


Kata ُ‫ الُعُرُشُُجُالُعُرُوُش‬disebutkan sebanyak 22 kali dalam al-Qur’an.1 Pada
penelitian tentang ‘Arsy penulis memfokuskan kepada dua ayat al-Qur’an yang

sangat berkaitan erat dengan kajian ini. Adapun ayat tersebut terdapat pada QS. Al-

Rad 13:2, dan QS. taha 20:5 dan ayat-ayat lainnya yang berkaitan dengan bahasan

ini.

‘Arsy secara bahasa adalah tahta, singgasana kerajaan (ُ‫)سُرُيُرُُالُمُلُك‬,2 dalam

al-Mu’jam al-Wasîṯ, al-‘Arsy juga dimaknai kerajaan atau singgasana raja (ُ‫الملك‬

ُ‫)وسري رُ ُالملك‬.3 Menurut Ibn ‘Abbas, al-‘Arsy Allah tidak terbatas dengan sesuatu
apapun, dan diriwayatkan pula darinya bahwa al-‘Arsy Majlis al-Rahmân.4 Al-‘Arsy

bermakna rumah (ُ‫)الب يتُوُالمنزل‬.5

Dari persepektif ilmu tasawuf, al-Ghazâli (w. 505 H) memaknai ‘Arsy

dengan jism (body) yang berupa nûr (cahaya) dan merupakan alam di atas kursi.6

1
Fuad Abd al-Bâqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fâdz al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Daar
al-Fiqr, 1987), cetakan ke 3, hlm 456-457.
2
Jamâl al-Dîn Ibn Mandzûr al-Anshâri, Lisân al-Arab, (Beirut: Daar Ṣadir, 1414 H), Jilid
15, hlm. 313. Lihat juga Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, Kamus al munawir
digital. www.kampungsunah.org. hlm. 916.
3
Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-wasîṯ, (Mesir: Daar al-Da’wah, t.t), jilid 2, hlm. 583.
4
Jamal al-Din Ibn Mandzur al-Anshari, Lisân al-‘Arab, hlm. 313.
5
Jamal al-Din Ibn Mandzur al-Anshari, Lisân al-‘Arab, Jilid 15, hlm. 314.
6
Kursi yang berada di atas ‘Arsy Allah terbuat dari mutiara putih. Tidak ada yang
mengetahui panjang lebar serta besarnya kursi tersebut kecuali Allah. Kursi itu memiliki tiga ratus
enam puluh tiang. Panjang dari masing-masing tiang tersebut ialah dua belas ribu tahun, sedangkan
atapnya sepanjang sepuluh ribu tahun perjalanan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi
alib Ra. “Sesungguhnya, langit tujuh dan bumi tujuh berada di dalam kursi ibarat hamparan gurun

48
49

Jadi ‘Arsy bukanlah kursi itu, ia menjadi atap bagi semua makhluk tanpa terkecuali.

Para ahli Falaq7 menyebutnya dengan sebutan Falaq kesembilan, atau Falaq

tertinggi dari seluruh Falaq. ‘Arsy juga di juluki Falaq aṭlas, dalam bahasa lain

dapat di fahami bahwa ‘Arsy ialah suatu tempat yang tidak memiliki bintang-

bintang. Karena semua bintang berada di dalam Falaq kedelapan. Menurut ahli

Falaq kuno yang disebut ilmu Zodiak (burûj).8

Menurut Dzu al-Nûn al-Miṣri (w. 246 H/ 861), segala sesuatu ada dengan

hukum menurut kehendak-Nya. Ja’far bin Naṣr menambahkan bahwa Ilmu-Nya

menyeluruh dengan segala sesuatu menurut kehendaknya, karena tak ada sesuatu

yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain.9 Hal ini telah tergambarkan

pada QS. Al-Rad 13:2.

ُُ‫ُالسماوات ُبغير ُعم ٍد ُت رون هاُث َّم ُاست وىُعلىُالعرش ُوس َّخر ُالشَّمُس ُوالقمر‬
َّ ‫اللَّه ُالَّذيُرفع‬
‫كلٌُّيجريُِلج ٍلُمس ًّمىُيدبرُاِلمرُي فصلُاْلياتُلعلَّكمُبلقاءُربكمُتوقنون‬
Allah yang mengangkat langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu
lihat, kemudian Dia bersemayat di atas ‘Arsy. Dia menundukan matahari
dan bulan. Masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan.
Dia mengatur segala urusan (Makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu. (QS.
Al-Rad 13:2).
Menurut al-Qusyairi Ayat ini menunjukan pada sifat, kekuasaan, dan Zat-

Nya Allah. Antara lain: mengangkat langit tanpa tiang dan kayu untuk menahannya.

pasir”. Lihat Al-Ghazâli, Dibalik Ketajaman Mata Hati, penerjemah Mahfudli Sahli, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1997), cetakan pertama, hlm. 227. Lihat juga Syihabuddin al-Qalyubi, al-Nawadir,
penerjemah Awy Amru, (Yogjakarta: Diva Press, 2018), cetakan pertama, hlm. 321.
7
Ilmu Falaq adalah ilmu yang berkaitan dengan aturan-aturan atau gerakan benda-benda
langit, bumi dan antartika (kosmografi). Ilmu ini juga bisa disebut sebagai ilmu astronomi karena
ilmu ini secara khusus membahas tentang perbintangan atau antariksa. Dalam Ensiklopedia Hukum
Islam ilmu Falaq didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit,
tentang fisik dan gerak, ukuran dan segala sesuaiu yang berkaitan dengannya. Moh. Murtahdho,
Ilmu Falak Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), cetakan pertama, hlm 3.
8
Rasi bintang yang terdapat pada zodiak dan beredar pada daerah edar matahari berjumlah
12. Adapun rasi bintang (burûj) adalah sebagai berikut: Aries (‫ )الحمل‬anak domba, Taurus (‫ )الثور‬anak
sapi, Gemini (‫ )الجوزء‬kembar, Concer (‫ )الشرطان‬kepiting, Leo (‫ )االسد‬macan, Virgo (‫ )السنبلة‬tangkai
bunga, Libra (‫ )الميزان‬timbangan, Scorpio (‫ )العقرب‬kalajengking, Sagitarius (‫ )القوس‬anak panah,
Copimorus (‫ )الجدى‬anak kambing, Aquarius (‫ )الدلو‬timba, dan Pisces (‫ )الحوت‬ikan paus. Al-Ghazâli,
Dibalik Ketajaman Mata Hati, hlm. 227-228. Moh Muradho, Ilmu Falak Praktis, hlm. 47.
9
Al-Qushayri, Risâlah Al-Qusyairiyah, hlm. 47.
50

Allah memberi informasi pada selain ayat ini bahwa Allah menghiasi langit dengan

bintang-bintang dan meletakan bumi di sekelilingnya (tempat Allah bersemayam)

yakni Allah yang mengatur, menguasai, dan mengendalikan kerajaannya. ‘Arsy

adalah singgasana kerajaan sebagaimana ketika diucapkan runtuh ‫عرش ُفالن‬


singgasana kerajaan fulan (al-Zumar 39: 5).

ُ‫ُالسماوات ُواِلرض ُبالحق ُيكور ُاللَّيل ُعلىُالنَّهار ُويكور ُالنَّهار ُعلىُاللَّيُل ُوس َّخر‬ َّ ‫خلق‬
ُ‫الشَّمسُوالقمرُكلٌُّيجريُِلج ٍلُمس ًّمىُأالُهوُالعزيزُالغفَّار‬
Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang
benar; Dia (Allah) memasukan malam atas siang dan memasukan siang atas
malam dan menundukan matahari dan bulan, masing-masing berjalan
menurut waktu yang telah ditentukan. Dialah (Allah) yang Maha mulia,
Maha pengampun. (al-Zumar 39: 5).
Setiap komponen dari hal tersebut menunjukan bahwa Allah mengelola

kerajaan-Nya tanpa bantuan yang lain.10

ُ ُ‫الرحمنُعلىُالعرشُاست وى‬
َّ
(Allah) yang Maha Pengasih dan bersemayam di atas ‘Arsy” (QS.
Taha : 5).

ُ .‫ُوعُُرشُ ُهُفُىُاِلُُرضُُقُُل ُوبُُُأهُلُُالتَُُّوحُيُ ُد‬،


ُ ‫اءُمُ ُعُل ُوُم‬
ُ ُ‫ىُالسم‬
َُّ ُ‫اسُتُُواءُُ ُعُرشُ ُهُف‬
ُ :‫الُتُ ُع ُالى‬ُ ُ‫ُ«ويحملُعرشُربكُف وق همُي ومئ ٍذُثمانيةُ»ُُ ُوعُُرشُُالُقُُل ُوب‬:‫قُالُُتُ ُع ُالى‬
ُ ‫ُق‬:
ُُ‫الرحُمُنُُ ُعُليُه‬
َُّ ُُ‫ُوعُُرشُُالُقُُل ُوب‬،‫ى‬
ُ ‫اءُفاُ َُّلر ُحمُنُُ ُعُليُ ُهُاسُتُُو‬
ُ ُ‫السُم‬
َّ ُ‫ش‬
ُ ‫ُُأ َُّماُعُُر‬.»ُ‫«وحملناهمُفيُالب رُوالبحر‬
ُ .ُ‫ُوعُُرشُُالُ ُقُلبُُمُحُ ُلُنُظُرُُالُحُق‬،
ُ ُ‫السمُاءُُُقبُُلةُُدُعُاءُُ ُالخُُلق‬ َُّ ُُ‫ُعُرش‬.‫ى‬
ُ ُ‫اسُتُ ُول‬
11
.‫شُ ُوعُُر ٍشُ!ُقُ ُولُهُُجُ َُّلُُذكُُرُه‬
ٍُ ‫انُبُيُنُُ ُعُر‬
ُ َُّ‫فُشُت‬
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Allah bersemayam di atas
singgasana langit, sementara Singgasana-Nya di bumi adalah hatinya para
ahli tauhid (orang-orang yang mengesakan Allah). Hal ini dijelaskan dalam
Firman-Nya QS. Al-Haqqah 69:17 (Pada hari itu delapan malaikat
menjunjung ‘Arsy (Singgasana) Tuhanmu di atas (kepala) mereka.) adapun
Singgasana hati, Allah menjelaskan-Nya melalui QS. Al-Isra 17:70 (dan
Kami angkut mereka di darat dan di laut)Singgasana langit adalah tempat
Allah bersemayam dan singgasana hati adalah tempatnya Allah yang
mengendalikan hati para hamba yang mengesakannya, maka terdapat

10
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârat, jilid ke 3, hlm. 215-216.ُ
11
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârat, jilid ke 2, hlm. 446.
51

perbedaan antara singgasana yang satu dengan singgasana yang lainnya.


Singgasana langit adalah kiblatnya doa para makhluk sedangkan singgasana
hati adalah tempat menyaksikan al-Haqq.12
Al-Qusyairi memaknai ‘Arsy pada ayat ini menjadi 2 jenis, pertama ‘Arsy

langit (ُ‫السمُاء‬
َُّ ُ ُ‫)عُُرش‬, kedua ‘Arsy bumi (ُ‫) ُوعُُرشُ ُاِلُُرض‬. ‘Arsy langit adalah tempat
Allah bersemayam (‘Arsy al-Rahmân), sedangkan ‘Arsy bumi adalah hatinya para

ahli tauhid (ُ‫)قُلُ ُوبُُأُهُلُُالتَُُّوحُيُد‬. ‘Arsy langit adalah tempatnya Allah bersemayam dan

ditopang oleh 8 malaikat. Hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Haqqah 69:17.

‫والملكُعلىُأرجائهاُويحملُعرشُربكُف وق همُي ومئ ٍذُثمانية‬


Dan para malaikat berada di berbagai penjuru langit. Pada hari itu
delapan malaikat menjunjung ‘Arsy (Singgasana) Tuhanmu di atas (kepala)
mereka. QS. (Al-Haqqah 69:17).
kata ُ‫الُمُلُك‬ lebih umum dari kata ُ‫الُمُالُئُكُة‬. Sedangkan kata ُ‫ ثمانية‬yang di

maksud adalah jumlah dari malaikat tersebut mencapai delapan.13 Fakhr al-Din al-

Râzi (w. 606 H) (selanjutnya disebut al-Râzi) dalam Mafâtîh al-Ghaib

mengungkapkan dengan mengutip pandangan Hasan al-Baṣri, bahwa kata ُ‫ثمانية‬


masih belum jelas apakah yang di maksud adalah delapan malaikat atau delapan

ribu malaikat. Namun, makna yang paling mendekati adalah delapan malaikat.14

al-Zamaksyari (538 H.) dalam al-Kasysyâf menambahkan bahwa delapan

malaikat itu kakinya menembus sampai lapisan bumi ke tujuh. Sedangkan ‘Arsy

berada di atas kepala mereka (malaikat) dan seluruh malaikat bertasbih kepada

Allah untuk memuji kebesaran dan keagungannya.15 Sementara itu, Al-Qurṭubi

(671 H.) menyampaikan dalam tafsirnya dengan mengutip hadis Nabi Saw yang

diriwayatkan oleh al-Hasan, bahwa yang menopang langit ada empat malaikat.

Pada hari kiamat jumlah mereka akan bertambah menjadi delapan. Nabi

menyampaikan perihal ini dalam sabdanya:

12
Lihat Al-Qusyairi, Laṯâ’if al-Isyârat, jilid ke 4, hlm. 118.
13
Al-Zamaksyari, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Arabi, 1407 H), jilid 4
hlm 601-602.
14
Lihat Al-Râzi, Mafâtîh al-Ghaib, (Beirut: Daar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420), jilid 30,
hlm. 625-626.
15
Al-Zamaksyari, Tafsîr al-Kasysyâf, jilid 4 hlm 601-602.
52

ُ‫ُحدَّثني‬,‫ُث نُاُاِلوزاعي‬,‫ُث ناُيحيى‬,‫ب‬ ٍ ‫ُث ناُأبوُشعي‬:‫ُقاال‬,ُ‫ُوسليمانُبنُأحمد‬،‫حدَّث ناُمح َّمد‬


ُ‫ح َّسانُوعنُالنَّبيُصلَّىُاللَّهُعليهُوسلَّمُأ َّنُحملةُالعرشُالي ومُأرب عةُُفُِإذاُكانُي ومُالقيامةُأيَّدهمُاللَّه‬
ُ 16.َُ‫ُوخ َّرجهُالماورديُعُنُأبيُهري ر‬.‫ُذكرهُالثَّعلبي‬.ُ‫ت عالىُبأرب ع ٍُةُآخرينُفكانواُثمانية‬
Malaikat yang sekarang memjunjung ‘Arsy jumlahnya ada empat
orang malaikat. Apabila hari kiamat terjadi, Allah memperkuat mereka
dengan menambah empat malaikat lainnya, sehingga jumlah mereka
menjadi delapan orang malaikat. Demikianlah yang dituturkan oleh al-
Tsa’labi dan diriwayatkan oleh al-Mawardi dari Abu Hurairah.
Hadis ini memberikan informasi bahwa malaikat yang menjunjung ‘Arsy

berjumlah empat Malaikat. Apabila hari kiamat tiba, jumlah itu akan di tambah dua

kali lipat oleh Allah. Sehingga, jumlah mereka (malaikat) pada hari kiamat akan

berubah menjadi delapan malaikat. Masing-masing malaikat itu tidak bisa

dibayangkan bahwa mengingat fisik mereka yang begitu besar dan kuat.17 Al-

Zamaksyari memberikan gambaran bahwa wujud dari malaikat itu ada yang

menyerupai manusia, singa, dan burung.18

‘Arsy yang di topang oleh empat malaikat itu memiliki tiga ratus enam puluh

tiang. Setiap tiang, sebesar dunia. Diantara dua tiang jarak tempuhnya memakan

waktu lima ratus tahun perjalanan.19

Sementara, perihal ‘Arsy bumi. Letaknya pada hati orang-orang ahli tauhid
(mengesakan Allah), ‘Arsy ini memiliki fungsi untuk melihat dan berinteraksi

dengan Allah. Hati sebagai ‘Arsy bumi menjadi media seorang insan untuk melihat

dan berinteraksi dengan Allah. Karena melihat dan berinteraksi dengan Allah bukan

dengan mata kepala (mata telanjang) melainkan dilakukan dengan mata hati. Hal

ini dijelaskan dalam firman-Nya QS. Al-Isra 17:70.

16
Al-Qurṯubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân, (kairo: Daar al-Kutub al-Misriyah, 1384 H),
jilid 18, hlm. 266. Lihat juga al-Aṣbahany, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqât al-Aṣfiyâ, (Beirut: Daar
al-Kutub al-‘Arabi, 1394 H / 1974 M), cetakan 10, jilid 6, h. 75.
17
Shalih Fauzan bin Fuazan al-Fauzan, Syarh Al-Aqîdah al-Ṯahâwiyah, penerjemah
Abdurrahman Nuryaman, (Jakarta: Darul Haq, 2014), cetakan keenam, hlm. 168.
18
Al-Zamaksyary. Tafsîr al-Kasysyâf, jilid 4, hlm. 601-602.
19
Syihâbudîn al-Qalyûbi, al-Nawâdir, hlm. 321.
53

ُ‫ولقدُكَّرمناُبنيُآدم ُوحملناهم ُفيُالب ر ُوالبحرُ ُورزق ناهم ُمن ُال ُطَّيبات ُوفََّلناهم ُعلىُكثي ٍر‬
ُ ‫م َّمنُخلقناُت فَيل‬
Dan sungguh, kami telah memuliakan anak cucu adam, dan kami
angkat mereka di darat dan di laut dan kami berikan mereka rezeki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (QS. Al-Isra 17:70)
Menurut Ali al-Ṣabûni dalam tafsirnya ayat ini menginformasikan bahwa

Allah memberikan kemuliaan kepada anak cucu Adam atas seluruh makhluk

ciptaan yang lain dengan bentuk tubuh yang bagus, akal pikiran, ilmu, serta

kemampuan untuk bisa berbicara dan menundukan segala isi alam ini untuk

kepentingan dan kebutuhan mereka (anak cucu Adam).20 Allah memberikan

kebebasan kepada mereka untuk memilah dan memilih jenis alat transportasi yang

Allah berikan kepada mereka dan memberikan petunjuk kepada mereka dalam

pembuatannya (bahtera) agar mereka dapat menjelajahi bumi dan angkasa.

Kesemuanya itu Allah ciptakan untuk mereka (anak cucu Adam).21

Di dalam hati manusia terdapat rasa tercekam yang melebihi ketakutan

hingga seolah-olah “tergenggam” dalam bayangan kebesaran dan ancaman Allah

(Al-Qabḏu). Bagi seorang yang telah mencapai derajat ma’rifatullȃh,22

kedudukannya sama seperti al-Khaûf.23 Sedangkan al-Baṣṯu bagi seorang yang

20
Muhammad Ali al-Shabûni, Safwah al-Tafâsîr, (Kairo: Daar al-Ṣabûni li al-Thaba’at wa
al-Nasyri wa al-Tauziyi, 1417 H) jilid 2, hlm. 156.
21
Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: lentera hati, 2002), jilid ke 7, hlm. 513.
22
Al-Qusyairi menjelaskan dalam risalahnya bahwa ma’rifatullah menurut bahasa ulama
adalah ilmu. Maka, setiap ilmu ma’rifat dan setiap ma’rifat adalah ilmu setiap orang yang ber-
ma’rifat kepada Allah adalah al-‘Arif. Beliau melanjutkan bahwa Ma’rifat menurut para sufi ialah
pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah. Ia tidak akan menyaksikan apapun selain Allah dan
tidak kembali pada selain-Nya, sebagaimana orang yang berakal akan kembali kepada hati, pikiran
dan renungan dalam menghadapi sesuatu, atau menjalaninya dengan sebuah kenyaatan, maka orang
yang memperoleh derajat al-Arif akan kembali pada Tuhannya. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah Al-
Qusyairiyyah, hlm. 464-466.
23
Al-Khauf memiliki arti yang berhubungan dengan masa yang akan datang karena rasa
khawatir apabila meninggalkan hal yang sunnah, ternyata kesunnahan itu adalah hal yang wajib.
Sebaliknya, Rasa takut untuk menjalankan hal yang makruh karena khawatir hal yang makruh adalah
haram. Al-Thusi membagi al-Khauf ke dalam 3 kategori. Khauf al-Ajilah adalah khauf yang
ditunjukan kepada Allah secara pribadi bukan karena sifat serta perbuatan dan ciptaan-Nya. Khauf
al-Ausaţ, adalah khauf yang terdapat sedikit kotoran dari beningnya ma’rifat. dan khauf al-‘Ammah
yaitu kekhawatiran yang timbul atas murka dan siksa Allah. Ketiga kategori ini menurut al-Thûsi
merupakan interpretasi dari QS. Ali Imran (3:175), QS. Al-Rahman (55:46), dan QS. An-Nur
(24:37). Lihat. Al-Qusyairi, Risâlah Qusyairiyyah, hlm. 167. Lihat juga, Abu Nasr al-Siradj al-
54

‘Arif kedudukannya sama dengan al-Rajâ bagi seorang mustanif.24 Al-Qabḏu

terbentuk berdasarkan suatu sebab oleh orang yang sedang menjalankannnya

(sâlik),25 serta tidak diketahui bentuk dan sebab yang mewajibkannya. Adapun al-

Baṣṯu datang secara tiba-tiba dan spontan.26

Seperti yang telah penulis paparkan di atas, bahwa ‘Arsy bumi terletak pada

hati orang-orang yang bertauhid, hal ini seperti konsep ihsan ketika sedang

menunaikan shalat. Nabi menjelaskan perihal Iman, Islam dan Ihsan dengan konsep

yang sangat sederhana. ُ‫ُفِإنُلمُتكنُت راهُفِإنَّهُي راك‬،‫( اْلحسانُهوُأنُت عبدُاللهُكأنَّكُت راه‬Ihsan

dalam pengertiannya adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu

melihat Allah, walaupun kamu tak melihatnya tetapi Allah melihatmu)” versi

lengkap hadis ini penulis cantumkan difootnote.27

Hal ini merupakan maqâm musyâhadah, karena orang yang di takdirkan

dapat menyaksikan al-Malik (Allah), ia akan merasa malu untuk berpaling kepada

Thusi, al-Luma’, (Mesir: Daar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hlm. 89. Dan Aramdhan Qodrat
Permana, “Nuansa Tasawuf dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Râzi ,” hlm. 195.
24
Al-Rajâ’ bisa disebut juga sebagai harapan karena ketergantungan hati dengan sesuatu
yang dicintai dan akan terjadi pada masa yang akan datang. Lihat. Al-Qusyairi, Risâlah Al-
Qusyairiyyah, hlm. 178.
25
Sâlik adalah orang yang sedang melakukan perjalanan menuju Tuhan dengan ritual
ibadah yang di jalankannya.
26
Jika al-Baṣṯu datang secara tiba-tiba dan sponan hal ini bisa di istlahkan dengan istilah
lain yang lebih mendekati dalam kajian tasawuf yaitu al-Hâl (keadaan) dalam pengertiannya adalah
rasa yang hadir secara tiba-tiba dan tanpa unsur kesengajaan tanpa melakukan latihan (riyâḏah)
datang tanpa unsur pemaksaan seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, maupun
takut. Keadaan tersebut merupakan pemberian. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyyah, hlm.
59-64.

ُ،‫ُإذُطلعُعلي ناُُرجلُشديدُب ياضُالثياب‬،‫ُب ي نماُنحنُعندُرسولُاللهُصلَّىُاللهُعليهُوسلَّمُذاتُي وٍم‬:‫عنُعمرُُبنُُالخطَّابُقال‬.27


ُ،‫ُفأسندُركب ت يهُإلىُركب ت يه‬،‫ُحتَّىُجلسُإلىُالنَّبيُصلَّىُاللهُعُليهُوسلَّم‬،‫ُوالُي عرفهُمنَّاُأحد‬،ُ‫ُالسفر‬
َّ ‫ُالُي رىُعليهُأث ر‬،‫شديدُسوادُالشَّعر‬
ُ‫ُ«اْلسالمُأنُتشهدُأنُالُإله‬:‫ُف قالُرسولُاللهُصلَّىُاللهُُعليهُوسلَّم‬،‫ُياُمح َّمدُأخبرنيُعنُاْلسالم‬:‫ُوقال‬،‫ووضعُكفَّيهُعلىُفخذيه‬
ُ‫ُوتح َّج ُالب يت ُإن ُاستطعُت ُإليه‬،‫ُوتُصوم ُرمَان‬، ُ َ‫ُالزكا‬ َّ ‫ُوتقيم‬،‫إَّال ُالله ُوأ َّن ُمح َّمداُرسول ُالله ُصلَّىُالله ُعليه ُوسلَّم‬
َّ ‫ُوت ؤتي‬،َ‫ُالصال‬
ُ،‫ُورسله‬،‫ُوكتبه‬،‫ُومالئكته‬،‫ُ«أنُت ؤمنُبالله‬:‫ُقال‬،‫ُفأخبرنيُعنُاْليمان‬:‫ُقال‬،‫ُويصدقه‬،‫ُف عجب ناُلهُيسأله‬:‫ُقال‬،‫ُصدقت‬:‫ُقال‬،»ُ‫سبيال‬
ُ‫ُفِإنُلمُتكن‬،‫ُ«أنُت عبدُاللهُكأنَّكُت راه‬:‫ُقال‬،‫ُفأخبرنيُعنُاْلحسان‬:‫ُقال‬،‫ُصدقت‬:‫ُقال‬،»ُ‫ُوت ؤمنُبالقدرُخيرهُوشره‬،‫والي ومُاْلخر‬
ُ‫ُ«أنُتلد‬:‫ُقال‬،‫ُفأخبرنيُعنُأمارتها‬:‫ُالسائلُ»ُقُال‬ َّ ‫ُ«ماُالمسئولُعن هاُبأعلمُمن‬:‫ُقال‬،‫ُالساعة‬ َّ ‫ُفأخبرنيُعن‬:‫ُقال‬،»ُ‫ت راهُفِإنَّهُي راك‬
ُ‫ُ«ياُعمرُُأتدري‬:‫ُث َّمُقالُلي‬،‫ُث َّمُانطُلقُف لبثتُمليًّا‬:‫ُقال‬،»ُ‫ُوأنُت رىُالحفاَُالعراَُالعالةُرعاءُالشَّاءُي تطاولونُفيُالب ن يان‬،‫اِلمةُربَّت ها‬
ُ ‫ رواهُمسلم‬.‫ُ«فِإنَّهُجبريلُأتاكمُي علمكمُدينكم‬:‫ُقال‬،‫ُاللهُورسولهُأعلم‬:‫ُالسائل؟»ُق لت‬ َّ ‫من‬
55

selain-Nya dan menyibukan hatinya semata-mata ia bertemu dengan Allah di dalam

shalatnya. Maqâm28 (tingkatan) ihsan adalah maqâm shiddîqîn.

Shalat secara syariat ialah menjalankan segala rukun dan sunnahnya.

Namun, menurut para pengamal tasawuf (sufi) shalat memiliki maksud ibadah yang

seakan-akan menyaksikan atau bertemu dengan Allah. Sama halnya dengan nafkah

yang selama ini di fahami oleh halayak banyak bahwa nafkah adalah materi (ُُ‫أُمُُوال‬

). Namun, para sufi tidak menafkahkan hartanya benda yang dimikikinya karena

kebanyakan para sufi adalah orang-orang yang meninggalkan unsur-unsur duniawi

sehingga mereka tidak memiliki harta benda. Dalam konteks nafkah para sufi

menafkahkan jiwa dan raganya kepada Allah.29

Allah mengenalkan dirinya kepada hambanya dalam QS. Al-A’raf 7:54.

Allah berfirman:

ُ‫ُالسماواتُواِلرضُفيُستَّةُأيَّ ٍامُث َّمُاستوىُعلىُالعرشُُيُغشيُاللَّيل‬ َّ ‫إ َّنُربَّكمُاللَّهُالَّذيُخلق‬


ُ‫ات ُبأمره ُأالُله ُالخُلق ُواِلمر ُتبارك ُاللَّه ُرب‬ٍ ‫النَّهار ُيطلبه ُحثيثا ُوالشَّمس ُوالقمر ُوالنجومُ ُمس َّخر‬
ُ ُ‫العالمين‬
Sungguh Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam diatas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada
siang dan mengikutinya dengan cepat. (dia ciptakan) matahari, bulan dan
bintang-bintang untuk tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala
ciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Maha suci Allah, Tuhan seluruh Alam.
(QS. Al-A’raf 7:54).
Allah mengenalkan kepada hamba-Nya dan menunjukan kebesaran-Nya

secara zahir. Hal ini merupakan salah satu bentuk kekuasaan yang di miliki-Nya.

Allah mengenenalkan dirinya kepada orang-orang yang berpredikat khusus dan

orang-orang pilihan-Nya (para wali) melalui kekuasaan yang di miliki oleh-Nya

serta pertolongan yang di berikan kepada hambanya tersebut. Dengan keutamaan-

28
Maqȃm adalah tingkatan mujahadah seorang hamba kepada sang pencipta untuk
menempuh jalan spiritualnya. Al-Qusyairi membagi syarat yang harus ditempuh bagi seorang yang
ingin mencapai maqamat. Adapun tingkatannya adalah Taubat, Wara, Zuhûd, Tawakal, Sabar, dan
kerelaan. Lihat Al-Qusyairi, Risâlah Al-Qusyairiyyah, hlm. 58. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: bulan bintang, 1987) cet ke 5 hlm 63.
29
Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid ke 1, hlm. 57.
56

Nya. Rahasia-rahasia bagi hambanya 30


ُ‫( خُوُاصُُالُخُوُاص‬para wali) tampak dengan
sifat-sifat Allah yang berupa Zat yakni keindahan dan keagungan-Nya. Diantara

Isyarat-Nya adalah malam dan siangnya hati. Kondisi seseorang ada kalanya dalam

keadaan mengepal ada pula dalam keadaan terbuka, dan kadang menutup dan

kadang membuka sebagaimana kondisi dunia ada yang dalam keadaan siang tanpa

malam dan malam tanpa siang dan sebagiannnya siang dan malam dengan silih

berganti.

(ingatlah hanya milik Allah lah penciptaan dan perintah) diantaranya adalah

kebajikan dan keburukan, manfaat dan madarat, sesungguhnya hanya milik Allah

lah penciptaan sesuatu dan perintah.

(maha suci Allah Tuhan seluruh alam) kalimat ini adalah kumpulan doa

karena mencakup faidah arti Qadîm dan kekal-Nya Allah.31

Arti dari keagungan Allah mengandung faidah pada sifat kemuliaan karena

Allah benar-benar agung dan mengisyaratkan kepada hambanya untuk selalu

memberi nikmat dan kebaikan kepada hambanya tanpa terkecuali dan itu semua

adalah pujian kepada Allah”.

30
Ada tiga tahapan dalam perjalanan ruhaniah (tasawuf) dalam menangkap hakikat
(pengetahuan sejati) tentang keberadaan yang di wakili oleh kelompok dengan tingkatan spiritual
tertentu. Pertama, adalah orang-orang kebanyakan (Awwâm), yang termasuk kedalamnya adalah
orang-orang yang hanya menggunakan akalnya saja. Yang paling rendah adalah orang-orang yang
tak bisa melihat sesuatu yang lain kecuali dunia yang fanâ ini. Bagi kelompok ini Tuhan tampil
sebagai dzat yang (semata-mata) trasenden atau terpisah dari ciptaan-ciptaan-Nya. Dalam
pandangan ini tak ada hubungan lain antara Tuhan dengan ciptaannya kecuali hubungan eksternal
seperti penciptaan dan dominasi Allah atas ciptaan-ciptaan-Nya (Ahl al-Ẓâhir). Kedua, yang lebih
tinggi maqam nya dalam perjalanan ruhaniah adalah Khawwâsh yaitu orang-orang yang telah
menggunakan intuisi mistikalnya, Ẓaw al-‘Ain, yang telah berhasil mencapai tingkat Fana’ yakni
kesirnaan diri di dalam Allah SWT. Mereka tak lagi melihat alam semesta ini. Di “mata” mereka
yang ada hanya Allah. Tak ada diri mereka, tak ada pula ciptaan-ciptaanNya yang lain. Yang mereka
lihat hanya “Ke-tunggal-an” Allah. Ketiga, pandangan kelompok yang telah masuk kedalam yang
elite dari para elite (khawwâsh al-khawwâsh), atau orang-orang yang menggunakan akal dan
intuisinya, (Ẓaw al-‘aql wa al-‘ain), hubungan antara Allah dan ciptaan-Nya mengambil bentuk ke-
tunggal-an dalam kejamakan. Orang-orang yang telah mengalami “tinggal-tetap” (baqa) dalam
Allah ini mampu melihat Allah dalam ciptaan-Nya dan ciptaan-Nya dalam Allah. Mereka dapat
melihat baik dari cermin maupun bayang-bayang yang terpantul di dalamnya. Dengan kata lain,
Allah dan ciptaan-Nya secara bergantian bertindak sebagai cermin dan bayangan. Lihat Abdul Kadir
Riyadi, Antropologi Tasawuf, (Jakarta: LP3ES, 2014), cet pertama, hlm xv-xviii.
31 Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 1 hlm 540.
57

B. Yad Allah
Al-Qur’an menyebutkan kata ُ ‫يدُ ُج ُأي ٍد‬ secara keseluruhan sebanyak 120

kali. Ayat menyandarkan kepada Allah sebanyak 6 kali disebutkan, dari 6 ayat

tersebut penulis memfokuskan pembahasan ُ‫ يد‬yang disandarkan kepada Allah pada

QS. Al-Mulk 67:1.32

ُ‫ يد‬secara bahasa adalah gabungan antara tangan dan lengan (ُ‫)الكفُوُالذراع‬


makna lain dari kata ُ‫ يد‬adalah pangkat, kedudukan, atau kekuasaan (ُ‫القدرَُوُالسلطان‬

َُ‫)والق َّو‬.33 Dalam al-Mu’jam al-Waṣîṯ ُ‫ يد‬adalah dimaknai sebagai anggota badan dari
pundak sampai ujung jari.34 Menurut Ibn Rusyd| Bidâyah al-Mujtahīd dalam bahasa

Arab, kata ُ‫يد‬ memiliki tiga makna. Pertama, dalam arti dari ujung jari sampai

pergelangan tangan (ُ‫)الكف‬. Kedua, dari pergelanga tangan sampai siku (ُ‫)الذراع‬.

Ketiga, maknanya dari ujung jari sampai pundak (ُ‫)الكف ُو ُالذراعُُوالعَد‬.35 Dalam

kamus Mahmud Yunus disebutkan bahwa makna ُ‫ يد‬adalah tangan, telapak tangan.36

Sementara al-Suhailiy memaknai kata ُ‫ يد‬pada asalnya seperti makna baṣar, yakni

sebuah ungkapan atas sifat terhadap sesuatu yang disifatinya.37 Karena sifat

mustahil bagi Allah adalah menyerupai makhluknya.38 Hal ini menunjukan bahwa

kekuasaan Allah tidak terbatas oleh sesutau apapun. Dengan kekuasaan yang
dimilikinya, Allah dapat mewujudkan sesuatu yang dikehendaki-Nya. Allah

menjelaskan akan kekuasaan yang dimilikinya melalui QS. Al-Mulk 67:1.

ُ ُ‫تباركُالَّذيُبيدهُالملكُُوهوُعلىُكلُشي ٍءُقدير‬
Maha suci Allah yang di tangan-Nya segala (kerajaan), dan dia maha
kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Mulk 67:1).

32
Muhammad Fuad ‘Abd al-Bâqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fâdz al-Qur’ân al-Karîm,
hlm. 770-772.
33
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 1587-1588.
34
Ibrahim Mustofa dkk, Al-Mu’jam al-Wasîṭ, (Kairo: Daar al-Da’wah, t.t), jilid ke 2, hlm.
1063.
35
Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahīd wa Nihâyah al-Muqtaṣiḏ, (Kairo: Daar al-Hadits, 1425
H/ 2004 M), jilid 1, hlm. 18.
36
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Bulan bintang, 2010), hlm. 508.
37
Jalaluddin al-Suyûṯi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 3, hlm. 17.
38
Al-Qusyairi, Risâlah Al-Qusyairiyyah, cet ke 3 hlm 41.
58

ُ ُ‫ُالُمُتُجُُرُدُفُىُع‬،‫ُفُ ُه ُوُالُمُتُ َُّكبُرُُفُيُجُالُلُُُكُبُُريُائُ ُه‬،‫سانُ ُهُتُُواتُ ُرُ ُوتُُوُالى‬


ُُ‫الءُُبُ ُهائُه‬ ُ ‫تُ ُق َُّد‬
ُ ‫ُمُ ُنُُإ ُح‬،‫سُ ُوتُ ُعالُى‬
ُ .‫ُوُدُوامُُسُنُائُ ُه‬
ُ .‫ىُك ُلُشُ ُى ٍءُُقُ ُديُ ُر‬
ُ ‫ُوهُ ُوُ ُعُل‬،
ُ ‫ارُ ُماُيُُريُ ُد‬
ُ ُ‫ُبُقُ ُدُرتُ ُهُُإ ُظه‬:ُ»‫ك‬
ُ ‫«بيدهُالمل‬
ُ ‫«الَّذيُخلق ُالموت ُوالحياَ ُلي ب لوكم ُأيكم ُأحسن ُعمال ُوهو ُالعُزيز ُالُغف‬
ُ،َ‫ور» ُ ُخلُ ُق ُالُمُ ُوتُ ُُوُالحُيُ ُا‬
ُ‫يُالصُبُرُ ُ ُوعُنُ ُد‬
َّ ُ‫ان ُ ُعنُ ُد ُالُمُحُنُ ُة ُف‬
ُ ‫ُكُُيفُ ُيُ ُك ُوُن‬،ُ‫ختُبُُرُهمُ ُُليُظُهُرُ ُُل ُه ُشُ ُكُرانُ ُهمُ ُوكُ ُفُرانُ ُهم‬
ُ ُ‫ُي‬،ُ‫اُبُتُالُءُا ُُلُلخُُلق‬
.ُ‫ُُوهُ ُوُالُ ُعُزيُ ُزُالُغُ ُفُور‬-ُ‫يُالش ُكر‬
ُ ُ‫النُعُمُ ُةُف‬
ٍ ‫ُالرحمن ُمن ُتُفاو‬
ُ‫ت ُفارجُع ُالبصر ُهلُ ترىُمن‬ ٍ ‫«الَّذيُخلق ُسبع ُسماو‬
َّ ‫ات ُطباقا ُمُاُترىُفيُخلق‬
39 ٍ
.‫فطوُر‬
Maha suci dan maha tinggi-Nya Allah, terus menerus-Nya Allah
untuk memberikan kebaikan, Allah adalah Dzat yang sombong dalam
keagungan dan kesobongan-Nya, tidak ada duanya dalam ketinggian dan
keabadian-Nya.
ُ‫ بيدهُالملك‬dengan kekuasaan Allah, Allah mewujudkan sesuatu yang
dikehendaki, Allah adalah Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu.
Allah menciptakan mati dan hidup sebagai cobaan bagi makhluk,
allah mencoba mereka agar tampak pada Allah rasa syukur dan kufur
mereka bagaimana mereka sabar ketika susah dan bersyukur ketika
mendapatkan nikmat. Allah adalah Dzat yang mulia dan maha pengampun.
Menurut al-Qusyairi bahwa Allah adalah Zat yang maha suci, maha tinggi,

dan Allah terus menerus untuk memberikan kebaikan kepada hambanya. Allah

adalah Zat yang sombong dalam keagungan dan kesobongan-Nya, tidak ada duanya

dalam ketinggian dan keabadian-Nya. ُ‫ بيده ُالملك‬dengan kekuasaan yang dimiliki-

Nya itu, Allah dapat mewujudkan sesuatu yang di kehendaki oleh-Nya. Allah

adalah Zat yang berkuasa atas segala sesuatu. Allah menciptakan mati dan hidup

sebagai cobaan bagi makhluk. Allah mencoba mereka agar tampak pada mereka

rasa syukur dan kufur mereka bagaimana mereka sabar ketika susah dan bersyukur

ketika mendapatkan nikmat. Allah adalah Zat yang mulia dan maha pengampun.40

39
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm 610.
40
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm 610.
59

Al-Qusyairi melanjutan bahwa Kekuasaan Allah nampak pada ciptaan-

Nya.41 Allah menciptakan sesuatu menurut kehendak-Nya seperti menciptakan

alam raya beserta isinya, menciptakan hidup dan mati bagi makhluk ciptaan-Nya.

Perihal penciptaan dan kekuasaan yang dimiliki-Nya. Allah menjelaskannya dalam

QS.Yasin 36: 82-83.

ُ‫)ُفسبحانُالَّذيُبيدهُملكوتُكلُشي ٍء‬28(ُُ‫إنَّماُأُمرهُإذاُأرادُشي ئاُأنُي قولُلهُكنُف يكون‬


ُ‫وإليهُت رجعون‬
Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia
hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” maka jadilah sesuatu itu (82) Mahasuci
(Allah) yang ditangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya
kamu dikembalikan (83). (QS.Yasin 36: 82-83).
dengan kekuasaan yang di miliki-Nya, Allah dapat memunculkan segala

sesuatu menurut kehendak pribadinya, tidak wujud sebuah sesuatu baik sedikit

maupun banyak kecuali dengan mewujudkan-Nya. Tidak kekal sesuatu itu kecuali

dengan mengekalkan-Nya dari Allah lah muncul sesuatu yang baru datang, kepada

Allah lah menujunya segala sesuatu yang diciptakan-Nya.42

Oleh karena itu, Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu dan menciptakan

segala yang dikehendaki olehnya salah satu bentuk kekuasaan yang dimilikinya

adalah pada kisah perjanjian Hudaibiyyah, hal ini termaktub dalam QS. Al-Fath

48:10.

ُ‫إ َّنُالَّذينُي بايعونكُإنَّماُي بايعونُاللَّهُيدُاللَّهُف وقُأيديهمُفمنُنكثُفُِإنَّماُي نكثُعلىُن فسه‬


‫ومنُأوفىُبماُعاهدُعليهُاللَّهُفسي ؤتيهُأجراُعظيما‬
Bahwa orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad),
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah diatas
tangan-tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka
sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah maka Dia akan memberinya pahala yang besar. (QS.
Al-Fath 48:10).

41
Sultan Abdulhameed, al-Qur’an Untuk Hidupmu, penerjemah Aisyah (Jakarta: Zaman,
2012), cetakan pertama, hlm. 151.
42
Lihat Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm. 226.
60

Perjanjian ini disebut sebagai perjanjian Riḏwȃn di tanah hudaybiyyah di

bawah pohon tsamurah, dalam hal ini Rasulullah saw mengutus seorang sahabatnya

‘Utsmȃn bin ‘Affȃn kepada kaum Quraisy untuk menjadi juru bicara, kemudian

mereka menjadikan Sayyidina ‘Utsmȃn sebagai sandera, setelah penyanderaan

yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap ‘Utsman maka datanglah seorang

sahabat ‘Urwah bin Mas’ud kepada Rasulullah dan berkata: engkau datang dengan

membawa para sahabat untuk mengulurkan tangannya dengan tanganmu dan orang-

orang Quraisy telah bersiap untuk memerangimu dan aku dengan sahabat-

sahabatmu telah membuka diri pada engkau ketika panasnya pedang mengenai

mereka kemudian nabi membaiat mereka untuk memerangi orang-orang kafir dan

tidak lari dari peperangan. Kemudian Allah menurunkan ayat “ُ‫إ َّنُالَّذينُي بايعونكُإنَّما‬

‫”ي بايعونُاللَُّه‬ yakni perjanjian kamu kepada mereka adalah perjanjian Allah. ُ‫يدُاللَّه‬
Perihal anugerah kepada orang-orang mukmin dengan pertolongan dan

hidayah.ُ ‫ ف وق ُأيديهم‬dengan merealisasikan ketika para sahabat berbaiat kepadamu

dan dikatakan bahwa kemampuan dan kekuatan Allah untuk menolong agaman dan

utusan-Nya (Muhammad Saw) itu di atas menolongnya orang-orang islam pada

agama-Nya Allah dan utusan-Nya Allah.43


Selama dua tahun perjanjian ini berlangsung, penyebaran Islam berkembang

sangat pesat bahkan menjangkau seluruh jazirah Arab dan mendapat tanggapan

yang sangat positif. Hampir seluruh jazirah Arab, termasuk suku-suku paling

selatan. Hal ini membuat orang-orang kafir Quraisy merasa terpojok. Perjanjian

Hudaybiyyah menjadi senjata baru bagi umat islam untuk memperkuat dirinya, oleh

karena itu secara sepihak orang-orang kafir Quraisy membatalkan perjanjian

tersebut. Mendengar opini yang di bangun oleh orang-orang Quraisy, Rasulullah

Saw segera bertolak ke Makkah dengan membawa sepuluh ribu tentara untuk

melawan mereka. Sesampainya di Makkah, Rasulullah tidak mengalami kesukaran

43
Lihat, Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm 421-422.
61

apapun untuk memasuki kota Makkah tanpa perlawanan dari orang-orang kafir

Quraisy. Rasulullah dan pasukan yang di bawa olehnya tampil sebagai pemenang.

Patung-patung berhala di seluruh negeri yang terdapat di kota Makkah dihancurkan.

Setelah patung yang berada di kota Makkah di hancurkan, kemudian Rasulullah

berkhutbah di hadapan para sahabat dan pasukannya dengan menjanjikan ampunan

Allah terhadap orang kafir Quraisy. Pasca khutbah Nabi, orang-orang kafir Quraisy

berbondong-bondong memeluk agama Islam, sejak saat itu Makkah berada di

bawah kekuasaan Nabi Muhammad Saw.44

Kata ُ‫ يدُاللَّه‬di bayangkan bahwa kepunyaan Allah disebutkan berada di atas

tangan-tangan manusia yang melakukan perjanjian, adalakanya menunjukan

kemuliaan tangan tersebut di atas tangan manusia sebagaimana sabda Nabi Saw.

ُ‫ُعن ُحكيم ُبنُ ُحزام‬،‫ُعن ُأبيه‬،‫ُحدَّث ناُهشام‬،‫ُحدَّث ناُوهيب‬،‫حدَّث ناُموسىُبن ُإسماعيل‬


ُ‫ُوابدأ ُبمن‬،‫ُاليد ُالعلياُخُيُر ُمن ُاليد ُالسفلى‬:‫ُعن ُالنَّبي ُصلَّىُالله ُعليه ُوسلَّم ُقال‬،‫رضي ُالله ُعنه‬
ُ 45.ُ‫ُومنُيست غنُي غنهُالله‬،‫ُومنُيست عففُيعفهُالله‬،‫ُالصدقةُعنُظهرُغنى‬
َّ ‫ُوخي ر‬،‫ت عول‬
Musa bin Ismail menceritakan kepada kami, Wahib menceritakan
kepada kami, Hisyam menceritakan kepada kami, dari Ayahnya dari Hakim
bin Hizam Ra, dari Nabi Saw, beliau bersabda: Tangan di atas lebih baik
daripada tangan di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi
tanggunganmu. Dan sebaik-baik sedekah adalah yang dikeluarkan dari
orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan
dirinya maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang erasa cukup
maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang memberi lebih baik dari pada

orang yang menerima, karena pemberi berada di atas penerima, maka tangan dialah

yang lebih tinggi. Seperti pada proses baiat, orang yang melakukan perjanjian

mereka menjulurkan telapak tangannya ke hadapan orang yang membaiat, lalu

menaruh tangannya di hadapan orang yang membaiat.

C. Wajh Allah
44
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), jilid pertama,
hlm. 32.
45
Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, (Daar al-Tauq al-Najah, 1422 H.), jilid ke 2, hlm. 112.
62

Wajh secara bahasa bermakna arah, tujuan muka, atau pihak yang dituju,46

wajh dapat juga dimaknai pangkat atau kedudukan.47 Menurut Ibrahim Mustafa

dalam al-Mu’jam al-Waṣîṯ, wajh adalah sisi depan dari kepala terdapat kedua bola

mata mata, mulut, dan hidung. Wajh Juga mengandung arti pemimpin suatu kaum

(ُ‫)السُيُدُُالقومُُوشري فهم‬.48
Al-Qur’an menyebutkan kata ُ‫ُوجُهُ ُج ُُوجُُوه‬ sebanyak 152 kali, dan ada

beberapa kata ُ‫ُوجُه‬ yang ada yang disandarkan kepada Allah seperti kata “wajh

Allah”, “wajh Tuhanmu”, dan “wajh Tuhan mereka”, terdapat lima ayat yang

menyebutkan kata wajh yang dinisbatkan kepada Allah.49 Namun dari lima ayat

tersebut, makna yang paling mendekati dari pentakwilan Al-Qusyairi terhadap wajh

yang disandarkan kepada Allah terdapat pada QS. al-Rahmân 55:27.

ُ‫وي بقىُوجهُربكُذوُالجاللُواْلكرام‬
Dan tetap kekal (wajh) Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan. (QS. al-Rahmân 55:27).

ُ‫ُستُ ُفنُى‬:ُ ُ‫ث ُ ُالخُبُر‬ ُ ُ‫ُومُنُ ُحُي‬.


ُ ‫ث ُ ُالجُُو ُاز‬
ُ ُ‫ض ُفُيُحُ ُكمُ ُالُفُنُاءُ ُمُ ُن ُحُي‬
ُ ‫ىُوجُ ُه ُاِلُُر‬
ُ ‫كُلُ ُمُنُ ُ ُعُل‬
ُُ‫ُُل ُمُيُ ُد َّل‬-ُ‫ُسُبُحُانُه‬-ُ‫ص ُفةُُلله‬
ُ ُ:ُ»‫ُوُُ«الُُوجُ ُه‬.‫اْلكُُر ُام‬ُ ‫وُالجُالُ ُلُُو‬
ُ ُ‫كُذ‬ ُ ُ‫ىُوجُهُُُرب‬
ُ ‫اُويُبُ ُق‬
ُ ‫اُومُ ُنُ ُعُليُ ُه‬
ُ ُ‫الدُنُي‬
ُ ‫اُوُد َّلُُ ُعُليُ ُهُ ُجُوُاز‬
ُ .‫ُوُوُرُدُالُخُبُ ُرُبُ ُك ُوُن ُهُقُطُ ُعا‬،‫ا‬ ُ ‫عُُليُ ُهُالُعُ ُق ُلُقُطُ ُع‬
ُ‫ُمحُ ُالةُ ُشُُرطُ ُهاُقُُي ُامهُاُبُنُ ُفسُ ُه‬ُ ‫ُو ُال‬، ُ ُ ‫ُِل َُّن‬،
ُ ‫الص ُف ُة ُ ُال ُتُ ُق ُومُ ُبُنُ ُفسُ ُها‬ ُ ُ‫الذات‬ َُّ ُ ُ‫اء ُالُُوجُ ُه ُبُ ُقاء‬
ُ ‫ُفىُبُ ُق‬:
ُ ُ‫ُويُ ُقال‬
ُ ‫ُوإُُنَّمُاُيُ ُعُر‬،
ُ‫ف‬ ُ ُ‫الع ُقل‬ُ ‫ُوُالُوجُ ُهُالُُيُ ُعُلمُُُب‬،
ُ ُ‫فُُبالُ ُعقُل‬ُ ‫الذكُرُُأُ َّنُُ ُماُعُ ُد ُاهُيُ ُعُر‬
ُ ُ‫ُوفُائُ ُدَُُُتخُصُيُصُُالُُوجُهُُب‬. ُ ‫ُوُذ ُات ُه‬
ُ‫ُوتُسُُليُ ُة ُُلُلمُسُلُمُيُنُ ُ ُع َُّما‬،
ُ ُ‫ف‬ ٍ ‫حانُهُ ُ ُخلُفُ ُ ُعنُُُكُلُ ُتُُل‬ ُ ُ‫ُسب‬.ُ ‫ُ ُوفُيُبُ ُقائُ ُه‬:ُ»‫ُو ُ«ي ب ُقى‬. ُ ُ‫بُالنَُّ ُقلُ ُُواِلُ ُخبُار‬
50
.‫ب‬
ُ ُ‫ُويُ ُف ُوتُ ُهمُُمُنُُالُمُُواه‬،
ُ ‫ب‬ ُ ُ‫يُصُيُبُ ُهمُُمُنُُالُمُصُائ‬
Setiap yang ada dibumi akan mengalami kehancuran dan wajah
tuhanmu yang memiliki sifat keagungan dan kemuliaan akan tetap abadi.
Adapun artinya wajah adalah sifatnya Allah dimana akal tidak mengetahui
maksudnya secara pasti dan dikatakan didalam kekekalan wajah adalah

Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, hlm. 493.


46
47
Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus al-Munawir, hlm. 1541.
48
Ibrahim Mustofa dkk, Al-Mu’jam al-wasîṭ, hlm. 1015. Lihat juga, Al-Wȃhidi, al-Wajîz fi
Tafsîr al-Kitâb al-Azîz, (Beirut: Daar al-Qolam, 1415), jilid pertama, hlm. 1054.
49
Fuad ‘Abd al-Bâqi, Mu’jam al-Mufahras li al-fâẕ al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Daar al-
Fiqr, 1987 M.), cetakan ke 3, hlm. 743-744.
50
Lihat, Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm. 508.
63

kekekalan dzat-Nya karena sifat tidak berdiri dengan sendirinya dan


tidaklah mustahil sifat itu berdiri pada dirinya dan dzat. Faidah
menyebutkan wajah secara khusus adalah bahwa selainnya dapat diketahui,
dan wajah tidak bisa diketahui dengan akal melainkan wajah bisa diketahui
dengan dalil.
Al-Qusyairi dalam Latâ’if al-Isyârât memberikan pendapat mengenai ayat ini

bahwa Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini pasti musnah yang kekal hanyalah

Allah Swt yang memiliki keagungan dan kemuliaan. Al-Wajh adalah sifat Allah

Swt. Dimana akal tidak akan mampu untuk menjangkaunya. Ada pula yang

mengartikan “Baqâ al wajhi” adalah bentuk dari Zat-Nya, sebab sifat tidak dapat

berdiri sendiri tanpa adanya Zat. Adapun faedah disebutkan kata “wajh” dalam ayat

ini karena selainnya dapat di jangkau dengan akal. Sementara wajh tidak dapat di

jangkau dengan akal. Namun hal demikian dapat diketahui melalui perantara naql

dan akhbâr. Wa yabqâ maknanya Allah Swt. Kekal dan tidak akan pernah musnah.

Juga sebagai penggembira untuk orang-orang muslim atas musibah yang menimpa

mereka.51

Akarnya dari Al-Mâturîdi (w. 333 H) dalam tafsirnya telah memberikan

pendapat akan ayat ini. Menurutnya, wajh pada ayat ini memiliki tiga makna:

pertama, setiap kerajaan (ُ‫ )مُلُك‬yang berada di muka bumi semuanya pasti akan
musnah, sedangkan yang kekal abadi hanyalah kekuasaan Allah. Kedua, setiap
penguasa (yang mempunyai otoritas) (ُ‫ )سُلُطُان‬akan musnah, hanya Allah yang kekal

abadi. Ketiga, yang dimaksud dengan Wajh pada ayat ini adalah keridhaan Allah

(ُ‫ )الرُضُاء‬terhadap hambanya.52 Makna yang ketiga merupakan bentuk kinayah.53

51
Lihat, Al-Qusyairi, Latâ’if al-Isyârât, jilid 3, hlm. 508.
52
Lihat Abȗ Manṣûr Al-Mâturîdi, Tafsîr al-Mâturîdi, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiah,
1426 H), cetakan pertama, jilid 8, hlm. 472.
53
Kinayah secara Bahasa adalah apa yang diucapkan tidak sesuai dengan maksud dari
ucapannya tersebut.
Kinayah secara istilah adalah lafaẕ yang tidak sesuai dengan maknanya, namun boleh jadi
sesuai dengan maknanya bila tidak ada indikasi yang menghalangi dari keaslian makna tersebut.
Kinayah terbagi menjadi 3 macam yaitu:
Pertama, Kinȃyah ṣifat. Kinȃyah ṣifat bisa diketahui dengan menyebutkan sesuatu yang
disifatinya baik secara eksplisit (ُ‫ )ملفوظ‬maupun secara implisit (ُ‫)ملحوظ‬.
64

Selanjutnya, pendapat yang relatif berbeda dikemukakan oleh al-

Zamakhsyari (w. 538 H) dalam al-Kasysyâf menurutnya, Maksud lafadz “wajh

rabbika” pada ayat di atas adalah “pribadi Allah”. Lanjutnya: penggunaan lafadz

“al-wajh” sering diungkapkan dengan maksud seluruh badan dan zat, contohnya

seperti ungkapan orang miskin Makkah “dimana wajah orang arab yang mulia yang

sering membantu aku dari kesusahan”. Maksudnya adalah diri orang itu, bukan

menanyakan perihal paras wajah orang yang bersangkutan.54 Melainkan keagungan

dan kemuliaan yang mencerminkan sifat wajahnya. Al-Zamakhsyari mengalihkan

makna zahir wajh kepada makna zat. Makna wajah yang dinisbatkan kepada Allah

bukan berarti Allah memiliki wajah seperti manusia. Namun Al-Zamakhsyari

menggunakan Takwil dalam memaknai kata wajah yang dinisbatkan kepada

Allah.55

Pendapat yang relatif sama dengan Al-Mâturîdi dikemukakan oleh al-Râzi

(w. 606 H) dalam tafsirnya Mafâtîh al-Ghaib menurutnya, Setiap sesuatu yang ada

di muka bumi beserta buminya akan musnah, menurut Al-Râzi faidah dari ayat ini

adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan menggunakan waktu yang

sedikit untuk mendekatkan diri kepadanya, perintah untuk bersabar bila dalam
keadaan susah agar tidak kufur terhadap nikmat yang telah diberikan Allah

Kedua, Kinayah Mauṣûf. dapat diketahui dengan menyebutkan sifatnya secara langsung,
sebagai contoh anak sungai Nil (ُ‫)ُأبُنُاءُُالنُيُل‬, kata ini menunjukan orang mesir, karena sungai Nil berada
di Mesir.
Ketiga, Kinȃyah Nisbat adalah menisbatkan sesuatu kepada hal lain.
Contoh dalam Syair “keagungan berada di kedua pakaianmu” (ُ‫)المجد ُب ين ُث وب يك‬, dan
“kemuliaan itu memenuhi kedua baju burdahmu” (ُ‫)والكرام ُملء ُب رديك‬. Pembicara bermaksud untuk
menisbatkan keagungan dan kemuliaan kepada orang yang diajak bicara (lawan bicara). Namun,
yang bersangkutan tidak menisbatkan kedua sifat itu secara langsung kepada yang diajak bicara
olehnya, melainkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya yakni pakaian dan selimut. Lihat
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah, (Indonesia: Daar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 1960),
hlm. 345-349.
54
Hal ini merupakan Majâz Lughawi yang memalingkan makna asli kepada makna lain
agar lebih mudah di fahami oleh seorang pembaca. Majaz Luhawi adalah lafadz yang digunakan
selain makna asalnya karena ada hubungan dengan keduanya. Lihat Muhammad Ṣafa Syeikh
Ibrahim Hakki, ‘Ulum al-Qur’ân min khilâl Muqaddimât al-Tafâsîr (Beirut: al-Risalah 2004), hlm.
268.
55
Lihat al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq gawâmiḏ al-Tanzîl, (Beirut: Daar al-
Kitab al-‘Arabi’, 1407 H), jilid 4, hlm 446.
65

kepadanya, sebab kesusahan akan pergi. Kata wajh dalam ayat ini karena kata wajah

lazim diketahui oleh manusia, sebab wajah merupakan simbol untuk mengetahui

seseorang. Makna lainnya dari kata ini adalah ibadah seperti yang terdapat pada QS

Al-Baqarah 2:11556 dan QS. Al-Rûm 30:39.57

Menurut Al-Marâghi (w. 1945 M) dalam tafsirnya, bahwa kata al-Wajh

yang dinisbatkan kepada Allah adalah Zat-Nya (Pribadi) Allah yang tidak bisa

diketahui oleh akal.58

Wahbah al-Zuhaili mengungkapkan pendapat yang relatif berbeda dari Al-

Mâturîdi, al-Râzi dan al-Zamakhsyari. Wahbah menggunakan kajian balaghah yang

ia kembangkan dalam tafsirnya. Menurutnya, kata wajh diterjemahkan “Tetapi

wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal”. Kemudian

ia melanjutkan dengan menampilkan kajian balaghah dari kata wajh yang

disandarkan kepada Allah merupakan bentuk dari majâz mursal.59 “Zat Tuhanmu

yang suci”, dengan menyebutkan sebagian wajh, namun yang dimaksud dengan

wajh adalah keseluruhan (zat).60

ُ‫ وللَّهُالمشرقُوالمغربُفأي نماُت ولواُف ث َّمُوجهُاللَّهُإ َّنُاللَّهُواسعُعليم‬56


Dan milik Allah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap disanalah Wajah Allah.
Sungguh, Allah Maha luas, Maha Mengetahui.
ُ‫وماُآت ي تمُمنُرباُلي رب وُفيُأموالُالنَّاسُفالُي ربوُعندُاللَّهُوماُآت ي تمُمنُزكاٍَُتريدُونُوجهُاللَّهُفأولئكُهمُالمَعفُون‬ 57

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan
Allah. Itulah, agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Lihat al-Râzi , Mafâtîh al-Ghaib, jilid 29, cetakan ke 3, hlm. 355.
58
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, (Mesir: Syirkah al-Thalabah wa al-
Matba’at Mustopa, 1371 H), Jilid 27, hlm. 114.
59
Majâz Mursal adalah kata atau kalimat yang digunakan bukan makna aslinya, karena
adanya hubungan yang tidak samar lagi dan ada tanda yang melarang untuk menggunakan makna
asal tersebut. Lihat Ahmad al-Hasimi, Jawâhir fi ‘ilm al-Balâghah, hlm. 331.
60
Wahbah bin muṣṯafa al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Mîzân fi al-Aqidât wa al-Syarî’at wa al-
Minhâj, (Damaskus: Daar fiqr al-Ma’asir, 1418 H), jilid 27, hlm. 208.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam menghadapi ayat-ayat tasybîh al-Qusyairi termasuk mufassir yang

mentakwilkan ayat al-Qur’an. objek penelitian ini dapat disimpulkan sebagai

berikut: ‘Arsy yang ditakwilkan oleh al-Qusyairi adalah tempat Allah bersemayam.

Ia melanjutkan bahwa ’’Arsy terbagi menjadi dua; pertama ‘Arsy langit, kedua

’Arsy bumi. ‘Arsy langit adalah tempat Allah bersemayam (‘Arsy al-Rahman),

sedangkan ‘Arsy bumi adalah hatinya para ahli Tauhid (‫التوحيد‬ ‫)قلوب أهل‬.
Selanjutnya, penafsiran al-Qusyairi terhadap ayat yang berkaitan tentang

Yad Allah. Yad yang dinisbatkan kepada Allah ditakwilkan oleh al-Qusyairi dengan

makna kekuasaan (‫)القدرة‬. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuasaan Allah meliputi

segalanya. Alam raya beserta isinya, menciptakan hidup dan mati bagi makhluk

ciptaan-Nya. Karena dari Allah muncul segala sesuatu dan segala sesuatu yang

diciptakan akan kembali kepada-Nya.

Begitupun penafsiran al-Qusyairi tentang wajh yang dinisbatkan kepada

Allah. Makna denotatif dari kata wajh adalah sifat Allah Swt. Di mana akal tidak
akan mampu untuk menjangkaunya. Karena segala sesuatu yang ada dibumi akan

musnah dan yang kekal abad hanyalah Allah dengan kemuliaan serta keagungan

yang dimiliki-Nya.

B. Saran

Kajian yang membahas tentang al-Qusyairi bukanlah hal baru yang

dilakukan. Kajian ini sudah sangat banyak diteliti oleh oleh para peneliti dalam

berbagai disiplin ilmu seperti akidah, tasawuf, dan tafsir.

66
67

Skripsi tentang Tafsir Isyâri tentang Ayat-ayat Tasybîh menurut ‘Abd al-

Karim al-Qusyairi merupakan pembahasan yang masih sangat luas untuk diteliti

dalam kajian tafsir Isyâri. Karena masih sangat banyak kajian tentang ini yang

mungkin bisa diteliti melalui kacamata penafsiran al-Qusyairi dalam Lata’if al-

Isyârât.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kajian dalam skripsi ini masih jauh

dari bentuk yang diharapkan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan. Hal

ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki oleh penulis dalam menyusun kajian

ini. Penelitian yang memfokuskan pada pandangan dan pendekatan al-Qusyairi

terhadap ayat-ayat tasybîh masih banyak yang perlu dibahas dan dikritisi lebih

tajam melalui kajian sufistik.


DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Bâqi, Fuad, Mu’jam al-Mufahras li al-fâdz al-Qur’ân al-Karîm. Beirut:


Daar al-Fiqr, 1987.

Abdulhameed, Sultan, al-Qur’an Untuk Hidupmu, penerjemah Aisyah, Jakarta:


Zaman, 2012.

Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Qur’an Kritik terhadap Ulum al-Qur’an,
penerjemah Khoiron Nahdlyyin, Yogjakarta, LKIS Yogjakarta, 2005.

Ahmad, Rasyid, Abu al-Qasim al-Qusyairi As Theologian and Commentator,


London: The Islamic Cultural Centre, 1969.

Al Amin, Habibi, Emosi Sufistik dalam Tafsir Isyari Studi atas Tafsir Lata’if al-
Isyarat Karya al-Qusyairi, Disertasi S3 Program Pascasarjana, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2015.

_______Habibi, Tafsir Sufi Laṯâ’if al-Isyârât Karya Al-Qusyairi Persepektif


Tasawuf dan Psikologi, sebuah Jurnal, Jombang: Jurnal Suhuf, 2016.

Albar, Arsyad, Epistemologi Tafsir Sufi Studi terhadap Tafsir al-Sulamy dan al-
Qusyairi, Disertasi S3 Program Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2015.

al-Anshâri, Jamâl al-Dîn Ibn Mandzûr, Lisân al-Arab, Beirut: Daar Shadir, 1414 H.

al-Ashbahani, Abû Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqât al-Aṣfiyâ, Beirut: Daar


al-Kutub al-‘Arabi, 1394 H/1974 M.

Azizah, Afiyatul, Penafsiran Huruf Muqatha’ah Telaah Kritis Penafsiran Imam


Qusyairi Tentang ‫ حم‬Dalam Lata’if al-Isyarah, Tesis S2, Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), Surakarta, 2014.

Azra, Alzumardi dkk. Ensiklopedia Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008.

al-Dzahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah


Wahabiyyah, t.t.

E Palmer, Richard, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, penerjemah


Munsur Heri, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

al-Fauzan, Shalih Fauzan bin Fuazan, Syarh Al-Aqîdah al-Ṯahâwiyah, penerjemah


Abdurrahman Nuryaman, Jakarta: Darul Haq, 2014.

al-Ghazâli, ‘Abu Hamid, Dibalik Ketajaman Mata Hati, penerjemah Mahfudli


Sahli, Jakarta: Pustaka Amani, 1997.

68
69

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Nusantara, Yogjakarta: Lkis Yogjakarta. 2013.

al-Hȃsimi, Ahmad, Jawȃhir al-Balȃghah fi al-Ma’ȃnî wa al-Bayȃn wa al-Badi’,


Kairo: Daar al-Hadits, 2013.

al-Hasyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah, Indonesia: Daar al-Ihya al-Kutub al-


‘Arabiyah. 1960.

Ibrahim Hakki, Muhammad Ṣafa Syeikh, ‘Ulum al-Qur’ân min khilâl Muqaddimât
al-Tafâsîr, Beirut: al-Risalah, 2004.

Ibn al-Jauzi, Daf’u al-Syubhat, Kairo: Maktabah al-Adzhariyah li al-Turats, t.t

Jumantoro, Totok dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah,
2005.

Jayusman, Nenden Maria, Konsep Zikir Perspektif al-Qusyairi dalam kitab tafsir
Lathâ’if al-‘Isyârât (telaah terhadap penafsiran al-Qusyairi pada ayat-ayat
tentang zikir dalam kitab tafsir Lathâ’if al-‘Isyârât), Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati,
Bandung, 2013.

al-Jurjâni, Abû al-Qahir, al-Ta’rifât, Beirut: Daar al-Kitab al-‘Arabi, 1405 H.

Kaltsum, Lilik Ummi, Ayat-ayat Cinta dalam Tafsir Sufi (Analisis kata Hub dalam
Tafsir Dzu al-Nûn al-Misri), Jurnal Studi Agama dan Masyarakat,
Rembang: al-Itqân, STAI Al Anwar, 2017.

Mahsum, Moh. Toha, Penafsiran imam al-Qusyairi dalam Kitab Tafsir Lata’if al-
Isyarah Studi tentang Metode Penafsiran dan aflikasinya, Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,
Yogjakarta, 2009.

al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsîr al-Marâghi, Mesir: Syirkah al-Thalabah wa al-


Matba’at Mustopa, 1371 H.

al-Mâturîdi, ‘Abu Mansur, Tafsîr al-Mâturîdi, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah,


1426 H.

Muhibuddin, Irwan, Tafsir Ayat-ayat Sufistik Studi Komparasi Tafsir al-Qusyairi


dan al-Jailani, Tesis S2, Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

Manzur, Ibn, Lisan al-‘Arab, Beirut: Daar Shadir, 1414 H.

Masduki, Irwan dkk, Kontekstualisasi Turats Telaah regresif dan progresif, Kediri:
De-Aly. 2009.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,


2014.
70

Muhammad, Husein. Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerah, Bandung:


Mizan, 2011.

Muluk, Tajul, Pemaknaan al-Qur’an dalam Perspektif al-Imam al-Qusyairi


(Telaah atas kitab Tafsir Laṯâ’if al-Isyârât), Tesis S2 Program Studi Agama
dan Filsafat Konsentrasi Studi Qur’an Hadis, Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga, Yogjakarta, 2016.

al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir, Kamus al munawir digital.


www.kampungsunah.org.

Munir, Abdul, Penafsiran imam al-Qusyairi dalam Kitab Tafsir Lata’if al-Isyarah
Studi tentang Metode Penafsiran dan aflikasinya. Disertasi S3 Program
Pascasarjana, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogjakarta,
2009.

Murtahdho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press. 2008.

Mustafa, Ibrahim dkk, al-Mu’jam al-wasîṯ, Mesir: Daar al-Da’wah, t.t.

Mustaqim, Abdul, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir, Yogjakarta: Idea Press,
2017.

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1987.

_______, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press 2006.

Permana, Aramdhan Qodrat, Nuansa Tasawwuf dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib


Karya Fakhr al-Din al-Razi, Bekasi: An Nahl, 2016.

al-Qalyubi, Syihabuddin, al-Nawadir, penerjemah Awy Amru, Yogjakarta: Diva


Press, 2018.

al-Qusyairi, ‘Abd al-Karim, Arba Rasâil fi al-Taṣawuf, Matba’at al-Jami’e al-iraf,


1389 H/1969 M.

_______ ‘Abd al-Karim, Laṯâ’if al-Isyârât, editor ‘Abd Latif Hasan bin ‘Abd
Rahman, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 2007.

_______ ‘Abd al-Karim, Laṯâ’if al-Isyârât, editor Ibrahim Basyuni, Kairo: Daar al-
Kâtib al-‘Arabi, 1974.

_______ ‘Abd al-Karim, al-Mi’rȃj, Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah, 1384


H./1964 M.

_______ ‘Abd al-Karim, Risalah al-Qusyairiyah, penerjemah Umar Faruq, Jakarta:


Pustaka Amani, 2007.
71

al-Qurṭubi, Abû ‘Abdullȃh Muhammad bin Ahmad bin Abû Bakar al-Anshari, al-
Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân, kairo: Daar al-Kutub al-Misriyah, 1384.

al-Râzi, Fakhr al-Din, Mafâtîh al-Ghaib, Beirut: Daar Ihya al-Turats al-Arabi’,
1420.

Riyadi, Abdul Kadir, Antropologi Tasawuf, Jakarta: LP3ES. 2014.

Rusyd, Ibn, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtaṣid, Kairo: Daar al-Hadits,


1425 H/ 2004 M.

Shihab, Quraish, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Lentera Hati, 2015.

_______ Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: lentera hati, 2002.

al-Shabûni, Muhammad ‘Ali, Safwah al-Tafâsîr, Kairo: Daar al-Ṣabûni li al-


Thaba’at wa al-Nasyri wa al-Tauziyi, 1417 H.

Suliono, Penafsiran Ayat-ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak: Studi Analisis
Tafsir Lata’if al-Isyarat. Tesis S2 Program Pascasarjana, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2017.

al-Suyûṯi, Jalâluddîn, al-Itqân fi ‘ulûm al-Qur’ân, Makkah al-Mukarrahah, t.t.

Syarifuddin, M. Anwar, Menimbang Otoritas Sufi Dalam Menafsirkan Al-Qur’an,


Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Palangkaraya: Pusat Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Palangkaraya, 2014.

al-Taftazȃni, ‘Abû al-Wafa al-Ghanimi, Tasawuf Islam, penerjemah Subkhan


Anshori, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.

al-Tustari, Sahl, al-Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, Makkah al-Mukarramah: Daar al-


Haram li Turats, 2004.

al-Wahidi, Abû al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad, al-Wajîz fi Tafsîr al-
Kitâb al-Azîz, Beirut: Daar al-Qolam, 1415.

Wahyudi, Interpretasi Komparatif Takwil Sufi Abu Hamid al-Ghazalî dan Ibn
Arabi’ Terhadap Ayat-ayat al-Qur’an, Islamika Inside:Jurnal Keislaman
dan Humaniora, Desember 2018.

Yapono, Abdurrahim, ‘Abd al-Karim al-Qusyairi dan Sumbangannya dalam Tafsir


Simbolik Analisis karya Lata’if al-Isyarah, Disertasi S3, Universitas Malaya
Malasyia, 2006.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pres, 2008.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: Bulan bintang, 2010.


72

al-Zamaksyari, Abû al-Qosim Mahmud, Tafsîr al-Kasysyâf Haqâ’iq gawâmiḏ al-


Tanzîl, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Arabi, 1407 H.

al-Zarkasyi, Abû ‘Abdillah Badruddin Muhammad bin Bahadir Bin ‘Abdullah, al-
Burhân fi ‘ulûm al-Qur’ân, Kairo: Daar al-Hadits, 1427 H.

al-Zarqâni, Muhammad ‘Abd al-Aẕim, Manâhil al-‘Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Daar


al-Fiqr, 1996.

al-Zuhaili, Wahbah bin muṣṯafa, al-Tafsîr al-Mîzân fi al-Aqidât wa al-Syarî’at wa


al-Minhâj, Damaskus: Daar fiqr al-Ma’asir, 1418 H.

https://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%B4%D8%A8%D9%87%D8%A9
diakses pada hari senin 26 Agustus 2019 pukul 20.57. Wib.

Anda mungkin juga menyukai