Anda di halaman 1dari 125

KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA

(Studi Komparasi Penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad)












SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

oleh:
Hendro Sucipto
05530002




J URUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJ AGA
YOGYAKARTA
2009
MOTTO








Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
(Q.S. ali-Imran: 104)























iv
PERSEMBAHAN





Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

Kedua orang tua dan saudara-saudaraku tercinta yang senantiasa
memberikan motivasi dan dorongan untuk penyelesaian skripsi ini,
Halimah Sadiyah sahabat hidupku, serta Immawan/Immawati Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Kabupaten Sleman dan seluruh
teman-teman di bangku kuliah.


Almamater tercinta Jurusan Tafsir & Hadis, Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogayakarta dan Pondok Pesantren Budi Mulia
Yogyakarta.


















v
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji hanyalah pantas dipanjatkan kepada Allah swt,
hanya kepada-Mu lah kami memohon petunjuk dan meminta pertolongan serta
berserah diri. Allah Maha besar, tetapkanlah kami dalam petunjuk-Mu yang
diridhoi dan penuh berkah. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad saw, yang telah menghapus gelapnya
kebodohan dan kekufuran, melenyapkan rambu keberhalaan dan kesesatan, serta
mengangkat setinggi-tingginya menara tauhid dan keimanan.
Berawal dari sebuah kegelisahan pikir selama proses penyelesaian
program studi tafsir dan hadis, dalam realitas studi terdapat keberagaman
pemikiran yang mau tidak mau harus dijalani sebagai kekayaan kajian dalam
pengembangan dan kemajuan pemahaman Al-Quran, yaitu munculnya beragam
metode dalam memahami Al-Quran. Semenjak abad ke-17 hingga sekarang
bermunculan penafsiran yang selalu bergerak mengikuti perkembangan studi-
studi keilmuan dan realitas kehidupan manusia. Hal ini tidak dapat dihindari,
karena Al-Quran bukanlah milik satu bangsa saja, tetapi memiliki pesan salih l
kulli zaman wa makan.
i
Termasuk di dalamnya adalah munculnya tafsir feminis yang
mengupayakan untuk menjadikan analisis gender sebagai kerangka kerja
penafsiran mereka. Sebagai salah satu konsekuensi dalam penafsiran itu adalah
kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam memimpin keluarga. Dalam konteks
Inonesia pun juga bermunculan para penafsir yang menawarkan metode dalam
vi
penafsiran Al-Quran tentang ayat-ayat yang bernilai teologis. Di antaranya
adalah Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad, yang mempunyai penafsiran
berbeda dalam menafsirkan ayat tentang kepemimpinan dalam keluarga.
Sebuah realitas objektif, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Oleh
karena itu, dengan segenap kebenaran, penulis dengan terbuka membuka wilayah
saran dan kritik dari segenap pembaca. Secara optimis karya ini tidak akan
mencapai harapan ideal tanpa keluhuran budi, keikhlasan hati, dan semangat
pikir kebenaran para khalifah fi ardl sehingga dengan menjunjung tinggi
kebenaran Al-Quran, penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada:
1. Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Dr. Suryadi, M.Ag, selaku Ketua J urusan dan Dr. M. Alfatih Suryadilaga,
M.Ag selaku Sekretaris J urusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin.
3. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag, selaku Penasihat Akademik.
4. Inayah Rohmaniyah, S.Ag, M.Hum, MA, selaku Pembimbing I yang
selalu membimbing dengan tulus dan memberikan motivasi.
5. Adib Sofia, S.S, M.Hum, selaku Pembimbing II yang dengan sabar
mengajarkan tentang arti kebenaran sebuah bahasa.
6. Kedua orang tua saya, Bapak Slamet dan Ibu Tumirah yang telah
membimbing, membesarkan, mendidik, dan semua jasa-jasanya yang tak
ternilai dengan sepenuh hati.
7. Saudara-saudaraku, kedelapan kakak dan kedua adikku, yang dengan tulus
memberikan bantuan moral dan spiritual.
vii
8. Halimah Sadiyah yang telah mengajarkan tentang arti hidup sebenarnya,
dirimu selalu ada di saat sedihku dan bahagiaku.
9. Segenap Pengurus Pondok Pesantren, khususnya santri Angkatan X, Budi
Mulia Yogyakarta adalah tempat kita tumbuh berkembang.
10. Immawan dan Immawati, Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah Kab. Sleman (Danuri, Kasyadi, Haris, Suhada, Desi,
Ariel, Huda, Tsania, Ihah, Pepizon, Sobiren, Mari, dan semua Pimpinan
periode 2008-2009), dari kalianlah saya mendapatkan hal berharga yang
tak mungkin terlupakan.
11. Immawan dan Immawati Pimpinan Komisariat se-Kab. Sleman, PK IMM
Uy (Herman, Lukman, dkk), PK IMM Ty (Dedi, Hartini, dkk), PK IMM
ST (Atik, Imam, dkk), PK IMM Ay (Amar, Alam, dkk), PK IMM Sy
(Ashabul, as-Syifa, dkk), PK IMM UII (Sahlan, Rahma dkk), PK IMM
Dy-Ishum (Dani, Tomi, dkk), Korkom IMM UIN Suka (Ramli, Husein,
dkk), dan DPD IMM DIY (Anang, J efree, dkk) serta teman-teman
pergerakan mahasiswa dan kepemudaan lainnya.
12. Teman-teman satu Angkatan TH-A 2005, terlebih untuk Arif Nuh Safri,
kamulah sahabat pertama dalam bangku kuliahku, dan seluruh teman-
teman yang belum disebutkan satu persatu.
Semoga skripsi yang sederhana ini, dapat diambil manfaatnya demi
kemajuan ilmu tafsir maupun ilmu lainnya.
Penulis,
(Hendro Sucipto)
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini
berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan
0543b/U/1987. Secara garis besar uraiannya adalah sebagai berikut.

A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama





















Alif
ba
ta
sa
jim
ha
kha
dal
al
ra
zai
sin
syin
sad
dad
ta
za
ain
gain
fa
qaf
Tidak dilambangkan
b
t
s
j
h
kh
d

r
z
s
sy
s
d
t
z

g
f
q
Tidak dilambangkan
be
te
es (dengan titik di atas)
je
ha (dengan titik di bawah)
ka dan ha
de
zet (dengan titik di atas)
er
zet
es
es dan ye
es (dengan titik di bawah)
de (dengan titik di bawah)
te (dengan titik di bawah)
zet (dengan titik di bawah)
koma terbalik
ge
ef
qi
ix






kaf
lam
mim
nun
waw
ha
hamzah
ya
k
l
m
n
w
h

y
ka
el
em
en
w
ha
apostrof
ye

B. Konsonan Rangkap karena Syaddah Ditulis Rangkap


ditulis
ditulis
Mutaaddidah
iddah

C. Ta marbutah di Akhir Kata Ditulis h




ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
Hikmah
'illah
Karmah al-auliy'
Zakh al-fitri

D. Vokal Pendek
__ ___

_____


__ ___

fathah

kasrah


dammah
ditulis
ditulis
ditulis

ditulis
ditulis
ditulis
a
faala
i

ukira
u
yahabu



x
E. Vokal Panjang
1

2

3

4
Fathah + alif

Fathah + ya mati

Kasrah + ya mati

Dammah + wawu mati

ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis

jhiliyyah

tans
i
karim

furd

F. Vokal Rangkap
1

2
Fathah + ya mati

Fathah + wawu mati

ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ai
bainakum
au
qaul

G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof



ditulis
ditulis
ditulis
aantum
uiddat
lain syakartum

H. Kata Sandang Alif +Lam
Diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan
huruf "al".




ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
al-Qurn
al-Qiys
al-Sam
al-Syam


xi
I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut penulisannya.


ditulis
ditulis
awi al-furd
ahl al-sunnah


































xii
ABSTRAKS

Kepemimpinan dalam keluarga masih menjadi kajian menarik bagi
masyarakat Indonesia, khususnya bagi gerakan feminisme. Banyaknya kajian ini
didorong oleh keprihatinan terhadap kenyataan di masyarakat yang beranggapan
bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan dalam segala hal. Pada
umumnya, perempuan memainkan peran sosial-ekonomi dan politik dengan porsi
yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan peran laki-laki. Hal ini
dikarenakan posisi perempuan dianggap kurang memiliki daya saing terhadap
lingkungan yang dihadapi. Salah satunya disebabkan oleh faktor pendidikan dari
pihak perempuan yang lemah. Bagi sebagian masyarakat, peranan laki-laki dan
perempuan yang berbeda seperti di atas dianggap sebagai suatu hal yang alamiah
atau kodrati. Anggapan itu dalam kajian feminisme ditolak dengan keras. Bagi
feminisme, konsep seks dibedakan dengan gender. Menurut mereka, perbedaan
biologis dan fisiologis adalah perbedaan seks, sedangkan yang dimaksud dengan
perbedaan fungsi, peran, hak, dan kewajiban adalah gender. Dalam konteks
Indonesia, muncul tokoh-tokoh masyarakat yang melakukan peninjauan ulang
terhadap makna Al-Quran yang berkaitan dengan masalah gender, seperti
Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad.
Skripsi ini, akan membandingkan penafsiran kedua tokoh, mulai dari
metode, inti panafsiran, relevasi dengan kondisi Indonesia sekarang, sehingga
dari situ akan ditemukan persamaan dan perbedaan mereka dalam menafsirkan
ayat kepemimpinan dalam keluarga. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
metode deskriptif-komparatif, yaitu menggambarkan secara utuh pemikiran
kedua tokoh, kemudian membandingkan pemikiran keduanya. Penelitian ini
termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library reserch). Adapun sumbernya
diambil dari karya Yunahar Ilyas, yaitu Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-
Quran Klasik dan Kontemporer serta Kesetaraan Gender dalam Al-Quran;
Studi Penafsiran Para Mufasir dan buku karya Husein Muhammad Fiqih
Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender serta Islam Agama
Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren serta karya-karya beliau di
berbagai media.
Tafsiran Yunahar dan Husein dapat dikatakan dalam bentuk tafsir bi al
rayi, menggunakan metode maudui, sedangkan dari segi corak berbeda.
Penafsiran Yunahar bercorak budaya kemasyarakatan sedangkan Husien bercorak
fiqih atau hukum. Mereka menafsirkan ayat tentang kepemimpinan dalam
keluarga disandarkan pada surat an-Nisa 34. Awalnya mereka mempunyai
pandangan yang sama, yaitu laki-laki dan perempun yang kemampuan
intelektualnya lebih, dapat memimpin keluarga, dan menjadikan prinsip
musyawarah sebagai poin penting dalam hubungan keluarga. Akan tetapi ada
perbedaan pada penekanan selanjutnya, bahwa Yunahar melihat harus ada salah
satu yang menjadi pemimpin agar tidak terjadi kebuntuan dalam keluarga, karena
ia berpandangan kepemimpinan keluarga bersifat normatif bukan kontekstual.
Sementara itu, Husein melihat kepemimpinan dapat dipegang suami atau istri,
karena keduanya mempunyai hak yang sama dalam memimpin keluarga.

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN J UDUL.................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJ UAN................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... iii
HALAMAN MOTTO................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................ v
PERNYATAAN KEASLIAN................................................................... vi
KATA PENGANTAR............................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLASI......................................................................... x
ABSTRAK................................................................................................. xiv
DAFTAR ISI.............................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka............................................................................ 9
E. Kerangka Teori .............................................................................. 13
F. Metode Penelitian.......................................................................... 17
1. J enis Penelitian...................................................................... 17
2. Sumber Data.......................................................................... 17
3. Teknik Pengumpulan Data.................................................... 18
xiv
4. Teknik Analisa Data.............................................................. 19
G. Sistematika Pembahasan............................................................... 20

BAB II BIOGRAFI & POKOK-POKOK PEMIKIRAN TENTANG GENDER
YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN MUHAMMAD
A. Biografi Yunahar Ilyas................................................................... 22
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Yunahar Ilyas....................... 22
2. Aktivitas dan Perjuangan Yunahar Ilyas................................. 26
3. Karya Yunahar Ilyas................................................................ 30
4. Pokok-pokok Pemikiran Yunahar Ilyas tentang Gender ........ 32
B. Biografi Husein Muhammad......................................................... 34
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Husein Muhammad.............. 34
2. Aktivitas dan Perjuangan Husein Muhammad........................ 35
3. Karya Husein Muhammad....................................................... 39
4. Pokok-pokok Pemikiran Husien Muhammad tentang Gender 42

BAB III METODE & PENAFSIRAN YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN
MUHAMMAD TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA
A. Metode Penafsiran Yunahar Ilyas.................................................. 50
B. Penafsiran Yunahar Ilyas tentang Kepemimpinan Keluarga........ 54
C. Metode Penafsiran Husein Muhammad......................................... 63
D. Penafsiran Husein Muhammad tentang Kepemimpinan Keluarga 67

xv
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN
MUHAMMAD TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA
A. Komparasi Penafsiran Kepemimpinan Keluarga Yunahar Ilyas
dan Husein Muhammad................................................................. 76
1. Perbandingan Metode Penafsiran............................................ 76
2. Perbandingan Penafsiran tentang Kepemimpinan Keluarga... 80
B. Relevansi Penafsiran Kepemimpinan Keluarga Yunahar Ilyas
dan Husein Muhammad dengan Kondisi Indonesia Sekarang...... 89

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 101
B. Saran.............................................................................................. 103

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 104
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.................................................................. 108
LAMPIRAN............................................................................................... 109
xvi
1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kepemimpinan dalam keluarga masih menjadi kajian menarik bagi
masyarakat Indonesia, khususnya bagi gerakan feminisme.
1
Banyaknya kajian ini
didorong oleh keprihatinan terhadap kenyataan yang ada di masyarakat yang
beranggapan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan dalam segala hal.
Pada umumnya, perempuan memainkan peran sosial-ekonomi dan politik
dengan porsi yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan peran laki-laki.
Dalam hal ini dikarenakan posisi perempuan kurang memiliki daya saing
terhadap lingkungan yang dihadapi. Salah satunya disebabkan oleh faktor
pendidikan dari pihak perempuan yang lemah. Lemahnya pendidikan perempuan
ini dapat dilihat dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang
menyebutkan bahwa, SD/SLTP L:P (Seimbang laki-perempuan), SLTA L>P
(Perempuan DO meningkat), AK/PT LP (Perempuan DO tinggi), Buta Huruf L
5,85%, P 12,7% (1 Laki : 2/3 Perempuan).
2
Bagi sebagian masyarakat, peranan laki-laki dan perempuan yang berbeda
seperti di atas dianggap sebagai suatu hal yang alamiah atau kodrati. Anggapan

l l
1
Feminisme dapat diartikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan
terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar
oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Lebih lanjut lihat Kamla
Bhasin dan Nighat Khan, Persoaan Pokok Mengenai Feminisme dan Reevansinya, terj. S.
Herlina (J akarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 5.
2
Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
dalam www.menegpp.go.id, diakses tanggal 4 J anuari 2009.
1
2
itu dalam kajian feminisme ditolak dengan keras. Bagi feminisme, konsep seks
dibedakan dengan gender.
3
Menurut mereka, perbedaan biologis dan fisiologis
adalah perbedaan seks, sedangkan yang dimaksudkan perbedaan fungsi, peran,
hak, dan kewajiban adalah gender. Singkatnya, gender adalah interpretasi budaya
terhadap perbedaan jenis kelamin, sedangkan seks adalah sesuatu yang ada pada
laki-laki dan perempuan yang sudah ditetapkan oleh Allah swt sehingga manusia
tidak dapat mengubah dan menolaknya.
4

Budaya itu sendiri merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa.
5
Dari
pengertian ini maka setiap komunitas masyarakat memiliki budaya yang
berbeda-beda. Misalnya, kebudayaan yang muncul, tradisi manusia mempercayai
kekuatan selain Allah swt, mereka bergantung pada kekuatan yang dianggap
lebih, baik secara fisik maupun non-fisik. Bentuk penyembahan terhadap hewan
buas dan matahari menjadi bukti bahwa seseorang berlindung kepada sesuatu
yang memiliki kekuatan lebih tinggi. Maka munculah anggapan bahwa seseorang
yang memiliki kekuatan lebih akan memimpin orang lain yang lemah. Seperti


t
l
r l
l
3
Gender beasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin, John M. Echols dan
Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (J akarta: Gramedia, 1983), hlm. 265. Dalam Webster s
New World, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan dalam Womens Studies Encyclopedia
dijelaskan gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat. Helen Tierney (ed), Womens S udies Encyclopedia, vol. I, (New
York: Green Wood Press), hlm. 153. Pengertian lain gender sebagaimana dirumuskan Mansur
Fakih, Gender merupakan hasil konstruksi budaya yang menganggap laki-laki lebih kuat, rasional,
jantan, perkasa, sementara perempuan lebih dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan
keibuan. Mansor Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 8-9.
4
Waryono Abdul Ghofur, Tafsi Sosial Mendiaogkan Teks dengan Konteks
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hlm 103
5
Soerjono Soekanto, Sosioogi Suatu Pengantar (J akarta: CV Rajawali, 1994), hlm. 300.
3
sekarang ini, karena laki-laki dianggap lebih kuat dari perempuan maka laki-
lakilah yang menjadi pemimpin.
Al-Quran sendiri, sebagai pedoman hidup umat Islam, tidak
membedakan manusia. Tingkat iman dan takwa yang membedakan mereka di
hadapan Tuhan. Akan tetapi, ada beberapa ayat yang dijadikan sebagai
legitimasi pembedaan itu. Misalnya, masalah penciptaan perempuan,
6
konsep
kesaksian dan kewarisan perempuan,
7
termasuk juga kepemimpinan dalam
keluarga.
8
Ayat-ayat tersebut sering sekali oleh mufasir hanya ditafsirkan secara
tekstual sehingga memposisikan perempuan pada posisi kedua setelah laki-laki.
Dari realitas tersebut munculah tafsir feminis
9
yang mengupayakan untuk
menjadikan analisis gender sebagai kerangka kerja penafsiran mereka. Kajian
mereka yang berhubungan dengan kesetaraan gender dalam Al-Quran:


Terjemah: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi maha mengenal (Al-Hujuraat: 13).

i l
6
Q.S. An-Nisa 4:1
7
Q.S. Al-Baqarah 2:282 dan An-Nisa; 4:11
8
Q.S. An-Nisa 4:34
9
Tafsir feminis adalah hasil pemikiran para feminis dalam menafsirkan ulang ayat-ayat
Al Qur'an sebagai cara untuk mengungkapkan kepada dunia tentang hak-hak wanita yang selama
ini hanya didominasi oleh kaum laki-laki. Ayat-ayat Al-Quran dari periode awal sampai periode
pertengahan kebanyakan ditafsirkan oleh mufasir-mufasir laki-laki yang menggunakan perspektif
mereka dalam memahami Al-Quran sehingga kaum wanita terpinggirkan dan tidak dibela
haknya sepenuhnya; Lihat Abdul Mustaqim, Amina Wadud: Menuju Keadilan Gender dalam
Khudori Salaeh (ed.), Pemkiran Isam Kontemporer (Yogyakarta: J endela, 2003), hlm. 65
4
Sebagai salah satu konsekuensi tuntutan golongan feminisme terhadap
kesetaraan laki-laki dan perempuan adalah tuntutan kesamaan dalam memimpin
rumah tangga. Beberapa penafsir feminis misalnya Asgar Ali Engineer, Riffa>t
H{asan, Fa>t}imah Marni>si>, dan Amina Wadu>d Muh}sin menggugat paham
keunggulan kaum lelaki atas perempuan atau keunggulan suami atas isteri dalam
rumah tangga yang selama ini sudah mapan di kalangan komunitas Muslim.
Mereka menggugat paham tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan
ide utama feminisme yakni adanya kesetaraan (al-musa>wa>h) antara laki-laki dan
perempuan.
10
Misalnya Asgar Ali Engineer, menyatakan bahwa konsep
kepemimpinan suami terhadap istri tersebut berasal dari penafsiran yang
normatif terhadap firman Allah swt:




Terjemah: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar (an-Nisa: 34).


10
Wahib Wahab, Kepemimpinan Keluarga Dalam Perspektif Feminisme (Jurnal IAIN
Sunan Ampel, dikutip tanggal 17 J anuari 2009).
5
Secara normatif Al-Quran memihak kepada kesetaraan status antara
laki-laki dan perempuan, tetapi secara kontekstual dinyatakan adanya kelebihan
dalam hal tertentu antara laki-laki atas perempuan. Para mufasir klasik hanya
memahami ini secara normatif, misalnya para fuqaha> memberikan status yang
lebih unggul bagi laki-laki, yakni suami sebagai qawwa>mu>n. Asgar Ali Engineer
mengkritik metode para mufassir yang hanya memahami ayat dengan nilai
teologis dan mengesampingkan nilai sosiologis.
11
Interpretasi Al-Quran bagi umat Islam merupakan tugas yang tidak
boleh berhenti, sebagai bentuk upaya memahami pesan Ilahi. Hal ini karena
sebagai kitab suci dan petunjuk umat Islam, Al-Quran memiliki berbagai
dimensi untuk dapat dijadikan sebagai pegangan hidup dan penuntun arah gerak
setiap Muslim dalam menjalani kehidupannya. Kehidupan ini penuh dengan
keanekaragaman sehingga manusia mempunyai tugas untuk berpikir (tafakkur)
logis dan selalu mengingat (taz\akkur) akan kebesaran Allah swt.
12
Bermacamnya metode dan pendekatan terhadap ayat-ayat Al-Quran,
memunculkan pemahaman yang berbeda dalam memahami agama. Ditambah lagi
dengan latar belakang sejarah dan sosial budaya yang berbeda. Perempuan
Indonesia berbeda dengan di Barat maupun negara Islam, secara tidak langsung
itu akan mempengaruhi dalam menginterpretasikan Al-Quran.
13


r l Il
: r
11
Asgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm.57
12
Yusuf Qardhawi, Al-Quran Berbicaa tentang Aka dan mu Pengetahuan. (J akarta:
Gema Insani Press, 1998), hlm. ii
13
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teo i Baru Mengenai Interpretasi terj. Masnur &
Darmanhuri M (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 7-8
6
Dari permasalahan itu penulis menilai perlu adanya penelitian tentang
konsep gender yang ditawarkan dari tokoh Indonesia yang sesuai dengan kultur
dan kepribadian bangsa Indonesia. Pada penelitian ini, penulis akan
mengkomparasikan penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad dalam
memahami ayat-ayat Al-Quran, khususnya yang berkaitan dengan
kepemimpinan dalam keluarga.
Yunahar Ilyas adalah salah satu ilmuan Muslim di Indonesia yang
mempunyai peran strategis. Selain sebagai Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, ia juga menjabat sebagai Ketua MUI Pusat. Sewaktu ia
menggawangi Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) PP Muhammadiyah
ia menggagas jamaah pengajian tafsir mahasiswa yang diadakan di Aula PP
Muhammadiyah J alan Cik Ditiro. Pengajian ini dilaksanakan sekali dalam
seminggu, dimulai dari surah awal hingga berlanjut seterusnya. Belum lama ini
gelar Profesor dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pun telah didapatkan
karena pengabdian keilmuannya dalam bidang Ulu>m al-Qura>n. Di tengah
kesibukannya itu Yunahar tetap menyempatkan diri mengasuh santri mahasiswa
di Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta.
Yunahar aktif menulis di majalah Suara Muhammadiyah dan Suara
Aisyiyah. Ia termasuk orang yang konsen terdapat permasalahan gender. Dalam
hal ini dapat dilihat dari beberapa karyanya yang diterbitkan. Tesis dan
disertasinya pun juga meneliti permasalahan gender.
Di satu sisi, terdapat salah satu tokoh Indonesia yang juga konsen pada
permasalahan gender, yakni Husein Muhammad. Ia adalah salah satu deretan
7
ulama di Indonesia yang melontarkan gagasan-gagasan pembacaan ulang
terhadap fiqih klasik terutama yang berkaitan dengan persoalan perempuan.
Husein Muhammad menjadi pengasuh PP Darut Tauhid, Arjawinangun Cirebon
J awa Barat yang memiliki tradisi kitab kuning cukup kuat. Setidaknya ia mampu
membaca secara teliti dan kritis serta memetakan beragam referensi klasik yang
berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai relasi laki-laki dan perempuan yang
dianggapnya timpang.
14
Husein aktif di berbagai kegiatan organisasi sosial, pondok pesantren,
masjid, partai politik, dan ormas NU. Ia juga berperan aktif dalam pendirian
yayasan pendidikan dan NGO antara lain: Rahima, Amal Hayati, Fahmina
Institut.
Pandangan kedua tokoh tersebut tentang kepemimpinan dalam keluarga
sangat urgen untuk diteliti yang bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap
perkembangan khazanah pemikiran Islam. Penelitian yang melihat aspek sosial
ini diharapkan dapat memunculkan keadilan dan kesetaraan yang pada akhirnya
dapat membangun peradaban, khususnya masyarakat Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah, penelitian ini akan terfokus pada.
1. Bagaimanakah metode dan inti penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga?

i

14
Sahul Mahfud, Kata Pengantar dalam Husein Muhammad, F qih Perempuan;
Refleksi Kiai atas WacanaAgama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. xi
8
2. Apakah persamaan dan perbedaan Penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga?
3. Bagaimanakah relevansi penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad dengan kondisi Indonesia sekarang?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini memiliki beberapa
tujuan, antara lain:
1. Untuk mengetahui metode dan inti penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penafsiran Yunahar Ilyas
dan Husein Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga.
3. Untuk mengetahui relevansi penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad dengan kondisi Indonesia sekarang.
Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Bersifat Ilmiah
a. Penelitian ini merupakan langkah awal secara teoritis dalam
mengkaji Al-Quran secara tematik, sebagai upaya untuk
mengembangkan kajian terhadap Al-Quran.
b. Memberikan pemahaman tentang tafsir berperspektif feminis agar
tidak terjadi pemaksaan kehendak atau penindasan atas nama
agama sehingga keadilan dan kesetaraan bagi perempuan benar-
benar terwujud.
9
c. Memberikan sumbangsih pemikiran bagi bangsa Indonesia dalam
menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan feminisme
Indonesia dengan memberikan sudut pandang baru dalam
memahami kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan
keluarga dan sosial kemasyarakatan dengan sosio-kultur
Indonesia.
2. Bersifat Akademik
a. Sebagai syarat untuk meraih gelar kesarjanaan di bidang Tafsir
dan Hadis pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

D. Tinjauan Pustaka
Kajian yang membahas tema perempuan sudah banyak dilakukan. Di
Indonesia, buku-buku yang berkaitan dengan persoalan perempuan sudah tidak
asing lagi bagi kalangan akademis. Penelitian tentang kepemimpinan dalam
keluarga juga cukup banyak. Akan tetapi, tulisan mengkaji secara khusus dan
membandingkan pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad belum
ditemukan. Beberapa tulisan yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan
dalam keluarga antara lain sebagai berikut.
MF Zenrif menulis dalam tulisannya yang berjudul Kepemimpinan
Keluarga dalam Kajian Kontekstual, menafsirkan surat al-Nisa>: 34 secara
kontekstual. Dijelaskannya bahwa laki-laki menjadi pemimpin karena dua alasan;
pertama, mempunyai kelebihan; kedua, mereka telah menafkahkan sebagian harta
10
mereka. Islam tidak memandang kelebihan dari yang provan, melainkan diukur
dari spiritualisme. Artinya, apabila ada perempuan yang mempunyai keutamaan
dalam stratafikasi sosial maka dia berhak memimpin keluarga juga. Masalah
keistimewaan memberikan nafkah adalah tanggung jawab terhadap
perekonomian keluarga, apabila perempuan mendapatkan kesempatan bekerja
maka dia berkewajiban memberikan nafkah pada keluarga sehingga perempuan
berhak memimpin keluarga.
15

Bani Syarif Maula menulis, Kepemimpinan dalam Keluarga Perspektif
Fiqh dan Analisis Gender, dan menjelaskan bahwa kepemimpinan rumah tangga
dalam pandangan Al-Quran dan ananlisis gender, sama-sama menghendaki
keadilan, namun dengan sudut pandang yang berbeda. Al-Quran sebagaimana
dipahami para ahli fiqh, memandang bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan
memunculkan perbedaan peran suami dengan jenis kelaminnya, tetapi keduanya
adalah setara dan tidak saling mendominasi. Sementara itu, analisis gender
menilai bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan seharusnya tidak
memunculkan perbedaan peran karena perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin
cenderung akan menimbulkan ketidakadilan. Namun, apabila perbedaan peran itu
tidak menimbulkan ketidakadilan, maka tidak menjadi persoalan.
16

Secara umum, penulisan masalah perempuan lebih banyak ditemukan.
Misalnya Asgar Ali Engineer dalam bukunya, Hak-hak Perempuan dalam Islam

l
t I l
15
MF Zenrif, Kepemimpinan Keluarga dalam Kajian Konstekstual dalam Musawa,
J urna Studi Gender dan Islam (Yogyakarta: Pusat Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, Vol 3, no 1,
2004) hlm. 45-60
16
Bani Syarif Maula, Kepemimpinan Kepemimpinan dalam Keluarga Perspektif Fiqh
dan Analisis Gender dalam Musawa, Jurnal S udi Gender dan sam (Yogyakarta: Pusat Studi
Islam UIN Sunan Kalijaga, Vol 3, no 1, 2004) hlm. 27-42
11
melakukan kajian kritis terhadap penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan hak-hak perempuan dalam perkawinan, perceraian, pemilikan harta,
pewarisan, pemeliharaan anak, kesaksian, ganjaran dan hukuman, dan
kepemimpinan. Asgar berusaha mengembalikan hak-hak perempuan menurut
semangat Al-Quran yang telah terjadi penyimpangan. Ia mengatakan bahwa
surat an-Nisa ayat 34, tampaknya mempermalukan wanita secara kasar, dan saat
ayat ini turun wanita dibatasi hanya boleh berada di dalam rumah dan laki-
lakilah yang menghidupinya. Al-quran saat memperhitungkan kondisi ini dan
menempatkan laki-laki pada kedudukan yang lebih superior terhadap wanita.
Akan tetapi yang harus dicatat bahwa Al-Quran tidak menganggap atau
menyatakan bahwa suatu struktur sosial bersifat normatif. Struktur sosial dapat
berubah, jika perempuan bisa menghidupi keluarganya maka perempuan dapat
sejajar dengan laki-laki.
17
Penelitian tesis tentang isu-isu perempuan yang penulis temukan adalah
Inayah Rohmaniyah dengan judul Otonomi Perempuan dalam Islam; Studi
Metodologi Asghar Ali Engineer, dalam tulisannya Inayah mencoba
mendeskripsikan konsepsi Asgar tentang keberadaan perempuan yang mencakup
eksistensinya sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, serta bagaimana
sebenarnya Al-Quran memberikan penghargaan yang tinggi kepada
perempuan.
18

l l
17
Asgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan daam Isam terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assedar, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994)
18
Inayah Rohmaniyah, Otonomi Perempuan dalam Islam; Studi Metodologi Asghar Ali
Angineer, (Yogyakarta: Tesis PS UGM, 2001)
12
Skripsi yang mencoba menulis masalah perempuan adalah salah satunya
Hanifah dengan judul Paradigma Tafsir Feminis: Studi Komparasi Pemikiran
Amina Wadud dan Asgar Ali Engineer, dia berpandangan bahwa Amina Wadud
menginterpretasi ayat-ayat gender yang berorentasi pada realitas historis-
patrialkis, dengan menggunakan nalar baya>ni>dan juga menggunakan
hermeunetik feminis. Sementara itu, Asgar Ali Engineer dilihatnya lebih
berorentasi pada realitas historis-ideologis, dengan menggunakan pendekatan
sosiologis dan selain menggunakan hermeneutika pembebasan menuju teologi
pembebasan.
19

Tulisan tentang Yunahar Ilyas mengenai profilnya pernah dimuat dalam
majalah Kuntum, edisi januari 2009. Dalam tulisan ini, dijelaskan sejarah
perjuangan Yunahar Ilyas, mulai dari masa pendidikan dasarnya hingga ia
diangkat menjadi guru besar Ulu>m al-Qura>n dari Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Dalam aktivitas organisasi Yunahar pernah diamanahi sebagai
Ketua Umum DPC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kota Padang, dan
sampai sekarang ia masih aktivif di oraganisasi Muhammadiyah.
20
Di sisi lain karya yang pernah menulis tantang Husein Muhammad adalah
Yuldi Hendri. Skripsinya berjudul Wali Nikah Menurut Husein Muhammad
(Analisis Kritis Penafsiran Husen Muhammad dalam Konsep Wali Nikah),
mengulas metode dan penafsiran Husein Muhammad tentang Wali Nikah. Dalam

19
Hanifah Paradigma Tafsir Feminis; Studi Komparasi Pemikiran Amina Wadud dan
Asgar Ali Engineer, (Yogyakarta: Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Suka, 2006)
20
Kuntum, edisi J anuri 2009 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar
Muhammadiyah, 2009), hlm. 20-21
13
skripsi ini dijelaskan bahwa secara metodologi, penafsiran Husein Muhammad
dapat dimasukkan dalam kategori tafsir bentuk bi al-rayi dengan metode
maud{u>i>. Dalam pandangan Yuldi, sekarang ini pandangan bangunan fikih
munakahat masih didasarkan pada perspektif patrialki sehingga perlu ditempuh
analisis gender terhadap penafsiran yang lebih peka terhadap perkembangan
zaman serta ramah terhadap perempuan.
21

Selain beberapa referensi di atas, masih banyak buku-buku dan tulisan
karya ilmiah yang secara umum membahas masalah perempuan. Akan tetapi,
dalam pengamatan yang terjangkau oleh penulis, belum ada penelitian yang
membahas secara khusus tentang kepemimpinan dalam keluarga dari sudut
pandang pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad. Hal inilah yang
membuat pengkajian pemikiran kedua tokoh tersebut perlu dilakukan secara
mendalam.

E. Kerangka Teori
Secara sosiologi kepemimpinan dapat dibagi menjadi dua macam, yakni
kepemimpinan formal (resmi) dan kepemimpinan informal (tidak resmi).
Kepemimpinan resmi adalah kepemimpinan yang tersimpul dalam suatu jabatan
yang bersifat struktural, yaitu kepemimpinan didasarkan pada struktur organisasi
secara resmi dalam suatu kelompok atau masyarakat, sedangkan kepemimpinan
informal adalah kepemimpinan karena adanya pengakuan masyarakat akan

21
Yuldi Hendri, Wali Nikah menurut Husen Muhammad (Analisis Kritis Penafsiran
Husen Muhammad dalam Konsep Wali Nikah), (Yogyakarta: Skripsi Fak. Ushuluddin UIN
Suka, 2009)
14
adanya kemampuan (capability) seseorang untuk menjalankan kepemimpinan
yang bersifat fungsional, di mana kepemimpinan dilihat dari segi fungsi-fungsi
sosial dalam suatu interaksi sosial.
22
Dalam diskursus teori kepemimpinan, terdapat tiga teori yang menonjol
mengenai timbulnya seorang pemimpin, antara lain sebagai berikut.
1. Teori Genetis
Dalam teori ini pendapat yang muncul adalah bahwa seorang pemimpin
akan menjadi pemimpin karena ia merupakan keturunan pemimpin yang
telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan seperti apa
pun ditempatkan suatu saat ia akan muncul menjadi pemimpin karena ia
telah ditakdirkan atau sering disebut dengan istilah leaders are born and
nor made (pemimpin adalah dilahirkan bukan dibuat).
2. Teori Sosial
Teori ini lebih mengetengahkan bahwa setiap orang dapat menjadi
pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup
(leaders are made and nor born). Pada hakikatnya setiap orang dapat
menjadi pemimpin meskipun bukan keturunan dari seorang pemimpin.
3. Teori Ekologis
Teori ini mengedepankan bahwa seorang akan berhasil menjadi pemimpin
yang baik apabila ia sejak lahirnya telah memiliki bakat kepemimpinan
dan bakat-bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan

l
22
Soerjono Soekanto, Sosioogi SuatuPengantar (J akarta: CV Rajawali, 1994), hlm. 319
15
yang teratur dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk
mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimilikinya.
Dalam perkembangannya ada pendapat lain yang menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang pemimpin itu tidak hanya
bakat dan lingkungan, tetapi ada faktor lain yaitu kegiatan pribadi (kemauan dan
usaha sendiri). Hal inilah yang mendorong munculnya teori keempat, yaitu tiga
dimensi atau teori kontigensi. Artinya, ada tiga faktor yang mempengaruhi dalam
proses perkembangan menjadi seorang pemimpin atau tidak, yakni; pertama,
bakat kepemimpinan yang dimiliki; kedua, pendidikan, pengalaman dan latihan
kepemimpinan yang dimilikinya; ketiga, kegiatan sendiri untuk mengembangkan
bakat kepemimpinan tersebut. Disebut teori kontigensi karena dapat tidaknya
seorang menjadi pemimpin merupakan serba memungkinkan, bukan suatu yang
pasti. Sesorang bisa atau mungkin menjadi pemimpin jika bakat, lingkungan,
kesempatan, dan kepribadiannya sendiri memungkinkan (motivasi dan minat).
J ika dikaitkan dengan teori tiga dimensi atau teori kontigensi di atas,
seseorang menjadi pemimpin merupakan proses gabungan dari tiga faktor yang
terlibat yakni; bakat kepemimpinan yang dimiliki, pendidikan dan pengalaman,
serta kesempatan mengembangkan diri. Maka faktor kedua dan terakhir inilah
yang mengakibatkan peluang dan kesempatan perempuan terbatas dan terlambat
untuk mengembangkan diri tumbuh menjadi pemimpin.
Dari diskursus kepemimpinan di atas, baik teori genetis, sosial, dan
ekologis tidak satu pun yang mempersoalkan jenis kelamin atau seks tertentu
sebagai pemilik dominan untuk menjadi seorang pemimpin, terlebih lagi bahwa
16
kepemimpinan adalah suatu yang harus dilatih dan diupayakan, bukan suatu yang
melekat sejak lahir. Hal ini berarti bahwa laki-laki maupun perempuan
sesungguhnya sama-sama mempunyai hak kepemimpinan dalam keluarga,
tergantung siapa yang berhasil memperolehnya.
Dari penjelasan di atas dapat diambil penegertian bahwa kepemimpinan
merupakan sebuah proses mempengaruhi aktivitas dari individu atau kelompok
untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
23
Sementara itu, keluarga adalah
sebuah institusi yang merupakan wahana untuk mewujudkan kehidupan yang
tenteram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang
antara suami dan istri. Dengan demikian, demi mewujudkan tujuan tersebut
sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap saling berbagi tanggung jawab.
Dalam pandangan sosiologis, keluarga meliputi semua pihak yang
mempunyai hubungan darah atau keturunan, secara khusus keluarga meliputi
orang tua (bapak & ibu) dan anak-anak yang tinggal dalam kesatuan sosial
ekonomi. Keluarga yang terdiri dari ketiga unsur tersebut mempunyai fungsi,
sebagai tempat pertama bagi proses sosialisasi dan enkulturasi anak-anak yang
dilahirkan dari ikatan pasangan suami dan istri. Ikatan suami dan istri dalam
keluarga merupakan kesetiaan cinta kasih. Dari pengertian itu keluarga
mempunyai peran sosial yang diikat oleh relasi seks, cinta, kesetiaan, dalam
bentuk pernikahan. Dalam hal ini, laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai

r l t l
23
Kholid Zulfa, Belenggu Kepemimpinan Perempuan dalam Ranah Politik dalam
Musawa, Ju na S udi Gender dan Isam (Yogyakarta, Pusat Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, Vol
3, no 1, 2004) hlm. 68
17
istri dengan konsepsi istri adalah patner hidup bagi suami, dan sebaliknya. Begitu
juga dalam kepemimpinan keluarga.
24
Secara jelas kalau kita gabungkan dari pengertian kepemimpinan dalam
keluarga adalah termasuk dalam katerori kepemimpinan non formal. Artinya
seseorang dapat menjadi pemimpin atau dapat menduduki posisi yang ia inginkan
dengan catatan ia bisa memenuhi syarat dari posisi tersebut, karena dalam
keluarga tidak ada diskriminatif terhadap jenis kelamin. Adanya kerja sama yang
baik antara suami dan istri dengan masing-masing melaksanakan tugas dan
kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang disepakai kedua belah pihak.

F. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif-
komparatif. Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian, sumber data, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data sebagai berikut.
1. J enis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu
penelitian yang terfokus dengan mengumpulkan data dan meneliti buku-
buku kepustakaan dan karya-karya dalam bentuk lain.
2. Sumber data
Data dari penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu, data primer dan data
sekunder. Data primer penelitian ini adalah penafsiran terhadap teks-teks

i l i
24
Kartini Kartono, Psikolog Wanita Mengena Wanita sebaga Ibu dan Nenek,
(Bandung: al-Bayan, 1995), hlm. 215
18
yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam keluarga menurut Yunahar
Ilyas dan Husein Muhammad, yakni karya Yunahar Ilyas Kesetaraan
Gender dalam Al-Quran; Studi Penafsiran Para Mufasir dan Husein
Muhammad Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, serta karya-karya mereka di media. Selain itu, penulis melakukan
wawancara, baik secara langsung maupun via internet sebagai data
pelengkap. Data sekundernya, akan diambil dari tulisan berupa buku,
jurnal, maupun artikel yang berkaitan dengan pandangan Yunahar Ilyas
dan Husein Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga.
Misalnya, karya Yunahar dalam majalah Suara Muhammadiyah dengan
judul Kepemimpinan dalam Keluarga, dan tulisan Husein Muhammad
dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Metode Dokumentasi
Merupakan pengumpulan data dengan menghimpun dan
menganalisis dokumen berupa buku-buku, artikel, makalah yang
ditulis oleh Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad. Penulis
menekankan terhadap buku karya Yunahar Ilyas Feminisme dalam
Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer serta Kesetaraan
Gender dalam Al-Quran; Studi Penafsiran Para Mufasir dan buku
karya Husein Muhammad Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas
Wacana Agama dan Gender serta Islam Agama Ramah
19
Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren serta karya-karya beliau di
berbagai media.
Untuk pengumpulan ayat yang akan diteliti, baik pandangan
Yunahar dan Husein tentang kepemimpinan dalam keluarga,
diambil dari sumber primer tersebut, yaitu surat an-Nisa ayat 34.
b. Metode Wawancara
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai
Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad, baik secara langsung
maupun melalui media komunikasi. Metode ini hanya akan
dijadikan sebagai pencari pelengkap data.
4. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan beberapa metode
antara lain:
25

a. Deskripsi
Metode deskripsi dimaksudkan untuk menemukan pandangan
kedua tokoh berkaitan dengan penafsiran kepemimpinan dalam
keluarga (an-Nisa; 34). Dalam hal ini, penafsiran kedua tokoh
dipaparkan sebagaimana adanya, dengan maksud untuk
memahami jalan pemikiran mereka tentang penafsiran ayat yang
dikaji secara utuh.


i
25
Anton Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodolog Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990) hlm. 61
20
b. Interpretasi
Dengan metode ini pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam keluarga
akan diselami. Selanjutnya, makna, arti, nilai serta maksud yang
dikehendaki akan digali sehingga ditemukan relevansinya dengan
konteks Indonesia sekarang.
c. Komparasi
Metode komparasi dimaksudkan untuk membandingkan
penafsiran kedua tokoh tentang kepemimpinan dalam keluarga.
Dari perbandingan inilah akan ditemukan adanya persamaan dan
perbedaan penafsiran di antara keduanya.

G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan secara sistematis dan komprehensif merupakan salah satu
syarat terpenting dalam penulisan karya ilmiah agar dengan mudah dapat
dipahami. Karya ilmiah ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut.
BAB I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Selanjutnya, secara singkat dalam BAB II akan dideskripsikan biografi
Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad, yang memuat tentang riwayat hidup,
aktivitas dan perjuangan mereka serta buah karya intelektualnya yang menjadi
21
kontribusi bagi umat Islam, selain itu juga akan dipaparkan pokok-pokok
pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad tentang Gender.
BAB III berisi pembahasan. Dalam bab ini akan dipaparkan metodologi
penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad pada ayat kepemimpinan dalam
keluarga. Dalam pembahasan ini akan diketahui metodologi yang digunakan
dalam penafsiran serta hasil penafsirannya.
BAB IV mengulas analisis penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad yang akan dimulai dengan memaparkan perbandingkan pemikiran
kedua tokoh tersebut sehingga diketahui persamaan dan perbedaan penafsiran
mereka. Dari situ akan ditemukan relevansi penafsiran ayat kepemimpinan
keluarga oleh Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad pada kondisi Indonesia
sekarang.
BAB V adalah bagian penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran,
dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.
22
BAB II
BIOGRAFI & POKOK-POKOK PEMIKIRAN TENTANG GENDER
YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN MUHAMMAD

A. Biografi Yunahar Ilyas
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Yunahar Ilyas
Yunahar Ilyas adalah anak dari pasangan Ilyas Bagindo Marajo
dan Syamsidar. Bapaknya seorang pedagang yang taat beragama dan
tidak pernah absen shalat berjamaah lima waktu di masjid. Bapaknya juga
sangat rajin mengingatkan semua anggota keluarga untuk shalat fardhu di
awal waktu. Sementara itu, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang
secara paruh waktu bertani, mengelola sawah ladang pusako tuo dengan
cara mengupahkan penggarapannya kepada buruh tani di kampung.
Menurut Yunahar, ibunya memiliki sifat kesabaran dan penyayang. Hal
ini tampak dari kesehariannya yang selalu memberi nasihat untuk
melaksanakan ibadah.
1
Motivasi dan inspirasi terbesar dalam hidupnya adalah sosok ibu.
Ibunya selalu berpesan akan dua hal, pertama, jangan pernah
meninggalkan sholat. Kedua, belajar. Ibunya berprinsip bahwa pendidikan
harus terus berjalan, walaupun harus dengan menjual atau menggadaikan
yang ia miliki. Saat itu, yang paling ditakuti ibunya adalah pengaruh

1
Yunahar Ilyas, Al-Quran al-Karim: Sejarah Pengumpulan dan Metodologi
Penafsiran, Makalah pidato pengukuhan guru besar di Universitas Muhammdiyah Yogyakarta,
pada 18 November 2008.
22
23
bapaknya yang seorang pedagang. Ibunya menginginkan anaknya meraih
pendidikan seting-tingginya. Kata Yunahar, itu adalah cita-cita sang
bunda yang tertunda. Ibunya memberikan kesadaran, jika bekerja dengan
otot, itu sangat terbatas, maka cobalah bekerja dengan otak.
2
Yunahar lahir di Bukittinggi pada 22 September 1956. Yunahar
menikah dengan Liswarni Syahrial pada 24 September 1987. Istrinya juga
orang Bukittinggi, seorang putri dari seorang pedagang. Dari pernikahan
ini mereka dikaruniai empat orang anak, yaitu Syamila Azhariya Nahar
(w. 2004, umur 16 th), Faiza Husnayeni Nahar, Muhammad Hasnan
Nahar, dan yang terakhir Ihda Rufaida Nahar.
Yunahar mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri
Taluk I Bukittinggi dan lulus tahun 1968. Selanjutnya, ia melanjutkan
Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4 tahun di Bukittinggi, lulus
tahun 1972, kemudian Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 6 tahun
di Padang, lulus tahun 1974. Untuk menuju ke sekolah, setiap harinya ia
harus menempuh jarak sejauh 4 kilometer dan melewati keramaian pasar.
Ia sering menyempatkan diri untuk mampir di pasar untuk mendengarkan
penjual obat.
Orang penjual obat pintar-pintar, saya biasanya jika hari Rabu
atau Sabtu mampir ke sana untuk melihat. Secara tidak langsung,
itu memberi saya pelajaran cara berpidato, tegas Yunahar.
3



2
Kumtum, edisi J anuri 2009 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar
Muhammadiyah, 2009), hlm. 20
3
Kumtum, edisi J anuri 2009, hlm. 21
24
Tahun 1978 Yunahar mendapatkan gelar sarjana muda (BA) dari
J urusan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Imam Bonjol Padang.
Semenjak tahun 1979 Yunahar melanjutkan studinya di Timur
Tengah, tepatnya ke Saudi Arabia pada Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Imam Muhammad Ibnu Suud Riyadh. Tahun 1983 Yunahar
mampu menyelesaikan studinya dengan baik dan mendapatkan gelar Lc.
Sepulang dari Saudi Arabia, pada tahun 1984 Yunahar menyelesaikan
pendidikan sarjana lengkap (Drs) dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang.
4
Yunahar melanjutkan studinya di Pasca Sarjana IAIN (sekarang
UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1996 gelar Magister
Agama (M.Ag) ia dapatkan pada program studi Aqidah dan Filsafat
dengan judul tesis Isu-isu Feminisme dalam Tinjauan Tafsir Al-Quran,
Studi Kritis terhadap Pemikiran Para Mufassir dan Feminis Muslim
tentang Perempuan ia dapatkan. Tahun 2004 Yunahar menyelesaikan
Program Doktor Tafsir Al-Quran dengan judul disertasi Konstruksi
Gender dalam Pemikiran Mufasir Indonesia Modern (Hamka dan M.
Hasbi ash-Shiddiqy) di kampus yang sama.
Yunahar mengajar di strata satu Fakultas Agama Islam (FAI)
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan juga mengajar program

i
4
Yunahar Ilyas, Tipolog Manusia Menurut Al-Quran, (Yogyakarta: Labda Press. 2007)
hal 133-134.
25
Pascasarjana Magister Studi Islam (MSI) di kampus yang sama sejak
tahun 1987. Selain itu, Yunahar juga mengajar di Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Yunahar menjabat sebagai Dekan Fakultas Agama Islam sejak
tahun 2003-2007 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yunahar
juga pernah menjadi Guru di Madrasah Muallimin Muhammadiyah
Yogyakarta (1984-1990) dan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa
Budi Mulia Yayasan Shalahuddin Yogyakarta (1990-sekarang).
Tahun 2008 Yunahar dikukuhkan sebagai guru besar bidang
Ulu>m al-Qura>n Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pengukuhan
ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No. 29728/A4.5/KP/2008
5
. Dalam pidato pengukuhannya yang
berjudul Al-Quran Al-Karim: Sejarah Pengumpulan, dan Metodologi
Penafsiran, Yunahar mengatakan bahwa kitab suci Al-Quran yang
sampai kepada umat Islam sekarang ini benar-benar otentik dan valid
sebagaimana yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw,
tanpa mengalami penambahan atau pengurangan satu ayat, bahkan satu
huruf pun. Cara membacanya pun tidak berubah walaupun hanya satu
harakat karena Al-Quran ditransfer tidak hanya secara tertulis, tetapi
yang lebih utama lagi secara lisan turun temurun dengan sanad yang
bersambung dan dipercaya sampai kepada Rasulullah saw.

5
Sumber Komisi Infokom MUI, dalam mui-online@mui.or.id & sekretariat@mui.or.id,
diakses tanggal 19 Februari 2009.
26
Yunahar juga menjelaskan tentang sejarah pengumpulan Al-
Quran pada zaman Rasulullah saw. Menurutnya, ketika Al-Quran
diturunkan, Nabi Muhammad saw segera berusaha menghafal karena
untuk beliau pribadi, itulah salah satunya cara memelihara Al-Quran.
Sebagaimana dicatat oleh sejarah, beliau seorang ummi>yang tidak bisa
membaca dan menulis. Namun demikian, Allah swt menganugerahkan
keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan
otomatis membaca, menghafal, dan memahami Al-Quran.
6

2. Aktivitas dan Perjuangan Yunahar Ilyas
Selain aktif dalam di bidang keilmuan akademik, Yunahar juga
aktif di berbagai kegiatan keagamaan dan sosial. Aktivitas organisasinya
dapat dilihat sejak ia masih menjadi mahasiswa. Yunahar pernah
menjabat sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN
Imam Bonjol Padang 1977-1979. Pada periode yang sama Yunahar diberi
amanah sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Cabang Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kota Padang, organisasi otonom
dalam Muhammadiyah. Tahun 1982 Yunahar diberi amanah sebagai
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh Saudi Arabia,
organisasi ini merupakan organisasi perhimpunan pelajar Indonesia di
sana.

6
QS. Al-Qiya> mah 75: 16-19>
27
Yunahar pernah pula aktif dan bergabung dengan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia Yogyakarta dengan jabatan sebagai
Wakil Ketua Divisi Pembinaan Umat tahun 1991-1995. Tahun 1995 ia
diberi amanah sebagai Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus
(MTDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Periode selanjutnya, Yunahar
diamanahi sebagai ketua majelis tersebut.
Semenjak Yunahar menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh dan
Dakwah Khusus (MTDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia aktif
menjadi penceramah pengajian tafsir mahasiswa mingguan sampai
sekarang. Pengajian tafsir ini bertempat di kantor Pimpinan Pusat
Muhammadiyah J alan Cik Ditiro, setiap Kamis pagi, mulai pukul 06.00-
07.00. Pesertanya cukup beragam, baik dari mahasiswa yang aktif di
organisasi otonom Muhammadiyah seperti Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM), maupun mahasiswa umum. Selain itu, juga para
pengurus Muhammadiyah dan ortomnya, seperti Aisyiyah, Nasyiatul
Aisyiyah, dan lainnya.
Sejak tahun 2005, ia diberi amanah sebagai Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, dan pada periode yang sama juga diamanahi sebagai
ketua Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (2005-2010). Di
Muhammadiyah sebagai seorang ketua, Yunahar membidangi MTDK,
sedangkan di MUI, ia membidangi bagian luar negeri. Majelis Ulama
Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama dan
zuama> serta cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak
28
dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita
bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada 7 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan 26 J uli 1975 di J akarta, sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama, cendekiawan, dan zuama> yang datang dari
berbagai penjuru tanah air. Kantor MUI Pusat bertempat di jalan
Proklamasi No.51 Menteng, J akarta Pusat.
7

Yunahar juga aktif memberikan ceramah tingkat nasional dan
internasional. Berbagai aktivitas pengalaman dakwahnya di dalam negeri
di antaranya ialah memberikan ceramah agama Islam di masjid-masjid,
kampus-kampus dan kantor-kantor di Yogyakarta, Solo, Semarang,
Cilacap, J akarta, Bandung, Surabaya, Balik Papan, Bontang, Martapura,
Palangkaraya, Makassar, Palu, Denpasar, Mataram, Padang, Bukittinggi,
Padang Panjang, Batusangkar, Payakumbuh, Sawah Lunto, Pakanbaru,
Batam, Palembang, dan beberapa kota lain.
Pengalaman internasional didapatkannya pada tahun 1988 ketika
mengikuti Pelatihan Imam dan Dai Internasional di Universitas Al-Azhar
Kairo selama dua setengah bulan. Yunahar memberikan ceramah agama
Islam dalam acara LKII VI (Latihan Kajian Islam Intensif) untuk
mahasiswa dan masyarakat Islam Indonesia di 10 negara bagian Amerika
Serikat selama 45 hari, September-Oktober 1999.

7
http://www.mui.or.id/konten/mengenai mui/sekilas tentang kami. diakses tanggal 19
Maret 2009
29
Tahun 2000 Yunahar memberikan pengajian Ramadhan dan
Khutbah Idul Fitri 1420 H untuk masyarakat Islam Indonesia Los
Angeles Amerika Serikat, 1-15 J anuari. Pernah pula ia memberikan
ceramah agama Islam pada Muktamar IMSA (Indonesian Moslem Society
in America), Desember 2007. Terakhir, Yunahar juga pernah memberikan
ceramah agama Islam dalam acara LKII-ICMI North America 2008 untuk
mahasiswa dan masyarakat Islam Indonesia di sembilan negara bagian
Amerika Serikat selama 32 hari, Mei-J uni 2008.
8
Keterlibatan Yunahar dalam kajian gender dimulai saat ia diminta
untuk mengisi pengajian masalah wanita dalam seninar dengan tema
wanita, tahta, dan harta di Wirobrajan, Yogyakarta. Mulai dari situ
Yunahar banyak diundang untuk memberikan ceramah masalah
perempuan. Selain itu, Yunahar banyak membaca buku-buku masalah
gender, misalnya Asgar Ali Engineer, Riffa>t H}asan, Fa>t}imah Marni>si>, dan
Amina Wadu>d Muh}sin. Di samping buku itu, Yunahar juga banyak
membaca buku-buku karya orang Indonesia, misalnya seperti karya Siti
Ruhaini. Karena keterbiasaannya, saat menulis tesis dengan tema masalah
gender, Yunahar dapat menyelesaikannya dalam waktu satu bulan.
9





8
www.muhammadiyah.or.id, dikutip tanggal 19 februari 2009.
9
Hasil wawancara langsung dengan Yunahar Ilyas, tanggal 28 Maret 2009
30
3. Karya Yunahar Ilyas
J ika diklasifikasikan, karya Yunahar akan terlihat menjadi dua
kategori, yakni naskah-naskah yang berbentuk buku dan naskah yang
dipublikasikan dalam makalah dan jurnal. Pada bagian ini penulis
membuat uraian singkat tentang berbagai karyanya, baik dari sumber data
primer (buku-buku Yunahar) maupun tulisan-tulisan orang lain tentang
Yunahar Ilyas.
Sampai sekarang Yunahar sudah menghasilkan sembilan buku
dengan judul antara lain:
a. Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 1992.
b. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan
Kontemporer, Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
c. Kuliah Akhaq, Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, 1999.
l
d. Akhlaq Masyarakat Islam, Yogyakarta: MTDK PP
Muhammadiyah, 2002.
e. Tafsir Tematis Cakrawala Al-Quran, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2003.
f. Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir, J akarta:
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama
Republik Indonesia, 2005.
g. Kisah Para Rasul, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2006.
31
h. Kesetaraan Gender dalam Al-Quran, Studi Pemikiran Para
Mufasir, Yogyakarta: Labda Press, 2006.
i. Tipologi Manusia dalam Al-Quran, Yogyakarta: Labda Press,
2007.
Sedangkan karya-karya Yunahar yang dipublikasikan dalam jurnal
dan majalah antara lain:
a. Tafsir Kontekstual Nabi Ibrahim as (edisi berkelanjutan), Suara
Muhammadiyah, Yogyakarta; SM, 2004.
b. Kepemimpinan Rasulullah saw dalam Konteks Modern, Media
Inovasi J urnal Ilmu dan Kemanusiaan. Yogyakarta: LP3 UMY,
2005.
c. Kepemimpinan dalam Islam, Suara Muhammadiyah Majalah
tengah bulanan, Yogyakarta; SM, 2005.
d. Tafsir Kontekstual Nabi Yusuf as (edisi berkelanjutan), Suara
Muhammadiyah, Yogyakarta; SM, 2005.
Karya Yunahar yang dipublikasikan dalam majalah berupa tafsir
kontekstual lebih sering dipublikasikan di majalah tengah bulanan Suara
Muhammadiyah,
10
dan juga majalah perempuan, Suara Aisyiyah.
11




10
Majalah yang dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) sebagai
media dakwah islamiyah amar makruf nahi mungkar organisasi Muhammadiyah. (Yayasan Badan
Penerbit Pers Suara Muhammadiyah).
11
Majalah yang terbit sejak 1926. Majalah ini merupakan majalah perempuan
Muhammadiyah yang memiliki tema kajian Agama dan Perempuan. (Suara Aisyiyah)
32
4. Pokok-pokok Pemikiran Yunahar Ilyas tentang Gender
Yunahar Ilyas dalam karyanya yang berjudul Kesetaraan Gender
dalam Al-Quran; Studi Pemikiran Para Mufasir menjelaskan tentang
pengertian gender. Gender mempunyai arti yang sama dengan seks yaitu
jenis kelamin, akan tetapi kedua kata itu mempunyai makna yang
berbeda. J enis kelamin adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, oleh sebab
itu bersifat alami, kodrati, dan tidak bisa diubah. Sedangkan gender
adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
sebagai hasil konstruksi sosial dan kultural sepanjang sejarah kehidupan
manusia, yang demikian tidak bersifat kodrati atau alami. Contoh konsep
gender adalah bahwa perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional,
keibuan, sementara laki-laki kuat, rasional, jantan, perkasa, dan lain
sebagainya.
12
Menurut Yunahar konstruksi gender dalam perjalanan sejarah
peradaban umat manusia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yakni
sosial, kultural, ekonomi, politik termasuk penafsiran terhadap teks-teks
agama. Ia berpandangan untuk mengkaji secara kritis berbagai macam
konstruksi gender yang ada dan berkembang di masyarakat dengan
menggunakan paradigma kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Masalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini mendapat
penegasan dalam Al-Quran di surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa semua

r t
12
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gende dalam Al-Quran; S udi Pemikiran Para Mufasir,
(Yogyakarta: Labda Press. 2006), hlm. 13
33
manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan
yang bersifat pemberian mempunyai status sama di sisi Allah. Mulia dan
tidak mulianya manusia di sisi Allah ditentukan oleh ketaqwaannya, yaitu
sebuah prestasi yang dapat diusahakan. Secara khusus kesetaraan laki-laki
dan perempaun itu ditegaskan dalam surat Al-Ahzab ayat 35:




Terjemah: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki
dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan
yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-
laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan
yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S. Al-
Ahzab:35)

Menurut Yunahar logika Al-Quran tidak pernah melihat
kesetaraan dan juga keadilan dari sisi segala sesuatu harus sama. Dari
pandangan itu Yunahar berpendapat bahwa kesetaraan tidaklah harus
sama dengan kesamaan, karena kesetaraan dan keadilan harus dipahami
dan dilaksanakan secara proposional dengan mempertimbangkan faktor-
faktor biologis, fisiologis, psikologis dari kedua belah pihak. Setiap laki-
laki mempunyai perbedaan secara fungsi bilogis dan secara psikologi.
13


l
13
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender daam Al-Quran, hlm. 247
34
B. Biografi Husein Muhammad
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Husein Muhammad
Husein Muhammad adalah anak dari pasangan Muhammad
Asyrofuddin dan Ummu Salama Syathori. Husein lahir di Cirebon pada 9
Mei 1953. Isteri Husein bernama Nihayad Fuad Amin. Sampai kini, kedua
pasangan suami istri tersebut dikaruniai lima orang anak, dengan urutan
Hilya Auliya sebagai anak pertama, Layali Hilwa, Muhammad Fayyaz
Mumtaz, Najla Hammadah, dan Fazla Muhammad sebagai anak terakhir.
Husein lahir dari keluarga yang taat beragama. Ayah Husein adalah
salah seorang ulama yang menikah dengan seorang anak dari pengasuh
Pondok Pesantren Salaf di Kempek, Arjawinangun, Cirebon, J awa Barat.
Ayahnya sebagai guru, serta penulis syair dan puisi. Profesi guru
diperoleh sang ayah karena ada dari kebijakan pemerintah yang membuka
kesempatan guru-guru pondok pesantren menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Ibu Husein adalah salah satu putri Syathori, seorang pengasuh pondok
pesantren, ia juga pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR).
Tahun 1966, Husein menempuh pendidikan dasar, berlanjut ke
tingkat berikutnya, Husein sekolah di SLTP N I Arjawinangun pada
tahun 1969. Husein mendapatkan pendidikan agama di Pesantren
Lirboyo, Kediri tahun 1973, dan pendidikan tinggi di Perguruan Tinggi
Ilmu Al-Quran (PTIQ), J akarta tahun 1980. Husein pernah juga
mengenyam pendidikan di Dirasah Khassah, Al-Azhar, Kairo, Mesir
tahun 1983.
35
2. Aktivitas dan Perjuangan Husein Muhammad
Husein aktif di berbagai organisasi sejak ia mahasiswa. J abatan
yang pernah diduduki adalah Ketua I Keluarga Mahasiswa Nahdlatul
Ulama, Kairo Mesir, 1982-1983. Ketua I Dewan Mahasiswa PTIQ
J akarta, tahun 1978-1979. Seminar nasional dan internasional pun diikuti
oleh Husein, khususnya menyangkut isu agama, perempuan, dan gender,
baik di Belanda, Kairo Mesir, Kuala lumpur Malaysia, Colombo, maupun
Srilangka.
14
Pada tahun 1982 ia dipercaya untuk memimpin Keluarga
Mahasiswa Nahdlatul Ulama cabang Kairo-Mesir. Organisasi ini
merupakan organisasi perkumpulan mahasiswa Indonesia di Mesir yang
berasal dari organisasi Nahdlatul Ulama, meskipun tidak semuanya
berasal dari NU. Pada tahun yang sama Husein dipercaya menjadi
sekretaris Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Husein
menyelesaikan studinya di Kairo-Mesir pada tahun 1983 kemudian ia
pulang ke Indonesia dan memimpin serta mengembangkan pendidikan di
Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon J awa Barat
bersama saudara-saudaranya.
Selain mengembangkan pendidikan di pondok pesantrennya, Husein
juga aktif dalam kegiatan organisasi, di antaranya ia diberi amanah
sebagai Direktur Pengembangan Wacana LSM Rahima sejak tahun 2000

t
14
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesan ren
(Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 343
36
sampai sekarang. Yayasan ini bergerak dalam pendidikan dan informasi
Islam dan hak-hak perempuan di wilayah pesantren.
Husein juga aktif di Fahmina Institute, yaitu lembaga yang bekerja
untuk pengembangan wacana keagamaan kritis dan penguatan otonomi
kominitas basis. Fahmina pada awalnya diprogramkan untuk
mendiskusikan dan mendialogkan wacana Islam dan demokrasi pesantren.
Dalam perkembangannya Fahmina juga menfasilitasi pendidikan politik
dan mengadvokasi masyarakat akar rumput di perkotaan. Lebih lanjut,
lembaga ini menggarap Islam dan gender bagi para istri kiai di pesantren-
pesantren lokal, serta mendiskusikan isu-isu penjualan (trafficking)
perempuan dan anak.
Tahun 2001-2005 ia masuk dalam anggota Dewan Syuro DPP PKB.
Sebelumnya, Husein pernah menjadi wakil DPRD Kabupaten Cirebon,
yakni dari tahun 1999. Husein juga pernah mengikuti beberapa konferensi
dan seminar pada tingkat internasional. Misalnya, mengikuti konferensi
Internasional masalah Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi di Kairo,
Mesir Tahun 1998. Tahun 1996, ia menjadi peserta konferensi
Internasional tentang Al-Quran dan IPTEK yang diselenggarakan oleh
Rabithah Alam Islami, Makkah di Bandung.
Dalam forum-forum seminar internasional Husein juga sering
menjadi narasumber, di antaranya pada seminar dan lokakarya
Internasional tentang Islam dan Gender di Kolombo, Srilangka tahun
2003 yang diikuti oleh para aktivis perempuan se-Asia Selatan. Husein
37
juga berceramah di beberapa tempat penting di Malaysia, antara lain
Universitas Malaysia, Universitas Saint Malaysia di Penang.
Pada 1998 Husein pernah diundang untuk mengikuti Konferensi
Internasional mengenai kesehatan reproduksi di Mesir, kemudian tahun
1999 Husein juga mengikuti konferensi Internasional se-Asia Pasifik yang
membicarakan tentang AIDS.
Terakhir, Husein membantu Women Crisis Mawar Balqis. LSM ini
bekerja untuk advokasi, konseling dan pendampingan bagi korban
kekerasan terhadap perempuan. Secara singkat, dari pemaparan tentang
aktivitas dan perjuangan Husein Muhammad dapat dilihat bahwa Husein
merupakan tokoh Indonesia yang konsen pada permasalahan perempuan.
Keterlibatan Husein dalam perkenalan dengan wacana gender
sebenarnya dimulai oleh ajakan Masdar Farid Masudi, yang ketika itu
menjadi direktur P3M (Perhimpunan Perkembangan Pesantren dan
Masyarakat). Masdar selalu mengundang Husein untuk selalu mengikuti
seminar. Tahun 1\993, Husein diundang dalam seminar Perempuan dalam
Pandangan Agama-agama. Sejak itu, Husein mengetahui ada masalah
besar mengenai perempuan. Dalam kurun waktu yang panjang kaum
perempuan mengalami penindasan dan sering diekploitasi. Dari
permasalahan itu Husein diperkenalkan dengan gerakan femenisme,
gerakan yang berusaha untuk memperjuangkan martabat kemanusiaan
dan kesetaraan gender.
38
Menurutnya dari seminar itu, Husein merasa disadarkan bahwa ada
peran ahli agama, bukan hanya Islam tetapi dari seluruh agama yang turut
memperkuat posisi subordinasi perempuan. Husein merasa kaget dan
mempertanyakan, bagaimana mungkin agama bisa menjustifikasi
ketidakadilan. Hal ini dipandangnya sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan hakikat dan misi luhur diturunkannya agama untuk manusia.
Setelah itu, Husein mulai melakukan analisis tentang masalah tersebut
dari sudut basis keilmuan yang diterima dari pondok pesantren.
15
Husein berpandangan demokrasi dan hak asasi manusia penting
dalan kajian ilmu. Paradigma Husein dalam feminisme adalah Islam
(fiqih) karena menurutnya kehidupan masyarakat Islam sangat
dipengaruhi oleh sifat keragamannya. Pola hidup masyarakat Indonesia
banyak dipengaruhi oleh norma keagamaan, khususnya dari teks-teks
agama karena itu pengaruh agama terhadap kebudayaan yang sangat besar
maka akan sangat strategis jika kajian-kajian perempuan juga dilihat dari
sisi agama. Analisis terhadap agama masih konservatif, itulah peyebab
dari ketimpangan sosial. Dengan demikian konsentrasi Husein pada
feminis adalah pengaruh agama terhadap perempuan.
16





15
Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan (Perspektif Islam Pesantren),
(Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hlm. 116
16
Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan, hlm. 117
39
3. Karya Husein Muhammad
J ika tulisan-tulisan Husein dikelompokkan, akan terlihat menjadi
beberapa kategori, yakni: naskah-naskah yang berbentuk buku,
terjemahan karya orang lain, dan naskah dalam bentuk makalah dan
jurnal.
Pada bagian ini penulis membuat uraian singkat dari berbagai
karyanya yang dapat ditemukan penulis, baik dari sumber data primer
(buku-buku Husein) maupun tulisan-tulisan orang lain tentang Husein,
antara lain:
a. Metodologi Kajian Kitab Kuning dalam Marzuki Wahid (ed.),
Pesantren Masa Depan, Pustaka Hidayah, Bandung 1999.
b. Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
LKiS, Yogyakarta, 2001.
c. Tali>q wa Takhri>j Syarh}Uqu>d al Lujain, bersama kajian kitab
kuning, J akarta, 2001.
d. Gender di Pesantren (Pesantren and The Issue of Gender
Relation), dalam majalah (The Indonesian J ournal for Muslim
Culture), Center for Languages and Cul ures, UIN Syarif
Hidayatullah, J akarta 2002.
t
e. Tradisi Istinbath Hukum NU, Sebuah Kritik dalam M. Imaduddin
Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma
Bahtsul Masail, LAKPESDAM, J akarta 2002.
40
f. Kelemahan dan Fitnah Perempuan dalam Moqsith Ghazali,
et.all Tubuh, Seksual dan Kedaulatan Perempuan; Bunga Rampai
Pemikiran Ulama Muda, Rahima-FF-LKiS, Yogyakarta 2002.
g. Kebudayaan yang Timpang, dalam K.M. Iksanuddin, dkk.
Panduan Pengajaran Fiqih Perempuan di Pesantren, YKF-FF,
Yogyakarta 2002.
h. Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren,
LKiS, Yogyakarta 2004.
i. Pemikir Fiqih yang Arif dalam KH. Sahal Mahfudh, Wajah Baru
Fiqih Pesantren, Citra Pustaka, J akarta 2004.
j. Potret Penindasan atas nama Hasrat dalam Soffa Ihsan, In the
name of sex; Santri, Dunia kelamin dan Kitab Kuning, J P Books,
Surabaya 2004.

k. Kembang Setaman Perkawinan; Analisis Kritis Kitab Uqu>d al-
Lujain, FK-3 bekerjasama dengan Kompas, J akarta 2005.
l. Counter Legal Draft; Merespon Realitas Sosial Baru dalam
Ridwan, Kontroversi Counter Legal Draft; Ikhtiar Pembaruan
Hukum Keluarga Islam, PSW Purwokerto kerja sama Unggun
Religi, Yogyakarta 2005.
m. Islam dan Negara Bangsa, Pesantren dan Civil Society dan
makalah yang berjudul Islam dan Hak-hak Reproduksi.
41
Beberapa tulisan yang terdapat dalam sejumlah buku kumpulan
(antologi), antara lain Kelemahan dan Fitnah Perempuan
17
dan
Kebudayaan yang Timpang. Adapun karya-karya Husein dalam bentuk
terjemahan dari buku-buku antara lain:
a. Khutbah al-J umuah wa al-I<dain, Lajnah min Kiba>r Ulama> al-
Azha>r (Wasiat Taqwa Ulama-Ulama Besar Al-Azhar), diterbitkan
oleh Bulan Bintang tahun 2005.
b. al-Syari>ah al-Islami>yah baina al-Mujaddidi>n wa al-Muhaddi\s\i>n
(Hukum Islam antara Modernis dan Tradisionalis), karya Dr.
Fa>ruq Abu>Zaid, diterbitkan oleh P3M, J akarta 1986.
c. Mawa>t}n al-Ijtiha>d fi>al-Syari>ah al-Isla>mi>yah (Syekh Muh}ammad
al-Mada>ni>), al-Taqli>d wa al-Talfi>q fi>al-Fiqh al-Islami>(Sayyid
Mui>n al-Di>n), al-Ijatiha>d wa al-Taqli>d baina al-D{awa>bit}al-
Syari>ah fi>al-Haya>h al-Mua>s}irah (Dasar-dasar Pemikiran Hukum
Islam), karya Yusuf al-Qardhawi, diterbitkan oleh Pustaka
Firdaus, J akarta 1987.
i

d. Ka>syifah al-Saja>, diterbitkan oleh penerbit Bandung tahun 1992.
e. T}abaqa>t al-Us}u>li>yi>n (Pakar-pakar Fiqih Sepanjang Sejarah), Syekh
Must}afa>al-Mara>gi>, diterbitkan oleh LKPSM Yogyakarta 2001.



l t
i
17
Pengantar dalam Moqsith Ghazali, dkk. Tubuh, Seksua dan Kedaulaan Perempuan;
Bunga Rampai Pemik ranUlama Muda (LKiS, Yogyakarta, 2002).

42
Husein juga berperan dalam penafsiran ulang kitab Uqu>d al-
Lujain, karya ini kemudian diberi judul Wajah Baru Kitab Syarh Uqu>d
al-Lujain karya Imam Nawa>wi>al-Bantani>yang diterbitkan oleh LKiS
Yogyakarta 2001.

4. Pokok-pokok Pemikiran Husein Muhammad tentang Gender
Dalam kaitannya tentang konsep gender, Husein Muhammad
menjelaskan tentang persoalan relasi laki-laki dan perempuan dengan
berdasar pada Al-Quran. Menurutnya, Al-Quran memperlihatkan
pandangan yang egaliter.
18
Sejumlah ayat diantara prinsip ini adalah.


Terjemah: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi maha mengenal
(Al-Hujuraat: 13).



Terjemah: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan. (Q.S. An-Nahl:97)


l i
18
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Ref eksi Kia atasWacanaAgama dan Gender,
terj. Fakihuddin Abdul Kodir, (Yogyakarta: LKiS, 2001). hlm 20-23
43




Terjemah: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S>. At-Taubah:71)





Terjemah: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki
dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan
yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-
laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan
yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S. Al-
Ahzab:35)

Husein memandang bahwa gender merupakan perbedaan antara
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Laki-laki dan
perempuan memang memiliki perbedaan, akan tetapi itu hanya bersifat
biologis, kodrati, dan fitrah. Misalnya laki-laki mempunyai penis dan
perempuan mempunyai vagina, perempaun bisa melahirkan dan
menyusui, sedangkan laki-laki tidak. Perbedaan-perbedaan ini adalah hal-
hal yang bersifat biologis, sedangkan hak-hak politik, ekonomi, sosial,
44
tidak atas dasar perbedaan biologis ini. Sehingga gender merupakan
sesuatu yang bisa dipertukarkan dan bisa dirubah, sedangkan hal-hal yang
biologis merupakan sesuatu yang kodrati tidak bisa dirubah.
19
Menurut Husein runtuhlah pandangan-pandangan lama yang
membedakan laki-laki dan perempuan, termasuk dalam pandangan fiqih
klasik. Misalnya, dalam pandangan fiqih klasik tidak ada satu pun
pendapat yang membolehkan perempuan menjadi presiden, maupun
sebagai hakim pengadilan dalam hal-hal pidana ditolak mayoritas
pandangan ulama fiqih seperti Maliki, Syafii, Hambali dan Hanafi.
Bahkan dalam kitab klasik, perempuan tidak bisa menjadi wakil rakyat,
atau pun menteri, akan tetapi sekarang telah terjadi perubahan yang luar
biasa. Zaman telah berubah, bahwa kemampuan perempuan tidak seperti
dahulu, perempuan sekarang memiliki kualitas intelektual, moral, dan
spiritual yang sama dengan laki-laki. Sehingga memposisikan perempuan
hanya berdasarkan jenis kelamin, bukan pada kualitas merupakan suatu
tindakan yang tidak adil dan diskriminatif.






fl i
19
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Re eksi Kia, hlm. 23
45
BAB III BAB III BAB III BAB III
METODE METODE METODE METODE & && & PENAFSIRAN PENAFSIRAN PENAFSIRAN PENAFSIRAN YUNAHAR ILYAS DAN YUNAHAR ILYAS DAN YUNAHAR ILYAS DAN YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN HUSEIN HUSEIN HUSEIN MUHAMMAD MUHAMMAD MUHAMMAD MUHAMMAD
TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA

Dalam pembahasan ini akan dipaparkan metode penafsiran Al-Quran
yang berkaitan dengan ayat kepemimpinan keluarga, baik penafsiran Yunahar
Ilyas maupun Husein Muhammad, sehingga dapat diketahui secara komprehensif
penafsiran mereka. Sebelum masuk dalam penafsiran mereka, akan dijelaskan
bentuk dan metode tafsir serta corak penafsiran kedua tokoh karena dalam
menafsirkan Al-Quran para penafsir dibatasi oleh kemampuan setiap manusia,
latar belakang pendidikan, serta sosial budaya yang berbeda-beda sehingga
metode dan bentuk penafsiran mereka pun juga berbeda,
1

Menurut Nashuruddin Baidan dalam buku Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
dikenal ada dua bentuk penafsiran, yaitu al-tafsi> r bi al-mas\ u> r dan at-tafsi> r bi- ar-
rayi, dan empat metode yang dikembangkan oleh ulama, yaitu metode global
(ijmali>), metode analitis (tah} li> li> ), metode perbandingan (muqa> rin), dan metode
tematik (maud} u>i>). Di samping itu dari segi corak lebih beragam, ada yang
bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah, dan corak sastra
budaya kemasyarakatan.
2


1
Ignas Goldziher, Mazhab Tafsir dari Klasik hingga Modern terj. M Alaika Salamullah,
dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), hlm. xi
2
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 380. Di samping bentuk, ada juga yang menggunakan istilah metode. M. Quraish Shihab
dalam bukunya Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 1992), hlm. 83-85, misalnya, menggunakan istilah metode periwayatan untuk
45
46
Sesudah masa sahabat dan tabiin datanglah masa kodifikasi hadis. Pada
masa ini riwayat-riwayat yang berisi tafsir dikelompokkan menjadi bab
tersendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, tafsir dipisahkan dari kandungan
kitab hadis dan menjadi kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu
sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Quran dan disusun sesuai dengan
sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain
pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian dikenal dengan bentuk
al-tafsi> r bi al-matsu> r. Maksud at-tafsi> r bi al-mas\ u> r adalah menafsirkan Al-
Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan Sunah Nabi saw dan Al-Quran
dengan pendapat atau penafsiran para sahabat dan tabiin. Hal semacam ini
dinamai bi al-matsu> r karena dalam menafsirkan Al-Quran, seorang mufassir
menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya sampai
kepada Rasulullah saw.
3

Setelah ilmu pengetahuan berkembang pada masa Daulah Abbasiyah,
para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-matsu> r. Hal ini karena
perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir
dengan memperluas peranan rayu atau ijtihad dibandingkan dengan
penggunaannya pada bentuk bi al- matsu> r. Tafsir dengan bentuk ini kemudian
dikenal dengan al-tafsi> r bi- al-rayi.
4


at-tafsr bi al-matsr dan metode penalaran untuk at-tafsr bi ar-rayi. Sementara itu metode
ijmali, tahlili, muqarin, dan maudui bagi Q. Shihab adalah corak dari metode penafsiran.
3
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 2
4
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,, hlm. 2
47
Dalam al-tafsir bi al-rayi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-
Quran dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa
meninggalkan tafsir Al-Quran dengan Al-Quran atau dengan hadis, dan tidak
meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabiin. Bentuk ini
mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan
seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qira> ah, ilmu-ilmu Al-Quran, ilmu hadis, ushul
fiqih, ilmu sejarah, dan lain-lain sebagainya. Dinamai dengan al-tafsi> r bi al-rayi
karena yang dominan adalah penalaran atau ijtihad mufassir itu sendiri.
Dari segi metode, sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu
ijma>li> , tahli>li>, muqa>rin, dan maud} u> i> . Metode ijma> li> adalah metode yang paling
awal muncul karena sudah digunakan sejak Nabi saw dan para sahabat. Nabi dan
para sahabat dalam menafsirkan Al-Quran tidak memberikan rincian yang detail,
hanya secara ijma>li> atau global.
5

Selain metode ijma> li> , dikenal metode tahli> li> . Dengan menggunakan
metode ini, seorang mufassir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-
Quran dari berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asba> b al-nuzu> l, muna> sabah,
dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenderungan
mufassir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf
Al-Quran, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.
6

Setelah metode ijma> li> dan tahli> li> , muncul metode muqa> rin atau
perbandingan. Dengan metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan

5
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 3
6
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 6
48
antara (1) teks ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu
kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Quran dengan hadis yang pada lahirnya
terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan
Al-Quran.
7

Terakhir ialah metode maud} u> i> atau tematik. Metode ini berbeda dengan
metode ijma>li> dan tahli> li> yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara
kronologis sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
Metode maudu>i> membahas ayat-ayat yang terdapat dalam berbagai surat yang
telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu. Dengan metode ini seorang
mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang a> m dan kha> s}, antara yang mut} laq dan
yang muqayyad, mensingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif,
serta menjelaskan ayat na> sikh dan mansu> kh sehingga semua ayat tersebut
bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan
pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak
tepat.
8

Sementara itu, jika dilihat dari segi corak, Nashuruddin membagi sebagai
berikut. (1) Corak sastra bahasa, yakni corak yang timbul akibat banyaknya
orang non-Arab yang memeluk agama Islam. Selain itu, contoh ini merupakan
akibat dari kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga

7
Nashruddin Baidan,Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 65
8
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhui, Suatu Pengantar, terj. Suryan A.
Jamrah (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 36
49
dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan
arti kandungan Al-Quran; (2) Corak fiqih atau hukum, yakni corak yang muncul
akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, setiap
golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum; (3) Corak teologi dan atau filsafat,
yakni suatu corak yang muncul akibat penerjemahan kitab filsafat yang
mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama
lain ke Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempecayai beberapa
hal dari kepercayaan lama mereka; (4) Corak tasawuf, yakni corak dari akibat
timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai
pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan; (5) Corak penafsiran ilmiah, yakni corak yang muncul akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami ayat-ayat Al-
Quran yang sejalan dengan perkembangan ilmu; (6) Corak sastra budaya
kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-
Quran yang berkaitan dengan masalah-masalah masyarakat berdasarkan
petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam
bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.
9

Penjelasan di atas merupakan landasan dalam memahami metode
penafsiran kedua tokoh yang dianalisis dalam penelitian ini. Ayat yang akan

9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992) hlm. 72-73, Corak-corak ini juga dimuat dalam
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Quran, Studi Pemikiran Para Mufasir (Yogyakarta:
Labda Press, 2006), hlm 85-86.

50
dijelaskan adalah ayat tentang kepemimpinan dalam keluarga. Penentuan ayat ini
diambil dari sumber primer. Teks lengkap surat an-Nisa ayat 34, itu adalah
sebagai berikut.
;)- ;- Q- ;--- !-- - _-- ;)~- = J~- '-- !~-- _-- ;- ;- '= ,-
Q;=- Q ;~- ;-'=- - V = =-= '-- ~--- '=-'= '--'- '=-'~-'-
- Q ,= '--- ' = >--~ Q)--- ;-- >- ;--= '- Q;- ,~ ='~--
,--
Terjemah: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukul mereka.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar (an-Nisa; 34).


A. Metode Metode Metode Metode Penafsiran Penafsiran Penafsiran Penafsiran Yunahar Ilyas Yunahar Ilyas Yunahar Ilyas Yunahar Ilyas
Tafsir Yunahar apabila dilihat dari segi aliran dan bentuk, menggunakan
al-tafsi> r bi al-rayi. Bentuk ini digunakan oleh Yunahar dalam menafsirkan ayat-
ayat Al-Quran dengan mengedepankan kemampuan ijtihad atau pemikiran,
tanpa meninggalkan tafsir Al-Quran dengan Al-Quran atau dengan hadis dan
tidak pula mengabaikan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabiin.
Sementara itu, kalau dilihat dari segi metode, Yunahar menggunakan metode
maud}u>i> atau tematis. Dengan metode ini Yunahar membahas dengan
mengklasifikasikan ayat-ayat yang mempunyai tema-tema tertentu, khususnya
51
tentang permasalahan kesetaraan gender.
10
Di sisi lain, jika dilihat dari segi
corak, penafsiran Yunahar termasuk dalam tafsir bercorak budaya
kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-
Quran yang berkaitan dengan masalah-masalah masyarakat berdasarkan
petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam
bahasa yang mudah dimengerti. Yunahar menggunakan metode maud} u> i> dalam
mengelompokkan ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalahan kesetaraan,
yaitu konsep penciptaan perempuan (Q.S. al-Nisa> 4:1), konsep kepemimpinan
dalam rumah tangga (Q.S. al-Nisa> 4:34), konsep kesaksian dan kewarisan
perempuan (Q.S. al-Baqarah 2:282 dan Q.S. al-Nisa> 4:11).
Penjelasan tentang bentuk yang dipakai oleh Yunahar tentang al-tafsi> r bi
al-rayi, dibuat berdasarkan pembacaan dan penelusuran langsung terhadap
uraiannya dalam menafsirkan ayat. Yunahar tidak hanya melihat penafsiran Al-
Quran dengan Al-Quran dan Hadis Nabi saw, tetapi secara selektif mengutip
penafsiran para sahabat dan tabiin. Yunahar mengembangkannya dengan
pemikiran para mufasir lain sebelumnya dan dari sumber-sumber lain di luar
kitab tafsir di samping dari pengetahuan dan pengalamannya sendiri.
Penggunaan metode maud} u> i> , disimpulkan bahwa Yunahar berusaha
menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema kesetaraan
gender. Ia berusaha mengklasifikasikan ayat-ayat yang masih dalam satu
permasalahan kesetaraan kemudian memaparkan penafsiran mufassir

10
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Quran; Studi Pemikiran Para Mufasir,
(Yogyakarta: Labda Press. 2006), hlm. 8.
52
sebelumnya. Dari pemaparan itu, Yunahar menafsirkan ulang dengan perspektif
kesetaraan, seperti yang akan dicontohkan dalam pembahasan selanjutnya.
Meskipun Yunahar belum mempunyai karya kitab tafsir, tetapi dalam
penelitian ini ia dapat disebut sebagai mufasir karena beberapa karya yang
Yunahar tulis terdapat unsur-unsur tafsir, misalnya Yunahar menuliskan masalah
tipologi manusia menurut Al-Quran. Ia menafsirkan ayat-ayat tersebut mulai
dari ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia serta sifat-sifatnya mulai
dari Iba> d al-Rah}ma> n, Ulu> al-Alba>b, Bani> Isra> i> l, sampai dengan Munafik.
11

Dalam penafsirannya, setelah Yunahar mengumpulkan ayat-ayat yang
satu tema ia menjelaskan dengan menggunakan sistematika deskriptif-analitis,
yaitu dengan memakai proses gabungan antara deduktif, induktif, dan
komparatif. Metode deduktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran
tentang pemikiran para mufasir klasik dalam menafsirkan ayat Al-Quran.
Yunahar juga mengambil pemikiran para mufasir kontemporer sebagai bentuk
kontekstualisasi penafsirannya. Metode induktif digunakan dalam rangka
memperoleh gambaran utuh tentang pemikiran para mufasir tentang tema yang
diteliti, yakni dengan cara mengungkapkan anatara mufasir klasik dan
kontemporer. Adapun metode komparatif dipakai untuk membandingkan antara
pemikiran sesama mufasir serta membandingkan pemikiran para mufasir klasik
dengan mufasir kontemporer, dan pemikir-pemikir lain yang dinilai masih
relevan dalam penafsirannya.

11
Yunahar Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Quran (Yogyakarta: Labda Press, 2007)
53
Selain menggunakan metode itu, Yunahar juga memakai pendekatan
tafsir-hermeneutis dalam rangka mendeskripsikan dan menganalisis interpretasi
para mufasir terhadap ayat Al-Quran. Pendekatan hermeneutis, digunakan pada
saat Yunahar melakukan deskripsi terhadap pemikiran para mufasir dengan
menggunakan proses hermeneutika reproduktif. Sementara itu, dalam
menganalisis pemikiran para mufasir Yunahar menggunakan pendekatan
hermeunetika produktif untuk memproduksi interpretasi baru dengan cara
menghubungkan teks-teks ayat dan teks tafsirnya dengan melihat konteks
kekinian.
12

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menafsirkan
ayat-ayat dalam karya tulisnya, Yunahar Ilyas menggunakan kemampuan
ijtihadnya. Dalam ilmu tafsir dikenal dengan bentuk tafsir bi al-rayi dengan
menggunakan metode maud} u> i> , yakni mengelompokkan ayat-ayat yang masih
satu tema. Kalau dilihat dari segi corak penafsirannya lebih pada corak budaya
kemasyarakatan karena Yunahar berangkat dari masalah yang ada di masyarakat.
Selain itu, Yunahar juga menggunakan pendekatan tafsir-hermeneutis dalam
memahami penafsiran para mufasir dengan cara mengkontekskan dengan zaman
saat ia hidup.


12
Pendekatan hermeunetik reproduktif dan produktif yang digunakan oleh Yunahar
mengacu pada hermeneutika Hans George Gadamer. Gadamer melihat bahwa kesenjangan waktu
antara pembaca dan pengarang tidak harus dibatasi, melainkan harus dipikirkan sebagai
penjumpaan pemahaman. Pembaca memperkaya pembacaannya dengan membandingkan dengan
pengarang. Oleh karena itu, bagi Gadamer hermeneutika tidak hanya bersifat reproduktif belaka
tetapi juga produktif. Menurutnya, makna teks tidak harus sama dengan makna pengarangnya,
melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini. Dengan demikian, hermeunetik adalah
proses kreatif. Hans George Gadamer, Philosophical Hermeneutics, terj. David E.Linge
(Barkeley: University of California Press, 1976).
54
B. Penafsiran Yunaha Penafsiran Yunaha Penafsiran Yunaha Penafsiran Yunahar Ilyas r Ilyas r Ilyas r Ilyas tentang tentang tentang tentang Kepemimpinan Keluarga Kepemimpinan Keluarga Kepemimpinan Keluarga Kepemimpinan Keluarga
Dalam penafsiran tentang kepemimpinan keluarga Yunahar memulainya
dengan membahas kehidupan keluarga. Ia menjelaskan bahwa setelah
terlaksananya akad nikah, pasangan suami istri akan hidup bersama dalam sebuah
rumah tangga. Ibarat bahtera, mereka akan mengarungi lautan kehidupan untuk
mencapai pulau yang menjadi tujuan bersama. Mereka akan bekerja sama, bahu
membahu, melaksanakan segala tugas kehidupan, dan mengatasi segala rintangan
untuk mencapai keluarga yang bahagia. Supaya kerja sama tersebut dapat
berlangsung dengan baik, salah seorang harus menjadi pemimpin. Hal yang
menjadi persoalan ialah pemegang kemudi rumah tangga, suami atau istri.

Berikut ini dideskripsikan penafsiran Yunahar Ilyas tentang ayat kepemimpinan
keluarga yang disandarkan pada surat al-Nisa> ayat 34.
13

Yunahar merujuk pada Al-T} abari> , yang menjelaskan bahwa kaum laki-
laki berfungsi mendidik dan membimbing istri-istri mereka dalam melaksanakan
kewajiban terhadap Allah swt dan para suami. Menurut Ibn Ka\ si> r suami adalah
qayyim atas istri dalam arti dia adalah pemimpin, pembesar, penguasa, dan
pendidik jika seorang istri bodoh. Yunahar juga mengutip pendapat, Muh} ammad
Abduh, bahwa tugas pemimpin hanyalah mengarahkan, bukan memaksa
sehingga yang dipimpin tetap bertindak dan berkehendak dengan pilihannya
sendiri bukan dalam keadaan terpaksa.
Kata qawwa>m dalam ayat di atas dijelaskan oleh Yunahar sebagai
seorang pemimpin. Alasan seorang laki-laki yang diberi hak dalam keluarga

13
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Quran, hlm. 158
55
untuk memimpin dan bukan perempuan atau bukan kolektif dijelaskan, (1)
karena Allah telah memberikan kelebihan laki-laki atas perempuan dan (2)
karena laki-laki telah menafkahkan sebahagian dari hartanya untuk biaya hidup
keluarga. Namun demikian, Yunahar tidak menjelaskan apa yang menjadi
kelebihan laki-laki atas perempuan.
Dalam pandangan Yunahar, para mufasir berbeda-beda dalam
menjelaskan hal ini. Ada yang memberi penjelasan tentang fisik, mental,
intelektual, peran keagamaan, atau semuanya sekaligus. Dari uraian terperinci
yang dikemukakan oleh para mufasir tentang keunggulan laki-laki tersebut
tampak bahwa mereka memperluas pembicaraan kepada laki-laki sebagai jenis
kelamin bukan dalam konteks laki-laki sebagai suami. Menurut Yunahar,
kelebihan yang dikemukakan tidak mempunyai relevansi dengan posisinya
sebagai pemimpin rumah tangga. Termasuk kelebihan fisik laki-laki: kuat, punya
jenggot, bahkan disebutkan juga berpakaian sorban misalnya sebagai sebuah
kelebihan. Demikian juga halnya perbedaan-perbedaan tugas dan peran dalam
upacara-upacara keagamaan, seperti laki-laki menjadi khotib, imam, muadzin,
dan sebagainya.
Menurut Yunahar perbedaan-perbedaan tersebut di atas tidak
menyebabkan secara otomatis laki-laki lebih unggul dari perempuan.
14

Pembedaan seperti itu hanyalah pembagian tugas-tugas keagamaan, bukan
kelebihan dan kekurangan setiap jenis kelamin. Perempuan yang tidak shalat
karena haid tidak dapat lebih rendah nilainya daripada laki-laki yang terus

14
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Quran, hlm. 242
56
menerus sholat. Hal ini karena tidak shalatnya sewaktu haid seorang wanita
tersebut bukan sesuatu yang bernilai negatif atau menunjukkan kelemahannya.
15

Yunahar lebih sepakat dengan penjelasan yang diberikan oleh
Thabathabai yang menyatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan
terletak pada kekuatan intelektual yang menyebabkan dia lebih tahan dan tabah
menghadapi tantangan dan kesusahan. Sementara itu, kehidupan perempuan
adalah kehidupan emosional yang dibangun di atas sifat kelembutan dan
kehalusan. Yunahar juga sepakat dengan pendapat Muh} ammad Ali> al-S} a>bu>ni>
yang menyatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah
tangga karena kelebihan intelektual dan kemampuan mengelola rumah tangga
serta kemampuan mencari nafkah untuk membiayai kehidupan keluarga.
Yunahar berpandangan bahwa yang dimaksud dengan kelebihan
intelektual bukan potensi intelektual yang dimiliki dan bukan pula kecerdasan
yang mempunyai tenaga lebih dalam bertanggung jawab. Akan tetapi, kelebihan
intelektual itu dilihat pada saat terjadi benturan antara nalar dan rasa. Pada saat
yang demikian, laki-laki lebih mendahulukan nalar daripada rasa, sementara
perempuan lebih mendahulukan rasa daripada nalar. Sementara itu, kekuatan
emosional diperlukan perempuan, terutama tatkala berperan sebagai ibu, untuk
merawat dan membesarkan bayinya.
16
Karena menurut Yuhanar, laki-laki dan
perempuan mempunyai kemampuan potensi intelektual yang sama bahkan bisa
jadi kemampuan intelektual perempuan lebih kuat daripada laki-laki. Masalah

15
Yunahar Ilyas, Kepemimpinan dalam Keluarga (2), (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 1-15 Maret 2006), hlm. 20
16
Yunahar Ilyas, Kepemimpinan dalam Keluarga (2), hlm. 21
57
kecerdasan tergantung dari rangsangan saraf yang dilakukan terutama sewaktu
balita, pendidikan yang didapat, dan lingkungan masing-masing.
Menurut Yunahar, selain dua kelebihan yang telah dijelaskan di atas,
kandungan ayat selanjutnya dapat menjadi alasan tambahan yang mendukung
kesimpulan kepemimpinan suami atas istri.
- V ;-'=- Q ;~- Q;=- Q ,= - ='~-- Q;- ,~
Termejah: Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukulah mereka(an-Nisa:34)

Allah swt memberikan hak kepada suami untuk melakukan tiga tahapan
tindakan menghadapi istri yang nusyu> z\ , yaitu menasihati, pisah ranjang, dan
memukul. Seandainya suami bukan pemimpin yang menempati posisi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan istrinya (dalam konteks keluarga) tentu ia tidak
mungkin dapat melakukan tiga tahapan tindakan tersebut.
Yunahar menambahkan bahwa, masalah kepemimpinan suami ini lebih
jelas terlihat dalam bagian akhir ayat yang menggunakan kata taat:
Q;- ,~ '- ;--= ;-- >- Q)--- >--~ = ' '--- ,--
Terjemah: Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya(an-Nisa:34)

Yunahar beranggapan, penggunaan kata taat menunjukkan hubungan
suami dengan istri yang bersifat struktural. Jika hubungan keduanya bukan
struktural, kata yang digunakan bukan menaati, tetapi menyetujui atau menerima
pandapatnya. Apabila dilihat dari penjelasan secara struktural, kata taat dapat
dipahami dalam arti kepatuhan. Konsep taat ini, menurut Yunahar, berlaku pada
58
saat suami mengajak untuk menjalankan perbuatan yang maruf, maka seorang
istri harus patuh pada suaminya.
Penafsiran Yunahar terhadap surat al-Nisa> ayat 34 menekankan bahwa
suami merupakan pemimpin dalam keluarga. Persoalan yang muncul dalam hal
ini ialah ketentuan itu bersifat normatif atau kontekstual. Apabila bersifat
normatif, maka kepemimpinan laki-laki dalam keluarga bersifat permanen.
Sebaliknya, apabila bersifat kontekstual, kepemimpinan dalam keluarga
disesuaikan dengan konteks sosial tertentu. Dengan demikian, apabila konteks
sosialnya berubah, dengan sendirinya doktrin itu akan ikut berubah. Artinya,
belum tentu laki-laki menjadi pemimpin dalam keluarga.
Menurut Yunahar kelebihan normativitas kepemimpinan laki-laki dalam
keluarga terletak pada adanya kepastian siapa yang menjadi pemimpin, sehingga
tertutup peluang terjadinya perselisihan antara suami dan istri dalam menentukan
siapa yang memimpin. Kelemahannya terletak pada realitas, yaitu tatkala secara
fakta suami tidak memenuhi persyaratan menjadi pemimpin, baik yang bersifat
integritas pribadi maupun kemampuan finansial. Sebaliknya, kelebihan
kontekstualitas kepemimpinan rumah tangga memberikan peluang terpilihnya
pemimpin yang benar-benar memenuhi persyaratan. Namun, kelemahannya ialah
pada saat menentukan siapa yang lebih unggul secara fungsional. Jika salah
satunya mengakui tidak akan ada masalah. Akan tetapi, jika keduanya memiliki
keunggulan yang sama maka akan terjadi komunikasi yang tidak seimbang.
Selanjutnya Yunahar berpandangan bahwa kepemimpinan dalam keluarga
bersifat normatif, bukan kontekstual. Kepemimpinan kontekstual dalam keluarga
59
menurut Yunahar menyebabkan tidak efektifnya kepemimpinan pada masa-masa
tertentu yang dapat berakibat kepada kebuntuan rumah tangga, maka hak
kepemimpinan secara apriori kepada laki-laki.
17

Yunahar menambahkan bahwa sekalipun laki-laki secara normatif diberi
hak memimpin istrinya, tetapi dia tidak boleh menegakkan kepemimpinan
dengan otoriter atau dengan mengabaikan kemauan dan pertimbangan istri.
Menurut Yunahar prinsip musyawarah adalah hal penting dalam kepemimpinan
keluarga. Di samping itu, suami hendaklah memimpin istrinya dengan landasan
al-mua>syarah bi al-maru> f dan penuh kesabaran, sebagaimana yang diperintah
oleh Allah swt dalam Q.S. An-Nisa ayat 19:
-- ;---- Q;-~- V ', !~-- ;- ,- ;-- J=- V ;-- Q- -- ')- '-
Q;---- !- _~- Q;-- , '- ,--'- Q ,~'- ---- ~='-- Q--'- 7
,-- ,-= -- = J=- '--~ ;,--
Terjemah: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak. (Q.S an-Nisa: 19)


Sementara itu, normativitas kepemimpinan laki-laki dalam keluarga
menurut Yunahar tidak bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender karena
kesetaraan tidak selalu sama dengan kesamaan. Kesetaraan dan keadilan gender
dipahami dan dilaksanakan secara proporsional dengan mempertimbangkan

17
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Quran, hlm. 246
60
faktor-faktor biologis, fisiologis, psikologis, dari kedua belah pihak (laki-laki dan
perempuan). Dalam artian secara kodrat laki-laki dan perempuan mempunyai
perbedaan secara biologis, secara fisiologis dan psikologis.
18

Penafsiran Yunahar tentang nusyu> z\ berangkat dari penjelasan Rasulullah
saw yang memberikan penilaian tinggi kepada suami yang berakhlak mulia
terhadap istrinya. Beliau bersabda, yang artinya:
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya dan sebaik-baiknya kamu ialah yang paling baik kepada
istrinya. (H> .R. Tirmizi).

Sementara itu, menurut Yunahar tidak ada jaminan semua suami akan
melaksanakan kewajiban dan fungsinya dengan baik. Sebagaimana halnya istri,
suami juga ada yang melakukan nusyu> z\. Dalam hal ini surat al-Nisa> : 128
memberi petunjuk bagaimana sebaiknya sikap istri:
'=-~ '-)--- '=-~- !-)--- '-= >- '~ ,- ;~- ')-- Q- ~-'= ,-
-- '-- ' = '- ;--- ;-~=- _~- Q-- V ,~= ,-= _-~- ,--= ;-
Terjemah: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyu> z\ atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika
kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. an-Nisa:128)
Dalam manafsirkan ayat ini Yunahar mengutip panafsiran tim penafsir
Departemen Agama yang menjelaskan bahwa.
Ayat ini menerangkan sikap yang harus diambil istri apabila ia melihat
sikap nusyu>z dari suaminya. Sikap nusyu> z itu dapat berupa tidak
melaksanakan kewajiban terhadap istri sebagaimana mestinya, tidak
memberi nafkah, tidak menggauli dengan baik, berkurang rasa cinta dan
kasih sayangnya, dan sebagiannya. Hal ini dapat ditimbulkan oleh kedua

18
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Quran, hlm. 247
61
belah pihak, baik suami maupun istri atau disebabkan oleh salah satu
pihaknya saja. Jika demikian, istri hendaknya mengadakan musyawarah
dengan suami, mengadakan pendekatan perdamaian, serta berusaha
mengembalikan cinta dan kasih sayang suaminya yang telah mulai pudar.
Dalam hal ini tidak berdosa jika istri bersikap mengalah kepada suami,
seperti bersedia beberapa haknya dikurangi, dan sebagainya. Usaha
mengadakan perdamaian yang dilakukan istri itu, bukan berarti bahwa
istri harus bersedia merelakan sebahagian haknya yang tidak dipenuhi
oleh suaminya, tetapi untuk memperlihatkan kepada suaminya keikhlasan
hatinya sehingga suami mengingat kembali kewajiban-kewajibannya yang
telah ditentukan oleh Allah swt.
19


Apabila dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian, maka ada
yang harus dilakukan oleh istri. Sejalan dengan Ima> m Ma> lik, Yunahar
menjelaskan bahwa istri boleh mengadukan suaminya kepada hakim
(pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasihat kepada suami. Apabila
tidak dapat dinasihati, hakim dapat melarang istri untuk taat kepada suaminya,
tetapi suami tetap memberikan nafkah kepada istri. Hakim juga dapat
memperbolehkan istri untuk pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah
suaminya. Jika dengan cara demikian suami belum sadar, maka hakim dapat
menjatuhkan hukuman pukulan kepada suami. Setelah pelaksanaan hukuman
tesebut, sang suami belum memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan
perceraian jika istri menghendakinya. Pendapat terserbut menurut Yunahar
seimbang dengan sikap yang harus diambil oleh suami apabila menghadapi istri
nusyu>z sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa> : 34 sebelumnya. Hanya,

19
Bustama A. Gani, dkk. Al-Quran dan Tafsirnya (Jakarta: Depeartemen Agama RI,
1990) hlm. 296
62
untuk khusus nusyu>z suami, yang melaksanakan tiga tahapan itu hakim
(pengadilan), bukan sang istri sendiri.
20

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dalam menafsirkan masalah
kepemimpinan dalam keluarga Yunahar Ilyas berangkat dari surat al-Nisa> : 34.
Dapat diambil kesimpulan dari penafsiran Yunahar bahwa, ia lebih berpandangan
normatif bukan kontekstual. Kepemimpinan kontekstual dalam keluarga
menyebabkan tidak efektifnya kepemimpinan pada masa-masa tertentu yang
dapat berakibat kebuntuan rumah tangga.
Meskipun pada awalnya ia memperbolehkan perempuan untuk dapat
memimpin, asalkan mempunyai kemampuan intelektual lebih akan tetapi dalam
penafsiran berikutnya Yunahar lebih menekankan bahwa kepemimpinan dalam
keluarga secara apriori adalah laki-laki. Seperti dapat dilihat dari penjelasan
sebelumnya, bahwa tiga tahapan menasehati, pisah ranjang, dan memukul
menjadi alasan kepemimpinan ada pada laki-laki ditambah harus menaatinya.
Dari situ Yunahar beranggapan secara struktural laki-laki lebih mempunyai hak
dalam memimpin keluarga, karena ia beranggapan laki-laki mempunyai posisi
yang lebih tinggi dibanding dengan perempuan.





20
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 130
63
C. Metode Metode Metode Metode Penafsiran Penafsiran Penafsiran Penafsiran Husein Husein Husein Husein Muhammad Muhammad Muhammad Muhammad
Sebagaimana Yunahar, Husein Muhammad belum mempunyai kitab
tafsir, tetapi ia dapat dikelompokkan sebagai seorang penafsir karena karya yang
ditulisnya mempunyai nilai-nilai tafsir. Tafsir Husein dapat dikatakan berbentuk
al-tafsi> r bi al-rayi. Hal ini terlihat dari tafsir fiqhnya yang istimbat-istimbat
hukum dari Al-Quran dan hadis dilakukan dengan cara ijtihad. Husein juga
dalam menafsirkan ayat merujuk pada hadis-hadis Rasulullah yang diperkuat
dengan penjelasan-penjelasan pemikir sebelumnya. Akan tetapi pemikir
sebelumnya hanya dijadikan sebagai pembanding, kerna yang lebih dominan
adalah hasil pemikiranya.
Secara metodologis, tafsir Husein dapat dikatakan sebagai tafsir maud}u>i>
karena Husein berusaha menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan tema perempuan dan keadilan gender dengan cara mengelompokkan ayat-
ayat yang masih satu tema. Selain itu, Husein juga memakai perangkat-perangkat
penafsiran yang cukup beragam, tidak hanya dari segi normatif-ideologis, tetapi
juga hermeneutika-kontekstual. Pandangan itu disimpulkan dari penelusuran
karyanya dalam buku Fiqh Perempuan.
21

Sementara itu, jika dilihat dari segi coraknya, penafsiran Husein termasuk
dalam corak fiqih atau hukum, yakni corak tafsir yang muncul akibat
berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, setiap
golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-

21
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
terj. Fakihuddin Abdul Kodir, (Yogyakarta: LKiS, 2001)
64
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum, begitu juga Husein. Dalam
menafirkan ayat Al-Quran ia mulai dengan penjelasan teks-teks ayat yang ia
lengkapi dengan penjelasan hadis. Ditambah lagi tema-tema yang diangkat oleh
Husein Muhammad berkaitan dengan permasalahan fiqih, misalnya tentang
kepemimpinan dalam sholat, kontekstualisasi fiqih munakahat, advokasi fiqih
muamalah-siyasah. Selain itu, Husein juga mengkontekskan dengan
perkembangan zaman.
Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan isu-isu perempuan
dan keadilan gender Husein berpandangan bahwa itu masuk dalam prinsip-prinsip
kemanusiaan. Hal itu dapat diwujudkan dengan upaya penegakan keadilan,
kesetaraan, kebersamaan, kebebasan, dan penghargaan terhadap hak-hak orang
lain. Sebagai cita-cita, semua prinsip di atas harus menjadi dasar pemikir dalam
melakukan kajian ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan persoalan-persoalan
spesifik.
Pendekatan hermeneutika-kontekstual
22
Husein dapat dilihat dari cara ia
memahami konteks budaya. Dalam menjelaskan surat an-Nisa ayat 34, Husein
menyatakan bahwa ayat itu harus dipahami sebagai teks yang bersifat sosiologis
dan kontekstual karena menunjukkan persoalan yang bersifat umum dalam
masyarakat.
23
Menurut Husein, apabila penafsiran ini bersifat sosiologis dan

22
Secara ternimologis, hermeneutika adalah ilmu dan teori tentang penafsiran yang
bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik objektif (arti gramatikal kata-kata dan
variasi-variasi historisnya), maupun subjektif (maksud pengarang), kamus filsafat (Jakarta:
Gramedia, 1996) sedangkan kontekstual dapat mengambil pesan-pesan yang ada, dan dapat
mengkontekskan dengan kondisi sosial budaya yang berkembang, Sahiron Syamsuddin, dkk
Hermeneutika Al-Quran, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003)
23
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 26
65
kontekstual maka terbuka kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan.
Dengan kata lain, posisi perempuan yang menjadi subordinat laki-laki juga
memungkinkan untuk diubah pada waktu sekarang, mengingat kebudayaannya
yang sudah berubah. Dengan cara pandang demikian, setidaknya dapat dipahami
bahwa kita tidak terkurung oleh tradisi dan kebudayaan saat Al-Quran
diturunkan.
Ayat-ayat teologis, yang sementara ini diinterpretasikan bias gender juga
harus dikaji ulang dan ditafsirkan kembali dengan menggunakan pendekatan
kesetaraan dan keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan (keadilan gender).
Hal ini, karena prinsip dasar Islam adalah persamaan dan keadilan antara laki-laki
dan perempuan. Seperti ayat-ayat penciptaan, semua harus merujuk pada ayat
yang secara tegas menyatakan bahwa penciptaan manusia adalah penciptaan
kesempurnaan (laki-laki dan perempuan).
24

Husein mengatakan:
tafsiran adalah tetap tafsiran yang tidak menutup kemungkinan adanya
keterkaitan dengan perkembangan sosio-pengetahuan yang temporal.
25


Dalam hal ini Husein ingin menggugah kesadaran umat muslim yang
hanya mewarisi tradisi bangsa-bangsa sebelumnya yang terus menjalar ke
kalangan kaum muslim. Seperti yang ia ungkap tentang justifikasi keyakinan
bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki sehingga kualitas
perempuan menjadi lebih rendah. Semua itu harus dibaca dan ditafsirkan ulang

24
Q.S. at-Tin 95:4
25
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm 26
66
karena di dalam Al-Quran tidak dijumpai satu pun ayat yang secara eksplisit
menyatakan hal itu.
26

Pendekatan sosio-kontekstual Husein juga dapat diperkuat dengan
pernyataannya dalam menafsirkan isu-isu tentang perempuan. Menurut Husein,
sangat sulit dinafikan bahwa eksistensi kaum perempuan dalam sosio-ekonomi,
politik dan kultural saat ini telah mengalami perubahan dan perkembangan
evolutif seiring dengan berkembangnya kesadaran mereka. Sejarah kontemporer
juga telah membuktikan bahwa sejumlah perempuan memiliki kelebihan yang
sama dengan laki-laki sehingga pekerjaan dan tugas yang saat ini dianggap hanya
dimonopoli kaum laki-laki terbantahkan dengan sendirinya.
27

Fakta ini, menurut Husien dapat membuktikan bahwa perempuan adalah
sama dengan laki-laki sehingga segala tradisi, ajaran, dan pandangan yang
merendahkan, mendiskriminasikan, dan melecehkan kaum perempuan harus
dihapus. Dengan demikian, dalam teks-teks agama yang semestinya menjadi
dasar penafsiran adalah prinsip-prinsip ideal Islam tentang keadilan, kesetaraan,
kemashalatan, dan kerahmatan untuk semua, tanpa dibatasi oleh perbedaan jenis
kelamin, laki-laki dan perempuan.
28

Demikian sekilas gambaran metode penafsiran Husein Muhammad.
Secara jelas ia menawarkan penafsiran baru terhadap teks-teks agama dengan
berperspektif gender. Husien berusaha menafsirkan secara rasional dan

26
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 28
27
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 29
28
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 32
67
kontestual terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan yang selama ini
masih kuat dengan muatan patrialkal.

D. Penafsiran Penafsiran Penafsiran Penafsiran Husein Husein Husein Husein Muhammad Muhammad Muhammad Muhammad tentang tentang tentang tentang Kepemimpinan Keluarga Kepemimpinan Keluarga Kepemimpinan Keluarga Kepemimpinan Keluarga
Husein memulai penafsiran kepemimpinan keluarga dengan penjelasan
tentang keluarga. Munurutnya, keluarga adalah sebuah lembaga yang pada
mulanya dimaksudkan sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang
tentram, aman, damai, sejahtera, dalam suasana cinta dan kasih sayang di antara
anggota keluarga. Husein merujuk pada ayat Al-Quran menegaskan maksud ini:
- -= ;- ;---- J= ')-- ;--~-- '= ;-~-- Q- ;-- _-= -'- Q-
,---- ;-- '- V 4-
Terjemah: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Q.S. ar-Rum:21)

Menurut Husein, Melalui suasana kehidupan seperti yang digambarkan di
atas sangat mungkin bagi anggota keluarga untuk melakukan kerja-kerja yang
bergairah dan produktif. Pada sisi lain, anak-anak yang hidup bersama,
seharusnya mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari kedua ibu dan bapaknya
karena suasana semacam itu dapat menumbuhkan kepribadian mereka sehingga
mereka menjadi anak-anak yang baik dan saleh. Demi keberhasilan mewujudkan
tujuan di atas, sangat perlu adanya kebersamaan dalam mengemudikan rumah
68
tangga. Husein menjelaskan permasalahan itu dengan mengacu pada surat al-
Nisa> ayat 34.
29

Dalam penjelasan al-Nisa> ayat 34 Husein menjelaskan bahwa pendapat
para ahli tafsir menyatakan bahwa qawwa> > m dalam ayat tersebut berarti
pemimpin, penanggung jawab, pengatur, dan pendidik. Kategori semacam itu
tidak akan menjadi persoalan yang serius sepanjang ditempatkan secara adil dan
tidak didasari oleh pandangan yang diskriminatif. Akan tetapi, secara umum para
ahli tafsir berpendapat bahwa superioritas laki-laki adalah mutlak. Superioritas
ini diciptakan Tuhan sehingga tidak bisa diubah. Kelebihan laki-laki atas
perempuan sebagaimana ayat tersebut, oleh para penafsir Al-Quran karena akal
dan fisiknya. Misalnya ar-Razi, di dalam tafsirnya mengatakan bahwa kelebihan
laki-laki atas perempuan meliputi dua hal: (1) ilmu pengetahuan (akal pikiran),
dan (2) kemampuan. Maksudnya, akal dan pengetahuan laki-laki melebihi
perempuan dan untuk pekerjaan-pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna.
30

Panafsiran-penafsiran tersebut, menurut Husein telah memberi arah bagi
pembagian peran tetap laki-laki dan perempuan. Laki-laki berperan pada sektor
publik (kemasyarakatan) dan perempuan berperan dalam wilayah domestik
(rumah tangga). Proses domestifikasi perempuan terus berlangsung dengan
justifikasi pikiran keagamaan. Ketika dikatakan bahwa perbedaan gender
tersebut bersifat kodrat, maka akan berarti penempatan peran-peran dan fungsi-

29
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm.165
30
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm 24-25
69
fungsi tersebut sebagai suatu yang normatif, yang berlaku tetap sepanjang
zaman.
31

Husein juga menambahkan, kekuasaan dan kekuatan laki-laki yang
memperoleh dasar legitimasi pikiran keagamaan secara tidak disadari ternyata
menimbulkan perlakuan yang tidak adil terhadap kaum perempuan, semata-mata
karena dia memiliki tubuh dan jenis kelamin perempuan. Pada gilirannya, hal ini
memberikan dampak lebih luas bagi langkah-langkah perempuan di tengah-
tengah kehidupan sosial mereka. Misalnya, perempuan tidak boleh keluar rumah
kecuali dengan membungkus seluruh tubuhnya dan membiarkan laki-laki
berpakaian apa saja. Dalam pengembangan intelektual, pendidikan perempuan
juga dibatasi sehingga mempengaruhi tingkat kecerdasannya. Inferioritas dan
rendahnya tingkat intelektualitas perempuan ini akhirnya menghalangi mereka
untuk menduduki posisi-posisi kekuasaan publik sehingga perempuan dianggap
sebagai subordinitasnya laki-laki.
32

Husein berpandangan, semua superioritas laki-laki tersebut tidak dapat
dipertahankan lagi sebagai suatu yang berlaku umum dan mutlak. Hal ini bukan
saja karena dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan
dasar-dasar kemanusiaan universal, melainkan juga karena fakta-fakta sosial
sendiri yang telah membantahnya. Menurut Husein zaman telah berubah,
sekarang sudah semakin banyak kaum perempuan yang memiliki potensi dan bisa
melakukan peran-peran yang selama ini dipandang hanya dan harus menjadi

31
Husein Muhammad. Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren,
Nuruzzaman, dkk (ed.), (Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 83
32
Husein Muhammad. Islam Agama Ramah, hlm. 84
70
milik laki-laki. Banyak perempuan di berbagai ruang kehidupan yang mampu
tampil dalam peran kepemimpinan domestik maupun publik, dalam bidang
politik, ekonomi dan sosial. Dari penjelasan itu Husein menganggap
kepemimpinan keluarga tidak hanya terpaku pada laki-laki, tetapi perempuan
juga mampu.
33

Karakterisrik yang menjadi dasar argumen bagi superioritas laki-laki
bukanlah suatu yang tetap dan berlaku sepanjang masa, melainkan ia merupakan
produk dari sebuah proses sejarah, yakni sebuah proses perkembangan yang terus
bergerak maju dari nomaden menuju berkehidupan tetapi, dari ketertutupan
menuju keterbukaan, dari kebudayaan tradisional menuju kebudayaan rasional,
dari pemahaman tekstual ke pemahaman substansial. Semuanya merupakan
sebuah proses sejarah yang berlangsung secara evolutif dan dinamis.
34

Husein memahami teks ini harus dipahami sebagai teks yang bersifat
sosiologis dan kontekstual karena merujuk pada persoalan partikuler. Posisi
perempuan yang ditempatkan sebagai bagian dari laki-laki, dan laki-laki sebagai
pemimpin dalam keluarga, sebenarnya muncul dalam suatu peradaban patriarki
atau peradaban laki-laki, di mana ketergantungan perempuan terhadap laki-laki
dalam aspek ekonomi dan keamanan sangat kuat. Oleh karena itu, redaksi ayat
tersebut juga datang dalam bentuk narasi (itibar) yang dalam disiplin ilmu fiqh
hanya sebatas pemberitaan yang tidak mengindikasikan suatu ajaran perintah
agama. Hal ini karena penafsiran-penafsiran yang mengatakan bahwa

33
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm 30
34
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 26
71
kepemimpinan dalam keluarga hanya hak laki-laki bukan hak perempuan adalah
interpertasi yang sarat dengan muatan sosio-politik saat itu.
Apabila ayat ini dipahami secara sosiologis dan kontekstual, maka
terbuka kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan. Dengan kata lain,
perempuan sebagai subordinat laki-laki juga memungkinkan untuk diubah pada
waktu sekarang, mengingat kebudayaannya sudah berubah. Menurut Husein,
dengan cara pandang demikian setidaknya kita dapat memahami bahwa
perempuan bukan makhluk Tuhan yang harus dan selamanya dipandang rendah
hanya karena dia perempuan, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi dan
kebudayaan patriarki. Pada saat yang sama, juga tidak seharusnya dianggap salah
ketika perempuan menjadi pemimpin, penanggung jawab, pelindung, dan
pengayom bagi komunitas laki-laki, sepanjang hal itu tetap dalam kerangka
kerahmatan, keadilan, dan kemaslahatan atau kepentingan masyarakat luas. Dari
penjelasan itu dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan juga mempunyai hak
memimpin keluarga.
Penafsiran dengan paradigma ini tidak sebatas pada hubungan laki-laki
dan perempuan dalam ruang domestik (suami-istri), tetapi juga berlaku untuk
semua masalah hubungan kemanusian secara lebih luas atau persoalan-persolan
partikuler lainnya yang terkait dengan dinamika sosial dan budaya. Ia juga
menambahkan bahwa persoalan yang paling signifikan dalam hal ini adalah cara
mewujudkan prinsip-prinsip agama, kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia
dalam relasi kehidupan laki-laki dan perempuan. Permasalahan ini tergambar
72
dengan dalam relasi suami-istri, seperti dijelaskan dengan kata-kata bi al-maru>f
(dengan cara yang baik atau patut) dalam firman Allah swt surat an-Nisa ayat 19:
-- J=- V ;-- Q- -- ')- '- -- ;---- Q;-~- V ', !~-- ;- ,- ;
_~- Q;-- , '- ,--'- Q ,~'- ---- ~='-- Q--'- 7 Q;---- !-
= -- = J=- '--~ ; ,-- ,-- ,-
Terjemah: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak. (Q.S an-Nisa: 19)

Kata ini jelas terkait dengan kata dasarnya, yaitu al-urf yang berarti
kebiasaan atau tradisi. Para mufasir menjelaskan bahwa al-maru> f adalah adat,
kebiasaan, atau tradisi yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan akal sehat,
serta tidak menyimpang dari dasar-dasar agama. Maru> f merupakan kebaikan
yang berdimensi lokal dan temporal, atau berdimensi kontekstual. Dengan
demikian, kebaikan jenis ini berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari satu
tempat ke tempat yang lain yang tetap berada dalam kerangka al-akhla> q al-
kari>mah
35
.
Mengenai mua>syarah bi al-maru> f dalam hal-hal yang berkaitan dengan
kemanusiaan, Husein menjelaskan bahwa suami dan istri harus saling menghargai
dan menghormati. Masing-masing harus berlaku sopan, saling menyenangkan,
tidak boleh saling menyakiti atau memperlihatkan kebencian, dan tidak boleh

35
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 29
73
pula saling mengungkap-ungkap jasa baiknya. Yang paling penting dalam
masalah ini adalah antara mereka berdua harus memiliki pandangan yang sama
tentang kesetaraan manusia; yang tidak mensubordinasikan yang lain, dan juga
sebaliknya.
Husein juga mengungkapkan bahwa ayat-ayat teologis yang dijelaskan di
atas, yang sementara ini diinterpretasikan bias gender, harus dikaji ulang dan
ditafsirkan kembali dengan menggunakan pendekatan kesetaraan dan keadilan
relasi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini kerena prinsip dasar ideal Islam,
seperti yang dinyatakan dalam ayat kepemimpinan keluarga, adalah persamaan
dan keadilan antara laki-laki dan perempuan.
Berbicara masalah relasi suami dan istri dalam hal ini, Husein juga
menjelaskan masalah tangung jawab nafkah keluarga. Husein menjelaskan bahwa
tanggung jawab nafkah istri dan keluarga dibebankan kepada suami. Kewajiban
suami dalam hal ini, memberikan yang terbaik bagi keluarganya, sejauh yang dia
miliki dan diusahakannya. Kewajiban nafkah suami tersebut meliputi pangan
(makanan), sandang (pakaian), dan papan (tempat tinggal). Al-Quran
menjelaskan hal ini:
,--'- Q)- ;~ Q)- - ;-;-- _--
Terjemah: Dan kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian
kepada ibu anaknya dengan cara yang maruf(Q.S. Al-
Baqarah:233)

Husein menjelaskan bahwa para ulama ahli fiqih klasik menyimpulkan
bahwa nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya meliputi: makan-
minum berikut lauk-pauknya, pakaian, tempat tinggal, pembantu jika diperlukan,
74
alat-alat untuk membersihkan tubuh, dan perabot rumah tangga. Sementara
nafkah untuk alat-alat kecantikan bukanlah merupakan kewajiban suami, kecuali
sebatas untuk menghilangkan bau badannya. Kalau menurut Ima> m al-Nawa>wi>
dari madzhab Sya>fii>, suami tidaklah berkewajiban memberikan nafkah untuk
alat-alat kecantikan lainnya yang semuanya dimaksudkan untuk menambahkan
gairah seksual.
Penjelasan di atas menurut Husein bebeda dengan para pemikir fiqih
kontemporer, mereka tidak menyetujui pandangan sebagaimana diuraikan di atas.
Menurut Wahbah az-Zuhaili> , para ahli fiqih klasik didasarkan pada tradisi yang
berkembang pada masa mereka yang tidak menganggap obat-obatan dan biaya
kesehatan sebagai kebutuhan pokok mereka. Tentu saja ini berbeda dengan
tradisi masyarakat sekarang, yang menempatkan kebutuhan akan kesehatan telah
menjadi kebutuhan pokok sama seperti makanan.
Dari keterangan itu, Husein menyimpulkan bahwa pada dasarnya seorang
istri dibebaskan dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk menutupi kebutuhan
hidupnya, apalagi untuk keluarganya. Seluruh kebutuhan istri dan rumah tangga
yang menjadi kebutuhan pokok adalah kewajiban suami untuk memenuhinya.
Jika suami tidak memberikannya, maka istri berhak menuntutnya atau
mengambilnya meskipun tanpa izin suami.
36

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dalam menafsirkan masalah
kepemimpinan dalam keluarga Husien Muhammad berangkat dari surat al-Nisa> :
34. Dapat diambil kesimpulan dari penafsiran Husein, bahwa ia berpandangan

36
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi, hlm. 168-169
75
perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam memimpin keluarga.
Berkaitan dengan tanggung jawab, suami dan istri mempunyai tanggung jawab
masing-masing. Misalnya, suami berkewajiban memberikan nafkah kehidupan
pada keluarga, sedangkan istri berhak memintanya.
Penafsiran Yunahar Ilyas dan Husein Muhammad di atas dari segi bentuk
dan metode hampir sama, tetapi dari segi corak sangat berbeda. Hal ini, dapat
dilihat dari penjelasan keduanya. Dalam penafsiran tentang kepemimpinan dalam
keluarga, keduanya memakai surat al-Nisa> : 34 yang dilengkapi dengan ayat-ayat
penjelas dan hadis sebagai pelengkap. Kemudian dengan kemampaun ijtihad
keduanya, mengkontekskan dengan zaman saat mereka hidup. Dalam penafsiran
tentang kepemimpinan keluarga, Yunahar dan Husein sangat berbeda. Yunahar
berpandangan bahwa kepemimpinan keluarga bersifat normatif bukan
kontekstual, sehingga dari penjelasan itu Yunahar beranggapan secara apriori
laki-laki yang berhak memimpin. Sementara itu, Husein berpandangan antara
suami dan istri mempunyai hak yang sama dalam memimpin keluarga.

76
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN YUNAHAR ILYAS DAN HUSEIN MUHAMMAD
TENTANG KEPEMIMPINAN KELUARGA

A. Komparasi Metode dan Penafsiran Kepemimpinan Keluarga Yunahar Ilyas
dan Husein Muhammad
Mengkomparasikan dua penafsiran tokoh berarti mencari titik
persamaan di satu pihak dan mencari titik perbedaan di pihak lain.
Pembandingan dilakukan terhadap karya tulis yang dimaksud serta
pemikiran-pemikiran dalam karya yang lain. Untuk menjaga melebarnya
pembahasan, penelitian ini akan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan
dengan dua subpokok bahasan, yaitu metodologi dan penafsiran kedua tokoh.
Dalam masalah kepemimpinan keluarga, Yunahar dan Husein
berangkat dari ayat yang sama, yakni surat al-Nisa>:34. Pada bagian awal
akan dijelaskan persoalan metode yang mereka gunakan, kemudian
pembahasan terhadap penafsiran mereka.

1. Perbandingan Metode Penafsiran
Dalam menafsirkan ayat, Yunahar mengedepankan kemampuan
ijtihad atau pemikiran, tanpa meninggalkan tafsir Al-Quran dengan Al-
Quran atau dengan hadis dan tidak pula mengabaikan sama sekali
penafsiran para sahabat dan tabiin. Artinya penafsiran Yunahar termasuk
dalam bentuk al-tafsi>r bi al-rayi. Sementara itu, dilihat dari segi metode,
76
77
Yunahar menggunakan metode maud}u>i>atau tematis. Dengan metode ini
Yunahar membahas dengan mengklasifikasikan ayat-ayat yang
mempunyai tema-tema tertentu, khususnya permasalahan kesetaraan
gender.
1
Selain itu, Yunahar juga memperhatikan kontekstualisasi dengan
menggunakan pendekatan tafsir-hermeneutis, dalam rangka
mendeskripsikan dan menganalisis interpretasi para mufasir terhadap ayat
Al-Quran yang dibahas dalam tema kepemimpinan dalam keluarga.
Secara khusus Yunahar menggunakan pendekatan hermeneutis. Pada saat
melakukan deskripsi terhadap pemikiran para mufasir ia menggunakan
proses hermeneutika reproduktif, sedangkan dalam menganalisis
pemikiran para mufasir Yunahar menggunakan pendekatan hermeneutika
produktif. Hal ini dilakukan dengan memproduksi interpretasi baru yakni
memakai langkah menghubungkan teks-teks ayat dengan teks tafsirnya
dan melihat konteks kekinian.
Sejalan dengan Yunahar dalam menafsirkan ayat, Husein lebih
banyak menafsirkan ayat dengan menggunakan bentuk al-tafsi>r bi al-
rayi. Hal ini terlihat dari tafsir fiqihnya yang istimbat-istimbat hukum
dari Al-Quran dan hadis yang dilakukan secara ijtihad. Husein juga
dalam menafsirkan ayat merujuk pada hadis-hadis Rasulullah yang
diperkuat dengan penjelasan-penjelasan pemikir sebelumnya. Akan tetapi

r l t i
1
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gende daam Al-Quran; S udi Pemkiran Para Mufasir,
(Yogyakarta: Labda Press. 2006), hlm. 8.
78
pemikir sebelumnya hanya dijadikan sebagai pembanding, karena yang
lebih dominan adalah hasil pemikiranya. Secara metodologis tafsir Husein
dapat dikatakan sebagai tafsir maud}u>i>karena Husein berusaha
menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema
perempuan dan keadilan gender dengan cara mengelompokkan ayat-ayat
yang masih satu tema.
Husein tidak hanya menggunakan metode itu, ia juga memakai
perangkat-perangkat penafsiran yang cukup beragam. Selain segi
normatif-ideologis, ia juga menggunakan perangkat hermeneutika-
kontekstual. Pendekatan tafsir hermeneutika-kontekstualnya dapat dilihat
dari bagaimana ia memahami konteks budaya yang ada. Husein
memaknai surat al-Nisa> ayat 34, sebagai teks yang bersifat sosiologis
dan kontekstual karena menunjukkan persoalan yang umum dalam
masyarakat.
2
Dengan pandangan seperti di atas dapat diketahui bahwa Yunahar
dan Husein menggunakan metode yang sama dalam menafsirkan ayat Al-
Quran. Keduanya menafsirkan dengan mengedepankan kemampuan akal
serta lebih kontekstual melihat perkembangan zaman saat mereka hidup.
Yang dimaksudkan dengan metode tafsir tematik ialah, kedua tokoh ini
belum mempunyai kitab tafsir tetapi mereka memberikan bukti bahwa
mereka menafsirkan dengan cara mengelompokkan ayat-ayat yang masih

l t
2
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Ref eksi Kiai aas Wacana Agama dan Gender,
terj. Fakihuddin Abdul Kodir, (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 26
79
satu tema. Misalnya Yunahar mengelompokkan ayat-ayat yang masih
satu tema tentang kesetaraan, mulai dari penciptaan perempuan,
3
konsep
kepemimpinan rumah tangga,
4
sampai dengan konsep kesaksian dan
kewarisan perempuan,
5
sedangkan Husein mengelompokkan ayat-ayat
kesetaraan gender, mulai dari masalah penciptaan masusia,
6
hak kawin
muda,
7
sampai dengan masalah kepemimpinan dalam keluarga.
8

Sementara itu, dari segi corak, penafsiran Yunahar dan Husein
memiliki perbedaan. Tafsir Yunahar lebih bercorak budaya
kemasyarakatan misalnya corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-
ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ada dalam
masyarakat berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Yunahar lebih banyak melihat pada konteks budaya kemasyarakatan.
Di lain pihak, tafsiran Husein dapat dikatakan bercorak fiqih atau
hukum, yakni corak penafsiran akibat dari berkembangnya ilmu fiqih, dan
terbentuknya mazhab-mazhab fiqih. Pada masa ini, setiap golongan
berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum, demikian pula penafsiran
yang dilakukan oleh Husein. Penafsiran Husien cenderung melihat pada

3
Q.S. Al-Nisa>: 1
4
Q.S. Al-Nisa>: 34
5
Q.S. Al-Baqarah: 282 dan Q.S. Al-Nisa>: 11
6
Q.S. Al-H}ujura>t: 13
7
Q.S. Al-T{ala>q: 4 dan Q.S. Al-Nu> r: 32
8
Q.S. An-Nisa>: 34
80
hukum-hukum yang ada. Misalnya ia menafsirkan ayat dengan
menjelaskan ayat dengan ayat dan dengan hadis baru dikontekskan.

2. Perbandingan Penafsiran tentang Kepemimpinan dalam Keluarga
Bagian ini akan membandingkan penafsiran kedua tokoh tentang
kepemimpinan keluarga yang berangkat dari surat al-Nisa>:34. Sumber ini
diambil dari karya tulis mereka yang dibukukan.
Dalam pandangan Yunahar para mufassir berbeda-beda dalam
menjelaskan masalah kepemimpinan dalam keluarga, tetapi mayoritas
berangkat dari kata qawwa>m yang berarti seorang pemimpin. Dalam segi
makna mereka juga berbeda-berbeda dalam memahaminya. Kelebihan
laki-laki sebagai pemimpin oleh sebagian ada yang menjelaskan bersifat
fisik, mental, intelektual, peran keagamaan atau semuanya sekaligus.
Allah swt menjelaskan dengan alasan, (1) Allah telah memberikan
kelebihan laki-laki atas perempuan dan (2) laki-laki telah menafkahkan
dari hartanya untuk biaya hidup keluarga.
Berbeda dengan Yunahar, ia lebih sepakat dengan penjelasan yang
diberikan oleh Thabathabai yang menyatakan bahwa kelebihan laki-laki
atas perempuan terletak pada kekuatan intelektual yang menyebabkan dia
lebih tahan dan tabah menghadapi tantangan dan kesusahan. Sementara
itu, kehidupan perempuan adalah kehidupan emosional yang dibangun di
atas sifat kelembutan dan kehalusan. Pendapat Yunahar juga berangkat
dari pendapat Muh}ammad Ali>al-S{a>bu>ni>yang juga menyatakan bahwa
81
kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga karena
kelebihan intelektual dan kemampuan mengelola rumah tangga serta
kemampuan mencari nafkah untuk membiayai kehidupan keluarga.
Akan tetapi, anggapan Yunahar yang lebih kuat ialah laki-laki dan
perempuan mempunyai kemampuan potensi intelektual yang sama
bahkan bisa jadi kemampuan intelektual perumpuan lebih kuat dari laki-
laki. Masalah kecerdasan tergantung dari rangsangan syaraf yang
dilakukan terutama di waktu masih balita dan pendidikan yang didapat
dan lingkungan masing-masing.
Sejalan dengan itu, Husein juga menjelaskan bahwa rendahnya
tingkat intelektualitas perempuan akhirnya menjagal dan menghalangi
mereka untuk menduduki posisi-posisi kekuasan publik sehingga
perempuan dianggap sebagai subordinitas laki-laki. Hal ini, sama halnya
dengan kepemimpinan dalam keluarga. Karena tingkat intelektual
perempuan lebih lemah, maka mayoritas pemimpin dalam keluarga hanya
dipegang oleh laki-laki.
Kepemimpinan sendiri, dapat dibagi menjadi dua macam yakni
kepemimpinan formal (resmi) dan kepemimpinan informal (tidak resmi).
Kepemimpinan resmi adalah kepemimpinan yang tersimpul dalam suatu
jabatan yang bersifat struktural, yaitu kepemimpinan didasarkan pada
struktur organisasi secara resmi dalam suatu kelompok atau masyarakat.
Sementara itu, kepemimpinan informal adalah kepemimpinan karena
adanya pengakuan masyarakat akan kemampuan (capability) seseorang
82
untuk menjalankan kepemimpinan yang bersifat fungsional. Dalam hal
ini, kepemimpinan dilihat dari segi fungsi-fungsi sosial dalam suatu
interaksi sosial.
9
Dari penjelasan itu, kepemimpinan keluarga dapat
dikelompokkan dalam kepemimpinan informal atau kepemimpinan tidak
resmi.
Keluarga adalah sebuah institusi yang dimaksudkan sebagai
wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai dan
sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang antara suami dan istri.
Dengan demikian, demi mewujudkan tujuan tersebut sangat diperlukan
adanya kebersamaan dan sikap saling berbagi tanggung jawab.
Dalam pandangan sosiologis keluarga meliputi semua pihak yang
mempunyai hubungan darah atau keturunan, secara khusus keluarga
meliputi orang tua (bapak & ibu), dan anak-anak yang tinggal dalam
kesatuan sosial ekonomi. Keluarga yang terdiri dari ketiga unsur tersebut
mempunyai fungsi sebagai tempat pertama bagi proses sosialisasi dan
enkulturasi anak-anak yang dilahirkan dari ikatan pasangan suami dan
istri. Ikatan suami dan istri dalam keluarga merupakan kesetiaan cinta
kasih. Dari pengertian itu keluarga mempunyai peran sosial yang diikat
oleh relasi seks, cinta, kesetiaan, dalam bentuk pernikahan. Dalam
keluarga laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri dengan

l
9
Soerjono Soekanto, Sosioogi Suatu Pengantar (J akarta: CV Rajawali, 1994), hlm. 319
83
konsepsi istri adalah partner hidup bagi suami, dan sebaliknya. Demikian
pula dalam kepemimpinan keluarga.
10
J ika pengertian kepemimpinan ini dikaitkan dengan pengertian
keluarga, perempuan dan laki-laki mempunyai potensi yang sama dalam
memimpin keluarga. Artinya, adanya relasi yang seimbang dalam
menentukan keharmonisan keluarga. Karena dari diskursus
kepemimpinan, tidak satu pun yang mempersoalkan jenis kelamin atau
seks tertentu sebagai pemilik dominan untuk menjadi seorang pemimpin.
Terlebih lagi bahwa kepemimpinan adalah suatu yang harus dilatih dan
diupayakan, bukan suatu yang melekat sejak lahir. Hal ini berarti bahwa
laki-laki maupun perempuan sesungguhnya sama-sama mempunyai hak
dalam kepemimpinan keluarga. Hal ini tergantung pada yang berhasil
memperolehnya. Dalam pandangan Yunahar dan Husein kepemimpinan
ini dilihat dari segi kemampuan intelektualitas.
Selanjutnya, Yunahar berbeda dengan Husein dalam menafsirkan,
Yunahar menjelaskan bahwa Allah swt memberikan hak kepada suami
untuk melakukan tiga tahapan tindakan menghadapi istri yang nusyu>z},
yaitu menasihati, pisah ranjang, dan memukul. Andaikata suami bukan
pemimpin yang menempati posisi yang lebih tinggi dibanding istrinya
(dalam koteks keluarga) tentu tidak mungkin dia dapat melakukan tiga
tahapan tindakan tersebut.

i l
10
Kartini Kartono, Psikolog Wanita Mengena Wanita sebagai Ibu dan Nenek,
(Bandung: al-Bayan, 1995), hlm. 215
84
Kepemimpinan suami tersebut lebih jelas dalam bagian akhir ayat
yang menggunakan kata taat:
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.

Menurut Yunahar penggunaan kata taat menunjukkan hubungan
suami dengan istri bersifat struktural. J ika bukan struktural, kata yang
digunakan bukan menaati, melainkan menyetujui atau menerima
pandapatnya. Dengan demikian, penafsiran Yunahar terhadap surat al-
Nisa> ayat 34, menekankan bahwa suamilah yang menjadi pemimpin
dalam keluarga. Kata taat dapat dipahami dalam arti kepatuhan, saat
suami mengajak untuk menjalankan perbuatan yang maru>f, maka seorang
istri harus patuh pada suaminya.
Selain itu, Yunahar juga menjelaskan sebagaimana halnya istri,
tentu juga ada suami yang melakukan nusyu>z\ . Dalam hal ini, apabila
dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian, penjelasan Yunahar
sejalan dengan Ima>m Ma>lik, bahwa istri boleh mengadukan suaminya
kepada hakim (pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasihat
kepada suami. Apabila tidak dapat dinasihati, hakim dapat melarang
kepada istri untuk taat pada suaminya, tetapi suami tetap memberikan
nafkah pada istri. Hakim juga membolehkan istri untuk pisah ranjang,
bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. J ika dengan cara demikian
suami belum sadar, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pukulan
kepada suami. Setelah pelaksanaan hukuman tesebut, sang suami belum
85
memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan perceraian jika istri
menghendakinya. Pendapat tersebut menurut Yunahar seimbang dengan
sikap yang harus diambil oleh suami apabila menghadapi istri nusyuz
sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa>: 34 sebelumnya. Hanya
bedanya, untuk khusus nusyu>z\suami, yang melaksanakan tiga tahapan itu
hakim (pengadilan), bukan sang istri sendiri.
11
Akan tetapi, dalam penafsiran selanjutnya, masih ada pembelaan
terhadap kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Hal ini dapat dilihat
dari pendapat Yunahar bahwa kepemimpinan dalam keluarga bersifat
normatif, bukan kontekstual. Dengan penjelasan yang menunjukkan
bahwa kepemimpinan kontekstual dalam keluarga menyebabkan tidak
efektifnya kepemimpinan pada masa-masa tertentu yang dapat berakibat
pada kebuntuan rumah tangga. Sementara itu, secara normatif hak
kepemimpinan secara apriori kepada laki-laki. Dalam arti di saat ada
kebuntuan harus ada salah satu yang menjadi pemimpin untuk mengambil
keputusan yang dalam konteks ini adalah laki-laki.
12
Dalam pandangan peneliti, Yunahar belum konsisten dalam
memaparkan masalah kepemimpinan dalam kelaurga. Misalnya, pada
awal penafsiran, ia berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan
mempunyai hak dalam memimpin asalkan kemampuan intelektualnya
lebih, akan tetapi pada penjelasan selanjutnya Yunahar masih

l r
l
11
Yunahar Ilyas, Feminisme daam Kajian Tafsir Al-Qu an Klasik dan Kontemporer
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 130
12
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender daam Al-Quran, hlm. 246
86
menganggap kemampuan intelektual ini dari segi rasio dan rasa. Pada
penafsiran selanjutnya pun Yunahar masih bersifat normatif dalam
memahami ayat, misalnya saat ia menyatakan posisi laki-laki lebih tinggi
dari perempuan yang diperkuat dengan tiga tahapan menasehati, pisah
ranjang, dan memukulnya.
Berbeda dengan Yunahar, Husein menafsirkan bahwa
kepemimpinan keluarga harus dipahami sebagai teks yang bersifat
sosiologis dan kontekstual karena merujuk pada persoalan yang
berkembang dalam masyarakat. Posisi perempuan yang ditempatkan
sebagai bagian dari laki-laki dan laki-laki sebagai pemimpin dalam
keluarga, sebenarnya muncul dalam suatu peradaban patrialki atau
peradaban laki-laki. Pada peradaban ini, ketergantungan perempuan
terhadap laki-laki dalam aspek ekonomi dan keamanan sangat kuat. Oleh
karena itu, redaksi ayat tersebut juga datang dalam bentuk narasi (itibar)
yang dalam disiplin ilmi fiqih hanya sebatas pemberitaan yang tidak
mengindikasikan suatu ajaran perintah agama. Hal ini karena penafsiran-
penafsiran yang mengatakan bahwa kepemimpinan dalam keluarga hanya
hak laki-laki bukan hak perempuan adalah interpertasi yang sarat dengan
muatan sosio-politik saat itu.
Menurut Husein, apabila ayat ini dipahami secara sosiologis dan
kontekstual maka terbuka kemungkinan terjadinya proses perubahan.
Dengan kata lain, perempuan sebagai subordinat laki-laki juga
memungkinkan untuk diubah pada waktu sekarang, mengingat
87
kebudayaannya sudah berubah. Dari penjelasan ini dapat dipahami Husein
lebih kontekstual dalam menjelaskan ayat masalah kepemimpinan
keluaraga.
Selain itu, Husein juga menjelaskan masalah tanggung jawab
dalam rumah tangga. Menurutnya, bahwa pada dasarnya seorang istri
dibebaskan dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk menutupi
kebutuhan hidupnya, apalagi untuk keluarganya. Seluruh kebutuhan istri
dan rumah tangga yang menjadi kebutuhan pokok adalah kewajiban
suami untuk memenuhinya. J ika suami tidak memberikannya, maka istri
berhak menuntutnya atau mengambilnya meskipun tanpa izin suami.
13
Dari perbedaan itu, ada penafsiran yang mempunyai muatan yang
sama antara Yunahar dan Husein. Hal ini terlihat pada saat Yunahar
mengungkapkan bahwa landasan yang paling penting dalam sebuah
keluarga adalah musyawarah. Menurutnya, suami hendaklah memimpin
istrinya dengan landasan al-mua>syarah bi al-maru>f dan penuh
kesabaran, sebagaimana yang diperintah oleh Allah swt. Husein juga
menjelaskan hal yang sama yaitu prinsip musyawarah yang terpenting
dalam relasi sebuah keluarga.
Yunahar berpandangan bahwa sekalipun laki-laki secara normatif
diberi hak memimpin istrinya, tetapi dia tidak boleh menegakkan
kepemimpinan dengan otoriter atau dengan mengabaikan kemauan dan
pertimbangan istri. Sependapat dengan itu, Husein menjelaskan persoalan

fl
13
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Re eksi, hlm. 168-169
88
yang paling signifikan, yaitu cara mewujudkan prinsip-prinsip agama,
kemanusiaan, dan hak-hak asasi manusia dalam relasi kehidupan laki-laki
dan perempuan. Permasalahan ini tergambar dengan jelas pada saat kita
membaca relasi suami-istri, seperti dijelaskan dengan kata-kata bi al-
maru>f (dengan cara yang baik atau patut) dalam firman Allah swt.
Antara Yunahar dan Husein sama-sama berangkat dari penjelasan surat
al-Nisa> ayat 19.
14

Di pihak lain, dilihat dari aplikasi penafsiran, kedua tokoh ini
sangat terlihat memiliki perbedaan. Yunahar masih sebatas masuk dalam
ruang kajian, belum diwujudkan pada praksis gerakan. Sampai laporan
penelitian ini ditulis belum ditemukan data yang menunjukkan bahwa
Yunahar termasuk dalam aktivis perempuan. Ia baru dapat dikatakan
sebagai ilmuan yang peduli terhadap permasalah perempuan.
Sementara itu, Husein sudah masuk pada aplikasi gerakan. Sampai
laporan ini ditulis Husein masih terus aktif dalam gerakan-gerakan
perempuan. Hal ini dapat dilihat dari perjuangannya dalam mendirikan
Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam pemberdayaan
perempuan. Kontribusi yang tampak adalah pengaruh pemikirannya
berupa model pembacaan perspektif gender yang selama ini masih jarang
diperkenalkan di wilayah pesantren.

l l
i
14
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender daam A -Quran, hlm.247 dan Husein Muhammad,
Fiqih Perempuan; Refleks, hlm. 28
89
Dari penjelasan itu dapat dilihat bahwa antara Yunahar dan
Husein yang menggunakan metode panafsiran yang sama, ternyata
mempunyai produk hasil penafsiran yang berbeda dalam menafsirkan
tentang kepemimpinan keluarga.

B. Relevansi Penafsiran Kepemimpinan Keluarga Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad dengan Kondisi Indonesia Sekarang
Instabilitas politik yang terjadi setelah reformasi telah melahirkan
kelompok Muslim liberal dan fundamentalis.
15
Setelahnya jatuhnya rezim
otoriter Orde Baru di tahun 1998, pertarungan identitas keagamaan,
khususnya Islam, muncul secara cepat. Presiden Habibie, yang menggantikan
Soeharto, memberikan kebebasan pers. Penerusnya, Abdurrahman Wahid,
melanjutkan usaha menjaga kebebasan berekspresi. Kondisi ini sangat jelas
terlihat dari banyaknya idiom dan simbol politik Islam yang dipakai oleh
beberapa kelompok masyarakat.
Selain simbol politik, transisi kekuasaan itu juga memiliki dampak
terhadap fragmentasi kepentingan umat Islam dan mobilisasi gerakan
keagamaan. Masyarakat menciptakan ruang publik tanpa ada rasa takut dari
ancaman penguasa. Banyak kelompok baru lahir dengan orientasi yang
beragam serta mengusung beraneka aliran pemikiran Islam. Masyarakat
sangat mungkin terlibat dalam organisasi tertentu yang sesuai dengan pilihan

l l j li
15
Suciati, Mempertemukan Isam Libera (J IL) dengan Mae s Tarjih Muhammadiyah,
(Yogyakarta: CV Arti Bima Intara, 2006), hlm. 1
90
akademis dan religius mereka. Misalnya, dari kalangan Muhammadiyah
muncul Yunahar Ilyas yang peduli dengan permasalahan perempuan,
sedangkan dari kalangan Nahdhatul Ulama muncul Husein Muhammad yang
juga fokus pada masalah perempuan yang berkembang di masyarakat
Indonesia.
Reformasi telah memberikan wadah bagi para generasi Muslim untuk
melahirkan entitas changing santri atau metamorfosis santri
16
sebagai ganti
dari entitas santri tradisional dan modern yang pada level tertentu diisi oleh
kalangan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Secara sederhana, alam
santri ini dibangun oleh dua aliran pemikiran Islam yang saling kontradiktif,
yaitu liberal dan fundamentalis. Perbedaan tajam antara kelompok modernis
dan tradisionalis pada tahun 70-an sampai 90-an dilanjutkan oleh kelompok
ini. Bahkan, hubungan dan perdebatan antara dua kelompok itu berlangsung
semakin intensif. Kelompok pertama tidak hanya menuntut kontekstualisasi
fikih agar mampu menjawab persoalan sosial, tetapi juga pendekatan modern
untuk memahami doktrin Islam secara kritis, seperti hak-hak non Muslim,
kebebasan berpikir, dan pluralisme.
Michael Feener menyebut kelompok ini next generation fiqh atau
generasi fikih lanjut karena sebagian besar aktivis yang terlibat adalah
generasi baru ilmuwan dan aktivis. Keberadaan mereka telah memberikan

I
16
Istilah santri baru (jenis baru santri) untuk menyebut fenomena santri kontra tidak
sepenuhnya tepat. Sedangkan santri kota yang meliputi mahasiswa ilmu eksakta dan menyerukan
purifikasi serta implementasi syariat Islam dapat disebut sebagai santri baru. Sebaliknya, mereka
yang berasal dari NU dan Muhammadiyah dan terlibat dalam tema diskusi dekonstruksi dan
liberalisasi adalah metamorfosis santri. Nur Khalik Ridwan, Santri Baru; Pemetaan, Wacana
deologi, dan Kritik (Yogyakarta: Gerigi Pustaka, 2004).
91
warna, dan secara signifikan mempengaruhi, diskursus hukum Islam di
Indonesia. Penampilan mereka pada ranah publik Indonesia juga memiliki
peran penting dalam menentukan masa depan hukum keluarga Muslim.
Kelompok liberal garis muda, di antaranya J aringan Islam Liberal
(J IL) dapat dijadikan sebagai contoh. J aringan ini menawarkan pembacaan
baru terhadap teks-teks keagamaan dengan memakai pendekatan post-
tradisionalis, seperti dekonstruksi-rekonstruksi. J IL juga mengkampanyekan
pemahaman lokal dan plural terhadap doktrin Islam.
17
Di samping NU, generasi muda yang tergabung dalam
Muhammadiyah juga menyuarakan agenda perubahan atas cara pandang
Muhammadiyah terhadap reformasi modern. Diinspirasi oleh A. Syafii
Maarif, Kuntowijoyo, dan Moeslim Abdurrahman, mereka melihat konsep
Islam modern yang elitis dan kecenderungan ideologisasi dan politisasi Islam
yang mengarah terhadap tersebarnya konservatisme reaksioner. Kelompok
intelektual muda ini menyebut dirinya dengan J aringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (J IMM). J IMM juga menuntut Muhammadiyah untuk
mengakomodasi tradisi lokal dan liberalisasi, sebagai ganti purifikasi,
melawan hegemoni kekuasaan, serta terlibat dalam gerakan sosial.
Para intelektual Muslim progresif tidak setuju dengan ide bahwa
Islam merupakan agama yang statis, yang ajarannya hanya didasarkan pada
praktik generasi pertama Islam. Bagi mereka, interpretasi kreatif terhadap

I l l t
I
17
Khamami Zada, sam Radika: Pergulaan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di
ndonesia, (J akarta: Teraju, 2002), hlm. 97.
92
sumber doktrin Islam menjadi keniscayaan. Dalam konteks ini, pendekatan
humanitarian dan teori sosial mutlak diperlukan. Mereka juga mengusahakan
untuk membuat kelompok yang selalu mempromosikan nilai-nilai humanis
dalam Islam. Seperti yang tersebut di atas, kelompok yang paling terkenal
dalam arus ini adalah J IL yang didirikan di J akarta Timur pada 8 Maret 2001.
Ahmad Bunyan Wahib menemukan dua faktor kunci yang
berkontribusi terhadap pendirian jaringan ini. Pertama, faktor internal yang
berupa kondisi masyarakat Indonesia yang sudah cukup akrab dengan ide
liberalisasi pemikiran Islam sejak awal tahun 70-an. Kedua, faktor eksternal
yang meliputi kondisi global, yaitu perkembangan Islam liberal di dunia
Muslim dan perkembangan ilmu-ilmu sosial serta dukungan finansial dari
organisasi donor internasional, seperti The Asia Foundation.
Selain J IL dan J IMM, terdapat ratusan lebih Non Governmental
Organisations (NGO) di seluruh Indonesia yang bergerak dalam kajian kritis
atas ajaran Islam. Mereka tidak hanya melakukan studi dan penelitian, tetapi
juga melakukan aktivitas pemberdayaan dan pendampingan masyarakat.
Sebagai contoh, sebuah organisasi bernama Lembaga Kajian Islam dan Sosial
(LKiS) yang berdiri di awal tahun 90-an di Yogyakarta, berkiprah dalam
penerbitan, pemberdayaan masyarakat, seperti penelitian dan pendidikan.
Huruf non kapital i pada kata islam dimaksudkan untuk merujuk islam
dengan pesan universal, toleran, dan humanis. Aktivis J IL dan LKiS adalah
generasi baru ilmuwan berbasis pesantren. Mayoritas mereka berafiliasi
93
dengan NU, organisasi masyarakat Muslim terbesar di Indonesia, dan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Di luar tema liberalisasi, sejumlah organisasi di luar pesantren,
universitas misalnya, juga memberikan perhatian terhadap persoalan gender
dan kekerasan dalam rumah tangga. Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, sebagai contoh, sangat aktif dalam mengkampanyekan
konsep kesetaraan gender melalui peninjauan ulang terhadap penafsiran ayat
al-Quran tentang hak-hak dan keadilan dalam keluarga dan persoalan lain
yang terkait dengan isu gender dalam Islam. Pusat Studi Wanita ini juga
mengadakan pelatihan bagi para hakim agama, pimpinan keagamaan,
pimpinan partai Islam, pimpinan ormas Islam, dan guru-guru madrasah untuk
meingkatkan kesadaran mereka terhadap keadilan gender, hak asasi manusia,
dan demokrasi.
18
Masih di Yogyakarta, organisasi lain yang bergerak di bidang
penguatan gender adalah Pusat Studi Islam (PSI-UII) Universitas Islam
Indonesia. Sekarang, PSI-UII sedang mengembangkan program penguatan
pemahaman dan sikap keagamaan yang adil gender dalam keluarga bekerja
sama dengan Cordaid, organisasi donor berbasis di Belanda.
Gerakan liberalisasi juga disuarakan oleh tim Paramadina. Paramadina
merupakan institusi akademik berbasis wakaf yang diprakarsai oleh
Nurcholish Madjid, salah satu intelektual yang mempromosikan gagasan

18
PSW UIN Sunan Kalijaga, Draf Profil Pusat Studi Wanita (Center for Womens
Studies) UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: PSW UIN Suka, 2009)
94
pembaharuan pemikiran Islam di awal tahun 1970-an. Tim ini terdiri atas
intelektual muda dan penulis kajian Islam. Komaruddin Hidayat, Zainun
Kamal, Munim A. Sirry dan Zuhairi Misrawi adalah orang kunci dalam tim
tersebut. Mereka gelisah dengan realitas fikih yang telah menjadi konsep
statis dan telah digunakan untuk membenarkan rasa kebencian terhadap
penganut agama lain. Mereka mengusahakan rekonseptualisasi fikih yang
lebih dinamis, multikultural, dan egalitarian. Sebagai hasil, hal ini didukung
oleh yayasan wakaf Paramadina dan the Asia Foundation, mereka
menerbitkan sebuah buku berjudul Fiqih Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis pada tahun 2004.
19
Apabila melihat realitas yang ada di masyarakat Indonesia sekarang
ini, dimana transformasi sosial bergerak cukup cepat, laju modernitas dan
globalisasi yang melahirkan isu-isu demokrasi dan arus pemikiran baru yang
memberikan tantangan baru seperti dijelaskan di atas cukup memberikan
informasi, bahwa ruang-ruang kesetaraan sudah terbuka. Misalnya,
munculnya gerakan-gerakan pemberdayaan pada perempuan, sangat
memberikan ruang kebebasan untuk pengembangan intelektual. Di antaranya
berupa pemberian kesempatan luas bagi perempuan untuk mengenyam
pendidikan tinggi, sejajar dengan laki-laki, atau lebih khusus lagi dengan
pernah terpilihnya Megawati menjadi Presiden Republik Indonesia.

: t -
19
Norcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama Membangun Masyaraka Inklusif
Pluralis, (J akarta: Yayasan Wakaf Paramadina & TAF, 2004)
95
Sementara itu, realitas yang terjadi di masyarakat kalangan bawah
masih menunjukkan peran dan kemampuan perempuan dianggap sebagai
peran kedua seperti dalam kepemimpinan keluarga. Padahal, jika melihat arus
perkembangan pemikiran di Indonesia peran dan kemampuan perempuan
tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam keadaan yang demikian perempuan
tidak dapat dianggap memiliki kekurangan pada akalnya, sehingga tidak
diperbolehkan menjadi pemimpin dalam keluarga.
20
Banyak jabatan-jabatan
strategis diduduki oleh perempuan, mulai dari jabatan hakim pengadilan,
perdana menteri, presiden, dan jabatan lainnya. Semua itu, seharusnya
mendapatkan respons yang positif, karena ternyata perempuan yang
mendapatkan jabatan itu mampu melaksanakan amanah dengan baik dan
bertanggung jawab. Artinya, anggapan laki-laki mempunyai kemampuan
yang lebih apabila dibandingkan dengan perempuan dapat terbantahkan oleh
fakta sekarang ini.
Dalam konteks pembahasan kepemimpinan keluarga yang ditawarkan
oleh Yunahar dan Husein, pandangan Yunahar kurang relevan. Pada awal
penafsiran menurut Yunahar kepemimpinan keluarga dapat dijalankan oleh
laki-laki atau perempuan, asalkan mempunyai kelebihan dalam kapasitas
intelektual. Akan tetapi pada penjelasan selanjutnya Yunahar menekankan
kepemimpinan secara apriori adalah laki-laki yang didasarkan pada
penjelasan tahapan suami terhadap istri disaat nusyuz. Berbeda dengan

ji i i
20
Hamin Ilyas, dkk. Perempuan Tertindas?; Ka an Hadis-Hads Misognis,
(Yogyakarta: PSW UIN Suka & The Ford Foundation J akarta, 2003), hlm. 39
96
Yunahar, pandangan Husein sangat relevan untuk menjadi pedoman bagi
intelektual Muslim karena dalam suatu peraturan undang-undang, cukup
mengakomodasi segala potensi dan kreativitas kaum perempuan, sebagai
makhluk yang mempunyai kapasitas intelektual. Apalagi apabila kita lihat
dari penjelasan sebelumnya, munculnya arus pemikiran baru di Indonesia
merupakan sebagai bentuk terbukanya ruang publik bagi perempuan untuk
mengembangkan kemampuan intelektualnya.
Dalam kajian sosiologi, berkembangnya pemikiran kepemimpinan
keluarga karena adanya konsep strukturalistik. Pandangan ini kemungkinan
besar dipengaruhi oleh strukturalisme secara umum, khususnya dalam kajian
sosiologi politik. Oleh karana itu, beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
kepemimpinan keluarga adalah mampu bersikap adil, mempunyai
pengetahuan yang luas, dan mampu menunjukkan kemampuannya dalam hal
kesehatan jasmani dan rohani. Kepemimpinan keluarga berbeda dengan
kepemimpian politik, karena yang dimaksudkan bukan kepemimpinan dalam
arti kekuasaan, melainkan dipahami sebagai amanat untuk menegakkan
kebaikan, mengarahkan dan mendidik anggota keluarga.
21
Masalah relasi perempuan dan laki-laki telah banyak disebutkan
dalam Al-Quran. Dijelaskan laki-laki dan perempuan adalah bagian dari
bangsa manusia yang digambarkan menjadi bangsa yang satu,
22
sebagai

l
21
MF Zenrif, Kepemimpinan Keluarga dalam Kajian Konstekstual dalam Musawa,
J urna Studi Gender dan Islam (Yogyakarta: Pusat Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, Vol 3, no 1,
2004) hlm. 53
22
Q.S. Al-Baqarah:213
97
keturunan Adam digambarkan menjadi orang-orang yang mulia oleh Allah
swt.
23
Dengan demikian, menurut Al-Quran perempuan dan laki-laki setara
dengan ukuran kemuliaan di antara mereka yang bertaqwa.
24
Al-Quran juga menjelaskan kejiwaan wanita yang kompleks, di
dalamnya terdapat kisah tentang Zulaikha yang agresif, istri Firaun yang
shaleh, ratu Balqis sebagai seorang pengusa dan kisah istri Luth yang
durhaka. Berangkat dari itu, perempuan memiliki otonomi di dunia,
sebagaimana laki-laki, perempuan juga merupakan khila>fah di dunia,
termasuk dalam keluarga.
Sejalan dengan itu, menurut Yunahar adanya pembedaan fisik antara
laki-laki dan perempuan bukan faktor penting dalam pemilihan siapa yang
menjadi pemimpin dalam keluarga. Hal ini karena menurut Yunahar prinsip
musyawarah yang penting dalam kepemimpinan keluarga. Akan tetapi,
adanya pernyataan Yunahar, bahwa ia lebih sepakat dengan normativitas,
yakni menganggap kepemimpinan keluarga adalah laki-laki yang memegang
peran dalam pengambilan keputusan, kurang relavan dengan adanya
penjelasan bahwa perempuan mempunyai hak setara dengan laki-laki. Dari
penjelasannya itu, Yunahar masih menganggap perempuan adalah
subordinitas laki-laki. Padahal terbukanya ruang-ruang demokrasi tidak
menutup kemungkinan akan adanya relasi dalam sebuah kesatuan keluarga.

23
Q.S. Al-Isra>:70
24
Q.S. Al-H{ujara>t:13
98
Berbeda dengan Husein, penjelasan tentang kelebihan fisik,
menimbulkan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Pernyataan Husein
kiranya cukup relevan karena zaman sudah berkembang. Perempuan sudah
semakin banyak yang memiliki potensi dan bisa melakukan peran-peran yang
selama ini dipandang hanya menjadi milik laki-laki. Ditambah dengan
banyaknya lembaga-lembaga yang konsen dengan pemberdayaan perempuan,
secara tidak langsung proses itu memberikan ruang interaksi bagi perempuan
untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki.
Dari penjelasan sebelumnya, maka pandangan serta penafsiran
Yunahar kurang mempuayai relevansi dengan masyarakat Indonesia,
sedangkan penafsiran Husein sangat memiliki relevansi dengan konteks
sosio-kultur di Indonesia. Hal ini karena masyarakat Indonesia yang telah
memberikan kesempatan pada perempuan untuk memperoleh akses yang
sama dalam hak-hak dasar kepada laki-laki dan perempuan. Pelibatan yang
seimbang dalam memperoleh sumber daya, keterlibatan dalam pengambilan
keputusan, merupakan bentuk keadilan dan kesetaraan laki-laki dengan
perempuan dalam relasi memimpin keluarga.
Dalam konteks realitasnya, penafsiran Yunahar masih bersifat kajian
saja. Ia hanya memposisikan dirinya sebagai ilmuan yang peduli terhadap isu-
isu perempuan. Berbeda dengan Husein yang telah berjalan dengan
konsepnya untuk masuk dalam wilayah pemberdayaan perempuan. Artinya,
relevasi konsep kepemimpinan keluarga Yunahar perlu di perkenalkan
terhadap masyarakat kalangan bawah, seperti yang dijelaskan sebelumnya
99
bahwa mereka masih memerlukan ruang-ruang untuk berinteraksi secara
sama. Husein sudah berpartisipasi aktif dalam memberdayakan masyarakat
kalangan bawah.
Kalau konsep itu memiliki pesan yang sampai kepada orang yang
belum mengetahuinya, maka akan menjadi poin penting dalam perkembangan
pola pikir masayarakat Inodonesia. Konsep kepemimpinan keluarga yang
ditawarkan oleh Yunahar dan Husein, seharusnya bisa masuk ke seluruh
lapisan masyarakat, karena memang kalau kita melihat kondisi Indonesia
sekarang ini, masyarakatlah yang perlu kita pahamkan. Dengan apa seperti
itu, konsep kepemimpinan dalam keluarga sejalan dengan perkembangan
dengan masyarakat Indonesia.












100
Dari perbandingan pemikiran antara Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad dapat disimpulkan dengan tabel persamaan dan perbedaan
sebagai berikut.
TABEL PERSAMAAN
Yunahar Ilyas Husein Muhammad
Bentuk tafsir bi al-rayi Bentuk tafsir bi al-rayi
Metode tafsir maud}u>i> Metode tafsir maud}u>i>
Kontekstual Kontekstual
Laki-laki dan perempuan mempunyai
hak yang sama dalam kepemimpinan
asalkan mempunyai kemampuan
intelektual
Laki-laki dan Perempuan mempunyai
hak yang sama dalam kepemimpinan
asalkan mempunyai kemampuan
intelektual
Nilai Musyawarah menjadi hal penting
dalam kepemimpinan keluarga
Nilai Musyawarah menjadi hal penting
dalam kepemimpinan keluarga
Laki-laki dan perempuan setara
(gender)
Laki-laki dan perempuan setara
(gender)

TABEL PERBEDAAN
Yunahar Ilyas Husein Muhammad
Bercorak budaya kemasyarakatan Bercorak fiqih atau hukum
Menjelaskan tentang khuluq Relasi suami dan istri
Ilmuan yang peduli dengan masalah
gender
Aktivis pemberdayaan perempuan
Normatif: harus ada salah satu yang
mengambil keputusan dalam perbedaan
pendapat (laki-laki)
Dalam perbedaan pendapat,
penyelesaian dengan cara
bermusyawarah

101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis terhadap pemikiran Yunahar Ilyas dan Husein
Muhammad tentang kepemimpinan dalam keluarga yang terdapat dalam karya
tulis mereka ditemukan hal-hal berikut.
1. Penafsiran Yunahar Ilyas termasuk dalam bentuk tafsir bi al-rayi, dengan
menggunakan metode tafsir bi al-maud}u>i>. Dari segi corak penafsiran, ia
lebih banyak melihat permasalahan-permasalah masyarakat sehingga dapat
dimasukkan dalam corak budaya kemasyarakatan. Sementara penafsiran
Husein Muhammad juga masuk dalam bentuk tafsir bi al-rayi, yang
memakai metode tafsir bi al-maud}u>i>, sedangkan corak penafsirannya
bersifat fiqih atau hukum karena dalam menafsirakan ia lebih banyak
mengangkat permasalahan hukum.
2. Yunahar dan Husein mencoba memaparkan secara rasional yaitu dalam
menafsirkan ayat tentang kepemimpinan dalam keluarga. Keduanya
mempunyai pandangan yang berbeda, yaitu pada awal penafsiran Yunahar
berpandangan siapa yang mempunyai kemampuan intelektual lebih dapat
memimpin keluarga, tetapi pada penafsiran selanjutnya Yunahar
mengatakan kepemimpinan keluarga bersifat normative bukan kontekstual,
jadinya secara apriori kepemimpinan ada pada laki-laki. Berdeda dengan
Yunahar, Husein lebih melihat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai
101
102
hak dalam kepemimpinan keluarga asalkan kemampuan intelektualnya
lebih.
3. Yunahar dan Husein Sama-sama menjadikan prinsip musyawarah sebagai
poin penting dalam hubungan keluarga, dan sebagai bentuk hubungan relasi
suami dan istri. Akan tetapi mereka berbeda dalam penekanan
kepemimpinan dalam kelaurga. Yunahar melihat harus ada salah satu yang
menjadi pemimpin agar tidak terjadi kebuntuan. Sementara itu, Husein
melihat bahwa keluarga adalah sebuah institusi bersama, oleh karena itu
maka diselesaikan bersama.
4. Yunahar dan Husein mempunyai metode yang sama dalam menafsirkan
ayat tentang kepemimpinan keluarga. Akan tetapi, dalam pendekatan
penafsiran keduanya berbeda sehingga memunculkan corak penafsiran yang
berbeda. Dalam ranah aplikasi pun mereka cukup berbeda. Yunahar hanya
dapat dikatakan sebagai ilmuan yang peduli terhadap permasalahan gender,
sedangkan Husein sudah ikut terlibat sebagai aktivis yang konsen dalam
masalah gender.
5. Dalam konteks kekinian, penafsiran Yunahar dan Husein tentang
kepemimpinan keluarga cukup memberikan khasanah pemikiran peradaban
Islam, karena keduanya menafsirkan dengan melihat konteks sosial budaya
masyarakat yang berkembang tempat mereka hidup. Akan tetapi penafsiran
Yunahar kurang relevan, karena ia masih menafsirkan secara normatif,
berbeda dengan Yunahar, penafsiran Husein cukup relevan karena ia lebih
kontekstual. Dengan terbukanya ruang-ruang demokorasi di Indonesia
103
cukup memberikan peluang besar untuk menerapkan konsep kepemimpinan
dalam keluarga pada setiap lapisan masyarakat, karena laki-laki dan
perempuan mempunyai hak yang sama.

B. Saran
Mempertimbangkan hasil kajian terhadap penafsiran Yunahar Ilyas dan
Husein Muhammad yang telah dilakukan, penulis memberikan saran sebagai
berikut.
1. Mengingat yang digambarkan dalam skripsi ini hanyalah sedikit dari
pemikiran Yunahar dan Husein, karya ini bermaksud dan diharapkan
sebagai salah satu usaha menelusuri dari pemikiran keduanya, sebagai
seorang pemikir atau sekaligus menjadi praktisi dalam bidang
pemberdayaan perempuan.
2. Perlu dilakukan penelitian lapangan tentang sejauh mana terjadi
kesalahpahaman terhadap ayat-ayat tentang kesetaraan gender dalam
masyarakat, dan bagaimana dampaknya dalam perilaku sosial masyarakat.
Dalam hal ini adalah kepemimpinan dalam keluarga, apakah adanya
kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh pemahaman yang keliru
terhadap surat al-Nisa>: 34.
3. Karya tulis ini merupakan usaha maksimal, akan tetapi masih terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk perbaikan karya
penyusun selanjutnya, kritik, saran, pikiran dan masukan dari pembaca
sangat diharapkan. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat. Amin
104
DAFTAR PUSTAKA
A. Gani, Bustama dkk. Al-Quran dan Tafsirnya. J akarta: Departemen Agama RI,
1990.
Al-Akkad, Abbas Mamoud. Wanita dalam Al-Quran. J akarta: Bulan Bintang,
1984.
al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhui, Suatu Pengantar, terj.
Suryan A. J amrah. J akarta: Rajawali Press, 1994.
Alfarisi, M. Zaka dan H.A.A Dahlan (ed.) A babun Nuzul; Latar Belakang
Historis Turunnya ayat-ayat Al-Quran. Bandung: Diponegoro, 2000.
s

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
Baidowi, Ahmad. Tafsir Feminis, Kajian Perempuan dalam Al-Quran dan para
Mufasir Kontemporer. Bandung: Nuansa, 2005.
Baker, Anton & Ahmad Charis Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius,1990.
Burhanuddin, J ajat & Oman Fathurahman (ed.) Tantangan Perempuan Islam;
Wacana dan Gerakan. J akarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Engineer, Asgar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam (terj.) Farid Wajidi dan
Cici Farkha Assedar. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994.
Engineer, Asgar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan (terj.) Agung Prihantoro.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Echol, J ohn M & Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. J akarta: Gramedia,
1983.
Fakih, Mansor. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Gadamer, Hans George. Philosophical Hermeneutics, (terj.) David E. Linge.
Barkeley: University of California Press, 1976
Goldziher, Ignas. Mazhab Tafsir dari Klasik hingga Modern (terj.) M Alaika
Salamullah, dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006.
Ghofur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks.
Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.
104

105
Hendri, Yuldi. Wali Nikah Menurut Husen Muhammad (Analisis Kritis
Penafsiran Husein Muhammad dalam Konsep Wali Nikah), Yogyakarta:
Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Suka, 2009.
Hanifah. Paradigma Tafsir Feminis; Studi Komparasi Pemikiran Amina Wadud
dan Asgar Ali Engineer. Yogyakarta: Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Suka,
2006.
Hasim, Syafiq (edt). Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. J akarta: TAF
Indonesia.
Ilyas Hamim, dkk. Perempuan Tertindas; Kajian-kajian Hadis Misoginis.
Yogyakarta: PSW UIN Yk dan The Ford Foundation, 2003.
Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran K asik dan
Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
l
. Kesetaraan Gender dalam Al-Quran; Studi Pemikiran para
Mufasir. Yogyakarta: Labda Press, 2006.
. Tipologi Manusia Menurut Al-Quran. Yogyakarta: Labda Press,
2007.

. Al-Quran al-Karim: Sejarah Pengumpulan dan Metodologi
Penafsiran, Makalah pidato pengukuhan guru besar di Universitas
Muhammdiyah Yogyakarta, pada 18 November 2008.
. Kepemimpinan dalam Keluarga (2). Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah:1-15 Maret 2006.
Ismail, Nurjanah. Perempuan dalam Pasungan; Bias Laki-laki dalam Penafsiran.
Yogyakarta: LKiS, 2003.
Kartono, Kartini. Psikologi Wanita Mengenal Wanita sebagai Ibu dan Nenek.
Bandung: al-Bayan, 1995.
Katsoff, Louis. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemaryono. Yogyakarta: Tiara
Wacana,1987.
Khan, Nighat dan Kamla Bhasin. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya terj. S. Herlina. J akarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Madjid, Nurcholish dkk. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis. J akarta: Yayasan Wakaf Paramadina & TAF, 2004.
Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta: LkiS, 2001.

106
. Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren.
Yogyakarta, LKiS, 2004.
. Spiritualitas Kemanusiaan (Perspektif Islam Pesantren).
Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006.
Moghisi, Haideh. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. (terj.) Maufur.
Yogyakarta: LkiS, 2004.
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Quran
periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: NUN Pustaka, 2003.
Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki; Telaah Kritis Penafsiran
Dekonstruktif Rifaat Hasan. Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. J akarta: UI Press. 1986.
PSW UIN Suka. Musawa; J urnal Studi Gender dan Islam. Pusat Studi Islam UIN
Sunan Kalijaga. Vol 3, no 1. Yogyakarta: PSW UIN Suka, 2004.
PSW UIN Sunan Kalijaga, Draf Profil Pusat Studi Wanita (Center for Womens
Studies) UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta: PSW UIN Suka, 2009.
Palmer, Richard E. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi terj. Masnur
& Darmanhuri M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Qardhawi, Yusuf. Al-Quran Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan
(terj.) J akarta: Gema Insani Press, 1998.
Ridwan, Nur Khalik. Santri Baru; Pemetaan, Wacana Ideologi, dan Kritik.
Yogyakarta: Gerigi Pustaka, 2004.
Rochmaniyah, Inayah. Otonomi Perempuan dalam Islam; Studi Metodologi
Asghar Ali Angineer. Yogyakarta: Tesis PS UGM, 2001.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat . Bandung: Mizan, 1992.
. Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Sholeh Khudori, dkk. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Cet ke-1.
Penerbit J endela. 2003.
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. J akarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996.

107
Suciati, Mempertemukan Islam Liberal (J IL) dengan Majelis Tarjih
Muhammadiyah. Yogyakarta: CV Arti Bima Intara, 2006.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar . J akarta: CV Rajawali, 1994.
Syamsuddin, Sahiron dkk. Hermenetika Al-Quran Mazhab Yogya. Yogyakarta:
Futuh Printika, 2003.
Wahab, Wahib. Kepemimpinan Keluarga dalam Perspektif Feminisme. J urnal
IAIN Sunan Ampel. Dikutip tanggal 17 J an 2009.
Nuryanah, Sinta dkk. Wajah Baru Relasi Suami-Istri; Telaah Kitab Uqud Al-
Lujjayn. Yogyakarta: LkiS, 2001.
Wadud, Amina. Wanita di dalam Al-quran, (terj) Yaziar Radianti. Bandung:
Pustaka, 1992.
Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di
Indonesia. J akarta: Teraju, 2002.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Hendro Sucipto
TTL : Lampung, 22 J uni 1986
Alamat : J l. Raya Pekalongan, Desa Siraman, Dusun V
RT.17 RW.08, Pekalongan, LamTim, Lampung
Telp./Hp : 081392244646
Alamat J ogja : PP Budi Mulia, Perum Banteng 3
J l. Kaliurang Km 8, Sleman, Yogyakarta
Ayah : Slamet
Ibu : Tumirah
Pekerjaan : Petani/Wiraswata

Riwayat Pendidikan
Pendidikan Formal
1. TK ABA Pekalongan, Lampung tahun 1990-1992
2. MI Muhammadiyah I Pekalongan, Lampung tahun 1992-1998
3. SLTP N 4 Kota Metro, Lampung, tahun 1998-2001
4. SMA Muhammadiyah I Pekalongan, Lampung tahun 2001-2004
5. Fak. Ushuluddin/J ur. Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun
2005-sekarang
Pendidikan Non Formal
Pondok Pesantren BUDI MULIA, Yogyakarta (2007 Sekarang)

Pengalaman Organisasi
1. Sekretaris Umum PK IMM Ushuluddin UIN Suka, tahun 2006-2007
2. Direktur Eksekutif Pusat Studi Gender PC IMM Kab. Sleman, 2007-2008
3. Senat Santri Mahasiswa PP Budi Mulia Yogyakarta, tahun 2007-2009
4. Badan Eksekutif Mahasiswa J urusan Tafsir Hadis, tahun 2007-2008
5. Ketua Umum PC IMM Kab. Sleman, tahun 2008-2009
108

Anda mungkin juga menyukai