Anda di halaman 1dari 99

GAMBARAN KEHIDUPAN DUNIA DALAM AL-QUR’AN:

SEBUAH KAJIAN TEMATIK

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin


untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh: Muhammad Ilham Dwi Aristya


NIM. 11140340000064

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1439 H/2018 M
GAMBARANKEHI
DUPANDUNI
ADALAM AL-
QUR’
AN:
SEBUAH
KAJI
ANTEMATI
K

Skr
ipsi

Di
ajukankepadaFakul
tasUshul
uddi
n
unt
ukMemenuhi
Per
syar
atanMemper
oleh
Gel
arSar
janaAgama(
S.Ag)

Ol
eh

MuhammadI l
ham DwiAri
sty
a
NIM:11140340000064

Di
bawahBi
mbi
ngan

Moh.AnwarSy ar
if
uddin,
M.A
NIP:197205181998031003

PROGRAM STUDII
LMUAL-
QUR’
ANDANTAFSI
R
FAKULTASUSHULUDDI
N
UNI
VERSI
TASI
SLAM NEGERISYARI
FHI
DAYATULLAHJAKARTA
1439H/
2018M
ABSTRAK

Muhammad Ilham Dwi Aristya


Gambaran Kehidupan Dunia dalam al-Qur’an: Sebuah Kajian Tematik
Berawal dari cukup banyak orang yang mengikuti paham materialisme,
waktu hidupnya hanya digunakan untuk mencari dan mengumpulkan uang,
makan, minum, tidur dan berfoya-foya saja. Kekayaan harta benda merupakan
tujuan hidupnya semata. Atau dalam kata lain, hidupnya hanya digunakan untuk
mengabdi kepada benda, kekayaan dan kesenangan, tetapi ditengah kegiatan ini
mereka lupa ujung perjalanan dan tujuan utama hidup yang kelak akan kembali
ke akhirat. Dari sinilah penulis memfokuskan diri pada term ḥayāt al-duniā,
sehingga dapat diketahui makna kehidupan dunia dalam al-Qur’an.

Bentuk penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (Library


Research), yaitu pengumpulan data dan informasi dengan buku-buku dan materi
pustaka lainnya. Sementara itu pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan
metode Maudhū’i yaitu dengan mengambil dan menghimpun ayat-ayat yang
berbicara tentang topik pembahasan. Semuanya diletakkan di bawah satu judul
lalu ditafsirkan dengan metode maudhū’i.

Setelah melakukan kajian tentang kehidupan dunia dalam al-Qur’an, dapat


disimpulkan beberapa hasil dari penelitian ini: gambaran kehidupan dunia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: karakteristik kehidupan dunia diantranya yaitu;
kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu, kehidupan dunia adalah
kesenangan yang sedikit dan bersifat sementara, bunga kehidupan dunia sebagai
ujian, ragam kesenangan kehidupan dunia, perumpamaan kehidupan dunia seperti
air hujan, perintah mewaspadai kehidupan dunia, dunia bukan tujuan hakiki,
kehidupan dunia membuat manusia lupa dari ingat kepada Allah Swt., dan
mencintai dunia dapat tersesat.
Kata Kunci: Ḥayāt al-dunyā, Kehidupan dan Dunia

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Swt., tiada Tuhan yang
berhak disembah melainkan Allah Yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya yang
tidak pernah putus memberikan nikmat, rahmat dan kasih sayang-Nya. Penulis
bersyukur atas pertolongan, taufik, dan hidayah-Nya akhirnya penulisan skripsi
ini dapat diselesaikan.
Ṣalawat serta salam kita curahkan kepada junjungan kita, Baginda Nabi
Muhammad Saw., sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya yang mengeluarkan
manusia dari kegelapan kepada cahaya petunjuk, beserta segenap seluruh
keluarga dan sahabat beliau yang tidak pernah tertipu oleh kesenangan duniawi.
Semoga ṣalawat dan salam itu terus menerus terlimpahkan kepada mereka
sepanjang masa.
Dalam kesempatan yang bahagia ini, sudah sepatutnya penulis ingin
menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya dan penghargaan yang tulus
kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis hingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para staf
pembantu dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum. M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M. Pd., selaku Sekretaris
Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, juga Kak Hani Hilyati Ubaidah.
M. Ag., selaku asisten dari ibu Banun.
4. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Drs. Suharman M.M., dan ibunda
Mahjuro S.Pd.I., yang selalu ikhlas mencurahkan doa, kasih sayang, semangat,
dan motivasi. Tanpa do’a dan ridho dari keduanya maka penulis tidak akan
mendapatkan kemudahan, kelancaran, serta hasil yang maksimal untuk
menyelesaikan skripsi ini, juga kepada abang satu-satunya Muhammad Rusli
Eka Aditya yang juga memberikan support kepada penulis.

iv
v

5. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang
sudah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan,
bimbingan, nasehat dan motivasi, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan
dengan baik.
6. Ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi M.A., selaku dosen penasehat akademik yang
selalu memberikan masukan dan arahan dari awal perkuliahan hingga proses
pemilihan akhir judul skripsi ini berlangsung.
7. Syekh Misbahul Anam Al-Tijany, selaku murabbi sekaligus orang tua yang
dengan sabar dan ikhlas mendidik, mendoakan, mencurahkan ilmunya yang
luas, menjadi suri tauladan bagi penulis. Semoga beliau selalu dinaungi
rahmat Allah Swt., dan dimenangkan dalam setiap perjuangan dakwahnya.
8. Guru-guru Ponpes Al-Umm; Gus Muhammad Misbahul Anam, Ustadz
Ahmad Halimi al-Hafidz, Kyai Imam Khotamin, Ustadz Ahmad Qomari,
Ustadz Fathul Mu’min, Ustadzah Jejeh Suarsih, yang dengan sabar
mengajarkan ilmunya, bijak menyampaikan nasihatnya, dan tulus
mendoakan murid-muridnya.
9. Segenap jajaran dosen dan civitas academica Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu tanpa
mengurangi rasa hormat, khususnya program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
yang ikhlas dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang
cerdas, berkualitas dan berintelektual.
10. Seluruh teman-teman Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, khususnya
sahabat-sahabat kelas TH B yang telah setia menemani dari masa maba
sampai sekarang ini dan semoga sampai seterusnya, yang selalu mendukung
kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
11. Keluarga besar Al-Umm, santriwan dan santriwati dari beberapa periode
yang menjadi teman hidup satu atap, menjadi teman seperjuangan menimba
ilmu di pondok, yang selalu ada saat suka maupun duka. Semoga kebersaman
kita tak lekang oleh waktu, berlanjut sampai ke surganya Allah Swt.
12. Teman-teman An-Naml LDK Syahid, teman-teman KKN AKBK 131 yang
pernah memberikan pengalaman dan cerita hidup. Semoga segala proker dan
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama
(SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor:
158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dapat dilihat pada halaman berikut:

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ Alīf
Tidak
Tidak dilambangkan
dilambangkan
‫ب‬ Ba B Be

‫ت‬ Ta T Te

‫ث‬ Ṡa Ṡ Es (dengan titik di atas)

‫ج‬ Jim J Je

‫ح‬ Ḥa Ḥ Ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ Kha Kh Ka dan ha

‫د‬ Dal D De

‫ذ‬ Żal Ż Zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ Ra R Er

‫ز‬ Zai Z Zet

‫س‬ Sin S Es

‫ش‬ Syin Sy Es dan ye

‫ص‬ Ṣad Ṣ Es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ Ḍad Ḍ De (dengan titik di bawah)

‫ط‬ Ṭa Ṭ Te (dengan titik di bawah)

vii
viii

‫ظ‬ Ẓa Ẓ Zet (dengan titik di bawah)

‫ع‬ ʻAin ‘___ Apostrof terbalik

‫غ‬ Gain G Ge

‫ف‬ Fa F Ef

‫ق‬ Qaf Q Qi

‫ك‬ Kaf K Ka

‫ل‬ Lam L El

‫م‬ Mim M Em

‫ن‬ Nun N En

‫و‬ Wau W We

‫ه‬ Ha H Ha

‫ء‬ Hamzah ___’ Apostrof

‫ي‬ Yā′ Y Ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa

diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis
dengan tanda (’)
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal
tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf latin Nama

َ‫ا‬ Fatḥah A A

َ‫ا‬ Kasrah I I
ix

َ‫ا‬ Ḍammah U U

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan


antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf latin Nama

‫ىي‬ Fatḥah dan ya Ai A dan I

Fatḥah dan Au A dan U


‫َىو‬ wau

Contoh:

‫ كيف‬: kaifa َ‫ هول‬: haula


3. MADDAH
Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa harkat
dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan Nama Huruf dan Nama
Huruf tanda

ََ‫َى‬...َ|َ‫َا‬... Fatḥaḥ dan alif


atau ya ā a dan garis di atas

Ī ī dan garis di atas


‫ىي‬ Kasrah dan ya

Ḍammah dan Wau ū ū dan garis di atas


‫ىَو‬

Contoh:

َ‫مَات‬ : māta

‫َرمَى‬ : ramā
x

َ‫قَيَل‬ : qīla

َ‫يَمَ َوت‬ : yamūtu

4. Ta marbūṭah
Ttansliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, ḍammah, transliterasinya
adalah (t). Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun,
translterasinya adalah (h).
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu
terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:

َ‫َرَوضَةََالَطَفَال‬ : rauḍah al-aṭfāl

َ‫اَلَمَدَيَنَةََالَفَاضَلَة‬ : al-madīnah al-fāḍilah

َ‫اَلَحَكَمَة‬ : al-Ḥikmah

5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda tasydid (ّ ), dalam transliterasi ini
dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi
tanda syaddah. Contoh:

‫ربَّنا‬ : rabbanā

‫ن َّجي نا‬ : najjaīnā

َ‫الحق‬ : al-ḥaqq

َ‫الحج‬ : al-ḥajj

َ‫نَعَم‬ : nu‘‘ima
xi

َ‫عَدَو‬ : ‘aduwwun

Jika huruf ‫ ى‬ber-tasydid diakhir sebuah kata dan didahului oleh


huruf kasrah (‫) ـِي‬, maka ia ditrasnliterasi seperti huruf maddah (i).
Contoh:

َ‫عَلَي‬ : ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

َ‫عََربَي‬ : ‘Arabī (bukan ‘Arabbiy atau Araby).

6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem penulisan tulisan Arab dilambangkan
dengan ‫( ال‬alif lam ma’rifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata
sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti huruf
syamsiah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi
huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).
Contohnya:

َ‫الشَّمس‬ : al-syamsu (bukan asy-syamsu)

َ‫ا َّلزلزلة‬ : al-zalzalah

َ‫الفلسفة‬ : al-falsafah

َ‫البَلد‬ : al-bilādu
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi huruf (’) hanya berlaku
bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Namun, bila
hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan
Arab ia berupa alif. Contohnya:

َ‫ تأمرون‬: ta’murūna
xii

َ‫النَّوء‬ : al-nau

َ‫شيء‬ : syai’un

َ‫أمرت‬ : umirtu
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Penulisan Kata Arab yang lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,
istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata,
istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari
pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan
bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas
Misalnya kata Al-Qur'an (dari al-Qur'an), Sunnah, khusus dan umum
Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:
Fī Ẓilāl al-Qur’an
Al-Sunnah qabl al-tadwīn
Al-‘Ibārāt bi ‘ūmūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab

9. Lafẓ al-Jalālah (‫)الله‬


Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaihi (frasa nominal),
ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:

َ‫ دينَالله‬: dīnullāh َ‫باالله‬ : billāh

Adapun ta ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ


al-jalālah, ditranliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

َ‫ همَفيَرحمةالله‬: hum fī raḥmatillāh


10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All
Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan
xiii

tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman eiaan Bahasa


Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk
menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama
pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-),
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal
kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf
kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari
judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis
dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR).
Contoh:
Wa mā Muḥammadun illā rasūl
Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsu lallażī bi Bakkata mubārakan
Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fih al-Qur’an
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī
Abū Naṣr al-Farābī
Al-Ghazālī
Al-Munqiż min al-Ḍalāl
DAFTAR ISI

ABSTRAK ...................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1


B. Batasan dan Perumusan Masalah ................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
E. Metode Penelitian ....................................................................................... 7
F. Metode Analisis Data ................................................................................. 8
G. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 9
H. Sistematika Penulisan ............................................................................... 11

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG KEHIDUPAN DUNIA

A. Definisi Kehidupan .................................................................................... 13


B. Kehidupan Manusia di Dunia dan Keberadaan Makhluk Lainnya ............. 14
C. Derivasi kata al-Ḥayāh dalam al-Qur’an .................................................... 20
D. Definisi Dunia ........................................................................................... 22
E. Derivasi Kata al-Dunyā dalam al-Qur’an .................................................. 25
F. Ayat-ayat Tentang Kehidupan Dunia ........................................................ 26
G. Ayat-ayat Tentang Kehidupan Akhirat Lebih Baik daripada Kehidupan
Dunia ......................................................................................................... 27

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAKIKAT KEHIDUPAN DUNIA


A. Hakikat Hidup Manusia untuk Beribadah .................................................. 29
B. Manusia Hidup Dikaruniai Harta dan Anak-anak Sebagai Perhiasan Dunia .
.................................................................................................................. 32
C. Dunia adalah Permainan dan Senda Gurau ................................................ 35

xiv
xv

D. Kehidupan Akhirat Lebih Baik dari Dunia ................................................ 38

BAB IV GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG KEHIDUPAN DUNIA


A. Karakteristik Kehidupan Dunia ................................................................. 46
B. Ragam Kesenangan Dunia ......................................................................... 57
C. Perumpamaan Kehidupan Dunia Seperti Air Hujan ................................... 61
D. Perintah Mewaspadai Kehidupan Dunia ................................................... 64
E. Dunia Bukan Tujuan Hakiki ...................................................................... 67
F. Kehidupan Dunia Melupakan Manusia dari Ingat Kepada Allah Swt. ....... 72
G. Mencintai Dunia Dapat Tersesat ............................................................... 74

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 77
B. Saran ......................................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 79


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam suasana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini,

masalah hakikat manusia dan kehidupan semakin santer dibahas. Masalah ini

memang cukup penting, karena ia merupakan titik tolak dalam memberikan

pembatasan menyangkut fungsi manusia dalam kehidupan ini.1

Dunia penuh dengan kekayaan materi, semakin tahun semakin

bertambah kaya. Manusia dengan kemampuan akalnya menyulap kekayaan

materi itu menjadi bermacam-macam peralatan yang sangat mahal dan

modern, sesuai dengan selera manusia yang gemar kemewahan. Dicarinya

akal bagaimana membuat barang yang bahan-bahannya sudah tersedia

banyak di bumi atau yang dikenal sebagai zaman teknologi. Yaitu suatu ilmu

cara membuat barang, yang kemudian dipraktikan pada suatu tempat yang

disebut industri. Keberhasilan manusia dalam bidang teknologi ini membuka

peta baru dalam kehidupan yang disebut peradaban materi.2

Selanjutnya, manusia mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus

dipenuhi untuk tetap berlangsungnya kehidupan di dunia.3 Setiap manusia

harus selalu berusaha mempertahankan hidupnya dan dalam mempertahankan

hidupnya ia butuh makan, minum, sandang, pangan, dan papan. Untuk

1
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2013), h. 348.
2
Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 50.
3
Choiruddin Hadhiri SP, Akhlak & Adab Islami Menuju Pribadi Muslim Ideal (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer), h. 332.

1
2

memenuhi kebutuhan tersebut, manusia dituntut untuk mencari nafkah, baik

untuk dirinya, istrinya, anaknya, kerabat dan keluarganya.4

Seiring dengan hal ini, dunia semakin berkembang, manusia semakin

bertambah dan kebutuhan terus meningkat. Keadaan ini akan menimbulkan

corak baru dalam kehidupan manusia. Manusia yang pada hakikatnya

merupakan makhluk sosial lama-kelamaan berubah menjadi makhluk yang

serba egois, mementingkan diri sendiri. Ini terjadi karena pengaruh dunia

yang semakin maju dan berkembang, sehingga mereka berlomba mencari

kekayaan pribadi tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Keadaan

seperti ini merupakan ciri khas dari kehidupan alam materialistis. Yaitu suatu

corak kehidupan orang-orang yang hanya mementingkan kebendaan di atas

segala-galanya.

Orang yang mengikuti paham materialisme waktu hidupnya hanya

digunakan untuk mencari dan mengumpulkan uang, makan, minum, tidur dan

berfoya-foya saja. Kekayaan harta benda merupakan tujuan hidupnya semata.

Atau dalam kata lain, hidupnya hanya digunakan untuk mengabdi kepada

benda, kekayaan dan kesenangan.5 Inilah bentuk pekerjaan yang digeluti oleh

manusia, pendorongnya adalah kebutuhan mereka kepada sandang pangan,

tetapi ditengah kegiatan ini mereka lupa ujung perjalanan dan tujuan utama

hidup yang kelak akan kembali ke akhirat.6 Dengan demikian banyak

manusia yang telah terperdaya dengan kehidupan dunia dan melupakan

4
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
RI, Tafsir al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2010), h. 37.
5
Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 59.
6
Ḥabīb ‘Umar al-Ḥafiẓ, al-Qabas al-Nūr al-Mubīn min Iḥya ‘Ulūmuddīn, terj. Yunus b.
Ali (Surabaya: Cahaya Ilmu, 2012), h. 46.
3

akan adanya kehidupan sesudah di dunia ini. Padahal kehidupan di dunia ini

bersifat sementara dan begitu cepat lenyap. Sedangkan kehidupan di akhirat

adalah kekal dan abadi.

Para Nabi diutus untuk menyeru manusia agar berpaling dari dunia

kepada akhirat, untuk tujuan inilah kitab-kitab diturunkan. Karena itu,

sebagian besar ayat-ayat kitab-kitab tersebut berbicara tentangnya.7

Diriwayatkan bahwa:

“Dari Jabir bin Abdullah R.A., bahwasanya Rasūlullah Saw., pernah

masuk ke pasar melalui jalan yang tinggi dengan diikuti orang banyak

di kanan kiri beliau. Kemudian beliau menemukan seekor anak

kambing yang mati dengan kedua telinga yang kecil. Setelah itu

beliau mengangkat anak kambing itu dengan beliau pegang telinganya

seraya bertanya, “Siapakah di antara kalian yang mau membeli

kambing ini seharga satu dirham?” Orang-orang menjawab, “Tentu

kami tidak ingin membelinya ya Rasūlullah. Untuk apa membeli

kambing yang telah menjadi bangkai.” Beliau bertanya lagi, “Apakah

ada di antara kalian yang ingin memilikinya tanpa harus membeli?”

Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya kambing itu masih

hidup, maka kambing tersebut cacat, yaitu telinganya yang kecil.

Terlebih lagi kini ia telah menjadi bangkai.” Kemudian Rasūlullah

Saw., bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia itu di sisi Allah nilainya

7
Imām al-Gazālī, Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn, terj. Abu Madyan al-Qurthubi (Depok:
Keira Publishing, 2014), Cet 1, h. 362.
4

lebih hina daripada hinanya bangkai anak kambing ini di mata

kalian.”8

Sebab hinanya dunia, manusia dianjurkan untuk menjauhkan hati

nurani dan jasmaninya dari selera nafsu keduniaan yang fana (tidak kekal)

ini, baik dalam mencintainya, mencarinya, maupun bersenang-senang dan

berlezat-lezatan menikmatinya.9 Orang yang sangat menggandrungi

keduniaan jika berhasil meraihnya, dia akan tenggelam di dalamnya sedikit

atau banyak. Sebab keduniaan itu ibarat lautan. Orang yang berani

menginjaknya, pertama-tama tapak kakinyalah yang terbenam.10 Jika

seseorang berpikir sehat, maka akan menyadari bahwa dunia ini tidaklah

kekal. Dan manfaat dunia tidak berarti jika dibandingkan dengan mudharat

dan tuntutan-tuntutannya. Yang mengakibatkan badan lelah, membuat hati

bimbang dan ragu, mendatangkan siksa yang teramat pedih di akhirat kelak

dan manusia tidak sanggup menanggungnya.11

Kecintaan kepada dunia telah begitu kuat menempati hati manusia

masa kini, sehingga membuahkan kerasukan luar biasa untuk menikmati

kehidupan dunia, menumpuk-numpuk harta kekayaan, membanting tulang

dan memeras tenaga dari pagi sampai malam hari demi meraih apa saja

penghasilan, tanpa menghiraukan apakah itu termasuk syubhat ataupun

haram. Seolah-olah Allah Swt., telah memfardhukan atas mereka menikmati

dunia ini, sebagaimana Allah memfardhukan ibadah shalat dan puasa.


8
Abī al-Ḥusaini Muslim b. Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ al-Muslim (Beirut: Dār al-Kutub, 1412), k. 53,
no. 2957, h. 2272.
9
Syaikh Aḥmad b. ‘Abdulkarim al-Hasawi al-Syajjar, Pemantap Hati Mutiara Kata dan
Nasihat al-Imām Ḥabīb ‘Abdullah b. Alawi al-Ḥaddād (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 304.
10
Syaikh Aḥmad b. ‘Abdulkarim al-Hasawi al-Syajjar, Pemantap Hati Mutiara Kata dan
Nasihat al-Imām Ḥabīb ‘Abdullah b. Alawi al-Ḥaddād , h. 226.
11
Imām al-Gazālī, Minhāj al-‘Ābidīn, terj. Abul Hiyadh (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009),
h. 186.
5

Sebagai akibatnya, rambu-rambu jalan agama terhapus sudah, cahaya-cahaya

keyakinan makin meredup, lidah-lidah para pemberi peringatan menjadi kelu,

lorong-lorong menuju hidayah Allah tidak tersentuh lagi oleh kaki-kaki

mereka dan sebaliknya, jalan-jalan menuju kebinasaannlah yang sering

dilalui.12

Perihal dunia memang soal yang besar dalam agama. Dunia dengan

segala hiasan dan kemewahannya kerap kali memesona insan, sehingga

mereka lalai dan lupa, menyangka bahwa perjalanan hidup kita hanya hingga

di sini saja. Oleh sebab itu banyaklah perkataan Allah di dalam al-Qur’an

memberi peringatan kepada manusia agar mereka jangan sampai

diperdayakan oleh dunia.13 Mengenai hal ini, al-Qur’an diturunkan sebagai

pembawa rahmat, sebagaimana dijelaskan M. Quraish Shihab dalam bukunya

bahwa rahmat yang dibawa al-Qur’an tersebut berupa penjelasan tentang

jalan kebahagiaan dan cara pencapaiannya di dunia dan di akhirat.14

Berangkat dari permasalahan inilah penulis mencoba mengkajinya,

dengan judul: “GAMBARAN KEHIDUPAN DUNIA DALAM AL-

QUR’AN: SEBUAH KAJIAN TEMATIK”

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan diatas, pembatasan masalah yang akan

dibahas dalam tulisan ini yaitu kajian terhadap ayat QS. al-Żāriyāt/51: 56,

QS. al-Kahfi/18: 46, QS. al-An’ām/6: 32, QS al-‘Ankabūt/29 : 64, QS. al-

12
Ḥabīb ‘Abdullah al-Ḥaddād, Mużakkarah Ḥabīb ‘Abdullah al-Ḥaddād diterjemahkan
dari Risālat al-Mużakkarah Ma’a al-Ikhwān wa al-Muḥibbīn min Ahli al-Khair wa al-dīn
(Bandung: Karisma, 2001), h. 86.
13
Hamka, 1001 Soal Kehidupan (Jakarta: Gema Insani 2016), h. 36.
14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karīm; Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), Cet. Ke-2, h. 4.
6

Taubah/9: 38, QS. al-Naḥl/16: 30, QS. al-Qaṣaṣ/28: 60, QS. al-Naḥl/16: 41,

QS. al-Mulk/67: 1-2. Hal ini dikarenakan surat-surat tersebut sangat berkaitan

dan memiliki penjelasan yang luas tentang hakikat kehidupan dunia dalam al-

Qur’an, ditambah dengan kajian terhadap ayat al-Ḥadīd/57: 20, QS Ālī

‘Imrān/3: 185, QS. al-Nisā‘/4: 77, QS. al-Ra’d/13: 26, QS. Tāhā/20: 131, QS.

al-Anbiyā/21: 35, QS. Āli ‘Imrān/3: 14, QS. Yūnus/10: 24, al-A’rāf/7: 97-98,

QS. al-Kahfi/18: 45, QS. Luqmān/31: 33, QS. Hūd/11: 15-16, QS. al-

Syūrā/42: 20, QS. al-Isrā‘/17: 18, QS. al-Furqān/25:17-18, QS. Ibrāhīm/14:

2-3. Hal ini dikarenakan surat-surat tersebut sangat berkaitan dan memiliki

penjelasan yang luas terhadap gambaran kehidupan dalam al-Qur’an.

Pembatasan ini bertujuan agar pembahasan tentang kehidupan dunia

lebih fokus dan tidak keluar dari tema yang dibahas, dan begitu juga tidak

keluar dari aspek-aspek yang telah diidentifikasi dengan mengaitkannya pada

ayat-ayat yang berkaitan dengannya, namun tidak terlepas dari penafsiran dan

penjelasan al-Qur’an dan Hadits.

Berdasarkan pembatasan tersebut maka masalah utama yang akan

dibahas dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :“BAGAIMANA

GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG KEHIDUPAN DUNIA?”

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan dunia dan

memberikan pemahaman kepada masyarakat muslim tentang kehidupan

dunia di dalam al-Qur’an yang disajikan oleh para mufassir dalam kitab

tafsirnya.
7

2. Untuk mengetahui pandangan al-Qur’an tentang kehidupan dunia yang

mencakup perintah untuk mengisi kehidupan dunia dan larangan

mencintai dunia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis: Menyebarluaskan khazanah keilmuan khususnya

produk tafsir tematik tentang kehidupan dunia dalam al-Qur’an.

2. Manfaat Praktis: Menjadi rekomendasi bagi para tokoh agama atau dai

yang bergerak dibidang dakwah dan mempunyai kewajiban

menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat untuk memberi

pemahaman tentang kehidupan dunia dalam al-Qur’an.

E. Metode Penelitian

Metode pengumpulan data pada skripsi ini melakukan metode

penelitian pustaka (Library Research), yaitu pengumpulan data dan informasi

dengan buku-buku dan materi pustaka lainnya, kitab-kitab hadits, ayat al-

Qur’an, buku-buku, artikel, skripsi, tesis, disertasi dan bahan-bahan yang

berkaitan tentang masalah yang akan dibahas adalah sumber data primer pada

penelitian ini, ditambah dengan buku-buku lain yang memuat informasi

sekitar pemimpin sebagai data sekunder.

Adapun data primer yang penulis gunakan dalam pembuatan skripsi

ini adalah kitab suci al-Qur’an, mushaf yang digunakan sebagai pegangan

adalah al-Qur’an dan Terjemahnya yang ditashih oleh Kementrian Agama RI

dan kitab al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-Karīm karya

Muḥammad Fu‘ād ‘Abd al-Bāqī, untuk mempermudah melacak ayat-ayat al-

Qur’an yang terkait. Kitab yang menjadi analisa utama adalah kitab Tafsīr
8

al-Sya’rāwī Khawāṭir Ḥaula al-Qur’ān al-Karīm Karya Muḥammad

Mutawallī al-Sya’rāwī, , Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an karya Muḥammad b.

Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta‘wīl Āyi al-Qur‘ān

karya Ibn Jarīr al-Ṭabarī, dan al-Qur’an dan Tafsirnya karya Kementrian

Agama RI. Penulis menilai para mufasir tersebut representatif dalam kajian

kebahasaan, akhlak tasawuf, dan sosial kemasyarakatan.

Sedangkan data sekunder merupakan sumber pendukung yang ada

relevansinya dengan pembahasan skripsi ini seperti kitab-kitab tafsir, buku-

buku, artikel dan lain-ainnya yang mempunyai kaitan dengan tema yang

sedang dibahas. Semua itu dilakukan melalui proses pengumpulan data-data,

pendapat para ulama akan dijadikan analisis kesimpulan akhir pada skripsi ini.

F. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka data-data tersebut dianalisis melalui

metode sebagai berikut:

1. Metode Interpretatif

Metode ini digunakan untuk menyelami isi buku, lebih tepatnya

mengungkap arti makna yang disajikan. Metode ini penting perannya

dalam usaha mencari makna yang tersirat maupun yang tersurat serta

mengaitkannya denga hal-hal yang terkait yang sifatnya logis teoriketik

dan transendental.15

2. Metode Maudhū’i

Metode Maudhū’i yaitu dengan mengambil dan menghimpun ayat-

ayat yang berbicara tentang topik pembahasan. Semuanya diletakkan di

15
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1996),
h. 65.
9

bawah satu judul lalu ditafsirkan dengan metode maudhū’i, sebagaimana

yang digariskan oleh ‘Abdul Ḥayy al-Farmawī. Format dan prosedur

Tafsir Maudhū’I meliputi langkah-langkah:

a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.

c. Menyusun runtunan ayat-ayat yang berkaitan dengan masa turunnya

disertai pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl.

d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.

e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline).

f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan

pokok pembahasan.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan

menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau

mengkompromikan antara yang ‘ām (umum) dan yang khās (khusus),

muṭlaq dan muqayyad atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga

semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau

pemakasaan.16

G. Tinjauan Pustaka

Setelah melakukan penelusuran dari berbagai penelitian, sejauh

pengamatan dan pencarian yang dilakukan, penulis menemukan beberapa

karya ilmiah baik yang berbentuk buku, artikel, atau skripsi yang terkait

dengan pembahasan ini, Akan tetapi, penulis mendapati hasil penelitian yang

16
‘Abdu al-Ḥayy al-Farmawī, Metode Tafsir Mauḍū’ī, terj. Rohison Anwar (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), h. 51-52.
10

telah dihasilkan sebelum ini mempunyai tinjauan dan perspektif yang

berbeda-beda. Berikut akan diterangkan:

1. Penelitian berupa skripsi yang dilakukan oleh Mustholih yang ditulis pada

tahun 2008 tentang TUJUAN HIDUP MANUSIA DALAM AL-QUR’AN.

Dalam penelitian tersebut al-Qur’an memberikan gambaran umum jalan

dan tujuan bagaimana seharusnya manusia hidup. Ada empat jalan dan

tujuan hidup manusia dalam al-Qur’an yaitu, pertama, menjadi hamba

Tuhan, kedua, mengemban amanat, ketiga, menjadi khalifah, keempat,

Amar Ma’rūf Nahī Munkar.

2. Penelitian berupa jurnal yang dilakukan oleh Irsyadunnas yang ditulis

pada tahun 2005 tentang KONSEP ISLAM TENTANG DUNIA DAN

DINAMIKA KEHIDUPAN. Dalam penelitian tersebut menunjukkan

Penegasan Allah tentang eksistensi kehidupan dunia, yang dilambangkan

dengan kata la'ibun dan lahwun (semacam pennainan dan senda gurau)

merupakan peringatan bahwa kehidupan dunia itu tidak akan berlangsung

lama.

3. Penelitian berupa skripsi yang dilakukan oleh Khalisatun Naqiyah yang

ditulis pada tahun 20017 tentang MAKNA KATA AL-DUNYĀ SERTA

RELASINYA DALAM AL-QUR’AN. Dalam penelitian hasil risetnya adalah

bahwa al-dunyā terkait relasinya dalam al-Qur’an, diperoleh kategori

pemaknaannya tentang dunia yaitu, kategori makna dunia yang memberi

kesan negatif antara lain, balasan yang pedih atas kekafiran, perhiasan

yang menyebabkan kedurhakaan dan kedzaliman, perhiasan yang

menyebabkan kesombongan, riya` dalam beribadah, ajakan setan terhadap


11

kecintaan dunia yang berlebihan, dan malapetaka dan bahaya. Sedangkan

makna dunia yang memberi kesan positif antara lain, menjadikan

perhiasan sebagai sarana beribadah, temporalitas, relativitas waktu, nilai

kenikmatan dan kesenangan dunia lebih sedikit dibanding akhirat,

kehidupan dunia bersifat kontiunitas, pahala bagi orang beriman dan

bertakwa, serta amalan shaleh lebih baik daripada perhiasan dunia.

Pada tinjauan kali ini, perspektif yang penulis ingin bahas berbeda

dari pada hasil karya yang telah disebutkan di atas. Yang menjadi menarik

bagi penulis mengambil pemahaman dari penafsiran para mufasir tentang

gambaran kehidupan dunia dalam al-Qur’an. Dengan demikian, terdapat

unsur yang membedakan dengan kajian-kajian sebelumnya.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibagi menjadi lima bab, dengan alasan disetiap bab

mengandung keterkaitan sehingga dapat diketahui topik-topik bahasannya

beserta alur pembahasannya. Sistematika penulisan skripsi yang digunakan

adalah sebagai berikut:

BAB I: Berisi pendahuluan mencakup ruang lingkup penulisan, yaitu

merupakan gambaran–gambaran umum dari keseluruhan isi skripsi meliputi:

latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian, metode analisis data, tinjauan pustaka, dan

sistematika penulisan.

BAB II: Berisi tentang kajian teoritis tentang kehidupan dunia yang di

dalamnya mencakup definisi al-ḥayāt dan al-dunyā, serta derivasi katanya

dalam al-Qur’an, kehidupan manusia di dunia dan keberadaan makhluk


12

lainnya, ayat-ayat tentang kehidupan dunia, dan ayat-ayat tentang kehidupan

akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia.

BAB III: Berisi analisis tematik yang akan membahas bagaimana

penafsiran para mufasir tentang makna ayat-ayat yang terkait dengan hakikat

hidup manusia untuk beribadah, manusia hidup dikaruniai harta dan anak-

anak sebagai ujian, kehidupan dunia adalah permainan dan senda gurau,

kehidupan akhirat lebih baik dari dunia.

BAB IV: Berisi analisis tematik yang akan membahas bagaimana

penafsiran para mufasir tentang makna ayat-ayat yang terkait dengan

karakteristik kehidupan dunia, ragam kesenangan kehidupan dunia,

perumpamaan kehidupan dunia seperti air hujan, perintah mewaspadai

kehidupan dunia, dunia bukan tujuan hakiki, kehidupan dunia melupakan

manusia dari ingat kepada Allah Swt., mencintai dunia dapat tersesat.

BAB V: Merupakan bab penutup dari skripsi penulis, yang di

dalamnya mencakup tentang kesimpulan pokok hasil penelitian beserta saran-

saran dan penutup.


BAB II
DEFINISI KEHIDUPAN DAN DERIVASINYA DALAM AL-
QUR’AN
A. Definisi Kehidupan

Secara etimologis kata ḥayāh memiliki dua arti. Pertama,

“kehidupan”, sebagai lawan kematian seperti ungkapan ḥayāt al-insān

(kehidupan manusia) dan ḥayāt al-nabāt (kehidupan nabati). Kedua, “rasa

malu” yang diungkapkan dengan bentuk ḥayā’. Kedua arti bahasa tersebut

sebenarnya tidak ada perbedaan karena malu dengan hidup tidak dapat

dipisahkan. Setiap merasa malu sudah pasti (ia) hidup. 1

Al-Rāgib al-Aṣfahānī mengatakan bahwa kata ḥayāh digunakan al-

Qur’an untuk menggambarkan arti-arti sebagai berikut :

1. Potensi berkembang yang ada pada nabati dan hewani, seperti di dalam

QS. al-Anbiyā‘/21: 30.

2. Potensi merasa seperti yang dimiliki hewan. Seperti di dalam QS.

Fāṭir/35: 22.

3. Potensi berpikir seperti di dalam QS. al-An’ām/6: 122.

4. Ibarat hilangnya kegelapan atau timbulnya terang, seperti di dalam QS.

al-Baqarah/2: 154.

5. Kehidupan akhirat yang bersifat abadi, seperti di dalam QS. al-Anfāl/8:

24.

6. Sifat Allah, yaitu Allah Maha hidup dan tidak akan mati, lagi Pemberi

hidup. Sifat “hidup” ini hanya dimiliki Allah, dan tidak dapat disamakan

1
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Quran Kajian Kosa Kata (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h. 306.

13
14

dengan hidup yang di miliki manusia, seperti di dalam QS. Al-Baqarah/2

: 255.2

Dari sisi lain, kata ḥayāh digunakan al-Qur’an untuk arti hidup di

dunia dan hidup di akhirat, misalnya pada QS. Yūnus/10: 64. Kesemua ayat

yang menyebut kata ḥayāh dengan arti “hidup” menunjukkan bahwa

kehidupan di dunia ini berisfat sementara, sedangkan hidup di akhirat bersifat

abadi dan tempat mempertanggungjawabkan semua perbuatan ketika di

dunia.3

Kata al-ḥayāh diartikan oleh sementara ulama sebagai sesuatu yang

menjadikan wujud merasa, atau tahu dan bergerak. Sebagaimana yang

dikutip oleh Quraish Shihab bahwa Mutawallī al-Sya’rāwī memahami kata

“hidup” dalam al-Qur`an sebagai sesuatu yang mengantar kepada

berfungsinya sesuatu dengan fungsi yang ditentukan baginya. Misalnya,

tanah berfungsi untuk menumbuhkan tumbuhan, jika ia gersang, al-Qur`an

menyebutnya dengan mati dan jika ia subur, al-Qur`an menyebutnya dengan

hidup.4

B. Kehidupan Manusia di Dunia dan Keberadaan Makhluk Lainnya.

Setelah Nabi Adam A.S., turun di dunia mulailah ia hidup

berketurunan. Dari alam Nabi Adam belajar untuk mengusahakan kelestarian

hidupnya di dunia hingga beranak cucu banyak sekali. Dari tanah ia belajar

bercocok tanam. Dari pohon-pohon ia belajar memanfaatkan kayu untuk

2
Abī al-Qāsim al-Ḥusaini al-Rāgib al-Aṣfahānī, Mufradāt Fī Garīb al-Qur’an
(Cairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2013), h. 144-145.
3
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Quran Kajian Kosa Kata (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h.306.
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 14 (Jakarta: Lentera Hati, 2003), h.
342-344.
15

membuat rumah dan peralatannya. Dari binatang ia belajar bagaimana

memanfaatkan kulitnya untuk membuat pakaian. Dari air ia belajar

bagaimana memanfaatkannya untuk pertanian dan kebutuhan-kebutuhan

lainnya dan masih banyak penemuan-penemuan baru Nabi Adam A.S., yang

kesemuanya diilhami oleh alam sekitarnya dengan perantaraan akal dan

pikirannya. 5

Hubungan manusia dengan sumberdaya alam ini dalam Islam ada tiga

macam peran, diantaranya:

1. Hubungan al-Intifā’u bih, yaitu mengambil manfaat. Manusia

diperintahkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya dan kekuatan

alam yang ada.

2. Hubungan i’tibar, mengambil pelajaran. Hubungan manusia dengan alam

merupakan hubungan view point, bahwa alam dapat menambah

pandangan dan menambah pelajaran bagi manusia. Pelajaran (i’tibar)

berarti mengambil hikmah, dalam arti tidak sampai mendekat barang

karena membahayakan atau menjaga agar tidak membahayakan, atau

alam bisa digunakan sebagai pelajaran dengan cara mengambil temuan-

temuan yang dapat dijadikan teori dan menjadi pengetahuan secara

umum. Jadi, dengan i’tibar alam menjadi sumber pengetahuan bagi

manusia.

3. Hubungan al-iḥtifāẓ atau hubungan pelestarian alam, konservasi atau

saving (menyelamatkan alam).

5
Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di tengah-tengah Alam Materi (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1995), h. 5.
16

Tiga macam hubungan manusia dengan alam ini dalam al-Qur’an

disebut dengan tas’khir, pendudukan. Artinya Tuhan memberi konsesi

kepada manusia bahwa semua kekuatan dan kekayaan alam dan sekitarnya

untuk kepentingan manusia. Jadi, semua kekuatan alam ini pada prinsipnya

bisa dikendalikan oleh manusia karena Tuhan telah memberikan konsesi

pendudukan alam itu untuk manusia. Kalimat dalam al-Qur’an selalu

berbunyi, sakhkhara lakum, “Tuhan mendudukan kekuatan alam ini untuk

kepentingan mu”, bukan untuk bencana bagimu. 6

Selanjutnya selain manusia, keberadaan makhluk lainnya di dunia

seperti malaikat, tumbuhan dan hewan memiliki fungsi atau peran tersendiri

terhadap kehidupan di dunia. Perinciannya adalah sebagai berikut:

1. Tumbuhan dan Hewan

Allah menyediakan bumi ini untuk ditanami dengan berbagai

macam tanaman. Ditanamilah tumbuh-tumbuhan dari jenis bahan

makanan, lalu daripadanya diperoleh padi, gandum, jagung, kedelai dan

masih banyak lagi yang kesemuanya sangat berguna sebagai bahan

energi badan untuk memperoleh tenaga. Tenaga itu lalu dimanfaatkan

untuk beribadah. Ditanam pula pohon kapas dan kapuk, lalu daripadanya

dapat dibuat benang untuk membuat pakaian sebagai penutup aurat.

Diciptakan-Nya bermacam-macam jenis hewan yang dapat

dimanfaatkan kulitnya, dagingnya, tenaganya dan lain-lain.

6
Muhammad Tholchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius (Jakarta: Listafariska
Putra, 2004), h. 121-122.
17

Allah berfirman:

َ َۡ َ َ َ َ ُ َ َ
َ‫يعاَم ِۡن ُهَُۚإِنَف ِي‬
ٗ ‫ۡرضََ َجم‬
ِ ِ ‫تََ َو َماَف ِيَٱلأ‬
ِ َٰ ‫َو َسخ َرََلكمَماَف ِيَٱلسمَٰو‬

َ َ َ َ َ َ َ
َ٣١َ‫تَل ِق ۡو ٖم ََيتَفك ُرون‬
ٖ َٰ ‫ذَٰل ِكَٓأَلي‬

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa

yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-

tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. al-

Jāṡiyah/45: 13).

Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa Sang Pencipta telah

menjadikan semua yang ada di dalam dunia ini, sebagai amanat yang

mesti dijaga. Konsep Islam dalam memenuhi hak-hak binatang sudah

jelas, misalnya bagaimana seharusya manusia memperlakukan binatang

yang telah membantu kehidupannya. 7

Di lain ayat Allah berfirman:

ٓ َ ََ ََ ُٗ ُ َ ۡ ُ َ َ َ َ َ ٗ ۡ َ َ َۡ ُ ُ َ ََ َ َ
ََِ‫نزلَم َِنَٱلس َماء‬ ‫ۡرضَمهداَوسلكَلكمَفِيهاَسبلاَوأ‬
َ ‫ٱلذِيَجعلَلكمَٱلأ‬

َ َ
٣١َ‫اتَشت َٰي‬ َ‫َما ٓ ٗءَفَأ َ ۡخ َر ۡجنَاَبهَِۦََٓأ َ ۡز َو َٰ ٗجاَمِنَنَب‬
ٖ ِ

“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang

telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan

7
Kementrian Agama RI, Hewan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011), h. 13.
18

dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu

berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.”

(QS. Ṭāhā/20: 53).

َ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َ ُ َٰ َ َ َ ٞ ۡ َ ۡ ُ َ َ َ َ َ َ َٰ َ ۡ َ ۡ َ
َ٣َ‫وٱلأنعمََخلقهاَۖلكمَفِيهاَدِفءَومنفِعَومِنهاَتأكلون‬

“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya

ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan

sebahagiannya kamu makan.” (QS. al-Naḥl/16: 5).

Islam memandang semua ciptaan, baik itu tumbuhan maupun

hewan, melalui dua perspektif. Pertama, sebagai ciptaan yang

mempunyai hak untuk hidup, dalam usaha mengagungkan Allah dan

membuktikan kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya. Kedua, sebagai faktor

yang menunjang pemenuhan kebutuhan makhluk hidup lainnya,

utamanya manusia, dalam rangka melaksanakan peran utamanya sebagai

pemakmur dunia dan penjaga kelestarian bumi. 8

Dunia diciptakan Allah ini diperuntukkan manusia khususnya

sebagai alat penunjang dalam menjalankan ibadah secara keseluruhan.

Sebagaimana definisi ibadah ialah setiap sesuatu yang dicintai serta

diridhoi oleh Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, baik lahir

maupun batin. Oleh karena itu ibadah itu meliputi segala aspek

kehidupan, seperti shalat, zakat, puasa, ucapan yang benar, menunaikan

amanat, berbakti kepada orang tua, menyambung tali persaudaraan,

8
Kementrian Agama RI, Tumbuhan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011), h. 7-8.
19

menempati janji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad melawan orang kafir

dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin,

ibnu sabil budak belian, binatang, berdoa, berdzikir, membaca dan

sejenisnya serta berbagai macam bentuk ibadah lainnya. 9

2. Malaikat

Hubungan malaikat dengan manusia setelah diciptakan terbagi

menjadi dua fase, yaitu hubungan umum dan khusus. Pertama,

hubungan umum antara malaikat dan manusia, baik yang mukmin atau

yang kafir. Hubungan ini diwujudkan dengan pencatatan para malaikat

terhadap semua perbuatan manusia serta pengaturan tatanan kehidupan

dan kematian mereka. Pengaturan kehidupan dan kematian ini

diwujudkan, misalnya, dengan turunnya hujan, tiupan angin, dan

dicabutnya ruh. Kedua, hubungan khusus antara malaikat dan manusia

setelah penciptaan ditegaskan dalam ayat Allah, “Sesungguhnya orang-

orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka

meneguhkan pendirian mereka maka malaikat akan turun kepada mereka

(dengan mengatakan), “Jangan merasa takut dan jangan merasa sedih.

Bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan

Allah kepada kalian.” Kamilah pelindung-pelindung kalian dalam

kehidupan di dunia dan di akhirat. Di dalamnya kalian memperoleh apa

yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kalian minta (QS.

Fuṣṣilat/41: 30-31).

9
Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 24-26.
20

Para malaikat datang kepada orang-orang mukmin yang konsisten

dalam menjalankan petunjuk, melaksanakan amal saleh, dan ketakwaan.

Para malaikat datang kepada mereka ketika mereka dilanda rasa takut

terhadap masa depan, dan menghapus rasa sedih akan masa lalu.

Perhatian para malaikat akan terus berlanjut dari dunia sampai akhirat

hingga mereka meraih harapan terbesar, yaitu surga firdaus yang abadi. 10

C. Derivasi Kata Ḥayāh dalam al-Qur’an

Kata kehidupan dengan menggunakan term ḥayāh/ḥayyun beserta

seluruh derivasinya dalam al-Qur’an tersebar dalam 176 tempat, dalam 49

surat, 154 ayat. Dari 49 surat, yang masuk ke dalam kategori makkiyyah

adalah 35 surat, dan madaniyyah 14 surat.11

Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang kehidupan, dengan

menggunakan term“ḥayāh/ḥayyun” beserta seluruh derivasinya yang

terdapat dalam Al-Qur’an:

Tabel 1.1

PERSEBARAN AYAT-AYAT TENTANG KEHIDUPAN, DENGAN

MENGGUNAKAN TERM“ ḤAYĀH/ḤAYYUN” BESERTA SELURUH

DERIVASINYA YANG TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN

No Surat Ayat Status


1. Al-Baqarah (2) 26, 28, 49, 73, 85, 86, 96, 154, 164,
179, 204, 212, 243, 255, 258, 259, 260 Madaniyyah
2. Āli ‘Imrān (3) 2, 14, 27, 49, 117, 156, 169, 185 Madaniyyah
3. An-Nisa' (4) 74, 86, 94, 109 Madaniyyah
4. Al-Mā‘idah (5) 32 Madaniyyah
5. Al-An’ām (6) 29, 32, 70, 95, 122, 130, 162 Makkiyyah
6. Al-A’rāf (7) 25, 32, 51, 127, 141, 152, 158 Makkiyyah

10
Muhammad Sayyid al-Muyassar, Buku Pintar Alam Gaib (Jakarta: Zaman, 2009),
h. 111-113.
11
Muḥammad Fu‘ād ‘Abd Al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an Al-
Karīm (Beirut Libanon: Dār al-Fikr, 1997), h. 283-286.
21

7. Al-Anfāl (8) 24, 42 Madaniyyah


8. At-Taubah (9) 38, 55, 116 Madaniyyah
9. Yūnus (10) 7, 23, 24, 31, 56, 64, 88, 98 Makkiyyah
10. Hūd (11) 15 Makkiyyah
11. Ar-Ra’du (13) 26, 34 Madaniyyah
12. Ibrāhīm (14) 3, 6, 27 Makkiyyah
13. Al-Ḥijr (15) 23 Makkiyyah
14. An-Naḥl (16) 21, 65, 97, 107 Makkiyyah
15. Al-Isrā‘ (17) 75 Madaniyyah
16. Al-Kahfi (18) 28, 45, 46, 104 Madaniyyah
17. Maryam (19) 15, 31, 33, 66 Makkiyyah
18. Ṭāhā (20) 72, 74, 97, 111, 131 Makkiyyah
19. Al-Anbiyā‘ (21) 30 Makkiyyah
20. Al-Hajj (22) 6, 66 Madaniyyah
21. Al-Mu’minūn (23) 33, 37, 80 Makkiyyah
22. An-Nūr (24) 33 Madaniyyah
23. Al-Furqān (25) 3, 49, 58, Makkiyyah
24. Asy-Su’arā’ (26) 81 Makkiyyah
25. Al-Qaṣaṣ (28) 4, 60, 61, 79 Makkiyyah
26. Al-‘Ankabūt (29) 25, 63, 64 Makkiyyah
27. Ar-Rūm (30) 7, 19, 24, 40, 50 Makkiyyah
28. Luqman (31) 33 Makkiyyah
29. Al-Aḥzāb (33) 28, 53 Madaniyyah
30. Fāṭir (35) 5, 9, 22 Makkiyyah
31. Yāsīn (36) 12, 33, 70, 78, 79 Makkiyyah
32. Az-Zumar (39) 26 Makkiyyah
33. Gāfir (40) 11, 25, 39, 51, 65, 68 Makkiyyah
34. Fuṣṣilat (41) 16, 31, 39 Makkiyyah
35. Asy-Syurā (42) 9, 36 Makkiyyah
36. Az-Zukhruf (43) 32, 35 Makkiyyah
37. Ad-Dukhān (44) 8 Makkiyyah
38. Al-Jāṡiyah (45) 5, 21, 24, 26, 35 Makkiyyah
39. Al-Aḥqāf (46) 20, 33 Makkiyyah
40. Muḥammad (47) 36 Madaniyyah
41. Qāf (50) 11, 43 Makkiyyah
42. An-Najm (53) 29, 44 Makkiyyah
43. Al-Ḥadīd (57) 2, 17, 20 Madaniyyah
44. Al-Mujādalah (58) 8 Madaniyyah
45. Al-Mulk (67) 2 Makkiyyah
46. Al-Qiyāmah (75) 40 Makkiyyah
47. Al-Mursalat (77) 26 Makkiyyah
48. Al-Nāzi’āt (79) 38 Makkiyyah
49. Al-A’lā (87) 13, 16 Makkiyyah
50. Al-Fajr (89) 24 Makkiyyah
22

D. Definisi Dunia

Dunia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah bumi

dengan segala sesuatu yang terdapat di atasnya.12 Sementara dunia dalam

bahasa Arab ialah al-duniā berasal dari kata danā yang berarti dekat dengan

dzat13, atau arti lainnya seperti rendah, hina, atau sempit. 14 Adapun dunia

dalam kajian tasawuf adalah segala sesuatu yang paling dekat dengan jiwa-

rendah (nafs).15 Pada umumnya al-Qur’an menggunakan frasa al-ḥayāh al-

dunyā untuk menggantikan kata sederhana al-dunyā.16

Di dalam al-Qur’an lafadz al-dunyā disebutkan dengan berbagai

shigat lainnya antara lain, danā, yudnīna, dānin, dāniyatun, adnā, dan al-

dunyā sebanyak 133 kali.17

Konsep tentang al-dunia mensyaratkan adanya konsep tentang “dunia

yang akan datang”, “Akhirat” (al-ākhīrah), dan berlawanan dengan kata

tersebut. Dan al-Qur’an sangat sadar terhadap kolerasi ini kapanpun kedua

kata tersebut digunakan, apalagi terhadap kasus di mana kedua kata tersebut

disebutkan bersama-sama dengan nafas yang sama, 18 dengan demikian

terbentuklah al-ūlā dan al-ākhirah (kehidupan pertama dan kehidupan

terakhir), al-dunyā dan al-ākhirah (kehidupan yang lebih dekat dan yang

12
Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2018), h. 387.
13
Abī al-Qāsim al-Ḥusaini al-Rāgib al-Aṣfahānī, Mufradāt Fī Garīb al-Qur’an
(Cairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2013), h 179.
14
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997), h. 424.
15
Amiruddin Syah, Kunci Tasawuf (Jakarta: Institut Kajian Tasawuf, tanpa tahun), h.
68.
16
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap al-
Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 88.
17
Muḥammad Fu‘ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ 2007), h. 321-324.
18
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap al-
Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 88-89.
23

terkemudian)19, seperti misalnya pada ayat: “Kami menghendaki harta benda

dunia sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu).20

Pembahasan tentang pengertian dunia mempunyai kaitan dengan term

“Bumi”. Kata Al-Arḍu jamaknya Arḍūna atau Arādun yang artinya bumi.21

Kata Arḍ ada di dalam al-Qur’an biasa diartikan sebagai “bumi”. Akan tetapi

tidak semua kata itu diartikan sebagai “bumi”, karena ada juga yang

digunakan untuk menginformasikan penciptaan alam semesta dengan sistem

tata surya (solar system) belum terbentuk seperti sekarang. Ayat dimaksud

ialah QS. Hūd/11: 7, QS. al-Anbiyā‘/21: 30, QS. al-Sajadah/32: 4, QS.

Fuṣṣilat/41: 9-12, dan QS. al-Ṭalāq/65:12. Kata arḍ di dalam ayat-ayat ini

lebih tepat dipahami sebagai “materi” yakni cikal bakal bumi. Ia telah ada

sesaat setelah Allah Swt.

Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang kehidupan di muka bumi yang

merupakan suatu bukti terbesar akan keesaan dan kekuasaan Allah.

Diantaranya terdapat ayat yang menyebutkan tentang reboisasi atau

dihidupkannya bumi setelah sebelumnya dalam keadaan gersang yaitu ayat

QS. al-Baqarah/2: 164. Bahwa yang dimaksud dalam firman-Nya, “lalu

dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia

sebarkan di bumi itu segala jenis hewan” yakni dengan air, maka bumi pun

kembali menghijau dengan banyaknya tumbuhan. Dengan kehijauan inilah,

19
Muhammad Abdul Halim, Memahami al-Qur’an Pendekatan Gaya dan Tema
(Bandung: Marja, 2002), h. 116.
ٞ ‫يزَحك‬َ َ َُ َ َ ُ ُ َُ َ َۡ ُ َ َ َ ُ ُ
ٌ ‫تريدونَع َرضَٱلد نياَوَٱللََيريدَٱٓأۡلخ َِرةََوَٱللََعز‬
20
QS. al-‘Anfāl/8: 67 ٧٦َ‫ِيم‬ ِ ِ ِ
21
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997), h. 18.
24

maka binatang pun bisa tinggal dan menetap. Inilah kehidupan awal,

sebagaimana tampak pada firman-Nya:

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya

langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,

kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan

segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga

beriman.” (al-Anbiyā‘/21: 30).

Yang dimaksud dalam firman itu adalah bahwa dahulu kala, langit

dan bumi adalah satu kesatuan yang kukuh dan terkait satu dengan yang

lainnya. Lalu keduanya pun dipisahkan hingga terbentuklah satuan langit dan

satuan bumi. Unsur oksigen dan air banyak didapatkan di bumi, hingga bisa

dikatakan bahwa unsur terbanyak di bumi adalah unsur air. Setelah bumi

yang gersang itu mulai dipadati dengan unsur air, mulailah tumbuh beragam

jenis tumbuhan dan binatang pun mulai menempati bumi ini.22

Al-Qur’an mengisyaratkan stabilitas umum permukaan bumi, ia

diciptakan di dalam bentuk hamparan (QS. al-Baqarah/2: 22, QS. al-Ra’d/13:

3, dan QS.Ṭāhā/20: 53:54). Ini dimaksudkan agar bumi dapat dijadikan

tempat tinggal oleh manusia. Dengan bersifat hamparan itu juga manusia

mendapatkan berbagai kemudahan hidup di bumi (QS. al-Mulk/67: 15). Agar

bumi yang terhampar ini tidak terguncang dan tergulung maka Allah Swt.,

melengkapinya dengan gunung-gunung. Gunung inilah yang berfungsi

sebagai pasak yang mengukuhkan bumi dan menarik hujan serta mengatur

22
Ahzami Samiun Jazuli, al-Ḥayāt Fī al-Qur’ān al-Karīm terj. Sari Narulita (Depok:
Gema Insani, 2006), h. 190.
25

suhu udara dan aliran air (QS. al-Naḥl/16: 15 dan QS. al-Naba’/78: 6-7).

Dengan mantap dan stabilnya bumi, manusia dapat hidup di atasnya dengan

tenang dan tentram tanpa gangguan dan ketakutan (QS. al-Naml/27: 61).23

E. Derivasi Kata al-Dunyā dalam al-Qur’an

Kata “dunia” dengan menggunakan term dunyā beserta seluruh

derivasinya dalam al-Qur’an tersebar dalam 115 tempat, dalam 39 surat, 108

ayat. Dari 39 surat, yang masuk ke dalam kategori makkiyyah adalah 25 surat,

dan madaniyyah 14 surat. 24

Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang dunia, dengan menggunakan

term“dunyā” beserta seluruh derivasinya yang terdapat dalam Al-Qur’an:

Tabel 2.1

PERSEBARAN AYAT-AYAT TENTANG DUNIA,

DENGAN MENGGUNAKAN TERM “DUNYĀ” BESERTA SELURUH

DERIVASINYA YANG TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN

No Surat Ayat Status


1. Al-Baqarah (2) 85, 86, 114, 130, 200, 201, 204, 212, Madaniyyah
217, 220
2. Āli ‘Imrān (3) 14, 22, 45, 56, 117, 145, 148, 152, 185 Madaniyyah
3. Al-Nisā‘ (4) 74, 77, 94, 109, 134, Madaniyyah
4. Al-Mā‘idah (5) 33, 41, Madaniyyah
5. Al-An’ām (6) 29, 32, 70, 130 Madaniyyah
6. Al-A’rāf (7) 32, 51, 152, 156 Makkiyyah
7. Al-‘Anfāl (8) 42, 67 Madaniyyah
8. At-Taubah (9) 38, 55, 69,74, 85 Madaniyyah
9. Yūnus (10) 7, 23, 24, 64, 70, 88, 98 Makkiyyah
10. Hūd (11) 15, 60 Makkiyah
11. Yūsuf (12) 101 Makkiyyah
12. Al-Ra’du (13) 26, 34 Madaniyyah
13. Ibrāhīm (14) 3, 27 Makkiyyah
14. An-Naḥl (16) 30, 41, 107, 122 Makkiyyah
15. Al-Kahfi (18) 28, 45, 46, 104 Madaniyyah

23
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Quran Kajian Kosa Kata (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 95.
24
Muḥammad Fu‘ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ 2007), h. 322-324.
26

16. Ṭāhā (20) 72, 131 Makkiyyah


17. Al-Hajj (22) 9, 11, 15 Madaniyyah
18. Al-Mu‘minūn (23) 33, 37 Makkiyah
19. Al-Nūr (24) 14, 19, 23, 33 Madaniyyah
20. Al-Qashash (28) 42, 60, 61, 77, 79 Makkiyyah
21. Al-‘Ankabūt (29) 25, 27 Makkiyyah
22. Al-Rūm (30) 7 Makkiyyah
23. Luqmān (31) 15, 33 Makkiyyah
24. Al-Aḥzāb (33) 28, 57 Madaniyyah
25. Fāṭir (35) 5 Makkiyyah
26. Al-Ṣāffāt (37) 6 Makkiyyah
27. Al-Zumar (39) 10, 26 Makkiyyah
28. Gāfir (40) 39, 43 Makkiyyah
29. Fuṣṣilat (41) 12, 16, 31 Makkiyyah
30. Al-Syūrā (42) 20, 36 Makkiyyah
31. Al-Zukhruf (43) 32, 35 Makkiyyah
32. Al-Jāṡiyah (45) 24, 35 Makkiyyah
33. Al-‘Aḥqāf (46) 20 Makkiyyah
34. Muḥammad (47) 36 Makkiyyah
35. Al-Najm (53) 29 Makkiyyah
36. Al-Ḥadīd (57) 20 Madaniyyah
37. Al-Ḥasyr (59) 3 Madaniyyah
38. Al-Mulk (67) 5 Makkiyah
39. Al-Nāzi’āt (79) 38 Makkiyah

F. Ayat-ayat Tentang Kehidupan Dunia

Kalimat kehidupan dunia dengan menggunakan term al-ḥayāh al-

duniā yang terdapat dalam al-Qur’an tersebar dalam 32 surat, 59 ayat. Dari

32 surat, yang masuk ke dalam kategori makkiyyah adalah 22 surat, dan

madaniyyah 10 surat.25

Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang kehidupan dunia, dengan

menggunakan term “al-ḥayāh al-dunyā” yang terdapat dalam al-Qur’an:

Tabel 3.1

25
Muḥammad Fu‘ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (Beirut Libanon: Dār al-Fikr, 1997), h. 283-286.
27

PERSEBARAN AYAT-AYAT TENTANG KEHIDUPAN DUNIA,

DENGAN MENGGUNAKAN TERM “AL-ḤAYĀH AL-DUNYĀ” YANG

TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN

No Surat Ayat Status


1. Al-Baqarah (2) 85, 86, 204, 212 Madaniyyah
2. Āli ‘Imrān (3) 14, 117, 185 Madaniyyah
3. An-Nisa' (4) 74, 94, 109 Madaniyyah
4. Al-An’ām (6) 32, 70, 130 Makkiyyah
5. Al-A’rāf (7) 32, 51, 152 Makkiyyah
6. At-Taubah (9) 38, 55 Madaniyyah
7. Yūnus (10) 23, 64, 88, 98 Makkiyyah
8. Hūd (11) 15 Makkiyyah
9. Ar-Ra’du (13) 26, 34 Madaniyyah
10. Ibrāhīm (14) 3, 27 Makkiyyah
11. An-Naḥl (16) 107 Makkiyyah
12. Al-Kahfi (18) 28, 45, 46, 104 Madaniyyah
13. Ṭāhā (20) 72, 131 Makkiyyah
14. Al-Mu’minūn (23) 33 Makkiyyah
15. An-Nūr (24) 33 Madaniyyah
16. Al-Qaṣaṣ (28) 60, 61, 79 Makkiyyah
17. Al-‘Ankabūt (29) 25, 64 Makkiyyah
18. Ar-Rūm (30) 7 Makkiyyah
19. Luqman (31) 33 Makkiyyah
20. Al-Aḥzāb (33) 28 Madaniyyah
21. Fāṭir (35) 5 Makkiyyah
22. Az-Zumar (39) 26 Makkiyyah
23. Gāfir (40) 39, 51 Makkiyyah
24. Fuṣṣilat (41) 16, 31 Makkiyyah
25. Asy-Syurā (42) 36 Makkiyyah
26. Az-Zukhruf (43) 32, 35 Makkiyyah
27. Al-Jāṡiyah (45) 35 Makkiyyah
28. Muḥammad (47) 36 Madaniyyah
29. An-Najm (53) 29 Makkiyyah
30. Al-Ḥadīd (57) 20 Madaniyyah
31. Al-Nāzi’āt (79) 38 Makkiyyah
32. Al-A’lā (87) 16 Makkiyyah

G. Ayat-ayat Tentang Kehidupan Akhirat Lebih Baik daripada Kehidupan

Dunia

Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung makna

bahwa kehidupan akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia. Ayat-ayat


28

tentang ini di dalam al-Qur’an tersebar dalam 15 surat, 19 ayat. Dari 15 surat,

yang masuk ke dalam kategori makkiyyah adalah 11 surat, dan madaniyyah

4 surat.26

Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang kehidupan akhirat lebih baik

daripada kehidupan dunia yang terdapat dalam al-Qur’an:

Tabel 4.1

PERSEBARAN AYAT-AYAT TENTANG KEHIDUPAN AKHIRAT

LEBIH BAIK DARIPADA KEHIDUPAN DUNIA YANG TERDAPAT

DALAM AL-QUR’AN

No Surat Ayat Status


1. An-Nisa' (4) 77 Madaniyyah
2. Al-An’ām (6) 32 Makkiyyah
3. Al-A’rāf (7) 169 Makkiyyah
4. At-Taubah (9) 38 Madaniyyah
5. Yūsuf (12) 57, 109 Makkiyyah
6. Hūd (11) 15 Makkiyyah
7. Ar-Ra’du (13) 26 Madaniyyah
8. An-Naḥl (16) 30, 41 Makkiyyah
9. Al-Isrā‘ (17) 21 Madaniyyah
10. Al-‘Ankabūt (29) 64 Makkiyyah
11. Gāfir (40) 39 Makkiyyah
12. Fuṣṣilat (41) 16, 31, 39 Makkiyyah
13. Az-Zukhruf (43) 35 Makkiyyah
14. Al-A’lā (87) 17 Makkiyyah
15. Al-Ḍuḥā 4 Makkiyyah

26
Muḥammad Fu‘ād ‘Abd Al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ 1991), h. 28-30.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HAKIKAT KEHIDUPAN
DUNIA

A. Hakikat Hidup Manusia untuk Beribadah

Segala sesuatu termasuk manusia diciptakan oleh Allah Swt., tidaklah

sia-sia, segala ciptaan-Nya memiliki manfaat dan tujuan. Salah satu tujuan

hidup manusia di dunia adalah untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah

Swt. Dalam hal ini, Allah Swt., menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa

tujuan hidup manusia adalah semata-mata untuk mengabdi (beribadah)

kepada-Nya:
َ َ ۡ َ َ ۡ ُ َۡ َ ََ
٦٥ ‫نس إِلا ل ِيَ ۡعبُ ُدو ِن‬ِ ‫جن وٱلإ‬
ِ ‫وما خلقت ٱل‬

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku.” (al-Żāriyāt/51: 56).

Beberapa ulama berpendapat bahwa ayat ini hanya khusus mengenai

orang yang telah diketahui oleh ilmu Allah bahwa ia pasti akan menyembah-

Nya, oleh karena itu ayat ini menggunakan lafazh yang umum dengan makna

yang khusus. Perkiraan makna yang dimaksud adalah: tidak Aku ciptakan

penduduk surga dari jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.1

Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidaklah menjadikan jin dan

manusia melainkan untuk mengenal-Nya dan agar menyembah-Nya.2 Dalam

kaitan ini Allah Swt berfirman:

1
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 19, h. 506.
2
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan
al-Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 9 h. 488.

29
30

َ ُ ۡ َ َ َ ‫َو َما ٓ أُم ُِر ٓوا ْ إلَا ل ِيَ ۡعبُ ُد ٓوا ْ إ َل َٰ ٗها َوَٰح ِٗدا لَا ٓ إ َل َٰ َه إلَا ُه َو ُس ۡب‬
‫حَٰنَ ُهۥ عما يُشرِكون‬ َۚ ِ ِ ۖ ِ ِ

١٣

“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa,

tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci

Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah/9: 31).

Menurut Abū Ja’far, tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah

hanya untuk menyembah Allah dan tunduk terhadap-Nya.3 Sementara itu al-

Qurṭubī mengutip dari Ikrimah tentang tafsir ayat ini maknanya adalah: jin

dan manusia diciptakan melainkan hanya untuk menyembah Allah dan taat

kepada Allah, agar Allah dapat memberikan pahala bagi siapa saja yang rajin

beribadah dan Allah akan menghukum bagi siapa saja yang ingkar. 4

Sebagaimana menyembah Allah adalah suatu kewajiban, maka bagi

orang yang meyekutukannya akan mendapat balasan. Hal ini seperti yang

diriwayatkan dari Ibnu Mas’ūd, bahwa Rasūlullah Saw., bersabda:

ِ
َ ‫ َو ُه َو َخلَ َق‬،‫ “أَ ْن تَ ْج َع َل للَّ ِه نِدًّا‬:‫ال‬
”‫ك‬ ِ ْ‫الذن‬
َ َ‫ب أ َْعظَ ُم؟ ق‬ ُّ ‫ أ‬،‫ول اللَّ ِه‬
َّ ‫َي‬ َ ‫ يَا َر ُس‬:‫ت‬
ُ ْ‫قُل‬

)‫(رواه البخاري‬

3
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 1994), Jilid 7, h. 124-125.
4
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 19, h. 507.
31

“Aku bertanya, “Wahai Rasūlullah, dosa apakah yang paling besar di

sisi Allah? Beliau menjawab, “Bila kamu mengadakan sekutu bagi

Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu,” (HR. al-Bukhārī).5

Ayat lain yang menyebutkan tentang penciptaan manusia untuk

beribadah, yaitu firman Allah Swt:

ُ َۡ
ۡ‫ِكم‬ َ َ َ ۡ ُ ََ َ َ ُ ُ َ َ ْ ُ ُ ۡ ُ َ َ ُ َ َٓ
‫يَٰأيها ٱلناس ٱعبدوا ربكم ٱلذِي خلقكم وٱلذِين مِن قبل‬

َ ََُ ُ َ َ
١٣ ‫ل َعلك ۡم تتقون‬

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan

orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. al-

Baqarah/2: 21).

Dalam Tafir Kemenag dijelaskan bahwa yang dimaksud beribadah

kepada Allah ialah menghambakan diri kepada-Nya, dengan penuh

kekhusyuan, memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya, karena merasakan

bahwa hanya Allah-lah yang menciptakan, menguasai, memelihara dan

mendidik seluruh makhluk.

Dengan beribadah kepada Allah sebagaimana yang diperintahkan itu,

manusia akan terhindar dari azab Allah dan ia akan mencapai derajat yang

tinggi lagi sempurna.6

Dari penjelasan para mufassir tentang ayat ini tersurat hikmah bahwa

tujuan diciptakan manusia hidup di dunia pada hakikatnya adalah semata-

5
Muḥammad b. Ismā;īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), k. 78, bab. 20, no.
6001, h. 1523.
6
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 1, h. 52.
32

mata untuk menyembah Allah, beribadah kepada-Nya, taat kepada-Nya,

sebagai bukti penghambaan manusia kepada sang Penciptanya juga agar

Allah dapat memberikan pahala bagi siapa saja yang menyembah dan rajin

beribadah kepada-Nya dan akan menghukum bagi siapa saja yang ingkar,

sebagai bentuk balasan atas apa yang manusia kerjakan selama di dunia.

B. Manusia Hidup Dikaruniai Harta dan Anak-anak Sebagai Perhiasan Dunia

Banyak sekali ragam kenikmatan dan kesenangan yang ada di dunia,

diantaranya adalah nikmat memiliki harta benda dan memiliki keturunan

(anak-anak). Dalam al-Qur’an Allah menyatakan dalam firman-Nya bahwa

harta dan anak-anak hanyalah perhiasan dunia, hal ini bisa dilihat pada surat

al-Kahfi ayat 46:

َ ‫ت َخ ۡي ٌر ع‬ َ ُ َ َٰ َ ۡ َ َ ۡ ُ َٰ َ َ ۡ ُ َ َ ُ َ ۡ َ ُ َ ۡ
َ ‫ٱلصَٰل‬
ُ َٰ‫ِح‬
‫ِند‬ ‫ٱلمال وٱلبنون زِينة ٱلحيوة ِ ٱلدنياۖ وٱلبقِيَٰت‬

ٗ َ َ َ َ
٦٥ ‫َربِك ث َو ٗابا َوخ ۡي ٌر أ َملا‬

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-

amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi

Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. al-Kahfi/18:

46).

Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī, kata zīnah/perhiasan berarti bukan

merupakan kebutuhan pokok, ia hanya sekedar pelengkap. Kebutuhan pokok

dalam kehidupan adalah apa saja yang menjadikan dunia ini sebagai ladang

untuk akhirat, dan sebagai perantara untuk kehidupan yang kekal, abadi,

penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Di mana nikmat tersebut tidak akan


33

pernah habis, itulah nikmat surga.7 Sementara itu al-Qurṭubī memahami ayat

ini bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan di dunia, dan apa-

apa yang menjadi perhiasan kehidupan dunia adalah tipuan yang fana dan

tidak akan kekal, sebagaimana tanaman kering yang diterbangkan oleh angin,

dan yang akan kekal adalah bekal untuk akhirat. 8

Dalam Tafsir Kemenag disebutkan alasan mengapa harta benda dan

anak-anak hanya sebagai perhiasan dunia, karena keduanya menjadi

kebanggaan manusia di dunia ini karena dengan keduanya dapat memberikan

kehidupan dan martabat yang terhormat kepada orang yang memilikinya.

Keduanya hanyalah perhiasan hidup duniawi, bukan untuk bekal ukhrawi,

padahal manusia sudah menyadari bahwa keduanya akan segera binasa dan

tidak patut dijadikan bahan kesombongan.9

Bagi orang yang berakal dan bertakwa, harta dan anak adalah nikmat;

ia beruntung dan berbahagia dengan keduanya di dunia dan di akhirat, karena

keduanya memberinya kesempatan untuk terus menerus melakukan amal-

amal saleh yang kekal. Akan tetapi bagi orang jahil yang durhaka, keduanya

merupakan cobaan; karena keduanya membuka peluang baginya untuk

melakukan dosa-dosa.10 Karena itu Allah berfirman ketika menggambarkan

orang-orang yang durhaka lagi merugi:

7
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 14, h. 8965.
8
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 13, h. 291.
9
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 5, h. 616 – 617.
10
Ni’mat Shidqiy, Ni’mat al-Qur’an, terj. Hery Noer Aly (Bandung: Husaini 1998),
h. 310.
34

َ َ ُ ۡ َ ْ َ َ َ َ ٞ ُ َ َ
‫ب إِن ُه ۡم ع َص ۡو ِِن َوٱتبَ ُعوا َمن ل ۡم يَزِدهُ َمال ُهۥ َو َول ُدهُ ٓۥ إِلا‬
ِ ‫قال نوح ر‬

ٗ ‫َخ َس‬
‫ارا‬

“Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah

mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-

anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.”

(QS. Nūḥ/71: 21)

Selanjutnya al-Qurṭubī mengutip pendapat Ibnu ‘Abbās yang

dikuatkan oleh al-Ṭabarī11, bahwa makna (amalan-amalan yang kekal lagi

shalih) adalah semua amal shalih, baik berupa perkataan atau perbuatan yang

akan kekal untuk akhirat. Hal ini sejalan dengan perkataannya Sayyidina ‘Alī

R.A., yakni “Tanaman ada dua macam. Tanaman dunia adalah harta dan

anak-anak. Sedangkan tanaman akhirat adalah amalan-amalan yang

shalih.”12

Harta benda dan anak-anak yang pada hakikatnya hanya sekedar

pelengkap, atau juga hanya tipuan yang fana dan tidak kekal. Maka dari itu

sebagai umat muslim jangan sampai harta dan anak-anak yang telah

dititipkan oleh Allah Swt., menjadikan seseorang sombong dan terlena pada

sesuatu yang pada dasarnya hanya sebatas perhiasan dunia. Harta dan anak-

anak di satu sisi bisa menjadi nikmat dan ladang pahala bagi pemiliknya, tapi

di sisi lain juga bisa menjadi cobaan dan ladang dosa. Maka keduanya

11
Jāmi’ al-Bayān (15/167).
12
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 13, h. 292.
35

tergantung pada bagaimana seseorang mengelola, merawat harta dan

mendidik anak-anaknya.

C. Kehidupan Dunia adalah Permainan dan Senda Gurau

Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang terkandung di

dalamnya bahwa kehidupan dunia adalah permainan dan senda gurau.

Diantaranya seperti firman Allah Swt., dalam surat al-An’ām ayat 32:

َََ َ ََُ َ َ ٞ ۡ َ َُ ُ َ َ َ ٞ ۡ َ َ ٞ َ َ ٓ َ ۡ ُ ُ َٰ َ َ ۡ َ َ
‫وما ٱلحيوة ٱلدنيا إِلا لعِب ولهو ۖ وللدار ٱٓأۡلخِرة خير ل ِلذِين يتقونَۚ أفلا‬

َ ُ َ
١١ ‫ت ۡعقِلون‬

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan

senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik

bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu

memahaminya.” (QS. al-An’ām/6: 32).

Abū Ja’far mengungkapkan dalam kitab tafsirnya, bahwa ayat tersebut

merupakan bentuk bantahan dari Allah Swt., kepada orang-orang kafir yang

mengingkari adanya Hari Kebangkitan setelah kematian, yakni ketika mereka

ُ َُ َ َ َ َ ۡ ُْٓ َ َ
ۡ َ ‫لد ۡنيَا َو َما ن‬
َ ‫ح ُن ب َم ۡب ُعوث‬
berkata, ١٢ ‫ِين‬ ِ ‫وقالوا إِن هِي إِلا حياتنا ٱ‬ “Dan tentu

mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia

ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan"(QS. al-An’ām/6:

29)13

13
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 2, h. 507.
36

Kata ‫لعب‬ main-main diperuntukkan bagi usaha yang bertujuan untuk

menghabiskan waktu, tanpa menghasilkan manfaat sedikit pun. Adapun ‫لهو‬

senda gurau adalah menghabiskan waktu dengan menunda-nunda

kewajiban.14

Kehidupan dunia sesungguhnya tidak lain hanyalah permainan dan

hiburan, seperti anak-anak bermain-main mereka memperoleh kesenangan

dan kepuasan sewaktu dalam permainan itu. Semakin pandai

mempergunakan waktu bermain semakin banyak kesenangan dan kepuasan

yang mereka peroleh. Sehabis bermain itu, mereka tidak memperoleh apa-

apa.15 Mengenai hal ini, Mutawallī Sya’rāwī memberikan penjelasan bahwa

kehidupan yang tidak lebih dari main-main dan senda gurau merupakan

gambaran kehidupan dunia yang lepas dari agama. Jika manusia memahami

dunia sebagaimana yang disifatkan oleh Allah, maka dia akan menjadikan

kehidupannya bermakna dunia dan akhirat. 16

Dalam ayat lain juga disebutkan:

ْ ُ َ َۡ ُ َ َ َ ۡ َ َ َ َ ٞ َ َ ٞ ۡ َ َ ٓ َ ۡ ُ ُ َٰ َ َ ۡ َٰ َ َ َ
َ ‫ٱلد‬
‫ار ٱٓأۡلخ َِرة ل ِه َي ٱلحيوانَۚ لو كانوا‬ ‫وما ه ِذه ِ ٱلحيوة ٱلدنيا إِلا لهو ولعِبَۚ ِإَون‬

َ َ
٥٦ ‫َي ۡعل ُمون‬

14
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 6, h. 3592.
15
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), j. 3, h. 98.
16
Muḥammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi Khawatiri Haula al-Qur’an
al-Karim )t.t: al-Azhar, 1991), j. 6, h. 3592.
37

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan

main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya

kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S al-‘Ankabūt/29: 64).

al-Qurṭubī memahami ayat ini bahwa sesuatu yang dijadikan

permainan yaitu apa yang diberikan Allah berupa kekayaan di dunia

semuanya akan hilang dan habis. Semua perkara dunia termasuk harta,

pangkat dan lainnya sebagai perlengkapan untuk hidup, semuanya akan

hilang itu semua sebagai penguat untuk taat kepada Allah Swt., Sedangkan

yang dipersembahkan karena Allah Swt., maka itu akan ada di akhirat. 17

Sementara itu al-Sya’rāwī dalam tafsirnya menyajikan penjelasan

mengenai hakikat kehidupan bahwa Allah menyifati kehidupan akhirat

dengan ḥayawān (kehidupan hakiki). Beda antara ḥayāh dengan ḥayawān.

Ḥayāh adalah kehidupan dunia di mana tiap individu hidup, tumbuhan-

tumbuhan hidup, kemudian berakhir dengan kematian dan kepunahan.

Adapun ḥayawān (kehidupan hakiki) yaitu kehidupan yang lebih tinggi di

akhirat. Karena kehidupan di dalamnya kekal dan abadi. 18

Mengenai perbandingan kehidupan dunia dengan akhirat, Rasūlullah

Saw., telah menegaskan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imām

Bukhārī dari Sahabat Ibnu ‘Abbās. Berkata Ibnu ‘Abbās, bahwa Rasūlullah

Saw., bersabda:

)‫ش ْالَ ِخ َرةِ (رواه البخارى‬ ِ ‫لَعي‬


ُ ‫ش الَّ َع ْي‬
َ َْ

17
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 6, h. 387.
18
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawatiri Haula al-Qur’an
al-Karim )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 18, h. 11258.
38

“Tidak ada kehidupan (yang sebenarnya) kecuali kehidupan akhirat”.

(HR. al-Bukhārī).19

Dalam hadits ini jelas dikemukakan bahwa kehidupan yang sebenarnya

adalah kehidupan akhirat. Kehidupan dunia bukanlah sebenar-benarnya

kehidupan melainkan hanya permainan dan senda gurau.

D. Kehidupan Akhirat Lebih Baik dari Dunia

Orang yang bertakwa itu berangkat meninggalkan dunia menuju

kebahagiaan akhirat. Mereka bersama-sama hidup di dunia, tetapi orang yang

cinta dunia tidak mengikuti mereka menyiapkan bekal untuk akhirat. Orang

yang bertakwa tinggal di dunia dengan tenang. Mereka menikmati makanan

yang baik. Mereka merasa telah meraih dunia berlebih-lebihan. Kemudian

mereka berpaling meninggalkannya, menyiapkan bekal menuju kebahagiaan

abadi.20

Berkali-kali Allah Swt., menyebutkan dalam firmannya bahwa

kehidupan akhirat adalah lebih baik dari kehidupan dunia. Seperti firman

Allah dalam surat al-Taubah ayat 38:

ُ َٰ َ َ ۡ ُ َٰ َ َ َ َ َ
َِ ‫ٱلد ۡنيَا ف ِي ٱٓأۡلخِرة‬ َ َ ۡ ُ َٰ َ َ ۡ ُ َ َ
ِ ‫ضيتم ب ِٱلحيوة ِ ٱلدنيا مِن ٱٓأۡلخِرة ِ فما متع ٱلحيوة‬
ِ ‫أر‬

ٌ َ َ
١٣ ‫إِلا قل ِيل‬

“Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti

kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini

19
Muḥammad b. Ismā;īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) k. 63, bab. 69, no.
3795, h. 925.
20
Hani al-Hajj, Mutiara Hikmah Kekasih Rasul (t.t: Ahsan Books, 2010), h. 50.
39

(dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (QS. al-

Taubah/9: 38).

Asbāb al-Nuzūl: Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Mujāhid bahwa ia

berkata tentang ayat ini, “ini ketika mereka diperintahkan untuk pergi dalam

perang Tabuk setelah penaklukan Mekkah. Mereka diperintahkan untuk

berangkat pada waktu musim panas yang terik, padahal buah-buahan sedang

waktunya masak dan mereka ingin berteduh serta mereka merasa berat untuk

pergi. Maka Allah menurukan firman-Nya: Wahai orang-orang yang

beriman! Mengapa apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk

perang) di jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?

...”21

Al-Qurṭubī menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini diturunkan

ketika Nabi Saw., mengajak kaum muslim untuk ikut serta dalam perang

Tabuk namun mereka enggan ikut dan lebih memilih menetap di rumah-

rumah mereka. Oleh karena itu diturunkanlah sebuah ayat yang

menggambarkan buruknya perbuatan kaum muslim yang memilih untuk

menikmati keduniaan dibandingkan dengan kenyamanan yang akan mereka

dapatkan di akhirat nanti. 22

Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī, dalam ayat ini Allah menerangkan

bahwa kehidupan akhirat lebih tinggi nilainya dan lebih banyak nikmatnya,

sekalipun dunia dihiasi dengan segala kesenangannya. Nikmat dunia

21
Jalāluddīn al-Suyūṭī, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie (Depok:
Gema Insani, 2009), h. 283.
22
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 10, h. 206.
40

sejatinya tidak banyak, sebab sesungguhnya kenikmatan dunia itu tidak ada

nilainya jika dibandingkan dengan nikmat yang akan didapatkan kelak di

akhirat.23 Hal ini sejalan dengan Abū Ja’far yang mengatakan bahwa tidaklah

kehidupan dan kesenangan dunia yang mereka nikmati, bila dibandingkan

dengan kenikmatan akhirat dan kemuliaan yang Allah Swt., siapkan untuk

wali-wali-Nya dan orang-orang yang menaatinya melainkan hanyalah sedikit

dan tidak bernilai.24 Hal ini sebagaimana perumpamaan yang diberikan oleh

Nabi Saw., dalam sabdanya:

‫صبَ َعهُ فِي الْيَ ِم فَ ْليَ ْنظُْر بِ َم يَ ْرِج ُع؟ (رواه‬


ْ ِ‫َح ُد ُك ْم إ‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َوالله َما الدُّنْيَا في اآلخَرِة إلَّ مثْ ُل َما يَ ْج َع ُل أ‬

)‫المسلم‬

“Demi Allah, dunia dibandingkan akhirat hanyalah seperti

seseorang dari kalian yang mencelupkan salah satu jemarinya ke

laut, maka lihatlah apa yang ada pada jarinya tersebut saat ia

keluarkan dari laut.” (HR. Muslim).25

Mengenai hal ini dalam ayat lain juga disebutkan:

َ ْ ُ َ ۡ َ َ َ ٗۡ َ ْ ُ َ ۡ ُ ُ َ ََ َ َٓ َ ْۡ ََ َ َ َ َ
َٰ
ِ ‫وقِيل ل ِلذِين ٱتقوا ماذا أنزل ربكمَۚ قالوا خيراۗ ل ِلذِين أحسنوا ف ِي ه ِذه‬

َ ِ‫ار ٱل ۡ ُمتَق‬
١٣ ‫ين‬ ُ ‫ َۚ َولَن ِۡع َم َد‬ٞ‫ار ٱٓأۡلخ َِرة ِ َخ ۡير‬
ُ ‫ َۚ َولَ َد‬ٞ‫ٱلد ۡنيَا َح َسنَة‬
ُ

23
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 8, h. 5116.
24
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 4, h. 109.
25
Abī al-Ḥusain Muslim, Ṣaḥīḥ al-Muslim (Beirut: Dār al-Kutub, 1412), k. 51, b. 15
,no. 2858, h. 2193.
41

“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang

telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah

menurunkan) kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini

mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung

akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang

bertakwa.” (QS. al-Naḥl/16: 30)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa kebaikan ada pada dunia dan akhirat

hanya saja salah satu dari keduanya memiliki kebaikan yang lebih dari yang

lain. Oleh sebab itu ketika Allah berfirman: “Orang-orang yang berbuat baik

di dunia ini mendapat (pembalasan yang baik).” “Dan sesungguhnya

kampung akhirat adalah lebih baik”. Maksudnya lebih baik dari kebaikan

dunia. Maka dunia adalah baik, dan akhir darinya adalah kebaikan akhirat. 26

Abū Ja’far memahami ayat ini maksudnya adalah sebaik-baik negri

bagi orang yang takut kepada Allah di dunia sehingga menjaga diri dari siksa-

Nya dengan menjalankan berbagai kewajiban-Nya dan menjauhi segala

maksiat-Nya, adalah negri akhirat.27

Kebahagiaan yang akan diterima oleh mereka (orang yang bertakwa)

itu sifatnya kekal, sedang kehidupan dunia hanya sementara. Kebahagiaan

akhirat memberikan kepuasan dalam arti sebenar-benarnya, sedang

kebahagiaan di dunia merupakan kebahagiaan yang sementara dan terbatas. 28

26
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-
Qur’ān al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 13, h. 7889.
27
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah 1994), Jilid 4, h. 516.
28
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 14, h. 312.
42

Mengenai kehidupan akhirat lebih baik dari dunia, dalam al-Qur’an

juga dinyatakan bahwa pahala akhirat lebih baik dari kesenangan duniawi,

Allah Swt., berfirman:

َ َ
ٞ‫ٱلل ِ َخ ۡير‬ َ ُۡ َ ۡ‫َو َما ٓ أُوت ِيتُم مِن َش ۡيء َف َم َت َٰ ُع ٱل‬
‫حيَ َٰوة ِ ٱلدنيَا َوزِينتُ َها َۚ َو َما عِند‬ ٖ

َ ُ َ َََ َ َ
٥٣ ‫َوأ ۡبق َٰٓي َۚ أفلا ت ۡعقِلون‬

“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah

kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di

sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu

tidak memahaminya.” (QS. al-Qaṣaṣ/28: 60).

Ayat ini menerangkan bahwa apa yang diberikan Allah bagi manusia

baik berupa harta benda maupun keturunan hanya merupakan kesenangan

duniawi. Kehidupan dunia dengan segala perhiasannya belum tentu

menjamin keselamatan dan kebahagiaan mereka. Sebaliknya, pahala yang

ada di sisi Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat adalah

lebih baik, karena yang demikian itu kekal dan abadi. Berbeda dengan

kesenangan duniawi yang dipujanya karena waktunya terbatas sekali, dan

sesudah itu habis dan punah. Firman Allah: dan apa yang di sisi Allah lebih

baik bagi orang-orang yang berbakti.29

29
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 7, h. 320.
43

َ َ َ َ َ َ ۡ َ َ َ ۡ َ َ ٗ َ ُ َ ۡ َ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ َ
‫نزل ٱلت ۡو َرىَٰة‬ ‫نزل عليك ٱلكِتب ب ِٱلح ِق مصدِقا ل ِما بين يديهِ وأ‬

َ ۡ َ
١ ‫جيل‬
ِ ‫وٱلإِن‬

“Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi

mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang

mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari

sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-

orang yang berbakti.” (Āli ‘Imrān/3: 198).

Bila akal sehat membandingkan antara kenikmatan dunia dengan

kenikmatan akhirat niscaya ia akan memilih akhirat. Selanjutnya al-Sya’rāwī

menyajikan sebuah contoh seorang sahabat yang mendengar pahala mati

syahid dan dia yakin tiada pintu antara dia dengan surga kecuali terbunuh di

jalan Allah, dia membuang kurmanya lalu berperang dan mati syahid. Karena

dia telah membandingkan antara nikmat dunia dan akhirat. 30 Hal ini sejalan

dengan al-Qurṭubī yang mengatakan bahwa yang lebih utama dan lebih kekal

yaitu kehidupan akhirat, dan arti kehidupan akhirat adalah surga. 31

Dalam ayat lain juga disebutkan:

ٗ ُۡ ََ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ
ۖ ‫اج ُروا ف ِي ٱلل ِ مِ ۢن َب ۡع ِد َما ُظل ُِموا لنُبَوِئن ُه ۡم ف ِي ٱلدنيَا َح َسنَة‬ ‫وٱلذِين ه‬

َ َ ْ ُ َ َ ۡ َ ََ
٦٣ ‫َولأ ۡج ُر ٱٓأۡلخ َِرة ِ أكبَ ُر َۚ ل ۡو كانوا َي ۡعل ُمون‬

30
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 18, h. 10977.
31
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 16, h. 302.
44

“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka

dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada

mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih

besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. al-Naḥl/16: 41)

Asbāb al-Nuzūl: Ayat ini turun tentang sahabat Nabi Saw., di

Mekkah, yaitu Bilāl, Ṣuhaib, Khabāb, ‘Āmmar dan Jandal b. Ṣuhaib, mereka

disiksa oleh penduduk musrik Mekkah hingga mereka terpaksa mengatakan

apa yang dikehendaki kaum kafir. Setelah dilepaskan, mereka pun berhijrah

ke Madinah.32

Abū Ja’far memahami ayat ini maksudnya adalah pahala Allah atas

hijrah mereka (orang-orang yang berhijrah) di akhirat lebih besar, karena

pahalanya adalah surga, yang kenikmatannya kekal abadi.33 Mengenai hal ini

al-Sya’rāwī memberikan contoh apabila salah seorang sahabat memberikan

sebagian hartanya kepada kaum Muhajirin, ‘Umar berkata: “Semoga Allah

memberkatimu karenanya. Inilah yang dijanjikan oleh Allah di dunia dan apa

yang disimpan-Nya diakhirat untukmu adalah lebih besar dari ini. 34

Al-Qurṭūbī dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud pahala

di akhirat itu lebih besar adalah lebih besar daripada yang harus diketahui

oleh seseorang sebelum ia menyaksikannya, sesuai dengan firman Allah

Swt.,

32
Abī al-Ḥasan ‘Alī b, Aḥmad al-Wāḥidī al-Naisābūrī, Asbāb al-Nuzūl (Beirut: al-
Maktabah al-Ṡaqāfiyyah, 1989), h. 160.
33
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 1994), Jilid 4, h. 552.
34
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 13, h.7943-7944.
45

ً ‫يما َو ُملۡ ٗكا َكب‬


١٣ ‫يرا‬ َ ۡ‫ت َث َم َر َأي‬
ٗ ِ‫ت نَع‬ َ ۡ‫ِإَوذَا َر َأي‬
ِ

“Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat

berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (QS. al-

Insān/76: 20).

Cukup banyak orang-orang dewasa ini yang pada kehidupannnya

secara tidak disadari terjerumus pada sifat cinta dunia, menganut paham

hedonisme, sehingga mereka terlena, lalai, dan lupa akan kebahagiaan

akhirat, padahal sudah seyogianya bagi umat muslim betul-betul menyadari

bahwa sejatinya kehidupan dunia dan segala kesenangan dan kenikmatannya

itu sangat tidak sebanding dengan kenikmatan dan kemuliaan yang

didapatkan di akhirat.
BAB IV
GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG KEHIDUPAN DUNIA

A. Karakteristik Kehidupan Dunia

1. Kesenangan yang menipu

Dunia dengan tipu dayanya menyesatkan orang yang tersesat,

dengan tipuannya juga menggelincirkan orang yang tergelincir. Mencintai

dunia merupakan pangkal dari segala keburukan, dan tidak menyukainya

menjadi pokok ketaatan dan asas dari hal-hal yang mendekatkan diri

kepada Allah Swt.1 Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa kehidupan

dunia hanyalah kesenangan yang menipu, sebagaimana firman Allah Swt.,

dalam surat al-Ḥadīd ayat 20 :

ُ َ ۡ َ ُۢ ُ ُ َ َ َ ٞ َ َ ٞ ۡ َ َ ٞ َ َ ۡ ُ ُ ٰ َ َ ۡ َ َ َ ٓ ُ َ ۡ
ْۡ‫كم‬ ‫ٱعلمواْْأنماْٱلحيوةْْٱلدنياْلعِبْولهوْوزِينةْوتفاخرْبين‬

ُْ‫ارْْ َنبَات ُ ُهْۥْ ُث َمْيَهيج‬ ُ ۡ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ َٰ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ


َ ‫ك َف‬ ُٞ َ ََ
ِ ‫ثْأعجبْٱل‬ٍ ‫وتكاثرْف ِيْٱلأمو ٰ ِلْْوْٱلأول ِدْْكمث ِلْغي‬

َ ٞ ۡ َ ٞ َ ٞ َ َ َ ُ ُ َ َ ُ ّٗ َ ۡ ُ ُ ٰ َ َ َ
ِْ ْ‫ْو َمففِ َرةْمِ َ ْٱلل‬ ُ ‫ون‬
َ ۖ ‫ْح َطٰ ّٗما‬
‫ْو ِِفْٱٓأۡلخِرة ِْعاا ْددِيد‬ ‫فترىهْمصفراْثمْيك‬

ُ ۡ َ َ َ ٓ َ ۡ ُ ُ ٰ َ َ ۡ َ َ ٞ َٰ ۡ َ
ْ٠٢ِْْ‫اْمت ٰ ُعْٱلف ُرور‬ ‫ْوماْٱلحيوةْْٱلدنياْْإِل‬ٞۚ‫ورِضون‬

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah

permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-

megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya

1
Imām al-Gazālī, Ihya ‘Ulumuddin Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama, tp
(Jakarta: Republika, 2013), h. 2.

46
47

harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya

mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering

dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat

(nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta

keridhaan-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah

kesenangan yang menipu. (al-Ḥadīd/57: 20).

Dalam ayat ini Allah Swt., menjelaskan kepada umat manusia

bahwa hakikat kehidupan dunia hanyalah seperti sebuah permainan dan

sesuatu yang lucu, menjadi bahan gurauan antara mereka serta perhiasan

untuk melengkapi gaya hidup mereka yang dengan itu membuat mereka

hidup dengan bermegah-megahan serta berbangga-bangga dengan harta

dan keturunan yang telah dianugerahkan kepada mereka.

Mengenai ayat ini al-Qurṭubī memberi perumpamaan bahwa

kehidupan dunia itu seperti tanaman yang menyejukkan pandangan orang-

orang yang melihatnya, semua tanaman itu berwarna hijau karena diairi

dengan hujan yang cukup, namun tidak berapa lama kemudian tanaman

tersebut dilanda kekeringan hingga seperti tidak pernah hijau

sebelumnya. 2 Perumpamaan ini menyajikan sebuah hikmah tentang

kehidupan dunia yang pada hakikatnya dunia ini hanya tipuan dan

berlangsung hanya sementara.

2
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 20, h. 261.
48

Allah Swt., pun telah menegaskan di dalam beberapa ayat al-

Qur’an bahwa dunia adalah suatu yang menipu. 3 Misalnya firman Allah

Swt., dalam surat Ālī ‘Imrān penggalan ayat 185:

ُۡ ََ َ َُٓۡ ََُٰ ۡ ََ
ْ٥٨١ِْْ‫اْمتْٰ ُعْٱلف ُرور‬ ‫وماْٱلحيوةْْٱلدنياْْإِل‬

“Dan tidaklah kehidupan dunia melainkan kesenangan yang

memperdayakan”. (QS Ālī ‘Imrān/3: 185).

Dalam Tafsir Kemenag dikatakan bahwa kehidupan di dunia ini tidak

lain kecuali kesenangan yang memperdayakan. Kesenangan yang

dirasakan di dunia ini berupa makanan, minuman, pangkat, kedudukan dan

sebagainya, pada umumnya memperdayakan manusia. Disangkanya itulah

kebahagiaan, maka tenggelamlah ia dan asyik dengan kenikmatan dunia.

Padahal kalau manusia kurang pandai mempergunakannya, maka

kesenangan itu akan menjadi bencana yang menyebabkan di dunia dan di

akhirat kelak mendapat azab yang pedih. 4

Mengenai hal ini tersirat perintah berzuhud di dunia, karena dengan

berzuhud manusia akan selamat dari terperdaya dengan kesenangan dunia,

selain itu dengan berzuhud juga menjadikan manusia dicintai oleh Allah

Swt., sebagaimana sabda Nabi Saw.,

3
Sayyid ‘Abdullāh b. Alwī al-Ḥaddād, Risalah al-Muawwanah, terj. Munawwir az-
Zahidy (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2007), h. 215.
4
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 2, h. 51.
49

‫لى َع َمل إذَا‬


َ ‫ال يَا َرسو َل الله دلني َع‬ َ ‫أَتَى َرجل إلَى النبي‬
َ ‫صلَى الله َعلَيه َو َسل َم فَ َق‬

‫يما عن َد الناس‬
َ ‫ك الله َوازَهد ف‬ َ ‫َع َملته أَ َحبني الله َوأَ َحبني النَاس فَ َق‬
َ ‫ال إزَهد في الدن يَا يحب‬

)‫ك الناس (رواه ابن ماجه‬


َ ‫يحب‬

“Ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu berkata: “Ya Rasulullah,

tunjukkanlah padaku sesuatu amalan yang apabila amalan itu saya lakukan,

maka saya akan dicintai oleh Allah dan juga dicintai oleh seluruh manusia.”

Nabi Saw., bersabda: “Berzuhudlah di dunia, tentu engkau dicintai oleh

Allah dan berzuhudlah dari apa yang dimiliki oleh para manusia, tentu

engkau akan dicintai oleh para manusia.” (HR. Ibnu Mājah(.5

2. Kesenangan yang Sedikit dan Bersifat Sementara

Kesenangan dan kenikmatan yang dirasakan manusia di dunia pada

hakikatnya hanyalah sebentar dan sedikit. Di dalam al-Qur’an terdapat

beberapa ayat yang berkaitan dengan hal ini, seperti firman Allah pada

akhir ayat 77 surat al-Nisā‘:

ً َ َ َ ُۡ َ ََ َ ٞ َ َ ۡ ُ ُ َٰ َ ُۡ
ْ٧٧ْ‫ْل َِم ِ ْٱتق ٰيْْ َولاْتظل ُمونْفتِيلا‬ٞ‫ْوْٱٓأۡلخ َِرةُْْخ ۡير‬
َ ‫ِيل‬ ‫قلْمتعْٱلدنياْقل‬

“Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat

itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak

akan dianiaya sedikitpun.” (QS. al-Nisā‘/4: 77).

5
Abī ‘Abdillāh b. Yazīd al-Qazwīnī b. Mājah, Sunan Ibnu Mājah (Riyāḍ: Bait al-
Afkār al-Dauliyyah, t.t), k. 37, b. 1, no. 4102, h. 1373.
50

Asbāb al-Nuzūl: Dari Ibnu ‘Abbās sesungguhnya ‘Abdu al-Raḥmān

b. ‘Auf dan para sahabatnya mendatangi Nabi Saw., lalu mereka berkata,

“Wahai Nabi Allah, ketika kami masih musyrik, kami adalah orang-orang

yang mulia. Namun ketika kami beriman, kami menjadi orang-orang yang

hina.” Maka Rasulullah Saw., bersabda, “Sesungguhnya aku

diperintahkan untuk memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang

musrik itu.” Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau diperintahkan untuk

memerangi musuh, tapi mereka (‘Abdul Raḥmān b. ‘Auf) tidak

melakukannya. Maka turunlah firman Allah, “Tidaklah engkau

memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, tahanlah

tanganmu (dari berperang), sampai akhir ayat. 6

Abū Ja’far menugungkapkan dalam tafsirnya bahwa ayat ini

diturunkan kepada sahabat-sahabat Rasul yang telah beriman dan percaya

terhadapnya. Diturunkan ayat ini sebelum diwajibkan jihad atas mereka.

Mereka memohon kepada Allah supaya diwajibkan perang kepada

mereka, namun ketika turun perintah kewajiban untuk berperang mereka

merasa berat dan kesulitan atas perintah itu.7

Ayat ini berkaitan dengan sifat orang-orang munafik yang

berkeinginan menunda jadwal perang karena kecintaan mereka terhadap

dunia dan kenikmatannya. Menurut al-Sya’rāwī sebagai muslim dilarang

untuk cenderung pada kesenangan dunia, hingga takut untuk berperang,

karena setiap jiwa pasti akan mati, dan masing-masing akan dihitung amal

6
Abī al-Ḥasan ‘Alī b, Aḥmad al-Wāḥidī al-Naisābūrī, Asbāb al-Nuzūl (Beirut: al-
Maktabah al-Ṡaqāfiyyah, 1989), h. 96.
7
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 2, h. 507.
51

perbuatannya. Sedangkan orang yang mati syahid, akan mendapatkan

pahalanya langsung, dan mendapat kehidupan bahagia. 8

Dalam Tafsir Kemenag disebutkan sebuah perbandingan antara

perihal akhirat dengan dunia, disana dikatakan bahwa kelezatan dunia itu

hanya sedikit sekali dibandingkan dengan kelezatan akhirat yang abadi

dan tidak terbatas, yang hanya akan didapat oleh orang-orang yang

bertakwa kepada Allah yaitu orang yang bersih dari syirik dan akhlak yang

rendah.9 Sementara itu al-Qurṭubī mengatakan, kehidupan akhirat lebih

baik dari kehidupan dunia yang penuh dengan maksiat dan dosa.

Mengenai kehidupan dunia yang hanya sementara Nabi Saw.,

menyajikan sebuah perumpamaan dalam sabdanya:

)‫اح َو تَ َرَك َها (رواه الترمذي‬


َ ‫ت َش َج َرة ثم َر‬
َ ‫َمثَل الدن يَا َك َراكب إستَظَل تَح‬

“Perumpamaan dunia seperti seorang pengendara yang berteduh di

bawahpohon kemudian ia beristirahat sebentar dan selanjutnya pergi

meninggalkannya.” 10 (HR. al-Tirmiżī)11

Kemudian ayat lain yang membahas tentang kesenangan dunia

terhitung sedikit terdapat pada surat al-Ra’d ayat 26:

8
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 4, h. 2437.
9
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 2, h. 208-209.
10
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 12, h.7311.
11
Muḥammad b. ‘Īsā b. Saurah al-Tirmiżī, Sunan al-Tirmiżī (al-Riyāḍ: Maktabah al-
Ma’ārif Linaṡīri wa al-Tawzī’i, t.t), k. 34, b. 44, no. 2377, h. 535.
52

َ ۡ‫ٱلد ۡنيَاْ َو َماْٱل‬


ُْْ‫حيَ ٰوة‬
ُ َٰ َ ۡ ََ ُ ََۡ ُٓ ََ َ َۡ
ِْ ْ‫ْوفرِ ُحواْبْ ِٱلحيوة‬ ُ ُ َۡ َُ
ٞۚ ‫ٱللْْيبسطْٱلرِزقْْل ِم ْيشاءْويقدِر‬

ٞ ََ َ َِ ُۡ
ْ٠٢ْ‫ٱلدنيَاْف ِيْٱٓأۡلخِرةْْإِلاْمتع‬
ٰ

“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang

Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia,

padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan

akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. al-Ra’d/13:

26).

Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī, matā’ ialah bekal perjalanan. Bekal

perjalanan ini selalu disiapkan untuk sebuah perjalanan, seperti tas kecil

yang berisikan beberapa baju dan bekal lainnya. Artinya kesenangan dunia

itu tidak lebih dari seperti bekal perjalanan yang sedikit lagi singkat. 12 Hal

ini selaras dengan al-Qurṭubī, yang mengutip dari ‘Abdullah b. ‘Abbās,

matā’ maksudnya adalah bekal, seperti bekal yang dibawa seorang

penggembala.13

Kenikmatan hidup dunia ini hanyalah merupakan kenikmatan yang

kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan

dengan kenikmatan akhirat yang besar nilainya sepanjang masa. Dengan

demikian tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan

di dunia yang mereka rasakan itu. 14 Menurut Mutawallī al-Sya’āwī,

12
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 12, h.7311.
13
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 12, h. 64.
14
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 5, h. 104.
53

seorang mukmin adalah orang yang bekerja di dunia untuk memetik

hasilnya di akhirat agar dapat meraih kenikmatan yang hakiki. Dan

seorang mukmin yakin bahwa setiap tujuan yang memiliki kesudahan

bukanlah disebut tujuan hakiki. Dunia pada hakikatnya tidak layak

menjadi Tuhan orang mukmin. Tujuan hakiki adalah surga dan bertemu

Allah Swt.15

3. Bunga Kehidupan Dunia Sebagai Ujian

Kehidupan dunia ini tidak lain hanya merupakan masa ujian pada

hari kiamat kelak, apa yang telah diperbuat seseorang di dalamnya akan

ditimbang dengan timbangan keadilan, untuk diketahui hasil usahanya,

sehingga dia beruntung surga sesuai dengan hak dan usahanya, atau masuk

neraka sesuai dengan ukuran kezhaliman dan keingkarannya. 16

Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa

kehidupan di dunia merupakan sebuah ujian, diantaranya firman Allah

Swt., QS. Tāhā/20 ayat 131:

ٰ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ ُ ۡ ّٗ َ ۡ َ ٓ َ ۡ َ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ ُ َ َ َ
ِْ ْ‫ولاْتمدنْعينيكْإِل ٰيْماْمتعناْبِهِْۦْْأزوٰجاْمِنهمْزهرْةْٱلحيوة‬

َ ََ ٞ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ ۡ ُۡ
ْ٥٣٥ْ‫ٱلدنيَاْل ِنَفتِنَ ُه ۡمْفِيهِِْۚورِزقْربِكْخيرْوأبق ٰي‬
ۡ

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang

telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka,

sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka

15
Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi Khawatiri Haula al-Qur’an
al-Karim )t.t: al-Azhar, 1991) Jilid 12, h.7311.
16
Ni’mat Shidqiy, Ni’mat al-Qur’an, terj. Hery Noer Aly (Bandung: Husaini, 1998),
h. 64.
54

dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih

kekal.” (QS. Tāhā/20: 131).

Asbāb al-Nuzūl: Ibnu Abī Syaibah, Ibnu Mardawih, al-Bazzar, Abu

Ya’la meriwayatkan dari Abū Rāfi’,dia berkata, “Nabi Saw., menjamu

seorang tamu, lalu beliau mengutus saya kepada orang Yahudi untuk

berutang tepung yang akan dibayar pada bulan Rajab. Kata si Yahudi,

“Tidak bisa kecuali dengan gadai.” Saya pun menghadap Nabi Saw., dan

memberi tahu beliau. Beliau bersabda” “Demi Allah aku sungguh

terpercaya di langit dan terpercaya di bumi.” Belum sempat saya keluar

dari rumah beliau, ayat ini sudah turun. 17

Ayat ini menjelaskan bahwa untuk menguatkan hati Rasūlullah

dalam menghadapi perjuangan menegakkan kalimah Allah, Allah

mengamanatkan kepadanya agar dia jangan mengalihkan perhatiannya

kepada kesenangan dan kekayaan yang dinikmati sebagian orang kafir

karena hal itu akan melemahkan semangatnya bila matanya disilaukan

oleh perhiasan dunia. Semua nikmat yang diberikan kepada orang-orang

kafir itu hanyalah sementara. 18

Sejalan dengan ini Abū Ja’far mengatakan, rezeki yang dijanjikan

kepada Rasul akan diberikan di akhirat kelak, sehingga Rasul merasa

senang adalah jauh lebih baik daripada yang diberikan kepada mereka,

17
Jalāluddīn al-Suyūṭī, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie, (Depok:
Gema Insani, 2009) h. 370.
18
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010). Jilid 6, h. 216.
55

berupa bunga kehidupan dunia, dan lebih kekal karena tidak terputus dan

tidak ada habisnya. 19

Kemudian al-Sya’rāwī berpendapat bahwa sesungguhnya apa yang

mereka terima itu adalah cobaan dari Allah semata, dan segera akan

meninggalkan mereka. Menurutnya kata zahrah adalah simbol dari segala

berakhirnya kenikmatan yang diterima kaum kafir tersebut. Demikianlah

Allah memberikan kenikmatan dunia yang sementara dan hanya cobaan

belaka. Karena Allah hendak mencoba hamba-Nya dengan hal baik

maupun buruk.20 Sebagaimana firman Allah Swt:

َ ُ َ ّٗ َ ۡ َ ُ ُ َ ۡ ُ َ َٓ َۡ ُُ
ْ‫تْْ َون ۡبلوكمْْب ِٱلشرِْْ َوْٱلخ ۡيرِْْف ِۡت َنةِْۖإَول ۡينَاْت ۡر َج ُعون‬
ِ ‫كلْْنف ٖسْذائِقةْٱل َم ۡو‬

ْ٣١

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji

kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang

sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu

dikembalikan.” (QS. al-Anbiyā/21: 35).

Pada akhir penafsiran Kemenag dikatakan, Allah telah

menganugerahkan kepada Nabi sebagai ganti nikmat lahiriyah itu nikmat

yang lebih baik yaitu ketenangan hati dan kebahagiaan yang berupa

keridhaan Illahi.21

19
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 5, h. 234.
20
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 15, h. 9457.
21
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 6, h. 216.
56

Terkait hidup adalah sebuag ujian, hal ini juga termaktub dalam

firman Allah Swt., dalam surat al-Mulk ayat 1-2:

َ َ َ ٌ َ َ ُ َ َ ُ ُ ۡ ۡ َ َ
‫ت َب ٰ َر َكْْٱلاِيْبِيَ ِده ِْٱل ُملكْْ َوه َوْعل ٰيْك ِلْد ۡيءْٖقد‬
ْ‫ْٱلاِيْخل َق‬٥ْ‫ِير‬

ُ ‫يزْْٱلۡ َف ُف‬ َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ َُ ۡ ََُُۡ ََٰ َ ۡ َ َ َۡۡ


ُ ‫ْو ُه َوْٱلۡ َعز‬َٞۚ ‫ْع َم ّٗلا‬
ْ٠ْْ‫ور‬ ِ ‫ٱلموتْْوْٱلحيوةْْل ِيبلوكمْأيكمْأحس‬

“Maha Pemberi berkah Tuhanmu, segala kekuasaan pada

hakikatnya ada di genggamanNya. Dia Maha Kuasa untuk

melakukan apa saja. Tuhanlah yang menjadikan kematian dan

kehidupan (dalam kerangka) untuk menguji diantara kamu siapa

yang paling bagus amalnya.” (QS. al-Mulk/67: 1-2)

Allah menciptakan kematian dan kehidupan adalah untuk menguji

manusia, siapa diantara mereka yang beriman dan beramal saleh dengan

mengikuti petunjuk-petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad dan siapa

pula yang mengingkarinya. Kemudian dengan menciptakan kehidupan itu,

Allah memberi kesempatan yang sangat luas kepada manusia untuk

memilih mana yang baik menurut dirinya. Apakah ia akan mengikuti hawa

nafsunya, atau ia akan mengikuti petunjuk, hukum, dan ketentuan Allah

sebagai penguasa alam semesta ini. Seandainya manusia ditimpa azab

yang pedih di akhirat nanti, maka azab itu pada hakikatnya ditimpakan atas

kehendak diri mereka sendiri. Begitu juga jika mereka memperoleh


57

kebahagiaan, maka kebahagiaan itu datang karena kehendak diri mereka

sendiri sewaktu hidup di dunia. 22

Menurut al-Qurṭubī, Allah menciptakan manusia untuk kematian dan

kehidupan. Maksudnya, untuk kematian di alam dunia dan kehidupan di

akhirat.23 Mengenai hal ini beliau menukil dari sahabat Qatādah berkata,

bahwa “Rasūlullah Saw., pernah bersabda;

“Sesungguhnya Allah telah menghinakan anak cucu Adam dengan

kematian dan menjadikan dunia sebagai tempat kehidupan lalu

tempat kematian, serta menjadikan akhirat sebagai tempat

pembalasan lalu tempat kekekalan.

Supaya Allah dapat menguji seorang hamba dengan kematian orang

yang disayanginya, dimana tujuannya adalah agar kesabarannya terlihat jelas,

dan juga dengan kehidupan (orang yang disayanginya), dimana tujuannya

adalah agar syukurnya terlihat jelas. 24

B. Ragam Kesenangan Kehidupan Dunia

Bila dunia ini diamati dari ufuk Barat sampai ufuk Timur, dari ufuk

Utara sampai ufuk Selatan, maka akan terlihat betapa dunia penuh dengan isi

yang beraneka ragam. Bila diperhatikan lagi apa yang terdapat di bumi ini

ternyata banyak kekayaan materi yang tak terhitung jumlahnya. 25 Dunia

dengan segala isinya juga memiliki ragam kesenangan dan kenikmatan hidup

22
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010). Jilid. 10, h. 225.
23
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 21, h. 110.
24
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an, Jilid 21,
h. 112.
25
Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 45-46.
58

yang bisa dinikmati manusia saat hidup di dunia, dan ragam kesenangan

hidup itu disebutkan dalam al-Qur’an pada firman Allah Swt:

َ ‫تْْمِ َ ْٱلن ِ َسآءِْْ َوْٱلۡبَنِي َْْ َوْٱلۡ َق َن ٰ ِطيرْْٱل ۡ ُم َق‬


ْ َ ِ‫نط َرةْ ِْم‬ ِ ٰ ‫و‬
َ ُ ُ
َ ‫ٱلش َه‬ ْ‫اسْحب‬
َ
ِ ‫ُزي ِ َْْل ِلن‬
ِ

ُۡ َ ۡ‫ْم َت ٰ ُعْٱل‬
ْۖ‫ح َي ٰوةْ ِْٱلدنيَ ْا‬ َ ۡ‫خ ۡيلْْٱل ۡ ُم َس َو َمةِْْ َوْٱلۡ َأنۡ َعٰمْْ َوْٱل‬
َ ‫ح ۡرثْْ َذٰل َِك‬ َ ۡ َ َ ۡ َ َ َ
ِ ِ ِ ‫بْْوْٱلفِضةِْْوْٱل‬
ِ ‫ٱلاه‬

ۡ ُ َ ْ‫َو‬
ْ٥١ْ ِ ‫ِندهُْۥْ ُح ۡس ُ ْٱل َمْا‬
َ ‫ٱللْْع‬

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-

apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak

dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan

sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah

tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Āli ‘Imrān/3: 14).

Mutawallī al-Sya’rāwī menerangkan dalam tafsirnya bahwa ayat ini

mengandung penjelasan setiap peperangan yang memperjuangkan keimanan

membutuhkan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, dan membutuhkan

keberanian mukmin untuk meninggalkan segala kenikmatan dunia. Siapapun

yang enggan untuk ikut ke medan perang, maka orang tersebut sudah pasti

dipengaruhi oleh nafsu dunia. Allah menurunkan ayat ini setelah menjelaskan

tentang menuju kemenangan bagi para mukmin, agar jangan sampai

terpengaruh oleh godaan nafsu duniawi. 26

26
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 3. h. 1331.
59

Allah menjadikan tabiat manusia cinta kepada harta benda dan

kesenangan sebagai sarana menguji keimanan seseorang, apakah dia akan

menggunakan semua harta dan kesenangan itu untuk kehidupan duniawi saja,

ataukah dia akan menggunakan harta bendanya untuk mencapai keridhoan

Allah Swt.27

Dalam Tafsir Kemenag, terdapat perincian dari kesenangan-

kesenangan dunia yang terkandung dalam ayat ini, pertama: Perempuan

(istri), istri adalah tumpuan cinta dan kasih sayang, jiwa manusia selalu

cenderung tertuju kepada istri. Al-Qurṭubī mengatakan wanita menjadi salah

satu keindahan dunia karena wanita sering melunturkan hati, juga karena

wanita itu dapat menjadi fitnah bagi kaum laki-laki dan dapat menjadi tali

penghubung syaitan untuk menyesatkan. 28 Rasūlullah Saw., bersabda:

َ َ‫َما تَ َركت بَعدي فت نَة أ‬


)‫ضر َعلَى الر َجال م َن الن َساء (رواه البخاري‬

“Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih berat bagi kaum pria

setelahku daripada fitnah wanita.” (HR. al-Bukhārī)29

Fitnah yang ditimbulkan dari wanita yaitu, mereka dapat membuat

suaminya memutuskan tali silaturrahim, karena biasanya para wanita

menyuruh suaminya untuk berjauhan dengan ibu dan saudari-saudarinya.

Kedua, mereka dapat membuat suaminya mencari uang di jalan yang tidak

diperbolehkan, karena tuntutan mereka yang berlebihan.

27
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Kementrian Agama RI,
2010), Jilid 1, h. 463.
28
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 5, h. 43.
29
Muḥammad b. Ismā;īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), k. 7, b. 18, no.
5096, h. 1309.
60

Kedua: Anak, laki-laki atau perempuan. Cinta kepada anak adalah

fitrah manusia. Dan anak merupakan hiasan rumah tangga, penerus keturunan

dari generasi ke generasi. Ketiga: Harta kekayaan, menurut al-Rāzi yang

mengatakan dalam tafsirnya, “emas dan perak amat disenangi, karena

keduanya adalah alat penilai harga sesuatu. Orang yang memilikinya sama

dengan orang yang memiliki segala sesuatu. Memiliki berarti menguasai.

Berkuasa adalah salah satu kesempurnaan, dan kesempurnaan itu diinginkan

oleh semua manusia.” Keempat: Kuda yang dipelihara di padang rumput,

terutama kuda yang berwarna putih di bagian dahi dan kakinya, sehingga

tampak sebagai tanda. Bagi masyarakat Arab, kuda yang demikian itu adalah

kuda yang paling baik dan paling indah. Kelima: Binatang ternak lainnya,

seperti sapi, unta kambing, binatang ternak ini termasuk harta kekayaan Arab.

Kebutuhan hidup mereka seperti pakaian, makanan, alat-alat rumah tangga

dan sebagainya, sebagian besar terpenuhi dari hasil berternak binatang-

binatang itu. Keenam: Sawah ladang adalah sumber kehidupan manusia dan

hewan. Kebutuhan manusia kepada sawah ladang melebih kebutuhan mereka

kepada harta lainnya yang disenangi, karena sawah ladang adalah sumber

pemenuhan kebutuhan seseorang. 30

Mengenai ayat ini, al-Qurṭubī mengatakan dalam tafsirnya, para ulama

berpendapat bahwa pada ayat ini ada empat macam jenis harta yang

disebutkan oleh Allah Swt., di mana setiap jenisnya ditransaksikan oleh

berbagai macam kelompok manusia. Yang pertama adalah emas dan perak,

dimana kedua jenis ini ditransaksikan oleh para pedagang. Yang kedua

30
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 3,h. 464-466.
61

adalah kuda pilihan, dimana kuda jenis ini ditransaksikan oleh para penguasa.

Yang ketiga adalah hewan ternak, yang ditransaksikan oleh penduduk kota.

Dan yang terakhir adalah sawah ladang, yang ditransaksikan oleh orang-

orang di pedesaan (rasātīq31). oleh karena itu, setiap jenis harta yang

disebutkan itu dapat menjadi fitnah bagi setiap kelompok yang

mentransaksikannya. 32

Tersirat juga perintah untuk berzuhud selama di dunia dan

mempersiapkan kehidupan akhirat, serta berlomba-lomba mencari tempat di

sisi Allah, karena hanya Allah sebaik-baik tempat kembali.

C. Perumpamaan Kehidupan Dunia Seperti Air Hujan

Ketika Allah ingin menjelaskan sesuatu permasalahan yang masih

samar bagi sebagian manusia, Dia menerangkannya dengan perumpamaan

yang mereka ketahui. Karena itulah Allah membuat perumpamaan. 33 Di

dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung perumpamaan

kehidupan dunia diantaranya :

ۡ َ ٓ َ َ َ ُ َٰ ۡ َ َ ٓ َ َ َ ۡ ُ ٰ َ َ ۡ ُ َ َ َ َ
ُْ‫ٱخ َتلَ َطْْبهْۦْ َنبَات‬
ِِ ْ‫إِنماْمثلْٱلحيوةْ ِْٱلدنياْكما ٍءْأنزلنهْمِ ْٱلسماءِْْف‬

َ َ ََُ ۡ ُ ُ َۡ
ْْۡ‫ٱزيَنَت‬ َ َ َ َٓ ٓ َ َ ُ َٰ َۡۡ َ ُ َ ُ ُ َۡ َ َۡ
ِ ‫ۡرضْْمِماْيأكلْٱلناسْْوْٱلأنعمْْحت ٰيْإِذاْأخا‬
ْ‫تْٱلأۡرضْْزخرفهاْو‬ ِ ‫ٱلأ‬

31
Rasātīq adalah bentuk jamak dari rastāq yang maknanya adalah orang-orang hitam
dan orang-orang kampung.
32
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 5, h. 56.
33
Syekh Mutawallī al-Sya’rāwī, Perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur’an, terj.
Rohim Mukti (Jakarta: Granada Nadia, 1994), h. 13.
62

ّٗ َ َ ٰ َ ۡ َ َ َ ّٗ َ َ ۡ َ ً ۡ َ َ ُ ۡ َ ٓ َ ٰ َ َ ٓ َ ۡ َ َ َ ُ ٰ َ ۡ ُ َ َ ٓ َ ُ ۡ َ َ َ َ
ْ‫صيدا‬ِ ‫وظ ْأهلهاْأنهمْقدِرونْعليهاْْأتىهاْأمرناْليلاْأوْنهاراْفجعلنهاْح‬

َ َُ َََ َۡ َ ُ َ ُ َ َٰ َ ۡ َۡ َ َۡ َۡ ََ
ْ٠١ْ‫تْْل ِقومْٖيتفكرون‬ ٰ
ِ ‫صلْٱٓأۡلي‬
ِ ‫سْْكذل ِكْنف‬
ِۚ ِ ‫كأنْلمْتف ْْب ِٱلأم‬

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti

air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan

suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang

dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah

sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan

pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-

tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu

Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah

disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah

Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang

berfikir.” (QS. Yūnus/10: 24)

Ayat ini menerangkan sifat kehidupan dunia dan perumpamaan yang

ditijinjau dari segi kefanaannya, bahwa kehidupan dan kesenangan duniawi

dapat sirna seketika.34 Kefanaan hidup di dunia ini ditegaskan dengan firman

Allah:

34
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 4, h. 296.
63

ُ ۡ َ َ َ َ ٓ َ ُ َ ّٗ ٰ َ َ َ ُ ۡ َ ُ َ ۡ َ َ ٰٓ َ ُ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ َ
ْ‫ْأ َوْْأمِ َ ْأهل‬٧٧ْ‫اْوه ۡمْنائ ِ ُمون‬ ‫أفأمِ ْْأهلْٱلقرىْْأنْيأت ِيهمْبأسناْبيت‬

َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ َ ّٗ ُ َ ُ ۡ َ ُ َ ۡ َ َ ٰٓ َ ُ ۡ
ْ٧٨ْ‫ٱلقرىْْأنْيأت ِيهمْبأسناْضحيْوهمْيلعبون‬

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari

kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu

mereka sedang tidur. Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa

aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari

sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain.” (al-A’rāf/7: 97-

98)

Sejalan dengan ini, Mutawallī al-Sya’rāwī mengungkapkan bahwa

perumpamaan ayat ini adalah penyerupaan kehidupan dunia seperti air yang

diturunkan Allah dari langit hingga tumbuhan bias bercampur karenanya.

Setiap tumbuhan mengambil bagiannya dalam berkembang dan menjadi

indah kemudian berakhir, begitu pula dunia. Kemudian “hiasan” adalah

sesuatu yang indah yang disukai jiwa ketika melihatnya. Dunia berhias diri

dengan beragam warna yang indah, kemudian semuanya menjadi punah.

Begitulah yang kita lihat dalam kehidupan dunia. Jadi, dunia dengan segala

keindahannya akan punah, dan keindahan warnanya akan layu, maka tidak

sepantasnya manusia melampaui batas untuk meraih kesenangan duniawi

yang hina dan sementara.35

Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 45:

35
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 10, h. 5859-5860.
64

َ ۡ َ ٓ َ َۡ َ ٓ َ َ َۡ ُ َٰ َ ۡ ََ َ َُ ۡ ۡ َ
ْ‫نزل َن ٰ ُهْمِ َ ْٱلس َماءِْْفْٱخ َتل َطْْب ِ ْهِۦ‬ ‫وٱضرِ ْْلهمْمثلْٱلحيوةْ ِْٱلدنياْكما ٍءْأ‬

ً َ ۡ ُ ۡ َ ُ ٰ َ َ ُ َ َ َ َ ُ ٰ َ ُ ُ ۡ َ ّٗ َ َ َ ۡ َ َ َۡ ُ ََ
ِ
ْ١١ْ‫نباتْٱلأۡرضْْفأصبحْهشِ يماْتاروهْٱلرِيحْْوَكنْٱللْْعليْك ِلْديءْٖمقتدِرا‬

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan

dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi

subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-

tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan

adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Kahfi/18: 45).

Mengenai ayat ini, Abū Ja’far mengatakan bahwa Allah memberikan

perumpamaan ini seperti tumbuhan yang semakin subur dengan turunnya

hujan, namun jika hujan itu berhenti maka dia tumbuh dengan lambat, dan

akhirnya musnah, kembali menjadi tanah kering yang diterbangkan oleh

angin, lalu rusak tidak indah dipandang mata. Oleh sebab itu, hendaklah

manusia bekerja untuk sesuatu yang abadi, tidak musnah, tidak berubah dan

tidak binasa.36

Dengan penjelasan perumpamaan ini, terdapat peringatan bagi

manusia untuk tidak tertipu dan teperdaya dengan beragam kesenangan dunia

yang pada hakikatnya hanya sementara dan tidak kekal sehingga berlomba-

lomba dan melampaui batas untuk mendapatkannya.

D. Perintah Mewaspadai Kehidupan Dunia

36
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 5, h. 106.
65

Kecintaan kepada dunia adalah sumber segala perbuatan dosa dan

penyebab terhapusnya pahala segala kebajikan. Sesuatu yang hukumnya

mubāḥ37 tetapi jumlahnya lebih dari pada yang dibutuhkan termasuk “dunia”,

itu dapat menjadi penyebab keterjauhan dari Allah Swt.38 Mengenai hal ini

Allah memerintahkan manusia untuk waspada tidak terlena dan tertipu

dengan kehidupan dunia. Sebgaimana firman Allah Swt:

ٌْ‫اْم ۡولُود‬
َ َ‫ْولَ ِدهْ ِۦْ َول‬ َ ٌ َ
َ ‫ْع‬ ۡ َ َ ّٗ ۡ َ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ ُ َ ُ َ َ ُ َ َٓ
‫يٰأيهاْٱلناسْْٱتقواْْربكمْوْٱخشواْْيوماْلاْيجزِيْوال ِد‬

َ ُۡ َ ۡ‫ك ُمْٱل‬
ْ‫حيَ ٰوةُْْٱلدنيَاْ َولا‬
ُ َََُ ََ ٞ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َ َ َ َُ
َ ‫ْع‬
‫ْإِنْوعدْٱللْ ِْحقْۖفلاْتفرن‬ٞۚ ‫ْوال ِ ِدهْ ِۦْديْ ا‬ ‫از‬
ٍ ‫هوْج‬

ُ ‫ٱللْ ِْٱلۡ َفْ ُر‬


ْ٣٣ْ‫ور‬
َ ُ ََُ
ِْ‫َيفرنكمْب‬

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari

yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan

seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.

Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali

kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu

(syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS.

Luqmān/31: 33).

37
Dari segi etimologi, mubāḥ melepaskan, atau mengizinkan. Sedang dari segi
terminology, yang dimaksud dengan mubah ialah, suatu perbuatan yang syar’ memberikan
pilihan kepada mukallaf untuk melakukannya atau meninggalkannya, yang jika ia
melakukan salah satunya, tidak diberi pahala dan tidak di pula diancam dengan dosa dan
siksa. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), h. 65.
38
Al-Gazālī, Tahżīb al-Akhlāq wa Mu’ālajat Amrāḍ al-Qulūb, terj. Muhammad al-
Baqir (Bandung: Karisma, 2001), h. 85.
66

Mengenai ayat ini al-Qurṭubī memberikan sebuah peringatan jangan

sampai kehidupan dunia dengan segala perhiasannya memperdayakan

manusia, lalu mereka mengharapkannya, condong kepadanya dan

meninggalkan amal kebajikan untuk bekal akhirat. 39 Begitu juga Abū Ja’far

dalam tafsirnya memberikan sebuah peringatan untuk jangan sampai tertipu

dengan perhiasan hidup dan kenikmatan dunia, sehingga lebih cenderung

kepadanya dan tidak mempersiapkan diri, agar dapat melepaskan diri dari

adzab Allah, jangan sampai juga tertipu oleh setan dalam menaati Allah

Swt.40 Hal ini sebagaimana al-Qurṭubī mengutip pendapat Mujāhid, bahwa

setan-lah yang memperdaya makhluk dan membangkitkan angan-angan

kosong dunia kepada mereka serta melalaikan mereka dari akhirat. 41

Menurut Tafsir Kemenag, terdapat dua peringatan yang terkandung

dalam ayat ini, pertama peringatan kepada manusia jangan sampai tertipu

dengan kesenangan dunia dan segala kenikmatannya, sehingga manusia

menghabiskan seluruh waktunya untuk memperoleh dan menikmati

kesenagan-kesenangan duniawi. Akibatnya tidak ada waktu lagi untuk

beribadah kepada Allah serta mengerjakan amal saleh. Kedua, peringatan

untuk jangan teperdaya oleh setan yang selalu mencari-cari kesempatan

untuk memperdaya manusia. Karena setan menjadikan kehidupan dunia

39
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 16, h. 495.
40
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 6, h. 138-139.
41
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 16, h. 496.
67

indah dalam pandangan matanya, sehingga manusia lupa kepada tugas yang

diamanahkan Allah sebagai khalīfah fī al-Arḍi.42

ُ َ َُٰۡ َ ُ ُ ُ َ ََ ۡ ََُ ۡ ُ ُ َ
ً ‫اْغ ُر‬
ْ٥٠٢ْ‫ورا‬ ‫يعِدهمْْويمنْ ِي ِهمْۖوماْيعِدهمْٱلشيط ْْإِل‬

“Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan

membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal

syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan

belaka.” (al-Nisā/4: 120).

E. Dunia Bukan Tujuan Hakiki

Seseorang akan mudah teperdaya jika dia menjadikan kemegahan

dunia sebagai tujuan akhirnya. Karena cintanya yang berlebihan terhadap

hal-hal yang bersifat duniawi, dia tidak akan bisa selalu introspeksi, bahkan

selalu mengulur-ngulur waktu untuk beramal saleh dan bertaubat.

Hal semacam ini tidak lepas dari perhatian al-Qur’an. Al-Qur’an

memperingatkan manusia yang beriman agar jangan sampai terlena dengan

kenikmatan dunia dan agar jangan sampai menjadikan dunia sebagai tujuan

akhir dari amal perbuatannya. 43 Allah berfirman:

42
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 7, h. 574-575.
43
Sayyid Muhammad Nuh, Menggapai Rida Ilahi (Jakarta: Lentera, 2000), h. 98.
68

ُ َ َ ۡ ُ ََٰ ۡ َ ۡ َۡ ُ َ ُۡ َ َ ۡ ُ ُ َ َ َ
ْ‫اْوه ۡم‬ ِ ‫حيَ ٰوةْْٱلدنيَاْ َوزِينتَ َهاْن َو‬
‫فْإِلي ِهمْأعملهمْفِيه‬ ‫م ْكانْيرِيدْٱل‬

َ َ َ َ ُ َ َ َ ۡ ُ َ َ ۡ َ َ َ َ َٓ ُ َ ُ َ ۡ ُ َ َ
ِ
ْ‫ْأولٰئِكْْٱلاِي ْْليسْلهمْف ِيْٱٓأۡلخِرةْْإِلاْٱلنارْ ْۖوحبِطْما‬٥١ْ‫فِيهاْلاْيبخسون‬

َ ُ ُ َ َ ٞ َ َ
ْ٥٢ْ‫اْو َب ٰ ِطلْماْكانوا َْي ۡع َملون‬ ‫َصنَ ُعواْفِيه‬

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan

perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan

pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia

itu tidak akan dirugikan”

“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali

neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan

di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.

Hūd/11: 15-16).

Mutawallī Sya’rāwī dalam tafsirnya menjelaskan, apabila manusia

telah melakukan usaha sesuai dengan sebab, maka Allah mewajibkan diri-

Nya untuk memberi hasil usaha secara lengkap tanpa pengurangan. Dalam

kehidupan dunia ini hak-hak mereka tidak akan dikurangi. Prinsipnya,

barangsiapa yang tekun bekerja, dia akan memetik hasilnya. 44

Menurut Tafsir Kemenag, orang-orang yang amalnya hanya

diniatkan sekadar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan tidak diniatkan

sebagai persiapan untuk menghadapi akhirat, tidak memperoleh apa pun

44
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 10, h. 6383.
69

kecuali neraka. Hal ini sejalan dengan Mutawallī Sya’rāwī yang mengatakan

neraka adalah tempat kembali bagi mereka yang bekerja hanya demi dunia,

tanpa iman kepada Allah. Mereka akan mengambil bagian mereka di dunia,

sedangkan akhirat pekerjaan mereka seperti hanya binatang ternak yang

gemuk karena memakan sesuatu yang belum matang. Maksudnya, di

perutnya terdapat angin hingga orang yang tidak tahu menyangka bahwa

binatang itu gemuk, padahal kegemukan ini akan hilang. Demikian halnya

dengan pekerjaan orang kafir akan sia-sia di akhirat, karena pekerjaan

tersebut tanpa di dasari iman kepada-Nya.45

Dalam Tafsir Kemenag dikatakan, mereka berusaha di dunia bukan

karena dorongan iman pada Allah dan bukan untuk membersihkan diri dari

dosa dan kejahatan dan bukan pula untuk mengejar keutamaan dan takwa,

akan tetapi semata-mata untuk memenuhi keinginan hawa nafsu sepuas-

puasnya. Itulah sebabnya Allah menjadikan apa yang telah mereka kerjakan

di dunia sia-sia belaka.46 Kemudian Abū Ja’far mengatakan, pekerjaan

mereka sia-sia karena mereka mengerjakan amal perbuatan itu bukan semata-

mata karena Allah. Kemudian Allah menghapus amal perbuatannya dan

menghilangkan pahala amal perbuatan yang telah dilakukannya. 47

Dalam ayat lain yang senada tentang hal ini, Allah Swt., berfirman:

45
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 10, h. 6387.
46
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010). Jilid. 4, h. 395-396.
47
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 4, h. 263.
70

َ َ ُ ُ َ َ ََ َ ۡ َ ُ ُ َ َ َ
َ ‫ثْٱٓأۡلخ َِرةْ ِْنَز ۡدْلَ ُهْۥْف‬
ْ‫ْح ۡرث‬ ‫ِيْح ۡرثِهِْۖۦْْوم ْكانْيرِيد‬ ِ ‫م ْكانْيرِيدْحر‬

َ َ ‫اْو َماْلَ ُهْۥْف ِيْٱٓأۡلخ‬ ُ


َ ‫ٱلد ۡنيَاْن ُ ۡؤتِهِْۦْم ِۡن َه‬
ْ٠٢ْ‫يب‬
ٍ ‫ص‬
ِ ‫ْن‬ ِ ‫م‬ ِْ ْ
‫ة‬ ‫ِر‬

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami

tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki

keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari

keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di

akhirat.” (QS. al-Syūrā/42: 20)

Al-Qurṭubī mengutip pendapat ulama yang mengatakan, bahwa yang

dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang mukmin. Maknanya,

barangsiapa yang menghendaki balasan di dunia dari amalnya, maka akan

disegerakan balasan itu baginya dan tidak sedikit pun berkurang balasan itu

di dunia, akan tetapi kelak di akhirat dia mendapatkan azab, karena dia telah

menarik tujuannya ke dunia. Hal ini menurut al-Qurṭubī selaras dengan sabda

Nabi Saw:

‫إن َما اْلَع َمال بالنيات‬

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat." 48

Jadi, hamba itu diberi sesuai dengan maksud dan tujuannya dan

sesuai kehendak hatinya. Hal ini merupakan masalah yang telah disepakati

oleh semua umat dari setiap agama.

48
Muḥammad b. Ismā’īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) k. 1, bab. 1, no. 1,
h. 17.
71

Selanjutnya Firman Allah Swt., dalam surat al-Isrā‘ ayat 18:

ۡ َ َ ُ ُ ُ َ ُٓ ََ َ َ َ ۡ َ َ ََ َۡ ُ ُ َ َ َ
ْ‫ْج َعلنَا‬ ‫جلةْْعجلنَاْل ُهْۥْفِيهاْماْنْشاءْل ِم ْنرِيدْثم‬
ِ ‫م ْكانْيرِيدْٱلعا‬

َ ّٗ ُ ۡ َ َ ٰ َ ۡ َ َ َ َ َ ُ َ
ّٗ ‫اْم ۡد ُح‬
ْ٥٨ْ‫ورا‬ ‫لهْۥْجهنمْيصلىهاْماموم‬

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka

Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi

orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka

jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.”

(QS. al-Isrā‘/17: 18)

Menurut Mutawallī Sya’rāwī seseorang yang menginginkan

kehidupan duniawi dan ingin mendapatkan kesenangan hidup, dan di dalam

pikirannya tidak terdapat akhirat, maka dia tidak berhak untuk mendapatkan

akhirat itu. Akan tetapi ketika hari tersebut datang, maka dia akan

menemukan amalannya nihil dan tidak berhak mendapatkan apa-apa, karena

manusia akan mendapat pahala dari apa yang dikerjakan. 49

Balasan manusia di akhirat sesuai dengan apa yang dia kerjakan

selama di dunia, jika usahanya di dunia ditujukan hanya untuk mendapat

kenikmatan dunia maka di akhirat dia tidak mendapat apa-apa, sebaliknya

jika usahanya pekerjaannya di dunia ditujukan untuk kecukupan hidup

selama di dunia dan diniatkan untuk pahala akhirat maka dia akan

mendapatkan balasan kebaikan di dunia juga di akhirat. Mengenai hal ini

49
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm ) t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 14, h. 8450-8451.
72

sesuai dengan prinsip salah satu sahabat yang berdoa untuk menjadikan dunia

berada di genggaman tangan dan akhirat di hati.

F. Kehidupan Dunia Melupakan Manusia dari Ingat Kepada Allah Swt.

Kecenderungan terhadap kesenangan dan kenikmatan dunia

mempunyai dampak yang cukup banyak bagi manusia, salah satunya adalah

bisa menyebabkan seseorang lupa kepada Allah Swt.

Hendaknya jangan sampai perihal duniawi membuat manusia lupa

untuk berdzikir kepada Allah dan melakukan amal-amal yang mendekatkan

diri kepada Allah.50 Dalam hal ini Allah Swt., berfirman:

ْۡ‫ْءأَنتُ ۡمْأ َ ۡضلَلۡتُم‬ ُ ََُ َ


َ ‫ول‬ ُ َ
‫اْي ۡعبُ ُدونْمِ ْدو ِنْٱللْ ِْفيق‬ َ ‫ح ُش ُر ُه ۡم‬
َ ‫ْو َم‬ ۡ َ ‫َويَ ۡو َمْْي‬

َ ََٓ َ َ َ َ َ َ َ َ ۡ ُ ُ َ َ َ ُ َ ۡ ُ ۡ َ ٓ َ ُ َٓ
ْ‫ْقالواْْسبحنكْماْكانْيۢنبفِيْلناْأن‬٥٧ْْ‫عِبَادِيْهٰؤلاءِْأمْهمْضلواْٱلسبِيل‬
ٰ

ۡ
َْْ‫ِكر‬ ُ َ َ َ ۡ ُ ََٓ َ َ ۡ َََُۡ ٰ ََ ََٓ َۡ ۡ َ ُ َ ََ
ٰ
‫ك ْمتعتهمْوءاباءهمْحتيْنسواْٱلا‬ ِ ‫خاْمِ ْدون ِكْمِ ْأول ِياءْول‬
ِ ‫نت‬

ّٗ ُ ‫َو ََكنُواْقَ ۡو َمُۢاْب‬


ْ٥٨ْ‫ورا‬

“Dan (ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta

apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang

disembah); "Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau

mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?"

50
Sayyid ‘Abdullah b. Ḥusain, Menyingkap Diri Manusia Risalah Ilmu dan Akhlaq
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h. 36.
73

“Mereka (yang disembah itu) menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah

patut bagi kami mengambil selain engkau (untuk jadi) pelindung, akan

tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan

hidup, sampai mereka lupa mengingati (Engkau); dan mereka adalah kaum

yang binasa" (QS. al-Furqān/25:17-18).

Dalam Tafsir Kemenag dikatakan, ketika Allah bertanya kepada

yang disembah, mereka spontan menjawab pertanyaan Allah, bahwa

Mungkin Allah telah melimpahkan kepada mereka agar mereka bersyukur

kepada-Nya, tetapi mereka pergunakan nikmat itu untuk kepuasan hawa

nafsu mereka, sehingga mereka telah tenggelam dalam kesenangan, dan

akhirnya melupakan Allah dan jatuh ke jurang kesesatan. 51

Mengenai hal ini Mutawallī al-Sya’rāwī mengungkapkan bahwa saat

Allah memberikan nikmat kepada mereka, mereka lebih menyibukkan diri

atas nikmat dari Allah, maka mereka tersesat. Mereka melupakan sang

Pemberi nikmat, hak nikmat adalah jangan sampai melupakan kepada sang

Pemberi nikmat.52 Hal ini sejalan dengan al-Qurṭubī yang mengatakan, ketika

mereka mendapatkan kenikmatan hidup, seperti kesehatan, kekayaan dan

panjang umur, mereka lupa mengingat Allah, meninggalkan berdzikir

kepada-Nya, sehingga mereka menyekutukan-Nya, baik karena sombong

maupun tidak tahu.

Menurut al-Qurṭubī terkait kata ‫ الذكر‬ada dua pendapat, yaitu :

51
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010). Jilid 6, h. 670.
52
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 17, h. 10394.
74

1. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasūlullah Saw., lalu mereka tidak

mengamalkannya.

2. Bersyukur atas kebaikan yang diberikan kepada mereka dan

memberikan kenikmatan kepada mereka. 53

G. Mencintai Dunia Dapat Tersesat

Dunia dengan tipu dayanya menyesatkan orang yang tersesat, dengan

tipuannya juga menggelincirkan orang yang tergelincir. Mencintai dunia

merupakan pangkal dari segala keburukan. Dan tidak menyukainya menjadi

pokok ketaatan dan asas dari hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah

Swt.54 Tentang hal ini tertuang pada firman Allah Swt.

َ َ ۡ َ َٰ ۡ ٞ َۡ َ َۡ َ َ َ َ َُ َ َ
ِ ‫تْْ َو َماْف ِيْٱلأ‬
ْ ٖ ‫ۡرضْْوويلْل ِلكفِرِي ْ ِم ْعاا‬ ِ ٰ ‫ٱللْ ِْٱلاِيْلهْۥْماْف ِيْٱلسمٰو‬

َ َ ُ ُ ََ َِ
َ ‫ْع‬ َ َ َُۡ َََٰ ۡ َ ُ َ َۡ َ َ َ
ْ‫يل‬
ِ ِ ‫ب‬ ‫ْس‬ ‫ون‬ ‫د‬ ‫ص‬ ‫ي‬ ‫و‬ ْ ْ
‫ة‬ ‫ِر‬
‫خ‬ ‫ٱٓأۡل‬ ْ‫ي‬ ‫حبونْٱلحيوةْْٱلدنياْعل‬
ِ ‫ْٱلاِي ْْيست‬٠ْ‫ِيد‬
ٍ ‫دد‬

َ َ َ َٓ ُ َ ُ َ
ْ٣ْ‫ْأولٰئِكْف ِيْضلِٰۢلْبَعِي ٖد‬ٞۚ ‫ٱللْ ِْ َويَ ۡبفون َهاْع َِو ًجا‬

“Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi.

Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang

sangat pedih.”

“(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari

pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari

53
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 15, h. 379.
54
Imām al-Gazālī, Ihya ‘Ulumuddin Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama, t.p
(Jakarta: Republika, 2013), h. 2.
75

jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok.

Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrāhīm/14:

2-3)

Al-Qurṭubī mengutip pendapat bahwa yang dimaskud lebih menyukai

kehidupan dunia ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dunia

serta perasaan lebih mencintai dunia dibanding kehidupan akhirat apalagi

sampai berpaling dari jalan Allah Swt., mereka mencari apa-apa yang ada di

dunia dengan cara yang tidak sepantasnya. 55 Sejalan dengan ini Abū Ja’far

mengatakan, mereka yang lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat

itu berada di tempat yang jauh dari kebenaran, perilaku yang tidak mengikuti

petunjuk, dan menyimpang dari jalan yang lurus. 56

Di jelaskan dalam Tafsir Kemenag, bahwa dalam ayat ini Allah

menjelaskan bahwa orang-orang yang lebih menyukai kehidupan duniawi

daripada kehidupan ukhrawi, menghalangi orang lain dari jalan Allah, dan

menginginkan agar orang-orang menjauhi jalan lurus yang diberikan Allah

kepada manusia, mereka itu sesat sejauh-jauhnya.

Orang kafir tidak hanya mengingkari al-Qur’an, tetapi juga

menghalang-halangi orang lain untuk mengikuti jalan yang benar. Mereka

juga berusaha dengan berbagai tipu daya agar jalan lurus yang ditunjukkan

Allah itu menjadi bengkok. Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan apa

55
Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an, (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 12, h. 104-105.
56
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān, (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 1994), Jilid 4, h. 439.
76

yang sesuai dengan kehendak hawa nafsu mereka . dengan demikian mereka

adalah orang-orang yang sesat dan menyesatkan orang lain. 57

Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī dalam ayat ini terdapat tiga tingkatan

kesesatan, pertama, lebih mencintai dunia daripada akhirat, kedua,

menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, ketiga, mengaburkan manhaj

agar manusia menjadi tidak suka terhadap Islam. 58

Dalam pembahasan ini terdapat kisah tentang seorang alim yang

tersesat sehingga rela menjual agamanya demi mendapat kenikmatan dunia,

dia adalah Ba’lam b. Bā’ūra, seorang laki-laki yang telah diberi Allah ilmu

pengetahuan tentang isi al-Kitab dan ke-Tuhan-an dan dia memahami dalil-

dalil keesaan Allah sehingga dia menjadi seorang yang alim. Tetapi laki-laki

itu telah menentukan pilihannya ke jalan yang sesat. Dia menempuh jalan

yang berlawanan dengan fitrahnya, berpaling dari ilmunya sendiri, karena

didorong oleh keingkaran pribadi, yakni kemewahan hidup duniawi. Dia

lebih merasa nyaman dengan kehidupan dunia dan lebih cenderung

kepadanya. Dia lebih memilih kelezatan dan nafsu duniawi daripada akhirat.

Dia mengikuti hawa nafsunya dan menolak taat kepada Allah bahkan

menentang perintah-Nya.59

Kemudian Allah mengumpamakannya seperti anjing yang keadaannya

sama saja diberi beban atau dibiarkan, dia tetap menjulurkan lidahnya. Laki-

laki yang memiliki sifat seperti anjing ini, tergolong manusia yang paling

57
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 5, h. 125-126.
58
Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 29, h. 7432.
59
Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 3, h. 523.
77

buruk. Hal demikian menggambarkan kerakusan terhadap harta benda

duniawi. Dia selalu menyibukkan jiwa dan raganya untuk memburu benda

duniawi, sehingga tampak sebagai seorang yang sedang lapar dan haus tak

mengenal puas. Keadaannya seperti anjing yang menjulurkan lidahnya,

tampaknya selalu haus dan lapar tidak mengenal puas menginginkan air dan

makanan.

Seseorang yang pada hatinya terdapat sifat ḥubbu al-dunia (cinta

dunia), selain bisa menyebabkan lupa kepada Allah Swt., juga bisa

menyebabkan dirinya terjerumus dalam kesesatan dan kepayahan. Karena

seseorang yang cinta dunia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan

yang ia inginkan di dunia, juga dikarenakan jika ia telah mendapatkan

sebagian dari duniawi maka nafsunya terus berambisi mengejar yang lebih

daripada itu.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan bab-bab sebelumnya, maka penulis

mengambil kesimpulan akhir sebagai berikut: yang dimaskud lebih mencintai

kehidupan dunia ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dunia

serta perasaan lebih mencintai dunia dibanding kehidupan akhirat apalagi sampai

berpaling dari jalan Allah Swt.

Di dalam al-Qur’an mengenai gambaran kehidupan dunia dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Karakteristik kehidupan dunia diantaranya yaitu; kehidupan dunia adalah

kesenangan yang menipu, kehidupan dunia adalah kesenangan yang sedikit dan

bersifat sementara, bunga kehidupan dunia sebagai ujian, ragam kesenangan

kehidupan dunia, perumpamaan kehidupan dunia seperti air hujan.

2. Perintah mewaspadai kehidupan dunia, yakni peringatan kepada manusia jangan

sampai tertipu dengan kesenangan dunia serta segala kenikmatannya dan

kemudian peringatan untuk jangan terpedaya oleh setan yang selalu mencari-cari

kesempatan untuk memperdaya manusia.

3. Dunia bukan tujuan hakiki, yakni orang-orang yang amalnya hanya diniatkan

sekadar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan tidak diniatkan sebagai

persiapan untuk menghadapi akhirat, maka amalannya sia-sia. Karena

sesungguhnya tujuan hidup hakiki adalah kehidupan akhirat.

4. Kehidupan dunia membuat manusia lupa dari ingat kepada Allah Swt., yakni

ketika mereka mendapatkan kenikmatan hidup, seperti kesehatan, kekayaan dan

77
78

panjang umur, mereka lupa mengingat Allah, meninggalkan berdzikir kepada-

Nya, sehingga mereka menyekutukan-Nya.

5. Mencintai dunia dapat tersesat, yakni orang-orang yang lebih mencintai

kehidupan dunia daripada akhirat itu berada di tempat yang jauh dari kebenaran,

perilaku yang tidak mengikuti petunjuk, dan menyimpang dari jalan yang lurus,

mereka mencari apa-apa yang ada di dunia dengan cara yang tidak sepantasnya,

mereka itu sesat sejauh-jauhnya.

B. Saran

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan tema ini

dengan lebih baik lagi, karena kajian ini masih kurang membahas penafsiran ayat-

ayat ḥayāt al-dunia secara mendetail, terkait tidak semua ayat penulis kaji

tafsirnya dan kitab tafsir yang penulis rujuk terbatas. Diharapkan juga hasil

penelitian ini sebaiknya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga

menjadi ilmu yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup sebagai hamba

Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Kementrian. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010.

Agama RI, Kementrian. Hewan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains.


Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011.
Agama RI, Kementrian. Tafsir al-Qur’an Tematik. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, 2010.

Agama RI, Kementrian. Tumbuhan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011.

al-Aṣfahānī, Abī al-Qāsim al-Ḥusaini al-Rāgib. Mufradāt Fī Garīb al-Qur’an.


Cairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2013.

al-Bāqī, Muḥammad Fu‘ād ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an Al-


Karīm. Beirut Libanon: Dār al-Fikr, 1997.

al-Bāqī, Muḥammad Fu‘ād ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-


Karīm. al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ 2007.

Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2014.

al-Farmawī, ‘Abdu al-Ḥayy. Metode Tafsir Mauḍū’ī. terj. Rohison Anwar,


Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Fatah, Abdul. Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi. Jakarta: Rineka


Cipta, 1995.

al-Gazālī, Imām. Ihya ‘Ulumuddin Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama. tp.


Jakarta: Republika, 2013.

al-Gazālī, Imām. Minhāj al-‘Ābidīn. terj. Abul Hiyadh. Surabaya: Mutiara Ilmu,
2009.

al-Gazālī, Imām. Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn. terj. Abu Madyan al-Qurthubi.


Depok: Keira Publishing, 2014.

al-Ghazālī. Tahżīb al-Akhlāq wa Mu’ālajat Amrāḍ al-Qulūb. terj. Muhammad al-


Baqir, Bandung: Karisma, 2001.

al-Ḥaddād, Ḥabīb ‘Abdullah. Mużakkarah Ḥabīb ‘Abdullah al-Ḥaddād


diterjemahkan dari Risalat al-Mużakkarah Ma’a al-Ikhwān wa al-Muḥibbīn
min Ahli al-Khair wa al-dīn. Bandung: Karisma, 2001.

al-Ḥaddād, Sayyid ‘Abdullāh b. Alwī. Risālah al-Muawwanah. terj. Munawwir az-


Zahidy. Surabaya: Mutiara Ilmu, 2007.

79
80

Hadhiri, Choiruddin. Akhlak & Adab Islami Menuju Pribadi Muslim Ideal. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer.

al-Ḥafiẓ, Ḥabīb ‘Umar. al-Qabas al-Nūr al-Mubīn min Iḥya ‘Ulūmuddīn. terj.
Yunus b. Ali. Surabaya: Cahaya Ilmu, 2012.

al-Hajj, Hani. Mutiara Hikmah Kekasih Rasul. t.t: Ahsan Books, 2010.

Halim, Muhammad Abdul. Memahami al-Qur’an Pendekatan Gaya dan Tema.


Bandung: Marja, 2002.

Hamka, 1001 Soal Kehidupan. Jakarta: Gema Insani 2016.

Hasan, Muhammad Tholchah. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: Listafariska


Putra, 2004.

Ibn Ḥajjāj, Abī al-Ḥusaini Muslim. Ṣaḥīḥ al-Muslim. Beirut: Dār al-Kutub, 1412.

Ibn Ḥusain, Sayyid ‘Abdullah. Menyingkap Diri Manusia Risalah Ilmu dan Akhlaq.
Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.

Ibn, Ismā’īl Muḥammad. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.

Ibn Mājah, Abī ‘Abdillāh b. Yazīd al-Qazwīnī. Sunan Ibnu Mājah. Riyāḍ: Bait al-
Afkār al-Dauliyyah, t.t.

Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap al-
Qur’an. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.

Jazuli, Ahzami Samiun. al-Ḥayāt Fī al-Qur’ān al-Karīm. terj. Sari Narulita. Depok:
Gema Insani, 2006.

Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika,


1996.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka


Progresif, 1997.

al-Muyassar, Muhammad Sayyid. Buku Pintar Alam Gaib. Jakarta: Zaman, 2009.

al-Naisābūrī, Abī al-Ḥasan ‘Alī b, Aḥmad al-Wāḥidī. Asbāb al-Nuzūl. Beirut: al-
Maktabah al-Ṡaqāfiyyah, 1989.

Nasional, Pusat bahasa Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Pusat Bahasa, 2018.

Nuh, Sayyid Muhammad. Menggapai Rida Ilahi. Jakarta: Lentera, 2000.

Shidqiy, Ni’mat. Ni’mat al-Qur’an. terj. Hery Noer Aly. Bandung: Husaini 1998.
81

Shihab, M. Quraish dkk. Ensiklopedia al-Quran Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera
Hati, 2007.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2013.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah vol. 14. Jakarta: Lentera Hati, 2003.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Qur’an al-Karīm; Tafsir atas Surat-surat Pendek


Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997.

al-Suyūṭī, Jalāluddīn. Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an. terj. Abdul Hayyie. Depok:
Gema Insani, 2009.

Syah, Amiruddin. Kunci Tasawuf. Jakarta: Institut Kajian Tasawuf, tanpa tahun.

al-Syajjar, Syaikh Aḥmad b. ‘Abdulkarim al-Hasawi. Pemantap Hati Mutiara Kata


dan Nasihat al-Imām Ḥabīb ‘Abdullah b. Alawi al-Ḥaddād. Bandung:
Pustaka Hidayah, 2002.

al-Sya’rāwī, Muḥammad Mutawallī. Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-


Qur’ān al-Karīm. t.t: al-Azhar, 1991.

al-Sya’rāwī, Syekh Mutawallī. Perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur’an.


terj. Rohim Mukti. Jakarta: Granada Nadia, 1994.

al-Ṭabarī, Abū Ja’far. Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān. Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 1994.

al-Tirmiżī, Muḥammad b. ‘Īsā b. Saurah. Sunan al-Tirmiżī. al-Riyāḍ: Maktabah al-


Ma’ārif Linaṡīri wa al-Tawzī’i, t.t.

al-Qurṭubī, Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr. Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an. Beirūt:


Mu‘assasah al-Risālah 2006.

Anda mungkin juga menyukai