Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PROFESI GURU AGAMA

DALAM PRESPEKTIF UU NOMOR 2 TAHUN 1989 SISTEM PENDIDIKAN


NASIONAL

Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS

Mata Kuliah: Analisis Kebijakan Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu: Dr. H. Muhlisin, M.Ag

Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag

Oleh:

HASNA ZULFA KHAIRUNNISA

(5220020)

Kelas B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN

2022

1
A. PENDAHULUAN

Guru adalah pendidik profesional yang tugas pokoknya mendidik, mengajar,


menginstruksikan, menginstruksikan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini melalui pendidikan formal, dasar, dan
menengah. Di setiap satuan pendidikan formal pendidikan dasar dan menengah,
“guru” merupakan pusat pelaksanaan kurikulum. Guru harus terlebih dahulu
memahami, memahami, dan mengimplementasikan apa yang termasuk dalam
kurikulum. Tanpa guru, pelajaran hanyalah benda mati yang tidak berarti.

Selain sebagai pelaksana kebijakan (dalam hal ini kurikulum pendidikan),


guru juga berperan sebagai pemimpin dalam implementasi kurikulum. Merekalah
yang tahu bagaimana menerapkan kurikulum pendidikan yang ditetapkan pemerintah
dan menerapkannya dalam proses pembelajaran di sekolah, dan di setiap kelas.
Dengan demikian, keberhasilan suatu tujuan pendidikan yang direncanakan terletak di
tangan guru sebagai pelaksana. Sebaik apapun perubahan kursus dan penjadwalan
ulang, jika implementasi di lapangan masih sama, hasilnya akan tetap sama, artinya
tidak ada yang berubah.1

Ketentuan undang-undang mengharuskan pendidik (guru) memikul tanggung


jawab yang berat. Kegiatan yang meliputi mendidik, mengajar, pendampingan,
pendampingan, pelatihan, evaluasi dan evaluasi siswa bukanlah tugas yang mudah.
Selanjutnya kegiatan tersebut harus dibarengi dengan transfer ilmu dan internalisasi
nilai-nilai etika dan moral. Tentunya semua itu membutuhkan kompetensi guru yang
kompeten dan terampil. Sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan benar.
Selain itu, dengan berkembangnya zaman, kebutuhan guru juga semakin meningkat.

Menyikapi permasalahan tersebut, pemerintah (dalam hal ini Kementerian


Agama), sebagai pemegang “monopoli” pendidikan guru agama dan pengambil
keputusan pendidikan makro, telah mengambil berbagai langkah konkrit untuk
mewujudkan pendidikan dan guru yang ideal. Mulai dari pembentukan lembaga untuk
melatih calon guru, seperti SGAI (Sekolah Guru Agama Islam), PGA (Pendidikan
Guru Agama), Lembaga Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), hingga FAI (Institut
Agama Islam) dan FITK (Lembaga Tarbiyah). dan Pelatihan Guru).

1
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 34.

2
Sejarah panjang Kementerian Agama dalam menyelenggarakan pendidikan
guru agama juga turut menyumbang sejumlah kebijakan yang ditujukan untuk
pengembangan kapasitas guru. Oleh karena itu, membahas kebijakan pendidikan
Islam dalam kaitannya dengan guru, terutama dalam hal profesi dan kompetensinya,
layak untuk didiskusikan dan diteliti. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis
memutuskan bahwa tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui hakikat guru
agama Islam, dan untuk mengetahui peran politik dan kebijakan pendidikan Islam
dalam kaitannya dengan pendidik (guru).

Di dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan kita membentuk Negara


Kesatuan Republik Indonesia diantaranya adalah untuk mencerdasakan kehidupan
bangsa. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dapat bangkit di dalam menghadapi
berbagai kesulitan. Kenyataanya dewasa ini bangsa Indonesia sedang dilanda dan
masih berada di tengah-tengah krisis yang menyeluruh, termasuk di dalam bidnag
pendidikan. Sesungguhnya semenjak jaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para
pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan
faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tujuan Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokraris serta
bertanggung jawab.2

2
Yossi Suparyo, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Yogjakarta: Media Abadi,2005),
hlm.11-12

3
B. PEMBAHASAN

1. Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam terkait Aspek Profesi Guru Agama
(Pendidik)

Berbicara mengenai politik dan kebijakan pendidikan, secara garis


besar membicarakan tentang pendidikan di tingkat makro (pemerintah).
Namun, tidak menutup kemungkinan untuk membahas tentang berbagai hal di
tingkat mikro (kelembagaan). Dalam hal ini, akan berupaya membahas tentang
berbagai macam politik dan kebijakan pemerintah tentang pendidikan Islam
baik di tingkat makro maupun mikro.

Dalam pendidikan, guru memiliki tugas ganda, yaitu sebagai abdi


negara dan abdi masyarakat. Sebagai abdi negara, seorang guru dituntut untuk
menjalankan tugas yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sedangkan sebagai abdi masyarakat, seorang guru dituntut
agar bisa mencerdaskan kehidupan masyarakat dan mendidiknya agar
terbentuk masyarakat yang bermartabat. Maka tidak heran jika ditengahtengah
masyarakat, apalagi di daerah pedesaan, seorang guru sangat dihormati dan
dihargai oleh masyarakat disekitarnya.3

A teacher, in addition to being required to deliver learning materials


in class, is also required to be able to develop and foster the morals of each
student. And able to be a role model where he is. Especially Islamic Religious
Education teachers.

In law no. 20 of 2003 concerning the national education system


mandates that every student in every educational institution has the right to
receive religious education in accordance with the religion he adheres to and
taught by educators of the same religion. Thus, religious education is one of
the mandatory components that must be held in an educational curriculum to
achieve the goals of national education. So that the religious teacher
component becomes one of the most important elements of the implementation
of religious education in schools.

3
Nasir Budiman, Ilmu Pendidikan Islam (Lhokseumawe: Nadya Foundation, 1981), hlm. 19.

4
According to Thomas, the existence of religious teachers is the most
important component of the implementation of religious education in schools.
The problem of teachers is not only as teaching staff but also as educators.
That is, the teacher does not only provide the concept of thinking, but also
must be able to generate initiative, motivation, and self-actualization in
students towards the achievement of national and institutional educational
goals that have been set.

Seorang guru, selain dituntut dapat menyampaikan materi


pembelajaran di kelas, juga dituntut agar bisa mengambangkan dan membina
akhlak dari setiap peserta didiknya. Serta mampu menjadi suri tauladan
dimana ia berada. Terlebih guru Pendidikan Agama Islam.

Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan


nasional mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan
lembaga pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Dengan
demikian, pendidikan agama menjadi salah satu komponen wajib yang harus
diadakan dalam sebuah kurikulum pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional. Sehingga komponen guru agama menjadi salah sutu
elemen terpenting dari penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah.

Menurut Thomas, keberadaan guru agama merupakan komponen


terpenting dari penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah. Persoalan guru
tidak hanya sebagai tenaga pengajar saja melainkan juga sebagai pendidik.
Artinya, guru tidak hanya memberikan konsep berpikir, melainkan juga harus
bisa menimbulkan prakarsa, motivasi, dan aktualisasi pada diri peserta didik
ke arah pencapaian tujuan pendidikan nasional dan institusional yang telah
ditetapkan.4

Oleh karenanya, upaya-upaya tersebut terus direspon oleh pemerintah


dengan membuat berbagai kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme dan
kualitas guru, terutama guru pendidikan agama. Jika merujuk pada Undang-
undang No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 12 ayat 1.a yang menyatakan
4
Friedman, Thomas L, 2002, Longitudes and Attitude, New York: Anchor Books, A Division of
Random House, hlm. 34-35

5
bahwa “pendidikan agama untuk peserta didik harus diajarkan oleh guru yang
seagama”, akan terjadi ketidak jelasan makna siapa dan bagaimana kualifikasi
pendidik yang diperbolehkan mengajar pendidikan agama. Apakah hanya
sekedar seagama saja? Atau guru tersebut juga harus memiliki latar belakang
pendidikan agama yang akan diajarkan?

Setelah disahkanya Undang-undang No. 14/2005 tentang Guru dan


Dosen,semua calon guru harus berpendidikan minimal sarjana atau diploma
empat, dan untuk menjadi guru professional harus lulus pendidikan profesi
yang ditandai dengan pemberian sertifikat pendidik. Sehingga, status gurupun
meningkat menjadi guru professional. Oleh karena itu, selain harus memiliki
ijazah pendidikan, para calon guru juga harus lulus pendidikan profesi guru
untuk menjadi guru professional.

Untuk merealisasikanya, pemerintah mengeluarkan sejumlah ketentuan


yang meliputi:

a. Permendiknas Nomor 18/2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam


Jabatan.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 74/2008 tentang Guru.
c. Permendiknas Nomor 8/2009 tentang Pendidikan Profesi Guru
Prajabatan.
d. Permendiknas Nomor 10/2009 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam
Jabatan.
e. Permendiknas Nomor 9/2010 tentang Pendidikan Profesi guru bagi Guru
dalam Jabatan.
f. Permendiknas Nomor 11/2011 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam
Jabatan.

Ketentuan tersebut mengatur tentang banyak hal mengenai teknis


pelaksanaan sertifikasi guru untuk membentuk guru yang professional. Dalam
ketentuan tersebut dinyatakan bahwa sertifikat pendidik dapat diperoleh
melalui empat jalur, yaitu melalui: (1) penilaian portofolio, (2) pendidikan dan
latihan profesi guru, (3) pemberian sertifikat pendidik secara langsung, dan (4)
pendidikan profesi guru. Keempat jalur ini diselenggarakan oleh perguruan

6
tinggi penyelenggara LPTK yang memenuhi syarat dan ditunjuk oleh
pemerintah.5

Penilaian portofolio merupakan proses pemberian sertifikat bagi guru


dalam jabatan yang memenuhi syarat melalui penilaian portofolio. Penilaian
portofolio sebagaimana dimaksud merupakan pengakuan atas pengalaman
professional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang
mendeskripsikan:

a. Kualifikasi akademik.
b. Pendidikan dan pelatihan.
c. Pengalaman mengajar.
d. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
e. Penilaian dari atasan dan pengawas.
f. Prestasi akademik.
g. Karya pengembangan profesi.
h. Keikutsertaan dalam forum ilmiah.
i. Pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan
j. Penghargaan yang relevan dangan bidang pendidikan.6

Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) diberikan pada guru


dalam jabatan yang tidak memiliki kesiapan diri untuk penilaian portofolio,
tidak lulus penilaian portofolio dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan
untuk memperoleh sertifikat pendidik secara langsung. Materi PLPG
diarahkan agar pendidik memiliki kemampuan untuk merencanakan,
melaksanakan dan menilai pembelajaran.

Pemberian sertifikat secara langsung diberikan pada guru yang sudah


memiliki kualifikasi akademik S-2 atau S-3 dari perguruan tinggi terakreditasi
dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan mata
pelajaran yang diampunya dengan golongan paling rendah IV/b yang
memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b atau guru yang

5
Asmarani, N. (2014). Peningkatan Kompetensi Profesional Guru Di Sekolah Dasar. Bahan
Manajemen Pendidikan Jurnal Administrasi Pendidikan, 2(1), 60-70.
6
Gunawan, R.(2013) Implementasi Pengembangan Profesionalisme Bagi Guru. Journal of Socius.
5(2), 89-103

7
sudah mempunyai golongan paling rendah IV/c, atau yang memenuhi angka
krsdit kumulatif setara dengan golongan IV/c.7

Pendidikan Profesi Guru (PPG) dibuka bagi guru dalam jabatan dan
guru prajabatan yang telah lulus program sarjana atau diploma empat dan
memenuhi syarat. Program ini bertujuan menghasilkan guru professional yang
memiliki kompetensi dalam merencanakan melaksanakan dan menilai
pembelajaran, menindaklanjuti hasil penilaian dengan melaksanakan
pembimbingan, dan pelatihan peserta didik, mampu melaksanakan penelitian
dan mengambangkan keprofesian secara berkelanjutan.

Dari keempat jalur sertifikasi guru yang diselenggarakan saat ini, yang
paling ideal dalam menyiapkan calon guru professional adala jalur PPG.
Sedangkan ketiga jalur lainnya, memiliki banyak kelemahan. Jalur portofolio
tidak berpengaruh langsung pada pembinaan mutu gur, apalagi sulit dilacak
apakah dokmen-dokumen yang dikumpulkan guru terkait kompetensinya
sebaga pendidik, merupakan dokumen asli atau palsu. Jalur PLPG yang hanya
berlangsung sekitar seluruh hari, diragukan mampu memberikan dampak
optimal bagi pengembangan mutu guru. Demikian pula dengan jalur
pemberian sertifikat langsung yang tampaknya lebih mempertimbangkan masa
kerja dan ijasah, tidak mudah menghasilkan guru-guru yang kompeten.8

Tuntutan seorang guru yang begitu banyak dalam menjalankan tugas


profesinya tersebut, tentunya berbanding lurus dengan usaha pemerintah
dalam upaya pensejahteraan guru, baik dengan kenaikan gaji, kenaikan
pangkat dan berbagai tunjangan fugsional lainya. Kesemuanya itu
dimaksudkan agar kualitas para guru meningkat dari tahun-ke tahun. Akan
tetapi, pada kenyataanya harapan itu tidaklah seimbang dengan kenyataan
dilapangan.

Terlebih dengan banyaknya berbagai Perguruan tinggi Negeri maupun


Perguruan Tinggi Swasta yang menyelenggarakan pendidikan untuk para

7
Ningrum, E. (2012). Membangun Sinergi Pendidikan Akademik (S1) Dan Pendidikan Profesi Guru
(PPG). Jurnal Pendidikan Geografi, 12(2), 61-70.
8
Agung, G.A.A (2015). Pengembangan Model Peningkatan Profesionalisme Guru Berkelanjutan
Pasca Sertifikasi Melalui Pendekatan Pengayaan Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi Di Provinsi
Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan, 5(3), 377-395

8
calon guru. Hal ini menyulitkan pemerintah untuk dapat mengontrol kualitas
output dari masing-masing lulusan. Lain dari pada itu, untuk mempertahankan
kualitas kompetensi guru dalam menyelenggarakan pembelajaran juga tak
kalah penting. Hal ini harus dijaga dan disadari penuh oleh setiap guru.

2. Sistem UU Nomor 2 Tahun 1989 Sistem Pendidikan Nasional

If we look at the RI Law No. 2 Th. 1989 concerning the National


Education System, especially chapter I article 1 paragraphs 2 and 3, the root
of education is Indonesian culture and the basis of education is Pancasila and
the 1945 Constitution. The National Education System is said to be an
integrated unit with all units related to others for the sake of the achievement
of national education (paragraph 3) with chapter II paragraphs 3 and 4,
namely: national education functions to develop capabilities and improve the
quality of life and human dignity of Indonesia in the context of realizing
national education (article 3). Basically, national education aims to educate
the nation's life and develop Indonesian people as a whole

Jika kita menilik pada UU RI No.2 Th. 1989 tentang Sistem


Pendidikan Nasional terutama bab I pasal 1 ayat 2 dan 3, akar pendidikan
adalah kebudayaan Indonesia dan dasar pendidikan adalag Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Sistem Pendidikan Nasional dikatakan sebagai
satu kesatuan yang terpadu dengan semua satuan yang berkaitan dengan yang
lainnya demi tercapainya pendidikan nasional (ayat 3) dengan bab II ayat 3
dan 4 yaitu: pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia
Indonesia dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional (pasal 3). Pada
dasarnya pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,9 yaitu:

a. Manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Manusia berbudi pekerti luhur
c. Manusia yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan
d. Manusia yang memiliki kesehatan jasmani dan rohani
9
Mead, L.M. (2015). Teaching Public Policy: Linking Policy and Politics. Journal of Public Affairs
Education,389(193), 389-403

9
e. Manusia yang memiliki kepribadian mantap dan mandiri
f. Manusia yang memiliki rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan
kebangsaan
Kemudian jika melihat pada undang-undang sistem pendidikan
nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 2, yakni pendidikan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dan pasal 3 yang berbunyi pendidikan nasional
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman, bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokrasi serta bertanggungjawab.

Sistem pendidikan dalam sisdiknas tahun 2003 juga disebut dengan


sistem pendidikan kesatuan terpadu dengan semua satuan saling berkaitan satu
dengan yang lainnya sehingga tercapai tujuan pendidikan. Pengembangan
manusia yang akan dilakukan dalam sisdiknas adalah:

a. Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa


b. Berakhlak mulia
c. Manusia yang sehat
d. Memiliki ilmu pengetahuan
e. Memiliki kecakapan
f. Memiliki kreatifitas
g. Kemandirian dalam kepribadian
h. Bertanggungjawab dan demokrasi

Hal tersebut dapat dilakukan dengan baik dan sempurna, maka


dijabarkanlah dalam sistem dan prinsip penyelenggaraan pendidikan, yaitu:

a. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta


tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai cultural dan kemjmukan bangsa.
b. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan
sistem terbuka dan multimakna,

10
c. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didi yang berlangsung sepanjang hayat,
d. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses
pembelajaran,
e. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis dan berhitung bagi segenab warga masyarakat,
f. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan.10
Dalam Al-qur’an dijelaskan pada surah Al-Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
‫ٱلقَلَ ِم‬M َ ُّ‫ق ۡٱق َر ۡأ َو َرب‬
ۡ Mِ‫ك ٱَأۡل ۡك َر ُم ٱلَّ ِذي َعلَّ َم ب‬ ٍ َ‫ق ٱِإۡل ن ٰ َسنَ ِم ۡن َعل‬ َ َ‫ك ٱلَّ ِذي َخل‬
َ َ‫ق خَ ل‬ ۡ ِ‫ۡٱق َر ۡأ ب‬
َ ِّ‫ٱس ِم َرب‬
ۡ‫عَلَّ َم ٱِإۡل ن ٰ َسنَ َما لَمۡ يَ ۡعلَم‬
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar (manusia dengan pena),
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Sementara pada bab IV, bagian kesatu pasal 6 ayat 1 disebutkan setiap
warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar. Dalam UU Sisdiknas yang baru ini nampak
terlihat bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional agar masyarakat
Indonesia bermartabat maka diberi perhatian khusus denganmenekankan
kepada kewajiban belajar 9 tahun, dimana usia 0-5 tahun. Dibebankan
kepada orang tua dan masyarakat untuk melaksanakan pendidikan.
Sedangkan usia 6-15 tahun. Diambil alih oleh pemerintah untuk melakukan
pendidikan, artinya usia sekolah dasar dan usia sekolah menengah pertama
atau pemerintah berkewajiban melakukan sesuatu yang berkenaan dengan
pendidikan. Pencanangan yang dilakukan oleh pemerintah di era reformasi
ini telah terjadi perkembangan yang berarti untuk pemantapan pendidikan
bagi rakyat Indonesia yang merdeka. Pada pasal 34 ayat 2 dikatakan bahwa

10
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

11
pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jengjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
3. Evaluasi
Melihat perkembangan masyarakat yang terus menggeliat dan
meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Dimana perkembangan itu
dapat mempengaruhi tingkat kemampuan pemahaman masyarakat, semakin
dituntut pula masyarakat untuk meningkatkan pendidikannya. Di dalam
masyarakat agraris yang sangat dibutuhkan adalah ilmu tentang bercocok
tanam, waktu yang cocok untuk bercocok tanam sangat terikat dengan musim,
maka pendidikan yang dibutuhkan cukup hanya untuk dapat membaca. Akan
tetapi dalam masyarakat berkembang tentu masalah pendidikan sudah
mendapat perhatian khusus dan serius, apalagi untuk mencapai sebuah
masyarakat yang maju, secara otomatis pendidikan adalah tonggak awal dan
pilar utama yang harus dibangun. Maka kewajiban belajar bagi masyarakat
harus terjadi peningkatan dengan sendirinya.
Melihat keadaan yang demikian maka pemerintah seyogianya
melakukan peninjauan ulang terhadap kewajiban belajar 9 tahun. Karena bila
dilihat dari sisi sosiologis, yuridis dan religius. Kewajiban belajar 9 tahun
belumlah memadai. Di dalam Islam mempunyai kewajiban belajar adalah
sepanjang hayat, meskipun sifat individual, namun sisi ini memberikan
perintah agar umat islam sesungguhnya tidak bolah tertinggal di dalam ilmu
pengetahuan. Hal ini terlihat dengan perintah mencari ilmu sampai ke negeri
Cina. Perintah belajar adalah dari ayunan sampai ke liang lahat dan ada pula
perintah yang tegas dengan kalimat wajib menuntut ilmu.
Berdasarkan kebutuhan kehidupan masyarakat terhadap pendidikan
yang semakin hari semakin tinggi. Apalagi dilihat dari sisi agama yang kita
anut dan 80% rakyat Indonesia beragama Islam. Maka seyogianya undang-
undang pendidikan nasional pada pasal kewajiban pendidikan 9 tahun harus
ditambah menjadi 12 tahun.
Jika wajib belajar diterapkan hanya 9 tahun yaitu hingga tamat SLTP,
ini tidak sejalan dengan semangat yang diudangkan sebagai syarat yang umum
digunakan yaitu tamat SLTA, seperti untuk menjadi anggota legislative
haruslah memiliki ijazah SLTA, apalagi untuk mejadi kepala desa atau
melamar menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai swasta juga harus

12
berijazah SLTA. Maka sangat tidak masuk akal kalau pemerintah
mencanangkan pendidikan nasional hanya 9 tahun, yaitu tamat SLTP saja.
Belum lagi untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang
handal untuk dapat menghantarkan kestabilan politik, kemapanan ekonomi,
menjadikan masyarakat lebih produktif dan meningkatkan kesadaran
beragama dan bernegara.
Sebagai perbandingan negara Malaysia pada 20 tahun yang lalu,
mereka masih tertinggal dibandingkan Indonesia. Akan tetapi sekarang
Malaysia lebih maju dan lebih sejahtera kehidupan rakyatnya dibandingkan
Indonesia. Hal ini terbukti setelah Malaysia melakukan reformasi pendidikan
yang luar biasa. Mereka memberikan biaya siswa kepada masyarakat pribumi
mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Sesungguhnya Indonesia
lebih bagus dan elit jika kita lihat pada semangat muqaddimah UUD 1954,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lebih jauh lagi bila kita melihat di Mesir yang kekayaan negara sama
dengan Indonesia, tetapi mereka wajib belajar hingga pendidikan di perguruan
tinggi dan pendidikannya adalah bebas biaya atau tidak dikenakan
pemungutan apapun untuk belajar kecuali untuk membeli buku, itupun sangat
kecil, karena buku-buku referensi disediakan di perpustakaan.
Rumusan yang sederhana diberikan Tofler adalah tentang peradaban
bahwa siapa yang menguasai informasi dialah yang menguasai kehidupan.
Virture shock yang menjadi best seller untuk beberapa lama menunjukkan
garis perkembangan peradaban manusia dari masa lalu hingga masa sekarang
dan dengan keyakinan akan integritas dan kontinyuitas itu. Realita ini
menawarkan produksi masa depan. Pada intinya Tofler mengidentifikasikan
tiga fase perkembangan peradaban manusia, yakni 1) fase pertanian, yaitu
pada fase ini yang menjadi penguasa adalah para tuan tanah, 2) fase industri,
yaitu fase dimana yang menjadi poros dan sumber pengaruh kekuasaan. Maka
dominasi atas kehidupan berpihak pada pengusaha industri, 3) fase informasi,
yaitu pada fase ini informasi menjadi primadona dan penentu sukses dan
pengaruh.
Karena itu menuju zaman industri dan informasi ini tentu dapat
bersamaan di zaman ini. Tingkat pendidikan sangat menentukan sukses
tidaknya kehidupan. Semakin tingkat pendidikan yang dikuasai semakin

13
mudah mendapatkan informasi dan semakin mudah pula mencapai sukses.
Sebaliknya semakin rendah tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang maka
semakin sulit pula kesuksesan diraih. Dalam hal ini peranan dan kebijakan
pemerintah sangat menentukan kehidupan rakyat.
Belum lagi kita menilik pendidikan non-formal yang dilaksanakan
masyarakat yang belum memiliki kurikulum, visi dan misi sehingga banyak
lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat tidak diakui ijazah yang
dikeluarkannya. Mereka bagaikan tidak terurus secara sempurna. Ada hal yang
menarik pada lembaga pendidikan ini yang perlu diperhatikan dan dikaji
ulang, dimana mereka adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia sebelum
adanya lembaga pendidikan formal yang dikelola oleh pemerintah Belanda.
Lembaga pendidikan ini sudah ada dan keberadaannya memberi pengaruh
besar bagi perkembangan masyarakat. Dan khususnya lagi pada perebutan
kemerdekaan, lembaga pendidikan ini melalui alumninya berada di garda
terdepan dalam berjuang merebut kemerdekaan Indonesia. Namun setelah
Indonesia merdeka lembaga ini bagaikan tergilas dalam perkembangan yang
dibentuk oleh pemerintah. Malah baru-baru ini sejumlah pesantren di Jawa
ditengarai sebagai lembaga yang mendidik teroris.
Bab IV pasal 12 ayat 1 huruf a mendapat protes dari masyarakat Islam
dimana dalam realita, pendidikan yang dikelola oleh masyarakat non-muslim
meskipun di dalamnya ada murid yang beragama Islam tetapi tidak ada tenaga
pendidik yang beragama Islam. Tidak dapat belajar agama Islam di sekolah
tersebut. Hal ini tentu sangat menyakitkan umat Islam dan melanggar UU
Sisdiknas itu sendiri. Meskipun adanya protes oleh masyarakat Islam UU
sisdiknas tahun 2003 tetap saja disahkan dengan menghargai kebebasan
beragama. UUD 1945 itu sendiri memberi peluang untuk itu. Hal ini juga
sangat bertentangan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 apalagi dengan
ajaran Islam. UU sisdiknas seyogianya menjadi acuan pendidikan bagi
masyarakat bukan malah berbalik menjadi hal yang mengganggu bagi
kehidupan beragama.
Ajaran Islam yang didapatkan di dalam al Qur’an dan hadist memuat
kerangka berfikir tentang pendidikan baik bersifat individual maupun
masyarakat adalah sejalan dengan perkembangan zaman yang dijalani manusi.
Apalagi pendidikan dalam Islam tidak terbatas. Ini dapat bermakna pendidikan

14
selalu memberikan informasi dan jalan pembaharuan untuk mencapai
kemajuan. Hal ini seperti disampaikan oleh Yusuf Amir faisal bahwa
pendidikan Islam adalah suatu upaya atas, pencarian, pembentukan dan
pengembangan sikap dan prilaku untuk mencari, mengembangkan,
memikirkan dan menggunakan ilmu dan perangkat teknologi atau
ketrampuilan demi kepentingan manusia sesuai dengan ajaran Islam. Oleh
karena itu pada hakikatnya, proses pendidikan Islam merupakan proses
pelestarian dan penyempurnaan kultur Islam yang selalu berkembang dalam
suatu proses tranformasi budaya yang berkesinambungan di atas wahyu yang
merupakan nilai universal.
C. SIMPULAN
Istilah sistem berasal dari bahsa Yunani “systema”, yang berarti kesimpulan
bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu
keseluruhan. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen
pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional. Pendidikan di Indonesia mempunyai landasan ideal adalah Pancasil,
landasan konstitusional ialah UUD 1945, dan landasan operasional ialah ketetapan
MPR tentang GBHN.
Visi Pendidikan Nasional: terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara
Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misi Pendidikan
Nasional: Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; Membantu dan memfasilitasi
pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat
dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; Meningkatkan kesiapan masukan dan
kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang
bermoral; Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan
sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan. Keterampilan, pengalaman, sikap, dan
nilai berdasarkan standar nasional dan global; Memberdayakan peran serta

15
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam
konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

16
DAFTAR PUSTAKA

Agung, G.A.A (2015). Pengembangan Model Peningkatan Profesionalisme Guru


Berkelanjutan Pasca Sertifikasi Melalui Pendekatan Pengayaan Berbasis
Teknologi Informasi dan Komunikasi Di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal
Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan, 5(3)

Asmarani, N. (2014). Peningkatan Kompetensi Profesional Guru Di Sekolah Dasar.


Bahan Manajemen Pendidikan Jurnal Administrasi Pendidikan, 2(1).

Gunawan, R.(2013) Implementasi Pengembangan Profesionalisme Bagi Guru.


Journal of Socius. 5(2).

Friedman, Thomas L, 2002, Longitudes and Attitude, New York: Anchor Books, A
Division of Random House

Nasir Budiman, Ilmu Pendidikan Islam (Lhokseumawe: Nadya Foundation, 1981)

Ningrum, E. (2012). Membangun Sinergi Pendidikan Akademik (S1) Dan Pendidikan


Profesi Guru (PPG). Jurnal Pendidikan Geografi, 12(2)

Mead, L.M. (2015). Teaching Public Policy: Linking Policy and Politics. Journal of
Public Affairs Education,389(193)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Yossi Suparyo, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Yogjakarta: Media


Abadi,2005

Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)

17

Anda mungkin juga menyukai